Anda di halaman 1dari 10

Judul I:

Tulislah judul dengan huruf kapital maksimal 15 kata, dapat menambahkan anak judul.

Latar belakang masalah (Minimal 500 kata, maksimal 700 kata)


Tulislah latar belakang yang terdiri dari 4 unsur sebagai berikut: 1). Research gap/celah penelitian (dapat berupa evidence gap,
knowledge gap, practical knowledge gap, methodological gap, theoretical gap, population gap, empirical gap) 2). Uraian masalah yang
akan diteliti (dukung dengan data empiris), 3). Penelitian terdahulu yang relevan minimal 5 referensi dari artikel bereputasi
(minimal 5 tahun terakhir), 4). Uraian asumsi dasar penelitian. Setiap paragraph minimal 100 kata, maksimal 150 kata yang
terdiri dari main idea (ide pokok, letakkan pada kalimat pertama di awal paragraph), dan didukung oleh supporting idea dengan
data penunjang atau argument yang mendukung ide pokok tersebut, kemudian penegasan gagasan diakhir paragraph
(opsional).

Contoh latar belakang dan penelitian terdahulu

Pasca runtuhnya rezim orde baru demokrasi di berbagai daerah mulai

menguat, namun tanpa prediksi muncul fenomena politik identitas baik agama

maupun etnis. Hal ini cukup mengejutkan karena desentralisasi yang dimaksudkan

untuk efisiensi administrasi pemerintahan sekaligus menguatkan demokrasi di

daerah justru memunculkan gejala baru tersebut. Di satu sisi demokrasi di daerah

memberikan hak mereka yang selama ini terkooptasi oleh pusat dengan system

sentralistik, namun di sisi lain juga membangkitkan identitas untuk menegaskan

kembali jati diri mereka yang pernah terpasung 1. Menguatnya identitas menjadi

fenomena yang ditemukan di berbagai daerah di Indonesia, seperti kembalinya

kekuatan Keraton Surakarta di Solo, Pengaruh Puri di Bali dan kemunculan kembali

kesultanan Ternate, Kesultanan Kutai Kertanegara di Kalimantan dan Keraton

Yogyakarta. Pada umumnya, kelompok-kelompok masyarakat ini mengedepankan

politik identitas untuk memperjuangkan kebebasan budaya dan menghendaki

pengakuan atas eksistensi mereka 2.

Pemaknaan terhadap politik identitas sudah meluas tidak hanya sebatas pada

agama, suku, putra daerah akan tetapi juga mencakup mayarakat adat seperti

dijelaskan oleh Irawati di atas, begitupula dengan kaum Samin melawan kolonial

1
Kisno Hadi, “Legitimasi Kekuasaan Dan Hubungan Penguasa-Rakyat Dalam Pemikiran Politik Suku Dayak
Ma’anyan,” Kawistara 8, no. 1 (2018): 46–60, https://doi.org/10.22146/kawistara.28082.
2
Irawati, “Identitas Kultural Dan Gerakan Politik Kerapatan Adat Kurai Dalam Representasi Politik Lokal,”
Jurnal Studi Pemerintahan 3, no. 1 (2012): 71–100, https://doi.org/10.18196/jgp.2012.0004.
dan perbangunan di Pati Jawa Tengah 3. Biasanya istilah adat digunakan sebagai

simbol dalam perjuangan-perjuangan hak-hak dasar mereka. Oleh karena itu,

penggunaan istilah pemangku adat sebagai aktor representasi adat dalam tulisan ini

juga merupakan bagian dari politik identitas. Penggunaan identitas jika dikaitkan

dengan politik lokal dan desa cenderung memunculkan stigma negatif, selain itu

banyak kalangan memandang pesimis terhadap eksisnya politik identitas. Itu cukup

beralasan karena, berangkat dari berbagai fakta politik identitas yang bermotif

hegemoni, dominasi, dan tidak sedikit menimbulnya konflik horizontal seperti salah

satunya konflik antar massa pendukung di kabupaten Puncak propinsi Papua yang

menimbulkan banyak korban nyawa4. Di samping itu, praktek politik identitas juga

menimbulkan keretakan di tengah-tengah masyarakat.

