Anda di halaman 1dari 27

KOMUNIKASI

LINTAS BUDAYA
Fakultas : FBIS
Program studi : Akuntansi

TATAP MUKA

03

Kode Mata Kuliah : 01213101


Disusun oleh : Sri Hesti, S.I.Kom., M.I.Kom.
Kemampuan akhir yang diharapkan dari sesi perkuliahan
Mampu menganalisa fenomena-fenomena kebudayaan dan komunikasi dalam
KAB.
Materi yang dipelajari:
A. Unsur kebudayaan dalam KAB
B. Efektivitas hubungan, iklim komunikasi dalam KAB

Peristiwa komunikasi antar budaya tentunya tidak akan terlepas dari unsur- unsur
budaya yang ada pada kelompok masyarakat yang terikat pada suatu budaya tertentu. Untuk
itu, perlu dipahami berbagai unsur budaya untuk mendukung efektivitas hubungan dan
membangun iklim komunikasi yang kondusif.

A. Unsur-unsur Kebudayaan dalam Komunikasi Antar Budaya

Sebelum membahas unsur-unsur kebudayaan dalam komunikasi antar budaya,


terlebih dahulu kita perlu memahami wujud dari budaya itu sendiri. Koentjaraningrat
membagi kebudayaan dalam tiga wujud, yakni ideas (sistem ide), activities (sistem
aktivitas), dan artifacts (sistem artefak)

1. Wujud Kebudayaan sebagai Sistem Ide.

Wujud kebudayaan sebagai sistem ide bersifat sangat abstrak, tidak bisa diraba atau
difoto dan terdapat dalam alam pikiran individu penganut kebudayaan tersebut. Wujud
kebudayaan sebagai sistem ide hanya bisa dirasakan dalam kehidupan sehari-hari yang
mewujud dalam bentuk norma, adat istiadat, agama, dan hukum atau undang-undang.
Contoh wujud kebudayaan sebagai sistem ide yang berfungsi untuk mengatur dan
menjadi acuan perilaku kehidupan manusia adalah norma sosial. Norma sosial dibakukan
secara tidak tertulis dan diakui bersama oleh anggota kelompok masyarakat tersebut.
Misalnya, aturan atau norma sopan santun dalam berbicara kepada orang yang lebih tua
dan aturan bertamu di rumah orang lain. Bentuk kebudayaan sebagai sistem ide secara
konkret terdapat dalam undang-undang atau suatu peraturan tertulis.

2. Wujud Kebudayaan sebagai Sistem.

Aktivitas Wujud kebudayaan sebagai sistem aktivitas merupakan sebuah aktivitas atau
kegiatan sosial yang berpola dari individu dalam suatu masyarakat. Sistem

Sri Hesti 2
ini terdiri atas aktivitas manusia yang saling berinteraksi dan berhubungan secara kontinu
dengan sesamanya. Wujud kebudayaan ini bersifat konkret, bisa difoto, dan bisa dilihat.
Misalnya, upacara perkawinan masyarakat, atau proses pemilihan umum di Indonesia.
Kampanye partai adalah salah satu contoh bentuk atau wujud kebudayaan yang berupa
aktivitas individu. Dalam kegiatan tersebut terkandung perilaku berpola dari individu,
yang dibentuk atau dipengaruhi kebudayaannya.

3. Wujud Kebudayaan sebagai Sistem Artefak.

Wujud kebudayaan sebagai sistem artefak adalah wujud kebudayaan yang paling
konkret, bisa dilihat, dan diraba secara langsung oleh pancaindra. Wujud kebudayaan ini
adalah berupa kebudayaan fisik yang merupakan hasil-hasil kebudayaan manusia berupa
tataran sistem ide atau pemikiran ataupun aktivitas manusia yang berpola. Misalnya, kain
ulos dari Batak atau wayang golek dari Jawa. Di dalam upacara adat perkawinan Jawa,
berbagai mahar berupa barang yang harus diberikan oleh pihak mempelai laki-laki
kepada pihak mempelai perempuan. Benda-benda itu merupakan perwujudan dari ide
dan aktivitas individu sebagai hasil dari kebudayaan masyarakat. Di dalam suatu
kampanye partai politik dibuat berbagai macam lambang partai berupa bendera yang
menyimbolkan keberadaan atau kebesaran partai tersebut.

Sendjaja (2019) memaparkan kebudayaan memberikan identitas pada sekelompok


manusia. Berdasarkan hal tersebut, muncul persoalan bagaimana cara mengidentifikasi
aspek-aspek atau unsur-unsur kebudayaan yang membedakan satu kelompok masyarakat dari
kelompok masyarakat lainnya. Samovar (1981) membagi berbagai aspek kebudayaan ke
dalam tiga bagian besar unsur-unsur sosial budaya yang secara langsung sangat
mempengaruhi penciptaan makna untuk persepsi, yang selanjutnya dapat menentukan tingkah
laku komunikasi. Pengaruh terhadap peristiwa komunikasi ini sangat beragam dan mencakup
semua aspek kegiatan sosial manusia. Unsur-unsur sosial budaya tersebut adalah: 1)
sistem keyakinan, nilai dan sikap; 2) pandangan hidup tentang dunia, 3) organisasi sosial.
Dalam proses KAB unsur-unsur yang sangat menentukan ini bekerja dan berfungsi secara
terpadu bersama-sama karena masing-masing saling berkaitan dan membutuhkan.

Sri Hesti 3
Pengaruh ketiga unsur kebudayaan tersebut pada makna untuk persepsi terutama
pada aspek individual dan subjektifnya. Kita mungkin akan melihat suatu objek atau
peristiwa sosial yang sama dan memberikan makna objektif yang sama, namun makna
individualnya mungkin akan sangat berbeda. Misalnya seorang Amerika dan seorang Arab
akan sepakat menyatakan seseorang adalah wanita berdasarkan wujud fisiknya. Artinya
makna objektifnya tidak berbeda. Tetapi kemungkinan besar keduanya akan berbeda
pendapat tentang bagaimana wanita itu dalam makna sosialnya. Misalnya, orang Amerika
memandang wanita sama seperti pria, dalam arti punya kesempatan dan derajat yang sama
dalam pekerjaan, dalam rumah tangga. Sementara orang Arab, mungkin cenderung
menekankan pada peranan wanita sebagai ibu rumah tangga. Uraian yang lebih rinci
mengenai pengaruh dari masing-masing unsur budaya terhadap persepsi adalah sebagai
berikut:

1. Sistem Keyakinan, Nilai, dan Sikap Keyakinan


a. Keyakinan secara umum diartikan sebagai perkiraan secara subjektif bahwa sesuatu
objek atau peristiwa ada hubungannya dengan objek atau peristiwa lain, atau dengan
nilai, konsep, atribut tertentu, Singkatnya, suatu objek atau peristiwa diyakini
memiliki karakteristik-karakteristik tertentu. Keyakinan ini mempunyai derajat
kedalaman atau intensitas tertentu. Ada tiga macam keyakinan, yaitu:
1) Keyakinan berdasarkan pengalaman (experensial)

Keyakinan berdasarkan pengalaman (experensial), adalah keyakinan yang


terbentuk secara langsung melalui pancaindra. Kita belajar untuk mengetahui dan
kemudian meyakini bahwa objek atau peristiwa tertentu memiliki karakteristik
tertentu. Misalnya dengan menyentuh kompor yang panas, kita belajar untuk
meyakini bahwa benda tersebut mempunyai kemampuan membakar jari-jari kita.
Di luar batas lingkungan yang telah ditentukan oleh kebudayaan, keyakinan ini
sedikit sekali kemungkinannya dipengaruhi oleh faktor kebudayaan. Misalnya
orang Eskimo pada umumnya tidak dapat diharapkan akan membentuk keyakinan
berdasarkan pengalamannya dengan unta karena binatang ini tidak ada di
lingkungannya. Kebudayaan, sebaliknya sangat mempengaruhi pembentukan
keyakinan berdasarkan informasi dan pengambilan keputusan.

