Anda di halaman 1dari 10

MAKALAH TEORI PEMERINTAHAN II

“Local Bossism and Democracy in the Filiphina, Thailand, and Indonesia”


Dosen Pengampu : Ira Permata Sari, S.IP., M.A

Oleh:
Luciana Adventia (185120600111035)
Idham Rizky Yudhanto (185120600111050)
Dian Maharani (185120600111057)
Ferly Cahya Perdana (185120607111021)

Kelas:
C2 Ilmu Pemerintahan
FAKULTAS ILMU SOSIAL ILMU POLITIK
UNIVERSITAS BRAWIJAYA
2019
BAB I
PENDAHULUAN

Latar Belakang

Local bossism merupakan sebuah fenomena yang terjadi di negara dunia ketiga dan
negara demokrasi. Awal mula kemunculan local bossism dan local strongman ini muncul
karena Joel S. Migdal dan John T. Sidel melakukan sebuah kajian mengenai fenomena orang
– orang kuat lokal yang disebut oleh Migdal atau bossisme yang disebut oleh Sidel yang
berada di negara dunia ketiga yang menganut paham demokrasi di kawasan Asia Tenggara.
Orang – orang kuat lokal atau bossism ini ternyata mempengaruhi keberlangsungan atau
jalannya demokrasi di suatu negara. Pada penghujung abad ini demokrasi telah menjadi
pilihan bagi masyarakat yang merindukan terwujudnya masyarakat yang terbuka. Rezim
otoritarian yang korosif telah mengikis kebebasan sipil. Selain itu, demokrasi dianggap
sebagai sebuah pilihan bagi negara dunia ketiga yang mengalami krisis. Namun demikian,
ironisnya demokrasi tidak di ikuti dengan konsolidasi demokrasi yang akhirnya menuju pada
zona abu – abu. Demokrasi kali ini cenderung hanya menjadi panggung pementasan bagi
orang – orang yang haus akan kepentingan, kekayaan, dan kekuasaan.

Rumusan Masalah

1). Apa maksud dari local bossism dan local strongman ?


2).Bagaimana local bossism dapat terbentuk di Filipina, Thailand, dan Indonesia ?

Tujuan

1). Mendeskripsikan local bossism dan local strongman yang dicetuskan Migdal dan Sidel.
2). Mendeskripsikan mengenai relasi antara local bossism dan local strongman.
3). Mendeskripsikan latar belakang terbentuknya local bossism di Filipina, Thailand, dan
Indonesia.
BAB II
PEMBAHASAN

