MAKALAH
KELOMPOK 9
FAKULTAS HUKUM
DEPOK
NOVEMBER 2019
BAB I
PENDAHULUAN
I. Latar Belakang
Berita Acara Pengawasan Penataan Lingkungan Hidup Tanggal 5 Oktober 2015 yang
dibuat oleh Kementerian Lingkungan Hidup Republik Indonesia (selanjutnya disebut
“Tergugat”) dan Balai Konservasi Sumber Daya Alam Jambi menguraikan telah terjadi
kebakaran hutan dan lahan pada tanggal 3 Juli 2015, 17 Agustus 2015, dan 24 Agustus 2015
dengan sumber titik api berasal dari areal Hutan Produksi dikarenakan tiupan angin yang
kencang disertai asap yang sangat pekat membawa daun-daun terbakar ke areal perkebunan
PT Kaswari Unggul (selanjutnya disebut “Penggugat”) tepatnya di Divisi D12, D13, D14,
E13, E15, dan F15 yang mengakibatkan kebakaran di areal tersebut.
Penggugat merupakan Perseroan Terbatas yang menjalankan usaha di bidang
perkebunan kelapa sawit yang terletak di Kabupaten Tanjung Jabung Timur Provinsi Jambi
dengan luas areal 3.215,73 ha yang tersebar di empat lokasi yaitu Desa Pandan Lagan, Desa
Suka Maju, Desa Rantau Karya, Kecamatan Geragai, Kabupaten Tanjung Jabung Timur
seluas 1.806,06 ha. Selanjutnya lokasi di Desa Kuala Dendang dan Sidomukti, Kecamatan
Dendang, Kabupaten Tanjung Jabung Timur seluas 732,72 ha. Lokasi ketiga di Desa Catur
Rahayu Kecamatan Dendang, Kabupaten Tanjung Jabung Timur seluas 531,45 ha. Lokasi
terakhir di Desa Teluk Dawam, Kecamatan Muara Jabak Barat, Kabupaten Tanjung Jabung
Timur seluas 145,10 ha. Kesemua lokasi tersebut merupakan Hak Guna Usaha berdasarkan
Keputusan Menteri Agraria dan Tata Ruang Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor:
58/HGU/KEM-ATR/BPN/2015 Tanggal 11 Juni 2015 tentang Pemberian Hak Guna Usaha
Atas Nama PT Kaswari Unggul, Atas Tanah di Kabupaten Tanjung Jabung Timur Provinsi
Jambi.
Setelah terjadinya, kebakaran tersebut Penggugat menerima Surat Keputusan Menteri
Lingkungan Hidup dan Kehutanan Republik Indonesia Nomor SK. 4551/Menlhk-
PHLHK/PPSA/2015 Tanggal 19 Oktober 2015 tentang Penerapan Sanksi Administratif
Paksaan Pemerintah Kepada PT Kaswari Unggul (selanjutnya disebut “Surat Keputusan No.
4551”) yang pada intinya menyatakan bahwa Penggugat melakukan pelanggaran yakni (1)
kebakaran lahan pada areal kerja Penggugat di Divisi D12, D13, D14, E13, E15, dan F15; (2)
tidak melengkapi sarana dan prasarana penanggulangan kebakaran lahan; (3) tidak
melengkapi TPS Limbah B3 sesuai persyaratan teknis; (4) tidak memiliki izin Penyimpanan
Sementara Limbah Bahan Berbahaya Beracun; (5) tidak memelihara kelestarian fungsi
lingkungan hidup serta mengendalikan pencemaran dan/atau kerusakan linkgungan hidup.
Setelah jabaran pelanggaran yang dilakukan oleh Penggugat, Tergugat memberikan
sanksi administrasi paksaan pemerintah yaitu berupa (1) mengembalikan lahan eks area
kebakaran dalam areal kerja PT Kaswari Unggul kepada Negara sesuai peraturan perundang-
undangan, dalam jangka waktu paling lama 60 (enam puluh) hari kalender; (2) melengkapi
sarana dan prasarana penanggulangan kebakaran hutan dan lahan di Distrik Sungai Bekuyu,
paling lama 30 (tiga puluh) hari kelender; (3) melengkapi TPS Limbah B3 sesuai persyaratan
teknis, paling lama 30 (tiga puluh) hari kalender; (4) memiliki izin Penyimpanan Sementara
Limbah Bahan Berbahaya dan Beracun, paling lama 60 (enam puluh) hari kalender; (5)
melakukan permintaan maaf kepada publik melalui media masa nasional, paling lama 14
(empat belas) hari kalender.
Penggugat merasa Surat Keputusan No. 4551 bertentangan dengan Peraturan
Perundang-undangan dan asas-asas umum pemerintahan yang baik (AUPB). Tergugat telah
melanggar Peraturan Perundang-undangan yang berlaku yaitu tepatnya Diktum 3 Poin 1 dan
5 Surat Keputusan No. 4551. Poin 1 permasalahannya harus mengembalikan lahan areal kerja
PT Kaswari Unggul padahal Hak Guna Usaha telah diberikan dan tidak semudah itu untuk
dicabut tanpa prosedur dan kewenangan sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan.
