Anda di halaman 1dari 51

1

BAB 1
PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang Masalah

Amandemen konstitusi setelah jatuhnya Orde Baru merupakan salah satu wujud
dari gerakan reformasi. Langkah tersebut dianggap sebagai bagian dari tuntutan
reformasi kelembagaan yang sangat dibutuhkan untuk melakukan konsolidasi
demokrasi di Indonesia setelah mengalami masa pemerintahan otoriter Orde Baru. Sejak
itu, bangsa Indonesia memasuki fase kehidupan politik yang lebih terbuka dan
demokratis serta ditandai dengan pulihnya hak-hak sipil dan politik. Perubahan
mendasar yang terjadi dalam amandemen UUD 1945 diantaranya adalah rekrutmen
pejabat negara yang dipilih secara langsung oleh rakyat melalui pemilihan umum
legislatif dan eksekutif pada tingkat nasional maupun lokal.1 Kebijakan desentralisasi
menjadi dasar format hubungan pusat dan daerah. Sedangkan pelaksanaan otonomi
daerah menjadi pedoman antara pemerintah, masyarakat dan tokoh lokal untuk
mengatur urusannya sendiri sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku
termasuk memilih kepala daerah secara langsung.
Dari sudut pandang good governance, dorongan untuk melaksanakan kebijakan
desentralisasi, yaitu pemberian wewenang yang lebih besar kepada pemerintah daerah
untuk mengelola daerahnya agar menjadi lebih baik, akan berpengaruh positif dalam
konteks peningkatan kinerja pemerintahan serta konsolidasi demokrasi berjalan lebih
baik. Harapan itu dihasilkan dari pemikiran bahwa desentralisasi membawa proses
pembuatan kebijakan publik menjadi lebih dekat dengan masyarakat yang paling bawah
dan dalam cakupan wilayah yang lebih kecil, sehingga kesempatan masyarakat untuk
berpartisipasi menjadi semakin meningkat. Partisipasi masyarakat tersebut akan
menumbuhkan praktek demokrasi di tingkat lokal lokal dan sekaligus meningkatkan
efisiensi pemerintahan, antara lain dengan hilangnya berbagai kendala dalam
pengambilan keputusan pelaksanaan kebijakan. Terakomodasinya berbagai kepentingan

1
Lihat UUD 1945 Pasal 6A ayat (1) mengenai pemilihan presiden dan wakil presiden secara langsung;
UUD 1945 Pasal 22E ayat 1 mengenai pemilihan umum; dan UUD 1945 Pasal 18 mengenai pemilihan
gubernur, walikota dan bupati yang dipilih secara demokratis.

1 Universitas Indonesia
2

dan kebutuhan masyarakat akan meningkatkan derajat penerimaan atas keputusan yang
dibuat pemerintah.2
Untuk mewujudkan partisipasi masyarakat yang efektif tersebut, terdapat
beberapa prasyarat dasar yang harus tersedia, antara lain adanya kesetaraan politik
(political equality)3 dan akuntabilitas lokal yang memadai. Tetapi keduanya menjadi
sebagian permasalahan mendasar yang dihadapi banyak negara berkembang dalam
menerapkan desentralisasi. Oleh karena itu, pelaksanaan desentralisasi tidak selalu
memiliki korelasi positif dengan konsolidasi demokrasi maupun efisiensi struktural
pemerintahan di tingkat lokal. Richard C. Crook dan James Manor dalam analisis
komparatif terhadap penerapan desentralisasi di empat negara di kawasan Asia Selatan
dan Afrika Barat, yaitu negara bagian Karnakata di India, Bangladesh, Ghana, dan
Pantai Gading, menyimpulkan bahwa kecuali di Karnataka, penerapan desentralisasi di
negara-negara tersebut justru memperkuat pola-pola politik pada tingkat lokal yang
tidak mendukung demokrasi dan kinerja pemerintahan yang lebih baik.4
Situasi yang hampir sama juga terjadi pada beberapa negara di Asia Tenggara.
Hampir menjadi keniscayaan bahwa tidak adanya korelasi antara desentralisasi,
demokrasi, dan kinerja pemerintahan tersebut, ditandai oleh berkembangnya orang-
orang atau kelompok tertentu di tingkat lokal yang cukup kuat secara finansial dan
memiliki jaringan ke pemegang kekuasaan. Penelitian John T. Sidel tentang bosisme di
Filipina mengungkapkan bahwa kecenderungan tersebut terkait dengan perkembangan
politik pada awal abad ke-20, saat mulai diterapkannya pemilihan kepala pemerintahan
dan anggota parlemen secara langsung, baik di tingkat nasional maupun lokal. Suasana
seperti itu ternyata menumbuhkan elit-elit lokal yang memiliki kekuasaan politik dan
ekonomi yang begitu kuat di berbagai daerah di Filipina. Dengan menduduki atau
menjadi pialang bagi jabatan yang diperebutkan dalam pemilihan tersebut, mereka
memperoleh akumulasi keuntungan dari diskresi penegakan hukum lokal, pekerjaan
umum, perpajakan, dan lain sebagainya.

2
Lihat Eko Prasojo, Irfan Maksum, dan Teguh Kurniawan. 2006. Desentralisasi dan Pemerintahan
Daerah: Antara Model Demokrasi Lokal dan Efisiensi Struktural. Depok: Departemen Ilmu Administrasi
FISIP UI. hal. 1 dan 13.
3
Mengenai political equality yang banyak menjadi masalah dalam pelaksanaan demokrasi lihat Jack
Lively. Democracy. 1975. Chapter Two 8-51, Britain: Basil Blackwell.
4
Lihat Richard C. Crook and James Manor. 1998. Democracy and Decentralization in South Asia and
West Africa: Participation, Accountability and Performance. Cambridge University Press.

Universitas Indonesia
3

Temuan dari penelitian Sidel itu, memberikan nuansa baru dalam studi relasi
negara dan masyarakat, yang berbeda dari analisis Migdal5 pada dekade 1980-an, yaitu
sumber kekuasaan orang kuat lokal tersebut bukan dari kepemilikan tanah atau
kekayaan pribadi, melainkan dari sumber-sumber negara atau modal perdagangan yang
diakumulasi setelah memegang kekuasaan. Hubungan antara orang kuat lokal dengan
masyarakatnya selalu didasari oleh pemberian ’sesuatu’ bisa berupa uang, jabatan, atau
justru dengan menggunakan kekerasan. Pola hubungan patron-klien (klientelisme),
antara orang kuat lokal dengan masyarakatnya, bukan dianggap sebagai penyangga
utama dukungan terhadap kekuasaan mereka. Hanya penggunaan kekerasan dan
intimidasi, pembelian suara pemilih, serta kecurangan dalam pemilihan jauh lebih
menonjol dalam menggambarkan hubungan antara orang kuat lokal dan pendukungnya.6
Temuan Sidel di Indonesia juga menyimpulkan bahwa penyelenggaraan Pemilu
1999 dan penerapan kebijakan desentralisasi di Indonesia pasca jatuhnya pemerintah
Orde Baru semakin memperkuat kemungkinan akumulasi kekuasaan, berada pada
individu tertentu yang kemudian disebutnya sebagai bos lokal (local bossism).7 Mereka
memiliki sumber keuangan dan akses kepada pemegang otoritas di daerah untuk
memuluskan kepentingannya seperti urusan binis dan politik. Kesimpulan tersebut
disusun berdasarkan temuan hasil penelitian. Pada salah satu kabupaten di Provinsi
Aceh, mafia kayu memiliki pengaruh yang besar terhadap anggota DPRD dan pejabat
birokrasi pemerintah lokal. Pengaruh itu digunakan untuk membuat keputusan-
keputusan resmi tentang pengelolaan sumber daya lokal yang menguntungkan
kepentingan para mafia lokal tersebut. 8
Selain itu, di daerah-daerah lain juga muncul mafia dan jaringan lokal di bawah
kepemimpinan bangsawan lokal dan para wakil pemuka agama serta etnis yang
berperan penting dalam mobilisasi kekerasan pada setiap konflik komunal di seluruh
nusantara. Sebagai contoh adalah, peran ulama atau kyai Nahdlatul Ulama (NU) di Jawa
Timur dan pesisir utara Jawa dalam menggalang suara pemilih untuk partai dan calon

5
Joel S.Migdal. 1988. Strong Societies and Weak States: State-Society Relations and State Capabilities in
the Third World. New Jersey: Princenton University Press.
6
Lihat John T. Sidel. 2005. “Philippine Politics in Town, District, and Province: Bossim in Cative and
Cebu” The Journal Asia Studies (56/4/Nov.1997); John T. Sidel. 2005. “Bosisme dan Demokrasi di
Filipina, Thailand, dan Indonesia”, dalam John Harris, Kristian Stokke, dan Olle Tornquist (ed.).
Politisasi Demokrasi: Politik Lokal Baru. Jakarta: Demos.
7
Istilah bos yang dimaksud Sidel adalah merujuk para pialang lokal yang memiliki posisi monopolistis
abadi terhadap kekuatan koersif dan sumber-sumber ekonomi di daerah kekuasaan masing-masing. Lihat
dalam John T. Sidel. 2005. “Bosisme….”. hal. 78.
8
John T. Sidel. “Bosisme ….” Ibid. hal. 96-97.

Universitas Indonesia
4

tertentu pada Pemilu 1999 yang sudah berlangsung sejak Pemilu 1955; perseteruan
antara mafia politisi, pengusaha, pegawai negeri sipil dan preman Kristen dan Muslim
menjadi pemicu konflik kekerasan agama di Ambon dan tempat-tempat lain di Maluku
Utara; kehadiran organisasi-organisasi baru yang mengaku perwakilan etnis Dayak
menjadi pialang dalam pemilu dan pembersihan etnis Madura pendatang di Provinsi
Kalimantan Tengah9; pengaruh Jawara dalam wilayah politik dan bisnis di Provinsi
Banten juga menjelaskan fenomena munculnya bosisme dalam penguasaan politik di
tingkat lokal.10
Dalam kesimpulan yang hampir sama, Nordholt dan Klinken, mempublikasikan
hasil penelitian yang berkaitan dengan dinamika politik lokal di Indonesia. Dalam
pengantar buku tersebut dijelaskan bahwa setelah bergulirnya reformasi, dinamika
politik di daerah memasuki era baru yaitu aktor-aktor lokal yang terorganisir dan
memiliki simbol kultural lokal kembali berada di panggung politik. Akumulasi
kekuasaan aktor di daerah dilakukan bukan hanya dengan cara-cara ilegal, namun
mereka dapat menguasai institusi-institusi pemerintah lokal yang sesuai dengan
mekanisme demokrasi yang ditetapkan.11 Situasi itu telah membawa para aktor lokal
’membajak’ institusi-institusi demokrasi seperti partai politik, lembaga perwakilan
rakyat, dan lain sebagainya serta beraliansi dengan para pejabat publik yang baru
terpilih. Vedi R. Hadiz menguraikan koalisi antara aktor lokal dengan pejabat publik di
Sumatera Utara dilakukan untuk menjalin akses mendapatkan kekuasaan negara dan
sumber-sumber daya, baik di tingkat pusat maupun daerah ketika otonomi daerah
diberlakukan.12
Di Sumatera Utara, aktor lokal memainkan peranan penting dalam sistem
demokrasi yang relatif baru diterapkan. Para aktor lokal yang kuat itu berasal dari
anggota organisasi kemasyarakatan seperti organisasi pemuda, organisasi keamanan
yang berkedok bisnis, dan lain sebagainya. Dalam aktivitasnya, organisasi
kemasyarakatan itu merekrut para pemuda yang tidak memiliki pekerjaan tetap untuk
melakukan tindakan kekerasan dengan alasan menjaga keamanan di lokasi tertentu.

9
Ibid. hal. 98.
10
Lili Romli. 2007. “Jawara dan Penguasaan Politik Lokal di Provinsi Banten (2001-2006)”. Disertasi.
Departemen Ilmu Politik Program Pascasarjana Ilmu Politik Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik
Universitas Indonesia. Depok.
11
Henk Schutle Nordholt dan Gerry van Klinken dibantu oleh Ireen Karang-Hoogenboom. 2007. Politik
Lokal di Indonesia. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.
12
Tentang fenomena ini lihat Lihat Vedi R, Hadiz. 2005. Dinamika Kekuasaan, Ekonomi Politik
Indonesia Pasca-Soeharto. LP3ES. Jakarta. hal. 235-253.

Universitas Indonesia
5

Dalam bahasa sehari-hari, mereka kemudian sering disebut sebagai preman13 karena
tidak terlepas dari tindakan kekerasan seperti pemukulan, intimidasi, bahkan
pembunuhan ketika ditugaskan oleh pimpinan organisasinya untuk ”mengamankan”
lokasi tertentu yang berpotensi menghasilkan keuntungan berupa uang.
Sejak masa pemerintah kolonial menguasai perkebunan, tidak ada daerah lain
yang sanggup menyaingi para preman di Sumatera Utara untuk mempengaruhi kekuatan
politik di daerah ini. 14 Pada tahun 1965 misalnya, banyak para preman yang digunakan
oleh militer untuk membasmi anggota PKI (Partai Komunis Indonesia) di Sumatera
Utara. Mereka kemudian dikumpulkan oleh pemerintah Orde Baru ke dalam organisasi
paramiliter yang fungsinya melakukan operasi di masyarakat untuk sebuah keputusan
politik demi memperlancar kepentingan kelompok Orde Baru. Selain itu, mereka juga
diorganisir untuk melancarkan kepentingan bisnis semacam penyedia jasa keamanan di
Sumatera Utara pada masa Orde Baru hingga saat ini.
Demi menjaga stabilitas politik yang mampu menunjang pertumbuhan ekonomi,
pemerintah Orde Baru mempunyai kepentingan untuk mendapatkan dukungan dari
berbagai kelompok masyarakat, tidak terkecuali organisasi pemuda dan penyedia jasa
kemanan di Sumatera Utara. Mereka sering melakukan tindakan kekerasan di
lingkungan masyarakat yang tidak sejalan dengan mereka seperti menebar teror dan
intimidasi kepada aparat pemerintah sipil jika keinginannya tidak dipenuhi. Namun,
pada saat yang lain mereka bisa disebut sebagai warga masyarakat yang terhormat
seperti sering memberikan bantuan kepada kelompok miskin, sebagai donatur untuk
lembaga pendidikan dan memberikan bantuan sekolah kepada masyarakat yang kurang
mampu, serta aktivitas sosial lainnya. Tujuan dari aktivitas sosial ini sebenarnya untuk
melanggengkan jaringan kekuasaan yang telah dibangun dan dibina selama ini.

13
Preman (free man) adalah sebutan untuk anggota masyarakat yang melakukan kejahatan dan tindakan
kriminal. Kata preman berasal dari bahasa Belanda vrije man dan istilah ini melekat pada kaum lelaki
yang menolak bekerja di perkebunan Belanda. Makna kata tersebut merujuk pada lelaki bebas yang tidak
dapat diatur. Namun, sejalan dengan perkembangan zaman pengertian preman mengalami perubahan.
Kunarto menyebut Preman sebagai orang atau individu atau sekelompok orang yang tidak berpenghasilan
tetap, tidak mempunyai pekerjaan yang pasti, mereka hidup atas dukungan orang-orang yang terkena
pengaruh, orang-orang yang takut secara fisik maupun psikis. Mereka memiliki wilayah kekuasaan dan
tidak terikat pada norma dan nilai yang ada dalam masyarakat serta cenderung melakukan tindakan-
tindakan kriminal. Sikap, tindakan, dan prilaku para preman itulah yang disebut sebagai premanisme.
Lihat Burhani MS – Hasbi Lawrens. 1999. Referensi Ilmiah Politik, Kamus Ilmiah Populer. Jakarta:
Lintas Media. hal. 560; Maruli CC Simanjuntak. 2007. Preman-Preman Jakarta. Jakarta: Grafika Indah.
hal. 40-41.
14
Lihat juga Ann Laura Stoler. 1985. Kapitalisme dan Konfrontasi di Sabuk Perkebunan Sumatera, 1870-
1979. Terjemahan..Yogyakarta: Karsa.

Universitas Indonesia
6

Salah satu organisasi yang hingga saat ini bertahan dan banyak memberikan
pengaruh dalam konstelasi politik lokal di Sumatera Utara dengan perlakuan seperti
yang dijelaskan di atas adalah Pemuda Pancasila (PP). Pemerintah di daerah Sumatera
Utara harus mengakomodir dan mengembangkan Pemuda Pancasila untuk mendukung
kebijakan pemerintah Orde Baru. Orang-orang yang tergabung dalam Pemuda Pancasila
diberikan kemudahan untuk menduduki jabatan politik seperti pengurus inti Golkar,
anggota legislatif, dan diangkat menjadi pejabat birokrasi agar lebih mudah
mendapatkan dana proyek yang bersumber dari APBD (Anggaran Penerimaan dan
Belanja Daerah) dan APBN (Anggaran Penerimaan dan Belanja Negara).
Tindakan itu dilakukan agar pemerintah Orde Baru mendapatkan dukungan
politik dari masyarakat di daerah demi memperlancar kebijakan pembangunan yang
berkaitan dengan kepentingan pemerintah pusat. Sejak Orde Lama, Provinsi Sumatera
Utara menjadi salah satu wilayah tempat bersemainya kelompok organisasi masyarakat
yang berpotensi melakukan gerakan perlawanan kepada pemerintah pusat disebabkan
tidak terakomodasinya kepentingan politik dan ekonomi para tokoh lokal di provinsi
tersebut. Oleh karena itu, pemerintah Orde Baru menjadikan Sumatera Utara sebagai
wilayah yang mendapat perhatian khusus dengan cara memberikan peran kepada aktor
lokal dalam memperoleh akses kekuasaan dan sumber daya yang disediakan. Tapi
kemudian saat reformasi bergulir, para aktor lokal kembali menguasai panggung politik
dan memainkan peran dalam dinamika politik lokal di Sumatera Utara.

1.2. Pokok Masalah

Pelaksanaan kebijakan otonomi daerah di Provinsi Sumatera Utara sangat


memungkinkan akumulasi kekuasaan berada pada para aktor dan kelompok tertentu di
tingkat lokal. Meskipun peraturan tentang pelaksanaan otonomi daerah telah menjamin
setiap warga memiliki kebebasan untuk menyalurkan aspirasinya sehingga diharapkan
konsolidasi demokrasi dapat berjalan dan pemerintahan terselenggara secara efektif,
namun dalam praktiknya di Sumatera Utara, muncul mafia dan jaringan lokal yang
salah satunya berada di bawah kepemimpinan organisasi pemuda dan penyedia jasa
keamanan. Sebagian dari mereka berprofesi sebagai pengusaha, politisi dan selalu
mengambil peran dalam memobilisasi dukungan pada setiap kegiatan pemilihan umum
dan pemilihan kepala daerah.

