Anda di halaman 1dari 76

THAHARAH/WUDLU

6 : ‫ا لمائدة‬
Oleh :
H.E. Syibli Syarjaya
Guru Besar Hukum Islam Fak. Syari’ah UIN Banten
‫ِ‬
‫الص لوة فَا ْغسلُ ْوا‬ ‫ِ‬ ‫ٰ‬ ‫ِ‬ ‫ِ‬
‫ٰيٓ اَُّي َه ا الَّ ِذيْ َن ٰا َم ُن ْٓوا اذَا قُ ْمتُ ْم الَ ى َّ‬
‫س ُح ْوا بُِرءُ ْو ِس ُك ْم‬ ‫ام‬ ‫و‬ ‫ق‬ ‫ِ‬ ‫وجوه ُكم واَي ِدي ُكم اِلَ ى الْمر ِ‬
‫اف‬
‫َ‬ ‫ََ َ ْ‬ ‫ْ‬ ‫ُ ُْ َ ْ َ ْ َ‬
‫َواَ ْر ُجلَ ُك ْم اِلَ ى الْ َك ْعَب ْي ۗ ِنَواِ ْن ُك ْنتُ ْم ُجنُبً ا فَاطَّ َّه ُرْو ۗا َواِ ْن‬
‫ضى اَ ْو َع ٰل ى َس َف ٍر اَ ْو َجاۤ َء اَ َح ٌد ِّم ْن ُك ْم ِّم َن‬ ‫ُك ْنتُم َّمر ٰ ٓ‬
‫ْ ْ‬
‫ِّس اۤ َء َفلَ ْم تَ ِج ُد ْوا َماۤ ًء َفَتيَ َّم ُم ْوا‬ ‫ن‬ ‫ال‬ ‫م‬ ‫ٰ‬ ‫ِ‬
‫َ‬ ‫الْغَاۤ ِٕى َ ْ َ ْ ُ ُ‬
‫ت‬ ‫س‬ ‫م‬ ‫ل‬ ‫و‬ ‫ا‬ ‫ط‬
‫س ُح ْوا بِ ُو ُج ْو ِه ُك ْم َواَيْ ِديْ ُك ْم ِّم ْنهُ ۗ َما يُ ِريْ ُد‬‫َ‬ ‫ام‬
‫ص ْ ً ًِّ َ ْ‬
‫ف‬ ‫ا‬ ‫ب‬‫ي‬‫َ‬‫ط‬ ‫ا‬ ‫د‬ ‫ي‬ ‫ِ‬
‫ع‬ ‫َ‬
‫ال ٰلّهُ لِيَ ْج َع َل َعلَْي ُك ْم ِّم ْن َح َر ٍج َّوٰل ِك ْن يُّ ِريْ ُد لِيُطَ ِّه َرُك ْم‬
‫َولِيُتِ َّم نِ ْع َمتَه َعلَْي ُك ْم لَ َعلَّ ُك ْم تَ ْش ُك ُرْو َن (المائدة ‪)6 :‬‬
■ Wahai orang-orang yang beriman! Apabila kamu
hendak melaksanakan salat, maka basuhlah
wajahmu dan tanganmu sampai ke siku, dan
sapulah kepalamu dan (basuh) kedua kakimu
sampai ke kedua mata kaki. Jika kamu junub,
maka mandilah. Dan jika kamu sakit atau dalam
perjalanan atau kembali dari tempat buang air
(kakus) atau menyentuh perempuan, maka jika
kamu tidak memperoleh air, maka bertayamumlah
dengan debu yang baik (suci); usaplah wajahmu
dan tanganmu dengan (debu) itu. Allah tidak ingin
menyulitkan kamu, tetapi Dia hendak
membersihkan kamu dan menyempurnakan
nikmat-Nya bagimu, agar kamu bersyukur. (al-
Maidah : 6)
‫معنى المفردات‬KOSA KATA /
‫اذا قمتم‬
 Pengertiannya yaitu, Apabila kamu hendak
melaksanakan shalat, ‫لصالة‬ ‫اذا أردتم ا لقيام ا لىا‬
 sebagaimana firman Allah Swt. dalam surat An-
ِ‫اس تَ ِع ْذ بِ ا هلل‬
ْ ‫ف‬
َ ‫آن‬
َ ‫ر‬ ‫ق‬
‫ل‬
ُ ‫ت‬
‫ا‬
ْ ْ
‫أ‬
َ‫ر‬ ‫ق‬
َ ‫ا‬‫ذ‬
َ ِ
‫إ‬ َ‫ف‬
Nahl ayat 98. ْ َ
‫فَا ْغ ِسلُوا‬
 ”‫سل‬
ْ َ‫ ”الغ‬huruf ghin “‫ ”غ‬dibaca fathah, artinya menuangkan
ُ
air pada sesuatu untuk menghilangkan kotoran dan lain
sebagainya.
‫وه ُك ْم‬
َ ‫ُو ُج‬
 bentuk mufrad/tunggal dari kata “‫”وج ـه‬. batasnya
memanjang dari dahi paling atas sampai dagu
paling bawah, dan melebar dari anak telinga
sebelah kanan sampai anak telinga sebelah kiri.

‫َوأَيْ ِديَ ُك ْم‬


 bentuk mufrad/tunggal dari kata “‫ “ي ـد‬yang
artinya adalah tangan. Sedangkan batasnya dalam
berwudlu yaitu dari ujung jari sampai dengan
sikut.
‫الْغَائِ ِط‬
 Tempat yang rendah dan tenang di permukaan
bumi.‫ا لمكان ا لمنحفظ م نا الرض‬
‫الْ َك ْعبَي ِن‬
 Yaitu dua buah tulang yang menonjol pada kedua
sisi telapak kaki. Disebut ‫ب‬
“ ‫ ”ك ع‬karena menonjol dan
mencuat.
‫ِم ْن َح َر ٍج‬
 Kesempitan dalam melaksanakan agama.
SEBAB NUZUL AYAT
 Diriwayatkan oleh Bukhari dari Amir bin al-Harits bahwa
dalam sebuah perjalanan, kalung Siti ‘Aisyah terjatuh dan
hilang di lapangan dekat kota Madinah. Kemudian
Rasulullah Saw. menghentikan untanya seraya turun guna
mencari kalung tersebut. Kemudian beliau beristirahat
sehingga tertidur di pangkuan Siti ‘Aisyah. Tidak lama
kemudian datanglah Abu Bakar menghampiri ‘Aisyah dan
menamparnya sambil berkata, “Kamulah yang
menyebabkan tertahannya orang banyak hanya karena
sebuah kalung”. Nabi Muhammad Saw. terbangun dari
tidurnya dan waktu subuh pun tiba. ketika beliau mencari
air, tidak mendapatkannya, maka turunlah ayat di atas,
yang membolehkan untuk bertayamum sebagai pengganti
wudlu.
 Usaid bin Mudhair menyatakan :
“Allah telah memberi berkah
kepada kita semua dengan sebab
keluarga Abu Bakar”.
 Ayat ini mewajibkan berwudlu
atau tayammum sebelum
melaksanakan shalat (Wahbah
Az-Zuhaeli : 1991 : 6 : 100).
MUNASABAH AL-AYAT
■ Pada ayat sebelumnya dijelaskan tentang hal-hal
yang dibolehkan untuk manusia, untuk memenuhi
kebutuhan hidupnya yang sekaligus merupakan
hak bagi setiap manusia.
‫■ اليوم احل لكم الطيبات وطعام الذين أوتوا الكتاب حل‬
)5 : ‫ االية (المائدة‬...... ‫لكم وطعامكم حل لهم‬
■ Di samping memiliki hak, manusia juga dibebani
dengan kewajiban yang harus dipenuhinya sebagai
wujud kepatuhannya kepada Allah Swt.
lanjutan

• Perbuatan ta’at dan patuh yang paling


agung dan paling mulia setelah iman,
adalah shalat. Sedangkan shalat tidak
mungkin dapat dilakukan tanpa lebih
dahulu bersih dan suci dari hadats.
• Oleh sebab itu, pada ayat ini Allah Swt.
mensyariatkan wudlu sebagai salah satu
prasyarat untuk dapat diterimanya shalat,
sebagai manifestasi dari perbuatan taat
kepadaNya.
PENGERTIAN AYAT SECARA GLOBAL

• Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu hendak


melaksanakan shalat, sedangkan kamu dalam keadaan
berhadats, maka basuhlah mukamu, kedua tanganmu,
sampai dengan sikut, kemudian sapulah kepalamu dan
cucilah kedua kakimu sampai dengan tumit.
Kesemuanya itu hendaklah kamu lakukan dengan
menggunakan air yang bersih. Tetapi apabila kamu
dalam keadaan sakit atau sedang bepergian, atau
mempunyai hadats kecil, atau melamas perempuan,
atau baru kembali dari kamar kecil, sedangkan kamu
tidak mendapakan air yang dapat kamu gunakan untuk
berwudlu atau mandi, maka bertayammumlah dengan
menggunakan debu atau tanah yang suci dan bersih,
dengan cara menyapu muka dan kedua tangan.
TAFSIR AYAT/‫ت فسيرا آلية‬
‫ اآلية‬.... ‫الصالَ ِة‬
َّ ‫ إِ َذا قُ ْمتُ ْم إِلَى‬: ‫َق ْولُهُ َت َعالَى‬
■ Secara eksplisit, ungkapan ayat tersebut
menyatakan, bahwa orang yang akan
melaksanakan shalat, hendaklah dia
mengambil air wudlu, baik ia masih
punya wudlu ataupun tidak.
■ tetapi pada kenyataannya satu kali
wudlu dapat digunakan untuk beberapa
kali shalat. Mengapa demikian ?
‫‪Hal tsb berdasarkan pada perbuatan Rasul‬‬
‫ضأَ َوَم َس َح‬ ‫صالَ ٍة َفلَ َّما َكا َن َي ْوُم الْ َف ْت ِح َت َو َّ‬ ‫ل‬‫ِّ‬ ‫ك‬
‫ُ‬ ‫د‬‫َ‬ ‫ن‬
‫ْ‬ ‫ضأُ ِ‬
‫ع‬ ‫َكا َن النَّبِ ُّي صلعم َيَت َو َّ‬
‫َ‬
‫ك‬ ‫َّ‬
‫ن‬ ‫ِ‬
‫إ‬ ‫ِ‬
‫ه‬ ‫َّ‬
‫ل‬ ‫ال‬ ‫ول‬
‫َ‬ ‫س‬ ‫ر‬ ‫ا‬ ‫ي‬ ‫ر‬‫م‬ ‫ع‬ ‫ه‬ ‫ل‬
‫َ‬ ‫ال‬
‫َ‬ ‫ق‬
‫َ‬ ‫ف‬
‫َ‬ ‫ٍ‬
‫د‬ ‫ِ‬
‫اح‬ ‫و‬ ‫ات بِوض ٍ‬
‫وء‬ ‫الصلَو ِ‬ ‫َّ‬ ‫ى‬ ‫َّ‬
‫ل‬ ‫ص‬ ‫و‬ ‫َعلَى ُخ َّفي ِ‬
‫ه‬
‫َ‬ ‫َُ َ َ ُ‬ ‫ُ‬ ‫ُ‬ ‫َ‬ ‫ُ‬ ‫َ ُ‬ ‫َ‬ ‫ْ َ‬
‫ْت يَا عُ َم ُر (رواه أحمد و‬ ‫ال إِنِّي َع ْم ًدا َف َعل ُ‬ ‫ْت َش ْيئًا لَ ْم تَ ُك ْن َت ْف َعلُهُ قَ َ‬ ‫َف َعل َ‬
‫مسلم وأصحاب السنن)‬
‫‪Dalam hadits lain yang diriwayatkan oleh‬‬
‫‪Bukhari dan Ashab as-Sunan dinyatakan :‬‬
‫صَنعُو َن‬ ‫ٍ‬ ‫ِ‬ ‫َكا َن رسو ُل ِ‬
‫اهلل َيَت َو َّ‬
‫ضأُ ْ َ ِّ َ َ ُ ُ ْ ْ َ َ ْ‬
‫ت‬ ‫ف‬ ‫ي‬‫ك‬‫َ‬ ‫م‬‫ت‬ ‫ن‬
‫ْ‬ ‫أ‬
‫َ‬ ‫ف‬
‫َ‬ ‫ْت‬
‫ل‬ ‫ق‬
‫ُ‬ ‫ة‬ ‫ال‬ ‫ص‬ ‫ل‬ ‫ك‬
‫ُ‬ ‫د‬‫ن‬‫ع‬ ‫َ ُْ‬
‫احد (رواه البخاري وأصحاب‬ ‫ات بِوض ٍ‬
‫وء و ِ‬ ‫ِ‬ ‫و‬ ‫ل‬ ‫الص‬ ‫ي‬ ‫ِّ‬
‫صل‬
‫َ‬ ‫ُ‬ ‫َ ُ‬ ‫َ‬ ‫َّ‬ ‫ال ُكنَّا نُ َ‬
‫قَ َ‬
‫السنن)‬
 Hadits di atas, menjelaskan
bahwa wudlu tidak wajib kecuali
hanya bagi orang yang
mempunyai hadats saja.
Sedangkan bagi orang yang telah
mempunyai wudlu sebelumnya,
kemudian dia akan shalat,
hanya disunnatkan kepadanya
untuk memperbaharui wudlunya
(‫)ت جديد ا لوضوء‬
■ Adapun riwayat yang menerangkan,
bahwa Rasulullah Saw. dan para khalifah
sesudahnya mereka berwudlu setiap kali
akan shalat, perbuatan itu bukanlah
wajib, melainkan hanya mustahab (lebih
disukai). Rasulullah Saw. senantiasa
menyukai hal-hal yang lebih utama.
■ Oleh karena itu, perbuatan beliau
tersebut tidak menunjukkan kepada
wajibnya berwudlu setiap kali akan
melaksanakan shalat.
‫وه ُك ْم َوأَيْ ِديَ ُك ْم إِلَى ال َْم َر ِاف ِق‬ ِ
َ ‫ فَا ْغسلُوا ُو ُج‬: ‫َق ْولُهُ َت َعالَى‬

 Ungkapan ayat di atas menyatakan, bahwa di


antara anggota badan yang harus dibasuh
pada saat berwudlu adalah muka. Batas muka
yaitu sejak kening hingga dagu dan dari anak
telinga sebelah kanan hingga anak telinga
sebelah kiri.
 Bagaimana halnya dengan lobang hidung dan
mulut yang dikenal dengan istinsyaq, istisyrak
dan madhmadhoh. Apakah ia wajib untuk
dicuci atau tidak ?
Istinsyaq dan Madlmadlah dalam
Wudlu
 Malikiyah dan Syafi’iyah berpendapat
bahwa lubang hidung dan mulut
tidak termasuk anggota tubuh yang
harus dicuci dikala berwudlu,
melainkan hanya sunnah saja.
(madlmadlah dan istinsyaq)
 Mereka berargumentasikan dengan
hadits Rasulullah Saw. sebagai berikut
:
‫ إن قوما كانوا يتحدثون في‬: ‫عن ُجَب ْي ِر ابن مطعم قال‬
،‫مجلس رسول اهلل في أمر الغسل و كل يبين ما يعمل‬
‫ أما أنا فأحثى على رأسي ثالث‬: ‫فقال عليه السالم‬
‫حشيات فإذا أنا قد طهرت (مسند البزار = البحر‬
)‫الزخار‬
 Artinya: Sekelompok manusia membicarakan cara
mandi dan mereka menceriterakan pengalaman
masing-masing di hadapan Rasulullah Saw.
Kemudian Rasulullah Saw. bersabda : “Adapun
saya, maka saya tuangkan air di atas kepala saya
sebanyak tiga kali. Dengan demikian saya telah
suci”.
 Hanafiyah dan Hanabilah berpendapat, bahwa
kedua anggota tubuh tersebut merupakan
anggota tubuh yang wajib disucikan ketika
berwudlu, karenan keduanya berada dalam
radius muka ( ‫لوجه‬ ‫)دخلعلىا‬.
 Mereka berargumentasi bahwa, Perintah bersuci
sifatnya umum, mencakup semua anggota tubuh
yang ditunjuk oleh nash syara’, baik ia yang
nampak atau tidak kelihatan. Kecuali anggota
tubuh yang bersifat batiniyah, yang memang sulit
untuk dijangkau atau dicuci, maka anggota tubuh
tersebut dapat dimaafkan, sedangkan hidung dan
mulut meski ia ada di dalam tetapi masih dapat
dilakukan untuk dicuci.
‫ َوأَيْ ِديَ ُك ْم إِلَى ال َْم َر ِاف ِق‬: ‫َق ْولُهُ َت َعالَى‬