Kabupaten Kerinci dijadikan sebagai wilayah penelitian karena, pada

umumnya masyarakat di wilayah ini masih mensakralkan adat istiadat sebagai

fondasi di berbagai aspek kehidupan. Adat bersendi syara’, syara’ bersendi kitabullah

menjadi dasar dalam pelaksanaan kehidupan bermasyarakat. Pelestarian adat ini

dipraktekkan oleh para pemangku adat dengan sebutan ninik mamak, rio, mangku dan

depati serta sebutan lain yang memiliki makna serupa karena, sebagian lembaga adat

desa di Kabupaten Kerinci memiliki struktur adat yang berbeda-beda namun

memiliki fungsi yang sama. Undang-undang desa nomor 6 tahun 2014 tentang desa

secara tegas memberi pengakuan terhadap hak asal-usul desa yang telah tergerus

melalui kebijakan penyeragaman bentuk, nama, dan sistem desa oleh undang-

undang nomor 5 tahun 1979 tentang pemerintahan desa. Undang-undang desa yang

baru sebenarnya memberikan kekuasaan yang otonom terhadap pemerintah desa

untuk melaksanakan pemerintahan sendiri. Akan tetapi, disisi lain azas rekognisi

3
Munawir Aziz, “Identitas Kaum Samin Pasca Kolonia Pergulatan Negara, Agama, Dan Adat Dalam pro-Kontra
Pembangunan Pabrik Semen Di Sukolilo, Pati, Jawa Tengah,” Kawistara 2, no. 3 (2012): 225–328,
https://doi.org/10.22146/kawistara.3937.
4
Yosin Kogoya, “Konflik Pilkada Di Kabupaten Puncak Provinsi Papua,” in Konflik & Pergerakan Sosial: Isu-
Isu Kontemporer Perlawanan Masyarakat Adat, Konflik Tanah Dan Konflik Kekuasaan (Yogyakarta: Graha
Ilmu, 2015), 123–59.
justru dimaknai sebagai dasar untuk merespon kepongahan negara dalam

meregulasi sistem pemerintahan desa.

Studi yang dilakukan oleh Asrinaldi fokus pada pengaruh penghulu adat

dalam demokrasi lokal menunjukkan bahwa praktek kuasa penghulu adat tidak

lebih dari membangun identitas Melayu dan dengan penguatan adat dan budaya.

Pada konteks ini identitas budaya hanya digunakan untuk memberi dukungan

dalam pertarungan politik di daerah agar budaya dapat dipertahankan dan

digunakan oleh penyelenggara pemerintahan melalui kebijakan, budaya bukan

dijadikan sebagai alat politik praktis 5. Sementara Haboddin lebih menekankan pada

aspek proses menguatnya politik identitas di Provinsi Riau, Kalimantan Tengah,

Kalimantan Barat dan Irian Jaya. Apa yang diuraikan oleh tulisan tersebut pada

dasarnya gerakan munculnya kembali politik identitas sebagai potret wajah ganda

pergulatan politik lokal. Manifestasinya berupa bangkitnya putra daerah merebut

kekuasaan dan perjuangan memperolah alokasi dana yang lebih besar dari pusat6.

Usaha Ulum, Jannah, & Arifullah dalam memotret praktek hegemoni sosial dan

dominasi politik di Jambi tampaknya menunjukkan gejala yang hampir mirip

dengan apa yang diuraikan oleh Haboddin. Akan tetapi, fenomena yang

mengemuka adalah pertarungan antara penduduk pribumi yang menempati posisi

agak termarginalkan dengan pendatang hampir tidak mengalami masalah sosial.