Sri Hesti 4
2) Keyakinan berdasarkan informasi (informational)
Keyakinan yang dibentuk melalui sumber-sumber informasi dari luar (eksternal)
seperti orang lain, buku, majalah, televisi, film, media sosial dan lain-lain.
Sumber-sumber tersebut juga kita pilih biasanya atas keyakinan kita akan
reputasinya. Keyakinan seperti ini sangat dipengaruhi oleh beragam faktor
kebudayaan. Seringkali pembentukkannya tergantung pada tingkat keyakinan
yang lebih tinggi, yaitu keyakinan akan otoritas (kewenangan) seseorang atau
lembaga atas topik-topik atau masalah- masalah tertentu.

3) Keyakinan berdasarkan penarikan kesimpulan (inferensiaf)


Melibatkan penggunaan sistem logika intern. Pembentukannya dimulai dari
pengamatan terhadap suatu tingkah laku atau peristiwa, kemudian perkiraan
bahwa tingkah laku tersebut digerakkan atau disebabkan oleh suatu perasaan
atau emosi tertentu. Misalnya, kalau kita melihat orang berteriak-teriak
mengeluarkan kata-kata tidak sopan, maka kita dapat mengasumsikan bahwa dia
sedang marah.

b. Nilai atau nilai-nilai merupakan aspek evaluatif dari sistem keyakinan, nilai, dan
sikap. Dimensi-dimensi evaluatif mencakup kualitas-kualitas, seperti kegunaan,
kebaikan, estetika, kemampuan memuaskan kebutuhan dan pemberian kepuasan.
Walaupun nilai-nilai bisa bersifat unik dan individual, tetapi ada pula yang sudah
cenderung merasuk dalam suatu kebudayaan, yakni yang disebut nilai-nilai
kebudayaan.

Nilai-nilai kebudayaan biasanya berakar dari falsafah dasar secara keseluruhan dari
suatu kebudayaan. Nilai-nilai ini umumnya bersifat normatif karena memberikan
informasi pada anggota kebudayaan tentang apa yang baik dan buruk, yang benar dan
salah, yang positif dan negatif, apa yang perlu diperjuangkan dan dilindungi, apa yang
perlu ditekuni dan lain-Iain.

Nilai-nilai ini dipelajari dan tidak universal, dalam arti berbeda antara budaya yang
satu dengan budaya yang lain. Misalnya nilai yang menyangkut usia tua. Di Korea
orang-orang tua selalu dimintai mengambil bagian dalam pengambilan keputusan
keluarga. Contoh lainnya ialah nilai terhadap keleluasaan pribadi. Di negara-negara
Asia seperti Jepang dan Cina, nilai

Sri Hesti 5
terhadap privacy tinggi, keterbukaan tidak dianjurkan bahkan dianggap sebagai tanda
kelemahan. Sebaliknya, di Israel atau Italia ketertutupan diri dipandang perlu
dihindari.

Nilai-nilai juga dapat diklasifikasikan ke dalam: positif, negatif atau netral. Nilai
positif berkaitan dengan nilai primer. Misalnya, mempertahankan kapitalisme
merupakan nilai positif bagi kebanyakan orang Amerika dan merupakan nilai negatif
bagi kebanyakan orang komunis. Nilai-nilai yang tidak jelas diberi nilai positif atau
negatif bagi anggota kebudayaan bersangkutan, diberi nilai netral. Beberapa dimensi
nilai yang sering diperhatikan dalam Komunikasi Antar Budaya ialah: orientasi
individu kelompok, umur, persamaan hak laki-laki dan perempuan, formalitas,
rendah-tinggi hati dan lain-lain.

c. Sistem Sikap

Kepercayaan atau keyakinan serta nilai-nilai melandasi perkembangan dan isi dari
sistem sikap. Secara formal, sikap dirumuskan sebagai kecenderungan yang dipelajari
untuk memberikan respons (tanggapan) secara konsisten terhadap objek orientasi
tertentu. Sikap terdiri dari tiga komponen, yaitu: 1) Komponen kognisi atau
keyakinan; 2) Komponen evaluasi, dan 3) Komponen intensitas atau harapan.
Intensitas dari sikap berlandaskan pada derajat penyaluran akan kebenaran dari sikap
keyakinan dan evaluasi.

Ketiga komponen sikap tersebut berinteraksi untuk menciptakan keadaan siap secara
psikologis dalam bereaksi terhadap objek-objek dan peristiwa-peristiwa tertentu
dalam lingkungan. Jadi misalnya, apabila kita percaya bahwa menyiksa orang lain
secara fisik adalah salah, kemudian kita yakin bahwa bertinju merupakan bentuk
penyiksaan fisik, maka kita cenderung akan mempunyai sikap negatif terhadap
olahraga tinju. Sikap ini terwujud dalam perilaku-perilaku seperti tidak mau menonton
pertandingan tinju, menentang olahraga tinju dan lain-lain. Sikap dipelajari dan
dibentuk dalam konteks budaya.

Sri Hesti 6
2. Pandangan Hidup tentang Dunia

Pandangan hidup merupakan orientasi suatu kebudayaan terhadap hal-hal seperti


manusia, alam semesta dan masalah-masalah filsafat lainnya yang berkaitan dengan konsep
keberadaan (being). Singkatnya pandangan hidup membantu kita untuk menentukan tempat
dan tingkat kita sendiri di alam semesta ini. Pandangan hidup (way of life) merupakan
pendapat atau pertimbangan yang dijadikan pegangan, pedoman, arahan, dan petunjuk hidup
di dunia. Pendapat atau pertimbangan itu merupakan hasil pemikiran manusia berdasarkan
pengalaman sejarah sesuai waktu dan lingkungan hidupnya.

Pandangan hidup menurut British Humanist Association adalah sebuah keyakinan


kolektif yang berkaitan dengan keyakinan, keseriusan, kohesi, dan keutamaan dan yang
berhubungan dengan sifat kehidupan dan dunia dengan moralitas, nilai-nilai dan/atau cara
hidup penganutnya.

Pandangan hidup merupakan landasan pokok yang paling mendalam dari suatu
kebudayaan. Efeknya seringkali sangat tersamar sehingga tidak dapat terlihat secara nyata
misalnya cara berpakaian, gerak isyarat dan perbendaharaan kata.

3. Organisasi Sosial

Organisasi sosial merupakan cara suatu kebudayaan mengatur diri dan pranata-
pranatanya. Ada dua macam bentuk pengaturan sosial yang berkaitan dengan komunikasi
antar budaya.

a. Kebudayaan geografik, yakni negara, suku bangsa, kasta, sekte keagamaan dan lain
sebagainya yang dirumuskan berdasarkan batas-batas geografik.
b. Kebudayaan-kebudayaan peranan, yaitu keanggotaan dalam posisi-posisi sosial yang
jelas batasannya dan lebih spesifik sehingga mempercepat perilaku komunikasi yang
khusus pula. Pengeorganisasian masyarakat atas peranan ini melintasi organisasi
masyakarat secara geografik dan mencakup seluruh organisasi mulai dari kelompok-
kelompok professional sampe ke organisasi-organisasi yang menekankan ideologi
tertentu.

Unit kelembagaan sosial yang cukup dominan berpengaruh dalam suatu kebudayaan
ialah: keluarga, sekolah, dan lebaga keagamaan. Semua unsur sosial dan budaya
memengaruhi proses-proses persepsi. Walaupun demikian daftar dari

Sri Hesti 7
unsur-unsur budaya itu bersifat terbatas. Segala segi atau aspek kebudayaan dapat
dimasukkan ke dalam macam-macam cara klasifikasi dan cara analysis. Ada dua faktor yang
perlu ditegaskan, yakni: 1) hal yang dipersepsikan sebagai hal yang penting bervariasi dari
satu kebudayaan ke kebudayaan yang lain: 2) hal yang dikomunikasikan seseorang
merupakan pencerminan dari yang dipersepsikan oleh kebudayaan.

