Anda di halaman 1dari 11

Panduan Zakat Hasil Pertanian

Mei 21, 2012Muhammad Abduh Tuasikal, MScZakat12

Satu lagi yang dikenai zakat adalah zakat pertanian. Setiap tanaman yang merupakan
makanan pokok dan dapat disimpan, menurut ulama Syafiiyah, wajib dizakati. Berapa
besaran zakatnya dan komoditi apa saja yang wajib dizakati serta kapan waktu pengeluaran
zakatnya, silakan simak dengan seksama dalam serial zakat kali ini.
Dalil wajibnya zakat pertanian
Hasil pertanian wajib dikenai zakat. Beberapa dalil yang mendukung hal ini adalah:

Hai orang-orang yang beriman, nafkahkanlah (di jalan allah) sebagian dari hasil usahamu
yang baik-baik dan sebagian dari apa yang Kami keluarkan dari bumi untuk kamu. (QS. Al
Baqarah: 267). Kata di sini menunjukkan sebagian, artinya tidak semua hasil bumi itu
dizakati.

Dan Dialah yang menjadikan kebun-kebun yang berjunjung dan yang tidak berjunjung,
pohon korma, tanam-tanaman yang bermacam-macam buahnya, zaitun dan delima yang
serupa (bentuk dan warnanya) dan tidak sama (rasanya). Makanlah dari buahnya (yang
bermacam-macam itu) bila dia berbuah, dan tunaikanlah haknya di hari memetik hasilnya
(dengan disedekahkan kepada fakir miskin). (QS. Al Anam: 141).
Nabi shallallahu alaihi wa sallam bersabda,

Tidak ada zakat bagi tanaman di bawah 5 wasaq.[1]


Dalil-dalil ini menunjukkan wajibnya zakat hasil pertanian yang dipanen dari muka bumi,
namun tidak semuanya terkena zakat dan tidak semua jenis terkena zakat. Akan tetapi, yang
dikenai adalah jenis tertentu dengan kadar tertentu.
Hasil pertanian yang wajib dizakati
Pertama, para ulama sepakat bahwa hasil pertanian yang wajib dizakati ada empat macam,
yaitu: syair(gandum kasar), hinthoh (gandum halus), kurma dan kismis (anggur kering).


- - :


Dari Abu Burdah, bahwa Abu Musa Al-Asyari dan Muadz bin Jabal radhiallahu
anhuma pernah diutus ke Yaman untuk mengajarkan perkara agama. Nabi shallallahu alaihi
wa sallam memerintahkan mereka agar tidak mengambil zakat pertanian kecuali dari empat
jenis tanaman: hinthah (gandum halus), syair (gandum kasar), kurma, dan zabib (kismis).[2]
Dari Al Harits dari Ali, beliau mengatakan:


Zakat (pertanian) hanya untuk empat komoditi: Burr (gandum halus), jika tidak ada maka
kurma, jika tidak ada kurma maka zabib (kismis), jika tidak ada zabib maka syair (gandum
kasar).[3]
Dari Thalhah bin Yahya, beliau mengatakan: Saya bertanya kepada Abdul Hamid dan Musa bin
Thalhah tentang zakat pertanian. Keduanya menjawab,


Zakat hanya ditarik dari hinthah (gandum halus), kurma, dan zabib(kismis).[4]
Kedua, jumhur (mayoritas) ulama meluaskan zakat hasil pertanian ini pada tanaman lain
yang memiliki illah(sebab hukum) yang sama. Jumhur ulama berselisih pandangan mengenai
illah (sebab) zakat hasil pertanian.

Imam Abu Hanifah berpendapat bahwa zakat hasil pertanian itu ada pada segala sesuatu
yang ditanam baikhubub (biji-bijian), tsimar (buah-buahan) dan sayur-sayuran.
Imam Malik dan Imam Syafii berpendapat bahwa zakat hasil pertanian itu ada pada tanaman
yang merupakan kebutuhan pokok dan dapat disimpan.
Imam Ahmad berpendapat bahwa zakat hasil pertanian itu ada pada tanaman yang dapat
disimpan dan ditakar.
Ibnu Taimiyah berpendapat bahwa zakat hasil pertanian itu ada pada tanaman yang dapat
disimpan. [5]
Tiga pendapat terakhir ini dinilai lebih kuat. Sedangkan pendapat Abu Hanifah adalah
pendapat yang lemah dengan alasan beberapa dalil berikut,

- -

Dari Muadz, ia menulis surat kepada Nabi shallallahu alaihi wa sallam dan bertanya
mengenai sayur-sayuran (apakah dikenai zakat). Nabi shallallahu alaihi wa sallam bersabda,
Sayur-sayuran tidaklah dikenai zakat.[6]Hadits ini menunjukkan bahwa sayuran tidak
dikenai kewajiban zakat.

