Anda di halaman 1dari 51

PENERAPAN KOMPRES SEREH HANGAT TERHADAP PENURUNAN

SKALA NYERI ARTRITIS RHEUMATOID DI WILAYAH


KERJA PKM ULE KARENG

PROPOSAL
KARYA ILMIAH AKHIR NERS

Disusun Oleh:
Gebinaraseki
NIM P1337420921231

KEMENTRIAN KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA


POLITEKNIK KESEHATAN KEMENKES SEMARANG
JURUSAN KEPERAWATAN SEMARANG
PROGRAM STUDI PROFESI NERS
SEMARANG 2022
DAFTAR ISI

BAB I PENDAHULUAN.......................................................................................1
1.1. Latar Belakang......................................................................................1
1.2. Rumusan Masalah.................................................................................6
1.3. Tujuan...................................................................................................6
1.4. Manfaat Penelitian................................................................................6
BAB II TINJAUAN PUSTAKA............................................................................8
2.1. Definisi Rheumathoid Arthritis............................................................8
2.2. Etiologi Rheumatoid ArthritiS..............................................................8
2.3. Faktor Risiko Rheumatoid Arthritis....................................................10
2.4. Patofisiologi Rheumatoid arthritis.....................................................11
2.5. Manifestasi Klinis Rheumatoid Arthritis............................................11
2.6. Penatalaksanaan Rheumatoid arthritis................................................13
2.7. Definisi Nyeri......................................................................................14
2.8 Fisiologis Nyeri...................................................................................15
2.9. Klasifikasi Nyeri.................................................................................16
2.10. Pengukuran Intensitas Nyeri...............................................................19
2.11. Penatalaksanaan Rasa Nyeri Pada Lansia...........................................21
2.12. Konsep Askep Keluarga Pada Tahap Perkembangan Lansia.............23
2.13. Konsep Kompres Air Sereh Hangat....................................................32
2.14. Kerangka Konsep...............................................................................34
BAB III METODE PENELITIAN.....................................................................35
3.1. Desain Penelitian.................................................................................35
3.2. Subjek Penelitian.................................................................................35
3.3. Fokus Studi..........................................................................................35
3.4. Definisi Operasional............................................................................36
3.5. Lokasi dan Waktu Penelitian..............................................................36
3.6. Instrumen Penelitian............................................................................37
3.7. Pengumpulan Data..............................................................................37
3.8. Pengolahan dan Analisis Data.............................................................38
3.9. Penyajian Data....................................................................................38
3.10. Etika Penelitian...................................................................................38
DAFTAR PUSTAKA...........................................................................................40
BAB I
PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang


Derajat kesehatan dan kesejahteraan penduduk di Indonesia semakin
meningkat, ini berpengaruh pada Usia Harapan Hidup (UHH) di Indonesia.
Berdasarkan laporan World Health Organization (WHO) pada tahun 2020
diperkirakan UHH menjadi 71,7 tahun. Meningkatnya populasi lansia ini
membuat pemerintah perlu merumuskan kebijakan dan program yang
ditujukan kepada kelompok lansia sehingga dapat berperan dalam
pembangunan dan tidak menjadi beban bagi masyarakat. Undang-Undang No
13 Tahun 1998 tentang kesejahteraan lansia menetapkan bahwa batasan umur
lansia di Indonesia adalah 60 tahun ke atas (Kemenkes, 2013).
Lanjut usia adalah seseorang yang telah memasuki usia 60. lanjut usia
mengalami berbagai perubahan baik secara fisik, mental maupun sosial.
perubahan yang bersifat fisik antara lain adalah penurunan kekuatan fisik,
stamina dan penampilan. hal ini dapat menyebabkan beberapa orang menjadi
depresi atau merasa tidak senang saat memasuki masa usia lanjut. mereka
menjadi tidak efektif dalam pekerjaan dan peran sosial, jika mereka
bergantung pada energi fisik yang sekarang tidak dimilikinya lagi (Azizah,
2017).
Pada lansia sistem muskuloskeletal akan mengalami beberapa
perubahan seperti perubahan pada jaringan penghubung (kolagen dan elastin),
berkurangnya kemampuan kartilago untuk beregenerasi, kepadatan tulang
berkurang, perubahan struktur otot, dan terjadi penurunan elastisitas sendi.
Hal ini yang menyebabkan sebagian besar dari lansia mengalami gangguan
sistem muskuloskeletal, yang menyebabkan nyeri sendi (Anies, 2006).
Penurunan kemampuan muskuloskeletal karena nyeri sendi dapat
berdampak pada penurunan aktivitas pada lansia. Aktivitas yang dimaksud
antara lain makan, minum, berjalan, mandi, buang air besar, dan buang air
kecil. Kemandirian pada lansia dinilai dari bagaimana lansia mampu
melakukan aktivitas fisik secara mandiri tanpa bergantung pada orang lain

1
2

(Chintyawati, 2014).
Perubahan yang wajar dalam usia lanjut dapat dilihat terkait dengan
masalah kesehatan yang paling banyak dialami adalah penyakit tidak menular
salah satu diantaranya penyakit kronis. Salah satu penyakit kronis yang paling
banyak menyerang pada lanjut usia adalah arthritis rheumatoid (Diantri dan
Chandra, 2013).
Artritis Reumatoid (AR) merupakan penyakit reumatik autoimun yang
paling sering dijumpai dan merupakan penyakit dengan inflamasi kronik yang
progresif dan menimbulkan kerusakan sendi yang permanen.1,2 Inflamasi
sistemikpada Reumatik juga dikaitkan dengan komorbiditas pada ekstra
articular termasuk penyakit kardiovaskular, sindrom metabolik, osteoporosis,
interstisiallungdisease, infeksi, keganasan, fatigue, depresi dan disfungsi
kognitif sehingga dapat meningkat anmorbiditas dan mortalitas pada pasien
Reumatik. 3 Hal tersebut pada akhirnya akan mengakibatkan biaya sosial
ekonomi yang tinggi dan menurunkan kualitas hidup serta harapan hidup
pasien. Dibandingkan dengan individu tanpa artritis, 36% pasien dilaporkan
memiliki kondisi kesehatan yang lebih buruk dan dua kali lebih tinggi
mengalami limitasi kegiatan serta hampir 30% lebih cenderung membutuhkan
bantuan untuk perawatan pribadi.
Reumatik (Artritis Rhematoid) merupakan suatu penyakit autoimun
yang melibatkan semua kelompok ras maupun etnik terutama pada lansia.
Reumatik pada lansia disebabkan oleh proses penuaan sehingga terjadi
penurunan fungsi tubuh dan penurunan fisik terutama pada sistem
musculoskeletal (Maryam,2008).
World Health Organization (WHO) tahun 2020 jumlah lansia mencapai
28,800,000 (11,34%) dari total populasi. Proporsi jumlah lansia di Indonesia
pada di tahun 2020 mengalami peningkatan 11.34%. sedangkan Data Badan
Pusat Statistik Aceh (2021) jumlah lansia tahun 2020 di provinsi Aceh
mencapai 16,69%.
Penderita reumatik di dunia telah mencapai angka 335 juta dari 2. 130
juta jiwa, artinya 1 dari 6 orang di dunia menderita reumatik. Penderita
reumatik akan terus meningkat. Angka kejadian reumatik menurut World
3

Health Organization (WHO) menunjukkan 2% penduduk dunia mengalami


reumatik terutama wanita. Perbandingan pasien wanita tiga kali lebih banyak
daripada pria (Hyulita, 2014).
Insidensi Reumatik tertinggi terjadi di Eropa Utara dan Amerika Utara
dibandingkan Eropa Selatan. Insidensi di Eropa Utara yaitu 29 kasus/100.000,
38/100.000 di Amerika Utara dan 16.5/100.000 di Eropa Selatan. Prevalensi
Reumatik relatif konstan di banyak populasi yaitu 0,5-1%.Prevalensi tertinggi
dilaporkan terjadi di Pima Indians (5,3%)dan Chippewa Indians (6,8%) dan
prevalensi terendah terjadi pada populasi China dan Jepang(0,2-0,3%).
Jumlah penderita Reumatik di Indonesia belum diketahui dengan pasti,
namun saat ini diperkiraan tidak kurang dari 1,3 juta orang menderita
Reumatik di Indonesia dengan perhitungan berdasarkan angka prevalensi
Reumatik didunia antara 0,5-1%, dari jumlah penduduk Indonesia 268 juta
jiwa pada tahun 2020. Data di Indonesia menunjukkan di daerah Bendungan
Jawa Tengah didapatkan prevalensi Reumatik yaitu 0,34%.9 Data di Malang
menunjukkan pada penduduk berusia diatas 40 tahun didapatkan prevalensi
Reumatik 0,5% di daerah Kotamadya dan 0,6% didaerah Kabupaten.
Berdasarkan data Riskesdas Kementerian Kesehatan Indonesia (2018)
didapatkan prevalensi penyakit sendi di Aceh adalah 13,3% tertinggi se
Indonesia, lansia berusia > 65 tahun prevalensi mencapai 18.6% dan 9.90%
umumnya diderita oleh petani/buruh tani. Rematik termasuk kedalam 10
(sepuluh) penyakit terbanyak di Aceh dimana tahun 2020 dilaporkan kasus
Rematik yang dirawat ditatanan Puskesmas berjumlah 103.073. (Dinas
Kesehatan Aceh, 2021).
Prevalensi dan insiden penyakit ini bervariasi antara populasi satu
dengan lainnya. Wanita memiliki risiko 2-3 kali lebih tinggi terkena AR
dibanding laki-laki. Kejadian akan meningkat seiring dengan bertambahnya
usia namun tidak ada perbedaan secara statistik kasus pada wanita dan laki-
laki di atas usia 70 tahun. Insidensi kasus tertinggi pada kelompok usia 50-54
tahun menunjukkan prevalensi lebih rendah 10 sekitar 0,2%-0,4% (Longo,
2012).
4

