Anda di halaman 1dari 13

MAKALAH KOMUNIKASI PEMERINTAHAN

“SUPRASTRUKTUR DAN INFRASTRUKTUR KOMUNIKASI POLITIK TERKAIT


RUU PENGHAPUSAN KEKERASAN SEKSUAL”
(Studi Kasus Dinamika RUU PKS Terkait Suprastruktur dan Infrastruktur Komunikasi
Politik)

Dosen Pengampu: Ruth Agnesia Sembiring, S.Sos., M.A.

Oleh:

Ferly Cahya Perdana


(185120607111021)

PRODI ILMU PEMERINTAHAN


FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
UNIVERSITAS BRAWIJAYA
2021
BAB 1
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Kekerasan seksual terhadap perempuan menjadi sala satu problem yang kerap kali terjadi
di Indonesia. Hal ini tidak dipandang sebagai masalah antar individu belaka, melainkan
menjadi salah satu permasalahan sosial yang terkait pada masalah hak asasi manusia,
khususnya perlindungan dari segala bentuk kekerasan maupun penyiksaan terhadap martabat
manusia. Oleh karena itu sebagai salah satu upaya negara untuk menjamin dan melindungi
martabat perempuan maka dibentuk sebuah undang-undang yang mampu melindungi
martabat dan hak asasi seorang perempuan, yaitu RUU PKS. RUU ini dibentuk dengan
tujuan mengakomodir peraturan terkait kekerasan seksual, yang mana hal tersebut tidak
diatur dalam KUHP. Peraturan yang terdapat dalam KUHP dalam hal ini cukup terbatas. Atas
dasar hal tersebut RUU ini hadir untuk melengkapi kekurangan yang ada.1

Namun RUU PKS masih memperoleh pro dan kontra sehingga masih perlu untuk dikaji
ulang. Terdapat banyak dinamika yang terjadi dalam penetapan RUU PKS, baik dari pihak
legislative maupun masyarakat itu sendiri. Makalah ini akan membahas RUU Penghapusan
Kekerasan Seksual dari aspek suprastuktur atau lembaga negara dalam menjalankan fungsi
legislative, eksekutif, dan yudikatif dalam melaksanakan fungsi komunikasi politik terkait
RUU penghapusan Kekerasann Seksual, yang dimana peran komunikasi dalam hal ini sangat
penting dan memiliki pengaruh yang cukup penting.

1.2. Rumusan Masalah


Berdasarkan latar belakang yang telah dipaparkan, makalah ini akan membahas beberapa
rumusan masalah, yaitu:

1. Bagaimana dinamika permasalahan yang terjadi pada komunikator suprastruktur


dalam komunikasi politik terkait RUU PKS?
2. Bagaimana dinamika permasalahan yang terjadi pada komunikator infrastruktur
dalam komunikasi politik terkait RUU PKS?
3. Bagaimana solusi dalam menanggulangi feedback dari komunikator infrastruktur?