Universitas Indonesia
7

Ryter dan Lindsey adalah pengamat yang menulis tentang aktivitas kriminal
yang dilakukan organisasi Pemuda Pancasila di Sumatera Utara. Hasil penelitiannya
menjelaskan bahwa setelah jatuhnya rezim Orde Baru, perilaku preman masuk ke
wilayah politik formal. Salah satu penyebab terjadinya perilaku tersebut adalah
hubungan yang erat antara militer dengan organisasi pemuda pada masa Orde Baru.
Tindakan kekerasan dan politik uang sering sekali mereka lakukan untuk mendapatkan
posisi penting di berbagai partai politik dan lembaga parlemen, bukan hanya
mengandalkan kekuatan fisik untuk selalu memobilisasi massa dan melakukan tindakan
kekerasan kepada pihak lain yang dianggap berlawanan. Namun, kelebihannya adalah
mereka selalu terlepas dari sangsi hukum karena mereka memberikan dukungan kepada
jaringan politik yang ada. Dalam analisis Ryter dan Lindsey, tidak ada daerah lain yang
sanggup menyaingi tindakan kekerasan di Sumatera Utara dalam mempengaruhi
kekuatan politik di wilayah itu.15
Masuknya kelompok kekerasan di partai politik dan legislatif Provinsi Sumatera
Utara bermula ketika ABRI (Angkatan Bersenjata Republik Indonesia) khususnya
Angkatan Darat membutuhkan kekuatan preman untuk melawan pengaruh komunisme
yang disebarkan PKI. Saat itu kekuatan fisik yang dimiliki preman sangat dibutuhkan
Angkatan Darat untuk berhadapan dengan massa pengikut PKI. Ketika PKI memperluas
jaringan kekuatannya dengan mendirikan organisasi Pemuda Rakyat, tidak lama
kemudian organisasi Pemuda Pancasila didirikan pada 28 Oktober l959.16 Di Sumatera
Utara, kebanyakan pengurus dan anggota Pemuda Pancasila direkrut dari anak-anak
jalanan yang tidak memiliki pekerjaan tetap dan telah membantu TNI-AD untuk
menghambat pengaruh komunis yang disebarluaskan PKI.
Pada awal Orde Baru, Pemuda Pancasila Sumatera Utara menjadi bagian
organisasi pendukung pemerintah di daerah. Pengurus dan kader Pemuda Pancasila
Sumatera Utara diberi keleluasaan untuk membentuk organisasi sayap dari berbagai

15
Lihat tulisan Loren Ryter. 1998. “Pemuda Pancasila: The Last Loyalist Free Men of Soeharto New
Order?” Indonesia, 66, Oktober. L. Ryter. 2000. “A Tale of Two Cities”, Inside Indonesia 63 (July-
September). http://www.serve.com/inside/edit63/loren1.hatml; T. Lindsey. 2002. “The Criminal State:
Premanisme and the New Order”, dalam G. Lloyd dan S. Smith. (eds.). Indonesia Today: Challenges of
History. Singapore: ISEAS.
16
Tokoh-tokoh penting pendiri Pemuda Pancasila adalah Kolonel AH Nasution, Kolonel Gatot Subroto,
Kolonel Aziz Saleh. Organisasi Pemuda Pancasila menjadi sayap politik dari petinggi militer yang masih
aktif dalam kedinasan. Mereka tidak dapat langsung masuk ke kancah politik, karena memang undang-
undang melarang militer aktif melakukan kegiatan politik praktis. Pemuda Pancasila dibentuk oleh
organisasi IPKI (Ikatan Pendukung Kemerdekaan Indonesia) yang didukung kalangan Angkatan Darat
dan dijadikan sebagai salah satu sayap organisasi.

Universitas Indonesia
8

kelompok masyarakat seperti kelompok petani, buruh, nelayan, perempuan hingga ke


lingkungan kampus. Begitu pula di lingkungan birokrasi, ketika rekrutmen dan
pemilihan pejabat birokrasi di Sumatera Utara, Pemuda Pancasila dapat mempengaruhi
keputusan kepala daerah. Peran penting Pemuda Pancasila ketika itu adalah menjadi
salah satu organisasi yang memberikan dukungannya kepada Golkar.
Dukungan kader Pemuda Pancasila Sumatera Utara terhadap kebijakan politik
Orde Baru yang semakin terinstisionalisasi tersebut, ’dibayar’ dengan terpilihnya para
preman pada posisi strategis dalam kepengurusan Golkar dan menjadi anggota DPRD.
Selama Orde Baru, bersama-sama dengan aparat keamanan, kader dan tokoh Pemuda
Pancasila di Sumatera Utara berperan sebagai operator politik antara lain melakukan
ancaman dan intimidasi kepada kelompok masyarakat lain yang berbeda
kepentingannya. Para pimpinan organisasi pemuda tersebut, hanya melaksanakan tugas
untuk mengamankan kebijakan pemerintah Orde Baru, contohnya seperti menjaga
keamanan pada saat pemilu agar Golkar mengungguli Partai Persatuan Pembangunan
(PPP) dan Partai Demokrasi Indonesia (PDI) dalam meraih suara terbanyak.17
Pada masa Orde Baru, tokoh-tokoh Pemuda Pancasila itu menemukan
kesempatan baru untuk ’naik kelas’ dari pelaksana menjadi pengambil keputusan atau
penentu di daerah. Segenap cara dilakukan para tokohnya seperti memperbanyak
kekayaan dan merebut kekuasaan untuk menaikkan status sosial. Bahkan setelah
reformasi bergulir pada tahun 1999, dapat dikatakan peran Pemuda Pancasila di
Sumatera Utara mengalami perluasan sekaligus pendalaman. Mereka relatif berhasil
melakukan adaptasi dengan berbagai dinamika demokrasi yang terjadi di tingkat lokal
seperti berperan aktif dalam pemilu hingga penyelenggaraan pilkada langsung.
Sebagian kader dan tokoh Pemuda Pancasila Sumatera Utara tampil sebagai
pemimpin partai politik dan menjadi anggota legislatif tanpa harus mendapatkan
persetujuan dari elit di pusat. Tidak sedikit dari mereka yang berhasil terpilih menjadi
bupati dan walikota di Provinsi Sumatera Utara. Para kader dan tokoh Pemuda
Pancasila di Sumatera Utara juga menjadi salah satu penentu kebijakan pada institusi
masyarakat lainnya seperti menjadi pengelola di berbagai media cetak lokal, pengurus

17
Nina Karina. 2008. “Dinamika Sosial Politik Organisasi Pemuda Pancasila di Sumatera Utara”. Thesis.
Magister Studi Pembangunan FISIP USU. Medan.

Universitas Indonesia
9

asosiasi pengusaha daerah, dan jabatan strategis lainnya.18 Peluang dan kesempatan baru
seperti itu, sangat jarang didapat oleh para tokoh lokal pada masa Orde Baru.
Para kader dan tokoh Pemuda Pancasila di Sumatera Utara, yang sering disebut
’preman’, tidak hanya mengandalkan ancaman dan intimidasi untuk melakukan
kekerasan serta uang yang dimiliki. Di antara mereka juga menguasai partai politik,
legislatif, birokrasi, lembaga bisnis, dan media cetak lokal untuk memenuhi
kepentingannya. Dalam kapasitas menggunakan jaringan tersebut, tentunya mereka
sangat kuat untuk memperoleh akses terhadap sumber daya (resources) dari pemerintah
daerah dan akan memaksimalkan sumber kekuasaan yang dimiliki. Sementara dalam
kapasitasnya sebagai ’preman’, mereka dapat juga menggunakan ancaman dan
intimidasi untuk melakukan kekerasan. Peran yang dilakukan oleh kader dan tokoh
Pemuda Pancasila itu, relatif lebih memudahkan mereka mendapatkan akses terhadap
local government resources untuk memaksimalkan pengaruhnya pada lembaga-lembaga
politik lokal. Meskipun dalam proses merebut sumber daya yang sifatnya terbatas itu,
perselisihan di antara kader dan tokoh Pemuda Pancasila juga sering terjadi.
Asumsi awal tentang peran yang dilakukan oleh kader dan tokoh Pemuda
Pancasila seperti yang dijelaskan di atas, pada praktiknya akan dilihat dan dianalisis saat
berlangsungnya pemilihan Gubernur Provinsi Sumatera Utara tahun 2008. Terpilihnya
pasangan Syamsul Arifin 19 -Gatot Pudjonugroho 20 sebagai Gubernur dan Wakil
Gubernur Provinsi Sumatera Utara Periode 2008-2013, tidak terlepas dari peran Pemuda
Pancasila.

18
Beberapa kajian akademis menunjukkan bahwa pasca Orde Baru, Pemuda Pancasila merupakan salah
satu organisasi yang sangat berpengaruh di Medan, ibukota Provinsi Sumatera Utara. Penelitian yang
ditulis Vedi R. Hadiz mengidentifikasi peran sentral para preman yang tergabung dalam organisasi
pemuda seperti Pemuda Pancasila atas kemenangan pasangan calon Walikota Medan Abdillah dan Ramli
dalam Pemilihan Walikota dan Wakil Walikota Medan pada tahun 2000. Hadiz menunjukkan
kemampuan kader Pemuda Pancasila dalam menggunakan potensi kekerasan yang mereka miliki untuk
mengembangkan kekuasaan mereka. Lihat Vedi R, Hadiz. 2005. Ibid.
19
Syamsul Arifin adalah mantan Bupati Langkat dua periode, tokoh pemuda (mantan Ketua FKPPI dan
Ketua KNPI Provinsi Sumatera Utara), dekat dengan elit militer Orde Baru, dan memiliki usaha
penjualan minyak di wilayah Langkat. Syamsul Arifin memulai karirnya sebagai aktivis organisasi
pemuda di Sumatera Utara. Bergabung dengan Pemuda Pancasila di Sumatera Utara tahun 1970-an,
sempat menjadi pengurus FKPPI di Sumatera Utara dan Kabupaten Langkat serta menjadi orang pertama
yang pernah menduduki jabatan bupati dari unsur pemuda pada usia 45 tahun. Saat ini menjadi tahanan
KPK dalam kasus korupsi APBD 2000-2007 senilai kurang lebih Rp 99 milyar ketika menjabat sebagai
Bupati Langkat.
20
Gatot Pudjonugroho adalah kader Partai Keadilan Sejahtera di Provinsi Sumatera Utara. Sebelum
menjadi aktivis partai, dia aktif sebagai pengajar di Politeknik Negeri Medan. Di kalangan organisasi
pemuda, namanya dikenal sebagai Wakil Ketua FKPPI Sumatera Utara.

Universitas Indonesia
10

Beberapa kegiatan yang dilakukan oleh Majelis Pengurus Wilayah (MPW)


Pemuda Pancasila Sumatera Utara kepada Syamsul Arifin dalam pemilihan Gubernur
Provinsi Sumatera Utara diantaranya adalah memberi tugas kepada kader yang
menduduki jabatan sebagai pengurus inti atau ketua partai politik agar berupaya
mengusulkan Syamsul Arifin sebagai calon Gubernur Provinsi Sumatera Utara Periode
2008-2013; membantu pembentukan tim sukses seperti diangkatnya kader Pemuda
Pancasila, Darwin Nasution,21 sebagai ketua tim pemenangan Syamsul Arifin dalam
pemilihan Gubernur Provinsi Sumatera Utara tahun 2008; menginstruksikan kepada
kader, anggota dan simpatisan Pemuda Pancasila di semua jajarannya untuk bekerja
memenangkan Syamsul Arifin dalam pemilihan Gubernur tersebut; mempengaruhi
anggota Pemuda Pancasila yang menjadi pejabat di birokrasi pemerintah daerah,
anggota legislatif, para pengusaha lokal dan pengelola media cetak lokal untuk
membantu memenangkan calon gubernur yang didukung; mengerahkan anggota
Pemuda Pancasila untuk menjaga perolehan suara di Tempat Pemungutan Suara (TPS)
tertentu di mana basis Pemuda Pancasila cukup kuat. Selain itu, Pemuda Pancasila juga
membantu sebagian dana untuk kegiatan pemenangan yang dibutuhkan Syamsul Arifin.
Penelitian ini ingin membuktikan adanya peran kader dan tokoh Pemuda
Pancasila Provinsi Sumatera Utara dalam pemilihan Gubernur Provinsi Sumatera Utara
yang diselenggarakan tahun 2008. Peran yang dimaksud adalah selain mengandalkan
kemampuan melakukan intimidasi dengan ancaman kekerasan fisik serta mengandalkan
uang yang dimilikinya, tokoh Pemuda Pancasila juga menggunakan pengaruhnya
terhadap jaringan politik yang mereka miliki untuk bekerja memenangkan calon yang
didukung dalam pemilihan Gubernur Provinsi Sumatera Utara tahun 2008. Untuk
menguji asumsi tentang adanya peran Pemuda Pancasila dalam pemilihan Gubernur
Provinsi Sumatera Utara tahun 2008 tersebut, maka penelitian ini akan menjawab
sejumlah pertanyaan berikut:

1. Seperti apakah bentuk intimidasi yang dilakukan Pemuda Pancasila dalam


mendukung Syamsul Arifin dan Gatot Pudjonugroho dalam pemilihan calon
Gubernur dan Wakil Gubernur Provinsi Sumatera Utara tahun 2008?

21
Darwin Nasution, saat proses pemilihan Gubernur Sumut berlangsung, selain menjabat sebagai Ketua
MPW Partai Patriot Pancasila Sumatera Utara juga sebagai Sekretaris MPW Pemuda Pancasila Sumatera
Utara. Darwin ditunjuk sebagai ketua tim pemenangan Syampurno dalam pemilihan Gubernur Sumatera
Utara tahun 2008. Setelah pelantikan Syamsul Arifin sebagai Gubernur Provinsi Sumatera Utara Periode
2008-2013, dia menjabat sebagai Direktur Utama Perusahaan Daerah (PD) Perkebunan.

Universitas Indonesia
11

2. Bagaimana pola mobilisasi kader dan tokoh Pemuda Pancasila yang menjadi
pimpinan partai politik dan anggota DPRD Provinsi Sumatera Utara dalam
mendukung calon gubernur dan wakil gubernur yang ingin dimenangkan?
3. Bagaimana model relasi yang dibangun antara pimpinan Pemuda Pancasila
Sumatera Utara dengan pejabat birokrasi, pengusaha, dan pengelola media massa
lokal di Sumatera Utara saat berlangsungnya pemilihan Gubernur Provinsi Sumatera
Utara tahun 2008?

1.3. Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian ini adalah untuk:


1. Menjelaskan alasan-alasan yang dijadikan landasan anggota Pemuda Pancasila
untuk mengintimidasi para pemilih agar memilih Syamsul Arifin dan Gatot
Pudjonugroho dalam pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur Provinsi Sumatera
Utara tahun 2008.
2. Menjelaskan model mobilisasi yang dilakukan oleh pimpinan MPW Pancasila
Sumatera Utara Provinsi Sumatera Utara pada saat pemilihan Gubernur Provinsi
Sumatera Utara. Mobilisasi tersebut berkaitan dengan cara Pemuda Pancasila
Sumatera Utara memberikan perintah kepada anggotanya yang menjadi pimpinan
partai politik dan anggota legislatif untuk mempengaruhi pihak lain agar
memenangkan kandidat gubernur yang didukung dalam setiap tahapan pemilihan
gubernur. Oleh karena itu, dengan mengetahui model mobilisasi tersebut akan
terlihat jelas signifikansi pengaruh Pemuda Pancasila dalam konstelasi politik lokal
di Sumatera Utara.
3. Menjelaskan pola relasi antara kader dan tokoh Pemuda Pancasila dengan birokrat,
pengusaha, dan media massa lokal di Provinsi Sumatera Utara terkait pemilihan
gubernur tahun 2008. Dengan mengetahui pola relasi itu akan terlihat pengaruh
kekuasaan kader dan tokoh Pemuda Pancasila pada lembaga politik lokal dalam
konteks pola hubungan negara–masyarakat (state–society) di Sumatera Utara
khususnya saat pemilihan Gubernur Provinsi Sumatera Utara tahun 2008.

Universitas Indonesia
12

1.4. Signifikansi Penelitian

Secara akademis, penelitian ini dilakukan untuk menganalisis peran, kiprah, dan
proses keterlibatan tokoh Pemuda Pancasila di Sumatera Utara hingga bisa menjadi
pimpinan partai politik, pejabat eksekutif dan legislatif, menjadi pengusaha, dan
pengelola media massa lokal. Pembahasan ini diharapkan akan memberikan perspektif
kontemporer mengenai peran, kiprah, dan proses yang dilakukan tokoh Pemuda
Pancasila Sumatera Utara untuk mempengaruhi lembaga politik lokal dalam rangka
memenuhi kepentingannya. Penelitian sebelumnya yang hampir sama di Indonesia
seperti studi tentang Jawara, Bosisme, dan Premanisme menjelaskan tentang orang kuat
lokal yang muncul dan mengambil alih kontrol atas politik lokal dalam proses otonomi
daerah. Penelitian ini akan membahas tentang gejala kekerasan, kekuatan uang dan
pemanfaatan jaringan politik yang muncul bukan hanya mengandalkan kekuatan
individu seperti Jawara maupun Bosisme, namun juga mengutamakan kekuatan
organisasi. Kekhususan studi ini berkaitan dengan konteks lokal di Sumatera Utara yaitu
bahwa prilaku intimidasi dan uang, dalam politik lokal, dilakukan dengan menggunakan
kekuatan organisasi bukan dengan mengandalkan kekuatan individu.
Sedangkan secara praktis penelitian ini dapat memberi penjelasan bagi
pemerhati kajian demokrasi, khususnya yang terjadi di Sumatera Utara terkait dengan
organisasi pemuda sebagai kelompok kekerasan yang terlibat dalam perebutan
kekuasaan yang sedang berlangsung pada domain politik lokal yaitu pemilihan
Gubernur dan Wakil Gubernur Provinsi Sumatera Utara tahun 2008. Dari penjelasan
tersebut akan terlihat apakah peran mereka dapat membantu atau justru mengganggu
konsolidasi demokrasi yang sedang berlangsung di tingkat lokal.

