Anda di halaman 1dari 47

MAKALAH KEPERAWATAN GERONTIK

“Imobilitas dan Instabilitas pada Lansia”

Dosen Pembimbing
Sylvia Dwi Wahyuni S.Kep., Ns., M.Kep

Disusun Oleh:
Kelompok 3 A3-2017
1. Neiska Galuh M 131711133059
2. Linda Masruroh 131711133060
3. Farid Enggal D 131711133077
4. Citra Alifianti 131711133098
5. Wiranda Rahmadhani D P 131711133151
6. Nia Ramadhani 131711133154
7. Salsabilla Raisya N 131711133155

PROGRAM STUDI S1 KEPERAWATAN


FAKULTAS KEPERAWATAN
UNIVERSITAS AIRLANGGA
SURABAYA
2020
KATA PENGANTAR

Alhamdulillah puji syukur penulis ucapkan atas kehadirat Allah SWT


karena dengan rahmat dan hidayah-Nya lah penulis dapat menyusun dan
menyelesaikan makalah yang berjudul “Imobilitas dan Instabilitas” dengan tepat
pada waktunya.
Penulis menyadari bahwa penulis tidak akan dapat menyelesaikan makalah
ini tanpa bantuan dari pihak lain. Oleh karena itu pada kesempatan ini penulis
menyampaikan terima kasih kepada:
1. Sylvia Dwi Wahyuni S.Kep., Ns., M.Kep selaku dosen pembimbing
mata kuliah Keperawatan Gerontik yang telah membimbing kelompok
kami sehingga dapat menyelesaikan makalah tepat waktu;
2. Anggota kelompok 3 A3 2017 yang telah meluangkan waktu dan
partisipasinya dalam penyusunan makalah;
3. Teman-teman kelas A3 yang telah membantu penyelesaian makalah;
serta
4. Fakultas Keperawatan UNAIR yang telah menunjang penyelesaian
makalah melalui sarana dan pra-sarana.
Dalam penyusunan makalah ini, penulis juga menyadari bahwa
pengetahuan dan pengalaman penulis masih sangat terbatas. Oleh karena itu
penulis sangat mengaharapkan kritik dan saran dari pembaca sehingga penulis
dapat memperbaiki kesalahan-kesalahan dalam penyusunan makalah selanjutnya.
Semoga makalah ini dapat dipahami oleh seluruh pembaca. Selain itu,
penulis juga berharap makalah ini dapat bermanfaat, khususnya bagi penulis dan
umumnya bagi pembaca yang berkepentingan dengan makalah ini.

Surabaya, 16 Februari 2019

Penulis

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR i
DAFTAR ISI ii
BAB 1 PENDAHULUAN 1
1.1 Latar Belakang 1
1.2 Rumusan Masalah 1
1.3 Tujuan 2
1.3.1 Tujuan Umum 2
1.3.2 Tujuan Khusus 2
BAB 2 TINJAUAN TEORI 3
2.1 Pengertian Lansia 3
2.2 Perubahan Fisiologis pada Lansia 3
2.3 Sindroma Geriatri: Imobilisasi 5
2.3.1 Definisi 5
2.3.2 Etiologi & Faktor Risiko 6
2.3.3 Patofisiologi 7
2.3.4 Manifestasi Klinis 7
2.3.5 WOC Imobilisasi 11
2.3.6 Penatalaksanaan 11
2.3.7 Pencegahan 12
2.3.8 Pemeriksaan Fisik dan Penunjang 13
2.4 Sindroma Geriatri: Instabilitas 13
2.4.1 Definisi 13
2.4.2 Etiologi & Faktor Risiko 13
2.4.3 Patofisiologi 14
2.4.4 Manifestasi Klinis 14
2.4.5 WOC Instabilitas 16
2.4.6 Penatalaksanaan 16
2.4.7 Pencegahan 18
2.4.8 Pemeriksaan Fisik dan Penunjang 18
2.5 Askep Teori 19
BAB 3 KASUS & ASKEP 21
3.1 Kasus 21
3.2 Asuhan Keperawatan 21
BAB 4 PENUTUP 39
DAFTAR PUSTAKA 40
LAMPIRAN 42

ii
BAB 1
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Peningkatan Angka Harapan Hidup (AHH) di Indonesia merupakan
salah satu indikator keberhasilan pembangunan di Indonesia. Hal ini
dibuktikan dengan data AHH pada tahun 2014 yakni pada penduduk
perempuan adalah 72,6 tahun dan laki-laki adalah 68,7 tahun. Kondisi ini
akan meningkatkan jumlah lanjut usia di Indonesia yaitu 18,1 juta jiwa
(7,6% dari total penduduk). Sehingga lebih mudah menemukan penduduk
lansia dibandingkan bayi atau balita. Pemerintah kemudian mengatur segala
ketentuan dan harapan dalam kebijakan terhadap kesejahteraan lansia
menurut UU Kesejahteraan Lanjut Usia (UU No 13/1998) pasal 1 ayat 1,
yang mana upaya peningkatan kesejahteraan sosial lanjut usia pada
hakikatnya merupakan pelestarian nilai-nilai keagamaan dan budaya bangsa.
Akan tetapi, karena lansia adalah kelompok yang dikategorikan mengalami
Aging Process yaitu siklus kehidupan yang ditandai dengan menurunnya
berbagai fungsi organ tubuh. Maka, berbagai permasalahan kesehatan dapat
muncul pada lansia. Hal ini sering menimbulkan serangkaian kondisi klinis
yang berdampak pada penurunan kualitas hidup yang disebut dengan
sindrom geriatri, misalnya imobilisasi dan instabilitas.
Hasil penelitian dari beberapa universitas yang dikoordinasi oleh
Center for Ageing Studies Universitas Indonesia (CASUI, 2015),
menunjukkan munculnya sindrom geriatri dalam bentuk gangguan-
gangguan imobilisasi sekitar 21,3%. Dilaporkan bahwa disabilitas ringan
yang diukur berdasarkan kemampuan melakukan aktivitas hidup sehari-hari
atau Activity of Daily Living (ADL) dialami sekitar 51% lanjut usia.
Sedangakan frekuensi Instability (instabilitas) dan jatuh meningkat sesuai
dengan usia dan tingkat kelemahan. Sekitar 28-35% orang berusia lebih dari
65 tahun jatuh setiap tahun dan meningkat bagi mereka yang berusia lebih
dari 70 tahun sebesar 32-42%. Data menunjukkan bahwa 30% orang berusia
diatas 65 tahun setiap tahunnya mempunyai pengalaman jatuh sedangkan
pengalaman jatuh berulang cenderung beresiko tiga kali lebih besar dialami
oleh lansia berusia diatas 85 tahun (Yan dkk, 2019). Dari penelitian Yan
dkk (2019), dari 95 lansia pernah mengalami imobilisasi. Sebanyak 46
lansia (48,4%) mengalami imobilisasi tinggi, 42 lansia (44,2%) mengalami
imobilisasi rendah dan 7 (7,4%) lansia dengan imobilisasi rendah.
Sedangkan, dari 95 lansia hanya 11 (11,6%) yang pernah mengalami insiden
jatuh.
Penyebab imobilisasi biasanya individu yang beresiko mengalami
keterbatasan gerakan fisik. Individu tersebut antara lain: lansia, individu
dengan penyakit yang mengalami penurunan kesadaran lebih dari 3 hari
atau lebih, individu yang kehilangan fungsi anatomi akibat perubahan
fisiologi (kehilangan fungsi motorik, klien dengan stroke, klien penggunaa
kursi roda), penggunaan alat eksternal (seperti gips atau traksi), dan
pembatasan gerakan volunteer (Potter, 2005). Imobilisasi lama akan
mengakibatkan atrofi otot dengan penurunan ukuran dan kekuatan otot.
Penurunan kekuatan otot diperkirakan 1-2 persen sehari. penurunan

1
kekuatan otot dapat juga dilihat dari ukuran lingkar otot . Ukuran lingkar
otot tersebut biasanya akan menurun sebanyak 2,1-21%. Kelemahan otot
pada pasien dengan imobilisasi seringkali terjadi dan berkaitan dengan
penurunan fungsional, kelemahan, dan jatuh. Sedangkan instabilitas dan
jatuh, dapat terjadi akibat penyakit muskuloskeletal (otot dan rangka) seperti
osteoartritis, rematik, gout, dan juga dapat disebabkan oleh penyakit pada
sistem syaraf seperti Parkinson, sequellae (penyakit yang mengikuti) stroke.
Akibat dari instabilitas dan jatuh ini dapat berupa cedera kepala dan
perdarahan intrakranial, patah tulang, yang dapat berujung pada kondisi
imobilisasi.
Oleh karena itu, diperlukan adanya perawatan yang memadai dalam
menjaga kondisi lansia tetap pada kondisi sejahtera. Perawat sebagai tenaga
kesehatan dapat menerapkan paham ilmunya dalam menerapkan asuhan
keperawatan yang komprehensif dalam meningkatkan kualitas hidup pada
lansia.
1.2 Rumusan Masalah
1. Bagaimana konsep lansia?
2. Bagaimana perubahan fisik pada lansia?
3. Bagaimana konsep sindroma geriatri imobilisasi dan instabilitas?
4. Bagaimana pencegahan dan penatalaksanaan imobilisasi dan
instabilitas?
5. Bagaimana pemeriksaan fisik dan penunjang pada imobilisasi dan
instabilitas?
6. Bagaimana asuhan keperawatan pada imobilisasi dan instabilitas?
1.3 Tujuan
1.3.1 Tujuan Umum
Menjelaskan asuhan keperawatan pada lansia yang mengalami
imobilisasi dan instabilitas.
1.3.2 Tujuan Khusus
Tujuan khusus pada penulisan makalah ini adalah sebagai berikut:
1. Menjelaskan konsep lansia
2. Menjelaskan perubahan fisik pada lansia
3. Menjelaskan konsep sindroma geriatri imobilisasi dan instabilitas
4. Menjelaskan pencegahan dan penatalaksanaan imobilisasi dan
instabilitas
5. Menjelaskan pemeriksaan fisik dan penunjang pada imobilisasi dan
instabilitas
6. Menjelaskan asuhan keperawatan pada imobilisasi dan instabilitas

2
BAB 2
TINJAUAN TEORI
2.1 Definisi Lansia
Lansia merupakan kelompok umur pada manusia yang telah
memasuki tahapan akhir dari fase kehidupannya. Menurut World Health
Organisation (WHO, 2002), lansia adalah seseorang yang telah memasuki
usia 60 tahun keatas. Batasan umur pada usia lanjut dari waktu ke waktu
berbeda. Menurut World Health lansia meliputi :
a) Lanjut usia (elderly) antara usia 60 sampai 74 tahun
b) Lanjut usia tua (old) antara usia 75 sampai 90 tahun
c) Usia sangat tua (very old) diatas usia 90 tahun
Sedangkan, menurut Departemen Kesehatan RI (2006)
pengelompokkan lansia menjadi :
a) Virilitas (prasenium) yaitu masa persiapan usia lanjut yang
menampakkan kematangan jiwa (usia 55-59 tahun)
b) Usia lanjut dini (senescen) yaitu kelompok yang mulai memasuki masa
usia lanjut dini (usia 60-64 tahun)
c) Lansia berisiko tinggi untuk menderita berbagai penyakit degeneratif
(usia >65 tahun)
2.2 Perubahan Fisik pada Lansia
Kelompok yang dikategorikan lansia ini akan terjadi suatu proses
yang disebut Aging Process atau proses penuaan. Proses penuaan adalah
siklus kehidupan yang ditandai dengan tahapan-tahapan menurunnya
berbagai fungsi organ tubuh. Perubahan tersebut pada umumnya mengaruh
pada kemunduran kesehatan fisik dan psikis yang pada akhirnya akan
berpengaruh pada ekonomi dan sosial lansia. Sehingga secara umum akan
berpengaruh pada Activity of Daily Living (Fatmah, 2010).
Proses menua menimbulkan suatu proses menghilangnya secara
perlahan-lahan kemampuan jaringan untuk memperbaiki diri atau mengganti
dan mempertahankan fungsi normalnya sehingga tidak dapat bertahan
terhadap infeksi serta memperbaiki kerusakan yang di derita.
Semakin bertambahnya umur manusia, terjadi proses penuaan secara
degeneratif yang akan berdampak pada perubahan-perubahan pada diri
manusia, tidak hanya perubahan fisik, tetapi juga kognitif, perasaan, sosial
dan sexual (Azizah dan Lilik M, 2011, 2011).
1) Sistem Indra
Sistem pendengaran; Prebiakusis (gangguan pada pendengaran)
oleh karena hilangnya kemampuan (daya) pendengaran pada telinga
dalam, terutama terhadap bunyi suara atau nada-nada yang tinggi, suara
yang tidak jelas, sulit dimengerti kata-kata, 50% terjadi pada usia diatas
60 tahun.
2) Sistem Intergumen
Pada lansia kulit mengalami atropi, kendur, tidak elastis kering dan
berkerut. Kulit akan kekurangan cairan sehingga menjadi tipis dan
berbercak. Kekeringan kulit disebabkan atropi glandula sebasea dan
glandula sudoritera, timbul pigmen berwarna coklat pada kulit dikenal
dengan liver spot.