 Ungkapan ayat di atas menyatakan, bahwa si


mutawadli (orang yang berwudlu) wajib ia
mencuci kedua tangannya sampai dengan sikut.
 Arti kata “‫ ”إِ َلى‬dalam bahasa Arab adalah
finis/akhir (‫ )غ َايَـ ْة‬dari suatu kegiatan.
 Namun para mufassir berselisih pendapat
tentang kata “‫ ”إِ َلى‬yang dirangkai dengan kata
“‫”م َرافِِق‬
َ dan “‫”ك ْعَب ْين‬
َ dalam ayat ini, apakah ia
termasuk ghoyah (finis) atau bukan, dalam
artian apakah ia termasuk bagian yang harus
dicuci ketika berwudlu atau tidak.
 Jumhur ulama yang terdiri atas
Malik, Syafi’i dan Abu Hanifah,
menyatakan, bahwa sikut dan tumit
termasuk anggota tubuh yang harus
dicuci ketika mengambil air wudlu.
Sebab dalam istilah Arab, bahwa
yang dinamakan “‫ ”أيـد‬dan “‫”أرجل‬
termasuk ke dalamnya “‫ ”مرفق‬dan
‫ب‬
“ ‫”ك ع‬.
 Oleh sebab itu keduanya wajib dicuci
ketika berwudlu sebagai tindakan
preventif ‫)احتياط (ي‬.
Zufar dari kalangan Hanafiyah
tidak mewajibkan untuk mencuci
kedua anggota tubuh tersebut
(sikut dan tumit) dalam berwudlu.
Sebab ia berpegang pada prinsip,
bahwa “‫ ”إِ َلى‬dalam bahasa Arab
adalah batas finis dari suatu
tindakan atau perbuatan (‫إل نتهاء‬
‫)ا لغاية‬.
‫س ُحوا بِ ُرُؤ ِس ُك ْم‬
َ ‫ َو ْام‬: ‫َق ْولُهُ َت َعالَى‬

 Ulama telah sepakat, bahwa menyapu kepala


dalam berwudlu merupakan suatu kewajiban,
berdasarkan ungkapan ayat di atas. Akan tetapi
dalam hal batasan dan ukuran (berapa
banyak/besar) yang harus disapu, para ulama
berbeda pendapat.
 Hal ini disebabkan oleh tidak seragamnya
mereka dalam memahami dan mengartikan
huruf “ba” (‫ )ب‬dalam ungkapan ayat di atas.
Apakah ia sebagai zaidah (‫ ) زائدة‬atau
menunjukkan kepada tab’idl/sebagian ‫ض‬
( ‫بعي‬ ‫)ت‬.
 Bagi mereka yang mengatakan
huruf “ba” sebagai zaidah, mereka
mewajibkan mengusap/menyapu
seluruh kepala.
 Tetapi bagi mereka yang
mengartikan “ba” sebagai tab’id,
maka yang wajib disapu/diusap
hanyalah sebagian saja. Mereka itu
adalah :
 Malikikyah dan Hanabilah berpendapat, bahwa yang
wajib disapu/diusap adalah seluruh kepala.
Argumentasi yang dikemukakan antara lain sebagai
berikut :
 Bahwa huruf “ba” dalam ungkapan ayat “‫كم‬ ِ ِ
ْ ُ ‫”ب ُرُؤس‬
di samping mempunyai arti yang pokok, yaitu
“‫( ”ل ال لصاق‬menempel/melekat) huruf “ba” tersebut
juga mempunyai arti zaidah (‫)زائدة‬.
 Bahwa ayat wudlu sama halnya dengan ayat tayammum,
sedangkan dalam tayammum diwajibkan untuk menyapu
seluruh muka, “ُ‫ك ْم ِم ْنه‬ ِ ‫”فَ ام سحوا بِ وج‬, maka
ُ ‫وه ُك ْم َوأَيْ ِدي‬ ُُ َُ ْ
dalam mengusap kepala pun kadar dan ukurannya sama,
yaitu seluruh kepala.
 ruus (‫ ) ُر ُؤس‬diartikan dengan sebagian kepala
adalah arti secara majazi/metaporik, dengan
“alaqah”/”qarinah” juz’iyah, yakni ‫ذكر‬ “ ‫من‬
‫”ا لكلواردة ا لجزء‬. Beralih dari arti hakiki
kepada arti majazi tidak dibenarkan selama
arti secara hakiki masih dapat digunakan,
kecuali ada “qarinah” (petunjuk) ke arah itu.
 Sedangkan dalam ayat tersebut tidak
didapati qarinah yang mengharuskan untuk
beralih dari arti hakiki kepada arti majazi
(metaporik).
 Hadits Rasulullah Saw. yang diriwayatkan oleh
Jama’ah dari Abdullah bin Zaid.
‫ول اللَّ ِه َم َس َح َرأْ َسهُ بِيَ َديْ ِه فَأَ ْقبَ َل بِ ِه َما َوأَ ْد َب َر‬ َّ ‫َع ْن َع ْب ِد اللَّ ِه بْ ِن َزيْ ٍد أ‬
َ ‫َن َر ُس‬
ِ ‫َّهما حتَّى رجع إِلَى الْم َك‬
‫ان‬ َ َ َ ُ ‫د‬‫ر‬ ‫م‬
َّ ‫ث‬
ُ ‫اه‬
ُ ‫ف‬
َ ‫ق‬
َ ‫ى‬ َ‫ل‬ِ‫إ‬ ‫ا‬ ‫م‬‫ه‬ِ ِ‫بَ َدأَ بِم َق َّدِم رأْ ِس ِه ثُ َّم َذ َهب ب‬
َ َ َ َ َ َ َ ُ
)‫الَّ ِذي بَ َدأَ ِم ْنهُ (رواه الجماعة‬
 Artinya : Dari Abdullah bin Zaid, bahwa
Rasulullah Saw. menyapu kepalanya dengan kedua
tangannya. Beliau meletakkan kedua tangannya di
permukaan kepala, kemudian digerakkannya
sampai ke tengkuk dan dikembalikan lagi ke
tempat di mana beliau mulai mengusap. (HR
Jama’ah)
 Syafi’iyah berpendapat, bahwa
kewajiban menyapu kepala ketika
berwudlu, cukup hanya dengan
mengusap/menyapu sebagian kepala
atau hanya beberapa helai rambut
saja, asalkan dilakukannya dengan
penuh keyakinan, bahwa usapannya
itu mengenai rambut tersebut.
Mereka mengemukakan argumentasi
antara lain sebagai berikut :
• Bahwa huruf “ba” dalam ungkapan
ayat “‫ ”بِ ُرُؤ ِس ُك ْم‬diartikan dengan
sebagian (‫ )ل لتبعيض‬dan bukan
berarti zaidah (‫ )زائدة‬sebagaimana
yang dikemukakan oleh Malikiyah.
Oleh sebab itu, maka pengertian
ayat tersebut akan menjadi ‫امسحوا‬
‫ ب عضرؤسكم‬usaplah sebagian
kepalamu.
Hadis Rasulullah Saw., yang diriwayatkan oleh
Abu Daud dari Anas bin Malik R.a. :
ٌ‫ضأُ َو َعلَْي ِه ِع َم َامةٌ قُطْ ِريَّة‬
َّ ‫ول اللَّ ِه َيَت َو‬
َ ‫ت َر ُس‬ ‫َي‬
‫أ‬
ُ َْ‫ر‬ ‫ال‬
َ َ‫ق‬ ‫ك‬ٍ ِ ِ َ‫َع ْن أَن‬
‫س بْ ِن َمال‬
َ‫ض ال ِْع َم َامة‬ِ ‫س َح ُم َق َّد َم َرأْ ِس ِه َولَ ْم َي ْن ُق‬ ‫م‬ ‫ف‬
َ ِ ‫ت ال ِْعمام‬
‫ة‬ ِ ‫فَأَ ْد َخل ي َدهُ ِمن تَ ْح‬
ََ ََ ْ ََ
)‫(رواه ابو داود‬
Artinya : Dari Anas bin Malik, ia berkata :
Saya melihat Rasulullah Saw. berwudlu,
sedangkan beliau memakai ikat kepala/sorban
Quthriya, kemudian beliau memasukkan
tangannya ke bawah sorban tersebut dan
mengusap bagian muka kepala tanpa membuka
sorbannya ter-sebut (HR. Abu Daud)
Hadis yang diriwayatkan dari Mughirah bin
Syu’bah :

