Anda di halaman 1dari 17

Peter Kasenda

Etnis Tionghoa di Era Reformasi


Pendekatan Multikulturalisme

Masa pemerintahan Orde Baru dengan sistem kontrol politik yang ketat,
telah mengabaikan kebebasan individu dan kelompok sosial untuk
mengungkapkan diri secara penuh. Di samping itu, rezim otoriter Orde Baru
yang represif tidak menghiraukan hak-hak kelompok minoritas atau
kelompok-kelompok sosial untuk diakui menurut keadaan dan situasi
mereka. Sejarah telah membuktikan bahwa sistem politik otoritarianisme
yang mengagung-agungkan prinsip kekuasaan absolut dan homogen tidak
akan bertahan lama.

Sejak persitiwa Mei 1998 yang ditandai dengan dengan keruntuhan rezim
Soeharto, arus reformasi mengalir deras ke segala arah dan meresap ke
semua pelosok tanah air. Arus reformasi itu menyentuh kelompok atau orang
dari kalangan yang berbeda agama, etnis, budaya, bahasa, adat dan
sebagainya. Sebagai akibat, terjadilah semacam politik keterbukaan yang
membawa dampak perubahan politik pada seluruh domain kehidupan.
Secara umum kita menyaksikan ledakan kuat untuk berpartisipasi dan
tuntutan dahsyat untuk mendapat pengakuan akan hak-hak serta identitas
dari kelompok yang berbeda-beda. Sekali lagi, ledakan ini terjadi hampir di
semua lapisan masyarakat dan di seluruh pelosok tanah air.

Indonesia sebagai negara yang bertaburan etnik, agama, bahasa, budaya,


kelompok sosial dan nilai memiliki tantangan tersendiri. Tantangan yang
paling utama adalah bagaimana meramu segala emtitas perbedaan yang
incommensurable itu menjadi suatu tatanan masyarakat yang demokratis.
Tentu, tantangan ini bukan saja tugas yang harus dipikul oleh politik.
Walaupun kita menyadari bahwa panggilan politik adalah menata kehidupan
bersama dan berjuang untuk meramu segala perbedaan menjadi suatu well-
ordered-society. Tampaknya, kita selalu berhadapan dengan dilemma politik
bahwa mengakui dan menghormati segala perbedaan dan identitas kelompok
pada gilirannya memberi atau menciptakan ruang bagi perpecahan atau
desintegrasi.

1
Kita tahu bahwa tuntutan untuk menghormati diversitas kultural sebagai
bagian dari politik identitas lahir dari reaksi terhadap pengabaian hak-hak
kelompok minoritas dalam sejarah. Pengabaian seperti ini telah
menimbulkan ancaman separasi atau pemisahan diri. Apalagi dalam jargon
politik, kategori minoritas selalu dipertentangkan dengan yang mayoritas,
dan kelompok minoritas selalu dikonotasikan sebagai yang tidak berdaya,
yang tidak berpengaruh, yang kalah, yang terpinggir, yang terpencil, yang
digolongkan sebagai masyarakat kelas dua, dan lain sebagainya. Ekslusifitas
politik semacam ini berdampak pada politik pengabaian, khususnya
pengabaian terhadap kelompok-kelompok etnis, agama, budaya dan nilai-
nilai tertentu. Kecenderungan politik seperti ini juga tampak paling kuat
dalam tindakan-tindakan untuk menyingkirkan, meminggirkan,
mengucilkan, mengasingkan dan menendang keluar semua kelompok
minoritas atau kelompok yang berbeda.

Pluralitas, perbedaan, diversitas tidak lagi dilihat sebagai kekayaan atau


sebagai mata rantai yang memperkokoh rasa kesatuan, tetapi malah
dianggap sebagai ancaman yang dapat mencederai demokrasi dan toleransi.
Pada hakikatnya, demokrasi mengandung nilai-nilai yang inklusif karena
demokrasi mempertemukan segala yang berbeda atau yang berlainan melalui
suatu konsepsi politik yang disebut warga negara. Kita tahu bahwa
inklusivitas demokrasi ditandai oleh “the goverment of all the people“.
Penekanan pada aspek “ semua rakyat “ di sini hendaklah dilihat sebagai ciri
identitas kolektif yang kuat dan demokrasi. Demokrasi menuntut solidaritas
dan komitmen bersama dari semua rakyat dengan tingkatan toleransi
multikultural yang tinggi. Tuntutan agar demokrasi menjadi lebih optimal
hanya mungkin terjadi apabila semua rakyat akan dapat mengenal satu sama
lain, dan memiliki cita rasa akan komitmen terhadap orang lain. Oleh karena
itu, nilai-nilai seperti saling pengertian, saling menaruh kepercayaan dan
komitmen timbal balik harus senantiasa diperbaharui atau dirumuskan secara
baru. Ini semua bukan hal yang gampang dalam berpolitik. Kita selalu
tergoda untuk jatuh kermbali kedalam cara-cara yang lama sambil
menyangkal setiap problem dan situasi politik yang nyata. Ini menyebabkan
dilemma dalam berdemokrasi.

