Tulislah judul dengan huruf kapital maksimal 15 kata, dapat menambahkan anak judul.
menguat, namun tanpa prediksi muncul fenomena politik identitas baik agama
maupun etnis. Hal ini cukup mengejutkan karena desentralisasi yang dimaksudkan
daerah justru memunculkan gejala baru tersebut. Di satu sisi demokrasi di daerah
memberikan hak mereka yang selama ini terkooptasi oleh pusat dengan system
kembali jati diri mereka yang pernah terpasung 1. Menguatnya identitas menjadi
kekuatan Keraton Surakarta di Solo, Pengaruh Puri di Bali dan kemunculan kembali
Pemaknaan terhadap politik identitas sudah meluas tidak hanya sebatas pada
agama, suku, putra daerah akan tetapi juga mencakup mayarakat adat seperti
dijelaskan oleh Irawati di atas, begitupula dengan kaum Samin melawan kolonial
1
Kisno Hadi, “Legitimasi Kekuasaan Dan Hubungan Penguasa-Rakyat Dalam Pemikiran Politik Suku Dayak
Ma’anyan,” Kawistara 8, no. 1 (2018): 46–60, https://doi.org/10.22146/kawistara.28082.
2
Irawati, “Identitas Kultural Dan Gerakan Politik Kerapatan Adat Kurai Dalam Representasi Politik Lokal,”
Jurnal Studi Pemerintahan 3, no. 1 (2012): 71–100, https://doi.org/10.18196/jgp.2012.0004.
dan perbangunan di Pati Jawa Tengah 3. Biasanya istilah adat digunakan sebagai
penggunaan istilah pemangku adat sebagai aktor representasi adat dalam tulisan ini
juga merupakan bagian dari politik identitas. Penggunaan identitas jika dikaitkan
dengan politik lokal dan desa cenderung memunculkan stigma negatif, selain itu
banyak kalangan memandang pesimis terhadap eksisnya politik identitas. Itu cukup
beralasan karena, berangkat dari berbagai fakta politik identitas yang bermotif
hegemoni, dominasi, dan tidak sedikit menimbulnya konflik horizontal seperti salah
satunya konflik antar massa pendukung di kabupaten Puncak propinsi Papua yang
menimbulkan banyak korban nyawa4. Di samping itu, praktek politik identitas juga
fondasi di berbagai aspek kehidupan. Adat bersendi syara’, syara’ bersendi kitabullah
dipraktekkan oleh para pemangku adat dengan sebutan ninik mamak, rio, mangku dan
depati serta sebutan lain yang memiliki makna serupa karena, sebagian lembaga adat
memiliki fungsi yang sama. Undang-undang desa nomor 6 tahun 2014 tentang desa
secara tegas memberi pengakuan terhadap hak asal-usul desa yang telah tergerus
melalui kebijakan penyeragaman bentuk, nama, dan sistem desa oleh undang-
undang nomor 5 tahun 1979 tentang pemerintahan desa. Undang-undang desa yang
untuk melaksanakan pemerintahan sendiri. Akan tetapi, disisi lain azas rekognisi
3
Munawir Aziz, “Identitas Kaum Samin Pasca Kolonia Pergulatan Negara, Agama, Dan Adat Dalam pro-Kontra
Pembangunan Pabrik Semen Di Sukolilo, Pati, Jawa Tengah,” Kawistara 2, no. 3 (2012): 225–328,
https://doi.org/10.22146/kawistara.3937.
4
Yosin Kogoya, “Konflik Pilkada Di Kabupaten Puncak Provinsi Papua,” in Konflik & Pergerakan Sosial: Isu-
Isu Kontemporer Perlawanan Masyarakat Adat, Konflik Tanah Dan Konflik Kekuasaan (Yogyakarta: Graha
Ilmu, 2015), 123–59.
justru dimaknai sebagai dasar untuk merespon kepongahan negara dalam
Studi yang dilakukan oleh Asrinaldi fokus pada pengaruh penghulu adat
dalam demokrasi lokal menunjukkan bahwa praktek kuasa penghulu adat tidak
lebih dari membangun identitas Melayu dan dengan penguatan adat dan budaya.
Pada konteks ini identitas budaya hanya digunakan untuk memberi dukungan
dijadikan sebagai alat politik praktis 5. Sementara Haboddin lebih menekankan pada
Kalimantan Barat dan Irian Jaya. Apa yang diuraikan oleh tulisan tersebut pada
dasarnya gerakan munculnya kembali politik identitas sebagai potret wajah ganda
kekuasaan dan perjuangan memperolah alokasi dana yang lebih besar dari pusat6.