- - :


: .

Dari Tholhah bin Yahya, dari Abu Burdah, dari Abu Musa dan Muadz bin Jabal berkata bahwa
Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam mengutus keduanya ke Yaman dan memerintahkan
kepada mereka untuk mengajarkan agama. Lalu beliau bersabda, Janganlah menarik zakat
selain pada empat komoditi: gandum kasar, gandum halus, kismis dan kurma.[7] Hadits ini
menunjukkan bahwa zakat hasil pertanian bukanlah untuk seluruh tanaman.
Sedangkan pendapat ulama Zhohiriyah yang menyatakan bahwa zakat hasil pertanian hanya
terbatas pada empat komoditi tadi, maka dapat disanggah dengan dua alasan berikut:
1. Kita bisa beralasan dengan hadits Muadz di atas bahwa tidak ada zakat pada sayursayuran. Ini menunjukkan bahwa zakat hasil pertanian diambil dari tanaman yang bisa
disimpan dalam waktu yang lama dan tidak mudah rusak. Sedangkan sayur-sayuran tidaklah
memiliki sifat demikian.
2. Empat komoditi yang disebutkan dalam hadits adalah makanan pokok yang ada pada saat
itu. Bagaimana mungkin ini hanya berlaku untuk makanan pokok seperti saat itu saja dan
tidak berlaku untuk negeri lainnya? Karena syariat tidaklah membuat illah suatu hukum
dengan nama semata namun dilihat dari sifat atau ciri-cirinya.[8]
Pendapat Imam Syafii lebih dicenderungi karena hadits-hadits yang telah disebutkan di atas
memiliki illah(sebab hukum) yang dapat ditarik di mana gandum, kurma dan kismis adalah
makanan pokok di masa silam karena menjadi suatu kebutuhan primer- dan makanan
tersebut bisa disimpan. Sehingga hal ini dapat diqiyaskan atau dianalogikan pada padi,
gandum, jagung, sagu dan singkong yang memiliki illah yang sama.[9]
Nishob zakat pertanian
Nishob zakat pertanian adalah 5 wasaq. Demikian pendapat jumhur (mayoritas) ulama,
berbeda dengan pendapat Abu Hanifah. Dalil yang mendukung pendapat jumhur adalah
hadits,

Tidak ada zakat bagi tanaman di bawah 5 wasaq.[10]


1 wasaq = 60 sho, 1 sho = 4 mud.
Nishob zakat pertanian = 5 wasaq x 60 sho/wasaq = 300 sho x 4 mud = 1200 mud.
Ukuran mud adalah ukuran dua telapak tangan penuh dari pria sedang.
Lalu bagaimana konversi nishob zakat ini ke timbangan (kg)?

Perlu dipahami bahwa sho adalah ukuran untuk takaran. Sebagian ulama menyatakan bahwa
satu sho kira-kira sama dengan 2,4 kg[11]. Syaikh Ibnu Baz menyatakan, 1 sho kira-kira 3
kg[12]. Namun yang tepat jika kita ingin mengetahui ukuran satu sho dalam timbangan (kg)
tidak ada ukuran baku untuk semua benda yang ditimbang. Karena setiap benda memiliki
massa jenis yang berbeda. Yang paling afdhol untuk mengetahui besar sho, setiap barang
ditakar terlebih dahulu. Hasil ini kemudian dikonversikan ke dalam timbangan (kiloan).[13]
Taruhlah jika kita menganggap 1 sho sama dengan 2,4 kg, maka nishob zakat tanaman = 5
wasaq x 60 sho/ wasaq x 2,4 kg/ sho = 720 kg.
Dari sini, jika hasil pertanian telah melampaui 1 ton (1000 kg), maka sudah terkena wajib
zakat.
Catatan: Jika hasil pertanian tidak memenuhi nishob, belum tentu tidak dikenai zakat. Jika
pertanian tersebut diniatkan untuk perdagangan, maka bisa masuk dalam perhitungan zakat
perdagangan sebagaimana telah dibahas di sini.
Kadar zakat hasil pertanian
Pertama, jika tanaman diairi dengan air hujan atau dengan air sungai tanpa ada biaya yang
dikeluarkan atau bahkan tanaman tersebut tidak membutuhkan air, dikenai zakat sebesar 10
%.
Kedua, jika tanaman diairi dengan air yang memerlukan biaya untuk pengairan misalnya
membutuhkan pompa untuk menarik air dari sumbernya, seperti ini dikenai zakat sebesar
5%.
Dalil yang menunjukkan hal ini adalah hadits dari Ibnu Umar, Rasulullah shallallahu alaihi wa
sallambersabda,