Begitupula dengan mayoritas dengan minoritas dalam agama dan suku menjadi

basis hegemoni dan dominasi terhadap kelompok lain. Sebenarnya apa yang

digambarkan tersebut, tidak menyentuh persinggungan masyarakat dengan negara

secara langsung, akan tetapi lebih pada pertarungan wacana putra daerah dengan

bukan putra daerah, mayoritas dengan minoritas 7. Berbeda dengan ketiga

pandangan tersebut di atas, Mudzakkir menyoroti bagaimana komunitas tradisional


5
Asrinaldi and Azwar, “Dimensi Kekuasaan Penghulu Adat Melayu Riau Dalam Pelaksanaan Demokrasi
Lokal,” Jurnal Antropologi: Isu-Isu Sosial Budaya 20, no. 1 (2018): 57–69,
https://doi.org/10.25077/jantro.v20.n1.p57-69.2018.
6
Muhtar Haboddin, “Menguatnya Politik Identitas Di Ranah Lokal,” Jurnal Studi Pemerintahan 3, no. 1 (2012):
116–34, https://doi.org/10.18196/jgp.2012.0007.
7
Bahrul Ulum, St. Raudhatul Jannah, and Mohd. Arifullah, “Hegemoni Sosial Dan Politik Identitas Putra Daerah
Jambi,” Al-Daulah: Jurnal Hukum Dan Perundangan Islam 7, no. 1 (2017): 223–49,
https://doi.org/10.15642/ad.2017.7.1.223-249.
berurusan dengan pemerintah melalui perlawanan dan negosiasi yang puncaknya

melahirkan konsensus antara masyarakat dengan pemerintah. Adanya perjumpaan

antara masyarakat adat dengan pemerintah, LSM, wartawan, peneliti dan turis

menyumbang kesadaran revivalitas. Adat tidak lagi hanya sebatas menjadi ritus

tradisional, akan tetapi juga ditransformasikan menjadi kekuatan politik saat

berhadapan dengan pemerintah. Artinya, adat menjadi daya tawar yang penting

dalam menghadapi berbagai kebijakan pemerintah 8.

Beririsan dengan pandangan Mudzakkir tersebut, Prioharyono mengaitkan

praktik-praktik kekuasaan para Mosaliki (kepala adat) yang diperoleh dari legitimasi

mitologi asal-usul dan konsep sistem pengutamaan posisi maupun struktur sosial.