Harris dan Morran (1979) mengajukan sepuluh klasifikasi umum sebagai model
sederhana untuk menilai dan menganalisis suatu kebudayaan secara sistematik.
Kesepuluh klasifikasi tersebut adalah:

a. komunikasi dan bahasa,


b. pakaian dan penampilan,
c. makanan dan cara makan,
d. konsep dan kesadaran tentang waktu,
e. pemberian imbalan dan pengakuan,
f. hubungan-hubungan,
g. nilai-nilai dan norma-norma,
h. konsep kesadaran diri dan jarak ruang,
i. proses mental dan belajar,
j. keyakinan (kepercayaan) dan sikap.

Selain itu, Harris dan Morran (1979) dalam Sendjaja (2019) mengajukan
pengkategorian atau klasifikasi yaitu melalui pendekatan system yang terkoordinasi.
Pengertian system merujuk pada perpaduan teratur dari berbagai bagian yang saling berkaitan
satu sama lainnya, yang menciptakan suatu kesatuan. Menurut pendekatan system ini, sistem
kebudayaan terdiri dari:

a. “Kindship” atau system kekerabatan, yaitu hubungan-hubungan kekeluargaan dan


cara orang bereproduksi, melatih dan mensosialisasi para warganya.
b. Sistem pendidikan, yaitu bagaimana orang-orang muda atau orang-orang yang
merupakan warga baru dalam masyarakat diberikan informasi, pengetahuan,
keterampilan, dan nilai-nilai.
c. Sistem ekonomi, yaitu cara masyarakat bersangkutan memproduksi dan
mendistribusikan barang-barang dan jasa.

Sri Hesti 8
d. Sistem politik, yaitu cara-cara memerintah yang dominan untuk memelihara
kestabilan dan melaksanakan kekuasaan dan wewenang. Ada kebudayaan yang masih
di perintah oleh kepala suku, ada yang di pimpin oleh keluarga kerajaan, ada yang
memilih demokrasi atau komunisme, dan lain-lain.
e. Sistem agama, yaitu cara-cara pemberian makna dan motivasi yang berlandaskan
pada aspek-aspek kehidupan budaya yang bersifat spiritual.
f. Sistem pengelompokan sosial, yaitu jaringan pengelompokan sosial yang dibentuk
masyarakat seperti asosiasi atau perkumpulan formal maupun informal.
g. Sistem Kesehatan, yaitu cara suatu kebudayaan mencegah dan mengobati penyakit.
Beberapa kebudayaan mempunyai dukun dengan jampi-jampi atau ramuan-ramuan,
kebudayaan lain sepenuhnya ditangani oleh jasa-jasa yang didukung dana pemerintah.
h. Sistem rekreasi, yaitu cara orang bersosialisasi dan menggunakan waktu senggang.

Cara kategorisasi lain terhadap unsur-unsur kebudayaan telah dicoba dilakukan pula
oleh Ruben (1984) dalam Sendjaja (2019). Daftar unsur-unsur itu merupakan rangkuman dari
beberapa aspek kebudayaan yang dapat menyatukan orang-orang yang memiliki sikap-sikap
dasar, latar belakang, dan gaya hidup. Unsur- unsur kebudayaan tersebut bervariasi antara
satu kebudayaan dengan yang lain sehingga dapat menjadi sumber kesalahpahaman dan
miskomunikasi. Unsur-unsur kebudayaan tersebut adalah:

a. cara-cara memberi salam dalam perjumpaan


b. cara-cara mengunjungi kerabat di rumah
c. cara-cara berpidato atau berbicara di muka umum
d. cara-cara mengadakan pertemuan
e. gerak isyarat non verbal
f. penampilan pribadi
g. sikap umum
h. Bahasa
i. Agama
j. Hari-hari libur khusus
k. Unit sosial keluarga

Sri Hesti 9
l. Adat kebiasaan dalam kencan dan perkawinan
m. Tingkat-tingkat sosial ekonomi
n. Penyebaran kelompok
o. Pekerjaan
p. Makan dan makanan
q. Rekreasi
r. Sejarah dan pemerintah
s. Pendidikan
t. System perhubungan dan komunikasi
u. Kesehatan, kebersihan, fasilitas pengobatan
v. Dampak keadaan geografik dan iklim.

Catur dan Siani (2009) memaparkan Kluckhon (1953) dalam bukunya yang berjudul
Universal Categories of Culture juga membagi kebudayaan yang ditemukan pada semua
bangsa di dunia dari sistem kebudayaan yang sederhana seperti masyarakat pedesaan hingga
sistem kebudayaan yang kompleks seperti masyarakat perkotaan. Kluckhon membagi sistem
kebudayaan menjadi tujuh unsur kebudayaan universal atau disebut dengan kultural
universal. Menurut Koentjaraningrat (2007), istilah universal menunjukkan bahwa unsur-
unsur kebudayaan bersifat universal dan dapat ditemukan di dalam kebudayaan semua bangsa
yang tersebar di berbagai penjuru dunia. Ketujuh unsur kebudayaan tersebut adalah: 1)
Bahasa; 2) sistem pengetahuan; 3) system organisasi sosial; 4) sistem peralatan hidup dan
teknologi; 5) sistem ekonomi dan mata pencaharian hidup; 6) sistem religi, 7) serta kesenian.

Berikut diuraikan setiap unsur kultural universal:

1. Sistem Bahasa. Bahasa merupakan sarana bagi manusia untuk memenuhi


kebutuhan sosialnya untuk berinteraksi atau berhubungan dengan sesamanya.
2. Sistem Pengetahuan. Sistem pengetahuan dalam kultural universal berkaitan
dengan sistem peralatan hidup dan teknologi karena sistem pengetahuan bersifat
abstrak dan berwujud di dalam ide manusia. Sistem pengetahuan sangat luas
batasannya karena mencakup pengetahuan manusia tentang berbagai unsur yang
digunakan dalam kehidupan.
3. Sistem Kekerabatan dan Organisasi Sosial. Unsur budaya berupa sistem
kekerabatan dan organisasi sosial merupakan usaha antropologi untuk

Sri Hesti 10
memahami bagaimana manusia membentuk masyarakat melalui berbagai kelompok
sosial. Menurut Koentjaraningrat tiap kelompok masyarakat kehidupannya diatur oleh
adat istiadat dan aturan-aturan mengenai berbagai macam kesatuan di dalam
lingkungan di mana dia hidup dan bergaul dari hari ke hari. Kesatuan sosial yang
paling dekat dan dasar adalah kerabatnya, yaitu keluarga inti yang dekat dan kerabat
yang lain. Selanjutnya, manusia akan digolongkan ke dalam tingkatan-tingkatan
lokalitas geografis untuk membentuk organisasi sosial dalam kehidupannya.
4. Sistem Peralatan Hidup dan Teknologi. Manusia selalu berusaha untuk
mempertahankan hidupnya sehingga mereka akan selalu membuat peralatan atau
benda-benda. Kebudayaan manusia berdasarkan unsur teknologi yang dipakai suatu
masyarakat berupa benda-benda yang dijadikan sebagai peralatan hidup dengan
bentuk dan teknologi yang masih sederhana. Dengan demikian, bahasan tentang unsur
kebudayaan yang termasuk dalam peralatan hidup dan teknologi merupakan bahasan
kebudayaan fisik.
5. Sistem Ekonomi/Mata Pencaharian Hidup. Mata pencaharian atau aktivitas
ekonomi suatu masyarakat menjadi fokus kajian penting etnografi. Penelitian
etnografi mengenai sistem mata pencaharian mengkaji bagaimana cara mata
pencaharian suatu kelompok masyarakat atau sistem perekonomian mereka untuk
mencukupi kebutuhan hidupnya.
6. Sistem Religi. Koentjaraningrat menyatakan bahwa asal mula permasalahan fungsi
religi dalam masyarakat adalah adanya pertanyaan mengapa manusia percaya kepada
adanya suatu kekuatan gaib atau supranatural yang dianggap lebih tinggi daripada
manusia dan mengapa manusia itu melakukan berbagai cara untuk berkomunikasi dan
mencari hubungan-hubungan dengan kekuatan- kekuatan supranatural. Para ilmuwan
sosial berasumsi bahwa religi suku-suku bangsa di luar Eropa adalah sisa dari bentuk-
bentuk religi kuno yang dianut oleh seluruh umat manusia pada zaman dahulu ketika
kebudayaan mereka masih primitif. Kepercayaan tersebut berkembang pada tingkatan
yang lebih tinggi, yakni kepercayaan kepada satu dewa saja (monotheism) dan
lahirnya konsepsi agama wahyu, seperti Islam, Hindu, Buddha, dan Kristen.
7. Kesenian. Perhatian ahli antropologi mengenai seni bermula dari penelitian
etnografi mengenai aktivitas kesenian suatu masyarakat tradisional. Deskripsi yang
dikumpulkan dalam penelitian tersebut berisi mengenai benda-benda