Walaupun penyakit ini tidak lansung menyebabkan kematian namun


penyakit Atritis Rheumatid mempunyai konsekuensi yang penting untuk
pelayanan kesehatan, karena dapat mengakibatkan masalah medik,
psikologis, ekonomi dan sosial. Oleh kerena itu penyakit Atritis Rheumatid
haruslah mendapatkan perhatian dalam penanganannya, terutama sebaga
upaya penting dalam peningkatan derajat kesehatan masyarakat. Baik di
negara maju maupun di negara yang sedang berkembang (Mansjoer, 2010).
Timbulnya nyeri membuat penderita seringkali takut untuk bergerak
sehingga menganggu aktivitas sehari-hari dan dapat menurunkan
produktivitasnya (Padila,2012). Disamping itu, dengan mengalami nyeri,
sudah cukup membuat pasien frustasi dalam menjalani hidupnya sehari-hari
sehingga dapat menganggu kenyamanan pasien. Karenanya terapi utama yang
diarahkan adalah untuk menangani nyeri ini (Lahemma,2019). Dampak dari
keadaan ini dapat mengancam jiwa penderitanya atau hanya menimbulkan
gangguan kenyamanan dan masalah yang disebabkan oleh penyakit rematik
tidak hanya berupa keterbatasan yang tampak jelas pada mobilitas hingga
terjadi hal yang paling ditakuti yaitu menimbulkan kecacatan seperti
kelumpuhan dangan ganguan aktivitas hidup sehari-hari (Silaban, 2016).
Penanganan nyeri pada rematik dapat dilakukan dengan dua metode
yaitu dengan farmakologi dan nonfarmakologi (Andri et al., 2019). Dengan
farmakologi bisa menggunakan obat-obatan analgesik, namun lansia pada
proses penuaan mengalami farmakodinamik, farmakokinetik serta
metabolisme obat dalam tubuh lansia sehingga sangat memberi resiko pada
lansia. Selain itu efek yang dapat timbul dalam jangka panjang dapat
mengakibatkan perdarahan pada saluran cerna, tukak peptik, perforasi dan
gangguan ginjal (Mawarni & Despiyadi, 2018).
Manajemen nyeri pada Rheumatoid Arthritis bertujuan untuk
mengurangi atau menghilangkan rasa sakit dan tidak nyaman. Pada intervensi
non farmakologi perawat berperan besar dalam penanggulangan nyeri karena
merupakan tindakan mandiri perawat. Dalam keperwatan terapi non
farmakologis disebut juga keperawatan komplementer. Terapi komplementer
adalah terapi alamiah diantaranya dengan terapi herbal. Pengobatan dengan
5

terapi komplermenter mempunyai manfaat selain dapat meningkatkan


kesehatan secara menyeluruh juga murah, manfaat dengan menggunakan
terapi komplementer dirasakan oleh klien dengan penyakit kronik yang rutin
mnegeluarkan dana seperti membeli obat untuk menghilang rasa nyeri.
Pengalaman klien yang harus memebeli obat dengan harga yang murah
sehingga penegluaran dana untuk membeli obat dapat berkurang setelah
menggunakan pengobatan komplementer. Oleh karena itu, terapi Arthritis
rheumatoid dapat dilakukan dnegan terapi herbal atau dengan menggunakan
terapi tanaman seperti jahe merah, rebusan daun sereh dan dapat juga
menggunakan tekhnik relaksasi,distraksi dan pemberian sesnsasi hangat
dengan cara terapi kompres hangat (perrry, dalam findy 2018).
Kompres adalah suatu metode penggunaan suhu hangat setempat yang
menimbulkan beberapa efek fisiologi. Kompres hangat dapat digunakan pada
pengobatan nyeri dan mereleksasikan otot-otot yang tegang. (Wurangian,
2014) Tanaman yang memiliki zat sebagai penghangat, anti radang dan dapat
memperlancarkan aliran darah seperti serai. Pengolahannya sederhana seperti
dengan kompres serai hangat. Cara ini merupakan alternatif yang dapat
dilakukan secara mandiri dan mempunyai resiko yang rendah. Dalam buku
herbal Indonesia disebutkan bahwa khasiat tanaman serai mengandung
minyak atsiri yang memilki sifat kimiawi dan efek farmakalogi yaitu rasa
pedas dan bersifat hangat sebagai anti radang dan menghilangkan rasa sakit
yang bersifat analgesik serta melancarkan sirkulasi darah dan diindikasikan
untuk mengurangi nyeri sendi, nyeri otot, badan pegelinu dan sakit kepala.
(Hidayat & Napitupilu, 2015)
Penelitian lain yang sudah di lakukan oleh Andriani, (2016) tentang
pengaruh kompres sereh hangat terhadap penurunan intensitas nyeri artritis
rheumatoid pada lanjut usia yang di publikasikan di jurnal iptek terapan
didapatkan mean intesitas nyeri sebelum kompres serei hangat 4,9 dan setelah
dilakukan kompres serei hangat 2,95. Hasil penelitian tersebut didapatkan
perbedaan intensitas nyeri artritis rheumatoid sebelum dan setelah dilakukan
kompres serei hangat.
Berdasarkan hasil observasi yang dilakukan peneliti di PKM ulee
6

kareng Banda Aceh mendapatkan data pada tahun 2022 (bulan Januari -
Mei) jumlah pasien yang mengalami Arthritis rheumatoidyaitu 434 pasien.
jumlah tersebut merupakan data dari poli lansia yang ada di PKM ule kareeng
Banda Aceh. Kemudian peneliti melakukan wawancara terhadap 10 orang
lansia yang mengeluh nyeri sendi Arthritis Rheumatoid, dan mendapatkan
hasil bahwa mereka biasanya untuk menghilangkan rasa nyeri menggunakan
balsam atau minyak gosok. Dari uraian tersebut peneliti tertarik untuk
melakukan penelitian tentang pengaruh kompres hangat rebusan air serai
terhadap penurunan nyeri Arthritis Rheumatoid pada lansia.

1.2. Rumusan Masalah


Berdasarkan dengan latar belakang yang telah dikemukakan diatas,
maka rumusan masalah dalam penelitian ini adalah bagaimanakan penerapan
intervensi keperawatan pada lansia gerontik dengan nyeri artritis rheumatoid
dengan kompres sereh hangat di wilayah kerja PKM Ulee Kareng?

1.3. Tujuan
1.3.1. Tujuan umum
Untuk menggambarkan penerapan asuhan keperawatan keluarga dengan
lansia dengan intervensi kompres sereh hangat terhadap penurunan
intensitas nyeri artritis rheumatoid di wilayah kerja Puskesmas Ulee
Kareng
1.3.2. Tujuan khusus
a. Mengetahui pengkajian keperawatan gerontik dengan kasus Arthritis
rheumatoid.
b. Mengetahui diagnosa keperawatan gerontik dengan kasus
c. Mengetahui intervensi keperawatan gerontik dengan kasus Arthritis
rheumatoid.
d. Mengetahui implementasi dan evaluasi keperawatan gerontik dengan
kasus Arthritis rheumatoid.
e. Mengetahui gambaran nyeri artritis rheumatoid sebelum diberikan
kompres sereh hangat pada lansia.
f. Mengetahui gambaran nyeri artritis rheumatoid setelah diberikan
7

kompres sereh hangat pada lansia.

1.4. Manfaat Penelitian


1.4.1. Bagi Akademik
Penelitian ini diharapkan dapat menjadi referensi keperawatan gerontik
terkait intervensi keperawatan komplementer terapi kompres sereh
hangat terhadap penurunan nyeri atritis rheumatoid.
1.4.2. Bagi Puskesmas
Penelitian ini diharapkan dapat menjadi alternatif terapi komplementer
dengan memanfaat obat tradisional dalam perawatan nyeri pada Artritis
Rheumatoid. Serta menjadi landasan bagi perawat untuk menjalankan
fungsinya sebagai health educator dan health counselor bagi keluarga
dalam memberikan edukasi dan motivasi pada keluarga tentang
perawatan pada pasien artritis rheumatoid.
1.4.3. Bagi Peneliti
Dapat memberikan pengalaman dan pengetahuan yang berharga serta
menambah wawasan peneliti dalam proses penelitian.
1.4.4. Bagi Pengembangan Penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi referensi penelitian
selanjut terkait alternatif terapi lainnya dalam menurunkan nyeri pasien
artritis rheumatoid.
8
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Definisi Rheumathoid Arthritis


Arthritis rheumatoid (RA) merupakan gangguan peradangan kronis
autoimun atau respon autoimun, dimana imun seseorang bisa terganggu dan
turun yang menyebabkan hancurnya organ sendi dan lapisan pada sinovial,
terutama pada tangan, kaki dan lutut (Sakti & Muhlisin, 2019; Masruroh &
Muhlisin, 2020). Sebagian besar masyarakat Indonesia menganggap remeh
penyakit Rematik, karena sifatnya yang seolah-olah tidak menimbulkan
kematian padahal rasa nyeri yang ditimbulkan sangat menghambat seseorang
untuk melakukan aktivitas sehari-hari (Nurwulan, 2017). Penyakit Rematik
sering kita dengar di masyarakat, Namun pemahaman yang benar tentang
Rematik di keluarga belum memuaskan (Siahaan et al., 2017).
Kata arthritis berasal dari bahasa Yunani, “arthon” yang berarti sendi,
dan “itis” yang berarti peradangan. Secara harfiah, arthritis berarti radang
pada sendi. Sedangkan Rheumatoid Arthritis adalah suatu penyakit autoimun
dimanan persendian (biasanya tangan dan kaki) mengalami peradangan,
sehingga terjadi pembengkakan, nyeri dan seringkali menyebabkan kerusakan
pada bagian dalam sendi (Febriana,2015). Penyakit ini sering menyebabkan
kerusakan sendi, kecacatan dan banyak mengenai penduduk pada usia
produktif sehingga memberi dampak sosial dan ekonomi yang besar.
Diagnosis dini sering menghadapai kendala karena pada masa dini sering
belum didapatkan gambaran karakteristik yang baru akan berkembang sejalan
dengan waktu dimana sering sudah terlambat untuk memulai pengobatan
yang adekuat (Febriana,2015).

