Anda di halaman 1dari 8

EMPATI BUDAYA DALAM KONSELING LINTAS BUDAYA

A. Mengupayakan Berempati Budaya dalam Konseling

Rolio May mengutip tulisan Adler tentang empati, yaitu “empati terjadi pada saat
seorang manusia berbicara (satu sama lain). Tidak memungkinkan untuk memahami
individu lain jika tidak memungkinkan pula mengidentifikasikan diri dengan lawan
berbicara.1

Salah satu prinsip dalam hal pencapaian hubungan dengan orang lain meliputi
kemampuan menggunakan bahasa orang lain. Bahasa merupakan saluran umum untuk
berempati. Dua orang yang telah mengembangkan identifikasi personal sampai ke tingkat
tertentu secara otomatis akan menggunakan model bicara yang sama satu sama lainnya.
Jika kita mengunjungi suatu desa di Jawa dan berbincang dengan bahasa Jawa di desa itu,
maka kita akan merasakan atau mengalami perasaan empati yang tebal dengan penduduk
desa itu, hal ini berbeda dengan kalau kita menggunaka bahasa Indonesia. Kita dapat
melihat tingkat empati antara konselor dengan klien. Dengan melihat kemampuan
konselor berbicara dengan bahasa kliennya.

Empati bagi konselor bukanlah berarti mengidentifikasikan pengalaman dirinya


dengan konseli. Ungkapan seperti “ya saya juga pernah mengalami hal seperti apa yang
sedang kamu alami”. Pernyataan tersebut merupakan nostalgia konselor dan merupakan
sikap egosentrisme. Sikap tersebut harus dijauhi dalam konseling. Meski demikian dalam
konseling pengalaman konselor sangat berarti dan akan memberikan sumbangan secara
tidak lansung.

Kejujuran, keaslian, ketulusan dalam berkomunikasi akan sangat membantu


membangun suasana empati. Dengan keaslian atau kejujuran seseorang akan mengizinkan
orang lain melihat, masuk kedalam dirinya. Seperti dikatakan Jourad bahwa ketertutupan
akan direaksi dengan ketertutupan dan keterbukaan akan direaksi dengan keterbukaan.
Dengan kejujuran orang akan dapat lebih masuk ke dunia orang lain, melihat orang lain
dari dalam, sehingga dapat dicapai tingkat pemahaman yang empatik.

Diantara hasil yang penting adanya empati adalah adanya pengaruh. Pengaruh
tersebut dapat beragam bentuknya, seperti:

1
Jumarin, Dasar-dasar Konseling Lintas Budaya, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2002), hlm. 110
1. Penyerapan ide atau fikiran dari satu orang oleh orang lain.
2. Pengaruh sementara kepribadian, seperti dua orang yang bercakap-cakap cenderung
akan menirukan gerakan, intonasi lawan bicaranya. Jika seseorang masuk ruangan
tergopoh-gopoh dan berbicara dengan nada tinggi, maka lawan bicaranya akan
menanggapi nada rendah, halus maka orang yang baru masuk tersebut akan mengubah
intonasi suaranya.
3. Pengaruh kepribadian secara umum dan sifatnya lebih permanen, yaitu individu
mengambil peran atau pola kepribadian yang lain sampai batas-batas waktu tertentu,
seperti seorang mahasiswa akan menirukan gaya bicara atau gerakan dari dosen
favoritnya.

Proses pengaruh-mempengaruhi dalam empati tersebut sering terjadi dalam keadaan


tidak disadari oleh kedua belah pihak. Sebagai konselor perlu menyadari tindakan,
ucapan, fikirannya sedikit atau banyak akan berpengaruh pada konseli. Jika konselor
neuroses, maka konselor tersebut akan menyebarkan virus neurosis.