‫اصيَتِ ِه َو َعلَى ال ِْع َم َام ِة َو َعلَى الْ ُخ َّف ْي ِن‬


ِ َ‫ضأَ فَمسح بِن‬
َََ َّ ‫و‬
َ ‫ت‬
َ ‫ي‬
َّ ِ‫َن النَّب‬
َّ ‫أ‬
)‫(رواه احمد ومسلم‬
 Artinya : Sesungguhnya Nabi Saw. berwudlu kemudian dia
menyapu ubun-ubunnya, ikat kepala dan kedua sepatunya
(H.R. Ahmad dan Muslim)
 Ungkapan hadits di atas menyatakan, bahwa kadar dan
ukuran menyapu kepala tidak ditentukan jumlah dan
besarannya, melainkan diyakini bahwa sebagian dari
kepala telah disapu. Hal ini terbukti, bahwa Rasulullah
Saw. sendiri menyapu kepalanya hanya dengan
memasukkan tangannya di bawah surbannya.
Hanafiyah berpendapat, bahwa kadar menyapu kepala
pada waktu berwudlu, minimal harus seperempat bagian
kepala.
Mereka berpegang pada hadits-hadits yang dijadikan
landasan dan alasan oleh kalangan Syafi’iyah, mereka
juga menggunakan rasio.
Yaitu, bahwa perintah menyapu kepala, sudah pasti
memerlukan alat dan sarana sebagai pengusap, yang
dalam hal ini tiada lain adalah telapak tangan.
Sedangkan telapak tangan, andaikan diletakkan di atas
kepala, maka ia akan membutuhkan tempat kurang lebih
seperempat bagian dari kepala.
Oleh sebab itu mereka berkesimpulan, bahwa kadar
mengusap kepala minimal harus seperempat bagiannya.
‫ َوأ َْر ُجلَ ُك ْم إِلَى الْ َك ْعَب ْي ِن‬: ‫َق ْولُهُ َت َعالَى‬

