Anda di halaman 1dari 5

Nama : Ferly Cahya Perdana

NIM : 185120607111021

Kelas : C-4 Ilmu Pemerintahan

UTS Teori Birokrasi

Review Jurnal “Bureaucratic Reform and Dynamic Governance for Combating


Corruption: The Challenge for Indonesia”

Kualitas pelayanan publik di Indonesia sampai sekarang sering kali mempunyai


label buruk, hal ini disampaikan penulis didalam jurnal ini Mengapa kualitas layanan
publik yang diberikan oleh birokrasi pemerintah Indonesia tetap buruk? Banyak faktor
yang dapat mempengaruhi kinerja birokrasi pemerintah, termasuk tidak adanya
meritokrasi (penggunaan talenta terbaik) yang disebabkan, misalnya, proses rekrutmen
yang tidak menargetkan semua segmen masyarakat, pemilihan dan peningkatan pegawai
negeri yang tidak didasarkan pada kapasitas, pengetahuan dan keterampilan, di bawah
persaingan yang adil dan terbuka. Penempatan atau sistem perekrutan PNS di Indonesia
tidak didasarkan pada kompetensi dan kinerja, Namun lebih pada pertimbangan politik
(sistem rampasan) dan patrimonialisme. Korupsi di indonesia adalah perwujudan dari
buruknya sistem atau kinerja birokrasi pemerintah Indonesia dan ini sebagai fenomena
yang akan menghambat terwujudnya pemerintahan yang baik, mengikis supremasi
hukum, dan menghambat upaya pertumbuhan ekonomi. Presiden Yudhoyono mengakui
bahwa “masih ada banyak pelaku korupsi bahkan di pemerintahan, parlemen,
perwakilan regional dan penegak hukum” (www.in-reuters.com). Mencari sewa adalah
praktik umum di Indonesia. Politisi, misalnya, digunakan untuk mencari dana kampanye
politik dari birokrat dengan imbalan perlindungan dan dari perusahaan besar dengan
imbalan tawaran peluang bisnis seperti kontrak pemerintah dan izin pengadaan,
pertambangan, penebangan dan perkebunan. Beberapa fakta mengenai kinerja birokrasi
di Indonesia ditulis dalam jurnal ini dikataan bahwa menurut Laporan Transparency
International yang diluncurkan pada 2010 menunjukkan bahwa Indeks Persepsi Korupsi
(CPI) Indonesia berada di peringkat 100 dari 182 negara, dengan skor 3,0 dari skala 10
(sangat bersih) hingga 0 (sangat korup) (www.thejakartaglobe.com). Skor 5.0 atau lebih
rendah dianggap sebagai kondisi korup. Nilai integritas sektor publik di Indonesia
masih rendah dan tidak terlalu jauh dari standar integritas minimum yang ditetapkan
oleh KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi), yaitu 6,0 (dalam skala 1 sebagai yang
terendah hingga 10 sebagai yang tertinggi). Dalam memerangi kasus korupsi banyak
hambatan hal ini disebabkan oleh sistem administrasi publik yang digerakkan oleh
aturan yang berfokus pada kebenaran formal dan bukan pada kebenaran substantif.
Sebagian kasus praktik mencari sewa ini kerap dimanfaatkan oleh para pencari sewa
tidak dapat dituntut karena mereka memanfaatkan celah dari sistem hukum yang ada.
Dalam kata lain para pencari sewa tidak melanggar hukum dalam memanipulasi
lingkungan sosial atau politik untuk memperoleh keuntungan finansial pribadi.
sebenarnya para birokrat didalam lenbaga instansi pemerintah punya kewajiban untuk
melaporkan semua informasi dalam sebuah LAKIP (Laporan Akuntabilitas Kinerja
Instansi Pemerintah) para birokrat di indonesia punya kecenderungan untuk hanya
melaporkan hal-hal baik, yaitu hal-hal yang sejalan dengan peraturan dan ketentuan,
meskipun saat itu tidak sesuai dengan misi lembaga, juga untuk menyembunyikan
semua informasi yang dianggap tidak pantas untuk dimasukkan ke dalam "laporan yang
baik". Masalah ini diperburuk dengan tidak adanya evaluasi kebijakan serta evaluasi
program / proyek dalam sistem administrasi publik Indonesia. Dari hal ini perlu adanya
feedback dari masyarakat untuk dapat memberikan evaluasi kepada para pembuat
kebijakan.