3
3) Sistem Muskuloskeletal
Perubahan sistem muskuloskeletal pada lansia: Jaaringan
penghubung (kolagen dan elastin), kartilago, tulang, otot dan sendi..
Kolagen sebagai pendukung utama kulit, tendon, tulang, kartilago dan
jaringan pengikat mengalami perubahan menjadi bentangan yang tidak
teratur. Kartilago: jaringan kartilago pada persendian menjadi lunak dan
mengalami granulasi, sehingga permukaan sendi menjadi rata.
Kemampuan kartilago untuk regenerasi berkurang dan degenerasi yang
terjadi cenderung kearah progresif, konsekuensinya kartilago pada
persendiaan menjadi rentan terhadap gesekan. Tulang: berkurangnya
kepadatan tulang setelah diamati adalah bagian dari penuaan fisiologi,
sehingga akan mengakibatkan osteoporosis dan lebih lanjut akan
mengakibatkan nyeri, deformitas dan fraktur. Otot: perubahan struktur
otot pada penuaan sangat bervariasi, penurunan jumlah dan ukuran
serabut otot, peningkatan jaringan penghubung dan jaringan lemak pada
otot mengakibatkan efek negatif. Sendi; pada lansia, jaringan ikat sekitar
sendi seperti tendon, ligament dan fasia mengalami penuaan elastisitas.
4) Sistem kardiovaskuler
Perubahan pada sistem kardiovaskuler pada lansia adalah massa
jantung bertambah, ventrikel kiri mengalami hipertropi sehingga
peregangan jantung berkurang, kondisi ini terjadi karena perubahan
jaringan ikat. Perubahan ini disebabkan oleh penumpukan lipofusin,
klasifikasi SA Node dan jaringan konduksi berubah menjadi jaringan
ikat.
5) Sistem respirasi
Pada proses penuaan terjadi perubahan jaringan ikat paru, kapasitas
total paru tetap tetapi volume cadangan paru bertambah untuk
mengkompensasi kenaikan ruang paru, udara yang mengalir ke paru
berkurang. Perubahan pada otot, kartilago dan sendi torak mengakibatkan
gerakan pernapasan terganggu dan kemampuan peregangan toraks
berkurang.
6) Pencernaan dan Metabolisme
Perubahan yang terjadi pada sistem pencernaan, seperti penurunan
produksi sebagai kemunduran fungsi yang nyata karena kehilangan gigi,
indra pengecap menurun, rasa lapar menurun (kepekaan rasa lapar
menurun), liver (hati) makin mengecil dan menurunnya tempat
penyimpanan, dan berkurangnya aliran darah.
7) Sistem perkemihan
Pada sistem perkemihan terjadi perubahan yang signifikan. Banyak
fungsi yang mengalami kemunduran, contohnya laju filtrasi, ekskresi,
dan reabsorpsi oleh ginjal.
8) Sistem saraf
Sistem susunan saraf mengalami perubahan anatomi dan atropi
yang progresif pada serabut saraf lansia. Lansia mengalami penurunan
koordinasi dan kemampuan dalam melakukan aktifitas sehari-hari.
9) Sistem reproduksi
Perubahan sistem reproduksi lansia ditandai dengan menciutnya
ovary dan uterus. Terjadi atropi payudara. Pada laki-laki testis masih

4
dapat memproduksi spermatozoa, meskipun adanya penurunan secara
berangsur-angsur.
2.3 Sindroma Geriatri: Imobilisasi
Sindroma geriatri adalaha serangkaian kondisi klinis pada orang tua
yang dapat mempengaruhi kualitas hidup pasien dan dikaitkan dengan
kecatatan. Sindrom geriatri adalah suatu kondisi klinis, bukan penyakit.
Sindroma geriatri merupakan gabungan antara perununan fisiologik dan
berbagai proses patologik. Menurut Kane RL (2008), sindrom geriatri
memiliki beberapa karakteristik, yaitu: usia >60 tahun, multipatologi,
tampilan klinis tidak khas, polifarmasi, fungsi organ menurun, gangguan
status fungsional, dan gangguan nutrisi.
Dalam bidang geriatri dikenal beberapa masalah kesehatan yang
sering dijumpai baik mengenai fisik atau psikis pasien usia lanjut. Menurut
Solomen dkk: The “14 i” yang terdiri dari Immobility (imobilisasi),
Instability (instabilitas dan jatuh), Intelectual impairement (gangguan
intelektual seperti demensia dan delirium), Incotinence (inkotinensia urin
dan alvi), Isolation (depresi), Impotence (impotensi), Immuno-deficiency
(penurunan imunitas), Infection (infeksi), Inanition (malnutrisi), Impaction
(konstipasi), Insomnia (gangguan tidur), Iatrogenic disorder (gangguan
iatrogenik), dan Impairement of hearing, vision and smell (gangguan
pendengaran, penglihatan dan penciuman) (Setiati dkk., 2006).
2.3.1 Definisi
Konsep imobilitas merupakan hal relatif dalam arti tidak saja
kehilangan pergerakan total tetapi juga terjadi penurunan aktivitas dari
normalnya. Keadaan immobile, pasien tidak dapat menghindari pembatasan
gerakan pada sertiap aspek kehidupan. Jadi imobilisasi adalah
ketidakmampuan untuk bargerak bebas yang disebabkan oleh kondisi
dimana gerakan terganggu atau dibatasi secara teraupetik (Potter & Perry,
2006).
Hubungannya dengan perawatan pasien, maka imobilisasi adalah
keadaan dimana pasien berbaring lama ditempat tidur, tidak dapat bergerak
secara bebas karena kondisi yang menggangu pergerakan (aktifitas).
Imobilisasi pada pasien tersebut dapat disebabkan oleh penyakit yang
dideritanya, trauma, fraktur pada ekstremitas, atau menderita kecacatan
(Asmadi, 2008).
Menurut Hidayat, 2009 jenis - jenis imobilisasi yaitu:
1. Imobilitas fisik, merupakan pembatasan untuk bergerak secara fisik
dengan tujuan mencegah terjadinya gangguan komplikasi pergerakan,
seperti pada pasien dengan hemiplegia yang tidak mampu
mempertahankan tekanan di daerah paralisis sehingga tidak dapat
mengubah posisi tubuhnya untuk mengurangi tekanan.
2. Imobilitas intelektual, merupakan keadaan ketika seseorang mengalami
keterbatasan daya pikir, seperti pada pasien yang mengalami kerusakan
otak akibat suatu penyakit.
3. Imobilitas emosional, merupakan keadaan ketika seseorang mengalami
pembatasan secara emosional karena adanya perubahan secara tiba-tiba
dalam menyesuaikan diri. Sebagai contoh, keadaan stress berat dapat
disebabkan karena bedah amputasi ketika seseorang mengalami

5
kehilangan bagian anggota tubuh atau kehilangan sesuatu yang paling
dicintai.
4. Imobilitas sosial, keadaan idividu yang mengalami hambatan dalam
melakukan interaksi sosial karena keadaan penyakitnya sehingga dapat
memengaruhi perannya dalam kehidupan sosial.
2.3.2 Etiologi
Penyebab utama imobilisasi adalah adanya rasa nyeri, lemah,
kekakuan otot, ketidakseimbangan, dan masalah psiokologis. Penyebab
secara umum:
a. Kelainan postur
b. Gangguan perkembangan otot
c. Kerusakan sistem saraf pusat
d. Trauma langsung pada sistem muskuloskeletal dan neuromuscular
e. Kekakuan otot
Kondisi – kondisi yang menyebabkan imobilisasi antara lain
(Restrick, 2005) :
a. Jatuh (Fall)
b. Patah tulang (Fracture)
c. Stroke
d. Postoperative bed rest
e. Demensia dan depresi
f. Instabilitas
g. Terapi Hipnotis (Hipnotic medicine)
h. Pelemahan pandangan (Impairment of vision)
i. Polifarmasi
j. Khawatir akan jatuh (Fear of fall)
Faktor – faktor yang mempengaruhi mobilisasi, yaitu:
a. Gaya hidup
Gaya hidup sesorang sangat tergantung dari tingkat pendidikannya.
Makin tinggi tingkat pendidikan seseorang akan di ikuti oleh perilaku
yang dapat meningkatkan kesehatannya. Demikian halnya dengan
pengetahuan kesehatan tetang mobilitas seseorang akan senantiasa
melakukan mobilisasi dengan cara yang sehat misalnya; seorang ABRI
akan berjalan dengan gaya berbeda dengan seorang pramugari atau
seorang pemabuk.
b. Proses penyakit dan injuri
Adanya penyakit tertentu yang di derita seseorang akan mempengaruhi
mobilitasnya misalnya; seorang yang patah tulang akan kesulitan untuk
mobilisasi secara bebas. Demikian pula orang yang baru menjalani
operasi. Karena adanya nyeri mereka cenderung untuk bergerak lebih
lamban. Ada kalanya klien harus istirahat di tempat tidurkarena mederita
penyakit tertentu misalnya; CVA yang berakibat kelumpuhan, typoid dan
penyakit kardiovaskuler.

c. Kebudayaan
Kebudayaan dapat mempengarumi poa dan sikap dalam melakukan
aktifitas misalnya; seorang anak desa yang biasa jalan kaki setiap hari
akan berebda mobilitasnya dengan anak kota yang biasa pakai mobil

6
dalam segala keperluannya. Wanita kraton akan berbeda mobilitasnya
dibandingkan dengan seorang wanita madura dan sebagainya.
d. Tingkat energi
Setiap orang mobilisasi jelas memerlukan tenaga atau energi, orang yang
lagi sakit akan berbeda mobilitasnya di bandingkan dengan orang sehat
apalagi dengan seorang pelari.
2.3.3 Patofisiologi
Mobilisasi sangat dipengaruhi oleh sistem neuromuskular, meliputi
sistem otot, skeletal, sendi, ligament, tendon, kartilago, dan saraf. Otot
Skeletal mengatur gerakan tulang karena adanya kemampuan otot
berkontraksi dan relaksasi yang bekerja sebagai sistem pengungkit. Ada dua
tipe kontraksi otot: isotonik dan isometrik. Pada kontraksi isotonik,
peningkatan tekanan otot menyebabkan otot memendek. Kontraksi
isometrik menyebabkan peningkatan tekanan otot atau kerja otot tetapi tidak
ada pemendekan atau gerakan aktif dari otot, misalnya, menganjurkan klien
untuk latihan kuadrisep.
Gerakan volunter adalah kombinasi dari kontraksi isotonik dan
isometrik. Meskipun kontraksi isometrik tidak menyebabkan otot
memendek, namun pemakaian energi meningkat. Perawat harus mengenal
adanya peningkatan energi (peningkatan kecepatan pernafasan, fluktuasi
irama jantung, tekanan darah) karena latihan isometrik. Hal ini menjadi
kontra indikasi pada klien yang sakit (infark miokard atau penyakit
obstruksi paru kronik).
Postur dan Gerakan Otot merefleksikan kepribadian dan suasana hati
seseorang dan tergantung pada ukuran skeletal dan perkembangan otot
skeletal. Koordinasi dan pengaturan dari kelompok otot tergantung dari
tonus otot dan aktifitas dari otot yang berlawanan, sinergis, dan otot yang
melawan gravitasi. Tonus otot adalah suatu keadaan tegangan otot yang
seimbang.
Ketegangan dapat dipertahankan dengan adanya kontraksi dan
relaksasi yang bergantian melalui kerja otot. Tonus otot mempertahankan
posisi fungsional tubuh dan mendukung kembalinya aliran darah ke jantung.
Immobilisasi menyebabkan aktifitas dan tonus otot menjadi
berkurang. Skeletal adalah rangka pendukung tubuh dan terdiri dari empat
tipe tulang: panjang, pendek, pipih, dan ireguler (tidak beraturan). Sistem
skeletal berfungsi dalam pergerakan, melindungi organ vital, membantu
mengatur keseimbangan kalsium, berperan dalam pembentukan sel darah
merah
2.3.4 Manifestasi Klinis
Apabila ada perubahan mobilisasi, maka setiap sistem tubuh berisiko
terjadi gangguan. Tingkat keparahan dari gangguan tersebut tergantung dari
usia pasien, dan kondisi kesehatan secara keseluruhan, serta tingkat
imobilisasi yang dialami misalnya, perkembangan pengaruh imobilisasi
lansia berpenyakit kronik lebih cepat dibandingkan pasien yang lebih muda
(Hayes, 2009).
1. Perubahan metabolik
Sistem endokrin, merupakan produksi hormon-sekresi kelenjar,
membantu mempertahankan dan mengatur fungsi vital seperti :

