Anda di halaman 1dari 17

CYBER LAW

Rosalia Dika Agustanti SH MH


Fakultas Hukum Universitas Pembangunan Nasional Veteran Jakarta
PEMBUKTIAN ELEKTRONIK
BAB III
INFORMASI, DOKUMEN DAN TANDA TANGAN ELEKTRONIK
Pasal 5
(1)Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik dan/atau hasil
cetaknya merupakan alat bukti hukum yang sah.
(2)Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik dan/atau hasil
cetaknya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan perluasan
dari alat bukti yang sah sesuai dengan Hukum Acara yang berlaku di
Indonesia.
HUKUM ACARA PIDANA
PASAL 184 ayat (1) KUHAP
1. Keterangan Saksi; Pasal 1 butir 27 KUHAP, keterangan saksi adalah salah satu alat bukti dalam perkara pidana yang berupa
keterangan dari saksi mengenai suatu peristiwa pidana yang ia dengar sendiri, ia lihat sendiri, dan ia alami sendiri dengan menyebut
alasan dari pengetahuannya itu.
2. Keterangan Ahli; Pasal 1 butir 28 KUHAP, keterangan ahli adalah keterangan yang diberikan oleh seorang yang memiliki keahlian
khusus tentang hal yang diperlukan untuk membuat terang suatu perkara pidana guna kepentingan pemeriksaan dalam hal serta
menurut cara yang diatur dalam undang-undang.
3. Surat; Pasal 187 KUHAP, Surat sebagaimana tersebut pada Pasal 184 ayat (1) huruf c, dibuat atas sumpah jabatan atau dikuatkan
dengan sumpah, adalah: berita acara dan surat lain dalam bentuk resmi yang dibuat oleh pejabat umum yang berwenang atau yang
dibuat di hadapannya, yang memuat keterangan tentang kejadian atau keadaan yang didengar, dilihat atau yang dialaminya sendiri,
disertai dengan alasan yang jelas dan tegas tentang keterangannya itu. Surat yang dibuat menurut ketentuan peraturan perundang-
undangan atau surat yang dibuat oleh pejabat mengenal hal yang termasuk dalam tata laksana yang menjadi tanggung jawabnya dan
yang diperuntukkan bagi pembuktian sesuatu hal atau sesuatu keadaan. Surat keterangan dari seorang ahli yang memuat pendapat
berdasarkan keahliannya mengenai sesuatu hal atau sesuatu keadaan yang diminta secara resmi dan padanya. Surat lain yang hanya
dapat berlaku jika ada hubungannya dengan isi dari alat pembuktian yang lain.
4. Petunjuk; Pasal 188 KUHAP ayat (1), Petunjuk adalah perbuatan, kejadian atau keadaan, yang karena persesuaiannya, baik antara yang
satu dengan yang lain, maupun dengan tindak pidana itu sendiri, menandakan bahwa telah terjadi suatu tindak pidana dan siapa
pelakunya.
5. Keterangan terdakwa; Pasal 189 ayat (1) KUHAP, Keterangan terdakwa adalah apa yang terdakwa nyatakan di sidang tentang
perbuatan yang dilakukan atau yang ia ketahui sendiri atau ia alami sendiri.
HUKUM ACARA PERDATA
Pasal 164 H.I.R, Pasal 284 RBg, serta Pasal 1886 BW
1. Alat Bukti Saksi; Pasal 1895 KUH Perdata menyebutkan ‘Pembuktian dengan saksi-saksi diperkenankan dalam segala hal yang tidak dikecualikan oleh undang-undang’.
Pertanyaannya, siapakah yang dimaksud dengan saksi? Pada dasarnya, saksi adalah orang yang melihat, mengalami atau mendengar sendiri kejadian yang diperkarakan. Namun
Mahkamah Konstitusi sudah memperluas makna saksi, termasuk pula orang yang mengetahui suatu peristiwa dari orang lain. Tetapi ada beberapa orang yang dikecualikan. Mereka
yang dikecualikan antara lain diatur dalam Pasal 145 HIR. Pada umumnya anggota keluarga sedarah bisa ditolak kesaksiannya, dan mereka boleh mengundurkan diri. Namun, mereka
tidak dapat ditolak sebagai saksi jika sengketa yang sedang diadili berkenaan dengan perselisihan sesama anggota keluarga sedarah atau semenda. Misalnya, dalam perkara warisan.
2. Alat Bukti Surat.
3. Alat Bukti Persangkaan; Pasal 1915 BW persangkaan adalah kesimpulan-kesimpulan yang oleh undang-undang atau oleh hakim ditarik dari suatu peristiwa yang terkenal ke arah
suatu peristiwa yang tidak terkenal. Ada persangkaan berdasarkan undang-undang dan ada yang tidak berdasarkan undang-undang.
4. Alat Bukti Pengakuan; Pasal 1923 BW dan Pasal 174 HIR ialah (i) pernyataan atau keterangan yang disampaikan salah satu pihak kepada pihak lain dalam pemeriksaan suatu perkara;
(ii) pernyataan atau keterangan tersebut diucapkan di muka hakim atau dalam persidangan; atau (iii) keterangan itu bersifat pengakuan (confession) bahwa apa yang dilakukan pihak
lawan benar untuk sebagian atau seluruhnya. Pasal 174 HIR menyebutkan: ‘Pengakuan yang diucapkan di hadapan hakim cukup menjadi bukti yang memberatkan orang yang mengaku
itu, baik yang diucapkan sendiri maupun dengan bantuan orang lain yang khusus dikuasakanuntuk itu’. Alat bukti pengakuan; Pengakuan adalah pernyataan atau keterangan yang
dikemukakan salah satu pihak kepada pihak lain dalam proses pemeriksaan suatu perkara. Dengan adanya pengakuan dari salah satu pihak maka tidak diperlukan lagi suatu
pembuktian. (Pasal 1923 BW, Pasal 174 HIR)