2.2. Etiologi Rheumatoid ArthritiS


Etiologi RA belum diketahui dengan pasti. Namun, kejadiannya
dikorelasikan dengan interaksi yang kompleks antara faktor genetik dan
lingkungan (Suarjana, 2009)

9
10

a. Faktor genetik
Hal ini terbukti dari terdapatnya hubungan antara produk kompleks
histokompatibilitas utama kelas II, khususnya HLA-DR4 dengan AR
seropositif. Pengemban HLA-DR4 memiliki resiko relative 4:1 untuk
menderita penyakit ini. Genetik, berupa hubungan dengan gen HLA-DRB1
dan faktor ini memiliki angka kepekaan dan ekspresi penyakit sebesar 60%
(Suarjana, 2009).
b. Hormon Sex
Hormon Sex, perubahan profil hormon berupa stimulasi dari Placental
Corticotraonin Releasing Hormone yang mensekresi dehidropiandrosteron
(DHEA), yang merupakan substrat penting dalam sintesis estrogen
plasenta. Dan stimulasi esterogen dan progesteron pada respon imun
humoral (TH2) dan menghambat respon imun selular (TH1). Pada RA
respon TH1 lebih dominan sehingga estrogen dan progesteron mempunyai
efek yang berlawanan terhadap perkembangan penyakit ini (Suarjana,
2009).
c. Faktor lingkungan termasuk infeksi oleh bakteri atau virus
Umumnya onset penyakit ini terjadi secara mendadak dan timbul dengan
disertai oleh gambaran inflamasi yang mencolok. Faktor Infeksi, beberapa
agen infeksi diduga bisa menginfeksi sel induk semang (host) dan merubah
reaktivitas atau respon sel T sehingga muncul timbulnya penyakit RA
(Suarjana, 2009).
d. Faktor stress
Pada saat stress keluar heat shock protein (HSP) yang merupakan
sekelompok protein berukuran sedang (60-90 kDa) yang dibentuk oleh
seluruh spesies pada saat stres
e. Penuaaan
Seiring dengan bertambahnya usia, struktur anatomis dan fungsi organ
mulai mengalami kemunduran. Pada lansia, cairan synovial pada sendi
mulai berkurang sehingga pada saat pergerakan terjadi gesekan pada
tulang yang menyebabkan nyeri.
11

f. Inflamasi
Inflamasi meliputi serangkaian tahapan yang saling berkaitan. Antibodi
imunoglobulin membentuk komplek imun dengan antigen. Fagositosis
komplek imun akan dimulai dan menghasilkan reaksi inflamasi
(pembengkakan, nyeri serta edema pada sendi)

2.3. Faktor Risiko Rheumatoid Arthritis


Faktor risiko yang berhubungan dengan peningkatan kasus RA
dibedakan menjadi dua yaitu faktor risiko yang tidak dapat dimodifikasi dan
faktor risiko yang dapat dimodifikasi:
2.3.1 Tidak Dapat Dimodifikasi
1. Faktor genetik
Faktor genetik berperan 50% hingga 60% dalam perkembangan
RA. Gen yang berkaitan kuat adalah HLA-DRB1. Selain itu juga ada
gentirosin fosfatase PTPN 22 di kromosom 1. Perbedaan substansial pada
faktor genetik RA terdapat diantara populasi Eropa dan Asia. HLADRB1
terdapat di seluruh populasi penelitian, sedangkan polimorfisme PTPN22
teridentifikasi di populasi Eropa dan jarang pada populasi Asia. Selain itu
ada kaitannya juga antara riwayat dalam keluarga dengan kejadian RA
pada keturunan selanjutnya.
2. Usia
RA biasanya timbul antara usia 40 tahun sampai 60 tahun. Namun
penyakit ini juga dapat terjadi pada dewasa tua dan anak-anak
(Rheumatoid Arthritis Juvenil). Dari semua faktor risiko untuk timbulnya
RA, faktor ketuaan adalah yang terkuat. Prevalensi dan beratnya RA
semakin meningkat dengan bertambahnya usia. RA hampir tak pernah
pada anak-anak, jarang pada usia dibawah 40 tahun dan sering pada usia
diatas 60 tahun.
3. Jenis kelamin
RA jauh lebih sering pada perempuan dibanding laki-laki dengan
rasio 3:1. Meskipun mekanisme yang terkait jenis kelamin masih belum
jelas. Perbedaan pada hormon seks kemungkinan memiliki pengaruh.
12

2.4. Patofisiologi Rheumatoid arthritis


Inflamasi mula-mula mengenai sendi-sendi sinovial seperti edema,
kongesti vaskuler, eksudat febrin dan infiltrasi selular. Peradangan yang
berkelanjutan, sinovial menjadi menebal, terutama pada sendi artikular
kartilago dari sendi. Pada persendian ini granulasi membentuk pannus, atau
penutup yang menutupi kartilago. Panus masuk ke tulang subchondria.
Jaringan granulasi menguat karena radang menimbulkan gangguan pada
nutrisi kartilago artikuler.
Kartilago menjadi nekrosis, tingkat erosi dari kartilago menentukan
tingkat ketidakmampuan sendi. Bila kerusakan kartilago sangat luas maka
terjadi adhesi di antara permukaan sendi, karena jaringan fibrosa atau tulang
bersatu (ankilosis). Kerusakan kartilago dan tulang menyebabkan tendon dan
ligamen jadi lemah dan bisa menimbulkan subluksasi atau dislokasi dari
persendian. Invasi dari tulang subchondrial bisa menyebabkan osteoporosis
setempat.
Lamanya rhematoid arthritis berbeda dari tiap orang ditandai dengan
masa adanya serangan dan tidak adanya serangan. Sementara ada orang yang
sembuh dari serangan pertama dan selanjutnya tidak terserang lagi. Ada juga
klien terutama yang mempunyai faktor rhematoid (seropositif gangguan
rhematoid) gangguan akan menjadi kronis yang progresif (Mujahidullah,
2012).

2.5. Manifestasi Klinis Rheumatoid Arthritis


1. Manifestasi artikular
Poliartritis yaitu adanya nyeri, bengkak, kemerahan, dan teraba
hangat pada sendi, akibat adanya sinovitis (inflamasi pada membran
sinovial), yang bersifat simetris dan bilateral.
• Kekakuan sendi di pagi hari yang berlangsung lebih dari 1 jam dan
akan membaik setelah digunakan beraktivitas.
• Sendi yang umumnya terlibat adalah sendi pergelangan tangan,
proksimal interfalang (PIP), metakarpofalang (MCP), dan
Metatarsofalang II - V (MTP II - V), sedangkan sendi distal interfalang
(DIP) dan sakroiliaka umumnya tidak terlibat.
13

• Deformitas sendi yang dapat dijumpai antara lain:


 Deformitas leher angsa (swan neck), yaitu hiperekstensi PIP dan
hiperfleksi DIP.
 Deformitas boutonniere, yaitu hiperfleksi PIP dan hiperekstensi DIP.
 Deformitas Z-thumb, yaitu fleksi dan subluksasi sendi MCP I dan
hiperekstensi sendi interfalang.
 Hallux valgus, yaitu MTP I terdesak kearah medial, dan ibu jari kaki
mengalami deviasi kearah lateral yang terjadi bilateral.

2. Manifestasi ekstraartikular
Tabel 2.1 Manifestasi ekstraartikular artritis reumatoid
Sistem Organ Manifestasi Klinis
Konstitusional Demam, anoreksia, kelelahan
Nodul reumatoid, vaskulitis reumatoid, pioderma
Kulit
gangrenosum
Keratokonjungtivitis sika, episkleritis, skleritis,
Mata
skleromalasia perforans
Perikarditis, miokarditis, endokarditis, efusi
Kardiovaskular
pericardium
Pleuritis, efusi pleura, nodul reumatoid pada paru,
Paru-paru penyakit paru
interstisial

Sistem Organ Manifestasi Klinis


Anemia penyakit kronis, trombositosis, Felty’s
Hematologi syndrome (AR dengan neutropenia dan
splenomegali)
Gastrointestinal Xerostomia, amiloidosis, vaskulitis
Neurologi Mielopati, entrapment neuropathy
Tubulo-interstisial nefritis, renal tubular acidosis
Ginjal
(RTA)
Metabolik Osteoporosis
Otot Miositis
14

2.5. Pemeriksaan Penunjang Rheumatoid arthritis


Pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan:
• Pemeriksaan darah lengkap, CRP/LED
• Pemeriksaan faktor reumatoid
• Pemeriksaan anti-CCP/ACPA (anticyclic citrullinated peptide antibody)*
• Pemeriksaan fungsi ginjal dan hati untuk membantu pemilihan terapi
• Pemeriksaan radiografi (X-ray dan MRI)

2.6. Penatalaksanaan Rheumatoid arthritis


Terapi pada AR meliputi:
1. Terapi Non Farmakologi
• Edukasi
Edukasi kepada pasien tentang penyakit AR termasuk program
pengobatan, risiko dan manfaat pengobatan yang diberikan, pentingnya
menjaga berat badan ideal karena obesitas dapat memberikan beban lebih
terhadap sendi dan dapat memicu eksaserbasi.
• Latihan dan program rehabilitasi
Program latihan fisis direkomendasikan untuk penderita AR, namun
harus disesuaikan dengan kondisi penyakit dan morbiditas masing-
masing penderita. Latihan aerobik dapat dikombinasikan dengan latihan
penguatan otot, latihan untuk kelenturan, koordinasi, kecekatan tangan
dan kebugaran tubuh.