1.3. Tujuan
Adapun tujuan yang ingin dicapai dalam penulisan makalah ini, yaitu:
1
Muhammad Ramadhani Citrawan. 2019. Tinjauan Kritis Terhadap RUU PKS dari Perspektif Islam dan Hukum
Pidana Positif Indonesia. Skripsi. Universitas Muhammadiyah Surakarta. Hlm. 5.
 Mendeskripsikan dinamika permasalahan yang terjadi pada komunikator
suprastruktur dalam komunikasi politik terkait RUU PKS
 Mendeskripsikan dinamika permasalahan yang terjadi pada komunikator
infrastruktur dalam komunikasi politik terkait RUU PKS
 Mendeskripsikan solusi dalam menanggulangi feedback dari komunikator
infrastruktur
BAB II
KONSEP DAN PEMBAHASAN
2.1. Suprastruktur dan Komunikator dalam Komunikasi Politik Terkait
Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual
Semua peristiwa komunikasi pasti melibatkan komunikator sebagai pembuat atau
pengirim informasi. Komunikasi politik sangat berkaitan dengan sisem politik yang menjadi
salah satu fungsi politik, lalu sistem politik pun juga mempengaruhi komunikasi politik.
Dalam sistem politik, komunikasi terbagi menjadi dua suasana yakni suprastruktur
komunikasi (suasana kehidupan politik pemerintahan) dan infrastruktur komunikasi (suasana
kehidupan politik masyarakat). Kedua suasana tersebut saling berkaitan dan saling
mempengaruhi, dimana suprastruktur merupakan cerminan dari infrastruktur dan
suprastruktur pula harus dapat mengakomodasikan kehidupan infrastruktur. 2 Komunikator
politik adalah salah satu faktor yang menentukan efektif tidaknya komunikasi politik yang
dilakukan.
Para pengelola sumber komunikasi yang sesuai dengan kekuasaannya masing-masing
merupakan komunikator suprastruktur.3 Komunikator suprastruktur diklasifikasikan dalam
dua level komunikator, yakni komunikator utama (governmental opinion makers dan single
issue opinion) dan komunikator pelaksana. Menurut Dan Nimmo, komunikator suprastruktur
dikategorikan menjadi tiga, (1) Pembentuk opini pemerintah (governmental opinion makers),
yakni komunikator suprastruktur yang berkuasa menangani permasalahan pada skala
nasional. Terdiri dari excecutive official, legislators, dan judicial officer atau di Indonesia
kategori ini disebut juga eksekutif, legislatif, dan yudikatif, (2) Single issue opinion,
merupakan komunikator suprastruktur yang menangani masalah khusus seperti para staf ahli,
sekretaris, maupun asisten yang menangani wilayah khusus pada departemen, (3)
Komunikator pelaksana, terdiri dari para pejabat di tingkat daerah baik provinsi,
kabupaten/kotamadya yang berfungsi meneruskan program pemerintah pusat dan
merealisasikannya hingga tingkat daerah.4
Permasalahan komunikasi politik oleh suprastruktur terjadi dalam dinamika RUU PKS.
Aturan dalam RUU PKS diinisiasi oleh Komnas Perempuan sejak 2012 dan diserahkan pada
DPR tahun 2016. Saat RUU PKS ini diajukan, sangat sedikit jumlah anggota DPR yang
2
AP. Soemarno, Hakikat Komunikasi Politik Tinjauan Filosofis, Teoritis, Empiris dan Hakikat Feedback atau
Respons, Jakarta: Universitas Terbuka, 2015, hlm. 22.
3
Z. Mukarom, Komunikasi Politik, Bandung: Pustaka Setia, 2016, hlm. 63.
4
T. Pureklolon, Komunikasi Politik: Mempertahankan Integritas Akademisi, Politikus, dan Negarawan, Jakarta:
PT. Gramedia Pustaka Utama, 2016, hlm. 243.
setuju. Kemudian, DPR pada tahun 2020 mengeluarkan RUU PKS ini dari program legislasi
nasional (Prolegnas) Prioritas, dikarenakan dinilai pembahasannya yang agak sulit. Hal ini
memicu kekecewaan publik, dimana RUU tersebut sudah didesak oleh publik untuk segera
disahkan, karena mengatur tindakan kekerasan seksual yang tidak seluruhnya terdapat pada
KUHP. Saat ini, RUU PKS masuk dalam Prolegnas 2021 meskipun hingga sekarang
pembahasannya belum kunjung dilanjutkan.5
Dalam parlemen, terjadi dinamika yang panjang mengenai perkara RUU PKS
