BAB 1
PENDAHULUAN
Amandemen konstitusi setelah jatuhnya Orde Baru merupakan salah satu wujud
dari gerakan reformasi. Langkah tersebut dianggap sebagai bagian dari tuntutan
reformasi kelembagaan yang sangat dibutuhkan untuk melakukan konsolidasi
demokrasi di Indonesia setelah mengalami masa pemerintahan otoriter Orde Baru. Sejak
itu, bangsa Indonesia memasuki fase kehidupan politik yang lebih terbuka dan
demokratis serta ditandai dengan pulihnya hak-hak sipil dan politik. Perubahan
mendasar yang terjadi dalam amandemen UUD 1945 diantaranya adalah rekrutmen
pejabat negara yang dipilih secara langsung oleh rakyat melalui pemilihan umum
legislatif dan eksekutif pada tingkat nasional maupun lokal.1 Kebijakan desentralisasi
menjadi dasar format hubungan pusat dan daerah. Sedangkan pelaksanaan otonomi
daerah menjadi pedoman antara pemerintah, masyarakat dan tokoh lokal untuk
mengatur urusannya sendiri sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku
termasuk memilih kepala daerah secara langsung.
Dari sudut pandang good governance, dorongan untuk melaksanakan kebijakan
desentralisasi, yaitu pemberian wewenang yang lebih besar kepada pemerintah daerah
untuk mengelola daerahnya agar menjadi lebih baik, akan berpengaruh positif dalam
konteks peningkatan kinerja pemerintahan serta konsolidasi demokrasi berjalan lebih
baik. Harapan itu dihasilkan dari pemikiran bahwa desentralisasi membawa proses
pembuatan kebijakan publik menjadi lebih dekat dengan masyarakat yang paling bawah
dan dalam cakupan wilayah yang lebih kecil, sehingga kesempatan masyarakat untuk
berpartisipasi menjadi semakin meningkat. Partisipasi masyarakat tersebut akan
menumbuhkan praktek demokrasi di tingkat lokal lokal dan sekaligus meningkatkan
efisiensi pemerintahan, antara lain dengan hilangnya berbagai kendala dalam
pengambilan keputusan pelaksanaan kebijakan. Terakomodasinya berbagai kepentingan
1
Lihat UUD 1945 Pasal 6A ayat (1) mengenai pemilihan presiden dan wakil presiden secara langsung;
UUD 1945 Pasal 22E ayat 1 mengenai pemilihan umum; dan UUD 1945 Pasal 18 mengenai pemilihan
gubernur, walikota dan bupati yang dipilih secara demokratis.
1 Universitas Indonesia
2
dan kebutuhan masyarakat akan meningkatkan derajat penerimaan atas keputusan yang
dibuat pemerintah.2
Untuk mewujudkan partisipasi masyarakat yang efektif tersebut, terdapat
beberapa prasyarat dasar yang harus tersedia, antara lain adanya kesetaraan politik
(political equality)3 dan akuntabilitas lokal yang memadai. Tetapi keduanya menjadi
sebagian permasalahan mendasar yang dihadapi banyak negara berkembang dalam
menerapkan desentralisasi. Oleh karena itu, pelaksanaan desentralisasi tidak selalu
memiliki korelasi positif dengan konsolidasi demokrasi maupun efisiensi struktural
pemerintahan di tingkat lokal. Richard C. Crook dan James Manor dalam analisis
komparatif terhadap penerapan desentralisasi di empat negara di kawasan Asia Selatan
dan Afrika Barat, yaitu negara bagian Karnakata di India, Bangladesh, Ghana, dan
Pantai Gading, menyimpulkan bahwa kecuali di Karnataka, penerapan desentralisasi di
negara-negara tersebut justru memperkuat pola-pola politik pada tingkat lokal yang
tidak mendukung demokrasi dan kinerja pemerintahan yang lebih baik.4
Situasi yang hampir sama juga terjadi pada beberapa negara di Asia Tenggara.
Hampir menjadi keniscayaan bahwa tidak adanya korelasi antara desentralisasi,
demokrasi, dan kinerja pemerintahan tersebut, ditandai oleh berkembangnya orang-
orang atau kelompok tertentu di tingkat lokal yang cukup kuat secara finansial dan
memiliki jaringan ke pemegang kekuasaan. Penelitian John T. Sidel tentang bosisme di
Filipina mengungkapkan bahwa kecenderungan tersebut terkait dengan perkembangan
politik pada awal abad ke-20, saat mulai diterapkannya pemilihan kepala pemerintahan
dan anggota parlemen secara langsung, baik di tingkat nasional maupun lokal. Suasana
seperti itu ternyata menumbuhkan elit-elit lokal yang memiliki kekuasaan politik dan
ekonomi yang begitu kuat di berbagai daerah di Filipina. Dengan menduduki atau
menjadi pialang bagi jabatan yang diperebutkan dalam pemilihan tersebut, mereka
memperoleh akumulasi keuntungan dari diskresi penegakan hukum lokal, pekerjaan
umum, perpajakan, dan lain sebagainya.
2
Lihat Eko Prasojo, Irfan Maksum, dan Teguh Kurniawan. 2006. Desentralisasi dan Pemerintahan
Daerah: Antara Model Demokrasi Lokal dan Efisiensi Struktural. Depok: Departemen Ilmu Administrasi
FISIP UI. hal. 1 dan 13.
3
Mengenai political equality yang banyak menjadi masalah dalam pelaksanaan demokrasi lihat Jack
Lively. Democracy. 1975. Chapter Two 8-51, Britain: Basil Blackwell.
4
Lihat Richard C. Crook and James Manor. 1998. Democracy and Decentralization in South Asia and
West Africa: Participation, Accountability and Performance. Cambridge University Press.
Universitas Indonesia
3
Temuan dari penelitian Sidel itu, memberikan nuansa baru dalam studi relasi
negara dan masyarakat, yang berbeda dari analisis Migdal5 pada dekade 1980-an, yaitu
sumber kekuasaan orang kuat lokal tersebut bukan dari kepemilikan tanah atau
kekayaan pribadi, melainkan dari sumber-sumber negara atau modal perdagangan yang
diakumulasi setelah memegang kekuasaan. Hubungan antara orang kuat lokal dengan
masyarakatnya selalu didasari oleh pemberian ’sesuatu’ bisa berupa uang, jabatan, atau
justru dengan menggunakan kekerasan. Pola hubungan patron-klien (klientelisme),
antara orang kuat lokal dengan masyarakatnya, bukan dianggap sebagai penyangga
utama dukungan terhadap kekuasaan mereka. Hanya penggunaan kekerasan dan
intimidasi, pembelian suara pemilih, serta kecurangan dalam pemilihan jauh lebih
menonjol dalam menggambarkan hubungan antara orang kuat lokal dan pendukungnya.6
Temuan Sidel di Indonesia juga menyimpulkan bahwa penyelenggaraan Pemilu
1999 dan penerapan kebijakan desentralisasi di Indonesia pasca jatuhnya pemerintah
Orde Baru semakin memperkuat kemungkinan akumulasi kekuasaan, berada pada
individu tertentu yang kemudian disebutnya sebagai bos lokal (local bossism).7 Mereka
memiliki sumber keuangan dan akses kepada pemegang otoritas di daerah untuk
memuluskan kepentingannya seperti urusan binis dan politik. Kesimpulan tersebut
disusun berdasarkan temuan hasil penelitian. Pada salah satu kabupaten di Provinsi
Aceh, mafia kayu memiliki pengaruh yang besar terhadap anggota DPRD dan pejabat
birokrasi pemerintah lokal. Pengaruh itu digunakan untuk membuat keputusan-
keputusan resmi tentang pengelolaan sumber daya lokal yang menguntungkan
kepentingan para mafia lokal tersebut. 8
Selain itu, di daerah-daerah lain juga muncul mafia dan jaringan lokal di bawah
kepemimpinan bangsawan lokal dan para wakil pemuka agama serta etnis yang
berperan penting dalam mobilisasi kekerasan pada setiap konflik komunal di seluruh
nusantara. Sebagai contoh adalah, peran ulama atau kyai Nahdlatul Ulama (NU) di Jawa
Timur dan pesisir utara Jawa dalam menggalang suara pemilih untuk partai dan calon
5
Joel S.Migdal. 1988. Strong Societies and Weak States: State-Society Relations and State Capabilities in
the Third World. New Jersey: Princenton University Press.
6
Lihat John T. Sidel. 2005. “Philippine Politics in Town, District, and Province: Bossim in Cative and
Cebu” The Journal Asia Studies (56/4/Nov.1997); John T. Sidel. 2005. “Bosisme dan Demokrasi di
Filipina, Thailand, dan Indonesia”, dalam John Harris, Kristian Stokke, dan Olle Tornquist (ed.).
Politisasi Demokrasi: Politik Lokal Baru. Jakarta: Demos.
7
Istilah bos yang dimaksud Sidel adalah merujuk para pialang lokal yang memiliki posisi monopolistis
abadi terhadap kekuatan koersif dan sumber-sumber ekonomi di daerah kekuasaan masing-masing. Lihat
dalam John T. Sidel. 2005. “Bosisme….”. hal. 78.
8
John T. Sidel. “Bosisme ….” Ibid. hal. 96-97.
Universitas Indonesia
4
tertentu pada Pemilu 1999 yang sudah berlangsung sejak Pemilu 1955; perseteruan
antara mafia politisi, pengusaha, pegawai negeri sipil dan preman Kristen dan Muslim
menjadi pemicu konflik kekerasan agama di Ambon dan tempat-tempat lain di Maluku
Utara; kehadiran organisasi-organisasi baru yang mengaku perwakilan etnis Dayak
menjadi pialang dalam pemilu dan pembersihan etnis Madura pendatang di Provinsi
Kalimantan Tengah9; pengaruh Jawara dalam wilayah politik dan bisnis di Provinsi
Banten juga menjelaskan fenomena munculnya bosisme dalam penguasaan politik di
tingkat lokal.10
Dalam kesimpulan yang hampir sama, Nordholt dan Klinken, mempublikasikan
hasil penelitian yang berkaitan dengan dinamika politik lokal di Indonesia. Dalam
pengantar buku tersebut dijelaskan bahwa setelah bergulirnya reformasi, dinamika
politik di daerah memasuki era baru yaitu aktor-aktor lokal yang terorganisir dan
memiliki simbol kultural lokal kembali berada di panggung politik. Akumulasi
kekuasaan aktor di daerah dilakukan bukan hanya dengan cara-cara ilegal, namun
mereka dapat menguasai institusi-institusi pemerintah lokal yang sesuai dengan
mekanisme demokrasi yang ditetapkan.11 Situasi itu telah membawa para aktor lokal
’membajak’ institusi-institusi demokrasi seperti partai politik, lembaga perwakilan
rakyat, dan lain sebagainya serta beraliansi dengan para pejabat publik yang baru
terpilih. Vedi R. Hadiz menguraikan koalisi antara aktor lokal dengan pejabat publik di
Sumatera Utara dilakukan untuk menjalin akses mendapatkan kekuasaan negara dan
sumber-sumber daya, baik di tingkat pusat maupun daerah ketika otonomi daerah
diberlakukan.12
Di Sumatera Utara, aktor lokal memainkan peranan penting dalam sistem
demokrasi yang relatif baru diterapkan. Para aktor lokal yang kuat itu berasal dari
anggota organisasi kemasyarakatan seperti organisasi pemuda, organisasi keamanan
yang berkedok bisnis, dan lain sebagainya. Dalam aktivitasnya, organisasi
kemasyarakatan itu merekrut para pemuda yang tidak memiliki pekerjaan tetap untuk
melakukan tindakan kekerasan dengan alasan menjaga keamanan di lokasi tertentu.
