Ihya’ Ulûmiddîn, sebuah nama kitab yang sangat tenar di tengah kaum Muslimin,
bukan hanya di Indonesia, bahkan di seluruh dunia. Ditilik dari makna harfiyah
Ihya’ Ulûmiddîn, kita dapati sebuah makna yang sangat agung. Betapa tidak,
Ihya’ Ulûmiddîn yang disematkan oleh penyusun kitab ini sebagai judul karya
tulisnya itu bermakna menghidupkan ilmu-ilmu agama. Keagungan makna ini
tidak diingkari oleh siapapun yang memiliki iman dalam hatinya. Karena, dengan
ilmu-ilmu agama yang diaplikasikan dalam kehidupan nyata, seseorang akan bisa
selamat dari siksa dan murka Allâh Azza wa Jalla serta bisa masuk ke surga-Nya
yang penuh kenikmatan abadi.
Dalam peribahasa kita, ada ungkapan “Tidak ada gading yang tak retak”. Para
Ulama juga telah menegaskan bahwa Allâh Azza wa Jalla tidak menetapkan
keselamatan dari segala bentuk kesalahan kecuali untuk nabi-Nya dan tidak
memberikan jaminan ‘bebas dari kesalahan’ untuk sebuah kitab kecuali untuk
kitab-Nya, al-Qur’ân. Kita juga tidak lupa dengan perkataan Imam Mâlik
rahimahullah : “Semua perkataan orang bisa diterima atau ditolak kecuali
perkataan penghuni kuburan ini (sambil memberi isyarat ke arah makam
Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam ).”
Ini menuntut kita untuk memiliki sifat kritis dan lapang dada. Sifat kritis untuk
menyaring semua info yang masuk ke kita dan sifat lapang dada untuk menerima
segala bentuk kritikan ilmiah yang sampai ke kita.
Kitab yang sangat masyhur ini, ternyata tidak luput dari kesalahan, bahkan
kesalahan fatal, karena terdapat kesalahan dalam masalah aqidah. Mungkin ada
pertanyaan, siapakah kalian sehingga berani menyalahkan kitab tersohor ini
beserta penulisnya yang sangat ternama itu ? Tentu, jawaban kami, bukan kami
yang menyalahkan. Namun para Ulama Islam yang telah menjelaskan sisi-sisi
kekeliruan dan kesalahannya, berdasarkan dalil-dalil al-Qur’ân dan Sunnah yang
mereka kuasai. Itulah pesan yang ingin kami sampaikan agar umat mengetahui
kesalahan-kesalahan tersebut lalu meninggalkannya, bukan untuk merendahkan
apalagi mencela penulisnya. ‘Iyâdzan billâh.
Di antara kesalahan itu, ada yang berawal dari kesalahan dalil, karena ternyata
yang menjadi dalilnya adalah hadits maudhû’ (hadits palsu), seperti hadits :
Hadits ini dihukumi oleh Imam al-‘Irâqi rahimahullah, as-Subki rahimahullah dan
al-Albâni rahimahullah sebagai hadits palsu yang tidak ada asalnya dalam kitab-
kitab hadits. [Lihat Silsilatul Ahâdîtsidh Dha’îfah wal Maudhû’ah 1/60]
Juga hadits :
Taufik yang sedikit lebih baik dari ilmu yang banyak. [Ihyâ’ Ulûmiddîn, 1/31]
Hadits ini juga dihukumi oleh para ulama di atas sebagai sebagai hadits palsu
yang tidak ada asalnya. [Thabaqâtusy Syâfi’iyyatil Kubrâ 6/287 dan Difâ’un ‘anil
Hadîtsin Nabawi hlm. 46]
“Jalan yang paling benar dan terbaik bagi seorang mukallaf dalam beribadah,
suluk terbaik yang dia lakukan yaitu beradab atau bertingkah laku dengan
kandungan (riwayat-riwayat) yang shahîh dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam
(Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam ), sayyid orang terdahulu dan yang
terakhir, manusia termulia pada zaman dahulu dan yang akan datang”.