A. Local bossism dan local strongman

Istilah local strongman ini diperkenalkan oleh Joel S. Migdal yang merupakan
professor di Washington University dalam kajiannya mengenai fenomena orang –orang kuat
lokal di negara – negara dunia ketiga (post colonial). Sementara istilah local bossism
dipromosikan oleh John T. Sidel, seorang Doktor Ilmu Sosial Ilmu Politik alumnus Cornell
University yang banyak melakukan studi di Asia Tenggara, khususnya untuk isu – isu politik
lokal dalam lanskap internasional. Istilah local bossism digunakan oleh Sidel sebagai
alternasi dari konsep local strongman yang diperkenalkan Migdal. Secara sistematik, kedua
istilah ini sangat berbeda, tetapi sebagai terma akademik, keduanya memiliki bebebrapa
kesamaan disamping memiliki perbedaan. Kesamaannya terletak pada gejala, bahwa
keduanya adalah elemen masyarakat lokal yang memiliki kemampuan mempengaruhi secara
determinatif-bahkan sampai pada batas tertentu mengontrol kekuasaan sumber daya ekonomi
di tingkat lokal untuk kepentingan dan ambisi politik ekonomi mereka.
Kajian keduanya berangkat dari setting sosio politik yang sama yakni fenomen
kehadiran oligarkis, personalisme, dan klientalisme. Pada tubuh oligarki, personalisme, dan
klientalisme itulah ditemukan orang – orang kuat (local strongman) dalam istilah Migdal,
atau bos – bos lokal (local bossism) menurut Sidel, yang memainkan peran sangat
determinatif. Local strongman sendiri, Migdal menyatakan bahwa orang – orang kuat lokal
telah berhasil menempatkan diri dan anggota keluarga mereka ke dalam jabatan – jabatan
penting di dalam pemerintahan lokal untuk menjamin dan memastikan alokasi sumber daya
agar tetap berjalan sesuai dengan aturan main mereka kehendaki ketimbang aturan – aturan
main yang diungkapkan pada retorika pejabat, pernyataan – pernyataan kebijakan dan
perundang – undangan, baik yang dibuat oleh pemerintah lokal maupun pemerintah pusat.
Untuk memperkuat pendapatnya, kemudian Migdal mengemukakan 3 argume
yang saling berhubungan mengenai fenomena keberhasilan local strongman dalam
mengendalikan sumber daya politik dan ekonomi daerah tersebut. Pertama, local strongman
hanya dapat berdiri jika terdapat kontrol sosial yang kuat, fragmentasi atas kontrol
memungkinkan aktor ini dapat bergerak bebas dalam memperluas wilayah kekuasaan,
termasuk bekerja sama dengan elit negara ataupun birokrat lokal. Kedua, local strongman
umumnya memiliki strategi bertahan dengan menguasai hajat hidup penduduk lokal, yang
berdasarkan kondisi ini ia memperoleh basis legitimasi yang kuat. Ketiga, pembangunan
nasional seringkali terhambat dengan eksistensi local strongman, kasus yang bagi Migdal
banyak terjadi di negara dunia ketiga.
Karena perbedaan karakteristik di beberapa negara yang diteliti (Filipina,
Thailand, Indonesia) konsep ini jadi memiliki karakteristik yang beragam di masing – masing
negara. Namun secara umum, bos lokal adalah local power broker yang memperoleh posisi
monopoli terhadap kekerasan dan sumber daya ekonomi dalam wilayahnya masing – masing
seperti pengasaan atas kontrak infrastruktur, kontrak pertambangan, atau penebangan kayu,
perusahaan transportasi atau aktifitas ilegal termasuk diantaranya kemampuan untuk
memobilisasi suara dan vote buying. Konsep bos, berbeda dari patron, karena tingkat
monopoli diperoleh melalui koersi sebagai pilar utama, dan di sisi lain otoritas bos, tidak
bergantung pada afeksi dari status., melainkan atas dasar hasrata untuk bertindak. Berbda dari
local strongman yang berada di luar jangkauan ”weak state”, local bossism menggunakan
dan bergantung pada agen dan sumber daya negara.
Berkembangnya bossism lokal tersebut di sisi lain menunjukkan ketiadaan salah
satu nilai-nilai demokrasi yang hendak dicapai, yaitu political equality. Konsep ini
menyangkut tiga macam hubungan yaitu antarpemerintah (intergovernmental relation),
antara negara dan masyarakat (state society relation); dan antara masyarakat dan
masyarakat (society-society relation). Hubungan antarpemerintah meliputi kesetaraan
antarlevel pemerintahan, baik secara vertikal maupun horizontal, dalam kewenangan
mengatur dan mengurus. Penyelenggaraan pemerintahan daerah akan semakin kuat jika ada
kesetaraan antara kewenangan dengan sumber keuangan yang dimiliki, kejelasan
kewenangan antarberbagai tingkat pemerintahan, dan sebagainya. Hubungan antarnegara dan
masyarakat merupakan refleksi dari daya tawar masyarakat terhadap berbagai keputusan yang
diambil lembaga pemerintahan.

Satu hal yang menjadi kelemahan argumen Sidel, yaitu berhadapan dengan perubahan
sosial yang terjadi adalah bahwa dalam konteks Indonesia, dinasti politik atau orang kuat
lokal menjadi tidak mungkin memperoleh tempat. Baginya konsep seperti mafia lokal
menjadi lebih tepat bagi Indonesia karena pervasive, fluid, dan lebih longgar karena mafia
lokal dapat di definisikan sebagai pejabat lokal dan pengusaha. Selain itu, konsep seperti neo-
patrimonialisme kurang mendapatkan perhatian serius dalam analisa Sidel mengenai
Indonesia. Kenyataan menunjukkan bahwa dinasti politik, yang dibangun berdasarkan nilai –
nilai neo-patrimonial telah menjamur di beberapa daerah, dasar inilah yang menjadi sebagian
dari titik pembahasan dalam analisa.