Secara umum dalam administrasi dan praktik kebijakan di indoneia dipengaruhi


paradigma yang mengacu pada pendekatan hierarki top down. Kegiatan politik yang
mempengaruhi administrasi dan praktik kebijakan didominasi oleh para elit penguasa
yang berorientasi pada subyektifitas yang terdiri dari nepotisme, berbasis agama, etnis
dan bentuk lain dari orientasi politik yang sempit. Dalam kondisi ini kepentingan publik
menjadi perhatian yang menurun. Dan juga Saat ini, birokrasi pemerintah Indonesia
masih sangat didasarkan pada peraturan yang terkesan kuno dan peraturan dan regulasi
tersebut tidak dapat memenuhi kebutuhan masyarakat akan layanan publik.

Sebernarnya pemerintah indonesia sudah berupaya untuk menciptakan birokrasi yang


bersih, efisien, efektif dan produktif. Dengan meluncurkan reformasi birokrasi.
Reformasi ini dirancang sebagai upaya dalam menciptakan birokrasi yang bersih dan
transparan yang mana bahwasannya bertujuan dalam menciptakan pelayanan publik
yang baik kepada masyarakat. Penulis disini mengangkat gagasan apakah upaya
reformasi birokrasi ini dapat meningkatkan kinerja birokrasi pemerintah dalam
memberikan layanan publik dan pemberdayaan warga negara? Pertanyaan ini mungkin
menjadi sebuah jawaban bagi perseoalan apa yang seharusnya pemerintah lakukan
dalam menciptakan birokrasi bersih dan transparan, Akan tetapi upaya tersebut tidak
fokus pada pelaksanaan dan peraturan yang ada. Dengan kata lain disini tidak ada
kesatuan diantara kebijakan, peraturan atau regulasi, mengingat bahwa masalah utama
birokrasi di Indonesia disebabkan oleh ketidaksatuan kebijakan publik, peraturan, dan
regulasi yang ada. Penulis menguatkan argumen tersebut dengan manambahkan fakta
yakni ketidakharmonisan antara Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang
Pemerintahan Daerah dan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan
Negara, serta yang ditemukan antara sembilan undang-undang dan ratusan peraturan
tentang pengelolaan penggunaan lahan yang saling bertentangan. yang lain
menggambarkan situasi ini dengan baik (KPK, 2006).

Kondisi birokrasi pemerintah menjadi sangat kompleks dikarenakan praktik-


praktik sebagai berikut; (1) Ada kecenderungan orang untuk melakukan pencarian sewa,
suap, atau memberikan gratifikasi kepada pejabat pemerintah untuk mendapatkan
perlakuan khusus dalam layanan publik dan khususnya, untuk mendapatkan izin konsesi
untuk eksploitasi deposit sumber daya alam yang langka seperti konsesi pertambangan
dan izin perkebunan kelapa sawit; (2) Kolusi antara pejabat pemerintah dan pelaku
bisnis yang mengarah pada praktik mark-up dalam pengadaan pemerintah, dan
memberikan kepuasan sebagai imbalan kepada para pejabat; (3) Intervensi politik dalam
perekrutan pegawai negeri sipil serta dalam pengadaan dan kontrak pemerintah (sistem
rampasan); (4) Korupsi di lembaga penegak hukum, yaitu polisi, pengacara, pengadilan,
dan pejabat pajak (www.economist.com). Masalah-masalah diatas perlu ditangani oleh
semua lapisan masyarakat dan terutama Pemerintah. Ini mearupakan tantangan bagi
negara Indonesia kedepan dalam menemukan strategi atau formula bentuk reformasi
administrasi. Untuk melakukan hal tersebut perlu dilakukan pembuatan kebijakan-
kebijakan publik yang tepat untuk dapat memberdayakan aparatur pemerintah dan
warga negara. Untuk itu penulis berpendapat bahw kita harus menjawab pertanyaan-
pertanyaan berikut; (1) Strategi reformasi birokrasi apa yang harus dipilih ?; (2) Siapa
yang bertanggung jawab untuk memimpin reformasi birokrasi ini, dan dari titik mana
kita harus memulai?
Pertama, dibutuhkannya pemimpin yang punya gaya kepemimpinan
transformasional untuk memimpin perubahan radikal. Di sisi lain, reformasi birokrasi
atau reformasi administrasi adalah pendekatan top-down; oleh karena itu, harus
dipimpin langsung oleh pejabat tinggi: Presiden Indonesia. Untuk memulai perubahan,
reformasi birokrasi membutuhkan kepemimpinan yang kuat, visioner, dan
transformasional untuk memotivasi orang dan bersinergi dalam pembangunan nasional
(Farazmand, 2002). Kepemimpinan harus menunjukkan integritas dan komitmen
pribadi yang kuat seperti contohnya dapat memimpin gerakan anti-korupsi dan
pemimpin tersebut harus menunjukkan integritas dan komitmen pribadi yang kuat.
Kedua, adanya harmonisasi diantara kebijakan, hukum, peraturan, dan regulasi yang
ada. Hampir semua undang-undang, peraturan, dan regulasi yang ada saling
bertentangan karena kurangnya koordinasi dan sinkronisasi antara berbagai lembaga
publik dalam pembuatan kebijakan, Misalnya, di sektor agraria ada sembilan undang-
undang dan 285 aturan dan peraturan yang tidak cocok satu sama lain. Idealnya,
kebijakan publik harus selaras satu sama lain agar menjadi pengungkit yang efektif
dalam inisiatif pembangunan nasional (Osborne dan Plastrik, 1998).