Sri Hesti 11
atau artefak yang memuat unsur seni, seperti patung, ukiran, dan hiasan. Penulisan
etnografi awal tentang unsur seni pada kebudayaan manusia lebih mengarah pada
Teknik-teknik dan proses pembuatan benda seni tersebut. Selain itu, deskripsi
etnografi awal tersebut juga meneliti perkembangan seni musik, seni tari, dan seni
drama dalam suatu masyarakat. Berdasarkan jenisnya, seni rupa terdiri atas seni
patung, seni relief, seni ukir, seni lukis, dan seni rias. Seni musik terdiri atas seni
vokal dan instrumental, sedangkan seni sastra terdiri atas prosa dan puisi. Selain itu,
terdapat seni gerak dan seni tari, yakni seni yang dapat ditangkap melalui indera
pendengaran maupun penglihatan. Jenis seni tradisional adalah wayang, ketoprak,
tari, ludruk, dan lenong. Sedangkan seni modern adalah film, lagu, dan koreografi.
Dalam kajian antropologi kontemporer terdapat kajian visual culture, yakni analisis
kebudayaan yang khusus mengkaji seni film dan foto. Dua media seni tersebut
berusaha menampilkan kehidupan manusia beserta kebudayaannya dari sisi visual
berupa film dokumenter atau karya-karya foto mengenai aktivitas kebudayaan suatu
masyarakat

Apabila diteliti, unsur-unsur kebudayaan diatas merupakan hal-hal yang mudah


untuk diamati dan diidentifikasi pada saat kita memasuki suatu lingkungan kebudayaan.
Bagaimanapun, pengidentifikasian dari unsur-unsur tersebut dapat membantu kita untuk
menentukan tingkah laku komunikasi yang akan dijalankan.

B. Efektivitas Hubungan, Iklim Komunikasi dalam Komunikasi Antar

Budaya B1. Efektivitas Hubungan dalam Komunikasi Antar Budaya

Efektivitas hubungan merupakan salah satu tujuan dari komunikasi. Dalam konteks
komunikasi antar budaya, kompetensi komunikasi serta pengetahuan tentang budaya sangat
diperlukan untuk dapat menciptakan komunikasi antar budaya yang efektif.

Mulyana (2007) menyatakan komunikasi yang efektif adalah komunikasi yang


hasilnya sesuai dengan harapan para pesertanya (orang-orang yang sedang berkomunikasi)
dalam konteks komunikasi antar budaya ia merumuskan “semakin mirip latar belakang
budaya semakin efektiflah komunikasi”. Dalam pandangan

Sri Hesti 12
Gudykunst (1997) dalam konteks komunikasi antar budaya, komunikasi efektif akan terjadi
apabila kesalahpahaman dapat diminimalisasi. Gudykunst menjelaskan bahwa komunikasi
yang efektif antara individu-individu yang memiliki latar belakang budaya yang berbeda
bukan diartikan karena terciptanya keakraban, berbagi kebiasaan yang sama atau bahkan
berbicara dengan jelas, komunikasi yang efektif digambarkan pada kondisi dimana kedua
belah pihak dapat memprediksikan secara akurat dan menjelaskan perilaku masing-masing
(Griffin, 2003:423). Komunikasi antar budaya akan efektif apabila dalam komunikasi
tersebut dapat menciptakan apa yang disebut sebagai isomorphic attributions, yaitu
penetapan kualitas atau karakteristik terhadap sesuatu supaya menjadi sama (Turnomo,
2005).

Dalam peningkatan kompetensi komunikasi, William Howell dalam Griffin (2003)


menyarankan empat tingkatan dalam kompetensi komunikasi tersebut berdasarkan kesadaran
individu:

1) Unconscious lncompetence. Kita salah menginterpretasikan perilaku orang lain dan


bahkan tidak menyadari apa yang sedang kita lakukan.
2) Conscious lncompetence. Kita tahu bahwa kita salah menginterpretasikan perilaku
orang lain tetapi kita tidak tahu apa yang harus kita lakukan.
3) Conscious competence. Kita berpikir tentang komunikasi kita dan secara terus menerus
berusaha mengubah apa yang kita lakukan supaya menjadi lebih efektif
4) Unconscious competence. Kita telah mengembangkan kecakapan komunikasi kita
untuk menunjukkan bahwa kita tidak lagi hanya berpikir tentang bagaimana kita berbicara
atau mendengarkan.

Komunikasi antar budaya menjadi unik walaupun pada dasarnya memiliki prinsip-
prinsip yang sama dengan konteks komunikasi lainnya mengingat komunikasi antar budaya
merupakan komunikasi yang melibatkan “orang asing” dalam proses komunikasi. Ketika kita
dihadapkan pada perbedaan budaya (dan bentuk lain dari perbedaan kelompok, seperti
perbedaan gender, etnis, atau kelas), kita cenderung memandang orang dari budaya (atau
kelompok) lain sebagai orang asing (Gudykunst, 1997).

Ketika kita berinteraksi dengan orang asing, kemampuan kita untuk berkomunikasi
secara efektif didasarkan, setidaknya sebagian, pada kemampuan kita untuk mengelola
kecemasan dan ketidakpastian kita (Gudykunst, 1995). Sehingga

Sri Hesti 13
perlu dikaji sifat ketidakpastian, kecemasan, dan mindfulness (proses kognitif yang
memungkinkan kita untuk mengelola ketidakpastian dan kecemasan kita).

Berger dan Calabrese (1975) menunjukkan bahwa perhatian utama setiap kali kita
bertemu seseorang yang baru adalah pengurangan ketidakpastian. Berger (1979)
memodifikasi posisi tersebut, dengan alasan bahwa kita mencoba untuk mengurangi
ketidakpastian ketika orang yang kita temui, memberikan penghargaan kepada kita, atau
berperilaku tidak sesuai budaya kita.

Kita tidak pernah bisa sepenuhnya memprediksi atau menjelaskan perilaku orang
lain. Kita semua memiliki batas maksimum dan minimum untuk ketidakpastian (Gudykunst,
1993). Jika ketidakpastian kita berada di atas ambang batas maksimal atau di bawah ambang
batas minimal, kita merasa tidak nyaman dan akan kesulitan berkomunikasi secara efektif.
Jika ketidakpastian kita berada di atas ambang batas maksimum, kita merasa tidak memiliki
cukup informasi untuk memprediksi atau menjelaskan perilaku orang lain. Sehingga kita
kurang percaya diri dengan prediksi dan penjelasan kita tentang perilaku orang lain. Ketika
ada norma atau aturan yang memandu perilaku dalam situasi tertentu, norma atau aturan
tersebut memungkinkan kita secara tidak sadar untuk memprediksi bagaimana orang lain
akan berperilaku, dan oleh karena itu ketidakpastian kita akan berada di bawah ambang batas
maksimum kita.

