Anda di halaman 1dari 15

Akibat Hukum Perkawinan Campuran Terhadap

Kewarganegaraan Seseorang

Oleh:
Mahmud Kusuma, S.H., M.H.

Melanjutkan bahasan kita terdahulu, yaitu tentang Hukum Kawin Beda Kewarganegaraan atau dalam
bahasa Undang-undang dikenal sebagai Perkawinan Campuran, pada kesempatan ini akan dibahas
mengenai akibat hukum dari Perkawinan Campuran dimaksud.

Dasar Hukum

Mengenai perkawinan, di negara kita Indonesia diatur dalam undang-undang Nomor: 1 Tahun 1974
Tentang Perkawinan. Aturan hukum yang mengatur ikatan hukum antara suami-istri beserta segala
akibatnya ini, juga mengatur di dalamnya tentang Perkawinan campuran beserta akibat hukum
daripadanya.

Yang dimaksud dengan akibat hukum dari Perkawinan Campuran dalam Undang-undang ini adalah
merujuk pada Pasal 58 Undang-undang Nomor: 1 Tahun 1974 yang berbunyi sebagai berikut:
"Bagi orang-orang yang berlainan kewarganegaraan yang melakukan perkawinan campuran, dapat
memperoleh kewarganegaraan dari suami/isterinya dan dapat pula kehilangan kewarganegaraannya,
menurut cara-cara yang telah ditentukan dalam Undang-undang Kewarganegaraan Republik
Indonesia yang berlaku."
Dari bunyi pasal di atas, jelas dikatakan bahwa akibat hukum atas perkawinan beda
kewarganegaraan di Indonesia, salah satunya, adalah soal kewarganegaraan. Dengan kata lain,
seseorang dapat memperoleh kewarganegaraan Indonesia atau kehilangan kewarganegaraan
Indonesia akibat perkawinan yang dilakukannya.

Lebih lanjut, pada Undang-undang Nomor: 12 Tahun 2006 Tentang Kewarganegaraan Republik
Indonesia, khususnya Pasal 19 berbunyi sebagai berikut:
"(1). Warga negara asing yang kawin secara sah dengan Warga Negara Indonesia dapat
memperoleh Kewarganegaraan Republik Indonesia dengan menyampaikan pernyataan menjadi
warga negara di hadapan Pejabat.
(2). Pernyataan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan apabila yang bersangkutan sudah
bertempat tinggal di wilayah negara Republik Indonesia paling singkat 5 (lima) tahun berturut-turut
atau paling singkat 10 (sepuluh) tahun tidak berturut-turut, kecuali dengan perolehan
kewarganegaraan tersebut mengakibatkan berkewarganegaraan ganda.
(3). Dalam hal yang bersangkutan tidak memperoleh Kewarganegaraan Republik Indonesia yang
diakibatkan oleh kewarganegaraan ganda sebagaimana dimaksud pada ayat (2), yang bersangkutan
dapat diberi izin tinggal tetap sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
(4). Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara menyampaikan pernyataan untuk menjadi Warga
Negara Indonesia sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dengan Peraturan
Menteri."
Dari bunyi Pasal 19 di atas, jelas diatur bahwa seorang warga negara asing, dapat memperoleh
kewarganegaraan Indonesia berdasarkan perkawinan yang sah. Hal ini berarti, yang dimaksud
dengan perkawinan sah adalah perkawinan yang resmi dan memenuhi syarat-syarat hukum
perkawinan di Indonesia. Sedangkan syarat selanjutnya adalah dengan menindaklanjutinya berupa
melakukan pelaporan dihadapan Pejabat yang ditunjuk untuk itu.

Memperoleh Kewarganegaraan atau Kehilangan Kewarganegaraan

Sebagaimana diuraikan terdahulu, bahwa akibat dari perkawinan campuran dengan mempelai
berkewarganegaraan Indonesia adalah dapat memperoleh kewarganegaraan atau dapat kehilangan
kewarganegaraan. Hal dimaksud adalah diatur dalam Pasal 58 Undang-undang Nomor: 1 Tahun
1974 Tentang Perkawinan. 
Selain itu, diatur juga dalam Pasal 19 ayat (2) dan (3) Undang-undang Nomor: 12 Tahun 2006
Tentang Kewarganegaraan Republik Indonesia, bahwa dalam hal tidak memperoleh
Kewarganegaraan yang diakibatkan oleh kewarganegaraan ganda.

Kesimpulannya hanya ada dua, pertama seseorang yang kawin dengan pasangan
berkewarganegaraan Indonesia dapat memperoleh kewarganegaraan Indonesia, kedua seseorang
yang kawin dengan pasangan berkewarganegaraan Indonesia dapat kehilangan kewarganegaraan
negara asalnya dengan memilih berkewarganegaraan Indonesia dan/atau dalam hal mengakibatkan
kewarganegaraan ganda menurut hukum Indonesia.
____________
Referensi:
1. Undang-undang Nomor: 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan.
2. Undang-undang Nomor: 12 Tahun 2006 Tentang Kewarganegaraan Republik Indonesia.

Ulasan Lengkap
 

Dampak Perkawinan Campuran Terhadap Kewarganegaraan

Perkawinan campuran adalah perkawinan antara dua orang yang di Indonesia tunduk pada hukum
yang berlainan, karena perbedaan kewarganegaraan dan salah satu pihak berkewarganegaraan
Indonesia.

Dalam hal terjadi perkawinan campuran antara Warga Negara Indonesia (“WNI”) dengan Warga
Negara Asing (“WNA”), orang-orang yang berlainan kewarganegaraan yang melakukan perkawinan
campuran dapat memperoleh kewarganegaraan dari suami/isterinya dan dapat pula kehilangan
kewarganegaraannya, menurut cara-cara yang telah ditentukan dalam undang-undang
kewarganegaraan yang berlaku.

Permohonan untuk memperoleh kewarganegaraan Indonesia dikenal dengan


istilah pewarganegaraan, yaitu tata cara bagi orang asing untuk memperoleh kewarganegaraan
Republik Indonesia (“RI”) melalui permohonan.