Jumhur ulama membaca lafadz “‫”وأ َْر ُج لَ ُك ْم‬


َ
dengan fathah lamnya, karena
diikutkan/ma’thuf ‫عطوف‬ ( ‫ )م‬kepada lafadz
“‫وه ُك ْم‬
َ ‫”و ُج‬.
ُ Hal ini mengandung konsekuensi
hukum, bahwa kaki harus dicuci dan bukan
disapu. Mereka mendasarkan pendapatnya
pada sabda Rasulullah Saw. berikut ini :
َ ‫َن النَّبِ َّي َرأَى َر ُجالً لَ ْم َيغْ ِس ْل َع ِقَب ْي ِه َف َق‬
‫ال َويْ ٌل‬ َّ ‫َع ْن أَبِي ُه َرْي َرةَ أ‬
)‫اب ِم َن النَّا ِر (رواه ومسلم‬ ِ ‫لْألَ ْع َق‬
Artinya : Dari Abu Hurairah Ra., bahwa Nabi Saw.
ketika melihat seorang lelaki yang berwudlu tanpa
mencuci tumitnya, maka beliau bersabda, “Celakalah
tumit-tumit itu dari api neraka” (HR Muslim)
Ibnul ‘Araby (1967: II: 575) menyatakan:
‫ َوَما‬،‫ب غَ ْسلِ َها‬ ِ ‫ اَِّت َف َق‬: ‫ال ابْن الْعربِي‬
ِ ‫ت اْلعُلَ َماءُ َعلَى ُو ُج ْو‬
َ َ ُ َ َ‫ق‬
‫ض ُة‬ ِ
‫اف‬ ‫الر‬‫و‬ ‫ن‬ ‫ي‬ ِ
‫م‬ ِ
‫ل‬ ‫س‬ ‫لم‬ ‫ا‬ ِ
‫اء‬ ‫ه‬ ‫ق‬ ‫ف‬ ‫ن‬ ِ
‫م‬ ‫ي‬ ِ
‫ر‬ ‫ب‬َّ
‫ط‬ ‫ال‬ ‫ى‬‫و‬ ِ
‫س‬ ‫ك‬ ِ
‫ل‬ ‫ذ‬ َّ
‫د‬ ‫ر‬ َّ
َ َّ َ ْ ْ ُ َ ْ ْ َ ُ َ َ َ َ َ ْ َ ْ ‫َعل‬
‫ن‬ ‫م‬ ‫ت‬ُ ‫م‬
‫ِم ْن غَْي ِرِه ْم‬
Artinya : Ibnul ‘Arabi berkata : “Para ulama telah
sepakat, bahwa keduanya (muka dan kaki) wajib
dicuci, dan saya tidak tahu siapa yang menolak
pendapat tersebut kecuali Ath-Athabari dan golongan
Rafidlah”.
Sedangkan Al-Hajjaj pernah berpidato di Ahwaz
dan menguraikan tentang wudlu. Beliau
mengatakan : “usaplah kepalamu dan kaki-kaki
kamu”, sebagaimana yang dikutip oleh Al-Qurthubi
dalam tafsirnya (1967 : II : 92) :
‫ إِ ْغ ِسلُ ْوا ُو ُج ْو َه ُك ْم‬: ‫ال‬ ُ ‫ب بِاْألَ ْه َوا ِز فَ َذ َك َر ال ُْو‬
َ ‫ض ْو َء َف َق‬ َ َ‫اج َخط‬ َ ‫لح َّج‬ َّ ‫ي أ‬
َ ْ‫َن ا‬ َ ‫َوُر ِو‬
‫وس ُك ْم َوأ َْر ُجلِ ُك ْم‬
ِ ‫وامسحوا بِرء‬
ُُ ُ َ ْ َ
Artinya : Diriwayatkan, bahwa Al-Hajjaj pernah
berpidato di Ahwaz. Beliau menguraikan wudlu dan
mengatakan : “Cucilah muka-muka kamu dan kedua
tanganmu, serta usaplah kepalamu dan kaki-kaki
kamu”.
RUKUN WUDLU YANG MASIH
DIPERSELISIHKAN DI KALANGAN
ULAMA
1. NIAT ;
 Jumhur ulama yang terdiri dari Syafi’iyah,
Malikiyah dan Hanabilah, mereka berpendapat,
bahwa niat termasuk salah satu rukun wudlu yang
tidak boleh ditinggalkan ketika berwudlu. Pendapat
ini juga merupakan pendapat Daud dan Abu Tsur.
 Sedangkan Hanafiyah dan Sofyan Tsauri, tidak
mewajibkan dan tidak menghitung niat sebagai salah
satu rukun yang harus dikerjakan ketika berwudlu.
 Faktor penyebab ikhtilaf mereka dalam hal
ini, sebagaimana dikemukakan oleh Ibnu
Rusydi (1960 : I : 8), yaitu terletak dalam
anggapan/persepsi mereka, apakah wudlu
itu tergolong ke dalam ibadah mahdlah
(langsung) atau “‫ ”غير م عقولة ا لمعنى‬seperti shalat
dan lain sebagainya, atau apakah wudlu itu
tergolong ke dalam ibadah ghairu mahdlah
(‫ )غير م حضة‬seperti menghilangkan najis,
menutup aurat dalam shalat dan
sebagainya.
 Sementara para ulama telah sepakat,
bahwa ibadah mahdlah diperlukan adanya
niat sewaktu mengerjakannya. Sedangkan
ibadah ghairu mahdlah tidak diperlukan
niat dalam melakukannya.
 Adapun wudlu dapat digolongkan ke
dalam dua macam ibadah tersebut, yang
sudah barang tentu akan membawa efek
hukum yang berlainan.
Argumentasi Jumhur Ulama
1.Firman Allah Swt.
‫س ُحوا‬ ‫ام‬‫و‬ ِ
‫ق‬ ِ‫الصالَةِ فَا ْغ ِسلُوا وجوه ُكم وأَي ِدي ُكم إِلَى الْمراف‬ َّ ‫ى‬ ‫ل‬
َ ِ‫ إِ َذا قُ ْمتُ ْم إ‬
َ ْ َ َ َ ْ َ ْ َ ْ َ ُ ُ
‫ اآلية‬... ‫وس ُك ْم َوأ َْر ُجلَ ُك ْم إِلَى الْ َك ْعَب ْي ِن‬ ِ ‫بِرء‬
ُُ
 Teknik istidlal dengan ayat di atas, yaitu bahwa
wudlu merupakan syarat sahnya shalat,
sedangkan syarat merupakan bagian dari
masyruth (yang disyaratkan), dalam hal ini
adalah shalat. Bila shalat merupakan salah satu
ibadah mahdlah yang diperlukan niat dalam
pelaksanaannya, maka begitu pula halnya dengan
wudlu juga harus dilaksanakan dengan
menggunakan niat.
2. Firman Allah Swt. surah al-Bayyinah ayat (5)
‫ اآلية‬... ‫ين‬ ِّ
‫الد‬ ‫ه‬َ‫ل‬ ‫ين‬ ِ
‫ص‬ ِ‫وما أ ُِمروا إِالَّ لِيعب ُدوا اللَّه م ْخل‬
َ ُ َ َُ ُْ َ ُ ََ
Artinya : Dan kamu sekalian tidak disuruh
kecuali supaya menyembah Allah dengan
memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam
(menjalankan) agama dengan ikhlas”.
Dalam ayat tersebut, Allah Swt. meniadakan
suatu perintah kecuali harus dilakukan
dengan beribadah kepada-Nya dengan penuh
ikhlas.
Manifestasi dari ikhlas ditandai dengan
pernyataan niat
Perintah dalam ayat tersebut bersifat
umum, mencakup semua bentuk
perintah ang telah ditetapkan oleh
Allah Swt. Wudlu merupakan salah
satu bentuk perintah-Nya.
Oleh sebab itu ikhlas beribadah
kepada Allah hendaknya dilakukan
dengan cara niat sewaktu akan
mengambil air wudlu.
3. Hadits Rasulullah Saw. :
)‫ات َوإِنَّ َما لِ ُك ِّل ْام ِر ٍئ َما َن َوى (متفق عليه‬
ِ َّ‫الني‬
ِّ ِ‫ال ب‬
ُ ‫إِنَّ َما اْألَ ْع َم‬
Artinya : Sesungguhnya semua pekerjaan itu
tergantung kepada niat, dan untuk masing-masing
orang akan memperoleh apa yang diniatkannya (HR
Bukhari dan Muslim).
Hadits ini sifatnya umum, mencakup semua bentuk
pekerjaan dan tidak terbatas pada pekerjaan-
pekerjaan tertentu saja.
Karena wudlu merupakan salah satu bentuk
pekerjaan, apalagi ia juga merupakan ibadah, maka
harus dilaksanakan dengan niat.
4. Wudlu dianalogikan dengan
shalat, karena wudlu
merupakan ibadah yang
mempunyai rukun dan syarat-
syarat. Karena niat diwajibkan
dalam shalat, maka begitu pula
halnya niat diwajibkan dalam
wudlu, sebagai ibadah yang
mempunyai rukun dan syarat
Argumentasi Hanafiyah
1. Bahwa firman Allah Swt. dalam al-Maidah
ayat (6), merupakan perintah kepada
manusia-manusia yang akan shalat, agar
mereka membasuh anggota tubuh tertentu,
yaitu muka, kedua tangan sampai sikut,
kepala dan kedua kaki sampai dengan mata
kaki.
Berdasarkan perintah ini, maka cukuplah
seseorang melakukan perintah tersebut tanpa
harus menambah-nambah dengan perbuatan
lainnya.
 Sedangkan hadits “niat” yang digunakan
sebagai landasan atau dalil oleh kalangan
jumhur adalah hadits ahad, yang tidak
dapat dijadikan sebagai landasan untuk
menetapkan suatu hukum.
 Menambah-nambah hukum dengan hadits
ahad terhadap nash al-Qur’an, sama
halnya dengan menasakh al-Qur’an.
Sedangkan menasakh al-Qur’an dengan
hadits ahad, para ulama telah sepakat
tidak membenarkannya.
2. Wudlu dianalogikan dengan menutup aurat dalam
shalat, yang kedua-duanya merupakan syarat
sahnya shalat. Apabila menutup aurat tidak
diwajibkan untuk berniat, maka begitu pula
halnya dengan wudlu, yang juga merupakan salah
satu syarat sahnya shalat.
3. Berwudlu, adalah bersuci dengan air, yang dalam
hal ini sama dengan mencuci najis dan kotoran, di
mana keduanya merupakan syarat sahnya shalat.
Dengan demikian, jika dalam menghilangkan
najis tidak diperlukan niat, maka begitu pula
halnya dengan berwudlu. Sebab berwudlu adalah
bersuci dengan menggunakan air.
2. TARTIB
Yang dimaksud dengan tartib adalah melakukan
rukun-rukun wudlu secara berurutan sesuai urutan
yang dikemukakan dalam ayat wudlu.
Para ulama berbeda pendapat dalam hal fardu dan
tidaknya tartib dalam berwudlu ;
Syafi’iyah, Hanabilah, Qatadah, Ishaq bin Rahweh,
Abu Ubaidah, Syi’ah Imamiah, Ibnu ‘Abbas, Utsman
bin Affan dan Ali Ra. berpendapat, bahwa tartib
adalah salah satu rukun wudlu yang wajib dikerjakan
pada saat berwudlu.
Argumentasi
1. Bahwa surah al-Maidah ayat (6), tidak menyebutkan
anggota-anggota tubuh menurut struktur dan susunan
biologis manusia, seperti muka, tangan, kaki, kemudian
anggota yang disapu/diusap. Tetapi dalam ayat tersebut Allah
mencampurkannya antara anggota-anggota yang dicuci dan
anggota yang disapu. Oleh sebab itu mereka mengatakan,
bahwa susunan dan rangkaian teks al-Qur’an semacam itu
tentu mengandung maksud dan hikmah tertentu. Kemudian
berdasarkan istiqra/penelitian, tidak ada maksud yang lebih
tampak kecuali hanya tartib.
2. Hadits Rasulullah Saw.
)‫إِبْ َد ُؤا بِ َما بَ َدأَ اهللُ بِ ِه (رواه مسلم والنسائي عن جابر بن عبد اهلل‬
Artinya : Mulailah oleh kalian dengan apa yang telah Allah mulai
(HR Muslim dan Nasa’i dari Jabir bin Abdullah).
Meskipun sebab wurud hadits tersebut di atas
berkenaan dengan pertanyaan salah seorang
shahabat Rasul tentang harus dari mana dimulainya
sa’i dalam haji dan umrah, namun masih dapat
dijadikan sebagai dasar untuk kewajiban tartib
dalam berwudlu, sesuai dengan runtutan atau
struktur ayat tersebut.
Sebab jangan hanya meninjau dari sisi asbab al-
wurud saja, melainkan juga harus meninjaunya dari
segi yang umum dari hadits tersebut. Sebagaimana
kaidah ushulu al-fiqh yang menyatakan :
ِ َ‫السب‬
‫ب‬ ِ
‫وص‬ ‫ص‬ ‫خ‬ ِ
‫ب‬ ‫ال‬ ِ
‫ظ‬ ‫ف‬ َّ
‫ل‬ ‫ال‬ ِ
‫م‬‫و‬ ِ ِ
َّ ُ ُ َ ْ ْ ُ ُ َ ْ ‫اَل‬
‫م‬ ‫ع‬ ‫ب‬ ‫ة‬
ُ‫ر‬ ‫ب‬‫ْع‬
 Bahwa wudlu, shalat dan haji, sama-
sama merupakan ibadah yang terdiri
dari beberapa perbuatan yang
berbeda-beda. Sedangkan keabsahan
yang satu terikat dengan perbuatan
yang lainnya, agar supaya perbuatan
tersebut berhasil serta sesuai dengan
tuntutan syari’, maka tartib perlu
dilakukan ketika berwudlu
sebagaimana halnya dengan shalat
dan haji.
 Hanafiyah, Malikiyah, Ibnu al-
Mundzir, Az-Zuhri, Rabi’ah,
Auza’i, Hassan al-Bashri, Ibnu al-
Musayyib dan Ibnu Mas’ud
berpendapat, bahwa tertib
bukanlah merupakan salah satu
rukun wudlu yang wajib
dikerjakan ketika berwudlu,
melainkan hanya sekedar sunnah
saja.
Argumentasi mereka sbb. :
1. Bahwa surah al-Maidah ayat (6) antara
satu kata dengan kata lainnya
dihubungkan dengan menggunakan huruf
‘athaf (kata sambung) wawu. Menurut
mereka ‘athaf tidak mempunyai pengaruh
dan fungsi apa-apa, hanya sekedar
penghubung saja. Athaf dalam ayat ini,
tidak mengandung arti tartib, melainkan
hanya untuk mengumpulkan saja ((‫ل مطلق‬
‫ا لجمع‬.
2. Hadits Rasulullah Saw.
‫ضأَ َفغَ َس َل َو ْج َههُ ثُ َّم يَ َديْ ِه ثُ َّم ِر ْجلَْي ِه ثُ َّم َم َس َح َرأْ َس ُه‬
َّ ‫أَنَّهُ صلعم َت َو‬
Artinya: Sesungguhnya Rasulullah Saw. ketika
berwudlu membasuh mukanya, kemudian kedua
tangan dan kakinya serta menyapu kepalanya.
 3. Hadits Rasulullah Saw.
‫ض ْو َء‬
ُ ‫ت ال ُْو‬ ُ ‫َما أُبَالِي بِ ِش َمالِي بَ َد‬
ُ ‫أت أ َْم بِيَ ِم ْينِي إِذَا أَتْ َم ْم‬
Artinya: Saya tidak perduli, apakah kiri atau kanan
lebih dahulu yang saya mulai, bila saya
menyempurnakan wudlu.
Al-Qurthubi (1967 : VI : 99) menyatakan, bahwa
wudlu adalah bersuci dengan air yang tidak berbeda
dengan mandi janabat. Ulama telah sepakat, bahwa
mandi janabat tidak harus tartib. Oleh karena itu,
dalam mencuci dan menyapu anggota wudlu juga
tidak diharuskan untuk dilakukannya secara tartib.
Rasulullah Saw. bersabda :
ِ ‫الَ بأْس أَ ْن َتب َدأَ بِ ِرجلَيك َقبل ي َديك ِفي اْلوض‬
‫وء‬ ُ ُ َْ ََْ َ ْ ْ ْ َ َ
Artinya : Tidak apa-apa bagimu untuk mendahulukan
kedua kakimu sebelum kedua tanganmu ketika
berwudlu
‫ َوإِ ْن ُك ْنتُ ْم ُجنُبًا فَاطَّ َّه ُروا‬: ‫قوله تعالى‬