Jika ketidakpastian kita berada di bawah ambang minimum, menurut kita perilaku
orang lain sangat mudah diprediksi; kita memiliki tingkat kepercayaan yang tinggi terhadap
kemampuan kita untuk memprediksi perilaku orang lain. Tingkat prediktabilitas yang tinggi,
bagaimanapun, sering dikaitkan dengan kebosanan. Ketika situasi ini terjadi, mungkin tidak
ada kebaruan yang cukup dalam hubungan kita untuk mempertahankan minat dalam
berinteraksi dengan orang lain, dan kita mungkin tidak termotivasi untuk berkomunikasi.

Ketika kita melihat perilaku orang lain sangat mudah ditebak, kita cenderung salah
mengartikan pesan mereka karena kita tidak mempertimbangkan kemungkinan bahwa
interpretasi kita terhadap pesan mereka salah. Dengan kata lain, terlalu percaya diri dapat
menimbulkan salah tafsir. Berkomunikasi secara efektif mengharuskan
ketidakpastian kita berada di antara ambang minimum dan maksimum kita
(Gudykunst, 1995). Jika ketidakpastian kita berada di atas ambang

Sri Hesti 14
maksimum atau di bawah ambang minimum, kita perlu mengelola ketidakpastian kita
secara sadar untuk meningkatkan efektivitas komunikasi kita Ketidakpastian.

Umumnya, saat kita mengenal orang asing, ketidakpastian kita tentang perilaku
mereka cenderung menurun (Hubbert, Guerrero, & Gudykunst, 1995). Namun,
ketidakpastian tidak selalu berkurang karena hubungan berubah dari waktu ke waktu. Itu juga
bisa meningkat. Ketika kita pertama kali bertemu orang asing, ketidakpastian kita cenderung
berada di atas ambang batas maksimal kita karena kita merasa tidak nyaman memprediksi
perilaku mereka. Begitu kita bertemu orang asing dan melihat bahwa mereka mengikuti
aturan berinteraksi, ketidakpastian kita akan turun di bawah ambang batas maksimum kita.
Ketidakpastian ini dapat terjadi pula dalam hubungan kita yang sudah mapan, mungkin ketika
mereka melakukan sesuatu yang tidak kita harapkan sehingga meningkatkan ketidakpastian
kita. Misalnya, ketika kita mengetahui bahwa orang lain terlibat persaingan, ketika kita
kehilangan kedekatan dalam suatu hubungan, serta ketika kita mengetahui bahwa orang lain
telah menipu atau mengkhianati kita, ketidakpastian kita dapat meningkat (Planalp,
Rutherford, & Honeycutt, 1988).

Jika situasi itu terjadi, kita harus mengurangi ketidakpastian kita untuk merasa
nyaman berinteraksi dengan orang lain. Kita dapat mengurangi ketidakpastian
dengan mencari informasi, Singkatnya, ketidakpastian kita tentang perilaku orang asing
berfluktuasi dari waktu ke waktu. Jika ketidakpastian kita berada di atas ambang maksimum
atau di bawah ambang minimum, kita perlu mengelolanya secara sadar untuk
meningkatkan efektivitas komunikasi kita.

Gambar. Bentuk hipotesis ketidakpastian dari waktu ke waktu.

Sri Hesti 15
Stephan dan Stephan (1985) berpendapat terdapat empat jenis konsekuensi negatif saat
berinteraksi dengan orang asing, yaitu:

Pertama, kita takut akan konsekuensi negatif bagi konsep diri kita. Di dalam berinteraksi
dengan orang asing, kita khawatir "merasa tidak kompeten, bingung, dan tidak terkendali,
sehingga harus mengantisipasi ketidaknyamanan, frustrasi, dan gangguan karena
kecanggungan interaksi antarkelompok. Kita juga mungkin takut kehilangan harga diri,
bahwa identitas sosial kita akan terancam, dan bahwa kita akan merasa bersalah jika kita
berperilaku menyinggung orang asing.

Kedua, kita mungkin takut konsekuensi perilaku negatif akan dihasilkan dari komunikasi
kita dengan orang asing. Kita mungkin merasa bahwa orang asing akan mengeksploitasi kita,
memanfaatkan kita, atau mencoba mendominasi kita. Kita juga mungkin khawatir tentang
tampil buruk di hadapan orang asing atau khawatir bahwa cedera fisik atau konflik verbal
akan terjadi.

Ketiga, kita takut akan evaluasi negatif terhadap orang asing. Takut ditolak, diejek, tidak
disetujui, dan distereotipkan secara negatif. Evaluasi negatif ini, pada gilirannya, dapat dilihat
sebagai ancaman terhadap identitas sosial kita.

Keempat, kita mungkin takut akan evaluasi negatif oleh anggota kelompok kita. Jika kita
berinteraksi dengan orang asing, anggota kelompok kita mungkin tidak setuju. Kita mungkin
takut bahwa "anggota ingroup akan menolak" kita, "menerapkan sanksi lain," atau
mengidentifikasi kita "dengan outgroup".

Model Pengorganisasian untuk Mempelajari Komunikasi dengan Orang Asing

Gudykunst (1997) dalam bukunya yang berjudul Communication with Stranger


menawarkan model pengorganisasian untuk mempelajari komunikasi dengan orang asing.
Model ini dirancang bukan untuk menggambarkan proses komunikasi dengan orang asing,
melainkan untuk mengatur elemen-elemen yang mempengaruhi proses tersebut. Transmisi
dan interpretasi pesan komunikasi menjadi proses interaktif yang dipengaruhi
oleh filter konseptual, yang dikategorikan ke dalam faktor budaya,
sosiokultural, psikokultural, dan lingkungan. Interaksi ini diilustrasikan pada Gambar
……dengan penjelasan, sebagai berikut:

Sri Hesti 16
 Lingkaran tengah, yang berisi interaksi antara transmisi dan interpretasi pesan, dikelilingi
oleh tiga lingkaran lain yang mewakili pengaruh budaya, sosiokultural, dan psikokultural.

 Lingkaran digambar dengan garis putus-putus untuk menunjukkan bahwa unsur- unsur
tersebut mempengaruhi, dan dipengaruhi oleh, unsur-unsur lain.

 Dua orang yang diwakili dalam model dikelilingi oleh kotak putus-putus yang mewakili
pengaruh lingkungan. Kotak ini digambar dengan garis putus-putus daripada garis padat
karena lingkungan langsung di mana komunikasi berlangsung bukanlah lingkungan yang
terisolasi, atau "sistem tertutup". Sebagian besar komunikasi antar manusia terjadi di
lingkungan sosial yang mencakup orang lain yang juga terlibat dalam komunikasi.

 Pesan/umpan balik antara dua komunikator diwakili oleh garis-garis dari transmisi satu
orang ke interpretasi orang lain dan dari transmisi orang kedua ke interpretasi orang
pertama. Dua jalur pesan/umpan balik ditunjukkan untuk menunjukkan bahwa setiap kali
kita berkomunikasi, kita secara bersamaan terlibat dalam mentransmisikan dan
menginterpretasikan pesan.

Dengan kata lain, komunikasi tidak statis. Rangsangan masuk, pada saat yang sama
pesan terkirim. Pengaruh budaya, sosiokultural, dan psikokultural berfungsi sebagai filter
konseptual untuk pengiriman dan interpretasi pesan kita. Filter

Sri Hesti 17
membatasi prediksi yang kita buat tentang bagaimana orang asing mungkin menanggapi
perilaku komunikasi kita. Sifat prediksi yang kita buat, pada gilirannya, memengaruhi cara
kita memilih untuk menyampaikan pesan kita.