2. Terapi Farmakologi
• DMARD (Disease Modifying Anti Rheumatic Drugs) sintetis
konvensional (csDMARD)
Tabel 2.2 Pilihan obat csDMARD
csDMARD Dosis
Metotreksat (MTX) 7,5–25 mg/minggu, p.o
2x500 mg/hari, dapat ditingkatkan sampai 3x
Sulfasalazin
1000 mg/hari
Hidroksiklorokuin 200–400 mg/hari, p.o.
Leflunomide 20 mg/hari, p.o
Siklosporin 2,5–5 mg/kgBB/hari, dibagi 2 dosis, p.o.
15

• Suplementasi asam folat, dengan dosis 5 mg/minggu, harus diberikan


pada pemberian metotreksat.
• DMARD Biologi (bDMARD): etanercept, adalimumab, infliximab,
golimumab, rituximab, tocilizumab
• Targeted Synthetic DMARD (tsDMARD): Tofacitinib, Baricitinib,
Filgotinib
• Kortikosteroid
o Kortikosteroid dosis rendah (<7,5 mg/hari) dan sedang (7,5–30
mg/hari) dapat digunakan dalam terapi AR, sebagai terapi bridging
(sementara) menunggu efek csDMARD bekerja, selanjutnya
diturunkan dan dihentikan.
o Selama penggunaan kortikosteroid perlu diperhatikan efek samping
seperti hipertensi, retensi cairan, hiperglikemi, osteoporosis, dan
kemungkinan aterosklerosis.
o ACR menyarankan pemberian kalsium 1500 mg dan vitamin D 400-
800 IU/hari.
• OAINS
o OAINS dapat digunakan sebagai terapi awal untuk mengurangi nyeri.
o Pemberian OAINS tidak memengaruhi perjalanan penyakit atau
mencegah kerusakan sendi.
3. Pembedahan
Tindakan pembedahan dipertimbangkan pada penderita AR jika:
• Terdapat nyeri berat yang berhubungan dengan kerusakan sendi yang
ekstensif
• Keterbatasan gerak sendi yang bermakna atau keterbatasan fungsi yang
berat
• Ada ruptur tendon

2.7. Definisi Nyeri


Nyeri merupakan suatu sensasi yang tidak menyenangkan baik secara
sensori maupun emosional yang berhubungan dengan adanya suatu kerusakan
jaringan atau faktor lain, sehingga individu merasa tersiksa yang akhirnya
mengganggu aktivitas sehari - hari dan psikis (Asmadi, 2008 Mujahidin,
Palasa, & Utami, 2018).
16

Nyeri adalah pengalaman sensorik dan emosional yang tidak


menyenangkan yang terkait dengan keruskan jaringan aktual atau potensial ,
atau dijelaskan dalam hal kerusakan tersebut . pain is an unpleasant senory
and emotional experience associated with actual or potential tissue demege,
or disribed in terms of such damege. Defenisi adalah defenisi lama yang
dibuat oleh asosiasi international untuk strudi nyeri/ the international
association for the study of pain (IASP). Belakangan disfinisi tersebut direvisi
mengingat definisi tersebut meng-exlude bayi lanjut usia,termasuk hewan
karena tidak dapat menjelaskan nyeri yang dialaminya . Adapun defisi terbaru
yang dialaminya. Adapun definisi terbaru yang dibuat IASP, yaitu nyeri
merupakan pengalaman sensorik dan emosional yang tidak menyenangkan
yang terkait dengan atau menyerupai yang terkait dengan, keruskaan
jaringan aktual potensial. Pain is an unpleasant sensory and emotional
experiance associated with, or resembling that associated with, actual or
potential tissue damage (IASP,2021).
Nyeri sendi adalah suatu peradangan sendi yang ditandai dengan
pembengkakan sendi, warna kemerahan, panas, nyeri dan terjadinya
gangguan gerak. Pada keadaan ini lansia sangat terganggu, apabila lebih dari
satu sendi yang terserang. Nyeri sendi merupakan pengalaman subjektif yang
dapat memengaruhi kualitas hidup lansia termasuk gangguan aktivitas
fungsional lansia (Qodariyah,2018).
Berdasarkan definisi- definisi di atas dapat disimpulkan bahwa nyeri
adalah suatu pengalaman sensori yang tidak menyenangkan dan menyakitkan
bagi tubuh sebagai respon karena adanya kerusakan atau trauma jaringan
maupun gejolak psikologis yang diungkapkan secara subjektif oleh individu
yang mengalaminya.

2.8 Fisiologis Nyeri


Nyeri selalu dikaitkan dengan adanya stimulus (rangsang nyeri) dan
reseptor. Reseptor yang dimaksud adalah nosireseptor, yaitu ujung- ujung
saraf bebas pada kulit yang berespon terhadap stimulus yang kuat. Reseptor
nyeri merupakan sel-sel khusus yang mendeteksi perubahan- perubahan
partikular disekitarnya, reseptor ini dapat terbagi menjadi exteroreseptor,
Telereseptor, Propioseptor dan Interoseptor.
17

Bagan 2.1 : Proses terjadinya nyeri (Prasetyo, 2010)

2.9. Klasifikasi Nyeri


Berdasarkan sumber nyeri, maka nyeri dibagi menjadi:
a. Nyeri somatik luar
Nyeri yang stimulusnya berasal dari kulit, jaringan subkutan dan
membran mukosa. Nyeri biasanya dirasakan seperti terbakar, jatam dan
terlokalisasi
b. Nyeri somatik dalam
Nyeri tumpul (dullness) dan tidak terlokalisasi dengan baik akibat
rangsangan pada otot rangka, tulang, sendi, jaringan ikat
c. Nyeri visceral
Nyeri karena perangsangan organ viseral atau membran yang
menutupinya (pleura parietalis, perikardium, peritoneum). Nyeri tipe ini
18

dibagi lagi menjadi nyeri visceral terlokalisasi, nyeri parietal


terlokalisasi, nyeri alih viseral dan nyeri alih parietal.
Klasifikasi yang dikembangkan oleh IASP didasarkan pada lima aksis
yaitu: 2
Aksis I : regio atau lokasi anatomi nyeri
Aksis II : sistem organ primer di tubuh yang berhubungan dengan
timbulnya nyeri
Aksis III : karekteristik nyeri atau pola timbulnya nyeri (tunggal, reguler,
kontinyu)
Aksis IV : awitan terjadinya nyeri
Aksis V : etiologi nyeri

Berdasarkan jenisnya nyeri juga dapat diklasifikasikan menjadi:


a. Nyeri nosiseptif
Karena kerusakan jaringan baik somatik maupun viseral. Stimulasi
nosiseptor baik secara langsung maupun tidak langsung akan
mengakibatkan pengeluaran mediator inflamasi dari jaringan, sel imun
dan ujung saraf sensoris dan simpatik.
b. Nyeri neurogenic
Nyeri yang didahului atau disebabkan oleh lesi atau disfungsi primer
pada system saraf perifer. Hal ini disebabkan oleh cedera pada jalur serat
saraf perifer, infiltrasi sel kanker pada serabut saraf, dan terpotongnya
saraf perifer. Sensasi yang dirasakan adalah rasa panas dan seperti
ditusuk-tusuk dan kadang disertai hilangnya rasa atau adanya sara tidak
enak pada perabaan. Nyeri neurogenik dapat menyebakan terjadinya
allodynia. Hal ini mungkin terjadi secara mekanik atau peningkatan
sensitivitas dari noradrenalin yang kemudian menghasilkan
sympathetically maintained pain (SMP). SMP merupakan komponen
pada nyeri kronik. Nyeri tipe ini sering menunjukkan respon yang buruk
pada pemberian analgetik konvensional.
19

c. Nyeri psikogenik
Nyeri ini berhubungan dengan adanya gangguan jiwa misalnya cemas
dan depresi. Nyeri akan hilang apabila keadaan kejiwaan pasien tenang.

Berdasarkan timbulnya nyeri dapat diklasifikasikan menjadi:


a. Nyeri akut
Nyeri yang timbul mendadak dan berlangsung sementara. Nyeri ini
ditandai dengan adanya aktivitas saraf otonom seperti : takikardi,
hipertensi, hiperhidrosis, pucat dan midriasis dan perubahan wajah :
menyeringai atau menangis Bentuk nyeri akut dapat berupa:
1. Nyeri somatik luar : nyeri tajam di kulit, subkutis dan mukosa
2. Nyeri somatik dalam : nyeri tumpul pada otot rangka, sendi dan
jaringan ikat
3. Nyeri viseral : nyeri akibat disfungsi organ visceral
b. Nyeri kronik
Nyeri berkepanjangan dapat berbulan-bulan tanpa tanda2 aktivitas
otonom kecuali serangan akut. Nyeri tersebut dapat berupa nyeri yang
tetap bertahan sesudah penyembuhan luka (penyakit/operasi) atau
awalnya berupa nyeri akut lalu menetap sampai melebihi 3 bulan. Nyeri
ini disebabkan oleh :
1. kanker akibat tekanan atau rusaknya serabut saraf
2. non kanker akibat trauma, proses degenerasi dll

Berdasarkan penyebabnya nyeri dapat diklasifikasikan menjadi:


a. Nyeri onkologik
b. Nyeri non onkologik

Berdasakan derajat nyeri dikelompokan menjadi:


a. Nyeri ringan adalah nyeri hilang timbul, terutama saat beraktivitas
sehari hari dan menjelang tidur.
b. Nyeri sedang nyeri terus menerus, aktivitas terganggu yang hanya
hilan gbila penderita tidur.
c. Nyeri berat adalah nyeri terus menerus sepanjang hari, penderita tidak
dapat tidur dan dering terjaga akibat nyeri.( Ni Putu Wardani 2014)
20

2.10. Pengukuran Intensitas Nyeri


Nyeri merupakan masalah yang sangat subjektif yang dipengaruhi
oleh psikologis, kebudayaan dan hal lainnya, sehingga mengukur intensitas
nyeri merupakan masalah yang relatif sulit. Ada beberapa metoda yang
umumnya digunakan untuk menilai intensitas nyeri, antara lain :
1. Verbal Rating Scale (VRSs)
Metoda ini menggunakan suatu word list untuk mendiskripsikan
nyeri yang dirasakan. Pasien disuruh memilih kata-kata atau kalimat
yang menggambarkan karakteristik nyeri yang dirasakan dari word list
yang ada. Metoda ini dapat digunakan untuk mengetahui intensitas nyeri
dari saat pertama kali muncul sampai tahap penyembuhan. Penilaian ini
menjadi beberapa kategori nyeri yaitu:
- tidak nyeri (none)
- nyeri ringan (mild)
- nyeri sedang (moderate)
- nyeri berat (severe)
- nyeri sangat berat (very severe)

2. Numerical Rating Scale (NRSs)


Metoda ini menggunakan angka-angka untuk menggambarkan
range dari intensitas nyeri. Umumnya pasien akan menggambarkan
intensitas nyeri yang dirasakan dari angka 0-10. ”0”menggambarkan
tidak ada nyeri sedangkan ”10” menggambarkan nyeri yang hebat.
21

Gambar 2.1. Numeric pain intensity scale


3. Visual Analogue Scale (VASs)
Metoda ini paling sering digunakan untuk mengukur intensitas
nyeri. Metoda ini menggunakan garis sepanjang 10 cm yang
menggambarkan keadaan tidak nyeri sampai nyeri yang sangat hebat.
Pasien menandai angka pada garis yang menggambarkanintensitas nyeri
yang dirasakan. Keuntungan menggunakan metoda ini adalah sensitive
untuk mengetahui perubahan intensitas nyeri, mudah dimengerti dan
dikerjakan, dan dapat digunakan dalam berbagai kondisi klinis.
Kerugiannya adalah tidak dapat digunakan pada anak-anak dibawah 8
tahun dan mungkin sukar diterapkan jika pasien sedang berada dalam
nyeri hebat.