Penggugat merasa pencabutan atau pembatalan Hak Guna Usaha ada pada instansi yang
menerbitkannya, dan Tergugat tidak memiliki kewenangan tersebut. Poin 5 yakni melakukan
permintaan maaf ke publik juga sepatutnya tidak dilakukan, oleh karena Penggugat merasa
tidak salah dan menganggap dirinya sebagai korban, karena kebakaran hutan dan lahan bukan
karena tindakannya, melainkan lahan milik Penggugatlah yang terbakar, namun Kementerian
Lingkungan Hidup memberikan Surat Keputusan No. 4551 yang berisi sanksi administrasi
bagi Penggugat. Selain itu, Penggugat tidak mendapatkan peringatan dari Tergugat sebelum
menjatuhkan sanksi administrasi kepada Penggugat, pengecualian terhadap ketentuan ini
tidak terpenuhi menurut Penggugat. Asas kecermatan dalam AUPB tidak dilakukan karena
Penggugat tidak merasa menerima Surat Keputusan No. 4551 oleh karena seharusnya
disampaikan langsung. Kekeliruan lokasi juga terjadi pada poin 2 Diktum Surat Keputusan
No. 4551 karena menyebutkan Distrik Sungai Beyuku padahal Penggugat tidak ada lahan
disitu. Kemudian, Surat Keputusan No. 4551, khususnya terkait poin 2, dilakukan perubahan
dengan adanya Surat Keputusan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Republik
Indonesia Nomor SK. 3982/Menlhk-PHLHK/PPSA/GKM.0/8/2016 Tanggal 23 Agustus
2016 Tentang Perubahan Keputusan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Republik
Indonesia Nomor. SK. 4551/Menlhk-PHLHK/PPSA/2015 tentang Penerapan Sanksi
Administratif Paksaan Pemerintah Kepada PT Kaswari Unggul (untuk selanjutnya disingkat
“Surat Keputusan No. 3982”). Dengan adanya perubahan tersebut membuat ketidakjelasan
lokasi karena adanya ketidakjelasan pada diktum poin 2 yang berbunyi “Melengkapi sarana
dan prasarana penanggulangan kebakaran hutan dan lahan, paling lama 30 (tigapuluh) hari
kalender.” Selain itu, ketidakjelasan dalam hal pelaksanaan apakah 30 hari dari Surat
Keputusan No. 4551 atau Surat Keputusan No. 3982. Asas kesamaan pun oleh Penggugat
dianggap terlanggar karena PT ATGA, yang lokasinya dekat dengan PT Kaswari Unggul dan
sama-sama terbakar, tidak dijatuhi sanksi. Asas kewajaran dan keadilan dilanggar berkaitan
dengan Hak Guna Usaha tidak bisa dikembalikan sembarangan. Juga terdapat kekeliruan dari
Tergugat yang menyatakan bahwa Penggugat tidak memenuhi sarana dan prasarana
pencegahan kebakaran hutan, padahal Penguggat bergerak dalam bidang perkebunan kelapa
sawit.
Kesemua anggapan dibantah, Tergugat menyatakan gugatan Penggugat kadalawuarsa,
harusnya adalah sejak Surat Keputusan diterima atau diumumkan Badan/Pejabat Tata Usaha
Negara, sedangkan 19 Oktober 2015 sampai dengan 12 Mei 2017 telah 1 tahun 6 bulan.
Penggugat mendalilkan dia tidak menerima SK, tetapi mengajukan keberatan pada 22
Desember 2015, jadi sebenarnya Penggugat tau bahwa ada SK yang disampaikan kepadanya.
Lalu, dalam areal PT Kaswari Unggul telah terjadi kebakaran yang menimbulkan efek
gangguang kesehatan masyarakat, sehingga wajar saja jika PT Kaswari Unggul seharusnya
meminta maaf. Kasus kebakaran ini tidak diajukan sanksi tertulis dikarenakan sifatnya yang
serius dan memenuhi pengecualian dalam Pasal 80 ayat (2) UUPLH. Tergugat merasa telah
menerapkan asas kecermatan dengan baik dan melalui langkah pengawasan, pembahasan,
analisis, dengan melibatkan unsur instansi yang secara objektif dan normatif untuk ambil
keputusan, dilihat dari adanya keberatan yang diajukan Penguggat tentang lokasi areal
perkebunan sawit. Begitu pula asas kesamaan dan kewajaran, telah diterapkan seharusnya.
Akhirnya berdasarkan pertimbangan alasan gugatan dan jawaban dari Penggugat dan
Tergugat. Hakim Pengadilan Tata Usaha Negara Jakarta memutuskan mengabulkan eksepsi
Tergugat perihal daluwarsa waktu sehingga tidak perlu dilakukan pertimbangan hukum
secara nyata dan menyatakan gugatan Penggugat NO (Niet Ontvankelijke Nerklaard) atau
gugatan penggugat tidak dapat diterima karena cacat formil dan Penggugat harus membayar
biaya perkara sebesar Rp. 302.500,00.
Dari putusan diatas, kuasa hukum Penggugat mengajukan banding pada tanggal 17
Oktober 2017 di Kepaniteraan Pengadilan Tata Usaha Negara Jakarta, yang menguatkan
Putusan Pengadilan Tata Usaha Negara Jakarta Nomor: 104/G/LH/2017/PTUN.JKT tanggal
17 Oktober 2017, dengan penekanan lewatnya waktu pengajuan gugatan telah lebih dari 90
hari. Penggugat melakukan permohonan kasasi di tingkat akhir dan dikeluarkan Putusan MA
Nomor 417/K/TUN/LH/2018 menyatakan menolak permohonan kasasi Penggugat. Sehingga,
diakhirpun gugatan Penggugat tetap dinyatakan tidak diterima karena ada cacat formil,
berupa daluwarsa waktu pengajuan.
ANALISIS
1 Indonesia, Menteri Lingkungan Hidup, Lampiran I Peraturan Menteri Lingkungan Hidup tentang
Pedoman Penerapan Sanksi Administratif di Bidang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, Nomor
PM 2 Tahun 2013, hlm. 12.
tangga pengaman pada cerobong emisi, tidak membuat lubang sampling pada cerobong
emisi, membuang atau melepaskan limbah ke media lingkungan melebihi baku mutu air
limbah, tidak memenuhi persyaratan sebagaimana yang tertuang dalam izin, tidak
mengoptimalkan kinerja IPAL, tidak memisahkan saluran air limbah dengan limpasan air
hujan, tidak membuat saluran air limbah yang kedap air, tidak mengoptimalkan kinerja
fasilitas pengendalian pencemaran udara, tidak memasang alat scrubber, tidak memiliki
fasilitas sampling udara, membuang limbah B3 di luar TPS limbah B3, tidak memiliki
saluran dan bak untuk menampung tumpahan limbah B3.2
1A. Akibat hukum yang dapat timbul jika seseorang tidak melaksanakan paksaan
pemerintah
Sanksi administrasi diatur di dalam Pasal 76 UUPLH , dengan bunyi pasal sebagai
berikut:
(1) Menteri, gubernur, atau bupati/walikota menerapkan sanksi administrasi kepada
penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan jika dalam pengawasan ditemukan pelanggaran
terhadap izin lingkungan.”
