Anda di halaman 1dari 37

ANALISIS PUTUSAN NOMOR : 104/G/LH/2017/PTUN-JKT.

KASUS KEBAKARAN HUTAN OLEH PT KASWARI UNGGUL

MAKALAH

MATA KULIAH HUKUM LINGKUNGAN

KELAS B PROGRAM REGULER

KELOMPOK 9

M. Rizky Zaenuddin (1706977600)

Putri Salma Radiyani (1706977696)

Rafika Rosmalida (1706977714)

Ridha Rizkiyah Lubis (1706977746)

Rifqi Thoriq (1706977752)

Rosa Auli Calend (1706977765)

Rozy Brilian Sodik (1706977771)

Sharon Nikita (1706977802)

Tenriana Nur Qalby R (1706977834)

Irene Beathrine E (1806219255)

FAKULTAS HUKUM
DEPOK
NOVEMBER 2019
BAB I

PENDAHULUAN

I. Latar Belakang

Berita Acara Pengawasan Penataan Lingkungan Hidup Tanggal 5 Oktober 2015 yang
dibuat oleh Kementerian Lingkungan Hidup Republik Indonesia (selanjutnya disebut
“Tergugat”) dan Balai Konservasi Sumber Daya Alam Jambi menguraikan telah terjadi
kebakaran hutan dan lahan pada tanggal 3 Juli 2015, 17 Agustus 2015, dan 24 Agustus 2015
dengan sumber titik api berasal dari areal Hutan Produksi dikarenakan tiupan angin yang
kencang disertai asap yang sangat pekat membawa daun-daun terbakar ke areal perkebunan
PT Kaswari Unggul (selanjutnya disebut “Penggugat”) tepatnya di Divisi D12, D13, D14,
E13, E15, dan F15 yang mengakibatkan kebakaran di areal tersebut.
Penggugat merupakan Perseroan Terbatas yang menjalankan usaha di bidang
perkebunan kelapa sawit yang terletak di Kabupaten Tanjung Jabung Timur Provinsi Jambi
dengan luas areal 3.215,73 ha yang tersebar di empat lokasi yaitu Desa Pandan Lagan, Desa
Suka Maju, Desa Rantau Karya, Kecamatan Geragai, Kabupaten Tanjung Jabung Timur
seluas 1.806,06 ha. Selanjutnya lokasi di Desa Kuala Dendang dan Sidomukti, Kecamatan
Dendang, Kabupaten Tanjung Jabung Timur seluas 732,72 ha. Lokasi ketiga di Desa Catur
Rahayu Kecamatan Dendang, Kabupaten Tanjung Jabung Timur seluas 531,45 ha. Lokasi
terakhir di Desa Teluk Dawam, Kecamatan Muara Jabak Barat, Kabupaten Tanjung Jabung
Timur seluas 145,10 ha. Kesemua lokasi tersebut merupakan Hak Guna Usaha berdasarkan
Keputusan Menteri Agraria dan Tata Ruang Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor:
58/HGU/KEM-ATR/BPN/2015 Tanggal 11 Juni 2015 tentang Pemberian Hak Guna Usaha
Atas Nama PT Kaswari Unggul, Atas Tanah di Kabupaten Tanjung Jabung Timur Provinsi
Jambi.
Setelah terjadinya, kebakaran tersebut Penggugat menerima Surat Keputusan Menteri
Lingkungan Hidup dan Kehutanan Republik Indonesia Nomor SK. 4551/Menlhk-
PHLHK/PPSA/2015 Tanggal 19 Oktober 2015 tentang Penerapan Sanksi Administratif
Paksaan Pemerintah Kepada PT Kaswari Unggul (selanjutnya disebut “Surat Keputusan No.
4551”) yang pada intinya menyatakan bahwa Penggugat melakukan pelanggaran yakni (1)
kebakaran lahan pada areal kerja Penggugat di Divisi D12, D13, D14, E13, E15, dan F15; (2)
tidak melengkapi sarana dan prasarana penanggulangan kebakaran lahan; (3) tidak
melengkapi TPS Limbah B3 sesuai persyaratan teknis; (4) tidak memiliki izin Penyimpanan
Sementara Limbah Bahan Berbahaya Beracun; (5) tidak memelihara kelestarian fungsi
lingkungan hidup serta mengendalikan pencemaran dan/atau kerusakan linkgungan hidup.
Setelah jabaran pelanggaran yang dilakukan oleh Penggugat, Tergugat memberikan
sanksi administrasi paksaan pemerintah yaitu berupa (1) mengembalikan lahan eks area
kebakaran dalam areal kerja PT Kaswari Unggul kepada Negara sesuai peraturan perundang-
undangan, dalam jangka waktu paling lama 60 (enam puluh) hari kalender; (2) melengkapi
sarana dan prasarana penanggulangan kebakaran hutan dan lahan di Distrik Sungai Bekuyu,
paling lama 30 (tiga puluh) hari kelender; (3) melengkapi TPS Limbah B3 sesuai persyaratan
teknis, paling lama 30 (tiga puluh) hari kalender; (4) memiliki izin Penyimpanan Sementara
Limbah Bahan Berbahaya dan Beracun, paling lama 60 (enam puluh) hari kalender; (5)
melakukan permintaan maaf kepada publik melalui media masa nasional, paling lama 14
(empat belas) hari kalender.
Penggugat merasa Surat Keputusan No. 4551 bertentangan dengan Peraturan
Perundang-undangan dan asas-asas umum pemerintahan yang baik (AUPB). Tergugat telah
melanggar Peraturan Perundang-undangan yang berlaku yaitu tepatnya Diktum 3 Poin 1 dan
5 Surat Keputusan No. 4551. Poin 1 permasalahannya harus mengembalikan lahan areal kerja
PT Kaswari Unggul padahal Hak Guna Usaha telah diberikan dan tidak semudah itu untuk
dicabut tanpa prosedur dan kewenangan sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan.
Penggugat merasa pencabutan atau pembatalan Hak Guna Usaha ada pada instansi yang
menerbitkannya, dan Tergugat tidak memiliki kewenangan tersebut. Poin 5 yakni melakukan
permintaan maaf ke publik juga sepatutnya tidak dilakukan, oleh karena Penggugat merasa
tidak salah dan menganggap dirinya sebagai korban, karena kebakaran hutan dan lahan bukan
karena tindakannya, melainkan lahan milik Penggugatlah yang terbakar, namun Kementerian
Lingkungan Hidup memberikan Surat Keputusan No. 4551 yang berisi sanksi administrasi
bagi Penggugat. Selain itu, Penggugat tidak mendapatkan peringatan dari Tergugat sebelum
menjatuhkan sanksi administrasi kepada Penggugat, pengecualian terhadap ketentuan ini
tidak terpenuhi menurut Penggugat. Asas kecermatan dalam AUPB tidak dilakukan karena
Penggugat tidak merasa menerima Surat Keputusan No. 4551 oleh karena seharusnya
disampaikan langsung. Kekeliruan lokasi juga terjadi pada poin 2 Diktum Surat Keputusan
No. 4551 karena menyebutkan Distrik Sungai Beyuku padahal Penggugat tidak ada lahan
disitu. Kemudian, Surat Keputusan No. 4551, khususnya terkait poin 2, dilakukan perubahan
dengan adanya Surat Keputusan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Republik
Indonesia Nomor SK. 3982/Menlhk-PHLHK/PPSA/GKM.0/8/2016 Tanggal 23 Agustus
2016 Tentang Perubahan Keputusan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Republik
Indonesia Nomor. SK. 4551/Menlhk-PHLHK/PPSA/2015 tentang Penerapan Sanksi
Administratif Paksaan Pemerintah Kepada PT Kaswari Unggul (untuk selanjutnya disingkat
“Surat Keputusan No. 3982”). Dengan adanya perubahan tersebut membuat ketidakjelasan
lokasi karena adanya ketidakjelasan pada diktum poin 2 yang berbunyi “Melengkapi sarana
dan prasarana penanggulangan kebakaran hutan dan lahan, paling lama 30 (tigapuluh) hari
kalender.” Selain itu, ketidakjelasan dalam hal pelaksanaan apakah 30 hari dari Surat
Keputusan No. 4551 atau Surat Keputusan No. 3982. Asas kesamaan pun oleh Penggugat
dianggap terlanggar karena PT ATGA, yang lokasinya dekat dengan PT Kaswari Unggul dan
sama-sama terbakar, tidak dijatuhi sanksi. Asas kewajaran dan keadilan dilanggar berkaitan
dengan Hak Guna Usaha tidak bisa dikembalikan sembarangan. Juga terdapat kekeliruan dari
Tergugat yang menyatakan bahwa Penggugat tidak memenuhi sarana dan prasarana
pencegahan kebakaran hutan, padahal Penguggat bergerak dalam bidang perkebunan kelapa
sawit.
Kesemua anggapan dibantah, Tergugat menyatakan gugatan Penggugat kadalawuarsa,
harusnya adalah sejak Surat Keputusan diterima atau diumumkan Badan/Pejabat Tata Usaha
Negara, sedangkan 19 Oktober 2015 sampai dengan 12 Mei 2017 telah 1 tahun 6 bulan.
Penggugat mendalilkan dia tidak menerima SK, tetapi mengajukan keberatan pada 22
Desember 2015, jadi sebenarnya Penggugat tau bahwa ada SK yang disampaikan kepadanya.
Lalu, dalam areal PT Kaswari Unggul telah terjadi kebakaran yang menimbulkan efek
gangguang kesehatan masyarakat, sehingga wajar saja jika PT Kaswari Unggul seharusnya
meminta maaf. Kasus kebakaran ini tidak diajukan sanksi tertulis dikarenakan sifatnya yang
serius dan memenuhi pengecualian dalam Pasal 80 ayat (2) UUPLH. Tergugat merasa telah
menerapkan asas kecermatan dengan baik dan melalui langkah pengawasan, pembahasan,
analisis, dengan melibatkan unsur instansi yang secara objektif dan normatif untuk ambil
keputusan, dilihat dari adanya keberatan yang diajukan Penguggat tentang lokasi areal
perkebunan sawit. Begitu pula asas kesamaan dan kewajaran, telah diterapkan seharusnya.
Akhirnya berdasarkan pertimbangan alasan gugatan dan jawaban dari Penggugat dan
Tergugat. Hakim Pengadilan Tata Usaha Negara Jakarta memutuskan mengabulkan eksepsi
Tergugat perihal daluwarsa waktu sehingga tidak perlu dilakukan pertimbangan hukum
secara nyata dan menyatakan gugatan Penggugat NO (Niet Ontvankelijke Nerklaard) atau
gugatan penggugat tidak dapat diterima karena cacat formil dan Penggugat harus membayar
biaya perkara sebesar Rp. 302.500,00.
Dari putusan diatas, kuasa hukum Penggugat mengajukan banding pada tanggal 17
Oktober 2017 di Kepaniteraan Pengadilan Tata Usaha Negara Jakarta, yang menguatkan
Putusan Pengadilan Tata Usaha Negara Jakarta Nomor: 104/G/LH/2017/PTUN.JKT tanggal
17 Oktober 2017, dengan penekanan lewatnya waktu pengajuan gugatan telah lebih dari 90
hari. Penggugat melakukan permohonan kasasi di tingkat akhir dan dikeluarkan Putusan MA
Nomor 417/K/TUN/LH/2018 menyatakan menolak permohonan kasasi Penggugat. Sehingga,
diakhirpun gugatan Penggugat tetap dinyatakan tidak diterima karena ada cacat formil,
berupa daluwarsa waktu pengajuan.