Gambar 2.2. Visual Analog scale

4. McGill Pain Questionnaire (MPQ)


Metoda ini menggunakan check list untuk mendiskripsikan gejala-
gejal nyeri yang dirasakan. Metoda ini menggambarkan nyeri dari
berbagai aspek antara lain sensorik, afektif dan kognitif. Intensitas nyeri
digambarkan dengan merangking dari ”0” sampai ”3”.

5. The Faces Pain Scale


Metoda ini dengan cara melihat mimik wajah pasien dan biasanya
untuk menilai intensitas nyeri pada anak-anak.
22

Gambar 2.3. Faces Pain Scale

2.11. Penatalaksanaan Rasa Nyeri Pada Lansia


Walaupun lansia lebih banyak mengalami rasa nyeri dibandingkan
populasi lainnya, namun laporan rasa nyeri pada lansia seringkali lebih
rendah dan pengobatannya tidak adekuat. Keadaan komorbid seringkali
terjadi pada lansia. Banyak penderita berusia lebih dari 65 tahun menderita
penyakit non-reumatik seperti penyakit kardiovaskuler, diabetes, hipertensi
dan penyakit ginjal yang membatasi aktifitas fungsional.
Menurut Martono& Kris (2009) dalam penatalaksanaan rasa nyeri,
diagnosis spesifik untuk menentukan tipe nyeri sangat membantu pemilihan
analgesik atau terapi lain. Penatalaksanaan nyeri dapat melalui farmakologis
dan terapi non-farmakologis.
a. Farmakologis
Manajemen farmakologi yang dilakukan adalah pemberian analgesik atau
obat penghilang rasa sakit (Blacks & Hawks,2009). Obat-obat yang dapat
diberikan adalah :
1) Analgesik Opioid
Analgesik opioid terdiri dari turunan opium, seperti morfin dan kodein.
Opioid meredakan nyeri dan memberi rasa euphoria lebih besar
dengan mengikat reseptor opiat dan mengaktivasi endogen (muncul
dari penyebab di dalam tubuh) penekan nyeri dalam susunan saraf
pusat. Perubahan alam perasaan dan sikap serta perasaan sejahtera
membuat individu lebih nyaman meskipun nyeri tetap dirasakan
(Kozier, et al., 2010).
23

2) Obat-obatan anti-inflamasi nonopioid / nonsteroid (non


steroidantiinflamation drugs/NSAID)
Non opioid mencakup asetaminofen dan obat anti inflamasi non steroid
(NSAID) seperti ibuprofen. NSAID memiliki efek anti inflamasi,
analgesik, dan antipiretik, sementara asetaminofen hanya memiliki
efek analgesik dan antipiretik. Obat-obatan ini meredakan nyeri
dengan bekerja pada ujung saraf tepi di tempat cedera dan
menurunkan tingkat mediator inflamasi serta mengganggu produksi
prostaglandin di tempat cedera (Kozier, et al., 2010).
3) Analgesik penyerta
Analgesik penyerta adalah sebuah obat yang bukan dibuat untuk
penggunaan analgesik tetapi terbukti mengurangi nyeri kronik dan
kadang kala nyeri akut, selain kerja utamanya (Kozier, et al., 2010).

b. Terapi Non-Farmakologis
1) Intervensi fisik
Intervensi fisik bertujuan menyediakan kenyamanan, mengubah
respon fisiologis, dan mengurangi rasa takut yang berhubungan
dengan imobilitas akibat rasa nyeri atau keterbatasan aktivitas
(Kozier, et al., 2010).
2) Aplikasi panas dan dingin
Aplikasi panas dan dingin dapat dilakukan dengan mandi air hangat,
bantalan panas, kantong es, pijat es, kompres panas atau dingin dan
mandi rendam hangat atau dingin. Aplikasi ini secara umum
meredakan nyeri dan meningkatkan penyembuhan jaringan yang luka
(Kozier, et al., 2010). Terapi panas meningkatkan aliran darah,
meningkatkan metabolisme jaringan, menurunkan vasomotor tone,
dan meningkatkan viskoelastisitas koneksi jaringan, menjadikannya
efektif untuk mengatasi kekakuan sendi dan nyeri. Kompres hangat
memiliki beberapa pengaruh meliputi melebarkan pembuluh darah
dan memperbaiki peredaran daerah di dalam jaringan tersebut, pada
otot panas memiliki efek menurunkan ketegangan, meningkatkan sel
24

darah putih secara total dan fenomena reaksi peradangan serta adanya
dilatasi pembuluh darah yang mengakibatkan peningkatan sirkulasi
darah serta peningkatan tekanan kapiler (Anugraheni, 2013).
3) Stimulasi saraf elektrik transkutan (TENS)
TENS adalah sebuah metode pemberian stimulasi elektrik bervoltase
rendah secara langsung ke area nyeri yang telah teridentifikasi, ke
titik akupresur, di sepanjang kolumna spinalis. Stimulasi kutaneus
dari unit TENS diperkirakan mengkativasi serabut saraf berdiameter
besar yang mengatur impuls nosiseptif di sistem saraf tepi dan sistem
saraf pusat sehingga menghasilkan penurunan nyeri (Kozier, et al.,
2010).

2.12. Konsep Askep Keluarga Pada Tahap Perkembangan Lansia


1. Definisi lansia
Lansia adalah seseorang yang telah berusia >60 tahun dan tidak
berdaya mencari nafkah sendiri untuk memenuhi kebutuhan hidupnya
sehari-hari (Ratnawati, 2017).
Menurut Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 13 tahun
1998 tentang kesejahteraan lanjut usia, yang dimaksud dengan lanjut usia
(Lansia) adalah seseorang yang telah mencapai usia 60 tahun ke atas.
Departemen Kesehatan RI memberikan batasan lansia sebagai berikut:
a. Virilitas (prasenium) : masa persiapan usia lanjut yang menampakkan
kematangan jiwa (usia 55-59 tahun)
b. Usia lanjut dini (senescen) : kelompok yang mulai memasuki masa
usia lanjut dini (usia 60-64 tahun).
c. Lansia beresiko tinggi untuk menderita berbagai penyakit degeneratif :
usai diatas 65 tahun (Fatmah, 2010).

2. Tahap Perekembangan Keluarga dengan Lansia


Keluarga adalah dua orang atau lebih yang disatukan oleh ikatan-
ikatan kebersamaan dan ikatan emosional dan mengidentifikasian diri
mereka sebagai bagian dari keluarga (Zakaria, 2017). Sedangkan
menurut Depkes RI tahun 2000, keluarga adalah unit terkecil dari
25

masyarakat yang terdiri dari kepala keluarga dan beberapa orang yang
terkumpul dan tinggal di suatu tempat di bawah satu atap dalam keadaan
saling kebergantungan. Duval dan Logan (1986 dalam Zakaria,
2017)mengatakan keluarga adalahsekumpulan orang dengan ikatan
perkawinan, kelahiran dan adopsi yang bertujuan menciptakan,
mempertahankan budaya dan meningkatkan pertumbuhan fisik, mental,
emosional serta sosial dari tiap anggota keluarganya.Dari hasil analisa
Walls, 1986 (dalam Zakaria, 2017) keluarga sebagai unit yang perlu
dirawat, boleh jadi tidak diikat oleh hubungan darah atau hukum, tetapi
berfungsi sedemikian rupa sehingga mereka menganggap diri mereka
sebagai suatu keluarga.

3. Pengkajian Keluarga dengan Lansia


Pengkajian Keluarga merupakan suatu tahapan dimana perawat
dimana suatu perawat mengambil informasi dari keluarga dengan
pendekatan sistematis untuk mengumpulkan data dan menganalisa,
sehingga dapat di ketahui kebutuhan keluarga yang di binanya. Metode
dalam pengkajian bisa melalui wawancara, observasi vasilitas dan
keadaan rumah, pemeriksaan fisik dari anggota keluarga dan
measurement dari data sekunder (hasil lab, papsmear, dll). (Susanto,
2012).

4. Penegakan Diagnosis dan Prioritas Masalah


NANDA (2012) mengartikan bahwa diagnosis keperawatan
merupakan penilaian klinis mengenai respon individu, keluarga, atau
komunitas terhadap masalah kesehatan atau proses hidup yang aktual
maupun potensial. Pernyataan diagnosis keperawatan keluarga menurut
NANDA (2012) mencakup pernyataan diagnosis keperawatan yang
diangkat dan identitas keluarga yang mengalami masalah.
Proses keperawatan keluarga menitikberatkan kepada adanya
partisipasi aktif dari anggota keluarga dalam setiap prosesnya. Penegakan
diagnosis melibatkan proses analisa informasi bersama keluarga untuk
merumuskan masalah-masalah yang ada dan tindakan yang dapat
26

dilakukan untuk mengatasi masalah tersebut. Diagnosis


keperawatankeluarga yang akurat akan dapat ditegakkan ketika ketika
perawat telah berhasil mengumpulkan informasi yang adekuat dan
mengklarifikasi kepada keluarga. Diagnosis yang ditegakkan kemudian
mengarah kepada tujuan dan intervensi yang bertujuan kepada membantu
keluarga untuk dapat berespon lebih efektif terhadap masalah (Friedman,
Bowden, & Jones, 2014). Prioritas masalah juga perlu ditentukan dalam
tahap ini untuk menetapkan masalah apa yang dapat diselesaikan, harus
diselesaikan, dan merupakan masalah yang tepat untuk diselesaikan
bersama perawat keluarga. Prioritas masalah dapat ditentukan
berdasarkan perhitungan dan skoring yang dilakukan bersama-sama
dengan keluarga (Friedman, Bowden, & Jones, 2014).