1.5. Kajian Pustaka

Penelusuran literatur terhadap topik yang relevan dengan fokus studi ini
dilakukan pada jurnal ilmiah di internet, buku serta publikasi cetak lainnya. Hasilnya
adalah, topik sejenis sebagian besar bisa ditemukan dalam tulisan atau artikel yang
diterbitkan dalam bentuk buku yang membahas kondisi Indonesia pasca pemerintahan
Presiden Soeharto. Hasil studi literatur terungkap bahwa pola hubungan antara bos lokal
dengan birokrat, pimpinan partai politik, pengusaha dan aparat di daerah pada masa
otonomi daerah, dilakukan berdasarkan hubungan patron klien dan simbiosis

Universitas Indonesia
13

mutualisme. Kajian tersebut lebih banyak dilakukan dalam perspektif antropologi,


sosiologi, dan kriminologi, namun kajian politik yang berkenaan dengan penguasaan
terhadap institusi politik lokal masih sangat terbatas terutama yang berupa hasil
penelitian. Atas pertimbangan tersebut, maka pencarian artikel hasil-hasil studi yang
relevan berawal dari Jurnal Inside Indonesia dan artikel yang telah dibukukan.
Buku yang ditulis oleh Colombijn dan Lindblad berjudul ”Indonesia is a violent
country” menyimpulkan bahwa penanganan kekerasan yang dilakukan oleh berbagai
pihak dan aturan main mengenai keamanan dan kekerasan belum juga muncul. Oleh
karena itu, pemerintah pusat mencoba mengikis organisasi masyarakat yang cenderung
menggunakan kekerasan dengan merevisi undang-undang mengenai organisasi
masyarakat.22
Buku lain yang disunting oleh Okamato Masaaki dan Abdur Rozaki berjudul
”Kelompok Kekerasan dan Bos Lokal di Era Reformasi” membedah tentang
kemunduran negara (retreat of the state) di bidang keamanan dan kemunculan broker
keamanan dan kelompok kekerasan dengan mengangkat beberapa kasus di Jakarta,
Banten, Kalimantan Barat dan Bali.23 Setiap kasus memiliki ciri khas yang berbeda-
beda. Tulisan Okamoto Masaaki memperlihatkan dua jenis broker keamanan yang
memiliki corak yang sangat berbeda di Daerah Khusus Ibukota (DKI) Jakarta untuk
memberikan jasa pengamanan bagi mereka yang membutuhkan, walau keduanya
muncul karena adanya ketidakamanan pada pasca pemerintahan Soeharto. Kondisi itu
terjadi karena hubungan antara negara dan masyarakat dari segi keamanan tidak jelas
lagi.24
Tulisan Untung Wahyono mengenai ”Jagoan Betawi dari Cakung” menguraikan
kelompok kekerasan yang sangat mengemuka di DKI yaitu Forum Betawi Rempug
(FBR) yang melakukan intimidasi dengan cara kekerasan untuk menghimpun dana
kepada perusahaan, pedagang, supir angkutan umum dan warga di Jakarta dan Bekasi.
Ketika berlangsung pemilihan legislatif, presiden, dan kepala daerah, FBR ikut
mendukung salah satu kandidat.25

22
Freek Colombijn dan Thomas J. Lindblad. eds. 2002. Roots of Violence in Indonesia: Contemporary
Violence in Historical Perspective. Singapore: ISEAS.
23
Okamoto Masaaki & Abdur Rozaki. 2006. Kelompok Kekerasan dan Bos Lokal di Era Reformasi.
Yogyakarta: IRE Press.
24
Okamoto Masaaki. “Broker Keamanan di Jakarta: Yang Profesional dan Berbasis Massa”. dalam
Okamoto Masaaki & Abdur Rozaki. Ibid. hal. 1-18.
25
Untung Widyanto, “Jagoan Betawi dari Cakung.” dalam Ibid. hal. 21-41.

Universitas Indonesia
14

Di daerah Banten artikel Abdul Hamid yang berjudul ”Jawara dan Penguasaan
Politik Lokal di Banten” menjelaskan dominannya kelompok jawara pada bidang politik
dan ekonomi di Banten yang mengakibatkan kesejahteraan hanya dinikmati oleh
segelintir elit saja. Kelompok Jawara (H. Chasan/Sohib atau Abah) menjadi penentu
dalam kebijakan pemerintah daerah, untuk mutasi pejabat dan alokasi proyek-proyek
anggaran pemerintah. Dominasi Abah bukan hanya di aparat birokrasi namun itu juga
terjadi di kelompok masyarakat.26 Penelitian disertasi yang terbaru tentang Banten juga
dilakukan oleh Lili Romli dengan analisis bahwa Jawara di Banten memiliki pengaruh
politik yang dominan di masyarakat. Selain melakukan kontrol serta pengendalian
terhadap pejabat publik juga mengontrol masyarakat sipil. Temuan dari penelitian itu
disebut Romli sebagai ”bosisme plus”.27
Kondisi kekerasan terjadi juga di Madura, tulisan Abdur Rozaki
menggambarkan blater yang hampir luput dari analisis sejarah di Madura, padahal
kehidupan masyarakat Madura tidak akan sempurna kalau tidak ada catatan mengenai
blater dan hubungan antara kyai dengan blater. Para blater dan kyai muncul sebagai
pemain politik dari tingkat kabupaten hingga desa. Mereka menjalin hubungan dengan
para politisi dan birokrasi menggunakan pola simbiosis mutalisme, hingga sulit bagi
munculnya kelompok kritis yang mengoreksi kesalahan jalannya pemerintahan lokal.28
Menurut I Ngurah Suryawan, di Bali ternyata revitalisasi adat melahirkan
penjaga keamanan ’tradisional’ yaitu pecalang sebagai tradisi yang terbuat (invented
tradition). Mereka kemudian digunakan oleh industri pariwisata dengan jasa penjual
keamanan yang ’dipelihara’ menjadi ’anak manis’ dari kekuasaan resmi. Namun,
kekuasaan resmi yang ada pada negara telah menyebar dalam masyarakat dan
membentuk jejaring kekuasaan.29
Di wilayah Kalimantan juga terbentuk kelompok kekerasan dengan nama
headhunter Dayak. Dari tulisan John Bamba terlihat bahwa di kalangan masyarakat
Dayak sendiri, militerisme juga sudah mulai merambah. Masyarakat Dayak telah
terseret dalam perangkap militerisme karena termakan oleh iming-iming dan ambisi
kekuasaan. Kondisi ketertindasan dan keterpinggiran yang dialami oleh sebagian besar
masyarakat Dayak selama ini menyebabkan mereka menjadi rentan terhadap berbagai
26
Abdul Hamid. “Jawara dan Penguasaan Politik Lokal di Banten.” dalam Ibid. hal. 45-63.
27
Lili Romli. Op. Cit.
28
Abdur Rozaki. “Sosial Origindan Politik Kuasa Blater di Madura.” Ibid. hal.67-89.
29
I Ngurah Suryawan. “Bisnis Kekerasan Jagoan Berkeris: Catatan Awal Aksi Pencalang dan Kelompok
Milisi di Bali. Ibid. hal. 91-114.

Universitas Indonesia
15

tawaran dan bujukan yang seolah-olah mampu membebaskan mereka dari


keterpurukan.30
Nordholt dan Klinken, mengumpulkan hasil penelitian yang berkaitan dengan
munculnya kekerasan dalam politik lokal di Indonesia. Seperti peneliti sebelumnya,
dalam pengantar buku tersebut, dituliskan bahwa akumulasi kekuasaan pada orang-
orang atau kelompok tertentu dilakukan bukan hanya dengan cara-cara ilegal, namun
mereka dapat menguasai institusi-institusi pemerintahan lokal yang sesuai dengan
mekanisme demokrasi yang ditetapkan.31 Situasi seperti ini telah membawa mereka
dapat ’membajak’ institusi-institusi demokrasi seperti partai politik, lembaga
perwakilan rakyat, dan lain sebagainya serta beraliansi dengan para pejabat publik yang
baru terpilih.32
Meskipun terdapat penelitian yang membahas mengenai kelompok kekerasan
dan orang-orang yang berpengaruh, namun penelitian yang secara khusus dilakukan
mengenai politik premanisme (political gangster) di kota Medan dan Jakarta hanya
dilakukan oleh Loren Ryter (1998) dan Vedi R. Hadiz (2005). Kedua peneliti itu
menjelaskan bahwa setelah jatuhnya rezim Orde Baru, perilaku premanisme masuk ke
wilayah politik formal. Perilaku ini bisa terjadi karena adanya hubungan yang erat
antara militer dengan organisasi pemuda pada masa Orde Baru, yang melakukan
tindakan kriminal, untuk memegang posisi penting di partai politik dan lembaga
parlemen. Kekuatan preman di Indonesia bukan terletak pada bentuk fisik sebagai orang
yang kuat dan selalu melakukan tindakan kekerasan. Justru kelebihan preman adalah
selalu terlepas dari sangsi hukum karena memberikan dukungan kepada jaringan politik
yang ada.33
Dari paparan hasil studi di atas, terdapat temuan yang sangat relevan dan
signifikan yang akan digunakan dalam penelitian ini. Pertama, hubungan antara negara
dan masyarakat, dalam kaitannya dengan posisi bosisme dan organisasi yang
dijalaninya, ternyata menunjukkan posisi negara lemah di mana negara tidak berdaya
menghadapi kelompok kekerasan yang melakukan kontrol monopolisitik terhadap
kekuatan pemaksaan dan sumber daya politik serta ekonomi di beberapa daerah di
Indonesia. Kedua, dari analisis sejumlah artikel, terungkap adanya pola hubungan antara

30
John Bamba. “Borneo Headhunter: Imej dan Manipulasi”. Ibid. hal.115-125.
31
Henk Schutle Nordholt. 2007. Politik Lokal di Indonesia.Op. Cit.
32
Ibid.
33
Loren Ryter. 1998. Op. Cit.; Vedi R. Hadiz. Op. Cit.

Universitas Indonesia
16

birokrat, elit partai politik, pengusaha, dan aparat dilakukan berdasarkan hubungan
patron-klien dan adanya hubungan yang saling menguntungkan atau simbiosis
mutualisme. Ketiga, bos lokal dan organisasi yang dibentuknya memiliki sumber daya
jauh lebih besar dibandingkan dengan masyarakat dan jika negara lemah dan korup
maka ia akan menjadi ‘alat’ bagi bos lokal dan organisasinya daripada sebagai ‘juri’
bagi semuanya. Keempat, dengan model yang berbeda-beda di setiap wilayah di
Indonesia, maka bos lokal dan organisasinya perlu merespons lingkungannya, melalui
pemberian jenis bantuan dan sumber kekuasaan yang mereka miliki agar tetap dapat
bertahan memberikan pengaruhnya kepada masyarakat.
Oleh karena itu, penelitian ini bermaksud menjelaskan bahwa dari kasus
pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur Provinsi Sumatera Utara akan terlihat peran
tokoh lokal di Sumatera Utara. Namun, dugaan awal, di Sumatera Utara yang dapat
disebut tokoh lokal itu tidak bisa muncul karena kekuatan individu saja, mereka berada
di dalam kekuatan organisasi pemuda yang anggotanya sebagian besar disebut sebagai
“preman”. Organisasi pemuda yang diteliti dalam studi ini adalah Pemuda Pancasila
yang merupakan organisasi pemuda tertua di Sumatera Utara dengan tokoh-tokohnya
yang memiliki jaringan kepada lembaga politik lokal dalam proses otonomi daerah.
Perbedaan studi ini dengan penelitian sebelumnya adalah pertama, fenomena
munculnya kelompok kekerasan dan tokoh lokal yang cukup kuat di Indonesia terjadi
dengan model yang berbeda-beda. Studi ini akan menjelaskan bahwa di Sumatera Utara,
fenomena kemunculan tokoh lokal yang cukup kuat bukan hanya berasal dari kekuatan
individu berupa fisik, kekayaan atau patron semata, tetapi juga berasal dari kekuatan
kelompok atau organisasi yang ada di antara organisasi sejenis dalam kehidupan
masyarakat lokal. Kedua, studi sebelumnya tidak membahas mengenai fenomena
muncul, bertahan dan berhasilnya tokoh lokal yang mampu menggerakkan organisasi
untuk kepentingan mereka di antara kelompok masyarakat lainnya saat pemilihan
kepala daerah secara langung. Studi terdahulu dilakukan sebelum pemilihan langsung
kepala daerah dilaksanakan. Oleh karena itu, studi ini akan membahas secara khusus
tentang fenomena tersebut dengan mengambil kasus pemilihan gubernur dan wakil
gubernur di Provinsi Sumatera Utara.

Universitas Indonesia
17

1.6. Kerangka Teori

Untuk mengkaji peran Pemuda Pancasila dalam pemilihan Gubernur Sumatera


Utara, penelitian ini menggunakan teori kelompok kekerasan yang ditulis oleh Masaaki
dan Rozaki. Setiap kelompok kekerasaan akan selalu menampilkan tokoh yang sangat
berpengaruh bagi anggota atau komunitas kelompok tersebut. Untuk menjelaskan hal
tesebut, penelitian ini menggunakan teori Bossism yang ditulis oleh John T. Sidel.
Selain dua teori utama tersebut, penelitian ini juga menggunakan teori-teori pendukung
lainnya yaitu teori yang berkaitan dengan teori kekuasaan, teori politik lokal, teori
otonomi daerah, demokrasi dan pilkada langsung. Teori-teori tersebut menjelaskan
adanya kelompok tertentu yang selalu saja dominan dalam setiap penentuan kebijakan
yang mendasar untuk kepentingan mereka bukan untuk kepentingan publik. Kendati
berbeda, teori-teori tersebut sepakat memahami, bahwa partisipasi masyarakat harus
dilibatkan dalam proses kebijakan demi kesejahteraan tanpa harus mengerti bahwa satu
kelompok tertentu, dengan kekuatan yang dimilikinya, akan memiliki agenda tersendiri
agar mendominasi kebijakan yang penting terutama menyangkut pengelolaan dan
pembagian sumber-sumber ekonomi negara pada skala yang lebih kecil.

1.6.1. Gejala Munculnya Kelompok Kekerasan dan Bos Lokal

Studi ilmu politik tentang kelompok kekerasan menjadi tema yang menarik
belakang ini terutama sejak keruntuhan rezim-rezim otoritarian di kawasan Asia dan
Afrika. Di Indonesia sendiri, studi tersebut banyak dilakukan untuk melihat model
demokrasi baru Indonesia pasca jatuhnya pemerintah Orde Baru. Proses demokratisasi
melalui desentralisasi dan otonomi daerah yang sedang berlangsung menghasilkan
keleluasaan daerah untuk mengembangkan inisiatif-inisiatif perubahan yang berbasis
keunggulan lokal. Meskipun berbagai deretan persoalan dan tantangan sekaligus
ancaman juga bermunculan. Salah satu diantaranya adalah maraknya kelompok-
kelompok kekerasan di perkotaan dan pedesaan sebagai kelompok penekan yang
cenderung mengedepankan prilaku intoleran terhadap kelompok masyarakat lain yang
berbeda paham dan kepentingan.
Teori tentang kelompok kekerasan berkembang disebabkan oleh dinamika
masyarakat yang berubah secara terus menerus. Menurut Masaaki dan Rozaki, yang
menjelaskan kasus Indonesia, bahwa pada masa Orde Baru segala bentuk kelompok

Universitas Indonesia
18

penekan yang ada di masyarakat dapat dirangkul oleh pemerintah dengan cara
melembagakan mereka serta mendapatkan dukungan dari tentara dan polisi atau dengan
cara penindasan. Namun, pasca Orde Baru, beragam komponen masyarakat menuntut
keadilan yang ditafsirkannya sendiri atas dasar kepentingan etnis, agama, adat, politik,
ekonomi, kelas, dan lain sebagainya. Tuntutan tersebut dilakukan untuk memenuhi
beragam kepentingan melalui cara berkelompok dan dengan memanfaatkan instrumen
kekerasan untuk menebar ancaman kelompok yang berbeda kepentingannya. Masaaki
dan Rozaki menyebut kelompok yang berperan, setelah rezim Orde Baru, sebagai
kelompok yang bersaing memperebutkan posisi untuk menjadi Tuhan (struggle of
Gods).34
Maraknya kelompok-kelompok kekerasan di tengah masyarakat menjadi salah
satu ciri yang menonjol di Indonesia pasca jatuhnya pemerintah Orde Baru. Mereka
hadir dengan memanfaatkan ketidakstabilan negara dalam mengatur politik keamanan
masyarakat. Disamping itu, bukan hanya menghiasi ruang publik dengan aksi-aksi
jalanan yang brutal, namun juga memanfaatkan arus demokratisasi dengan cara tak
sedikit para tokohnya berhasil masuk di jabatan formal pemerintahan. Kehadiran
mereka tak jarang menebar teror dan ancaman, namun kerap pula dibutuhkan dan
diperebutkan oleh kalangan tertentu yang berkepentingan.
Pada saat kebijakan otonomi daerah diberlakukan, peran para kelompok
kekerasan seolah mengganti peran negara dalam pengaturan politik keamanan di tengah
masyarakat. Jaringan yang mereka miliki melewati batas kuasa politik di ranah negara
dan masyarakat. Sejak Indonesia modern belum lahir, kelompok kekerasan memiliki
akar tradisi dan dinamikanya sendiri tergantung konstelasi politik yang berkembang. Di
dalam kelompok kekerasan itu selalu saja muncul aktor utama yang saling silih berganti
dalam ritus kekerasan dengan fase zaman yang terus bergerak. Praktek negara modern
(modern state) di Indonesia, baik negara kolonial (colonial state) maupun negara bangsa
(nation state) selalu memberi ruang gerak yang luas kepada kelompok kekerasan non-
negara (non state violence). Boleh disebut bahwa negara Indonesia selalu membiarkan
tumbuh kembangnya kekerasan non-negara walau terkadang mencoba mengendalikan
kekerasan tersebut. Jago, warok, blater, jawara, dan preman tidak pernah hilang dari
kancah sejarah Indonesia, malah mereka kadang kala menjadi pemain politik yang
mempesona dan menarik perhatian banyak peneliti.