7
a. respons terhadap stress dan cedera
b. pertumbuhan dan perkembangan
c. reproduksi
d. homeostasis ion
e. metabolisme energi.
Sistem endokrin berpengaruh dalam mempertahankan homeostasis
ion. Di mana sistem endokrin berperan dalam pengaturan lingkungan
eksternal dengan memperpertahankan keseimbangan natrium, kalium,
air, dan keseimbangan asam-basa. Sehingga sistem endokrin bekerja
sebagai pengatur metabolisme energi. Hormone tiroid meningkatkan
laju metabolic basal (basal metabolic rate, BMR), dan energy dibuat
sehingga dapat dipakai sel-sel melalui intergasi kerja antara hormone
gastrointestinal dan pancreas (Price dan Wilson, 1992).
Imobilisasi menganggu fungsi metabolik normal, antara lain laju
metabolik; metabolisme karbohidrat, lemak dan protein;
ketidakseimbangan cairan dan elektrolit; ketidakseimbangan kalsium;
dan gangguan pencernaan. Keberadaan proses infeksius pada klien
imobilisasi mengalami peningkatan BMR diakibatkan karena demam
atau penyembuhan luka. Demam dan penyembuhan luka meningkatkan
kebutuhan oksigen selular (McCance dan Huether,1994)
Perubahan metabolisme imobilitas dapat mengakibatkan proses
anabolisme menurun dan katabolisme meningkat. Proses imobilitas
dapat juga menyebabkan penurunan eksresi urine dan peningkatan
nitrogen. Pada umumnya keadaan ini dapat dijumpai pada pasien yang
mengalami imobilitas pada hari kelima dan keenam. Beberapa dampak
perubahan metabolisme, diantaranya adalah pengurangan jumlah
metabolisme, atropi kelenjar dan katabolisme protein,
ketidakseimbangan cairan dan elektrolit, demineralisasi tulang,
gangguan dalam mengubah zat gizi, dan gangguan gastrointestinal.
2. Perubahan sistem respirasi
Klien yang mengalami imobilisasi berisiko tinggi pada terjadinya
komplikasi paru-paru. Komplikasi paru-paru yang paling umum adalah
atelektasis dan pneumonia hipostatik. Pada atelektasis, bronkiolus
menjadi tertutup oleh adanya sekresi dan kolpas alveolus sistal karena
udara yang diabsorbsi, sehingga menghasilkan hipoventilasi. Bronkus
utama atau beberapa bronkiolus kecil dapat terkena. Luasnya atelektasis
ditentukan oleh bagian yang tertutup. Pneumonia hipostatik adalah
peradangan paru-paru akibat statisnya sekresi. Atelektasis dan
pneumonia hipostatik, keduanya sama-sama menurunkan oksigenasi,
memperlama penyembuhan, dan menambah ketidaknyamanan klien.
Klien pasca operasi dan imobilisasi berisiko tinggi mengalami
komplikasi paru-paru. Komplikasi paru-paru yang paling umum adalah
atelektasis dan pneumonia hipostatik. Pada atelektasis, bronkiolus
menjadi tertutup oleh adanya sekresi dan kolpas alveolus sistal karena
udara yang diabsorbsi, sehingga menghasilkan hipoventilasi. Bronkus
utama atau beberapa bronkiolus kecil dapat terkena. Luasnya atelektasis
ditentukan oleh bagian yang tertutup. Pneumonia hipostatik adalah
peradangan paru-paru akibat statisnya sekresi. Atelektasis dan

8
pneumonia hipostatik, keduanya sama-sama menurunkan oksigenasi,
memperlama penyembuhan, dan menambah ketidaknyamanan klien
(Perry&Potter, 2005).
3. Perubahan sistem kardiovaskuler
Ada tiga perubahan utama yang dapat terjadi pada klien imobilisasi
terkait sistem kardiovaskuler, yaitu :
1) Hipotensi ortostatik, adalah penurunan tekanan darah sistolik 25
mmHg dan diastolik 10 mmHg ketika klien bangun dari posisi
berbaring atau duduk ke posisi berdiri. Pada klien imobilisasi,
terjadi penurunan sirkulasi volume cairan, pengumpulan darah pada
ekstremitas bawah, dan penurunan respons otonom. Faktor- faktor
tersebut mengakibatkan penurunan aliran balik vena, diikuti oleh
penurunan curah jantung yang terlihat pada penurunan tekanan
darah (McCance and Huether, 1994).
2) Peningkatan beban kerja jantung,
3) Pembentukan trombus.
4. Perubahan sistem muskuloskeletal
Pengaruh imobilisasi pada sistem muskuloskeletal meliputi
gangguan imobilisasi permanen. Keterbatasan mobilisasi
mempengaruhi otot klien melalui kehilangan daya tahan, penurunan
massa otot, atrofi, dan penurunan stabilitas. Pengaruh lain dari
keterbatasan mobilisasi yang mempengaruhi sitem muskuloskeletal
adalah gangguan metabolisme kalsium dan gangguan mobilitas sendi.
Pengaruh Otot. Akibat pemecahan protein, klien mengalami massa
tubuh, yang membentuk sebagian otot. Oleh karena itu, penurunan
massa otot tidak mampu mempertahankan aktivitas tanpa peningkatan
kelelahan. Massa otot menurun akibat metabolisme dan tidak
digunakan. Jika imobilisasi berlanjut dan otot tidak dilatih, maka akan
terjadi penurunan massa yang berkelanjutan.
Penurunan mobilisasi dan gerakan mengakibatkan kerusakan
muskuloskeletal yang besar, yang perubahan patofisiologi utamanya
adalah atrofi.
Penurunan stabilitas terjadi akibat kehilangan daya tahan,
penurunan massa otot, atrofi dan kehilangan sendi yang aktual.
Sehingga klien tersebut tidak mampu bergerak terus-menerus dan
sangat berisiko untuk jatuh.
Pengaruh Skelet. Imobilisasi menyebabkan dua perubahan terhadap
skelet, yaitu: gangguan metabolisme kalsium dan kelainan sendi.
Karena imobilisasi berakibat pada resorpsi tulang, sehingga jaringan
tulang menjadi kurang padat, dan terjadi osteoporosis (Holm, 1989).
Apabila ossteoporosis terjadi maka klien berisiko terjadi fraktur
patologis. Imobilisasi dan aktivitas yang tidak menyangga tubuh
meningkatkan kecepatan resorpsi tulang. Resorpsi Tulang juga
menyebabkan kalisium terlepas ke dalam darah, sehingga menyebabkan
terjadi hiperkalsemia.
Imobilisasi dapat mengakibatkan kontraktur sendi, kontraktur sendi
adalah kondisi abnormal dan biasa permanen yang ditandai oleh sendi
fleksidan terfikasi. Hal ini disebabkan tidak digunakannya, atrofi, dan

9
peendekan secara otot. Jika terjadi kontraktur maka sendi tidak dapat
mempertahankan rentang gerak dengan penuh. Sayangnya kontraktur
sering menjadikan sendi pada posisiyang tidak berfungsi (lehmkuhl et
al, 1990)
Satu macam kontraktur umum dan lemah yang terjadi adalah foot
drop. Jika foot drop terjadi maka kaki terfiksasi pada posisi plantarfleks
secara permanen. Ambulasi sulit pada kaki dengan posisi ini.
5. Perubahan sistem integumen
Perubahan sistem integumen yang terjadi berupa penurunan
elastisitas kulit karena menurunnya sirkulasi darah akibat imobilisasi
dan terjadinya inskemia, serta anoksia jaringan. Jaringan yang tertekan,
darah membelok, dan konstriksi kuat pada pembuluh darah akibat
tekanan persisten pada kulit dan struktur di bawah kulit, sehingga
respirasi selular terganggu, dan sel menjadi mati (ebersole dan hess,
1994).
6. Perubahan eliminasi urine
Pada keadaan imobilisasi, klien dalam posisi rekumben atau datar,
ginjal atau ureter membentuk garis datar seperti perawat ginjal yang
membentuk urine harus masuk ke dalam kandung kemih melawan
gravitasi. Akibat kontraksi peristaltik ureter yang tidak cukup kuat
melawan gaya gravitasi, pelvis ginjal menjadi terisi sebelum urine
masuk ke dalam ureter. Kondisi ini disebut stasis urine dan
meningkatkan risiko infeksi saluran perkemihan dan batu ginjal (Perry
& Potter, 2005). Batu ginjal dapat diakibatkan karena adanya gangguan
metabolisme kalsium dan akibat hiperkalsemia.
Sejalan dengan masa imobilisasi yang berlanjut, asupan cairan
yang terbatas, dan penyabab lain, seperti demam akan meningkatkan
risiko dehidrasi. Akibatnya haluaran urine menurun sekitar pada hari
kelima atau keenam (Perry & Potter, 2005).
Urine yang pekat ini meningkatkan risiko terjadi batu dan infeksi.
Perawatan perineal yang buruk setelah defekasi, terutama pada wanita,
meningkatkan risiko kontaminasi. Penyebab lain infeksi saluran
perkemihan pada klien imobilisasi adalah pemakaian urine menetap
(Perry & Potter, 2005).

10
2.3.5 WOC
a. Kelainan postur
b. Gangguan perkembangan otot
c. Kerusakan sistem saraf pusat
d. Trauma langsung pada sistem muskuloskeletal dan
neuromuscular
e. Kekakuan otot
Immobilisasi

Tidak mampu beraktifitas

Tirah baring yang lama

Kemampuan batuk
Kehilangan Tekanan pada Motilitas usus
daya otot efektif jaringan kulit menurun

Penyerapan
Penurunan kekuatan Ekspansi paru- Perubahan sistem nutrisi pada Usus
otot rangka paru menurun intragumen Terganggu

2.3.6 WOCsistem
Perubahan Produksi Frekuensi defekasi
muskuloskeletal Kontriksi menurun
sputummenumpuk
pembuluh darah
Obstruksi jalan napas
Kesulitan BAB
Gangguan Sel Kulit Mati
Mobilitas Bersihan Jalan
Fisik Napas Tidak Efektif
D.0001 Dekubitus Konstipasi
D. 0054
D. 0049

Gangguan
Integritas Kulit
D. 0129
2.3.6 Penatalaksanaan
Terapi pencegahan yang dapat dilakukan antara lain menurut Potter
and Perry (2005) :
a. Kesejajaran Tubuh
Perawat dapat membantu mempertahankan kesejajaran tubuh yang
tepat, perawat dapat membantu mengangangkat klien dengan benar,

11
menggunakan teknik posisi yang tepat, dan memindahkan klien dengan
posisi yang aman dari tempat tidur ke kursi atau brankart.
Pengaturan posisi dalam mengatasi masalah kebutuhan mobilitas,
digunakan untuk meningkatkan kekuatan, ketahanan otot, dan
fleksibilitas sendi. Posisi-posisi tersebut, yaitu : posisi fowler (setengah
duduk), posisi litotomi, posisi dorsal recumbent, posisi supinasi
(terlentang), posisi pronasi (tengkurap), posisi lateral (miring), posisi
sim, posisi trendelenbeg (kepala lebih rendah dari kaki)
b. Mobilisasi Sendi
Perawat dapat menjamin keadekuatan mobilisasi sendi maka
perawat dapat mengajarkan klien latihan ROM (Range Of Motion).
Motion (ROM) atau biasa dikenal dengan rentang gerak sendi adalah
latihan/aktivitas fisik untuk meningkatkan kesehatan dan
mempertahankan sendi yang mungkin dilakukan pada salah satu dari
potongan tubuh: sagital, frontal dan transversal (Perry & Potter, 2005).
Apabila klien tidak mempunyai control motorik volunteer maka
perawat melakukan latihan rentang gerak pasif. Mobilisasi sendi juga
ditingkatkan dengan berjalan. Latihan ini baik ROM aktif maupun pasif
merupakan tindakan pelatihan untuk mengurangi kekakuan pada sendi
dan kelemahan otot. Latihan-latihan itu, yaitu : Fleksi dan ekstensi
pergelangan tangan, fleksi dan ekstensi siku, pronasi dan supinasi lengan
bawah, pronasi fleksi bahu, abduksi dan adduksi, rotasi bahu, fleksi dan
ekstensi jari-jari, infersi dan efersi kaki fleksi dan ekstensi pergelangan
kaki, fleksi dan ekstensi lutut, rotasi pangkal paha.
c. Mengurangi Bahaya Mobilisasi
Intervensi keperawatan klien imobilisasi harus berfokus mencegah
dan meminimalkan bahaya imobilisasi. Intervensi harus diarahkan untuk
mempertahankan fungsi optimal pada seluruh sistem tubuh.
2.3.7 Pencegahan
a. Mengkaji skelet tubuh : Adanya deformitas dan kesejajaran.
Pertumbuhan tulang yang abnormal akibat tumor tulang. Pemendekan
ekstremitas, amputasi dan bagian tubuh yang tidak dalam kesejajaran
anatomis. Angulasi abnormal pada tulang panjang atau gerakan pada titik
selain sendi biasanya menandakan adanya patah tulang.
b. Mengkaji tulang belakang : Skoliosis, Kifosis, Lordosis.
c. Mengkaji sistem persendian : Luas gerakan dievaluasi baik aktif maupun
pasif, deformitas, stabilitas, dan adanya benjolan, adanya kekakuan sendi.
d. Mengkaji sistem otot : Kemampuan mengubah posisi, kekuatan otot dan
koordinasi, dan ukuran masing-masing otot. Lingkar ekstremitas untuk
mementau adanya edema atau atropfi, nyeri otot.
e. Mengkaji cara berjalan : Misanya cara berjalan spastic hemiparesis -
stroke, cara berjalan selangkah-selangkah – penyakit lower motor
neuron, cara berjalan bergetar – penyakit Parkinson.
f. Mengkaji kulit dan sirkulasi perifer : Palpasi kulit dapat menunjukkan
adanya suhu yang lebih panas atau lebih dingin dari lainnya dan adanya
edema. Sirkulasi perifer dievaluasi dengan mengkaji denyut perifer,
warna, suhu dan waktu pengisian kapiler.