Tabel 2.3. Skor dan Bobot Prioritas Masalah Keluarga


NO Kriteria Skor Bobot
1 Sifat masalah
 Aktual (Tidak/kurang sehat) 3
 Ancaman kesehatan 2 1

 Keadaan sejahtera 1

2 Kemungkinan masalah dapat diubah


 Mudah 2
 Sebagian 1 2

 Tidak dapat 0

3 Potensi masalah untuk dicegah


 Tinggi 3
 Sedang 2 1

 Rendah 1

4 Menonjolnya masalah
 Masalah berat, harus segera ditangani 2
 Ada masalah, tetapi tidak perlu segera ditangani 1 1

 Masalah tidak dirasakan 0

(Sumber: Friedman et all., 2014)


27

Selanjutnya, perhitungan dilakukan dengan menggunakan Rumus:


Skor
skoring= x Bobot Angka Tertinggi
AngkaTertinggi
Menurut Standar Diagnosa Keperawatan Indonesia (2017) dalam
menegakkan diagnosa keperawatan adalah :
1. Nyeri akut berhubungan dengan agen pencedera fisiologis inflamasi)
dibuktikan dengan :
Gejala dan tanda mayor :
a. Subjektif :
1) Klien mengeluh nyeri
b. Objektif :
1) Tampak meringis
2) Bersifat protektif
3) Gelisah
4) Tekanan darah meningkat
5) Frekuensi nadi meningkat
6) Sulit tidur
2. Gangguan mobilitas fisik berhubungan dengan kekakuan sendi
dibuktikan dengan :
Gejala dan tanda minor :
a. Subjektif :
1) Klien mengeluh nyeri saat bergerak
b. Objektif :
1) Sendi kaku
2) Gerakan terbatas
3) Kekuatan otot menurun
3. Gangguan citra tubuh berhubungan dengan perubahan bentuk tubuh
dibuktikan dengan :
Gejala dan tanda minor :
a. Subjektif :
1) Klien mengungkapkan perubahan gaya hidup
28

b. Objektif :
1) Respon nonverbal pada perubahan dan persepsi tubuh
2) Hubungan sosial berubah.
4. Gangguan pola tidur berhubungan dengan kurang kontrol tidur ditandai
dengan :
Gejala dan tanda minor :
a. Subjektif :
1) Klien mengeluh sulit tidur
2) Klien mengeluh tidak puas tidur
3) Klien mengeluh pola tidur berubah.
Diagnosis keperawatan SDKI (2017) tersebut dapat
dirumuskan dalam diagnosi keperawatan keluarga dengan masalah
Atrhtritis rheumatoid pada lansia sebagai berikut:
1. Nyeri akut pada Klien berhubungan dengan ketidakmampuan
keluarga merawat anggota keluarga dengan penyakit Arthritis
Rheumatoid
2. Gangguan mobilitas fisik pada klien berhubungan dengan
ketidakmampuan keluara merawat anggota keluarga dengan
penyakit Arthritis Rheumatoid.
29

5. Rencana Asuhan Keperawatan NIC & NOC


Tabel 2. 4. Rencana Asuhan Keperawatan NOC & NIC
Diagnosa Tujuan dan kriteria hasil Intervensi (NOC)
No Keperawatan
(NOC) Rasional

1 Nyeri akut NOC NIC


1. Pain level Pain Management
2. Pain control 1. Observasi tanda-tanda vital 1. Untuk menentukan inervensi
3. Comfort level 2. Lakukan pengkajian nyeri secara selanjutnya yang akan dilakukan
Kriteria hasil komprehensif termasuk lokasi, 2. Untuk mengetahui tingkat nyeri
1. Mampu mengontrol nyeri (tahu karakteristik, durasi, frekuensi, kualitas pasien.
penyebab nyeri, dan faktor presipitasi 3. Untuk mengetahui tingkat
mampu menggunakan tehnik 3. Observasi reaksi nonverbal dari ketidaknyamanan yang
nonfarmakologi untuk ketidaknyamanan. dirasakan oleh pasien
mengurangi 4. Gunakan teknik komunikasi terapeutik 4. Untuk mengalihkan perhatian pasien
nyeri, mencari bantuan) untuk mengetahui pengalaman nyeri dari rasa nyeri
2. Melaporkan bahwa nyeri pasien 5. Untuk mengetahui apakah nyeri yang
berkurang dengan menggunakan 5. Kaji kultur yang mempengaruhi respon dirasakan klien berpengaruh terhadap
manajemen nyeri nyeri yang lainnya
3. Mampu mengenali nyeri (skala, 6. Kontrol lingkungan yang dapat 6. Untuk mengurangi tingkat
intensitas, frekuensi dan tanda mempengaruhi nyeri seperti suhu ketidaknyamanan yang
nyeri) ruangan, pencahayaan dan kebisingan dirasakan klien
4. Menyatakan rasa 7. Kurangi faktor presipitasi nyeri 7. Agar nyeri yang dirasakan klien tidak
8. Pilih dan lakukan penanganan nyeri bertambah
(farmakologi, non farmakologi dan inter 8. Sebagai pelengkap dari
personal)
30

nyaman setelah nyeri berkurang 9. (nonfarmakologi : kompres hangat) penanganan farmakologi dan tindakan
10. Ajarkan tentang teknik non farmakologi mandiri keperawatan
(kompres hangat) 9. Agar klien mampu
11. Anjurkan klien untuk meningkatkan menggunakan teknik non farmakologi
istirahat agar nyeri yang dirasakan dalam
berkurang. management nyeri yang dirasakan.
10. Untuk mengurangi nyeri yang
dirasakan klien
2 Gangguan NOC 1. Exercise therapy : ambulation 1. Program latihan teratur meliputi
mobilitas fisik 1. Joint Movement : Active 2. Monitoring vital sign sebelum/sesudah aktivitas rentang gerak dapat
2. Mobility Level latihan dan lihat respon pasien saat latihan membantu mempertahankan
3. Self care : ADLs 3. Bantu klien untuk menggunakan tongkat integritas fungsi sendi.
4. Transfer performance saat berjalan dan cegah terhadap cedera 2. Menghilangkan tekanan pada
Kriteria Hasil : 4. Kaji kemampuan pasien dalam mobilisasi jaringan dan meningkatkan sirkulasi.
1. Klien meningkat dalam 5. Ajarkan pasien atau tenaga kesehatan lain Mempermudah
aktivitas fisik tentang teknik ambulasi perawatan diri dan
2. Mengerti tujuan dari peningkatan 6. Latih pasien dalam pemenuhan kebutuhan kemandirian pasien.
mobilitas ADLs secara mandiri sesuai kemampuan 3. Mengetahui sebatas mana
3. Memverbalisasikan perasaan 7. Berikan alat Bantu jika klien kemandirian pasien
dalam meningkatkan kekuatan memerlukan. 4. Klien dapat mencontoh dan
dan kemampuan 8. Ajarkan pasien bagaimana melakukan latihan secara mandiri.
Berpindah 5. Jadwal yang dibuatkan akan
membimbing klien dalam
melakukan aktivitas sehingga
31

merubah posisi dan berikan bantuan jika klien dapat istirahat dan meluangkan
diperlukan waktu untuk yang lainnya.
6. Membantu dalam kemandirian
pasien seeta membantu klien untuk
mandiri dalam beraktivitas.
7. Meningkatkan kemampuan klien
dalam melakukan aktivitas
3 Gangguan citra NOC NIC
tubuh 1. Body image 1. Body image enhancement : 1. Berikan kesempatan untuk
2. Self esteem 2. Kaji secara verbal dan non verbal mengidentifikasi rasa takut/
Kriteria hasil : respon klien terhadap tubuhnya kesalahan konsep yang menghadapi
1. Body image positif 3. Monitor frekuensi mengkritik dirinya dirinya secara langsung.
2. Mampu 4. Jelaskan tentang pengobatan, 2. Dapat menunjukkan emosional
mengidentifikasi kekuatan perawatan, kemajuan dan prognosis ataupun metode koping maladaptif,
personal penyakit membutuhkan intervensi lebih lanjut
3. Mendeskripsikan secara faktual atau dukungan psikologis
perubahan fungsi tubuh 3. Meningkatkan perasaan kompetensi/
4. Mempertahankan interaksi sosial harga diri, mendorong kemandirian,
dan mendorong partisipasi dalam
terapi.
32

4 Perubahan pola NOC NIC


tidur 1. Anxiety reduction 1. Sleep enhancement 1. Meningkatkan pengetahuan klien
2. Comfort level 2. Jelaskan pentingnya tidur yang adekuat dan hubungannya dengan perubahan
3. Pain level 3. Fasilitas untuk mempertahankan aktivitas tidur yang terjadi.
4. Rest ; extent and pattern sebelum tidur (membaca atau meminum 2. Fasilitas ritual sebelum tidur
5. Sleep : extent and pattern air hangat) mebantu meningkatkan
Kriteria hasil : 4. Ciptakan lingkungan yang nyaman relaksasi dan neyiapkan tidur.
1. Jumlah jam tidur dalam batas 5. Monitor/catat kebutuhan tidur pasien 3. Lingkungan yang nyaman dan bersih
normal 6-8 jam/hari setiap hari. dapat meningkatkan kenyamanan
2. Pola tidur, kualitas dalam bentuk klien saat tidur.
normal 4. Kebutuhan tidur yang cukup
3. Perasaan segar sesudah menandakan bahwa
tidur atau istirahat kenyamanan dapat terpenuhi.
4. Mampu
mengidentifikasi hal- hal yang
meningkatkan tidur
33

6. Implementasi Keperawatan
Implementasi yang merupakan komponen dari proses
keperawatan adalah katagori dari perilaku keperawatan dimana tindakan
yang diperlukan untuk mencapai tujuan dan hasil yang diperkirakan dari
asuhan keperawatan yang dilakukan dan di selesaikan. Dalam kategori,
implementasi dari rencana asuhan keperawatan mengikuti komponen
perencanaan dari proses keperawatan. Namun demikian, dibanyak
lingkungan keperawatan dikesehatan, implementasi mungkin dimulai
secara langsung setelah pengkajian. Tahapannya yaitu :
a. Mengkaji kembali klien
b. Menelaah dan memodifikasi rencana keperawatan yang sudah ada
c. Melakukan tindakan keperawatan

7. Evaluasi Keperawatan
Evaluasi adalah tahap akhir dari proses keperawatan yang
merupakan perbandingan yang sistematis dan terencana antara hasil akhir
yang teramati daan tujuan atau kriteria hasil yang dibuat pada tahap
perencanaan. Evaluasi dilakukan secara berkesinambungan dengan
melibatkan klien dengan tenaga kesehatan lainnya. Jika hasil evaluasi
menunjukkan tercapainya tujuan dan kriteria hasil, klien bisa keluar dari
siklus proses keperawatan. Jika sebaliknya, klien akan masuk kembali
kedalam siklus tersebut mulai dari pengkajian ulang (re-assesment).
Secara umum, evaluasi ditujukan untuk:
a. Melihat dan menilai kemampuan klien dalam mencapai tujuan
b. Menentukan apakah tujuan keperawatan telah tercapai atau belum
c. Mengkaji penyebab jika tujuan asuhan keperawatan belum tercapai
Asmadi, 2008).

