I. DESKRIPSI SINGKAT
II. TUJUAN PEMBELAJARAN
A. Tujuan Umum
Agar peserta didik mengetahui gangguan kemampuan fungsional yang dapat terjadi atau
mungkin timbul pada berbagai penyakit / kondisi medis, falsafah rehabilitasi medis serta
prinsip/konsep
rehabilitasi
medis
untuk
mencegah,
mengatasi
atau
mengurangi
daya manusia profesional di bidang rehabilitasi stroke juga mempunyai peran penting untuk mencapai
hasil yang optimal.
Pokok Bahasan 3 :
Komplikasi Neuromuskuloskeletal dan Kardiorespirasi pada Pasien Stroke dan cara pecegahan
atau penanganan dasar dari bidang rehabilitasi medik.
Keluarga seringkali memanjakan pasien dengan membantu secara berlebihan dan menjadikan
pasien terbaring pasif menunggu kondisi menjadi lebih baik, dan bergerak menjadi lebih mudah.
Akan tetapi tirah baring lama dan inaktivitas menyebabkan pasien bertambah lemah dan lebih cepat
lelah karena kebugaran makin rendah, gerak semakin bertambah berat karena semua anggota gerak
menjadi kaku dan timbul komplikasi-komplikasi lain. Keluarga dan pasien harus disadarkan bahwa
banyak tidur dan sedikit bergerak akan lebih banyak membawa dampak buruk pada berbagai organ
tubuh seperti yang terlihat pada tabel 3.
Tabel 3. Komplikasi Tirah Baring
Sistem tubuh Efek terhad
Berbagai komplikasi dapat timbul setelah stroke dan akan membatasi pemulihan kemampuan
fungsional yang seharusnya dapat dicapai. Karena kondisi tersebut sebagian besar dapat dicegah,
maka pemahaman keluarga dan pasien menjadi sangat penting dan krusial, yaitu antara lain:
Mencegah pemendekan otot dan kontraktur sendi
Fungsi otot bergerak (berkontraksi) memendek dan memanjang. Bila otot diam pada satu posisi
tertentu dalam waktu lama kelenturannya akan hilang. Otot akan kaku pada posisi tersebut,
sehingga menjadi sulit dan memerlukan tenaga lebih besar untuk berkontraksi memendek
ataupun memanjang. Demikian pula berlaku pada sendi yang akan menjadi kaku. Kedua
kondisi ini membuat pasien yang karena kelumpuhannya sudah sulit bergerak menjadi tambah
tidak mungkin bergerak. Latihan mencapai lingkup gerak penuh pada semua persendian disertai
latihan regangan otot sedikitnya 2 kali per hari diperlukan.
Mencegah spastisitas dan pola gerak sinergis berlebihan
Setelah stroke, akan terbentuk spastisitas dan pola gerak sinergis fleksor atau ekstensor (Tabel
4). Pada umumnya pada ekstremitas atas akan terbentuk pola sinergis fleksor sedangkan pada
ekstremitas bawah pola sinergis ekstensor. Spastisitas dan pola gerak sinergis perlu dikontrol
agar tidak berlebihan dan mengganggu gerak fungsional yang akan dilatih. Pemberian posisi
yang tepat sebagai antisipasi sudah harus dimulai sejak awal dan diterapkan dalam seluruh
aktivitas.
Tabel 4. Pola sinergistik
Mencegah timbulnya nyeri.
Nyeri sering terjadi setelah stroke dan sangat mengganggu terapi latihan. Nyeri dapat
merupakan akibat atau komplikasi dari stroke. Lesi yang mengenai area talamus seringkali
menimbulkan nyeri yang disebut sebagai thalamic pain syndrome. Nyeri jenis itu disebabkan
oleh gangguan sensorik sentral dimana interpretasi stimulus yang datang dari luar diterima
sebagai rasa nyeri di otak. Sayangnya nyeri tersebut tidak selalu mudah diatasi, namun dapat
dicoba dengan pemberian trisiklik antidepresan atau antikonvulsan.
