Anda di halaman 1dari 12

BUKU JAWABAN UJIAN (BJU)

UAS TAKE HOME EXAM (THE)


SEMESTER 2020/21.1 (2020.2)

Nama Mahasiswa : BRIAN SALVIANTONO.……………………………………………………..

Nomor Induk Mahasiswa/NIM : 030743404….…………………………………………………………………..

Tanggal Lahir : 08 Juni 1992..…………………………………………………………………..

Kode/Nama Mata Kuliah : HKUM4405/ Hukum Acara Perdata

Kode/Nama Program Studi : 311/Ilmu Hukum ……………………………………………………..

Kode/Nama UPBJJ : 50/SAMARINDA

Hari/Tanggal UAS THE : Minggu/20 Desember 2020

………………………………………………

Tanda Tangan Peserta Ujian

Petunjuk

1. Anda wajib mengisi secara lengkap dan benar identitas pada cover BJU pada halaman ini.
2. Anda wajib mengisi dan menandatangani surat pernyataan kejujuran akademik.
3. Jawaban bisa dikerjakan dengan diketik atau tulis tangan.
4. Jawaban diunggah disertai dengan cover BJU dan surat pernyataan kejujuran akademik.

KEMENTERIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN


UNIVERSITAS TERBUKA
Surat Pernyataan Mahasiswa
Kejujuran Akademik

Yang bertanda tangan di bawah ini:

Nama Mahasiswa : BRIAN SALVIANTONO ……………………………………………..


NIM : 030743404……………………………………………………………..
Kode/Nama Mata Kuliah : HKUM4405/ Hukum Acara Perdata………………………..
Fakultas : FHISIP……………………………………………………………………..
Program Studi : Ilmu Hukum……………………………………………………………..
UPBJJ-UT : Samarinda…………………………………………………………………

1. Saya tidak menerima naskah UAS THE dari siapapun selain mengunduh dari aplikasi THE pada laman
https://the.ut.ac.id.
2. Saya tidak memberikan naskah UAS THE kepada siapapun.
3. Saya tidak menerima dan atau memberikan bantuan dalam bentuk apapun dalam pengerjaan soal ujian
UAS THE.
4. Saya tidak melakukan plagiasi atas pekerjaan orang lain (menyalin dan mengakuinya sebagai pekerjaan
saya).
5. Saya memahami bahwa segala tindakan kecurangan akan mendapatkan hukuman sesuai dengan aturan
akademik yang berlaku di Universitas Terbuka.
6. Saya bersedia menjunjung tinggi ketertiban, kedisiplinan, dan integritas akademik dengan tidak
melakukan kecurangan, joki, menyebarluaskan soal dan jawaban UAS THE melalui media apapun, serta
tindakan tidak terpuji lainnya yang bertentangan dengan peraturan akademik Universitas Terbuka.

Demikian surat pernyataan ini saya buat dengan sesungguhnya. Apabila di kemudian hari terdapat pelanggaran
atas pernyataan di atas, saya bersedia bertanggung jawab dan menanggung sanksi akademik yang ditetapkan oleh
Universitas Terbuka.
Bontang, 20 Desember 2020
Yang Membuat Pernyataan