9
Ibid. hal. 98.
10
Lili Romli. 2007. “Jawara dan Penguasaan Politik Lokal di Provinsi Banten (2001-2006)”. Disertasi.
Departemen Ilmu Politik Program Pascasarjana Ilmu Politik Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik
Universitas Indonesia. Depok.
11
Henk Schutle Nordholt dan Gerry van Klinken dibantu oleh Ireen Karang-Hoogenboom. 2007. Politik
Lokal di Indonesia. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.
12
Tentang fenomena ini lihat Lihat Vedi R, Hadiz. 2005. Dinamika Kekuasaan, Ekonomi Politik
Indonesia Pasca-Soeharto. LP3ES. Jakarta. hal. 235-253.
Universitas Indonesia
5
Dalam bahasa sehari-hari, mereka kemudian sering disebut sebagai preman13 karena
tidak terlepas dari tindakan kekerasan seperti pemukulan, intimidasi, bahkan
pembunuhan ketika ditugaskan oleh pimpinan organisasinya untuk ”mengamankan”
lokasi tertentu yang berpotensi menghasilkan keuntungan berupa uang.
Sejak masa pemerintah kolonial menguasai perkebunan, tidak ada daerah lain
yang sanggup menyaingi para preman di Sumatera Utara untuk mempengaruhi kekuatan
politik di daerah ini. 14 Pada tahun 1965 misalnya, banyak para preman yang digunakan
oleh militer untuk membasmi anggota PKI (Partai Komunis Indonesia) di Sumatera
Utara. Mereka kemudian dikumpulkan oleh pemerintah Orde Baru ke dalam organisasi
paramiliter yang fungsinya melakukan operasi di masyarakat untuk sebuah keputusan
politik demi memperlancar kepentingan kelompok Orde Baru. Selain itu, mereka juga
diorganisir untuk melancarkan kepentingan bisnis semacam penyedia jasa keamanan di
Sumatera Utara pada masa Orde Baru hingga saat ini.
Demi menjaga stabilitas politik yang mampu menunjang pertumbuhan ekonomi,
pemerintah Orde Baru mempunyai kepentingan untuk mendapatkan dukungan dari
berbagai kelompok masyarakat, tidak terkecuali organisasi pemuda dan penyedia jasa
kemanan di Sumatera Utara. Mereka sering melakukan tindakan kekerasan di
lingkungan masyarakat yang tidak sejalan dengan mereka seperti menebar teror dan
intimidasi kepada aparat pemerintah sipil jika keinginannya tidak dipenuhi. Namun,
pada saat yang lain mereka bisa disebut sebagai warga masyarakat yang terhormat
seperti sering memberikan bantuan kepada kelompok miskin, sebagai donatur untuk
lembaga pendidikan dan memberikan bantuan sekolah kepada masyarakat yang kurang
mampu, serta aktivitas sosial lainnya. Tujuan dari aktivitas sosial ini sebenarnya untuk
melanggengkan jaringan kekuasaan yang telah dibangun dan dibina selama ini.
13
Preman (free man) adalah sebutan untuk anggota masyarakat yang melakukan kejahatan dan tindakan
kriminal. Kata preman berasal dari bahasa Belanda vrije man dan istilah ini melekat pada kaum lelaki
yang menolak bekerja di perkebunan Belanda. Makna kata tersebut merujuk pada lelaki bebas yang tidak
dapat diatur. Namun, sejalan dengan perkembangan zaman pengertian preman mengalami perubahan.
Kunarto menyebut Preman sebagai orang atau individu atau sekelompok orang yang tidak berpenghasilan
tetap, tidak mempunyai pekerjaan yang pasti, mereka hidup atas dukungan orang-orang yang terkena
pengaruh, orang-orang yang takut secara fisik maupun psikis. Mereka memiliki wilayah kekuasaan dan
tidak terikat pada norma dan nilai yang ada dalam masyarakat serta cenderung melakukan tindakan-
tindakan kriminal. Sikap, tindakan, dan prilaku para preman itulah yang disebut sebagai premanisme.
Lihat Burhani MS – Hasbi Lawrens. 1999. Referensi Ilmiah Politik, Kamus Ilmiah Populer. Jakarta:
Lintas Media. hal. 560; Maruli CC Simanjuntak. 2007. Preman-Preman Jakarta. Jakarta: Grafika Indah.
hal. 40-41.
14
Lihat juga Ann Laura Stoler. 1985. Kapitalisme dan Konfrontasi di Sabuk Perkebunan Sumatera, 1870-
1979. Terjemahan..Yogyakarta: Karsa.
Universitas Indonesia
6
Salah satu organisasi yang hingga saat ini bertahan dan banyak memberikan
pengaruh dalam konstelasi politik lokal di Sumatera Utara dengan perlakuan seperti
yang dijelaskan di atas adalah Pemuda Pancasila (PP). Pemerintah di daerah Sumatera
Utara harus mengakomodir dan mengembangkan Pemuda Pancasila untuk mendukung
kebijakan pemerintah Orde Baru. Orang-orang yang tergabung dalam Pemuda Pancasila
diberikan kemudahan untuk menduduki jabatan politik seperti pengurus inti Golkar,
anggota legislatif, dan diangkat menjadi pejabat birokrasi agar lebih mudah
mendapatkan dana proyek yang bersumber dari APBD (Anggaran Penerimaan dan
Belanja Daerah) dan APBN (Anggaran Penerimaan dan Belanja Negara).
Tindakan itu dilakukan agar pemerintah Orde Baru mendapatkan dukungan
politik dari masyarakat di daerah demi memperlancar kebijakan pembangunan yang
berkaitan dengan kepentingan pemerintah pusat. Sejak Orde Lama, Provinsi Sumatera
Utara menjadi salah satu wilayah tempat bersemainya kelompok organisasi masyarakat
yang berpotensi melakukan gerakan perlawanan kepada pemerintah pusat disebabkan
tidak terakomodasinya kepentingan politik dan ekonomi para tokoh lokal di provinsi
tersebut. Oleh karena itu, pemerintah Orde Baru menjadikan Sumatera Utara sebagai
wilayah yang mendapat perhatian khusus dengan cara memberikan peran kepada aktor
lokal dalam memperoleh akses kekuasaan dan sumber daya yang disediakan. Tapi
kemudian saat reformasi bergulir, para aktor lokal kembali menguasai panggung politik
dan memainkan peran dalam dinamika politik lokal di Sumatera Utara.
Universitas Indonesia
7
Ryter dan Lindsey adalah pengamat yang menulis tentang aktivitas kriminal
yang dilakukan organisasi Pemuda Pancasila di Sumatera Utara. Hasil penelitiannya
menjelaskan bahwa setelah jatuhnya rezim Orde Baru, perilaku preman masuk ke
wilayah politik formal. Salah satu penyebab terjadinya perilaku tersebut adalah
hubungan yang erat antara militer dengan organisasi pemuda pada masa Orde Baru.
Tindakan kekerasan dan politik uang sering sekali mereka lakukan untuk mendapatkan
posisi penting di berbagai partai politik dan lembaga parlemen, bukan hanya
mengandalkan kekuatan fisik untuk selalu memobilisasi massa dan melakukan tindakan
kekerasan kepada pihak lain yang dianggap berlawanan. Namun, kelebihannya adalah
mereka selalu terlepas dari sangsi hukum karena mereka memberikan dukungan kepada
jaringan politik yang ada. Dalam analisis Ryter dan Lindsey, tidak ada daerah lain yang
sanggup menyaingi tindakan kekerasan di Sumatera Utara dalam mempengaruhi
kekuatan politik di wilayah itu.15
Masuknya kelompok kekerasan di partai politik dan legislatif Provinsi Sumatera
Utara bermula ketika ABRI (Angkatan Bersenjata Republik Indonesia) khususnya
Angkatan Darat membutuhkan kekuatan preman untuk melawan pengaruh komunisme
yang disebarkan PKI. Saat itu kekuatan fisik yang dimiliki preman sangat dibutuhkan
Angkatan Darat untuk berhadapan dengan massa pengikut PKI. Ketika PKI memperluas
jaringan kekuatannya dengan mendirikan organisasi Pemuda Rakyat, tidak lama
kemudian organisasi Pemuda Pancasila didirikan pada 28 Oktober l959.16 Di Sumatera
Utara, kebanyakan pengurus dan anggota Pemuda Pancasila direkrut dari anak-anak
jalanan yang tidak memiliki pekerjaan tetap dan telah membantu TNI-AD untuk
menghambat pengaruh komunis yang disebarluaskan PKI.
Pada awal Orde Baru, Pemuda Pancasila Sumatera Utara menjadi bagian
organisasi pendukung pemerintah di daerah. Pengurus dan kader Pemuda Pancasila
Sumatera Utara diberi keleluasaan untuk membentuk organisasi sayap dari berbagai
15
Lihat tulisan Loren Ryter. 1998. “Pemuda Pancasila: The Last Loyalist Free Men of Soeharto New
Order?” Indonesia, 66, Oktober. L. Ryter. 2000. “A Tale of Two Cities”, Inside Indonesia 63 (July-
September). http://www.serve.com/inside/edit63/loren1.hatml; T. Lindsey. 2002. “The Criminal State:
Premanisme and the New Order”, dalam G. Lloyd dan S. Smith. (eds.). Indonesia Today: Challenges of
History. Singapore: ISEAS.
16
Tokoh-tokoh penting pendiri Pemuda Pancasila adalah Kolonel AH Nasution, Kolonel Gatot Subroto,
Kolonel Aziz Saleh. Organisasi Pemuda Pancasila menjadi sayap politik dari petinggi militer yang masih
aktif dalam kedinasan. Mereka tidak dapat langsung masuk ke kancah politik, karena memang undang-
undang melarang militer aktif melakukan kegiatan politik praktis. Pemuda Pancasila dibentuk oleh
organisasi IPKI (Ikatan Pendukung Kemerdekaan Indonesia) yang didukung kalangan Angkatan Darat
dan dijadikan sebagai salah satu sayap organisasi.
Universitas Indonesia
8
17
Nina Karina. 2008. “Dinamika Sosial Politik Organisasi Pemuda Pancasila di Sumatera Utara”. Thesis.
Magister Studi Pembangunan FISIP USU. Medan.
Universitas Indonesia
9
asosiasi pengusaha daerah, dan jabatan strategis lainnya.18 Peluang dan kesempatan baru
seperti itu, sangat jarang didapat oleh para tokoh lokal pada masa Orde Baru.