KEBUDAYAAN DAN KONTAK BUDAYA

A. Kontak Antar Budaya

Kontak antar budaya telah terjadi sejak ribuan tahun sebelum masehi, seperti migrasi
bangsa-bangsa Cina daratan ke negeri-negeri Melayu (termasuk Indonesia). Kontak antar
budaya dapat berlansung melalui pendidikan, perjalanan, pelayaran, pemukiman,
perdagangan, penaklukan seperti dilakukan pasukan Romawi di bawah komando Iskandar
Agung ke negeri Parsi.2

Era reformasi atau globalisasi dewasa ini mendorong pesatnya kontak antar budaya.
Baik antara budaya lokal maupun dengan budaya global. Kemajuan transportasi dan alat
informasi seperti telepon, TV, radio, internet, surat kabar dan sebagainya menjadikan
peristiwa disuatu belahan bumi, secara bersamaan dapat diketahui di belahan bumi yang
lain. Dunia semakin menyempit, jarak fisik maupun psikologis yang tadinya dianggap
begitu lebar atau jauh, kini menyempit dan melemah. Adanya komunikasi global tersebut

2
Ibid, hlm. 123
merupakan sebuah potensi besar untuk memberi pemahaman yang lebih baik terhadap
sesama manusia penghuni planet bumi ini.

Meskipun teknologi informasi telah mempermudah komunikasi manusia, namun


orang tetap ingin melakukan perjalanan ke tempat lain (daerah, kota, negeri lain) atau
tinggal di daerah lain, entah karena alasan ekonomi, keluarga, pendidikan dan sebagainya.
Kesemua bentuk ini tidak dapat diganti dengan kemajuan apapun dalam dimensi modern
dalam abad-abad mendatang. Peristiwa turisme, kunjungan, melakukan perjalanan,
diplomasi tatap muka tidak dapat dihilangkan dari peradapan manusia. Fenomena-
fenomena seperti diatas yang disebut dengan peristiwa kontak antar budaya. Peristiwa
tersebut akan memberikan efek budaya terhadap individu maupun kelompok yang
melakukan kontak budaya.

Kontak antar budaya tidak saja terjadi antara dua budaya yang berbeda, antara suatu
bangsa dengan bangsa lain, tetapi bisa pula terjadi antara satu-satuan budaya yang
terdapat dalam suatu negara atau wilayah yang memiliki tingkat heteroginitas budaya,
seperti negara Indonesia. Situasi di Indonesia yang memiliki keragaman suku, ras, tingkat
peradapan dan sebagainya dengan latar belakang budaya yang berbeda, memungkinkan
terjadinya kontak antar budaya. Dalam hal ini maka memungkinkan terjadi asimilasi
budaya atau bahkan ketegangan budaya baik tingkat individu maupun kelompok.
Meskipun memiliki semboyan “Bhinneka Tunggal Ika” namun ketegangan-ketegangan
antar budaya masih sering dijumpai, misalnya ketegangan antar pribumi dengan etnis
China, konflik antar suku di Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah, pengusiran
pendatang di Irian Jaya, Aceh, Issu” Jawanisasi dan Islamisasi” dalam program
transmigrasi dan sebagainya.

B. Faktor-faktor Terjadinya Kontak Antar Budaya

Kontak antar budaya dipengaruhi oleh beberapa faktor, diantaranya adalah:

1. Faktor pendidikan

Setelah Perang Dunia Kedua, banyak pemerintah yayasan di negara maju (Amerika dan
Eropa) memberikan kesempatan beasiswa kepada mahasiswa atau pelajar dari negara
lain, khususnya negara jajahan atau bekas jajahannya. Disamping itu juga ada program
pertukaran akademis antar negara. Mahasiswa-mahasiswa yang belajar di negara lain
tersebut sebagai nantinya di bawa pulang ke tanah airnya. Kontak budaya karena
pendidikan juga banyak terjadi dalam suatu negeri, misalnya banyak penduduk desa atau
dari suatu wilayah belajar ke kota atau wilayah lain. Yogyakarta misalnya sebagai kota
pendidikan disitu berdatangan mahasiswa atau pelajar dari seluuh Indonesia dengan
berbagai latar belakang budaya, maka disitulah terjadi kontak antar budaya.