Brian Salviantono
No. Soal
1. Berikanlah argumen saudara apabila suatu kasus peristiwa hukum yang ditangani oleh seorang
hakim belum diatur dalam perundang-undangan, atau meskipun telah diatur tetapi belum
lengkap dan jelas. Bagaimana cara hakim memberikan alasan untuk mengisi kekosongan
hukum tersebut dalam memutuskan suatu perkara?sertakan dasar hukumnya!
2. 1. Bagaimana urgensinya putusan hakim ini terhadap dasar tuntutan (fundamentum petendi)
sehingga gugatan yang diajukan oleh Handayo dan Yani Suryani ditolak oleh hakim?
2. Upaya hukum apa yang dapat dilakukan oleh penggugat (Handoyo dan Yani Suryani) apabila
mereka tidak menerima atas putusan hakim tersebut?
3. Berdasarkan kasus diatas. apakah tergugat (Maria) bisa melakukan upaya hukum verzet? sertai
dengan landasan atau dasar hukumnya!
4. Berdasarkan kasus diatas. upaya apa yang harus dilakukan Ilham terhadap gugatan Budi dalam
mempertahankan haknya sebagai penyewa rumah berhubung rumah tersebut baru ditempati
selama 6 bulan dari 2 tahun waktu yang disewanya?
Jawaban
1. Ketika undang-undang tidak lengkap atau tidak jelas untuk memutus suatu perkara,
saat itulah hakim harus mencari dan menemukan hukumnya (rechtsviding).
Dalam menjalankan tugas untuk mengadili suatu perkara ada kemungkinan bahwa
tidak ada peraturan hukum, atau peraturan hukumnya tidak jelas, atau terjadi kekosongan
hukum. Dalam hal demikian, maka hakim harus berusaha mencari dan menemukan hukumnya
untuk menyelesaikan kasus tersebut. Oleh karena itu Hakim sangat berperan dalam
penemuan hukum, mengingat perubahan dan perkembangan masyarakat yang tentunya sulit
diikuti dengan perkembangan peraturan peundang-undangan secara cepat. Penemuan
hukum ini diartikan sebagai pembentukan hukum oleh hakim atau petugas-petugas hukum
lainnya yang diberi tugas melaksanakan hukum terhadap peristiwa-peristiwa hukum yang
konkrit.
Sudikno Mertokusumo menjelaskan latar belakang perlunya seorang hakim
melakukan penemuan hukum adalah karena hakim tidak boleh menangguhkan atau menolak
menjatuhkan putusan dengan alasan karena hukumannya tidak lengkap atau tidak jelas.
Larangan bagi hakim menolak perkara diatur dalam Pasal 10 ayat (1) UU No. 48 Tahun
2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, yang berbunyi sebagai berikut: “Pengadilan dilarang
menolak untuk memeriksa, mengadili, dan memutus suatu perkara yang diajukan dengan
dalih bahwa hukum tidak ada atau kurang jelas, melainkan wajib untuk memeriksa dan
mengadilinya.”
Pasal 5 ayat (1) UU No.48 Tahun 2009 yang berbunyi: “Hakim dan hakim konstitusi wajib
menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam
masyarakat.”
Lalu, hasil temuan itu akan menjadi hukum apabila diikuti oleh hakim berikutnya atau
dengan kata lain menjadi yurisprudensi. Penemuan hukum ini dapat dilakukan dengan cara
menggali nilai-nilai hukum yang berkembang dalam masyarakat.
Yurisprudensi adalah putusan-putusan hakim atau pengadilan yang tetap dan
dibenarkan oleh Mahkamah Agung sebagai Pengadilan Kasasi atau putusan-putusan
Mahkamah Agung sendiri yang tetap.
Yurisprudensi mempunyai peranan dan sumbangan yang besar dalam pembangunan
hukum nasional. Oleh karena itu, untuk mendukung Pembangunan Sistem Hukum Nasional
yang dicita-citakan dapat dikatakan peranan yurisprudensi yaitu :
1. melancarkan penyelenggaraan pemerintahan,
2. mengisi kekosongan hukum,
3. memberikan kepastian hukum;
4. mengatasi stagnasi pemerintahan dalam keadaan tertentu guna kemanfaatan dan
kepentingan umum.
Hakim mempunyai kewajiban untuk membentuk yurisprudensi terhadap masalah-
masalah yang belum diatur dalam peraturan perundang-undangan atau telah diatur dalam
peraturan perundang-undangan namun tidak lengkap atau tidak jelas, atau ketentuan
peraturan perundang-undangan tersebut memberikan suatu pilihan dan karena adanya
stagnasi pemerintahan guna kepentingan yang lebih luas.
Yurisprudensi dimaksudkan sebagai pengembangan hukum itu sendiri dalam
memenuhi kebutuhan hukum pencari keadilan. Konkritnya, melalui yurisprudensi tugas hakim
