Anda di halaman 1dari 9

REVIEW

BUKU MENGAPA NEGARA GAGAL – AWAL MULA KEKUASAAN,


KEMAKMURAN, DAN KEMISKINAN
KARYA DARON ACEMOGLU DAN JAMES A. ROBINSON
Diajukan untuk memenuhi tugas mandiri pada mata kuliah Pembangunan Politik
Dosen Pengampu : Dr. Tb. Massa Djafar

OLEH :
ZAINAL MUTTAQIN
NPM. 16011865030

SEKOLAH PASCASARJANA ILMU POLITIK


UNIVERSITAS NASIONAL JAKARTA
2017
REVIEW MENGAPA NEGARA GAGAL – AWAL MULA KEKUASAAN,
KEMAKMURAN DAN KEMISKINAN
KARYA DARON ACEMOGLU DAN JAMES A. ROBINSON

PROFIL
Daron Acemoglu adalah seorang Proffesor Ilmu Ekonomi dari MIT (Massacusetts
Institute of Technology). Pada 2005 ia pernah memenangkan John Bates Clark Medal sebagai
ekonom berusia di bawah 40 tahun yang dianggap telah memberikan kontribusi besar bagi
pengembangan pemikiran dan ilmu ekonomi.
James A. Robinson merupakan pakar politik, ekonomi dan Proffesor ilmu pemerintahan
di Harvard University. Pakar masalah ekonomi-politik di Amerika Latin dan Afrika itu
pernah bekerja di Bostwana, Mauritius, Sierra Lone, Afrika Selatan. Kedua penulis ini
menghabiskan waktu selama 15 tahun untuk menyelesaikan risetnya mengenai latar belakang
negara-negara gagal di dunia dari sudut pandang ekonomi dan politik.