34
Okamoto Masaaki & Abdur Rozaki. (Ed.). 2006. Kelompok……. Op. Cit. hal. xvi.

Universitas Indonesia
19

Selanjutnya, Masaaki dan Rozaki menjelaskan bahwa keberadaan kelompok


kekerasan non-negara terjadi bukan karena negara yang mengizinkannya tetapi karena
negara yang tidak bisa menolak keberadaannya, atau lebih tepatnya, negara yang
membutuhkannya. Kehadiran kelompok masyarakat seperti itu, menghambat jalannya
laju demokratisasi dan desentralisasi bahkan terancam menjadi beku (frozen democracy)
karena peran kaum reformis kalah kekuatannya dengan kelompok kepentingan yang
mengandalkan kekerasan dengan jejaringnya berurat akar di dalam tubuh partai politik.
Kondisi ini berimbas pula pada adanya potret buram lembaga DPRD yang belum
mampu mengejawantahkan sebagai koridor penampung aspirasi masyarakat. Proses
penegakan hukum yang lemah, tentu saja, menjadi modal politik bagi mereka yang
memiliki akses dan kapasitas di dalam memanfaatkan kekerasan dan ancaman
kekerasan sehingga sangat berguna untuk merebut kekuasaan di tingkat lokal.35
Konsep governance yang didalamnya mengandaikan adanya peran negara yang
tidak lagi dominan, namun hanya menjadikan pemerintah sebagai fasilitator. Oleh
karena itu, memberikan kesempatan dan ruang yang sama bagi kelompok masyarakat
sebagai stake holders. Kesempatan itu kemudian dimanfaatkan untuk mengendorkan
peran perlindungan negara atas warganya dan sebaliknya kelompok masyarakat yang
memiliki modal politik penguasaan kekerasan menjadi bagian dari pemain utama.36
Dalam konteks penelitian ini, teori Masaaki dan Rozaki akan digunakan untuk
membantu merumuskan kerangka berpikir ketika melihat keberadaan organisasi
Pemuda Pancasila dengan segala aktivitas yang cenderung melakukan kekerasan dan
represif dalam kasus pemilihan gubernur secara langsung. Melalui organisasi Pemuda
Pancasila di Sumatera Utara, para anggota dan kadernya bisa muncul menjadi tokoh
yang turut berpengaruh dalam aktivitas politik seperti pemilihan gubernur meskipun
keterlibatannya terkait pada soal perlindungan keamanan dan kekuatan uang. Saat ini,
Pemuda Pancasila mendapatkan kesempatan untuk memelihara dan memperluas
kekuasaannya di masyarakat dengan cara membangun jaringan akses kepada lembaga
politik lokal seperti partai politik, legislatif, dan eksekutif.
Eksistensi kelompok kekerasan dalam masyarakat tidak terlepas dari para
aktornya yang silih berganti dan menjadikan mereka sebagai orang kuat atau bos dalam
komunitasnya sendiri. Istilah bos lokal atau bossism kembali menjadi pembahasan pada

35
Ibid.
36
Ibid.

Universitas Indonesia
20

saat John T. Sidel, profesor Ilmu Politik di University of London, menjelaskan


fenomena munculnya bos lokal di Filipina, Thailand, dan Indonesia dalam kaitan relasi
negara dan masyarakat pada tingkat lokal.37 Sebelumnya, fenomena munculnya orang
kuat lokal tersebut telah dijelaskan oleh Migal, yaitu setiap kelompok dalam masyarakat
mempunyai pemimpin, di mana pemimpin itu relatif otonom dari negara. Setiap
masyarakat memiliki social capacity yang memungkinkan mereka menerapkan aturan
main mereka tanpa dapat diintervensi oleh negara. Ketika kapasitas negara untuk
mengontrol melemah, maka para strongmen menapakkan kekuasaannya dalam
tingkatan lokal atau wilayah yang lebih kecil. Selanjutnya, menurut Migdal, orang kuat
lokal memperoleh pengaruh signifikan yang jauh melampaui para pemimpin formal dan
birokrat lokal disebabkan berkembangnya struktur masyarakat yang mirip jaringan.38
Dalam struktur masyarakat seperti ini, terdapat kombinasi antara kumpulan
organisasi-organisasi sosial yang hampir mandiri dan kontrol sosial yang efektif dan
terpecah-pecah. Selain itu, orang kuat lokal berkembang karena kebutuhan masyarakat
terhadap mereka sebagai patron yang mempertukarkan kebaikan personal orang kuat
lokal untuk memenuhi kebutuhan hidup mereka dengan kesetiaan yang mereka berikan.
Migdal juga menyimpulkan bahwa keberadaan orang kuat lokal membatasi otonomi dan
melemahkan kapasitas negara, sehingga pada akhirnya keberadaan bos lokal tersebut
akan menghambat pembangunan.39
Migdal mencoba menerangkan tentang orang kuat lokal yang berhasil
melakukan kontrol sosial. Dalam konteks ini Migdal mengatakan:

“They have succeeded in having themselves or their family members placed in


critical state posts to ensure allocation of resources according to their own
rules, rather than the rules propounded in the official rhetoric, policy
statements, and legislation generated in the capital city or those put forth by a
strong implementor.” 40
(Mereka berhasil menempatkan dirinya sendiri atau menaruh anggota keluarga
mereka pada sejumlah jabatan penting demi menjamin alokasi sumber-sumber
37
Istilah local strongmen tersebut dipopulerkan oleh Migdal, sedangkan Sidel menggunakan istilah local
bossism. John T. Sidel. 2005. “Philippine…..” Op. Cit. Lihat John T. Sidel. 2005. “Bosisme….” Op. Cit.
38
Lihat Joel S. Migdal. 1988. Strong .. Op. Cit. dan Joel S. Migdal. 2001. State in Society: Studying How
States and Societies Transform and Capabilities in the Third World. Princenton University Press.
Meskipun di buku yang terakhir pembahasan mengenai orang kuat lokal agak terbatas, namun intinya
tetap sama.
39
Joel S. Migdal. 1988. Strong ..Ibid. hal. 9.
40
Ibid. hal. 256.

Universitas Indonesia
21

daya berjalan sesuai dengan aturan mereka sendiri ketimbang menurut aturan-
aturan yang dilontarkan dalam retorika resmi, pernyataan kebijakan, dan
peraturan perundang-undangan yang dibuat di ibukota atau yang dikeluarkan
oleh penguasa yang kuat).

Selanjutnya, Migdal menjelaskan fenomena munculnya orang kuat lokal sebagai


berikut. Pertama, orang kuat lokal tumbuh subur di dalam masyarakat mirip jaringan
yang digambarkan sebagai sekumpulan campuran (melange) organisasi-organisasi
sosial yang nyaris mandiri dengan kontrol sosial yang efektif terpecah belah. Berkat
struktur masyarakat mirip jaringan membuat orang kuat lokal memperoleh pengaruh
signifikan jauh melampaui pengaruh para pemimpin negara dan para birokrat lokal yang
digambarkan sebagai “segitiga penyesuaian.41
Kedua, orang kuat lokal melakukan kontrol sosial dengan menyertakan beberapa
komponen penting yang dinamakan ”strategi bertahan hidup” penduduk setempat.
Dengan kondisi seperti itu, orang kuat lokal bukan saja memiliki legitimasi dan
memperoleh banyak dukungan di antara penduduk lokal, tetapi juga hadir untuk
memenuhi kebutuhan pokok dan tuntutan para pemilih atas jasa yang diberikan. Para
penulis yang diilhami Migdal cenderung membingkai diskusi mereka dengan istilah
”personalisme”, ”klientisme”, dan ”hubungan patron-klien”. Pola ini kemudian juga
terjadi karena orang kuat lokal ditempatkan sebagai patron yang memberi kebaikan
personal bagi klien yang melarat dan para pengikut di daerah kekuasaan mereka.42
Ketiga, berhasilnya orang kuat lokal ”menangkap” lembaga-lembaga dan
sumber daya negara, merintangi atau menyetujui upaya pemimpin negara dalam
melaksanakan pelbagai kebijakan. Secara keseluruhan, orang kuat lokal membatasi
otonomi dan kapasitas negara, penyebab kelemahan negara dalam menjalankan tujuan
yang berorientasi pada perubahan sosial. Sepanjang keberhasilan strategi industrialisasi
dan pertumbuhan amat bergantung pada strategi penyusunan dan pelaksanaan kebijakan
negara yang saling bertautan efektif, orang kuat lokal dengan demikian, menjadi
penghambat pembangunan ekonomi di Dunia Ketiga. 43
Penjelasan yang berbeda dari Migdal dikemukakan oleh John T. Sidel, dari hasil
penelitiannya di Filipina, Thailand, dan Indonesia. Dari penelitian itu, Sidel menyebut

41
Ibid. hal. 235-238.
42
Ibid. hal. 9
43
Ibid.

Universitas Indonesia
22

istilah bossism yang merefleksikan strong state dibandingkan strong society. Ia melihat
bosisme menunjukkan peran elit lokal sebagai predatory broker politik yang memiliki
kontrol monopolistik terhadap kekuatan paksaan dan sumber daya ekonomi dalam
wilayah teritorial mereka. Bosisme beroperasi dalam bayangan rezim daerah yang
dicirikan oleh persekutuan birokrat, bos-bos partai, pengusaha, militer, dan preman.44
Dalam kasus di Filipina, Sidel menyimpulkan bahwa ukuran dan pentingnya
luas kepemilikan tanah pribadi bukan sumber utama kekuasaan dan kekayaan. Sumber-
sumber negara dan modal perdagangan lebih menonjol. Banyak orang kuat lokal yang
menjadi kaya justru setelah memangku jabatan. Kekayaan tersebut diperoleh melalui
akses ekonomi, berupa bermacam-macam keistimewaan yang diberikan pejabat terpilih,
yang ‘berhutang budi’ atas jasa mereka dalam memobilisasi dukungan melalui
penggunaan kekerasan dan intimidasi, pembelian suara pemilih, dan kecurangan dalam
pemilihan.
Mengakarnya orang kuat lokal di Filipina lebih mewakili keganjilan struktur
kelembagaan negara, bukan hubungan patron-klien atau kekuasaan dan oligarki
berdasarkan kepemilikan tanah. Ini berkembang sejak diperkenalkannya perubahan
politik pada awal abad ke-20, berupa pemilihan kepala daerah maupun anggota
parlemen di tingkat nasional maupun lokal, memberikan kesempatan para pejabat
terpilih untuk tetap dapat menggunakan diskresi atas penegakan hukum lokal, pekerjaan
umum, perpajakan, dan sebagainya. Berbeda dengan kesimpulan Migdal, orang kuat
lokal di Filipina menurut Sidel, justru terbukti mendukung perkembangan kapitalisme,
antara lain ditandai dengan tumbuhnya kegiatan-kegiatan ekonomi di tingkat lokal.45
Sementara itu, cikal-bakal bosisme lokal di Thailand pada masa pemerintahan
militer dan berlakunya bureaucratic polity hingga 1970-an secara kelembagaan
mendapat hambatan untuk tumbuh. Bosisme lokal tumbuh subur ketika terdapat
pergeseran dari parlemen yang lemah, yang ditandai oleh dominasi militer, menuju
parlemen yang lebih kuat. Perkembangan ini menarik para tokoh Bangkok terkemuka
yang memiliki sumber daya keuangan besar dan basis dukungan di pedesaan untuk
masuk ke ranah politik. Ditandai oleh suburnya chao pao (jao poh), mereka
memonopoli kegiatan ekonomi di daerah kekuasaannya yang ditetapkan dengan longgar
dari sisi akumulasi pemilik kekayaan, pendapatan konsensi, kontrak dan waralaba, yang

44
Dikutip dari John T. Sidel. “Bosisme ......” Op. Cit. hal. 72-74.
45
Dikutip dari John T. Sidel. “Bosisme ......” Op. Cit. hal. 76-80.

Universitas Indonesia
23

diperoleh dari negara dan keterlibatan dalam kegiatan-kegiatan illegal. Mereka menjadi
pialang suara (hua khanaen) dalam pemilu, memobilisasi suara pemilih kepada patron
yang berbasis di Bangkok, klien-klien lokal, atau diri mereka sendiri melalui gabungan
koersi, pembelian suara dan kecurangan pemilihan. Chao pho ini mempunyai
kemampuan memonopoli secara efektif dalam organisasi kekerasan, baik di dalam
maupun di luar negara.46
Hambatan bagi berkembangnya bos lokal di Indonesia bertahan selama
kekuasaan Soeharto. Pemerintah Orde Baru melakukan rotasi pejabat sipil dan militer di
daerah secara teratur, sehingga mencegah para pejabat di tingkat lokal ini untuk
membangun wilayah kekuasaan lokal tersendiri yang otonom terhadap pusat. Otonomi
daerah yang diterapkan, terutama berdasarkan UU Nomor 5 Tahun 1974 sesungguhnya
bersifat sentripetal. Meskipun demikian, kebutuhan pusat terhadap aktor-aktor lokal
untuk memelihara kekuasaannya pada praktiknya telah memunculkan mafia-mafia
lokal, dengan otonomi terbatas, terutama preman-preman dari kelompok yang erat
kaitannya dengan rezim. Kesempatan yang demikian luas hadir ketika Indonesia
mengalami transisi dari pemerintahan otoritarian Orde Baru pada tahun 1998. Pemilu
1999 dan desentralisasi memperlebar kemungkinan akumulasi kekuasaan oleh mafia,
jaringan dan marga.47
Temuan penelitian Sidel mengenai berkembangnya bos lokal di Asia Tenggara
menjelaskan beberapa catatan penting berikut. Pertama, orang kuat lokal memperoleh
kekuasaan dan kekayaan bukan dari kepemilikan tanah atau kekayaan pribadi,
melainkan dari sumber-sumber negara yang diakumulasi setelah memegang kekuasaan.
Hubungan patron-klien bukan lagi penyangga utama kekuasaan mereka. Perluasan
kekerasan dan kontrol terhadap pejabat politik yang dipilih adalah sumber kekuasaan
mereka. Kontrol tersebut merupakan kunci bagi akumulasi sumber daya manusia, alam,
dan keuangan setempat, melalui diskriminasi penegakan hukum dan aturan, diskresi ijin
monopoli, kontrak, penggunaan lahan, dan sebagainya. Berbeda dengan Migdal, dari
kepialangan politik lah kekuasaan diperoleh serta dapat memberikan kesempatan bagi
akumulasi kekayaan, dan bukan sebaliknya.48
Kedua, hubungan antara orang kuat dengan masyarakat luas di daerah
kekuasaannya bukan ditentukan oleh “sisi permintaan”, yakni kebutuhan klien atas
46
Ibid. hal. 81-83.
47
Ibid. hal. 86-89.
48
Sidel. “Philippine .....”. 1997. hal. 962.

Universitas Indonesia
24

patron. Hubungan lebih ditentukan oleh “sisi persediaan” berupa struktur negara di
tingkat nasional dan ekonomi tingkat lokal.
Ketiga, berbagai praktik pembelian suara, kecurangan dalam pemilihan, atau
pengumpulan kekayaan pribadi melalui cara-cara illegal dilakukan dengan cara
pemaksaan, dibandingkan hubungan timbal-balik paternalistik atau klientelistik.
Kepentingan orang kuat lokal menjadi sandaran dalam hubungan antara mereka dengan
masyarakat luas.49
Tabel 1.1
Ciri-ciri Bosisme di Asia Tenggara Menurut Sidel

Variabel Ciri-ciri Bosisme di Asia Tenggara


Sumber Kekayaan Berasal dari sumber negara
Pola hubungan Hubungan patron klien bukan penyangga utama
Hubungan dengan pejabat Melakukan kontrol dan pengendalian terhadap
politik pejabat politik
Voting/pemilu Pembelian suara
Posisi Negara Negara kuat
Perilaku Kekuasaan Kekerasan
Kontrol Pemerintah Pusat Kontrol lemah
Sumber: diolah dari buku John T. Sidel 2005. “Bosisme dan Demokrasi di Filipina, Thailand, dan
Indonesia”, dalam John Harris, Kristian Stokke, dan Olle Tornquist (ed.). Politisasi Demokrasi: Politik
Lokal Baru. Jakarta: Demos.
Tentang perkembangan bossism di Indonesia, Sidel melihat bahwa itu terjadi
seiring dengan melemahnya kontrol pusat terhadap daerah pasca jatuhnya pemerintah
Orde Baru. Kebijakan desentralisasi telah mengakhiri kontrol efektif pusat yang
mencegah pejabat-pejabat sipil dan perwira-perwira menengah militer untuk
membangun wilayah kekuasaan lokal tersendiri yang mandiri. Kondisi tersebut telah
memberikan ruang yang sangat leluasa bagi para pialang politik ini untuk memperoleh
dan mengakumulasi kekuasaan dan kekayaan.50
Berkembangnya bosisme lokal, menunjukkan ketiadaan salah satu nilai-nilai
demokrasi yang hendak dicapai dengan penerapan kebijakan desentralisasi, yaitu
political equality. Konsep ini menyangkut tiga macam hubungan yaitu antarpemerintah
(intergovernmental relation), antara negara dan masyarakat (state society relation); dan
antara masyarakat dan masyarakat (society-society relation). Hubungan antarpemerintah
meliputi kesetaraan antarlevel pemerintahan, baik secara vertikal maupun horizontal,

49
Sidel. “Bosisme….. Op. Cit. hal. 101.
50
Ibid. hal. 85.

Universitas Indonesia
25

dalam kewenangan mengatur dan mengurus. Penyelenggaraan pemerintahan daerah


akan semakin kuat jika ada kesetaraan antara kewenangan dengan sumber keuangan
yang dimiliki, kejelasan kewenangan antarberbagai tingkat pemerintahan, dan
sebagainya. Hubungan antarnegara dan masyarakat merupakan refleksi dari daya tawar
masyarakat terhadap berbagai keputusan yang diambil lembaga pemerintahan.
Otonomi daerah sejatinya bukan hanya memberikan kewenangan kepada
pemerintah daerah. Tetapi juga harus memperkuat peran dan kedudukan masyarakat,
sebagai pemilik kedaulatan dan pemilik kewenangan, dalam pengambilan keputusan di
tingkat lokal. Sedangkan hubungan antara negara dan masyarakat menunjukkan akses
yang sama dalam ikut serta mempengaruhi proses kebijakan. 51 Romli misalnya
menjelaskan kasus Jawara di Banten sebagai pola hubungan birokrat, bos-bos partai,
pengusaha, dan aparat dalam mengusai politik lokalnya didasarkan atas dua, yaitu
hubungan patron klien dan berdasarkan hubungan simbiosis mutualisme. Kontrol yang
dilakukan oleh tokoh Jawara di Banten dilakukan terhadap pejabat publik dan civil
society. Teori ”Bossisme Plus” yang dikemukakan Romli menjelaskan bahwa sumber
kekuasaan berupa magi, kesaktian, dan ilmu silat menyebabkan jawara memiliki
pengaruh di masyarakat. Berbeda dengan Sidel di mana sumber-sumber kekuasaan
diperoleh saat ia mendapat fasilitas dari negara. Bosisme ala Sidel hanya memiliki
kontrol terhadap pejabat publik, tetapi bosisme plus pada kasus jawara selain
mengontrol pejabat publik juga mengontrol masyarakat (civil society).52
Dalam menganalisa peran Pemuda Pancasila di Sumatera Utara dalam
penguasaan politik lokal, teori yang digunakan adalah teori yang dikemukakan oleh
Sidel. Teori Sidel tentang local bossism membantu merumuskan kerangka berpikir yang
akan digunakan dalam penelitian ini, terutama terkait dengan sumber kekuasaan dan
cara-cara penggunaan kekuasaan yang dilakukan oleh para tokoh Pemuda Pancasila.
Fenomena munculnya kelompok kekerasan dan bos lokal pada panggung politik di
Sumatera Utara justru terkait dengan kebijakan otonomi daerah. Mereka adalah orang-
orang, yang pada masa Orde Baru, memperoleh banyak keberuntungan.
Bos lokal tersebut adalah para pebisnis, termasuk dalam kelompok yang sering
melakukan praktik kekerasan, kemudian menjadi tokoh dan memiliki pengaruh pada
lembaga politik lokal seperti partai politik, legislatif, dan eksekutif. Kemunculan
51
Ketiga nilai tersebut adalah political equality, accountability, dan responsiveness. Lihat dalam B.C.
Smith. 1985. Op. Cit. hal. 24-30.
52
Lili Romli. “Jawara ......” Op. Cit. hal. 254-257.