B. Local Bossism Yang Terbentuk di Filipina, Thailand, dan Indonesia

1. Filipina

Dilihat dari kasus Filipina, local bossism terjadi pada suatu kelompok yang bernama
Caciquez, dimana para cendekiawan dan komentator telah lama menekankan dominasi
hubungan patron-klien dan kegigihan elite pemilik tanah di negara ini. Di Filipina, orang
dapat menemukan tempat-tempat dimana seorang politisi satu keluarga menjabat dan
membangun posisi monopolistik dalam ekonomi lokal selama bertahun-tahun. Penelitian
tentang bos lokal di berbagai bagian Filipina mengungkapkan pola variasi lokal berikut.
Pertama-tama, bos lokal telah berhasil membudidayakan diri mereka sendiri kapan
dan dimana 'komandan tinggi' dari lingkungan politik lokal meminjamkan diri mereka untuk
kontrol monopolistik. Kedua, di mana kontrol monopolistik terhadap ekonomi lokal
bergantung pada turunan dan wewenang kebijakan berbasis negara, bos bermodel gangster
style sangat bergantung pada kekuasaan yang lebih tinggi, yang dukungannya telah
menopang kemunculan, pengikatan, dan kelangsungan hidup mereka. Ketiga, sebaliknya
kontrol monopolistik atas ekonomi lokal telah bertumpu pada pembangunan yang kuat dalam
kekayaan eksklusif di luar ranah intervensi negara.
Mengenai kearifan konvensional bahwa elite pemilik tanah dan orang-orang kuat
setempat telah menghambat pertumbuhan ekonomi di Filipina, bukti pada kenyataannya
menunjukkan sebaliknya. Ekonomi Filipina mengalami penurunan dramatis pada akhir 1970-
an dan awal 1980-an, tetapi melalui upaya local bossism yang zona pertumbuhan di provinsi
Cavite dan Cebu telah menarik investor yang berkedudukan di Manila. Secara keseluruhan,
local bossism di Filipina telah digambarkan sebagai paternalistik, berakar dalam masyarakat.
Sebaliknya, mereka telah muncul dan mengakar sebagian besar melalui kekerasan dan tipu
daya, berkat struktur dan lembaga negara yang memungkinkan dan sebagai pendukung aktif
akumulasi modal dan pertumbuhan industri.
Faktor-faktor terjadinya local bossism di Filipina:

1. Pemilihan umum
2. Keunggulan ekonomi
3. Elite pemilik tanah

2. Thailand

Pada kasus Thailand, Bossisme terlihat pada kekuatan sosial chao pho, sekelompok
mafia yang memperoleh manfaat cukup besar dari hubungan klientalistik dengan penguasa
politik. Chao pho bukanlah sekelompok preman atau gangster tetapi karena tindakan
kekerasanlah yang menjadikan mereka sebagai chao pho atau mafioso. Cara-cara kekerasan
yang dilakukan chao pho untuk memobilisasi suara seperti melalui pemaksaan, intimidasi dan
iming-iming melalui hiburan sekaligus pemberian uang bagi penduduk desa

Keuntungan dari hal yang didapat Chao pho adalah Imbalan atas jasa mobilisasi suara
dapat berupa kemudahan akses dan perlindungan terhadap kontrak pertambangan, ekstraksi
batu, illegal logging, perjudian, penyelundupan dan bisnis illegal lainnya. Sebagian besar dari
para Chao pho berprofesi sebagai pengusaha di tingkat lokal, maka chao pho lebih memilih
bersikap low profile dan memberikan jejaring patronase pada elit politik nasional agar
gerakannya tidak menjadi sorotan umum.

 Dalam studinya menurut Mcvey memetakan tiga periode pendorong lahirnya chao
pho:

a. Sebelum tahun 1960, ada dua kondisi yang memungkinkan kemunculan chao pho,
pertama adalah budaya masyarakat di tingkat lokal yaitu budaya masyarakat yang
cenderung mengidolakan tipologi pemimpin lokal yang memiliki keberanian, kesiapan
untuk bertempur, kesetiaan pada kawan dan kepatuhan dan penghargaan pada pemimpin
feodal dan orang tua.

b. Pada periode kedua yaitu berkisar antara dekade 1960 hingga awal 1970-an, dimana
pemerintahan di isi oleh birokrat sipil dan militer sekaligus yang menjadi inti dari
kekuatan kelompok elit Thailand. Bagaimanapun juga, pemerintahan birokratis yang
sentralistik akan melahirkan pengaruh local power.
c. Periode ketiga dimulai ketika militer mulai mundur dari puncak kekuasaan pada tahun
1973. Dengan beralihnya kekuasaan ke tangan politisi sipil, maka poros hubungan
patronase juga turut mengalami pergeseran. Akhirnya para pengusaha seperti pengusaha
agrobisnis, perbankan, komersial dan industri beralih pada anggota parlemen, baik
melobi maupun berpartisipasi untuk mencapai posisi sebagai anggota parlemen, maka
tidak mengherankan bahwa pada tahun 1990, hampir dari setengah anggota kabinet
adalah pengusaha provinsi yang bonafit. Periode ini telah menjadi periode bagi chao pho
untuk berkontestasi dalam pemberian ‘jasa’ di tingkat nasional hal ini membuat chao pho
cukup memiliki peran yang besar dalam penentuan arah politik nasional.