Sebagian besar nyeri pasca stroke merupakan nyeri muskuloskeletal, terutama pada bahu sisi
yang terkena. Penyebab utamanya seringkali adalah penanganan bahu yang salah atau kurang
tepat, seperti dalam penempatan bahu saat tidur miring ke sisi sakit sehingga bahu tertindih
tubuh, atau saat duduk bahu tidak tersanggah dengan baik, saat membantu pasien pindah tempat
(transfer) dan saat membantu berpakaian, ataupun cara melatih pada bahu sisi yang lumpuh
menyebabkan terjadinya tendinitis, kapsulitis, cedera otot otot gelang bahu, nyeri miofascial,
dan atau nyeri neuropatik.
Kontraktur sendi dan spastisitas juga dapat menimbulkan nyeri saat otot digerakkan.
Pencegahan merupakan upaya utama daripada mengobati yang telah terjadi. Edukasi untuk
mencapai pemahaman mengenai pemberian posisi yang tepat, cara membantu pasien dalam
transfer atau aktivitas sehari-hari serta cara berlatihan oleh karena itu sangat penting diberikan
pada pasien dan keluarganya.
Pokok Bahasan 4 :
Konsep/ Prinsip tatalaksana Rehab Stroke
Intervensi Rehabilitasi Medis pada Stroke
Secara umum rehabilitasi pada stroke dibedakan dalam beberapa fase. Pembagian ini dalam
rehabilitasi medis dipakai sebagai acuan untuk menentukan tujuan (goal) dan jenis intervensi
rehabilitasi yang akan diberikan
Pada fase ini kondisi hemodinamik pasien umumnya sudah stabil dan pasien dalam perawatan
rawat jalan, kecuali bagi pasien dengan gejala sisa berat yang memerlukan penanganan
rehabilitasi medis yang intensif. Tujuan rehabilitasi stroke fase subakut adalah
mengembalikan kemampuan melakukan aktivitas dasar seperti merawat diri, berjalan serta
melakukan peran kehidupannya. Dengan atau tanpa rehabilitasi, sistim saraf otak akan
melakukan reorganisasi setelah stroke. Reorganisasi otak yang terbentuk tergantung sirkuit
jaras otak yang paling sering digunakan dan atau yang tidak digunakan. Sirkuit yang sering
digunakan akan bertambah kuat sedangkan yang jarang atau tidak digunakan akan secara
bertahap pudar kemudian hilang. Melalui rehabilitasi medis, reorganisasi otak yang terbentuk
diarahkan agar terbentuk seperti sirkuit sebelumnya, yang memungkinkan gerak yang terarah
dengan menggunakan energi/ tenaga se-efisien mungkin. Hal tersebut dapat tercapai melalui
terapi latihan terstruktur, pengulangan secara terus menerus. dengan mempertimbangkan
kinesiologi dan biomekanik gerak.
Prinsip rehabilitasi stroke:
1. Prinsip utama rehabilitasi stroke adalah sebanyak mungkin bergerak . Bila anggota gerak sisi
yang terkena terlalu lemah untuk mampu bergerak sendiri, anjurkan pasien untuk
bergerak/beraktivitas menggunakan sisi yang sehat, namun sedapat mungkin juga
mengikutsertakan sisi yang sakit. Sebenarnya sirkuit hanya akan terbentuk bila ada
kebutuhan akan gerak tersebut. Bila ekstremitas yang sakit tidak pernah digerakkan sama
sekali, presentasinya di otak akan mengecil atau hilang.
2. Bergerak yang sebaiknya dilakukan adalah gerak fungsional yang bertujuan. Gerak fungsional
misalnya mengusap, meraih, memegang dan membawa gelas ke mulut. Gerak fungsional
mengikutsertakan dan mengaktifkan bagianbagian dari otak, baik area lesi maupun area otak
normal lainnya, menstimulasi sirkuit baru yang dibutuhkan.
