Anda di halaman 1dari 20

Diare Akut Yang Diderita Oleh Anak

Anthonius Roberto Mario Carlos Ora Adja


102013401
Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Krida Wacana
Arjuna Utara No.6 Jakarta 11510
Telephone : (021) 5694-2061
Fax : (021) 563-1731
Antonius.2013fk401@civitas.ukrida.ac.id
Pendahuluan
Diare merupakan masalah pada sistem pencernaan yang banyak menyerang
masyarakat di berbagai negara, baik itu negara berkembang maupun negara maju.
Diare sendiri memiliki pengertian buang air besar encer lebih dari 3 kali perhari,
dimana buang air besar encer tersebut dapat atau tanpa disertai lendir dan atau darah.1
Anak-anak jauh lebih rentan terkena diare karena melihat belum cukup kuatnya
sistem imun anak-anak serta fungsi organnya yang belum sesempurna orang dewasa.
Di Indonesia sendiri, diare merupakan penyakit utama pada bayi dan anak-anak
dengan angka kesakitan berkisar diantara 150-430 perseribut penduduk pertahunnya.2
Pada anak-anak, diare lebih sering terjadi akibat infeksi baik virus maupun
bakteri patogen lainnya, sehingga mengakibatkan diare akut. Diare akut yaitu diare
yang berlangsung kurang dari 15 hari dan biasanya disebabkan oleh infeksi virus
ataupun parasit.1 Pada negara-negara berkembang, diare banyak terjadi pada anak
dibawah usia 5 tahun dengan peyebab terbanyak dikarenakan infeksi Rotavirus. 3
Namun tidak menutup kemungkinan diare yang terjadi dapat disebabkan oleh infeksi
virus, bakteri, keracunan makanan, efek obat-obatan dan masih banyak lagi.1
Pada kesempatan kali ini, akan dibahas lebih lanjut mengenai diare akut pada
anak. Hal ini terkait dengan skenario yang didapat yaitu tentang seorang anak lakilaki berusia 7 tahun, mengalami diare sejak 2 hari yang lalu, disertai demam 38.5C.
selama sakit anak ini hanya meminum obat penurun panas dan tidak pernah berobat
ke dokter. Frekuensi diare 6x/hari, konsistensi cari, dan tidak ada darah maupu lendir.
Sejak 1 hari yang lalu, anak menjadi tidak nafsu makan dan asupan berkurang.
Beberapa jam sebelum berobat, anak menjadi lemas dan hanya terbaring di tempat
tidur, sehingga Ibunya memutuskan untuk membawa anak tersebut ke UGD RS
terdekat. Menurut Ibunya anak ini terakhir membuang air kecil 4 jam yang lalu. Pada
1

PF, didapati anak tampak lemas, TD 90/60, denyut nadi 90x/menit, frekuensi nafas
20x/menit, temperatur 39C, kedua kelopak mata cekung, bibir kering dan pecahpecah, turgor kulit kembali lambat, akral hangat.
Pembahasan
Anamesis
Hal-hal baku yang perlu ditanyakan antara lain keluhan utama pasien, riwayat
penyakit sekarang, riwayat penyakit dahulu, riwayat penyakit keluarga, riwayat sosial
ekonomi, keluhan lain yang dirasakan, dan pengobatan atau terapi yang mungkin
telah dilakukan. Pada kasus diare ada beberapa hal yang harus ditanyakan untuk
kepentingan penegakan diagnosis. Hal-hal tersebut antara lain berhubungan dengan
berapa lama pasien menderita diare, dalam sehari berapa kali pasien melakukan
defekasi, riwayat makanan atau minuman yang dikonsumsi, pasien sebelumnya
berpergian atau tidak, apakah ada keluarga yang juga mengalami hal yang sama,
apakah ada keluhan lain seperti nyeri; demam; ataupun mutah.4
Sangat wajib untuk menanyakan bentuk; warna; konsistensi dari feses, sebab
beberapa dari etiologi penyebab diare akan memberikan ciri khas sendiri dari
karakteristik fesesnnya. Hal-hal yang perlu diketahui dari pasien sehubungan dengan
feses yang dikeluarkannya antara lain: apakah cair atau padat, apakah terdapat darah
(merah atau hitam, tercambur atau tidak), apakah terdapat lendir atau nanah, apakah
berlemak atau berminyak, apakah berbuih, apakah berbau busuk, apakah berwarna
seperti cucian air beras, dsb.4 Untuk melihat apakah pasien mengalami dehidrasi, perlu
ditanyakan hal-hal seperti apakah pasien masih bisa berkemih, apakah pasien masih
merasa haus, apakah pasien merasakan lemas, dsb.
Dari hasil anamnesa pasien didapatkan hasil seperti berikut ini:
KU