ini.6 Terdapat permasalahan terkait pengesahan RUU PKS, yakni perihal komunikasi politik
di dalam internal lembaga DPR dan komunikasi publik kepada masyarakat. Dalam
konsep/teori komunikasi pemerintahan, DPR merupakan salah satu komunikator
suprastruktur utama dalam komunikasi politik terkait RUU PKS ini. Menurut Dan Nimmo,
posisi DPR dikategorikan sebagai aktor yang memiliki kewenangan sebagai governmental
opinion makers dalam mengusulkan RUU PKS. Dalam hal ini, DPR diharuskan mampu
untuk meyakinkan fraksi-fraksi yang masih belum mendukung pengesahan RUU PKS, bahwa
RUU ini merupakan hal penting yang harus diperjuangkan. Di mana, RUU ini bertujuan
untuk memberikan jaminan hukum dan keadilan bagi seluruh masyarakat mengenai
kekerasan seksual supaya tidak ada lagi korban-korban seperti sebelumnya.
Di dalam ranah legislatif tentunya tidak selalu mudah dalam mementukan sebuah
keputusan, sama halnya dengan keputusan pengesahan RUU PKS. Seperti yang kita ketahui,
tidak semua fraksi di ranah legislatif mendukung adanya RUU PKS ini. Terdapat beberapa
fraksi di DPR RI yang menolak RUU PKS, salah satunya yaitu Fraksi Partai Keadilan
Sejahtera (PKS).7 Fraksi ini berpandangan bahwa makna kekerasan seksual sampai pada
cakupan tindak pidana kekerasan seksual sangat dominan terhadap perspektif liberal, dimana
perspektif tersebut dinilai bertentangan dengan nilai agama, budaya ketimuran., dan yang
utama Pancasila. Bahkan, dikhawatirkan berpotensi membuka peluang munculnya sikap
terbuka terhadap perilaku seks bebas. Sikap fraksi-fraksi yang kontra terhadap RUU tersebut
diperkuat lagi dengan banyaknya penolakan dan juga kritik yang datang dari ormas, para ahli,
tokoh agama, dan elemen masyarakat lain. Oleh sebab itu, para fraksi yang bersangkutan
semakin yakin melakukan penolakan draf RUU PKS bahkan akan menggunakan langkah
konstitusional agar DPR melakukan pembatalan terkait pembahasan RUU PKS. Dari
5
N.N. Lailisna. 2020. Polemik Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU PKS): Studi
Kritis Dan Prospektif, An-Natiq. Jurnal Kajian Islam Interdisipliner, Vol. 1, No. 1, hlm. 85.
6
Josua Satria Collins. 2021. “Pembahasan RUU PKS: Menilik Proses Dan Permasalahan Legislasi”. (Online),
(https://theconversation.com/pembahasan-ruu-pks-menilik-proses-dan-permasalahan-legislasi-142561),
diakses pada 19 April 2021.
7
N.N. Lailisna, Op.Cit, hlm.87.
permasalahan tersebut, menunjukkan bahwa komunikasi politik yang dilakukan DPR sebagai
komunikator suprastruktur RUU PKS ini tidak berjalan baik, karena terlihat pada komunikasi
internalnya yang terdapat banyak perbedaan pendapat dan pro kontra yang terjadi sehingga
menyebabkan RUU PKS ini tidak kunjung dibahas dan disahkan.
2.2. Infrastruktur, Komunikator dan Karakteristiknya dalam Komunikasi
Politik Terkait Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual
Komunikator infrastruktur dalam politik memiliki peran dalam memberikan respon dari
kebijakan-kebijakan publik yang akan atau telah ditetapkan oleh pemerintah, dapat
berbentuk desakan maupun dukungan yang menggerakkan dan memobilisasi massa,
harapannya untuk mempengaruhi pembetukan keputusan kebijakan dengan berbagai
pertimbangan yang perlu disaring oleh pihak Pemerintah. Komunikator Infrastruktur menurut
G.A Almond dan S.Coleman terdiri dari Parpol, beberapa kelompok: yaitu kepentingan dan
penekan, politikus, serta alat komunikasi politik lainnya. 8 Maka dari itu dalam proses
pengesahan RUU ini, komunikator menjadi penggerak masyarakat dan penekan bagi
pemerintah, apakah RUU ini akan dilanjutkan atau justru dihapuskan. Namun pada
pelaksanaannya terdapat perdebatan pada 5 kelompok komunikator, beberapa memilih untuk
mendesak agar RUU untuk cepat disahkan namun disisi lain masih terdapat pula yang tidak
setuju dengan adanya rancangan undang-undang ini.