Tanaman yang diairi dengan air hujan atau dengan mata air atau dengan air tada hujan,
maka dikenai zakat 1/10 (10%). Sedangkan tanaman yang diairi dengan mengeluarkan biaya,
maka dikenai zakat 1/20 (5%).[14]
Jika sawah sebagiannya diairi air hujan dan sebagian waktunya diairi air dengan biaya, maka
zakatnya adalah x 1/10 = 3/40 = 7,5 %. Dan jika tidak diketahui manakah yang lebih
banyak dengan biaya ataukah dengan air hujan, maka diambil yang lebih besar manfaatnya
dan lebih hati-hati. Dalam kondisi ini lebih baik mengambil kadar zakat 1/10.[15]
Catatan: Hitungan 10% dan 5% adalah dari hasil panen dan tidak dikurangi dengan biaya
untuk menggarap lahan dan biaya operasional lainnya.
Contoh: Hasil panen padi yang diairi dengan mengeluarkan biaya sebesar 1 ton. Zakat yang
dikeluarkan adalah 10% dari 1 ton, yaitu 100 kg dari hasil panen.
Kapan zakat hasil pertanian dikeluarkan?
Dalam zakat hasil pertanian tidak menunggu haul, setiap kali panen ada kewajiban zakat.
Kewajiban zakat disyaratkan ketika biji tanaman telah keras (matang), demikian
pula tsimar (seperti kurma dan anggur) telah pantas dipetik (dipanen). Sebelum waktu
tersebut tidaklah ada kewajiban zakat.[16] Dan di sini tidak mesti seluruh tanaman matang.
Jika sebagiannya telah matang, maka seluruh tanaman sudah teranggap matang.[17]
Zakat buah-buahan dikeluarkan setelah diperkirakan berapa takaran jika buah tersebut
menjadi kering.[18]Sebagaimana disebutkan dalam hadits,



- -

Dari Attab bin Asid, ia berkata, Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam memerintahkan
untuk menaksir anggur sebagaimana menaksir kurma. Zakatnya diambil ketika telah menjadi
anggur kering (kismis) sebagaimana zakat kurma diambil setelah menjadi kering.[19] Walau
hadits ini dhoif (dinilai lemah) namun telah ada hadits shahih yang disebutkan sebelumnya
yang menyebutkan dengan lafazh zabib (anggur kering atau kismis) dan tamr (kurma kering).

Untuk melengkapi bahasan di atas, silakan lihat bahasan syarat-syarat zakat.


Wallahu waliyyut taufiq.

ZAKAT HASIL PERTANIAN DAN PEREKEBUNAN


Oleh
Ustadz Kholid Syamhudi Lc

Allh Azza wa Jalla telah memberikan karunia kepada kita dalam aneka ragam kenikmatan,
diantaranya hasil yang tumbuh dan keluar dari bumi. Bentuknya beragam, ada hasil
pertanian dan buah-buahan, madu, harta terpendam dan barang tambang. Semua ini
tentunya ada hak-hak yang harus ditunaikan. Tentunya semua harus dengan dasar syariat
yang benar agar jangan sampai mengambil yang bukan haknya atau menahan yang sudah
menjadi hak Allh Subhanahu wa Taala atasnya.
Berikut penjelasan singkat tentang permasalahan ini, semoga dapat memberikan pencerahan
kepada masyarakat Islam yang umumnya sudah jauh dari syariat Islam yang benar.
KEWAJIBAN ZAKAT HASIL PERTANIAN DAN BUAH-BUAHAN
Zakat Hasil pertanian disyariatkan dalam Islam berdasarkan al-Qur`n dan as-Sunnah serta
Ijm. Diantara dasar tersebut :
1. Firman Allh Azza wa Jalla :