(2) Sanksi administrasi terdiri atas :
a. teguran tertulis;
b. paksaan pemerintah;
c. pembekuan izin lingkungan; atau
d. pencabutan izin lingkungan.
Di dalam ketentuan pasal-pasal terkait dengan sanksi administrasi dalam UUPLH, paksaan
pemerintah seperti memiliki peranan penting, dikarenakan sanksi administrasi pada poin (c)
dan (d) dalam UUPLH dapat dilakukan apabila penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan
tidak melaksanakan paksaan pemerintah.3
Selain itu, mengacu pada ketentuan Pasal 81 UU PLH menyebutkan bahwa terhadap
setiap penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan yang dikenakan sanksi berupa paksaan
pemerintah tetapi tidak melaksanakannya, maka dijatuhkan denda atas setiap keterlambatan
pelaksanaan sanksi pemerintah. Pengenaan denda terhadap keterlambatan melaksanakan
paksaan pemerintah ini terhitung mulai sejak jangka waktu pelaksanaan paksaan pemerintah
tidak dilaksanakan.4
2 Ibid.
3 Indonesia, Undang-Undang Pengelolaan Lingkungan Hidup, UU No.23 Tahun 1997, LN No.68
Tahun 1997, TLN No. 3699, Ps. 79..
4 Indonesia, Lampiran I, hlm. 14.
Dari penjelasan diatas maka telah diketahui bahwa paksaan pemerintah yang tidak
dilaksanakan memiliki konsekuensi akibat hukum yang dapat kemudian berlanjut pada
penerapan sanksi yang sanksi administrasi pada poin (c) dan (d), yakni pembekuan izin
lingkungan dan pencabutan izin lingkungan. Serta dalam hal paksaan pemerintah terlambat
dilaksanakan maka dapat dikenakan denda administratif.
1B. Apakah seseorang baru dapat dikenakan sanksi paksaan pemerintah hanya ketika
pelanggaran timbul e.g. kebakaran hutan di areal perkebunan miliknya, karena
kesalahan?
Berdasarkan pasal 4 ayat (3) PerMenLH No.2 Th.2013 tentang Pedoman penerapan
sanksi Administratif di bidang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup bahwa
paksaan Pemerintah dapat diterapkan apabila penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan
melakukan pelanggaran terhadap persyaratan dan kewajiban yang tercantum dalam izin
Lingkungan Hidup dan/atau menimbulkan pencemaran dan/atau kerusakan Lingkungan
Hidup.5 Dalam penjelasan di atas paksaan Pemerintah merupakan sanksi yang bertujuan
untuk memulihkan artinya telah terjadi suatu pelanggaran sehingga harus di pulihkan seperti
keadaan semula atau dapat dikatakan jenis sanksi administratif yang sifatnya Reparatoir.
Pengawasan diatur dalam Pasal 71 UU PPLH, yang antara lain menyebutkan bahwa
Menteri, Gubernur, Bupati/Walikota sesuai dengan kewenangannya wajib melakukan
pengawasan terhadap ketaatan penanggung jawab usaha atau kegiatan atas ketentuan yang
ditetapkan dalam UU PPLH.7 Kewajiban yang dimaksud adalah yang tercantum dalam Pasal
67 dan 68 UU PPLH yang menyebutkan bahwa setiap orang berkewajiban memelihara
kelestarian fungsi lingkungan hidup serta mengendalikan pencemaran atau kerusakan
lingkungan hidup dan setiap pelaku usaha atau kegiatan berkewajiban menjaga keberlanjutan
fungsi lingkungan hidup.
PT. Kaswari Unggul diberikan sanksi paksaan pemerintah karena telah membawa
kerugian besar bagi lingkungan hidup dengan kebakaran hutan yang terjadi di areal
perkebunannya dan pemerintah memberikan sanksi paksaan pemerintah untuk menghentikan
kerusakan lingkungan.
Sanksi yang dijatuhkan dalam perkara Tata Usaha Negara PT. Kaswari Unggul
melawan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Republik Indonesia adalah sanksi
administratif berupa paksaan pemerintah. Berdasarkan ketentuan Pasal 76 UUPPLH, sanksi
administratif terdiri atas :8
a. Teguran tertulis;
b. Paksaan pemerintah;
c. Pembekuan izin lingkungan;
8 Indonesia, Undang-Undang Pengelolaan Lingkungan Hidup, UU No. 32 Tahun 2009, LN No. 140
Tahun 2009, TLN No. 5059, Pasal 76 ayat (2).
d. Pencabutan izin lingkungan.
Paksaan pemerintah lebih lanjut diatur dalam ketentuan Pasal 80 ayat (1) dan (2)
UUPPLH dan Peraturan Menteri Lingkungan Hidup Nomor 02 Tahun 2013 tentang Pedoman
Penerapan Sanksi Administratif di Bidang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.
Perlu diketahui bahwasanya paksaan pemerintah harus didahului oleh teguran tertulis. 9
Pengecualian terhadap keharusan adanya teguran hanya dapat dilakukan untuk alasan yang
secara limitatif ditentukan oleh UUPPLH.10 Pasal 80 ayat (2) UUPPLH mengatur mengenai
pengecualian dijatuhkan paksaan pemerintah tanpa didahului oleh teguran yaitu apabila
pelanggaran yang dilakukan menimbulkan:
a. Ancaman yang sangat serius bagi manusia dan lingkungan hidup;
b. Dampak yang lebih besar dan lebih luas jika tidak segera dihentikan
pencemaran dan/atau perusakannya; dan/atau
c. Kerugian yang lebih besar bagi lingkungan hidup jika tidak segera dihentikan
pencemaran dan/atau perusakannya.
Dalam perkara PT. Kaswari Unggul, paksaan pemerintah tidak didahului oleh teguran
tertulis. Sehingga berdasarkan ketentuan Pasal 80 ayat (2) UUPPLH yang secara limitatif
mengatur pengecualian adanya teguran tertulis sebelum paksaan pemerintah harus dipenuhi
baik salah satu ketentuannya maupun secara kumulatif.