Selanjutnya, filter membatasi rangsangan apa yang kita perhatikan dan bagaimana
kita memilih untuk menafsirkan pesan yang masuk. Pesan dapat ditransmisikan dalam
berbagai bentuk, tetapi untuk tujuan analisis kami, ada dua yang paling relevan: bahasa
(kode verbal) dan perilaku nonverbal. Pesan tidak hanya ditransmisikan secara verbal,
tetapi juga dikodekan secara nonverbal. Bahasa sebagian besar merupakan aktivitas
sadar, sedangkan perilaku nonverbal sebagian besar merupakan aktivitas
tidak sadar. Artinya, kita umumnya tidak menyadari pesan yang kita sandikan secara
nonverbal melalui gerak tubuh, ekspresi wajah, atau nada suara kita, untuk menyebutkan
beberapa perilaku saja. Namun, ketika kita menghadapi perilaku nonverbal yang sangat
berbeda dari perilaku kita sendiri (yaitu, ketika berkomunikasi dengan orang asing), kita
mungkin menjadi sangat sadar akan perilaku tersebut.

Bahasa adalah salah satu kendaraan utama yang kita gunakan untuk menyandikan
pesan. Jelas, bahasa dapat berbeda dari budaya ke budaya. Budaya dan bahasa saling terkait
erat, yang satu mempengaruhi yang lain. Bahasa kita adalah produk dari budaya kita, dan
budaya kita adalah produk dari bahasa kita. Bahasa yang kita gunakan memengaruhi apa
yang kita lihat dan pikirkan, dan apa yang kita lihat dan pikirkan, sebagian, memengaruhi
budaya kita.

Ketika kita menafsirkan sebuah pesan, persepsi kita bergantung pada apa yang
dikatakan orang lain secara verbal, perilaku nonverbal apa yang ditunjukkan orang lain, pesan
kita sendiri. Dengan kata lain, bagaimana kita menginterpretasikan pesan yang dikodekan
oleh orang asing adalah fungsi dari apa yang telah mereka transmisikan, apa yang
sebelumnya telah kita transmisikan kepada mereka, konteks komunikasi yang kita
komunikasikan, dan filter konseptual kita. Seperti yang ditunjukkan sebelumnya, cara kita
memproses rangsangan yang masuk sebagian merupakan fungsi dari filter konseptual kita.
Lebih khusus lagi, filter membatasi rangsangan yang kita amati dan memberi tahu kita
bagaimana rangsangan spesifik harus ditafsirkan.

Misalnya: orang asing yang mengunjungi Jepang dan diundang ke rumah orang
Jepang, di mana sepatu diharapkan dilepas sebelum memasuki rumah. Orang

Sri Hesti 18
asing mungkin melihat sepatu keluarga Jepang di dekat pintu tetapi, karena filter konseptual
mereka, tidak menganggap rangsangan itu berarti dan, oleh karena itu, masuk ke rumah
dengan sepatu masih di kaki mereka. Saat tuan rumah Jepang menjadi kesal, orang asing
tidak akan tahu kesalahan apa yang mereka lakukan. Filter konseptual orang asing telah
membatasi rangsangan yang mereka beri makna, sehingga mempengaruhi interpretasi yang
mereka buat tentang situasi.

Secara lebih formal, kita dapat mengatakan bahwa norma dan aturan adalah
seperangkat perilaku yang diharapkan untuk situasi tertentu. Dimensi variabilitas budaya
(misalnya, individualisme-kolektivisme), nilai-nilai, dan norma-norma komunikasi dan aturan
yang mendominasi pengaruh budaya kita bagaimana kita mengirimkan pesan dan
menafsirkan rangsangan yang masuk ketika kita berkomunikasi dengan orang asing.

Pertimbangkan, misalnya, kunjungan ke Amerika Utara oleh orang asing dari suatu
budaya dengan aturan komunikasi yang mengharuskan kontak mata langsung selalu
dihindari. Saat berinteraksi dengan orang asing ini, orang Amerika Utara akan mencoba
menjalin kontak mata langsung. Jika orang asing tidak menatap mata mereka saat berbicara,
orang Amerika Utara akan berasumsi bahwa orang asing itu menyembunyikan sesuatu atau
tidak mengatakan yang sebenarnya, karena aturan komunikasi di Amerika Utara memerlukan
kontak mata langsung untuk membangun ketulusan seseorang. Aturan budaya Amerika
Utara, oleh karena itu, telah memengaruhi cara orang Amerika Utara menafsirkan perilaku
orang asing.

Fondasi Konseptual Pengaruh Sosial Budaya.

Pengaruh sosiokultural adalah mereka yang terlibat dalam proses tatanan sosial.
Keteraturan sosial berkembang dari interaksi kita dengan orang lain ketika pola perilaku
menjadi konsisten dari waktu ke waktu (Olsen, 1978). Kita menjadi anggota kelompok baik
karena kita dilahirkan di dalamnya atau karena kita bergabung dengan mereka. Kelompok
tempat kita dilahirkan termasuk, tetapi tidak terbatas pada, kelompok ras dan etnis, keluarga,
kelompok usia, dan kelompok jenis kelamin. Berbagai kelompok di mana kita menjadi
anggotanya menegakkan serangkaian perilaku yang diharapkan (norma dan aturan) dan
memiliki nilai bersama dan, oleh karena itu, berdampak pada cara kita berkomunikasi dengan
orang asing.

Sri Hesti 19
Keanggotaan kita dalam kelompok sosial memengaruhi cara kita memandang diri
sendiri. Konsep diri kita terdiri dari setidaknya dua komponen: identitas sosial dan identitas
pribadi. Identitas sosial kita berasal dari keanggotaan kita dalam kelompok sosial kita.
Identitas pribadi kita didasarkan pada pengalaman pribadi kita yang unik. Sejauh mana kita
mengidentifikasi diri dengan kelompok kita dan merasa nyaman dengan diri kita sendiri
sebagai individu memengaruhi komunikasi kita dengan orang asing.

Ketika kita berkomunikasi dengan orang lain dan membuat prediksi berdasarkan
posisi yang dipegang orang tersebut dalam sebuah kelompok, kita terlibat dalam hubungan
peran. Gagasan tentang posisi dapat diilustrasikan dengan baik melalui contoh-contoh: juru
tulis, hakim, ayah, ibu, bos, dokter, profesor, mahasiswa, dan sebagainya. Orang yang
mengisi salah satu posisi ini diharapkan melakukan perilaku tertentu. Serangkaian perilaku
yang diharapkan mereka lakukan disebut sebagai peran mereka. Ekspektasi peran kita
memengaruhi cara kita menginterpretasikan perilaku dan prediksi apa yang kita buat tentang
orang-orang dalam peran tertentu.

Harapan peran bervariasi dalam setiap budaya, tetapi ada kecenderungan bagi
mereka untuk lebih bervariasi lintas budaya. Jika kita tidak mengetahui ekspektasi peran
orang asing, mau tidak mau kita akan membuat interpretasi dan prediksi yang tidak akurat
tentang perilaku mereka.

Pengaruh Psikokultural yang termasuk dalam pengaruh psikokultural adalah


mereka yang terlibat dalam proses pemesanan pribadi. Pengaturan pribadi, Anda akan ingat,
adalah proses yang memberi stabilitas pada proses psikologis. Variabel yang mempengaruhi
komunikasi kita dengan orang asing termasuk stereotip dan sikap kita terhadap (misalnya,
etnosentrisme dan prasangka) kelompok orang asing. Stereotip adalah penilaian kaku
seseorang kepada orang lain yang dibuat berdasarkan prasangka sendiri. Sedangkan menurut
Kamus Besar Bahasa Indonesia, stereotip adalah konsepsi mengenai sifat, watak, dan
perilaku sebuah golongan atau kelompok hanya berdasarkan prasangka yang tidak benar.
Stereotip dan sikap kita menciptakan ekspektasi tentang bagaimana orang asing akan
berperilaku. Harapan kita, pada gilirannya, memengaruhi cara kita menginterpretasikan
rangsangan yang masuk dan prediksi yang kita buat tentang perilaku orang asing. Coleman
dan Cressey menjelaskan etnosentrisme adalah seseorang yang berasal dari kelompok

Sri Hesti 20
etnis yang cenderung melihat budaya mereka sebagai yang terbaik dibandingkan dengan sifat
kebudayaan yang lainnya. Menjadi sangat etnosentris, misalnya, membuat kita menafsirkan
perilaku orang asing dari kerangka acuan budaya kita sendiri dan mengharapkan orang asing
berperilaku sama seperti kita. Sedangkan, prasangka adalah pendapat atau sikap yang
berlandaskan emosi sehingga tidak terbuka terhadap alasan yang berlawanan dengan apa
yang diyakini. Selain itu, prasangka juga dapat diartikan sebagai suatu sikap dalam
mengambil sebuah keputusan tanpa mengetahui fakta yang sebenarnya terjadi, sehingga bisa
menyebabkan kesalahpahaman. Kata “prasangka” itu sendiri pertama diperkenalkan oleh
seseorang yang bernama Gordon Allport. Adapun kata “prasangka” diambil dari kata
praejuducium yang artinya adalah suatu pernyataan atau sebuah kesimpulan yang
berdasarkan dari pengalaman atau perasaan yang cukup dangkal terhadap individu lain atau
kelompok lainnya.

