Anda di halaman 1dari 9

BAB 3 SABAR

PEMBAHASAN PERTAMA

َُ َ َ َ ً َ ‫ُ ْ ِّ َ َ ُ َ ْ ُ َ َ ه‬ َ ْ َ ْ َ ْ َ
‫ار شألَا‬ ِ ‫اَّلل ه خي ٍَها أن ىاشا ِنو األىص‬ ‫ان اخلد ِري ر ِِض‬ ٍ ‫عيد ةو نالِم ةو ِشي‬ ٍ ‫َوخو أيب ش‬
ُ َ ْ َ ُ َُ َ ‫ُ ه‬
ُ، ‫ َح هَّت ىَفد َنا ِعيْ َده‬، ‫اٌ ْم‬ ُ ْ َ ‫َ ّ ُ َ َْ َ ه‬ َ
ِ ‫ ثم شألَه فأخط‬، ‫َر ُشَل اَّلل صّل اَّلل علي ًِ وشلم فأعطاٌم‬
ْ‫ َو َنو‬، ‫ك ْم‬ُ ْ َ َُ ‫َ َ ُ ْ ْ َ ْ ََ ْ ه‬ َ ْ َ ‫َ َ َ َُ ْ َ ََ َ َ ُه‬
‫ْي فلو أد ِخره خي‬ ٍ ‫نا يكو ِنو خ‬: « ‫فلال لٍم ِحني أجفق ُك َش ٍء ِبي ِد ِه‬
ٌ َ َ َ ْ ُ َ َ ‫ُ ه َ َ ْ َ َ َ ه ْ ُ َ ِّ ْ ُ ُ ه‬ ُْ ْ ‫ه‬ ْ ْ ْ
‫ ونا أع ِطُ أحد‬. ‫ ونو حخصَّب يصَّبه اَّلل‬، ‫يصخع ِفف يُ ِعف ًُ اَّلل َو َن ْو ي َ ْصخَغ ِو حغ ِي ًِ اَّلل‬
ًْ‫الص َّْب » ُن هخ َف ٌق َعلَي‬‫اء َخ ْْياً َوأَ ْو َش َع ن َو ه‬
ً ‫َخ َط‬
ِ ِ ِ
Dari Abu Said yaitu Sa‟ad bin Malik bin Sinan al-Khudri radhiallahu „anhuma
bahwasanya ada beberapa orang dari kaum Anshar meminta -sedekah- kepada
Rasulullah shalallahu alaihi wasalam, lalu beliau memberikan sesuatu pada mereka
itu, kemudian mereka meminta lagi dan beliau pun memberinya pula sehingga
habislah harta yang ada di sisinya, kemudian setelah habis membelanjakan segala
sesuatu dengan tangannya itu, beliau bersabda: “Apa saja kebaikan -yakni harta-
yang ada di sisiku, maka tidak sekali-kali akan kusimpan sehingga tidak kuberikan
padamu semua, tetapi karena sudah habis, maka tidak ada yang dapat diberikan.
Barangsiapa yang menjaga diri -dari meminta-minta pada orang lain-, maka akan
diberi rezeki kepuasan oleh Allah dan barangsiapa yang merasa dirinya cukup maka
akan diberi kekayaan oleh Allah -kaya hati dan jiwa- dan barangsiapa yang berlaku
sabar maka akan dikarunia kesabaran oleh Allah. Tiada seorangpun yang dikaruniai
suatu pemberian yang lebih baik serta lebih luas -kegunaannya- daripada karunia
kesabaran itu.” (Muttafaq „alaih )

***

Teladan dalam akhlaq

1. Diantara akhlaq mulia nabi, selalu memberi dan tidak menahan hartanya
2. Beliau tidak takut keluarganya akan kekurangan harta dan kelaparan

***

PEMBAHASAN
‫ه‬ ْ ْ ْ ْ ََ
‫يصخع ِفف يُ ِعف ًُ اَّلل‬ ‫ونو‬

“Barangsiapa yang menjaga diri -dari meminta-minta pada orang lain-, maka akan
diberi rezeki kepuasan oleh Allah”