2. Faktor migrasi

Migrasi merupakan gejala manusia yang sudah sejal kalam berlansung, baik dalam bentuk
migrasi, transmigrasi, maupun urbanisasi. Migrasi ini umumnya di pengaruhi faktor
ekonomi dan juga politik (pengungsi politik). Dalam migrasi ini, para migran yang masuk
ke suatu daerah baru membawa seperangkat budayanya yang mungkin berbeda dengan
budaya masyarakat penerima. Dalam kontak budaya tersebut disamping terjadi
pembauran budaya, seringkali terjadi perenggangan budaya, karena penduduk asli tidak
menginginkan budaya baru, sementara ada kecendrungan kelompok migran
mempertahankan kebudayaan dan kepastian teritori (cultural iperative dan terirorial
imperative). Hal ini tercermin adanya pola perkuminan yang terdiri dari kantung-kantung
permukiman (enclave) yang didasarkan pada budaya tertentu, seperti kampung
“pecinan”, kampung Pasar Kliwon di Solo (etnis keturuan Arab) dan sebagainya.

3. Bisnis/perdagangan

Mobilitas penduduk karena bisnis internasional/lokal telah berlansung sejak dulu, seperti
adanya “jalur perdagangan sutera” yaitu perdagangan dari Timur Tengah ke Cina” dan
perdagangan Eropa dengan nusantara dan sebagainya. Dewasa ini globalisasi
perdagangan ditandai adanya berbagai kesempatan seperti AFTA, APEC dan sebagainya.
Arus barang, modal, jasa begitu bebas bergerak dari satu negara ke negara lain. Banyak
infustri atau perusahaan yang sifatnya multinasional, beberapa negara berkembang
membuka dan memberikan kemudahan bagi para penanam modal asing, sehingga banyak
berdiri industri asing, relokasi industri deari negara satu ke negara lain. Adanya
perdagangan internasional dan nasional tersebut memungkinkan terjadinya kontak
budaya. Banyak manajer, pekerja asing bekerja di suatu negara yang memiliki
kebudayaan berbeda, atau banyak pekerja yang berasal dari berbagai budaya tertemu
dalam suatu industri, maka disitu terjadi kontak antar budaya. Kontak budaya tersebut
sering kali berjalan mulus namun sering pula terjadi ketegangan antar budaya.
4. Bantuan Internasional

Dewasa ini peristiwa bantuan internasional terutama kepada negara-negara berkembang


atau tertinggal begitu tampak. Banyak lembaga donor seperti; IMF, ADB, Bank Dunia,
IDB, Pemerintah, Lembaga-lembaga di PBB, Yayasan-yayasan Donor Darah dan
sebagainya giat membantu masyarakat atau negara yang memerlukan. Bantuan tersebut
dapat berupa keuangan, teknologi, manajemen, kebudayaan, pendidikan, bahan makan,
obat-obatan, militer dan sebagainya. Bantuan-bantuan tersebut seringkali mensyaratkan
sesuatu, termasuk aspek kebudayaan seperti bantuan IMF kepada pemerintah Indonesia,
bantuan lembaga-lembaga internasional kepada sejumlah LSM di Indonesia untuk
memperjuangkan budaya demokrasi dan HAM. Dalam bantuan tersebut banyak
melibatkan tenaga-tenaga asing, apakah itu sebagai konsultan, pengawas, pelaksana dan
sebagainya. Dan ini menimbulkan kontak budaya yang sering kali menimbulkan masalah
budaya. Sebagai contoh pasukan multinasional berasal dari menggempur Irak, banyak
menimbulkan pertentangan budaya dengan penduduk Saudi.

5. Tourisme

Pertumbuhan tourisme (domestik, manca) dapat dilukiskan sebagai banjir. Beberapa


negara mengandalkan sektor peristiwa sebagai sumber devisa atau pemasukan utama
negara. Didaerah tujuan wisata berdatangan dan berkumpul dari berbagai suku, ras atau
berbagai latar belakang budaya. Disitulah mereka melakukan kontak budaya, baik antar
turis dengan penduduk setempat. Berbagai program dan layanan kemudahan ditawarkan
agar memiliki daya pikat wisatawan. Adanya kontak budaya tersebut, secara positif
mampu meningkatkan ekonomi dan budaya masyarakat, namun secara negatif turisme
melahirkan berbagai budaya baru yang tidak sesuai dengan budaya lama, seperti
merebaknya alkoholisme, pergaulan bebas, pelacuran dan sebagainya.