3. Indonesia

Pada studi kasus di Negara Indonesia, bosisme ini berbeda dengan negara lain
seperti di Filipina dan Thailand. Pada kasus di Negara Indonesia terlihat pada kekuatan bos
lokal yang adalah seseorang yang memperoleh posisi untuk memonopoli terhadap kekerasan
dan sumber daya ekonomi dalam wilayahnya masing-masing seperti penguasaan atas kontrak
infrastruktur, kontrak pertambangan atau penebangan kayu, perusahaan transportasi atau
aktifitas ekonomi ilegal termasuk diantaranya kemampuan untuk memobilisasi suara dengan
vote buying. Sidel melacak sejarah munculnya bossisme atau bos lokal sejak suksesi politik
Soekarno ke Soeharto.

Dengan di tandai berdirinya rezim otoritarian Soeharto yang bertahan sampai 32


tahun. Demi kelancaran pembangunan, intervensi militer dalam politik merupakan hal yang
lazim dalam pemerintahan Soeharto. Bagi Orde Baru menempatkan berbagai personel
militernya di berbagai penjuru daerah untuk menciptakan stabilitas, sekaligus sebagai agen
pembangunan hingga ke desa-desa. Segala pertanggung jawaban atas pejabat lokal maupun
personel militer yang ditempatkan di daerah langsung bertanggung jawab pada pusat,
pimpinan di atas yang tidak lain adalah Soeharto. Pemerintahan yang sentralistik juga
memberikan celah bagi para aktor tertentu, khususnya pensiunan pejabat militer ataupun
pejabat publik yang diuntungkan , untuk membentuk sebuah basis kekuatan di tingkat lokal
melalui pembuatan bisnis yang didukung oleh negara.

 Faktor pendukung yang menyebabkan local bosisme di era orba :


- Pelaksanaan pemilu pada tahun 1971 yang pada pemilu tersebut para pejabat pemerintah
hanya berpihak kepada salah satu peserta pemilu yaitu Partai Golkar yang dikembangkan
menjadi sebuah alat untuk memastikan bahwa mayoritas suara dalam pemilihan umum
akan mendukung pemerintah sehingga kekuasaan Orde Baru semakin langgeng.

- Penyederhanaan sembilan partai politik menjadi dua partai politik dan satu golongan
karya, yang bertujuan untuk membuat parlemen yang pro terhadap Soeharto.

- Dwifungsi ABRI yang memberikan peran ganda ABRI untuk kekuatan pertahanan
keamanan negara dan sebagai kekuatan politik yang dapat meningkatkan pengaruhnya di
pemerintahan Indonesia sehingga dapat menguasai kursi di parlemen yang nantinya pro
terhadap kebijakan Soeharto.
BAB III
PENUTUP

Kesimpulan

Istilah local strongman ini diperkenalkan oleh Joel S. Migdal dalam kajiannya
mengenai fenomena orang –orang kuat lokal di negara – negara dunia ketiga (post colonial).
Sementara istilah local bossism dipromosikan oleh John T. Sidel yang banyak melakukan
studi di Asia Tenggara, khususnya untuk isu – isu politik lokal dalam lanskap internasional.
Istilah local bossism digunakan oleh Sidel sebagai alternasi dari konsep local strongman yang
diperkenalkan Migdal. Bos lokal (local bossism) adalah local power broker yang
memperoleh posisi monopoli terhadap kekerasan dan sumber daya ekonomi dalam
wilayahnya masing – masing seperti pengasaan atas kontrak infrastruktur, kontrak
pertambangan, atau penebangan kayu, perusahaan transportasi atau aktifitas ilegal termasuk
diantaranya kemampuan untuk memobilisasi suara dan vote buying. Adapun negara – negara
yang mengalami fenomena tersebut anatara lain: (1) Filipina (2) Thailand (3) Indonesia,
memiliki perbedaan latar belakang kemunculan local bossism di tiap – tiap negara tersebut.

Saran

Makalah ini tentulah masih jauh dari kesempurnaan, maka dari itu kamu sangat
membutuhkan kontribusi kritik dan saran dari pembaca agar dijadikan sebagai intropeksi bagi
penulis makalah ini untuk menjadi lebih baik lagi.
DAFTAR PUSTAKA

Auliya,Zikry.Local Bossism: Indonesia dan Thailand dalam Perspektif Komparatif.(Online),


(https://www.academia.edu/2612170/Local_Bossism_Indonesia_dan_Thailand_dalam_Persp
ektif_Komparatif), diakses 25 Febuari 2019.

Pratama, Rekha Adji.2017.Patronase dan Klientalisme pada Pilkada Serentak di Kota


Kendari.Jurnal Wacana Politik,vol 2 No. 1.

Sutisna, Agung.Local Strongman, Local Bossism, dan Fenomena Uncivilitas :Kasus Jawara
diBanten,(Online),
(https://www.academia.edu/20220261/Local_Strongman_Local_Bossism_dan_Fenomena_U
ncivilitas_Kasus_Jawara_di_Banten) , diakses 24 Febuari 2019.

Anda mungkin juga menyukai