َ َُ ُْ ْ َ
ْ‫َل ٍم‬ َ ْ َ َ َ ْ َ ْ َ َ ْ َ َّ َ َ َّ ُ َ ْ َ ُ ُ َّ ُ َ َ َ
‫نا يزال الرجل يصأل الاس حَّت يأ ِِت يَم ال ِليان ِث ليس ِِف وج ٍِ ًِ مزعث‬

”Jika seseorang meminta-minta (mengemis) pada manusia, ia akan datang pada hari kiamat
tanpa memiliki sekerat daging di wajahnya.” Bukhori Muslim

َ‫ج َ َُل ال ْ َه ْصأَلَ ُث َح َّّت‬ َ َ ‫الثَث َر ُجل ََتَ َّه َل‬


ْ َّ‫َحالَ ًث فَ َحل‬ َ َ َ َ َّ ُّ َ َ َ َ َ ْ َ ْ َّ ُ َ َ َ
ٍ ٍ ‫َتل ِإال ألح ِد ث‬ ِ ‫يا ك ِتيصث ِإن الهصألث ال‬
َ‫ج َ َُل ال ْ َه ْصأَلَ ُث َح ََّّت يُصيب‬ ُ َ ‫ج َن‬
ْ َّ‫اَل فَ َحل‬ ْ ‫اح‬َ َ‫اجخ‬ْ ٌ َ َ ُ ْ َ َ َ ُ َ َ ُ ْ ُ َّ ُ َ َ ُ
‫اِئث‬
ِ ِ ‫ي ِصيتٍا ثم حه ِصم ورج ٍل أصابخً ج‬
ْ‫الثَ ٌث نو‬ َ َ َ ُ َ َّ َ ٌ َ َ ُ ْ َ َ َ ُ َ َ َْ ْ ً َ َ َ َْ ْ
ِ ‫انا ِن ْو َعي ٍض – أو كال ِشدادا ِنو عي ٍض – ورج ٍل أصابخً فاكث حَّت حلَم ث‬ ً ََ ‫ك‬
ِ
ْ‫انا نو‬ ً ََ ‫يب ك‬ َ ‫ج َ َُل ال ْ َه ْصأَلَ ُث َح ََّّت يُص‬ َ ُ ْ َ َ َ ْ ََ َْ ْ َ ْ
ْ َّ‫الىًا فَاكَ ٌث فَ َحل‬ ‫ف‬ ‫ج‬ ‫اة‬‫ص‬ ‫أ‬ ‫د‬ ‫ل‬ ‫ل‬ ً ‫ن‬ َ‫ك‬ ‫و‬ ‫ن‬ ‫ا‬‫ج‬ ‫اَل‬ ‫ى‬ ‫و‬
َ
‫ذ‬
ِ ِ ِ ِ ِ ِ ِ ِ
َ‫ح ًخا يَأ ْ ُكلٍُا‬ ْ ُ ُ َ َ َ َ َ ْ َ ْ َ َّ ُ َ َ َ
‫َعي ٍض – أو كال ِشدادا ِنو عي ٍض – فها ِشَاٌو ِنو الهصأل ِث يا ك ِتيصث ش‬
َْ ْ ً َ َ َ َْ ْ
ْ
‫احتُ ٍَا ُشحخًا‬ ِ ‫ص‬
َ

Wahai Qabishah, sesungguhnya meminta-minta itu tidak halal kecuali untuk tiga
orang: (1) seseorang yang menanggung hutang orang lain, ia boleh meminta-minta
sampai ia melunasinya, (2) seseorang yang ditimpa musibah yang menghabiskan
hartanya, ia boleh meminta-minta sampai ia mendapatkan sandaran hidup, dan (3)
seseorang yang ditimpa kesengsaraan hidup sehingga ada tiga orang yang berakal
dari kaumnya berkata, „Si fulan benar-benar telah tertimpa kesengsaraan‟, maka
boleh baginya meminta-minta sampai mendapatkan sandaran hidup. Meminta-minta
selain ketiga hal itu, wahai Qabishah adalah haram dan orang yang memakannya
berarti memakan harta yang haram.” Muslim

Kisah
Rasulullah ‫ ﷺ‬pernah memberikan contohnya. Kala itu, Rasulullah mendapati
seorang pengemis muda yang badannya segar bugar. Rasulullah pun menanyakan,
apakah masih ada harta yang ia miliki. Dijawab oleh pemuda itu, hanya mempunyai
sehelai kain yang sudah usang.