Usaha Ulum, Jannah, & Arifullah dalam memotret praktek hegemoni sosial dan
dengan apa yang diuraikan oleh Haboddin. Akan tetapi, fenomena yang
Begitupula dengan mayoritas dengan minoritas dalam agama dan suku menjadi
basis hegemoni dan dominasi terhadap kelompok lain. Sebenarnya apa yang
secara langsung, akan tetapi lebih pada pertarungan wacana putra daerah dengan
antara masyarakat adat dengan pemerintah, LSM, wartawan, peneliti dan turis
menyumbang kesadaran revivalitas. Adat tidak lagi hanya sebatas menjadi ritus
berhadapan dengan pemerintah. Artinya, adat menjadi daya tawar yang penting
praktik-praktik kekuasaan para Mosaliki (kepala adat) yang diperoleh dari legitimasi
mitologi asal-usul dan konsep sistem pengutamaan posisi maupun struktur sosial.
Keduanya saling berkaitan erat yang tidak hanya sebatas berlaku dalam sistem
institusi gereja dengan adat menunjukkan bahwa pertarungan kuasa secara fisik,
sosial budaya dan kebijakan kekuatan adat sementara masih dominan, sementara
kekuatan gereja an negara melemah. Nilai adat tidak pernah mati meskipun
mengalami tekanan dari pemerintah dan gereja 10. Sementara Irawati mengkaji
gerakan politik berbasis kultural. Irawati lebih menekankan pada kajian motivasi
gerakan politik dan dinamika gerakan politik Kerapatan Adat Kurai (KAK) dalam
KAK adalah kepentingan politik untuk mendapatkan akses dan representasi dari
kelompok mereka dalam pemerintahan lokal. Dinamika gerakan KAK terkait erat
8
Amin Mudzakkir, “Revivalisme Masyarakat Adat Dalam Politik Lokal Di Indonesia Pasca-Soeharto: Studi
Kasus Komunitas Kampung Naga, Tasikmalaya, Jawa Barat,” Jurnal Masyarakat & Budaya 13, no. 1 (2011):
167–84, https://doi.org/10.14203/jmb.v13i1.135.
9
J. Emmed M. Prioharyono, “Kekuasaan Politik Dan Adat Para Mosalaki Di Desa Nggela Dan Tenda,
Kabupaten Ende, Flores,” Antropologi Indonesia 33, no. 3 (2012): 180–202,
https://doi.org/10.7454/ai.v33i3.2463.
10
Longgina Novadona Bayo, “State Neglect, Church Decline, and Ascendent Adat: The Power Contestation in
Adonara, Eastern Flores,” Jurnal Ilmu Sosial & Ilmu Politik 13, no. 2 (2009): 149–71,
https://doi.org/10.22146/jsp.10959.
tertentu. Para elit adat (pemimpin tradisional) sebagai inisiator belum memperoleh
representasi yang baik secara politik, budaya dan ekonomi dalam politik lokal 11.
dan perjuangan untuk memperoleh kekuasaan dan alokasi dana, alat perjuangan
sebagai modal untuk menjalankan pemerintahan dan satu hal yang menarik adalah
kontestasi kuasa antara negara, adat dan gereja. Apa yang relevan dari tulisan ini
adalah menunjukkan fakta baru dalam konteks politik lokal pasca berlakunya
Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa, yaitu adat sebagai salah satu
interaksi yang bersifat formal dan non-formal. Jika Bayo menganalisis pertarungan
tiga pengaruh utama (negara, adat dan gereja) secara terpisah pada konteks sebelum
berlakunya Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa. Maka tulisan ini
Asumsi dasar tulisan ini adalah adat merupakan sumberdaya yang efektif
Secara khusus tulisan ini akan menjawab bagaimana dominasi tetua adat terhadap
pemerintah desa (kepala desa). Penulis melihat bahwa upaya pemangku adat
kepentingan). Adat Kerinci sebagai identitas etnis digunakan sebagai bahan oleh
para elit guna memunculkan isu dan mencari wadah untuk menyalurkan
kepentingan mereka.
Rumusan Masalah
11
Irawati, “Identitas Kultural Dan Gerakan Politik Kerapatan Adat Kurai Dalam Representasi Politik Lokal.”