Hal yang penting adalah kita harus menyadari dan mengakui dilemma
berdemokrasi ini agar kita sanggup menemukan pengertian –pengertian baru
yang lebih kreatif sebagai bentuk identitas politik kita. Kita tidak perlu
memperkokoh identitas kita lewat homogenitas yang artificial belaka
sebagai dasar untuk hidup bersama dalam damai. Yang kita butuhkan adalah

2
adanya pengalaman akan identitas nasional yang berbeda-beda dan memberi
ruang yang bebas, setara dan fair dalam setiap ekspresi politis. Identitas
politik harus dibangun, dinegoisasi, dan secara kreatif dirancang bersama
oleh semua rakyat yang mempunyai kehendak baik demi kehidupan
bersama. Tentu hal ini hanya mungkin berlangsung di bawah the same
political roof. Politik demokratis harus sanggung menciptakan satu atap
kehidupan sebagai tempat bernaung bagi semua orang dan sebagai tempat
untuk sharing identitas bersama dari segala macam perbedaan.

Kebijakan politik diversitas di Indonesia telah lama memilih Bhineka


Tunggal Ika sebagai prinsip dasar. Secara kultural, prinsip kebhinekaan itu
tidak hanya dimengerti sebagai multiplisitas jumlah, tetapi harus dipahami
juga menurut kandungan makna “diversitas “ atau “ yang lain “. Penekanan
pada multilisitas jumlah akan membawa kita kepada pluralisme. Sedangkan
penekanan pada diversitas akan mengantar kita pada selangkah lebih maju
daripada sekadar mencapai pemahaman multiplisitas jumlah atau pluralisme
itu sendiri, yakni mencapai pengakuan dan menumbuhkan respek terhadap
perbedaan-perbedaan yang incommensurable. Oleh karena itu, kebhinekaan
di sini harus kita pahami bukan hanya dalam arti keberagaman, melainkan
dalam pengertian sebagai perbedaan-perbedaan subtansial yang tidak boleh
direduksi menjadi satu atau dipaksakan menjadi satu kesatuan.

Yang menjadi pekerjaan rumah saat ini adalah bagaimana kita


menerjemahkan kebhinekaan dalam ruang demokrasi yang dilandasi oleh
toleransi. Di tengah perbedaan, kita tidak bisa memaksakan segala
comprehensive doctrine dari latar belakang moral, agama dan pandangan
hidup yang berlainan. Yang bisa kita lakukan adalah menerjemahkan semua
doktrin komprehensif yang berbeda-beda kedalam suatu forum politik publik
dengan berlandaskan pada prinsip nalar politik yang bisa diterima oleh
semua pihak. Tentu, prinsip dasar reasonable pluralism – pluralisme yang
waras sangat penting dalam mengembangkan nalar publik untuk suatu
justifikasi politik yang baik. Ini adalah salah satu bentuk dari kewajiban
keadaban publik yang kita kembangkan dalam pluralisme dan demokrasi.

Di jaman globalisasi ini diperlukan kesanggupan untuk mengolah dan


menata segala bentuk perbedaan itu. Seringkali, perbedaan yang tidak dapat
ditata secara baik menjadi sumber konflik, apalagi kalau perbedaan itu
dijadikan sebagai dasar pembedaan segala tindakan, perbuatan, tutur kata,
keyakinan, dan lain-lain. Kita harus mengakui hak untuk berbeda, tetapi kita
juga harus memiliki kewajiban untuk berintegrasi.

3
Diskursus tentang hak yang muncul pada masa pasca-Orde Baru adalah
diskursus tentang hak kewatganegaraan. Dan hak kepemilikan budaya. Pada
masa rezim Orde Baru, negara memegang peranan yang sangat kuat dalam
penafsiran tentang hak kewarganegaraan. Dalam ruang politik negara, hak
kewarganegaraan diatur secara ketat dengan menggunakan perangkat
perundang-undangan yang pada satu sisi menghapuskan perbedaan etnisitas,
tapi pada sisi lain memperkuat perbedaan agama. Perlu dicatat pula bahwa
rezim Orde Baru tidak sekadar menciptakan perangkatan peraturan itu,
dalam banyak hal rezim Orde Baru justru mengulang kebijakan di bidang
hukum yang telah dipakai oleh pemerintah kolonial Belanda.

Dalam undang-undang kewargaan di Indonesia, perdebatan tentang


komunitas Tionghoa adalah perdebatan yang sarat dengan kepentingan
politik. Hal ini terjadi tak hanya pada masa pasca kolonial Indonesia, tetapi
juga saat pemerintah kolonial Belanda masih bercokol di bumi nusantara.
Sejak masa itu, posisi komunitas Tionghoa selalu berada pada ruang abu-abu
yang ada di antara pengusaha dan penduduk “pribumi“. Pemerintah kolonial
maupun pemerintah Orde Lama dan Orde Baru memerlukan komunitas
Tionghoa sebagai pelaku ekonomi, tetapi enggan memberikan atau
mengakui status kewarganegaraan penuh bagi mereka. Hanya setelah
Abdurrachman Wahid menjadi presiden, komunitas Tionghoa memperoleh
kesempatan akses terhadap hak-hak kewarganegaraan, seperti misalnya hak
pendidikan dan hak kesetaraan dalam urusan birokrasi negara, meskipun
sampai saat ini, sebagaimana dikatakan Thung Ju Lan, pelaksanan di
lapangan masih tidak banyak perubahan dari masa sebelumnya.

Pada Juli 1990 Cornell University, Amerika Serikat mengadakan seminar


yang bertema The Role of the Indonesian Chinese in Shaping Modern
Indonesian Life. Seminar ini kemudian menghasilkan publikasi jurnal
Indonesia, terbitan Cornell University, edisi spesial issue Juli 1991.
Didalamnya terhimpun tulisan-tulisan para Sinolog yang terkemuka, yang
membahas isu-isu penting terkait keberadaan masyarakat Tionghoa di
Indonesia, baik pembahasan aspek sejarah, politik, ekonomi, hukum, bahasa,
maupun kesusasteraan. Meski secara khusus seminar ini tidak dimaksudkan
untuk membahas “masalah Cina“ di Indonesia, namun tulisan-tulisan dalam
publikasi tersebut jelas memperlihatkan betapa pentingnya peran mereka
dalam proses pembentukan keindonesiaan.