Rasulullah menyuruhnya untuk pulang mengambil kain tersebut. Kemudian


Rasulullah melelang kain tersebut di hadapan beberapa orang sahabat.

Salah seorang sahabat membelinya dengan harga cukup tinggi. Dia bermaksud
bersedekah kepada pemuda yang menjadi pengemis tadi. Uang hasil lelang itu
diserahkan oleh Rasulullah ‫ ﷺ‬kepada si pengemis seraya menyuruhnya membeli
kapak. Setelah itu, ia tak lagi menjadi pengemis. Ia memulai profesi baru sebagai
tukang kayu hingga akhirnya bisa mencukupi kebutuhan sehari-harinya.

Rasulullah ‫ ﷺ‬pun bersabda, “Sungguh orang yang mau membawa tali atau kapak,
kemudian mengambil kayu bakar dan memikulnya di atas punggungnya, itu lebih
baik dari orang yang mengemis kepada orang kaya, kemudian dia diberi atau
ditolak.” (HR. Bukhari dan Muslim).

***

ُ ً‫اَّلل َو َن ْو ي َ ْصخَ ْغو ُح ْغي‬


‫اَّلل ه‬ ِِ ِ

barangsiapa yang merasa dirinya cukup maka akan diberi kekayaan oleh Allah -kaya
hati dan jiwa-

Rasulullah shallallahu „alaihi wa sallam bersabda,

َََْ َُ ‫َ َه ََ َ َ ٌْ ه‬
‫نا كل وكَف خْي ِمها نُث وأله‬
“Sesungguhnya yang sedikit dan mecukupi lebih baik daripada yang banyak namun
melalaikan.” (HR. Abu Ya’la dan adh-Dhiya. Lihat Shahih al-Jami’ no. 5653)

 Tidak rakus terhadap dunia

Rasulullah shallallahu „alaihi wa sallam bersabda,


ٌ َ َ َ َ َ ْ ُّ ُ ْ َ َ َ ُ َ ْ َ ُ َ َ َ َ َ ْ َ ُ َ ُ َ َ َ ُ ‫َ ْ َ َ ْ َ ُ َ ه‬
،‫ وأتخً ادلجيا و ِِه را ِغهث‬،ً‫ وَجع َل طهل‬،ًِ ‫نو َكى ِج اْل ِخرة ٌهً جعل اَّلل ِغياه ِِف كل ِت‬
ْ
َ‫ َول َ ْم يَأحِ ًِ ِنو‬،ًُ َ‫ َوفَ هر َق َعلَيْ ًِ َط ْهل‬،ًِ ْ‫ني َخيْنَي‬ ُ ‫ادل ْجيَا ٌَ هه ًُ َج َع َل‬
َ ْ ‫اَّلل َف ْل َر ُه َب‬ ُّ ‫َو َن ْو ََكىَج‬
ِ
َ ُّ ‫ُّ ْ ه‬
‫ادلجيَا ِإال َنا ك ِد َر َُل‬

“Barang siapa yang akhirat menjadi tujuannya, Allah subhanahu wa ta‟ala jadikan
rasa kecukupannya dalam hatinya. Allah subhanahu wa ta‟ala akan kumpulkan
baginya urusan-urusannya yang berceceran. Dunia akan mendatanginya dalam
keadaan hina dan mudah didapat. Sebaliknya, barang siapa yang dunia menjadi
tujuannya, Allah subhanahu wa ta‟ala jadikan kefakirannya terpampang di hadapan
kedua matanya; Allah subhanahu wa ta‟ala cerai-beraikan urusannya, dan dunia
tidaklah sampai kepadanya kecuali apa yang telah ditakdirkan untuknya.” (HR. at-
Tirmidzi dari Anas bin Malik radhiallahu „anhu. Asy-Syaikh al-Albani menyatakan
sahih dalam Shahih al-Jami‟ no. 6510)

Orang yang kefakirannya selalu terpampang di hadapannya, bagaimana akan


merasa bahagia? Orang yang tidak pernah puas dengan pemberian Allah
subhanahu wa ta‟ala, bagaimana ia tidak tersiksa?

