Anda di halaman 1dari 14

1.

Sejarah Hukum Kepailitan


1.1 Pengertian
2. Prinsip Dasar Kepailitan
3. Persyaratan pailit dalam UU

4. Akibat Hukum Kepailitan


5. Pengurusan Harta Pailit

6. Tahapan Kepailitan
7. Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU)

1. Sejarah Hukum Kepailitan


Sejarah Hukum Kepailitan secara umum dibagi menjadi 2 fase yakni
 Fase Sebelum Kemerdekaan
 Fase Sesudah Kemerdekaan
 Fase Reformasi

1. Fase Sebelum Kemerdekaan
Pada masa ini pertama kali kepailitan diatur dalam dua tempat yaitu :

1. Wet Book Van Koophandel atau WvK buku ketiga yang berjudul “ Van
de Voorzieningen in geval van Onvormogen van kooplieden” (Peraturan
tentang ketidakmampuan Pedagang) peraturan ini adalah peraturan kepailitan
yang berlaku bagi pedagang. Aslinya peraturan ini termuat dalam Pasal 749
sampai dengan Pasal 910 WvK, Tetapi kemudian dicabut berdasarkan Pasal 2
Verordening ter Invoering van de Faillissementsverordening (Stb. 1906-348).

2. Reglement op de Rechtsvoordering (RV). Stb. 1847-52 jo. 1849-63, Buku


ketiga bab ketujuh dengan judul “Van den staat Von Kenneljk
Onvermogen” (tentang Keadaan nyata-nyata tidak mampu) dalam Pasal 899
sampai dengan Pasal 915, yang kemudian telah dicabut oleh S. 1906-348.
Peraturan ini adalah peraturan kepailitan yang berlaku bagi orang yang bukan
pedagang.

Karena dua buah peraturan ini menimbulkan banyak kesulitan dalam pelaksanaannya,
kesulitan tersebut diantaranya adalah :
1. Banyaknya formalitas sehingga sulit dalam pelaksanaannya
2. Biaya tinggi;
3. Pengaruh kreditur terlalu sedikit terhadap jalannya kepailitan;
4. Perlu waktu yang cukup lama.
Oleh karena itu maka dibuatlah aturan baru, yang sederhana dan tidak perlu banyak
biaya, maka lahirlah Faillisements Verordening (Stb. 1905-217) untuk menggantikan
2 (dua) Peraturan Kepailitan tersebut.

Peraturan ini lengkapnya bernama Verordening op het Faillissement en de Surseance