5. Alat Bukti Sumpah. Sumpah pemutus atau sumpah penentu (decisoir eed). Salah satu pihak meminta pihak lain mengucapkan sumpah untuk menggantungkan pemutusan perkara di
antara mereka. Jika salah satu pihak bersedia mengucapkan sumpah pemutus, maka dengan sendirinya mengakhiri proses pemeriksaan perkara. Sumpah itu diikuti dengan
pengambilan dan menjatuhkan putusan berdasarkan ikrar sumpah yang diucapkan. Selain sumpah pemutus, dikenal pula sumpah tambahan (suppletoire eed) dan sumpah penaksir
(aestimatoire eed). Sumpah tambahan adalah sumpah yang diperintahkan hakim kepada salah satu pihak untuk mengasngkat sumpah agar dengan sumpah itu perkaranya bisa
diputus atau dapat ditentukan jumlah uang yang dikabulkan (Pasal 1940 BW). Dalam sumpah pemutus, yang meminta angkat sumpah adalah pihak yang berperkara; sedangkan dalam
sumpah tambahan, hakimlah yang memerintahkan salah satu pihak. Sumpah penaksir adalah sumpah yang diucapkan untuk menetapkan jumlah ganti rugi atau harga barang yang
akan dikabulkan. Jika penggugat tidak bisa menyampaikan berapa nilai kerugian riil atau berapa harga barang sebenarnya, dan tergugat pun tak mau membuktikan, maka besarnya
nilai ganti rugi atau harga barang bisa ditentukan lewat sumpah penaksir.
PUTUSAN MK
Putusan Mahkamah Konstitusi 20/PUU-XIV/2016 menguatkan Pasal 5 ayat
(2) dan Pasal 6 Undang-undang ITE Tentang keabsahan alat bukti, dimana
secara prinsip bahwa alat bukti tersebut bisa dijamin keasliannya dalam
menggambaran suatu perkara. Putusan Mahkamah Konstitusi tersebut
memang berlakang belakang pada kasus pidana, namun bukan berarti
putusan tersebut tidak dapat diterapkan dalam penangan perkara
perdata, karena pada saat ini banyak sekali permasalahan perdata seperti
kontrak, transaksi dan sebagainya. Namun demikian tidak serta merta
informasi dan transaksi elektronik tersebut dapat dijadikan sebagai alat
bukti, ada beberapa syarat yang harus dipenuhi sehingga bukti tersebut
dapat digunakan.
INFORMASI ELEKTRONIK?
Satu atau sekumpulan data elektronik, termasuk tetapi tidak terbatas
pada tulisan, suara, gambar, peta, rancangan, foto, electronic data
interchange (EDI), surat elektronik (electronic mail), telegram, teleks,
telecopy atau sejenisnya, huruf, tanda, angka, Kode Akses, simbol, atau
perforasi yang telah diolah yang memiliki arti atau dapat dipahami oleh
orang yang mampu memahaminya
DOKUMEN ELEKTRONIK?
Setiap informasi elektronik yang dibuat, diteruskan, dikirimkan, diterima,
atau disimpan dalam bentuk analog, digital, elektromagnetik, optikal, atau
sejenisnya, yang dapat dilihat, ditampilkan, dan/atau didengar melalui
komputer atau sistem elektronik, termasuk tetapi tidak terbatas pada
tulisan, suara, gambar, peta, rancangan, foto atau sejenisnya, huruf,
tanda, angka, kode akses, simbol atau perforasi yang memiliki makna atau
arti atau dapat dipahami oleh orang yang mampu memahaminya.
Bagaimana agar informasi dan dokumen elektronik
dapat dijadikan alat bukti hukum yang sah?