3. Melakukan gerak fungsional memerlukan stabilitas batang tubuh dalam posisi duduk dan
berdiri. Stabilitas duduk dibedakan dalam stabilitas duduk statik dan dinamik. Stabilitas
duduk statik tercapai apabila pasien telah mampu mempertahankan duduk tegak tidak
bersandar tanpa berpegangan dalam kurun waktu tertentu tanpa jatuh/miring ke salah satu sisi.
Stabilitas duduk dinamik tercapai apabila pasien dapat mempertahankan posisi duduk
sementara batang tubuh doyong ke arah depan, belakang, ke sisi kiri atau kanan dan atau
dapat bertahan tanpa jatuh/miring ke salah satu sisi sementara lengan meraih ke atas, bawah,
atau samping untuk suatu aktivitas. Latihan stabilitas batang tubuh selanjutnya yaitu stabilitas
berdiri statik dan dinamik. Hasil latihan ini memungkinkan pasien mampu melakukan
aktivitas dalam posis berdiri. Kemampuan fungsional optimal dicapai apabila pasien juga
mampu melakukan aktivitas sambil berjalan.
4. Persiapkan pasien dalam kondisi prima untuk melakukan terapi latihan. Gerak fungsional
yang dilatih akan memberikan hasil maksimal apabila pasien siap secara fisik dan mental.
Secara fisik harus diperhatikan kelenturan otot-otot, persendian tidak kaku, dan tidak ada
nyeri saat bergerak. Secara mental pasien mempunyai motivasi dan pemahaman akan tujuan
dan hasil yang akan dicapai dengan terapi latihan tersebut. Kondisi medis juga menjadi salah
satu pertimbangan. Tekanan darah dan denyut nadi sebelum dan sesudah latihan perlu
dimonitor. Lama latihan tergantung pada stamina pasien. Terapi latihan yang sebaiknya adalah
latihan yang tidak sangat melelahkan, durasi tidak terlalu lama (umumnya sekitar 45-60
menit) namun dengan pengulangan sesering mungkin dalam sehari.
5. Hasil terapi latihan yang diharapkan akan optimal bila ditunjang oleh kemampuan fungsi
kognitif, persepsi dan semua modalitas sensoris yang utuh. Rehabilitasi fisik dan rehabilitasi
fungsi kognitif tidak dapat dipisah-pisahkan. Mengembalikan kemampuan fisik seseorang
harus melalui kemampuan kognitif, karena rehabilitasi pada prinsipnya adalah suatu proses
belajar, yaitu belajar untuk mampu kembali melakukan suatu aktivitas fungsional dengan
segala keterbatasan yang ada.
6. Keberhasilan suatu rehabilitasi tidak diukur pada kemampuan pasien menggerakkan tungkai
atau lengannya yang paresis, tapi pada kemampuan pasien kembali ke aktivitas dan
kehidupannya sebelum sakit. Pada kondisi dimana lengannya tidak pulih, yang terpenting
adalah pasien mampu melakukan perawatan diri dengan tangan sisi sehat. Hal ini perlu
sesegera mungkin dibiasakan.
7. Terapi latihan kebugaran merupakan bagian rehabilitasi yang sangat penting perannya.
Dengan kebugaran yang baik pasien mampu melakukan terapi latihan lebih lama sehingga
memberikan hasil yang optimal. Dengan kebugaran pasien mempunyai kemampuan untuk
melakukan aktivitas sehari-harinya tanpa cepat lelah dan fatigue.
