Anda di halaman 1dari 7

Usai PT NSP Dihukum Rp 1 Triliun, Kini

Manajernya Dibui 3 Tahun


Jakarta - General Manager PT National Sago Prima (NSP), Erwin lolos dari vonis
bebas dan dihukum 3 tahun penjara. Di kasus perdata, PT NSP juga dihukum
membayar ganti rugi ke negara Rp 1 triliun lebih karena membakar hutan di
Sumatera.

Erwin merupakan Pimpinan Cabang PT NSP Selat Panjang yang juga General
Manager di Kepulauan Meranti. Ia dinilai bertanggungjawab atas kebakaran hutan di
Meranti, Provinsi Riau, tahun 2015 lalu.

Atas kejadian itu, pemerintah mengajukan dua proses hukum yaitu gugatan perdata
dan pidana. Untuk kasus perdata, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan
(KLHK) mengajukan gugatan kepada perusahaan lebih dari Rp 1 triliun.

Pada Agustus 2016, PN Jaksel mengabulkan gugatan KLHK dan menghukum PT


NSP membayar ganti rugi kepada negara atas kebakaran itu sebesar Rp 319 miliar
dan biaya pemulihan sebesar Rp 753 miliar. Atas vonis ini, pihak PT NSP sedang
mengajukan proses banding.

"Putusan hanya berdasarkan pada bukti-bukti dan asumsi yang lemah yang diajukan
oleh penggugat. Hal ini terbukti dengan keputusan yang diambil oleh Majelis Hakim
dengan adanya Dissenting Opinion dimana salah satu hakim yang berkompetensi
dalam permasalahan lingkungan menyatakan ketidaksetujuannya terhadap putusan
Majelis Hakim," kata Ketua Tim Pengacara PT NSP, dari Lubis Ganie Surowidjojo,
Harjon Sinaga.

Nah, untuk kasus pidananya, KLHK bekerja sama dengan Kejaksaan Agung
menjerat Erwin. Tapi apa daya, Erwin dibebaskan PN Bengkalis pada 22 Januari
2015. Atas hal itu, jaksa tidak terima dan mengajukan kasasi. Apa kata MA?

"Menyatakan Ir Erwin terbukti bersalah melakukan tindak pidana Pembakaran Lahan


sebagaimana dalam dakwaan kesatu primer. Menjatuhkan pidana penjara selama 3
tahun dan denda Rp 3 miliar. Bila tidak membayar denda maka diganti kurungan 1
tahun," putus majelis kasasi sebagaimana dilansir website MA, Rabu (31/5/2017).

Duduk sebagai ketua majelis yaitu hakim agung Ardtijo Alkostar dengan anggota hakim
agung Prof Dr Surya Jaya dan hakim agung Sri Muwahyuni. Hal yang memberatkan
hukuman Erwin yaitu perbuatan terdakwa mengakibatkan timbulnya kabut asal yang
menimbulkan dampak negatif bagi kesehatan manusia.

"Perbuatan terdakwa mengakibatkan kerusakan fungsi lingkungan hidup dan


mengakibatkan turunnya kemampuan hutan sebagai penyimpan karbon sehingga
berpengaruh pada perubahan iklim dan pemanasan global," ujar Artdijo dkk.

Menurut majelis, upaya yang dilakukan Erwin belum sepenuh hati dan tidak didukung
dengan peralatan yang cukup memadai dalam mencegah kebakaran lahan.

"Mengenai pertanggungjawaban PT NSP dalam kedudukannya sebagai korporasi yang


terbukti secara sah melakukan tindak pidana bersama dengan Erwin, perkaranya diajukan
tersendiri dalam berkas terpisah. Dalam pemeriksaan perkara a quo, bukan hanya Erwin
sebagai pembuat, tetapi korporasi turut serta bertanggung jawab atas terjadinya tindak
pidana pembakaran hutan," papar Artidjo dkk dalam sidang pada Agustus 2016 lalu.
(asp/fdn)
Ganti Rugi Rp1 Triliun, National Sago Prima
Ajukan Banding
Jakarta, CNN Indonesia -- Anak perusahaan PT Sampoerna Agro Tbk., PT National Sago Prima
(NSP), akan mengajukan banding atas putusan gugatan perdata kasus pembakaran hutan
seluas 3.000 hektare lahan konsesi di Kabupaten Kepulauan Meranti, Provinsi Riau.