12
2.3.8 Pemeriksaan Fisik & Pemeriksaan Penunjang
a. Sinar–X tulang menggambarkan kepadatan tulang, tekstur, dan
perubahan hubungan tulang.
b. CT scan (Computed Tomography) menunjukkan rincian bidang tertentu
tulang yang terkena dan dapat memperlihatkan tumor jaringan lunak atau
cidera ligament atau tendon. Digunakan untuk mengidentifikasi lokasi
dan panjangnya patah tulang didaerah yang sulit dievaluasi.
c. MRI (Magnetic Resonance Imaging) adalah tehnik pencitraan khusus,
non-invasif, yang menggunakan medan magnet, gelombang radio, dan
computer untuk memperlihatkan abnormalitas (mis: tumor atau
penyempitan jalur jaringan lunak melalui tulang Dll.
d. Pemeriksaan Laboratorium: Hb ↓pada trauma, Ca↓ pada imobilisasi
lama, Alkali Fospat ↑, kreatinin dan SGOT ↑ pada kerusakan otot.
2.4 Sindroma Geriatri: Instabilitas
2.4.1 Definisi
Gangguan keseimbangan (instabilitas) akan memudahkan pasien
geriatri terjatuh dan dapat mengalami patah tulang. Terdapat banyak faktor
yang berperan untuk terjadinya instabilitas dan jatuh pada orang usia lanjut.
Adanya instabilitas membuat seseorang berisiko untuk jatuh.
Kemampuan untuk mengontrol posisi tubuh dalam ruang merupakan suatu
interaksi kompleks sistem saraf dan muskuloskeletal yang dikenal sebagai
sistem kontrol postural. Jatuh terjadi manakala sistem kontrol postural tubuh
gagal mendeteksi pergeseran dan tidak mereposisi pusat gravitasi terhadap
landasan penopang (kaki, saat berdiri) pada waktu yang tepat untuk
menghindari hilangnya keseimbangan. Kondisi ini seringkali merupakan
keluhan utama yang menyebabkan pasien datang berobat (keluhan utama
dari penyakit–penyakit yang juga bisa mencetuskan sindromdeliriut akut).
2.4.2 Etiologi
Faktor instrinsik dapat disebabkan oleh proses penuaan dan berbagai
penyakit yang salah satunya seperti hipertensi. Lansia dengan hipertensi
mengalami penurunan kontrol keseimbangan dan disertai dengan gejala
pusing. Hal tersebut merupakan efek sistemik dari hipertensi yang berasal
dari kerusakan arteri pada pusat postural keseimbangan sistem saraf pusat
(SSP) yaitu otak kecil. Kontrol tekanan darah, semakin menurun seiring
dengan meningkatnya usia seseorang. Penurunan tersebut diakibatkan oleh
menurunnya sensitivitas barorefleks, aliran darah 37 otak, dan konservasi
natrium ginjal yang mengancam regulasi tekanan darah normal dan perfusi
serebral (Acar et al., 2015).
Faktor ekstrinsik seperti status gizi berpengaruh pada komponem
muskuloskeletal. Pada lansia mempengaruhi komponem muskuloskeletal
tubuh. Pada lansia terjadi penurunan massa otot yang kemudian akan
menurunkan kekuatan otot. Perubahan otot dapat terjadi karena gangguan
pada sintesis dan degradasi protein. Pada usia lanjut proses ini dipengaruhi
oleh wasting yaitu proses pemecahan protein sel (hiperkatabolisme) untuk
memenuhi kebutuhan asam amino bagi sitensis protein dan metabolism
energi pada kondisi asupan kalori yang tidak adekuat dan kondisi sakit, serta
sarkopenia yaitu 40 penurunan massa otot dan kekuatan otot yang berjalan
paralel pada usia lanjut yang sehat (Setiati & Laksmi, 2009).

13
2.4.3 Patofisiologi
Hipertensi yang dialami lansia akan mempengaruhi struktur sistem
saraf khususnya pada substansia alba. Substansia alba merupakan regio otak
yang berperan dalam transmisi potensial aksi dari sistem saraf pusat menuju
perifer. Pengaruh hipertensi terhadap substansia alba yaitu terbentuknya lesi
yang diperkirakan akibat hipoperfusi kronis pada bagian dalam dari
hemisfer serebri (Shen et al., 2015).
Jatuh merupakan kegagalan manusia mempertahankan keseimbangan
badan untuk berdiri. Keseimbangan ini dapat dicapai karena adanya
kerjasama dari otot-otot anti gravitasi, alat sensoris pada kulit, otot dan
sendi. Seiring bertambahnya usia, kekuatan otot akan mengalami penurunan
secara bertahap. Perubahan struktur pada otot menyebabkan perubahan
fungsional otot, yaitu terjadinya penurunan kekuatan otot, elastisitas otot
dan fleksibilitas otot, kecepatan waktu reaksi dan rileksasi, dan kinerja
fungsional. Penurunan fungsi dan kekuatan otot akan mengakibatkan yaitu
penurunan kemampuan mempertahankan keseimbangan tubuh, hambatan
gerak duduk ke berdiri, peningkatan resiko jatuh, dan perubahan postur
(Utomo, 2010).
Penurunan massa otot (Lean Body Mass, LBM) dan meningkatnya
lemak tubuh adalah perubahan normal pada komposisi tubuh yang
disebabkan oleh penuaan (Fatmah, 2010). Penurunan massa otot merupakan
penyebab langsung menurunnya kekuatan otot. Perubahan massa otot terjadi
karena gangguan pada sintesis dan degradasi protein, yang pada usia lanjut
proses ini diperngaruhi oleh wasting yaitu proses pemecahan protein sel
(hiperkatabolisme) untuk memenuhi kebutuhan asam amino bagi sintesis
protein dan metabolisme energi pada kondisi asupan kalori yang tidak
adekuat dan kondisi sakit, serta sarkopenia yakni penurunan massa otot dan
kekuatan otot yang berjalan paralel pada usia lanjut yang sehat (Setiati &
Laksmi, 2009). Lingkup gerak dan sendi menurun dengan bertambahnya
usia. Penurunan lingkup gerak dan sendi tersebut akan mempengaruhi
kemampuan seseorang untuk melaksanakan aktivitas. Melemahkan
kekuatan otot akibat inaktivitas, tidak digunakannya otot, dan
deconditioning dapat berperan pada terjadinya gangguan cara 39 berjalan
serta kemampuan memperbaiki posisi setelah kehilangan keseimbangan
(Fatmah, 2010)
Hipertensi dan status gizi akan mempengaruhi kontrol postural pada
tubuh lansia. Kontrol postural merupakan faktor yang berperan penting
dalam keseimbangan lansia. perubahan kontrol postural akan berakibat pada
empat aspek yaitu menurunnya proprioseptif, melambatnya reflek,
menurunnya tonus otot, dan meningkatnya ayunan postural. Berbagai aspek
tersebut pada akhirnya akan berperan untuk terjadinya gangguan
keseimbangan postural pada lansia yang dapat diperiksa dengan Berg
Balance Scale (BBS) (Setiati & Laksmi, 2009).
2.4.4 Manifestasi Klinis
Fungsi kognitif terjadi penurunan kemampuan meningkatkan fungsi
intelektual; berkurangnya efisiensi transmisi saraf di otak yang
menyebabkan proses informasi melambat dan banyak informasi hilang
selama transmisi; berkurangnya kemampuan mengakumulasi informasi baru

14
dan mengambil informasi dari memori. Kemampuan mengingat kejadian
masa lalu lebih baik dibandingkan kemampuan mengingat kejadian yang
baru saja terjadi.
Fungsi penglihatan terjadi gangguan adaptasi gelap; pengeruhan pada
lensa; ketidakmampuan untuk fokus pada benda-benda jarak dekat
(presbiopia); berkurangnya sensitivitas terhadap kontras dan lakrimasi.
Hilangnya nada berfrekuensi tinggi secara bilateral timbul pada funsgsi
pendengaran. Usia lanjut ini terjadi kesulitan untuk membedakan sumber
bunyi dan terganggunya kemampuan membedakan target dari noise.
Sistem saraf perifer lanjut usia mengalami hilangnya neuron motor
spinal, berkurangnya sensasi getar, terutama di kaki, berkurangnya
sensitivitas termal (hangat dingin), berkurangnya amplitudo aksi potensial
yang termielinasi dan meningkatnya heterogenitas selaput akson myelin.
Massa otot berkurang secara bermakna (sarkopenia) karena berkurangnya
serat otot. Efek penuaan paling kecil pada otot diafragma; berkurangnya
sintesis rantai berat miosin, inervasi, meningkatnya jumlah miofibril per unit
otot dan berkurangnya laju basal metabolik (berkurang 4%/dekade setelah
usia 50).

15
2.4.5 WOC

Faktor Intrinsik : Hipertensi,


vertigo, dan hipotensi pada
lansia

Kerusakan arteri dan


mikrovaskular
Faktor Ekstrinsik : Status gizi
lansia kurang
Iskemik jaringan

Komponen muskuloskeletal
terganggu Kerusakan fungsi sisitem
saraf pusat (SSP)

Perubahan kontrol postural

Melambatkan Menurunnya
Input propioseptif
reflek otot Ayunan postural tonus otot
berkurang

Penurunan orientasi dan


Latensi stimulus mioelektirik
posisi segmen tubuh

Waktu beraksi terhadap


stimulus meningkat

Gangguan keseimbangan
postural Risiko Jatuh

2.4.6 Penatalaksanaan
Jatuh merupakan masalah fisik yang sering terjadi pada lansia, dengan
bertambahnya usia kondisi fisik, mental, dan fungsi tubuh pun menurun.
Jatuh dipengaruhi oleh beberapa faktor diantaranya faktor intrinsik dimana
terjadinya gangguan gaya berjalan, kelemahan otot ekstremitas bawah,
langkah yang pendek-pendek, kekakuan sendi, kaki tidak dapat menapak
dengan kuat, dan kelambanan dalam bergerak, sedangkan faktor ekstrinsik
diantaranya lantai yang licin dan tidak merata, tersandung oleh benda-
benda, kursi roda yang tidak terkunci, penglihatan kurang, dan penerangan

16
cahaya yang kurang terang cenderung gampang terpeleset atau tersandung
sehingga dapat memperbesar risiko jatuh pada lansia (Nugroho, 2012).
Sehingga apabila terjadi penurunan keseimbangan dan resiko jatuh pada
lansia, perlu dilakukan intervensi khusus agar dapat melindungi aktivitas
lansia, diantaranya :
a. Latihan Fisik
Tujuan melakukan aktivitas fisik adalah meningkatkan kekuatan
tungkai dan tangan, memperbaiki keseimbangan, koordinasi, dan
meningkatkan reaksi terhadap bahaya lingkungan. Latihan fisik yang
dianjurkan adalah latihan fisik yang dapat melatih kekuatan tungkai,
pergelangan, tidak terlalu berat dan dilakukan sesuai semampunya.
Contohnya dengan melakukan latihan berjalan kaki, senam lansia, dan
latihan keseimbangan atau latihan gerak ROM (Range of Motion).
b. Manajemen Obat-Obatan
Mengurangi penggunaan obat-obatan yang sifatnya untuk waktu
lama misal: obat tidur dan melakukan konsultasi terhadap penggunaan
obat-obat yang harus dikonsumsi jangka panjang, misal: obat hipertensi,
obat DM, dan lain-lain. Gunakan alat bantu berjalan jika diperlukan.
c. Modifikasi Lingkungan
Modifikasi lingkungan dapat dilakukan dengan pengaturan suhu
ruangan supaya tidak terlalu panas atau terlalu dingin untuk menghindari
ketidaknyamanan akibat pusing.Selain itu pengaruh barang-barang yang
memang sering diperlukan berada dalam jangkauan klien agar tidak harus
berjalan terlalu jauh dari tempatnya, dengan memanfaatkan karpet
antislip dikamar mandi/menjaga kebersihan lantai agar tidak licin,
memasang pegangan tangan pada tempat yang diperlukan, memfasilitasi
penerangan yang memadai, menyingkirkan barang berserakan di lantai
yang menggaggu klien.
d. Memperbaiki Posisi dan Kebiasaan yang Mempengaruhi Keseimbangan
Lansia
Melakukan perubahan posisi dari posisi duduk atau jongkok ke
posisi berdiri jangan terlalu cepat, jangan mengangkat barang yang berat
sekaligus, dan lakukan pengangkatan barang dengan cara yang benar dari
lantai yaitu dengan cara posisi jongkok dan bukan posisi membungkuk.
Hindari aktifitas berolahraga yang berat dan berlebihan, sepatu berhak
tinggi, pakai sepatu berhak lebar dan datar, jangan berjalan hanya dengan
kaos kaki karena sulit untuk menjaga keseimbangan, pakai sepatu antislip
dengan alas yang kasar.
e. Memelihara Fungsi Tubuh
Fungsi penglihatan dan pendenganran sudah mengalami penurunan
sehingga perlu memperhatikan pemeliharaan kesehatan fungsi mata dan
pendengaran termasuk alat bantu yang digunakan berupa kaca mata, alat
bantu pendengaran, dan pencahayaan lingkungan tinggal harus
diperhatikan dan dipertahankan untuk menghindari kondisi yang memicu
resiko jatuh. Pemeliharaan kekuatan tulang harus tetap dijaga untuk
mempertahankan keseimbangan dan koordinasi gerakan tubuh agar
terhindar dari jatuh, klien dianjurkan untuk berhenti merokok dan
menghindari konsumsi alkohol, sertaedukasi keluarga dank lien untuk