Universitas Indonesia
26

mereka tidak terlepas dari struktur masyarakat dan struktur negara itu sendiri. Dalam
struktur masyarakat yang bersifat paternalistik, orang yang mempunyai pengaruh
cenderung akan dihormati masyarakat. Sedangkan struktur negara memungkinkan
terciptanya satu kondisi bagi muncul, bertahan, dan berhasilnya bos lokal tersebut. Di
Sumatera Utara, kemunculan bos lokal itu berasal dari salah satu organisasi yang sering
melakukan praktik kekerasan dalam aktivitasnya diantaranya adalah Pemuda Pancasila.
Namun, bos lokal itu tidak dapat mengandalkan kekuatan individu semata karena
sumber-sumber kekuasaan tersebar di antara kelompok-kelompok masyarakat lainnya.
Fenomena munculnya bos lokal di Sumatera Utara terkait dengan kekuatan kelompok
yang mampu membentuk jaringan kepada sumber-sumber daya di tingkat lokal.
Dari kerangka tersebut, penelitian ini akan menjelaskan cara individu dan tokoh
di Sumatera Utara dapat muncul sebagai bos lokal dalam kekuatan kelompok kekerasan.
Penelitian ini akan membuktikan asumsi bahwa fenomena munculnya bos lokal di
Sumatera Utara tidak terkait dengan lemahnya negara, tetapi terkait dengan, dalam
bahasa Sidel, beroperasi dalam bayangan rezim daerah yang dicirikan oleh persekutuan
bos-bos partai, pengusaha, militer, dan preman. Mereka ini memiliki kontrol
monopolistik terhadap kekuatan pemaksaan dan sumberdaya ekonomi dalam wilayah
teritorial tertentu. Teori itu akan menganalisis kasus peran Pemuda Pancasila dalam
pemilihan Gubernur Provinsi Sumatera Utara tahun 2008.

1.6.2. Patrimonialisme dan Klientelisme

Patrimonialisme merujuk pada paham mengenai bentuk-bentuk hubungan yang


menganggap seseorang patron menjadi pemimpin kelompok yang didasarkan atas kaitan
personal. Nathan Quimpo memperjelas istilah patrimonialisme “as a type rule in which
the ruler does not distinguish between personal and public patrimony and treats matter
and resources of state as his personal affair”53 (sebagai jenis aturan di mana penguasa
tidak membedakan antara warisan pribadi dan publik dan memperlakukan masalah dan
sumber daya negara sebagai urusan pribadi). Dalam hubungan kekuasaan,
patrimonialisme menjadi bentuk hubungan timbal balik antara pemimpin (patron) dan
bawahan (klien) yang loyal kepadanya.

53
Nathan G. Quimpo. 2007. “Trapo Parties and Corruption”. dalam KASAMA. Vol. 21 No. 1. Januari-
March.

Universitas Indonesia
27

Bentuk-bentuk hubungan patron klien dijelaskan oleh James C. Scott sebagai


berikut,

“The patron-client relationship–an exchange relationship between roles–may be


defined as a special case of dyadic (two person) ties involving a largely
instrumental friendship in which an individual of higher socioeconomic status
(patron) uses his own influence and resources to provide protection or benefit,
or both, for a person of lower status (client) who, for his part, reciprocates by
offering general support and assistance, including personal, to the patron”54
(hubungan patron-klien, suatu hubungan pertukaran antara peran yang dapat
didefinisikan sebagai suatu kasus khusus dari dua orang yang melibatkan
sebagian besar hubungan persahabatan yang saling menolong di mana seorang
individu dari status sosial ekonomi yang lebih tinggi (patron) menggunakan
pengaruhnya dan sumber daya sendiri untuk menyediakan perlindungan atau
manfaat, atau keduanya, kepada seorang yang lebih rendah statusnya (klien),
untuk bagian diri klien itu, membalas dengan menawarkan dukungan dan
bantuan, termasuk pelayanan pribadi kepada patron).

Dalam konteks hubungan patron-klien, posisi seorang patron memiliki sumber


yang melebihi baik secara langsung maupun tidak langsung dari seorang klien. Posisi
itu menyebabkan seorang patron mampu mempengaruhi sikap dan prilaku klien.
Sebaliknya, klien mengakui dan menerima sumber yang dimiliki patron sehingga bila
mempengaruhi klien, maka klien akan menerima dan mengakui pengaruh tersebut
secara sadar atau sukarela. Sifat hubungan patron-klien didasarkan atas pertukaran yang
tidak seimbang karena adanya perbedaan status di antara keduanya. Hubungan yang
tidak seimbang tersebut membuat klien merasa berhutang budi dan membalas jasa baik
kepada patron. Hubungan yang bersifat personal itu kemudian akan menciptakan
loyalitas, kepercayaan dan kasih sayang yang diberikan di antara mereka serta bersifat
fleksibel dan tanpa batas waktu.
Scott kemudian menjelaskan bahwa kelompok patron-klien bisa berbentuk
gugus (patron-client cluster) yaitu seorang patron dengan beberapa orang klien.
Kelompok patron-klien bisa juga berbentuk gabungan dari berbagai gugus patron-klien
yang dipimpin oleh seorang patron sebagai patron tertinggi (patron-client pyramid). Di
54
James C. Scott. 1972. “Patron-Client Politics and Political Change in Southeast Asia”. dalam The
American Political Science Review. Vo. 6. No. 1 (Mar. 1972). hal. 92.

Universitas Indonesia
28

bawah patron tertinggi itu, terdapat sejumlah klien yang merupakan patron kecil bagi
sejumlah klien. Seorang klien dari patron tertinggi juga menjadi seorang patron bagi
beberapa orang klien. Dalam bentuk piramid itu, ada beberapa patron kecil yang
menjadi klien patron tertinggi dan mempunyai beberapa klien sendiri.55
Maswadi Rauf menjelaskan tentang faktor penting dalam kelompok patron-klien
adalah hubungan kekuasaan. Patron memiliki sumber daya berupa kekuasaan, materi,
maupun kemampuan yang tidak dimiliki oleh para klien. Kemampuan patron untuk
memberikan perlindungan dan kebutuhan hidup kepada orang lain menjadi penyebab
orang lain itu bersedia menjadi kliennya.

“Patron adalah seorang yang mempunyai kedudukan yang tinggi dan terpandang
dalam masyarakat dan pemerintahan sehingga mempunyai pengaruh terhadap
sejumlah besar orang lain dalam masyarakat. Di samping itu mempunyai
sejumlah harta benda dan kuat secara finansial. Dengan modal ini seorang patron
dapat menarik sejumlah klien yang membutuhkan bantuannya. Sebaliknya para
klien membalas pemberian patron dengan memberikan dukungan dan pelayanan
kepada patron”.

Dalam relasi kekuasaan, patrimonialisme tidak hanya berlangsung atas dasar


ekonomi atau kekayaan tetapi juga berdasarkan hubungan yang bersifat inklusif dari
semua bidang kehidupan. Pada awalnya yang menjadi patron adalah tuan tanah yang
memiliki tanah yang luas untuk pertanian. Sedangkan para kliennya adalah para petani
yang menggarap tanah tersebut dan memperoleh perlindungan serta sumber kebutuhan
hidup dari patron. Sebaliknya, para petani memberikan dukungan fisik kepada patron
termasuk berperang melawan musuh patron.
Pada masa modern, sumber kekuasaan patron telah bergeser dari kepemilikan
tanah kepada kekuasaan bidang pemerintahan dan politik. Jabatan pemerintahan dan
politik menjadi sumber patron untuk memberikan pengaruh dan penguasaan sumber-
sumber daya dalam jumlah besar kepada pejabat pemerintah dan tokoh-tokoh politik.
Pengaruh itu digunakan oleh mereka untuk menarik sejumlah orang menjadi kliennya.
Seorang patron akan memberikan atau membantu mendapatkan jabatan pemerintahan
dan politik kepada para klien yang membutuhkannya. Atas bantuan itu, para klien
diharuskan memberikan dukungan politik dan membantu patron untuk

55
Ibid. hal 96. Lihat juga penjelasan Maswadi Rauf. “Konsensus Politik….”. hal. 99.

Universitas Indonesia
29

mempertahankan, memperkuat kekuasaan dan kedudukan politik mereka. Bentuk


hubungan ini disebut sebagai patrimonialisme baru (new patrimonialism).56
Kecenderungan hubungan patron-klien dalam masyarakat Indonesia masih
sangat kuat. Dwight King menjelaskan praktik new patrimonialism pada masa
pemerintahan Orde Baru yang dijabarkannya dalam konsep rejim otoriter bercirikan
tingkat korporatisme yang begitu tinggi. King menjelaskan, berbagai kelompok di
dalam institusi negara dan masyarakat sipil selalu dihubungkan dengan para pemimpin
negara yang dianggap sebagai patron besar. Bentuk korporasi kelompok-kelompok
masyarakat selau merujuk kepada seorang pemimpin dan representasi kepentingan
kelompok masyarakat itu berada kuat berada di bawah pengaruh Presiden Soeharto
yang paternalistik.57
Ikatan-ikatan patron-klien yang masih kuat di Indonesia pada akhirnya menjadi
landasan bagi pembentukan kekuasaan politik. Untuk kepentingan penelitian ini, teori
Scott tentang hubungan patron-klien dan Maswadi Rauf mengenai patrimonialisme baru
itu akan digunakan untuk melihat bentuk jaringan patronase yang dilakukan oleh tokoh
Pemuda Pancasila Sumatera Utara. Jaringan patronase yang dimaksud adalah pola relasi
antara tokoh Pemuda Pancasila dengan para anak buahnya dan relasi antara tokoh
Pemuda Pancasila dengan kelompok lain seperti pejabat pemerintah, partai politik,
anggota legislatif, pengusaha, dan media massa untuk mendapatkan akses sumber daya
lokal di Sumatera Utara. Pola itu akan dilihat dalam kasus peran Pemuda Pancasila
dalam mendukung calon Gubernur Sumatera Utara yang ingin dimenangkan.

1.6.3. Teori Kekuasaan

Salah satu konsep penting dalam pembahasan Ilmu Politik adalah mengenai
kekuasaan. Individu atau kelompok yang memiliki kepentingan apapun selalu berkaitan
dengan kekuasaan. WA Robson menjelaskan bahwa ilmu politik mempelajari
kekuasaan dalam masyarakat, yaitu sifat hakiki, dasar, proses-proses, ruang lingkup,
dan hasil-hasil. Fokus perhatian tertuju pada perjuangan untuk mencapai atau

56
Maswadi Rauf. Op. Cit. hal. 100.
57
Dwigth King. 1982. “Indonesia’s New Order A Bureaucratic Polity, A New Patrimonial Regime or
Bureaucratic Authoritarian Regime: What Difference Does It Make?. dalam Benedict R.O.G Anderson
dan Audrey Kahin (eds). Interpreting Indonesian Politics: Thirteen Contributions to The Debate. Ithaca.
New York: Cornell University Press (Cornell Modern Indonesia Project Publication 62).

Universitas Indonesia
30

mempertahankan kekuasaan, melaksanakan kekuasaan, membuat pengaruh atas orang


lain atau menentang pelaksanaan kekuasaan itu.58
Para sarjana mencoba memberikan batasan mengenai pengertian kekuasaan.
Robert M. MacIver, misalnya memberikan pengertian kekuasaan sebagai kemampuan
untuk mengendalikan tingkah laku orang lain, baik secara langsung dengan memberi
perintah, maupun secara tidak langsung dengan mempergunakan segala alat dan cara
yang tersedia.59 Miriam Budiardjo memberikan batasan kekuasan sebagai kemampuan
seseorang atau sekelompok manusia untuk mempengaruhi perilaku seseorang atau
kelompok lain sedemikian rupa, sehingga tingkah laku itu menjadi sesuai dengan
keinginan atau tujuan dari orang yang mempunyai kekuasaan itu.60 Charles F. Andrain
mendefinisikan kekuasaan sebagai penggunaan sejumlah sumber daya (aset,
kemampuan) untuk memperoleh kepatuhan (tingkah laku menyesuaikan) dari orang
lain.61
Definisi tentang kekuasaan yang dikemukakan di atas menjelaskan bahwa setiap
relasi kekuasaan biasanya berjalan secara tidak seimbang, seorang pelaku memiliki
kekuasaan yang lebih besar dari pelaku lain. Ketidakseimbangan itu justru
menimbulkan ketergantungan dan semakin besar ketimpangan hubungan maka akan
semakin besar pula sifat ketergantungannya. Lebih dari itu, bisa saja terjadi seseorang
memiliki kekuasaan sepenuhnya atas orang lain, sedangkan orang tersebut sama sekali
tidak memiliki daya upaya apapun untuk bertindak atas perlakuan orang pertama.
Ketika masa modern saat ini, teori kekuasaan tidak saja menjadi area yang
sangat berkaitan erat dengan negara meskipun kekuatan negara bisa menjadi alat
pemaksa untuk membagikan sumber-sumber daya bagi warganya.62 Setiap individu dan
kelompok dalam masyarakat yang berkepentingan akan berusaha merebut sumber-
sumber daya yang terbatas sifatnya acapkali memiliki kekuasaan yang bersumber dari
berbagai macam cara. Oleh karena itu, kekuasaan dapat dibedakan dengan authority
(wewenang) dan legitimacy (legitimasi, keabsahan). Kewenangan adalah kekuasaan,
tetapi kekuasaan tidak selalu berupa kewenangan. Kewenangan merupakan kekuasaan

58
W.A. Robson. 1954. The University of Teaching of Social Sciences: Political Science. Paris: Unisco.
hal. 24.
59
Robert MacIver. 1961. The Web of Government. New York: The Macmillians Company. hal. 22.
60
Miriam Budiardjo. 2008. Edisi Revisi. Dasar-Dasar Ilmu Politik. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka
Utama. hal. 17-18.
61
Charles F. Andrain. 1992. Kehidupan Politik dan Perubahan Sosial. Yogyakarta: Tiara Wacana. hal.
130.
62
Lihat Deliar Noer. 1965. Pengantar ke Pemikiran Politik. Medan: Dwipa. hal. 56.

Universitas Indonesia
31

yang memiliki keabsahan (legitimate power), sedangkan kekuasaan tidak selalu


memiliki keabsahan. Sedangkan legitimasi merujuk pada keyakinan anggota-anggota
masyarakat bahwa wewenang yang ada pada seseorang, kelompok atau penguasa patut
untuk dihormati.
Legitimasi didasarkan pada persepsi bahwa pelaksanaan wewenang itu sesuai
dengan asas-asas dan prosedur yang sudah diterima secara luas dalam masyarakat dan
sesuai dengan ketentuan-ketentuan serta prosedur yang sah. Sebagaimana yang
dijelaskan David Easton bahwa keabsahan adalah ” the conviction on the part of the
remember that it is right and proper for him to accept and obey the authorities and to
abide by the requirements of the regime” (keyakinan dari pihak anggota masyarakat
bahwa sudah wajar bagi dia untuk menerima dan menaati penguasa serta memenuhi
tuntutan-tuntutan dari rezim itu).63
Bagi penganut demokrasi, kekuasaan yang berarti kekuasaan dari rakyat oleh
rakyat dan untuk rakyat, sebenarnya gagasan yang sangat fundamental dalam memaknai
penggunaan kekuasaan. Wewenang kekuasaan hanya dapat digunakan melalui
legitimasi proses-proses demokratis, seperti pemilihan umum. Kekuasaan harus
diperoleh dan diperebutkan untuk memaksimalkan kepuasan adanya keterlibatan atau
partisipasi masyarakat dalam proses penentuan kebijakan sebagai solusi untuk
mengatasi masalah warga itu sendiri. Kekuasaan dapat disebut demokratis jika tersedia
institusi dan prosedur yang memungkinkan warga negara mengekspresikan pilihan-
pilihannya secara efektif dan adanya mekanisme kompetisi yang terlembaga dalam
memperebutkan dan mempertahankan kekuasaan. Selain itu, adanya hak berpartisipasi
dalam menseleksi para pemimpin atau kebijakan-kebijakan yang nantinya memiliki
dampak bagi warga negara.64
Seseorang atau sekelompok orang agar dapat memperoleh kekuasaan harus
memiliki sumber-sumber kekuasaan dan cara-cara untuk memperoleh serta
mempertahankan kekuasaan. Perjalanan kekuasaan yang efektif bergantung pada tipe-
tipe sumber kekuasaan yang tersedia. Untuk memperoleh kepatuhan, para pemimpin
politik biasanya memperluas persediaan sumber daya mereka dan menggunakan secara
lebih efisien sumber daya yang telah mereka miliki.

63
David Easton. 1965. A System Analysis of Political Life. New York: John Wiley and Son. hal. 278.
64
Renske Doorenspleet. 2005. Democratic Transitition: Exploring the Structural Sources of the Fourth
Wave. London: Lynne Rienner Publisher Inc. hal. 15.