Menurut Pasal 57 Undang-undang Nomor 1 tahun 1974 menjelaskan bahwa yang


dimaksud dengan Perkawinan Campuran dalam undang-undang ini ialah
perkawinan antara dua orang di Indonesia yang tunduk pada hukum yang berlainan,
karena perbedaan kewarganegaraan. Salah satu pihak berkewarganegaraan Asing
dan salah satu pihak berkewarganegaraan Indonesia. Perkawinan Campuran
Perkawinan campuran yang dilangsungkan di Indonesia dasar hukumnya adalah
Undang-undang Noomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (pasal 59 ayat 1).  Di
dalam pasal 60 UU menyebutkan bahwa Perkawinan campuran tidak dapat
dilaksanakan sebelum terbukti bahwa syarat-syarat perkawinan yang ditentukan
oleh pihak masing-masing telah dipenuhi. Untuk membuktikan bahwa syarat-syarat
tersebut telah dipenuhi dan karena itu tidak ada rintangan untuk melangsungkan
perkawinan campuran, maka oleh mereka yang menurut hukum yang berlaku bagi
pihak masing-masing berwenang mencatat perkawinan, diberikan surat keterangan
bahwa syarat-syarat telah dipenuhi. Jika pejabat yang bersangkutan menolak untuk
memberikan surat keterangan, maka atas permintaan yang berkepentingan,
Pengadilan memberikan keputusan dengan tidak beracara serta tidak boleh
dimintakan banding lagi tentang soal apakah penolakan pemberian surat keterangan
itu beralasan atau tidak. Jika Pengadilan memutuskan bahwa penolakan tidak
beralasan, maka keputusan itu menjadi pengganti keterangan tersebut. Surat
keterangan atau keputusan pengganti keterangan tidak mempunyai kekuatan lagi
jika perkawinan itu tidak dilangsungkan dalam masa 6 (enam) bulan sesudah
keterangan itu diberikan. Praktik di Luar Indonesia Perkawinan yang dilangsungkan
di luar Indonesia antara seorang WNI dengan seorang WNA adalah sah bilamana
dilangsungkan menurut hukum yang berlaku di negara di mana perkawinan itu
dilangsungkan. Dan bagi WNI tidak melanggar ketentuan Pasal 56  Undang-Undang
No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Perkawinan campuran dapat  dilakukan di luar
Indonesia, tentunya harus mengikuti aturan mengenai perkawinan yang berlaku di
negara tersebut dan selanjutnya dicatatkan pada institusi Catatan Sipil setempat.
Selama para pihak telah melaksanakan pencatatan perkawinan di luar negeri sesuai
hukum yang berlaku di negara di mana perkawinan tersebut dilangsungkan, maka
perkawinan adalah sah dengan segala akibat hukumnya. Namun, untuk sahnya
perkawinan yang dilangsungkan di luar negeri tersebut menurut hukum Indonesia
harus dilakukan pencatatan dan pelaporan pada Dinas Kependudukan dan Catatan
Sipil di Indonesia dalam kurun waktu 1 (satu) tahun. Apabila lewat dari waktu yang
ditetapkan maka harus melalui Pengadilan Negeri sesuai dengan domisili yang
bersangkutan dan akan dikenai sanksi denda sesuai dengan Peraturan Daerah
setempat juncto pasal 107 Peraturan Presiden No. 25 Tahun 2008 tentang
Persyaratan dan Tata Cara Pendaftaran Penduduk dan Pencatatan Sipil  yang
berbunyi: Baca Juga  Melihat Bumi Pra, Pas, dan Pasca Pandemi (1) Denda
administratif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 104 ayat (2), Pasal 105 ayat (2)
dan Pasal 106 diatur dalam Peraturan Daerah. (2) Penetapan besaran denda
administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dengan memperhatikan
Ketentuan Undang-Undang dan kondisi masyarakat di daerah masing-masing. (3)
Denda administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan penerimaan
daerah Kabupaten/Kota, dan bagi Daerah Khusus Ibukota Jakarta merupakan
penerimaan daerah Provinsi. Akibat Hukum Dampak atau akibat hukum dari
perkawinan campuran tersebut ialah mengenai kewarganegaraan yang
bersangkutan (istri/wanita WNI) dan juga status kewarganegaraan sang anak. Dari
sisi hukum, status kewarganegaraan seseorang menentukan hak dan
kewenangannya selaku warga negara. Orang yang memiliki status kewarganegaraan
akan berbeda dengan orang yang tidak berstatus sebagai warga negara di negara
tersebut, begitu juga sebaliknya, kewenangan dan hak orang asing juga terbatas.
Kewarganegaraan seseorang mengakibatkan orang tersebut memiliki pertalian
hukum serta tunduk pada hukum negara yang bersangkutan. Kewarganegaraan
menghasilkan akibat hukum yaitu adanya hak dan kewajiban warga negara maupun
negara. Hak dan kewajiban warga negara merupakan “isi” atau “aspek material” dari
konsep kewarganegaraan itu sendiri. Hak dan kewajiban warganegara pada
umumnya dimuatkan dalam konstitusi negara yang bersangkutan. Penentuan
kewarganegaraan berdasarkan aspek perkawinan mencakup asas kesatuan hukum
dan asas persamaan derajat, yakni: Asas Ius Soli, artinya pedoman yang berdasarkan
daerah atau tempat. Asas ini menyatakan bahwa kewarganegaraan seseorang
ditentukan dari tempat dimana orang tersebut dilahirkan. Disebut juga asas daerah
kelahiran. Asas Ius Sangunis, pedoman yang berdasarkan darah atau keturunan.
Asas ini menyatakan bahwa kewarganegaraan seseorang ditentukan berdasarkan
keturunan orang tersebut. Penentuan Status Kewarganegaraan Suatu perkawinan
dapat menyebabkan perubahan status kewarganegaraan. Permasalahan akan
muncul jika terjadi perkawinan campuran, yakni perkawinan antara warga negara
Indonesia dengan warga negara Asing. Penentuan kewarganegaraan berdasarkan
aspek perkawinan mencakup asas kesatuan hukum dan asas persamaan derajat.
Asas persamaan hukum didasarkan pandangan bahwa suami istri adalah suatu
ikatan yang tidak terpecah sebagai inti dari masyarakat. Berdasarkan asas ini
diusahakan status kewarganegaraan suami dan istri adalah sama atau satu.
Sedangkan asas persamaan derajat didasarkan pandangan bahwa suatu perkawinan
tidak menyebabkan perubahan status kewarganegaraan istri maupun suami.
Keduanya memiliki hak yang sama untuk menentukan sendiri kewarganegaraan.
Jadi, mereka dapat berbeda kewarganegaraan seperti halnya sebelum berkeluarga.
Sisi positif dari asas ini yaitu dapat menghindari terjadinya penyelundupan hukum
dan penyalahgunaan status kewarganegaran yang dimungkinkan terjadi jika
digunakan asas kesatuan hukum. Baca Juga  Corona dan Kemenangan Kita yang
(Harus) Tertunda Penentuan kewarganegaraan yang berbeda-beda oleh setiap
negara dapat menciptakan problem kewarganegaraan bagi seorang warga. Secara
ringkas problem kewarganegaraan adalah munculnya apatride dan bipatride.
Apatride adalah istilah untuk orang-orang yang tidak memiliki kewarganegaraag,
istilah lainnya stateless. Bipatride adalah istilah untuk orang-orang yang memiliki
kewarganegaraan rangkap (dua). Bahkan dapat muncul multiprade yaitu istilah
untuk orang-orang yang memiliki kewarganegaraan banyak (lebih dari dua).
Undang-undang di Indonesia Di Indonesia ada undang-undang yang mengatur
tentang pasangan dari warga negara asing perkawinan campuran tersebut.
Berdasarkan Pasal 26 ayat (1) Undang-Undang No.12 Tahun 2006 tentang
Kewarganegaraan menyatakan: “Perempuan Warga Negara Indonesia yang kawin
dengan laki-laki warga negara asing kehilangan Kewarganegaraan Indonesia jika
menurut hukum negara asal suaminya, kewarganegaraan istri mengikuti
Kewarganegaraan suami sebagai akibat perkawinan tersebut”. Namun beberapa
perempuan WNI masih ingin memegang Kewarganegaraan Indonesianya, hal
tersebut diatur dalam Pasal 26 (3) UU Kewarganegaraan. Sehingga perempuan WNI
yang ingin mempertahankan Kewarganegaraannya dapat mengajukan Surat
Pernyataan keinginan tetap berkewarganegaraan Indonesia kepada Pejabat atau
Perwakilan Republik Indonesia yang berwenang di tempat tinggal pihak suami WNA.
Surat pernyataan tersebut diajukan perempuan WNI setelah tiga tahun sejak tanggal
perkawinan berlangsung (pasal 26 ayat (4) UU Kewarganegaraan). Perlu
diperhatikan bahwa pengajuan  tersebut tidak boleh mengakibatkan WNI menjadi
berkewarganegaraan ganda (bipatride). WNI tersebut harus melepaskan status
kewarganegaraan yang didapatkan dari perkawinan campuran tersebut, barulah
kemudian WNI dapat mengajukan Surat Pernyataan keinginan tetap
berkewarganegaraan Indonesia. Kewarganegaraan Ganda Anak yang lahir dari
pasangan berbeda warga negara, salah satunya, WNI, bisa memiliki
kewarganegaraan ganda hingga berusia 18 tahun. Paling lambat tiga tahun setelah
mencapai usia 18 tahun atau sudah kawin, si anak harus menyatakan memilih
kewarganegaraannya. Jika memilih menjadi WNI, si anak harus mengajukan
pernyataan memilih yang formulirnya tersedia di kantor-kantor imigrasi. Baca Juga 
Sejuta Cerita Pemilu Serentak 2019 Ada dua kategori anak yang harus memilih
status kewarganegaraan. Batasannya adalah pengesahan UU No 12 Tahun 2006
tentang Kewarganegaraan. (1) anak yang lahir sebelum 1 Agustus 2006, adalah
mereka yang sudah mengantongi Surat Keputusan Menhukham tentang
kewarganegaraan. (2) anak yang lahir sesudah 1 Agustus 2006, yang memiliki
affidavit. Dalam konteks ini, affidavit adalah surat keimigrasian yang dilekatkan atau
disatukan pada paspor asing yang memuat keterangan sebagai anak
berkewarganegaraan ganda. Pemegang affidavit mendapatkan fasilitas keimigrasian
saat keluar masuk Indonesia. Jika anak berkewarganegaraan ganda memilih menjadi
Warga Negara Asing (WNA), maka pernyataan itu harus disampaikan kepada pejabat
atau perwakilan Indonesia  yang wilayah kerjanya meliputi tempat tinggal si anak.
Jika selama ini anak tersebut sudah memegang paspor Indonesia, maka paspor itu
harus dicabut. Demikian pula jika anak tersebut memiliki affidavit, maka surat itu
harus dicabut pejabat yang menerima pernyataan memilih menjadi WNA. Setelah
Umur 18 Tahun Harus Memilih Pemberian kewarganegaraan ganda ini merupakan
terobosan baru yang positif bagi anak-anak hasil perkawinan campuran dan ini
dimaksudkan untuk melindungi kepentingan sang anak. Dengan demikian orang tua
tidak perlu lagi repot-repot mengurus izin tinggal bagi anak-anaknya. Hal ini
sebagaimana diatur pada Pasal 6 UU No. 12 Tahun 2006, bahwa dalam hal status
kewarganegaraan Republik Indonesia terhadap anak: a. Anak yang lahir dari
perkawinan yang sah dari seorang ayah Warga Negara Indonesia dan ibu Warga
Negara Asing. b. Anak yang lahir dari perkawinan yang sah dari seorang ayah Warga
Negara Asing dengan ibu Warga Negara Indonesia. c. Anak yang lahir dari tenggang
waktu 300 (tiga ratus) hari setelah ayahnya meninggal dunia dari perkawinan yang
sah dan ayahnya warga Negara Indonesia. d. Anak dari seorang ayah atau ibu yang
telah dikabulkan permohonan kewarganegraannya, kemudian ayah atau ibunya
meninggal dunia sebelum mengucapkan sumpah atau menyatakan janji setia. e.
Anak yang lahir di luar perkawinan yang sah, belum berusia 18 tahun atau belum
menikah diakui secara sah oleh ayahnya yang berkewarganegaraan asing tetap
diakui sebagai Warga Negara Indonesia. Anak yang tersebut di atas berakibat
berkewarganegraan ganda, setelah berusia 18 tahun atau sudah kawin anak
tersebut harus menyatakan memilih salah satu kewarganegaraannya. Editor: Arif.
See - https://ibtimes.id/akibat-hukum-perkawinan-campuran/
WNA yang telah menikah secara sah dengan WNI dapat memperoleh kewarganegaraan RI dengan
menyampaikan pernyataan menjadi warga negara di hadapan pejabat yang berwenang.[4]