17
mempersiapkan dan mengkonsumsi jenis makan-makanan yang bergizi
seperti buah-buahan, sayuran yang tidak mengandung gas, dan minum
susu randah lemak untuk memelihara kekuatan tulang.
2.4.7 Pencegahan
Menurut Tinetti (1992), yang dikutip dari Darmojo (2009), ada 3
usaha pokok untuk pencegahan jatuh yaitu :
a. Identifikasi Faktor Resiko
Pada setiap lanjut usia perlu dilakukan pemeriksaan untuk mencari
adanya faktor instrinsik risiko jatuh, perlu dilakukan assessment keadaan
sensorik, neurologis, muskuloskeletal dan penyakit sistemik yang sering
menyebabkan jatuh. Keadaan lingkungan rumah yang berbahaya dan
dapat menyebabkan jatuh harus dihilangkan. Penerangan rumah harus
cukup tetapi tidak menyilaukan. Lantai rumah datar, tidak licin, bersih
dari benda-benda kecil yang susah dilihat, peralatan rumah tangga yang
sudah tidak aman (lapuk, dapat bergerser sendiri) sebaiknya diganti,
peralatan rumah ini sebaiknya diletakkan sedemikian rupa sehingga tidak
mengganggu jalan/tempat aktivitas lanjut usia. Kamar mandi dibuat tidak
licin sebaiknya diberi pegangan pada dindingnya, pintu yang mudah
dibuka. WC sebaiknya dengan kloset duduk dan diberi pegangan di
dinding.
b. Penilaian Keseimbangan dan Gaya Berjalan (gait)
Setiap lanjut usia harus dievaluasi bagaimana keseimbangan
badannya dalam melakukan gerakan pindah tempat, pindah posisi. Bila
goyangan badan pada saat berjalan sangat berisiko jatuh, maka
diperlukan bantuan latihan oleh rehabilitasi medis. Penilaian gaya
berjalan juga harus dilakukan dengan cermat, apakah kakinya menapak
dengan baik, tidak mudah goyah, apakah penderita mengangkat kaki
dengan benar pada saat berjalan, apakah kekuatan otot ekstremitas bawah
penderita cukup untuk berjalan tanpa bantuan. Kesemuanya itu harus
dikoreksi bila terdapat kelainan/penurunan.
c. Mengatur/Mengatasi Faktor Situasional.
Faktor situasional yang bersifat serangan akut yang diderita lanjut
usia dapat dicegah dengan pemeriksaan rutin kesehatan lanjut usia secara
periodik. Faktor situasional bahaya lingkungan dapat dicegah dengan
mengusahakan perbaikan lingkungan, faktor situasional yang berupa
aktifitas fisik dapat dibatasi sesuai dengan kondisi kesehatan lanjut usia.
Aktifitas tersebut tidak boleh melampauibatasan yang diperbolehgkan
baginya sesuai hasil pemeriksaan kondisi fisik. Maka di anjurkan lanjut
usia tidak melakukan aktifitas fisik yang sangat melelahkan atau berisiko
tinggi untuk terjadinya jatuh
2.4.8 Pemeriksaan Fisik & Pemeriksaan Penunjang
A. Pemeriksaan Fisik
 Tanda vital : Demam, hipotermia, frekuensi pernapasan, frekuensi
nadi dan tekanan darah saat berbaring, duduk, dan berdiri
 Kulit : Turgor, trauma, kepucatan
 Mata : Visus mata
 Kardiovaskular : Aritmia, bruit karotis, tanda stenosis aorta,
sensitivitas sinus karotis

18
 Ekstermitas : Penyakit sendi degeneratif, lingkup gerak sendi,
deformitas, fraktur, masalah podiatrik (kalus, bunion, ulserasi, sepatu
yang tidak sesuai, kesempitan/kebesaran, atau rusak)
 Neurologis : Status mental, tanda fokal, otot(kelemahan, rigiditas,
spastisitas), saraf perifer (terutama sensasi posisi), propripseptif,
refleks, fungsi saraf kranial, fungsi serebellum (terutama uji tumit ke
tulang kering), gejala ekstrapiramidal: tremor saat istirahat,
bradikinesia, gerakan involunter lain, keseimbangan dan cara berjalan
dengan mengobservasi cara pasien berdiri dan berjalan (uji get up and
go).
B. Pemeriksaan Penunjang
Beberapa pemeriksaan seperti the timed up-and-go test (TUG), uji
menggapai fungsional (functional reach test), dan uji keseimbangan Berg
(the Berg balance sub-scale of the mobility index) dapat untuk
mengevaluasi fungsi mobilitas sehingga dapat mendeteksi perubahan
klinis bermakna yang menyebabkan seseorang beresiko untuk jatuh atau
timbul disabilitas dalam mobilitas.
Pemeriksaan penunjang diperlukan untuk membantu mengidentifikasi
faktor risiko, menemukan penyebab/pencetus:
 Lakukan pemeriksaan neurologis untuk medeteksi defisit neurologis
fokal, adakah cerebro vascular disease atau transient ischemic attack;
lakukan brain CT scan jika ada indikasi
 Darah perifer lengkap
 Elektrolit (terutama natrium dan kalium), ureum, kreatinin, dan
glukosa darah
 Analisis agas darah
 Urin lengkap dan kultur resistensi urin
 Hemostase darah dan agregasi trombisit
 Foto toraks, vertebra, genu, dan pergelangan kaki (sesuai indikasi)
 EKG
 Identifikasi faktor domisili (lingkungan tempat tinggal)
2.5 Askep Teori
A. Identitas/Data Biografis Pasien
Identitas meliputi nama, umur, pendidikan terakhir, agama, status
perkawinan, alama, dan jenis kelamin.
a. Riwayat Kesehatan
i. Keluhan utama
ii. Riwayat kesehatan sekarang
iii. Riwayat kesehatan dahulu
b. Riwayat Keluarga
c. Pola Aktivitas
Meliputi pola makan, minum, pola eliminasi, dan kebersihan diri
(mandi, gosok gigi, keramas, potong kuku), pola tidur dan istirahat.
i. Eliminasi
ii. Makanan/cairan
iii. Hubungan sosial
iv. Sistem nilai dan kepercayaan

19
v. Psikoseksual
B. Pemeriksaan Fisik
1. Kesadaran
Meliputi composmentis, apatis, delirium, somnolen, stupor, dan
koma.
2. Pemeriksaan GCS
E4 V5 M6

20
BAB 3
KASUS & ASUHAN KEPERAWATAN
3.1 Kasus
Ny. N berusia 60 tahun datang ke salah satu RS di Surabaya pada 26
Februari 2020 dengan keluhan sakit dan nyeri pada bagian ekstremitas
bawah sehingga tidak mampu untuk menggerakkan kakinya. Klien datang
dengan keadaan sadar.Berdasarkan keterangan klien, orang tua laki-laki Ny.
N memiliki riwayat asam urat. Saat dilakukan pemeriksaan tanda-tanda vital
didapatkan hasil S=36,50C, TD=130/90mmHg, BB=60kg, Nadi=88x/menit,
RR=22x/menit, AU=6,7mg/dL
3.2 Asuhan Keperawatan
FORMAT PENGKAJIAN LANSIA
ADAPTASI TEORI MODEL CAROL A MILLER
Tanggal Pengkajian : 26 Februari 2020
1. IDENTITAS KLIEN
Nama : Ny. N
Umur : 60 tahun
Agama : Islam
Alamat Asal : Surabaya
Tanggal Datang : 26 Februari 2020
2. DATA KELUARGA
Nama : Tn. X
Hubungan : Anak Kandung
Pekerjaan : Pegawai Swasta
Alamat : Surabaya
3. STATUS KESEHATAN SEKARANG
a. Keluhan Utama
Pasien mengeluh nyeri lutut.
b. Usaha yang telah dilakukan untuk mengatasi keluhan
Tidak ada
c. Obat-obatan
Tidak ada
4. AGE RELATED CHANGES (PERUBAHAN TERKAIT PROSES
MENUA)
Fungsi Fisiologis
Kondisi Umum
1.
Ya Tidak
Kelelahan V
Perubahan BB V
Perubahan Nafsu Makan V
Masalah Tidur V
Kemampuan ADL Klien melakukan aktivitas sehari-hari
sebagaian dibantu oleh keluarga, seperti
mandi

21
KETERANGAN Tidak ada masalah

2. Integumen
Ya Tidak
Lesi/Luka V
Pruritus V
Perubahan Pigmen V
Memar V
Pola Penyembuhan Lesi V
KETERANGAN Tidak ada masalah

3. Hematopoetic
Ya Tidak
Perdarahan Abnormal V
Pembengkakan Kelenjar V
Limfe
Anemia V
KETERANGAN Tidak ditemukan masalah

4. Kepala
Ya Tidak
Sakit Kepala V
Pusing V
Gatal pada Kulit Kepala V
KETERANGAN Tidak ditemukan masalah

5. Mata
Ya Tidak
Perubahan Pengelihatan V
Pakai Kacamata V
Kekeringan Mata V
Nyeri V
Gatal V
Photobobia V
Diplopia V
Riwayat Infeksi V
KETERANGAN Klien mengalami penurunan penglihatan
karena penuaan

6. Telinga
Ya Tidak
Penurunan Pendengaran V
Discharge V
Tinitus V
Vertigo V
Alat Bantu Dengar V
Riwayat Infeksi V

22
Kebiasaan Membersihkan V
Telinga
Dampak pada ADL Tidak ada hambatan pada ADL
klien
KETERANGAN Tidak ada masalah

7. Hidung Sinus
Ya Tidak
Rhinorrhea V
Discharge V
Epistaksis V
Obstruksi V
Snoring V
Alergi V
Riwayat Infeksi V
KETERANGAN Tidak ditemukan masalah

8. Mulut dan Tenggorokan


Ya Tidak
Nyeri Telan V
Kesulitan Menelan V
Lesi V
Perdarahan Gusi V
Caries V
Perubahan Rasa V
Gigi Palsu V
Riwayat Infeksi V
Pola Sikat Gigi Sehari 2x
KETERANGAN Tidak ditemukan masalah

9. Leher
Ya Tidak
Kekakuan V
Nyeri Tekan V
Massa V
KETERANGAN Tidak ditemukan masalah

10. Pernafasan
Ya Tidak
Batuk V
Nafas Pendek V
Hemoptisis V
Wheezing V
Asma V
KETERANGAN Tidak ditemukan masalah

23
11. Kardiovaskuler
Ya Tidak
Chest Pain V
Palpitasi V
Dipsnoe V
Paroximal Nocturnal V
Orthopnea V
Murmur V
Edema V
KETERANGAN Tidak ditemukan masalah

12. Gastrointestinal
Ya Tidak
Disphagia V
Nausea/Vomitting V
Hemateemesis V
Perubahan Nafsu Makan V
Massa V
Jaundice V
Perubahan Pola BAB V
Melena V
Hemorrhoid V
Pola BAB Klien BAB setiap 2 hari sekali.
Terakhir BAB pada tanggal 25
Februari 2020
KETERANGAN Awalnya klien BAB 1x sehari
tetapi sejak 3 bulan yang lalu
frekuensi BAB ,menjadi 2x sehari

13. Perkemihan
Ya Tidak
Dysuria V
Frekuensi 2 liter perhari
Hesitancy V
Urgency V
Hematuria V
Poliuria V
Oliguria V
Nocturia V
Inkontinensia V
Nyeri Berkemih V
Pola BAK Normal
KETERANGAN Tidak ditemukan masalah

14. Reproduksi (Perempuan)


Ya Tidak
Lesi V

24
Discharge V
Postcoital Bleeding V
Nyeri Pelvis V
Prolap V
Riwayat Menstruasi Sudah
menopause
Aktifitas Seksual V
Pap Smear V
KETERANGAN Tidak ditemukan masalah

