Manusia dari segi nurture, yakni dari lahir (by given)
telah memiliki ciri-ciri bawaan sendiri seperti bentuk ketubuhan, warna kulit, dsb secara berbeda. Kemudian dari segi culture (budaya), manusia hidup dibesarkan dan dipengaruhi oleh lingkungan fisikal dan lingkungan sosial yang berbeda pula. Pengaruh dari keduanya itu, menjadikan kita pada batas-batas tertentu memiliki kemiripan, kesamaan, atau perbedaan. Dari perbedaan-perbedaan seperti inilah mulai kita kenal munculnya istilah kemajemukan. Kemajemukan seperti warna kulit, etnis, agama, golongan sosial dan kepentingan seperti itu, dalam konteks Indonesia melahirkan dua sisi. Sisi positif dan sisi negatif. Sisi poisitif di antaranya melahirkan kesadaran bersama sebagaimana diktum ”bhinneka tunggal eka”. Sedang sisi negatif bisa terjadi kalau pengelolaan terhadap masyarakat majemuk demikian ini tidak berhasil, melahirkan gejala-gejala mudahnya kecurigaan antarkelompok, bahkan sampai konflik oleh berbagai penyebab yang melatarbelakanginya. KONFLIK SOSIAL Di antara kecenderungan yang umum di balik kehidupan sosial yang majemuk itu ialah kecenderungan untuk mengelompokkan diri dalam satuan-satuan sosialnya, sesuai dengan kesamaan- kesamaan asal-usul kedaerahan, etnik, keagamaan, profesi, potensi, dan kepentingan,. Bersamaan dengan itu ialah menghadirkan kelompok lain di luarnya. Mulai dari sini dikenal adanya ”in-group” lawan ”out- group”. Kecenderungan demikian inilah yang menghadirkan dalam sejarah kehidupan masyarakat manusia itu kedua sisi dalam suatu mata uang, yaitu konflik dan harmoni KONFLIK SOSIAL Gejala atau tanda-tanda lahirnya konflik, bermula adalah dari adanya perasaan tidak mengenal, tidak senang, dan tidak nyaman, serta tidak menenteramkan dalam diri seseorang, atau sekelompok orang, atau masyarakat terhadap orang lain, kelompok lain, atau masyarakat lain – atau antar kelompok yang berbeda itu sendiri. Penyebabnya bisa karena adanya perlakuan atau diperlakukan oleh orang lain, atau kelompok lain, atau masyarakat lain secara tidak adil. Perlakuan yang ’dirasa’ tidak adil oleh pihak lain itu, bisa dijalankan secara sengaja atau tidak sengaja; secara spontan atau sistematis; dengan tanpa tujuan yang direncanakan terlebih dahulu; atau karena adanya tujuan yang sudah diatur sedemikian rupa sebelumnya, guna merusak, atau mengambil alih, atau tidak memberi kesempatan untuk kepentingan-kepentingan bersama Oleh karena itu, konflik bisa bersifat sangat individual atau bisa bersifat kolektif. Sedang tahapan konflik bisa secara frontal atau gradual yaitu melalui suatu proses dari kecil lalu membesar (dari kricikan menjadi grojogan), dari sikap antipati sampai pada saling berhadapan. Adapun perwujudannya, konflik bisa terwujud secara tersembunyi, atau secara terbuka. Ada dua fenomena dalam kehidupan masyarakat.