II. Rumusan Masalah


Terdapat 6 pokok permasalahan yang akan dijawab dan dianalisis oleh penulis, yaitu:
1. Apakah yang dimaksud dengan paksaan pemerintah (bestuurdwang)?
a. Apakah akibat hukum yang dapat timbul jika seseorang tidak melaksanakan paksaan
pemerintah?
b. Apakah seseorang baru dapat dikenakan sanksi paksaan pemerintah hanya ketika
pelanggaran timbul?
c. Bagaimana keterkaitan antara sanksi dengan pengawasan?
d. Apakah prosedur penerapan sanksi sudah dilakukan dengan tepat?
e. Bagaimana penerapan paksaan pemerintah dalam kasus ini ditinjau dari definisi
teoritis atas bestuursdwang?
2. Bagaimana asas Kesamaan dalam AAUPB dimaknai, khususnya terkait dengan kasus
ini?
3. Apakah sanksi paksaan pemerintah dapat memerintahkan seseorang/badan hukum
untuk menyerahkan kembali bekas lahan kebakaran kepada negara?
4. Apakah seseorang dapat dimintakan pertanggungjawaban moral dalam
pertanggungjawaban hukum?
5. Apakah sanksi administratif dapat membebankan sanksi yang tidak dapat memulihkan
maupun mencegah terjadinya kerusakan/pencemaran lingkungan hidup, seperti sanksi
permintaan maaf?
6. Bagaimanakah putusan ini akan berakhir apabila gugatan yang diajukan tidak
melewati batas waktu?
BAB II

ANALISIS

1. Paksaan Pemerintah (bestuursdwang)


Paksaan pemerintah merupakan salah satu dari empat sanksi administrasi yang
disebutkan dalam Pasal 76 ayat (2) Undang-Undang No. 32 Tahun 2009 tentang
Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (“UU PLH”). Sanksi administrasi
diberikan kepada penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan apabila dalam pengawasan
ternyata ditemukan pelanggaran terhadap izin lingkungan.
Paksaan pemerintah adalah sanksi administratif berupa tindakan nyata untuk
menghentikan pelanggaran dan/atau memulihkan dalam keadaan semula. Sanksi administrasi
berupa paksaan pemerintah dapat dijatuhkan kepada penanggung jawab usaha dan/atau
kegiatan dengan terlebih dahulu memberikan teguran tertulis.1 Namun, terdapat pengecualian
yakni tidak diperlukannya teguran tertulis sebagai pendahuluan yang disebutkan dalam Pasal
80 ayat (2) UU PLH, yaitu terhadap pelanggaran yang dilakukan menimbulkan (a) ancaman
serius bagi manusia dan lingkungan hidup; (b) dampak yang lebih besar dan lebih luas jika
tidak segera dihentikan pencemaran dan/atau perusakannya; dan/atau (c) kerugian yang lebih
besar bagi lingkungan hidup jika tidak segera dihentikan pencemaran dan/atau perusakannya.
Bentuk hukuman dari paksaan pemerintah disebutkan dalam Pasal 80 ayat (1) UU
PLH, yaitu dapat berupa (a) penghentian sementara kegiatan produksi; (b) pemindahan sarana
produksi; (c) penutupan saluran pembuangan air limbah dan emisi; (d) pembongkaran; (e)
penyitaan terhadap barang atau alat yang berpotensi menimbulkan pelanggaran; (f)
penghentian sementara seluruh kegiatan; atau (g) tindakan lain yang bertujuan untuk
memulihkan fungsi lingkungan hidup.
Sedangkan bentuk pelanggaran yang dapat dikenakan sanksi administrasi yaitu
paksaan pemerintah apabila terdapat ketidaksesuaian antara persyaratan dan kewajiban yang
tercantum dalam izin lingkungan dan peraturan perundang-undangan lingkungan dan terkait
lingkungan, dengan kenyataan yang terjadi di lapangan, misalkan tidak membuat Instalasi
Pengolahan Air Limbah (IPAL), tidak memiliki Tempat Penyimpanan Sementara (TPS)
limbah B3, tidak memiliki alat pengukur laju alir air limbah (flow meter), tidak memasang

1 Indonesia, Menteri Lingkungan Hidup, Lampiran I Peraturan Menteri Lingkungan Hidup tentang
Pedoman Penerapan Sanksi Administratif di Bidang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, Nomor
PM 2 Tahun 2013, hlm. 12.
tangga pengaman pada cerobong emisi, tidak membuat lubang sampling pada cerobong
emisi, membuang atau melepaskan limbah ke media lingkungan melebihi baku mutu air
limbah, tidak memenuhi persyaratan sebagaimana yang tertuang dalam izin, tidak
mengoptimalkan kinerja IPAL, tidak memisahkan saluran air limbah dengan limpasan air
hujan, tidak membuat saluran air limbah yang kedap air, tidak mengoptimalkan kinerja
fasilitas pengendalian pencemaran udara, tidak memasang alat scrubber, tidak memiliki
fasilitas sampling udara, membuang limbah B3 di luar TPS limbah B3, tidak memiliki
saluran dan bak untuk menampung tumpahan limbah B3.2

1A. Akibat hukum yang dapat timbul jika seseorang tidak melaksanakan paksaan
pemerintah
Sanksi administrasi diatur di dalam Pasal 76 UUPLH , dengan bunyi pasal sebagai
berikut:
(1) Menteri, gubernur, atau bupati/walikota menerapkan sanksi administrasi kepada
penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan jika dalam pengawasan ditemukan pelanggaran
terhadap izin lingkungan.”
(2) Sanksi administrasi terdiri atas :
a. teguran tertulis;
b. paksaan pemerintah;
c. pembekuan izin lingkungan; atau
d. pencabutan izin lingkungan.
Di dalam ketentuan pasal-pasal terkait dengan sanksi administrasi dalam UUPLH, paksaan
pemerintah seperti memiliki peranan penting, dikarenakan sanksi administrasi pada poin (c)
dan (d) dalam UUPLH dapat dilakukan apabila penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan
tidak melaksanakan paksaan pemerintah.3
Selain itu, mengacu pada ketentuan Pasal 81 UU PLH menyebutkan bahwa terhadap
setiap penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan yang dikenakan sanksi berupa paksaan
pemerintah tetapi tidak melaksanakannya, maka dijatuhkan denda atas setiap keterlambatan
pelaksanaan sanksi pemerintah. Pengenaan denda terhadap keterlambatan melaksanakan
paksaan pemerintah ini terhitung mulai sejak jangka waktu pelaksanaan paksaan pemerintah
tidak dilaksanakan.4

2 Ibid.
3 Indonesia, Undang-Undang Pengelolaan Lingkungan Hidup, UU No.23 Tahun 1997, LN No.68
Tahun 1997, TLN No. 3699, Ps. 79..
4 Indonesia, Lampiran I, hlm. 14.
Dari penjelasan diatas maka telah diketahui bahwa paksaan pemerintah yang tidak
dilaksanakan memiliki konsekuensi akibat hukum yang dapat kemudian berlanjut pada
penerapan sanksi yang sanksi administrasi pada poin (c) dan (d), yakni pembekuan izin
lingkungan dan pencabutan izin lingkungan. Serta dalam hal paksaan pemerintah terlambat
dilaksanakan maka dapat dikenakan denda administratif.

1B. Apakah seseorang baru dapat dikenakan sanksi paksaan pemerintah hanya ketika
pelanggaran timbul e.g. kebakaran hutan di areal perkebunan miliknya, karena
kesalahan?

Berdasarkan pasal 4 ayat (3) PerMenLH No.2 Th.2013 tentang Pedoman penerapan
sanksi Administratif di bidang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup bahwa
paksaan Pemerintah dapat diterapkan apabila penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan
melakukan pelanggaran terhadap persyaratan dan kewajiban yang tercantum dalam izin
Lingkungan Hidup dan/atau menimbulkan pencemaran dan/atau kerusakan Lingkungan
Hidup.5 Dalam penjelasan di atas paksaan Pemerintah merupakan sanksi yang bertujuan
untuk memulihkan artinya telah terjadi suatu pelanggaran sehingga harus di pulihkan seperti
keadaan semula atau dapat dikatakan jenis sanksi administratif yang sifatnya Reparatoir.

Dalam pasal 88 UUPPLH menyatakan bahwa setiap orang yang tindakannya,


dan/atau kegiatannya menggunakan B3,menghasilkan dan/atau mengelola limbah B3,
dan/atau yang menimbulkan ancaman serius terhadap lingkungan hidup bertanggung jawab
mutlak atas kerugian yang terjadi tanpa perlu pembuktian kesalahan. tanggung jawab mutlak
atau yang dikenal dengan strict liability. Dalam strict liability tidak lagi diperlukan unsur
berupa kesalahan, baik kesalahan secara subjektif maupun kesalahan secara objektif
(perbuatan yang melawan hukum).

Dalam kasus PT Kaswari Unggul, Menteri LHK, PT Kaswari dikenakan sanksi


administratif yang dituangkan dalam SK No.4551 yang memerintahkan PT Kaswari untuk;
mengembalikan lahan eks area kebakaran dalam areal kerja PT Kaswari Unggul, melengkapi
sarana dan prasarana penaggulangan kebakaran hutan dan lahan distrik sugai beyuku,
melengkapi TPS limbah B3 sesuai persyaratan teknis, memiliki izin penyimpanan sementara
limbah B3, dan melakukan permintaan maaf kepada publik melalui media massa. kemudian
5 Indonesia, Menteri Lingkungan Hidup, Peraturan Menteri Lingkungan Hidup tentang Pedoman
Penerapan Sanksi Administratif di Bidang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, Nomor PM 2
Tahun 2013, Psl 4.
dalam gugatannya PT Kaswari menyatakan bahwa sumber titik api berasal dari areal hutan
produksi atau di luar areal perkebunan penggugat, yang dikarenakan tiupan angin yang
kencang dan disertai asap yang sangat pekat membawa daun-daun yang masih terbakar ke
udara sehingga api masuk ke areal perkebunan penggugat yang menyebabkan kebakaran pada
areal perkebunan penggugat, sehingga penggugat bukan pihak yang melakukan pembakaran
lahan tapi justru korban, karena akibat dari peristiwa tersebut penggugat telah mengalami
kebakaran pada area kebun kelapa sawit sejumlah kurang lebih 12 Ha, dari area tersebut
sejumlah 70% usia tanamannya sudah mencapai 12 tahun. namun meskipun demikian
penggugat tetap dapat dijatuhkan sanksi karena telah lalai dalam melengkapi sarana dan
prasarana penanggulangan kebakaran lahan.

1C. Bagaimana keterkaitan antara sanksi dengan pengawasan?

Kerugian lingkungan dan kesehatan akibat pencemaran dan perusakan lingkungan


dapat bersifat tidak terpulihkan (irreversible). Oleh sebab itu, pengelolaan lingkungan
semestinya lebih didasarkan pada upaya pencegahan timbulnya masalah-masalah lingkungan
sebagai bagian dari pengelolaan lingkungan, hukum lingkungan memiliki fungsi yang amat
penting karena salah satu bidang hukum lingkungan, yaitu hukum lingkungan administrasi
memiliki fungsi preventif dan fungsi korektif terhadap kegiatan-kegiatan yang tidak
memenuhi ketentuan atau persyaratan-persyaratan pengelolaan lingkungan. Fungsi preventif
terhadap timbulnya masalah-masalah lingkungan yang bersumber dari kegiatan usaha
diwujudkan dalam bentuk pengawasan yang dilakukan oleh aparat berwenang di bidang
pengawasan lingkungan.6

Pengawasan diatur dalam Pasal 71 UU PPLH, yang antara lain menyebutkan bahwa
Menteri, Gubernur, Bupati/Walikota sesuai dengan kewenangannya wajib melakukan
pengawasan terhadap ketaatan penanggung jawab usaha atau kegiatan atas ketentuan yang
ditetapkan dalam UU PPLH.7 Kewajiban yang dimaksud adalah yang tercantum dalam Pasal
67 dan 68 UU PPLH yang menyebutkan bahwa setiap orang berkewajiban memelihara
kelestarian fungsi lingkungan hidup serta mengendalikan pencemaran atau kerusakan
lingkungan hidup dan setiap pelaku usaha atau kegiatan berkewajiban menjaga keberlanjutan
fungsi lingkungan hidup.

6 Takdir Rahmadi, Hukum Lingkungan di Indonesia, cet.6(Jakarta:RajaGrafindo Persada, 2016),hlm.


215.
7 Pasal 71 UUPLH
Dalam perkara ini, Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan yang memiliki
kewenangan melakukan pengawasan terhadap areal terbakar atau bekas terbakar PT Kaswari
Unggul yang dituangkan dalam Berita Acara Pengawasan Penaatan Lingkungan Hidup. Hasil
pengawasan tersebut dituangkan dalam Surat Keputusan No. 4551/Menlhk-
PHLHK/PPSA/2015 Tanggal 19 Oktober 2015 Tentang Penerapan Sanksi Administratif
Paksaan Pemerintah Kepada PT. Kaswari Unggul yang menjadi objek sengketa tata usaha
negara dalam perkara tersebut.

Penegakan hukum administratif di bidang perlindungan dan pengelolaan lingkungan


hidup didasarkan atas dua instrumen yaitu pengawasan dan penerapan sanksi administratif.
Pengawasan dilakukan untuk mengetahui tingkat ketaatan penanggung jawab usaha dan/atau
kegiatan. Peraturan Menteri Lingkungan Hidup Nomor 2 Tahun 2013 mendefinisikan
pengawasan sebagai serangkaian kegiatan yang dilaksanakan oleh Pejabat Pengawas
Lingkungan Hidup untuk mengetahui, memastikan, dan menetapkan tingkat ketaatan
penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan atas ketentuan yang ditetapkan dalam izin
lingkungan dan peraturan perundang-undangan di bidang perlindungan dan pengelolaan
lingkungan hidup. Lebih lanjut, dalam Pasal 3 ayat (1) Peraturan Menteri tersebut dinyatakan
bahwa Menteri, Gubernur, Bupati/Walikota menerapkan sanksi administratif kepada
penanggung jawab usaha atau kegiatan jika dalam pengawasan ditemukan pelanggaran
terhadap izin lingkungan, izin perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup, atau
peraturan perundang-undangan di bidang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup.
Dapat disimpulkan bahwa keterkaitan antara sanksi paksaan pemerintah dengan pengawasan
terhadap ketaatan pelaku usaha adalah untuk menerapkan sanksi paksaan pemerintah maka
pengawasan dilakukan terlebih dahulu

Pengawasan dilakukan sebagai landasan penjatuhan sanksi paksaan pemerintah


terhadap pihak yang melanggar kewajiban yang ditentukan dalam peraturan perundang-
undangan. Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan mengawasi pelaku usaha atau
kegiatan, kemudian apabila suatu usaha atau kegiatan lalai melakukan kewajiban maka
berdasarkan hasil pengawasan yang dilakukan sesuai ketentuan dalam undang-undang, sanksi
paksaan pemerintah dapat dijatuhkan.