Hai orang-orang yang beriman, nafkahkanlah (di jalan Allh) sebagian dari hasil usahamu
yang baik-baik dan sebagian dari apa yang Kami keluarkan dari bumi untuk kamu. dan
janganlah kamu memilih yang buruk-buruk lalu kamu menafkahkan daripadanya, padahal
kamu sendiri tidak mau mengambilnya melainkan dengan memincingkan mata terhadapnya.
dan ketahuilah, bahwa Allh Maha Kaya lagi Maha Terpuji. [al-Baqarah/2:267]
2. Firman Allh Azza wa Jalla :



Dan Dialah yang menjadikan kebun-kebun yang berjunjung dan yang tidak berjunjung,
pohon korma, tanam-tanaman yang bermacam-macam buahnya, zaitun dan delima yang
serupa (bentuk dan warnanya) dan tidak sama (rasanya). makanlah dari buahnya (yang
bermacam-macam itu) bila Dia berbuah, dan tunaikanlah haknya di hari memetik hasilnya
(dengan disedekahkan kepada fakir miskin); dan janganlah kamu berlebih-lebihan.
Sesungguhnya Allh tidak menyukai orang yang berlebih-lebihan. [al-Anam/6:141]
3. Hadits Abdullh bin Umar Radhiyallahu anhuma bahwa Nabi Shallallahu alaihi wa sallam
bersabda :
:

:
Pada pertanian yang tadah hujan atau mata air atau yang menggunakan penyerapan akar
(Atsariyan) diambil sepersepuluh dan yang disirami dengan penyiraman maka diambil
seperduapuluh. [HR al-Bukhri]
4. Hadits Jbir bin Abdillah Radhiyallahu anhu bahwa beliau mendengar Nabi Shallallahu

alaihi wa sallam bersabda:




: :
Semua yang diairi dengan sungai dan hujan maka diambil sepersepuluh dan yang diairi
dengan disiram dengan pengairan maka diambil seperduapuluh [HR Muslim]
5. Hadits Mudz bin Jabal Radhiyallahu anhu yang berbunyi :
n
: :
Raslullh mengutusku ke negeri Yaman lalu memerintahkan aku untuk mengambil dari yang
disirami hujan sepersepuluh dan yang diairi dengan pengairan khusus maka seperduapuluh
[HR. an-Nasi dan dishahihkan al-Albni rahimahullah dalam Shahh Sunan an-Nas`i 2/193]
Sedangkan Ijma telah menetapkan kewajiban zakat pada gandum, anggur kering dan kurma
sebagaimana dinukilkan oleh Ibnul Mundzir rahimahullah dan Ibnu Abdilbarr rahimahullah
serta Ibnu Qudmah rahimahullah.[1]
SYARAT KEWAJIBAN ZAKAT PADA HASIL PERTANIAN DAN BUAH-BUAHAN
a. Berupa Biji-bijian atau Buah-buahan.
Ini berdasarkan hadits Abu Sad al-Khudri Radhiyallahu anhu secara marfu yang berbunyi:
...