Berdasarkan Lampiran I Peraturan Menteri Lingkungan Hidup Republik Indonesia
Nomor 02 Tahun 2013 Tentang Pedoman Penerapan Sanksi Administratif di Bidang
Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, prosedur atau tata cara penerapan sanksi
yang dijalankan harus dipastikan sesuai dengan peraturan yang menjadi dasarnya dan Asas-
asas umum pemerintahan yang baik.11
Asas-asas umum pemerintahan yang baik sebagaimana disebutkan dalam Pasal 10
Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan meliputi asas:12
1. Kepastian hukum;
2. Kemanfaatan;
3. Ketidakberpihakan;
4. Kecermatan;
9 Andri Guna Wibisana, “Tentang ekor yang Tak Lagi Beracun: Kritik Konseptual atas Sanksi
Administratif dalam Hukum Lingkungan di Indonesia”. hlm. 5.
10 Ibid., hlm. 4.
11Indonesia, Menteri Lingkungan Hidup, Peraturan Menteri Lingkungan Hidup tentang Pedoman
Penerapan Sanksi Administratif di Bidang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, Nomor PM 2
Tahun 2013, Lampiran I.
12Indonesia, Undang-Undang Administrasi Pemerintahan, UU No. 30 Tahun 2014, LN No. 292
Tahun 2014, TLN No. 5601, Ps. 10 (1) dan lebih lanjut lihat ketentuan Ps. 10 (2).
5. Tidak menyalahgunakan kewenangan;
6. Keterbukaan;
7. Kepentingan umum; dan
8. Pelayanan yang baik.
Dilihat dari dalil penggugat yang menyatakan bahwa tergugat melanggar asas
bertindak cermat dikarenakan objek sengketa SK No. 4551 tidak pernah disampaikan oleh
tergugat, adanya kesalahan/kekeliruan yang nyata telah salah menunjuk lokasi, serta perihal
jangka waktu 30 (tiga puluh) hari kalender yang mengandung kerancuan.
Jika dilihat dari dalil penggugat yang menyatakan bahwa SK No. 4551 dan SK
No.3982 yang ditujukan kepada penggugat tidak pernah disampaikan nampaknya terdapat
kesilapan dimana pada tanggal 22 Desember 2015, penggugat telah mengajukan keberatan
melalui surat Nomor 127/KU/VP/GAL/XII/2015, yang mana telah dijawab oleh tergugat
melalui surat dari Direktur Jenderal Penegakan Hukum Lingkungan Hidup dan Kehutanan
kepada Direktur PT Kaswari Unggul Nomor S.54/PHLHK/PPSA/GKM.0/4/2016 tanggal 25
April 2016 yang pada pokoknya menolak keberatan penggugat. Sehingga dilihat adanya
upaya administratif berupa keberatan maka semestinya penggugat telah mengetahui adanya
SK yang ditunjukkan kepadanya.
Terkait adanya kesalahan/kekeliruan yang nyata telah salah menunjuk lokasi dimana
berdasarkan Diktum Ketiga Point 2 Surat Keputusan No. 4551 memerintahkan Penggugat
untuk melengkapi sarana dan prasarana penanggulangan kebakaran hutan dan lahan di Distrik
Sungai Beyuku, paling lama 30 (tiga puluh) hari kalender. Penggugat secara nyata tidak
memiliki areal perkebunan di Distrik Sungai Beyuku. Bahwa kemudian mengenai kekeliruan
tersebut diakui oleh tergugat yang terbukti dengan diterbitkannya Surat Keputusan No. 3982
pada
tanggal 23 Agustus 2016 yang mengubah isi Diktum Ketiga Point 2 Surat Keputusan No.
4551 yaitu menjadi : Melengkapi sarana dan prasarana penanggulangan kebakaran hutan
dan lahan, paling lama 30 (tiga puluh) hari kalender. dengan menghilangkan kata-kata “di
Distrik Sungai Beyuku”. Namun tetap saja setelah diadakan perubahan, asas kecermatan
tidak terpenuhi karena tidak disebutkan secara konkret bahwa hutan dan lahan mana yang
harus dilengkapi sarana dan prasarana penanggulangan kebakaran hutan dan lahan?.
Jangka waktu akan terkait kedua SK yang dikeluarkan untuk PT Kaswari Unggul juga
dapat mempengaruhi jangka waktu gugatan kepada Pengadilan Tata Usaha Negara. Perihal
jangka waktu 30 (tiga puluh) hari kalender sebagaimana dimaksud dari SK No. 3982
dimaksud secara nyata mengandung kerancuan yaitu dimulai sejak kapan?
Terkait asas-asas umum pemerintahan yang baik berupa asas kesamaan dalam
mengambil keputusan dimana PT ATGA tidak diberikan sanksi administratif paksaan
pemerintah, padahal pada tanggal 22 Juli 2015, 14 Agustus 2015 dan 2 September 2015
terjadi kebakaran lahan pada perusahaan perkebunan PT ATGA.
Selanjutnya terkait dalil penggugat menyatakan bahwa tergugat melanggar asas
kewajaran dan keadilan dikarenakan berdasarkan sanksi paksaan pemerintah Diktum Ketiga
angka 1 berupa kewajiban mengembalikan lahan eks area kebakaran adalah melanggar asas
keadilan dan kewajaran dimana lahan perkebunan seluas kurang lebih 120 Ha (seratus dua
puluh hektar) eks area kebakaran yang diperintahkan dikembalikan kepada negara tersebut
adalah merupakan bagian dari Hak Guna Usaha (HGU) yang dimiliki secara sah oleh
Penggugat yang pemberian haknya yaitu berdasarkan Keputusan Menteri Agraria dan Tata
Ruang (Kepala Badan Pertanahan Nasional) Nomor: 58/HGU/KEM-ATR/BPN/2015,
Tanggal 11 Juni 2015.
Selain melanggar asas kewajaran dan keadilan, dapat menimbulkan adanya ketidakpastian
hukum dalam hak atas tanah yang diberikan oleh negara.