UU PPLH menyatakan bahwa penerapan sanksi paksaan pemerintah dapat dilakukan


terhadap penanggung jawab usaha atau kegiatan dengan terlebih dahulu diberikan teguran
tertulis atau tanpa didahului teguran tertulis khusus bagi pelanggaran yang menimbulkan:
1. Ancaman yang sangat serius bagi manusia dan lingkungan hidup;
2. Dampak yang lebih besar dan lebih luas jika tidak segera dan lebih luas jika tidak
segera dihentikan pencemaran dan/atau perusakannya; dan/atau
3. Kerugian yang lebih besar bagi lingkungan hidup jika tidak segera dihentikan
pencemaran dan/atau perusakannya.

PT. Kaswari Unggul diberikan sanksi paksaan pemerintah karena telah membawa
kerugian besar bagi lingkungan hidup dengan kebakaran hutan yang terjadi di areal
perkebunannya dan pemerintah memberikan sanksi paksaan pemerintah untuk menghentikan
kerusakan lingkungan.

Sebagaimana telah dijelaskan dalam tanggapan Tergugat, pemberian sanksi paksaan


pemerintah dengan dilakukan pengawasan terlebih dahulu sesuai dengan asas kecermatan
dalam asas umum pemerintahan yang baik, yakni bahwa setiap pengambilan keputusan harus
dilaksanakan dengan objektif, dan mempertimbangkan resiko yang akan ditimbulkan dari
keputusan tersebut. Untuk menghindari keputusan yang tidak objektif dan menimbulkan
resiko kerugian bagi pihak yang terkait keputusan, maka harus memenuhi asas kecermatan,
yaitu dilakukan langkah-langkah atau prosedur yang terukur, terstruktur dan teratur. Dalam
hal menerbitkan Surat Keputusan No. 4551, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan
telah melakukan langkah-langkah tersebut yaitu melalui pengawasan, pembahasan dan
analisis dengan melibatkan unsur instansi terkait yang secara objektif dan normatif untuk
diambil keputusan. Selain menjadi dasar penjatuhan sebuah keputusan sanksi paksaan
pemerintah, pengawasan pun dilakukan oleh Pemerintah untuk mengawasi pihak yang
dijatuhi paksaan pemerintah untuk menjalankan paksaan yang dijatuhkan kepadanya.

1D. Apakah prosedur penerapan sanksi sudah dilakukan dengan tepat?

Sanksi yang dijatuhkan dalam perkara Tata Usaha Negara PT. Kaswari Unggul
melawan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Republik Indonesia adalah sanksi
administratif berupa paksaan pemerintah. Berdasarkan ketentuan Pasal 76 UUPPLH, sanksi
administratif terdiri atas :8
a. Teguran tertulis;
b. Paksaan pemerintah;
c. Pembekuan izin lingkungan;

8 Indonesia, Undang-Undang Pengelolaan Lingkungan Hidup, UU No. 32 Tahun 2009, LN No. 140
Tahun 2009, TLN No. 5059, Pasal 76 ayat (2).
d. Pencabutan izin lingkungan.
Paksaan pemerintah lebih lanjut diatur dalam ketentuan Pasal 80 ayat (1) dan (2)
UUPPLH dan Peraturan Menteri Lingkungan Hidup Nomor 02 Tahun 2013 tentang Pedoman
Penerapan Sanksi Administratif di Bidang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.
Perlu diketahui bahwasanya paksaan pemerintah harus didahului oleh teguran tertulis. 9
Pengecualian terhadap keharusan adanya teguran hanya dapat dilakukan untuk alasan yang
secara limitatif ditentukan oleh UUPPLH.10 Pasal 80 ayat (2) UUPPLH mengatur mengenai
pengecualian dijatuhkan paksaan pemerintah tanpa didahului oleh teguran yaitu apabila
pelanggaran yang dilakukan menimbulkan:
a. Ancaman yang sangat serius bagi manusia dan lingkungan hidup;
b. Dampak yang lebih besar dan lebih luas jika tidak segera dihentikan
pencemaran dan/atau perusakannya; dan/atau
c. Kerugian yang lebih besar bagi lingkungan hidup jika tidak segera dihentikan
pencemaran dan/atau perusakannya.
Dalam perkara PT. Kaswari Unggul, paksaan pemerintah tidak didahului oleh teguran
tertulis. Sehingga berdasarkan ketentuan Pasal 80 ayat (2) UUPPLH yang secara limitatif
mengatur pengecualian adanya teguran tertulis sebelum paksaan pemerintah harus dipenuhi
baik salah satu ketentuannya maupun secara kumulatif.
Berdasarkan Lampiran I Peraturan Menteri Lingkungan Hidup Republik Indonesia
Nomor 02 Tahun 2013 Tentang Pedoman Penerapan Sanksi Administratif di Bidang
Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, prosedur atau tata cara penerapan sanksi
yang dijalankan harus dipastikan sesuai dengan peraturan yang menjadi dasarnya dan Asas-
asas umum pemerintahan yang baik.11
Asas-asas umum pemerintahan yang baik sebagaimana disebutkan dalam Pasal 10
Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan meliputi asas:12
1. Kepastian hukum;
2. Kemanfaatan;
3. Ketidakberpihakan;
4. Kecermatan;
9 Andri Guna Wibisana, “Tentang ekor yang Tak Lagi Beracun: Kritik Konseptual atas Sanksi
Administratif dalam Hukum Lingkungan di Indonesia”. hlm. 5.
10 Ibid., hlm. 4.
11Indonesia, Menteri Lingkungan Hidup, Peraturan Menteri Lingkungan Hidup tentang Pedoman
Penerapan Sanksi Administratif di Bidang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, Nomor PM 2
Tahun 2013, Lampiran I.
12Indonesia, Undang-Undang Administrasi Pemerintahan, UU No. 30 Tahun 2014, LN No. 292
Tahun 2014, TLN No. 5601, Ps. 10 (1) dan lebih lanjut lihat ketentuan Ps. 10 (2).
5. Tidak menyalahgunakan kewenangan;
6. Keterbukaan;
7. Kepentingan umum; dan
8. Pelayanan yang baik.
Dilihat dari dalil penggugat yang menyatakan bahwa tergugat melanggar asas
bertindak cermat dikarenakan objek sengketa SK No. 4551 tidak pernah disampaikan oleh
tergugat, adanya kesalahan/kekeliruan yang nyata telah salah menunjuk lokasi, serta perihal
jangka waktu 30 (tiga puluh) hari kalender yang mengandung kerancuan.
Jika dilihat dari dalil penggugat yang menyatakan bahwa SK No. 4551 dan SK
No.3982 yang ditujukan kepada penggugat tidak pernah disampaikan nampaknya terdapat
kesilapan dimana pada tanggal 22 Desember 2015, penggugat telah mengajukan keberatan
melalui surat Nomor 127/KU/VP/GAL/XII/2015, yang mana telah dijawab oleh tergugat
melalui surat dari Direktur Jenderal Penegakan Hukum Lingkungan Hidup dan Kehutanan
kepada Direktur PT Kaswari Unggul Nomor S.54/PHLHK/PPSA/GKM.0/4/2016 tanggal 25
April 2016 yang pada pokoknya menolak keberatan penggugat. Sehingga dilihat adanya
upaya administratif berupa keberatan maka semestinya penggugat telah mengetahui adanya
SK yang ditunjukkan kepadanya.
Terkait adanya kesalahan/kekeliruan yang nyata telah salah menunjuk lokasi dimana
berdasarkan Diktum Ketiga Point 2 Surat Keputusan No. 4551 memerintahkan Penggugat
untuk melengkapi sarana dan prasarana penanggulangan kebakaran hutan dan lahan di Distrik
Sungai Beyuku, paling lama 30 (tiga puluh) hari kalender. Penggugat secara nyata tidak
memiliki areal perkebunan di Distrik Sungai Beyuku. Bahwa kemudian mengenai kekeliruan
tersebut diakui oleh tergugat yang terbukti dengan diterbitkannya Surat Keputusan No. 3982
pada
tanggal 23 Agustus 2016 yang mengubah isi Diktum Ketiga Point 2 Surat Keputusan No.
4551 yaitu menjadi : Melengkapi sarana dan prasarana penanggulangan kebakaran hutan
dan lahan, paling lama 30 (tiga puluh) hari kalender. dengan menghilangkan kata-kata “di
Distrik Sungai Beyuku”. Namun tetap saja setelah diadakan perubahan, asas kecermatan
tidak terpenuhi karena tidak disebutkan secara konkret bahwa hutan dan lahan mana yang
harus dilengkapi sarana dan prasarana penanggulangan kebakaran hutan dan lahan?.
Jangka waktu akan terkait kedua SK yang dikeluarkan untuk PT Kaswari Unggul juga
dapat mempengaruhi jangka waktu gugatan kepada Pengadilan Tata Usaha Negara. Perihal
jangka waktu 30 (tiga puluh) hari kalender sebagaimana dimaksud dari SK No. 3982
dimaksud secara nyata mengandung kerancuan yaitu dimulai sejak kapan?
Terkait asas-asas umum pemerintahan yang baik berupa asas kesamaan dalam
mengambil keputusan dimana PT ATGA tidak diberikan sanksi administratif paksaan
pemerintah, padahal pada tanggal 22 Juli 2015, 14 Agustus 2015 dan 2 September 2015
terjadi kebakaran lahan pada perusahaan perkebunan PT ATGA.
Selanjutnya terkait dalil penggugat menyatakan bahwa tergugat melanggar asas
kewajaran dan keadilan dikarenakan berdasarkan sanksi paksaan pemerintah Diktum Ketiga
angka 1 berupa kewajiban mengembalikan lahan eks area kebakaran adalah melanggar asas
keadilan dan kewajaran dimana lahan perkebunan seluas kurang lebih 120 Ha (seratus dua
puluh hektar) eks area kebakaran yang diperintahkan dikembalikan kepada negara tersebut
adalah merupakan bagian dari Hak Guna Usaha (HGU) yang dimiliki secara sah oleh
Penggugat yang pemberian haknya yaitu berdasarkan Keputusan Menteri Agraria dan Tata
Ruang (Kepala Badan Pertanahan Nasional) Nomor: 58/HGU/KEM-ATR/BPN/2015,
Tanggal 11 Juni 2015.
Selain melanggar asas kewajaran dan keadilan, dapat menimbulkan adanya ketidakpastian
hukum dalam hak atas tanah yang diberikan oleh negara.
Lampiran I Peraturan Menteri Lingkungan Hidup Republik Indonesia Nomor 02
Tahun 2013 Tentang Pedoman Penerapan Sanksi Administratif di Bidang Perlindungan dan
Pengelolaan Lingkungan Hidup menyatakan pula bahwa pejabat yang menerapkan sanksi
administratif harus dipastikan memiliki kewenangan yang sah berdasarkan peraturan
perundang-undangan. Kewenangan tersebut dapat bersumber dari atribusi, delegasi, atau
mandat. Sumber kewenangan ini akan menentukan cara bagaimana pejabat administratif
menjalankan kewenangannya.13
Dalam perkara ini, Surat Keputusan dikeluarkan oleh pejabat yang memiliki
kewenangan yang sah untuk mengeluarkan sanksi administratif paksaan pemerintah yaitu
Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Republik Indonesia serta kewenangan tersebut
bersumber dari Undang-Undang sebagaimana ketentuan dalam Pasal 76 ayat (1) UUPPLH.14
Ketepatan penerapan sanksi administratif yang digunakan dalam penerapan sanksi
administratif meliputi ketepatan bentuk hukum, ketepatan substansi, kepastian tiadanya cacat
yuridis dalam penerapan sanksi; dan terdapat asas kelestarian dan keberlanjutan juga