: Diare sejak 2 hari yang lalu

RPS

: Diare 6x/hari, konsistensi cair, tidak ada darah, tidak ada lendir, tidak
nafsu makan, lemas, dan terakhir buang air kecil 4 jam yang lalu.

KLain

: Demam

Pemeriksaan Fisik
Pertama-tama, pemeriksaan fisik yang wajib untuk dilakukan adalah melakukan
pemeriksaan tanda-tanda vital yang meliputi tekanan darah, frekuensi napas, suhu,
dan nadi. Setelah itu dilakukan pemeriksaan abdomen dengan inspeksi, auskultasi,
2

perkusi, dan palpasi. Tidak lupa juga untuk melakukan pemeriksaan untuk melihat
apakah pasien mengalami dehidrasi atau tidak.
Pada pemeriksaan fisik, apabila pasien merasakan sakit perut seperti kram
biasanya dihubungkan dengan infeksi dari beberapa organisme. Nyeri biasanya tidak
akan meningkat dengan palpasi. Pada anak-anak seringkali terjadi kerusakan kulit
perianal akibat terlalu sering melakukan defekasi atau karena pH tinja yang asam.
Pasien yang mengalami dehidrasi biasanya terlihat lemas, kesadaran menurun, ubunubun cekung, membran mukosa kering, mata cekung, dan turgor kulit menurun.
Penurunan berat badan dapat terjadi apabila terjadi malabsorbsi.
Hasil pemeriksaan fisik yang bisa didapat berdasarkan kasus antara lain:
Tanda-Tanda Vital

: Suhu 39C, TD 90/60, denyut nadi 90x/menit,


nafas 20x/menit

Pemeriksaan Makroskopik

: tinja cair, tidak ada darah, tidak ada lendir,


sudah 2 hari, sehari 6x melakukan defekasi

Tanda-Tanda Dehidrasi

: lemas, kelopak mata cekung, bibir kering dan


pecah-pecah, turgor kulit kembali lambat

Pemeriksaan Penunjang
1. Pemeriksaan Feses
Pemeriksaan feses harus dilakukan dengan sebelumnya telah dilakukan
persiapan. Persiapan yang dimaksud antara lain pasien tidak boleh mengjonsumsi
antasida, antidiare, antiparasit, antibiotik, laksan, vitamin C, dan zat besi, terhidung 1
atau 2 hari sebelum pemeriksaan. Feses harus berasal dari defekasi spontan atau
dengan sarung tangan, bukan tinja yang telah terkontaminasi dengan benda-benda
diluar atau pun air toilet. Feses harus dimasukan ke dalam wadah yang bersih, tidak
meresap, berlabel di badan wadah, tertutup rapat, tidak mudah pecah dan mudah
dibawa. Pemeriksaan harus segera dilakukan kurang dari satu jam untuk mendapatkan
feses yang masih segar.

Gambar 1. Wadah untuk Pemeriksaan Tinja


1.1 Pemeriksaan Makroskopik
Dilakukan pemeriksaan makroskopik untuk tinja yang meliputi pemeriksaan
warna, konsistensi, volume, frekuensi, mukus, bau, adanya parasit atau tidak, adanya
pus atau tidak, adanya sisa makanan yang tidak dicerna, dan osmolaritas tinja.
Karakteristik pemeriksaan tinja secara makroskopik dapat dilihat pada Tabel 1.
Tabel 1. Kondisi Feses dan Indikasinya
Karakteristik
Warna