Keduanya saling berkaitan erat yang tidak hanya sebatas berlaku dalam sistem

politik tradisional namun juga menunjukkan eksisntensinya dalam sisitem politik

formal procedural9. Bayo menggambarkan kontestasi kekuasaan antara negara,

institusi gereja dengan adat menunjukkan bahwa pertarungan kuasa secara fisik,

sosial budaya dan kebijakan kekuatan adat sementara masih dominan, sementara

kekuatan gereja an negara melemah. Nilai adat tidak pernah mati meskipun

mengalami tekanan dari pemerintah dan gereja 10. Sementara Irawati mengkaji

gerakan politik berbasis kultural. Irawati lebih menekankan pada kajian motivasi

gerakan politik dan dinamika gerakan politik Kerapatan Adat Kurai (KAK) dalam

politik lokal di Sumatera Barat. Temuannya menunjukkan bahwa motivasi gerakan

KAK adalah kepentingan politik untuk mendapatkan akses dan representasi dari

kelompok mereka dalam pemerintahan lokal. Dinamika gerakan KAK terkait erat

dengan kepentingan aktor untuk mencari dukungan dalam peristiwa politik

8
Amin Mudzakkir, “Revivalisme Masyarakat Adat Dalam Politik Lokal Di Indonesia Pasca-Soeharto: Studi
Kasus Komunitas Kampung Naga, Tasikmalaya, Jawa Barat,” Jurnal Masyarakat & Budaya 13, no. 1 (2011):
167–84, https://doi.org/10.14203/jmb.v13i1.135.
9
J. Emmed M. Prioharyono, “Kekuasaan Politik Dan Adat Para Mosalaki Di Desa Nggela Dan Tenda,
Kabupaten Ende, Flores,” Antropologi Indonesia 33, no. 3 (2012): 180–202,
https://doi.org/10.7454/ai.v33i3.2463.
10
Longgina Novadona Bayo, “State Neglect, Church Decline, and Ascendent Adat: The Power Contestation in
Adonara, Eastern Flores,” Jurnal Ilmu Sosial & Ilmu Politik 13, no. 2 (2009): 149–71,
https://doi.org/10.22146/jsp.10959.
tertentu. Para elit adat (pemimpin tradisional) sebagai inisiator belum memperoleh

representasi yang baik secara politik, budaya dan ekonomi dalam politik lokal 11.

Mayoritas tulisan tersebut menunjukkan bahwa identitas sebagai frase gerakan

dan perjuangan untuk memperoleh kekuasaan dan alokasi dana, alat perjuangan

menghadapi pemerintah, memperoleh dukungan untuk kelestarian adat sekaligus

sebagai modal untuk menjalankan pemerintahan dan satu hal yang menarik adalah

kontestasi kuasa antara negara, adat dan gereja. Apa yang relevan dari tulisan ini

adalah menunjukkan fakta baru dalam konteks politik lokal pasca berlakunya

Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa, yaitu adat sebagai salah satu

identitas lokal justru bangkit dan mendominasi pemerintahan melalui jalur

prosedural seperti pemilihan dan penempatan aparatur, dan non-prosedural melalui

interaksi yang bersifat formal dan non-formal. Jika Bayo menganalisis pertarungan

tiga pengaruh utama (negara, adat dan gereja) secara terpisah pada konteks sebelum

berlakunya Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa. Maka tulisan ini

mengetengahkan kebangkitan dan dominasi adat terhadap negara pasca berlakunya

undang-undang desa tahun 2014.

Asumsi dasar tulisan ini adalah adat merupakan sumberdaya yang efektif

digunakan sebagai alat untuk mengontrol dan mendominasi pemerintah desa.

Secara khusus tulisan ini akan menjawab bagaimana dominasi tetua adat terhadap

pemerintah desa (kepala desa). Penulis melihat bahwa upaya pemangku adat

sebenarnya merupakan rekonstruksi gerakan politik kelompok elit tradisional untuk

menunjukkan eksistensi kepentingan mereka selaku komunitas lokal (kelompok

kepentingan). Adat Kerinci sebagai identitas etnis digunakan sebagai bahan oleh

para elit guna memunculkan isu dan mencari wadah untuk menyalurkan

kepentingan mereka.

Rumusan Masalah

11
Irawati, “Identitas Kultural Dan Gerakan Politik Kerapatan Adat Kurai Dalam Representasi Politik Lokal.”
Tulislah pertanyaan penelitian dengan menggunakan salah satu dari 5 W dan H, minimal 2 pertanyaan penelitian dan
maksimal 4 pertanyaan penelitian.

Contoh pertanyaan penelitian

1. Bagaimana (how) dinamika konflik antar pemangku kepentingan dalam


pengelolaan sumber daya alam pasca reformasi di provinsi Jambi?

Landasan Teori (minimal 150 kata, maksimal 300 kata)


Tulislah ringkasan teori yang digunakan, setiap paragraph minimal 100 kata, maksimal 150 kata yang terdiri dari main idea (ide
pokok, letakkan pada kalimat pertama di awal paragraph), dan didukung oleh supporting idea dengan data penunjang atau
argument yang mendukung ide pokok tersebut, kemudian penegasan gagasan diakhir paragraph (opsional).