PENJELASAN MENGAPA NEGARA GAGAL


Sebuah hal menarik membaca buku karya Daron Acemoglu dan James A. Robinson
dengan judul asli “Why Nation Fail – Origin of Power, Prosperity and Proverty” diterbitkan
pertama kali oleh Crown Publishing Group di New York tahun 2012. Selanjutnya
diterjemahkan pertama kali kedalam bahasa Indonesia dengan judul “Mengapa Negara gagal
– Awal Mula Kekuasaan, Kemakmuran dan Kemiskinan” diterbitkan oleh PT. Elex Media
Komputindo, Kompas Gramedia di Jakarta Tahun 2014.
Tesis awal yang diajukan oleh Acemoglu dan Robinson dari karyanya “Mengapa
Negara Gagal” ialah Sistem ekonomi yang bersifat inklusif dengan perlembagaan ekonomi
yang inklusif akan mendorong kemajuan ekonomi, kemudian sistem ekonomi ekstraktif
dengan perlembagaan ekonomi yang ekstraktif pula akan mendorong kemunduran ekonomi
dan menyisakan penderitaan. Sedangkan dari sudut pandang politik kedua penulis buku
tersebut mengungkapkan kemajuan politik didorong oleh sistem dan perlembagaan politik
yang inklusif.
Sungguh piawai memang Acemoglu dan Robinson dalam memberikan pandangan
ekonomi-politik dengan memberikan narasi dari sejarah perkembangan ekonomi dan politik,
sebagaimana dia mengungkapkan hubungan suku bangsa, budaya dan posisi geografis
sebetulnya tidak menentukan pertumbuhan ekonomi dalam suatu negara. Di permulaan bab
mereka mengungkapkan bahwa Kemajuan Amerika Serikat bukanlah karena faktor kekayaan
alam, contoh yang dikemukakan ialah Nagolas di Arizona Amerika Serikat dengan Nagolas
di Sonora Mexico, dimana Nagolas di Arizona lebih sejahtera dibandingkan Nagolas di
Sorona. Dari contoh kasus ini dijawab dengan kota yang terpisah dalam dua negara terebut
memiliki budaya yang sama, iklim yang sama, letak geografis yang sama, mengapa kondisi
ekonominya berbeda? Kondisi Nagolas yang berada dibawah kekuasaan politik Amerika
Serikat cenderung lebih bebas dalam mencari pekerjaan, mendapatkan fasilitas publik dan
insentif yang memadai bagi warganya dikarenakan konstitusi Amerika Serikat menjunjung
tinggi kebebasan kepemilikan tanpa harus khawatir untuk dijarah. Sedangkan kondisi
Nagolas pada Negara Mexico kebalikannya, dimana negara ini cenderung otoriter dan tidak
memiliki keleluasaan bagi masyarakatnya dalam jaminan kesehatan, pendidikan dan
pekerjaan sehingga tidak mendapatkan insentif yang memadai bagi kehidupannya di negara
tersebut, bahkan angka harapan hidupnya jauh berbeda dengan Nagolas di Amerika Serikat.
Untuk menjawab lebih jauh terkait permasalahan kedua negara ini, Acemoglu dan
Robinson mengungkapkan dalam sejarah penguasaan negara-negara tersebut oleh bangsa
Eropa, bermula dari Bangsa Spanyol yang mendaratkan kakinya di wilayah Amerika Selatan
atas ketertarikannya pada sumberdaya alam yang terkandung disana, membuat orang-orang
Spanyol menjadikan Amerika Latin menjadi daerah jajahannya, dengan memperlakukannya
secara kejam, dimana kepala-kepala suku/raja pada wilayah-wilayah yang dikuasainya
ditawan dan dirampas hartanya, kemudian menjarah seluruh kekayaan masyarakat dan
alamnya. Mereka datang menjadi tuan baru di tanah Amerika, yang menjadikan pribumi
sebagai budak, akhirnya bangsa pribumi menjadi masyarakat tertindas, budak dan hidup
melarat. Sedangkan Amerika Serikat awalnya adalah hamparan yang tidak terlalu subur
dengan cakupan wilayah yang cukup luas, dimana suku-suku adat hidup disana, pencaharian
mereka adalah bertani, tidak ada sumber daya mineral dan tambang disana (kondisi berbeda
dengan Amerika Selatan). Amerika Utara (AS dan Kanada) dijadikan koloni Inggris bukan
tanpa alasan, tetapi memang sudah tidak mendapatkan negara jajahan (habis dikuasai oleh
Spanyol dan Portugis), Akhirnya bangsa Inggris harus bersusah payah dalam menguasai
Amerika Serikat, mereka akhirnya merumuskan konstitusi untuk setiap warga negara harus
bekerja, setiap keluarga diberikan 50 Ha tanah untuk dikelola, sehingga kemajuan bidang
pertanian berkembang pesat yang mengakibatkan setiap orang Amerika Serikat yang
menguasai tanah untuk dikelola mendapatkan insentif yang memadai, bahkan dapat ikut serta
dalam merumuskan undang-undang, kebalikan dari wilayah yang dikuasai oleh Spanyol
hanya menjadi negara budak yang tetap miskin.
