5. Alat Bukti Sumpah. Sumpah pemutus atau sumpah penentu (decisoir eed). Salah satu pihak meminta pihak lain mengucapkan sumpah untuk menggantungkan pemutusan perkara di
antara mereka. Jika salah satu pihak bersedia mengucapkan sumpah pemutus, maka dengan sendirinya mengakhiri proses pemeriksaan perkara. Sumpah itu diikuti dengan
pengambilan dan menjatuhkan putusan berdasarkan ikrar sumpah yang diucapkan. Selain sumpah pemutus, dikenal pula sumpah tambahan (suppletoire eed) dan sumpah penaksir
(aestimatoire eed). Sumpah tambahan adalah sumpah yang diperintahkan hakim kepada salah satu pihak untuk mengasngkat sumpah agar dengan sumpah itu perkaranya bisa
diputus atau dapat ditentukan jumlah uang yang dikabulkan (Pasal 1940 BW). Dalam sumpah pemutus, yang meminta angkat sumpah adalah pihak yang berperkara; sedangkan dalam
sumpah tambahan, hakimlah yang memerintahkan salah satu pihak. Sumpah penaksir adalah sumpah yang diucapkan untuk menetapkan jumlah ganti rugi atau harga barang yang
akan dikabulkan. Jika penggugat tidak bisa menyampaikan berapa nilai kerugian riil atau berapa harga barang sebenarnya, dan tergugat pun tak mau membuktikan, maka besarnya
nilai ganti rugi atau harga barang bisa ditentukan lewat sumpah penaksir.
PUTUSAN MK
Putusan Mahkamah Konstitusi 20/PUU-XIV/2016 menguatkan Pasal 5 ayat
(2) dan Pasal 6 Undang-undang ITE Tentang keabsahan alat bukti, dimana
secara prinsip bahwa alat bukti tersebut bisa dijamin keasliannya dalam
menggambaran suatu perkara. Putusan Mahkamah Konstitusi tersebut
memang berlakang belakang pada kasus pidana, namun bukan berarti
putusan tersebut tidak dapat diterapkan dalam penangan perkara
perdata, karena pada saat ini banyak sekali permasalahan perdata seperti
kontrak, transaksi dan sebagainya. Namun demikian tidak serta merta
informasi dan transaksi elektronik tersebut dapat dijadikan sebagai alat
bukti, ada beberapa syarat yang harus dipenuhi sehingga bukti tersebut
dapat digunakan.
INFORMASI ELEKTRONIK?
Satu atau sekumpulan data elektronik, termasuk tetapi tidak terbatas
pada tulisan, suara, gambar, peta, rancangan, foto, electronic data
interchange (EDI), surat elektronik (electronic mail), telegram, teleks,
telecopy atau sejenisnya, huruf, tanda, angka, Kode Akses, simbol, atau
perforasi yang telah diolah yang memiliki arti atau dapat dipahami oleh
orang yang mampu memahaminya
DOKUMEN ELEKTRONIK?
Setiap informasi elektronik yang dibuat, diteruskan, dikirimkan, diterima,
atau disimpan dalam bentuk analog, digital, elektromagnetik, optikal, atau
sejenisnya, yang dapat dilihat, ditampilkan, dan/atau didengar melalui
komputer atau sistem elektronik, termasuk tetapi tidak terbatas pada
tulisan, suara, gambar, peta, rancangan, foto atau sejenisnya, huruf,
tanda, angka, kode akses, simbol atau perforasi yang memiliki makna atau
arti atau dapat dipahami oleh orang yang mampu memahaminya.
Bagaimana agar informasi dan dokumen elektronik
dapat dijadikan alat bukti hukum yang sah?
SYARAT SYARAT
FORMIL MATERIL
PENJELASAN
❑Syarat formil diatur dalam Pasal 5 ayat (4) UU ITE, yaitu bahwa
informasi atau dokumen elektronik bukanlah dokumen atau surat yang
menurut perundang-undangan harus dalam bentuk tertulis. Selain
itu, informasi dan/atau dokumen tersebut harus diperoleh dengan cara
yang sah. Ketika alat bukti diperoleh dengan cara yang tidak sah, maka
alat bukti tersebut dikesampingkan oleh hakim atau dianggap tidak
mempunyai nilai pembuktian oleh pengadilan.
❑Sedangkan syarat materil diatur dalam Pasal 6, Pasal 15, dan Pasal 16
UU ITE, yang pada intinya informasi dan dokumen elektronik harus dapat
dijamin keotentikannya, keutuhannya, dan ketersediaanya. Untuk
menjamin terpenuhinya persyaratan materil yang dimaksud, dalam
banyak hal dibutuhkan digital forensik.
PASAL 5 ayat (4) UU ITE
Ketentuan mengenai Informasi Elektronik dan/atau Dokumen
Elektronik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak berlaku
untuk:
a. surat yang menurut Undang-Undang harus dibuat dalam
bentuk tertulis; dan
b. surat beserta dokumennya yang menurut Undang- Undang
harus dibuat dalam bentuk akta notaril atau akta yang dibuat
oleh pejabat pembuat akta.
PENGECUALIAN
PASAL 6 UU ITE
Dalam hal terdapat ketentuan lain selain yang diatur dalam Pasal 5 ayat (4) yang
mensyaratkan bahwa suatu informasi harus berbentuk tertulis atau asli, Informasi
Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik dianggap sah sepanjang informasi yang
tercantum di dalamnya dapat diakses, ditampilkan, dijamin keutuhannya, dan dapat
dipertanggungjawabkan sehingga menerangkan suatu keadaan.
Apabila para pihak hendak membuat suatu perjanjian yang bersifat formil dianggap
belum sah apabila belum dituangkan dalam bentuk tertulis secara manual, baik dalam
bentuk akta di bawah tangan maupun akta otentik.
Contoh perjanjian yang bersifat formil diantaranya adalah Perjanjian Perdamaian
(vide Pasal 1851 BW), Perjanjian Hibah (vide Pasal 1682 BW), serta Perjanjian jual-beli
dengan obyek tanah, Akta jual-beli sebidang tanah (vide Peraturan Pemerintah No. 24
Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah)
UNDANG-UNDANG YANG MENGATUR DAN MENGAKUI BUKTI
ELEKTRONIK SEBAGAI ALAT BUKTI YANG SAH
1. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1997 Tentang Dokumen Perusahaan
2. Undang-Undang Nomor 36 Tahun 1999 Tentang Telekomunikasi
3. Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 Tentang Pers
4. Undang Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001
Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
5. Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2002 Tentang Hak Cipta
6. Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 Tentang Komisi Pemberantasan Tindak
Pidana Korupsi
7. Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 Tentang Mahkamah Konstitusi
8. Undang Undang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi danTransaksi Elektronik
EMPAT PRINSIP YANG MENDASARI SELURUH RANGKAIAN KEGIATAN DALAM MENANGANI BUKTI
ELEKTRONIK UNTUK MENJAMIN KEUTUHANNYA DAN DAPAT DIPERTANGGUNG JAWABKAN