menjadi faktor pengisi kekosongan hukum manakala undang-undang tidak mengatur atau
telah ketinggalan jaman.
Walaupun sistem penegakan hukum tidak didasarkan pada sistem precedent, tetapi
hakim peradilan umum atau pengadilan tingkat lebih rendah berkewajiban untuk secara
sungguh-sungguh mengikuti putusan Mahkamah Agung. Selain itu, para hakim wajib
memberikan pertimbangan hukum yang baik dan benar dalam pertimbangan hukum
putusannya, baik dari segi ilmu hukum, maupun dari segi yurisprudensi dengan
mempertimbangkan putusan hakim yang lebih tinggi dan/atau putusan hakim sebelumnya.
Dan apabila hakim ingin menyimpang dari yurisprudensi, maka hakim yang bersangkutan
wajib memberi alasan dan pertimbangan hukum adanya perbedaan dalam fakta-fakta dalam
perkara yang dihadapinya dibanding dengan fakta-fakta dalam perkara-perkara sebelumnya.
Pada tataran teoritis, untuk dapat dilakukan upaya Pembangunan Hukum Perdata
Indonesia melalui Yurisprudensi Mahkamah Agung, perlu dilakukan inventarisasi putusan
pengadilan yang memenuhi unsur yurisprudensi yang dilaksanakan secara bersama-sama oleh
Mahkamah Agung, Pengadilan-pengadilan Tinggi dan Pengadilan Tingkat Pertama, sehingga
kepastian hukum dan usaha unifikasi hukum dapat terselenggara pula melalui badan-badan
peradilan.
Putusan-putusan tersebut dijadikan yurisprudensi jika memenuhi sejumlah unsur,
yaitu :
1. Putusan atas suatu peristiwa hukum yang belum jelas pengaturannya dalam undang-
undang.
2. Putusan tersebut harus merupakan putusan yang telah berkekuatan hukum tetap.
3. Telah berulang kali dijadikan dasar untuk memutus suatu perkara yang sama.
4. Putusan tersebut telah memenuhi rasa keadilan.
5. Putusan tersebut dibenarkan oleh Mahkamah Agung.
Kelayakan suatu yurisprudensi dapat menjamin adanya nilai kemanfaatan adalah
putusan mengandung nilai terobosan dan putusan diikuti oleh hakim secara konstan sehingga
menjadi yurisprudensi tetap yang memaksimalkan kepastian hukum. Apabila mengenai suatu
persoalan sudah ada suatu yurisprudensi tetap, maka dianggap bahwa yurisprudensi itu telah
melahirkan suatu peraturan hukum yang melengkapi undang-undang. Pemantapan asas-asas
hukum pertama-tama bisa dilakukan dalam usaha pembentukan hukum nasional melalui
proses perundang-undangan (legislation). Tetapi pada tahap penerapannya, asas-asas itu
dimantapkan melalui yurisprudensi.
Yurisprudensi merupakan kebutuhan yang fundamental untuk melengkapi berbagai
peraturan perundang-undangan dalam penerapan hukum karena dalam sistem hukun
nasional memegang peranan sebagai sumber hukum. Tanpa yurisprudensi, fungsi dan
kewenangan peradilan sebagai pelaksana kekuasaan kehakiman akan dapat menyebabkan
kemandulan dan stagnan. Yurisprudensi bertujuan agar undang-undang tetap aktual dan
berlaku secara efektif, bahkan dapat meningkatkan wibawa badan-badan peradilan karena
mampu memelihara kepastian hukum, keadilan sosial, dan pengayoman.
Referensi :
1) Rijanto, R. Benny., 2016. Hukum Acara Perdata. Tangerang Selatan : Universitas Terbuka.
2) Mertokusumo, Sudikno. 2016. Mengenal Hukum : Suatu Pengantar. Edisi Revisi.
Yogyakarta : Cahaya Atma Pustaka.
3) Undang-Undang No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman.
2. 1. Putusan hakim yang menolak Gugatan Handayo dan Yani Suryani
Kasus ini adalah perkara perdata antara Penggugat I: Yani Suryani dan Penggugat II:
Handoyo melawan Tergugat I: Siti Rokayah dan Tergugat 2: Asep ruhendi. Dari gugatan yang
diajukan oleh penggugat setidaknya ada 2 masalah pokok yaitu:
a. Apakah Para Tergugat mempunyai hutang kepada Para Penggugat pada tahun 2001
sebesar Rp. 41.500.000,- (empat puluh satu juta lima ratus ribu rupiah) dinilai dengan
setara 502 (lima ratus dua) gram emas murni yang dihitung harga emas murni saat itu
sebesar Rp. 80.200,- (delapan puluh ribu dua ratus rupiah) dan SHM No. 1437, Desa Kota
Kulon sebagai jaminan pelunasan hutang ?
b. Apakah Para Tergugat telah melakukan Wanprestasi?
Majelis hakim, setelah memeriksa dan menganalisa dalil-dalil yang dikemukakan oleh