SYARAT SYARAT
FORMIL MATERIL
PENJELASAN
❑Syarat formil diatur dalam Pasal 5 ayat (4) UU ITE, yaitu bahwa
informasi atau dokumen elektronik bukanlah dokumen atau surat yang
menurut perundang-undangan harus dalam bentuk tertulis. Selain
itu, informasi dan/atau dokumen tersebut harus diperoleh dengan cara
yang sah. Ketika alat bukti diperoleh dengan cara yang tidak sah, maka
alat bukti tersebut dikesampingkan oleh hakim atau dianggap tidak
mempunyai nilai pembuktian oleh pengadilan.
❑Sedangkan syarat materil diatur dalam Pasal 6, Pasal 15, dan Pasal 16
UU ITE, yang pada intinya informasi dan dokumen elektronik harus dapat
dijamin keotentikannya, keutuhannya, dan ketersediaanya. Untuk
menjamin terpenuhinya persyaratan materil yang dimaksud, dalam
banyak hal dibutuhkan digital forensik.
PASAL 5 ayat (4) UU ITE
Ketentuan mengenai Informasi Elektronik dan/atau Dokumen
Elektronik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak berlaku
untuk:
a. surat yang menurut Undang-Undang harus dibuat dalam
bentuk tertulis; dan
b. surat beserta dokumennya yang menurut Undang- Undang
harus dibuat dalam bentuk akta notaril atau akta yang dibuat
oleh pejabat pembuat akta.
PENGECUALIAN
PASAL 6 UU ITE
Dalam hal terdapat ketentuan lain selain yang diatur dalam Pasal 5 ayat (4) yang
mensyaratkan bahwa suatu informasi harus berbentuk tertulis atau asli, Informasi
Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik dianggap sah sepanjang informasi yang
tercantum di dalamnya dapat diakses, ditampilkan, dijamin keutuhannya, dan dapat
dipertanggungjawabkan sehingga menerangkan suatu keadaan.
Apabila para pihak hendak membuat suatu perjanjian yang bersifat formil dianggap
belum sah apabila belum dituangkan dalam bentuk tertulis secara manual, baik dalam
bentuk akta di bawah tangan maupun akta otentik.
Contoh perjanjian yang bersifat formil diantaranya adalah Perjanjian Perdamaian
(vide Pasal 1851 BW), Perjanjian Hibah (vide Pasal 1682 BW), serta Perjanjian jual-beli
dengan obyek tanah, Akta jual-beli sebidang tanah (vide Peraturan Pemerintah No. 24
Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah)
UNDANG-UNDANG YANG MENGATUR DAN MENGAKUI BUKTI
ELEKTRONIK SEBAGAI ALAT BUKTI YANG SAH
1. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1997 Tentang Dokumen Perusahaan
2. Undang-Undang Nomor 36 Tahun 1999 Tentang Telekomunikasi
3. Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 Tentang Pers
4. Undang Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001
Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
5. Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2002 Tentang Hak Cipta
6. Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 Tentang Komisi Pemberantasan Tindak
Pidana Korupsi
7. Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 Tentang Mahkamah Konstitusi
8. Undang Undang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi danTransaksi Elektronik
EMPAT PRINSIP YANG MENDASARI SELURUH RANGKAIAN KEGIATAN DALAM MENANGANI BUKTI
ELEKTRONIK UNTUK MENJAMIN KEUTUHANNYA DAN DAPAT DIPERTANGGUNG JAWABKAN