Tidak ada (kewajiban) zakat pada biji-bijian dan buah kurma hingga mencapai 5 ausq (lima
wasaq) [HR Muslim]
Hadits ini menunjukkan adanya kewajiban zakat pada biji-bijian dan buah kurma, selainnya
tidak dimasukkan disini. [Lihat al-Kfi karya Ibnu Qudamah 2/131]
b. Bisa ditakar karena diukur dengan wasq yaitu satuan alat takar, seperti dalam hadits
diatas. Syarat ini masih diperselisihkan para ulama. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah
rahimahullah menyanggah persyaratan dapat ditakar. Beliau rahimahullah menyatakan bahwa
syarat dapat ditakar itu hanya ada pada komoditi ribawi saja agar terwujud kesetaraan
yang mutabar. Dan syarat ini tidak berlaku dalam masalah zakat. Beliau rahimahullah
merajihkan pendapat yang menetapkan syarat wajib zakat pada barang yang keluar dari
bumi hanyalah dapat disimpan (al-Iddikhr), karena adanya pengertian yang sesuai dengan
kewajiban zakat. Berbeda dengan takaran, karena ia sekedar satuan ukuran semata dan
timbanganpun sama artinya dengannya. (lihat al-Ikhtiyrt al-fiqhiyat, hlm 149 dan Shahh
Fiqhissunnah 2/42). Yang rajih wallhu alam- pensyaratan dapat ditakar adalah mutabar
karena Nabi Shallallahu alaihi wa sallam menggunakan takaran wasaq dalam menentukan
nishab zakat hasil pertanian dan perkebunan ini. Oleh karena itu, Syaikh Prof.DR. Shlih bin
Abdillah Al Fauzn hafizhahullh- menyatakan, Diwajibkan zakat pada hasil perkebunan
seperti korma, Anggur kering dan sejenisnya dari semua yang ditakar dan dapat disimpan
lama (Iddikhr). [al-Mulakhash al-Fiqh 1/233].
c. Dapat disimpan, karena semua komoditi yang disepakati dikenai kewajiban zakat berupa
komoditi yang bisa disimpan. Oleh karena itu diwajibkan zakat pada semua biji-bijian dan
buah-buahan yang dapat ditakar dan disimpan, seperti gandung, kurma, anggur kering
(Zabib) dan lain-lainnya. (lihat al-Kfi, 2/132).

d. Tumbuh dengan usaha dari manusia. Tanaman yang tumbuh liar tidak ada zakatnya,
karena bukan menjadi kepemilikannya secara resmi. Syarat ini diungkapkan dengan istilah:


Dan nishab yang dianggap adalah nishab yang menjadi miliknya ketika waktu kewajiban
zakat [lihat asy-Syarhul Mumti 6/78].
e. Mencapai nishab yaitu seukuran 5 wasaq berdasarkan sabda beliau :
...


Tidak ada kewajiban zakat pada biji-bijian dan buah kurma hingga mencapai 5 ausaaq (lima
wasaq) [HR Muslim].
Satu wasaq sama dengan enampuluh sha (60 sha) dan satu sha sama dengan 4 mud. Satu
mudnya adalah seukuran penuh dua telapak tangan orang yang sedang. Lima wasaq yang
dijadikan standar adalah setelah pembersihan biji-bijian dan kering pada buah-buahan. [alMughni, 4/162]
Dalam masalah ukuran nishab ini para Ulama terjadi perbedaan pendapat dalam dua
pendapat:
a. Zakat pertanian dan buah-buahan tidak diwajibkan hingga mencapai 5 wasaq. Ini adalah
pendapat mayoritas Ulama. Diantara mereka adalah Ibnu Umar Radhiyallahu anhuma , Jbir
Radhiyallahu anhu, Abu Ummah bin Sahl Radhiyallahu anhu, Umar bin Abdulaziz, Jbir bin
Zaid, al-Hasan al-Bashri, Atha, Makhl, al-Hakam, an-Nakhi, Mlik, ats-tsauri, al-Auzai,
Ibnu Abi Laila, asy-Syfii, Abu Ysuf , Muhammad bin al-Hasan dan banyak Ulama lainnya.
Ibnu Qudmah rahimahullah menyatakan, Kami belum tahu seorangpun yang menyelisihi
mereka kecuali Mujhid dan Abu Hanfah serta pengikutnya.[al-Mughni 4/161]
b. Mujhid rahimahullah dan Abu Hanfah rahimahullah serta pengikutnya berpendapat bahwa
zakat diwajibkan baik sedikit maupun banyak, karena keumuman sabda Raslullh
Shallallahu alaihi wa sallam :
:
Semua yang ditanam dengan tadah hujan dikenai seper sepuluh.
Juga karena dalam zakat hasil bumi ini tidak menggunakan standar haul (genap setahun)
maka tentunya juga tidak menggunakan standar nishab.
Sementara itu, Ibnu Qudmah rahimahullah dengan tegas menyatakan pilihannya pada
pendapat pertama dengan menyatakan, Kami memiliki dalil sabda Nabi Shallallahu alaihi wa
sallam


Tidak ada kewajiban zakat pada biji-bijian dan buah kurma hingga mencapai 5 ausaaq (lima
wasaq). [Muttafaqun Alahi]
Hadits yang bersifat ini khusus ini yang wajib didahulukan dan hadits ini mentakhsish

(mengkhususkan) keumuman yang mereka riwayatkan tersebut. [al-Mughni, 4/161].