Intervensi rehabilitasi medis pada stroke fase subakut
Mengembalikan kemandirian dalam melakukan aktivitas sehari-hari dan peran kehidupan pasien
setelah stroke merupakan tujuan utama rehabilitasi stroke fase subakut. Terapi latihan dan atau
remediasi yang diberikan merupakan paduan latihan sederhana dan latihan spesifik menggunakan
berbagai metode terapi dan melibatka berbagai disiplin ilmu. Menentukan jenis, metode pendekatan,
waktu pemberian, frekuensi dan intensitas terapi yang tepat harus disesuaikan dengan kondisi medis
pasien. Terapi latihan fungsional baru efektif apabila:
Tidak ada nyeri, keterbatasan gerak sendi atau pemendekan otot. Apabila ada, maka kondisi
A. Gangguan Komunikasi
Kemampuan manusia berkomunikasi satu sama lain melibatkan bermacam-macam fungsi yaitu
kemampuan berbahasa dan berbicara.
Afasia
Afasia didefinisikan sebagai gangguan untuk memformulasikan dan menginterpretasikan
simbol bahasa. Afasia terjadi sebagai akibat adanya lesi pada mekanisme bahasa di sistem saraf
pusat, umumnya di hemisfer dominan. Kemampuan berbahasa seseorang dibedakan antara lain:
a.
b.
c.
d.
e.
f.
Stroke dapat mengakibatkan gangguan pada salah satu, beberapa atau bahkan semua
kemampuan
berbahasa (afasia global). Secara umum afasia dibedakan menjadi afasia motorik, afasia
sensorik, afasia transkortikal sensorik, afasia transkortikal motorik, afasia anomik dan afasia
global. Kemampuan pemahaman bahasa menjadi indikator penting untuk kemandirian aktivitas
fungsional, artinya semakin berat gangguan afasia sensorik yang diderita, semakin sulit tercapai
kemandirian dalam aktivitas sehari-hari.Penanganan pada pasien afasia disesuaikan dengan
gangguan afasia yang dideritanya. Stimulasi yang diberikan sebaiknya menggunakan fungsi
hemisfer lain, misalnya pasien afasia motorik jangan diajarkan mengeja huruf karena akan
membuat pasien frustasi. Mengeja merupakan fungsi hemisfer kiri yang justru terganggu.
Stimulasi melalui lagu, menyanyikan dan menyuarakan syair lagu yang sudah pasien kenal
sebelum sakit akan lebih bermanfaat (fungsi hemisfer kanan). Pada pasien dengan afasia
sensorik stimulasi auditori (bahasa verbal) yang diberikan sebaiknya simultan dengan stimulasi
visual (bahasa tulisan atau gambar-gambar).
Disartria
Disartria didefinisikan sebagai gangguan dalam mengekspresikan bahasa verbal akibat
kelemahan, spastisitas dan atau gangguan koordinasi pada organ bicara dan artikulasi.
Parameter bicara yang terkena pada disatria antara lain respirasi, fonasi/suara, artikulasi,
resonansi dan prosodi. Tergantung letak lesi disatria dibedakan atas disatria flaksid, spastik,
ataksik, hipokinetik dan hiperkinetik. Terapi latihan diberikan sesuai dengan penyebab disatria,
antara lain untuk memperbaiki kontrol pernapasan, meningkatkan kelenturan dan penguatan
organ bicara dan artikulasi termasuk otot wajah, otot leher dan otot pernapasan.
B. Gangguan Fungsi Luhur
Fungsi kortikal luhur merupakan fungsi yang paling luhur pada manusia, yang membedakan
manusia dengan makhluk Tuhan lainnya. Kerja fungsi ini melibatkan jaringan yang rumit dan
kompleks serta sulit untuk dipisahkan karena saling terkait satu sama lain. Namun untuk
memudahkan pemahaman, fungsi kortikal luhur dibedakan menjadi fungsi berbahasa, fungsi
memori, fungsi visuospasial, fungsi emosi dan fungsi kognisi.
