Masa pemerintahan Orde Baru dengan sistem kontrol politik yang ketat,
telah mengabaikan kebebasan individu dan kelompok sosial untuk
mengungkapkan diri secara penuh. Di samping itu, rezim otoriter Orde Baru
yang represif tidak menghiraukan hak-hak kelompok minoritas atau
kelompok-kelompok sosial untuk diakui menurut keadaan dan situasi
mereka. Sejarah telah membuktikan bahwa sistem politik otoritarianisme
yang mengagung-agungkan prinsip kekuasaan absolut dan homogen tidak
akan bertahan lama.
Sejak persitiwa Mei 1998 yang ditandai dengan dengan keruntuhan rezim
Soeharto, arus reformasi mengalir deras ke segala arah dan meresap ke
semua pelosok tanah air. Arus reformasi itu menyentuh kelompok atau orang
dari kalangan yang berbeda agama, etnis, budaya, bahasa, adat dan
sebagainya. Sebagai akibat, terjadilah semacam politik keterbukaan yang
membawa dampak perubahan politik pada seluruh domain kehidupan.
Secara umum kita menyaksikan ledakan kuat untuk berpartisipasi dan
tuntutan dahsyat untuk mendapat pengakuan akan hak-hak serta identitas
dari kelompok yang berbeda-beda. Sekali lagi, ledakan ini terjadi hampir di
semua lapisan masyarakat dan di seluruh pelosok tanah air.
1
Kita tahu bahwa tuntutan untuk menghormati diversitas kultural sebagai
bagian dari politik identitas lahir dari reaksi terhadap pengabaian hak-hak
kelompok minoritas dalam sejarah. Pengabaian seperti ini telah
menimbulkan ancaman separasi atau pemisahan diri. Apalagi dalam jargon
politik, kategori minoritas selalu dipertentangkan dengan yang mayoritas,
dan kelompok minoritas selalu dikonotasikan sebagai yang tidak berdaya,
yang tidak berpengaruh, yang kalah, yang terpinggir, yang terpencil, yang
digolongkan sebagai masyarakat kelas dua, dan lain sebagainya. Ekslusifitas
politik semacam ini berdampak pada politik pengabaian, khususnya
pengabaian terhadap kelompok-kelompok etnis, agama, budaya dan nilai-
nilai tertentu. Kecenderungan politik seperti ini juga tampak paling kuat
dalam tindakan-tindakan untuk menyingkirkan, meminggirkan,
mengucilkan, mengasingkan dan menendang keluar semua kelompok
minoritas atau kelompok yang berbeda.
Hal yang penting adalah kita harus menyadari dan mengakui dilemma
berdemokrasi ini agar kita sanggup menemukan pengertian –pengertian baru
yang lebih kreatif sebagai bentuk identitas politik kita. Kita tidak perlu
memperkokoh identitas kita lewat homogenitas yang artificial belaka
sebagai dasar untuk hidup bersama dalam damai. Yang kita butuhkan adalah
2
adanya pengalaman akan identitas nasional yang berbeda-beda dan memberi
ruang yang bebas, setara dan fair dalam setiap ekspresi politis. Identitas
politik harus dibangun, dinegoisasi, dan secara kreatif dirancang bersama
oleh semua rakyat yang mempunyai kehendak baik demi kehidupan
bersama. Tentu hal ini hanya mungkin berlangsung di bawah the same
political roof. Politik demokratis harus sanggung menciptakan satu atap
kehidupan sebagai tempat bernaung bagi semua orang dan sebagai tempat
untuk sharing identitas bersama dari segala macam perbedaan.