13 Indonesia, Menteri Lingkungan Hidup, Peraturan Menteri Lingkungan Hidup tentang Pedoman
Penerapan Sanksi Administratif di Bidang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, Nomor PM 2
Tahun 2013, Lampiran I.
14Indonesia, Undang-Undang Pengelolaan Lingkungan Hidup, UU No. 32 Tahun 2009, LN No. 140
Tahun 2009, TLN No. 5059, Pasal 76 ayat (2).
merupakan prosedur penerapan sanksi administratif. 15 Mengenai ketepatan bentuk hukum
yaitu terkait instrumen yang digunakan untuk menerapakan sanksi administratif adalah
Keputusan Tata Usaha Negara sebagaimana SK yang dikeluarkan oleh tergugat.
Terhadap ketepatan substansi yaitu berkaitan dengan jenis dan peraturan yang
dilanggar, jenis sanksi yang diterapkan, perintah yang harus dilaksanakan, jangka waktu,
konsekuensi dalam hal sanksi administratif tersebut tidak dilaksanakan, dan hal-hal lain yang
relevan.16 Prosedur penerapan sanksi administratif kepada PT Kaswari Unggul belum
terpenuhi terkait jangka waktu.
Dalam asas kelestarian dan keberlanjutan adalah bahwa ssetiap orang memikul
kewajiban dan tanggung jawab terhadap generasi mendatang dan terhadap sesamanya dalam
satu generasi dengan melakukan upaya pelestarian daya dukung ekosistem dan memperbaiki
kualitas lingkungan hidup.17
Terkait tiga mekanisme yang ada dalam penerapan sanksi administratif yaitu
bertahap, bebas (tidak bertahap), dan kumulatif.18 Adapun mekanisme yang digunakan
Tergugat dalam menerapkan sanksi administratifnya adalah bebas atau tidak bertahap,
mengingat akibat yang ditimbulkan dari kebakaran hutan dan lahan oleh perbuatan PT.
Kaswari Unggul dikualifikasikan sebagai perbuatan yang serius sehingga penerapan sanksi
paksaan pemerintah tidak didahului dengan sanksi teguran tertulis sebagaimana mekanisme
bertahap dilaksanakan.
Selanjutnya PerMenLH juga mengatur mengenai penerapan sanksi administratif
ditetapkan dengan menggunakan KTUN yang memuat paling sedikit memuat:19
- nama jabatan dan alamat pejabat administrasi yang berwenang;
- nama dan alamat penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan;
- nama dan alamat perusahaan;
- jenis pelanggaran;
15 Indonesia, Menteri Lingkungan Hidup, Peraturan Menteri Lingkungan Hidup tentang Pedoman
Penerapan Sanksi Administratif di Bidang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, Nomor PM 2
Tahun 2013, Lampiran I.
16 Indonesia, Menteri Lingkungan Hidup, Peraturan Menteri Lingkungan Hidup tentang Pedoman
Penerapan Sanksi Administratif di Bidang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, Nomor PM 2
Tahun 2013, Lampiran I.
17 Indonesia, Menteri Lingkungan Hidup, Peraturan Menteri Lingkungan Hidup tentang Pedoman
Penerapan Sanksi Administratif di Bidang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, Nomor PM 2
Tahun 2013, Lampiran I.
18 Indonesia, Menteri Lingkungan Hidup, Peraturan Menteri Lingkungan Hidup tentang Pedoman
Penerapan Sanksi Administratif di Bidang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, Nomor PM 2
Tahun 2013, Lampiran I.
19 Indonesia, Menteri Lingkungan Hidup, Peraturan Menteri Lingkungan Hidup tentang Pedoman
Penerapan Sanksi Administratif di Bidang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, Nomor PM 2
Tahun 2013, Lampiran I.
- ketentuan yang dilanggar baik ketentuan yang diatur dalam peraturan
perundang-undangan maupun persyaratan dan kewajiban yang dimuat dalam
izin lingkungan;
- ruang lingkup pelanggaran;
- uraian kewajiban atau perintah yang harus dilakukan penanggung jawab usaha
dan/atau kegiatan;
- jangka waktu penaatan kewajiban penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan;
- ancaman sanksi yang lebih berat apabila tidak melaksanakan perintah dalam
sanksi teguran tertulis.
Selain itu pemberi sanksi antara lain wajib:20
- Menyampaikan keputusan sanksi dengan patut (waktu, cara, dan tempat) dan
segera kepada pihak-pihak yang terkena sanksi;
Dalam poin ini, tergugat telah memenuhi kewajiban untuk menyampaikan
keputusan sebagaimana yang dijelaskan sebelumya.
- Memberikan penjelasan kepada para pihak bilamana diperlukan;
- Melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan penerapan sanksi;
- Membuat laporan hasil penerapan sanksi.
Terakhir dilakukanlah pengadministrasian keputusan sanksi administratif.21
Mengenai prosedur penerapan sanksi administratif paksaan pemerintah yang
dijatuhkan oleh Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan kepada PT Kaswari Unggul
belum dilakukan dengan tepat sesuai peraturan perundang-undangan walaupun telah
dilakukan perubahan terhadap Surat Keputusan Menteri Lingkungan Hidup Dan Kehutanan
Republik Indonesia Nomor SK. 4551/Menlhk-PHLHK/PPSA/2015 Tanggal 19 Oktober 2015
Tentang Penerapan Sanksi Administratif Paksaan Pemerintah Kepada PT Kaswari Unggul
yaitu Surat Keputusan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Republik Indonesia Nomor
SK. 3982/Menlhk-PHLHK/PPSA/GKM.0/8/2016 tanggal 23 Agustus 2016 Tentang
Perubahan Keputusan Menteri Lingkungan Hidup Dan Kehutanan Republik Indonesia
Nomor SK. 4551/Menlhk-PHLHK/PPSA/2015 Tentang Penerapan Sanksi Administratif
Paksaan Pemerintah Kepada PT Kaswari Unggul.

20 Indonesia, Menteri Lingkungan Hidup, Peraturan Menteri Lingkungan Hidup tentang Pedoman
Penerapan Sanksi Administratif di Bidang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, Nomor PM 2
Tahun 2013, Lampiran I.
21 Indonesia, Menteri Lingkungan Hidup, Peraturan Menteri Lingkungan Hidup tentang Pedoman
Penerapan Sanksi Administratif di Bidang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, Nomor PM 2
Tahun 2013, Lampiran I.
1E. Penerapan paksaan pemerintah dalam kasus ini ditinjau dari definisi teoretis atas
bestuursdwang

Paksaan pemerintah digunakan untuk mengembalikan situasi illegal sesuai dengan


standar yang disyaratkan oleh hukum. Jika pemegang izin/pelanggar tidak memperbaiki
kerusakan atau tidak memperbaiki kerusakan tepat waktu, otoritas kompeten yaitu
pemerintah akan melakukan sendiri perbaikan atas kerusakan tersebut.22 Perbaikan tersebut
dilakukan dengan biaya dari pelaku.23 Penjelasan tersebut juga dapat ditemui dalam Pasal
5:21 Awb yang mana disebutkan paksaan pemerintah yang bertujuan untuk memulihkan
memiliki dua elemen yaitu sanksi yang memerintahkan dilakukannya perbaikan atas seluruh
atau sebagian pelanggaran dan kewenangan pejabat TUN untuk melaksanakan sendiri
perbaikan jika perintah perbaikan tidak dilakukan atau terlambat dilakukan.24

Secara teoritis Paksaan Pemerintah tidak mensyaratkan adanya kekuasaan dan


kemampuan dari pihak yang terkena sanksi untuk menjalankan perintah perbaikan yang
dijatuhkan kepadanya karena seandainya pihak yang terkena sanksi tidak mampu
menjalankan perbaikan yang diperintahkan maka pemerintah yang akan melakukan perbaikan
tersebut dengan biaya dari orang yang terkena sanksi. 25Dalam menjatuhkan sanksi Paksaan
Pemerintah, sanksi yang dijatuhkan perlu menjelaskan a). Aturan yang dilanggar; b).
Tindakan pemulihan yang harus dilakukan; c). Periode di mana perbaikan harus dilakukan;
d). Besarnya biaya yang harus dikembalikan oleh penerima sanksi jika perbaikan dilakukan
oleh pemerintah.26
Sesuai dengan Surat Keputusan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Republik
Indonesia Nomor SK. 3982/Menlhk-PHLHK/PPSA/ GKM.0/8/2016 tanggal 23 Agustus
2016 Tentang Perubahan Keputusan Menteri Lingkungan Hidup Dan Kehutanan Republik
Indonesia Nomor SK. 4551/Menlhk-PHLHK/PPSA/2015 PT Kaswari Unggul dikenakan
Sanksi Administratif Paksaan Pemerintah. Sanksi Paksaan Pemerintah yang dikenakan
terhadap PT Kaswari Unggul adalah sebagai berikut:

22 “Sanctions and Procedures Applicable for Breaches of the Legislation on Industrial Emissions on
the Netherlands”, Eastern and Central European Journal on Environmental Law. hlm. 59.
23 Ibid.
24 Pasal 5:21 Awb
25 Andri Guna Wibisana, “Tentang ekor yang Tak Lagi Beracun: Kritik Konseptual atas Sanksi
Administratif dalam Hukum Lingkungan di Indonesia”. hlm. 13.
26 Ibid., hlm. 15.
1. Mengembalikan lahan eks area kebakaran dalam areal kerja PT Kaswari Unggul kepada
Negara sesuai peraturan perundang- undangan, dalam jangka waktu paling lama 60 (enam
puluh) hari kalender;
2. Melengkapi sarana dan prasarana penanggulangan kebakaran hutan dan lahan di Distrik
Sungai Beyuku, paling lama 30 (tiga puluh) hari kalender;
3. Melengkapi TPS Limbah B3 sesuai persyaratan teknis, paling lama 30 (tiga puluh) hari
kalender;
4. Memiliki izin Penyimpanan Sementara Limbah Bahan Berbahaya dan Beracun, paling
lama 60 (enam puluh) hari kalender;
5. Melakukan permintaan maaf kepada publik melalui media masa nasional, paling lama 14
(empat belas) hari kalender;
Sesuai pemaparan di atas, sanksi-sanksi paksaan pemerintah yang dimuat di dalam SK
tersebut tidak disebutkan berapa besarnya biaya yang harus dikembalikan ke Pemerintah jika
pelanggar yang dalam kasus ini adalah PT.Kaswari tidak mampu untuk melaksanakan
perbaikan. Sedangkan dalam teori yang telah disebutkan diatas, bahwa perbaikan akan
dilakukan oleh Pemerintah jika PT.kaswari tidak memiliki kemampuan untuk menjalankan
perintah perbaikan. Jika besarnya biaya tidak disebutkan, maka hal tersebut akan mempersulit
pemerintah untuk mengetahui berapa yang harus dibayar pelanggar ke pemerintah jika
pelanggar tidak mampu. Hal tersebut dikarenakan adanya pengertian secara teoritis jika
pelanggar tidak mampu untuk melakukan perbaikan maka pemerintah lah yang akan
melakukan perbaikan dengan uang dari pelanggar.

Dari penjelasan di atas maka menurut kelompok kami penerapan Paksaan Pemerintah
yang ditinjau dari definisi teoritis atas bestuursdwangdalam kasus PT Kaswari tidak
komprehensif khususnya yang memuat besarnya biaya yang harus dikembalikan oleh
penerima sanksi jika perbaikan atau pemulihan dilakukan oleh pemerintah. Hal ini
dikarenakan jika perbaikan dilakukan oleh pemerintah karena pelanggar tidak menyanggupi
perbaikan maka Pelanggar harus membayar biaya perbaikan ke pemerintah. Biaya tersebut
harus di sebutkan dalam sanksi paksaan pemerintah.