Lampiran I Peraturan Menteri Lingkungan Hidup Republik Indonesia Nomor 02
Tahun 2013 Tentang Pedoman Penerapan Sanksi Administratif di Bidang Perlindungan dan
Pengelolaan Lingkungan Hidup menyatakan pula bahwa pejabat yang menerapkan sanksi
administratif harus dipastikan memiliki kewenangan yang sah berdasarkan peraturan
perundang-undangan. Kewenangan tersebut dapat bersumber dari atribusi, delegasi, atau
mandat. Sumber kewenangan ini akan menentukan cara bagaimana pejabat administratif
menjalankan kewenangannya.13
Dalam perkara ini, Surat Keputusan dikeluarkan oleh pejabat yang memiliki
kewenangan yang sah untuk mengeluarkan sanksi administratif paksaan pemerintah yaitu
Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Republik Indonesia serta kewenangan tersebut
bersumber dari Undang-Undang sebagaimana ketentuan dalam Pasal 76 ayat (1) UUPPLH.14
Ketepatan penerapan sanksi administratif yang digunakan dalam penerapan sanksi
administratif meliputi ketepatan bentuk hukum, ketepatan substansi, kepastian tiadanya cacat
yuridis dalam penerapan sanksi; dan terdapat asas kelestarian dan keberlanjutan juga
13 Indonesia, Menteri Lingkungan Hidup, Peraturan Menteri Lingkungan Hidup tentang Pedoman
Penerapan Sanksi Administratif di Bidang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, Nomor PM 2
Tahun 2013, Lampiran I.
14Indonesia, Undang-Undang Pengelolaan Lingkungan Hidup, UU No. 32 Tahun 2009, LN No. 140
Tahun 2009, TLN No. 5059, Pasal 76 ayat (2).
merupakan prosedur penerapan sanksi administratif. 15 Mengenai ketepatan bentuk hukum
yaitu terkait instrumen yang digunakan untuk menerapakan sanksi administratif adalah
Keputusan Tata Usaha Negara sebagaimana SK yang dikeluarkan oleh tergugat.
Terhadap ketepatan substansi yaitu berkaitan dengan jenis dan peraturan yang
dilanggar, jenis sanksi yang diterapkan, perintah yang harus dilaksanakan, jangka waktu,
konsekuensi dalam hal sanksi administratif tersebut tidak dilaksanakan, dan hal-hal lain yang
relevan.16 Prosedur penerapan sanksi administratif kepada PT Kaswari Unggul belum
terpenuhi terkait jangka waktu.
Dalam asas kelestarian dan keberlanjutan adalah bahwa ssetiap orang memikul
kewajiban dan tanggung jawab terhadap generasi mendatang dan terhadap sesamanya dalam
satu generasi dengan melakukan upaya pelestarian daya dukung ekosistem dan memperbaiki
kualitas lingkungan hidup.17
Terkait tiga mekanisme yang ada dalam penerapan sanksi administratif yaitu
bertahap, bebas (tidak bertahap), dan kumulatif.18 Adapun mekanisme yang digunakan
Tergugat dalam menerapkan sanksi administratifnya adalah bebas atau tidak bertahap,
mengingat akibat yang ditimbulkan dari kebakaran hutan dan lahan oleh perbuatan PT.
Kaswari Unggul dikualifikasikan sebagai perbuatan yang serius sehingga penerapan sanksi
paksaan pemerintah tidak didahului dengan sanksi teguran tertulis sebagaimana mekanisme
bertahap dilaksanakan.
Selanjutnya PerMenLH juga mengatur mengenai penerapan sanksi administratif
ditetapkan dengan menggunakan KTUN yang memuat paling sedikit memuat:19
- nama jabatan dan alamat pejabat administrasi yang berwenang;
- nama dan alamat penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan;
- nama dan alamat perusahaan;
- jenis pelanggaran;
15 Indonesia, Menteri Lingkungan Hidup, Peraturan Menteri Lingkungan Hidup tentang Pedoman
Penerapan Sanksi Administratif di Bidang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, Nomor PM 2
Tahun 2013, Lampiran I.
16 Indonesia, Menteri Lingkungan Hidup, Peraturan Menteri Lingkungan Hidup tentang Pedoman
Penerapan Sanksi Administratif di Bidang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, Nomor PM 2
Tahun 2013, Lampiran I.
17 Indonesia, Menteri Lingkungan Hidup, Peraturan Menteri Lingkungan Hidup tentang Pedoman
Penerapan Sanksi Administratif di Bidang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, Nomor PM 2
Tahun 2013, Lampiran I.
18 Indonesia, Menteri Lingkungan Hidup, Peraturan Menteri Lingkungan Hidup tentang Pedoman
Penerapan Sanksi Administratif di Bidang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, Nomor PM 2
Tahun 2013, Lampiran I.
19 Indonesia, Menteri Lingkungan Hidup, Peraturan Menteri Lingkungan Hidup tentang Pedoman
Penerapan Sanksi Administratif di Bidang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, Nomor PM 2
Tahun 2013, Lampiran I.
- ketentuan yang dilanggar baik ketentuan yang diatur dalam peraturan
perundang-undangan maupun persyaratan dan kewajiban yang dimuat dalam
izin lingkungan;
- ruang lingkup pelanggaran;
- uraian kewajiban atau perintah yang harus dilakukan penanggung jawab usaha
dan/atau kegiatan;
- jangka waktu penaatan kewajiban penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan;
- ancaman sanksi yang lebih berat apabila tidak melaksanakan perintah dalam
sanksi teguran tertulis.
Selain itu pemberi sanksi antara lain wajib:20
- Menyampaikan keputusan sanksi dengan patut (waktu, cara, dan tempat) dan
segera kepada pihak-pihak yang terkena sanksi;
Dalam poin ini, tergugat telah memenuhi kewajiban untuk menyampaikan
keputusan sebagaimana yang dijelaskan sebelumya.
- Memberikan penjelasan kepada para pihak bilamana diperlukan;
- Melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan penerapan sanksi;
- Membuat laporan hasil penerapan sanksi.
