Review Jurnal “Bureaucratic Reform and Dynamic Governance for Combating
Corruption: The Challenge for Indonesia”
Kualitas pelayanan publik di Indonesia sampai sekarang sering kali mempunyai
label buruk, hal ini disampaikan penulis didalam jurnal ini Mengapa kualitas layanan publik yang diberikan oleh birokrasi pemerintah Indonesia tetap buruk? Banyak faktor yang dapat mempengaruhi kinerja birokrasi pemerintah, termasuk tidak adanya meritokrasi (penggunaan talenta terbaik) yang disebabkan, misalnya, proses rekrutmen yang tidak menargetkan semua segmen masyarakat, pemilihan dan peningkatan pegawai negeri yang tidak didasarkan pada kapasitas, pengetahuan dan keterampilan, di bawah persaingan yang adil dan terbuka. Penempatan atau sistem perekrutan PNS di Indonesia tidak didasarkan pada kompetensi dan kinerja, Namun lebih pada pertimbangan politik (sistem rampasan) dan patrimonialisme. Korupsi di indonesia adalah perwujudan dari buruknya sistem atau kinerja birokrasi pemerintah Indonesia dan ini sebagai fenomena yang akan menghambat terwujudnya pemerintahan yang baik, mengikis supremasi hukum, dan menghambat upaya pertumbuhan ekonomi. Presiden Yudhoyono mengakui bahwa “masih ada banyak pelaku korupsi bahkan di pemerintahan, parlemen, perwakilan regional dan penegak hukum” (www.in-reuters.com). Mencari sewa adalah praktik umum di Indonesia. Politisi, misalnya, digunakan untuk mencari dana kampanye politik dari birokrat dengan imbalan perlindungan dan dari perusahaan besar dengan imbalan tawaran peluang bisnis seperti kontrak pemerintah dan izin pengadaan, pertambangan, penebangan dan perkebunan. Beberapa fakta mengenai kinerja birokrasi di Indonesia ditulis dalam jurnal ini dikataan bahwa menurut Laporan Transparency International yang diluncurkan pada 2010 menunjukkan bahwa Indeks Persepsi Korupsi (CPI) Indonesia berada di peringkat 100 dari 182 negara, dengan skor 3,0 dari skala 10 (sangat bersih) hingga 0 (sangat korup) (www.thejakartaglobe.com). Skor 5.0 atau lebih rendah dianggap sebagai kondisi korup. Nilai integritas sektor publik di Indonesia masih rendah dan tidak terlalu jauh dari standar integritas minimum yang ditetapkan oleh KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi), yaitu 6,0 (dalam skala 1 sebagai yang terendah hingga 10 sebagai yang tertinggi). Dalam memerangi kasus korupsi banyak hambatan hal ini disebabkan oleh sistem administrasi publik yang digerakkan oleh aturan yang berfokus pada kebenaran formal dan bukan pada kebenaran substantif. Sebagian kasus praktik mencari sewa ini kerap dimanfaatkan oleh para pencari sewa tidak dapat dituntut karena mereka memanfaatkan celah dari sistem hukum yang ada. Dalam kata lain para pencari sewa tidak melanggar hukum dalam memanipulasi lingkungan sosial atau politik untuk memperoleh keuntungan finansial pribadi. sebenarnya para birokrat didalam lenbaga instansi pemerintah punya kewajiban untuk melaporkan semua informasi dalam sebuah LAKIP (Laporan Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah) para birokrat di indonesia punya kecenderungan untuk hanya melaporkan hal-hal baik, yaitu hal-hal yang sejalan dengan peraturan dan ketentuan, meskipun saat itu tidak sesuai dengan misi lembaga, juga untuk menyembunyikan semua informasi yang dianggap tidak pantas untuk dimasukkan ke dalam "laporan yang baik". Masalah ini diperburuk dengan tidak adanya evaluasi kebijakan serta evaluasi program / proyek dalam sistem administrasi publik Indonesia. Dari hal ini perlu adanya feedback dari masyarakat untuk dapat memberikan evaluasi kepada para pembuat kebijakan.