2. Asas Kesamaan dalam AAUPB dan kaitannya dengan kasus


Asas-asas Umum Pemerintahan yang baik (AAUPB) dapat dipahami sebagai asas-
asas umum yang dijadikan sebagai dasar dan tata cara dalam penyelenggaraan pemerintahan
yang baik, yang dengan cara demikian penyelenggaraan pemerintahan itu menjadi baik,
sopan, adil, dan terhormat, bebas dari kezaliman, pelanggaran peraturan, tindakan
penyalahgunaan wewenang dan tindakan sewenang-wenang.27 AAUPB merupakan konsep
yang terbuka sehingga terdapat rumusan yang beragam. Bersifat terbuka, artinya AUPB dapat
mengalami perubahan dan perkembangan, sesuai dengan perubahan dan perkembangan yang
terjadi di masyarakat.28 Menurut Koentjoro Purbopranoto dan SF. Marbun macam-macam
AAUPB sebagai berikut:29
1. Asas kepastian hukum;
2. Asas keseimbangan;
3. Asas kesamaan dalam mengambil keputusan;
4. Asas bertindak cermat;
5. Asas motivasi untuk setiap keputusan;
6. Asas tidak mencampuradukan kewenangan;
7. Asas permainan yang layak;
8. Asas keadilan dan kewajaran;
9. Asas kepercayaan dan menanggapi penghargaan yang wajar;
10. Asas meniadakan akibat suatu keputusan yang batal;
11. Asas perlindungan atas pandangan atau cara hidup pribadi;
12. Asas kebijaksanaan;
13. Asas penyelenggaraan kepentingan umum.
Pada kesempatan kali ini akan berfokus pada asas kesamaan dalam mengambil
keputusan. Asas ini menghendaki agar badan pemerintahan mengambil tindakan yang sama
(dalam arti tidak bertentangan) atas kasus-kasus yang faktanya sama.30 Berdasarkan
kenyataan yang ada memang sulit untuk menerapkan asas ini mengingat tidak ada kasus yang
mutlak sama (kasuistik) meskipun tampak serupa. Di sinilah dibutuhkan kebijaksanaan
Hakim dalam mencari atau menemukan titik-titik persamaan antara kasus yang bersangkutan
tersebut.
Dalam Putusan Nomor : 104/G/LH/2017/PTUN-JKT mengenai kasus kebakaran
hutan oleh PT Kaswari Unggul, dalam permohonan kepada PTUN ditemukan fakta bahwa
pada tanggal 22 Juli 2015, 14 Agustus 2015 dan 2 September 2015 terjadi kebakaran lahan
pada perusahaan perkebunan PT. Agro Tumbuh Gemilang Abadi (selanjutnya disebut “PT.
27 Ridwan HR, Hukum Administrasi Negara Edisi Revisi, Cet. 9, (Jakarta: Rajawali Pers, 2018), hlm.
234.
28 Cekli Setya Pratiwi, et.al, “Penjelasan Hukum Asas-Asas Umum Pemerintahan yang Baik Hukum
Administrasi Negara”, http://www.leip.or.id/wp-content/uploads/2016/05/Penjelasan-Hukum-Asas-Asas-
Umum-Pemerintahan-yang-Baik-Hukum-Administrasi-Negara.pdf diunduh pada 8 November 2019 pukum
12.37.
29 Ridwan HR, Hukum Administrasi Negara Edisi Revisi., hlm. 244
30 Ibid., hlm. 247.
ATGA”) yang letaknya bersebelahan dengan lokasi perkebunan PT Kaswari Unggul dan
sumber bukan berasal dari areal perkebunan PT Kaswari Unggul maupun PT ATGA. Namun,
terhadap fakta tersebut ternyata Pemerintah, dalam hal ini Menteri Lingkungan Hidup dan
Kehutanan Republik Indonesia tidak memberikan sanksi kepada PT ATGA sebagaimana
yang telah dikenakan kepada PT Kaswari Unggul. Mengingat telah ditemukan fakta bahwa
adapun kebakaran hutan dan lahan yang terjadi pada tanggal 3 Juli 2015; 17 Agustus 2015;
dan 24 Agustus 2015 dengan sumber titik api berasal dari areal Hutan Produksi yang
merambat ke areal perkebunan Penggugat, sehingga Penggugat adalah bukan pihak yang
melakukan pembakaran lahan tapi justru merupakan korban. Mengenai fakta tersebut
diperkuat dalam eksepsi Tergugat yang menyatakan bahwa ”tidak harus didasarkan kepada
adanya kesalahan secara hukum, namun permintaan maaf itu bisa didasarkan adanya
tindakan yang menimbulkan kerugian atau ketidaknyamanan bagi pihak lain yang dasarnya
adalah tanggung jawab moral”. Di mana dapat diidentifikasikan bahwa secara tidak
langsung Tergugat mengakui bahwa kebakaran yang terjadi pada areal lahan PT Kaswari
Unggul bukanlah merupakan kesalahan pihak PT Kaswari Unggul.
Berdasarkan fakta yang telah dikemukakan di atas, maka Pemerintah dalam hal ini
Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Republik Indonesia telah mengabaikan AAUPB
terkait asas kesamaan dalam mengambil keputusan mengenai penerbitan SK No. 4551
tentang Penerapan Sanksi Administratif Paksaan Pemerintah Kepada PT Kaswari Unggul dan
SK No. 3982 tentang Perubahan Keputusan Menteri Lingkungan Hidup Dan Kehutanan
Republik Indonesia Nomor SK. 4551. Mengingat diperoleh fakta yang sama di mana telah
terjadi kebakaran di areal perkebunan milik PT Kaswari Unggul yang selanjutnya diperoleh
fakta bahwa sumber kebakaran bukanlah berasal dari areal perkebunan tersebut, begitu juga
dengan kasus kebakaran di areal perkebunan milik PT ATGA di mana sumber kebakaran
bukan berasal dari areal perkebunan tersebut. Namun, Pemerintah hanya menerbitkan SK
terkait penerapan sanksi administratif paksaan pemerintah kepada PT Kaswari Unggul,
sedangkan untuk PT ATGA pemerintah tidak menerbitkan SK terkait penjatuhan sanksi
administratif apapun.

3. Pengaruh penerapan sanksi paksaan pemerintah terhadap seseorang/badan hukum


terkait penyerahan kembali eks lahan kebakaran kepada negara
Dalam eksepsinya, tergugat mengatakan bahwa perintah pengembalian lahan kepada
negara didasarkan oleh poin g dari pasal 80 UUPPLH. Pengembalian ini dimaksudkan untuk
memberikan kepastian dan penjaminan bahwa pemulihan fungsi lingkungan hidup terhadap
eks lahan kebakaran dilakukan oleh pihak PT. Kaswari. 31 Menurut penulis, perintah tersebut
tidak termasuk dalam bentuk paksaan pemerintah di pasal 80 dan menunjukkan kesalahan
dalam memahami konsep sanksi paksaan pemerintah.
Melalui rumusan pasal 80, UUPPLH melimitasi bentuk sanksi paksaan pemerintah
menjadi sebagai berikut:32
a. Penghentian sementara kegiatan produksi;
b. Pemindahan sarana produksi;
c. Penutupan saluran pembuangan air limbah atau emisi;
d. Pembongkaran;
e. Penyitaan terhadap barang atau alat yang berpotensi menimbulkan pelanggaran; dan
f. Penghentian sementara seluruh kegiatan; atau
g. Tindakan lain yang bertujuan untuk menghentikan pelanggaran dan tindakan
memulihkan fungsi lingkungan hidup.
Menurut Van Den Berkel, paksaan pemerintah merupakan tindakan nyata dari
pemerintah terhadap pelanggaran peraturan perundang-undangan.33 Tindakan ini adalah
eksekusi yang dilakukan pemerintah apabila pelanggar tidak melaksanakan kewajibannya.
Hal lain yang harus dijelaskan dalam penjatuhan sanksi ini adalah a). aturan mana yang
dilanggar, b). tindakan pemulihan/perbaikan yang harus dilakukan, c). periode dimana
perbaikan/pemulihan harus dilakukan; dan d). besarnya biaya yang harus dikembalikan oleh
penerima sanksi jika perbaikan/pemulihan dilakukan oleh pemerintah. 34 Maka dari itu pada
sanksi ini tidak perlu ada jaminan untuk memastikan si pelanggar melaksanakan perintah
perbaikan karena apabila ia tidak menjalankan perbaikan yang diperintahkan, maka
pemerintah yang akan melakukan sendiri perbaikan tersebut dengan biaya dari si pelanggar.

Dari penjelasan diatas maka penulis menyimpulkan bahwa sanksi paksaan pemerintah
tidak dapat digunakan untuk memerintahkan orang/badan hukum untuk mengembalikan
lahan yang rusak kepada negara. Hal ini dikarenakan (1) pengembalian lahan kepada
31 Pengadilan Tata Usaha Negara, Putusan Nomor 104/G/LH/2017/PTUN-JKT, hlm. 36.
32 Indonesia, Undang-Undang Pengelolaan Lingkungan Hidup, UU No.23 Tahun 1997, LN No.68
Tahun 1997, TLN No. 3699, Ps. 80.
33 Andri Guna Wibisana, “Tentang ekor yang Tak Lagi Beracun: Kritik Konseptual atas Sanksi
Administratif dalam Hukum Lingkungan di Indonesia” (Makalah disampaikan pada seminar nasional, tanggal 3
Oktober 2019) hlm. 12.
34 Ibid., hlm. 15.
negara itu bukan sebuah tindakan untuk memulihkan lahan sehingga tidak termasuk
dalam cakupan Pasal 80 huruf g UU PPLH dan (2) sanksi paksaan pemerintah tidak perlu
jaminan pemulihan lahan karena seperti yang dijelaskan sebelumnya, ada tidaknya jaminan
bukanlah persoalan karena apabila perbaikan tidak dilakukan maka pemerintah yang akan
melakukan sendiri perbaikan tersebut.

4. Mengenai apakah seseorang dapat dimintakan pertanggungjawaban moral dalam


pertanggungjawaban hukum

Dalam tanggapan tergugat terkait dengan sanksi administratif paksaan pemerintah


poin kelima yaitu Melakukan permintaan maaf kepada publik melalui media masa nasional,
paling lama 14 (empat belas) hari kalender, penggugat beranggapan bahwa isi dari SK
tersebut bertentangan dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Penggugat
menyatakan bahwa permintaan maaf tentu haruslah didasarkan adanya unsur kesalahan yang
telah diperbuat oleh pihak yang dikenakan sanksi. Karena Sampai dengan saat ini tidak
terdapat putusan pengadilan manapun serta produk hukum apapun yang menyatakan
Penggugat bersalah atas peristiwa kebakaran lahan tersebut; Sehingga sanksi permintaan
maaf yang dijatuhkan oleh Tergugat adalah tidak berdasar dan bertentangan dengan
kewenangannya yang seolah-olah berwenang menjatuhkan sanksi apapun.
Sementara itu jawaban pemerintah, menyatakan sanksi permintaan maaf tersebut
bukan merupakan bagian dari sanksi administratif paksaan pemerintah sebagaimana diatur
dalam ketentuan Pasal 80 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 Tentang Perlindungan dan
Pengelolaan Lingkungan Hidup. Dalam uraiannya tergugat dalam hal ini Menteri
Lingkungan Hidup menambahkan dalam hal perbuatan yang menimbulkan pelanggaran
terhadap Pasal 28H UUD 1945 dan Pasal 65 Undang Undang Nomor 32 Tahun 2009 tersebut
harus dapat dimintakan pertanggungjawaban hukum dan pertanggungjawaban lainnya. Salah
satu wujud atau bentuk pertanggungjawaban itu adalah pertanggungjawaban moral yang
diekspresikan berupa permintaan maaf kepada pihak yang dilanggar haknya tersebut.
Kewajiban permintaan maaf itu tidak harus didasarkan kepada adanya kesalahan secara
hukum, namun permintaan maaf itu bisa didasarkan adanya tindakan yang menimbulkan
kerugian atau ketidaknyamanan bagi pihak lain yang dasarnya adalah tanggung jawab moral.
Surat Keputusan diatas berisi sanksi administratif yang berupa paksaan pemerintah.
Jika berbicara dalam konteks dan tataran yang normatif, berdasarkan UU Hukum
Administrasi Belanda, paksaan pemerintah adalah tindakan nyata yang dilakukan oleh organ
pemerintah untuk memindahkan, mengosongkan, menghalang-halangi, memperbaiki keadaan
semula apa yan telah dilakukan atau sedang dilakukan yang bertentangan dengan kewajiban-
kewajiban yang ditentukan dalam peraturan perundang-undangan.35 Dalam UU PPLH
disebutkan bahwa paksaan pemerintah dapat berupa :36
a. penghentian sementara kegiatan produksi;
b. pemindahan sarana produksi;
c. penutupan saluran pembuangan air limbah atau emisi;
d. pembongkaran;
e. penyitaan terhadap barang atau alat yang berpotensi
i. menimbulkan pelanggaran;
f. penghentian sementara seluruh kegiatan; atau
g.tindakan lain yang bertujuan untuk menghentikan pelanggaran dan tindakan
memulihkan fungsi lingkungan hidup.
Dari ketentuan tersebut, memang tidak ada satupun yang menyatakan bahwa paksaan
pemerintah dapat berupa perintah agar suatu perusahaan dapat melakukan permintaan maaf.
Oleh karena itu, jika merujuk kepada ketentuan yang ada dalam UU PPLH, maka sanksi
tersebut (permintaan maaf) bukan merupakan sanksi administratif paksaan pemerintah
sebagaimana diatur dalam ketentuan Pasal 80 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009
Tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. Pertanyaan selanjutnya adalah
apakah sanksi administratif paksaan pemerintah berupa permintaan maaf masuk dalam
klasifikasi tindakan lain yang bertujuan untuk menghentikan pelanggaran dan tindakan
memulihkan fungsi lingkungan hidup seperti yang tercantum dalam huruf g. UU PPLH
sendiri dalam bagian penjelasan, tidak mencantumkan lebih lanjut apa maksud dari
penjelasan tindakan lain yang bertujuan untuk menghentikan pelanggaran dan tindakan
memulihkan fungsi lingkungan hidup.
Dalam Eksepsi, dalil tergugat dalam hal ini pemerintah yang menyatakan bahwa
penggugat harus dimintakan pertanggungjawaban lain selain pertanggungjawaban hukum
yaitu permintaan maaf dengan alasan karena telah menimbulkan kerugian dan
ketidaknyamanan tidak dapat dibenarkan. Tidak ada penyertaan hukum atau Legal Standing
dari dalil tersebut. Padahal jika merujuk pada UU Administrasi Pemerintahan, salah satu
Asas-Asas Umum Pemerintahan yang Baik adalah Asas Kepastian Hukum. asas tersebut
mengatakan bahwa asas dalam negara hukum yang mengutamakan landasan ketentuan

35 Ridwan HR, Hukum Administrasi Negara, cet 9, (Jakarta : Rajawali Pers, 2013), hlm. 304-305.
36 Indonesia, Undang-Undang Perlidungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, UU. No. 32 Tahun
2009, Ps. 80 ayat (1).
peraturan perundang-undangan, kepatutan, keajegan, dan keadilan dalam setiap kebijakan
penyelenggaraan pemerintahan.37
Menurut kami, sanksi administratif paksaan pemerintah berupa permintaan maaf tidak
dapat dibenarkan. perusahaan tidak dapat dikenakan pertanggungjawaban moral dalam
rangka pertanggungjawaban hukum. Hal tersebut tidak diatur dalam ketentuan Pasal 80 ayat
(1) UU PPLH, itu menandakan juga bahwa SK yang dikeluarkan oleh Menteri Lingkungan
Hidup melanggar Asas-Asas Umum Pemerintahan yang Baik yang tercantum dalam UU
tentang Administrasi Pemerintahan. Penjatuhan sanksi tersebut tidak didasarkan pada
ketentuan hukum tertulis. Itu artinya, terlepas telah terbuktinya kesalahan yang dilakukan,
diktum sanksi tersebut melanggar asas legalitas.