2.13. Konsep Kompres Air Sereh Hangat


1. Defenisi Sereh
Sereh atau Cybopogon citratus DC merupakan tumbuhan yang
masuk ke dalam family rumput-rumputan atau Poacea. Dikenal juga
nama serai dapur (Indonesia), sereh (Sunda), dan bubu (Halmahera)
34

(Oyen & Dung, 1999). Tanaman ini dikenal dengan istilah Lemongrass
karena memiliki bau yang kuat seperti lemon, sering ditemukan tumbuh
alami di Negara-negara tropis.

2. Kandungan kimia
Kandungan kimia yang terdapat di dalam tanaman sereh antara
lain pada daun sereh dapur mengandung 0,4 % minyak atsiri dengna
komponen yang terdiri dari sitral, sitronelol (66-85%), a-pinen, kamfen,
sabinen, mirsen, b-felandren, p-simen, limonene, cis-osimen, terpinol,
sitronelal, borneol, tarpinen-4-ol, a-terpineol, geraniol, farnesol, metil
heptenon, n-desialdehida, dipenten, metil hepteno, bornilasetat,
garnilformat, terpinil asetat, sitronelil asetat, geranil asetat, dan b-
kariofilen oksida (Rusli dkk, 2010).

3. Pengaruh Kompres Serai Hangat Terhadap Nyeri


Kompres sereh dapat menurunkan nyeri reumathoid artritis
(Santoso, 2013). Mengompres berarti memberikan rasa hangat pada klien
dengan menggunakan cairan atau alat yang menimbulkan rasa hangat
pada bagian tubuh tertentu yang memerlukannya (Poltekes Kemenkes
Maluku, 2011 dalam Fanada, 2012).
Penelitian dari The Science and Technology yang dikutip dalam
livestrong.com telah menentukan bahwa serai memiliki manfaat
antioksidan yang dapat membantu mencegah kanker, dalam sereh
terdapat kandungan zat anti-mikroba dan anti bakteri yang berguna
sebagai obat infeksi serta mengandung senyawa analgetik yang
membantu menghilangkan rasa sakit atau nyeri seperti nyeri otot dan
nyeri sendi akibat artritis rheumatoid atau anti rematik.
Dalam buku Herbal Indonesia disebutkan bahwa khasit tanaman
sereh mengandung minyak atsiri yang memiliki sifat kimiawi dan efek
farmakologi yaitu rasa pedas dan bersifat hangat sebagai anti radang (anti
inflamasi) dan menghilangkan rasa sakit atau nyeri yang bersifat
analgetik serta melancarkan sirkulasi darah, yang di indikasikan untuk
menghilangkan nyeri otot dan nyeri sendi pada penderita artritis
rheumatoid, badan pengalinu dan sakit kepala (Hembing, 2007).
35

4. Cara Pembuatan Kompres Hangat Rebusan Serai

Kompres hangat rebusan serai dilakukan dengan cara merebus

serai. Cuci 5 batang serai dan potong menjadi 2 bagian secara horizontal.

Masukkan potongan serai ke dalam 700 ml air kemudian rebus hingga

air mendidih. Tuang air rebusan serai ke dalam baskom tunggu hingga

air rebusan menjadi hangat. Masukkan kain atau handuk kecil ke dalam

air rebusan serai. Peras kain atau handuk kecil hingga lembab kemudian

tempelkan pada daerah yang yang mengalami nyeri. Lakukan

pengompresan secara berulang selama 20 menit. Pemberian kompres

hangat rebusan serai dapat dilakukan setiap hari saat gejala nyeri muncul

(Andriani, 2016)
36

2.14. Implementasi Evidence Based Nursing Practice

Tabel Implementasi Evidence Based Practice Nursing

PICOT
No Nama Peneliti Judul Tahun
Problem Intervensi Comparsion Outcome Time

1 1. NiFadli Pengaruh 2018 Populasi dalam Pada kelompok Pada penelitian Hasil penelitian
DiWilayah
Syamsuddin, Kompres Sereh penelitian ini perlakuan ini untuk ini menunjukan kerja
Abdul Wahab Hangat adalah seluruh diberikan mengetahui penurunan nyeri puskesmas
lansia yaitu 20 kompres sereh variabel pada kelompok
Pakaya Terhadap boloyoh
orang yang hangat 7 batang independen yaitu intervensi dari
Penurunan
mengalami yang telah mengukur menilai Hasil uji paried T
Nyeri
nyeri direbus dengan air tingkat nyeri kedua test didapatkan
Rheumatoid
rheumathoid 6 gelas kemudian kelompok yaitu nilai P=0.000
Arthritis Pada arthritis di dikompres pada kelompok . Disimpulkan
Lanjut Usia Di wilayah kerja daerah sendi yang perlakuan dan terdapat pengaruh
Wilayah Kerja puskesmas sakit kelompok kontrol yang signifikan
Puskesmas Boliyohuto selama 20 menit, terhadap lansia pemberian
Boliyohuto pada 1 bulan setelah yang menderita kompres sereh
terakhir yaitu pengompresan Rheumatoid hangat
bulan selama 20 menit, arthritis. terhadap
37

Desember ukur kembali penurunan nyeri


2018. tingkat rheumatoid
tingkat nyeri lansia arthritis pada
pada 20 menit lanjut usia.
berikutnya. Sehingga
Penelitian ini
diharapkan
dapat membantu
masyarakat dalam
menangani nyeri
rheumatoid
arthritis
menggunakan
kompres
sereh hangat
sebagai obat
tradisional.
2 2. Marlina Pengaruh 2016 populasi yang
Pe Pada kelompok pengumpulan Ada pengaruh
Di di Poli
Andriani Kompres Serei dimaksud perlakuan data yang pemberian Interne
Hangat dalam diberikan dilakukan melalui kompres serei RSAM
kompres sereh wawancara dengan
38

Terhadap penelitian ini hangat 7 batang penilaian hasil ukur hangat terhadap Bukittinggi
Penurunan adalah semua yang telah menggunakan penurunan
Intensitas lanjut usia direbus dengan air numeric intensitas nyeri
6 gelas kemudian rantingscale
Nyeri Artritis yang artritis
dikompres pada (NRS) dan melalui
Rheumatoid menderitaartr rheumatoid pada
daerah sendi yang observasi dengan
Pada Lanjut itis lanjut usia
sakit penilaian hasil ukur
Usia rheumatoid dengan
selama 20 menit, menggunakan skala
yang setelah Wong Barker
rata-rata
mengalami pengompresan (skala penurunan
nyeri artritis. selama 20 menit, wajah), mean intensitas nyeri
Jumlah lanjut ukur kembali intensitas nyeri yang
usia tingkat sebelum kompres dirasakan setelah
artritis tingkat nyeri lansia serei hangat 4,90 dilakukan

rheumatoidpa pada 20 menit dan setelah kompres serei


berikutnya. dilakukan kompres
da bulan hangat 1,95 dan
serei
September nilai signifikansi
hangat 2,95
tahun 2014 0,000 <α
berjumlah 20 0,05.
orang
39

3 3. Dwi Kartika Kompres Serai 2022 sasaran Sosialisasi mengenai Kegiatan ini
yang seluruh sasaran
DiKelurahan
Pebrianti1 , Mila
Hangat dijadikan terapi kompres terdiri dari dapat memahami Lebak
Triana Sari
pemberian edukasi dan mampu
Mengurangi untuk serei Bandung
dengan media mendemonstrasika
Nyeri kegiatan ini hangat terhadap Kota Jambi
leaflet dan n penerapan
Rheumatoid adalah warga Rematik
demonstrasi kompres hangat
Arthritis kelurahan menggunakan
menggunakan serai
Lebak media leaflet
model. Setelah
Bandung
dilakukan edukasi
sebanyak 20 seluruh sasaran
orang dapat memahami

dan mampu

mendemonstrasikan

penerapan

kompres hangat
40

serai

4 4. Maita Sarah Pengaruh 2018 Populasi pemberian kompres Pengambilan data


Hasil Di Panti
Kompres Serei penelitian ini serei hangat dilakukan penelitian Jompo Graha

Hangat adalah semua yang diberikan dengan menunjukkan Residen


lanjut usia pada responden menggunakan bahwa Senior Karya
Tterhadap
yang dilakukan selama kuesioner yang perbedaan nilai Kasih Medan
Intensitas
menderita 20 hari karna terdiri dari 3 bagian rata-rata nyeri Tahun 2018
Nyeri Artritis
artritis menurut yaitu kuesioner artritis
Rheumatois
rheumatoid Sri Hyulita (2013) data demografi , rheumatoid pada
Pada Lanjut yang dan Marlina instrument skala responden sebelum
Usia Di Panti mengalami Andriani nyeri, analisa data dan
Jompo Graha nyeri arthritis (2016) terapi menggunakan sesudah intervensi
Residen Senior rheumatoid di komplementer akan analisa univariat, dengan kompres
Karya Kasih Panti terlihat hasilnya bivarian dengan uji serei
Medan Jompo Graha jika diberikan t-test dependen . hangat yaitu 1.391
Residen dalam dimana nilai t
Senior Karya waktu 20 hari hitung
Kasih Medan lebih besar dari t
Tahun 2018 table (th=13.371).
sebayak 23 nilai
41

orang. probabilitas
(p=0,0000) atau
(p<0,05),
sehingga dapat
dinyatakan bahwa
kompres serei
hangat yang diteliti
mempunyai
pengaruh terhadap
penurunan
intensitas nyeri
arthritis
rheumatoid pada
lanjut usia
55 5. Laila Arum Penerapan 2021 Asuhan Int Tindakan yang
dilakukan dengan Evaluasi yang
di dirumah ny.s
Lestari kompres hangat keperawatan dilakukan yaitu proses diperoleh yaitu magelang
rebusan serai pada Ny. S kompres hangat asuhan masalah
pada ny. S dengan rebusan serai keperawatan yang keperawatan
dengan reumatik untuk dimulai dari teratasi sesuai
gangguan nyeri mengurangi pengkajian dengan kriteria
42

kronis di nyeri. Tindakan keperawatan, hasil. Skala nyeri


tempuran lain yang perencanaan, klien berkurang
kabupaten dilakukan yaitu tindakan dari skala 6
magelang mlakukan keperawatan, dan menjadi skala 3
pengkajian nyeri evaluasi dan klien tidak
secara keperawatan. menunjukkan
komprehensif (P, Asuhan ekspresi nyeri
Q, R, S, dan T). keperawatan
dengan
klien reumatik
dilakukan dengan
menerapkan
inovasi atau hasil
penelitian
kompres hangat
rebusan serai
yang sudah ada
43