Secara umum dalam administrasi dan praktik kebijakan di indoneia dipengaruhi
paradigma yang mengacu pada pendekatan hierarki top down. Kegiatan politik yang mempengaruhi administrasi dan praktik kebijakan didominasi oleh para elit penguasa yang berorientasi pada subyektifitas yang terdiri dari nepotisme, berbasis agama, etnis dan bentuk lain dari orientasi politik yang sempit. Dalam kondisi ini kepentingan publik menjadi perhatian yang menurun. Dan juga Saat ini, birokrasi pemerintah Indonesia masih sangat didasarkan pada peraturan yang terkesan kuno dan peraturan dan regulasi tersebut tidak dapat memenuhi kebutuhan masyarakat akan layanan publik.
Sebernarnya pemerintah indonesia sudah berupaya untuk menciptakan birokrasi yang
bersih, efisien, efektif dan produktif. Dengan meluncurkan reformasi birokrasi. Reformasi ini dirancang sebagai upaya dalam menciptakan birokrasi yang bersih dan transparan yang mana bahwasannya bertujuan dalam menciptakan pelayanan publik yang baik kepada masyarakat. Penulis disini mengangkat gagasan apakah upaya reformasi birokrasi ini dapat meningkatkan kinerja birokrasi pemerintah dalam memberikan layanan publik dan pemberdayaan warga negara? Pertanyaan ini mungkin menjadi sebuah jawaban bagi perseoalan apa yang seharusnya pemerintah lakukan dalam menciptakan birokrasi bersih dan transparan, Akan tetapi upaya tersebut tidak fokus pada pelaksanaan dan peraturan yang ada. Dengan kata lain disini tidak ada kesatuan diantara kebijakan, peraturan atau regulasi, mengingat bahwa masalah utama birokrasi di Indonesia disebabkan oleh ketidaksatuan kebijakan publik, peraturan, dan regulasi yang ada. Penulis menguatkan argumen tersebut dengan manambahkan fakta yakni ketidakharmonisan antara Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara, serta yang ditemukan antara sembilan undang-undang dan ratusan peraturan tentang pengelolaan penggunaan lahan yang saling bertentangan. yang lain menggambarkan situasi ini dengan baik (KPK, 2006).
Kondisi birokrasi pemerintah menjadi sangat kompleks dikarenakan praktik-
praktik sebagai berikut; (1) Ada kecenderungan orang untuk melakukan pencarian sewa, suap, atau memberikan gratifikasi kepada pejabat pemerintah untuk mendapatkan perlakuan khusus dalam layanan publik dan khususnya, untuk mendapatkan izin konsesi untuk eksploitasi deposit sumber daya alam yang langka seperti konsesi pertambangan dan izin perkebunan kelapa sawit; (2) Kolusi antara pejabat pemerintah dan pelaku bisnis yang mengarah pada praktik mark-up dalam pengadaan pemerintah, dan memberikan kepuasan sebagai imbalan kepada para pejabat; (3) Intervensi politik dalam perekrutan pegawai negeri sipil serta dalam pengadaan dan kontrak pemerintah (sistem rampasan); (4) Korupsi di lembaga penegak hukum, yaitu polisi, pengacara, pengadilan, dan pejabat pajak (www.economist.com). Masalah-masalah diatas perlu ditangani oleh semua lapisan masyarakat dan terutama Pemerintah. Ini mearupakan tantangan bagi negara Indonesia kedepan dalam menemukan strategi atau formula bentuk reformasi administrasi. Untuk melakukan hal tersebut perlu dilakukan pembuatan kebijakan- kebijakan publik yang tepat untuk dapat memberdayakan aparatur pemerintah dan warga negara. Untuk itu penulis berpendapat bahw kita harus menjawab pertanyaan- pertanyaan berikut; (1) Strategi reformasi birokrasi apa yang harus dipilih ?; (2) Siapa yang bertanggung jawab untuk memimpin reformasi birokrasi ini, dan dari titik mana kita harus memulai? Pertama, dibutuhkannya pemimpin yang punya gaya