Tulislah pertanyaan penelitian dengan menggunakan salah satu dari 5 W dan H, minimal 2 pertanyaan penelitian dan
maksimal 4 pertanyaan penelitian.
netralitas birokrasi sebagai pisau analisis. Pasca runtuhnya rezim Suharto tahun 1998
di Indonesia, banyak perubahan yang cepat dan mendasar dalam institusi politik
mengubah sistem politik negara yang terpusat dan otoriter menjadi sistem yang
pemilihan umum yang kompetitif dan desentralisasi menjadi dimensi penting dalam
perubahan politik lokal. Melalui peraturan otonomi daerah, Pilkada untuk memilih
gubernur, walikota atau bupati dilaksanakan secara langsung yang diadopsi dari
sistem Pemilu (Choi, 2007; Dagg, 2007; Seo, 2004). Sejak Pilkada dilaksanakan, sistem
patronasi dipraktikkan oleh tokoh-tokoh lokal, partai politik, dan politisi. Sistem
Belakangan, terdapat ruang dalam Pilkada bagi politisi dan ASN untuk menjalin
hubungan pribadi yang kompleks sehingga batas antara politik dan administrasi
sangat cair (Turner et al., 2019). Keterlibatan ASN dalam politik praktis merupakan
akar dari kemunduran birokrasi, pelayanan yang buruk, korupsi dan malpraktik
pelayanan. Warisan Weber adalah pandangan birokrasi netral dan teknis; nilai-nilai
selain netralitas tidak memiliki peran dalam birokrasi. Perspektif akademik birokrasi
ini sering dipandang sebagai cita-cita politik, meskipun dalam banyak kasus, pejabat
politik berpendapat bahwa nilai birokrasi mengakibatkan inefisiensi, pemborosan,
pribadi antara patron-klien yang membentuk atribut kritis. Bagi klien, itu berarti
mereka dipekerjakan, dan bagi para patron yang menunjuk orang-orang yang setia
kepada mereka untuk mencapai tujuan politik (Ugyel, 2014). Patronasi lama adalah
cara yang berbeda untuk mengatur aliran sumber daya, modus pertukaran,
hubungan kekuasaan, dan legitimasi dalam masyarakat (Eisenstadt & Roniger, 1980).
Strukturnya selalu didasarkan pada ikatan hubungan timbal balik vertikal antara
patron dan klien dan pertukaran antar individu yang bersangkutan. Ikatan timbal
balik selalu asimetris dalam hal kekuasaan, patron melakukan dominasi melalui
kontrol atas sumber daya yang paling diinginkan. Dalam masyarakat agraris
tradisional, tanah adalah sumber daya yang paling berharga yang dimiliki oleh
patron, sedangkan loyalitas dan tenaga kerja adalah kontribusi dari klien (Scott,
1972), ini masih lazim ditemukan di negara berkembang (Ugyel, 2014). Sementara,
dan aturan pemimpin dengan bantuan klien yang mendapatkan imbalan atas
Desa Koto Tuo dan Desa Koto Petai) dengan menggunakan metode kualitatif
eksploratori. Metode ini digunakan untuk lebih memahami gejala atau fenomena
didasarkan pada argumen bahwa di empat desa tersebut karakter adat istiadat masih
terjaga dan digunakan sebagai acuan dalam kehidupan sehari-hari oleh masyarakat.
dunia secara kasat mata 13. Data lapangan tersebut didukung oleh data-data sekunder
seperti laporan, peraturan desa, berita dari media, hasil kajian digunakan sebagai
mengetahui informasi awal tentang data yang dibutuhkan. Informan kunci terdiri
dari para kepala desa (Desa Tebat Ijuk, Desa Koto Lanang, Desa Koto Tuo dan Desa
Koto Petai), para pemangku adat (ninik mamak, rio, depati dan mangku). Selanjutnya
menguasai atau memiliki informasi strategis terkait data yang dibutuhkan. Mereka
adalah cerdik pandai, tokoh agama, tetua adat, ketua pemuda, mantan kepala desa,
anak jantan dan anak betino. Para informan dipilih dengan dasar mereka merupakan
Berbagai informasi dari sumber primer dan sumber sekunder diolah dengan
dipertanggungjawabkan keabsahannya.
12
Irawan Soehartono, Metode Penelitian Sosial, Suatu Teknik Penelitian Bidang Kesejahteraan Sosial Dan Ilmu
Sosial Lainnya, vii (Bandung, Indonesia: Rosdakarya, 2008).