Pada beberapa partai politik timbul perspektif kontra yang menganggap bahwa isi RUU
PKS ini memperbolehkan adanya seks bebas, perilaku seks yang menyimpang, dan pro
tehadap LGBT. Rancangan Undang-undang juga dianggap sekuleris oleh beberapa partai, hal
ini dikarenakan adanya pemisahan payung hukum antara kekerasan seksual dan
penyimpangan seksual. Hal ini dapat kita lihat dari pernyataan perwakilan fraksi partai Partai
Keadilan Sejahtera, Jazuli Juwaini, yang menyatakan bahwa RUU PKS dapat menyebabkan
perdebatan di tengah-tengah kehidupan bermasyarakat karena unsur dialamnya
berseberangan dengan nilai-nilai yang dianut Bangsa Indonesia, yakni Pancasila dan Agama.9

Lembaga Swadaya Masyarakat dan juga Ormas berperan sebagai Komunikator


Infrastruktur, yang terlihat banyak organisasi masyarakat yang mendukung untuk segera
disahkannya rancangan undang-undang. KOPRI PB mendorong untuk segera disahkannya
RUU PKS karena semakin meningkatnya kasus kekerasan seksual perempuan yang sering

8
Susilastutu, dkk. 2015. Relawan Demokrasi Sebagai Komunikator Politik Bagi Pemilih Pemula. Prosiding KNK
ISKI, Vol. 5, No. 11, hlm. 4.
9
Nikodemus Niko, dkk. 2020. Perjuangan Kelas Pengesahan RUU Penghapusan Kekerasan Sosial. Jurnal Ilmiah
Dinamika Sosial, Vol. 4, No 2, hlm. 234.
tidak mendapatkan haknya dalam keadilan hukum, seperti pada kasus Baiq Nuril. 10 Selain itu
dalam komnasperempuan.go.id dijelaskan bahwa meluasnya dukungan publik oleh Komnas
Perempuan yang mampu menggerakkan lebih dari 92 organisasi masyarakat untuk
melakukan kampanye mengenai RUU PKS ini kepada masyarakat. Kampanye politik
merupakan salah satu bentuk komunikasi oleh komunikator infrastruktur untuk mencapai
tujuannya.11 Dikatakan pula, bahwa bertepatan dengan hari anti kekerasan terhadap
perempuan di Jakarta 2018 dilakukan pawai yang memiliki tujuan untuk mendorong
pengesahan RUU PKS yang diikuti 2000 peserta dari berbagai elemen masyarakat 12. Namun
masih terdapat kelompok yang menolak adanya RUU PKS yang mengganggap para
kelompok pelaku penyimpangan seksual akan dilindungi dengan adanya rancangan undang-
undang ini. Kelompok ini berusaha untuk mendapatkan atensi masyarakat melalui pembuatan
petisi online untuk menggagalkan pengesahan.

Selain itu, pada para tokoh pemerhati juga terdapat perdebatan dalam memberikan
tanggapan terkait adanya rancangan undang-undang, Guru Besar IPB Profesor Euis Sunarti
dan Tengku Zulkarnain, Wakil Sekretaris Jendral MUI menolak pengesahan rancangan
undang-undang yang dianggap multitafsir pada kalimat yang terkandung dan juga pro
terhadap tindakan zina. Di sisi lain perjuangan mahasiswa yang menjadi aktor pengawas atas
pembuat kebijakan sekaligus agent of change, menggerakkan massa untuk mendukung segera
di sahkannya RUU PKS dalam aksi “Gejayan Memanggil” yang menginginkan adanya
kesempatan bagi perepuan untuk mendapatkan keadilan serta ruang aman yang nantinya akan
melahirkan keberdayan perempuan.13

Dari beberapa pernyataan diatas menunjukkan bahwa Partai Politik, Organisasi


Masyarakat, serta para tokoh Politikus sebagai Komunikator Infrastruktur masih aktif untuk
memberikan respon atas feedback dari kebijakan RUU PKS oleh Suprastruktur. Respon yang
diberikan berupa tuntutan untuk tidak melanjutkan pengesahan dan juga dukungan untuk
cepat mengehsahkan. Dari hal tersebut kita dapat menarik bahwa partai politik lebih
cenderung terlihat untuk menolak kemungkinan hal ini terjadi karena adanya kepentingan
yang sedang diperjuangkan oleh para partai politik. Sedangkan yang terlihat untuk

10
Zakiya Fatihatur Rohma. 2018. Konstruksi RUU PKS Dalam Framing Pemberitaan Media Online. Jurnal
Komunikasi dan Penyiaran Islam, Vol. 2, No 2, hlm. 74.
11
Mahi M. Hikmat, Komunikasi Politik: Teori dan Praktek, Bandung: Remaja Rosdaakarya, 2010, hlm. 37.
12
Komnas Perempuan. 2019. “Korban Bersuara, Data Bicara Sahkan Ruu Penghapusan Kekerasan Seksual
Sebagai Wujud Komitmen Negara”. (Online), (https://komnasperempuan.go.id/) diakses pada 19 April 2021
13
Nikodemus Niko, Loc.cit.,hlm. 240.
mendukung adalah para ormas dan LSM dan juga mahasiswa sebagai kelompok penekan hal
ini terjadi karena mereka tidak membawa kepentingan kelompok mereka sendiri melainkan
mengedepankan urgensi atas kepentingan masyarakat secara umum.