van Betaling voor de Europeanen in Nederlands Indie (Peraturan untuk kepailitan dan
Penundaan Pembayaran untu Orang-orang Eropa di Hindia Belanda). Berdasarkan
Verordening ter invoering van de Faillissementverordening(stb 1906-348),
Faillissementverordening (Stb. 1905-217) dinyatakan mulai berlaku pada tanggal 1
November 1906.
2. Fase Sesudah Kemerdekaan
Pada fase sesudah kemerdekaan Faillissementverordening (Stb. 1905-217) masih berlaku
meskipun Pasal II Aturan Peralihan UUD 1945 menentukan sebagai berikut :
“Segala badan negara dan peraturan yang ada masih langsung berlaku, selama belum
diadakan yang baru menurut Undang-Undang Dasar ini” Dalam Aturan Peralihan tersebut,
seluruh perangkat hukum peninggalan Belanda dianggap masih berlaku sepanjang tidak
bertentangan dengan nilai-nilai Pancasila dan UUD 1945. Maka untuk kepentingan kepailitan
Faillissementverordening (Stb. 1905-217) masih tetap diberlakukan.
Pada periode tahun 1947, pemerintah pendudukan Belanda di Jakarta menerbitkan
Peraturan Darurat Kepailitan 1947 (Noodsregeling Faillissementen 1947).
Menurut Purwosutjipto bahwa Peraturan Darurat Kepailitan (Noordregeling
Faillissementen) 1947 tersebut di atas, telah tidak berfungsi lagi yang membawa akibat tidak
berlaku dengan alasan adanya Pasal II Aturan Peralihan Undang-Undang Dasar 1945. Maka
pengesahan yang dimaksud dalam pasal II Aturan Peralihan Undang-Undang Dasar 1945,
adalah segala Badan-Badan Negara dan peraturan-peraturan yang diterbitkan/diperbuat
sebelum tahun 1945, sedangkan Peraturan Darurat Kepailitan dikeluarkan pada tahun 1947,
sehingga dengan demikian pengesahan yang dimaksud dalam Pasal II Aturan Peralihan
Undang-Undang Dasar 1945 tidak meliputi/mencakup Peraturan Darurat Kepailitan 1947
yang dimaksud di atas.
3. Fase Reformasi
Masa ini merupakan masa yang penting dalam pembaharuan hukum kepailitan.
Tercatat ada beberapa peraturan yang mengatur tentang kepailitan diantaranya adalah:
Perpu Nomor 1 tahun 1998. Aturan ini tidak bisa dielakkan lahir karena adanya
krisis ekonomi yang menimpa Indonesia yang diikuti dengan krisis politik yang
mengakibatkan lengsernya Presiden Soeharto. Krisis Moneter yang diawali dengan
melemahnya nilai tukar rupiah mengakibatkan utang-utang para pengusaha Indonesia
terhadap kreditor-kreditor luar negeri membengkak ditambah dengan kredit macet dalam
perbankan Indonesia. Pada masa itu tidak pula mudah melakukan restrukturisasi utang-utang
karena masih terpuruknya sektor riil. Banyak debitor yang sulit dihubungi oleh para
kreditornya karena berusaha menghindari tanggung jawab atas utang-utangnya. Salah satu
cara untuk mengatasi krisis ekonomi tersebut, Indonesia melakukan pinjaman kepada IMF
dan salah satu syarat pinjaman tersebut IMF menyarankan Indonesia untuk agar segera
mengganti peraturan kepailitan yang berlaku yaitu Faillissementverordening (Stb. 1905-217).
Undang – Undang Nomor 4 tahun 1998. Setelah diterbitkannya Perpu Kepailitan pada
tanggal 22 April 1998 oleh pemerintah, lima bulan kemudian Perpu Kepailitan diajukan
kepada DPR. Pada tanggal 9 September 1998 Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-
Undang Nomor 1 tahun 1998 tentang Perubahan atas Undang-Undang tentang kepailitan itu
ditetapkan menjadi Undang – Undang Nomor 4 tahun 1998.
Undang – Undang Nomor 4 tahun 1998 ini sendiri bukan merupakan Undang – Undang
kepailitan yang baru melainkan hanya mengubah dan menambah Faillissementverordening
(Stb. 1905-217).
Undang – Undang Nomor 37 tahun 2004. Menurut Prof. Dr. Sutan Remy Sjahdeini, SH.,
dalam bukunya Hukum Kepailitan, Memahami Undang-Undang No. 37 Tahun 2004 Tentang
Kepailitan sebelum Perpu Nomor 1 tahun 1998 diajukan oleh pemerintah kepada DPR telah
diadakan pertemuan setengah kamar antara Pemerintah dan DPR. Pada pertemuan tersebut
terjadi perbedaan pendapat tentang substansi Perpu tersebut. DPR menginginkan agar materi
yang diatur banyak diubah karena kurang memadai, namun pemerintah berpendapat
setidaknya aturan tersebut diterima dan disahkan terlebih dahulu mengingat adanya tenggat
waktu yang ditetapkan dalam Letter of Intent yang telah ditandatangani pemerintah dengan
IMF untuk segera mengundangkan aturan tersebut. Jalan keluar sehubungan perbedaan
pendapat tersebut adalah dilakukan kompromi antara DPR dan pemerintah untuk sepakat
dalam jangka waktu satu tahun akan disampaikan RUU tentang kepailitan. Namun, karena
berbagai alasan dan hambatan RUU tersebut baru berhasil diundangkan pada tahun 2004
menjadi Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan
Kewajiban Pembayaran Utang.
Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 sendiri juga dibuat dengan menyempurnakan
peraturan-peraturan kepailitan sebelumnya diantaranya adalah
1. Prosedur yang lebih jelas;
2. Time frame yang lebih pasti;
3. Pengaturan pengertian defenisi hutang yang lebih jelas;
4. pengertian dari definisi kreditur dan debitur cukup jelas;
5. peneguhan fungsi kurator;
6. adanya mekanisme stay;
7. penyempurnaan ketentuan mengenai penundaan pembayaran;
8. pengesahan bahwa upaya hukum yang mungkin adalah kasasi (tanpa banding) serta
tata caranya yang lebih jelas.

1.1 Pengertian
Pasal 1 angka (1) UUPKPU menyebutkan “kepailitan adalah sita umum atas semua kekayaan
Debitur Pailit yang pengurusan dan pemberesannya dilakukan oleh Kurator di bawah
pengawasan Hakim Pengawas sebagaimana diatur dalam UU ini.”

2. Prinsip Dasar Kepailitan


Ada 8 prinsip dasar kepailitan :
 Prinsip Paritas Creditorium
 Prinsip Pari Passu Pro Rata Parte
 Prinsip Structured Pro Rata
 Prinsip Utang
 Prinsip Debt Collection
 Prinsip Dept Pooling
 Prinsip Universal dan Prinsip Teritorial
 Prinsip Debt Forgiveness