Contoh Landasan Teori

Penelitian ini menggunakan teori demokrasi elektoral, patronasi politik dan

netralitas birokrasi sebagai pisau analisis. Pasca runtuhnya rezim Suharto tahun 1998

di Indonesia, banyak perubahan yang cepat dan mendasar dalam institusi politik

dimana reformasi demokrasi dan desentralisasi administratif secara simultan

mengubah sistem politik negara yang terpusat dan otoriter menjadi sistem yang

lebih terdesentralisasi dan demokratis. Inti reformasi demokrasi adalah pelaksanaan

pemilihan umum yang kompetitif dan desentralisasi menjadi dimensi penting dalam

perubahan politik lokal. Melalui peraturan otonomi daerah, Pilkada untuk memilih

gubernur, walikota atau bupati dilaksanakan secara langsung yang diadopsi dari

sistem Pemilu (Choi, 2007; Dagg, 2007; Seo, 2004). Sejak Pilkada dilaksanakan, sistem

patronasi dipraktikkan oleh tokoh-tokoh lokal, partai politik, dan politisi. Sistem

patronasi berasal dari kerajaan Jawa pra-kolonial telah beradaptasi dengan

perubahan situasi politik, terlebih setelah implementasi desentralisasi yang radikal.

Belakangan, terdapat ruang dalam Pilkada bagi politisi dan ASN untuk menjalin

hubungan pribadi yang kompleks sehingga batas antara politik dan administrasi

sangat cair (Turner et al., 2019). Keterlibatan ASN dalam politik praktis merupakan

akar dari kemunduran birokrasi, pelayanan yang buruk, korupsi dan malpraktik

pelayanan. Warisan Weber adalah pandangan birokrasi netral dan teknis; nilai-nilai

selain netralitas tidak memiliki peran dalam birokrasi. Perspektif akademik birokrasi

ini sering dipandang sebagai cita-cita politik, meskipun dalam banyak kasus, pejabat
politik berpendapat bahwa nilai birokrasi mengakibatkan inefisiensi, pemborosan,

dan penundaan (Meier et al., 2019).

Prinsip sistem patronasi adalah loyalitas melalui hubungan simbiosis dan

pribadi antara patron-klien yang membentuk atribut kritis. Bagi klien, itu berarti

mereka dipekerjakan, dan bagi para patron yang menunjuk orang-orang yang setia

kepada mereka untuk mencapai tujuan politik (Ugyel, 2014). Patronasi lama adalah

cara yang berbeda untuk mengatur aliran sumber daya, modus pertukaran,

hubungan kekuasaan, dan legitimasi dalam masyarakat (Eisenstadt & Roniger, 1980).

Strukturnya selalu didasarkan pada ikatan hubungan timbal balik vertikal antara

patron dan klien dan pertukaran antar individu yang bersangkutan. Ikatan timbal

balik selalu asimetris dalam hal kekuasaan, patron melakukan dominasi melalui

kontrol atas sumber daya yang paling diinginkan. Dalam masyarakat agraris

tradisional, tanah adalah sumber daya yang paling berharga yang dimiliki oleh

patron, sedangkan loyalitas dan tenaga kerja adalah kontribusi dari klien (Scott,

1972), ini masih lazim ditemukan di negara berkembang (Ugyel, 2014). Sementara,

patronasi baru adalah personalisasi kekuasaan, warisan tradisional, tetapi elemen

baru adalah bahwa “negara diperlakukan sebagai perpanjangan milik pemimpin,

dan aturan pemimpin dengan bantuan klien yang mendapatkan imbalan atas

dukungan mereka.”(Khan, 2006). Pelindung yang menempati posisi strategis dapat

mengembangkan banyak hubungan dengan klien di dalam dan di luar untuk

membentuk struktur piramida, hubungan kontraktual informal yang memfasilitasi

perolehan, pemeliharaan, dan perluasan kekuasaan atas suatu negara, pemerintah,

dan negara, partai atau faksi (Grindle, 2010).