5. Sanksi administratif membebankan sanksi yang tidak dapat memulihkan maupun


mencegah terjadinya kerusakan/pencemaran lingkungan hidup, seperti sanksi
permintaan maaf
Perlu diketahui bahwa penegakan hukum administrasi dalam perlindungan dan
pengelolaan ingkungan hidup secara substansi meliputi pengawasan dan penerapan sanksi
administratif. Pengawasan merupakan bagian dari ruang lingkup penegakan hukum
administratif yang bersifat preventif karena memaksakan kepatuhan, pengawasan dilakukan
terhadap ketaatan pertanggungjawaban usaha dan atau kegiatan atas ketentuan yang
ditetapkan dalam izin lingkungan dan yang diatur dalam UU PPLH.
Pengenaan sanksi administratif adalah penerapan perangkat sarana hukum
administrasi yang bersifat pembebanan kewajiban/perintah dan/atau penarikan kembali
keputusan tata usaha negara yang dikenakan kepada penanggung jawab usaha dan/atau
kegiatan atas dasar ketidaktaatan terhadap peraturan perundang-undangan di bidang
perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup dan/atau ketentuan dalam izin lingkungan.
Berdasarkan sifatnya sanksi administratif perlu dibedakan ke dalam sanksi yang bersifat
perbaikan/pemulihan dan sanksi yang bersifat menghukum, dan sanksi yang bersifat
regresif.38
Sehingga jika dilihat dari substansinya saja melalui pengawasan sudah bersifat
preventif, yang mana pengawasan merupakan langkah preventif untuk memaksakan
kepatuhan dan sanksi administratif adalah langkah penegakan yang bersifat represif.

37 Indonesia, Undang-Undang Administrasi Pemerintahan, UU. No. 30 Tahun 2014, Penjelasan Ps.
10 ayat (1) huruf a.
38 Andri Guna Wibisana, “Tentang ekor yang Tak Lagi Beracun: Kritik Konseptual atas Sanksi
Administratif dalam Hukum Lingkungan di Indonesia”. hlm 11
Tindakan Preventif pemaksaan kepatuhan ini agar para pemegang izin usaha tetap patuh
mengikuti Peraturan perundang-undangan dan izin lingkungannya. Dimana jika dalam proses
pengawasan ditemukan ketidakpatuhan, diambil langkah penegakan melalui penjatuhan
sanksi.
Jadi menurut kelompok kami, sanksi administratif tidak dapat membebankan sanksi
yang tidak dapat memulihkan maupun mecegah terjadi kerusakan/pencemaran lingkungan
hidup. Sanksi administratif harus dapat membebankan sanksi yang dapat memulihkan
maupun mencegah terjadinya kerusakan/pencemaran lingkungan hidup. Penegakan hukum
administrasi merupakan penegakan hukum yang memiliki sifat Prefentif – repartoir
condemnatoir, yang mana hal ini dapat ditinjau dari tujuan penerapan sanksi administratif
alam perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup yaitu : 39
1. melindungi lingkungan hidup dari pencemaran dan/atau perusakan akibat dari suatu
usaha dan/atau kegiatan;
2. menanggulangi pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup;
3. memulihkan kualitas lingkungan hidup akibat pencemaran dan/atau perusakan
lingkungan hidup dan (contoh uang paksa);
4. memberi efek jera kepada penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan yang melanggar
peraturan perundang-undangan di bidang perlindungan dan pengelolaan lingkungan
hidup dan ketentuan dalam Izin Lingkungan.

Sehingga pemulihan dan pencegahan diperlukan dalam penegakan hukum


administrasi, yang mana pemulihan dan pencegahan adalah bagian dari penegakan hukum
administrasi itu sendiri yang tidak bisa dilepaskan dari penegakan hukum administrasi.

Terkait dengan sanksi permintaan maaf, menurut kelompok kami merupakan sanksi
administratif yang tidak dapat memulihkan maupun mencegah terjadinya
kerusakan/pencemaran lingkungan hidup, karena walaupun pemerintah menyatakan bahwa
sanksi permintaan maaf adalah sanksi administratif paksaan pemerintah yang mana diatur
dalam pasal 80 UU Nomor 32 tahun 2009 Tentang Perlindungan dan Pengelolaan
Lingkungan Hidup. Dalam uraiannya tergugat dalam hal ini Menteri Lingkungan Hidup
menambahkan dalam hal perbuatan yang menimbulkan pelanggaran terhadap Pasal 28H
UUD 1945 dan Pasal 65 Undang Undang Nomor 32 Tahun 2009 tersebut harus dapat
dimintakan pertanggungjawaban hukum dan pertanggungjawaban lainnya. Salah satu wujud

39 Indonesia, Menteri Menteri Lingkungan Hidup, Pedoman Penerapan Sanksi Administratif di


Bidang Perlindungan dan Pengelolaan Hidup, Nomor PM 02 Tahun 2013, Ps.2.
atau bentuk pertanggungjawaban itu adalah pertanggungjawaban moral yang diekspresikan
berupa permintaan maaf kepada pihak yang dilanggar haknya tersebut, dan jika merujuk
kepada ketentuan yang ada dalam UU PPLH, maka sanksi tersebut (permintaan maaf) bukan
merupakan sanksi administratif paksaan pemerintah sebagaimana diatur dalam ketentuan
Pasal 80 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 Tentang Perlindungan dan Pengelolaan
Lingkungan Hidup. Dari permintaan maaf tersebut tidak dapat memulihkan maupun
mencegah terjadinya kerusakan/pencemaran lingkungan hidup. Deklarasi permintaan maaf di
muka umum, tidak membawa dampak yang signifikan pada lingkungan, pada hal yang
ditegakan dalam penegakan hukum lingkungan adalah bertujuan untuk melindungi dan
pengelolaan lingkungan hidup.

6. Seandainya Gugatan Tidak Diajukan Melewati Batas Waktu, Bagaimanakah


Putusan Akan Berakhir?
Apabila Putusan PTUN Kaswari Tunggal tidak diputus secara Niet Ontvankelijk
Verklaard (“NO”), maka analisis kami terhadap gugatan yang diajukan oleh PT Kaswari
Tunggal adalah sebagai berikut:
Pertama, untuk mengetahui bagaimana akhir dari gugatan PT Kaswari Tunggal
seandainya putusan tidak diputus NO, perlu kita ketahui terlebih dahulu mengenai objek
sengketa dalam kasus ini, yaitu Surat Keputusan Menteri Lingkungan Hidup Nomor SK.
4551/Menlhk-PHLHK/PPSA/2015 Tanggal 19 Oktober 2015 Tentang Penerapan Sanksi
Administratif Paksaan Pemerintah Kepada PT Kaswari Unggul (“SK No. 4551”) dan Surat
Keputusan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Republik Indonesia Nomor SK.
3982/Menlhk-PHLHK/PPSA/GKM.0/8/2016 tanggal 23 Agustus 2016 Tentang Perubahan
Keputusan Menteri Lingkungan Hidup Dan Kehutanan Republik Indonesia Nomor SK.
4551/Menlhk-PHLHK/PPSA/2015 Tentang Penerapan Sanksi Administratif Paksaan
Pemerintah Kepada PT Kaswari Unggul (“SK No. 3982”). Tim penulis akan menganalisis
mengenai keabsahan objek sengketa dalam kasus ini berdasarkan hukum administrasi dan
kemudian berdasarkan hukum lingkungan.
Dari segi hukum administrasi dan hukum acara pengadilan tata usaha negara, maka
suatu berdasarkan Pasal 1 Huruf 9 Undang-Undang Nomor 51 tahun 2009 tentang Perubahan
Kedua atas Undang-Undang Nomor 5 tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara (“UU
PTUN”), maka Keputusan Tata Usaha Negara adalah suatu penetapan tertulis yang
dikeluarkan oleh Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara yang berisi tindakan hukum tata
usaha negara yang berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku yang bersifat
konkret, individual, dan final yang menimbulkan akibat hukum bagi seseorang atau badan
hukum perdata. Penulis akan menganalisis apakah SK No. 4551 dan SK No. 3982 merupakan
Keputusan Tata Usaha Negara berdasarkan Ketentuan UU PTUN.
Pertama, Keputusan Tata Usaha Negara adalah suatu penetapan tertulis yang
dikeluarkan oleh Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara. Dalam kasus ini, SK dikeluarkan
oleh Pejabat Tata Usaha Negara yakni Menteri Lingkungan Hidup. Kedua, suatu KTUN
harus didasarkan pada peraturan perundang-undangan yang berlaku, dalam kasus ini SK No.
4551 dan SK No. 3982 didasarkan pada UU PPLH (pertanyaan mengenai apakah kedua SK
ini bertentangan dengan ketentuan UU PPLH akan dibahas selanjutnya). Kemudian SK No
4551 dan SK No. 3982 bersifat konkret berupa sanksi administratif paksaan, individual
karena ditujukan secara spesifik kepada PT Kaswari Tunggal, dan final karena sekali selesai.
Dengan demikian, SK No. 4551 dan SK No. 3982 memenuhi unsur-unsur Keputusan
Tata Usaha Negara. Tim Penulis kemudian akan menganalisis apakah SK No. 4551 dan SK
No. 3982 bertentangan dengan ketentuan peraturan perundang-undangan dan
bertentangan dengan asas-asas umum pemerintahan yang baik (“AUPB”).
Sebelum menganalisis fakta-fakta yang terkandung dalam Putusan Pengadilan Tata
Usaha Negara PT Kaswari Tunggal, penulis akan menjelaskan secara singkat terlebih dahulu
mengenai landasan teoritis dan yuridis mengenai sanksi administratif di bidang lingkungan
dan mengenai paksaan pemerintah sebagai bentuk sanksi administratif.
Dalam ketentuan perundang-undangan, sanksi administratif dalam bidang lingkungan
diatur dalam Undang-Undang Nomor 32 tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan
Lingkungan Hidup (“UU PPLH”). Pasal 76(1) UU PPLH menyatakan bahwa “ Menteri,
gubernur, atau bupati/walikota menerapkan sanksi administratif kepada penanggung
jawab usaha dan/atau kegiatan jika dalam pengawasan ditemukan pelanggaran terhadap
izin lingkungan.” Pasal 76(2) UU PPLH mengatur secara lebih lanjut apa saja yang termasuk
ke dalam sanksi administratif, yakni:
A. Teguran tertulis
B. Paksaan pemerintah
C. Pembekuan Izin Lingkungan; atau
D. Pencabutan Izin Lingkungan
Pasal 80 ayat (1) UU PPLH mengatur lebih lanjut pengenai Pasal 76(2)(b) UU PPLH, yakni
mengenai Paksaan Pemerintah yaitu meliputi:
a. Penghentian sementara kegiatan produksi
b. Pemindahan sarana produksi
c. Penutupan saluran pembuangan air limbah atau emisi
d. Pembongkaran
e. Penyitaan terhadap barang atau alat yang berpotensi menimbulkan pelanggaran
f. Penghentian sementara seluruh kegiatan; atau
g. Tindakan lain yang bertujuan untuk menghentikan pelanggaran dan tindakan
memulihkan fungsi lingkungan hidup.
Penting juga tim penulis rasa untuk membandingkan konsep teoritis sanksi
administratif di Indonesia dengan Belanda. Hukum Administratif Belanda mengenal adanya
empat macam sanksi administratif: Pertama, sanksi paksaan finansial (dwangsom); paksaan
non-punitif restoratif yang diarahkan untuk mengembalikan keadaan sebelum pelanggaran
secara penuh atau sebagian, Kedua, sanksi paksaan administratif (bestuursdwang); sanksi
paksaan yang sifatnya non-punitif, Ketiga, sanksi denda; sanksi punitif untuk pelanggaran-
pelanggaran ringan dan Keempat, pencabutan izin yang bisa dianggap sebagai tindakan
punitif maupun tindakan non punitif.40 Apabila kita berbicara mengenai paksaan pemerintah,
maka kita akan berbicara mengenai jenis sanksi kedua, yaitu paksaan administratif (last
onder bestuursdwang). Paksaan administratif sebagai tindakan reparasi meliputi (a)
kewajiban untuk memperbaiki kerusakan lingkungan baik secara seluruh maupun sebagian
dan (b) jika pihak yang dikenakan sanksi tidak melaksanakan sanksi tersebut, maka
pemerintah dapat melaksanakan sendiri sanksi tersebut. Sanksi paksaan ini merupakan
tindakan nyata.41
Penulis akan menganalisis keabsahan SK No. 4551 dan SK No. 3982 dari hukum
lingkungan dari dua segi: Pertama dari prosedur pemberian SK yang tidak melalui pemberian
teguran tertulis terlebih dahulu [a] dan mengenai apakah bentuk sanksi administratif yang
dijatuhkan telah tepat atau belum [b]. Kedua pertanyaan ini akan berpengaruh besar kepada
akhir dari putusan seandainya gugatan PT Kaswari Unggul tidak diputus NO.
2.a Prosedur Pemberian SK No. 4551 dan SK No. 3982
Terdapat dua permasalahan utama dalam pemberian sanksi paksaan dalam kasus ini:
Pertama, apakah bisa sanksi langsung diberikan oleh Menteri Agraria dan Tata Ruang tanpa
terlebih dahulu melalui Pemerintah Daerah? dan permasalahan kedua adalah apakah
pemberian paksaan dalam kasus ini bisa langsung dilakukan tanpa memberikan teguran
tertulis terlebih dahulu.