1. Prinsip Paritas Creditorium
Prinsip Paritas Creditorium (kesetaraan kedudukan para kreditur) menentukan bahwa
kreditor mempunyai hak yang sama terhadap semua harta benda debitur. Apabila
debitur tidak dapat membayar utangnya, maka harta kekayaan debitur menjadi sasaran
kreditur. Prinsip paritas creditorium dianut dalam sistem hukum perdata di
Indonesia. Hal ini termuat dalam Pasal 1311 KUHPerdata yang menyatakan bahwa
‘’segala kebendaan si berutang, baik yang bergerak maupun yang tidak bergerak, baik
yang sudah ada maupun yang baru akan ada di kemudian hari, menjadi tanggungan
untuk segala perikatannya perseorangan.’’
2. Prinsip Pari Passu Pro Rata Parte
Prinsip Pari Passu Pro Rata Parte berarti bahwa harta kekayaan tersebut merupakan
jaminan bersama untuk para kreditur dan hasilnya harus dibagi secara proporsional
diantara mereka, kecuali jika antara para kreditur itu ada yang menurut undang-
undang harus didahulukan dalam menerima pembayaran tagihannya. Pasal 1132 KUH
Perdata menyatakan bahwa ‘’kebendaan tersebut menjadi jaminan bersama - sama
bagi semua orang yang mengutangkan padannya; pendapatan penjualan benda benda
itu dibagi bagi keseimbangannya, yaitu menurut besar kecilnya piutang masing-
masing, kecuali hubungan di antara para berpiutang itu ada alasan alasan yang sah
untuk didahulukan’’.
3. Prinsip Structured Pro Rata
Prinsip ini merupakan salah satu prinsip di dalam hukum kepailitan yang memberikan
jalan keluar/keadilan diantara kreditur. Prinsip ini adalah prinsip yang
mengklasifikasikan dan mengelompokkan berbagai macam debitur sesuai dengan
kelasnya masing-masing. Di dalam kepailitan, kreditur diklasifikasikan menjadi tiga
macam, yaitu kreditur separatis, kreditur preferen, dan kreditur konkuren.
a. Kreditur separatis merupakan Kreditur yang memegang hak jaminan kebendaan.
Hal ini diatur dalam Pasal 138 UUK , untuk PKPU yang menyebutkan bahwa
kreditur yang piutangnya terjamin dengan jaminan kebendaan maka dapat
meminta diberikan hak-hak yang dimiliki kreditur konkuren atas bagian piutang
tersebut, tanpa mengurangi hak untuk didahulukan atas benda yang menjadi
agunan atas piutangnya.

seperti Gadai, Jaminan Fidusia, Hak Tanggungan, Hipotek atau hak agunan atas
kebendaan lainnya. (contoh Bank, Perusahaan Pembiayaan, Pegadaian dll)

b. Kreditur preferen merupakan kreditur yang memiliki hak istimewa atau hak
prioritas. Sehingga Kreditur preferen dapat didahulukan pelunasan piutangnya
karena mempunyai hak istimewa yang mendahului berdasarkan sifat piutangnya.
Hak istimewa diatur dalam Pasal 1134 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata
(KUHPer) yang berbunyi, “ Hak istimewa adalah suatu hak yang diberikan oleh
undang-undang kepada seorang kreditur yang menyebabkan ia berkedudukan
lebih tinggi yang lebih tinggi, semata-mata berdasarkan hak milik itu. Gadai dan
hipotek lebih tinggi hak istimewa, kecuali dalam hal undang-undang dengan tegas
menentukan kebalikannya. ”

c. Kreditur Konkuren merupakan kreditur yang tidak memegang hak jaminan


kebendaan, tetapi kreditur ini memiliki hak untuk menagih debitur berdasarkan
perjanjian. Namun dalam pelunasan piutang, kreditur konkuren mendapatkan
pelunasan yang paling terakhir setelah kreditur preferen dan kreditur separatis
terlunasi piutangnya.

4. Prinsip Utang
Prinsip utang, diman Utang yang dijadikan dasar untuk mengajukan permohonan
pailit adalah utang prestasi baik yang timbul sebagai akibat perjanjian maupun
yang timbul sebagai perintah Undang-Undang serta adanya pembatasan minimum
jumlah utang yang dapat dijadikan dasar untuk mengajukan permohonan pailit.
5. Prinsip Debt Collection
Prinsip debt collection (debt collection principle) adalah suatu konsep pembalasan
dari kreditur terhadap debitur pailit dengan menagih klaimnya terhadap debitur atau
harta debitur. Kepailitan dapat digunakan sebagai mekanisme pemaksaan dan
pemerasan.
6. Prinsip Debt Pooling

Prinsip debt pooling merupakan prinsip yang mengatur bagaimana harta kekayaan
pailit harus dibagi di antara Para Kreditornya. Dalam melakukan pendistribusian aset
tersebut, Kurator akan berpegang pada prinsip paritas creditorium dan prinsip pari
passu prorate parte, serta pembagian berdasarkan jenis masing masing Kreditor.