Kuasa hukum PT NSP, Rofik Sungkar, mengaku kecewa dengan keputusan majelis hakim yang
memenangkan gugatan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. Dia menilai majelis
tidak mempertimbangkan keterangan saksi dan bukti-bukti yang diajukan perusahaan di
persidangan.

"Kami merasa tidak melakukan pembakaran hutan, sudah kami ajukan bukti berupa saksi ahli,
bahkan sudah diajak mereka (hakim) ke TKP. Mereka tidak mempertimbangkan sama sekali,"
kata Rofik saat dihubungi CNNIndonesia.com, Jumat (12/8).

Rofik justru mengklaim bahwa pihaknya juga mengalami kerugian yang cukup besar akibat
kebakaran hutan di areal perusahaan milik kliennya. Dia juga menyatakan tuntutan yang
diajukan oleh KLHK tidak berdasar, karena sejauh ini tidak ada bukti kerusakan di lahan bekas
kebakaran hutan tersebut.

Dalam putusan pengadilan yang dibacakan oleh hakim Effendi Mochtar, PT NSP dinyatakan
telah secara tidak langsung dengan sengaja terlibat kegiatan pembakaran hutan di lahan seluas
3.000 hektare lahan konsesi. Total ganti rugi yang harus dibayarkan sebesar Rp319 miliar, serta
membayar biaya pemulihan sebesar Rp753 miliar.

Putusan itu menyebutkan PT NSP terbukti melakukan pelanggaran hukum karena tidak
menjalankan aturan perundang-undangan tentang lingkungan hidup, undang-undang kehutanan,
peraturan sarana dan prasarana lingkungan hidup serta sederet peraturan lainnya.

Kekecewaan Rofik juga diperkuat dengan adanya dissenting opinion, atau perbedaan pendapat
di antara majelis hakim.

"Salah satu hakim juga bilang di sana, kalau ini bukan pembakaran yang disengaja, tapi ini
merupakan bencana alam, lalu siapa yang salah? Kami? ya tidak dong," kata Rofik.

Sementara itu, menurut kuasa hukum KLHK Patra M. Zen, motif PT NSP dalam aksi
pembakaran lahan bisa dibuktikan dengan jelas di persidangan. Salah satunya, menurut Patra,
ketika PT NSP melakukan upaya pencegahan api seolah hanya kedok saja.

Pada persidangan yang digelar beberapa waktu lalu, KLHK mengklaim pernah berbicara dengan
seorang saksi PT NSP. Saksi tersebut mengatakan bahwa perusahaannya memakai helikopter
terkecil untuk pencegahan karena uangnya belum cukup dikeluarkan.

"PT NSP telah melakukan pelanggaran hukuman. Mereka tidak mengikuti aturan," kata Patra.

Wakil Ketua Komnas HAM Dianto Bachriadi terpisah mengatakan putusan atas gugatan perdata
itu dapat menjadi yurisprudensi bagi para hakim lainnya dalam memutuskan perkara yang relatif
serupa.

Dianto menilai putusan itu lebih baik dibandingkan dengan sejumlah putusan tentang kebakaran
hutan sebelumnya. Yurisprudensi adalah putusan yang dijadikan pedoman dalam kasus yang
relatif sama.

Dia menyambut baik putusan tersebut, walaupun uang Rp1 triliun itu dinilai tak memadai untuk
rehabilitasi lingkungan dan kompensasi para warga yang terkena polusi asap. Dianto
menegaskan uang Rp1 triliun itu juga harus jelas kemana akan dialokasikan oleh pemerintah.