Para Penggugat dengan mempertimbangkan satu persatu bukti-bukti yang diajukan
dipersidangan baik oleh Para Penggugat maupun oleh Para Tergugat, pun menyimpulkan
bahwa, Para Penggugat tidak dapat membuktikan bahwa Tergugat mempunyai hutang
kepada Para Penggugat pada tahun 2001 sebesar Rp. 41.500.000 ( dinilai dengan setara 502
(lima ratus dua) gram emas murni dan menjaminkan SHM No.1437 sebagai pelunasan
hutang, juga tidak dapat membuktikan bahwa tergugat telah melakukan wanprestasi karena:
1) Pada surat Perjanjian Hutan Piutang 6 Februari 2001 Surat Pengakuan Berhutang tanggal
8 Oktober 2016 tidak memenuhi syarat-syarat sah suatu perjanjian, sesuai syarat-syarat
sah suatu perjanjian menurut ketentuan Pasal 1320 KUHPerdata yaitu : “sepakat mereka
yang mengikatkan dirinya, kecakapan untuk membuat suatu perikatan, suatu hal
tertentu, dan suatu sebab yang halal”. Dimana apabila 4 syarat tersebut tidak maka
mengakibatkan batalnya suatu perjajian dan suatu perjanjian harus sesuai dengan
kepatutan dan tidak boleh bertentangan dengan kesusilaan sebagaimana yang
tercantum dalam Pasal 1339 KUHPerdata yang menyebutkan ”suatu perjanjian tidak
hanya mengikat untuk hal-hal yang dengan tegas dinyatakan didalamnya, tetapi juga
untuk segala sesuatu menurut sifat perjanjian, diharuskan oleh kepatutan, kebiasaan
atau UU”. Kecacatan dan perjanjian hutang piutang tersebut antara lain: tidak
disebutkan dengan terang berapa jumlah hutang Para Tergugat kepada Penggugat; tidak
disebutkan nomor sertifikat dan atas nama tanah yang menjadi jaminan; perjanjian
hanya ditandatangani oleh Tergugat II, Tergugat I dan Penggugat I, tidak ada saksi dan
tidak diatas materai, padahal banyak pihak yang dilibatkan (yang tinggal di dalam rumah
yang di jaminkan). Dimana diperinci dengan penjelasan sebagai berikut:
a) Selain itu penggugat tidak memenuhi kewajibannya karena berdasarkan alat bukti
hanya telah mentransfer uang sejumlah Rp. 21.500.000,- (dua puluh satu juta lima
ratus) ke rekening Tergugat II, tanpa bisa membuktikan telah membayar sisanya Rp.
20.000,000,- (dua puluh juta rupiah) kepada tergugat II. Sehingga tergugat II
berhutang sebesar Rp. 21.500.000,- (dua puluh satu juta lima ratus) yang harus
dibayar kepada penggugat;
b) Adanya sebab tidak halal dalam perjanjian tersebut, karena jaminan harus
dibaliknamakan terlebih dahulu atas nama Penggugat I melalui akte jual beli
sementara surat perjanjian ini adalah perjanjian hutang piutang bukan perjanjian jual
beli;
c) sesuai dengan ketentuan Pasal 1321 KUHPerdata menyebutkan “Tiada sepakat yang
sah apabila sepakat itu diberikan karena kekhilafan, atau diperolehnya dengan
paksaan atau penipuan” ; lebih lanjut ketentuan Pasal 1322 menyebutkan
“Kekhilafan tidak mengakibatkan batalnya suatu perjanjian selain apabila kekhilafan
itu terjadi mengenai hakikat barang yang menjadi pokok perjanjian” ; sehingga atas
fakta adanya ketidakjelasan jaminan atas hutang piutang tersebut karena kesimpang
siuran nomor rumah maka menurut Majelis Hakim terdapat kekhilafan dalam surat
perjanjian tersebut sehingga apabila terdapat kekhilafan berarti tiada sepakat bagi
mereka yang mengikatkan diri;
d) ketentuan Pasal 1763 KUHPerdata sebagaimana diterangkan Pendapat Ahli Prof. Dr.
H. Mashudi, SH., MH., bahwa ”siapa yang menerima pinjaman sesuatu diwajibkan
mengembalikannya dalam jumalah dan keadaan yang sama, dan pada waktu yang
ditentukan” artinya apabila yang dipinjam adalah uang maka harus dikembalikan
dengan uang ; artinya ketika pinjaman disetarakan dengan nilai emas batangan,
maka hak tersebut tidak dapat dibenarkan;
e) Pada saat penandatanganan Surat Pengakuan Berhutang , Tergugat I sedang dalam
keadaan sakit, kemudian Penggugat I tetap memaksa kepada Tergugat I untuk
menandatangani Surat Pengakuan Berhutang tersebut yang telah disiapkan oleh
Penggugat I, bahkan Penggugat I juga menyatakan dihadapan Tergugat I Kakak
Penggugat I, apabila surat pengakuan berhutang ini tidak ditandatangani maka
Penggugat I akan diceraikan oleh Penggugat II. Tergugat I juga menandatangani surat