Lantaran sedemikian pentingnya peran dan posisi orang-orang Tionghoa


dalam perjalanan bangsa ini, tidak berlebihan jika dalam kata pengantar

4
untuk jurnal tersebut, Profesor Leonard Blusse, mengatakan bahwa
keberadaan orang-orang Tionghoa di Indonesia akan selalu menjadi
persoalan yang hangat untuk dibicarakan dan merupakan bahan studi
akademik yang tidak akan pernah habis dikaji. Lantas, faktor apa saja yang
membuat keberadaan mereka begitu penting bagi bangsa ini? Mengapa
keberadaan mereka vital ?

Meskipun secara kualitatif golongan etnis Tionghoa merupakan minoritas


dibandingkan dengan kelompok-kelompok etnis lain di Indonesia, namun
secara kualitatif dampak yang mereka timbulkan begitu serius. Sinolog
Universitas Indonesia Ignatius Wibowo memperkirakan sekitar 3% dari
penduduk Indonesia, sementara mantan Menteri Agama Tarmizi Taher yang
mempunyai perhatian dengan isu-isu Tionghoa, mengajukan taksiran yang
lebih tinggi, yakni antara 4-5% dari keseluruhan penduduk Indonesia.
Kendati jumlah etnis Tionghoa di Indonesia relatif kecil, namun peran
mereka bisa dibilang begitu besar, terutama di sektor ekonomi.

Salah satu isu penting yang terkait dengan “masalah Cina” adalah persoalan
diskriminasi. Diskriminasi terhadap etnis Tionghoa di Indonesia masih
menjadi persoalan serius hingga hari ini. Pelecehan dan kekerasaan terhadap
mereka sudah menjadi sesuatu yang terlanjur dianggap wajar. Mereka pun
seolah-olah tidak memiliki cara lain untuk menghadapi situasi tersebut,
selain menerimanya dengan pasrah dan menganggapnya sebagai takdir
sosial yang harus ditanggung oleh golongan minoritas asing. Paling-paling
mereka hanya bisa menggerutu di belakang ketika diperlakukan tidak adil,
misalnya dijarah harta bendanya, dan mereka tetap tak punya cukup kuasa
untuk mengubahnya. Meski kehadiran mereka di Nusantara sudah berabad-
abad lamanya, tidak sedikit masyarakat pribumi yang masih memandang
mereka sebagai orang asing yang belum mampu melakukan pembauran
dalam kehidupan masyarakat pribumi.

Masalah diskriminasi sosial kembali mengemuka ketika tragedi Mei 1998


meletus, menandai lahirnya Orde Reformasi. Kerusuhan yang terjadi pada
tanggal 13-15 Mei 1998 ini berlangsung secara sporadik, terutama Jakarta
dan Solo. Kerusuhan yang menandai pergantian era kekuasaan di Indonesia
menelan kerugian yang tidak sedikit, khususnya bagi orang-orang Tionghoa.
Apakah kerusuhan tersebut secara langsung ditujukan kepada mereka, masih
menjadi pertanyaan yang samar jawabannya, tetapi bahwa mereka pihak
yang paling menderita dan menjadi korban kerusuhan tersebut adalah
sesuatu yang tidak dapat dipungkiri. Banyak ditemukan fakta bahwa

5
penyerangan dan pembakaran dalam kerusuhan tersebut dimulai dengan
pengerusakan dan penjarahan terhadap toko-toko dan rumah-rumah milik
orang-orang keturunan Tionghoa.

Jika kita menengok ke belakang, sebenarnya tragedi Mei 1998 bukanlah


satu-satunya tragedi yang menimpa etnis Tionghoa di Indonesia.
Sebelumnya telah tercatat daftar panjang kekerasaan terhadap mereka di
negeri ini. Sebut saja peristiwa pembantaian massal orang-orang Tionghoa
oleh VOC di Batavia tahun 1740 yang menelan korban jiwa mencapai
10.000 orang. Peristiwa rasialis pada 19 Mei 1963 di Jawa Barat dan
pembunuhan orang-orang Tionghoa yang diduga terlibat dalam peristiwa
G30S juga menambah panjang daftar tragedi yang menimpa orang-orang
Tionghoa di negeri ini. Fakta-fakta sejarah tersebut sebenarnya
menunjukkan bahwa persoalan-persoalan sosial yang berhubungan dengan
keberadaan etnis Tionghoa di Indonesia atau biasa disebut “masalah Cina”
bukanlah persoalan yang sama sekali baru.

Hingga sekarang, kesenjangan antara etnis Tionghoa dengan etnis pribumi


dalam hal penguasaan sumber-sumber ekonomi masih menjadi pemicu
utama munculnya stereotip-stereotip negatif terhadap orang-orang Tionghoa
di Indonesia. Mereka sering dipersepsikan sebagai golongan yang pelit dan
serakah oleh masyarakat pribumi. Cara mengindentifikasikan pihak lain
berdasarkan inisial-inisial khusus, misalnya warna kulit, ciri kelompok, ras,
dan sebagainya memang cenderung rentan melahirkan prasangka-prasangka
tertentu. Menurut Araya dan kawan-kawan, prasangka terhadap pihak lain
mudah muncul ketiika individu-individu memiliki referensi-referensi insial
yang sudah tertanam kuat dalam skema kognitifnya. Hal ini membentuk
bank data yang tersusun dari ciri-ciri pihak terkait sehingga sewaktu-waktu
ada persitiwa yang mengaktifkannya misalnya kerusuhan massa, maka
dalam seketika semua ciri-ciri itu terlintas dalam kognisi.