Terakhir dilakukanlah pengadministrasian keputusan sanksi administratif.21
Mengenai prosedur penerapan sanksi administratif paksaan pemerintah yang
dijatuhkan oleh Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan kepada PT Kaswari Unggul
belum dilakukan dengan tepat sesuai peraturan perundang-undangan walaupun telah
dilakukan perubahan terhadap Surat Keputusan Menteri Lingkungan Hidup Dan Kehutanan
Republik Indonesia Nomor SK. 4551/Menlhk-PHLHK/PPSA/2015 Tanggal 19 Oktober 2015
Tentang Penerapan Sanksi Administratif Paksaan Pemerintah Kepada PT Kaswari Unggul
yaitu Surat Keputusan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Republik Indonesia Nomor
SK. 3982/Menlhk-PHLHK/PPSA/GKM.0/8/2016 tanggal 23 Agustus 2016 Tentang
Perubahan Keputusan Menteri Lingkungan Hidup Dan Kehutanan Republik Indonesia
Nomor SK. 4551/Menlhk-PHLHK/PPSA/2015 Tentang Penerapan Sanksi Administratif
Paksaan Pemerintah Kepada PT Kaswari Unggul.
20 Indonesia, Menteri Lingkungan Hidup, Peraturan Menteri Lingkungan Hidup tentang Pedoman
Penerapan Sanksi Administratif di Bidang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, Nomor PM 2
Tahun 2013, Lampiran I.
21 Indonesia, Menteri Lingkungan Hidup, Peraturan Menteri Lingkungan Hidup tentang Pedoman
Penerapan Sanksi Administratif di Bidang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, Nomor PM 2
Tahun 2013, Lampiran I.
1E. Penerapan paksaan pemerintah dalam kasus ini ditinjau dari definisi teoretis atas
bestuursdwang
22 “Sanctions and Procedures Applicable for Breaches of the Legislation on Industrial Emissions on
the Netherlands”, Eastern and Central European Journal on Environmental Law. hlm. 59.
23 Ibid.
24 Pasal 5:21 Awb
25 Andri Guna Wibisana, “Tentang ekor yang Tak Lagi Beracun: Kritik Konseptual atas Sanksi
Administratif dalam Hukum Lingkungan di Indonesia”. hlm. 13.
26 Ibid., hlm. 15.
1. Mengembalikan lahan eks area kebakaran dalam areal kerja PT Kaswari Unggul kepada
Negara sesuai peraturan perundang- undangan, dalam jangka waktu paling lama 60 (enam
puluh) hari kalender;
2. Melengkapi sarana dan prasarana penanggulangan kebakaran hutan dan lahan di Distrik
Sungai Beyuku, paling lama 30 (tiga puluh) hari kalender;
3. Melengkapi TPS Limbah B3 sesuai persyaratan teknis, paling lama 30 (tiga puluh) hari
kalender;
4. Memiliki izin Penyimpanan Sementara Limbah Bahan Berbahaya dan Beracun, paling
lama 60 (enam puluh) hari kalender;
5. Melakukan permintaan maaf kepada publik melalui media masa nasional, paling lama 14
(empat belas) hari kalender;
Sesuai pemaparan di atas, sanksi-sanksi paksaan pemerintah yang dimuat di dalam SK
tersebut tidak disebutkan berapa besarnya biaya yang harus dikembalikan ke Pemerintah jika
pelanggar yang dalam kasus ini adalah PT.Kaswari tidak mampu untuk melaksanakan
perbaikan. Sedangkan dalam teori yang telah disebutkan diatas, bahwa perbaikan akan
dilakukan oleh Pemerintah jika PT.kaswari tidak memiliki kemampuan untuk menjalankan
perintah perbaikan. Jika besarnya biaya tidak disebutkan, maka hal tersebut akan mempersulit
pemerintah untuk mengetahui berapa yang harus dibayar pelanggar ke pemerintah jika
pelanggar tidak mampu. Hal tersebut dikarenakan adanya pengertian secara teoritis jika
pelanggar tidak mampu untuk melakukan perbaikan maka pemerintah lah yang akan
melakukan perbaikan dengan uang dari pelanggar.
Dari penjelasan di atas maka menurut kelompok kami penerapan Paksaan Pemerintah
yang ditinjau dari definisi teoritis atas bestuursdwangdalam kasus PT Kaswari tidak
komprehensif khususnya yang memuat besarnya biaya yang harus dikembalikan oleh
penerima sanksi jika perbaikan atau pemulihan dilakukan oleh pemerintah. Hal ini
dikarenakan jika perbaikan dilakukan oleh pemerintah karena pelanggar tidak menyanggupi
perbaikan maka Pelanggar harus membayar biaya perbaikan ke pemerintah. Biaya tersebut
harus di sebutkan dalam sanksi paksaan pemerintah.
Dari penjelasan diatas maka penulis menyimpulkan bahwa sanksi paksaan pemerintah
tidak dapat digunakan untuk memerintahkan orang/badan hukum untuk mengembalikan
lahan yang rusak kepada negara. Hal ini dikarenakan (1) pengembalian lahan kepada
31 Pengadilan Tata Usaha Negara, Putusan Nomor 104/G/LH/2017/PTUN-JKT, hlm. 36.
32 Indonesia, Undang-Undang Pengelolaan Lingkungan Hidup, UU No.23 Tahun 1997, LN No.68
Tahun 1997, TLN No. 3699, Ps. 80.
33 Andri Guna Wibisana, “Tentang ekor yang Tak Lagi Beracun: Kritik Konseptual atas Sanksi
Administratif dalam Hukum Lingkungan di Indonesia” (Makalah disampaikan pada seminar nasional, tanggal 3
Oktober 2019) hlm. 12.
34 Ibid., hlm. 15.
negara itu bukan sebuah tindakan untuk memulihkan lahan sehingga tidak termasuk
dalam cakupan Pasal 80 huruf g UU PPLH dan (2) sanksi paksaan pemerintah tidak perlu
jaminan pemulihan lahan karena seperti yang dijelaskan sebelumnya, ada tidaknya jaminan
bukanlah persoalan karena apabila perbaikan tidak dilakukan maka pemerintah yang akan
melakukan sendiri perbaikan tersebut.