Janabat adalah :
‫سح‬ ‫م‬‫و‬ ‫آن‬‫ر‬ ‫ق‬
ُ ‫ل‬ْ‫ا‬ ‫ة‬
َ ‫اء‬‫ر‬ ِ‫الصالَ ِة وق‬
َّ ‫اب‬ َِ‫اجت‬
‫ن‬ ‫م‬ِ
‫ز‬ ‫ل‬ْ ‫ت‬‫س‬ ‫ي‬ ‫ي‬ ِ ‫الْجنابةُ ِهي معنى َشر‬
‫ع‬
َ ََ ْ َ َ َ َ ْ ُ َ ْ َ ْ َْ َ َ َ َ َ
‫ب‬ ‫ن‬
ُ ‫لج‬ ‫ا‬
ْ ‫ل‬ ِ َ‫اْلمصحف و ُد ُخو َل اْلمس ِج َد إِلَى أَ ْن ي ْغت‬
‫س‬
ُ ُ َ َ َْ ْ َ َْ ُ
Artinya : Janabat adalah suatu istilah syara’,
yang mengharuskan seseorang untuk menjauhi
(tidak mengerjakan) shalat,membaca al-Qur’an,
memegang mushaf dan masuk ke dalam masjid,
sehingga ia mandi lebih dahulu.
janabat dapat terjadi diakibatkan oleh dua faktor, yaitu :
1. Keluar sperma, sabda Rasulullah Saw.
)‫إِنَّ َما ال َْماءُ ِم َن ال َْم ِاء (رواه مسلم‬
Artinya : Sesungguhnya seseorang diwajibkan mandi, karena keluar air (air
mani/sperma) (HR Muslim).
2. Bertemunya dua alat kelamin (berhubungan seksual),
sabda Rasulullah Saw.
ِ ِ
َ ‫إِ َذا الَْت َقى الْختَانَان َف َق ْد َو َج‬
‫ب الْغُ ْس ُل‬
Artinya : Apabila bertemu dua alat kelamin,maka wajiblah baginya untuk
mandi.
Dikategorikan ke dalam janabat adalah wanita-wanita yang sedang
menstruasi (haidl) dan nifas, mereka diwajibkan untuk mandi
apabila telah berhenti dari haid dan nifasnya. firman Allah Swt.
)222 : 2 ‫ (البقرة‬... ‫وه َّن َحتَّى يَط ُْه ْر َن‬
ُ ُ‫ َوالَ َت ْق َرب‬...
Hadits Rasulullah Saw. :
‫ إِ َذا‬: ‫ال لَ َها‬
َ َ‫السالَم ق‬ ِ
‫ه‬
َّ ْ َ ُ ‫ي‬َ‫ل‬ ‫ع‬ ‫ه‬َّ
‫ن‬ َ
‫أ‬ ‫ش‬ٍ ‫ي‬‫ب‬ ‫ح‬ ‫ي‬ ِ
‫ب‬َ‫أ‬ ‫ت‬ ِ ِ
َ ْ َ َ َ‫َع ْن ف‬
‫ن‬ ‫ب‬ ‫ة‬ ‫م‬ ‫اط‬
ْ َُ
‫ت فَا ْغتَ ِسلِي‬ ‫ر‬ ‫ب‬‫د‬َ‫أ‬
ْ ََْ َ َ ‫ا‬ ‫ذ‬
َ ِ‫إ‬‫و‬ ‫ة‬
َ ‫ال‬ ‫الص‬
َّ ‫ي‬ ِ
‫ع‬ ‫د‬َ‫ف‬ ‫ة‬
ُ
َ َ َْ ‫ض‬ ‫ي‬ ‫ْح‬‫ل‬ ‫ا‬ ‫ت‬ِ َ‫أَ ْقَبل‬
)‫صلِّي (رواه البخاري‬ َ ‫َو‬
Artinya : Dari Fatimah binti Abi Hubaisy,
bahwa Rasulullah Saw. bersabda kepadanya :
“Apabila haidl datang, maka tinggalkanlah
shalat dan apabila haidl telah berhenti, maka
mandilah dan kerjakanlah shalat” (HR
Bukhari).
َ ‫ َوإِ ْن ُك ْنتُ ْم َم ْر‬: ‫ َق ْولُهُ َت َعالَى‬...
‫ضى‬
Ungkapan ayat di atas menyatakan, bahwa
kebolehan tayammum berlaku bagi orang-orang
yang sakit secara umum, baik sakit kepala, perut,
paru-paru dan lain sebagainya.
Namun penyakit tersebut dibatasi hanya bagi
penyakit yang penderitanya tidak mampu untuk
menggunakan air. Sebagaimana yang diriwayatkan
dari Ibnu ‘Abbas dan sejumlah Tabi’in, sakit
tersebut harus benar-benar (serius) dan apabila
terkena air akan membahayakan si penderita
(‫لمجدور‬ ‫)ا لمرضا‬ Bukan hanya asal sakit
Klasifikasi sakit
1. Suatu penyakit, yang menurut penelitian dokter,
apabila tersentuh air akan mengakibatkan
kematian atau rusaknya anggota tubuh. Dalam
kondisi seperti ini, para ulama telah sepakat
bahwa si pasien dibolehkan untuk tayammum.
2. Suatu penyakit, yang apabila tersentuh air akan
mengakibatkan bertambahnya rasa sakit atau
lambat kesembuhannya. Untuk kondisi seperti
ini, menurut Hanafiyah dan Malikiyah serta qaul
ashah dari Syafi’i, pasien diperkenankan untuk
bertayammum. Mereka berlandaskan kepada
sabda Rasulullah Saw. berikut ini :
َ َ‫اب َر ُجالً ِمنَّا َح َج ٌر ف‬
ُ‫ش َّجه‬ َ َ ‫َص‬ ‫أ‬‫ف‬
َ ‫ر‬ٍ ‫ف‬
َ ‫س‬
َ ‫ي‬ ِ‫ َخرجنَا ف‬: ‫ال‬
َْ َ ‫ق‬
َ ِ
‫اهلل‬ ِ ‫لٍما ر ِوي َعن جابِ ِر اب ِن َعب‬
‫د‬ ْ ْ َ ْ َ ُ َ
‫صةً فِي التَّيَ ُّم ِم َف َقالُوا َما‬ ِ ِ ِ ‫فِي رأْ ِس‬
َ ‫ال َه ْل تَج ُدو َن لي ُر ْخ‬ َ ‫َص َحابَهُ َف َق‬ْ ‫َل أ‬ َ ‫سأ‬
َ ََ‫ف‬ ‫م‬ ‫ل‬
َ ‫ت‬
َ ‫اح‬
ْ ‫م‬
َّ ُ‫ث‬ ‫ه‬ َ
 ‫ات َفلَ َّما قَ ِد ْمنَا َعلَى النَّبِ ِّي‬َ ‫س َل فَ َم‬ ‫ت‬ ‫غ‬
ْ ‫ا‬َ‫ف‬ ِ ‫ك ر ْخصةً وأَنْت َت ْق ِدر علَى الْم‬
‫اء‬ َ ‫ل‬
َ ‫د‬ُ ‫ج‬ِ َ‫ن‬
َ َ َ َ ُ َ َ َ ُ
‫ال‬ ُّ ‫ال َقَتلُوهُ َقَتلَ ُه ُم اللَّهُ أَالَ َسأَلُوا إِ ْذ لَ ْم َي ْعلَ ُموا فَِإنَّ َما ِش َفاءُ ال ِْع ِّي‬
ُ ‫الس َؤ‬ َ ‫ك َف َق‬ َ ِ‫أُ ْخبِ َر بِ َذل‬
)‫إِنَّ َما َكا َن يَ ْك ِف ِيه أَ ْن َيَتيَ َّم َم (رواه ابو داود وابن ماجه والدار قطني‬
Dari Jabir bin Abdullah, ia berkata : “Kami pernah keluar dalam sebuah
perjalanan dan salah seorang di antara kami terkena batu di kepalanya hingga
terluka parah. Kemudian di malam hari ia bermimpi dan ketika bangun untuk
mandi (junub), ia merasa takut sakitnya makin terinfeksi apabila mandi. Ia
bertanya kepada kawan-kawannya, “Apakah kalian menemukan suatu
rukhshah bagiku untuk bertayammum ?”. Mereka menjawab ; “Kami tidak
menemukan rukhshah bagimu, karena kamu bisa mendapatkan air”. Lalu
orang tersebut mandi dan penyakitnya bertambah parah sehingga ia meninggal
dunia. Ketika kami bertemu Rasul Allah Saw., dan menceriterakan kejadian
yang menimpa kawan tersebut. Kemudian beliau bersabda : “Kalian telah
membunuhnya, mengapa kalian tidak bertanya jika kalian memang tidak
mengetahuinya ?. Sesungguhnya obatnya bodoh adalah bertanya. Ketahuilah,
bahwa sesungguhnya bagi dia cukup bertayammum saja”. (HR Abu Daud, Ibnu
Majah dan Daruquthni).
3. Suatu penyakit, yang apabila tersentuh air, tidak
dikhawatirkan akan binasanya atau lambat
sembuhnya penyakit tersebut. Dalam kondisi
semacam ini, menurut Syafi’iyah dan Hanafiyah si
pasien tidak diperkenankan untuk bertayammum.
Sebab pasien tidak termasuk dalam kelompok orang
yang tidak mampu menggunakan air. Menurut
Malikiyah, pasien seperti itu diperkenankan untuk
bertayammum berdasarkan kepada keumuman
ayat “jika kamu sakit” ‫ى‬
(‫ض‬َ ‫ْنتُ ْم َم ْر‬ ‫) َوإِْن ُك‬.
4. Suatu penyakit, yang hanya mengenai sebagian
anggota tubuh saja. Untuk kondisi seperti ini, para
ulama berbeda pendapat :
a. Menurut Hanafiyah, apabila anggota tubuh yang
sehat lebih banyak, maka terhadap anggota tubuh
yang terkena penyakit dilakukan tayammum,
sedangkan anggota tubuh lainnya dicuci atau
dibasuh. Tetapi apabila anggota tubuh yang sakit
lebih banyak, maka pasien diperkenankan untuk
bertayammum terhadap seluruh anggota
tubuhnya.
b. Syafi’iyah, mereka tidak mempertimbangkan
banyak atau sedikitnya anggota tubuh yang sakit,
tetapi mereka menyatakan, bahwa yang sehat
harus dicuci dan yang terkena penyakit
ditayammumi.
c. Malikiyah menyatakan,
pasien boleh bertayammum,
baik anggota tubuh yang
terkena penyakit hanya
sedikit ataupun banyak.
Karena mereka melihat
kepada keumuman nash ”‫َوإِْن‬
‫ضى‬
َ ‫”ك ْنتُ ْم َم ْر‬.
ُ
‫ أ َْو َعلَى َس َف ٍر‬: ‫َق ْولُهُ َت َعالَى‬