Bila dibandingkan dengan nasib saudara-saudara mereka yang tinggal di


negara tetangga seperti Filipina atau Thailand, orang-orang Tionghoa di
Indonesia memang belum menemukan format kehidupan bersama yang
tepat. Jika di negara-negara tersebut orang-orang Tionghoa relatif sudah
diakui sebagai warga pribumi, di Indonesia yang terjadi justru sebaliknya.
Meskipun sudah ratusan tahun lamanya tinggal di negeri ini, masyarakat
pribumi tetap saja menganggap mereka sebagai perantau asing yang sekedar
menumpang hidup.

6
Tragedi-tragedi sejarah yang menimpa orang-orang Tionghoa di Indonesia
secara langsung mempengaruhi proses pencarian identitas mereka. Mereka
merasa berada di persimpangan jalan, kebingungan harus memilih jalan
mana yang dapat mengantarkan mereka untuk lebih bisa diterima sebagai
bagian dari masyarakat Indonesia. Bahrun R dan B Hartanto melihat telah
terjadi krisis identitas di kalangan orang Tionghoa, karena segala upaya yang
telah mereka lakukan untu bisa diterima sebagai orang Indonesia hancur
berantakan dalam waktu singkat sering meletusnya tragedi Mei 1998.
Thung Ju Lan menemukan setidak-tidaknya ada empat orientasi
pembentukan identitas pada orang-orang Tionghoa Indonesia. Pertama;
mereka yang menganggap bahwa dirinya adalah orang Tionghoa dan akan
selalu menjadi orang Tionghoa. Kedua, mereka yang merasa telah berhasil
berasimilasi ke dalam masyarakat Indonesia. Ketiga, mereka yang merasa
telah mampu melampaui batas-batas etnis, budaya, dan negara. Keempat,
mereka yang menolak proses identifikasi diri berdasarkan motif-motif
budaya dan politik.

Selama 30 tahun masa pemerintahan rezim Orde Baru yang otoriter, akibat
peraturan yang berlaku pada waktu itu, orang Tionghoa tidak dapat
melakukan kegiatan apa pun di bidang politik. Terjadi sebuah sikap yang
sama tampak pada hampir semua kelompok orang di Indonesia. Orang-orang
Tionghoa kemudian mengalihkan kegiatan mereka kepada bidang ekonomi,
satu-satunya bidang kehidupan yang masih terbuka bagi mereka. Perlahan-
lahan, mereka mengubah diri mereka menjadi economic animal yang pada
gilirannya menimbulkan rasa marah di kalangan orang-orang non-Tionghoa
Sikap apolitik di kalangan orang Tionghoa telah membuat diri mereka
benar-benar antipolitik, sedemikian rupa sehingga mereka menjauhi segala
sesuatu yang “berbau politik“. Sikap antipolitik inilah yang kini tertanam
dalam-dalam yang sulit sekali untuk diatasi.

Masa sesudah jatuhnya Soeharto dan Orde Baru pada Mei 1998 terjadilah
perubahan besar. Seiring dengan perubahan atmosfer politik di seluruh
Indonesia, dari otoritarianisme ke demokrasi, kelompok orang Tionghoa
juga ikut terjun dalam perubahan itu. Begitu banyak orang yang semula
apolitik dan antipolitik serentak menjadi aktivis-aktivis yang
memperjuangkan berbagai macam hak warga negara orang Tionghoa yang
dicabut selama pemerintahan Orde Baru. Hal ini terjadi berbarengan dengan
berbagai kelompok lain yang juga ditindas selama periode yang sama.

7
Di dalam periode Pasca Reformasi terjadilah aktivisme politik orang
Tionghoa yang didefinisikan sebagai semua kegiatan untk mengembalikan
hak-hak warga negara, baik secara terorganisasi maupun yang tidak, baik
yang bersifat sementara maupun jangka panjang. Hak-hak warga negara
yang dimaksud adalah hak-hak sipil, hak politik, dan hak sosial. Selama
Orde Baru, orang Tionghoa hanya menikmati sebagian kecil dari hak-hak itu
sedemikian kecil sehingga terasa ada diskriminasi.

Aktivisme politik itu berbeda dari partisipasi politik dalam hal


kemunculannya. Aktivisme politik muncul dalam situasi krisis, sementara
partisipasi politik adalah kegiatan rutin warga negara dalam situasi tidak
krisis. Aktivisme politik mengandung unsur urgensi dan berisi tuntutan akan
hak-hak yang hilang. Situasi Reformasi 1998 adalah situasi krisis, yang
dimanfaatkan oleh semua kelompok yang tertindas selama Orde Baru,
termasuk orang Tionghoa untuk, untuk memperjuangkan hak-hak warga
negara mereka.

Aktivisme politik orang Tionghoa ini diarahkan untuk memperoleh hak sipil,
hal politik, dan hak sosial secara penuh. Namun untuk sampai ke situ,
beberapa antara mereka merasa harus terlebih dahulu menuntut pengakuan
tempat dalam sejarah perjuangan bangsa. Perjuangan menuntut kembali
hak-hak terjadi sesudah atau berbarengan dengan perjuangan pengakuan
tempat dalam sejarah.