1. Prinsip Menjaga Integritas Data


Terpeliharanya integritas data dengan menjaga setiap tindakan yang dilakukan pada bukti elektronik tidak mengubah atau
merusak data yang tersimpan di dalamnya. integritas dan keaslian data dapat ditunjukkan dengan beberapa metode dari
teknis forensik. Salah satunya dengan mencocokkan message digest atau hashing terdiri dari rangkaian karakter yang
dihasilkan oleh fungsi hash. Hashing dari bukti asli dicocokkan dengan salinan bukti hasil akuisisi, selain itu dikelolanya
chain of custody (CoC) dengan baik merupakan salah satu faktor yang dapat menunjukkan integritas data.
2. Prinsip Personel Yang Kompeten
Personel digital forensik yang terpecaya, menangani bukti elektronik asli harus berkompeten, terlatih, dan mampu
memberikan penjelasan atas setiap keputusan yang dibuat dalam proses identifikasi, pengamanan, dan pengumpulan bukti
elektronik.
3. Prinsip Audit Trail
Audit trail atau istilah teknis yang dikenal sebagai Chain of custody (CoC) harus dipelihara dengan cara mencatat setiap
tindakan yang dilakukan terhadap bukti elektronik. Setiap tindakan baik dari proses pengumpulan hingga proses akhir, yaitu
pelaporan harus didokumentasikan, dipelihara, dan dapat dievaluasi oleh pihak lain. Prinsip audit trail mengharuskan ada
catatan teknis dan praktis terhadap langkahlangkah yang diterapkan terhadap bukti elektronik sejak awal termasuk dalam
hal pemeriksaan dan analisis berlangsung, sehingga ketika bukti elektronik tersebut diperiksa oleh pihak ketiga maka
seharusnya pihak ketiga tersebut akan mendapatkan hasil yang sama dengan hasil yang telah dilakukan oleh
investigator/analis forensik sebelumnya.
LANJUTAN…
Selain kepentingan untuk membuat rumusan atas pertimbangan hukum yang tepat, Hakim memiliki
kewajiban untuk melakukan otentifikasi bukti elektronik didasarkan pada asas ius curia novit, Asas ini
merupakan asas yang melekatkan kewajiban kepada hakim untuk berperan aktif untuk menemukan
hukum, mengembangkan hukum, atau membentuk hukum baru, apabila tidak ditemukan hukum tertulis
atau suatu peraturan perundang-undangan yang belum jelas aturannya.2Penerapan asas ini terdapat
pada pasal 10 ayat (1) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman.
Pada ketentuan tersebut melekat kewajiban pada pengadilan untuk memeriksa, mengadili, dan
memutus suatu perkara yang diajukan walaupun hukumnya tidak ada atau kurang jelas. Terkait bukti
elektronik, hingga saat ini belum ada kewajiban secara eksplisit bagi hakim untuk memastikan
otentifikasi bukti elektronik dengan mekanisme tertentu. Bahkan, belum ada ketentuan yang
memberikan pedoman kepada hakim, apakah dilakukan langsung melalui perangkat penyimpan bukti
elektonik atau hasil data imaging.
PASAL 44 UU ITE
Alat bukti penyidikan, penuntutan dan pemeriksaan di sidang pengadilan
menurut ketentuan Undang-Undang ini adalah sebagai berikut:
a. alat bukti sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Perundang-
undangan; dan
b. alat bukti lain berupa Informasi Elektronik dan/atau Dokumen
Elektronik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 1 dan angka 4
serta Pasal 5 ayat (1), ayat (2), dan ayat (3).
RUU KUHAP
- SELESAI –
rosaliadika@upnvj.ac.id

Anda mungkin juga menyukai