Para kader dan tokoh Pemuda Pancasila di Sumatera Utara, yang sering disebut
’preman’, tidak hanya mengandalkan ancaman dan intimidasi untuk melakukan
kekerasan serta uang yang dimiliki. Di antara mereka juga menguasai partai politik,
legislatif, birokrasi, lembaga bisnis, dan media cetak lokal untuk memenuhi
kepentingannya. Dalam kapasitas menggunakan jaringan tersebut, tentunya mereka
sangat kuat untuk memperoleh akses terhadap sumber daya (resources) dari pemerintah
daerah dan akan memaksimalkan sumber kekuasaan yang dimiliki. Sementara dalam
kapasitasnya sebagai ’preman’, mereka dapat juga menggunakan ancaman dan
intimidasi untuk melakukan kekerasan. Peran yang dilakukan oleh kader dan tokoh
Pemuda Pancasila itu, relatif lebih memudahkan mereka mendapatkan akses terhadap
local government resources untuk memaksimalkan pengaruhnya pada lembaga-lembaga
politik lokal. Meskipun dalam proses merebut sumber daya yang sifatnya terbatas itu,
perselisihan di antara kader dan tokoh Pemuda Pancasila juga sering terjadi.
Asumsi awal tentang peran yang dilakukan oleh kader dan tokoh Pemuda
Pancasila seperti yang dijelaskan di atas, pada praktiknya akan dilihat dan dianalisis saat
berlangsungnya pemilihan Gubernur Provinsi Sumatera Utara tahun 2008. Terpilihnya
pasangan Syamsul Arifin 19 -Gatot Pudjonugroho 20 sebagai Gubernur dan Wakil
Gubernur Provinsi Sumatera Utara Periode 2008-2013, tidak terlepas dari peran Pemuda
Pancasila.
18
Beberapa kajian akademis menunjukkan bahwa pasca Orde Baru, Pemuda Pancasila merupakan salah
satu organisasi yang sangat berpengaruh di Medan, ibukota Provinsi Sumatera Utara. Penelitian yang
ditulis Vedi R. Hadiz mengidentifikasi peran sentral para preman yang tergabung dalam organisasi
pemuda seperti Pemuda Pancasila atas kemenangan pasangan calon Walikota Medan Abdillah dan Ramli
dalam Pemilihan Walikota dan Wakil Walikota Medan pada tahun 2000. Hadiz menunjukkan
kemampuan kader Pemuda Pancasila dalam menggunakan potensi kekerasan yang mereka miliki untuk
mengembangkan kekuasaan mereka. Lihat Vedi R, Hadiz. 2005. Ibid.
19
Syamsul Arifin adalah mantan Bupati Langkat dua periode, tokoh pemuda (mantan Ketua FKPPI dan
Ketua KNPI Provinsi Sumatera Utara), dekat dengan elit militer Orde Baru, dan memiliki usaha
penjualan minyak di wilayah Langkat. Syamsul Arifin memulai karirnya sebagai aktivis organisasi
pemuda di Sumatera Utara. Bergabung dengan Pemuda Pancasila di Sumatera Utara tahun 1970-an,
sempat menjadi pengurus FKPPI di Sumatera Utara dan Kabupaten Langkat serta menjadi orang pertama
yang pernah menduduki jabatan bupati dari unsur pemuda pada usia 45 tahun. Saat ini menjadi tahanan
KPK dalam kasus korupsi APBD 2000-2007 senilai kurang lebih Rp 99 milyar ketika menjabat sebagai
Bupati Langkat.
20
Gatot Pudjonugroho adalah kader Partai Keadilan Sejahtera di Provinsi Sumatera Utara. Sebelum
menjadi aktivis partai, dia aktif sebagai pengajar di Politeknik Negeri Medan. Di kalangan organisasi
pemuda, namanya dikenal sebagai Wakil Ketua FKPPI Sumatera Utara.
Universitas Indonesia
10
21
Darwin Nasution, saat proses pemilihan Gubernur Sumut berlangsung, selain menjabat sebagai Ketua
MPW Partai Patriot Pancasila Sumatera Utara juga sebagai Sekretaris MPW Pemuda Pancasila Sumatera
Utara. Darwin ditunjuk sebagai ketua tim pemenangan Syampurno dalam pemilihan Gubernur Sumatera
Utara tahun 2008. Setelah pelantikan Syamsul Arifin sebagai Gubernur Provinsi Sumatera Utara Periode
2008-2013, dia menjabat sebagai Direktur Utama Perusahaan Daerah (PD) Perkebunan.
Universitas Indonesia
11
2. Bagaimana pola mobilisasi kader dan tokoh Pemuda Pancasila yang menjadi
pimpinan partai politik dan anggota DPRD Provinsi Sumatera Utara dalam
mendukung calon gubernur dan wakil gubernur yang ingin dimenangkan?
3. Bagaimana model relasi yang dibangun antara pimpinan Pemuda Pancasila
Sumatera Utara dengan pejabat birokrasi, pengusaha, dan pengelola media massa
lokal di Sumatera Utara saat berlangsungnya pemilihan Gubernur Provinsi Sumatera
Utara tahun 2008?
Universitas Indonesia
12
Secara akademis, penelitian ini dilakukan untuk menganalisis peran, kiprah, dan
proses keterlibatan tokoh Pemuda Pancasila di Sumatera Utara hingga bisa menjadi
pimpinan partai politik, pejabat eksekutif dan legislatif, menjadi pengusaha, dan
pengelola media massa lokal. Pembahasan ini diharapkan akan memberikan perspektif
kontemporer mengenai peran, kiprah, dan proses yang dilakukan tokoh Pemuda
Pancasila Sumatera Utara untuk mempengaruhi lembaga politik lokal dalam rangka
memenuhi kepentingannya. Penelitian sebelumnya yang hampir sama di Indonesia
seperti studi tentang Jawara, Bosisme, dan Premanisme menjelaskan tentang orang kuat
lokal yang muncul dan mengambil alih kontrol atas politik lokal dalam proses otonomi
daerah. Penelitian ini akan membahas tentang gejala kekerasan, kekuatan uang dan
pemanfaatan jaringan politik yang muncul bukan hanya mengandalkan kekuatan
individu seperti Jawara maupun Bosisme, namun juga mengutamakan kekuatan
organisasi. Kekhususan studi ini berkaitan dengan konteks lokal di Sumatera Utara yaitu
bahwa prilaku intimidasi dan uang, dalam politik lokal, dilakukan dengan menggunakan
kekuatan organisasi bukan dengan mengandalkan kekuatan individu.
Sedangkan secara praktis penelitian ini dapat memberi penjelasan bagi
pemerhati kajian demokrasi, khususnya yang terjadi di Sumatera Utara terkait dengan
organisasi pemuda sebagai kelompok kekerasan yang terlibat dalam perebutan
kekuasaan yang sedang berlangsung pada domain politik lokal yaitu pemilihan
Gubernur dan Wakil Gubernur Provinsi Sumatera Utara tahun 2008. Dari penjelasan
tersebut akan terlihat apakah peran mereka dapat membantu atau justru mengganggu
konsolidasi demokrasi yang sedang berlangsung di tingkat lokal.
Penelusuran literatur terhadap topik yang relevan dengan fokus studi ini
dilakukan pada jurnal ilmiah di internet, buku serta publikasi cetak lainnya. Hasilnya
adalah, topik sejenis sebagian besar bisa ditemukan dalam tulisan atau artikel yang
diterbitkan dalam bentuk buku yang membahas kondisi Indonesia pasca pemerintahan
Presiden Soeharto. Hasil studi literatur terungkap bahwa pola hubungan antara bos lokal
dengan birokrat, pimpinan partai politik, pengusaha dan aparat di daerah pada masa
otonomi daerah, dilakukan berdasarkan hubungan patron klien dan simbiosis
Universitas Indonesia
13
22
Freek Colombijn dan Thomas J. Lindblad. eds. 2002. Roots of Violence in Indonesia: Contemporary
Violence in Historical Perspective. Singapore: ISEAS.
23
Okamoto Masaaki & Abdur Rozaki. 2006. Kelompok Kekerasan dan Bos Lokal di Era Reformasi.
Yogyakarta: IRE Press.
24
Okamoto Masaaki. “Broker Keamanan di Jakarta: Yang Profesional dan Berbasis Massa”. dalam
Okamoto Masaaki & Abdur Rozaki. Ibid. hal. 1-18.
25
Untung Widyanto, “Jagoan Betawi dari Cakung.” dalam Ibid. hal. 21-41.
Universitas Indonesia
14
Di daerah Banten artikel Abdul Hamid yang berjudul ”Jawara dan Penguasaan
Politik Lokal di Banten” menjelaskan dominannya kelompok jawara pada bidang politik
dan ekonomi di Banten yang mengakibatkan kesejahteraan hanya dinikmati oleh
segelintir elit saja. Kelompok Jawara (H. Chasan/Sohib atau Abah) menjadi penentu
dalam kebijakan pemerintah daerah, untuk mutasi pejabat dan alokasi proyek-proyek
anggaran pemerintah. Dominasi Abah bukan hanya di aparat birokrasi namun itu juga
terjadi di kelompok masyarakat.26 Penelitian disertasi yang terbaru tentang Banten juga
dilakukan oleh Lili Romli dengan analisis bahwa Jawara di Banten memiliki pengaruh
politik yang dominan di masyarakat. Selain melakukan kontrol serta pengendalian
terhadap pejabat publik juga mengontrol masyarakat sipil. Temuan dari penelitian itu
disebut Romli sebagai ”bosisme plus”.27
Kondisi kekerasan terjadi juga di Madura, tulisan Abdur Rozaki
menggambarkan blater yang hampir luput dari analisis sejarah di Madura, padahal
kehidupan masyarakat Madura tidak akan sempurna kalau tidak ada catatan mengenai
blater dan hubungan antara kyai dengan blater. Para blater dan kyai muncul sebagai
pemain politik dari tingkat kabupaten hingga desa. Mereka menjalin hubungan dengan
para politisi dan birokrasi menggunakan pola simbiosis mutalisme, hingga sulit bagi
munculnya kelompok kritis yang mengoreksi kesalahan jalannya pemerintahan lokal.28
Menurut I Ngurah Suryawan, di Bali ternyata revitalisasi adat melahirkan
penjaga keamanan ’tradisional’ yaitu pecalang sebagai tradisi yang terbuat (invented
tradition). Mereka kemudian digunakan oleh industri pariwisata dengan jasa penjual
keamanan yang ’dipelihara’ menjadi ’anak manis’ dari kekuasaan resmi. Namun,
kekuasaan resmi yang ada pada negara telah menyebar dalam masyarakat dan
membentuk jejaring kekuasaan.29
Di wilayah Kalimantan juga terbentuk kelompok kekerasan dengan nama
headhunter Dayak. Dari tulisan John Bamba terlihat bahwa di kalangan masyarakat
Dayak sendiri, militerisme juga sudah mulai merambah. Masyarakat Dayak telah
terseret dalam perangkap militerisme karena termakan oleh iming-iming dan ambisi
kekuasaan. Kondisi ketertindasan dan keterpinggiran yang dialami oleh sebagian besar
masyarakat Dayak selama ini menyebabkan mereka menjadi rentan terhadap berbagai
26
Abdul Hamid. “Jawara dan Penguasaan Politik Lokal di Banten.” dalam Ibid. hal. 45-63.
27
Lili Romli. Op. Cit.
28
Abdur Rozaki. “Sosial Origindan Politik Kuasa Blater di Madura.” Ibid. hal.67-89.