35 Ridwan HR, Hukum Administrasi Negara, cet 9, (Jakarta : Rajawali Pers, 2013), hlm. 304-305.
36 Indonesia, Undang-Undang Perlidungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, UU. No. 32 Tahun
2009, Ps. 80 ayat (1).
peraturan perundang-undangan, kepatutan, keajegan, dan keadilan dalam setiap kebijakan
penyelenggaraan pemerintahan.37
Menurut kami, sanksi administratif paksaan pemerintah berupa permintaan maaf tidak
dapat dibenarkan. perusahaan tidak dapat dikenakan pertanggungjawaban moral dalam
rangka pertanggungjawaban hukum. Hal tersebut tidak diatur dalam ketentuan Pasal 80 ayat
(1) UU PPLH, itu menandakan juga bahwa SK yang dikeluarkan oleh Menteri Lingkungan
Hidup melanggar Asas-Asas Umum Pemerintahan yang Baik yang tercantum dalam UU
tentang Administrasi Pemerintahan. Penjatuhan sanksi tersebut tidak didasarkan pada
ketentuan hukum tertulis. Itu artinya, terlepas telah terbuktinya kesalahan yang dilakukan,
diktum sanksi tersebut melanggar asas legalitas.
37 Indonesia, Undang-Undang Administrasi Pemerintahan, UU. No. 30 Tahun 2014, Penjelasan Ps.
10 ayat (1) huruf a.
38 Andri Guna Wibisana, “Tentang ekor yang Tak Lagi Beracun: Kritik Konseptual atas Sanksi
Administratif dalam Hukum Lingkungan di Indonesia”. hlm 11
Tindakan Preventif pemaksaan kepatuhan ini agar para pemegang izin usaha tetap patuh
mengikuti Peraturan perundang-undangan dan izin lingkungannya. Dimana jika dalam proses
pengawasan ditemukan ketidakpatuhan, diambil langkah penegakan melalui penjatuhan
sanksi.
Jadi menurut kelompok kami, sanksi administratif tidak dapat membebankan sanksi
yang tidak dapat memulihkan maupun mecegah terjadi kerusakan/pencemaran lingkungan
hidup. Sanksi administratif harus dapat membebankan sanksi yang dapat memulihkan
maupun mencegah terjadinya kerusakan/pencemaran lingkungan hidup. Penegakan hukum
administrasi merupakan penegakan hukum yang memiliki sifat Prefentif – repartoir
condemnatoir, yang mana hal ini dapat ditinjau dari tujuan penerapan sanksi administratif
alam perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup yaitu : 39
1. melindungi lingkungan hidup dari pencemaran dan/atau perusakan akibat dari suatu
usaha dan/atau kegiatan;
2. menanggulangi pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup;
3. memulihkan kualitas lingkungan hidup akibat pencemaran dan/atau perusakan
lingkungan hidup dan (contoh uang paksa);
4. memberi efek jera kepada penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan yang melanggar
peraturan perundang-undangan di bidang perlindungan dan pengelolaan lingkungan
hidup dan ketentuan dalam Izin Lingkungan.
Terkait dengan sanksi permintaan maaf, menurut kelompok kami merupakan sanksi
administratif yang tidak dapat memulihkan maupun mencegah terjadinya
kerusakan/pencemaran lingkungan hidup, karena walaupun pemerintah menyatakan bahwa
sanksi permintaan maaf adalah sanksi administratif paksaan pemerintah yang mana diatur
dalam pasal 80 UU Nomor 32 tahun 2009 Tentang Perlindungan dan Pengelolaan
Lingkungan Hidup. Dalam uraiannya tergugat dalam hal ini Menteri Lingkungan Hidup
menambahkan dalam hal perbuatan yang menimbulkan pelanggaran terhadap Pasal 28H
UUD 1945 dan Pasal 65 Undang Undang Nomor 32 Tahun 2009 tersebut harus dapat
dimintakan pertanggungjawaban hukum dan pertanggungjawaban lainnya. Salah satu wujud
40 “Sanctions and Procedures Applicable for Breaches of the Legislation on Industrial Emissions on
the Netherlands”, Eastern and Central European Journal on Environmental Law, hlm. 54.
41 Ibid, hlm. 59.
Penegakkan hukum administratif terhadap suatu pelanggaran izin lingkungan
seharusnya ditegakkan terlebih dahulu oleh pemerintah daerah yang berwenang di daerah
terjadinya pelanggaran tersebut.42 Meskipun demikian, berdasarkan Pasal 73 dan Pasal 77,
UU PPLH menganut prinsip second-line inspection dan second-line enforcement. Prinsip
tersebut memberikan kewenangan kepada pemerintah pusat untuk melakukan pengawasan
dan penegakkan terhadap pelanggaran hukum administratif, dalam kondisi pemerintah daerah
tidak melakukan pengawasan atau penegakkan hukum administratif terhadap pelanggaran
izin lingkungan yang serius.43 Prinsip ini dianut agar tidak terjadi pelanggaran yang
berkepanjangan tanpa dilakukan penindakan, kelalaian dalam melakukan penindakan
pelanggaran dapat mengakibatkan hilangnya keinginan pelaku usaha untuk melakukan
penaatan terhadap mekanisme perlindungan lingkungan.44
Sebagaimana kegiatan usaha PT KU terletak di Sumatera Selatan, seharusnya
Pemerintah Daerah Sumatera Selatan menjadi aktor pertama yang memberikan penindakan
atas pelanggaran PT KU. Dalam kasus ini, penegakan hukum terhadap pelanggaran izin
lingkungan oleh PT KU dilakukan oleh Kementerian LKH sebagai pemerintah pusat. Tidak
ada indikasi secara tegas baik dari pihak PT KU maupun Kementerian LKH mengenai alasan
mengapa penindakan dilakukan oleh Kementerian LKH. Meskipun demikian, ada beberapa
justifikasi yang dapat ditemukan di dalam kasus tentang alasan Kementerian LKH yang
menerapkan sanksi terhadap PT KU. Sebagaimana ketentuan Pasal 77 UU PPLH,
penegakkan hukum oleh pemerintah pusat dapat dilakukan apabila tidak terjadi penindakan
oleh pemerintah daerah terhadap pelanggaran izin lingkungan yang serius. Lebih jauh lagi
Pasal 59 ayat (7) UU PPLH, ketentuan pengelolaan limbah B3 diatur lebih lanjut oleh
peraturan pemerintah. Pengaturan lebih lanjut tersebut tertuang dalam Peraturan Pemerintah
Nomor 101 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Limbah Bahan Berbahya dan Beracun (“PP
101/2014”), menentukan apabila di setiap tahapan pengelolaan tersebut tidak disertai izin,
maka dapat dikenakan sanksi administrasi oleh pemerintah pusat.45
Berdasarkan Surat Jawaban Kementerian LKH halaman 40, poin d.1, pelanggaran PT
KU diklasifikasikan sebagai suatu pelanggaran yang serius. Lebih jauh lagi berdasarkan BAP
Penaatan Lingkungan Hidup Tanggal 5 Oktober 2015, PT KU telah melanggar ketentuan
BAB III
KESIMPULAN
Pada kasus kebakaran hutan yang menimpa PT Kaswari Unggul menimbulkan adanya
pelanggaran yang oleh Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan dikatakan sebagai
pelanggaran oleh PT Kaswari Unggul dengan dikeluarkannya Surat Keputusan No. 4551
yang menyebabkan adanya suatu sanksi administrasi berupa paksaan pemerintah yang perlu
untuk dipenuhi oleh PT Kaswari Unggul.