Metode penelitian (minimal 150 kata, maksimal 300 kata)


Tulislah ringkasan metode penelitain yang digunakan, metode pengumpulan data, metode analisis data, validasi atau
keabsahan data, sistematika penulisan.

Contoh metode penelitian


Penelitian ini dilakukan di empat desa (Desa Tebat Ijuk, Desa Koto Lanang,

Desa Koto Tuo dan Desa Koto Petai) dengan menggunakan metode kualitatif

eksploratori. Metode ini digunakan untuk lebih memahami gejala atau fenomena

hubungan pemerintah desa dan kekuatan adat 12


. Penentuan wilayah tersebut

didasarkan pada argumen bahwa di empat desa tersebut karakter adat istiadat masih

terjaga dan digunakan sebagai acuan dalam kehidupan sehari-hari oleh masyarakat.

Pengumpulan data primer dilakukan melalui wawancara terstruktur maupun

tidak terstruktur dan observasi, wawancara dilakukan secara terpadu dengan

observasi partisipan, dimana peneliti berusaha untuk mengidentifikasi dan melihat

dunia secara kasat mata 13. Data lapangan tersebut didukung oleh data-data sekunder

seperti laporan, peraturan desa, berita dari media, hasil kajian digunakan sebagai

bahan untuk menunjang analisis penelitian.

Informasi digali dengan cara menentukan key person yang dianggap

mengetahui informasi awal tentang data yang dibutuhkan. Informan kunci terdiri

dari para kepala desa (Desa Tebat Ijuk, Desa Koto Lanang, Desa Koto Tuo dan Desa

Koto Petai), para pemangku adat (ninik mamak, rio, depati dan mangku). Selanjutnya

digunakan teknik snowball sampling, peneliti meminta rujukan informan yang

menguasai atau memiliki informasi strategis terkait data yang dibutuhkan. Mereka

adalah cerdik pandai, tokoh agama, tetua adat, ketua pemuda, mantan kepala desa,

anak jantan dan anak betino. Para informan dipilih dengan dasar mereka merupakan

aktor-aktor yang berperan dalam penyelenggaraan pemerintahan desa.

Berbagai informasi dari sumber primer dan sumber sekunder diolah dengan

menggunakan teknik koding. Teknik ini digunakan karena untuk memperoleh

makna setiap informasi dari berbagai sumber. Disamping itu pengkodingan

dianggap efektif untuk menemukan kecendrungan informasi yang dapat

dipertanggungjawabkan keabsahannya.

12
Irawan Soehartono, Metode Penelitian Sosial, Suatu Teknik Penelitian Bidang Kesejahteraan Sosial Dan Ilmu
Sosial Lainnya, vii (Bandung, Indonesia: Rosdakarya, 2008).
13
Piergiorgio Corbetta, Social Research: Theory, Methods and Techniques (London, Thousand Oaks & New
Delhi: SAGE Publications, 2003), https://doi.org/10.4135/9781849209922.
Hasil pengkodingan data diuraikan melalui narasi yang menunjukkan praktik

kuasa dominasi pemangku adat. Penyajian data dilakukan dengan memberikan

perbandingan terhadap hasil-hasil penelitian terdahulu. Analisa terhadap fenomena

yang ada berangkat dari bangunan teori yang tersusun dalam tulisan ini. Disamping

itu, penulis akan memberikan penegasan-penegasan terhadap temuan-temuan

spesifik dalam tulisan ini sehingga akan memberikan kontribusi secara praktis dalam

penyelenggaraan pemerintahan desa dan secara akademis di bidang kajian politik

lokal. Pada bagian akhir tulisan ini akan menegaskan temuan dan hasil dari diskusi

kemudian memberikan rekomendasi.

Referensi
Tulislah referensi dengan format Chicago Manual of Style 17th Editition (Full Note), (ikuti format berikut), sebaiknya gunakan
Mendeley (nilai tambah), minimal 8 referensi bereputasi, jumlah total referensi tidak kurang dari 15 referensi.