15. Muskuloskeletal
Ya Tidak
Nyeri Sendi V
Bengkak V
Kaku Sendi V
Deformitas V
Spasme V
Kram V
Kelemahan Otot V
Masalah Gaya Berjalan V
Nyeri Panggung V
Pola Latihan ROM pasif
Dampak ADL Klien melakukan aktivitas sehari-
hari sebagaian dibantu oleh
keluarga pasien, seperti mandi dan
toileting
KETERANGAN Klien mengalami kelemahan otot
pada kedua kaki

16. Persyarafan
Ya Tidak
Headache V
Seizures V
Syncope V
Tic/Tremor V
Paralysis V
Paresis V
Masalah Memori V
KETERANGAN Tidak ditemukan masalah

5. POTENSI PERTUMBUHAN PSIKOSOSIAL DAN SPIRITUAL


Psikososial Ya Tidak
Cemas V
Depresi V
Ketakutan V
Insomnia V
Kesulitan dalam Mengambil V

25
Keputuasan
Kesulitan Konsentrasi V
Mekanisme Koping Adaptif: pasien memperoleh
dukungan dari keluarga yaitu anaknya
Persepsi Tentang Kematian Klien mengatakan pada saat sakit,
pasien sholat dan berdoa agar Allah
SWT memberikan kesembuhan dan
kekuatan yang baru
Dampak pada ADL Tidak ada masalah pada ADL klien.
Spiritual
Aktivitas Ibadah Baik
Hambatan Tidak ada hambatan
KETERANGAN -
6. LINGKUNGAN
a. Kamar : Penerangan minimal, jarak benda dapat dijangkau
oleh klien
b. Kamar Mandi : Lantai keramik licin dan tidak ada alat bantu
pegangan tangan
c. Dalam Rumah : Rapi, penerangan cukup, tertata
d. Luar Rumah : Rapi, bersih dan tertata
7. ADDITIONAL RISK FACTOR
Riwayat perilaku (kebiasaan, pekerjaan, aktivitas) yang mempengaruhi
kondisi saat ini : Klien melakukan aktivitas sehari-hari sebagian dibantu
oleh keluarga pasien seperti mandi dan toileting karena kamar tidur klien
dengan kamar mandi saling terpisah
Negative Functional Consequences
1) Kemampuan ADL : Ketergantungan Ringan
2) Aspek Kognitif : Tidak Ada Gangguan Kognitif
3) Tes Keseimbangan : Risiko Tinggi Jatuh
4) GDS : 2 (tidak depresi)
5) Status Nutrisi : Status gizi normal
6) Fungsi Sosial Lansia : Baik
7) Hasil Pemeriksaan Diagnostik :
No. Jenis Pemeriksaan Tanggal Hasil
Diagnostik Pemeriksaan
1 Hasil pemeriksaan 26 Februari 2020 UA: 6,7mg/dL
laboratorium

26
Pengkajian Khusus
1. Kemampuan ADL
Tingkat kemandirian dalam kehidupan sehari-hari (Indeks Barthel)
No Skor
Item yang dinilai Skor
. Klien
1. Makan
0 = Tidak mampu
1 = Butuh bantuan memotong lauk,
2
mengoles mentega dll
2 = Mandiri
2. Mandi 0 = Tergantung orang lain
0
1 = Mandiri
3. Perawatan diri 0 = Membutuhkan bantuan orang lain
1 = Mandiri dalam perawatan muka, 0
rambut, gigi, dan bercukur
4. Berpakaian
0  = Tergantung orang lain
1 = Sebagian dibantu (misal
1
mengancing baju)
2 = Mandiri
5. Buang air kecil 0 = Inkontinensia atau pakai kateter
dan tidak terkontrol
1 = Kadang Inkontinensia (maks,
2
1x24 jam)
2 = Kontinensia (teratur untuk lebih
dari 7 hari)
6. Buang air besar 0 = Inkontinensia (tidak teratur atau
perlu enema)
1 = Kadang Inkontensia (sekali 2
seminggu)
2 = Kontinensia (teratur)
7. Penggunaan toilet 0 = Tergantung bantuan orang lain
1 = Membutuhkan bantuan, tapi dapat
1
melakukan beberapa hal sendiri
2 = Mandiri
8. Transfer 0 = Tidak mampu
1 = Butuh bantuan untuk bisa duduk
(2 orang) 2
2 = Bantuan kecil (1 orang)
3 = Mandiri
9. Mobilitas (berjalan di 0  =   Immobile (tidak mampu)
permukaan datar) 1  =   Menggunakan kursi roda
2  =   Berjalan dengan bantuan satu
orang 2
3  =   Mandiri (meskipun
menggunakanalat bantu
seperti,tongkat)

27
10. Naik turun tangga 0  =   Tidak mampu
1  =   Membutuhkan bantuan (alat
1
bantu)
2  =   Mandiri
Total 13
Interpretasi:
a. Skor 20 : Mandiri
b. Skor 12-19 : Ketergantungan Ringan
c. Skor 9-11 : Ketergantungan Sedang
d. Skor 5-8 : Ketergantungan Berat
e. Skor 0-4 : Ketergantungan Total
(Lewis, Carole & Shaw, Keiba, 2006)

2. MMSE (Mini Mental Status Exam)


Nama : Ny. X
Tgl/Jam : 26-02-2020/08.00
No Aspek Nilai Nilai Kriteria
Kognitif maksimal Klien
1 Orientasi 5 5 Menyebutkan dengan benar :
Tahun : 2020
Hari : Senin
Musim : Hujan
Bulan : Februari
Tanggal : 26
2 Orientasi 5 3 Dimana sekarang kita berada?
Negara : Indonesia
Panti : -
Provinsi :Jawa Timur
Wisma : -
Kabupaten/Kota : Surabaya
3 Registrasi 3 3 Sebutkan 3 nama obyek (misal :
kursi, meja, kertas), kemudian
ditanyakan kepada klien,
menjawab :
1) Kursi 2) Meja 3) Kertas

4 Perhatian 5 5 Meminta klien berhitung mulai dari


dan 100 kemudian kurangi 7 sampai 5
kalkulasi tingkat.

Jawaban :
1) 93 2) 86 3) 79 4) 72 5) 65
5 Mengingat 3 2 Minta klien untuk mengulangi
ketiga obyek pada poin ke- 2 (tiap
poin nilai 1)
6 Bahasa 9 8 Menanyakan pada klien tentang
benda (sambil menunjukan benda
tersebut).

28
1) Bolpoin
2) Buku
3) Minta klien untuk mengulangi
kata berikut :
“ tidak ada, dan, jika, atau tetapi

Klien menjawab :
Tidak ada, dan, jika, atau tetapi

Minta klien untuk mengikuti


perintah berikut yang terdiri 3
langkah.
a. Ambil kertas ditangan anda
b. Lipat dua
c. Taruh dilantai

Perintahkan pada klien untuk hal


berikut (bila aktifitas sesuai
perintah nilai satu poin)
a. Meminta klien untuk membaca
kalimat yang bertuliskan:
“Tutup mata anda”
b. Perintahkan kepada klien untuk
menulis kalimat dan
c. Menyalin gambar 2 segi lima
yang saling bertumpuk

Total nilai 30 26
Interpretasi hasil :
24 – 30 : Tidak ada gangguan kognitif
18 – 23 : Gangguan kognitif sedang
0 - 17 : Gangguan kognitif berat
Kesimpulan : Tidak ada gangguan kognitif

3. Tes Keseimbangan
Time Up Go Test
No Tanggal Pemeriksaan Hasil TUG (detik)
1 26 Februari 2020 Meminta klien berdiri dikursi, berjalan
10 langkah, kembali ke kursi
(25 detik)
Rata-rata Waktu TUG 25 detik
Interpretasi hasil Diperkirakan jatuh dalam kurun waktu 6

29
bulan
Hasil pengamatan Saat berjalan klien menggunakan
tongkat. Klien terlihat menahan
kesakitan, saat berjalan klien butuh
duduk untuk melanjutkan berjalan
kembali.

Interpretasi hasil:
Apabila hasil pemeriksaan TUG menunjukan hasil berikut:
≤13,5 detik Tidak ada resiko jatuh
>13,5 detik Resiko tinggi jatuh
>24 detik Diperkirakan jatuh dalam kurun waktu 6
bulan
>30 detik Diperkirakan membutuhkan bantuan dalam
mobilisasi dan melakukan ADL

(Bohannon: 2006; Shumway-Cook,Brauer & Woolacott: 2000; Kristensen,


Foss & Kehlet: 2007: Podsiadlo & Richardson:1991)

4. GDS
Jawaban
No. Pertanyaan
Ya Tdk Hasil
1. Anda puas dengan kehidupan anda saat ini 0 1 0
2. Anda merasa bosan dengan berbagai aktifitas dan kesenangan 1 0 0
3. Anda merasa bahwa hidup anda hampa / kosong 1 0 0
4. Anda sering merasa bosan 1 0 0
5. Anda memiliki motivasi yang baik sepanjang waktu 0 1 1
6. Anda takut ada sesuatu yang buruk terjadi pada anda 1 0 0
7. Anda lebih merasa bahagia di sepanjang waktu 0 1 0
8. Anda sering merasakan butuh bantuan 1 0 1
9. Anda lebih senang tinggal dirumah daripada keluar
1 0 0
melakukan sesuatu hal
10. Anda merasa memiliki banyak masalah dengan ingatan anda 1 0 0
11. Anda menemukan bahwa hidup ini sangat luar biasa 0 1 0
12. Anda tidak tertarik dengan jalan hidup anda 1 0 0
13. Anda merasa diri anda sangat energik / bersemangat 0 1 0
14. Anda merasa tidak punya harapan 1 0 0
15. Anda berfikir bahwa orang lain lebih baik dari diri anda 1 0 0
Jumlah 2
(Geriatric Depressoion Scale (Short Form) dari Yesafage (1983) dalam
Gerontological Nursing, 2006)
Interpretasi :
Jika Diperoleh score 5 atau lebih, maka diindikasikan depresi.

30
5. Status Nutrisi
Pengkajian determinan nutrisi pada lansia:
Skrining Skor
A Mengalami penurunan asupan makanan lebih dari tiga bulan selama
adanya penurunan nafsu makan, gangguan pencernaan, menelan dan
kesulitan menelan makanan
0 = Adanya penurunan asupan makanan yang besar 2
1 = Adanya penurunan asupan makanan yang sedang
2 = Tidak ada penurunan asupan makanan
B Mengalami penurunan berat badan selama tiga bulan terakhir
0 = Penurunan BB >3 kg 2
1 = Tidak diketahui
2 = Penurunan BB 1-3 kg
3 = Tidak mengalami penurunan BB
C Mobilitas
0 = Tidak dapat turun dari tempat tidur / kursi roda 1
1 = Dapat turun dari tempat tidur / kursi roda namun tidak
dapat berjalan jauh
2 = Dapat berjalan jauh
D Mengalami stres psikologis atau memiliki penyakit akut tiga bulan
terakhir
0 = Ya 2
2 = Tidak
E Mengalami gangguan neuropsikologis
0 = Mengalami demensia atau depresi berat 2
1 = Mengalami demensia ringan
2 = Tidak mengalami gangguan neuropsikologis
F1 Indeks massa tubuh (IMT)
0 = IMT < 19 2
1 = IMT 19-21
2 = IMT 21-23
3 = >23
Jika IMT tidak dapat diukur ganti pertanyaan F1 dengan F2
Jangan menjawab pertanyaan F2 jika pertanyaan F1 sudah terpenuhi
F2 Lingkar betis (cm)
0 = jika < 31 3
3 = jika > 31
Skor : 14
Interpretasi:
12-14 : Status gizi normal
8-11 : Resiko mengalami malnutrisi
0-7 : Mengalami malnutrisi

6. Fungsi Sosial Lansia


APGAR KELUARGA DENGAN LANSIA
Alat Skrining yang dapat digunakan untuk mengkaji fungsi sosial
lansia

31
NO URAIAN FUNGSI SKORE
1. Saya puas bahwa saya dapat kembali pada ADAPTATION 2
keluarga (teman-teman) saya untuk membantu
pada waktu sesuatu menyusahkan saya
2. Saya puas dengan cara keluarga (teman- PARTNERSHIP 2
teman) saya membicarakan sesuatu dengan
saya dan mengungkapkan masalah dengan
saya
3. Saya puas dengan cara keluarga (teman- GROWTH 2
teman) saya menerima dan mendukung
keinginan saya untuk melakukan aktivitas /
arah baru
4. Saya puas dengan cara keluarga (teman- AFFECTION 2
teman) saya mengekspresikan afek dan
berespon terhadap emosi-emosi saya seperti
marah, sedih/mencintai
5. Saya puas dengan cara teman-teman saya dan RESOLVE 2
saya meneyediakan waktu bersama-sama
Kategori Skor: TOTAL 10
Pertanyaan-pertanyaan yang dijawab:
a. Selalu : score 2
b. Kadang-kadang : 1
c. Hampir tidak pernah : skore 0
Intepretasi:
<3 = Disfungsi berat
4-6 = Disfungsi sedang
>6 = Fungsi baik