Latar belakang kedua negara tersebut menerangkan cukup menerangkan bahwa sistem
kolonial yang dilakukanlah pembentuk penindasan itu sendiri, kemudian pada bagian-bagian
selanjutnya dalam buku ini disebut sebagai sistem ekstraktif.
Bab selanjutnya Acemoglu dan Robinson secara terang menolak teori Jared Diamond
(1997) dan Sach (2006) yang mengungkapkan bukanlah iklim, letak geografis maupun
budaya yang menentukan kemakmuran itu sendiri. Ia juga menolak toeri Max Weber (2002)
yang menyatakan bahwa kebangkitan industri modern di Eropa Barat merupakan merupakan
refleksi dari etika Protestan pasca reformasi agama, atau pandangan Landes (1999) yang
berpendapat bahwa negara-negara Eropa Barat maju berkat kultur yang unik yang mendorong
mereka untuk bekerja keras dan inovatif. Baginya Ketimpangan ekonomi antara Meksiko dan
AS, Jerman Timur dan Jerman Barat sebelum akhirnya bersatu, dan Korea Selatan dan Korea
Utara merupakan bukti bahwa kekayaan negara tidak ditentukan oleh faktor geografis, namun
karena faktor institusi politik. Selanjutnya menurut mereka, Amerika Serikat dan Kanada
merupakan dua bekas negara jajahan Inggris sama seperti Sierra Leone dan Nigeria. Namun
kedua negara yang disebutkan pertama mampu menjadi negara besar, sementara dua negara
terakhir, masih berkutat sebagai negara berkembang. Bahkan menurut Acemoglu dan
Robinson, berbagai etika yang muncul seperti semangat gotong royong merupakan hasil dari
penerapan dari sebuah institusi dan tidak berdiri sendiri. Dengan demikian, keyakininan,
nilai-nilai dan etika tidak dapat menentukan kemajuan suatu negara.
Dalam teori First Welfare Theorem, disebutkan bahwa pasar ekonomi berasal dari
sudut pandang tertentu. Tidak adanya kebebasan dalam produksi, jual beli barang dan jasa,
akan menghasilkan kegagalan pasar. Kondisi inilah yang menjadi dasar dari teori
ketimpangan dunia. Negara kaya menjadi kaya karena mereka menerapkan kebijakan terbaik
dan sukses mengeliminasi kegagalan pasar tersebut. Sebaliknya, negara miskin terjadi akibat
penguasanya memilih kebijakan menciptakan kemiskinan.
Seperti yang sudah disampaikan di awal, teori yang dikembangkan oleh Acemoglu dan
Robinson adalah perekonomian suatu negara akan maju jika menerapkan ekonomi inklusif,
sebaliknya, negara akan menjadi miskin jika menerapkan ekoniomi ekstraktif. Penentu dari
pilihan tersebut kembali kepada institusi politik yang menjadi operator dari kebijakan-
ekebijakan ekonomi yang diambil. Sebuah negara disebut memiliki institusi politik ekstraktif
jika desain kebijakan ekonominya berorientasi untuk memperkaya elit dengan berupaya
mempertahankan kekuasannya meskipun mengorbankan rakyatnya.
Sistem ekonomi inklusif memiliki ciri adanya lembaga yang mendorong property rights
(Hak Kepemilikan), menciptakan level playing field, mendorong investasi pada teknologi dan
skill akan mampu mendorong pertumbuhan ekonomi. Ini berbeda dengan institusi ekonomi
ekstraktif yang menyedot sumber ekonomi dari banyak orang untuk hanya segelintir orang
dan gagal memberikan insentif pada kegiatan ekonomi.
Pemerintahan yang ekstratif (extractice institution) akan menjadi lingkaran setan dari
kondisi suatu negara yang secara permanen akan mengakibatkan ketimpangan ekonomi.
Namun demikian lingkaran setan tersebut dapat diputus jika ada faktor-faktor yang saling
mendukung, terutama oleh kondisi kritis, yang memaksa terjadinya suatu perubahan. Contoh
hal ini adalah Revolusi Prancis, Revolusi Inggris dan Restorasi Meiji di Jepang.
Masalah sistem ekonomi dan politik yang bersifat ekstraktif menurut Acemoglu dan
Robinson hanya akan memunculkan pecundang ekonomi dan pecundang politik. Dimana
pecundang ekonomi yang dimaksud adalah setiap orang/kelompok tertentu yang berada
dalam lingkaran kekuasaan takut kehilangan keuntungan ekonominya, sehingga cara untuk
menjaga keuntungan pribadi dengan memberikan kebijakan-kebijakan yang hanya
menguntungkannya. Sedangkan yang dimaksud pecundang politik ialah orang/kelompok
yang enggan kehilangan kekuasaannya, sehingga membentuk semacam oligarki kekuasaan
politik.
Penjelasan selanjutnya ialah, meskipun institusi bersifat ekstraktif yang berupaya