Namun, untuk dapat membuat pernyataan tersebut, WNA terkait harus sudah bertempat tinggal
di wilayah RI paling singkat 5 tahun berturut-turut atau 10 tahun tidak berturut-turut, kecuali
dengan perolehan kewarganegaraan tersebut mengakibatkan berkewarganegaraan ganda.

 
Jadi di sini kami meluruskan bahwa ibu Anda yang semula berkewarganegaraan Jepang dan
kemudian menikah dengan ayah Anda yang WNI, tidaklah otomatis menjadi WNI seperti yang Anda
katakan. Tentu ada syarat yang wajib dipenuhi ibu Anda sebagaimana kami terangkan di atas.

Lebih lanjut, permohonan pewarganegaraan dapat diajukan oleh pemohon jika memenuhi
persyaratan sebagai berikut:

a. telah berusia 18 tahun atau sudah kawin;


b. bertempat tinggal di Indonesia paling singkat 5 tahun berturut-turut atau paling singkat 10
tahun tidak berturut-turut;
c. sehat jasmani dan rohani;
d. dapat berbahasa Indonesia serta mengakui Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945;
e. tidak pernah dijatuhi pidana karena melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana
penjara 1 tahun atau lebih;
f. jika dengan memperoleh kewarganegaraan RI, tidak menjadi berkewarganegaraan ganda;
g. Memiliki pekerjaan dan/atau penghasilan tetap; dan
h. membayar uang pewarganegaraan ke kas negara.

 
Permohonan diajukan di Indonesia secara tertulis dalam bahasa Indonesia di atas kertas bermeterai
cukup yang ditujukan kepada Presiden melalui Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia
(“Menkumham”).[7]

Apabila WNA terkait tidak memperoleh kewarganegaraan RI karena memiliki kewarganegaraan


ganda, yang bersangkutan dapat diberi izin tinggal tetap sesuai dengan peraturan perundang-
undangan.[8]

Adapun izin tinggal tetap adalah izin yang diberikan kepada orang asing tertentu untuk bertempat
tinggal dan menetap di wilayah Indonesia sebagai penduduk Indonesia.[9]

Dengan demikian, perkawinan campuran antara WNI dengan WNA di Indonesia tidak serta merta
mengubah kewarganegaraan seseorang secara otomatis, kecuali jika setelah menikah pihak WNA
melakukan pewarganegaraan dengan memenuhi persyaratan yang ditentukan dalam peraturan
perundang-undangan yang berlaku.