Fungsi kognisi seseorang memerlukan intaknya fungsi kortikal luhur yang lain. Yang termasuk
fungsi kognisi antara lain kemampuan atensi, konsentrasi, registrasi, kategorial, kalkulasi, persepsi,
proses pikir, perencanaan, pentahapan serta pelaksanaan aktivitas/tugas, pertimbangan baik buruk,
bahaya tidak bahaya, pemecahan masalah dan lain sebagainya. Pasien stroke disertai gangguan
fungsi luhur memerlukan rehabilitasi spesifik, yang memerlukan spesialis di bidangnya. Salah satu
yang perlu mendapat perhatian adalah hemi-neglect. Pasien dengan gangguan hemi-neglect
umumnya mempunyai lesi di hemisfer kanan dan mengabaikan semua yang berada di sisi kirinya.
Pasien tersebut seringkali berjalan menabrak pintu yang ada di sebelah kiri, jatuh tersandung benda
yang berada di sisi kiri, atau tidak menyadari ada makanan atau minuman yang diletakkan di sisi
kirinya. Gangguan hemi-neglect paling parah adalah ia tidak mengenali tangan kirinya sebagai
bagian dari tubuhnya. Gangguan ini tidak sama dengan hemianopsia, dimana lapang pandang
pasien menjadi terbatas. Pasien demikian sebaiknya dilatih dalam berjalan atau beraktivitas untuk
selalu mengingat untuk menoleh ke sisi kiri.
C. Gangguan Menelan
Gangguan menelan disebut sebagai disfagia. Insiden gangguan menelan akibat stroke cukup
banyak berkisar antara 30-65%. Sekitar 30% akan pulih dalam 2 minggu, sisanya akan pulih
dalam bulan-bulan berikutnya.
Disfagia merupakan gejala klinis penting karena menempatkan pasien pada risiko aspirasi dan
pneumonia, selain dehidrasi dan malnutrisi. Suara pasien yang serak basah perlu dicurigai adanya
gangguan menelan.
Mendeteksi adanya disfagia dapat dilakukan melalui pemeriksaan sederhana sebagai berikut:
1. Pasien mampu memahami tujuan tes ini dan kooperatif.
2. Posisikan pasien duduk tegak. Apabila belum ada keseimbangan duduk, perlu ditunjang
dengan bantalan agar dapat mempertahankan posisi duduk dengan baik.
3. Berikan satu sendok teh (5 ml) air dingin, minta pasien untuk menelan dengan kepala sedikit
menunduk.
4. Perhatikan apakah pasien mampu menutup bibir saat mencoba menelan.
5. Lihat atau lakukan palpasi dengan meletakan jari pada laring, rasakan apakah terjadi elevasi
laring yang menunjukan terjadinya proses menelan. Monitor apakah ada keterlambatan atau
terjadi proses menelan yang inkomplit.
6. Minta pasien untuk menyuarakan huruf aaaa..... Monitor apakah suara yang terdengar
kering atau basah/ serak. Bila suara menjadi basah, artinya air yang diminum masuk ke
trachea melewati pita suara.
7. Minta pasien berusaha membatukkan lendir, ulangi menyuarakan huruf aaa.... Monitor
kembali bagaimana suara yang terdengar. Mampukah pasien membersihkan jalan nafas dari
air.
Apabila ternyata pasien tidak dapat menelan atau suara menjadi basah, maka makan dan minum per
oral harus dihentikan. Pasien memerlukan Naso Gastric Tube (NGT). Pemeriksaan fungsi menelan
lebih lanjut dapat dilakukan melalui VFSS (video fluorosgraphic swallow study) atau FEES
(fiberoptic endoscopic evaluation of swallowing). Tatalaksana pada pasien dengan gangguan fungsi
menelan memerlukan tenaga spesialis.