3
Diskursus tentang hak yang muncul pada masa pasca-Orde Baru adalah
diskursus tentang hak kewatganegaraan. Dan hak kepemilikan budaya. Pada
masa rezim Orde Baru, negara memegang peranan yang sangat kuat dalam
penafsiran tentang hak kewarganegaraan. Dalam ruang politik negara, hak
kewarganegaraan diatur secara ketat dengan menggunakan perangkat
perundang-undangan yang pada satu sisi menghapuskan perbedaan etnisitas,
tapi pada sisi lain memperkuat perbedaan agama. Perlu dicatat pula bahwa
rezim Orde Baru tidak sekadar menciptakan perangkatan peraturan itu,
dalam banyak hal rezim Orde Baru justru mengulang kebijakan di bidang
hukum yang telah dipakai oleh pemerintah kolonial Belanda.
4
untuk jurnal tersebut, Profesor Leonard Blusse, mengatakan bahwa
keberadaan orang-orang Tionghoa di Indonesia akan selalu menjadi
persoalan yang hangat untuk dibicarakan dan merupakan bahan studi
akademik yang tidak akan pernah habis dikaji. Lantas, faktor apa saja yang
membuat keberadaan mereka begitu penting bagi bangsa ini? Mengapa
keberadaan mereka vital ?
Salah satu isu penting yang terkait dengan “masalah Cina” adalah persoalan
diskriminasi. Diskriminasi terhadap etnis Tionghoa di Indonesia masih
menjadi persoalan serius hingga hari ini. Pelecehan dan kekerasaan terhadap
mereka sudah menjadi sesuatu yang terlanjur dianggap wajar. Mereka pun
seolah-olah tidak memiliki cara lain untuk menghadapi situasi tersebut,
selain menerimanya dengan pasrah dan menganggapnya sebagai takdir
sosial yang harus ditanggung oleh golongan minoritas asing. Paling-paling
mereka hanya bisa menggerutu di belakang ketika diperlakukan tidak adil,
misalnya dijarah harta bendanya, dan mereka tetap tak punya cukup kuasa
untuk mengubahnya. Meski kehadiran mereka di Nusantara sudah berabad-
abad lamanya, tidak sedikit masyarakat pribumi yang masih memandang
mereka sebagai orang asing yang belum mampu melakukan pembauran
dalam kehidupan masyarakat pribumi.
5
penyerangan dan pembakaran dalam kerusuhan tersebut dimulai dengan
pengerusakan dan penjarahan terhadap toko-toko dan rumah-rumah milik
orang-orang keturunan Tionghoa.
6
Tragedi-tragedi sejarah yang menimpa orang-orang Tionghoa di Indonesia
secara langsung mempengaruhi proses pencarian identitas mereka. Mereka
merasa berada di persimpangan jalan, kebingungan harus memilih jalan
mana yang dapat mengantarkan mereka untuk lebih bisa diterima sebagai
bagian dari masyarakat Indonesia. Bahrun R dan B Hartanto melihat telah
terjadi krisis identitas di kalangan orang Tionghoa, karena segala upaya yang
telah mereka lakukan untu bisa diterima sebagai orang Indonesia hancur
berantakan dalam waktu singkat sering meletusnya tragedi Mei 1998.
Thung Ju Lan menemukan setidak-tidaknya ada empat orientasi
pembentukan identitas pada orang-orang Tionghoa Indonesia. Pertama;
mereka yang menganggap bahwa dirinya adalah orang Tionghoa dan akan
selalu menjadi orang Tionghoa. Kedua, mereka yang merasa telah berhasil
berasimilasi ke dalam masyarakat Indonesia. Ketiga, mereka yang merasa
telah mampu melampaui batas-batas etnis, budaya, dan negara. Keempat,
mereka yang menolak proses identifikasi diri berdasarkan motif-motif
budaya dan politik.
Selama 30 tahun masa pemerintahan rezim Orde Baru yang otoriter, akibat
peraturan yang berlaku pada waktu itu, orang Tionghoa tidak dapat
melakukan kegiatan apa pun di bidang politik. Terjadi sebuah sikap yang
sama tampak pada hampir semua kelompok orang di Indonesia. Orang-orang
Tionghoa kemudian mengalihkan kegiatan mereka kepada bidang ekonomi,
satu-satunya bidang kehidupan yang masih terbuka bagi mereka. Perlahan-
lahan, mereka mengubah diri mereka menjadi economic animal yang pada
gilirannya menimbulkan rasa marah di kalangan orang-orang non-Tionghoa
Sikap apolitik di kalangan orang Tionghoa telah membuat diri mereka
benar-benar antipolitik, sedemikian rupa sehingga mereka menjauhi segala
sesuatu yang “berbau politik“. Sikap antipolitik inilah yang kini tertanam
dalam-dalam yang sulit sekali untuk diatasi.