. Pertama, masyarakat yang membiarkan
konflik terbuka terjadi. Kedua, masyarakat yang untuk sementara “mampu” menutupi, atau mencegah timbulnya konflik Munculnya konflik terbuka maupun dapat tercegahnya konflik terbuka, dipahami karena diakui adanya kekuatan-kekuatan bersama yang mendorong. Kekuatan- kekuatan yang mendorong itu, tidak selamanya bersifat fisikal, sesuatu yang bisa diamati misalnya lewat antisipasi kekuatan militer, tetapi juga kekuatan- kekuatan lain, seperti kekuatan tokoh-tokoh sosial yang memiliki kewibawaan, maupun tokoh-tokoh yang dalam alam pikiran kultural, disebut sebagai cultural heros. Kekuatan pencegahan itu seringkali ditandai oleh pertanda awal (early warning) berupa sistem-sistem alarm (alarm systems) dan kearifan-kearifan lokal. Ada setidaknya tiga penjelasan bagaimana kekerasan dibawa ke ranah agama. Pertama, agama dibawa-bawa oleh negara dan penguasa untuk menjustifikasi dan melegitimasi keputusan-keputusan politik kekuasaan. Kedua, pihak-pihak yang memanfaatkan dan mengatasnamakan lembaga-lembaga agama yang mengembangkan sayap kekuatan untuk merespons keputusan politik dan praktik-praktik pemerintahan, atau memanfaatkan ideologi keagamaan untuk kepentingan-kepentingan lembaga-lembaga, organisasi-organisasi, kelompok-kelompok keagamaan, atau partai-partai yang mendasarkan diri pada azas keagamaan itu sendiri. Ketiga, individu-individu yang merasa terpanggil untuk menghentikan kekerasan, kemaksiatan, dan berbagai keburukan lainnya menurut tafsiran-tafsiran sesuai seleranya lalu mereka mengabsahkan penyelesaian persoalan dimaksud dengan menggunakan kekerasan. Disinilah “ada” bahayanya jika agama dibawa ke dalam ranah politik. Bahaya itu muncul ketika penggunaan agama, tidak dalam konteks landasaan etik, melainkan sebagai identitas. Ketika agama sebagai identitas, maka muncul kencenderungan bagi “pemilik” lembaga ataupun partai politik, untuk melakukan dua hal yaitu (1) kepentingan desakralisasi dengan mengatasnamakan Tuhan, dan (2) menghakimi pihak lain yang berbeda pandangan sebagai pandangan yang menyesatkan, sehingga dengan mudah menyelesaikan persoalan perbedaan pandangan tadi dengan tindak kekerasan atas nama menjaga kebesaran Tuhan. Keindahan Perbedaan Bagaimana memposisikan diri sebagai pemeluk agama yang berbeda-beda dalam konteks Indonesia? Apakah agama yang berbeda-beda itu kita tempatkan sebagai piranti untuk memenangkan sebuah perlawanan atau untuk menyatukan. Jika untuk piranti memenangkan, maka siapakah sebenarnya lawan di sini? Apakah ”agama” itu sendiri ataukah ”para pemeluk agama” yang berbeda Bagaimana memposisikan diri sebagai pemeluk agama yang berbeda-beda dalam konteks Indonesia? Apakah agama yang berbeda-beda itu kita tempatkan sebagai piranti untuk memenangkan sebuah perlawanan atau untuk menyatukan. Jika untuk piranti memenangkan, maka siapakah sebenarnya lawan di sini? Apakah ”agama” itu sendiri ataukah ”para pemeluk agama” yang berbeda Jika agama itu sendiri, apakah agama-agama (yang berbeda-beda) itu mengajarkan kesalahan dan kebiadaban? Bukankah agama selalu mengajarkan kebaikan dan kecintaan antarsesama? Jika yang kita lawan adalah para pemeluk agama yang berbeda, apa salah mereka? Jika mereka mencederai atau melecehkan agama yang kita peluk, apakah pencederaan itu atas nama diri sebagai pemeluk agama, ataukah per se individu yang justru mereka tengah mencederai Jika mereka mencederai atau melecehkan agama yang kita peluk, apakah pencederaan itu atas nama diri sebagai pemeluk agama, ataukah per se individu yang justru mereka tengah mencederai agamanya sendiri? Jika mereka berbuat tidak adil karena kekuasaan yang dipegangnya, maka ketidakadilan itu atas nama agamanya ataukah karena ketidakadilan itu hadir justru ketika mereka melalaikan ajaran agamanya sendiri? STRATEGI PENGEMBANGAN BUDAYA DAMAI Antara agama dan negara perlu mempunyai hubungan yang bersifat simbiotik, yakni suatu hubungan timbal balik