Selanjutnya, berdasarkan informasi yang Anda berikan, sebelumnya Ibu Anda merupakan warga
negara Jepang, namun setelah menikah dengan WNI, berpindah kewarganegaraan menjadi WNI.

Perlu dicatat, Dosen/Wakil Dekan II Fakultas Hukum Universitas Sriwijaya, Dr. Ridwan, S.H.,
M.Hum dalam Workshop Penerapan Peraturan Menteri Hukum dan HAM RI tentang Pelayanan
Pewarganegaraan dan Kewarganegaraan Berbasis Online yang diselenggarakan oleh Direktorat
Jendral Administrasi Hukum Umum (AHU) menjelaskan sesuai dengan UU 12/2006, Indonesia
menganut asas kewarganegaraan tunggal, yakni tiap orang hanya dapat memiliki satu
kewarganegaraan.

Selain itu, berdasarkan hukum yang belaku di Jepang juga, jika Ibu Anda beralih menjadi WNI, maka
ia kehilangan kewarganegaraan Jepang yang ia miliki sebelumnya, sebagaimana diatur dalam Pasal
11 The Nationality Law (Law No. 147 of 1950) berikut aturan perubahanya, yang menyatakan
sebagai berikut:

A Japanese national shall lose Japanese nationality  when he or she  acquires a foreign
nationality  by his or her own choice.

Pasal di atas menegaskan bahwa seorang warga negara Jepang akan kehilangan
kewarganegaraannya ketika ia mendapatkan kewarganegaraan asing atas pilihannya sendiri.

Untuk itu, dalam hal ini Anda perlu memastikan kembali perihal status kewarganegaraan Ibu Anda,
apakah benar telah berpindah kewarganegaraan menjadi WNI atau hanya mendapatkan izin tinggal
di Indonesia. Kedua hal tersebut memiliki konsekuensi yang berbeda.

Alasan Seseorang Kehilangan Kewarganegaraan

Seseorang WNI dapat kehilangan kewarganegaraannya jika yang bersangkutan:[10]

a. memperoleh kewarganegaraan lain atas kemauannya sendiri;


b. tidak menolak atau tidak melepaskan kewarganegaraan lain, sedangkan orang yang
bersangkutan mendapat kesempatan untuk itu;
c. dinyatakan hilang kewarganegaraannya oleh Presiden atas permohonannya sendiri, yang
bersangkutan sudah berusia 18 tahun atau sudah kawin, bertempat tinggal di luar negeri,
dan dengan dinyatakan hilang kewarganegaraan RI tidak menjadi tanpa kewarganegaraan;
d. masuk dalam dinas tentara asing tanpa izin terlebih dahulu dari Presiden;
e. secara sukarela masuk dalam dinas negara asing, yang jabatan dalam dinas semacam itu di
Indonesia sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan hanya dapat dijabat
oleh WNI;
f. secara sukarela mengangkat sumpah atau menyatakan janji setia kepada negara asing atau
bagian dari negara asing tersebut;
g. tidak diwajibkan tetapi turut serta dalam pemilihan sesuatu yang bersifat ketatanegaraan
untuk suatu negara asing;
h. mempunyai paspor atau surat yang bersifat paspor dari negara asing atau surat yang dapat
diartikan sebagai tanda kewarganegaraan yang masih berlaku dari negara lain atas namanya;
atau
i. bertempat tinggal di luar wilayah negara RI selama 5 tahun terus-menerus bukan dalam
rangka dinas negara, tanpa alasan yang sah dan dengan sengaja tidak menyatakan
keinginannya untuk tetap menjadi WNI sebelum jangka waktu 5 tahun itu berakhir, dan
setiap 5 tahun berikutnya yang bersangkutan tidak mengajukan pernyataan ingin tetap
menjadi WNI kepada perwakilan RI yang wilayah kerjanya meliputi tempat tinggal yang
bersangkutan padahal perwakilan RI tersebut telah memberitahukan secara tertulis kepada
yang bersangkutan, sepanjang yang bersangkutan tidak menjadi tanpa kewarganegaraan.

 
Berdasarkan alasan-alasan di atas, menurut hemat kami, apabila seorang WNA berpindah
kewarganegaraan menjadi WNI karena menikah dengan WNI, kemudian ia bercerai, perceraian
tersebut tidak lantas membuatnya kehilangan kewarganegaraannya sebagai WNI, kecuali ia
melakukan hal-hal sebagaimana yang diatur dalam Pasal 23 UU 12/2006 di atas.

 Dengan demikian, apabila Ibu Anda merupakan WNI yang telah melakukan
pewarganegaraan, kewarganegaraannya tidak akan hilang meskipun bercerai dengan Ayah Anda.

Alasan Seseorang Dideportasi dari Indonesia

Deportasi adalah tindakan paksa mengeluarkan orang asing dari wilayah Indonesia. Lebih


lengkapnya, sebagaimana yang dijelaskan dalam aritkel Jangka Waktu Deportasi Orang
Asing, deportasi merupakan sebuah tindakan administratif keimigrasian, yang dilakukan oleh
pejabat imigrasi yang berwenang terhadap orang asing yang berada di wilayah Indonesia yang
melakukan kegiatan berbahaya dan patut diduga membahayakan keamanan dan ketertiban umum
atau tidak menaati peraturan perundang-undangan.

Merujuk pada artikel yang sama, perceraian tidak serta merta membuat seorang WNA dapat
dideportasi. Namun, pada dasarnya izin tinggal sementara atau tetap WNA memang dapat
dibatalkan dengan alasan putusnya hubungan perkawinan karena perceraian dan/atau atas putusan
pengadilan bagi WNA yang memperoleh izin tinggal terbatas/tetap karena kawin secara sah dengan
WNI,[12] dengan pengecualian berdasarkan Pasal 162 ayat (1) dan (2)  serta Pasal 163 ayat (1) PP
31/2013 yang mengatur sebagai berikut:

Pasal 162

1. Untuk perkawinan campuran yang  telah berusia 10 (sepuluh) tahun atau lebih,  Izin Tinggal
Tetap Orang Asing  yang diperoleh karena perkawinan yang sah  tetap berlaku  walaupun
perkawinannya telah berakhir karena perceraian dan/atau atas putusan pengadilan.
2. Pemegang Izin Tinggal Tetap sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus memiliki Penjamin
berkewarganegaraan Indonesia

 
Pasal 163 ayat (1)

Untuk perkawinan campuran yang berusia kurang dari 10 (sepuluh) tahun, Izin Tinggal Tetap Orang
Asing yang diperoleh karena perkawinan yang sah  tetap berlaku walaupun perkawinannya telah
berakhir karena perceraian dan/atau atas putusan pengadilan jika Orang Asing yang
bersangkutan memiliki Penjamin.