Masa sesudah jatuhnya Soeharto dan Orde Baru pada Mei 1998 terjadilah
perubahan besar. Seiring dengan perubahan atmosfer politik di seluruh
Indonesia, dari otoritarianisme ke demokrasi, kelompok orang Tionghoa
juga ikut terjun dalam perubahan itu. Begitu banyak orang yang semula
apolitik dan antipolitik serentak menjadi aktivis-aktivis yang
memperjuangkan berbagai macam hak warga negara orang Tionghoa yang
dicabut selama pemerintahan Orde Baru. Hal ini terjadi berbarengan dengan
berbagai kelompok lain yang juga ditindas selama periode yang sama.
7
Di dalam periode Pasca Reformasi terjadilah aktivisme politik orang
Tionghoa yang didefinisikan sebagai semua kegiatan untk mengembalikan
hak-hak warga negara, baik secara terorganisasi maupun yang tidak, baik
yang bersifat sementara maupun jangka panjang. Hak-hak warga negara
yang dimaksud adalah hak-hak sipil, hak politik, dan hak sosial. Selama
Orde Baru, orang Tionghoa hanya menikmati sebagian kecil dari hak-hak itu
sedemikian kecil sehingga terasa ada diskriminasi.
Aktivisme politik orang Tionghoa ini diarahkan untuk memperoleh hak sipil,
hal politik, dan hak sosial secara penuh. Namun untuk sampai ke situ,
beberapa antara mereka merasa harus terlebih dahulu menuntut pengakuan
tempat dalam sejarah perjuangan bangsa. Perjuangan menuntut kembali
hak-hak terjadi sesudah atau berbarengan dengan perjuangan pengakuan
tempat dalam sejarah.
8
Ada banyak peraturan di Indonesia yang bersifat diskriminatif, baik yang
dibuat pada masa kolonial maupun yang diciptakan pada masa-masa sesudah
kemerdekaaan. Pada masa Orde Baru sendiri diterbitkan tidak kurang dari 64
produk hukum yang berciri diskriminatif. Dengan aneka peraturan dan
undang-undang yang diskriminatif itu, kelompok etnis Tionghoa benar-
benar hanya mempunyai ruang kebebasan yang amat sempit. Kehidupan
mereka yang semestinya ditandai oleh pesta-pesta dari tradisi mereka, tidak
ada lagi. Merreka yang tak mampu berbahasa Indonesia dan hanya bisa
berbahasa Mandarin terpaksa tidak mendapatkan akses berita apa pun.
Anak-anak mereka tidak lagi diajari bahasa Mandarin karena sekolah
semacam itu harus ditutup. Nama-nama Tiongkok dihilangkan, diganti
dengan “nama Indonesia” yang menghilangkan karakteristik sistem nama
mereka. Yang dirasakan tidak kalah diskriminatif adalah pada kartu
penduduk yang diberikan tanda khusus.
Yang paling panas diperdebatkan adalah masalah SKBRI atau Surat Bukti
Kewarganegaraan Indonesia, sebuah sistem yang muncul pada tahun 1980.
Surat ini dituntut untuk semua urusan dengan birokrasi, tidak cukup dengan
kartu tanda penduduk, sebagaimana diterapkan pada warga negara lainnya.
Beberapa aktivis Tionghoa mengambil masalah ini sebagai agenda
perjuangan mereka, di antaranya adalah Tan Joe Hok pemain bulu tangkis
Indonesia pertama yang memenangani Piala All England pada tahun 1959.