Data Riau Corruption Trial (RCT) menyatakan PT NSP adalah badan usaha yang bergerak di
bidang usaha pertanian, perindustrian, perdagangan dan pengangkutan darat. Perusahaan itu
telah memperoleh Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan-Bukan Kayu seluas 21.418 hektare di
Kabupaten Kepulauan Meranti Provinsi Riau, berdasarkan Surat Keputusan Menteri Kehutanan
Republik Indonesia Nomor: SK.77/Menhut-II/2013 tanggal 4 Februari 2013. (gil/asa)
KOMPAS.com - Putusan Majelis Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Selatan yang mengabulkan
gugatan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) pada PT National Sago Prima
(NSP) membuka harapan baru bagi penegakan kasus hukum lingkungan. Majelis hakim yang
diketuai oleh Effendi Mochtar memutuskan pada Kamis (11/8/2016) memutuskan bahwa PT NSP
bersalah atas kebakaran hutan seluas 3.000 hektar yang terjadi di wilayah konsesinya di
Meranti, Riau, pada tahun 2014 dan 2015. PT NSP dituntut membayar ganti rugi total Rp 1,07
Triliun terdiri dari ganti rugi sebesar Rp 319.168.422.500, tindakan pemulihan Rp Rp 753 miliar,
uang paksa (dwangsom) sebesar Rp 50 juta per hari atas keterlambatan pelaksanaan putusan,
serta biaya perkara sebesar Rp 462.000. Kuasa hukum KLHK dalam kasus dengan PT NSP,
Patra Zen, mengatakan bahwa tak semua gugatan dikabulkan. Biaya ganti rugi yang dikabulkan
sedikit lebih rendah. Selain itu, permintaan eksekusi tanpa menunggu putusan final (inkrah) juga
tak dikabulkan. Namun, putusan tetap diapresiasi. Dirjen Penegakan Hukum KLHK, Rasio Ridho
Sani, dalam konferensi pers di jakarta, Jumat (12/8/2016), mengatakan, "Putusan ini
memberikan harapan untuk keadilan." Masyarakat bisa mendapatkan keadilan atas kerugian
yang diakibatkan kerusakan lingkungannya. Negara pun juga mendapatkan keadilan atas
keugian ekonomi dan hilangnya sumber daya alam hayati akibat kerusakan lingkungan.
Bambang Hero Sahardjo, ahli kebakaran hutan dari Institut Pertanian Bogor sekaligus saksi ahli
dalam kasus PT NSP mengatakan, "Ini adalah terobosan. Awalnya pun sempat diragukan.
Apakah benar ganti ruginya sebesar itu. Saya katakan bahwa kalau memang sesuai aturan main
dan legalitasnya, ya sebesar itu." Koalisi Anti Mafia Hutan menyataka bahwa hal menarik yang
terjadi dalam pengadilan adalah hakim yang menyatakan bahwa PT NSP bertanggung jawab
atas kebakaran yang terjadi di lokasi izinnya, baik disebabkan oleh perusahaan atau tidak.
"Pertimbangan ini merujuk pada Permenhut No 12 tahun 2009 dan beberapa aturan terkait.
Pertimbangan ini membuka harapan yang selama ini redup, karena berkaca pada pertimbangan
hakim di perkara lain yang juga diajukan KLHK, perusahaan tidak bertanggung jawab atas
kebakaran yang terjadi karena pihak lain atau masyarakat," jelasnya. Koalisi Anti Mafia Hutan
meminta KLHK untuk terus mengawal tahapan lanjutan yang akan ditempuh PT NSP serta,
menangani perusahaan-perusahaan lain yang terlibat kasus kebakaran hutan, serta mengambil
alih 15 korporasi terduga pembakar lahan tahun 2015 yang dihentikan Polda Riau tahun ini.
Koalisi juga mendesak presiden menerbitkan Perpres pasca putusan MK No 18/PUU-XII/2014
terkait perubahan pasal 95 ayat 1 UU PPLH yang menyatakan bahwa untuk pelanggaran pidana
LH bisa dilakukan penegakan hukum terpadu antara penyidik PPNS, Kepolisian, dan Kejaksaan
di bawah koordinasi Menteri. "Terbitnya Perpres ini dapatr menghindari SP 3 (Surat Perintah
Penghentian Penyelidikan) seperti kasus kebakaran hutan di Riau," demikian dinyatakan Koalisi
yang terdiri dari Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi), Jikalahari, Indonesian Center for
Environmental Law (ICEL) dan lainnya. Sementara itu, PT NSP lewat kuasa hukumnya, Lubis
Ganie Surowidjojo, menyatakan bahwa pihaknya menyayangkan putusan hakim yang dianggap
tidak mempertimbangkan alat dan bukti ilmiah dari para ahli yang dikumpulkannya. "Putusan
hanya berdasarkan pada bukti-bukti dan asumsi yang lemah yang diajukan oleh penggugat,"
demikian dinyatakan. "Saat ini kami sedang mempertimbangkan langkah selanjutnya yang akan
kami tempuh, termasuk kemungkinan naik banding."