Contoh Penulisan Referensi

Asrinaldi, and Azwar. “Dimensi Kekuasaan Penghulu Adat Melayu Riau Dalam
Pelaksanaan Demokrasi Lokal.” Jurnal Antropologi: Isu-Isu Sosial Budaya 20, no. 1
(2018): 57–69. https://doi.org/10.25077/jantro.v20.n1.p57-69.2018.
Aziz, Munawir. “Identitas Kaum Samin Pasca Kolonia Pergulatan Negara, Agama,
Dan Adat Dalam pro-Kontra Pembangunan Pabrik Semen Di Sukolilo, Pati,
Jawa Tengah.” Kawistara 2, no. 3 (2012): 225–328.
https://doi.org/10.22146/kawistara.3937.
Bayo, Longgina Novadona. “State Neglect, Church Decline, and Ascendent Adat:
The Power Contestation in Adonara, Eastern Flores.” Jurnal Ilmu Sosial & Ilmu
Politik 13, no. 2 (2009): 149–71. https://doi.org/10.22146/jsp.10959.
Corbetta, Piergiorgio. Social Research: Theory, Methods and Techniques. London,
Thousand Oaks & New Delhi: SAGE Publications, 2003.
https://doi.org/10.4135/9781849209922.
Haboddin, Muhtar. “Menguatnya Politik Identitas Di Ranah Lokal.” Jurnal Studi
Pemerintahan 3, no. 1 (2012): 116–34. https://doi.org/10.18196/jgp.2012.0007.
Hadi, Kisno. “Legitimasi Kekuasaan Dan Hubungan Penguasa-Rakyat Dalam
Pemikiran Politik Suku Dayak Ma’anyan.” Kawistara 8, no. 1 (2018): 46–60.
https://doi.org/10.22146/kawistara.28082.
Irawati. “Identitas Kultural Dan Gerakan Politik Kerapatan Adat Kurai Dalam
Representasi Politik Lokal.” Jurnal Studi Pemerintahan 3, no. 1 (2012): 71–100.
https://doi.org/10.18196/jgp.2012.0004.
Kogoya, Yosin. “Konflik Pilkada Di Kabupaten Puncak Provinsi Papua.” In Konflik &
Pergerakan Sosial: Isu-Isu Kontemporer Perlawanan Masyarakat Adat, Konflik Tanah
Dan Konflik Kekuasaan, 123–59. Yogyakarta: Graha Ilmu, 2015.
Mudzakkir, Amin. “Revivalisme Masyarakat Adat Dalam Politik Lokal Di Indonesia
Pasca-Soeharto: Studi Kasus Komunitas Kampung Naga, Tasikmalaya, Jawa
Barat.” Jurnal Masyarakat & Budaya 13, no. 1 (2011): 167–84.
https://doi.org/10.14203/jmb.v13i1.135.
Prioharyono, J. Emmed M. “Kekuasaan Politik Dan Adat Para Mosalaki Di Desa
Nggela Dan Tenda, Kabupaten Ende, Flores.” Antropologi Indonesia 33, no. 3
(2012): 180–202. https://doi.org/10.7454/ai.v33i3.2463.
Soehartono, Irawan. Metode Penelitian Sosial, Suatu Teknik Penelitian Bidang
Kesejahteraan Sosial Dan Ilmu Sosial Lainnya. vii. Bandung, Indonesia: Rosdakarya,
2008.
Ulum, Bahrul, St. Raudhatul Jannah, and Mohd. Arifullah. “Hegemoni Sosial Dan
Politik Identitas Putra Daerah Jambi.” Al-Daulah: Jurnal Hukum Dan Perundangan
Islam 7, no. 1 (2017): 223–49. https://doi.org/10.15642/ad.2017.7.1.223-249.

Anda mungkin juga menyukai