Universitas Indonesia
32

Menurut Miriam Budiardjo, sumber-sumber kekuasaan dapat berupa


kedudukan. Misalnya seorang komandan terhadap anak buahnya atau seorang majikan
terhadap pegawainya. Dalam kasus ini bawahan dapat ditindak jika melanggar disiplin
kerja atau melakukan korupsi. Sumber kekuasaan dapat pula berupa kekayaan. Misalnya
seorang pengusaha kaya mempunyai kekuasaan atas seorang politisi atau seorang
bawahan yang mempunyai utang yang belum dibayar kembali. Kekuasaan dapat pula
bersumber pada kepercayaan atau agama. Di banyak tempat alim ulama mempunyai
kekuasaan terhadap umatnya, sehingga mereka dianggap sebagai pemimpin informal
yang perlu diperhitungkan dalam proses pembuatan keputusan di tempat itu.65
Charles F. Andrain membedakan lima tipe sumber daya kekuasaan yaitu sumber
daya fisik, ekonomi, normatif, keahlian dan personal.66 Dengan menggunakan sumber-
sumber kekuasaan itu, seseorang atau sekelompok orang dapat mempengaruhi orang
lain untuk mengikuti kehendak atau keinginannya. Andrain juga menjelaskan perbedaan
motif kepatuhan dalam masing-masing tipe sumber daya kekuasaan.
Tabel 1.2
Tipe-Tipe Sumber Kekuasaan

Tipe Sumber
Contoh Sumber Daya Motivasi untuk Mematuhi
Daya
Fisik Senjata, senapan, bom, rudal B “berusaha menghindari cedera
fisik” yang disebabkan oleh A
Ekonomi Kekayaan, pendapatan, kontrol B “berusaha memperoleh kekayaan”
atas barang dan jasa dari A
Normatif Moralitas, kebenaran, tradisi, B “mengakui bahwa A mempunyai
relijius, legitimasi, wewenang hak moral untuk mengatur” prilaku
B
Personal Karisma pribadi, daya tarik, B “mengidentifikasi diri merasa
persahabatan, popularitas tertarik” dengan A
Ahli Informasi, pengetahuan, B “merasa bahwa A mempunyai
intelejensi, keahlian teknis pengetahuan dan keahlian yang
lebih”
Sumber: Charles F. Andrain. 1992. Kehidupan Politik dan Perubahan Sosial. Yogyakarta: Tiara Wacana.
hal. 132.

Dalam bagian lain, Andrain mengemukakan bahwa sumber kewenangan


seseorang atau kelompok untuk memerintah berasal dari: (1) hak memerintah
berdasarkan dari tradisi, yaitu kepercayaan yang telah berakar dipelihara terus menerus
65
Miriam Budiardjo. 1984. “Konsep Kekuasaan: Tinjauan Pustaka”. dalam Budiardjo. Aneka Pemikiran
tentang Kuasa dan Wibawa. Jakarta: Gramedia. hal. 13.
66
Charles F. Andrain. 1992. Op. Cit. hal. 132.

Universitas Indonesia
33

dalam masyarakat; (2) hak memerintah berasal dari Tuhan, Dewa, atau Wahyu.
Kewenangan memerintah berasal dari kekuatan yang sakral; (3) hak memerintah berasal
dari kualitas pribadi sang pemimpin, baik penampilannya yang agung dan dirinya yang
populer maupun karena memiliki karisma; (4) hak memerintah berasal dari sumber yang
bersifat instrumental, seperti keahlian dan kekayaan; dan (5) hak memerintah berasal
dari peraturan perundang-undangan yang mengatur prosedur dan syarat-syarat menjadi
pemimpin pemerintahan.67
Sumber kewenangan yang disebut terakhir adalah kewenangan yang bersifat
prosedural, yaitu hak memerintah berdasarkan sumber-sumber legal atau peraturan
perundang-undangan yang bersifat tertulis maupun tidak tertulis. Sedangkan empat
sumber yang disebut pertama merupakan kewenangan yang bersifat substantif, yaitu
hak memerintah berdasarkan faktor-faktor yang melekat pada diri pemimpin, seperti
tradisi, sakral, kualitas pribadi, dan instrumental. Semakin kompleks struktur
masyarakat suatu negara maka tipe sumber kewenangan yang digunakan cenderung
bersifat prosedural. Dan sebaliknya, di masyarakat yang strukturnya masih sederhana
cenderung menggunakan tipe kewenangan substansial karsena kehidupan lebih banyak
berdasarkan pada tradisi, kepercayaan kepada kekuatan supranatural, dan kesetiaan pada
tokoh atau pemimpin.68
Teori sumber-sumber kekuasaan dari Miriam Budiarjo yang digunakan dalam
penelitian ini adalah kedudukan dan kekayaan. Sedangkan teori sumber-sumber
kekuasaan yang dikemukakan Andrain yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah
fisik dan ekonomi. Sumber-sumber kekuasaan yang dipilih tersebut akan digunakan
untuk menjelaskan sumber-sumber kekuasaan yang dimiliki oleh Pemuda Pancasila
sehingga bisa menjadi salah satu organisasi pemuda terbesar dan berpengaruh dalam
konstelasi politik di Sumatera Utara. Sumber kekuasaan berupa fisik, kedudukan, dan
kekayaan terkait dengan asumsi awal yang diamati tentang aktivitas organisasi Pemuda
Pancasila Sumatera Utara yang dikenal melakukan praktik kekerasan dan uang oleh
sebagian masyarakat Sumatera Utara.
Selanjutnya, sumber-sumber kekuasaan tersebut akan dapat dibedakan dari cara
menggunakan kekuasaan. Dalam kaitannya dengan penggunaan kekuasaan, Miriam
Budiardjo menjelaskan esensi dari kekuasaan adalah hak mengadakan sanksi. Cara

67
Ibid. hal. 194-197.
68
Ibid. hal. 87-88.

Universitas Indonesia
34

untuk menyelenggarakan kekuasaan berbeda-beda. Upaya yang paling ampuh untuk


menggunakan kekuasaan adalah melalui kekerasan (force). Seorang penjahat yang
bersenjatakan clurit akan memaksa seseorang untuk menyelamatkan dirinya merupakan
suatu contoh dari kekuasaan yang paling terbuka dan brutal. Dia mempersempit
alternatif bertindak, sehingga bagi korbannya hanya ada satu aternatif yaitu mengikuti
kemauan si penjahat dan menyerahkan miliknya. Kekuasaan dapat juga diselenggarakan
lewat koersi (coercion), yaitu ancaman akan diadakan sanksi. Suatu upaya yang sedikit
lebih lunak adalah melalui persuasi (persuasion) yaitu proses meyakinkan,
beragumentasi atau menunjuk pada pendapat seorang ahli (expert adivice). Selain itu
kekuasaan digunakan dengan cara tidak mengatakan denda tetapi memberi ganjaran
(reward) atau insentif, imbalan atau kompensasi.69
Andrain membedakan dua bentuk cara menggunakan kekuasaan yaitu kekuasaan
paksaan dan kekuasaan yang berdasarkan konsensus. Ia menjelaskan sebagai berikut:

“Mereka yang menekankan aspek-aspek pemaksaan dari kekuasaan biasanya


memandang politik dalam kerangka pergulatan dominasi dan konflik. Mereka
melihat para pelaku politik mengejar tujuan-tujuan yang tidak diminati oleh
keseluruhan komunitasnya. Satu pihak memperoleh keuntungan, pihak lain
merugi. Sebaliknya, para analis yang menekankan aspek-aspek konsensus yang
lebih banyak mengaitkan kekuasaan dengan usaha mengatasi perlawanan
bukannya dengan kegiatan-kegiatan koordinasi. Mereka melihat para pelaku
politik mengusahakan pencapaian tujuan-tujuan bersama.”70

Menurut Andrain, penggunaan kekuasaan koersif atau konsensual dapat dilihat


dari sumber daya kekuasaan yang dimilikinya, sehingga pemilik kekuasaan dapat
memberikan penghargaan atau sanksi. Selain itu, sumber daya kekuasaan digunakan
untuk menjamin kepatuhan orang atau kelompok lain terhadap orang atau kelompok
yang memiliki kekuasaan tersebut.

69
Miriam Budiardjo. 2008. Edisi Revisi. Dasar-Dasar… hal. 61-62.
70
Andrain. Op. Cit. hal. 137-138.

Universitas Indonesia
35

Tabel 1.3
Kekuasaan Koersif dan Konsensual

Tipe Sumber
Koersif Konsensus
Daya
Fisik Cidera fisik, pemenjaraan, kematian Memberi jalan memperoleh
persenjataan
Ekonomi Tidak diberi pekerjaan, penerapan Memberi jalan memperoleh
denda, kehilangan kontrak kekayaan
Normatif Pengucilan, larangan memangku Memberi jalan memperoleh
jabatan wewenang dan simbol-
simbol kebenaran moral
Personal Hilangnya dukungan kelompok, Pemberian dukungan
persahabatan, popularitas kelompok
Ahli Pemberian informasi yang Penyediaan ilmu
menguntungkan orang lain, pengetahuan dan
penyebaran informasi yang merugikan keterampilan
orang lain
Sumber: Andrain. 1992. Kehidupan Politik dan Perubahan Sosial. Yogyakarta: Tiara Wacana. hal. 140.

Dalam konteks penyelesaian konflik, Maswadi Rauf menjelaskan bahwa untuk


mempertahankan dan mengoperasikan kekuasaan yang dimiliki seseorang atau
kelompok dapat dilakukan individu atau kelompok masyarakat tersebut dengan cara
persuasif atau koersif. Persuasif adalah cara-cara mempertahankan dan melakukan
kekuasaan melalui musyawarah, perundingan, dan cara lainnya yang sesuai dengan
prinsip-prinsip demokrasi. Sedangkan cara paksaan adalah penggunaan melalui
kekerasan fisik atau ancaman fisik. Berkaitan dengan kekerasan fisik ini Maswadi Rauf
menuliskan,

“Kekerasan fisik mencakup penggunaan benda-benda fisik untuk merugikan


secara fisik, menyakiti, melukai atau membunuh pihak lain. Penggunaan
kekerasan fisik atau ancaman penggunaannya menimbulkan rasa takut di pihak
yang akan dikenai yang berpengaruh terhadap tingkah lakunya. Pengaruh itu
adalah berupa diikutinya keinginan pihak yang menggunakan kekerasan atau
ancaman kekerasan.”71

Antonio Gramsci menjelaskan ada dua cara kekuasaan itu dipraktekkan, yaitu
dominasi atau penindasan dan hegemoni. Cara pertama kekuasaan dibangun dengan
cara-cara represi dan kekerasan. Seorang individu, kelompok atau negara apabila ingin

71
Maswadi Rauf. 2005. Konsensus Politik…… hal. 11-12.

Universitas Indonesia
36

memperoleh dan atau mempertahankan kekuasaan maka ia harus mempunyai atau


memiliki akses terhadap instrumen kekuasaan. Sedangkan cara kedua yaitu hegemoni,
kekuasaan diperoleh dan dioperasikan melalui kepemimpinan moral dan intelektual. Ia
memperoleh dan mempraktikkan kekuasaan dengan jalan konsensus.72
Dalam konteks penelitian ini, teori penggunaan kekuasaan dengan cara
kekerasan dari Miriam Budiarjo akan digunakan untuk melihat praktik kekerasaan yang
dilakukan oleh Pemuda Pancasila pada saat pemilihan Gubernur Provinsi Sumatera
Utara tahun 2008. Sedangkan penggunaan kekuasaan dengan cara koersif yang ditulis
oleh Charles F. Andrain juga akan digunakan untuk melihat bentuk kekuasaan koersif
yang dilakukan Pemuda Pancasila Sumatera Utara. Untuk memperkuat bentuk
penggunaan kekerasaan yang dilakukan Pemuda Pancasila akan dilihat dari teori yang
ditulis oleh Maswadi Rauf tentang cara menyelesaikan konflik melalui kekerasan fisik
atau ancaman fisik. Selain itu, teori Antonio Gramsci akan digunakan untuk melihat
praktik penggunaan kekuasaan dengan cara-cara represi dan kekerasan yang dilakukan
oleh Pemuda Pancasila dalam kasus peran mereka pada saat pemilihan Gubernur
Provinsi Sumatera Utara tahun 2008.
Dari praktik tersebut akan diketahui bentuk kekerasan dan koersif, tindakan
paksaan, dan cara-cara represi yang dilakukan Pemuda Pancasila Sumatera Utara.
Prilaku tersebut merujuk pada tindakan mengancam, mengintimidasi, bahkan
membunuh dengan menggunakan jaringan kekuatan dalam setiap aktivitas organisasi
dan menunjukkan identitas yang mirip atau menyerupai kekerasan atau tindakan
premanisme. Kecenderungan praktek yang menyerupai prilaku kekerasan atau
demokratis itu akan dilihat antar tokoh Pemuda Pancasila sendiri dan antara tokoh
Pemuda Pancasila dengan kelompok masyarakat lainnya di Sumatera Utara.

1.6.4. Teori Politik Lokal

Teori politik lokal menjelaskan bahwa politik di tingkat lokal bukan hanya
berurusan pada soal-soal administrasi publik atau menekankan pada hubungan legal-
formal pemerintahan semata. Meskipun memiliki keterkaitan, namun pandangan legal-
formal seperti itu memiliki keterbatasan-keterbatasan untuk memahami politik lokal

72
Antonio Gramsci. 1971. Selections from Prison Notebooks. London: Lawrence and Wishart. Dikutip
dalam Muhadi Sugiono. 1999. Kritik Gramsci Terhadap Pembangunan Dunia Ketiga. Yogyakarta:
Pustaka Pelajar. Lihat juga Roger Simon. 2000. Gagasan-gagasan Politik Gramsci. Yogyakarta: Insist
Press.

Universitas Indonesia
37

secara lebih utuh. Politik lokal mencakup soal yang luas, misalnya aspek ekonomi,
politik, dan sosial. Karakteristiknya relatif terbuka, beragam, dan kompetitif. 73
Teori yang digunakan sebagai pendekatan analisis untuk studi ini adalah studi
politik lokal yang memberikan perhatian pada perspektif mikro yaitu pemahaman
prilaku (behaviour) elit lokal ketika melaksanakan wewenang otonomi daerah dalam
kehidupan sehari-hari. Pada tingkat realitas, implementasi politik lokal lebih banyak
diwarnai oleh tawar menawar (bargaining) dari koalisi antara elit lokal dan aktor-aktor
tertentu di dalam masyarakat. Kekuasaan pemerintah lokal dilakukan lebih untuk
menjaga keseimbangan antara kebutuhan lokal dalam pelaksanaan peningkatan
kesejahteraan publik, individu, dan kelompok dengan kemampuan pemerintah lokal
dalam mengakomodasi tuntutan tersebut. Studi ini memberikan pemahaman bahwa
pemerintah lokal harus berada di antara semua kelompok yang memiliki kepentingan
dan keinginan yang beragam dan terkadang agak sulit untuk diberi ruang kebijakan.
Studi politik lokal yang menguraikan tentang kerumitan hubungan antara
kepentingan dan kebijakan adalah pendekatan regim kota (urban regime) yang
diistilahkan oleh Clarence Stone. Menurut Stone urban regim sebagai ”The informal
arrangements by which public bodies and private interest function together in order to
be able to make and carry out governing decisions”. 74 (Pengaturan informal di mana
kepentingan badan-badan publik dan swasta berfungsi bersama untuk membuat dan
melaksanakan keputusan-keputusan pemerintah).
Stone menjelaskan bahwa konsep regim kota bermula dari sebuah model
produksi sosial dari tata kelola pemerintahan kota, yaitu pekerjaan yang bukan berasal
dari kontrol dan perlawanan, tetapi hasil dari satu keuntungan dan peleburan yang
didasari atas kapasitas untuk bertindak. Konsepsi yang penting dari Stone adalah bahwa
regim kota merupakan hasil dari usaha-usaha yang terkoordinasi, kesepakatan yang
dihasilkan adalah buah dari kesepahaman yang tidak terucapkan (secara diam-diam)
antara kepentingan publik dan kepentingan swasta tentang bagaimana keputusan akan
dilaksanakan. Dalam kenyataannya, formasi regim kota membutuhkan pengelolaan
konflik dan penciptaan respon yang adaptif dalam perubahan sosial. Karena itu, faktor

73
Studi dengan pendekatan tersebut diantaranya lihat Gerry Stoker. 1991. The Politics of Local
Government. London: MacMillan Press Ltd. hal. 232.
74
Clarence Stone. 1989. Regime Politics: Governing Atlanta, 1946-1988. Lawrance: University Press of
Kansas. hal. 6. Lihat juga Chusnul Mariyah. 1998. “Urban Political Conflict in Australia: The
Redevelopment of Inner Sydney”. Thesis. Sydney: Department of Government The University of Sydney.
hal. 31.