29
I Ngurah Suryawan. “Bisnis Kekerasan Jagoan Berkeris: Catatan Awal Aksi Pencalang dan Kelompok
Milisi di Bali. Ibid. hal. 91-114.
Universitas Indonesia
15
30
John Bamba. “Borneo Headhunter: Imej dan Manipulasi”. Ibid. hal.115-125.
31
Henk Schutle Nordholt. 2007. Politik Lokal di Indonesia.Op. Cit.
32
Ibid.
33
Loren Ryter. 1998. Op. Cit.; Vedi R. Hadiz. Op. Cit.
Universitas Indonesia
16
birokrat, elit partai politik, pengusaha, dan aparat dilakukan berdasarkan hubungan
patron-klien dan adanya hubungan yang saling menguntungkan atau simbiosis
mutualisme. Ketiga, bos lokal dan organisasi yang dibentuknya memiliki sumber daya
jauh lebih besar dibandingkan dengan masyarakat dan jika negara lemah dan korup
maka ia akan menjadi ‘alat’ bagi bos lokal dan organisasinya daripada sebagai ‘juri’
bagi semuanya. Keempat, dengan model yang berbeda-beda di setiap wilayah di
Indonesia, maka bos lokal dan organisasinya perlu merespons lingkungannya, melalui
pemberian jenis bantuan dan sumber kekuasaan yang mereka miliki agar tetap dapat
bertahan memberikan pengaruhnya kepada masyarakat.
Oleh karena itu, penelitian ini bermaksud menjelaskan bahwa dari kasus
pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur Provinsi Sumatera Utara akan terlihat peran
tokoh lokal di Sumatera Utara. Namun, dugaan awal, di Sumatera Utara yang dapat
disebut tokoh lokal itu tidak bisa muncul karena kekuatan individu saja, mereka berada
di dalam kekuatan organisasi pemuda yang anggotanya sebagian besar disebut sebagai
“preman”. Organisasi pemuda yang diteliti dalam studi ini adalah Pemuda Pancasila
yang merupakan organisasi pemuda tertua di Sumatera Utara dengan tokoh-tokohnya
yang memiliki jaringan kepada lembaga politik lokal dalam proses otonomi daerah.
Perbedaan studi ini dengan penelitian sebelumnya adalah pertama, fenomena
munculnya kelompok kekerasan dan tokoh lokal yang cukup kuat di Indonesia terjadi
dengan model yang berbeda-beda. Studi ini akan menjelaskan bahwa di Sumatera Utara,
fenomena kemunculan tokoh lokal yang cukup kuat bukan hanya berasal dari kekuatan
individu berupa fisik, kekayaan atau patron semata, tetapi juga berasal dari kekuatan
kelompok atau organisasi yang ada di antara organisasi sejenis dalam kehidupan
masyarakat lokal. Kedua, studi sebelumnya tidak membahas mengenai fenomena
muncul, bertahan dan berhasilnya tokoh lokal yang mampu menggerakkan organisasi
untuk kepentingan mereka di antara kelompok masyarakat lainnya saat pemilihan
kepala daerah secara langung. Studi terdahulu dilakukan sebelum pemilihan langsung
kepala daerah dilaksanakan. Oleh karena itu, studi ini akan membahas secara khusus
tentang fenomena tersebut dengan mengambil kasus pemilihan gubernur dan wakil
gubernur di Provinsi Sumatera Utara.
Universitas Indonesia
17
Studi ilmu politik tentang kelompok kekerasan menjadi tema yang menarik
belakang ini terutama sejak keruntuhan rezim-rezim otoritarian di kawasan Asia dan
Afrika. Di Indonesia sendiri, studi tersebut banyak dilakukan untuk melihat model
demokrasi baru Indonesia pasca jatuhnya pemerintah Orde Baru. Proses demokratisasi
melalui desentralisasi dan otonomi daerah yang sedang berlangsung menghasilkan
keleluasaan daerah untuk mengembangkan inisiatif-inisiatif perubahan yang berbasis
keunggulan lokal. Meskipun berbagai deretan persoalan dan tantangan sekaligus
ancaman juga bermunculan. Salah satu diantaranya adalah maraknya kelompok-
kelompok kekerasan di perkotaan dan pedesaan sebagai kelompok penekan yang
cenderung mengedepankan prilaku intoleran terhadap kelompok masyarakat lain yang
berbeda paham dan kepentingan.
Teori tentang kelompok kekerasan berkembang disebabkan oleh dinamika
masyarakat yang berubah secara terus menerus. Menurut Masaaki dan Rozaki, yang
menjelaskan kasus Indonesia, bahwa pada masa Orde Baru segala bentuk kelompok
Universitas Indonesia
18
penekan yang ada di masyarakat dapat dirangkul oleh pemerintah dengan cara
melembagakan mereka serta mendapatkan dukungan dari tentara dan polisi atau dengan
cara penindasan. Namun, pasca Orde Baru, beragam komponen masyarakat menuntut
keadilan yang ditafsirkannya sendiri atas dasar kepentingan etnis, agama, adat, politik,
ekonomi, kelas, dan lain sebagainya. Tuntutan tersebut dilakukan untuk memenuhi
beragam kepentingan melalui cara berkelompok dan dengan memanfaatkan instrumen
kekerasan untuk menebar ancaman kelompok yang berbeda kepentingannya. Masaaki
dan Rozaki menyebut kelompok yang berperan, setelah rezim Orde Baru, sebagai
kelompok yang bersaing memperebutkan posisi untuk menjadi Tuhan (struggle of
Gods).34
Maraknya kelompok-kelompok kekerasan di tengah masyarakat menjadi salah
satu ciri yang menonjol di Indonesia pasca jatuhnya pemerintah Orde Baru. Mereka
hadir dengan memanfaatkan ketidakstabilan negara dalam mengatur politik keamanan
masyarakat. Disamping itu, bukan hanya menghiasi ruang publik dengan aksi-aksi
jalanan yang brutal, namun juga memanfaatkan arus demokratisasi dengan cara tak
sedikit para tokohnya berhasil masuk di jabatan formal pemerintahan. Kehadiran
mereka tak jarang menebar teror dan ancaman, namun kerap pula dibutuhkan dan
diperebutkan oleh kalangan tertentu yang berkepentingan.
Pada saat kebijakan otonomi daerah diberlakukan, peran para kelompok
kekerasan seolah mengganti peran negara dalam pengaturan politik keamanan di tengah
masyarakat. Jaringan yang mereka miliki melewati batas kuasa politik di ranah negara
dan masyarakat. Sejak Indonesia modern belum lahir, kelompok kekerasan memiliki
akar tradisi dan dinamikanya sendiri tergantung konstelasi politik yang berkembang. Di
dalam kelompok kekerasan itu selalu saja muncul aktor utama yang saling silih berganti
dalam ritus kekerasan dengan fase zaman yang terus bergerak. Praktek negara modern
(modern state) di Indonesia, baik negara kolonial (colonial state) maupun negara bangsa
(nation state) selalu memberi ruang gerak yang luas kepada kelompok kekerasan non-
negara (non state violence). Boleh disebut bahwa negara Indonesia selalu membiarkan
tumbuh kembangnya kekerasan non-negara walau terkadang mencoba mengendalikan
kekerasan tersebut. Jago, warok, blater, jawara, dan preman tidak pernah hilang dari
kancah sejarah Indonesia, malah mereka kadang kala menjadi pemain politik yang
mempesona dan menarik perhatian banyak peneliti.
34
Okamoto Masaaki & Abdur Rozaki. (Ed.). 2006. Kelompok……. Op. Cit. hal. xvi.
Universitas Indonesia
19
35
Ibid.
36
Ibid.
Universitas Indonesia
20
Universitas Indonesia
21
daya berjalan sesuai dengan aturan mereka sendiri ketimbang menurut aturan-
aturan yang dilontarkan dalam retorika resmi, pernyataan kebijakan, dan
peraturan perundang-undangan yang dibuat di ibukota atau yang dikeluarkan
oleh penguasa yang kuat).
41
Ibid. hal. 235-238.
42
Ibid. hal. 9
43
Ibid.
Universitas Indonesia
22
istilah bossism yang merefleksikan strong state dibandingkan strong society. Ia melihat
bosisme menunjukkan peran elit lokal sebagai predatory broker politik yang memiliki
kontrol monopolistik terhadap kekuatan paksaan dan sumber daya ekonomi dalam
wilayah teritorial mereka. Bosisme beroperasi dalam bayangan rezim daerah yang
dicirikan oleh persekutuan birokrat, bos-bos partai, pengusaha, militer, dan preman.44
Dalam kasus di Filipina, Sidel menyimpulkan bahwa ukuran dan pentingnya
luas kepemilikan tanah pribadi bukan sumber utama kekuasaan dan kekayaan. Sumber-
sumber negara dan modal perdagangan lebih menonjol. Banyak orang kuat lokal yang
menjadi kaya justru setelah memangku jabatan. Kekayaan tersebut diperoleh melalui
akses ekonomi, berupa bermacam-macam keistimewaan yang diberikan pejabat terpilih,
yang ‘berhutang budi’ atas jasa mereka dalam memobilisasi dukungan melalui
penggunaan kekerasan dan intimidasi, pembelian suara pemilih, dan kecurangan dalam
pemilihan.
Mengakarnya orang kuat lokal di Filipina lebih mewakili keganjilan struktur
kelembagaan negara, bukan hubungan patron-klien atau kekuasaan dan oligarki
berdasarkan kepemilikan tanah. Ini berkembang sejak diperkenalkannya perubahan
politik pada awal abad ke-20, berupa pemilihan kepala daerah maupun anggota
parlemen di tingkat nasional maupun lokal, memberikan kesempatan para pejabat
terpilih untuk tetap dapat menggunakan diskresi atas penegakan hukum lokal, pekerjaan
umum, perpajakan, dan sebagainya. Berbeda dengan kesimpulan Migdal, orang kuat
lokal di Filipina menurut Sidel, justru terbukti mendukung perkembangan kapitalisme,
antara lain ditandai dengan tumbuhnya kegiatan-kegiatan ekonomi di tingkat lokal.45
Sementara itu, cikal-bakal bosisme lokal di Thailand pada masa pemerintahan
militer dan berlakunya bureaucratic polity hingga 1970-an secara kelembagaan
mendapat hambatan untuk tumbuh. Bosisme lokal tumbuh subur ketika terdapat
pergeseran dari parlemen yang lemah, yang ditandai oleh dominasi militer, menuju
parlemen yang lebih kuat. Perkembangan ini menarik para tokoh Bangkok terkemuka
yang memiliki sumber daya keuangan besar dan basis dukungan di pedesaan untuk
masuk ke ranah politik. Ditandai oleh suburnya chao pao (jao poh), mereka
memonopoli kegiatan ekonomi di daerah kekuasaannya yang ditetapkan dengan longgar
dari sisi akumulasi pemilik kekayaan, pendapatan konsensi, kontrak dan waralaba, yang
44
Dikutip dari John T. Sidel. “Bosisme ......” Op. Cit. hal. 72-74.
45
Dikutip dari John T. Sidel. “Bosisme ......” Op. Cit. hal. 76-80.