2.3. Solusi dalam Menanggulangi Feedback dari Komunikator Infrastruktur


Dalam proses perancangan RUU PKS terjadi dinamika komunikasi politik di internal
pemerintah maupun di khalayak masyarakat luas. Di internal pemerintah sendiri masih
terdapat pro dan kontra antar fraksi di lembaga legislatif. Fraksi yang menolak Rancangan
Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual adalah Partai Keadilan Sejahtera (PKS).
Hal ini dikarenakan PKS menganggap bahwa RUU ini akan bertentangan dengan nilai-nilai
Pancasila serta agama yang nantinya akan menimbulkan polemik.14 Sedangkan fraksi lainnya
sepakat dengan adanya RUU PKS ini. Kelompok lainnya yang kontra dengan RUU ini juga
memunculkan narasi bahwa RUU PKS mengadung prinsip-prinsip libertarian yang dimana
menekankan dan menjunjung tinggi kebebasan serta mengoptimalkan keutamaan individu
yang dimana jelas bertantangan dan berlawanan dengan Philosopische Grondslag bangsa
Indonesia.15

Kita mengatahui bersama bahwa RUU PKS ini telah melewati tarik ulur proses yang
panjang. Saat ini RUU PKS telah ditarik dari daftar Prolegnas Prioritas 2020, tentunya
memutuskan harapan dari masyarakat Indonesia yang segera menantikan RUU PKS menjadi
payung hukum. Di Indonesia diketahui bersama setiap tahunnya grafik kekerasaan seksual
terus meningkat dari data Komnas Perempuan pada tahun 2020, dimana dalam hal ini
terdapat sekitar 2.800-an kasus kekerasan diranah pribadi.16 Sistem hukum yang ada di
Indonesia juga dinilai belum secara nyata menjamin terkait penghapusan kekerasan seksual di
masyarakat, yang diantaranya mencangkum keselamatan, pencegahan, serta pemberdayaan
terhadap korban kekerasan.

Secara menyeluruh sistem hukum yang ada di Indonesia belum secara konkrit
memberikan jaminan penghapusan kekerasan seksual, yang mencangkup keselamatan, aspek
pencegahan, aspek perlindungan, serta pemulihan dan pemberdayaan korban. Namun, kondisi

14
Kristianto Erdianto. 2019. “Fraksi yang Menolak Pengesahan RUU PKS Dinilai Tidak Konsisten”. (Online),
(https://nasional.kompas.com/read/2019/07/30/18285971/fraksi-yang-menolak-pengesahan-ruu-pks-dinilai-
tidak-konsisten?page=2) diakses pada 20 April 2021.
15
Rakhmad H.P. 2019. “FPI Sebut RUU PKS Berpotensi Legalkan LGBT...”. (Online),
(https://news.detik.com/berita/d-4679380/fpi-sebut-ruu-pks-berpotensi-legalkan-lgbt-komnas-perempuan-
ndak-nyambung) diakses pada 20 April 2021
16
Komnas Perempuan. 2020. “Infografis Kasus Kekerasan Seksual di Ranah Personal”. (Online),
(https://www.komnasperempuan.go.id/ ) diakses pada 20 April 2021.
serta situasi yang ada hari ini terkait persoalan RUU PKS bertitik pada Komunikasi yang
dibangun antar Suprastruktur dan infrastruktur. Karena itu dibutuhkan solusi konkrit dalam
menanggulangi feedback dari komunikator infrastruktur.

1. Optimalisasi Alat Komunikasi Politik

Kelompok kontra rajin mengeluarkan statement yang pada akhirnya dapat mempengaruhi
masyarakat untuk ikut kontra. Sehingga dalam masyarakat pun terpecah menjadi dua kubu
pro dan kontra. Untuk menjembatani pihak pro dan kontra perlu ada pengoptimalan
penggunaan alat-alat komunikasi politik, seperti media masa. Penggunaan media masa untuk
menyebarluaskan tentang urgensi adanya RUU PKS ini hadir. Selain itu penggunaan media
masa juga dapat dimanfaatkan untuk menyelaraskan substansi RUU PKS di dimasyarakat.
Namun sebelum itu, pemerintah harus merevisi kata-kata yang dirasa akan menimbulkan
multitafsir. Beberapa kata tersebut adalah “persetujuan”, “menyiksa”, “hasrat seksual”,
“penyalahgunaan kekuasaan”, “menyiksa”, “sistem reproduksi”, “fungsi reproduksi”, dan
“organ reproduksi”.17 Pemerintah harus memberikan penjelasan dari beberapa nomenklatur
tersebut, karena nomenklatur tersebut sering dipermasalahkan oleh kelompok kontra.