Banyak dari pemain bulu tangkis itu yang adalah orang Tionghoa dan
9
berjasa membawa nama Indonesia ke dunia internasional, tetapi mengalami
kesulitan sehubungan dengan SKBRI.
Yang menarik dari kasus SBKRI ini adalah bahwa jelas-jelas ada undang-
undang yang tidak mewajibkan SBKRI bagi kelompok etnis Tionghoa,
tetapi di beberapa tempat di Indonesia, untuk berbagai keperluan
administratif (surat kelahiran, paspor, dan sebagainya) masih diminta
SKBRI. Para aktivis itu menyaksikan bagaimana para pejabat kecil di
tingkat daerah sama sekali tidak memedulihkan undang-undang yang lebih
tinggi dan menjalankan sendiri kebijakan yang sudah dibatalkan.
Nama popular Alan Budikusuma dan Susi Susanti ternyata tidak banyak
berpengaruh di meja kantor imigrasi. Dua orang pertama Indonesia yang
meraih medali emas Olimpiade ( cabang bulu tangkis di Barcelona 1992 ) itu
tetap saja ketanggor masalah ketika hendak mengurus paspor bulan Juli
2004 yang lalu. Pasangan suami istri itu didaulat Konfederasi Olimpiade
Internasional untuk membawa obor dalam Olimpiade Yunani di Athena
yang dibuka pada bulan Agusrus 2004. Itulah pertama kalinya warga negara
Indonesia menerima penghormatan luar biasa itu. Tapi kehormatan sebagai
duta bangsa di event paling akabar di dunia itu tidak berarti banyak di mata
petugas Kantor Imigrasi Jakarta Utara. Keduanya tetap diminta melampirkan
surat bukti kewarganegaraan Republik Indonesia (SBKRI) – persyaratan
lama yang sudah dicabut pemerintah. Meski sempat diminta menunjukkan
SBKRI – sebuah dokumen identitas berbentuk seperti buku paspor –
urusannya mereka akhirnya beres. Tak semua warga keturunan Tionghoa
mendapat keistimewaan seperti itu.
10
Sejak bergulirnya era Reformasi telah lahir kesadaran di kalangan orang-
orang Tionghoa Indonesia untuk meramaikan kembali kancah politik
nasional, mengingat sepanjang pemerintahan Orde Baru hak-hak politik dan
budaya mereka tidak mendapatkan penyaluran yang memadai. Sebut saja,
Partai Reformasi Tionghoa Indonesia (PARTI), Partai Bhineeka Tunggal Ika
(PBI) dan Partai Pembauran Indonesia (Parpindo). Namun sangat sedikit di
antara partai-partai politik yang dikomndani oleh orang Tionghoa tersebut
menunai kesuksan berarti. Kecenderungan tersebut, sebagaimana dikatakan
Thee Kian Wie, merupakan tanda-tanda postif bagi perbaikan kehidupan dan
masa depan orang Tionghoa di Indonesia, namun satu hal yang membuatnya
nampak kurang begitu nyaman dengan fenomena tersebut adalah terkait
dengan penonjolan yang berlebihan terhadap ciri-ciri ketionghoan dalam
partai-partai yang ada, karena seolah-olah mereka hanya mewakili
kepentingan orang-orang Tionghoa saja, selain juga bisa memicu munculnya
kembali penilaian berbau rasial dari kelompok pribumi.
11
“asimilasi“ tidak lagi mengarah pada pelenyapan identitas ketionghoan,
sehingga menjadi momok yang menakut bagi masyarakat Tionghoa
Indonesia, melainkan telah mengalami pergerseran makna menuju
pemahaman yang lebih sesuai dengan konteks keindonesian pasca Orde
Baru.