Ayat di atas memberikan pengertian, bahwa di kala


kamu bepergian dan tidak mendapatkan air, sedangkan
kamu akan melaksanakan shalat, maka
bertayammumlah untuk melaksanakan shalat tersebut.
Safar (bepergian) di sini tidak harus menempuh jarak
tertentu seperti halnya dengan jarak yang telah
ditentukan bagi seseorang yang diperkenankan untuk
mengqashar shalat. Tetapi safar dalam pengertian ayat
ini bersifat umum, artinya meskipun dia hanya bepergian
dengan menempuh jarak yang dekat saja, baginya sudah
diperkenankan untuk bertayammum. Seperti berangkat
ke tempat tugas, rekreasi dan lain sebagainya, asalkan
saja ia keluar dari pintu rumah tempat ia berdomisili.
 Diungkapkannya kata safar dalam
ayat tersebut di atas, bukanlah ia
merupakan sebuah persyaratan bagi
dibolehkannya tayammum,
melainkan karena menurut
kebiasaan, orang yang sedang
bepergian biasanya sering menemui
kesulitan untuk memperoleh air.
Biasanya air sering menjadi problem
ketika sedang bepergian.
‫َح ٌد ِم ْن ُك ْم ِم َن الْغَائِ ِط‬
َ ‫اء أ‬
َ ‫ أ َْو َج‬: ‫َق ْولُهُ َت َعالَى‬
“‫ط‬ِ ِ‫ ”غَائ‬adalah suatu tempat yang rendah dan
tenang dari permukaan bumi. Tetapi yang
dimaksud dengan “‫ط‬ ِ ِ‫ ”غَائ‬di sini adalah buang
air besar ataupun kecil (‫ين‬ ‫ل‬
َ ‫ي‬ِ‫ب‬ ‫الس‬ ‫ن‬ ِ ‫) ُك ُّل ما َخرج‬.
‫م‬
ْ ّْ َ ََ َ
Ungkapan ayat ini menjelaskan, bahwa bagi
seseorang yang baru kembali dari kamar
kecil (WC) kemudian ia tidak memperoleh air
untuk berwudlu, maka ia diperkenankan
untuk bertayammum.
‫اء‬
َ ‫ِّس‬
َ ‫ أ َْو الَ َم ْستُ ُم الن‬: ‫َق ْولُهُ َت َعالَى‬