7. Prinsip Universal dan Prinsip Teritorial

Prinsip universal dalam kepailitan mengandung makna bahwa putusan pailit dari
suatu pengadilan di suatu Negara, maka putusan pailit tersebut berlaku terhadap
semua harta Debitor baik yang berada di dalam negeri di tempat putusan pailit
dijatuhkan maupun terhadap harta Debitor yang berada di luar negeri. Prinsip ini
menekankan aspek internasional dari kepailitan atau dikenal sebagai cross border
insolvency.
8. Prinsip Debt Forgiveness
Prinsip debt forgiveness, merupakan prinsip hukum yang merupakan alat yang dapat
digunakan untuk memperingan beban yang harus ditanggung oleh debitur sebagai
akibat kesulitan keuangan sehingga tidak mampu lagi melakukan pembayaran
terhadap utang-utangnya sesuai agreement dan bahkan sampai pada pengampunan
atas utangutangnya sehingga utang-utangnya menjadi hapus sama sekali (fresh
starting)
3. Persyaratan Pailit Dalam UU

Syarat- syarat kepailitan diatur dalam UU Kepailitan Indonesia, yaitu UU No.37 Tahun
2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran utang (UUK-PKPU)
ditentukan dalam pasal 2 ayat (1) UUK-PKU:
“Debitur yang mempunyai dua atau lebih kreditur dan tidak membayar lunas
sedikitnya satu utang yang telah jatuh waktu dan dapat ditagih, dinyatakan pailit
dengan putusan pengadilan yang berwenang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2,
baik atas permohonannya sendiri, maupun atas permohonan seseorang atau lebih
krediturnya.”
Dari ketentuan Pasal 2 Ayat (1) UUK-PKPU, dapat disimpulkan bahwa permohonan
pernyataan pailit terhadap debitur hanya dapat diajukan apabila memenuhi syarat sebagai
berikut:
a. Debitur terhadap siapa permohonan itu diajdukan harus paling sedikit mempunyai
dua kreditur; atau dengan kata lain larus memiliki lebih dari satu kreditur
b. Debitur tidak membayar lunas sedikitnya satu utang kepada salah satu krediturnya
c. Utang yang tidak dibayar itu harus telah jatuh waktu dan telah dapat ditagih (due and
payable)

4. Akibat Hukum Kepailitan

a) Akibat kepailitan terhadap debitur pailit dan hartanya


Debitur demi hukum kehilangan haknya untuk menguasai dan mengurus harta
kekayaan yang ia miliki
b) Akibat hukum terhadap seluruh perikatan yang dibuat oleh debitur pailit
Semua perikatan debitur yang terbit sesudah putusan pernyataan pailit, tidak lagi
dapat membayar dari harta pailit, kecuali perikatan tersebut menguntungkan harta
pailit (Pasal 25 UUK-PKPU)
c) Akibat hukum bagi kreditur
Kreditur memiliki hak atas hasil eksekusi bundelnya pailit sesuai dengan besarnya
tagihan mereka masing- masing
d) Akibat hukum terhadap eksekusi atas harta kekayaan debitur pailit
Menurut Pasal 31 UUK-PKPU, putusan pernyataan pailit mempunyai akibat bahwa
segala putusan hakim menyangkut setiap bagian harta kekayaan debitur yang telah
diadakan sebelum diputuskannya pernyataan pailit harus segera dihentikan dan sejak
saat yang sama pula tidak satu putusan mengenai hukuman paksaaan badan dapat
dilaksanakan.