2.15. Kerangka Konsep

Klien datang ke Puskesmas dan


Diagnosis Artrtitis Rheumatoid

Rawat di rumah

Pengkajian Keperawtan
Keluarga Lansia

Analisis Data dan di dapatkan masalah


Keperawatan/Diagnosa

Masalah Keperawatan:
Nyeri Akut
Ganggaun Mobilitas Fisik Gangguan Citra Tubuh Gangguan Pola Tidur

Kompres Serei Hangat Intensitas Nyeri


Arthritis Rheumatoid

Intervensi dan Evaluasi


implementasi

Skema 2.1 Kerangka Konsep


BAB III
METODE PENELITIAN

3.1. Desain Penelitian


Jenis penelitian ini menggunakan metode pendekatan studi kasus. Studi
kasus adalah penelitian yang dilakukan dengan meneliti suatu permasalahan
melalui suatu kasus yang terdiri dari unit tunggal dengan pokok pertanyaan
yang berkenaan dengan “how” atau “why”. Unit tunggal dapat berarti satu
orang atau sekelompok penduduk yang terkena suatu masalah (Notoatmodjo,
2012). Studi kasus ini adalah studi untuk penerapan intervensi kompres sereh
hanga pada pasien keluarga gerontik dengan arthritis rheumatoid di wilayah
kerja PKM Ule Kareng Kota Banda Aceh Kota Lubuklinggau Tahun 2022.

3.2. Subjek Penelitian


Subjek studi kasus ini adalah keluarga pasien lansia yang menderita
arthritis rheumatoid di wilayah kerja PKM Ule Kareng Kota Banda Aceh
dengan kriteria subjek :
a. Pasien keluarga dengan lansia dengan salah seorang lansia menderita
Arthritis Rheumatoid (RA)
b. Pasien bersedia diberikan intervensi kompres dengan serai hangat oleh
peneliti dengan menandatangani lembar informed consent
c. Intervesi dilakukan pada pagi jam 08.30 WIB dan sore jam 16.00 WIB
dengan tidak disertai mengkonsumsi obat analgetik.
d. Teknik ini dilakukan selama 5 hari dan setiap harinya dilakukan minimal 1
kali.

3.3. Fokus Studi


Fokus studi dalam studi kasus ini adalah penerapan intervensi
manajemen nyeri non farmakologi dengan teknik kompres sereh hangat
terhadap penurunan skala nyeri pada pasien Arthritis rheumatoid.

44
45

3.4. Definisi Operasional


No. Variabel Definisi Alat ukur Hasil ukur Skala ukur
operasional
1. Independen lembar - -
SE Kompres Hangat observasi serta
adalah salah satu
intervensi SOP intervensi
farmakologis dalm kompres sereh
NIC manajemen nyeri
dengan memberikan hangat dan
relaksasi saraf dan lembar ceklist
reseptor nyeri pada
kasus Arthritis pemberian
Rheumatoid. intervensi
kompres sereh
hangat
2. DependentDa Arthritis Rheumatoid Numerik scala Skala 0 (Nol) Ordinal
adalah suatu penyakit Scale
peradangan sistematis
kronis yang tidak
diketahui
penyebabnya secara
pasti ditandai dengan
keruskan pada
poliferasi membran
synoval yang
menyebabkan
kerusakan pada
tulang, sendio dan
deformitas.

3.5. Lokasi dan Waktu Penelitian


Penelitian ini akan dilaksanakan pada Bulan juli 2022 selama 5 hari di
rumah pasien lansia di Wilayah PKM Ule Kareng Kota Banda Aceh Tahun
2022.
46

3.6. Instrumen Penelitian


Pada penelitian ini menggunakan alat lembar Numeric Rating Scale
dan lembar observasi serta SOP intervensi kompres sereh hangat dan lembar
ceklist pemberian intervensi kompres sereh hangat dan pengukuran skala
nyeri.

3.7. Pengumpulan Data


1. Metode Pengumpulan Data
Metode pengumpulan data yang digunakan adalah dengan
pemberian implementasi keperawatan keluarga dilanjutkan evaluasi
keperawatan sera observasi sebelum dan sesudah pelaksanaan intervensi
khusu kompres sereh hangat.
2. Langkah Pengumpulan Data
a. Mengurus perizinan dengan institusi terkait yaitu PKM Ule Kareng
Kota Banda Aceh
b. Menjelaskan maksud, tujuan, dan waktu penelitian pada kepala
puskesmas atau penanggung jawab program lansia/poli lansia di tempat
penelitian dan meminta persetujuan untuk melibatkan subjek dalam
penelitian.
c. Meminta izin kepada keluarga yang telah dipilih untuk memberikan
asuhan keperawatan serta pemberian intervensi kompres sereh hangat
dengan menandatangani informed consent
d. Melakukan pengkajian keperawatan secara komprehensif dengan
pendekatan pengkajian keperawatan keluarga lansia gerontik
e. Mengidentifikasi atau mendiskusikan masalah yang ditemukan dengan
keluarga dan menjelaskan rencana asuhan keperawatan dengan
intervensi kompres sereh hangat untuk mengatasi nyeri pada klien.
f. Merumuskan rencana asuhan keperawatan dengan melibatkan keluarga
g. Melakukan asuhan keperawatan keluarga dengan gerontik serta
implementasi kompres sereh hangat.
h. Melakukan intervensi keperawatan keluarga gerontik setiap harinya
dimulai pada hari ke-2 setelah pengkajian selama 45 menit.
i. Melakukan intervensi keperawatan menggunakan kompres sereh hangat
47

pada klien dengan melibatkan keluarga selama 15 menit


j. Setelah pelaksanaan intervensi keperawatan selama 15 menit dilakukan
pengkajian ulang tingkat skala nyeri.
k. Melakukan pengolahan data.
l. Menyajikan hasil pengolahan data atau hasil penelitian dalam bentuk
asuhan keperawtan disertai tabel dan narasi.

3.8. Pengolahan dan Analisis Data


Pengolahan data menggunakan analisis deskriptif. Analisis deskriptif
adalah digunakan untuk menganalisis data dengan cara mendeskripsikan data
yang terkumpul untuk membuat suatu kesimpulan (Notoatmodjo, 2010).
Pengolahan data ini dilakukan untuk mengetahui adanya perubahan tingkat
skala nyeri setelah dilakukan intervensi keperawatan manajemen nyeri
dengan pendekatan nonfarmakologi kompres sereh hangat.

3.9. Penyajian Data


Setelah dilakukan pengolahan data dan didapatkan hasil penelitian,
maka data / hasil penelitian akan disajikan dalam bentuk tabel dan narasi.

3.10. Etika Penelitian


Penelitian ini dimulai dengan melakukan berbagai prosedur yang
berhubungan dengan etika penelitian meliputi:
1. Lembar persetujuan menjadi responden (Informed consent)
Lembar penelitian ini di berikan kepada subjek yang akan di teliti.
Penelitian ini menjelaskan maksud dan tujuan dari penelitian yang akan
dilakukan serta dampak yang mungkin akan terjadi selama dan sesudah
pengumpulan data. Jika calon responden bersedia untuk diteliti, maka
mereka harus menanda tangani lembar persetujuan tersebut. Bila calon
responden menolak untuk di teliti, maka peneliti tidak boleh memaksa dan
tetap menghormati hak-haknya.
48

2. Tanpa Nama
Kerahasiaan identitas responden harus di jaga. Oleh karena itu peneliti
tidak boleh mencantumkan nama responden pada lembar pengumpulan
data (observasi). Peneliti cukup memberi nomor kode pada masing-masing
lembar tersebut.
3. Kerahasiaan (confidendentiality)
Kerahasiaan informasi responden di jamin oleh peneliti karena hanya
kelompok data tertentu saja yang akan di sajikan atau laporan sebagai hasil
riset (Wahyunita, 2011)
49

DAFTAR PUSTAKA

Friedman M. 2010. Buku Ajar Keperawatan Kerluarga :Riset Teori

& Praktek.Alih bahasa oleh Achir Yani S. Jakarta : EGC

Friedman, M. M., Bowden, V. R., & Jones, E. G. (2014). Buku

Ajar Keoerawatan Keluarga (Riset, teori, dan praktik) Edisi

5. Jakarta : EGC.

Hembing, Wijayajusuma, M. 2013. Atasi Rematik dan Asam Urat

Ala Heming. Jakarta: Puspa Swara

Asmadi, S. (2015). Konsep Dasar Keperawatan. Jakarta: EGC

Ratnawati, Emmelia.(2017).Keperawatan Komonitas.

Yogyakarta : Pustaka Baru Press

Nanda, 2012. Diagnosa Keperawatan : Definisi dan Klasifikasi

2012-2014. Buku Kedokteran : EGC

Prasetyo, Sigit Nian ( 2010 ). Konsep dan Proses Keperawatan

Nyeri. Edisi I Yogyakarta: Graha Ilmu.

Hidayat, Syamsul dan Rodame M. Napitupulu. 2015. Kitab

Tumbuhan Obat.Jakarta: Agriflo

Andriani, M. 201. Pengaruh Kompres Serai Hangat Terhadap

Penurunan Intesitas Nyeri Arthritis Rheumatoid Pada

Lanjut Usia. Jurnal Ipteks Terapan. Vol(10) :40-46

Muttaqin, A. 2012. Buku Saku Gangguan Muskuloskeletal Aplikasi

Pada Praktik ZKlinik Keperawatan. Jakarta. EGC

Anda mungkin juga menyukai