Universitas Indonesia
38

kuncinya adalah pengelolaan internal politik tentang bangunan koalisi antara sektor
publik dan swasta. 75 Sebagaimana juga yang dikatakan oleh Mollenkopf bahwa
pemahaman interaksi sistem politik lokal harus dilihat sebagai interaksi kreasi yang
cerdas, bangunan koalisi yang sensitif terhadap kepentingan-kepentingan swasta dan
pemerintah lokal untuk menampung peluang-peluang dalam sektor publik.76
Terkait dengan penjelasan kepentingan, teori politik lokal jika dilihat dalam
konteks Indonesia pada saat penerapan desentralisasi, sering terjadi semacam
kepentingan terselubung (hidden autonomy) dalam penyelenggaraan pemerintahan. 77
Sebagaimana yang dijelaskan Syarif Hidayat sebagai berikut,

”… secara umum kepentingan pemerintah daerah tersebut dibedakan dalam dua


kategori, yaitu kepentingan publik (public interest) dan kepentingan invidual
(individual interest). Kepentingan pertama berkaitan dengan peningkatan sektor
swasta dan mendukung program pemerintah pusat. Sedangkan yang kedua lebih
kepada kepentingan individu elit lokal, kompleks, saling mengait, sangat relatif
dan sifatnya kontekstual. Sedikitnya ada tiga bentuk kepentingan individu elit
lokal yang ikut mewarnai kebijakan pemerintah lokal yaitu, kepentingan
ekonomi (seeking economics ends), kepentingan untuk pengembangan karir,
kepentingan untuk sponsor politik (polical sponsorship). Semua kepentingan itu
berlangsung dengan tujuan yang eksplisit (explicit goals) disertai tujuan implisit
(implicit goals)”.78

Praktik hidden autonomy yang dimaksudkan Hidayat terkait dengan perilaku elit
pemerintah daerah dalam mempraktikkan kebijakan desentralisasi dan otonomi daerah
itu sendiri pada masa Orde Baru. Meskipun secara legal-formal wewenang yang
diberikan kepada pemerintah daerah sangat dibatasi, tetapi realitasnya ternyata kapasitas
elit pemerintah daerah dapat memaksimalkan atau bahkan memanipulasi kelemahan-

75
Ibid. hal. 31.
76
John Mollenkopf. 1992. “How to Study Urban Political Power from A Phoenix in the Ashes: The Rise
and Fall The Koch Coalition in New York City Politics”. in The City Reader. 2000. Edited by Richard T.
LeGates & Frederic Stout. 2nd ed. New York: Algimantas Kezys and Loyola University Press. hal. 228.
77
Syarif Hidayat menjelaskan hal tersebut dalam penelitian Disertasi Doktoral tahun 1999 dengan lokasi
penelitian di Jawa Barat (Bandung Utara mengenai Tata Ruang dan Proyek Properti) dan Sumatera Barat
(Pembangunan Jalan Padang By Pass). Lihat Syarif Hidayat. 1999. “Decentralised Politics in A
Centralised Political System: A Study of Local State Power in West Java and West Sumatera in New
Order Indonesia.” Masyarakat Indonesia: Majalah Ilmu-Ilmu Sosial. Jakarta: LIPI. hal. 151-161.
78
Syarif Hidayat. “Desentralisasi dan Otonomi Daerah Masa Orde Baru (1966-1998)”. dalam Soetandyo
Wignosubroto dkk. 2000. Pasang Surut Otonomi Daerah: Sketsa Perjalanan 100 Tahun. Jakarta: Institute
for Local Development dan Yayasan Tifa. hal. 137.

Universitas Indonesia
39

kelemahan dari aturan formal yang ada. Untuk memahami hidden autonomy itu,
Hidayat, membagi dua kategori yaitu kepentingan publik (public interest) dan
kepentingan individu (individual interest).79
Hidayat kemudian menjelaskan bahwa bentuk kepentingan individual terasa
lebih rumit dibanding dengan kepentingan publik.80 Kepentingan individu elit lokal
selalu ikut serta berperan di arena publik baik secara terbuka maupun tersembunyi.
Individu elit lokal bukanlah suatu kekuatan utuh dengan kepentingan yang homogen.
Berbagai kepentingan individu elit lokal acapkali memiliki konsekuensi yang tidak
mudah dipahami ketika satu kebijakan ditetapkan yang bertentangan dengan
kepentingan publik. Bentuk kepentingan individu selalu bersifat sangat kompleks, kait
mengait satu dengan lainnya, dan sangat relatif serta konstkestual sifatnya. Dengan kata
lain, meminjam rumusan Judith Goldstein, antara kepentingan dan kebijakan terdapat
ruang ”ketidakpastian”.81 Jadi meskipun seorang pelaku mengetahui kepentingannya
dengan baik belum tentu dia mengetahui kebijakan yang paling tepat untuk itu.
Untuk memfokuskan studi ini, berdasarkan teori yang dikemukakan Syarif
Hidayat tentang hidden autonomy, maka yang akan digunakan adalah pendekatan
kepentingan individu untuk menganalisa kepentingan individu tokoh Pemuda Pancasila
dalam pemilihan Gubernur Provinsi Sumatera Utara tahun 2008. Prilaku individu yang
diamati bukan berasal dari elit pemerintah daerah, tetapi individu elit lokal yang
mengusai organisasi Pemuda Pancasila di Sumatera Utara. Dalam hal ini, kepentingan
individu dan kelompok berfungsi untuk memetakan pelaku yang mempertautkan antara
kepentingan mereka dengan alat-alat pencapaian tujuan yang mungkin mereka
dapatkan. Para tokoh Pemuda Pancasila Sumatera Utara merupakan salah satu
kelompok individu elit lokal yang berperan dalam pemilihan Gubernur Provinsi
Sumatera Utara yang dilakukan secara langsung tahun 2008.
Untuk menghindari simplifikasi permasalahan, penelitian ini memfokuskan
perhatian pada bentuk-bentuk kepentingan individu yang relatif dapat diamati dan
ditelesuri kebenarannya. Dari tiga bentuk kepentingan individu elit lokal yang ikut
mewarnai konstelasi pemilihan Gubernur Provinsi Sumatera Utara, penelitian ini ingin
membahas dua di antara tiga kepentingan elit lokal tersebut, yaitu kepentingan ekonomi

79
Ibid. hal. 133.
80
Ibid. hal. 137.
81
Judith Goldstein. 1993. Ideas, Interests and American Trade Policy. Ithaca and London: Cornell
University Press. hal. 10.

Universitas Indonesia
40

dan kepentingan sponsor politik. Kedua pendekatan tersebut dipilih untuk menguraikan
adanya kepentingan individu kader dan tokoh Pemuda Pancasila dalam memperoleh
sumber-sumber daya lokal dengan cara ikut berperan dalam pemilihan Gubernur
Provinsi Sumatera Utara tahun 2008.

1.6.5. Teori Otonomi Daerah, Demokrasi, dan Pemilihan Kepala Daerah Langsung

Memahami otonomi daerah di Indonesia sangat erat kaitannya dengan


desentralisasi, bahkan keduanya diibaratkan dua sisi mata uang. Konsep desentralisasi
menjadi dasar pembentukan daerah otonom atas penyerahan wewenang tertentu dari
pemerintah pusat kepada pemerintah daerah dan dapat pula berupa pelimpahan
kekuasaan pemerintah pusat ke daerah-daerah. Menurut UU No. 32 Tahun 2004,
pengertian desentralisasi dan otonomi daerah memiliki perbedaan cakupannya.
Desentralisasi mencakup penyerahan kewenangan sedangkan otonomi daerah merujuk
pada kewenangan di daerah tersebut. Desentralisasi adalah penyerahan wewenang
pemerintahan oleh pemerintah pusat kepada daerah otonom untuk mengatur dan
mengurus urusan pemerintahan dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Sedangkan otonomi daerah adalah hak, wewenang, dan kewajiban daerah otonom untuk
mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat
82
setempat sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Dengan demikian
pembahasan otonomi daerah tidak bisa terlepas dari konsep desentralisasi.
Kebijakan desentralisasi dipandang sebagai instrumen untuk memperbaiki
kualitas demokrasi pada tingkat lokal karena dapat mendekatkan hubungan antara
pemerintah dengan para pemangku kepentingan yang ada di masyarakat. Meskipun
banyak pendapat yang menyatakan desentralisasi dan demokrasi adalah dua konsep
yang berbeda. Secara umum, desentralisasi lebih merujuk pada relasi antara pemerintah
pusat dengan daerah. Sedangkan demokrasi berkaitan dengan proses dan prosedur
berbagai kegiatan politik yang melibatkan rakyat, baik di tingkat pusat dan daerah.
Secara empiris, di antara keduanya juga tidak selalu berseiringan. Desentralisasi,
misalnya, bisa ditemui di negara-negara yang pemerintahannya otoriter atau totaliter. Di
sini, desentralisasi lebih dimaknai di dalam konteks desentralisasi administrasi. Crook

82
Lihat UU No. 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah, Bab I Ketentuan Umum Pasal 1 ayat 6
dan 7. Dari pengertian tersebut, maka istilah otonomi daerah lebih banyak digunakan dalam penelitian ini
karena membahas tentang kewenangan di daerah otonom.

Universitas Indonesia
41

dan Manor menjelaskan tentang desentralisasi pada akhirnya bukan berarti memiliki
makna demokrasi.83 Agar keterkaitan di antara keduanya secara eksplisit ada, mereka
lalu mengembangkan apa yang disebut sebagai democratic decentralization, yang lebih
dirujuk pada adanya desentralisasi kekuasaan atau devolusi dari pemerintah pusat
kepada daerah. 84
Pandangan seperti ini tidak lepas dari pokok perhatian Rodinelli yang lebih
terfokus pada desentralisasi administrasi daripada desentralisasi politik. Pandangan
Rodinelli itu berbeda dengan apa yang dikemukakan oleh Brian C. Smith yang melihat
peran penting desentralisasi di dalam proses demokratisasi. Dalam perspektif politik,
Smith mengatakan desentralisasi adalah the transfer of power, from top level to lower
level, in a territorial hierarchy, which could be one of government within a state, or
office within a large organization85, (pengalihan kekuasaan, dari tingkat atas ke tingkat
yang lebih rendah, dalam hierarki teritorial, yang bisa menjadi salah satu pemerintah
dalam sebuah negara, atau kantor dalam organisasi besar).
Perspektif politik dari desentralisasi yang dikemukakan Smith tersebut telah
memberikan ide devolution of power sebagai substansi utama dari desentralisasi,
kendati devolusi kekuasaan itu tidak hanya dibatasi pada struktur pemerintahan.
Desentralisasi sejatinya bukan hanya memberikan otonomi kepada pemerintah daerah,
tetapi juga harus memperkuat peran dan kedudukan masyarakat sebagai pemilik
kedaulatan dan pemilik otonomi dalam pengambilan keputusan di tingkat lokal.
Sedangkan hubungan antara masyarakat dan negara menunjukkan akses yang sama
dalam ikut serta dan mempengaruhi proses kebijakan. Interaksi di antara kelompok
masyarakat lokal tersebut akan terjadi jika adanya jaminan political equality,
accountability dan responsiveness dalam penyelenggaraan politik desentralisasi.86
Pandangan Smith semakin menguatkan kaitan antara desentralisasi dan
demokratisasi. Di dalam literatur tentang demokrasi sendiri, desentralisasi politik sering

83
Lihat Richard C. Crook and James Manor. 2000. Op. Cit.
84
Perdebatan mengenai definisi desentralisasi lihat Syarif Hidayat. 2000. Realitas Otonomi Daerah dan
Tantangan Masa Depan. Jakarta: Pustaka Quantum. Di bagian lain dari penjelasan desentralisasi ada
pembahasan mengenai desentralisasi fiskal atau yang menyangkut tentang keuangan antara pemerintah
pusat dan daerah. Pandangan yang menyatakan tentang desentralisasi sebagai administrasi dapat dilihat
dalam Dennis A. Rodinelli. 1990. “Decentralization, Terriotorial Power and the State: a Critical
Response”. Development and Change. 1 (3). hal. 493. Baca juga G. Shabir Cheema dan Dennis A.
Rodinelli. Ed. 1983. Decentralization and Development. Policy Implementation in Developing Countries.
Beverly Hills: Sage Publications. hal. 18.
85
Brian C. Smith. 1985. Decentralization: The Territorial Dimension of the State. London: Allen &
Unwin. hal. 21.
86
Ibid. hal. 24-30.

Universitas Indonesia
42

dipandang sebagai prasyarat bagi demokratisasi. Merujuk pada pandangan Alexis de


Tocqueville, Jan-Erik Lane dan Svante Ersson mengatakan bahwa demokrasi itu sangat
mungkin kalau terdapat civil society, desentralisasi politik, dan adanya perdamaian
dengan negara-negara tetangga. 87 Pandangan demikian menegaskan bahwa otonomi
daerah merupakan unsur penting di dalam demokrasi. Pandangan bahwa otonomi
daerah itu memiliki relasi yang kuat dengan demokratisasi didasarkan pada asumsi
bahwa otonomi daerah dapat membuka ruang yang lebih besar kepada masyarakat
untuk terlibat dalam menentukan pejabat publik.88
Merujuk pada pandangan Smith tentang persaman hak politik (political equality)
dalam pelaksanaan desentralisasi, diharapkan akan membuka kesempatan bagi
masyarakat untuk berpartisipasi dalam berbagai aktivitas politik di tingkat lokal.
Masyarakat di daerah dapat dengan elegan mempraktikkan bentuk-bentuk partisipasi
politik, misalnya menjadi anggota partai politik dan kelompok kepentingan. Selain itu,
mendapatkan kebebasan dalam mengekspresikan kepentingan dan aktif dalam proses
pengambilan keputusan.89 Pemilihan secara langsung kepala daerah (local government
heads) dan para anggota DPRD (local representative council) merupakan salah satu
syarat utama bagi terwujudnya pemerintahan daerah yang akuntabel dan responsif serta
terbangunnya political equality di tingkat lokal.
Pendapat Smith tersebut, sejalan dengan pemikiran Daniel Arghiros yang
menjelaskan tentang “... decentralization is one tool for creating good governance, and
democratic decentralization as a goal to reforms in the local90” (desentralisasi adalah
suatu alat untuk menciptakan pemerintahan yang baik, dan demokratis di tingkat lokal
sebagai tujuan untuk reformasi di tingkat lokal). Pelaksanaan pemilihan kepala daerah
secara langsung merupakan paket yang tidak terpisahkan dari dua konsep tersebut.
Melalui kebijakan desentralisasi dapat dikurangi sentralisasi kekuasaan di tangan
pemerintah pusat. Sementara, melalui pemilihan kepala daerah langsung akan tercipta

87
Jan-Erik Lane and Svante Ersson. 2003. Democracy: A Comparative Approach. Routledge: Taylor &
Francis Group. hal. 10.
88
Lihat Robert A. Dahl. 1971. Poliarchy: Participation and Oppsition. New Haven: Yale University
Press. hal. 2-4; Arend Lijphart. 1999. Pattern of Democracy: Government Forms and Performance in
Thirty-Six Countries. New Haven: Yale University Press. hal. 48. Pandangan kedua ahli itu tentang
demokrasi memperoleh dukungan yang cukup luas dan sering menjadi rujukan para ilmuwan ketika
berbicara mengenai demokrasi. Menurut Dahl, dalam kerangka yang lebih empiris lagi, ada dua dimensi
teoritis demokratisasi, yaitu dimensi kompetisi dan dimensi inklusivitas.
89
Brian C. Smith. 1985. Op. Cit. hal. 24.
90
Daniel Arghiros. 2001. Democracy, Development and Decentralization in Provincial Thailand. Surrey:
Curzon. hal. 21.

Universitas Indonesia
43

pemerintah daerah yang akuntabel dan responsif terhadap tuntutan masyarakat.


Meskipun pada tingkat realitas tidak selamanya kepala daerah yang dipilih secara
langsung akan lebih akuntabel dan responsif bila dibandingkan kepala daerah yang
ditunjuk. Tetapi, setidaknya secara prosedural sistem pemilihan kepala daerah secara
langsung akan lebih baik dari sistem penunjukan.91
Logika teoritis yang dikemukakan oleh Smith tentang pentingnya sistem
pemilihan secara langsung akan terlaksana dalam konteks tersedianya demokrasi
substantif (substantive democracy)92. Secara konseptual, pelaksanaan pemilihan kepala
daerah secara langsung sebagai upaya untuk merealisasikan pemerintahan yang
akuntabel, transparan, dan responsif, hanya akan mendekati kenyataan ketika
diasumsikan bahwa prilaku demokrasi (democratic behaviour)93 yang baik dilakukan
oleh elit penyelenggara pemerintah maupun kalangan masyarakat. Prilaku demokrasi
yang baik akan memastikan sebagian masyarakat pemilih telah memahami arti penting
politik dalam kehidupan sehari-hari. Ketika diberikan hak kebebasan politik (political
liberties), masyarakat itu telah memiliki kapasitas untuk menentukan pilihan dan
mengambil keputusan atas pilihan tersebut secara rasional. Asumsi demokrasi substantif
telah menjadi tema evaluasi pelaksanaan pemilihan kepala daerah secara langsung.94
Kelemahan untuk menganalisis kompleksitas relasi antara pemimpin dengan
yang dipimpin disebabkan oleh kepentingan dan kebutuhan yang cenderung berubah
dan meningkat. Masalah kepentingan seperti itu lebih mengemuka lagi kalau melihat

91
Ibid. hal. 20-38.
92
William Case menjelaskan substantive democracy sebagai praktik demokrasi yang tidak saja ditandai
oleh eksisnya institusi demokrasi (democratic institutions), tetapi juga ditunjukkan oleh inherennya
prilaku demokrasi (democratic behaviour) baik pada tataran institusi, aparat pelaksana institusi itu
sendiri, maupun pada tataran masyarakat (civil society). Bila praktik demokrasi hanya sampai pada
menghadirkan dan membenahi institusi demokrasi, maka tipe seperti ini lebih bersifat demokrasi
prosedural (procedural democracy). William Case. 2002. Politics in Southeast Asia: Democracy or Less.
Mitcaham. Surrey: Curzon. hal. 12-16.
93
Mengenai pengertian prilaku demokrasi lihat Vincent Ostrom. 1991. The Mining of American
Federalism: Constituting Self-Governing Society. San Fransisco: ICS Press; O.W. Oyugi. 2000.
“Decentralizationfor Good Governance and Development: The Unending Debate”. Regional
Development Dialoge. Vol. 21. No. 1. Spring. Ostrom dan Oyugi menjelaskan bahwa untuk dapat
mewujudkan sistem pemerintahan yang demokratis, tidak cukup hanya dengan menghadirkan dan
membenahi democratic institutions (institusi demokrasi), tetapi harus disertai dengan adanya democratic
behavour yang akan menghidupi demokrasi. Prilaku demokrasi harus dilakukan oleh tataran institusi,
aparat pelaksana, dan masyarakat.
94
Lihat beberapa penelitian yang dilakukan oleh Pusat Penelitian Ekonomi LIPI tentang bisnis dan politik
dalam pemilihan kepala daerah seperti: Syarif Hidayat dan Hari Susanto. Penyunting. 2007. Bisnis dan
Politik di Tingkat Lokal: Pengusaha, Penguasa & Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah Pasca
Pilkada. Jakarta: P2E LIPI; Syarif Hidayat dan Endang S. Soesilowati. Penyunting. 2008. Bisnis dan
Politik di Tingkat Lokal: Pengusaha, Penguasa & Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah Pasca
Pilkada di Provinsi Gorontalo. Jakarta: P2E LIPI.