2. Pembentukan Forum Kajian Bersama

Gejolak dinamika RUU PKS sampai detik ini masih belum menemukan titik terangnya,
perdebatan pro dan kontra dari pihak infrastruktur terus berlanjut. Peranan legislator
dibutuhkan untuk dapat mendengarkan perbedaan yang ada agar menghasilkan keputusan
yang terbaik. Dengan ini penulis menawarkan solusi pembentukan Forum Kajian Bersama
yang di akomodir oleh DPR RI. Fungsinya sebagai ruang dialektika bersama NGO yang pro
maupun kontra guna untuk menemukan hasil terbaik demi terwujudnya penghapusan
kekerasan seksual di Indonesia yang tentunya akan tercapainya generasi-generasi bangsa
yang sehat.

3. Manajemen Konflik oleh Suprastruktur

Dalam menghadapi sebuah konflik tentunya pemerintah (suprastruktur) memiliki peran


yang vital dalam menjadi komunikator politik. Pemerintah yang merupakan komunikator
suprastruktur sebagai pihak yang mengelola komunikasi wajib memiliki manajemen konflik
komunikasi yang baik. Ideal atau tidaknya komunikasi akan ditentukan oleh manajemen

17
Adelia Rachma dkk, Miskonsepsi Materi RUU PKS dan Penundaan Pembahasan oleh DPR RI, Yogyakarta:
Dewan Mahasiswa Justica Fakultas Hukum UGM, 2020.
konflik komunikator politik yang berdampak pada dilematika sebuah permasalahan. Secara
umum manajemen konflik adalah usaha-usaha yang dilakukan dalam rangka mencegah,
menghindari terjadinya konflik serta mengurangi resiko dan menyelesaikan konflik. Tujuan
dari adanya manajemen konflik adalah menjaga agar sebuah perselisihan dapat disalurkan
pada tindakan yang tepat seperti negoisasi dan mencegah terjadinya konfrontasi dan
kekerasan. Manajemen konflik yang baik akan menjadi solusi permasalahan RUU PKS untuk
bisa mengakomodasi feedback dari komunikator infastruktur.

BAB III
PENUTUP
3.1. Kesimpulan
Kekerasan seksual terhadap kaum perempuan menjadi problem sosial karena belum
sepenuhnya mendapat perlindungan dari berbagai macam bentuk kekerasan, hingga
penyiksaan serta belum mendapatkan hak keadilan bagi korbannya. Alhasil, perlu dibentuk
suatu regulasi yang memfasilitasi korban kekerasan. Regulasi terkait perlindungan terhadap
kekerasan seksual ini dengan pembentukan RUU PKS, namun dalam perjalananya masih
menimbulkan pro dan kontra, baik dalam masyarakat maupun internal pemerintah dalam hal
ini DPR. Apabila dilihat berdasarkan komunikasi politik, maka polemik RUU PKS ini dapat
dilihat dari dua sisi, pertama dari komunikator suprastruktur dan yang kedua adalah
komunikator infrastruktur. Komunikasi politik digunakan untuk melihat seberapa efektif dan
efisien peruhal komunikasi yang terjadi dalam upaya pengesahan RUU PKS ini. Apabila
dikaitkan dengan permasalahan dalam RUU PKS, DPR sebagai komunikator suprastruktur
belum menjalankan tugasnya dengan baik dengan masih adanya pro kontra di dalam internal
DPR itu sendiri. Posisi DPR sebagai governmental opinion makers seharusnya dapat
meyakinkan fraksi-fraksi yang masih belum mendukung pengesahan RUU PKS, bahwa RUU
ini merupakan hal penting yang harus diperjuangkan.