Sehingga, untuk WNA yang bersangkutan, dibutuhkan penjamin berkewarganegaraan Indonesia agar


izin tinggal tetapnya dapat tetap berlaku meskipun perkawinannya berakhir karena perceraian.
Dengan demikian, apabila Ibu Anda masih berstatus sebagai WNA dan kemudian bercerai dengan
Ayah Anda, Ibu anda tetap dapat tinggal di Indonesia menggunakan izin tinggal tetap yang dimiliki
selama ia memiliki penjamin berkewarganegaraan Indonesia.

Seluruh informasi hukum yang ada di Klinik hukumonline.com disiapkan semata – mata untuk tujuan
pendidikan dan bersifat umum (lihat Pernyataan Penyangkalan selengkapnya). Untuk mendapatkan
nasihat hukum spesifik terhadap kasus Anda, konsultasikan langsung dengan Konsultan Mitra
Justika.

Akibat Hukum Perkawinan Campuran By kamila farid 09/04/2020 5 Mins read 3784
1 Menurut Pasal 57 Undang-undang Nomor 1 tahun 1974 menjelaskan bahwa yang
dimaksud dengan Perkawinan Campuran dalam undang-undang ini ialah
perkawinan antara dua orang di Indonesia yang tunduk pada hukum yang berlainan,
karena perbedaan kewarganegaraan. Salah satu pihak berkewarganegaraan Asing
dan salah satu pihak berkewarganegaraan Indonesia. Perkawinan Campuran
Perkawinan campuran yang dilangsungkan di Indonesia dasar hukumnya adalah
Undang-undang Noomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (pasal 59 ayat 1).  Di
dalam pasal 60 UU menyebutkan bahwa Perkawinan campuran tidak dapat
dilaksanakan sebelum terbukti bahwa syarat-syarat perkawinan yang ditentukan
oleh pihak masing-masing telah dipenuhi. Untuk membuktikan bahwa syarat-syarat
tersebut telah dipenuhi dan karena itu tidak ada rintangan untuk melangsungkan
perkawinan campuran, maka oleh mereka yang menurut hukum yang berlaku bagi
pihak masing-masing berwenang mencatat perkawinan, diberikan surat keterangan
bahwa syarat-syarat telah dipenuhi. Jika pejabat yang bersangkutan menolak untuk
memberikan surat keterangan, maka atas permintaan yang berkepentingan,
Pengadilan memberikan keputusan dengan tidak beracara serta tidak boleh
dimintakan banding lagi tentang soal apakah penolakan pemberian surat keterangan
itu beralasan atau tidak. Jika Pengadilan memutuskan bahwa penolakan tidak
beralasan, maka keputusan itu menjadi pengganti keterangan tersebut. Surat
keterangan atau keputusan pengganti keterangan tidak mempunyai kekuatan lagi
jika perkawinan itu tidak dilangsungkan dalam masa 6 (enam) bulan sesudah
keterangan itu diberikan. Praktik di Luar Indonesia Perkawinan yang dilangsungkan
di luar Indonesia antara seorang WNI dengan seorang WNA adalah sah bilamana
dilangsungkan menurut hukum yang berlaku di negara di mana perkawinan itu
dilangsungkan. Dan bagi WNI tidak melanggar ketentuan Pasal 56  Undang-Undang
No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Perkawinan campuran dapat  dilakukan di luar
Indonesia, tentunya harus mengikuti aturan mengenai perkawinan yang berlaku di
negara tersebut dan selanjutnya dicatatkan pada institusi Catatan Sipil setempat.
Selama para pihak telah melaksanakan pencatatan perkawinan di luar negeri sesuai
hukum yang berlaku di negara di mana perkawinan tersebut dilangsungkan, maka
perkawinan adalah sah dengan segala akibat hukumnya. Namun, untuk sahnya
perkawinan yang dilangsungkan di luar negeri tersebut menurut hukum Indonesia
harus dilakukan pencatatan dan pelaporan pada Dinas Kependudukan dan Catatan
Sipil di Indonesia dalam kurun waktu 1 (satu) tahun. Apabila lewat dari waktu yang
ditetapkan maka harus melalui Pengadilan Negeri sesuai dengan domisili yang
bersangkutan dan akan dikenai sanksi denda sesuai dengan Peraturan Daerah
setempat juncto pasal 107 Peraturan Presiden No. 25 Tahun 2008 tentang
Persyaratan dan Tata Cara Pendaftaran Penduduk dan Pencatatan Sipil  yang
berbunyi: Baca Juga  Melihat Bumi Pra, Pas, dan Pasca Pandemi (1) Denda
administratif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 104 ayat (2), Pasal 105 ayat (2)
dan Pasal 106 diatur dalam Peraturan Daerah. (2) Penetapan besaran denda
administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dengan memperhatikan
Ketentuan Undang-Undang dan kondisi masyarakat di daerah masing-masing. (3)
Denda administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan penerimaan
daerah Kabupaten/Kota, dan bagi Daerah Khusus Ibukota Jakarta merupakan
penerimaan daerah Provinsi. Akibat Hukum Dampak atau akibat hukum dari
perkawinan campuran tersebut ialah mengenai kewarganegaraan yang
bersangkutan (istri/wanita WNI) dan juga status kewarganegaraan sang anak. Dari
sisi hukum, status kewarganegaraan seseorang menentukan hak dan
kewenangannya selaku warga negara. Orang yang memiliki status kewarganegaraan
akan berbeda dengan orang yang tidak berstatus sebagai warga negara di negara
tersebut, begitu juga sebaliknya, kewenangan dan hak orang asing juga terbatas.
Kewarganegaraan seseorang mengakibatkan orang tersebut memiliki pertalian
hukum serta tunduk pada hukum negara yang bersangkutan. Kewarganegaraan
menghasilkan akibat hukum yaitu adanya hak dan kewajiban warga negara maupun
negara. Hak dan kewajiban warga negara merupakan “isi” atau “aspek material” dari
konsep kewarganegaraan itu sendiri. Hak dan kewajiban warganegara pada
umumnya dimuatkan dalam konstitusi negara yang bersangkutan. Penentuan
kewarganegaraan berdasarkan aspek perkawinan mencakup asas kesatuan hukum
dan asas persamaan derajat, yakni: Asas Ius Soli, artinya pedoman yang berdasarkan
daerah atau tempat. Asas ini menyatakan bahwa kewarganegaraan seseorang
ditentukan dari tempat dimana orang tersebut dilahirkan. Disebut juga asas daerah
kelahiran. Asas Ius Sangunis, pedoman yang berdasarkan darah atau keturunan.
Asas ini menyatakan bahwa kewarganegaraan seseorang ditentukan berdasarkan
keturunan orang tersebut. Penentuan Status Kewarganegaraan Suatu perkawinan
dapat menyebabkan perubahan status kewarganegaraan. Permasalahan akan