ANCAMAN TERHADAP SOLIDARITAS

a. Sumber-sumber Ketegangan dalam Masyarakat Organik yang Kompleks

Dalam pembagian kerja yang sangat berkembang dan pola-pola saling ketergantungan
yang kompleks, integrasi mungkin dirusakkan oleh koordinasi yang tidak memadai lagi
antara orang-orang yang memiliki spesialisasi tinggi yang kegiatan-kegiatannya tidak
dapat dihubungkan menjadi satu. Dalam situasi ini, berbagai institusi yang bersifat khusus
menjadi otonom untuk waktu yang singkat dan berkembang dalam hal yang sesuai
dengan kesejahteraan masyaarakat dan keseluruhannya. Contoh mengenai hal ini adalah
kecendrungan pendidikan di sekolah untuk terus mendidik guru-guru baru tingkat SD dan
SMP lama setelah terpenuhinya kekurangan tenaga pengajar.3

Ancaman yang lebih penting lagi terhadap solidaritas organik berkembang dan
heterogenitas dan individualitas yang semakin besar yang berhubungan dengan
pembagian kerja yang tinggi. Dengan perbagai anggota masyarakat menjadi kendor.
Individu mulai mengidentifikasikan dirinya dalam kelompok yang lebih terbatas seperti
kelompok pekerjaan. Solidaritas dalam kelompok kecil seperti itu saja mungkin bersifat
mekanik.

Durkheim melihat adanya nilai yang tinggi dalam solidaritas kelompok pekerjaan atau
profesional. Melalui kelompok-kelompok itulah individu dapat dihubungkan dengan
keteraturan sosial yang lebih besar. Akan tetapi, jika solidaritas yang kuat pada tingkat ini
digabungkan dengan melemahnya identifikasi dengan masyarakat yang lebih luas,
kemungkinan terjadi konflik semakin luas. Hal ini dikarenakan kelompok-kelompok
khusus itu mengejar kepentingannya sendiri dengan merugikan kesejahteraan masyarakat
secara keseluruhan.

Pada umumnya, hukuman terhadap orang yang menyimpang dalam suatu masyarakat
organik cenderung lebih bersifat rasional dan disesuaikan dengan besarnya pelanggaran
itu. Dalam menghadapi si pelanggar itu, ada petugas atau badan khusus yang profesional
yang sudah ditunjuk untuk itu dan bukan lagi masyarakat secara keseluruhan. Akan tetapi,
hal yang penting itu aka tercermin dalam tanggapan yang berbeda-beda terhadap
penyimpangan. Selain itu, masyarakat itu sendiri daripada sekedar menghukum orang
yang menyimpang atau mencegah penyimpangan pada masa yang akan datang. Tujuan
masyarakat yang lebih luas itu merupakan penegasan kembali tentang struktur normatif
dasar yang melandasi keteraturan sosial itu.

Solidaritas organik dapat juga rusak karena tekanan yang terlampau berlebih-lebihan
terhadap individualisme. Seperti sudah disinggung terlebih dahulu, solidaritas organik

3
Yusuf, dkk, Pengantar Sistem Sosial Budaya di Indonesia, (Bandung: CV Pustaka Setia, 2014), hlm.
349
ditandai oleh heterogenitas. Individu menjadi lebih berdiferensiasi karena meningkatnya
pembagian kerja dan kesadaran kolektif bersama menjadi kurang penting lagi. Sejalan
dengan kecendrungan ini, individualisme berkembang karena orang menjadi semakin
tidak sama. Artinya mereka cenderung untuk berdikari dan mengembangkan kemampuan
sendiri. Hal ini dapat memperlemah ikatan sosial yang mempersatukan individu dengan
kelompok sosial lainnya atau dengan masyarakat umumnya dan dapat membuat hidup
menjadi kurang berarti secara sosial.

b. Integrasi Sosial dan Angka Bunuh Diri

Perubahan dalam tingkat integrasi dalam suatu masyarakat secara empiris dinyatakan
dalam perbagai cara. Satu manifestasi utama yang dianalisis Durkheim secara intensif dan
tingkat anomi dalam masyarakat naik angka bunuh diri cenderung naik. Durkheim
menunjuk pada bunuh diri yang disebabkan oleh anomi sebagai bunuh diri anomik.