yang saling memerlukan. Dalam satu sisi, negara (state) seperti Indonesia, memerlukan panduan etika dan moral sebagaimana diajarkan oleh agama. Sementara agama itu sendiri, memerlukan kawalan negara untuk kelestarian dan eksistensinya. Dalam konteks Indonesia, maka Pancasila yang digunakan sebagai dasar negara dapat dilihat sebagai hal yang tidak perlu dipermasalahkan mengingat dua hal, yaitu (a) roh dari lima dasar Pancasila itu sendiri bersesuaian dengan substansi ajaran pada setiap agama; serta (b) penggunaan Pancasila (bukan secara formal agama Islam) adalah karena untuk menjaga persatuan dan kesatuan masyarakat-masyarakat Indonesia yang majemuk, baik dalam hal suku maupun agama. Keaneragaman suku dan agama yang ada di Indonesia ini – diamanatkan oleh Tuhan – untuk saling mengenal dan bekerjasama – bukan untuk saling bercerai-berai. Dalam kemajemukan demikian ini, mengajarkan kepada orang-orang yang beragama – untuk tidak berfikir egoistis, melainkan perlu bersikap toleran tanpa mengurangi prinsip-prinsip akidah dan etika keagamaan. Pertama, ternyata realitas adalah sesuatu yang terlalu kompleks untuk dipahami sepenuhnya oleh manusia yang tidak sempurna. Kedua, kesalahan kolektif yang terjadi adalah karena mereka mereduksi seluruh fenomena ke dalam pengalaman parsial mereka sendiri. Ketiga, karena itu, memelihara perdamaian dan harmoni komunal bisa jauh lebih berharga daripada rasa superioritas individu yang muncul dengan bersiteguh dengan pemahaman mengenai dunia realitas. Keempat, akan amat bijak jika murid-murid buta itu kembali menemui gajah tersebut dan bertukar posisi, sehingga mereka bisa mengapresiasi dengan lebih baik keseluruhan tubuh gajah itu dan juga pengetahuan masing- masing orang sebelumnya Pertama, ternyata realitas adalah sesuatu yang terlalu kompleks untuk dipahami sepenuhnya oleh manusia yang tidak sempurna. . Kedua, kesalahan kolektif yang terjadi adalah karena mereka mereduksi seluruh fenomena ke dalam pengalaman parsial mereka sendiri. Ketiga, karena itu, memelihara perdamaian dan harmoni komunal bisa jauh lebih berharga daripada rasa superioritas individu yang muncul dengan bersiteguh dengan pemahaman mengenai dunia realitas. Keempat, akan amat bijak jika murid-murid buta itu kembali menemui gajah tersebut dan bertukar posisi, sehingga mereka bisa mengapresiasi dengan lebih baik keseluruhan tubuh gajah itu dan juga pengetahuan masing- masing orang sebelumnya ketika orang atau suatu kelompok melihat kelompok lain sebagai “lawan” dan oleh karena itu, adalah wajar untuk dimusuhi bahkan dilawan – ternyata adalah hasil konstruksi manusia sendiri, maka tugas kita adalah “membongkar” konstruksi sosial itu, lalu membangun kembali menjadi bangunan di mana setiap manusia merasa nyaman memasuki bangunan tadi. Untuk itu, kita masih perlu belajar bagaimana menumbuhkan kesanggupan bukan saja untuk melihat dan memperlakukan orang lain sebagai saudara, tetapi juga mendesain bangunan persaudaraan itu sendiri Kalau kita melihat orang lain sebagai lawan, maka energi kita akan digunakan untuk melihat mereka celaka lalu kalau mereka sedang bernasib buruk, kita akan tersenyum simpul melihatnya. Kalau mereka berhasil, kita akan iri dan berusaha menjatuhkannya. Sedangkan kalau kita melihat orang lain sebagai kawan, apalagi sebagai saudara, maka dengan ringan kita berdoa untuk kebaikannya. Cara memandang secara positif seperti ini, efeknya luar biasa. Di mana-mana, dan ke mana- mana,selalu saja kita melihat penolong-penolong di sekitar kita Tinggal kita sekarang di sini, apa yang bisa kita sumbangkan untuk membangun kedamaian itu. Yang jelas, perbedaan (nurture and culture) adalah desain Tuhan (Maha Pencipta). Karena itu, perbedaan adalah keindahan, sehingga tugas mulia manusia ialah menghadirkan keindahan di balik perbedaan- perbedaan yang ada kepada setiap hatinurani manusia.*** selesai (mudjahirin thohir, contact: 08122935474; thohir_mudjahirin@yahoo.com)