mencapai pertumbuhan ekonomi maupun politik yang tinggi, tidak akan mampu bertahan
lama. Dikarenakan pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan memberikan syarat harus
adanya kreatifitas, sedangkan dalam sistem ekstraktif kreatifitas merupakan bola liar yang
dapat menggerus eksistensi kekuasaan. Disamping itu, institusi ekonomi yang bersifat
ekstraktif akan mendorong rasa iri dari pihak oposisi akan melakukan upaya untuk perebutan
yang berdampak pada stabilitas politik. Contoh kasus yang diberikan ialah Uni Soviet dan
Pemerintahan Ottoman, dimana Uni Soviet setelah perang dunia II dianggap akan menjadi
raja bagi perekonomian dunia karena pesatnya industrialisasi, namun faktanya kejayaan Uni
Soviet tidak berlangsung lama, bahkan mengahdapi dekade 1990an mengalami kehancuran,
hal ini tidak lain dari sistem yang bersifat ekstraktif menggerus hak-hak seseorang sehingga
menimbulkan dorongan perlawanan. Begitu pula pada pemerintahan Ottoman di Turki,
mengalami kehancuran setelah dijungkalkan karena ketidakpuasan masyarakatnya. Maka dari
contoh tersebut, Acemoglu dan Robinson menekankan kelanggengan suatu sistem ekonomi
dan politik akan bertahan lama apabila dikelola melalui lembaga-lembaga inklusif yang
menjamin kebebasan masyarakatnya untuk mendapatkan hak atas kepemilikan individu,
kekayaan intelektual dan kreatifitas dalam mengelola urusan ekonomi.
Dengan kerangka teori yang dibangun, Acemoglu dan Robinson juga memprediksi
bahwa eksistensi Perekonomian China yang kini tumbuh manakjubkan, secara perlahan akan
mengalami stagnasi. Pasalnya, dominasi partai Komunis yang dipandang sebagai rezim
ekstraktif telah menghalangi kegiatan ekonomi yang kreatif dan inovatif terkecuali jika
negara tersebut melakukan reformasi politik secara ekstrim. Namun demikian, Acemoglu dan
Robinson memprediksi dalam beberapa dekade, elit Partai Komunis masih akan terus
mempertahankan dominasi mereka.
Acemoglu dan Robinson juga mendasarkan kemajuan ekonomi dan politik ditinjau dari
sejarah, dimana mereka mengungkapkan revolusi industri yang terjadi di Inggris karena
adanya satu episode sejarah dan perbedaan kecil. Wabah pes pada tahun 1348 menyebabkan
jumlah petani berkurang, sehingga mereka berani menuntut perlakuan yang lebih baik dari
para bangsawan tuan tanah, bahkan melakukan pemberontakan pada tahun 1381. Meskipun
pemberontakan tersebut gagal, namun keadaan telah berubah, para petani mendapat
perlakuan lebih baik sehingga lambat laun sistem feodal lenyap. Wabah pes di Eropa Timur
juga menimbulkan kelangkaan tenaga kerja, namun tuan tanah disana melakukan penindasan
lebih kejam, sehingga para petani semakin miskin dan institusi ekonomi ekstraktif terus
bertahan selama berabad-abad.
Inggris dapat melahirkan revolusi industri dikarenakan pada abad ke-17 telah memiliki
institusi ekonomi inklusif. Namun hal tersebut tidak muncul begitu saja, melainkan melalui
berbagai tahap yang cukup rumit, antara lain Perang Saudara Inggris dan Glorious Revolution
pada tahun 1688. Pemberontakan tersebut mengurangi kekuasaan raja dan memberi
wewenang kepada parlemen Inggris untuk menentukan struktur ekonomi. Setelah revolusi,
pemerintah menjamin hak kepemilikan atas asset dan properti, hak paten, dan membangun
berbagai infrastruktur seperti jalan raya, kanal dan kereta api. Selain itu pungutan pajak
secara semena-mena dan monopoli dihapuskan. Hal ini mendorong inovasi dan
perkembangan teknologi.
Keadaan di atas tidak terjadi di negara-negara Eropa lainnya, dimana monarki masih
berkuasa penuh, misalnya di Spanyol dan Prancis. Sementara itu di Eropa Timur, bahkan
sampai dengan tahun 1800, institusi ekonomi politik masih bersifat ekstraktif, para tuan
tanah masih memberlakukan sistem serfdom atau perbudakan terhadap para petani.
Perbedaan kecil pada abad 14, yaitu lebih kuatnya petani dan buruh di Eropa Barat dari pada
di Eropa Timur, akhirnya persitiwa wabah pes membawa perbedaan pada abad 17, 18 dan 19:
yaitu lenyapnya feodalisme di Eropa Barat dan penindasan kedua di Eropa Timur.
Pemerintahan yang bersifat absolut pada umumnya memiliki institusi ekonomi yang
bersifat ekstraktif, selain menindas rakyat, juga menolak inovasi/teknologi baru, sehingga