tersebut dengan alasan untuk meredam suasana agar permasalahan antara
Penggugat I dan Tergugat II bisa dapat diselesaikan dengan baik karena Tergugat I
tidak mau ada perselisihan antara anak- anaknya. Sehingga menurut ketentuan Pasal
1321 KUHPerdata bahwa ”tiada sepakat yang sah apabila sepakat itu diberikan
karena kekhilafan atau diperolehnya dengan paksaan atau penipuan”, maka
Tindakan penggugat saat meminta tanda tangan kepada tergugat terdapat unsur
paksaan sehingga Tergugat I tidak bebas dalam bersepakat untuk mengikatkan diri;
f) Majelis Hakim mendasarkan pada ketentuan Pasal 1340 bahwa perjanjian hanya
berlaku bagi pihak-pihak yang membuat, apabila Penggugat II merasa uang yang
diberikan pinjaman tersebut adalah uang dari Penggugat II maka seharunya
Penggugat II masuk sebagai pihak dalam perjanjian hutang piutang tersebut, tidak
seperti status quo dimana penggugat II tidak termasuk dalam para pihak di surat
perjanjian hutang piutang;
g) Surat perjanjian utang piutang tersebut kekuatan pembuktiannya secara formil
sangat lemah karena hanya ditandatangani oleh Tergugat II, Tergugat I dan
Penggugat I, tidak ada saksi dan tidak diatas materai sehingga dikategorikan sebagai
akta yang dibuat dibawah tangan. Sesuai Pasal 1874 KUHPerdata, akta harus
dibubuhi dengan suatu pernyataan yang bertanggal dari seorang notaris atau pejabat
yang berwenang dan dilegalisasi;
h) Sehingga berdasarkan hal-hal yang telah diuraikan diatas maka perjanjian hutang
piutang dan Surat Pengakuan Berhutang tidak memenuhi syarat-syarat sah perjajian
sebagaimana disebutkan dalam Pasal 1320 KUHPerdata sehingga menurut Majelis
perjanjian tersebut batal demi hukum ;
2). suatu perjanjian harus sesuai dengan kepatutan dan tidak boleh bertentangan dengan
kesusilaan sebagaimana yang tercantum dalam Pasal 1339 KUHPerdata, kepatutan dan
kesusilaan pada kasus ini adalah:
a) Hubungan antara tergugat dan penggugat yang adalah ibu dan anak, menantu dan
ibu mertua, kakak ipar dengan adik ipar, dan adik dan kakak;
b) Sesuai norma yang hidup dalam masyarakat Indonesia yang berdasarkan daya
mengikatnya antara lain cara, kebiasaan, tata kelakukan dan adat istiadat bahwa
seorang anak harus menghormati dan berbakti kepada orangtuanya. Orangtua
merupakan sosok yang paling mulia dalam kehidupan seorang anak, apalagi seorang
Ibu yang dari proses dalam kandungan hingga lahir, menyusui, diajarkan berbagai hal
dan memberikan nafkah dengan harapan anaknya dapat tumbuh dan berkembang
hingga menjadi anak yang mandiri dan membanggakan bagi orangtuanya sebaliknya
setelah anak dewasa maka kewajiban seorang anak lah untuk merawat dan menjaga
orangtuanya dengan sebaik­baiknya ;
c) berdasarkan Pasal 104 KUHPerdata mengenai kewajiban alimentasi antara orang tua
dan anak yang merupakan suatu perjajian yang terjadi karena Undang-undang maka
orangtua mempunyai kewajiban untuk merawat anaknya sampai anaknya dewasa
dan sebaliknya seorang anak mempunyai kewajiban untuk merawat dan memberi
nafkah terhadap orangtuanya yang sudah tua dan tidak mempunyai penghasilan,
apabila perjajian ini tidak dipenuhi maka yang bersangkutan telah melakukan
wanprestasi ;
d) Tidak lah patut seorang anak membuat perjanjian hutang piutang dengan Ibunya
disebabkan jasa Ibu yang tidak dapat dibalas oleh anak, sehingga hal ini bertentangan
dengan kepatutan.
3). Wanprestasi diatur dalam Pasal 1243 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPer),
berbunyi: “Penggantian biaya, kerugian dan bunga karena tak dipenuhinya suatu
perikatan mulai diwajibkan, bila debitur, walaupun telah dinyatakan Ialai, tetap Ialai
untuk memenuhi perikatan itu, atau jika sesuatu yang harus diberikan atau dilakukannya
hanya dapat diberikan atau dilakukannya dalam waktu yang melampaui waktu yang
telah ditentukan” ; Sehingga dengan demikian unsur-unsur wanprestasi adalah ada
perjanjian oleh para pihak, ada pihak melanggar atau tidak melaksanakan isi perjanjian
yang sudah disepakati, sudah dinyatakan lalai tapi tetap juga tidak mau melaksanakan isi