Universitas Indonesia
44

fakta bahwa proses pemilihan kepala daerah tidak hanya melibatkan dua kelompok, para
calon dan pemilih. Kekuatan-kekuatan yang ada di dalam masyarakat juga terlibat dan
berusaha memperjuangkan kepentingan-kepentingannya sendiri. Dengan demikian,
kepentingan yang perlu diperjuangkan bukan hanya kepentingan pemilih, yang tentu
saja tidak homogen. Kepentingan-kepentingan lain juga mengemuka, mulai dari
kepentingan para calon, para pendukung, dan para elit masyarakat.
Untuk menganalisa peran tokoh Pemuda Pancasila pada pemilihan Gubernur
Provinsi Sumatera Utara maka digunakan perspektif desentralisasi politik dan
demokrasi yang dikemukakan Brian C. Smith. Konsepsi Smith tentang political equality
membantu merumuskan kerangka analisis tentang perlunya keterlibatan langsung rakyat
dalam proses-proses politik di tingkat lokal untuk memperkuat konsolidasi demokrasi.
Political equality tersebut akan dilihat dalam kondisi sebagian besar masyarakat yang
relatif belum sadar akan arti politik dalam kehidupan sehari-hari, maka sulit dihindari
adanya mobilisasi massa pendukung melalui tokoh panutan dan organisasi yang
dipimpinnya serta melakukan kekerasan dan politik uang.
Pelaksanaan pemilihan gubernur secara langsung akan memberikan peran yang
cukup besar kepada tokoh Pemuda Pancasila di Sumatera Utara. Kemunculan tokoh
Pemuda Pancasila yang kemudian menjadi orang yang berpengaruh kepada calon
gubernur yang didukung justru menimbulkan pola demokrasi yang baru, diantaranya
yaitu munculnya tokoh dan kelompok yang kuat secara material, jaringan kekuasaan,
dan memiliki dukungan massa yang besar. Prilaku politik tokoh Pemuda Pancasila
tersebut terkadang tidak saja selalu mengedepankan kepentingan kelompoknya, namun
selalu ‘mengatasnamakan’ kepentingan rakyat untuk memuluskan tujuan-tujuan yang
membesarkan keuntungannya. Fenomena itu menjadi salah satu persoalan yang terjadi
dalam pelaksanaan pilkada langsung.

1.7. Alur Pemikiran

Alur pemikiran dalam penelitian ini digambarkan dalam Diagram 1.1 sebagai
berikut:

Universitas Indonesia
45

Diagram 1.1
Alur Pemikiran Penelitian
Peran Pemuda Pancasila Sumatera Utara dalam Pemilihan Gubernur
Sumatera Utara Tahun 2008

Modal Politik
Pemuda Pancasila

Sumber:
- Kemampuan individu Peran Pemuda Pancasila
- Jaringan partai politik
- Kader di legislatif 1. Ancaman dan intimidasi
Kekuatan
- Pemerintah daerah untuk melakukan
Pemuda Gubernur
- Media massa kekerasan
Pancasila yang
2. Mobilisasi anggota
didukung
organisasi
Modal Ekonomi 3. Relasi jaringan di antara
Pemuda Pancasila lembaga politik lokal atas
dasar hubungan saling
Sumber: menguntungkan
- Sumbangan calon
gubernur
- Modal sendiri
- Pengusaha
- Sumber dana lainnya
-

Sumber: Diolah dari Berbagai Sumber, 2012.

1.8. Keterbatasan Penelitian

Penelitian ini dilakukan di wilayah Provinsi Sumatera Utara karena basis


organisasi Pemuda Pancasila cukup kuat di provinsi ini. Kelompok ini menjadi salah
satu organisasi pemuda yang didirikan pada awal Orde Baru dan tumbuh berkembang
hingga saat ini di Sumatera Utara. Kekuatan material, jaringan yang dimiliki, dan basis
massa yang dapat dimobilisasi oleh Pemuda Pancasila Sumatera Utara untuk kegiatan
tertentu, menjadi alasan pilihan lokasi penelitian ini. Mengingat adanya penelitian yang
terkait dengan penguasaan politik lokal di wilayah Indonesia telah dilakukan. Namun,
Provinsi Sumatera Utara dianggap sebagai daerah yang memiliki karakteristik yang unik
dari daerah lain di Indonesia untuk kasus tersebut, khususnya mengenai organisasi
pemuda yang terkait dengan praktik kekerasan dan premanisme.
Oleh karena keterbatasan waktu dan pembiayaan penelitian, maka penelitian ini
hanya dilakukan untuk melihat peran Pemuda Pancasila Provinsi Sumatera Utara dalam
pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur Sumatera Utara tahun 2008. Melalui peran
Pemuda Pancasila seperti yang dijelaskan dalam pokok permasalahan penelitian,
diharapkan dapat menguraikan fakta-fakta tentang keberadaan dan pengaruh Pemuda

Universitas Indonesia
46

Pancasila dalam konstelasi politik lokal di Sumatera Utara. Pemuda Pancasila tersebut
dipilih karena memiliki para kadernya memiliki kepentingan politik yang cukup kuat
untuk menguasai lembaga politik lokal seperti partai politik, anggota legislatif, pejabat
eksekutif, dan pengelola media massa lokal di Sumatera Utara.

1.9. Metode Penelitian

Tipe Penelitian
Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dengan studi kasus sebagai
strategi penelitian. Pendekatan ini diarahkan pada latar dan individu secara holistik atau
utuh.

”Penggunaan setiap metode penelitian tergantung pada tiga hal yaitu: pertama,
tipe pertanyaan penelitiannya; kedua, kontrol yang dimiliki peneliti terhadap
peristiwa perilaku yang akan ditelitinya, dan ketiga fokus terhadap fenomena
penelitiannya menyangkut fenomena masa kini atau fenomena historis. Studi
kasus lebih cocok bila pokok pertanyaan penelitian berkenaan dengan how atau
why.”95

Pertanyaan penelitian yang diajukan dalam studi ini menggunakan bagaimana


maka pilihan studi kasus sebagai strategi penelitian menjadi relevan. Pilihan pendekatan
kualitatif dilakukan dengan tujuan untuk menggambarkan dan menganalisis fenomena
sosial yang sedang terjadi. Oleh karena itu, tipe penelitian ini menggunakan strategi
studi kasus yang eksplanatoris. Keleluasaan dan akses yang dimiliki pada peristiwa
yang diteliti masih ada. Misalnya, peneliti bisa menghubungi pelaku yang diteliti untuk
mengadakan wawancara. Berbeda dengan penelitian tipe historis yang berkenaan
dengan masa lampau, yakni bila tidak ada lagi saksi hidup yang bisa dihubungi. Studi
kasus dipergunakan untuk melacak peristiwa masa kini, yaitu terkait salah satu tema
penting tentang kekuasaan dan politik lokal di Indonesia.

Teknik Pengumpulan Data


Menurut Lofland dan Lofland, sumber data utama dalam penelitian kualitatif
adalah kata-kata dan tindakan. Sumber data utama dicatat melalui catatan tertulis atau

95
K. Robert Yin.. 2000. Studi Kasus (Desain dan Metode). Jakarta: Raja Grafindo Persada. hal.1.

Universitas Indonesia
47

melalui perekaman video/audio, pengambilan foto atau film.96 Dalam penelitian ini,
sumber data utama yang digunakan adalah kata-kata dan tindakan orang-orang yang
diamati dan diwawancarai dari pimpinan Pemuda Pancasila di Sumatera Utara atau
tokoh lainnya yang berkaitan.
Penelitian ini menggunakan tiga teknik pengumpulan data yaitu, pertama,
dokumentasi dipergunakan untuk menelaah data-data yang telah ada, baik berupa
dokumen kebijakan, makalah, jurnal, atau buku-buku hasil penelitian sebelumnya yang
relevan dengan dinamika politik lokal pada tahun 2008-2011 di Sumatera Utara serta
berkaitan dengan aktivitas Pemuda Pancasila dengan kelompok lainnya. Kedua,
wawancara mendalam. Data juga diuraikan dan dianalisis melalui teknik wawancara
mendalam (depth interview) dengan sejumlah informan dari pimpinan Pemuda
Pancasila baik di tingkat lokal dan nasional serta individu yang terlibat atau berkaitan
dengan aktivitas politik Pemuda Pancasila di Sumatera Utara.
Wawancara diutamakan kepada informan kunci (key informant) dan infomasi
selanjutnya diperoleh dari pilihan informan lainnya dengan cara snawball. Informan
kunci dalam penelitian ini adalah:
1. Amir Siahaan: pendiri Pemuda Pancasila di Sumatera Utara, berprofesi sebagai
pengusaha.
2. Amran YS: pendiri Pemuda Pancasila di Sumatera Utara, mantan anggota DPRD
Provinsi Sumatera Utara, aktif di berbagai organisasi sosial.
3. Anif Shah: sesepuh Pemuda Pancasila, berprofesi sebagai pengusaha dan selalu
memberikan kontribusinya dalam setiap aktivitas organisasi dan termasuk saksi
sejarah pendirian Pemuda Pancasila di Sumatera Utara. Ikut mendukung Syamsul
Arifin sebagai calon gubernur.
4. Anuar Shah: Ketua MPW Pemuda Pancasila Provinsi Sumatera Utara. Tokoh
pemuda yang mendukung Syamsul Arifin sebagai calon gubernur.
5. Darwin Nasution: Sekretaris Pemuda Pancasila Sumatera Utara Periode 2007-
2012, Ketua MPW Partai Patriot Pancasila Sumatera Utara, Ketua Tim Sukses
Syamsul Arifin-Gatot Pudjonugroho dalam pemilihan Gubernur Provinsi
Sumatera Utara tahun 2008.

96
J. Lofland. 1971. Analyzing Social Settings: A Guide to Qualitative Observation and Analysis.
Belmont, CA: Wadsworth. hal. 112.

Universitas Indonesia
48

6. Donald Sidabalok: Ketua Majelis Pimpinan Wilayah Pemuda Pancasila Provinsi


Sumatera Utara Periode 2002-2007.
7. Elfanda Ananda: Sekretaris Eksekutif Forum Indonesia Untuk Transparansi
Anggaran (FITRA) Sumatera Utara.
8. Fadli Nurzal: Ketua DPW PPP Provinsi Sumatera Utara, orang pertama yang
memberikan rekomendasi pencalonan Syamsul Arifin sebagai calon gubernur.
9. Farianda Putra Sinik: Wakil Ketua MPW Pemuda Pancasila Sumatera Utara dan
Pemimpin Redaksi Medan Pos.
10. Firdaus Nasution: Wakil Ketua MPW Pemuda Pancasila Sumatera Utara dan
Ketua tim pemenangan internal yang dibentuk MPW Pemuda Pancasila untuk
mendukung Syamsul Arifin sebagai calon Gubernur Provinsi Sumatera Utara.
11. Ibrahim Sinik: pendiri Pemuda Pancasila di Sumatera Utara, berprofesi sebagai
jurnalis dan pemilik surat kabar, aktif di berbagai organisasi sosial.
12. Ucok: mantan aktivis Partai Rakyat Demokratik (PRD) Kota Medan.
13. Sigit Pramono Asri: Ketua DPW PKS Provinsi Sumatera Utara dan anggota
DPRD Provinsi Sumatera Utara. Anggota tim yang dibentuk oleh PKS untuk
merumuskan calon gubernur dan wakil gubernur yang akan diusung PKS.
14. Sugiat: Mantan Aktivis Mahasiswa di Sumatera Utara.
15. Syamsul Arifin: Gubernur Provinsi Sumatera Utara non aktif. Ketika pemilihan
gubernur merupakan calon yang didukung oleh Pemuda Pancasila, saat ini sedang
menghadapi sidang pengadilan tindak pidana korupsi di Jakarta.
Ketiga melakukan observasi untuk memberikan dimensi-dimensi baru sehingga
dapat memahami konteks dari satu fenomena yang diteliti seperti foto-foto atau saat
interaksi di antara elit Pemuda Pancasila dengan pengikutnya maupun kelompok lain,
dan peristiwa lainnya yang berkaitan dan relevan dengan topik penelitian.

Teknik Analisis Data


Data yang didapat baik berupa dokumen tertulis maupun hasil wawancara dan
observasi akan dianalisa dengan menggunakan analisis kualitatif teknik tipologi.
Bogdan dan Taylor mengemukakan, bahwa metode analisa kualitatif sebagai prosedur
penelitian menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis maupun terucapkan
dari pelaku yang diamati.97 Analisis kualitatif dalam strategi tipologi merupakan usaha

97
Robert Bogdan & Taylor J. Steven. 1993. Metode Kualitatif: Dasar-dasar Penelitian. Surabaya: Usaha
Nasional. hal. 27-30.

Universitas Indonesia
49

mengambil kesimpulan berdasarkan pemikiran logis atas berbagai data yang diperoleh.
Data-data dikumpulkan dan diseleksi, lalu disederhanakan dengan mengambil
intisarinya hingga ditemukan tema pokok, fokus masalah dan pola-polanya.98
Teknik analisa kualitatif dengan tipologi ini dilakukan berdasarkan interpretasi
penulis atas data baik bahan tertulis, wawancara dan observasi. Kemungkinan hal
mustahil yang diyakini penulis adalah bahwa seorang aktor yakin dan jujur akan apa
yang dikatakannya. Sebab itu, untuk menghindari atau meminimalisasi kemungkinan
adanya bias, maka penulis berusaha mencocokkan hasil wawancara antara satu
narasumber dengan yang lainnya kemudian dari dokumen-dokumen yang ditemukan
tentang keterlibatan Pemuda Pancasila dengan kelompok-kelompok lainnya dalam
pemilihan gubernur dan wakil gubernur di Provinsi Sumatera Utara.

1.10. Sistematika Penulisan

Penulisan disertasi ini akan diuraikan melalui 6 Bab dengan sistematika sebagai
berikut. Bab 1: Pendahuluan. Bab ini menggambarkan tentang latar belakang masalah,
dan tujuan penelitian yang dilakukan. Untuk menganalisa masalah dan tujuan penelitian
dikemukakan teori yang relevan, yaitu teori kekuasaan, teori politik lokal, teori otonomi
daerah, demokrasi dan pilkada secara langsung dan gejala munculnya kelompok
kekerasan dan bos lokal. Untuk mencari jawaban dalam penelitian ini, metode
penelitian yang dipilih adalah metode kualitatif dengan pendekatan studi kasus, teknik
pengumpulan data melalui wawancara, observasi dan studi pustaka, serta analisa data
yang digunakan adalah tipologi.
Bab 2: Sumatera Utara dan Pemuda Pancasila: Perspektif Historis, Dinamika
Sosial, Ekonomi, dan Politik. Bab ini menjelaskan asal-usul pembentukan Pemuda
Pancasila dan aktivitas yang dilakukan baik secara internal dan eksternal serta profil
tokoh-tokoh pendirinya sejak awal masa Orde Baru hingga kader yang sangat
berpengaruh saat ini di Provinsi Sumatera Utara. Aspek penting yang akan dibahas
dalam bab ini adalah alasan-asalan yang menjelaskan para tokoh Pemuda Pancasila bisa
masuk menjadi pimpinan partai politik, anggota legislatif, pejabat pemerintah,
pengusaha, dan pengelola media massa yang cukup berpengaruh dalam konstelasi

98
J. Lofland. Op. Cit.

Universitas Indonesia
50

politik di Sumatera Utara. Meskipun mereka dikenal sebagai individu yang kerap
melakukan tindakan kekerasan di dalam kehidupan masyarakat Sumatera Utara.
Bab 3: Keputusan Dukungan Pemuda Pancasila dalam Pemilihan Gubernur
Provinsi Sumatera Utara. Bab ini membahas tentang langkah-langkah yang dilakukan
oleh Pemuda Pancasila untuk mencari kandidat Gubernur Provinsi Sumatera Utara yang
akan didukung. Keputusan untuk memilih Syamsul Arifin sebagai calon Gubernur
Provinsi Sumatera Utara dilakukan atas dasar pertimbangan kepentingan Pemuda
Pancasila untuk memelihara jaringan politik yang telah dimilikinya. Setelah keputusan
untuk mendukung calon gubernur, maka akan diuraikan rancangan dan pelaksanaan
kampanye terkait dengan pemenangan calon gubernur yang didukung.
Bab 4: Intimidasi dan Mobilisasi Kampanye Pemuda Pancasila untuk
Mendukung Syamsul Arifin Sebagai Calon Gubernur Provinsi Sumatera Utara Tahun
2008. Bab ini akan membahas bentuk intimidasi yang dilakukan oleh anggota Pemuda
Pancasila Provinsi Sumatera Utara untuk memaksa pemilih memilih Syamsul Arifin
dalam pemilihan gubernur. Pembahasan mobilisasi Pemuda Pancasila pada saat
kampanye, masa tenang dan hari pemilihan terkait dengan instruksi organisasi yang
ditujukan kepada anggota, kader yang menjadi pimpinan partai politik dan anggota
DPRD serta hambatan dukungan yang berasal dari internal Pemuda Pancasila dalam
mendukung calon Gubernur dan Wakil Gubernur Provinsi Sumatera Utara tahun 2008.
Dari pola mobilisasi tersebut akan dijelaskan bentuk kekerasan yang sering dilakukan
oleh Pemuda Pancasila.
Bab 5: Pemanfaatan Jaringan Birokrasi, Pengusaha Lokal, Media dan
Penyelesaian Sengketa Pemilihan Gubernur Provinsi Sumatera Utara. Bab ini akan
membahas tentang pendekatan yang dilakukan tokoh Pemuda Pancasila dan
memanfaatkan jaringan yang dimiliki Pemuda Pancasila kepada birokrasi atau pejabat
di eksekutif, para pengusaha yang memiliki kaitan dengan Pemuda Pancasila, dan
pengelola media massa lokal dalam rangka memenangkan kandidat gubernur dan wakil
gubernur yang didukung. Dalam pemilihan gubernur secara langsung ini, akan terlihat
pengaruh yang dimiliki dan model relasi yang dibangun oleh Pemuda Pancasila
Sumatera Utara terhadap tokoh masyarakat, birokrasi, pengusaha, dan media massa
lokal dalam rangka mendukung dan memenangkan kandidatnya. Jaringan yang dimiliki
Pemuda Pancasila tersebut menjadi bentuk kekuatan yang diperhitungkan oleh kandidat
gubernur yang mengajukan sengketa hasil perhitungan suara di Mahkamah Agung.

Universitas Indonesia
51

Bab 6: Penutup. Bab ini berisi tentang kesimpulan dan implikasi teoritis. Dalam
kesimpulan dijelaskan tentang temuan empiris penting yang diperoleh dari penelitian
ini. Sedangkan implikasi teoritis akan menjelaskan implikasi-implikasi teoritis dari
konsepsi dan teori yang digunakan dalam studi ini berupa konfirmasi dan revisi atas
teori tersebut.

Universitas Indonesia

Anda mungkin juga menyukai