5. Pengurusan Harta Pailit

Sejak diucapkannya putusan pailit, debitur yang dinyatakan pailit sudah kehilangan
haknya untuk menguasai dan mengurus harta pailit. Penguasaan dan pengurusan pailit
diserahkan kepada kurator. Namun, yang terlibat dalam pengurusan harta pailit ini tidak
hanya curator, tetapi ada beberapa pihak, yaitu:
1) Hakim Pengawas
Hakim pengawas adalah hakim yang ditunjuk oleh pengadilan niaga dalam putusan
pailit atau putusan penundaan kewajiban pembayaran utang. Hakim pengawas ini
berkewajiban untuk mengawasi pengurusan dan pemberesan harta pailit yang
dilakukan oleh kurator.
2) Kurator
Kurator adalah BPH atau orang atau perseorangan yang diangkat oleh pengadilan
untuk mengurus dan membereskan harta debitur pailit di bawah pengawasan hakim
pengawas. Kurator memiliki tugas utama, yaitu:
a. Tugas administratif, yaitu kurator bertugas untuk mengadministrasikan proses-
proses yang terjadi dalam kepailitan, misalnya melakukan pengumuman;
mengundang rapat- rapat kreditur; mengamankan harta kekayaan debitur pailit;
melakukan investarisasi harta pailit; serta membuat laporan rutin kepada hakim
pengawas.
b. Tugas mengurus/ mengelola harta pailit
c. Tugas melakukan penjualan dan pemberesan
tugas yang paling utama bagi kurator adalah untuk melakukan pemberesan, yaitu
suatu keadaan di mana kurator melakukan pembayaran kepada para kreditur
konkuren dari hasil penjualan harta pailit
3) Panitia Kreditur
Sifat dari adanya panitia kreditur adalah fakultatif. Panitia kreditur adalah pihak yang
mewakili pihak kreditur dalam memperjuangkan sega kepentingan hukum dari pihak
kreditur. Ada dua macam panitia kreditur, yaitu:
a. Panitia kreditur sementara
b. Panitia kreditur tetap
6. Tahapan Kepailitan :
PENGAJUAN
Pengajuan atau permohonan Pailit dapat diajukan oleh debitur yang sudah tidak mampu
membayar hutangnya kepada kreditur dan memiliki dua atau lebih kreditur, dan permohonan
pailit juga bisa diajukan oleh kreditur juga, dengan syarat kreditur tahu bahwa debitur yang
akan dimohonkan memiliki dua atau lebih kreditur selain dirinya.
TATA CARA PENGAJUAN PAILIT
Menurut Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan, prosedur pengajuan
Pailit adalah sebagai berikut:
1. Permohonan pernyataan pailit diajukan kepada Ketua Pengadilan melalui Panitera. (Pasal 6 ayat
2).
2. Panitera menyampaikan permohonan pernyataan pailit kepada Ketua Pengadilan paling lambat 2
(dua) hari setelah tanggal permohonan didaftarkan. Dalam jangka waktu 3 (tiga) hari setelah
tanggal permohonan didaftarkan, pengadilan menetapkan hari sidang.
3. Sidang pemeriksaan dilakukan dalam jangka waktu paling lambat 20 (dua puluh) hari setelah
tanggal permohonan didaftarkan (pasal 6).
4. Pengadilan wajib memanggil Debitor jika permohonan pailit diajukan oleh Kreditor, Kejaksaan,
Bank Indonesia, Badan Pengawas Pasar Modal atau Menteri Keuangan (Pasal 8).
5. Pengadilan dapat memanggil Kreditor jika pernyataan pailit diajukan oleh Debitor dan terdapat
keraguan bahwa persyaratan pailit telah dipenuhi (Pasal 8).
6. Pemanggilan tersebut dilakukan oleh juru sita dengan surat kilat tercatat paling lama 7 hari
sebelum persidangan pertama diselenggarakan (Pasal 8 ayat 2).
7. Putusan Pengadilan atas permohonan pailit harus dikabulkan apabila terdapat fakta terbukti
bahwa persyaratan pailit telah terpenuhi dan putusan tersebut harus diucapkan paling lambat 60
(enam puluh) hari setelah didaftarkan (Pasal 8).
8. Putusan atas permohonan pernyataan pailit tersebut harus memuat secara lengkap pertimbangan
hukum yang mendasari putusan tersebut berikut pendapat dari majelis hakim dan harus
diucapkan dalam sidang yang terbuka untuk umum dan dapat dilaksanakan terlebih dahulu,
sekalipun terhadap putusan tersebut ada upaya hukum (Pasal 8 ayat 7).
PUTUSAN PAILIT
Putusan Pailit terjadi Bilamana suatu perusahaan dapat dikatakan pailit, menurut UU
Kepailitan adalah jika suatu perusahaan memenuhi syarat-syarat yuridis kepailitan. Syarat-
syarat tersebut menurut Pasal 2 UU Kepailitan meliputi adanya debitor yang mempunyai dua
atau lebih kreditor dan tidak membayar lunas sedikitnya satu utang yang telah jatuh waktu
dan dapat ditagih, dinyatakan pailit dengan putusan pengadilan. Kreditor dalam hal ini adalah
kreditor baik konkuren, kreditor separatis maupun kreditor preferen. Sedangkan utang yang
telah jatuh waktu berarti kewajiban untuk membayar utang yang telah jatuh waktu, baik
karena telah diperjanjikan, karena percepatan waktu penagihan sesuai perjanjian ataupun
karena putusan pengadilan, arbiter atau majelis arbitrase. Putusan pailit diperoleh setelah
melakukan persidangan. sebelum masuk proses persidangan pailit, hal yang harus
diperhatikan dalam persidangan pailit, hal yang perlu dan mendasar yang harus diperhatikan
ialah berkas apa saja yang harus diperhatikan dalam persidangan pailit.
Pada dasarnya, mempersiapkan dokumen-dokumen atau berkas-berkas untuk
persidangan perkara permohonan kepailitan hampir sama dengan mempersiapkan dokumen-
dokumen atau berkas-berkas pada perkara gugatan perdata pada umumnya. Dalam hal ini,
fokus dalam perkara perdata ditekankan kepada pembuktian sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 1866 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (“KUHPerdata”). ada beberapa hal yang
perlu menjadi perhatian yaitu antara lain:
1. Surat Kuasa Khusus
Jika kita melihat kepada ketentuan yang diatur dalam HIR, RBG dan RV, pada prinsipnya
semua orang mempunyai hak dan yang ingin menuntut haknya dan/atau orang yang ingin
mempertahankan atau membela haknya dapat bertindak untuk dan atas dirinya sendiri hadir
pada muka persidangan baik selaku penggugat ataupun tergugat. Hal ini berarti siapapun
dapat bertindak mewakili dirinya sendiri di muka pengadilan tanpa harus diwakili oleh Kuasa
Hukum.
Berbeda dengan perkara perdata umum, dalam persidangan permohonan kepailitan pada
lingkup peradilan niaga sebagaimana kita dapat merujuk ketentuan Pasal 7 UU No. 37 Tahun
2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Pembayaran Utang (“UU Kepailitan”) yang
menerangkan bahwa permohonan kepailitan ataupun penundaan kewajiban pembayaran
utang (“PKPU”) harus dan/atau wajib diajukan oleh advokat. Sehingga dalam hal ini surat