muncul jika terjadi perkawinan campuran, yakni perkawinan antara warga negara
Indonesia dengan warga negara Asing. Penentuan kewarganegaraan berdasarkan
aspek perkawinan mencakup asas kesatuan hukum dan asas persamaan derajat.
Asas persamaan hukum didasarkan pandangan bahwa suami istri adalah suatu
ikatan yang tidak terpecah sebagai inti dari masyarakat. Berdasarkan asas ini
diusahakan status kewarganegaraan suami dan istri adalah sama atau satu.
Sedangkan asas persamaan derajat didasarkan pandangan bahwa suatu perkawinan
tidak menyebabkan perubahan status kewarganegaraan istri maupun suami.
Keduanya memiliki hak yang sama untuk menentukan sendiri kewarganegaraan.
Jadi, mereka dapat berbeda kewarganegaraan seperti halnya sebelum berkeluarga.
Sisi positif dari asas ini yaitu dapat menghindari terjadinya penyelundupan hukum
dan penyalahgunaan status kewarganegaran yang dimungkinkan terjadi jika
digunakan asas kesatuan hukum. Baca Juga  Corona dan Kemenangan Kita yang
(Harus) Tertunda Penentuan kewarganegaraan yang berbeda-beda oleh setiap
negara dapat menciptakan problem kewarganegaraan bagi seorang warga. Secara
ringkas problem kewarganegaraan adalah munculnya apatride dan bipatride.
Apatride adalah istilah untuk orang-orang yang tidak memiliki kewarganegaraag,
istilah lainnya stateless. Bipatride adalah istilah untuk orang-orang yang memiliki
kewarganegaraan rangkap (dua). Bahkan dapat muncul multiprade yaitu istilah
untuk orang-orang yang memiliki kewarganegaraan banyak (lebih dari dua).
Undang-undang di Indonesia Di Indonesia ada undang-undang yang mengatur
tentang pasangan dari warga negara asing perkawinan campuran tersebut.
Berdasarkan Pasal 26 ayat (1) Undang-Undang No.12 Tahun 2006 tentang
Kewarganegaraan menyatakan: “Perempuan Warga Negara Indonesia yang kawin
dengan laki-laki warga negara asing kehilangan Kewarganegaraan Indonesia jika
menurut hukum negara asal suaminya, kewarganegaraan istri mengikuti
Kewarganegaraan suami sebagai akibat perkawinan tersebut”. Namun beberapa
perempuan WNI masih ingin memegang Kewarganegaraan Indonesianya, hal
tersebut diatur dalam Pasal 26 (3) UU Kewarganegaraan. Sehingga perempuan WNI
yang ingin mempertahankan Kewarganegaraannya dapat mengajukan Surat
Pernyataan keinginan tetap berkewarganegaraan Indonesia kepada Pejabat atau
Perwakilan Republik Indonesia yang berwenang di tempat tinggal pihak suami WNA.
Surat pernyataan tersebut diajukan perempuan WNI setelah tiga tahun sejak tanggal
perkawinan berlangsung (pasal 26 ayat (4) UU Kewarganegaraan). Perlu
diperhatikan bahwa pengajuan  tersebut tidak boleh mengakibatkan WNI menjadi
berkewarganegaraan ganda (bipatride). WNI tersebut harus melepaskan status
kewarganegaraan yang didapatkan dari perkawinan campuran tersebut, barulah
kemudian WNI dapat mengajukan Surat Pernyataan keinginan tetap
berkewarganegaraan Indonesia. Kewarganegaraan Ganda Anak yang lahir dari
pasangan berbeda warga negara, salah satunya, WNI, bisa memiliki
kewarganegaraan ganda hingga berusia 18 tahun. Paling lambat tiga tahun setelah
mencapai usia 18 tahun atau sudah kawin, si anak harus menyatakan memilih
kewarganegaraannya. Jika memilih menjadi WNI, si anak harus mengajukan
pernyataan memilih yang formulirnya tersedia di kantor-kantor imigrasi. Baca Juga 
Sejuta Cerita Pemilu Serentak 2019 Ada dua kategori anak yang harus memilih
status kewarganegaraan. Batasannya adalah pengesahan UU No 12 Tahun 2006
tentang Kewarganegaraan. (1) anak yang lahir sebelum 1 Agustus 2006, adalah
mereka yang sudah mengantongi Surat Keputusan Menhukham tentang
kewarganegaraan. (2) anak yang lahir sesudah 1 Agustus 2006, yang memiliki
affidavit. Dalam konteks ini, affidavit adalah surat keimigrasian yang dilekatkan atau
disatukan pada paspor asing yang memuat keterangan sebagai anak
berkewarganegaraan ganda. Pemegang affidavit mendapatkan fasilitas keimigrasian
saat keluar masuk Indonesia. Jika anak berkewarganegaraan ganda memilih menjadi
Warga Negara Asing (WNA), maka pernyataan itu harus disampaikan kepada pejabat
atau perwakilan Indonesia  yang wilayah kerjanya meliputi tempat tinggal si anak.
Jika selama ini anak tersebut sudah memegang paspor Indonesia, maka paspor itu
harus dicabut. Demikian pula jika anak tersebut memiliki affidavit, maka surat itu
harus dicabut pejabat yang menerima pernyataan memilih menjadi WNA. Setelah
Umur 18 Tahun Harus Memilih Pemberian kewarganegaraan ganda ini merupakan
terobosan baru yang positif bagi anak-anak hasil perkawinan campuran dan ini
dimaksudkan untuk melindungi kepentingan sang anak. Dengan demikian orang tua
tidak perlu lagi repot-repot mengurus izin tinggal bagi anak-anaknya. Hal ini
sebagaimana diatur pada Pasal 6 UU No. 12 Tahun 2006, bahwa dalam hal status
kewarganegaraan Republik Indonesia terhadap anak:
a. Anak yang lahir dari perkawinan yang sah dari seorang ayah Warga Negara
Indonesia dan ibu Warga Negara Asing.
b. Anak yang lahir dari perkawinan yang sah dari seorang ayah Warga Negara Asing
dengan ibu Warga Negara Indonesia.
c. Anak yang lahir dari tenggang waktu 300 (tiga ratus) hari setelah ayahnya
meninggal dunia dari perkawinan yang sah dan ayahnya warga Negara Indonesia.
d. Anak dari seorang ayah atau ibu yang telah dikabulkan permohonan
kewarganegraannya, kemudian ayah atau ibunya meninggal dunia sebelum
mengucapkan sumpah atau menyatakan janji setia.
e. Anak yang lahir di luar perkawinan yang sah, belum berusia 18 tahun atau belum
menikah diakui secara sah oleh ayahnya yang berkewarganegaraan asing tetap
diakui sebagai Warga Negara Indonesia. Anak yang tersebut di atas berakibat
berkewarganegraan ganda, setelah berusia 18 tahun atau sudah kawin anak
tersebut harus menyatakan memilih salah satu kewarganegaraannya.
Editor: Arif. See - https://ibtimes.id/akibat-hukum-perkawinan-campuran/
BAB I
PENDAHULUAN