Karena tiadanya pengakuan itu, demikian analisis mereka, kelompok etnis


Tionghoa mendapatkan perlakuan yang tidak sama dengan warga negara
lain. Sebagai indikator terpenting adalah hilangnya nama-nama Tionghoa
dalam buku sejarah nasional Indonesia. Kelompok etnis Tionghoa dianggap
sebagai kelompok yang yang tidak mempunyai sumbangan bagi
pembangunan bangsa dan negara Indonesia. Padahal, ada lima orang
Tionghoa yang ikut dalam persiapan kemerdekaan Indonesia dalam Badan
Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan, yaitu Liem Koen Hian,
Oei Tiang Tjoei, Oei Tjong How, Tan Eng Hwa, dan Yap Tjwan Bing.
Kalau di tarik ke belakang lagi, ada empat orang Tionghoa dalam
pembacaan teks Sumpah Pemuda 28 Oktober 1928, yaitu Kwee Thiam
Hong, Oey Kay Siang, John Lauw Tjoan Hok, dan Tjio Djien Kwiw. Nama-
nama ini, walaupun tidak dihapus dalam catatan, seakan-akan hilang dalam
wacana tentang pembangunan negara dan bangsa.

8
Ada banyak peraturan di Indonesia yang bersifat diskriminatif, baik yang
dibuat pada masa kolonial maupun yang diciptakan pada masa-masa sesudah
kemerdekaaan. Pada masa Orde Baru sendiri diterbitkan tidak kurang dari 64
produk hukum yang berciri diskriminatif. Dengan aneka peraturan dan
undang-undang yang diskriminatif itu, kelompok etnis Tionghoa benar-
benar hanya mempunyai ruang kebebasan yang amat sempit. Kehidupan
mereka yang semestinya ditandai oleh pesta-pesta dari tradisi mereka, tidak
ada lagi. Merreka yang tak mampu berbahasa Indonesia dan hanya bisa
berbahasa Mandarin terpaksa tidak mendapatkan akses berita apa pun.
Anak-anak mereka tidak lagi diajari bahasa Mandarin karena sekolah
semacam itu harus ditutup. Nama-nama Tiongkok dihilangkan, diganti
dengan “nama Indonesia” yang menghilangkan karakteristik sistem nama
mereka. Yang dirasakan tidak kalah diskriminatif adalah pada kartu
penduduk yang diberikan tanda khusus.

Beberapa orang Tionghoa mengambil langkah yang lebih praktis,


mendirikan organisasi-organisasi yang secara langsung memperjuangkan
penghapusan produk hukum yang bertentangan dengan konsitusi. Ada
beberapa organisasi yang jelas-jelas memperjuangkan hak itu. Sebutkan saja
Paguyuban Sosial Marga Tionghoa Indonesia (PSMTI), Perhimpunan
Indonesia Tionghoa (INTI), dan Solidaritas Nusa Bangsa (SNB) yang
muncul tidak lama setelah kerusuhan Mei 1998. Di samping itu dapat
ditambahkan beberapa organisasi yang muncul di Jakarta, seperti Gerakan
Anti Diskriminasi Indonesia (Gandhi) yang kini dipimpin Wahyu Effendi
dan Lembaga Anti Diskriminasi di Indonesia yang diketuai Rebeka Harsono,
juga sebuah Lembaga Penelitian dan Pengabdian Masyarakat Tionghoa di
Indonesia yang dipimpin Edy Sadeli, SH. Perjuangan mereka diarahkan
kepada penghapusan undang-undang dan peraturan, baik yang dibuat pada
masa kolonial maupun pada masa pascakemerdekaan, yang memperlakukan
kelompok etnis Tionghoa secara tidak adil, dan bertentangan dengan
konsitusi.

Yang paling panas diperdebatkan adalah masalah SKBRI atau Surat Bukti
Kewarganegaraan Indonesia, sebuah sistem yang muncul pada tahun 1980.
Surat ini dituntut untuk semua urusan dengan birokrasi, tidak cukup dengan
kartu tanda penduduk, sebagaimana diterapkan pada warga negara lainnya.
Beberapa aktivis Tionghoa mengambil masalah ini sebagai agenda
perjuangan mereka, di antaranya adalah Tan Joe Hok pemain bulu tangkis
Indonesia pertama yang memenangani Piala All England pada tahun 1959.
Banyak dari pemain bulu tangkis itu yang adalah orang Tionghoa dan

9
berjasa membawa nama Indonesia ke dunia internasional, tetapi mengalami
kesulitan sehubungan dengan SKBRI.

Yang menarik dari kasus SBKRI ini adalah bahwa jelas-jelas ada undang-
undang yang tidak mewajibkan SBKRI bagi kelompok etnis Tionghoa,
tetapi di beberapa tempat di Indonesia, untuk berbagai keperluan
administratif (surat kelahiran, paspor, dan sebagainya) masih diminta
SKBRI. Para aktivis itu menyaksikan bagaimana para pejabat kecil di
tingkat daerah sama sekali tidak memedulihkan undang-undang yang lebih
tinggi dan menjalankan sendiri kebijakan yang sudah dibatalkan.