kuasa khusus adalah hal mutlak yang harus disiapkan oleh rekan dalam hal persidangan
permohonan kepailitan dan PKPU.
2. Jangka Waktu Persidangan
Merujuk pada Keputusan Ketua Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor
026/KMA/SK/II/2013 tertanggal 9 Februari 2012 tentang Standar Pelayanan Peradilan yang
menjelaskan dalam Bab tentang Standar Pelayanan pada Badan Peradilan Umum, khususnya
untuk Perkara Perdata diterangkan bahwa:
“Pengadilan Wajib menyelenggarakan pemeriksaan perkara (Gugatan, jawaban, replik,
duplik, pembuktian, kesimpulan, putusan, minutasi) diselesaikan dalam jangka waktu
selambat-lambatnya 6 (enam) bulan semenjak perkara didaftarkan.”
Waktu proses pemeriksaan pada peradilan umum perkara perdata sebagaimana disebutkan di
atas berbeda dengan proses pemeriksaan perkara kepailitan pada pengadilan niaga. Dalam
Pasal 8 ayat (5) UU Kepailitan ditegaskan bahwa:
“Putusan pengadilan atas permohonan pernyataan pailit harus diucapkan paling lambat 60
(enam puluh) hari setelah tanggal permohonan pernyataan pailit didaftarkan”. Singkatnya
waktu persidangan membuat para konsultan hukum harus fokus terhadap perkara
permohonan kepailitannya.
3. Fokus adanya utang dan kreditur lain
Di luar penjelasan pada angka 1 dan 2 di atas, maka dalam perkara kepailitan saya juga
menitikberatkan dan juga harus memberikan perhatian khusus mengenai isi dari pada
ketentuan Pasal 2 UU Kepailitan (Umdang –Undang No. 37 Tahun 2004) yang menerangkan
bahwa:
“Debitor yang mempunyai dua atau lebih kreditor dan tidak membayar lunas sedikitnya satu
utang yang telah jatuh waktu dan dapat ditagih, dinyatakan pailit dengan putusan pengadilan,
baik atas permohonannya sendiri maupun atas permohonan satu atau lebih kreditornya.”
Ketentuan dalam pasal ini memaksa kita untuk fokus kepada dua hal pembuktian tentang
utang yang telah jatuh tempo dan dapat ditagih, dan juga pembuktian mengenai kreditur lain
dalam hal kita akan melakukan proses persidangan permohonan kepailitan.
Ø PROSES PERSIDANGAN PAILIT
1. CARA PENGAJUAN
· Diajukan melalui Panitera Pengadilan;
· Dalam tenggang waktu 2 hari, permohonan tersebut harus sudah diasampaikan kepada
Ketua Pengadilan Niaga;
· Panitera mendaftar dan menerbitkan tanda terima tertulis;
· Dalam tenggang waktu 3 hari, permohonan tersebut harus disampaikan kepada; Ketua
Pengadilan Negeri;
· Harus diajukan oleh Penasihat Hukum yang memiliki ijin praktek;
2. PENETAPAN HARI SIDANG
Dalam tenggang waktu 3 hari setelah permohonan, Majelis Hakim harus sudah menetapkan
hari sidang;
3. PANGGILAN SIDANG
· Pengadilan wajib memanggil debitur-kreditur/ kejaksaan, dapat memanggil debitur;
· Panggilan sidang dilakukan dalam tenggang waktu 7 hari sebelum sidang pertama;
4. SIDANG PEMERIKSAAN PERTAMA
· Sidang pemeriksaan pertama, harus dilangsungkan paling lambat 20 hari sejak; pendaftaran;
· Sidang ini dapat ditunda paling lambat 25 hari, sejak tanggal pendaftaran;
5. PEMBACAAN PERMOHONAN GUGATAN
Sebelum permohonan dibacakan, pemohon diberikan kesempatan untuk melakukan
perubahan permohonan;
6. TANGGAPAN SETELAH PEMBACAAN GUGATAN
Setelah permohonan dibacakan lalu Temohon memberikan tanggapan berupa eksepsi,
jawaban pokok perkara, tetapi tidak dimungkinkan Rekonpensi;
7. JAWAB – MENJAWAB
· Tanggapan Pemohon;
· Tanggapan atas Tanggapan Pemohon;
8. PEMBUKTIAN
Pembuktian dilakukan sangat sederhana melalui bukti-bukti tertulis pemohon maupun
termohon;
9. KESIMPULAN
Resume yang dibuat oleh pemohon dan termohon tetapi tidak ada keharusan untuk
membuatnya;
10. PUTUSAN HAKIM
· 60 hari sejak permohonan didaftrkan;
· 3 hari salinan putusan disampaikan Kurator, Hakim pengawas, debitur, pemohon;
· Putusan pengadilan niaga Bersifat serta merta;
11. UPAYA HUKUM
Untuk permohonan kepailitan tidak ada upaya banding tetapi langsung kasasi lalu Peninjauan
Kembali; Namun ada upaya hukum yang dapat dilakukan atas putusan pailit antara lain
Kasasi dan Peninjauan Kembali (PK), sesuai dengan yang tertuang dalam Undang – Undang
No. 37 Tahun 2014 ayat (11) tentang Kepailitan, yang menyatakan :
“Upaya hukum yang dapat diajukan terhadap putusan atas permohonan pernyataan pailit
adalah kasasi ke Mahkamah Agung”.
PENCOCOKAN UTANG PIUTANG
Pencocokan utang dan piutang terjadi pada rapat verifikasi, adalah rapat pendaftaran
utang-piutang, pada langkah ini dilakukan pendataan beberapa jumlah utang dan piutangnya
dimiliki oleh debitur. Verifikasi utang merupakan tahap yang paling penting dalam kepailitan
karena akan ditentukan urutan pertimbangan hak dari masing-masing kreditur. Rapat verifikasi
dipimpin oleh hakim pengawas dan diahdiri oleh :
a. Panitera ( sebagai pencatat );
b. Debitur ( tidak boleh diwakilkan karena nanti debitur harus menjelaskan apabila nanti ada
perbedaan pendapat tentang jumlah tagihan );
c. Kreditur atau kuasanya ( jika berhalangan untuk hadir tidak apa-apa, nantinya mengikuti
hasil rapat );
d. Kurator ( harus hadir karena merupakan pengelola aset ).
PERDAMAIAN (ACCORD)
Perdamain diatur didalam pasal 144 Undang – Undang No. 37 Tahun 2004. Jika perdamaian
diterima maka proses kepailitan berakhir, jika tidak maka akan dilanjutkan ke proses
selanjutnya. Proses perdamaian selalu diupayakan dan diagendakan. Ada beberapa perbedaan
antara perdamaian yang terjadi dalam proses kepailitan dengan perdamaian yang biasa.
Perdamaian dalam proses kepailitan meliputi :
a. Mengikat semua kreditur kecuali krediturseparatis, karena kreditur separatis telah
dijamin tersendiri dengan benda jaminan yang terpisah dengan harta pailit umumnya.
b. Terikat formalitas
c. Ratifikasi dalam sidang holomogasi
d. Jika pengadilan niaga menolak adanya hukum kasasi
e. Ada kekuatan eksekutorial, apa yang tertera dalam perdamaian, pelaksanaannya dapat
dilakukan secara paksa
Proses perdamaian biasa meliputi :
a. Pengajuan usul perdamaian
b. Pengumuman usulan perdamaian
c. Rapat pengambilan keputusan
d. Sidang homoglasi
e. Upaya hukum kasasi
f. Rehablitasi
BERAKHIRNYA KEPAILITAN
Suatu kepailitan berakhir ketika sudah ada perdamaian (accord), yang telah dihomologasi dan
berkekuatan hukum tetap. Setalah kepailitan berakhir maka bisa diajukan rehabilitasi
Rehabilitasi ini adalah pemulihan nama baik pihak yang berkaitan (debitur atau kreditur)
seperti semula.

7. Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU)


Sub pembahasan yang terdapat dalam Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang atau (PKPU)
yaitu :
1. Pengertian PKPU
2. Alasan Pengajuan PKPU
3. Tahapan Proses PKPU

1. Pengertian PKPU
Dalam Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan PKPU pada Pasal 222
ayat (2) disebutkan bahwa :
“Debitor yang tidak dapat atau memperkirakan dapat melanjutkan membayar utang-
utangnya yang sudah jatuh waktu dan dapat ditagih, dapat memohon penundaan
kewajiban pembayaran utang dengan maksud untuk mengajukan rencana perdamaian
yang meliputi tawaran pembayaran sebagian atau seluruh utang kepada kreditor.”
2. Alasan pengajuan PKPU
Ada beberapa alasan yang bisa dijadikan dasar pengajuan PKPU baik oleh debitur maupun
kreditor, yaitu:

 Utang telah masuk bahkan melebihi jatuh tempo sehingga bisa ditagih tetapi debitur
tidak dapat melakukan pembayaran atas utang tersebut.
 Debitur memiliki lebih dari satu kreditor. Artinya pengajuan PKPU dapat dilakukan
baik oleh debitur maupun kreditor apabila utang yang dimiliki debitur tak hanya
bersumber dari satu kreditor saja, tetapi dua atau lebih kreditor.