Kisah :

Nabi SAW mengirimkan beberapa sahabat ke Yaman untuk menyeru kabilah-


kabilah di sana kepada Islam, dan sebagian besar menerima dakwah para sahabat
tersebut, salah satunya adalah kabilah Tujib. Beberapa waktu kemudian, kabilah
Bani Tujib ini mengirimkan utusan sebanyak tigabelas orang kepada Nabi SAW di
Madinah. Tujuannya untuk mengukuhkan keislaman mereka di hadapan beliau,
sekaligus menyerahkan shadaqah dari kelebihan harta yang mereka miliki.
Setibanya di Madinah, mereka disambut gembira oleh Nabi SAW. Setelah
beberapa hari tinggal untuk mempelajari Al Qur‟an dan beberapa ajaran-ajaran Islam
langsung dari Nabi SAW, mereka berpamitan. Seperti biasanya, beliau memberi
perbekalan dan hadiah yang lebih baik kepada mereka. Kemudian beliau bersabda,
“Apakah kalian semua telah memperoleh perbekalan dan bingkisan yang cukup?”
Mereka membenarkan, tetapi tiba-tiba salah seorang dari mereka berkata,
“Wahai Rasulullah, seorang pemuda tinggal di dalam kemah, ia sedang menjaga
tunggangan-tunggangan kami. Ia yang paling muda di antara kami yang datang…!!”
“Panggillah dia kesini,” Kata Nabi SAW.
Pemuda itu didatangkan, dan Nabi SAW telah mempersiapkan hadiah
sebagaimana teman-temannya. Setelah mengucapkan salam, pemuda itu berkata,
“Demi Allah, tidak ada sesuatu yang membuatku sibuk tentang utusan negeriku
(sehingga aku tidak membutuhkan apapun). Wahai Rasulullah, sesungguhnya tidak
ada yang mendorongku keluar rumah menuju engkau, kecuali agar engkau
mendoakan aku agar Allah mengampuni dan merahmati aku, dan menjadikan hatiku
merasa selalu berkecukupan (Dalam riwayat lain dengan maksud yang sama : ...dan
menjadikan kekayaanku ada di dalam hatiku)…!!”
Nabi SAW menatap pemuda tersebut penuh kekaguman. Tidak biasanya
seorang pemuda yang emosinya masih labil dan jiwanya penuh gejolak memiliki
sikap seperti itu, yang pantasnya dimiliki oleh orang-orang yang telah matang
usianya. Tetapi jelas ada kegembiraan Nabi SAW mendengar permintaan pemuda
tersebut, dan segera saja beliau mendoakan seperti permintannya. Dan tentu saja
kalau Nabi SAW telah mendoakan, pastilah Allah akan mengabulkannya.
Peristiwa tersebut terjadi pada tahun sembilan hijriah. Setahun kemudian
pada tahun sepuluh hijriah, ketika sedang berlangsungnya Haji Wada, Nabi SAW
bertemu lagi dengan mereka beserta orang-orang Bani Tujib lainnya, tetapi beliau
tidak menemukan pemuda yang “nyeleneh” (dalam arti kebaikan) tersebut. Ketika
beliau menanyakan tentang dirinya, mereka berkata, “Wahai Rasulullah, demi Allah,
kami tidak pernah melihat orang seperti dirinya. Tidak ada orang yang begitu
qana‟ah (merasa cukup) terhadap rezeki Allah seperti dia. Jika semua orang
bertaburkan harta dunia di sekelilingnya, ia sama sekali tidak perduli, bahkan tidak
sedikitpun meliriknya…!!”
Lagi-lagi terpancar sinar kekaguman dan ketakjuban di wajah Rasulullah
SAW, tampak sekali kalau beliau begitu bahagia mendengar berita tentang pemuda
tersebut. Kemudian beliau bersabda, “Alhamdulillah, sungguh saya berharap agar ia
mati seluruhnya…!!”
Perkataan Nabi SAW yang mengandung “teka-teki”tersebut, memancing
pertanyaan salah satu dari mereka, “Wahai Rasulullah, bukankah seseorang itu jika
mati, maka mati pula semuanya?”
Nabi SAW bersabda, “Hawa nafsu dan kepedihan-kepedihannya tercerai-
berai di berbagai bukit dunia, dan boleh jadi ajalnya hanya diketahui di sebagian
bukit itu. Tetapi Allah tidak perduli dimana ia akan binasa/ meninggal (karena ia
tetap menjadi orang kecintaan-Nya)…!!”
Ketika Nabi SAW wafat dan cukup banyak orang yang murtad, pemuda itu
tetap teguh dalam keimanan dan qana‟ahnya. Bahkan ia aktif mengingatkan
kaumnya, menasehati dan memerintahkan mereka untuk tetap teguh hati dalam
keislaman walaupun Nabi SAW telah tiada.