perjanjian. Dari uraian diatas maka dapat disimpulkan bahwa tergugat tidak melakukan
wanprestasi
2. Upaya hukum jika penggugat tidak menerima putusan
Upaya hukum merupakan upaya yang diberikan oleh undang-undang kepada
seseorang atau badan hukum dalam hal tertentu untuk melawan putusan hakim sebagai
tempat bagi pihak-pihak yang tidak puas terhadap putusan hakim yang dianggap tidak
sesuai dengan apa yang diinginkan dan tidak memenuhi rasa keadilan demi mencegah
kekeliruan dalam suatu putusan. Upaya ini hadir demi kebenaran dan keadilan terhadap
setiap putusan, guna memperbaiki kekeliruan atau ke khilafan.
Dalam Hukum Acara Perdata dikenal 2 macam upaya hukum, diantaranya yakni
upaya hukum biasa dan upaya hukum luar biasa. Perbedaan yang terletak diantara kedua
upaya hukum ini adalah upaya hukum biasa menangguhkan eksekusi kecuali bila suatu
tuntutan dikabulkan serta mertanya, sedangkan upaya hukum luar biasa tidak
menangguhkan eksekusi.
a. Upaya Hukum Biasa
“Upaya hukum biasa bersifat menghentikan pelaksanaan putusan untuk sementara.”38
Upaya hukum biasa sifatnya terbuka untuk setiap putusan selama tenggang waktu yang
telah ditentukan oleh peraturan perundangundangan. Wewenang untuk
menggunakannya hapus dengan menerima putusan. Upaya hukum biasa yakni;
perlawanan (verzet), banding, dan kasasi.
1). Perlawanan (verzet)
Pada dasarnya perlawanan ini disediakan bagi pihak tergugat yang pada umumnya
menjadi pihak yang dikalahkan. “Perlawanan merupakan upaya hukum terhadap
putusan yang dijatuhkan diluar hadirnya tergugat atau biasa disebut putusan verstek.”
Prosedur mengajukan perlawanan diatur dalam Pasal 129 ayat (1) HIR.
2). Banding
Upaya hukum banding diajukan apabila para pihak merasa tidak puas terhadap isi
Putusan Pengadilan Negeri. Pengertian upaya hukum banding merupakan “suatu
upaya hukum biasa yang dapat diajukan oleh salah satu atau kedua belah pihak yang
berperkara terhadap suatu putusan Pengadilan Negeri.” Pengajuan upaya hukum
banding ditujukan kepada Pengadilan Tinggi melalui Pengadilan Negeri dimana
putusan tersebut dijatuhkan.
Dengan mengajukan upaya hukum banding sesuai azasnya maka, proses eksekusi atau
pelaksanaan isi Putusan Pengadilan Negeri tersebut belum dapat dilaksanakan, karena
putusan tersebut belum mempunyai kekuatan hukum yang tetap sehingga belum
dapat dieksekusi, kecuali dalam putusan serta merta (putusan uit voerbaar bij
voeraad). Upaya hukum Banding “diatur dalam Pasal 188 s/d 194 HIR (untuk daerah
Jawa dan Madura) dan Pasal 199 s/d 205 RBg (untuk daerah di luar Jawa dan Madura).”
3). Kasasi
Kasasi termasuk dalam upaya hukum biasa yang dapat diajukan oleh salah satu atau
kedua belah pihak yang berperkara terhadap suatu putusan Pengadilan Tinggi. Kasasi
berasal dari kata ‘casser’ yang berarti “memecahkan atau membatalkan, sehingga bila
suatu permohonan kasasi
terhadap putusan pengadilan dibawahnya diterima oleh Mahkamah Agung, maka
berarti putusan tersebut dibatalkan oleh Mahkamah Agung karena dianggap
mengandung kesalahan dalam penerapan hukumnya.”
Para pihak dapat mengajukan kasasi bila merasa tidak puas dengan isi putusan
Pengadilan Tinggi kepada Mahkamah Agung. Pemeriksaan kasasi hanya meliputi
seluruh putusan hakim yang mengenai hukum, jadi tidak dilakukan pemeriksaan ulang
mengenai duduk perkaranya sehingga pemeriksaaan tingkat kasasi tidak boleh/dapat
dianggap sebagai pemeriksaan tingkat ketiga.
b. Upaya Hukum Luar Biasa
Dengan memperoleh kekuatan hukum tetap suatu putusan dapat diajukan upaya hukum
luar biasa oleh pihak yang berperkara. Suatu putusan memperoleh kekuatan hukum tetap
apabila tidak tersedia lagi upaya hukum biasa. Untuk putusan-putusan yang telah
memperoleh kekuatan hukum tetap ini tersedia upaya hukum istimewa, dikatakan
istimewa karena upaya hukum tersebut dapat memeriksa kembali putusan yang telah
inkrah agar mentah kembali. “Upaya hukum istimewa hanya boleh dilakukan dalam hal-
hal tertentu sebagaimana yang diatur dalam undang-undang saja.” Yang termasuk upaya
hukum istimewa yakni Peninjauan Kembali (request civil) dan Perlawanan Pihak Ketiga