Pengaruh lingkungan. Lingkungan tempat kita berkomunikasi memengaruhi


transmisi dan interpretasi pesan kita. Lokasi geografis, iklim, dan pengaturan arsitektur, serta
persepsi kita tentang lingkungan, memengaruhi cara kita menginterpretasikan rangsangan
yang masuk dan prediksi yang kita buat tentang perilaku orang asing. Karena orang asing
mungkin memiliki persepsi dan orientasi yang berbeda terhadap lingkungan, mereka
mungkin menginterpretasikan perilaku secara berbeda dalam latar yang sama.

Sebagai ilustrasi, seorang Amerika Utara yang mengunjungi sebuah keluarga


Kolombia berharap untuk terlibat dalam interaksi informal di ruang tamu. Tuan rumah
Kolombia, di sisi lain, mungkin akan mendefinisikan ruang tamu sebagai tempat untuk
perilaku formal. Oleh karena itu, masing-masing akan menafsirkan perilaku pihak lain
berdasarkan harapannya sendiri dan membuat prediksi tentang pihak lain. Situasi seperti itu,
kemungkinan besar, akan menyebabkan kesalahpahaman.

B2. Iklim Komunikasi dalam Komunikasi Antar Budaya

Faules (2006) menyebutkan Iklim komunikasi merupakan gabungan dari persepsi-


persepsi, suatu evaluasi makro mengenai peristiwa komunikasi. Menunjukkan bahwa iklim
komunikasi dikonstruk sebagai suatu situasi, kondisi suasana yang melibatkan sausana
batin atau hati partisipan komunikasi. Liliweri
(2003) menyebutkan Iklim komunikasi lebih berkaitan erat dengan situasi, kondisi,

Sri Hesti 21
suasana psikologis (hati dan batin) yang berpengaruh terhadap interaksi/relasi yang terjadi
antarpribadi, komunikasi dalam kelompok dan organisasi serta komunikasi publik dan
komunikasi massa.

Mengutip pendapat Harbermas, bahwa dalam setiap proses komunikasi (apapun


bentuknya) selalu ada fakta dari semua situasi yang tersembunyi dibalik para partisipan
komunikasi. Menurutnya, beberapa kunci iklim komunikasi dapat ditunjukan oleh
karakteristik, suasana di mana tidak ada lagi tekanan kekuasaan terhadap
peserta komunikasi, prinsip keterbukaan bagi semua, suasana yang mampu
memberikan partisipan komunikasi untuk dapat membedakan antara minat pribadi dan
minat kelompok.

Di sini kelihatan bahwa iklim komunikasi dapat menghasilkan dampak yang positif
maupun negatif, dan itu tergantung atas tiga dimensi yakni 1) perasaan positif,
2) pengetahuan dan 3) prilaku pertisipan komunikasi, dengan penjelasan, sebagai berikut:

1) Perasaan Positif terhadap partisipan Komunikasi. Suatu proses komunikasi


dikatakan berada dalam suatu iklim komunikasi yang sehat jika partisipan komunikasi
dapat saling menciptakan perasaan positif. Dengan cara mengurangi perasaan curiga
(prasangka, prejudice) terhadap orang yang sedang berkomunikasi. Partisipan
komunikasi tidak boleh menarik suatu kesimpulan dengan tergesa-gesa sebelum
mengenal dan mendalaminya, partisipan komunikasi tidak boleh saling “menuduh”
orang lain sebagai orang yang tidak jujur, tidak saleh, tidak benar, atau tidak dapat
dipercayai. Perasaan positif mendorong partisipan komunikasi untuk berkata dengan
benar, jujur dan meyakinkan, menampilkan diri dengan kepercayaan diri yang tinggi
(Liliweri 2003).

2) Pengetahuan tentang partisipan komunikasi yang meliputi pengetahuan “dasar“


tentang dengan “siapakah” kita berkomunikasi. Misalnya dari suku mana dia berasal,
pekerjaan atau profesinya, tempat tinggal, umur, atau mungkin latar belakang orang tua.
Demikian pula tentang harapan-harapan yang diinginkan, maksud, tujuan komunikasi,
keinginan dan kebutuhan yang diharapkan dari partisipan. Tanpa pengetahuan dan
pengertian yang baik terhadap parisipan komunikasi maka komunikasi tidak akan efektif.

Sri Hesti 22
3) Perilaku yang diwujudkan ke dalam perilaku verbal dan nonverbal. Setiap
paserta komunikasi diharapkan mampu mengungkapkan maksud dan tujuan komunikasi,
apa yang dimaksudkan dengan kata-kata yang diungkapkan atau dengan gerakan-gerakan
tubuh yang diperagakan. Perlu disampaikan bahwa perilaku atau tindakan komunikasi
manusia berasal dari tiga sumber utama, yakni berdasarkan: (1) kebiasaan; (2) maksud
yang ada dalam benak; serta (3) perasaan atau emosi. Perilaku dan Tindakan komunikasi
kadang-kadang didasarkan pada kebiasaan, baik oleh karena dipelajari (scripted) atau
dengan spontan dalam situasi tertentu (Liliweri, 2003).

Keefektifan komunikasi akan tercapai jika frekuensi perilaku canggung dan


tersinggung ketika proses komunikasi menunjukkan tingkat yang rendah. Hal ini bertujuan
agar terciptanya situasi yang mindful yakni merupakan situasi kesalahpahaman yang minimal
karena partisipan komunikasi dapat mereduksi hambatan yang timbul karena perbedaan latar
belakang budaya dan kedua belah pihak dapat mengelola kecemasan dan ketidakpastian yang
terjadi

Mindfulness. Komunikasi antarbudaya akan efektif apabila didalam komunikasi


antarbudaya terjadi situasi yang mindful. Komunikasi antarbudaya yang mindful akan
muncul apabila masing-masing pihak yang terlibat dalam komunikasi tersebut dapat
meminimalkan kesalahpahaman budaya dengan cara mereduksi persepsi yang negatif,
perilaku etnosentrisme, prasangka dan stereotipe. Selain itu, situasi mindful ini juga akan
tercapai apabila kedua belah pihak dapat mengelola kecemasan dan ketidakpastian yang
dihadapi. Mainfulness diterjemahkan sebagai satu bentuk kehati-hatian. Mindfulness ini
merupakan salah satu strategi komunikasi yang paling impresif untuk mengatasi stress adalah
strategi kehari-hatian. Kehati- hatian adalah seni menerima kehidupan ketika kehidupan itu
datang dan menikmatinya dari setiap waktu.

Kehati-hatian mendorong kita untuk hidup seolah-olah setiap saat itu penting, yang
berarti bahwa setiap saat itu penting, yang berarti bahwa setiap saat harus diperhatikan,dijaga,
diterima, dan dihargai.

Menurut Buber (dalam Tumomo 2005:64), situasi komunikasi yang mindful lebih
menekankan patla relasi antar individu. Buber mengkontraskan pada 2 tipe relasi: I-It (Aku-
Itu) dan I-Thou (Aku-Engkau)

Sri Hesti 23
I-It : memperlakukan orang lain sebagai benda yang digunakan atau objek yang
dimanipulasikan. Seringkali disusupi dengan ketidakjujuran.