12
Dampak positif dari gelombang perubahan di atas adalah terbukanya
peluang untuk mendefinisikan kembali keindonesian secara lebih multi
kultural, yang bisa mengakui dan menjamin hak-hak sretiap kelkompok
untuk mengekspresikan dirinya dalam bungkus spirit keadilan dan
kesetaraan. Jika pada zaman Orde Baru identitas keindonesian yang
ditampilkan oleh orang-orang Tionghoa lebih bernuansa ketakutan terhadap
tekanan politik asimilasi pemerintah sehingga memunculkan fenomena “
kapok untuk menjadi nonpri”, maka di Indonesia Pasca Orde Baru
kondisinya berubah dratis. Kondisi ini selanjutnya membuat orang-orang
Tionghoa mencoba merumuskan keindonesian baru yang mampu mengakui
dan menampung unsur-unsur ketionghoan di dalamnya. Ketionghoan dan
keindonesian bukan lagi dua ranah yang perlu dipertentangkan. Sudah
semestinya ia didudukan sebagai salah satu khazanah dalam
multikulturalisme Indonesia, sebagaimana kejawaan, kesundaan,
kemingkabauan, kebatakan, dan seterusnya, yang bisa saling menopang satu
dengan yang lainnya. Suara-suara yang disampaikan oleh mereka berikut ini
munhgkin bisa dilihat sebagai representasi atau setidak-tidaknya tanda-tanda
– dari gejala umum yang sedang berlangsung di Indonesia pasca-Orde Baru,
yang mengindikasikan harapan besar terhadap Indonesia yang multibudaya.
13
pemerintahan pasca Orde Baru, konsep Indonesia sebagai negara yang di
dalamnya bernaung berbagai kelompok suku bangsa menjadi pulih kembali,
di mana etnis Tionghoa merupakan salah satu di antaranya, bersanding
dengan etnis-etnis lainnya.
14
misalnya adanya toleransi dan pengakuan terhadap eksistensi masing-
masing kelompok. Karena bagaimanapun juga, hanya dalam suasana
hubungan sosial yang dijiwai semangat toleransi, identitas kelompok akan
mampu berkembang menjadi lebih inklusif, sementara dalam hubungan
sosial yang penuh prasangka, identitas kelompok cenderung menjadi lebih
ekslusif.
Pengakuan dan penghargaan pada yang lain dan berbeda adalah dasar utama
pluralisme kewargaan. Dalam tataran hidup keseharian, ukuran rekognisi
dilihat dari sejauhmana entitas-entitas yang plural dalam masyarakat
menghormati dan mengakui perbedaan dan keragaman. Pengakuan ini tak
terbatas pada toleransi, yang sekadar membiarkan liyan hidup sendiri,
melainkan menghargai keberadaan kelompok lain yang berbeda dalam relasi
antarkelompok. Dalam tataran politik formal, rekognisi dilihat dari
sejauhmana negara (pada tingkat nasional maupun lokal) menghormati dan
mengakui perbedaan dan keragaman dalam masyarakat. Sejauh mana
konsitusi mengekpresikan pengakuan itu, dan sejauh mana kebijakan-
kebijakan negara menegaskan jaminan konsitusi tersebut ? Pengakuan ini
tentu bukan hanya dalam konteks hak-hak sipil dan politik, melainkan pada
hak-hak sosial, ekonomi, dan kultural. Kebijakan yang bersifat
menyeragamkan dan diskriminatif adalah bentuk pelanggaran prinsip ini
oleh negara (sekali lagi, dalam tingkat nasional maupun lokal).
15
Makalah ini dipresentasikan dalam Acara Diseminasi Hak-hak Sipil dan
Kewajiban Warga Negara, yang diselenggarakan oleh Subdit Pembauran dan
Kewarganegaraan Direktorat Bina Ideologi dan Wawasan Kebangsaan
Kementerian Dalam Negeri di Hotel Arya Duta, 19 Juli 2012.
Bibliografi
Tim ICCE UIN Jakarta. 2003 Demokrasi, Hak Asasi Manusia dan
Masyarakat Madani. Jakarta : Prenada Media.
16
Wibowo, I dan Thung Ju Lan ( Ed). 2010 . Setelah Air Mata Kering.
Masyarakat Tionghoa Pasca-Peristiwa Mei 1998. Jakarta :
Penerbit Buku Kompas
17