Universitas Indonesia
23
diperoleh dari negara dan keterlibatan dalam kegiatan-kegiatan illegal. Mereka menjadi
pialang suara (hua khanaen) dalam pemilu, memobilisasi suara pemilih kepada patron
yang berbasis di Bangkok, klien-klien lokal, atau diri mereka sendiri melalui gabungan
koersi, pembelian suara dan kecurangan pemilihan. Chao pho ini mempunyai
kemampuan memonopoli secara efektif dalam organisasi kekerasan, baik di dalam
maupun di luar negara.46
Hambatan bagi berkembangnya bos lokal di Indonesia bertahan selama
kekuasaan Soeharto. Pemerintah Orde Baru melakukan rotasi pejabat sipil dan militer di
daerah secara teratur, sehingga mencegah para pejabat di tingkat lokal ini untuk
membangun wilayah kekuasaan lokal tersendiri yang otonom terhadap pusat. Otonomi
daerah yang diterapkan, terutama berdasarkan UU Nomor 5 Tahun 1974 sesungguhnya
bersifat sentripetal. Meskipun demikian, kebutuhan pusat terhadap aktor-aktor lokal
untuk memelihara kekuasaannya pada praktiknya telah memunculkan mafia-mafia
lokal, dengan otonomi terbatas, terutama preman-preman dari kelompok yang erat
kaitannya dengan rezim. Kesempatan yang demikian luas hadir ketika Indonesia
mengalami transisi dari pemerintahan otoritarian Orde Baru pada tahun 1998. Pemilu
1999 dan desentralisasi memperlebar kemungkinan akumulasi kekuasaan oleh mafia,
jaringan dan marga.47
Temuan penelitian Sidel mengenai berkembangnya bos lokal di Asia Tenggara
menjelaskan beberapa catatan penting berikut. Pertama, orang kuat lokal memperoleh
kekuasaan dan kekayaan bukan dari kepemilikan tanah atau kekayaan pribadi,
melainkan dari sumber-sumber negara yang diakumulasi setelah memegang kekuasaan.
Hubungan patron-klien bukan lagi penyangga utama kekuasaan mereka. Perluasan
kekerasan dan kontrol terhadap pejabat politik yang dipilih adalah sumber kekuasaan
mereka. Kontrol tersebut merupakan kunci bagi akumulasi sumber daya manusia, alam,
dan keuangan setempat, melalui diskriminasi penegakan hukum dan aturan, diskresi ijin
monopoli, kontrak, penggunaan lahan, dan sebagainya. Berbeda dengan Migdal, dari
kepialangan politik lah kekuasaan diperoleh serta dapat memberikan kesempatan bagi
akumulasi kekayaan, dan bukan sebaliknya.48
Kedua, hubungan antara orang kuat dengan masyarakat luas di daerah
kekuasaannya bukan ditentukan oleh “sisi permintaan”, yakni kebutuhan klien atas
46
Ibid. hal. 81-83.
47
Ibid. hal. 86-89.
48
Sidel. “Philippine .....”. 1997. hal. 962.
Universitas Indonesia
24
patron. Hubungan lebih ditentukan oleh “sisi persediaan” berupa struktur negara di
tingkat nasional dan ekonomi tingkat lokal.
Ketiga, berbagai praktik pembelian suara, kecurangan dalam pemilihan, atau
pengumpulan kekayaan pribadi melalui cara-cara illegal dilakukan dengan cara
pemaksaan, dibandingkan hubungan timbal-balik paternalistik atau klientelistik.
Kepentingan orang kuat lokal menjadi sandaran dalam hubungan antara mereka dengan
masyarakat luas.49
Tabel 1.1
Ciri-ciri Bosisme di Asia Tenggara Menurut Sidel
49
Sidel. “Bosisme….. Op. Cit. hal. 101.
50
Ibid. hal. 85.
Universitas Indonesia
25
Universitas Indonesia
26
mereka tidak terlepas dari struktur masyarakat dan struktur negara itu sendiri. Dalam
struktur masyarakat yang bersifat paternalistik, orang yang mempunyai pengaruh
cenderung akan dihormati masyarakat. Sedangkan struktur negara memungkinkan
terciptanya satu kondisi bagi muncul, bertahan, dan berhasilnya bos lokal tersebut. Di
Sumatera Utara, kemunculan bos lokal itu berasal dari salah satu organisasi yang sering
melakukan praktik kekerasan dalam aktivitasnya diantaranya adalah Pemuda Pancasila.
Namun, bos lokal itu tidak dapat mengandalkan kekuatan individu semata karena
sumber-sumber kekuasaan tersebar di antara kelompok-kelompok masyarakat lainnya.
Fenomena munculnya bos lokal di Sumatera Utara terkait dengan kekuatan kelompok
yang mampu membentuk jaringan kepada sumber-sumber daya di tingkat lokal.
Dari kerangka tersebut, penelitian ini akan menjelaskan cara individu dan tokoh
di Sumatera Utara dapat muncul sebagai bos lokal dalam kekuatan kelompok kekerasan.
Penelitian ini akan membuktikan asumsi bahwa fenomena munculnya bos lokal di
Sumatera Utara tidak terkait dengan lemahnya negara, tetapi terkait dengan, dalam
bahasa Sidel, beroperasi dalam bayangan rezim daerah yang dicirikan oleh persekutuan
bos-bos partai, pengusaha, militer, dan preman. Mereka ini memiliki kontrol
monopolistik terhadap kekuatan pemaksaan dan sumberdaya ekonomi dalam wilayah
teritorial tertentu. Teori itu akan menganalisis kasus peran Pemuda Pancasila dalam
pemilihan Gubernur Provinsi Sumatera Utara tahun 2008.
53
Nathan G. Quimpo. 2007. “Trapo Parties and Corruption”. dalam KASAMA. Vol. 21 No. 1. Januari-
March.
Universitas Indonesia
27
Universitas Indonesia
28
bawah patron tertinggi itu, terdapat sejumlah klien yang merupakan patron kecil bagi
sejumlah klien. Seorang klien dari patron tertinggi juga menjadi seorang patron bagi
beberapa orang klien. Dalam bentuk piramid itu, ada beberapa patron kecil yang
menjadi klien patron tertinggi dan mempunyai beberapa klien sendiri.55
Maswadi Rauf menjelaskan tentang faktor penting dalam kelompok patron-klien
adalah hubungan kekuasaan. Patron memiliki sumber daya berupa kekuasaan, materi,
maupun kemampuan yang tidak dimiliki oleh para klien. Kemampuan patron untuk
memberikan perlindungan dan kebutuhan hidup kepada orang lain menjadi penyebab
orang lain itu bersedia menjadi kliennya.
“Patron adalah seorang yang mempunyai kedudukan yang tinggi dan terpandang
dalam masyarakat dan pemerintahan sehingga mempunyai pengaruh terhadap
sejumlah besar orang lain dalam masyarakat. Di samping itu mempunyai
sejumlah harta benda dan kuat secara finansial. Dengan modal ini seorang patron
dapat menarik sejumlah klien yang membutuhkan bantuannya. Sebaliknya para
klien membalas pemberian patron dengan memberikan dukungan dan pelayanan
kepada patron”.
55
Ibid. hal 96. Lihat juga penjelasan Maswadi Rauf. “Konsensus Politik….”. hal. 99.
Universitas Indonesia
29
Salah satu konsep penting dalam pembahasan Ilmu Politik adalah mengenai
kekuasaan. Individu atau kelompok yang memiliki kepentingan apapun selalu berkaitan
dengan kekuasaan. WA Robson menjelaskan bahwa ilmu politik mempelajari
kekuasaan dalam masyarakat, yaitu sifat hakiki, dasar, proses-proses, ruang lingkup,
dan hasil-hasil. Fokus perhatian tertuju pada perjuangan untuk mencapai atau
56
Maswadi Rauf. Op. Cit. hal. 100.
57
Dwigth King. 1982. “Indonesia’s New Order A Bureaucratic Polity, A New Patrimonial Regime or
Bureaucratic Authoritarian Regime: What Difference Does It Make?. dalam Benedict R.O.G Anderson
dan Audrey Kahin (eds). Interpreting Indonesian Politics: Thirteen Contributions to The Debate. Ithaca.
New York: Cornell University Press (Cornell Modern Indonesia Project Publication 62).
Universitas Indonesia
30
58
W.A. Robson. 1954. The University of Teaching of Social Sciences: Political Science. Paris: Unisco.
hal. 24.
59
Robert MacIver. 1961. The Web of Government. New York: The Macmillians Company. hal. 22.
60
Miriam Budiardjo. 2008. Edisi Revisi. Dasar-Dasar Ilmu Politik. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka
Utama. hal. 17-18.
61
Charles F. Andrain. 1992. Kehidupan Politik dan Perubahan Sosial. Yogyakarta: Tiara Wacana. hal.
130.
62
Lihat Deliar Noer. 1965. Pengantar ke Pemikiran Politik. Medan: Dwipa. hal. 56.
Universitas Indonesia
31
63
David Easton. 1965. A System Analysis of Political Life. New York: John Wiley and Son. hal. 278.
64
Renske Doorenspleet. 2005. Democratic Transitition: Exploring the Structural Sources of the Fourth
Wave. London: Lynne Rienner Publisher Inc. hal. 15.
Universitas Indonesia
32
Tipe Sumber
Contoh Sumber Daya Motivasi untuk Mematuhi
Daya
Fisik Senjata, senapan, bom, rudal B “berusaha menghindari cedera
fisik” yang disebabkan oleh A
Ekonomi Kekayaan, pendapatan, kontrol B “berusaha memperoleh kekayaan”
atas barang dan jasa dari A
Normatif Moralitas, kebenaran, tradisi, B “mengakui bahwa A mempunyai
relijius, legitimasi, wewenang hak moral untuk mengatur” prilaku
B
Personal Karisma pribadi, daya tarik, B “mengidentifikasi diri merasa
persahabatan, popularitas tertarik” dengan A
Ahli Informasi, pengetahuan, B “merasa bahwa A mempunyai
intelejensi, keahlian teknis pengetahuan dan keahlian yang
lebih”
Sumber: Charles F. Andrain. 1992. Kehidupan Politik dan Perubahan Sosial. Yogyakarta: Tiara Wacana.
hal. 132.
Universitas Indonesia
33
dalam masyarakat; (2) hak memerintah berasal dari Tuhan, Dewa, atau Wahyu.