Smilkstein, 1978 dalam Gerontologic Nursing and health aging 2005

7. Pengkajian Kualitas Tidur (PSQI)


KUESIONER KUALITAS TIDUR (PSQI)
1. Jam berapa biasanya anda mulai tidur malam? 21.00
2. Berapa lama anda biasanya baru bisa tertidur tiap malam? 21.10
3. Jam berapa anda biasanya bangun pagi? 04.30
4. Berapa lama anda tidur dimalam hari? 8 jam
5 Seberapa sering masalah- Tidak 1x 2x ≥3x
masalah dibawah ini pernah seminggu seminggu seminggu
mengganggu tidur anda? (0) (1) (2) (3)

a. Tidak mampu tertidur v


selama 30 menit sejak
berbaring
b. Terbangun ditengah malam v

32
atau terlalu dini
c. Terbangun untuk ke kamar v
mandi
d. Tidak mampu bernafas v
dengan leluasa
e. Batuk atau mengorok v
f. Kedinginan dimalam hari v
g. Kepanasan dimalam hari v
h. Mimpi buruk v
i. Terasa nyeri v
j. Alasan lain ………
6 Seberapa sering anda v
menggunakan obat tidur
7 Seberapa sering anda V
mengantuk ketika
melakukan aktifitas
disiang hari
Tidak
Kecil Sedang Besar
antusias
(1) (2) (3)
(0)
8 Seberapa besar antusias v
anda ingin menyelesaikan
masalah yang anda hadapi
Sangat Sangat
Baik Kurang
baik kurang
(1) (2)
(0) (3)
9 Pertanyaan pre- v
intervensi : Bagaimana
kualitas tidur anda selama
sebulan yang lalu
Pertanyaan post-intervensi v
: Bagaimana kualitas tidur
anda selama seminggu
yang lalu

Cara perhitungan Skor PSQI dan Interpretasi Skor


KOMPONEN KETERANGAN SKOR
Komponen 1 Skor pertanyaan #9 2
Komponen 2 Skor pertanyaan #2 + #5a 2
Skor pertanyaan #2 (<15 menit=0), (16-30
menit=1), (31-60 menit=2), (>60 menit=3) + skor
pertanyaan #5a, jika jumlah skor dari kedua
pertanyaan tersebut jumlahnya 0 maka skornya =
0, jika jumlahnya 1-2=1 ; 3-4=2 ; 5-6=3
Komponen 3 Skor pertanyaan #4 (>7=0 ; 6-7=1 ; 5-6=2 ; <5=3 ) 1
Komponen 4 Jumlah jam tidur pulas (#4) / Jumlah jam ditempat 0

33
tidur (kalkulasi #1 & #3) x 100%, (>85%=0 ; 75-
84%=1 ; 65-74%=2 ; <65%=3 )
Komponen 5 Jumlah skor 5b hingga 5j (bila jumlahnya 0 maka 1
skornya =0, jika jumlahnya 1-9=1 ; 10-18=2 ; 18-
27=3
Komponen 6 Skor pertanyaan #6 0
Komponen 7 Skor pertanyaan #7 + #8, jika jumlahnya 0 maka 2
skornya =0, jika jumlahnya 1-2=1 ; 3-4=2 ; 5-6=3
TOTAL Jumlah skor komponen 1-7 8
SKOR INTERPRETASI:
JIKA TOTAL SKOR = ≤5 menunjukkan kualitas
tidur klien yang BAIK,
JIKA TOTAL SKOR = >5-21 menunjukkan
kualitas tidur klien yang BURUK

34
Analisis Data
No. DATA ETIOLOGI MASALAH
KEPRAWATAN
1. DS : Gangguan metabolism purin Gangguan mobilitas
1. Klien mengatakan fisik (D.0054)
sulit untuk
menggerakan kaki Penimbunan Kristal pada Kategori :
sebelah kiri membrane synovia dan Fisiologis
2. Nyeri saat bergerak tulang rawan articular Subkategori :
Aktivitas dan Istirahat
DO :
1. Klien mengalami Erosi tulang rawan,
pergerakan yang poliferasi synovia, dan
terbatas pembentukam panus
2. Kekuatan otot
ekstermitas menurun
3 3 Gangguan mobilitas fisik
3 2
3. Fisik klien tampak
lemah
4. Rentang gerak
(ROM) menurun
5. Hasil AU=6,7mg/dL
2. DS : Gangguan metabolism purin Nyeri Akut (D.0077)
1. Klien mengeluhkan
nyeri Kategori :
P : Nyeri akibat Penimbun Kristal pada Psikologis
pergerakan membrane synovia dan Subkategori :
Q : Nyeri tumpul tulang rawan artikular Nyeri dan
R : Nyeri pada Kenyamanan
ekstermitas bawah
S : Skala nyeri 6
menggunakan Wong- Erosi tulang rawan,
Baker Faces Pain proliferasisinovia, dan
Rating Scale pembentukan panus
T : Nyeri timbul saat
klien bergerak
Nyeri Akut
DO :
1. TTV
TD : 130/90 mmHg
Nadi : 88x/menit
RR : 22x/menit
Suhu : 37,50C
2. Klien tampak
menahan rasa sakit
saat beraktifitas
3. Hasil AU=6,7mg/dL

35
3. DS : Gangguan metabolism purin Resiko jatuh (D.0143)
1. Klien mengatakan
lemah badannya Penimbun Kristal pada Kategori :
DO : membrane synovia dan Lingkungan
1. Kekuatan otot tulang rawan artikular Subkategori :
ekstermitas Keamanan dan
3 3 Erosi tulang rawan, Proteksi
3 2 proliferasisinovia, dan
2. Aktivitas klien pembentukan panus
dibantu seluruhnya
oleh keluarga Degenerasi tulang rawan
3. Hasil TUG 25 detik sendi
(>24 detik:
diperkirakan jatuh Terbentuknya tofus serta
dalam kurun waktu 6 fibrosis dan ankilosis pada
bulan) tulang
4. Hasil AU=6,7mg/dL
Perubahan bentuk tubuh
pada tulang dan sendi

Resiko jatuh
Diagnosa Keperawatan
1. Gangguan mobilitas fisik
2. Nyeri akut
3. Risiko jatuh
Intervensi Keperawatan
4 INTERVENSI DAN IMPLEMENTASI KEPERAWATAN
No. Diagnosa Kriteria Hasil Intervensi
1. Gangguan Tujuan: Dukungan Mobilisasi (I.05173)
Mobilitas Fisik Setelah diberikan Observasi
perawatan selama 3x24 1. Identifikasi adanya nyeri atau
jam gangguan mobilitas keluhan fisik lain
fisik yang dirasakan 2. Identifikasi toleransi fisik
pasien berkurang yang melakukan pergerakan
ditandai dengan Terapeutik
Kriteria Hasil: 1. Fasilitasi aktivitas mobilisasi
Mobilitas Fisik dengan menggunakan pagar
(L. 05042) tempat tidur
1. Meningkatkan 2. Fasilitasi melakukan pergerakan
pergerakan 3. Libatkan keluarga untuk
ekstremitas (5) membantu pasien dalam
2. Meningkatkan meningkatkan pergerakan
kekuata otot (5) Edukasi
3. Meningkatkan 1. Jelaskan tujuan dan prosedur
rentang gerak mobilisasi
(ROM) (5) 2. Anjurkan melakukan mobilisasi
dini
3. Ajarkan duduk di tempat tidur,

36
duduk di sisi tempat tidur, pindah
dari tempat tidur ke kursi
2. Nyeri akut Tujuan: Manajemen Nyeri (I.08238)
Setelah diberikan Observasi
perawatan selama 1. Identifikasi lokasi, karakteristik,
2x24 jam masalah durasi, frekuensi, kualitas,
nyeri akut pasien intensitas nyeri
dapat berkurang yang 2. Identifikasi faktor yang
ditandai dengan memperberat dan memperingan
Kriteria Hasil: nyeri
Tingkat Nyeri Terapeutik
(L. 08066) 1. Memberikan teknik relaksasi,
1. Menurunkan kompres hangat, dan terapi pijat
keluhan nyeri (5) 2. Kontrol lingkungan dengan
2. Menunrunkan rasa menyesuaikan suhu ruangan,
gelisah (5) pencahayaan, dan kebisingan
3. Menurunkan raut Edukasi
wajah: meringis (5) 1. Jelaskan penyebab, periode, dan
pemicu nyeri
2. Mengajarkan teknik relaksasi,
kompres hangat, terapi pijat untuk
meredakan nyeri
Kolaborasi
1. Pemberian analgesik. Jika perlu
Tujuan: Pencegahan Jatuh (I.14540)
3. Resiko Jatuh Setelah diberikan Observasi
perawatan selama 1. Identifikasi faktor risiko jatuh:
2x24 jam masalah gangguan keseimbangan
risiko jatuh pasien 2. Menghitung risiko jatuh dengan
membaik yang skala MFS
ditandai dengan 3. Identifikasi faktor lingkungan yang
Kriteria Hasil: meningkatkan risiko jatuh
4. Monitor kemampuan berpindah
Tingkat Jatuh Terapeutik
(L. 14138) 1. Pasang handrail di tempat tidur
2. Atur tempat tidur dengan posisi
1. Pasien tidak yang rendah
mengalami kejadian 3. Pastikan roda tempat tidur dalam
jatuh (5) kondisi terkunci
2. Pasien tidak jatuh 4. Gunakan alat bantu berjalan
saat dipindahkan (5) 5. Dekatkan bel pemanggil dalam
jangkauan pasien
Keseimbangan Edukasi
(L.05039) 1. Anjurkan memanggil perawat jika
membutuhkan bantuan untuk
1. Pasien mampu berpindah
bangkit dari posisi 2. Ajarkan cara menggunakan bel
duduk (5) pemanggil untuk memanggil

37
perawat
2. Keseimbangan 3. Anjurkan memakai las kaki yang
pasien saat berdiri tidak licin
meningkat (5) 4. Anjurkan melabarkan jarak kedua
3. Keseimbangan kaki untuk meningkatkan
pasien saat berjalan keseimbangan saat berdiri.
meningkat (5)

38
BAB 4
PENUTUP
4.1 Kesimpulan
Imobilisasi merupakan ketidakmampuan seseorang untuk
menggerakkan tubuhnya sendiri. Untuk definisi imobilisasi pada lansia
sendiri hampir sama dengan imobilisasi yang telah dijelaskan diatas, hanya
saja pada lansia imobilisasi didasari oleh kelemahan fisik akibat
bertambahnya usia. Penyebab utama terjadinya imobilisasi pada lansia dapat
dikarenakan oleh adanya nyeri, kelelahan, penglihatan yang menurun dan
berbagai penyakit yang diderita pada usia lanjut sehingga menyebabkan
lansia enggan untuk bergerak atau beraktivitas yang dapat menyebabkan
imobilisasi itu sendiri.
Jatuh adalah salah satu masalah yang sering terjadi pada usia lanjut
akibat perubahan fungsi organ penyakit, dan lingkungan. Jatuh merupakan
suatu kejadian yang dilaporkan penderita atau saksi mata, yang melihat
kejadian mengakibatkan seseorang mendadak terbaring/terduduk di
lantai/tempat yang lebih rendah dengan atau tanpa kehilangan kesadaran
atau luka (Darmojo, 2009).
Ketidakstabilan saat berjalan dan kejadian jatuh pada lansia
merupakan permasalahan serius karena hal tersebut tidak hanya
menyebabkan cedera, melainkan juga dapat menyebabkan penurunan
aktivitas, peningkatan utilisasi pelayanan kesehatan, dan bahkan kematian.
4.2 Saran
a. Peran perawat dalam memberikan pelayanan keperawatan pada lansia
perlu memperhatikan konsep dari imobilitas dan instabilitas yang terjadi
pada lansia.
b. Edukasi keluarga mengenai perawatan lansia dengan masalah imobilitas
dan instabilitas perlu dioptimalkan.