Normal

Abnormal

Coklat/kekuningan Pekat/putih

Hitam
Merah
Pucat dengan lemak

Konsistensi

Lendir darah
Berbentuk, lunak, Keras, kering
agak cair / lembek,
basah
Cair

Bau

Dipengaruhi oleh
makanan yang

Bau tak enak yang


keras

Kemungkinan
Penyebab
Adanya pigmen
empedu, pemeriksaan
diagnostik
menggunakan barium
Perdarahan bagian atas
GI
Perdarahan
bagian bawah GI
Malabsorbsi lemak;
diet tinggi susu dan
produk susu dan
rendah daging.
Infeksi
Dehidrasi, penurunan
motilitas usus akibat
kurangnya serat
konstipasi
Peningkatan motilitas
usus (mis. akibat
iritasi kolon oleh
bakteri) diare
Berasal dari senyawa
indole, skatol,
4

dimakan dan flora


bakteri

Unsur Pokok

Sejumlah kecil
bagian kasar
makanan yg tdk
dicerna, lemak,
protein, cairan
pencernaan, dll

Frekuensi
1.2 Pemeriksaan Mikroskopik

Pus
Mukus
Parasit
Darah
Lemak dalam
jumlah besar
Benda asing
>3 kali/hari

hydrogen sulfide dan


amine, diproduksi oleh
pembusukan
proteinoleh bakteri
perusak atau
pembusuk
Infeksi bakteri
Kondisi peradangan
Perdarahan
gastrointestinal
Malabsorbsi
Salah makan
Diare

Pemeriksaan mikroskopik yang dapat dilakukan antara lain melakukan


pemeriksaan kandungan leukosit, eritrosit, lemak, sisa makanan, atau pun telur cacing
dalam feses. Pemeriksaan leukosit dan eritrosit dilakukan dengan penggunaan
pewarna eosin 2%. Normalnya tidak terdapat leukosit maupun eritrosit. Jika leukosit
>3/lpb mengindikasikan adanya inflamasi atau infeksi. Lemak dapat diperiksa dengan
pewarnaan Sudan III, Sudan IV, dan Oil Red O. Lemak akan tampak sebagai bulatan
berwarna jingga sampai merah. Normalnya serat tumbuhan hanya ditemukan 1-4
serat/lpb, sementara serat hewan tidak ditemukan. Jika ditemukan dapat
mengindikasikan adanya maldigesti dan pewarnaanya menggunakan eosin 2%.
2. Biakan Bakteri
Biakan feses harus dilakukan pada setiap pasien yang dimungkinkan mengalami
diare akibat infeksi dari virus, bakteri, maupun parasit. Harus s elalu dilakukan kultur

tinja untuk Salmonella, Shigella, Campylobacter dan enterocolitica Y apabila terdapat


tanda-tanda klinis kolitis atau jika leukosit ditemukan dalam fese. E.coli dapat juga
ditemukan dalam pemeriksaan ini dan dapat ditentukan jenis apakah E.coli yang
ditemukan. Antigen dari Rotavirus dapat diidentifikasi dengan immunoassay dan uji
aglutinasi lateks. Tingkat false-negatif adalah sekitar 50%, dan hasil positif palsu
dapat terjadi. Antigen Adenovirus dapat dideteksi dengan immunoassay enzim. Hanya
serotipe 40 dan 41 dari Adenovirus yang dapat menginduksi diare.