Kewenangan memerintah berasal dari kekuatan yang sakral; (3) hak memerintah berasal
dari kualitas pribadi sang pemimpin, baik penampilannya yang agung dan dirinya yang
populer maupun karena memiliki karisma; (4) hak memerintah berasal dari sumber yang
bersifat instrumental, seperti keahlian dan kekayaan; dan (5) hak memerintah berasal
dari peraturan perundang-undangan yang mengatur prosedur dan syarat-syarat menjadi
pemimpin pemerintahan.67
Sumber kewenangan yang disebut terakhir adalah kewenangan yang bersifat
prosedural, yaitu hak memerintah berdasarkan sumber-sumber legal atau peraturan
perundang-undangan yang bersifat tertulis maupun tidak tertulis. Sedangkan empat
sumber yang disebut pertama merupakan kewenangan yang bersifat substantif, yaitu
hak memerintah berdasarkan faktor-faktor yang melekat pada diri pemimpin, seperti
tradisi, sakral, kualitas pribadi, dan instrumental. Semakin kompleks struktur
masyarakat suatu negara maka tipe sumber kewenangan yang digunakan cenderung
bersifat prosedural. Dan sebaliknya, di masyarakat yang strukturnya masih sederhana
cenderung menggunakan tipe kewenangan substansial karsena kehidupan lebih banyak
berdasarkan pada tradisi, kepercayaan kepada kekuatan supranatural, dan kesetiaan pada
tokoh atau pemimpin.68
Teori sumber-sumber kekuasaan dari Miriam Budiarjo yang digunakan dalam
penelitian ini adalah kedudukan dan kekayaan. Sedangkan teori sumber-sumber
kekuasaan yang dikemukakan Andrain yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah
fisik dan ekonomi. Sumber-sumber kekuasaan yang dipilih tersebut akan digunakan
untuk menjelaskan sumber-sumber kekuasaan yang dimiliki oleh Pemuda Pancasila
sehingga bisa menjadi salah satu organisasi pemuda terbesar dan berpengaruh dalam
konstelasi politik di Sumatera Utara. Sumber kekuasaan berupa fisik, kedudukan, dan
kekayaan terkait dengan asumsi awal yang diamati tentang aktivitas organisasi Pemuda
Pancasila Sumatera Utara yang dikenal melakukan praktik kekerasan dan uang oleh
sebagian masyarakat Sumatera Utara.
Selanjutnya, sumber-sumber kekuasaan tersebut akan dapat dibedakan dari cara
menggunakan kekuasaan. Dalam kaitannya dengan penggunaan kekuasaan, Miriam
Budiardjo menjelaskan esensi dari kekuasaan adalah hak mengadakan sanksi. Cara
67
Ibid. hal. 194-197.
68
Ibid. hal. 87-88.
Universitas Indonesia
34
69
Miriam Budiardjo. 2008. Edisi Revisi. Dasar-Dasar… hal. 61-62.
70
Andrain. Op. Cit. hal. 137-138.
Universitas Indonesia
35
Tabel 1.3
Kekuasaan Koersif dan Konsensual
Tipe Sumber
Koersif Konsensus
Daya
Fisik Cidera fisik, pemenjaraan, kematian Memberi jalan memperoleh
persenjataan
Ekonomi Tidak diberi pekerjaan, penerapan Memberi jalan memperoleh
denda, kehilangan kontrak kekayaan
Normatif Pengucilan, larangan memangku Memberi jalan memperoleh
jabatan wewenang dan simbol-
simbol kebenaran moral
Personal Hilangnya dukungan kelompok, Pemberian dukungan
persahabatan, popularitas kelompok
Ahli Pemberian informasi yang Penyediaan ilmu
menguntungkan orang lain, pengetahuan dan
penyebaran informasi yang merugikan keterampilan
orang lain
Sumber: Andrain. 1992. Kehidupan Politik dan Perubahan Sosial. Yogyakarta: Tiara Wacana. hal. 140.
Antonio Gramsci menjelaskan ada dua cara kekuasaan itu dipraktekkan, yaitu
dominasi atau penindasan dan hegemoni. Cara pertama kekuasaan dibangun dengan
cara-cara represi dan kekerasan. Seorang individu, kelompok atau negara apabila ingin
71
Maswadi Rauf. 2005. Konsensus Politik…… hal. 11-12.
Universitas Indonesia
36
Teori politik lokal menjelaskan bahwa politik di tingkat lokal bukan hanya
berurusan pada soal-soal administrasi publik atau menekankan pada hubungan legal-
formal pemerintahan semata. Meskipun memiliki keterkaitan, namun pandangan legal-
formal seperti itu memiliki keterbatasan-keterbatasan untuk memahami politik lokal
72
Antonio Gramsci. 1971. Selections from Prison Notebooks. London: Lawrence and Wishart. Dikutip
dalam Muhadi Sugiono. 1999. Kritik Gramsci Terhadap Pembangunan Dunia Ketiga. Yogyakarta:
Pustaka Pelajar. Lihat juga Roger Simon. 2000. Gagasan-gagasan Politik Gramsci. Yogyakarta: Insist
Press.
Universitas Indonesia
37
secara lebih utuh. Politik lokal mencakup soal yang luas, misalnya aspek ekonomi,
politik, dan sosial. Karakteristiknya relatif terbuka, beragam, dan kompetitif. 73
Teori yang digunakan sebagai pendekatan analisis untuk studi ini adalah studi
politik lokal yang memberikan perhatian pada perspektif mikro yaitu pemahaman
prilaku (behaviour) elit lokal ketika melaksanakan wewenang otonomi daerah dalam
kehidupan sehari-hari. Pada tingkat realitas, implementasi politik lokal lebih banyak
diwarnai oleh tawar menawar (bargaining) dari koalisi antara elit lokal dan aktor-aktor
tertentu di dalam masyarakat. Kekuasaan pemerintah lokal dilakukan lebih untuk
menjaga keseimbangan antara kebutuhan lokal dalam pelaksanaan peningkatan
kesejahteraan publik, individu, dan kelompok dengan kemampuan pemerintah lokal
dalam mengakomodasi tuntutan tersebut. Studi ini memberikan pemahaman bahwa
pemerintah lokal harus berada di antara semua kelompok yang memiliki kepentingan
dan keinginan yang beragam dan terkadang agak sulit untuk diberi ruang kebijakan.
Studi politik lokal yang menguraikan tentang kerumitan hubungan antara
kepentingan dan kebijakan adalah pendekatan regim kota (urban regime) yang
diistilahkan oleh Clarence Stone. Menurut Stone urban regim sebagai ”The informal
arrangements by which public bodies and private interest function together in order to
be able to make and carry out governing decisions”. 74 (Pengaturan informal di mana
kepentingan badan-badan publik dan swasta berfungsi bersama untuk membuat dan
melaksanakan keputusan-keputusan pemerintah).
Stone menjelaskan bahwa konsep regim kota bermula dari sebuah model
produksi sosial dari tata kelola pemerintahan kota, yaitu pekerjaan yang bukan berasal
dari kontrol dan perlawanan, tetapi hasil dari satu keuntungan dan peleburan yang
didasari atas kapasitas untuk bertindak. Konsepsi yang penting dari Stone adalah bahwa
regim kota merupakan hasil dari usaha-usaha yang terkoordinasi, kesepakatan yang
dihasilkan adalah buah dari kesepahaman yang tidak terucapkan (secara diam-diam)
antara kepentingan publik dan kepentingan swasta tentang bagaimana keputusan akan
dilaksanakan. Dalam kenyataannya, formasi regim kota membutuhkan pengelolaan
konflik dan penciptaan respon yang adaptif dalam perubahan sosial. Karena itu, faktor
73
Studi dengan pendekatan tersebut diantaranya lihat Gerry Stoker. 1991. The Politics of Local
Government. London: MacMillan Press Ltd. hal. 232.
74
Clarence Stone. 1989. Regime Politics: Governing Atlanta, 1946-1988. Lawrance: University Press of
Kansas. hal. 6. Lihat juga Chusnul Mariyah. 1998. “Urban Political Conflict in Australia: The
Redevelopment of Inner Sydney”. Thesis. Sydney: Department of Government The University of Sydney.
hal. 31.
Universitas Indonesia
38
kuncinya adalah pengelolaan internal politik tentang bangunan koalisi antara sektor
publik dan swasta. 75 Sebagaimana juga yang dikatakan oleh Mollenkopf bahwa
pemahaman interaksi sistem politik lokal harus dilihat sebagai interaksi kreasi yang
cerdas, bangunan koalisi yang sensitif terhadap kepentingan-kepentingan swasta dan
pemerintah lokal untuk menampung peluang-peluang dalam sektor publik.76
Terkait dengan penjelasan kepentingan, teori politik lokal jika dilihat dalam
konteks Indonesia pada saat penerapan desentralisasi, sering terjadi semacam
kepentingan terselubung (hidden autonomy) dalam penyelenggaraan pemerintahan. 77
Sebagaimana yang dijelaskan Syarif Hidayat sebagai berikut,
Praktik hidden autonomy yang dimaksudkan Hidayat terkait dengan perilaku elit
pemerintah daerah dalam mempraktikkan kebijakan desentralisasi dan otonomi daerah
itu sendiri pada masa Orde Baru. Meskipun secara legal-formal wewenang yang
diberikan kepada pemerintah daerah sangat dibatasi, tetapi realitasnya ternyata kapasitas
elit pemerintah daerah dapat memaksimalkan atau bahkan memanipulasi kelemahan-
75
Ibid. hal. 31.
76
John Mollenkopf. 1992. “How to Study Urban Political Power from A Phoenix in the Ashes: The Rise
and Fall The Koch Coalition in New York City Politics”. in The City Reader. 2000. Edited by Richard T.
LeGates & Frederic Stout. 2nd ed. New York: Algimantas Kezys and Loyola University Press. hal. 228.
77
Syarif Hidayat menjelaskan hal tersebut dalam penelitian Disertasi Doktoral tahun 1999 dengan lokasi
penelitian di Jawa Barat (Bandung Utara mengenai Tata Ruang dan Proyek Properti) dan Sumatera Barat
(Pembangunan Jalan Padang By Pass). Lihat Syarif Hidayat. 1999. “Decentralised Politics in A
Centralised Political System: A Study of Local State Power in West Java and West Sumatera in New
Order Indonesia.” Masyarakat Indonesia: Majalah Ilmu-Ilmu Sosial. Jakarta: LIPI. hal. 151-161.
78
Syarif Hidayat. “Desentralisasi dan Otonomi Daerah Masa Orde Baru (1966-1998)”. dalam Soetandyo
Wignosubroto dkk. 2000. Pasang Surut Otonomi Daerah: Sketsa Perjalanan 100 Tahun. Jakarta: Institute
for Local Development dan Yayasan Tifa. hal. 137.
Universitas Indonesia
39
kelemahan dari aturan formal yang ada. Untuk memahami hidden autonomy itu,
Hidayat, membagi dua kategori yaitu kepentingan publik (public interest) dan
kepentingan individu (individual interest).79
Hidayat kemudian menjelaskan bahwa bentuk kepentingan individual terasa
lebih rumit dibanding dengan kepentingan publik.80 Kepentingan individu elit lokal
selalu ikut serta berperan di arena publik baik secara terbuka maupun tersembunyi.
Individu elit lokal bukanlah suatu kekuatan utuh dengan kepentingan yang homogen.
Berbagai kepentingan individu elit lokal acapkali memiliki konsekuensi yang tidak
mudah dipahami ketika satu kebijakan ditetapkan yang bertentangan dengan
kepentingan publik. Bentuk kepentingan individu selalu bersifat sangat kompleks, kait
mengait satu dengan lainnya, dan sangat relatif serta konstkestual sifatnya. Dengan kata
lain, meminjam rumusan Judith Goldstein, antara kepentingan dan kebijakan terdapat
ruang ”ketidakpastian”.81 Jadi meskipun seorang pelaku mengetahui kepentingannya
dengan baik belum tentu dia mengetahui kebijakan yang paling tepat untuk itu.