Akhirnya, kami berdoa, semoga Allâh Azza wa Jalla senantiasa membimbing kita
untuk menempuh jalan yang diridhai dan dicintai-Nya. Amin
Oleh
Ustadz Abdullah bin Taslim al-Buthoni, MA
1. Hadits :
Hadits ini dihukumi oleh Imam al-‘Irâqi rahimahullah, as-Subki rahimahullah dan
al-Albâni rahimaullah sebagai hadits palsu yang tidak ada asalnya dalam kitab-
kitab hadits [2].
2. Hadits :
Taufik yang sedikit lebih baik dari ilmu yang banyak [3].
Hadits ini juga dihukumi oleh para ulama di atas sebagai sebagai hadits palsu
yang tidak ada asalnya [4] .
3. Hadits :
4. Hadits :
Sesungguhnya orang yang berilmu akan disiksa (dalam neraka) dengan siksaan
yang akan membuat sempit (susah) penduduk neraka[8].
Hadits ini dihukumi oleh Imam as-Subki rahimahullah sebagai hadits yang tidak
ada asalnya [9].
5. Hadits :
ِش َرا ُر ْال ُعلَ َما ِء الَّ ِذ ْينَ يَأْتُوْ نَ اأْل ُ َم َرا َء َو ِخيَا ُر اأْل ُ َم َرا ِء الَّ ِذ ْينَ يَأْتُوْ نَ ْال ُعلَ َما َء
Hadits ini juga dihukumi oleh Imam as-Subki rahimahullah sebagai hadits yang
tidak ada asalnya [11].
6. Hadits :
Barangsiapa berkata: ‘Aku adalah seorang mukmin’ maka dia kafir, dan barang
siapa berkata: ‘Aku adalah orang yang berilmu’ maka dia adalah orang yang jahil
(bodoh)”[12] .
Hadits ini juga dihukumi oleh Imam as-Subki rahimahullahsebagai hadits yang
tidak ada asalnya [13] dan dinyatakan lemah oleh Imam as-Sakhâwi rahimahullah
[14].
7. Hadits :
َ ْس لِ ْل َع ْب ِد ِم ْن
صالَتِ ِه إِالَّ َما َعقَ َل َ لَي
Seorang hamba tidak akan mendapatkan (keutamaan) dari shalatnya kecuali apa
yang dipahaminya dari shalatnya [15].
Hadits ini juga dihukumi oleh Imam as-Subki rahimahullah sebagai hadits yang
tidak ada asalnya [16].
8. Hadits :
Sesuatu yang pertama kali Allâh Azza wa Jalla ciptakan adalah akal…”[17] .
Hadits ini dihukumi oleh Imam adz-Dzahabi rahimahullah dan Syaikh al-Albâni
rahimahullah sebagai hadits yang batil dan palsu[18].
9. Hadits :
Barangsiapa yang mengamalkan ilmu yang telah diketahuinya, maka Allâh Azza
wa Jalla akan mewariskan kepadanya ilmu yang belum diketahuinya”[19].
Hadits ini dihukumi oleh Syaikh al-Albâni rahimahullah sebagai hadits yang
palsu[20] .
10. Hadits :
“Wahai manusia, pahamilah (dengan akal) dari Rabb-mu dan saling berwasiatlah
dengan akal”[21] .
Hadits ini adalah hadits palsu, diriwayatkan oleh Dâwûd bin al-Muhabbar dalam
kitab al-‘Aql yang dikatakan oleh Ibnu Hajar: “Dia adalah perawi yang matruk
(ditinggalkan riwayatnya karena sangat lemah) dan kitab al-‘Aql yang ditulisnya
mayoritas berisi hadits-hadits yang palsu”[22] .
11. Hadits tentang shalat ar-Raghâib di bulan Rajab[23] .
Hadits ini dihukumi sebagai hadits palsu oleh Imam al-‘Iraqi [24].