I-Thou : menghormati orang lain sebagai subyek sebagai ciptaan Tuhan yang berharga.
Memperlakukan orang lain dengan empati.

Dalam memahami komunikasi antar budaya yang mindfulness, kita lihat skema berikut ini:

Gambar. Proses Komunikasi Antarbudaya yang Mindfulness

1) Self and Self Concept (diri dan konsep diri).

Dalam pandangan Gudykunst, diri dan konsep diri merupakan kemajuan dalam melihat
harga diri kita ketika kita berinteraksi dengan orang lain dari budaya yang berbeda akan
menghasilkan sebuah kemajuan dalam kemampuan kita untuk mengatur kecemasan kita.
Dalam teori interaksionalisme simboliknya, Mead mengatakan bahwa image tentang diri
sendiri terbentuk oleh bagaimana kita melihat orang lain melihat diri kita. Prinsip ini
seperti yang dikatakan dalam teori "the looking-glass self “.

3. Situational Processes (Proses-proses situasional)

Situasi yang tidak formal akan mennurunkan kecemasan kita Ketika kita berkomunikasi
dengan orang dari budaya yang berbeda. Selain itu, situasi ini akan membangun
kepercayaan kita untuk memprediksi tingkah laku mereka.

Sri Hesti 24
2) Motivation to interect with strangers (motivasi untuk berinteraksi dengan orang
asing).

Sebuah kemajuan dalam kebutuhan kita terhadap rasa inklusi kita dalam group ketika kita
berinteraksi dengan orang lain yang berasal dari budaya yang berbeda akan menghasilkan
sebuah kemajuan dalam mengatur kecemasan kita. Dalam konteks ini, setiap orang yang
berada di dalam group akan membutuhkan rasa inklusi di dalam group itu. Terlebih ketika
orang tersebut berinteraksi dengan orang lain yang berasal dari budaya yang berbeda.
Kondisi ini akan menghasilkan sebuah kemajuan dalam mengatur kecemasan kita.
Menurut William Gudykunst (dalam EM Griffin, 2003:428), sekalipun dia berasal dari
budaya individualistik, keterhubungan merupakan dorongan yang lebih kuat untuk
membangun interaksi dengan orang lain yang berasal dari budaya yang berbeda
dibandingkan dengan dialektika yang dibangun secara perbagian.

4. Social Categoization of strangers (kategori sosial untuk orang asing)

Kesamaan personal yang kita dapatkan antara kita dengan orang lain yang berasal dari
budaya yang berbeda akan membuat kita mampu untuk mengatur kecemasan kita. Kondisi
ini akan membuat kita mampu untuk memprediksi tingkah laku mereka secara akurat.
Kesiapan kita untuk strangers, menghadapi kekerasan dari orang lain yang memiliki
budaya yang berbeda dengan kita, sangat ditentukan oleh ekspektasi kita. Ketika kita
memiliki ekspektasi positif maupun Ketika mereka melakukan konfirmasi terhadap
ekspektasi negatif kita, maka kondisi ini akan membuat kita mampu untuk mengatur
kecemasan kita dan mengurangi keyakinan kita dalam memprediksi tingkah laku mereka.

5. Reactions to strangers (Reaksi kepada orang asing)

Gudykunst menjelaskan reactions to strangers dikatakan bahwa kemampuan kita dalam


memproses informasi yang sangat kompleks tentang orang lain yang berasal dari budaya
yang berbeda akan membuat kita mampu untuk memprediksi tingkah laku mereka secara
akurat. Teori konstruktivisme, Delia mengasurulkan bahwa kemampuan kognitif yang
sangat komplek yang dimiliki setiap orang merupakan alat yang paling baik untuk
mengambil perspektif yang tepat terhadap orang lain.

Kemampuan kita untuk bersikap toleran (mentoleransi) ambiguitas ketika kita berinteraksi
dengan orang lain yang berasal dari budaya yang berbeda akan

Sri Hesti 25
membuat kita mampu untuk mengatur kecemasan kita dan untuk memprediksi tingkah
laku mereka secara akurat. Kemampuan kita berempati dengan orang lain yang berasal
dari budaya yang berbeda akan membuat kita mampu untuk memprediksi tingkah laku
mereka secara akurat.

6. Connections with stranger (Koneksi dengan orang asing)

Daya tarik kita kepada orang lain yang berasal dari budaya yang berbeda akan
menurunkan kecemasan kita. Artinya, kecemasan kita dapat kita minimalisasi manakala
daya tarik kita terhadap orang lain yang berasal dari budaya yang berbeda itu meningkat.
Selain menurunkan kecemasan, daya tarik kita kepada orang lain juga kan menumbuhkan
kepercayaan diri untuk memprediksi tingkah laku mereka. Kerjasama yang kita lakukan
dengan orang lain yang berasal dari budaya yang berbeda akan menurunkan kecemasan
kita. Ketika Kerjasama ini dilakukan, maka akan memunculkan kepercayaan diri untuk
memprediksi tingkah laku mereka.

Dalam perspektif komunikasi, Jandt (1998) dalam Turnomo (2005) Komunikasi


antarbudaya yang mindful membutuhkan empat kecakapan, yaitu:

1. Kekuatan kepribadian (personality strenght)

a. Konsep diri (self-concept)

b. Pengungkapan (self-disclosure)

c. Pemantauan diri (self-monitoing)

d. Relaksasi sosial (social relaxation)

2. Kecakapan-kecakapan komunikasi (communication skills)

a. kecakapan-kecakapan yang berkitan dengan pesan (message skill)

b. Keluwesan perilaku (behavioral flexibility)

c. Manajemen interaksi (interaction management)

d. Kecakapan-kecakapan Sosial (social skills)

3. Penyesuaian psikologis (pshychological

4. Kesadaran budaya (cultural awareness)

Sri Hesti 26
Sedangkan Little John mengatakan bahwa kemampuan dalam komunikasi
antarbudaya terdiri dari tiga komponen:

1. Pengetahuan (knowledge)

Pemahaman akan pentingnya identitas etnik (kebudayaan) dan kemampuan melihat Apa
yang penting bagi orang lain. Artinya mengetahui sesuatu tentang identitas ebudayaan
dan mampu melihat segala perbedaan, misalnya antara ahli identitas kolektif dan ahli
identitas individu.

2. Kesadaran (mindfulness)

Secara sederhana kesadaran berarti seczra biasa dan teliti untuk menyadari hal ini berarti
kesiapan berganti ke perspektif baru.

3. Kemampuan (skill)

Mengacu kepada kemampuan untuk menegosiasi identitas melalui observasi yang teliti,
menyimak, empati, kepekaan non verbal, kesopanan, penyusunan ulang dan kolaborasi.
(Little John, 2009)

***

Referensi:

Catur, Siany, 2009, Khazanah Antropologi, Pusat Perbukuan, Depdiknas, Jakarta Damarastuti,
R., 2013, Mindfulness dalam Komunikasi Antarbudaya, Buku Litera,
Yogyakarta.
Griffin, E.M.., 2012, A First Look At Communication Theory (Eighth Edition), Mcgraw-
Hill
Gudykunst W., and Young Yun Kim, 1995, Communicating With Strangers: An Approach
to Intercultural Communication, in Bridges Not Walls, ed. John Stewart, 6th
edition, (New York: McGraw-Hill, 1995)
Liliweri, Alo. 2003. Dasar-Dasar Komunikasi Antarbudaya, Pustaka Pelajar,
Yogyakarta
Samovar L.A., Porter, R.R., McDaniel, E.R., Komunikasi Lintas Budaya Ed.7,
Salemba Humanika, Jakarta
Sendjaja, S.D., 2019, Teori Komunikasi, Universitas Terbuka, Tangerang.

Sri Hesti 27

Anda mungkin juga menyukai