3. Tahapan proses PKPU

PKPU dapat dilakukan melalui dua tahapan yakni sementara dan tetap.
a. PKPU Sementara
 Pengajuan PKPU baik oleh debitur maupun kreditor harus disertai dengan alasan
jelas dan berkas-berkas yang membuktikan adanya utang-piutang antara pihak
pemohon dengan termohon termasuk jumlah utang debitur dan jumlah piutang di
masing-masing kreditor. Jika dianggap telah memenuhi syarat, maka pengadilan
negeri dapat segera memutus permohonan tersebut dengan PKPU sementara.
 Hasil putusan PKPU sementara berlaku selama maksimal 45 hari sejak
dibacakannya putusan. Pada tahap ini, pengadilan niaga akan menunjuk seorang
hakim pengawas dan mengangkat satu atau lebih pengurus guna mendampingi dan
mengurus harta debitur.
 Hasil putusan PKPU sementara ini kemudian dicatat dalam Berita Negara Republik
Indonesia dan dipublikasikan minimum di dua surat kabar harian. Publikasi
tersebut sekaligus menjadi pengumuman dan undangan bagi debitur juga kreditor
untuk menghadiri rapat kreditor dan permusyawaratan hakim. Tujuan dari
diadakannya rapat tersebut adalah untuk menyesuaikan utang-piutang dan
membahas rencana perdamaian yang diajukan oleh debitur.
 Apabila debitur telah menyiapkan rencana perdamaian yang memuat skema
pembayaran utang kepada seluruh kreditor, maka selanjutnya dapat dilakukan
pemungutan suara untuk mencapai kata mufakat berkenaan dengan rencana
perdamaian tersebut. Namun, jika debitur belum menyusun rencana perdamaian
sama sekali, maka dapat mengajukan permohonan perpanjangan waktu melalui
PKPU tetap.

b. PKPU Tetap
 Mekanisme PKPU tetap dapat diajukan debitur untuk memperoleh perpanjangan
waktu menyusun rencana perdamaian yang akan ditawarkan kepada para kreditor.
Tak hanya itu, PKPU tetap juga dapat diajukan apabila para kreditor belum
memberikan keputusan atas rencana perdamaian yang diajukan debitur.
 Pengadilan niaga akan memberikan putusan PKPU tetap atau tidak berdasarkan
hasil voting yang dilakukan para kreditor. Jika hasil voting memenuhi kuorum yang
disyaratkan dalam Pasal 229 ayat (1) Undang-Undang Kepailitan dan PKPU, maka
pengadilan niaga dapat memberikan putusan PKPU tetap kepada debitur. Demikian
pula sebaliknya.
 Putusan PKPU tetap berlangsung maksimum selama 270 hari sejak putusan PKPU
sementara dibacakan. Namun perlu diingat bahwa jangka waktu tersebut bukanlah
batasan waktu bagi debitur untuk menyelesaikan pembayaran utangnya kepada
para kreditor. Perpanjangan waktu yang diberikan pengadilan niaga tersebut untuk
merundingkan dan membahas rencana perdamaian diantara para pihak.
 Apabila setelah diberikannya perpanjangan waktu melalui putusan PKPU tetap,
belum juga tercapai kesepakatan diantara debitur dengan kreditor terkait rencana
perdamaian yang ditawarkan, maka pengadilan niaga akan menyatakan bahwa
debitur pailit.

KASUS
Masalah gagal bayar yang terjadi pada Koperasi Simpan Pinjam (KSP) Indosurya Cipta
terhadap anggota dan calon anggota saat ini telah masuk ke proses verifikasi piutang dalam
siding Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU). Sebelumnya pihak anggota atau
nasabah sebelumnya menuntut kepailitan. Namun, pihak Koperasi KSP Indosurya Cipta
mencari jalan tengah tanpa harus melalui proses kepailitan, yaitu dengan cara menyiapkan
proposal perdamaian atau restrukturisasi utang atas Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang
(PKPU) kepada anggota atau nasabah koperasi yang mencapai angka sekitar Rp. 10 triliun.
Diberikannya kesempatan melalui jalan perdamaian dalam proses PKPU, Koperasi KSP
Indosurya Cipta dapat menyelesaikan kewajiban-kewajibannya kepada para anggota atau
nasabah melalui skema yang akan dibahas Bersama para anggota atau nasabah. Koperasi
KSP Indosurya Cipta untuk mengatasi masalah tersebut dengan cara perdamaian harus
mempersiapkan proposal perdamaian dan beberapa sumber dana yang akan disuntikkan ke
dalam Koperasi Indosurya PKPU.

https://www.hukumonline.com/berita/baca/lt5e946c180795f/memahami-akar-masalah-
fenomena-gagal-bayar-koperasi-simpan-pinjam

https://www.liputan6.com/bisnis/read/4263841/pkpu-jadi-solusi-terbaik-dalam-masalah-
gagal-bayar-ksp-indosurya

Anda mungkin juga menyukai