***

‫اء َخ ْْياً َوأَ ْو َش َع ن َو ه‬


ْ‫الصَّب‬ ً َ َ ٌ َ َ َ ْ ُ َ َ ‫َ َ ْ َ َ َ ه ْ ُ َ ِّ ْ ُ ُ ه‬
‫ ونا أع ِطُ أحد خط‬. ‫ونو حخصَّب يصَّبه اَّلل‬
ِ ِ

barangsiapa yang berlaku sabar maka akan dikarunia kesabaran oleh Allah. Tiada
seorangpun yang dikaruniai suatu pemberian yang lebih baik serta lebih luas -
kegunaannya- daripada karunia kesabaran itu.

Kisah :

Kisah Abu Qilabah ini merupakan salah satu kisah sahabat yang mengharukan. Dari
kisah Abu Qilabah ini kita bisa belajar bagaimana mensyukuri apa pun yang kita
miliki dan tetap bersabar dengan apa yang menimpa kita.

Diriwayatkan oleh Ibnu Hibban dalam kitab ats-Tsiqat, kisah ini diriwayatkan dari
Abdullah bin Muhammad, ia mengatakan,

"Suatu hari, aku pernah berada di daerah perbatasan, wilayah Arish di negeri Mesir.
Aku melihat sebuah kemah kecil, yang dari kemahnya menunjukkan bahwa
pemiliknya adalah orang yang sangat miskin. Lalu aku pun mendatangi kemah yang
berada di padang pasir tersebut untuk melihat apa yang ada di dalamnya.

Kemudian aku melihat seorang laki-laki. Namun bukan laki-laki biasa. Kondisi laki-
laki ini sedang berbaring dengan tangan dan kakinya bunting, telinganya sulit
mendengar, matanya buta, dan tidak ada yang tersisa selain lisannya yang
berbicara.
Dari lisannya orang itu mengucapkan,

“Ya Allah berilah aku ilham untuk tetap mensyukuri nikmat-Mu yang telah Engkau
anugerahkan kepadaku. Dan Engkau sangat muliakan aku dari ciptaan-Mu yang
lain.”

Kuatnya Rasa Syukur dan Iman Abu Qilabah

Kemudian aku pun menemuinya, dan berkata kepada orang itu,

“Wahai saudaraku, nikmat Allah mana yang engkau syukuri?”


Kemudian laki-laki pemilik kemah itu menjawab,

“Wahai saudara, diamlah. Demi Allah, seandainya Allah datangkan lautan, niscaya
laut tersebut akan menenggelamkanku atau gunung api yang pasti aku akan
terbakar atau dijatuhkan langit kepadaku yang pasti akan meremukkanku. Aku tidak
akan mengatakan apapun kecuali rasa syukur.”

Aku kembali bertanya,

“Bersyukur atas apa?”

Laki-laki pemilik kemah itu menjawab lagi, “Tidakkah engkau melihat Dia telah
menganugerahkan aku lisan yang senantiasa berdzikir dan bersyukur. Di samping
itu, aku juga memiliki anak yang waktu sholat ia selalu menuntunku untuk ke masjid
dan ia pula yang menyuapiku. Namun sejak tiga hari ini dia tidak pulang kemari.
Bisakah engkau tolong carikan dia?”

Aku pun menyanggupinya dan pergi untuk mencari anaknya. Setelah beberapa saat
mencari, aku mendapati jenazah yang sedang dikelilingi oleh singa. Ternyata
anaknya laki-laki itu sudah dimakan oleh singa.