Nama popular Alan Budikusuma dan Susi Susanti ternyata tidak banyak
berpengaruh di meja kantor imigrasi. Dua orang pertama Indonesia yang
meraih medali emas Olimpiade ( cabang bulu tangkis di Barcelona 1992 ) itu
tetap saja ketanggor masalah ketika hendak mengurus paspor bulan Juli
2004 yang lalu. Pasangan suami istri itu didaulat Konfederasi Olimpiade
Internasional untuk membawa obor dalam Olimpiade Yunani di Athena
yang dibuka pada bulan Agusrus 2004. Itulah pertama kalinya warga negara
Indonesia menerima penghormatan luar biasa itu. Tapi kehormatan sebagai
duta bangsa di event paling akabar di dunia itu tidak berarti banyak di mata
petugas Kantor Imigrasi Jakarta Utara. Keduanya tetap diminta melampirkan
surat bukti kewarganegaraan Republik Indonesia (SBKRI) – persyaratan
lama yang sudah dicabut pemerintah. Meski sempat diminta menunjukkan
SBKRI – sebuah dokumen identitas berbentuk seperti buku paspor –
urusannya mereka akhirnya beres. Tak semua warga keturunan Tionghoa
mendapat keistimewaan seperti itu.

Tapi aturan tinggal aturan. Praktek di lapangan sungguh masih jauh


panggang dari api. Para petugas imigrasi, misalnya selalu menanyakan
SBKRI saatwarga etnis Tionghoa akan membuat atau memperpanjang
paspor. Perlakukan yang sama masih diterima saat mereka mengurus kartu
tanda penduduk, akta kelahiran, pembelian sebuah rumah. Dan itulah yang
terjadi di lapangan. Para petugas imigrasi masih serinmg menanyakan
SBKRI bagi warga keturunan Tionghoa. Presiden Megawati, misalnya,
tahun 2002 silam sempat ternganga saat mendapat keluh-kesah Hendrawan
yang belum juga mendapatkan SBKRI. Tapi tentu saja keluh-kesah seorang
Hendrawan langsung mendapat reaksi. Dalam hitungan hari, pahlawan Piala
Thomas tahun 2000 ini memperoleh SBKRI yang telah diidamkanya
bertahun-tahun.

10
Sejak bergulirnya era Reformasi telah lahir kesadaran di kalangan orang-
orang Tionghoa Indonesia untuk meramaikan kembali kancah politik
nasional, mengingat sepanjang pemerintahan Orde Baru hak-hak politik dan
budaya mereka tidak mendapatkan penyaluran yang memadai. Sebut saja,
Partai Reformasi Tionghoa Indonesia (PARTI), Partai Bhineeka Tunggal Ika
(PBI) dan Partai Pembauran Indonesia (Parpindo). Namun sangat sedikit di
antara partai-partai politik yang dikomndani oleh orang Tionghoa tersebut
menunai kesuksan berarti. Kecenderungan tersebut, sebagaimana dikatakan
Thee Kian Wie, merupakan tanda-tanda postif bagi perbaikan kehidupan dan
masa depan orang Tionghoa di Indonesia, namun satu hal yang membuatnya
nampak kurang begitu nyaman dengan fenomena tersebut adalah terkait
dengan penonjolan yang berlebihan terhadap ciri-ciri ketionghoan dalam
partai-partai yang ada, karena seolah-olah mereka hanya mewakili
kepentingan orang-orang Tionghoa saja, selain juga bisa memicu munculnya
kembali penilaian berbau rasial dari kelompok pribumi.

Kebijakan diskriminatif yang berlangsung sejak kolonialisme Belanda


hingga masa pemerintahan Orde Baru masih menyisahkan dampak
negatifnya hingga hari ini. Namun, kondisi Indonesia pasca-Orde Baru
sangat berbeda jauh dengan masa-masa sebelumnya. Keindonesian pasca-
Orde Baru mencerminkan kondisi yang lebih menghargai perbedaan-
perbedaan, sebuah Indonesia yang lebih plural dan demokratis. Dampak
langsung yang bisa dirasakan oleh etnis Tionghoa dalam kondisi Indonesia
yang seperti ini adalah mereka lebih leluasa untuk mengekspresikan identitas
kebudayaan mereka. Mereka tidak perlu lagi khawatir akan hambatan-
hambatan struktural yang dikeluarkan negara dengan dalih mempercepat
asimilasi, sebab peraturan-peraturan yang selama ini dianggap menghambat
ekspresi identitas mereka satu persatu telah dihapus, sementara secara
kultural ada kecenderungan di kalangan masyarakat pribumi untuk lebih bisa
menerima mereka sebagai bagian integral dari bangsa Indonesia. Kondisi ini
selanjutnya secara meyakinkan berpengaruh terhadap bagaimana cara
mereka memandang diri mereka sebagai “orang Indnesia“ di hadapan
kelompok-kelompok etnik lainnya.

Jika keindonesian dalam konteks Indonesia Orde Baru selalu berkonotasi


pada peleburan identitas ketionghoan ke dalam identitas pribumi, maka
keindonesian pasca Orde Baru telah bergeser pada kondisi yang lebih
mengakui identitas ketionghoan sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari
keindonesian itu sendiri. Dengan kata lain, “menjadi Indonesia “ sekarang
ini tidak harus berbeda atau bertentangan dengan “menjadi Tionghoa”. Kata

11
“asimilasi“ tidak lagi mengarah pada pelenyapan identitas ketionghoan,
sehingga menjadi momok yang menakut bagi masyarakat Tionghoa
Indonesia, melainkan telah mengalami pergerseran makna menuju
pemahaman yang lebih sesuai dengan konteks keindonesian pasca Orde
Baru.