(derden verzet).
a) Peninjauan Kembali (request civil)
Upaya hukum peninjauan kembali disebut juga dengan request civil yang merupakan
suatu upaya agar putusan pengadilan baik dalam tingkat Pengadilan Negeri, Pengadilan
Tinggi, maupun Mahkamah Agung yang telah berkekuatan hukum tetap (inkracht van
gewijsde) agar
mentah kembali. Menurut Sudikno Mertokusumo dalam buku Soeroso berpendapat
bahwa, “Peninjauan Kembali merupakan upaya hukum terhadap putusan tingkat akhir
dan putusan yang dijatuhkan di luar hadir tergugat (verstek), dan yang tidak lagi
terbuka kemungkinan untuk mengajukan perlawanan.” Permohonan upaya hukum
Peninjauan Kembali pada dasarnya tidak menangguhkan ataupun menghentikan
pelaksanaan putusan pengadilan (eksekusi putusan). Istilah Peninjauan Kembali dalam
perundang-undangan nasional, terdapat dalam Pasal 15 UU RI No. 19/1964 dan Pasal
31 UU RI No. 13/1965. Seiring perkembangannya dewasa ini, pengaturan Peninjauan
Kembali diatur dalam pasal 66-75 UU RI Nomor 3 Tahun 2009 tentang Mahkamah
Agung atas perubahan kedua dari UU RI Nomor 14 Tahun 1985.
b) Perlawanan Pihak Ketiga (derden verzet)
Perlawanan pihak ketiga atau yang dikenal dengan istilah derden verzet merupakan
upaya hukum luar biasa. “Perlawanan pihak ketiga yakni perlawanan yang dilakukan
oleh orang yang semula bukan merupakan pihak yang bersangkutan dalam berperkara
dan hanya karena ia merasa berkepentingan.” Oleh karena ia merasa mengenai barang
yang disengketakan atau sedang disita dalam suatu perkara sebenarnya bukan milik
tergugat, tetapi milik pihak ketiga. Perlawanan pihak ketiga ini, digunakan oleh pihak
ketiga untuk melawan putusan hakim, baik putusan yang sudah mempunyai kekuatan
hukum tetap (inkracht) maupun perkara yang sedang dalam proses. “Dasar hukum
yang mengatur tentang perlawanan pihak ketiga adalah Pasal 208 HIR/228 RBG.”
Jika melihat perkara perdata antara Penggugat I: Yani Suryani dan Penggugat II: Handoyo
melawan Tergugat I: Siti Rokayah dan Tergugat 2: Asep ruhendi yang telah terdapatnya
putusan yang bersifat tetap dan mengikat dari PN Garut, maka upaya hukum yang cocok
dilakukan oleh Handoyo dan Yani suryani adalah Upaya Hukum Biasa berupa Banding.
Refrensi:
1) Putusan PN GARUT Nomor 1/PDT.G/2017/PN.GRT
2) Putusan PT BANDUNG Nomor 422/PDT/2017/PT.BDG
3) M. Nur Rasaid, 2003, Hukum Acara Perdata, Sinar Grafika, Jakarta, h. 62
4) R. Soeroso, 1994, Praktik Hukum Acara Perdata, Tata Cara, Proses Persidangan, Sinar
Grafika, Jakarta, h.92
5) Sutantio, Retnowulan, and Iskandar Oeripkartawinata. Hukum acara perdata dalam teori
dan praktek. Mandar Maju, 2009.
3. Ketentuan prosedur verzet diatur dalam pasal 129 (2) HIR yang berbunyi :“Jika
putusan itu diberitahukan kepada yang dikalahkan itu sendiri, maka perlawanan itu dapat
diterima dalam tempo empat belas hari sesudah pemberitahuan itu. Jika putusan itu tidak
diberitahukan kepada yang dikalahkan itu sendiri, maka perlawanan itu dapat diterima
sampai hari kedelapan sesudah peringatan yang tersebut pada pasal 196, atau dalam hal
tidak menghadap sesudah dipanggil dengan patut, sampai hari kedelapan sesudah dijalankan
keputusan surat perintah kedua, yang tersebut pada pasal 197.”
Jadi Menurut Pasal 129 (2) HIR, Tenggang waktu untuk mengajukan verzet/perlawanan :
1. Dalam waktu 14 hari setelah putusan diterima secara pribadi oleh tergugat sendiri.
2. Sampai hari ke 8 sesudah peringatan (aanmaning) apabila pemberitahuan putusan tidak
diterima langsung oleh diri pribadi tergugat.
3. Sampai hari ke 8 sesudah dijalankan eksekusi berdasarkan pasal 197 HIR
Pada kasus diatas, tidak diberikan informasi apakah tergugat (Maria) menerima
putusan langsung secara pribadi atau pemberitahuan putusan tidak diterima langsung oleh
tergugat (Maria).
Jika tergugat menerima langsung putusan tersebut, maka tergugat tidak bisa
melakukan upaya hukum verzet yang diajukan ke pengadilan pada tanggal 10 maret 2017,
dikarenakan telah melewati tenggang waktu untuk melakukan upaya verzet/perlawanan
sesuai yang terdapat pada Pasal 129 (2) HIR.