40 “Sanctions and Procedures Applicable for Breaches of the Legislation on Industrial Emissions on
the Netherlands”, Eastern and Central European Journal on Environmental Law, hlm. 54.
41 Ibid, hlm. 59.
Penegakkan hukum administratif terhadap suatu pelanggaran izin lingkungan
seharusnya ditegakkan terlebih dahulu oleh pemerintah daerah yang berwenang di daerah
terjadinya pelanggaran tersebut.42 Meskipun demikian, berdasarkan Pasal 73 dan Pasal 77,
UU PPLH menganut prinsip second-line inspection dan second-line enforcement. Prinsip
tersebut memberikan kewenangan kepada pemerintah pusat untuk melakukan pengawasan
dan penegakkan terhadap pelanggaran hukum administratif, dalam kondisi pemerintah daerah
tidak melakukan pengawasan atau penegakkan hukum administratif terhadap pelanggaran
izin lingkungan yang serius.43 Prinsip ini dianut agar tidak terjadi pelanggaran yang
berkepanjangan tanpa dilakukan penindakan, kelalaian dalam melakukan penindakan
pelanggaran dapat mengakibatkan hilangnya keinginan pelaku usaha untuk melakukan
penaatan terhadap mekanisme perlindungan lingkungan.44
Sebagaimana kegiatan usaha PT KU terletak di Sumatera Selatan, seharusnya
Pemerintah Daerah Sumatera Selatan menjadi aktor pertama yang memberikan penindakan
atas pelanggaran PT KU. Dalam kasus ini, penegakan hukum terhadap pelanggaran izin
lingkungan oleh PT KU dilakukan oleh Kementerian LKH sebagai pemerintah pusat. Tidak
ada indikasi secara tegas baik dari pihak PT KU maupun Kementerian LKH mengenai alasan
mengapa penindakan dilakukan oleh Kementerian LKH. Meskipun demikian, ada beberapa
justifikasi yang dapat ditemukan di dalam kasus tentang alasan Kementerian LKH yang
menerapkan sanksi terhadap PT KU. Sebagaimana ketentuan Pasal 77 UU PPLH,
penegakkan hukum oleh pemerintah pusat dapat dilakukan apabila tidak terjadi penindakan
oleh pemerintah daerah terhadap pelanggaran izin lingkungan yang serius. Lebih jauh lagi
Pasal 59 ayat (7) UU PPLH, ketentuan pengelolaan limbah B3 diatur lebih lanjut oleh
peraturan pemerintah. Pengaturan lebih lanjut tersebut tertuang dalam Peraturan Pemerintah
Nomor 101 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Limbah Bahan Berbahya dan Beracun (“PP
101/2014”), menentukan apabila di setiap tahapan pengelolaan tersebut tidak disertai izin,
maka dapat dikenakan sanksi administrasi oleh pemerintah pusat.45
Berdasarkan Surat Jawaban Kementerian LKH halaman 40, poin d.1, pelanggaran PT
KU diklasifikasikan sebagai suatu pelanggaran yang serius. Lebih jauh lagi berdasarkan BAP
Penaatan Lingkungan Hidup Tanggal 5 Oktober 2015, PT KU telah melanggar ketentuan

42 Nopyandri, Pengaturan Wewenang Pemerintah Daerah dalam Penerapan Sanksi Administrasi


Lingkungan, Jurnal Ilmu Hukum 2015, hlm. 26.
43 Harry Agung Ariefianto, Penerapan Sanksi Administrasi Pencemaran Lingkungan Hidup Akibat
Kegiatan Industri, Unnes Law Journal, Vol. 4 No. 1, 2015, hlm. 87.
44 Syahrul Machmud, Penegakan Sanksi Lingkungan Indonesia, Yogyakarta, Graha Ilmu, 2012, hal.
163.
45 Harry Agung Ariefianto, Penerapan Sanksi..., hlm. 89.
persyaratan teknis tentang pengelolaan limbah B3. Berdasarkan kedua alasan tersebut,
meskipun tidak ada penjelasan mengapa Pemerintah Daerah Sumatera Selatan tidak
melakukan penegakkan hukum administratif kepada PT KU, dapat ditarik sebuah kesimpulan
bahwa penindakan dilakukan oleh kementerian LKH karena pelanggaran PT KU merupakan
pelanggaran yang serius dan pelanggaran tersebut menyangkut pengelolaan limbah B3 yang
menjadi kewenangan pemerintah pusat. Dalam pandangan kami, Kementerian LKH sudah
sepatutnya dan di dalam kewenangannya untuk menindak pelanggaran oleh PT KU.
Pasal 76 jo. Pasal 80 UU PPLH jo. Bab B Angka 1 Huruf b Peraturan Menteri
Lingkungan Hidup Nomor 2 Tahun 2013 mengatur bahwa pengenaan sanksi administratif
paksaan pemerintah harus didahului dengan pemberian teguran tertulis. menjadi baku
sebelum diterapkan paksaan pemerintah. Surat teguran ini berlaku pula sebagai peringatan
bagi penanggung jawab usaha agar segera menghentikan pelanggarannya yang berisi teguran
untuk melakukan penghentian sementara kegiatan produksi, melakukan penutupan saluran
pembuangan air limbah atau emisi.46 Didahuluinya paksaan paksaan pemerintah dengan surat
teguran, mengandung makna yang mendalam demi tegaknya elemen utama hukum
administrasi. Dalam ini terkandung beberapa makna sebagai berikut:47
1. Terbukanya kesempatan penanggung jawab usaha untuk melakukan pembelaan
apabila merasa tidak melakukan pelanggaran yang dimuat dalam surat teguran.
Pembelaan dalam dilakukan melalui pengajuan gugatan ke pengadilan Tata Usaha
Negara atau mengajukan banding. Kesempatan untuk mengajukan gugatan ini
merupakan salah satu bentuk perlindungan hukum bagi masyarakat dari tindakan
pemerintahan.
2. Dengan melalui surat teguran dapat efisiensi dan efektifitas tindakan pemerintahan.
Apabila penanggungjawab usaha melakukan perintah yang ditetapkan, maka menteri,
gubernur, bupati/walikota tidak perlu melakukan tindakan nyata. Hal ini sangat
efisien, karena pemerintah tidak perlu susah payah melakukan tindakan nyata. Dari
segi efektifitasnya, tujuan paksaan pemerintah dalam kerangka pengendalian
pencemaran lingkungan telah tercapai.
Pelanggaran norma hukum administrasi lebih direspon dengan tindakan nyata untuk
memulihkan keadaan yang dilanggar.48 Respon tersebut adalah dengan melakukan tindakan

46 Amelia Panambunan, Penerapan Sanksi Administratif dalam Penegakan Hukum Lingkungan di


Indonesia, Lex Administratum 4 (2016), hlm. 27.
47 Bachrul Amiq, Penerapan sanksi administrasi dalam hukum lingkungan, Yogyakarta: Laksbang
Mediatama, 2013, hlm. 57.
48 Philipus M.Hadjon, Pengantar Hukum Administrasi Indonesia, Gadjah Mada University Press,
Yogyakarta, 1993, hlm. 247.
nyata untuk menghentikan terjadinya pelanggaran norma hukum administrasi atau tindakan
nyata untuk mencegah berlanjutnya keadaan yang dilarang norma hukum administrasi.49
Respon yang dimaksud adalah Paksaan pemerintah yang dapat berupa perintah kepada
pemilik kegiatan dan/ atau usaha untuk mencegah dan mengakhiri terjadinya pelanggaran. 50
Pasal 80 Ayat (2) UUPPLH memberikan ruang bagi pelaksanaan paksaan pemerintah tanpa
teguran tertulis secara limitatif, dikatakan bahwa paksaan pemerintah dapat dilaksanakan
tanpa teguran tertulis apabila pelanggaran yang dilakukan menimbulkan (a) Ancaman yang
sangat serius bagi manusia dan lingkungan hidup; (b) Dampak yang lebih besar dan lebih luas
jika tidak segera dihentikan pencemaran dan/atau perusakannya; dan/atau (c) Kerugian yang
lebih besar bagi lingkungan hidup jika tidak segera dihentikan pencemaran dan/atau
perusakannya.
Dalam kasus ini, kebakaran telah terjadi pada tanggal 3 Juli 2015, 17 Agustus 2015,
dan 24 Agustus 2015. Alasan pertama dalam UUPPLH untuk mengenyampingkan tahap
teguran tertulis adalah apabila ada “ancaman”, kata ancaman merujuk pada suatu kejadian
yang belum tentu dapat terjadi, bukan merujuk pada suatu hal yang telah terjadi. 51
Berdasarkan hal tersebut maka jelas alasan pertama yaitu ancaman sangat serius bagi manusia
dan lingkungan hidup, kami pandang tidak terpenuhi dalam kasus ini. Dasar pertimbangan ini
juga berlaku bagi alasan kedua dan ketiga untuk mengenyampingkan teguran tertulis, dengan
adanya paksaan pemerintah dalam kasus ini tidak menghentikan dampak maupun kerugian
dari pencemaran lingkungan yang dituduhkan dilakukan PT KU karena memang kebakaran
hutan tersebut telah selesai. Persyaratan limitatif untuk melewati tahap teguran tertulis
haruslah diperhatikan dan diterapkan dengan sebagaimana mestinya, karena mengingat
hakikat dari sanksi administratif yang bertujuan untuk menghentikan adanya kerugian lebih
besar dari lingkungan. Oleh karena itu dalam pandangan kelompok kami, seharusnya teguran
tertulis harus diberikan terlebih dahulu kepada PT KU sebelum pemberian sanksi paksaan
pemerintah.