Untuk memfokuskan studi ini, berdasarkan teori yang dikemukakan Syarif
Hidayat tentang hidden autonomy, maka yang akan digunakan adalah pendekatan
kepentingan individu untuk menganalisa kepentingan individu tokoh Pemuda Pancasila
dalam pemilihan Gubernur Provinsi Sumatera Utara tahun 2008. Prilaku individu yang
diamati bukan berasal dari elit pemerintah daerah, tetapi individu elit lokal yang
mengusai organisasi Pemuda Pancasila di Sumatera Utara. Dalam hal ini, kepentingan
individu dan kelompok berfungsi untuk memetakan pelaku yang mempertautkan antara
kepentingan mereka dengan alat-alat pencapaian tujuan yang mungkin mereka
dapatkan. Para tokoh Pemuda Pancasila Sumatera Utara merupakan salah satu
kelompok individu elit lokal yang berperan dalam pemilihan Gubernur Provinsi
Sumatera Utara yang dilakukan secara langsung tahun 2008.
Untuk menghindari simplifikasi permasalahan, penelitian ini memfokuskan
perhatian pada bentuk-bentuk kepentingan individu yang relatif dapat diamati dan
ditelesuri kebenarannya. Dari tiga bentuk kepentingan individu elit lokal yang ikut
mewarnai konstelasi pemilihan Gubernur Provinsi Sumatera Utara, penelitian ini ingin
membahas dua di antara tiga kepentingan elit lokal tersebut, yaitu kepentingan ekonomi
79
Ibid. hal. 133.
80
Ibid. hal. 137.
81
Judith Goldstein. 1993. Ideas, Interests and American Trade Policy. Ithaca and London: Cornell
University Press. hal. 10.
Universitas Indonesia
40
dan kepentingan sponsor politik. Kedua pendekatan tersebut dipilih untuk menguraikan
adanya kepentingan individu kader dan tokoh Pemuda Pancasila dalam memperoleh
sumber-sumber daya lokal dengan cara ikut berperan dalam pemilihan Gubernur
Provinsi Sumatera Utara tahun 2008.
1.6.5. Teori Otonomi Daerah, Demokrasi, dan Pemilihan Kepala Daerah Langsung
82
Lihat UU No. 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah, Bab I Ketentuan Umum Pasal 1 ayat 6
dan 7. Dari pengertian tersebut, maka istilah otonomi daerah lebih banyak digunakan dalam penelitian ini
karena membahas tentang kewenangan di daerah otonom.
Universitas Indonesia
41
dan Manor menjelaskan tentang desentralisasi pada akhirnya bukan berarti memiliki
makna demokrasi.83 Agar keterkaitan di antara keduanya secara eksplisit ada, mereka
lalu mengembangkan apa yang disebut sebagai democratic decentralization, yang lebih
dirujuk pada adanya desentralisasi kekuasaan atau devolusi dari pemerintah pusat
kepada daerah. 84
Pandangan seperti ini tidak lepas dari pokok perhatian Rodinelli yang lebih
terfokus pada desentralisasi administrasi daripada desentralisasi politik. Pandangan
Rodinelli itu berbeda dengan apa yang dikemukakan oleh Brian C. Smith yang melihat
peran penting desentralisasi di dalam proses demokratisasi. Dalam perspektif politik,
Smith mengatakan desentralisasi adalah the transfer of power, from top level to lower
level, in a territorial hierarchy, which could be one of government within a state, or
office within a large organization85, (pengalihan kekuasaan, dari tingkat atas ke tingkat
yang lebih rendah, dalam hierarki teritorial, yang bisa menjadi salah satu pemerintah
dalam sebuah negara, atau kantor dalam organisasi besar).
Perspektif politik dari desentralisasi yang dikemukakan Smith tersebut telah
memberikan ide devolution of power sebagai substansi utama dari desentralisasi,
kendati devolusi kekuasaan itu tidak hanya dibatasi pada struktur pemerintahan.
Desentralisasi sejatinya bukan hanya memberikan otonomi kepada pemerintah daerah,
tetapi juga harus memperkuat peran dan kedudukan masyarakat sebagai pemilik
kedaulatan dan pemilik otonomi dalam pengambilan keputusan di tingkat lokal.
Sedangkan hubungan antara masyarakat dan negara menunjukkan akses yang sama
dalam ikut serta dan mempengaruhi proses kebijakan. Interaksi di antara kelompok
masyarakat lokal tersebut akan terjadi jika adanya jaminan political equality,
accountability dan responsiveness dalam penyelenggaraan politik desentralisasi.86
Pandangan Smith semakin menguatkan kaitan antara desentralisasi dan
demokratisasi. Di dalam literatur tentang demokrasi sendiri, desentralisasi politik sering
83
Lihat Richard C. Crook and James Manor. 2000. Op. Cit.
84
Perdebatan mengenai definisi desentralisasi lihat Syarif Hidayat. 2000. Realitas Otonomi Daerah dan
Tantangan Masa Depan. Jakarta: Pustaka Quantum. Di bagian lain dari penjelasan desentralisasi ada
pembahasan mengenai desentralisasi fiskal atau yang menyangkut tentang keuangan antara pemerintah
pusat dan daerah. Pandangan yang menyatakan tentang desentralisasi sebagai administrasi dapat dilihat
dalam Dennis A. Rodinelli. 1990. “Decentralization, Terriotorial Power and the State: a Critical
Response”. Development and Change. 1 (3). hal. 493. Baca juga G. Shabir Cheema dan Dennis A.
Rodinelli. Ed. 1983. Decentralization and Development. Policy Implementation in Developing Countries.
Beverly Hills: Sage Publications. hal. 18.
85
Brian C. Smith. 1985. Decentralization: The Territorial Dimension of the State. London: Allen &
Unwin. hal. 21.
86
Ibid. hal. 24-30.
Universitas Indonesia
42
87
Jan-Erik Lane and Svante Ersson. 2003. Democracy: A Comparative Approach. Routledge: Taylor &
Francis Group. hal. 10.
88
Lihat Robert A. Dahl. 1971. Poliarchy: Participation and Oppsition. New Haven: Yale University
Press. hal. 2-4; Arend Lijphart. 1999. Pattern of Democracy: Government Forms and Performance in
Thirty-Six Countries. New Haven: Yale University Press. hal. 48. Pandangan kedua ahli itu tentang
demokrasi memperoleh dukungan yang cukup luas dan sering menjadi rujukan para ilmuwan ketika
berbicara mengenai demokrasi. Menurut Dahl, dalam kerangka yang lebih empiris lagi, ada dua dimensi
teoritis demokratisasi, yaitu dimensi kompetisi dan dimensi inklusivitas.
89
Brian C. Smith. 1985. Op. Cit. hal. 24.
90
Daniel Arghiros. 2001. Democracy, Development and Decentralization in Provincial Thailand. Surrey:
Curzon. hal. 21.
Universitas Indonesia
43
91
Ibid. hal. 20-38.
92
William Case menjelaskan substantive democracy sebagai praktik demokrasi yang tidak saja ditandai
oleh eksisnya institusi demokrasi (democratic institutions), tetapi juga ditunjukkan oleh inherennya
prilaku demokrasi (democratic behaviour) baik pada tataran institusi, aparat pelaksana institusi itu
sendiri, maupun pada tataran masyarakat (civil society). Bila praktik demokrasi hanya sampai pada
menghadirkan dan membenahi institusi demokrasi, maka tipe seperti ini lebih bersifat demokrasi
prosedural (procedural democracy). William Case. 2002. Politics in Southeast Asia: Democracy or Less.
Mitcaham. Surrey: Curzon. hal. 12-16.
93
Mengenai pengertian prilaku demokrasi lihat Vincent Ostrom. 1991. The Mining of American
Federalism: Constituting Self-Governing Society. San Fransisco: ICS Press; O.W. Oyugi. 2000.
“Decentralizationfor Good Governance and Development: The Unending Debate”. Regional
Development Dialoge. Vol. 21. No. 1. Spring. Ostrom dan Oyugi menjelaskan bahwa untuk dapat
mewujudkan sistem pemerintahan yang demokratis, tidak cukup hanya dengan menghadirkan dan
membenahi democratic institutions (institusi demokrasi), tetapi harus disertai dengan adanya democratic
behavour yang akan menghidupi demokrasi. Prilaku demokrasi harus dilakukan oleh tataran institusi,
aparat pelaksana, dan masyarakat.
94
Lihat beberapa penelitian yang dilakukan oleh Pusat Penelitian Ekonomi LIPI tentang bisnis dan politik
dalam pemilihan kepala daerah seperti: Syarif Hidayat dan Hari Susanto. Penyunting. 2007. Bisnis dan
Politik di Tingkat Lokal: Pengusaha, Penguasa & Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah Pasca
Pilkada. Jakarta: P2E LIPI; Syarif Hidayat dan Endang S. Soesilowati. Penyunting. 2008. Bisnis dan
Politik di Tingkat Lokal: Pengusaha, Penguasa & Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah Pasca
Pilkada di Provinsi Gorontalo. Jakarta: P2E LIPI.
Universitas Indonesia
44
fakta bahwa proses pemilihan kepala daerah tidak hanya melibatkan dua kelompok, para
calon dan pemilih. Kekuatan-kekuatan yang ada di dalam masyarakat juga terlibat dan
berusaha memperjuangkan kepentingan-kepentingannya sendiri. Dengan demikian,
kepentingan yang perlu diperjuangkan bukan hanya kepentingan pemilih, yang tentu
saja tidak homogen. Kepentingan-kepentingan lain juga mengemuka, mulai dari
kepentingan para calon, para pendukung, dan para elit masyarakat.
Untuk menganalisa peran tokoh Pemuda Pancasila pada pemilihan Gubernur
Provinsi Sumatera Utara maka digunakan perspektif desentralisasi politik dan
demokrasi yang dikemukakan Brian C. Smith. Konsepsi Smith tentang political equality
membantu merumuskan kerangka analisis tentang perlunya keterlibatan langsung rakyat
dalam proses-proses politik di tingkat lokal untuk memperkuat konsolidasi demokrasi.
Political equality tersebut akan dilihat dalam kondisi sebagian besar masyarakat yang
relatif belum sadar akan arti politik dalam kehidupan sehari-hari, maka sulit dihindari
adanya mobilisasi massa pendukung melalui tokoh panutan dan organisasi yang
dipimpinnya serta melakukan kekerasan dan politik uang.
Pelaksanaan pemilihan gubernur secara langsung akan memberikan peran yang
cukup besar kepada tokoh Pemuda Pancasila di Sumatera Utara. Kemunculan tokoh
Pemuda Pancasila yang kemudian menjadi orang yang berpengaruh kepada calon
gubernur yang didukung justru menimbulkan pola demokrasi yang baru, diantaranya
yaitu munculnya tokoh dan kelompok yang kuat secara material, jaringan kekuasaan,
dan memiliki dukungan massa yang besar. Prilaku politik tokoh Pemuda Pancasila
tersebut terkadang tidak saja selalu mengedepankan kepentingan kelompoknya, namun
selalu ‘mengatasnamakan’ kepentingan rakyat untuk memuluskan tujuan-tujuan yang
membesarkan keuntungannya. Fenomena itu menjadi salah satu persoalan yang terjadi
dalam pelaksanaan pilkada langsung.