13
Piergiorgio Corbetta, Social Research: Theory, Methods and Techniques (London, Thousand Oaks & New
Delhi: SAGE Publications, 2003), https://doi.org/10.4135/9781849209922.
Hasil pengkodingan data diuraikan melalui narasi yang menunjukkan praktik
yang ada berangkat dari bangunan teori yang tersusun dalam tulisan ini. Disamping
spesifik dalam tulisan ini sehingga akan memberikan kontribusi secara praktis dalam
lokal. Pada bagian akhir tulisan ini akan menegaskan temuan dan hasil dari diskusi
Referensi
Tulislah referensi dengan format Chicago Manual of Style 17th Editition (Full Note), (ikuti format berikut), sebaiknya gunakan
Mendeley (nilai tambah), minimal 8 referensi bereputasi, jumlah total referensi tidak kurang dari 15 referensi.
Asrinaldi, and Azwar. “Dimensi Kekuasaan Penghulu Adat Melayu Riau Dalam
Pelaksanaan Demokrasi Lokal.” Jurnal Antropologi: Isu-Isu Sosial Budaya 20, no. 1
(2018): 57–69. https://doi.org/10.25077/jantro.v20.n1.p57-69.2018.
Aziz, Munawir. “Identitas Kaum Samin Pasca Kolonia Pergulatan Negara, Agama,
Dan Adat Dalam pro-Kontra Pembangunan Pabrik Semen Di Sukolilo, Pati,
Jawa Tengah.” Kawistara 2, no. 3 (2012): 225–328.
https://doi.org/10.22146/kawistara.3937.
Bayo, Longgina Novadona. “State Neglect, Church Decline, and Ascendent Adat:
The Power Contestation in Adonara, Eastern Flores.” Jurnal Ilmu Sosial & Ilmu
Politik 13, no. 2 (2009): 149–71. https://doi.org/10.22146/jsp.10959.
Corbetta, Piergiorgio. Social Research: Theory, Methods and Techniques. London,
Thousand Oaks & New Delhi: SAGE Publications, 2003.
https://doi.org/10.4135/9781849209922.
Haboddin, Muhtar. “Menguatnya Politik Identitas Di Ranah Lokal.” Jurnal Studi
Pemerintahan 3, no. 1 (2012): 116–34. https://doi.org/10.18196/jgp.2012.0007.
Hadi, Kisno. “Legitimasi Kekuasaan Dan Hubungan Penguasa-Rakyat Dalam
Pemikiran Politik Suku Dayak Ma’anyan.” Kawistara 8, no. 1 (2018): 46–60.
https://doi.org/10.22146/kawistara.28082.
Irawati. “Identitas Kultural Dan Gerakan Politik Kerapatan Adat Kurai Dalam
Representasi Politik Lokal.” Jurnal Studi Pemerintahan 3, no. 1 (2012): 71–100.
https://doi.org/10.18196/jgp.2012.0004.
Kogoya, Yosin. “Konflik Pilkada Di Kabupaten Puncak Provinsi Papua.” In Konflik &
Pergerakan Sosial: Isu-Isu Kontemporer Perlawanan Masyarakat Adat, Konflik Tanah
Dan Konflik Kekuasaan, 123–59. Yogyakarta: Graha Ilmu, 2015.
Mudzakkir, Amin. “Revivalisme Masyarakat Adat Dalam Politik Lokal Di Indonesia
Pasca-Soeharto: Studi Kasus Komunitas Kampung Naga, Tasikmalaya, Jawa
Barat.” Jurnal Masyarakat & Budaya 13, no. 1 (2011): 167–84.
https://doi.org/10.14203/jmb.v13i1.135.
Prioharyono, J. Emmed M. “Kekuasaan Politik Dan Adat Para Mosalaki Di Desa
Nggela Dan Tenda, Kabupaten Ende, Flores.” Antropologi Indonesia 33, no. 3
(2012): 180–202. https://doi.org/10.7454/ai.v33i3.2463.
Soehartono, Irawan. Metode Penelitian Sosial, Suatu Teknik Penelitian Bidang
Kesejahteraan Sosial Dan Ilmu Sosial Lainnya. vii. Bandung, Indonesia: Rosdakarya,
2008.
Ulum, Bahrul, St. Raudhatul Jannah, and Mohd. Arifullah. “Hegemoni Sosial Dan
Politik Identitas Putra Daerah Jambi.” Al-Daulah: Jurnal Hukum Dan Perundangan
Islam 7, no. 1 (2017): 223–49. https://doi.org/10.15642/ad.2017.7.1.223-249.