Banyak orang berpendapat bahwa sejak krismon 1997 Indonesia telah men-
jadi korban arus besar “globalisasi” yang telah menghancur-leburkan sendi-
sendi kehidupan termasuk ketahanan moral bangsa. “Diagnosis” tersebut
menurut pendapat kami memang benar dan kami ingin menunjukkan di sini
bahwa kecemasan dan keprihatinan kami sendiri sudah berumur 23 tahun
sejak kami menyangsikan ajaran-ajaran dan paham ekonomi Neoklasik Barat
yang memang cocok untuk menumbuhkan ekonomi (ajaran efisiensi) tetapi
tidak cocok untuk mewujudkan pemerataan (ajaran keadilan). Pada waktu itu
(1979) kami ajukan ajaran ekonomi alternatif yang kami sebut Ekonomi
Pancasila. Pada tahun 1981 konsep Ekonomi Pancasila dijadikan “Polemik
Nasional” selama 6 bulan tetapi selanjutnya digemboskan dan
ditenggelamkan.
Pada buku baru yang kami tulis di AS bersama seorang rekan Prof. Daniel W.
Bromley “A Development Alternative for Indonesia”, bab 4 kami beri judul
The New Economics of Indonesian Development: Ekonomi Pancasila, dengan
isi (1) Partisipasi dan Demokrasi Ekonomi, (2) Pembangunan Daerah bukan
Pembangunan di Daerah, (3) Nasionalisme Ekonomi, (4) Pendekatan
Multidisipliner dalam Pembangunan, dan (5) Pengajaran Ilmu Ekonomi di
Universitas. Kesimpulan kami tetap sama seperti pada tahun 1979 yaitu
bahwa hanya dalam sistem Ekonomi Pancasila, keadilan sosial bagi seluruh
rakyat Indonesia dapat dicapai yaitu melalui etika, kemanusiaan,
nasionalisme, dan demokrasi/kerakyatan. Berikut kami sampaikan
terjemahan bab terakhir (bab 5) Summary and Implications dari buku kami
tersebut.
Para “teknokrat” ini bergaul akrab dengan pakar-pakar dari IMF dan Bank
Dunia, dan mereka segera tersandera ajaran dogmatis tentang pasar,
dengan alasan untuk menemukan “lembaga dan harga-harga yang tepat”,
dan selanjutnya menggerakkan mereka lebih lanjut pada penelitian-
penelitian dan arah kebijaksanaan yang memuja-muja persaingan atomistik,
intervensi pemerintah yang minimal, dan menganggung-agungkan keajaiban
pasar sebagai sistem ekonomi yang baru saja dimenangkan. Doktrin ini
sungguh sangat kuat daya pengaruhnya terutama sejak jatuhnya rezim Stalin
di Eropa Tengah dan Timur dan bekas Uni Soviet. Nampaknya sudah berlaku
pernyataan “kini kita semua sudah menjadi kapitalis”. Sudahkah kita sampai
pada “akhir sejarah ekonomi?”. Belum tentu.
Kesimpulan