menghambat kemajuan dan kemakmuran. Hal ini dapat dilihat antara lain pada sejarah
kekaisarann Ottoman (Turki), Spanyol, Austria-Hungaria, Rusia, Cina, Etiopia, dan Somalia.
Kekaisaran Ottoman melarang penggunaan mesin cetak sejak tahun 1485 (tahun 1460 sudah
ada percetakan di Prancis), dan percetakan baru diizinkan berdiri tahun 1727. Namun buku
yang akan dicetak harus melalui sensor ketat, antara lain diperiksa dulu oleh para ahli hukum
syariah, hakim dan ulama.Tidak mengherankan sebuah percetakan yang sempat berdiri
akhirnya tutup pada tahun 1797 setelah mencoba bertahan selama 45 tahun, hanya
menerbitkan 24 buku, tingkat orang buta aksara mencapai 98%. Sementara itu di Rusia satu
persen kelompok ningrat menguasai petani dan pekerja dengan penindasan, sedangkan di
Spanyol kerajaan memonopoli perdagangan, tidak melindungi hak rakyat atas kekayaan dan
menghalangi masuknya teknologi baru. Demikian pula kekaisaran Habsburg dan Rusia,
keduanya melestarikan feodalisme, menghambat industrialisasi dan memonopoli
perdagangan. Sedangkan Cina melarang perdagangan internasional dan pelayaran sejak tahun
1436. Namun negara yang institusi ekonominya paling ekstraktif adalah Etiopia, dimana raja
sangat berkuasa, sehingga semua tanah adalah miliknya dan dapat diambil sewaktu-waktu
dari rakyat yang sedang menggarap tanah tersebut, dan ketika muncul bangsa Eropa yang
mencari budak, kerajaan langsung memonopoli bisnis tersebut serta menindas rakyat lebih
kejam.
Buku ini juga mengkritik pendekatan sejumlah lembaga multilateral seperti IMF, yang
dianggap gagal dalam mengobati perekonomian negara-negara yang menjadi pasiennya,
terlepas benar tidaknya resep yang mereka tawarkan. Hal ini dikarena hanya fokus untuk
mengimplementasikan kebijakan-kebijakan yang dibuat tanpa memahami secara mendalam
pada konteks kebijakan institusi politik yang buruk di negara-negara tersebut.
Jika kita kaitkan dengan konteks ke-Indonesiaan, bacaan ini cukup relevan untuk
menjelaskan kondisi Indonesia kini, karena jika dilihat dari ciri menurut Acemoglu dan
Robinson, sistem ekonomi dan politik Indonesia dapat dikategorikan pada sistem dan
perlembagaan ekonomi yang bersifat ekstraktif, namun sistem dan perlembagaan politiknya
cukup inklusif. Dari teori yang diterangkan bahwa sistem politik inklusif dengan
menggunakan sistem ekonomi yang bersifat ekstraktif, tidak akan memberikan kepuasan
kepada publik, dikarenakan segala kebijakan ekonomi akan tetap membelenggu hak-hak
warga negara. Akhirnya penindasan secara ekonomi tetap terjadi, pekerja berpenghasilan
rendah masih mendominasi, angka pengangguran tinggi, tingkat anak putus sekolah tinggi,
tingkat kriminalitas tinggi dan angka harapan hidup rendah, meskipun hak politik setiap
warga negaranya terpenuhi. Namun yang paling nyata ialah kapitalis yang berada di
lingkaran kekuasaan makin sejahtera karena disokong regulasi yang mendukung mereka,
artinya pertumbuhan ekonomi secara signifikan hanya berputar pada lingkaran elit saja.
Meskipun demikian, buku ini tidak cukup kritis dalam menjelaskan apa yang dimaksud
dengan negara-negara yang masuk dalam kategori sukses sebagai lawan dari negara yang
dianggapnya gagal. Negara-negara sukses tersebut hanya dilihat dari aspek pertumbuhan
ekonomi dan tingkat kesejahteraan secara agregat. Dalam kenyataannya, ketimpangan
ekonomi antara penduduk seperti di AS, kerentanan sistem finansial Amerika Serikat dan Uni
Eropa terhadap krisis yang menciptakan pengangguran massal tidak mendapatkan
pembahasan yang memadai.
Terlepas dari kritik terhadap buku mengapa negara gagal, buku ini tetap merupakan
bacaan yang bagus, menampilkan naratif komplet mengenai sejarah ekonomi dunia hingga
dewasa ini. Sayangnya, tidak banyak hal yang dapat dijawab dari pertanyaan Why Nations
Fail? oleh penulisnya, mungkin hal tersebut dikarenakan penulis ingin membangun
perspektif bahwa keberhasilan sebuah negara dalam mengelola ekonomi-politik ialah melalui
perlembagaannya.
SUMBER

Acemoglu, Daron., James Robinson. 2015. Mengapa Negara gagal – Awal Mula Kekuasaan,
Kemakmuran, dan Kemiskinan. Jakarta : PT. Elex Media Komputindo, Kompas Gramedia.

Anda mungkin juga menyukai