Alur pemikiran dalam penelitian ini digambarkan dalam Diagram 1.1 sebagai
berikut:
Universitas Indonesia
45
Diagram 1.1
Alur Pemikiran Penelitian
Peran Pemuda Pancasila Sumatera Utara dalam Pemilihan Gubernur
Sumatera Utara Tahun 2008
Modal Politik
Pemuda Pancasila
Sumber:
- Kemampuan individu Peran Pemuda Pancasila
- Jaringan partai politik
- Kader di legislatif 1. Ancaman dan intimidasi
Kekuatan
- Pemerintah daerah untuk melakukan
Pemuda Gubernur
- Media massa kekerasan
Pancasila yang
2. Mobilisasi anggota
didukung
organisasi
Modal Ekonomi 3. Relasi jaringan di antara
Pemuda Pancasila lembaga politik lokal atas
dasar hubungan saling
Sumber: menguntungkan
- Sumbangan calon
gubernur
- Modal sendiri
- Pengusaha
- Sumber dana lainnya
-
Universitas Indonesia
46
Pancasila dalam konstelasi politik lokal di Sumatera Utara. Pemuda Pancasila tersebut
dipilih karena memiliki para kadernya memiliki kepentingan politik yang cukup kuat
untuk menguasai lembaga politik lokal seperti partai politik, anggota legislatif, pejabat
eksekutif, dan pengelola media massa lokal di Sumatera Utara.
Tipe Penelitian
Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dengan studi kasus sebagai
strategi penelitian. Pendekatan ini diarahkan pada latar dan individu secara holistik atau
utuh.
”Penggunaan setiap metode penelitian tergantung pada tiga hal yaitu: pertama,
tipe pertanyaan penelitiannya; kedua, kontrol yang dimiliki peneliti terhadap
peristiwa perilaku yang akan ditelitinya, dan ketiga fokus terhadap fenomena
penelitiannya menyangkut fenomena masa kini atau fenomena historis. Studi
kasus lebih cocok bila pokok pertanyaan penelitian berkenaan dengan how atau
why.”95
95
K. Robert Yin.. 2000. Studi Kasus (Desain dan Metode). Jakarta: Raja Grafindo Persada. hal.1.
Universitas Indonesia
47
melalui perekaman video/audio, pengambilan foto atau film.96 Dalam penelitian ini,
sumber data utama yang digunakan adalah kata-kata dan tindakan orang-orang yang
diamati dan diwawancarai dari pimpinan Pemuda Pancasila di Sumatera Utara atau
tokoh lainnya yang berkaitan.
Penelitian ini menggunakan tiga teknik pengumpulan data yaitu, pertama,
dokumentasi dipergunakan untuk menelaah data-data yang telah ada, baik berupa
dokumen kebijakan, makalah, jurnal, atau buku-buku hasil penelitian sebelumnya yang
relevan dengan dinamika politik lokal pada tahun 2008-2011 di Sumatera Utara serta
berkaitan dengan aktivitas Pemuda Pancasila dengan kelompok lainnya. Kedua,
wawancara mendalam. Data juga diuraikan dan dianalisis melalui teknik wawancara
mendalam (depth interview) dengan sejumlah informan dari pimpinan Pemuda
Pancasila baik di tingkat lokal dan nasional serta individu yang terlibat atau berkaitan
dengan aktivitas politik Pemuda Pancasila di Sumatera Utara.
Wawancara diutamakan kepada informan kunci (key informant) dan infomasi
selanjutnya diperoleh dari pilihan informan lainnya dengan cara snawball. Informan
kunci dalam penelitian ini adalah:
1. Amir Siahaan: pendiri Pemuda Pancasila di Sumatera Utara, berprofesi sebagai
pengusaha.
2. Amran YS: pendiri Pemuda Pancasila di Sumatera Utara, mantan anggota DPRD
Provinsi Sumatera Utara, aktif di berbagai organisasi sosial.
3. Anif Shah: sesepuh Pemuda Pancasila, berprofesi sebagai pengusaha dan selalu
memberikan kontribusinya dalam setiap aktivitas organisasi dan termasuk saksi
sejarah pendirian Pemuda Pancasila di Sumatera Utara. Ikut mendukung Syamsul
Arifin sebagai calon gubernur.
4. Anuar Shah: Ketua MPW Pemuda Pancasila Provinsi Sumatera Utara. Tokoh
pemuda yang mendukung Syamsul Arifin sebagai calon gubernur.
5. Darwin Nasution: Sekretaris Pemuda Pancasila Sumatera Utara Periode 2007-
2012, Ketua MPW Partai Patriot Pancasila Sumatera Utara, Ketua Tim Sukses
Syamsul Arifin-Gatot Pudjonugroho dalam pemilihan Gubernur Provinsi
Sumatera Utara tahun 2008.
96
J. Lofland. 1971. Analyzing Social Settings: A Guide to Qualitative Observation and Analysis.
Belmont, CA: Wadsworth. hal. 112.
Universitas Indonesia
48
97
Robert Bogdan & Taylor J. Steven. 1993. Metode Kualitatif: Dasar-dasar Penelitian. Surabaya: Usaha
Nasional. hal. 27-30.
Universitas Indonesia
49
mengambil kesimpulan berdasarkan pemikiran logis atas berbagai data yang diperoleh.
Data-data dikumpulkan dan diseleksi, lalu disederhanakan dengan mengambil
intisarinya hingga ditemukan tema pokok, fokus masalah dan pola-polanya.98
Teknik analisa kualitatif dengan tipologi ini dilakukan berdasarkan interpretasi
penulis atas data baik bahan tertulis, wawancara dan observasi. Kemungkinan hal
mustahil yang diyakini penulis adalah bahwa seorang aktor yakin dan jujur akan apa
yang dikatakannya. Sebab itu, untuk menghindari atau meminimalisasi kemungkinan
adanya bias, maka penulis berusaha mencocokkan hasil wawancara antara satu
narasumber dengan yang lainnya kemudian dari dokumen-dokumen yang ditemukan
tentang keterlibatan Pemuda Pancasila dengan kelompok-kelompok lainnya dalam
pemilihan gubernur dan wakil gubernur di Provinsi Sumatera Utara.
Penulisan disertasi ini akan diuraikan melalui 6 Bab dengan sistematika sebagai
berikut. Bab 1: Pendahuluan. Bab ini menggambarkan tentang latar belakang masalah,
dan tujuan penelitian yang dilakukan. Untuk menganalisa masalah dan tujuan penelitian
dikemukakan teori yang relevan, yaitu teori kekuasaan, teori politik lokal, teori otonomi
daerah, demokrasi dan pilkada secara langsung dan gejala munculnya kelompok
kekerasan dan bos lokal. Untuk mencari jawaban dalam penelitian ini, metode
penelitian yang dipilih adalah metode kualitatif dengan pendekatan studi kasus, teknik
pengumpulan data melalui wawancara, observasi dan studi pustaka, serta analisa data
yang digunakan adalah tipologi.
Bab 2: Sumatera Utara dan Pemuda Pancasila: Perspektif Historis, Dinamika
Sosial, Ekonomi, dan Politik. Bab ini menjelaskan asal-usul pembentukan Pemuda
Pancasila dan aktivitas yang dilakukan baik secara internal dan eksternal serta profil
tokoh-tokoh pendirinya sejak awal masa Orde Baru hingga kader yang sangat
berpengaruh saat ini di Provinsi Sumatera Utara. Aspek penting yang akan dibahas
dalam bab ini adalah alasan-asalan yang menjelaskan para tokoh Pemuda Pancasila bisa
masuk menjadi pimpinan partai politik, anggota legislatif, pejabat pemerintah,
pengusaha, dan pengelola media massa yang cukup berpengaruh dalam konstelasi
98
J. Lofland. Op. Cit.
Universitas Indonesia
50
politik di Sumatera Utara. Meskipun mereka dikenal sebagai individu yang kerap
melakukan tindakan kekerasan di dalam kehidupan masyarakat Sumatera Utara.
Bab 3: Keputusan Dukungan Pemuda Pancasila dalam Pemilihan Gubernur
Provinsi Sumatera Utara. Bab ini membahas tentang langkah-langkah yang dilakukan
oleh Pemuda Pancasila untuk mencari kandidat Gubernur Provinsi Sumatera Utara yang
akan didukung. Keputusan untuk memilih Syamsul Arifin sebagai calon Gubernur
Provinsi Sumatera Utara dilakukan atas dasar pertimbangan kepentingan Pemuda
Pancasila untuk memelihara jaringan politik yang telah dimilikinya. Setelah keputusan
untuk mendukung calon gubernur, maka akan diuraikan rancangan dan pelaksanaan
kampanye terkait dengan pemenangan calon gubernur yang didukung.
Bab 4: Intimidasi dan Mobilisasi Kampanye Pemuda Pancasila untuk
Mendukung Syamsul Arifin Sebagai Calon Gubernur Provinsi Sumatera Utara Tahun
2008. Bab ini akan membahas bentuk intimidasi yang dilakukan oleh anggota Pemuda
Pancasila Provinsi Sumatera Utara untuk memaksa pemilih memilih Syamsul Arifin
dalam pemilihan gubernur. Pembahasan mobilisasi Pemuda Pancasila pada saat
kampanye, masa tenang dan hari pemilihan terkait dengan instruksi organisasi yang
ditujukan kepada anggota, kader yang menjadi pimpinan partai politik dan anggota
DPRD serta hambatan dukungan yang berasal dari internal Pemuda Pancasila dalam
mendukung calon Gubernur dan Wakil Gubernur Provinsi Sumatera Utara tahun 2008.
Dari pola mobilisasi tersebut akan dijelaskan bentuk kekerasan yang sering dilakukan
oleh Pemuda Pancasila.
Bab 5: Pemanfaatan Jaringan Birokrasi, Pengusaha Lokal, Media dan
Penyelesaian Sengketa Pemilihan Gubernur Provinsi Sumatera Utara. Bab ini akan
membahas tentang pendekatan yang dilakukan tokoh Pemuda Pancasila dan
memanfaatkan jaringan yang dimiliki Pemuda Pancasila kepada birokrasi atau pejabat
di eksekutif, para pengusaha yang memiliki kaitan dengan Pemuda Pancasila, dan
pengelola media massa lokal dalam rangka memenangkan kandidat gubernur dan wakil
gubernur yang didukung. Dalam pemilihan gubernur secara langsung ini, akan terlihat
pengaruh yang dimiliki dan model relasi yang dibangun oleh Pemuda Pancasila
Sumatera Utara terhadap tokoh masyarakat, birokrasi, pengusaha, dan media massa
lokal dalam rangka mendukung dan memenangkan kandidatnya. Jaringan yang dimiliki
Pemuda Pancasila tersebut menjadi bentuk kekuatan yang diperhitungkan oleh kandidat
gubernur yang mengajukan sengketa hasil perhitungan suara di Mahkamah Agung.
Universitas Indonesia
51
Bab 6: Penutup. Bab ini berisi tentang kesimpulan dan implikasi teoritis. Dalam
kesimpulan dijelaskan tentang temuan empiris penting yang diperoleh dari penelitian
ini. Sedangkan implikasi teoritis akan menjelaskan implikasi-implikasi teoritis dari
konsepsi dan teori yang digunakan dalam studi ini berupa konfirmasi dan revisi atas
teori tersebut.
Universitas Indonesia