‫سة‬
َ ‫ُمالَ َم‬ mempunyai dua pengertian
1. (ma’na al-majazi) di mana bisa diartikan dengan
jima’ (hubungan seksual), sebagaimana pendapat
Ali Ra., Ibnu ‘Abbas dan Hasan dari kalangan
sahabat. Pendapat ini pun merupakan pendapat
yang dianut oleh kalangan Hanafiyah.
2. “ُ‫”م َالَم َسة‬
ُ dapat pula diartikan dengan sentuhan
tangan, (‫) اَ لَّ ْم ُسبِ اْ لَيد‬, sebagaimana yang
dikemukakan oleh Ibnu Mas’ud, Umar dan Asy-
Sya’bi, juga merupakan pendapat yang dianut oleh
kalangan Syafi’iyah.
‫اء‬ ‫م‬ ‫وا‬ ‫د‬
ُ ِ َ‫ َفلَم ت‬: ‫َقولُهُ َتعالَى‬
‫ج‬
ًَ ْ َ ْ
 Tidak didapatinya air dalam ungkapan ayat tersebut
di atas, yaitu tidak tersedianya air untuk berwudlu
atau mandi secara tuntas dan lengkap. Sedangkan
apabila airnya hanya mencukupi untuk sebagian
anggota wudlu/tubuh saja, maka menurut Hanafiyah
dan Malikiyah ditempuh jalan tayammum.
 Sedangkan menurut Syafi’iyah dan Hanabilah,
diharuskan untuk tetap menggunakan air tersebut.
Kemudian bagi anggota tubuh yang belum
terbasuh/tercuci, maka dilanjutkan dengan
tayammum. Karena menurut mereka, kondisi
semacam itu tergolong kepada tidak ada air (‫اقد‬ ‫ف‬
‫)ا لماء‬.
ِ ِ
ُ‫س ُحوا بِ ُو ُجوه ُك ْم َوأَيْ ِدي ُك ْم م ْنه‬ ِ ‫َفَتي َّمموا‬
َ ‫صعي ًدا طَيِّبًا فَ ْام‬
َ ُ َ

 Sarana yang digunakan untuk bertayammum adalah


debu/tanah yang suci. Kemudian disapukan kepada dua
anggota tubuh tertentu, yaitu wajah/muka dan kedua
tangan.
 Namun dalam hal menyapu/mengusap sikut, para ulama
berbeda pendapat.
 Hanafiyah dan Syafi’iyah dalam qaul rajih berpendapat,
bahwa kedua sikut termasuk anggota tubuh yang harus
disapu ketika bertayammum.
 Mereka berargumentasi, bahwa tayammum adalah
sebagai pengganti wudlu, sedangkan pengganti tidak
boleh berbeda dengan yang digantikan. Karena sikut
termasuk dalam anggota tubuh yang harus dicuci dalam
wudlu, maka begitu pula dalam tayammum.
Hadits Rasulullah Saw. yang
diriwayatkan dari Jabir berikut ini:
‫اع ْي ِن‬ ِّ ِ‫ضربةُ ل‬ ِ ِ ِ َ‫ضربت‬ ِ َّ ‫أ‬
َ َ َ ْ َ َ ْ َ ‫ض ْربَةً ل‬
‫ر‬ ‫لذ‬ ‫و‬ ‫ه‬ ‫ج‬‫ْو‬
‫ل‬ َ ‫ان‬ َْ َ ‫م‬‫م‬ُّ ‫َّي‬
َ ‫الت‬ : ‫ال‬
َ ‫ق‬
َ ‫ي‬
َّ ‫َن النَّب‬
‫إلِ َى ال ِْم ْرَف َق ْي ِن‬
Artinya : Sesungguhnya Nabi Saw.
bersabda, “Tayammum itu terdiri dari dua
tepukan, satu tepukan untuk muka/wajah
dan satu tepukan lagi untuk kedua tangan
sampai dengan sikut”.
Malikiyah dan Hanabilah berpendapat, bahwa
menyapu kedua tangan dalam tayammum hanya
sampai dengan pergelangan tangan.
Mereka berargumentasikan, bahwa istilah “‫” يد‬
biasanya digunakan untuk kedua telapak tangan. Hal
ini terbukti dalam batas pemotongan tangan bagi
tindak pidana pencurian, yang pernah dilakukan oleh
Rasulullah Saw. dan sahabat-sahabatnya, firman
Allah :
)38 : 5 ‫السا ِرقَةُ فَاقْطَعُوا أَيْ ِد َي ُه َما (المائدة‬
َّ ‫السا ِر ُق َو‬
َّ ‫َو‬
Artinya : Laki-laki yang mencuri dan perempuan
yang mencuri, potonglah kedua tangannya (QS al-
Maidah 5 : 38)
 Hadits Rasulullah Saw. :

‫ض ثُ َّم َت ْن ُف ُخ ثُ َّم‬ ‫ر‬َ‫أل‬‫ا‬


ْ ‫ك‬ ‫ي‬ ‫د‬‫ي‬ِ‫ب‬ ‫ب‬ ‫ر‬ِ ‫ض‬
ْ ‫ت‬
َ ‫ن‬
ْ َ
‫أ‬ ‫يك‬ ِ
َ َ َ‫إ‬
‫ف‬ ‫ك‬
ْ ‫ي‬ ‫ا‬‫م‬َّ
‫ن‬ ِ
َ ْ َ ََْ َ
‫ك (رواه مسلم عن عمار‬ َّ َ‫و‬ ‫ك‬ ‫ه‬ ‫ج‬ ‫و‬ ‫ا‬‫م‬ ِ
‫ه‬ ِ
َ ْ َ َ َ ْ َ َ ‫تَ ْم َس ُح ب‬
‫ي‬ ‫ف‬ ‫ك‬
)‫بن يسار‬
Artinya : Sesungguhnya cukup bagi kamu dengan
hanya menepukkan kedua tanganmu ke tanah,
kemudian tiuplah olehmu dan usapkan ke mukamu
dan kedua telapak tanganmu (HR Muslim dari
‘Ammar bin Yasar)
Menempelnya Debu Pada Anggota
Tubuh
 ulama berbeda pendapat tentang
keharusan menempelnya debu pada
anggota tubuh ketika bertayammum.
 Hanafiyah dan Malikiyah tidak
mengharuskan untuk melekatkan dan
menempelkan debu pada anggota
tubuh, tetapi Syafi’iyah
mengharuskannya.
Perbedaan ini disebabkan karena mereka
berbeda dalam memahami dan
menafsirkan kata ‫”م نه‬ ِ dalam ayat
“ُ‫وه ُك ْم َوأَيْ ِدي ُك ْم ِم ْنه‬
ِ ‫”فَ ام سحوا بِ وج‬. Syafi’iyah
ُُ َُ ْ
menafsirkan kata tersebut dengan “‫”ل لتبعيض‬
dengan menganalogikan kepada wudlu.
Sedangkan Hanafiyah dan Malikiyah
mengartikannya dengan permulaan dan
perbedaan jenis ‫لجنس‬ ( ‫)ا إلبتداء وتمييز ا‬,
Sebagaimana hadits Rasulullah Saw. yang
.menjelaskan tentang tatacara bertayammum
‫س َح َو ْج َههُ َوَك َّف ْي ِه‬‫م‬‫ف‬
َ ِ ‫ض َفَن َفض ي َدي‬
‫ه‬
ََ ْ ََ ِ ‫ر‬
ْ َ
‫أل‬ْ‫ا‬ ‫ى‬َ‫ل‬ِ‫إ‬ ِ ‫ضرب بِي َدي‬
‫ه‬ ْ َ َ َ َ ‫َو‬
)‫(رواه مسلم‬
Artinya : Dan (Nabi Saw.) menepuk tanah
dengan dua tangannya dan meniupnya,
kemudian beliau mengusapkannya ke muka
dan kedua telapak tangannya . (HR Muslim)
‫ان أريد اال االصالح مااستطعت وما‬
‫توفيقى اال باهلل عليه توكلت واليه‬
‫أنيب‬
‫والسالم عليكم ورحمة اهلل وبركاته‬

Anda mungkin juga menyukai