39
DAFTAR PUSTAKA
Agustin, Ary. 2017. Upaya Peningkatan Mobilisasi Pada Pasien Post Operasi
Fraktur Intertrochanter Femur. Surakarta.
Aiitanila, Ayuni. Immobilisasi. ONLINE.
https://www.academia.edu/19568622/IMOBILISASI diakses tanggal 17
Februari 2020
Arimbawa, I Komang. Kejadian Jatuh Pada Lanjut Usia. Denpasar. Bagian/ SMF
Neurologi FK Universitas Udayana/ RSUP Sanglah Denpasar. Diakses
melalui https://www.google.com/url?
sa=t&source=web&rct=j&url=https://simdos.unud.ac.id/uploads/
file_penelitian_dir/
2b58a90e24a674449435cfc485a67ad1.pdf&ved=2ahUKEwjv6YeAlNfn
AhVI4zgGHVzqCXwQFjABegQIBBAC&usg=AOvVaw0x5JPxTO1yN
xqKMnCAxQAU pada 16 Februari 2020
Asmadi. 2008. Teknik Prosedural Keperawatan: Konsep dan Aplikasi Kebutuhan
Dasar Klien. Jakarta: Salemba Medika
Dewi, Sofia Rhosma. 2015. Buku Ajar Keperawatan Gerontik. Yogyakarta:
Deepublish
Fatmah. 2010. Gizi Usia Lanjut. Jakarta: Erlangga
Jafar, Cindy Puspita Sari. 2016. Asuhan Keperawatan Gerontik Pada Lansia Ny.
K Dengan Hipertensi Di Wisma A Bpstw Yogyakarta Unit Budhi Luhur.
Yogyakarta. Diakses melalui https://www.google.com/url?
sa=t&source=web&rct=j&url=https://www.academia.edu/34359449/
ASUHAN_KEPERAWATAN_GERONTIK_PADA_LANSIA_Ny._K_
DENGAN_HIPERTENSI_DI_WISMA_A_BPSTW_YOGYAKARTA_
UNIT_BUDHI_LUHUR&ved=2ahUKEwjZ7v_pltfnAhWWxjgGHUO_
DnQQFjAAegQIAhAB&usg=AOvVaw3-NcFHFld-
YzdnjYcuZfIN&cshid=1581894137508 pada 16 Februari 2020
Kholifah, Siti Nur. 2016. Modul Bahan Ajar Cetak Keperawatan: Keperawatan
Gerontik. Pusdik SDM Kesehatan: Badan Pengembangan dan
Pemberdayaan Sumber Daya Manusia Kesehatan Kementrian Kesehatan
Republik Indonesia
Maryam, Siti. 2008. Mengenal Usia Lanjut dan Perawatannya. Jakarta: Salemba
Medika.
Pradana, Fajar Ardian Aji. 2019. Laporan Pendahuluan Asuhan
Keperawatanpada Pasien Dengan Gangguan Pemenuhan Kebutuhan
Mobilisasi Di Ruang Cempakarsud H. Suwondo Kendal. Pekalongan.
Ria Rizky Jayanti. 2016. Hubungan Hipertensi Dan Status Gizi Dengan
Keseimbangan Postural Lansia Di Posyandu Lansia Rajabasa Kota
Bandar Lampung. Lampung. Universitas Lampung. Diakses melalui
http://digilib.unila.ac.id/20894/
Rudy, Abil dkk. 2019. Analisis Faktor Yang Mempengaruhi Risiko Jatuh Pada
Lansia. Jakarta. Jurnal Ilmiah Ilmu Kesehatan: Wawasan Kesehatan, p-
ISSN 2087-4995, e-ISSN 2598-4004. Diakses melalui
https://www.google.com/url?sa=t&source=web&rct=j&url=https://www.
researchgate.net/publication/
330841101_ANALISIS_FAKTOR_YANG_MEMPENGARUHI_RISIK
O_JATUH_PADA_LANSIA&ved=2ahUKEwjTzIPwlNfnAhV8xTgGH

40
UWpDAIQFjAAegQIAhAB&usg=AOvVaw00j8YzbHQRq0Fsex--GY-
N pada 16 Februari 2020
World Health Organization. 2002. Proposed Working Definition of an Older
Person in Africa for the MDS Project. Diakses dari
who.int/healthinfo/survey/ageingdefnolder/en/ pada 26 Ferbuari 2020
pkl 09.25 WIB
Yan, Loriza Sativa., Octavia, Dian., Suweno, Wide. 2019. Pengalaman Jatuh dan
Kejadian Imobilitas Pada Kelompok Lanjut Usia. Jurnal Endurance :
Kajian Ilmiah Problema Kesehatan Vol 4(1) Februari 2019 (150-161)
Yuliyanti. 2015. Laporan Pendahuluan Gerontology “Geriatric Syndrome”.
Malang. Universitas Brawijaya. Diakses melalui
http://docshare03.docshare.tips/files/26793/267934371.pdf

41
Lampiran
Roleplay

NASKAH ROLEPLAY KEPERAWATAN GERONTIK


IMMOBILISASI DAN INSTABILITASI

Peran:
1. Lansia (Mbah Nia) : Nia Ramadhani
2. Perawat 1 : Wiranda R. D. P.
3. Perawat 2 : Linda Masruroh
4. Istri (Ny. Titta) : Salsabilla Raisya Nugrahanti
5. Suami (Tn. Farid) : Farid Enggal D.
6. Cameraman : Neiska Galuh M. W.
7. Editor Video : Citra Alifianti

Mbah Nia (68 tahun) tinggal di perumahan indah raya bersama anak laki-lakinya,
menantunya, serta 2 cucunya . Mbah Nia baru baru ini sering mengeluh adanya
nyeri saat menggerakkan dengkul kakinya dan pergelangan kakinya. Mbah Nia
kini sering susah untuk berjalan dan melakukan aktivitas, setiap hari Mbah Nia
lebih sering hanya ditemani oleh menantunya dikarenakan anak laki-lakinya sibuk
bekerja dan kedua cucunya sekolah. Ny. Titta merasa khawatir akan kondisi
mertuanya dan berinisiatif untuk membawanya ke Puskesmas Buga Matahari.
Ny Titta : “Bu, setelah ini kita ke puskesmas nggih buat ngecek
dengkulnya.. biar tau sakitnya dimana nggih..”
Mbah Nia : “iya, nduk..”
Mbah Nia akhirnya pergi untuk berkonsultasi ke Puskesmas Bunga Matahari
bersama menantunya. Sesampainya disana, Mbah Nia dan Ny. Titta bertemu
dengan perawat,
Ny. Titta : “Permisi sus,”
Perawat 1 : “Nggih bu, monggo..”
Mbah Nia dan Ny. Titta masuk ruangan dan dipersilahkan untuk duduk
“Ada yang bisa saya bantu, bu?..”
Ny. Titta : “ini sus kenalkan saya Titta, ini mertua saya mbah Nia.
jadi dengkul ibu saya ini sakit, katanya tidak bisa gerak,
kalau gerak sakit. ibu saya sudah pakai salep salep pereda
nyeri itu sus, tapi katanya masih nyeri.”
Perawat 1 : “Wah, begitu nggih.. Rasa nyerinya gimana bu? Apakah
ada bengkak kebiruan atau nyerinya sampai sakit sekali,
atau nyeri-nyeri kecil gitu nggih bu?..”
Mbah Nia : “ndak ada biru sus, cuman ndak bisa gerak. Kalau
digerakin sakit… sekali, saya jadi ndak bisa ngapa ngapain
sus..”
Perawat 1 : “nggih bu.. Mbah Nia dan Bu Titta kira kira tinggal
serumah dengan siapa saja nggih?”
Ny. Titta : “ada suami saya, sama anak saya 2 sus. Tapi ya gitu,
suami saya kerja, anak anak saya sekolah. Jadi saya sama
ibu lebih sering berdua dirumah..”

42
Perawat 1 : “Saya akan menjadwalkan pertemuan untuk melatih gerak
Mbah Nia bu, tapi harus ada suami ibu juga untuk di
edukasi bersama. Kira kira suami ibu dapat meluangkan
waktunya di hari apa bu?”
Ny. Tita : “Suami saya bisa lusa sus, seingat lusa suami saya libur.”
Perawat 1 : “Baik kalau begitu bu, lusa hari Jum’at jam 08.00 pagi
kemari lagi nggih bu, nanti Mbah Nia akan dilatih
menggerakkan badannya.”
Ny. Titta : “Baik sus, Terima kasih.. monggo..”
Mbah Nia : “Terima kasih, sus..”
Mbah Nia dan Ny. Tita berdiri untuk meninggalkan ruangan
Perawat 1 : “Nggih sama sama bu.. monggo.”
Dua hari kemudian, Mbah Nia ditemani anak dan menantunya kembali lagi ke
puskesmas untuk melakukan latihan ROM.
Mbah Nia, Tn Farid dan Ny. Titta masuk ke puskesmas.
Tn Farid : “Permisi sus, ini ibu saya, Mbah Nia, kemarin lusa
diminta datang untuk latihan gerak”
Perawat 2 : “Oh nggih pak, bu, monggo ikut saya..”
Perawat mengantar Mbah Nia, Tn Farid dan Ny Titta masuk dalam ruangan
Perawat 2 : “Monggo pinarak.. kenalkan, saya Ners Linda. Pagi ini
saya yang akan melakukan latihan ROM atau latihan
menggerakkan sendi-sendi Mbah Nia. Tujuannya untuk
mengembalikan kontrol motorik. Mbah Nia dan juga
mengurangi nyeri yang dirasakan saat menggerakkan sendi-
sendinya. Latihan ini kita lakukan kurang lebih 30 menit,
Kira kira apa Mbah Nia dan keluarga bersedia?..”
Mbah Nia : “nggih sus,”
Perawat 2 : “Sebelum kita mulai latihannya, saya akan menjelaskan
tugas saya. Jadi nanti disini saya akan menginstuksikan
gerakan dan mendampingi serta membantu Mbah Nia dalam
menggerakkan bagian tubuhnya. Jadi sebisa mungkin Mbah
Nia ikuti instruksi saya nggih, nanti akan tetap saya bantu
dan dampingi.”
Mbah Nia : “iya sus, tapi pelan pelan ya.. takut sakit.”
Perawat 2 : “Nggih.. Sekrang Mbah Nia naik ke atas kasur lalu
berbaring melumah nggih..”
Perawat 2 menuntun Mbah Nia naik ke atas kasur dan memposisikan tubuh Mbah
Nia lurus.
Perawat 2 : “Saya akan mulai nggih bu, saya mulai dari dengkul
dulu.”
Mbah Nia : “iya sus, pelan pelan ya.”
Perawat 2 : “Nggih Mbah..
Perawat 2 meletakkan tangannya di bawah lutut Mbah Nia dan memegang tumit
dengan tangan yang lain
“Ini akan saya angkat dan saya tekuk sampai dada nggih
Mbah, mohon tetap rileks nggih.. setelah itu kita luruskan
lagi,”
Mbah Nia : “Nggih sus,”

43
Perawat 2 : “kita ulang lagi sebanyak 10 kali nggih Mbah,”
Mbah Nia : “nggih..”
Perawt 2 : “sekarang yang sebelah kiri nggih, kita lakukan dengan
cara yang sama persis.”
Perawat melakukan latihan gerakan pada dengkul sebelah kiri,
Perawat 2 : “Setelah ini, kita lakukan pada area pergelangan kaki
nggih Mbah,”
Mbah Nia : “Nggih sus,”
Perawat 2 : “Saya mulai nggih Mbah,
Perawat memegang separuh bagian atas kaki pasien dengan satu jari dan pegang
pergelangan kaki dengan tangan satunya.
“sekarang Putar kaki ke dalam sehingga telapak kaki
menghadap kaki lainnya”
“lalu, Putar kaki keluar sehingga bagian telapak kaki
menjauhi kaki yang lain,”
Kemudian Perawat 2 meletakkan satu tangan pada telapak kaki pasien dan satu
lagi diatas pergelangan kaki.
“sekatang saya akan menekuk dan mengarahkan jari kaki
Mbah ke atas nggih,”
Perawat melakukan itu di kaki kanan, lalu kembali ke kaki kiri.
Setelah latihan ROM untuk dengkul dan pergelangan kaki Mbah Nia selesai,
Perawat 2 membantu Mbah Nia untuk bangun dan membereskan diri. Setelah itu
kembali ke kursi untuk menemui Tn Farid dan Ny Titta,
Perawat 2 : “jadi begitu pak, bu. Latihan pertama Mbah Nia kami
cukupkan untuk hari ini, setelah ini bapak dan ibu kami
mohon untuk tetap memantau keadaan nyeri Mbah Nia, dan
lagi juga latihan seperti yang saya ajarkan kepada Mbah Nia
tadi mohon doterapkan sebanyak 2 kali sehari nggih,”
Tn. Farid : “Baik sus,”
Perawat 2 : “Jadi tujuan saya meminta kehadiran Bapak farid juga
agar bapak dapat mendapatkan informasi terkait perawatan
Mbah Nia.. minggu depan Mbah nia bisa dibawa lagi
kemari untuk latihan pergerakan lagi nggih bu di hari dan
jam yang sama?..”
Ny Titta : “Oh nggih bisa,”
Perawat 2 : “Baik kalau begitu bu, latihan hari ini sudah selesai,
semoga nyeri mbah nia berkurang dan semakin dapat
bergerak bebas nggih.. minggu depan ketemu lagi nggih
Mbah sama saya,”
Mbah Nia : “Nggih sus, terima kasih ya..”
Ny Titta : “Nggih sus, Terima kasih.. kalau gitu kami pamit dulu
nggih..”
Perawat 2 : “Nggih bu, sama sama.. monggo”
Tn Farid : “Assalamualaikum,”
Perawat 2 : “Waalaikum salam.”
Mbah Nia, Tn Farid dan Ny Titta pergi meninggalkan ruangan.

Tamat.

44

Anda mungkin juga menyukai