Artikel ini telah tayang di Kompas.com dengan judul "Putusan Rp 1,07 Triliun pada PT NSP Beri
Harapan Baru bagi Penegakan Hukum
Lingkungan", https://sains.kompas.com/read/2016/08/12/14112111/putusan.rp.1.07.triliun.pada.p
t.nsp.beri.harapan.baru.bagi.penegakan.hukum.lingkungan.
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Anak usaha PT Sampoerna Agro Tbk (SGRO), yakni PT
National Sago Prima (NSP), digugat oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan
sebesar Rp 1,07 triliun.

Gugatan itu dilayangkan ke PT NSP lantaran kebakaran terjadi di lahan konsesi hutan tanaman
industri (HTI) yang dimiliki.

Gugatan yang dilayangkan itu berdasarkan Surat Panggilan Sidang Pengadilan Negeri Jakarta
Selatan Nomor 591/Pdt.G/2015/PN.Jkt-Sel tanggal 20 Oktober.

Karena gugatan tersebut, laporan keuangan Sampoerna Agro juga terkena dampak karena
perusahaan harus mengalokasikan dana untuk membayar denda sebesar Rp 1,07 triliun.

Rinciannya, dana sebesar Rp 319,16 miliar untuk membayar ganti rugi atas lingkungan hidup,
dan Rp 753,74 miliar untuk biaya pemulihan lingkungan.

"Ganti rugi tersebut dikabulkan seluruhnya oleh pengadilan, dan putusannya telah berkekuatan
hukum tetap. Maka, ini akan berdampak negatif secara material dan signifikan terhadap kondisi
keuangan dan proyeksi keuangan perseroan," kata Eris Ariaman, Sekretaris Perusahaan SGRO,
dalam keterbukaan informasi, Kamis, (22/10/2015).

Di sisi lain, kondisi keuangan Sampoerna Agro saat ini tengah kembang kempis. Pada semester
I, kas yang dimiliki hanya Rp 192,99 miliar. Adapun laba yang diperoleh merosot 48,06 persen
dari Rp 189,63 miliar menjadi Rp 98,48 miliar.

Pendapatan perseroan juga turun 9,65 persen dari Rp 1,45 triliun menjadi Rp 1,31 triliun.

Perseroan menyatakan, apabila seluruh gugatan itu dikabulkan oleh pengadilan, NSP akan
kehilangan hak hukumnya untuk menjalankan kegiatan operasional. Akibatnya, NSP wanprestasi
terhadap perjanjian yang dibuatnya dengan pihak lain. NSP juga tidak dapat lagi melangsungkan
kegiatan usaha.

Sebagai informasi, NSP merupakan perusahaan yang bergerak di bisnis sagu. Aset NSP tercatat
Rp 5,97 miliar. Di situ, SGRO memegang 99,98 persen kepemilikan. (Annisa Aninditya Wibawa)

Artikel ini telah tayang di Tribunnews.com dengan judul Anak Usaha Sampoerna Agro Digugat
Rp 1 Triliun terkait Kebakaran Hutan, http://www.tribunnews.com/bisnis/2015/10/22/anak-usaha-
sampoerna-agro-digugat-rp-1-triliun-terkait-kebakaran-hutan.
Editor: Sanusi

Anda mungkin juga menyukai