1. Latar Belakang

Perkawinan campuran telah merambah seluruh pelosok Tanah Air dan kelas masyarakat. Globalisasi
informasi, ekonomi, pendidikan, dan transportasi telah menggugurkan stigma bahwa kawin campur
adalah perkawinan antara ekspatriat kaya dan orang Indonesia. Menurut survey yang dilakukan oleh
Mixed Couple Club, jalur perkenalan yang membawa pasangan berbeda kewarganegaraan menikah
antara lain adalah perkenalan melalui internet, kemudian bekas teman kerja/bisnis, berkenalan saat
berlibur, bekas teman sekolah/kuliah, dan sahabat pena. Perkawinan campur juga terjadi pada tenaga
kerja Indonesia dengan tenaga kerja dari negara lain. Dengan banyak terjadinya perkawinan campur di
Indonesia sudah seharusnya perlindungan hukum dalam perkawinan campuran ini diakomodir dengan
baik dalam perundang-undangan di indonesia.
Dalam perundang-undangan di Indonesia, perkawinan campuran didefinisikan dalam Undang-undang
No.1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, pasal 57 : ”Yang dimaksud dengan perkawinan campuran dalam
Undang-undang ini ialah perkawinan antara dua orang yang di Indonesia tunduk pada hukum yang
berlainan, karena perbedaan kewarganegaraan dan salah satu pihak berkewarganegaraan Indonesia.”
Selama hampir setengah abad pengaturan kewarganegaraan dalam perkawinan campuran antara warga
negara indonesia dengan warga negara asing, mengacu pada UU Kewarganegaraan No.62 Tahun 1958.
Seiring berjalannya waktu UU ini dinilai tidak sanggup lagi mengakomodir kepentingan para pihak dalam
perkawinan campuran, terutama perlindungan untuk istri dan anak. Persoalan yang rentan dan sering
timbul dalam perkawinan campuran adalah masalah kewarganegaraan anak. UU kewarganegaraan yang
lama menganut prinsip kewarganegaraan tunggal, sehingga anak yang lahir dari perkawinan campuran
hanya bisa memiliki satu kewarganegaraan, yang dalam UU tersebut ditentukan bahwa yang harus
diikuti adalah kewarganegaraan ayahnya. Pengaturan ini menimbulkan persoalan apabila di kemudian
hari perkawinan orang tua pecah, tentu ibu akan kesulitan mendapat pengasuhan anaknya yang warga
negara asing.

2. Perumusan Masalah
1. Bagaimana pengaturan status hukum anak yang lahir dari perkawinan campuran sebelum dan
sesudah lahirnya UU Kewarganegaraan yang baru?
2. Apakah kewarganegaraan ganda ini akan menimbulkan masalah bagi anak?
BAB II
PEMBAHASAN

1. Pengaturan status hukum anak yang lahir dari perkawinan campuran


A. Menurut Teori Hukum Perdata Internasional
Menurut teori hukum perdata internasional, untuk menentukan status anak dan hubungan antara anak
dan orang tua, perlu dilihat dahulu perkawinan orang tuanya sebagai persoalan pendahuluan, apakah
perkawinan orang tuanya sah sehingga anak memiliki hubungan hukum dengan ayahnya, atau
perkawinan tersebut tidak sah, sehingga anak dianggap sebagai anak luar nikah yang hanya memiliki
hubungan hukum dengan ibunya. Sejak dahulu diakui bahwa soal keturunan termasuk status personal.
Negara-negara common law berpegang pada prinsip domisili (ius soli) sedangkan negara-negara civil
law berpegang pada prinsip nasionalitas (ius sanguinis). Umumnya yang dipakai ialah hukum personal
dari sang ayah sebagai kepala keluarga (pater familias) pada masalah-masalah keturunan secara sah.
Hal ini adalah demi kesatuan hukum dalam keluarga dan demi kepentingan kekeluargaan, demi
stabilitas dan kehormatan dari seorang istri dan hak-hak maritalnya. Sistem kewarganegaraan dari ayah
adalah yang terbanyak dipergunakan di negara-negara lain, seperti misalnya Jerman, Yunani, Italia,
Swiss dan kelompok negara-negara sosialis.
Dalam sistem hukum Indonesia, Prof.Sudargo Gautama menyatakan kecondongannya pada sistem
hukum dari ayah demi kesatuan hukum dalam keluarga, bahwa semua anak–anak dalam keluarga itu
sepanjang mengenai kekuasaan tertentu orang tua terhadap anak mereka (ouderlijke macht) tunduk
pada hukum yang sama. Kecondongan ini sesuai dengan prinsip dalam UU Kewarganegaraan No.62
tahun 1958. Kecondongan pada sistem hukum ayah demi kesatuan hukum, memiliki tujuan yang baik
yaitu kesatuan dalam keluarga, namun dalam hal kewarganegaraan ibu berbeda dari ayah, lalu terjadi
perpecahan dalam perkawinan tersebut maka akan sulit bagi ibu untuk mengasuh dan membesarkan
anak-anaknya yang berbeda kewarganegaraan, terutama bila anak-anak tersebut masih dibawah umur.

B. Menurut UU Kewarganegaraan No.62 Tahun 1958


a. Pria Warga Negara Asing (WNA) menikah dengan Wanita Warga Negara Indonesia (WNI)
Berdasarkan pasal 8 UU No.62 tahun 1958, seorang perempuan warga negara Indonesia yang kawin
dengan seorang asing bisa kehilangan kewarganegaraannya, apabila selama waktu satu tahun ia
menyatakan keterangan untuk itu, kecuali apabila dengan kehilangan kewarganegaraan tersebut, ia
menjadi tanpa kewarganegaraan. Apabila suami WNA bila ingin memperoleh kewarganegaraan
Indonesia maka harus memenuhi persyaratan yang ditentukan bagi WNA biasa. Karena sulitnya
mendapat ijin tinggal di Indonesia bagi laki laki WNA sementara istri WNI tidak bisa meninggalkan
Indonesia karena satu dan lain hal( faktor bahasa, budaya, keluarga besar, pekerjaan pendidikan,dll)
maka banyak pasangan seperti terpaksa hidup dalam keterpisahan.
b. Wanita Warga Negara Asing (WNA) yang menikah dengan Pria Warga Negara Indonesia (WNI)
Indonesia menganut azas kewarganegaraan tunggal sehingga berdasarkan pasal 7 UU No.62 Tahun
1958 apabila seorang perempuan WNA menikah dengan pria WNI, ia dapat memperoleh
kewarganegaraan Indonesia tapi pada saat yang sama ia juga harus kehilangan kewarganegaraan
asalnya. Permohonan untuk menjadi WNI pun harus dilakukan maksimal dalam waktu satu tahun
setelah pernikahan, bila masa itu terlewati , maka pemohonan untuk menjadi WNI harus mengikuti
persyaratan yang berlaku bagi WNA biasa. Untuk dapat tinggal di Indonesia perempuan WNA ini
mendapat sponsor suami dan dapat memperoleh izin tinggal yang harus diperpanjang setiap tahun dan
memerlukan biaya serta waktu untuk pengurusannya. Bila suami meninggal maka ia akan kehilangan
sponsor dan otomatis keberadaannya di Indonesia menjadi tidak jelas Setiap kali melakukan perjalanan
keluar negri memerlukan reentry permit yang permohonannya harus disetujui suami sebagai sponsor.
Bila suami meninggal tanah hak milik yang diwariskan suami harus segera dialihkan dalam waktu satu
tahun. Seorang wanita WNA tidak dapat bekerja kecuali dengan sponsor perusahaan. Bila dengan
sponsor suami hanya dapat bekerja sebagai tenaga sukarela. Artinya sebagai istri/ibu dari WNI,
perempuan ini kehilangan hak berkontribusi pada pendapatan rumah tangga.