Oleh karena itu, jelaslah kebenaran pendapat pertama karena adanya dalil yang cukup tegas
dalam masalah nishab. Wallahu alam.
MENCAMPUR HASIL BUMI DALAM SETAHUN DALAM MENYEMPURNAKAN NISHAB
Sudah diketahui bersama bahwa buah kurma memiliki banyak spesies, ada sukkari, barkhi
dan khullash serta yang lainnya. Untuk menyempurnakan, maka spesies-spesies itu dicampur
dan disatukan. Demikian juga misalnya beras dengan ragam spesiesnya. Apabila seorang
memiliki area persawahan yang tersebar dibeberapa lokasi lalu ditanami padi dengan spesies
yang berbeda-beda, maka hasil panennya dihitung semuanya tanpa membedakan
spesiesnya.. Apabila sudah mencapai nishab, maka diwajibkan membayar zakat. Demikian
juga bila panennya lebih dari sekali, maka dicampurkan panen selama setahun lalu zakatnya
ditunaikan.
Namun bila jenisnya berbeda seperti kurma dengan zabib (anggur kering/kismis), maka itu
tidak dicampur dalam menghitung nishabnya.
Ibnu Qudmah rahimahullah berkata, Tidak ada perbedaan pendapat diantara para Ulama
pada selain biji-bijian dan atsman (emas dan perak) untuk tidak disatukan satu jenis dengan
jenis yang lainnya dalam penyempurnaan nishab. Hewan ternah ada tiga jenis yaitu onta,
sapi dan kambing. Tidak dicampur satu jenis dari hewan ternak tersebut dengan lainnya dan
buah-buahan tidak dicampur dengan buah lainnya. Sehingga kurma tidak dicampur dengan
zabib (anggur kering) dan kacang (lauz) tidak dicampur dengan kacang fustaq serta tidak
sesuatu dari hal-hal ini dicampur kepada lainnya. Atsmn (emas dan perak) tidak dicampur
dengan hewan ternak dan tidak juga dengan biji-bijian dan buah-buahan. Tidak ada
perbedaan pendapat diantara mereka bahwa spesies dari jenis-jenis tersebut dicampur dalam
penyempurnaan nishab. Kami tidak mengetahui perbedan diantara mereka juga dalam
barang dagangan dicampur dengan atsmn dan atsmn dicampur dengan barang dagangan,
kecuali imam asy-Syfii rahimahullah yang tidak menggabungnya kecuali kepada jenis yang
dijadikan barang dibeli; karena nishabnya mutabar. [al-Mughni, 4/203-204]
Spesies biji-bijian dari satu jenis digabungkan, sehingga jenis gandum yang beragam
digabungkan. Demikian juga jenis beras dengan rajalele, sadani, mentik wangi, IR dan
lainnya digabungkan untuk menyempurnakan nishab. Demikian juga bila seorang memiliki
beberapa lahan di tempat yang berbeda, maka digabungkan hasil dari semua lahan yang ada
untuk menyempurnakan nishab.
Ibnu Qudmah rahimahullah menjelaskan bahwa Ulama berbeda pendapat dalam
menggabungkan biji-bijian untuk menyempurnakan nishab dan menyatukan emas dan perak
kepada yang lainnya. Diriwayatkan dari imam Ahmad tiga riwayat yaitu :
a. Riwayat pertama yaitu tidak digabung satu jenis biji-bijian dengan lainnya dan nishabnya
dengan standar dalam satu jenis tersebut saja. Ini adalah pendapat Atha, Makhl, Ibnu Abi
laila, al-Auzi, ats-Tsauri, al-Hasan bin Shalih, Syuraik, asy-Syfii, Abu Ubaid, Abu Tsaur dan
ashb ar-rai; karena biji-bijian itu beda jenisnya sehingga nishabnya diperhitungkan dalam
setiap jenisnya seperti buah-buahan dan hewan ternak.
b. Riwayat kedua: biji-bijian seluruhnya digabungkan dalam menyempurnakan nishab. Ini
adalah pendapat Ikrimah dan Ibnu Mundzir menceritakannya dari Thaws.
c. Riwayat ketiga: al-hinthah digabungkan dengan gandum dan al-quthniyat juga. al-