Aku pun bingung bagaimana caraku untuk mengatakannya kepada laki-laki pemilik
kemah itu. Aku pun kembali dan berkata kepadanya,

“Wahai saudaraku, sudahkah engkau mendengar kisah tentang Nabi Ayub?”


Laki-laki itu menjawab, “Iya, aku tahu kisahnya.” Kemudian aku bertanya lagi,
“Sesungguhnya Allah telah memberinya cobaan dalam urusan hartanya. Bagaimana
keadaannya dalam menghadapi musibah itu?” Ia menjawab, “Ia menghadapinya
dengan sabar.” Aku kembali bertanya, “Wahai saudaraku, Allah telah menguji Ayub
dengan kefakiran. Bagaimana keadaanya?” Ia menjawab, “Ia bersabar.”
Aku kembali bertanya, “Ia pun diuji dengan tewasnya semua anak-anaknya,
bagaimana keadaannya?” Ia menjawab, “Ia tetap bersabar.” Aku kembali bertanya,
“Ia juga diuji dengan penyakit di badannya, bagaimana keadaannya?”
Ia menjawab dan bailk bertanya, “Ia tetap bersabar. Sekarang katakan padaku di
mana anakku?” Kemudian aku berkata,

“Sesungguhnya putramu telah aku temukan di antara gundukan pasir dalam


keadaan telah diterkam dan dimakan oleh binatang buas, semoga Allah
melipatgandakan pahala bagimu dan menyabarkan engkau”

Kemudian Laki-laki pemiliki kemah ini mengatakan, “Alhamdulillah, yang Dia tidak
meninggalkan keturunan bagiku yang bermaksiat kepada Allah sehingga ia diazab di
neraka.”
Kemudian ia menarik napas panjang lalu meninggal dunia. Aku pun
membaringkannya di tangannya dan berpikir apa yang harus aku perbuat. Aku
sendirian dan bagaiman aku mengurus jenazah ini. Kemudian aku tutupi dengan
jubahku dan beberapa saat kemudian lewat empat orang laki-laki mengendarai
kuda.

Mereka berkata, “Wahai saudara, apa yang terjadi padamu?” Kemudian aku pun
menceritakan kepada mereka apa yang telah aku alami dan aku meminta bantuan
kepada mereka untuk mengurus jenazah laki-laki ini. Mereka bertanya, “Siapa dia?”
Lalu aku menjawab, “aku juga tidak mengenalnya, dia dalam keadaan sakit dan
memprihatinkan,”

Kemudian keempat laki-laki ini meminta untuk membuka penutup wajahnya, karena
mungkin salah satu dari mereka mengenalnya. Ketika aku membuka penutup
wajahnya, tiba-tiba mereka tersentak, lalu mencium dan menangisinya, dan berkata,
“Subhanallah, wajah yang senantiasa bersujud kepada Allah. Mata yang selalu
menunduk atas apa yang diharamkan Allah. Tubuhnya selalu sujud tatkala orang-
orang dalam keadaan tidur”. Aku pun bertanya, “Kalian kenal dengan laki-laki ini?”
Mereka menjawab, “Engkau tidak mengenalnya?”

Aku menjawab bahwa aku tidak tau siapa laki-laki ini. Kemudian mereka berkata,
“Ini adalah Abu Qilabah, sahabat dari Ibnu Abbas. Laki-laki ini, pernah dimintai oleh
khalifah untuk menjadi seorang hakim. Namun, ia menolak jabatan tersebut.”
Perlu diketahui bahwa jabatan hakim atau qadhi ini adalah suatu jabatan khusus, di
mana mereka akan mengatur hukum dan menentukan hukum di antara manusia. Ini
merupakan jabatan yang mulia pada saat itu. Namun, Abu Qilabah menolaknya dan
pergi ke wilayah Mesir hingga wafat dalam keadaan seperti ini.

Kemudian Abdullah bin Muhammad bersama empat laki-laki tadi pun memandikan,
mengkafani, dan menyholatkannya, sebelum akhirnya memamkamkan beliau.
Dikatakan dalam kisah lain bahwa Abu Qilabah ini adalah sahabat Rasulullah
terakhir pada masa itu, sehingga khalifah ingin menjadikannya seorang hakim.
Wallahu a‟lam.

Anda mungkin juga menyukai