Merasa sebagai korban kebakaran hutan dan lahan yang mana bukan berasal dari
perilaku yang dilakukannya, PT Kaswari Unggul menjatuhkan gugatan di Pengadilan Tata
Usaha Negara Jakarta yang kemudian diputuskan oleh Majelis Hakim melalui Putusan
Nomor 104/G/LH/2017/PTUN-JKT, bahwa gugatan yang bersangkutan adalah NO, tidak
dapat diterima karena adanya cacat formil waktu pengajuan gugatan. Kemudian, banding
diajukan di Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara melalui Putusan Nomor
374/B/LH/2017/PT.TUN.JKT, yang menguatkan kembali putusan tingkat pertama,
Begitupula, ditingkat kasasi melalui Putusan Nomor 417/K/TUN/LH/2018.
Hasil analisis kami berdasarkan fakta-fakta hukum dikaitkan dengan kajian teori,
bahwa kami bersepakat tindakan yang dilakukan oleh PT Kaswari Unggul dalam hal ini
bukan merupakan unsur kesalahan yang dilakukannya. Peran pemerintah dalam hal ini
sebagai pihak yang mempunyai tugas dalam perlindungan lingkungan hidup, harus bisa lebih
tegas lagi dalam hal penindakan dan waspada dalam hal pengawasan. Sehingga, dapat
meminimalisir terjadinya kerusakan lingkungan hidup atau bahkan menghilangkan karena
adanya suatu sistem tatanan yang jelas dan tepat sasaran dalam pelaksanaannya.
DAFTAR PUSTAKA
Buku
R, Ridwan H. Hukum Administrasi Negara Edisi Revisi. Cet. 9. Jakarta: Rajawali Pers, 2018.
Bram, Deni. Hukum Lingkungan Hidup. Jakarta: Gramata Publishing, 2014.
Soedjono. Pengaturan Hukum Terhadap Pencemaran Lingkungan Akibat Industri. Bandung,
1979.
Hadjon, Philipus. Pengantar Hukum Administrasi Indonesia. Yogyakarta: Gadjah Mada
University Press, 1993.
Amiq, Bachrul. Penerapan sanksi administrasi dalam hukum lingkungan. Yogyakarta:
Laksbang Mediatama, 2013.
Harry Agung Ariefianto, Penerapan Sanksi
Machmud, Syahrul. Penegakan Sanksi Lingkungan Indonesia,.Yogyakarta: Graha Ilmu,
2012.
Rahmadi, Takdir. Hukum Lingkungan di Indonesia, Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2016
Peraturan Perundang-Undangan
Indonesia. Undang-Undang Pengelolaan Lingkungan Hidup, UU No. 32 Tahun 2009, LN
No. 140 Tahun 2009, TLN No. 5059.
Indonesia. Undang-Undang Administrasi Pemerintahan, UU No. 30 Tahun 2014, LN No.
292 Tahun 2014, TLN No. 5601.
Indonesia. Peraturan Menteri Lingkungan Hidup Republik Indonesia tentang Pedoman
Penerapan Sanksi Administratif Di Bidang Perlindungan Dan Pengelolaan
Lingkungan Hidup , Nomor PM 02 Tahun 2013.
Indonesia, Undang-Undang Pengelolaan Lingkungan Hidup, UU No.23 Tahun 1997, LN
No.68 Tahun 1997, TLN No. 3699, Ps. 80.
Pengadilan tata Usaha Negara, Putusan Nomor 104/G/LH/2017/PTUN-JKT, hlm. 36
Jurnal
Wibisana, Andri Gunawan. Tentang Ekor yang Tak Lagi Beracun: Kritik
Konseptual atas Sanksi Administratif dalam Hukum Lingkungan di Indonesia.
2019.
Anonymous. “sanction and Procedures Applicable to Breaches of the Legislation on
Industrial Emissions in the Netherlands,” Eastern and Central European Journal on
Environmental Law, Vol. 16:1 (2012)
Setiadi, Wicipto. “Sanksi Administratif Sebagai Salah Satu Instrumen Penegakan Hukum
dalam Peraturan Perundang-Undangan,” Jurnal Legislasi Indonesia.
Nopyandri. “Pengaturan Wewenang Pemerintah Daerah dalam Penerapan Sanksi
Administrasi Lingkungan”. Jurnal Ilmu Hukum, 2015.
Panambunan, Amelia. “Penerapan Sanksi Administratif dalam Penegakan Hukum
Lingkungan di Indonesia”. Lex Administratum 4 (2016).
Ariefianto, Harry Agung. “Penerapan Sanksi Administrasi Pencemaran Lingkungan Hidup
Akibat Kegiatan Industri”. Unnes Law Journal Vol. 4 No. 1, 2015.
Nopyandri. “Pengaturan Wewenang Pemerintah Daerah dalam Penerapan Sanksi
Administrasi Lingkungan”. Jurnal Ilmu Hukum, 2015.
Internet
Pratiwi, Cekli Setya, et.al, “Penjelasan Hukum Asas-Asas Umum Pemerintahan yang Baik
Hukum Administrasi Negara”. http://www.leip.or.id/wp-
content/uploads/2016/05/Penjelasan-Hukum-Asas-Asas-Umum-Pemerintahan-yang-
Baik-Hukum-Administrasi-Negara.pdf. Diunduh pada 8 November 2019 pukum
12.37.