Quthniyat adalah jenis biji-bijian berupa adas, al-himsh, beras, as-simsim, ad-dakhn dan
kacang tanah. Ini disampaikan al-Khiraqi dari Ahmad dan ini adalah madzhab imam Mlik.
Setelah menyampaikan hal ini Ibnu Qudmah rahimahullah menyatakan, Riwayat pertama
lebih rajih insya Allh-, karena biji-bijian tersebut beda jenisnya sehingga mungkin
dibedakan, tidak digabungkan seperti buah-buahan. [al-Mughni, 4/204-205. (Lihat juga asySyarhu al-Mumti 6/77)]
KAPAN ZAKAT HASIL PERTANIAN DAN PERKEBUNAN DITUNAIKAN?
Zakat pada biji-bijian mulai diwajibkan apabila biji-bijian itu sudah kuat dan tahan bila di
tekan. Sedangkan pada buah-buahan adabila sudah layak konsumsi seperti sudah memerah
atau menguning pada buah korma. Penjelasan tentang layak konsumsi ini ada dalam
beberapa hadits diantaranya :
a. Hadits Anas bin Mlik Radhiyallahu anhu secara marf dari Nabi Shallallahu alaihi wa
sallam . Haditsnya berbunyi :

: : .

Nabi Shallallahu alaihi wa sallam melarang jual beli buah-buahan hingga matang. Ada yang
bertanya, Apa tanda matangnya? Beliau Shallallahu alaihi wa sallam menjawab, Memerah
dan menguning. [Muttafaqun Alaih]
b. Hadits Anas Radhiyallahu anhu juga , beliau berkata:


Nabi melarang menjual anggur hingga berwarna kehitaman dan (melarang) dari jual beli bijibijian hingga masak. [HR Abu Daud, at-Tirmidzi dan Ibnu Mjah dan dishahihkan al-Albni
dalam Shahh Sunan Abi Daud 2/344]
c. Hadits Ibnu Umar Radhiyallahu anhuma , beliau Radhiyallahu anhuma berkata :

:
: .


Raslullh Shallallahu alaihi wa sallam melarang jual beli buah-buahan hingga nampak layak.
Beliau Shallallahu alaihi wa sallam melarang yang jual dan yang membeli. (Dalam lafadz
Imam al-Bukhri) : Apabila Beliau Shallallahu alaihi wa sallam ditanya tentang layaknya,
Beliau Shallallahu alaihi wa sallam menjawab, Hingga hamanya hilang [Mmuttafaqun
Alaihi].
Apabila buah-buahan sudah nampak layak dikonsumsi atau biji-bijian sudah matang, maka
diwajibkan padanya zakat, ini menurut pendapat yang rajih dalam hal ini. Sebagian Ulama
ada yang berpegang kepada keumuman firman Allh Azza wa Jalla pada surat al-Anm ayat
ke-141 untuk mewajibkan zakat pertanian pada saat panennya. Namun mayoritas Ulama
memandang waktu wajibnya zakat pertanian adalah ketika sudah matang dan pada hasil
perkebunan ketika layak konsumsi. [lihat al-Mughni 4/169 dan Hasyiyah ar-Raudh al-Murbi
4/89].
Apa manfaat dari mengetahui waktu kewajiban zakat ini ? Manfaatnya adalah pemilik
seandainya beraktifitas pada buah-buahan atau biji-bijian tersebut sebelum terkena