Proyek asimilasi yang dilancarkan oleh pemerintah Orde Baru kepada


masyarakat Tionghoa merupakan bagian dari upaya rezim untuk
menciptakan sebuah identitas nasional yang seragam yang lebih superior
dibandingkan etnis maupun identitas lokal mana pun. Ketika rezim Orde
Baru tumbang, apa yang disebut sebagai identitas nasional tersebut
kemudian menjadi kabur, terkesan begitu muluk dan pada akhirnya lahirlah
fenomena etnonasionalisme atau menguatnya identitas-identitas lokal,
sebagai manifestasi-manifestasi dari gugatan terhadap identitas nasional
yang dipaksakan. Kecenderungan semakin beraninya orang-orang Tionghoa
dalam menampilkan identitas kebudayaannya di kemudian hari bisa dibilang
merupakan bagian dari interupsi terhadap kebijakan Orde Baru yang
sentralistik. Situasi ini seolah-olah telah membuka “ tabir kepalsuan “ yang
sekian lama dibungkus rapat oleh rezim Orde Baru, hingga kemudian, ketika
krisis multidimensional melanda negeri ini sejak 1997, maka terbukalah
semua aib dan kebusukan rezim sehingga tampillah wajah Indonesia yang
sesungguhnya, yang mulai retak-retak, karena bagian-bagian yang
menyusunnya satu persatu melepaskan diri.

12
Dampak positif dari gelombang perubahan di atas adalah terbukanya
peluang untuk mendefinisikan kembali keindonesian secara lebih multi
kultural, yang bisa mengakui dan menjamin hak-hak sretiap kelkompok
untuk mengekspresikan dirinya dalam bungkus spirit keadilan dan
kesetaraan. Jika pada zaman Orde Baru identitas keindonesian yang
ditampilkan oleh orang-orang Tionghoa lebih bernuansa ketakutan terhadap
tekanan politik asimilasi pemerintah sehingga memunculkan fenomena “
kapok untuk menjadi nonpri”, maka di Indonesia Pasca Orde Baru
kondisinya berubah dratis. Kondisi ini selanjutnya membuat orang-orang
Tionghoa mencoba merumuskan keindonesian baru yang mampu mengakui
dan menampung unsur-unsur ketionghoan di dalamnya. Ketionghoan dan
keindonesian bukan lagi dua ranah yang perlu dipertentangkan. Sudah
semestinya ia didudukan sebagai salah satu khazanah dalam
multikulturalisme Indonesia, sebagaimana kejawaan, kesundaan,
kemingkabauan, kebatakan, dan seterusnya, yang bisa saling menopang satu
dengan yang lainnya. Suara-suara yang disampaikan oleh mereka berikut ini
munhgkin bisa dilihat sebagai representasi atau setidak-tidaknya tanda-tanda
– dari gejala umum yang sedang berlangsung di Indonesia pasca-Orde Baru,
yang mengindikasikan harapan besar terhadap Indonesia yang multibudaya.

Dengan memaknai masalah ketionghoan itu bukan lagi sebagai antiresis


terhadap keindonesian, dengan sendirinya spirit asimilasi total (setidaknya
secara teoritis, karena secara praktis telah atau masih berlangsung) yang
pernah gencar digalakkan pemerintah Orde Baru tidak relevan lagi dalam
iklim Indonesia pasca Orde Baru. Kecenderungan untuk mendudukan
ketionghoan sebagai bagian dari keindonesian ini secara tidak langsung juga
telah memulihkan kembali pemahaman ini secara tidak langsung juga telah
memulihkan kembali pemahaman yang selama ini salah tentang konsep
nation-state yang justru kembali menjadi kabur ketika dihubungkan dengan
“masalah Cina“ di Indonesia. Secara teoritis, bangsa Indonesia pada
dasarnya bukanlah negara berbasis etnis (ethno-nation), karena yang disebut
sebagai Indonesia merupakan etnitas yang terdiri dari beragam suku bangsa.
Namun, anehnya, ketika kondisi Indonesia dikaitkan dengan “masalah Cina
“, konsep ini secara otomatis lebih mendekati konsep ethno-nation, yaitu
lebih dekat dengan konsep negara yang berbasis pada “ras” atau “ etnis”.
Mengapa demikian ? Karena orang-orang Tionghoa justru dipaksa untuk
meleburkan diri ke dalam masyarakat pribumi (untuk mendapat pengakuan
sebagai warga negara Indonesia) dengan dalih yang tidak konsisten, yaitu
demi menjaga keutuhan dan persatuan bangsa Indonesia. Dengan dicabutnya
peraturan-peraturan yang mendeskriminasi orang Tionghoa oleh

13
pemerintahan pasca Orde Baru, konsep Indonesia sebagai negara yang di
dalamnya bernaung berbagai kelompok suku bangsa menjadi pulih kembali,
di mana etnis Tionghoa merupakan salah satu di antaranya, bersanding
dengan etnis-etnis lainnya.

Dengan diberlakukannya UUD Kewarganegaraan No 12/2006 yang telah


menghapus kategori asli atau tidak asli untuk menyebut seorang sebagai
Warga Negara Indonesia. harapan akan lahirnya sebuah politik pengakuan
( the politic of recognation ) semakin besar. Dalam UU tersebut pemerintah
telah mengakui semua orang Tionghoa yang lahir di Indonesia sebagai WNI
yang sah, bahkan ketika status kewarganegaraan kedua orang tua mereka
tidak jelas ( lihat ayat i pasal 4 ). Jadi, tidak diragukan lagi bahwa sebagian
besar generasi Tionghoa yang tinggal di Indonesia sekarang telah menjadi
subyek hukum yang jelas dalam sistem perundang-undangan Indonesia.
Mereka sekarang tidak lagi diposisikan sebagai warga negara asing atau
warga negara Indonesia keturunan, melainkan cukup dengan predikat WNI
saja. Hal ini merupakan salah satu momen dan pencapaian penting bagi
orang Tionghoa semenjak Reformasi, sebuah prasyarat bagi lahirnya politik
kewargaan yang bercorak multikultural yang menjamin tegaknya nilai-nilai
HAM dan demokrasi.