Dari sisi komunikator infrastruktur, juga masih terdapat pro kontra. Pada beberapa partai
politik, terdapat perspektif kontra mengenai RUU PKS yang menyatakan bahwa RUU ini
memperbolehkan adanya seks bebas, perilaku seks yang menyimpang, dan pro tehadap
LGBT dan sekuleris oleh beberapa partai dikarenakan adanya pemisahan payung hukum
antara kekerasan seksual dan penyimpangan seksual. Dari hal tersebut terlihat bahwa partai
politik lebih cenderung menolak karena mereka mempunyai kepentingan sendiri. Pada pihak
lainnya seperti ormas, LSM, dan mahasiswa sebagai kelompok penekan, mereka cenderung
mendukung RUU ini karena mereka mengedepankan urgensi atas kepentingan masyarakat
secara umum. Adapun beberapa upaya yang dilakukan untuk menanggulangi tanggapan balik
dari pihak komunikator suprastruktur dan infrastruktur dari komunikator suprastruktur yakni
dengan manajemen konflik komunikasi yang baik, sedangkan pada komunikator infrastruktur
yakni dengan melakukan optimalisasi alat komunikasi dan pembentukan forum kajian
bersama.
DAFTAR PUSTAKA
Citrawan, Muhammad Ramadhani. 2019. Tinjauan Kritis Terhadap RUU PKS dari
Perspektif Islam dan Hukum Pidana Positif Indonesia. Skripsi, Universitas
Muhammadiyah Surakarta. Hlm. 5.

Collins, Josua Satria. 2021. Pembahasan RUU PKS: Menilik Proses dan Permasalahan
Legislasi. (Online). (diakses melalui https://theconversation.com/pembahasan-ruu-
pks-menilik-proses-dan-permasalahan-legislasi-142561 pada 19 April 2021).

Erdianto, Kristianto. 2019. Fraksi yang Menolak Pengesahan RUU PKS Dinilai Tidak
Konsisten. (Online). (diakses melalui
https://nasional.kompas.com/read/2019/07/30/18285971/fraksi-yang-menolak-
pengesahan-ruu-pks-dinilai-tidak-konsisten?page=2 pada 20 April 2021).

Hikmat, Mahi M. 2010. Komunikasi Politik: Teori dan Praktek. Bandung: Remaja
Rosdaakarya. Hlm 37.

Komnas Perempuan. 2019. Korban Bersuara, Data Bicara Sahkan RUU Penghapusan
Kekerasan Seksual Sebagai Wujud Komitmen Negara. (Online). (diakses melalui
https://komnasperempuan.go.id/ pada 19 April 2021).

Komnas Perempuan. 2020. Infografis Kasus Kekerasan Seksual di Ranah Personal.


(Online). (diakses melalui https://www.komnasperempuan.go.id/ pada 20 April 2021).

Lailisna, N. N. 2020. Polemik Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual


(RUU PKS): Studi Kritis dan Prospektif, An-Natia. Jurnal Kajian Islam
Interdisipliner. 1(1): 85.

Mukarom, Z. 2016. Komunikasi Politik. Bandung: Pustaka Setia. Hlm. 63.

Niko, Nikodemus, dkk. 2020. Perjuangan Kelas Pengesahan RUU Penghapusan Kekerasan
Sosial. Jurnal Ilmiah Dinamika Sosial. 4(2): 234.

Permana, Rakhmad Hidayatulloh. 2019. FPI Sebut RUU PKS Berpotensi Legalkan LGBT...,
(Online). (diakses melalui https://news.detik.com/berita/d-4679380/fpi-sebut-ruu-pks-
berpotensi-legalkan-lgbt-komnas-perempuan-ndak-nyambung pada 20 April 2021).

Pureklolon, T. 2016. Komunikasi Politik: Mempertahankan Integritas Akademisi, Politikus,


dan Negarawan. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama. Hlm. 243.
Rachma, Adelia, dkk. 2020. Miskonsepsi Materi RUU PKS dan Penundaan Pembahasan
oleh DPR RI. Yogyakarta: Dewan Mahasiswa Justica Fakultas Hukum UGM.

Rohma, Zakiya Fatihatur. 2018. Konstruksi RUU PKS Dalam Framing Pemberitaan Media
Online. Jurnal Komunikasi dan Penyiaran Islam. 2(2): 74.

Soemarno, AP. 2015. Hakikat Komunikasi Politik Tinjauan Filosofis, Teoritis, Empiris dan
Hakikat Feedback atau Respons. Jakarta: Universitas Terbuka. Hlm. 22.

Susilastutu, dkk. 2015. Relawan Demokrasi Sebagai Komunikator Politik Bagi Pemilih
Pemula. Prosiding KNK ISKI. 5(11): 4.

Anda mungkin juga menyukai