Bunuh diri anomik muncul dari tidak adanya pengaturan bagi tujuan dan aspirasi
individu. Dalam kondisi yang normal dan stabil, keinginan individu dijamin oleh norma-
norma yang sesuai yang didukung oleh prinsip-prinsip moral yang umum. Norma-norma
pengatur ini menjamin bahwa keinginan individu dan aspirasinya pada umumnya
sebanding dengan alat-alat yang tersedia. Oleh karena itu, individu berjuang untuk
menerima imbalan yang sesuai seperti yang diharapkannya. Kalau norma-norma pengatur
ini tidak berdaya lagi, akibatnya adalah keinginan individu tidak dapat terpenuhi lagi.
Lalu keinginan ini meledak diluar kemungkinan untuk mencapainya, hingga individu itu
terus menerus mengalami frustasi. Seperti dikemukakan oleh Durkheim, kebutuhan dan
keinginan manusia tidak mungkin terpenuhi semuanya, tetapi biasanya dihambat oleh
norma-norma yang sudah mapan. Kalau hambatan-hambatan ini dilepaskan keinginan
manusia yang tidak habis-habisnya itu menjadi manifest. Karena meningkatnya frustasi
yang muncul dari keinginan yang tidak terpenuhi itu, angka bunuh diri meningkat.

c. Kemunculan dan Dukungan Solidaritas


1. Pengalaman-pengalaman kolektif dan munculnya ide tentang yang suci

Buku The Elementary Forms of The Religions Life memberikan analisis yang
terperinci mengenai kepercayaan dan ritual agama totemik orang Arunta, suku bangsa
primitif di Australia Utara. Organisasi sosial dalam suku bangsa yang didasarkan pada
klan sebagai satuan sosial yang primer. Analisis Durkheim yang terjalin dalam uraian
deskriptif yang luas terperinci dimaksudkan untuk memperlihatkan hubungan yang
erat antara tipe organisasi sosial dengan tipe totemik. Corak utama dari agama apa
saja dalam padangan Durkheim adalah berhubungan dengan suatu dunia yang suci.
Dia mendefinisikan agama sebagai “suatu sistem terpadu mengenai kepercayaan
praktik yang berhubungan dengan benda-benda suci. Benda-benda khusus atau
terlarang kepercayaan dan praktik yang dalam satu komunitas yang disebut umat
(gereja), semua yang berhubungan dengan itu”.

Meskipun definisi ini dapat dikecam, tekanan pada yang suci dapat diterima (valid)
dan dapat dipahami sebagai definisi yang luas. Konsep yang mengenai yang suci itu
berhubungan dengan suatu dunia yang dipercayai sebagai terpisah dari
keseluruhannya berbeda dari yang biasa yaitu dunia kehidupan profan sehari-hari itu.

d. Hubungan Antara Orientasi Agama dan Struktur Sosial

Pengalaman agama dan ide tentang yang suci merupakan produk kehidupan kolektif.
Kepercayaan dan ritus agama juga memperkuat ikatan-ikatan sosial tempat kehidupan
kolektif itu bersandar. Dengan kata lain hubungan antara agama dengan masyarakat
memperlihatkan ketergantunga sangat erat. Pada intinya menurut Durkheim kepercayan
totemik (atau tipe-tipe kepercayaan agama lainnya) memperlihatkan kenyataan bahwa
masyarakat itu sendiri dalam bentuk simbolis. Ritus totemik (atau ritus dalam bentuk
agama lainnya) mempersatukan individu dalam kegiatan bersama dengan satu tujuan
bersama dan memperkuat kepercayaan, perasaan dan komitmen moral yang merupakan
dasar struktur sosial. Jadi ide tentang yang suci itu diperkuat karena anggota-anggota
kelompok itu berulang-ulang mengalami berbagai hal dengan kelompoknya. Hal ini
dimanifestasikan dalam perasaan bersama serta kegiatan bersama yang berhubungan
dengan pelaksanaan ritus agama yang berulang-ulang atau penegasan kembali mengenai
kepercayaan mereka yang sama tentang yang suci itu.

Anda mungkin juga menyukai