Jika dijalankan secara benar. Kebijakan tersebut akan mengurangi secara


signifikan tindak diskriminasi terhadap orang Tionghoa di negeri ini. Secara
prosedural, menghapus berbagai bentuk tindak diskriminasi terhadap
kelompok minoritas memang harus didahului dengan menghapus berbagai
sumber tindak diskriminasi itu sendiri. Menurut Abrams dan kawan-kawan,
diskriminasi akan lahir bilamana sebuah hubungan sosial berlangsuing tidak
adil. Artinya, ada salah satu pihak yang terlalu diuntungkan sementara pihak
lain dirugikan. Dengan demikian, instrumen yang semestinya digunakan
untuk mengatasi kondisi tersebut adalah strategi penguatan keadilan sosial
itu sendiri, baik yang bersifat distributif maupun prosedural.

Mengapa demikian? Karena setiap diskriminasi sosial hampir bisa


dipastikan akan melahirkan pihak yang dirugikan, sesuatu yang sering kali
sulit di atasi karena sistem sosial yang ada kurang memberi peluang bagi
terdistribusikannya sumber-sumber keadilan secara lebih merata atau kurang
tersedianya prosedur sosial yang mampu menjamin terwujudnya kedailan
sosial itu sendiri. Pengauatan keadilan sosial tersebut dapat berlangsung
lebih mulus dan mampu bertahan lebih dalam jangka waktu yang lama jika
didukung juga oleh pola hubungan sosial yang berorientasi pada keadilan,

14
misalnya adanya toleransi dan pengakuan terhadap eksistensi masing-
masing kelompok. Karena bagaimanapun juga, hanya dalam suasana
hubungan sosial yang dijiwai semangat toleransi, identitas kelompok akan
mampu berkembang menjadi lebih inklusif, sementara dalam hubungan
sosial yang penuh prasangka, identitas kelompok cenderung menjadi lebih
ekslusif.

Pengakuan dan penghargaan pada yang lain dan berbeda adalah dasar utama
pluralisme kewargaan. Dalam tataran hidup keseharian, ukuran rekognisi
dilihat dari sejauhmana entitas-entitas yang plural dalam masyarakat
menghormati dan mengakui perbedaan dan keragaman. Pengakuan ini tak
terbatas pada toleransi, yang sekadar membiarkan liyan hidup sendiri,
melainkan menghargai keberadaan kelompok lain yang berbeda dalam relasi
antarkelompok. Dalam tataran politik formal, rekognisi dilihat dari
sejauhmana negara (pada tingkat nasional maupun lokal) menghormati dan
mengakui perbedaan dan keragaman dalam masyarakat. Sejauh mana
konsitusi mengekpresikan pengakuan itu, dan sejauh mana kebijakan-
kebijakan negara menegaskan jaminan konsitusi tersebut ? Pengakuan ini
tentu bukan hanya dalam konteks hak-hak sipil dan politik, melainkan pada
hak-hak sosial, ekonomi, dan kultural. Kebijakan yang bersifat
menyeragamkan dan diskriminatif adalah bentuk pelanggaran prinsip ini
oleh negara (sekali lagi, dalam tingkat nasional maupun lokal).

15
Makalah ini dipresentasikan dalam Acara Diseminasi Hak-hak Sipil dan
Kewajiban Warga Negara, yang diselenggarakan oleh Subdit Pembauran dan
Kewarganegaraan Direktorat Bina Ideologi dan Wawasan Kebangsaan
Kementerian Dalam Negeri di Hotel Arya Duta, 19 Juli 2012.

Bibliografi

Afit, Athonul . 2012. Identitas Tionghoa Muslim Indonesia. Pergulatan


Mencari Jati Diri. Depok : Kepik.

Baghi SVD, Felix (Ed) Pluralisme, Demokrasi dan Toleransi. Maumere :


Penerbit Ledalero.

Budiardjo, Miriam. 2008. Dasar-Dasar Ilmu Politik . Jakarta : PT Gramedia


Pustaka Utama.

Prasetyadji. 2011. Semangat Perjuangan Peranakan Idealis. Merintis


Jalan menuju kesetaraan dan penyelesaian kewarganegaraan etnis
Tionghoa sejak tahun 1945. Jakarta : Forum Kesatuan Bangsa.

Tempo Edis Khusus 17 Agustus. Etnis Cina di Zaman yang Berubah.


Edisis 16 – 22 Agustus 2004.

Tim ICCE UIN Jakarta. 2003 Demokrasi, Hak Asasi Manusia dan
Masyarakat Madani. Jakarta : Prenada Media.

Wibowo,I (Ed) Harga Yang Harus Dibayar. Sketsa Pergulatan Etnis


Cina di Indonesia. Jakarta : Gramedia Pustaka Utama.

16
Wibowo, I dan Thung Ju Lan ( Ed). 2010 . Setelah Air Mata Kering.
Masyarakat Tionghoa Pasca-Peristiwa Mei 1998. Jakarta :
Penerbit Buku Kompas

17

Anda mungkin juga menyukai