Dalam ketentuan UU kewarganegaraan ini, anak yang lahir dari perkawinan campuran bisa menjadi
warganegara Indonesia dan bisa menjadi warganegara asing :
1. Menjadi warganegara Indonesia
Apabila anak tersebut lahir dari perkawinan antara seorang wanita warga negara asing dengan pria
warganegara Indonesia (pasal 1 huruf b UU No.62 Tahun 1958), maka kewarganegaraan anak
mengikuti ayahnya, kalaupun Ibu dapat memberikan kewarganegaraannya, si anak terpaksa harus
kehilangan kewarganegaraan Indonesianya. Bila suami meninggal dunia dan anak anak masih dibawah
umur tidak jelas apakah istri dapat menjadi wali bagi anak anak nya yang menjadi WNI di Indonesia.
Bila suami (yang berstatus pegawai negeri)meningggal tidak jelas apakah istri (WNA) dapat
memperoleh pensiun suami.
2. Menjadi warganegara asing
Apabila anak tersebut lahir dari perkawinan antara seorang wanita warganegara Indonesia dengan
warganegara asing. Anak tersebut sejak lahirnya dianggap sebagai warga negara asing sehingga harus
dibuatkan Paspor di Kedutaan Besar Ayahnya, dan dibuatkan kartu Izin Tinggal Sementara (KITAS) yang
harus terus diperpanjang dan biaya pengurusannya tidak murah. Dalam hal terjadi perceraian, akan
sulit bagi ibu untuk mengasuh anaknya, walaupun pada pasal 3 UU No.62 tahun 1958 dimungkinkan
bagi seorang ibu WNI yang bercerai untuk memohon kewarganegaraan Indonesia bagi anaknya yang
masih di bawah umur dan berada dibawah pengasuhannya, namun dalam praktek hal ini sulit dilakukan.

C. Menurut UU Kewarganegaraan Baru


Undang-Undang kewarganegaraan yang baru memuat asas-asas kewarganegaraan umum atau
universal. Adapun asas-asas yang dianut dalam Undang-Undang ini sebagai berikut:
1. Asas ius sanguinis (law of the blood) adalah asas yang menentukan kewarganegaraan seseorang
berdasarkan keturunan, bukan berdasarkan negara tempat kelahiran.
2. Asas ius soli (law of the soil) secara terbatas adalah asas yang menentukan kewarganegaraan
seseorang berdasarkan negara tempat kelahiran, yang diberlakukan terbatas bagi anak-anak sesuai
dengan ketentuan yang diatur dalam Undang-Undang ini.
3. Asas kewarganegaraan tunggal adalah asas yang menentukan satu kewarganegaraan bagi setiap
orang.
4. Asas kewarganegaraan ganda terbatas adalah asas yang menentukan kewarganegaraan ganda bagi
anak-anak sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam Undang-Undang ini.
Undang-Undang ini pada dasarnya tidak mengenal kewarganegaraan ganda (bipatride) ataupun tanpa
kewarganegaraan (apatride). Kewarganegaraan ganda yang diberikan kepada anak dalam Undang-
Undang ini merupakan suatu pengecualian. Mengenai hilangnya kewarganegaraan anak, maka hilangnya
kewarganegaraan ayah atau ibu (apabila anak tersebut tidak punya hubungan hukum dengan ayahnya)
tidak secara otomatis menyebabkan kewarganegaraan anak menjadi hilang

2 Apakah kewarganegaraan ganda ini akan menimbulkan masalah bagi anak?


Bila dikaji dari segi hukum perdata internasional, kewarganegaraan ganda juga memiliki potensi
masalah, misalnya dalam hal penentuan status personal yang didasarkan pada asas nasionalitas, maka
seorang anak berarti akan tunduk pada ketentuan negara nasionalnya. Bila ketentuan antara hukum
negara yang satu dengan yang lain tidak bertentangan maka tidak ada masalah, namun bagaimana bila
ada pertentangan antara hukum negara yang satu dengan yang lain, lalu pengaturan status personal
anak itu akan mengikuti kaidah negara yang mana. Lalu bagaimana bila ketentuan yang satu melanggar
asas ketertiban umum pada ketentuan negara yang lain.
Sebagai contoh adalah dalam hal perkawinan, menurut hukum Indonesia, terdapat syarat materil dan
formil yang perlu dipenuhi. Ketika seorang anak yang belum berusia 18 tahun hendak menikahmaka
harus memuhi kedua syarat tersebut. Syarat materilharus mengikuti hukum Indonesia sedangkan syarat
formil mengikuti hukum tempat perkawinan dilangsungkan. Misalkan anak tersebut hendak menikahi
pamannya sendiri (hubungan darah garis lurus ke atas), berdasarkan syarat materiil hukum Indonesia
hal tersebut dilarang (pasal 8 UU No.1 tahun 1974), namun berdasarkan hukum dari negara pemberi
kewarganegaraan yang lain, hal tersebut diizinkan, lalu ketentuan mana yang harus diikutinya.

pewaris seorang WNI meninggalkan harta warisan berupa benda tak bergerak dengan
status hak milik, sementara pasangannya WNA dan anaknya belum cukup umur dan
masih memiliki dua kewarganegaraan? Elizabeth mengingatkan berlakunya Pasal 21
ayat (3) UU No.5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria yang
menyebut pewarisan tanpa wasiat menyebabkan ahli waris berstatus WNA memiliki
hak milik atas tanah atau hak bangunan. Tapi, dalam jangka waktu 1 tahun setelah
pewaris meninggal harus dijual, dialihkan, dilepaskan haknya kepada pihak lain yang
WNI. Jika ketentuan itu tidak dilakukan, haknya jatuh ke negara.
“Harta itu bisa dijual dan hasilnya dapat dibagikan sebagai harta warisan kepada
semua ahli waris, dihibahkan kepada saudara atau keluarga yang statusnya WNI.
Pilihan lain adalah melepaskan kepada WNI atau ahli waris itu menolak seluruh harta
warisan.”

BAB III
PENUTUP

KESIMPULAN
Anak adalah subjek hukum yang belum cakap melakukan perbuatan hukum sendiri sehingga harus
dibantu oleh orang tua atau walinya yang memiliki kecakapan. Pengaturan status hukum anak hasil
perkawinan campuran dalam UU Kewarganegaraan yang baru, memberi pencerahan yang positif,
terutama dalam hubungan anak dengan ibunya, karena UU baru ini mengizinkan kewarganegaraan
ganda terbatas untuk anak hasil perkawinan campuran.

SARAN
UU Kewarganegaraan yang baru ini menuai pujian dan juga kritik, termasuk terkait dengan status anak.
Seiring berkembangnya zaman dan sistem hukum, UU Kewarganegaraan yang baru ini penerapannya
semoga dapat terus dikritisi oleh para ahli hukum perdata internasional, terutama untuk mengantisipasi
potensi masalah.

Anda mungkin juga menyukai