Jika verstek diterima langsung oleh tergugat (maria), maka tergugat tidak bisa melakukan
upaya hukum verzet yang diajukan ke pengadilan pada tanggal 10 maret 2017, dikarenakan
telah melewati tenggang waktu untuk melakukan upaya verzet. Terakhir melakukan upaya
verzet tanggal 16 Februari 2017.
Namun, jika putusan tersebut tidak diterima langsung oleh tergugat, maka upaya
verzet/perlawanan masih bisa dilakukan.

Sampai hari ke 8 sesudah peringatan (aanmaning) apabila pemberitahuan putusan tidak


diterima langsung oleh diri pribadi tergugat. Maka tergugat bisa melakukan upaya hukum
verzet yang diajukan ke pengadilan pada tanggal 10 maret 2017, dikarenakan tanggal terakhir
melakukan upaya verzet tanggal 11 Maret 2017.

Referensi :
Rijanto, R. Benny., 2016. Hukum Acara Perdata. Tangerang Selatan : Universitas Terbuka.
4. Melihat kasus diatas, upaya yang harus dilakukan ilham atas gugatan Budi dalam hal
mempertahankan hak sewanya tersebut adalah mengajukan gugatan balik (rekonvensi).
Menurut M. Yahya Harahap dalam buku Hukum Acara Perdata tentang Gugatan,
Persidangan, Penyitaan, Pembuktian, dan Putusan Pengadilan (hal. 468) istilah (gugatan)
rekonvensi diatur dalam Pasal 132a HIR yang maknanya rekonvensi adalah gugatan yang
diajukan tergugat sebagai gugatan balasan terhadap gugatan yang diajukan penggugat
kepadanya. Dalam penjelasan Pasal 132a HIR disebutkan, oleh karena bagi tergugat diberi
kesempatan untuk mengajukan gugatan melawan, artinya. untuk menggugat kembali
penggugat, maka tergugat itu tidak perlu mengajukan tuntutan baru, akan tetapi cukup
dengan memajukan gugatan pembalasan itu bersama-sama dengan jawabannya terhadap
gugatan lawannya.
Berdasarkan kasus diatas, maka saat ini Budi adalah pemilik rumah yang disewa oleh
ilham, dimana sebelumnya Ilham telah mengadakan perjanjian sewa-menyewa dengan
pemilik sebelumnya yaitu Anton. Jika membaca kasus diatas pula, tidak diperjanjikan bahwa
penjualan rumah tersebut akan mengakhiri hubungan sewa menyewa antara Ilham dan
pemilik rumah, sehingga Ilham masih berhak atas rumah yang disewakan tersebut. Hal ini
berdasarkan pasal 1576 KUHPerdata yang menyatakan: “Dengan dijualnya barang yang
disewa, suatu persewaan yang dibuat sebelumnya tidaklah diputuskan kecuali apabila ini
telah diperjanjikan pada waktu menyewakan barang.”
Atas tuntutan yang diajukan oleh Budi, Ilham dapat mengajukan gugatan balik
(rekonvensi), yang dalam hal ini pada pokoknya terkait wanprestasi yang dilakukan oleh Budi
ke pengadilan. Adapun dasar landasan hukum Budi telah melakukan wanprestasi adalah Pasal
1150 KUHPer dimana sebagai orang yang menyewakan, si pemilik tempat mempunyai
kewajiban yang harus ia penuhi, yaitu: menyerahkan barang yang disewakan kepada
penyewa, memelihara barang itu sedemikian rupa sehingga dapat dipakai untuk keperluan
yang dimaksud, dan memberikan hak kepada penyewa untuk menikmati barang yang
disewakan itu dengan tenteram selama berlangsungnya sewa.
Di sini tuntutan yang bisa Ilham ajukan adalah:
1. Pemenuhan hak Ilham untuk tetap menempati bangunan tersebut sampai berakhirnya
masa perjanjian sewa menyewa. Jadi, Ilham menuntut untuk tetap boleh mempergunakan
rumah tersebut sesuai dengan jangka waktu dalam perjanjian sewa menyewa.
2. Ganti rugi.
Mengenai masalah ganti rugi, hal ini diatur dalam pasal 1246 KUHPerdata. Ganti rugi dapat
berupa:
a. Kerugian yang nyata-nyata diderita. Dalam hal ini, kerugian Ilham adalah sebesar sisa
biaya sewa sebagaimana telah diperjanjikan.
b. Keuntungan yang seharusnya diperoleh. Dalam hal ini, Ilham dapat menggugat ganti
rugi atas keuntungan yang seharusnya Ilham terima apabila tetap mempergunakan
bangunan tersebut.
c. Biaya-biaya.
Disamping itu, Tindakan Budi yang mendatangi kediaman Ilham dan memerintahkan
untuk mengosongkan rumah dapat pula dikategorikan sebagai Perbuatan Melawan Hukum
(PMH). Mariam Darus Badrulzaman dalam bukunya “KUH Perdata Buku III Hukum Perikatan
Dengan Penjelasan”, menjabarkan unsur-unsur perbuatan melawan hukum dalam Pasal 1365
KUHPer sebagai berikut:
1. Harus ada perbuatan (positif maupun negatif);
2. Perbuatan itu harus melawan hukum;
3. Ada kerugian;
4. Ada hubungan sebab akibat antara perbuatan melawan hukum itu dengan kerugian;
5. Ada kesalahan.
Sedangkan, yang termasuk ke dalam perbuatan melawan hukum itu sendiri adalah
perbuatan-perbuatan yang:
1. Bertentangan dengan kewajiban hukum si pelaku;
2. Melanggar hak subjektif orang lain;
3. Melanggar kaidah tata susila;
4. Bertentangan dengan asas kepatutan ketelitian serta sikap hati-hati yang seharusnya
dimiliki seseorang dalam pergaulan dengan sesama warga masyarakat atau terhadap harta
benda orang lain.
Dalam hal ini perbuatan melawan hukum yang dilakukan oleh Budi adalah
bertentangan dengan kewajiban hukumnya sebagai pemilik tempat serta melanggar hak
subjektif orang lain (Ilham sebagai penyewa).
Referensi:
1. Yahya Harahap. 2016. Hukum Acara Perdata: Tentang Gugatan, Persidangan, Penyitaan,
Pembuktian, dan Putusan Pengadilan. Jakarta: Sinar Grafika.
2. Reglement Indonesia yang Diperbaharui (Herziene Indlandsch Reglement) Staatsblad
Nomor 44 Tahun 1941
3. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Burgerlijk Wetboek, Staatsblad 1847 No. 23)
4. Mariam Darus Badrulzaman, 1996, K.U.H. Perdata Buku III Hukum Perikatan Dengan
Penjelasan, Alumni, Bandung

Anda mungkin juga menyukai