Ketiga, penerapan dan perlindungan sistem merit termasuk sistem penghargaan


dan hukuman di semua birokrasi pemerintah dapat mencegah dan mengurangi peluang
untuk melakukan korupsi di kalangan birokrat. Shafritz, dkk. (1983) secara eksplisit
menjelaskan prinsip-prinsip sistem jasa dengan jelas sebagai berikut; (1) Proses
rekrutmen yang menargetkan semua segmen masyarakat, dan seleksi dan kemajuan
berdasarkan kapasitas, pengetahuan dan keterampilan, di bawah kompetisi yang adil dan
terbuka; (2) Perlakuan adil dan merata dalam semua masalah manajemen personel,
terlepas dari orientasi politik, ras, warna kulit, agama, dan asal kebangsaan, jenis
kelamin, status perkawinan, usia, atau kondisi penyandang cacat, dan dengan
memperhatikan privasi individu dan hak-hak konstitusional; (3) Pembayaran yang
setara untuk pekerjaan dengan nilai yang sama, dengan mempertimbangkan tarif
nasional dan lokal yang dibayarkan oleh pemberi kerja publik, dengan insentif dan
pengakuan untuk kinerja yang sangat baik; (4) Standar integritas yang tinggi dan
kepedulian terhadap kepentingan publik; (5) Penggunaan (pemerintah) secara efisien
dan efektif tenaga kerja; (6) Retensi karyawan yang berkinerja baik, mengoreksi kinerja
mereka yang pekerjaannya tidak memadai, dan pemisahan mereka yang tidak dapat atau
tidak akan memenuhi standar yang disyaratkan; (7) Meningkatkan kinerja melalui
pendidikan dan pelatihan yang efektif; (8) Perlindungan karyawan dari tindakan
sewenang-wenang, favoritisme pribadi, atau paksaan politik; (9) Perlindungan karyawan
terhadap pembalasan atas pengungkapan informasi yang sah. Keempat, gerakan anti
korupsi harus mencakup langkah preventif dan kuratif. Sistem hukum yang lemah
merupakan faktor utama penyebabnya, idealnya akan lebih baik jika reformasi sistem
hukum harus dilakukan sebelum reformasi birokrasi. Kesimpulan dari semua ini adalah
masyarakat disini harus ikut aktif merpartisipasi dalam mengendalikan birokrasi
pemerintah karena meraka adalah pemangku setiap kebijakan-kebijakan publik.
Birokrasi pemerintah harus diperkuat tidak hanya dengan perencanaan dan pelaksanaan
kegiatannya tetapi juga dengan evaluasi hasil kegiatan. Keempat strategi tersebut
diharapkan dapat menciptakan birokrasi pemerintah yang berfungsi sebagai pengungkit
yang memungkinkan orang untuk menyingkirkan lingkaran setan korupsi.

Anda mungkin juga menyukai