D. Gangguan fungsi miksi dan defekasi
Gangguan miksi yang terjadi pada stroke umumnya adalah uninhibited bladder yang menimbulkan
inkontinensia urin. Walaupun pasien kelihatannya mampu miksi, namun harus tetap dievaluasi
apakah urin keluar tuntas, artinya residu sisa dalam kandung kemih setelah miksi kurang dari 5080 ml. Sisa urin yang terlalu banyak akan menyebabkan timbulnya infeksi kandung kemih. Pasien
inkontinensia karena uninhibited bladder dapat diatasi dengan manajemen waktu berkemih. Catat
waktu serta jumlah cairan yang diminum, waktu dan volume urine pada Catatan Harian Berkemih
(voiding diary) selama minimal 3 hari berturut-turut. Berdasarkan voiding diary tersebut dapat
diatur jumlah minum dan waktu berkemih pasien. Apabila frekuensi miksi terlalu sering, obat
seperti antikolinergik dapat membantu, namun hati-hati dengan risiko timbulnya retensio urin.
Gangguan defekasi pada stroke fase subakut pada umumnya adalah konstipasi akibat immobilisasi.
Perlu diingat bahwa diare yang timbul kemudian selain gastroenteritis juga bisa disebabkan oleh
adanya skibala, terutama bila didahului oleh obstipasi lama sebelumnya. Sarankan pasien untuk
banyak bergerak aktif, berikan cukup cairan (sekitar 40 ml/kg BB ditambah 500 ml air/cairan bila
tidak ada kontraindikasi), serta makan makanan berserat tinggi. Bila perlu obat laksatif dapat
diberikan.
E. Gangguan Berjalan
Ambulasi jalan merupakan suatu aktivitas komplex yang memerlukan tidak hanya kekuatan otot
ekstremitas bawah saja, tetapi juga kemampuan kognitif, persepsi, keseimbangan dan koordinasi.
Terapi latihan menuju ambulasi jalan perlu diberikan bertahap, dimulai dari kemampuan
mempertahankan posisi duduk statik dan dinamik, keseimbangan berdiri statik dan dinamik
kemudian latihan berjalan. Dalam latihan berdiri perlu selalu diperhatikan bahwa panggul harus
pada posisi ekstensi 00, lutut mengunci pada posisi ekstensi 00 sedangkan pergelangan kaki dalam
posisi netral 900. Pastikan berat badan tertumpu juga pada tungkai sisi yang sakit. Paralel bar yaitu
palang dari besi, kayu atau bambu yang dipasang sejajar merupakan tempat latihan jalan yang
paling baik. Letakan kaca setinggi tubuh di depan paralel bar agar pasien dapat melihat sendiri
postur berdiri serta jalannya dan melakukan koreksi secara aktif. Apabila jalan sudah cukup stabil
di dalam paralel bar, maka latihan jalan dapat dilanjutkan dengan memakai tripod, yaitu tongkat
yang ujung bawahnya bercabang tiga. Untuk memperbaiki stabilitas jalan, tidak jarang diperlukan
splint kaki (foot orthosis) atau sepatu khusus.
1. Mengenali gangguan fungsional yang ada atau kemungkinan timbul pada berbagai diagnosis
medis berdasarkan anamnesis, pemeriksaan klinis, serta pemeriksaan fungsional.
2. Mengetahui komplikasi neuromuskuloskeletal dan kardiorespirasi yang ada atau mungkin
timbul serta dampaknya terhadap kemampuan fungsional.
3. Menetapkan kasus yang perlu langsung merujuk atau merumuskan masalah fungsional pasien
dan merujuk atau merumuskan masalah fungsional, melakukan pencegahan atau tatalaksana
dasar dan merujuk kepada Dokter Spesialis Kedokteran Fisik dan Rehabilitasi.
5. MATERI POKOK DAN SUB MATERI POKOK
a.
b.
c.
d.
e.
8. REFERENSI
1. Wirawan RP. Stroke Rehabilitation in Primary Health Care. Majalah Kedokteran Indonesia.
2009: 59(2):61-73.
2. Braddom RL. Physical Medicine and Rehabilitation. 3rd edition. Philadelphia: WB Saunders
Company; 2007.
3. World Health Organization (WHO). Towards A Common Language for Functioning,
Disability and Health (ICF). Geneva: World Health Organization; 2002.