kewajiban zakat maka dia tidak berdosa. Seperti seseorang yang mengkonsumsi hewan
ternaknya atau menjualnya sebelum genap setahun maka ia tidak mengapa dan tidak dikenai
hukuman apapun. Dia tidak berdosa dengan syarat tidak ada maksud atau niatan untuk lari
dari kewajiban zakat. Apabila ia sengaja melakukan sesuatu dengan niatan dan maksud lari
dari kewajiban zakat maka kewajiban zakat tetap berlaku dan tidak gugur. Tidak akan
dianggap masuk masa wajib zakat hingga hasil bumi tersebut masuk kelumbung atau tempat
penyimpanan. Seandainya hasil bumi tersebut hilang atau berkurang sebelum waktu tersebut
tanpa ada kesengajaan, maka tidak ada zakat padanya (bila tidak sampai sisanya nishab)
walaupun sudah ditebas atau belum. Apabila hilang setelah masuk dalam penyimpanan,
menurut Ibnu Qudmah hukumnya menjadi tanggungannya, karena kewajiban sudah masuk
dalam tanggung jawabnya, sehingga menjadi hutangnya. [lihat al-Mughni, 4/169-171]
Berdasarkan hal ini maka hasil pertanian dan perkebunan memiliki tiga keadaan:
a. Hilang atau lenyap sebelum masa kewajiban zakat yaitu sebelum biji-bijian menjadi masak
dan sebelum buah-buahan layak konsumsi, maka pemiliknya tidak dikenakan apa-apa, baik
ada unsur kesengajaan atau keteledoran atau tanpa keduanya, kecuali bila sengaja untuk lari
dari kewajiban zakat.
b. Hilang atau lenyap setelah masa wajib zakat namun belum sampai disimpan dalam
lumbung atau tempat penyimpanan. Maka hukumnya dirinci, bila karena kesengajaan atau
keteledoran pemilik maka ia wajib mengganti zakat tersebut dan bila tanpa kesengajaan dan
keteledoran maka tidak ada kewajiban mengganti zakat tsrebut.
c. Hilang atau lenyap setelah disimpan, maka imam Ibnu Qudmah rahimahullah menyatakan
wajib menunaikan zakatnya dalam semua keadaan, baik ada kesengajaan atau tidak, karena
zakat sudah masuk masa wajibnya dan menjadi tanggung jawabnya. (al-Mughni 4/170-171).
Sedangkan syaikh Ibnu Utsaimin menyatakan, Yang benar dalam keadaan yang ketiga ini
adalah tidak wajib zakat selama tidak ada unsur kesengajaan atau keteledoran; karena harta
yang ada padanya setelah disimpan ditempat penyimpanan adalah amanah. Apabila ada
kesengajaan atau keteledoran seperti menunda-nunda pembayaran zakatnya sampai harta
tersebut dicuri atau yang sejenisnya, maka ia bertanggung jawab (menggantinya). Apabila
tidak ada kesengajaan atau keteledoran dan telah berusaha semampunya untuk segera
membayarnya namun hilang juga dengan adanya usaha yang benar dalam memelihara dan
menjaganya, maka tidak ada kewajiban menggantinya.[asy-Syarhu al-Mumti 6/82].
UKURAN ZAKAT HASIL PERTANIAN DAN PERKEBUNAN
Ukuran zakat hasil pertanian dan perkebunan ini dapat dirinci dalam 5 keadaan:
1. Diwajibkan mengeluarkan seper sepuluh (10 %) apabila disiram tanpa pembiayaan (tadah
hujan dan sejenisnya), seperti pertanian tadah hujan, pertanian menggunakan sungai dan
mata air
2. Wajib mengeluarkan seperduapuluh (5 %) apabila diairi dengan pembiayaan, berdasarkan
hadits Abdullh bin Umar Radhiyallahu anhuma dari Nabi Shallallahu alaihi wa sallam , Beliau
Shallallahu alaihi wa sallam bersabda:
:

:

Pada pertanian yang tadah hujan atau mata air atau yang menggunakan penyerapan akar
(atsariyan) diambil sepersepuluh dan yang disirami dengan penyiraman maka diambil
seperduapuluh. [HR al-Bukhri]

3. Diwajibkan mengeluarkan 7,5 % apabila diairi dengan pembiayaannya 50 % dan tadah


hujannya 50 %. Hal ini sudah menjadi Ijma (kesepakatan) para Ulama sebagaimana
disampaikan Ibnu Qudmah dalam al-Mughni 4/165. Lihat juga ar-Raudh al-Murbi dengan
Hasyiyah Ibnu Qsim 2/277.
4. Yang diairi dengan pembiayan dan non pembiayaan secara bergantian. Contohnya sawah
yang diairi dengan irigasi yang bayar dan juga terkena hujan, maka dilihat mana yang paling
berpengaruh pada pertumbuhan tanaman tersebut. Bila yang tadah hujan yang labih
dominan maka diwajiban mengeluarkan 10 % dan bila sebaliknya maka diwajibkan 5 % saja.
5. Apabila tidak diketahui ukuran mana yang dominan maka diwajibkan mengeluarkan 10 %,
karena pada asalnya diwajibkan zakat 10 % hingga diketahui dengan jelas bahwa itu diairi
dengan pembiayaan. (al-Mughni 4/166).
Demikian beberapa hukum seputar zakat hasil pertanian dan perkebunan, semoga
bermanfaat

Anda mungkin juga menyukai