2.b Bentuk Paksaan yang diberikan kepada PT Kaswari Unggul


SK No. 4551 dan SK No. 3982 mengenakan sanksi paksaan sebagai berikut:

49 Nopyandri, Pengaturan Wewenang Pemerintah Daerah dalam Penerapan Sanksi Administrasi


Lingkungan, Jurnal Ilmu Hukum 2015, hlm. 26.
50 Soedjono, D., Pengaturan Hukum Terhadap Pencemaran Lingkungan Akibat Industri, Alumni,
Bandung, 1979, hlm. 93.
51 Deni Bram, Hukum Lingkungan Hidup, Gramata Publishing, Jakarta, 2014.
1. mengembalikan lahan eks area kebakaran dalam areal kerja PT Kaswari
Unggul kepada Negara sesuai peraturan perundang-undangan dalam jangka
waktu paling lama 60 hari
2. Melengkapi sarana dan prasarana penanggulangan kebakaran hutan dan lahan
di distrik sungai beyuku, paling lama 30 hari kalender
3. Melengkapi TPS Limbah B3 sesuai persyaratan teknis, paling lama 30 hari
kalender
4. Memiliki izin Penyimpanan Sementara Limbah Bahan Berbahaya dan
Beracun, paling lama 60 hari kalender
5. Melakukan permintaan maaf kepada publik melalui media massa nasional,
paling lama 14 hari kalender
Penggugat mendalilkan bahwa KTUN yang digugat bertentangan dengan peraturan
perundang-undangan yang berlaku dan asas-asas umum pemerintahan yang baik. Dalil-dalil
penggugat adalah sebagai berikut:
Sanksi pertama yaitu pengembalian lahan kepada Negara bukanlah salah satu bentuk
paksaan pemerintah sebagaimana diatur dalam Pasal 80 UU PPLH. Sanksi administratif
adalah tindakan nyata untuk menghentikan pelanggaran dan/atau memulihkan ke dalam
keadaan semula. Lebih lanjut, pencabutan hak atas tanah (dalam hal ini HGU) harus
dilakukan oleh instansi yang berwenang, yaitu instansi yang menerbitkan sertifikat hak
tersebut.
Sanksi poin ke-5 yaitu permintaan maaf di media massa haruslah didasarkan pada
unsur kesalahan yang telah diperbuat oleh pihak yang dikenakan sanksi. Dalam kasus,
pemerintah belum membuktikan bahwa PT Kaswari Unggul adalah pihak yang melakukan
kesalahan kebakaran hutan. Lebih lanjut, permintaan maaf bukanlah sanksi administratif
paksaan sebagaimana diatur dalam ketentuan Pasal 80 UU PPLH.
Tergugat menyampaikan jawaban atas dalil-dalil gugatan sebagai berikut:
Bahwa sanksi pengembalian lahan kepada Negara termasuk ke dalam ketentuan
Sanksi Paksaan dalam Pasal 80(1)(g) UU PPLH yakni tindakan lain yang bertujuan untuk
menghentikan pelanggaran dan tindakan memulihkan fungsi lingkungan hidup. Tergugat juga
mendalilkan bahwa pengembalian lahan eks areal kebakaran tidak mencabut dan tidak
mengubah status Hak Guna Usaha yang dimiliki secara sah oleh Penggugat yang pemberian
haknya berdasarkan Keputusan Menteri ATR No 58/HGU/KEM-ATR/BPN/2015 tanggal 11
Juni 2015.
Bahwa sanksi paksaan berupa permintaan maaf didasarkan pada ketentuan Pasal 28H
UUD 1945 dan Pasal 65 ayat (1) dan (2) UUPPLH yang berbunyi bahwa “Setiap orang
berhak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat sebagai bagian dari hak asasi manusia.”
Pelanggaran terhadap hak asasi manusia tersebut harus dapat dimintakan
pertanggungjawaban hukum dan pertanggungjawaban lainnya, yang mana salah satu
bentuknya merupakan pertanggungjawaban moral yang diekspresikan melalui permintaan
maaf kepada pihak yang haknya dilanggar tersebut.
Analisis tim penulis berlandaskan teori-teori dan peraturan perundang-undangan
mengenai sanksi administrasi paksaan serta berdasarkan dalil-dalil Penggugat dan Tergugat
adalah sebagai berikut:
Pertama, mengenai sanksi yang dijatuhkan dalam bentuk pengembalian lahan ke
Negara, tim penulis berpendapat bahwa sanksi tersebut tidaklah tepat dikategorikan sebagai
sanksi paksaan pemerintah. Hal ini dikarenakan sanksi administrasi paksaan pemerintah
haruslah tindakan nyata pemerintah (feitelijke handelingen) yang ditujukan untuk mengakhiri
suatu keadaan yang dilarang oleh ketentuan peraturan perundang-undangan atau melakukan
sesuatu yang seharusnya ditinggalkan oleh seseorang karena bertentangan dengan peraturan
perundang-undangan dan bukanlah tindakan hukum.52
Senada dengan pendapat di atas, Lampiran I dari Peraturan Menteri Lingkungan
Hidup Republik Indonesia Nomor 02 tahun 2013 tentang Pedoman Penerapan Sanksi
Administratif di Bidang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup mendefinisikan
Paksaan Pemerintah sebagai bentuk sanksi administratif berupa tindakan nyata untuk
menghentikan pelanggaran dan/atau memulihkan dalam keadaan semula.53
Dalam hukum administrasi negara, dikenal adanya dua macam tindakan pemerintah
yang bersegi publik, pertama tindakan nyata (feitelijke handelingen) dan tindakan hukum
(rechtshandelingen). Tindakan hukum pemerintah adalah tindakan yang mengakibatkan
akibat-akibat hukum dan hubungan hukum, sementara tindakan nyata tidak menimbulkan
akibat hukum apapun.54 Akibat-akibat hukum yang ditimbulkan dari Tindakan Hukum
Pemerintah adalah:55

A. Menimbulkan perubahan hak, kewajiban, dan wewenang yang ada


52 Wicipto Setiadi, “Sanksi Administratif Sebagai Salah Satu Instrumen Penegakan Hukum dalam
Peraturan Perundang-Undangan,” Jurnal Legislasi Indonesia.
53 Indonesia, Peraturan Menteri Lingkungan Hidup tentang Pedoman Penerapan Sanksi
Administratif di bidang Pengelolaan Lingkungan Hidup, PerMen LHK No. 02 tahun 2013.
54 Ridwan, Hukum Administrasi, hlm. 109.
55 Ibid, hlm. 111.
B. Menimbulkan perubahan kedudukan hukum seseorang atau objek yang
dikenakan tindakan
C. Terdapat hak, kewajiban, kewenangan, atau status tertentu yang ditetapkan
Peralihan lahan dari PT Kaswari Unggul kepada Negara akan mengakibatkan akibat
hukum, yaitu perubahan hak dan kewajiban atas lahan tersebut. Demikian, pengalihan lahan
bukanlah sebuah tindakan nyata (feitelijke handelingen), melainkan sebuah tindakan hukum
(rechtshandelingen). Hal ini dikarenakan peralihan lahan ke negara akan menimbulkan
perubahan kedudukan hukum seseorang atau objek yang dikenakan tindakan dan dengan
demikian SK No. 4551 dan SK No. 3892 keliru dalam menerapkan sanksi administratif
paksaan pemerintah.
Kedua, mengenai sanksi permintaan maaf kepada publik melalui media massa
nasional yang dipermasalahkan oleh Penggugat. Sanksi ini juga tidak diatur dalam ketentuan
Pasal 80 ayat (1) UUPPLH sebagai bentuk-bentuk paksaan pemerintah. Apabila Pemerintah
hendak mengenakan paksaan pemerintah sebagaimana termaktub dalam Pasal 80(1)(g)
UUPPLH, maka tindakan lain tersebut harus memiliki tujuan menghentikan pelanggaran dan
memulihkan fungsi lingkungan hidup. Permintaan maaf kepada publik melalui media massa
nasional jelas tidak memenuhi unsur menghentikan pelanggaran dan memulihkan fungsi
lingkungan hidup, sehingga tidak sesuai dengan ketentuan UU PPLH.
Dengan demikian, apabila gugatan PT Kaswari Unggul tidak diputus NO oleh PTUN
Jakarta Utara, tim penulis percaya bahwa hakim akan menjatuhkan putusan sebagai berikut:
1. Mengabulkan gugatan penggugat untuk seluruhnya
2. Menyatakan SK No. 4951 dan SK No. 3892 yang dikeluarkan oleh Tergugat
batal atau tidak sah
3. Mewajibkan Tergugat untuk mencabut SK No. 4951 dan SK No. 3892
4. Membebankan biaya perkara kepada Tergugat.

BAB III
KESIMPULAN

Pada kasus kebakaran hutan yang menimpa PT Kaswari Unggul menimbulkan adanya
pelanggaran yang oleh Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan dikatakan sebagai
pelanggaran oleh PT Kaswari Unggul dengan dikeluarkannya Surat Keputusan No. 4551
yang menyebabkan adanya suatu sanksi administrasi berupa paksaan pemerintah yang perlu
untuk dipenuhi oleh PT Kaswari Unggul.
Merasa sebagai korban kebakaran hutan dan lahan yang mana bukan berasal dari
perilaku yang dilakukannya, PT Kaswari Unggul menjatuhkan gugatan di Pengadilan Tata
Usaha Negara Jakarta yang kemudian diputuskan oleh Majelis Hakim melalui Putusan
Nomor 104/G/LH/2017/PTUN-JKT, bahwa gugatan yang bersangkutan adalah NO, tidak
dapat diterima karena adanya cacat formil waktu pengajuan gugatan. Kemudian, banding
diajukan di Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara melalui Putusan Nomor
374/B/LH/2017/PT.TUN.JKT, yang menguatkan kembali putusan tingkat pertama,
Begitupula, ditingkat kasasi melalui Putusan Nomor 417/K/TUN/LH/2018.
Hasil analisis kami berdasarkan fakta-fakta hukum dikaitkan dengan kajian teori,
bahwa kami bersepakat tindakan yang dilakukan oleh PT Kaswari Unggul dalam hal ini
bukan merupakan unsur kesalahan yang dilakukannya. Peran pemerintah dalam hal ini
sebagai pihak yang mempunyai tugas dalam perlindungan lingkungan hidup, harus bisa lebih
tegas lagi dalam hal penindakan dan waspada dalam hal pengawasan. Sehingga, dapat
meminimalisir terjadinya kerusakan lingkungan hidup atau bahkan menghilangkan karena
adanya suatu sistem tatanan yang jelas dan tepat sasaran dalam pelaksanaannya.

DAFTAR PUSTAKA
Buku
R, Ridwan H. Hukum Administrasi Negara Edisi Revisi. Cet. 9. Jakarta: Rajawali Pers, 2018.
Bram, Deni. Hukum Lingkungan Hidup. Jakarta: Gramata Publishing, 2014.
Soedjono. Pengaturan Hukum Terhadap Pencemaran Lingkungan Akibat Industri. Bandung,
1979.
Hadjon, Philipus. Pengantar Hukum Administrasi Indonesia. Yogyakarta: Gadjah Mada
University Press, 1993.
Amiq, Bachrul. Penerapan sanksi administrasi dalam hukum lingkungan. Yogyakarta:
Laksbang Mediatama, 2013.
Harry Agung Ariefianto, Penerapan Sanksi
Machmud, Syahrul. Penegakan Sanksi Lingkungan Indonesia,.Yogyakarta: Graha Ilmu,
2012.
Rahmadi, Takdir. Hukum Lingkungan di Indonesia, Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2016

Peraturan Perundang-Undangan
Indonesia. Undang-Undang Pengelolaan Lingkungan Hidup, UU No. 32 Tahun 2009, LN
No. 140 Tahun 2009, TLN No. 5059.
Indonesia. Undang-Undang Administrasi Pemerintahan, UU No. 30 Tahun 2014, LN No.
292 Tahun 2014, TLN No. 5601.
Indonesia. Peraturan Menteri Lingkungan Hidup Republik Indonesia tentang Pedoman
Penerapan Sanksi Administratif Di Bidang Perlindungan Dan Pengelolaan
Lingkungan Hidup , Nomor PM 02 Tahun 2013.
Indonesia, Undang-Undang Pengelolaan Lingkungan Hidup, UU No.23 Tahun 1997, LN
No.68 Tahun 1997, TLN No. 3699, Ps. 80.
Pengadilan tata Usaha Negara, Putusan Nomor 104/G/LH/2017/PTUN-JKT, hlm. 36

Jurnal
Wibisana, Andri Gunawan. Tentang Ekor yang Tak Lagi Beracun: Kritik
Konseptual atas Sanksi Administratif dalam Hukum Lingkungan di Indonesia.
2019.
Anonymous. “sanction and Procedures Applicable to Breaches of the Legislation on
Industrial Emissions in the Netherlands,” Eastern and Central European Journal on
Environmental Law, Vol. 16:1 (2012)
Setiadi, Wicipto. “Sanksi Administratif Sebagai Salah Satu Instrumen Penegakan Hukum
dalam Peraturan Perundang-Undangan,” Jurnal Legislasi Indonesia.
Nopyandri. “Pengaturan Wewenang Pemerintah Daerah dalam Penerapan Sanksi
Administrasi Lingkungan”. Jurnal Ilmu Hukum, 2015.
Panambunan, Amelia. “Penerapan Sanksi Administratif dalam Penegakan Hukum
Lingkungan di Indonesia”. Lex Administratum 4 (2016).
Ariefianto, Harry Agung. “Penerapan Sanksi Administrasi Pencemaran Lingkungan Hidup
Akibat Kegiatan Industri”. Unnes Law Journal Vol. 4 No. 1, 2015.
Nopyandri. “Pengaturan Wewenang Pemerintah Daerah dalam Penerapan Sanksi
Administrasi Lingkungan”. Jurnal Ilmu Hukum, 2015.

Internet
Pratiwi, Cekli Setya, et.al, “Penjelasan Hukum Asas-Asas Umum Pemerintahan yang Baik
Hukum Administrasi Negara”. http://www.leip.or.id/wp-
content/uploads/2016/05/Penjelasan-Hukum-Asas-Asas-Umum-Pemerintahan-yang-
Baik-Hukum-Administrasi-Negara.pdf. Diunduh pada 8 November 2019 pukum
12.37.

Anda mungkin juga menyukai