kepemimpinan transformasional untuk memimpin perubahan radikal. Di sisi lain, reformasi birokrasi atau reformasi administrasi adalah pendekatan top-down; oleh karena itu, harus dipimpin langsung oleh pejabat tinggi: Presiden Indonesia. Untuk memulai perubahan, reformasi birokrasi membutuhkan kepemimpinan yang kuat, visioner, dan transformasional untuk memotivasi orang dan bersinergi dalam pembangunan nasional (Farazmand, 2002). Kepemimpinan harus menunjukkan integritas dan komitmen pribadi yang kuat seperti contohnya dapat memimpin gerakan anti-korupsi dan pemimpin tersebut harus menunjukkan integritas dan komitmen pribadi yang kuat. Kedua, adanya harmonisasi diantara kebijakan, hukum, peraturan, dan regulasi yang ada. Hampir semua undang-undang, peraturan, dan regulasi yang ada saling bertentangan karena kurangnya koordinasi dan sinkronisasi antara berbagai lembaga publik dalam pembuatan kebijakan, Misalnya, di sektor agraria ada sembilan undang- undang dan 285 aturan dan peraturan yang tidak cocok satu sama lain. Idealnya, kebijakan publik harus selaras satu sama lain agar menjadi pengungkit yang efektif dalam inisiatif pembangunan nasional (Osborne dan Plastrik, 1998).
Ketiga, penerapan dan perlindungan sistem merit termasuk sistem penghargaan
dan hukuman di semua birokrasi pemerintah dapat mencegah dan mengurangi peluang untuk melakukan korupsi di kalangan birokrat. Shafritz, dkk. (1983) secara eksplisit menjelaskan prinsip-prinsip sistem jasa dengan jelas sebagai berikut; (1) Proses rekrutmen yang menargetkan semua segmen masyarakat, dan seleksi dan kemajuan berdasarkan kapasitas, pengetahuan dan keterampilan, di bawah kompetisi yang adil dan terbuka; (2) Perlakuan adil dan merata dalam semua masalah manajemen personel, terlepas dari orientasi politik, ras, warna kulit, agama, dan asal kebangsaan, jenis kelamin, status perkawinan, usia, atau kondisi penyandang cacat, dan dengan memperhatikan privasi individu dan hak-hak konstitusional; (3) Pembayaran yang setara untuk pekerjaan dengan nilai yang sama, dengan mempertimbangkan tarif nasional dan lokal yang dibayarkan oleh pemberi kerja publik, dengan insentif dan pengakuan untuk kinerja yang sangat baik; (4) Standar integritas yang tinggi dan kepedulian terhadap kepentingan publik; (5) Penggunaan (pemerintah) secara efisien dan efektif tenaga kerja; (6) Retensi karyawan yang berkinerja baik, mengoreksi kinerja mereka yang pekerjaannya tidak memadai, dan pemisahan mereka yang tidak dapat atau tidak akan memenuhi standar yang disyaratkan; (7) Meningkatkan kinerja melalui pendidikan dan pelatihan yang efektif; (8) Perlindungan karyawan dari tindakan sewenang-wenang, favoritisme pribadi, atau paksaan politik; (9) Perlindungan karyawan terhadap pembalasan atas pengungkapan informasi yang sah. Keempat, gerakan anti korupsi harus mencakup langkah preventif dan kuratif. Sistem hukum yang lemah merupakan faktor utama penyebabnya, idealnya akan lebih baik jika reformasi sistem hukum harus dilakukan sebelum reformasi birokrasi. Kesimpulan dari semua ini adalah masyarakat disini harus ikut aktif merpartisipasi dalam mengendalikan birokrasi pemerintah karena meraka adalah pemangku setiap kebijakan-kebijakan publik. Birokrasi pemerintah harus diperkuat tidak hanya dengan perencanaan dan pelaksanaan kegiatannya tetapi juga dengan evaluasi hasil kegiatan. Keempat strategi tersebut diharapkan dapat menciptakan birokrasi pemerintah yang berfungsi sebagai pengungkit yang memungkinkan orang untuk menyingkirkan lingkaran setan korupsi.