3. Pemeriksaan Darah
Pemeriksaan darah perifer lengkap digunakan untuk melihat hemoglobin,
hematokrit, leukosit, dan hitung jenis leukosit. Pasien dengan diare karena virus,
biasanya memiliki jumlah dan hitung jenis leukosit yang normal atau limfositosis.
Pasien dengan infeksi bakteri terutama pada infeksi bakteri invasif ke mukosa,
memiliki leukositosis dengan kelebihan darah putih. Jumlah leukosit biasanya tidak
meningkat pada diare virus-mediated dan racun-dimediasi. Bakteri atau virus yang
menginvasi ke usus akan menyebabkan leukosit (terutama neutrofil) berada dalam
feses.1
Pemeriksaan Laboratorium Lain
Pemeriksaan gangguan keseimbangan asam basa dalam darah, dengan
menentukan pH dan cadangan alkali atau lebih tepatnya lagi dengan pemeriksaan
analisa gas darah. Pemeriksaan kadar ureum dan kreatinin dapat dilakukan untuk
mengetahui fatal ginjal. Pemeriksaan elektrolit terutama kadar natrium, kalium,
kalsium dan fosfor dalam serum dapat dilakukan terutama pada penderita diare yang
disertai kejang.2
Epidemiologi
Pada negara-negara berkembang, diare banyak terjadi pada anak dibawah usia 5
tahun dengan peyebab terbanyak dikarenakan infeksi Rotavirus. Sementara itu
Salmonella bertanggung jawab atas seperduabelas dari total kematian pada anak usia
dibawah 5 tahun akibat diare. Adanya penurunan tingkat kematian merupakan efek
dari membaiknya penanganan diare dan membaiknya tingka gizi anak dan balita.
Diare dapat menyebar dengan cepat dalam komunitas tertutup seperti di rumah atau
bangsal perawatan rumah sakit, atau tempat penitipan anak, dan pada musim-musim
tertentu.3
Etiologi
Diare dapat disebebkan oleh berbagai penyebab antara lain oleh karena infeksi
(bakteri, parasit, virus), keracunan makanan, efek obat-obatan dan masih banyak lagi.1
Virus merupakan penyebab utama diare akut di negara-negara maju dan negaranegara berkembang, dimana virus yang paling tinggi prevalensinnya adalah Rotavirus
yaitu hingga 60%. Secara sederhana etiologi diare dapat dibagi dalam beberapa faktor
yaitu faktor infeksi, faktor malabsorbsi, faktor makanan, dan faktor psikologis.2
Faktor infeksi dibagi lagi menjadi infeksi enteral dan parental. Infeksi enteral
meliputi infeksi bakteri (Vibrio, E.coli, Salmonella, Shigella, Campylobcter, Yersinia,
6

Aeromonas, dsb), infeksi virus (Coxsackie, Adenovirus, Rotavirus, Astrovirus, dsb),


dan infeksi parasit (Ascaris, Trichiuris, Oxyuris, Strongyloides, Entamoeba
histolytica, Giardia lamblia, Trichomonas hominis, Candida albicans). Sementara itu
infeksi parenteral yaitu infeksi di bagian tubuh lain di luar alat pencernaan seperti
Otitis media akuta (OMA), Tonsilofaringits, Bronkopneumonia, dsb, yang sering
terjadi pada bayi dan anak berumur di bawah 2 tahun.2
Faktor malabsorbsi terdiri dari malabsorbsi karbohidrat, malabsorbsi lemak, dan
malabsorbsi protein. Malabsorbsi karbohidrat diantaranya terdiri dari malabsorbsi
disakarida (intoleransi laktosa, maltosa, dan sukrosa) dan malabsorbsi monosakarida
(intoleransi glukosa, fruktosa, dan galaktosa). Pada bayi dan anak yang terpenting dan
tersering ialah intoleransi laktrosa.2
Faktor Resiko
Anak-anak yang dititipkan pada penitipan anak memiliki kesempatan penularan
organisme penyebab diare. Pada tempat-tempat penitipan anak, organisme tertentu
dapat menyebar dengan cepat. Mengkonsumsi makanan mentah atau tercemar dapat
meningkatkan kemungkinan resiko diare. Misalnya saja pada telur bisa terdapat
Salmonella, pada daging bisa terdapat Campylobacter ataupun C. perfingens, pada
seafood dapat ditemukan Vibrio, dan masih banyak lagi. Air yang tidak bersih seperti
air pada kolam renang dapat menyebabkan wabah infeksi shigella. Sejarah berkemah
menunjukan paparan sumber air yang terkontaminasi dengan organisme Giardia.
Seringnya berpergian juga meningkatkan risiko tertularnya diare.5
Patofisiologi secara Umum
Mekanisme dasar yang menyebabkan timbulnya diare adalah dikarenakan adanya
gangguan sekresi dan gangguan osmotik. Gangguan sekresi dapat terjadi akibat
rangsangan tertentu (milsanya dari toksin virus atau bakter) pada dinding usus yang
menyebabkan peningkatan sekresi air dan elektrolit ke dalam rongga usus. Pada
kahirnys diare pun dapat timbul kaena terdapat peningkatan isi rongga usus, diare
semacam ini sering juga disebut sebagai diare sekretorik.2
Sementara itu, gangguan osmotik dapat terjadi akibat terdapatnya makanan atau
zat yang tidak dapat diserap. Makanan atau zat yang tidak dapat diserap menyebabkan
tekanan osmotik dalam rongga usus meninggi, sehingga terjadi pergeseran air dan
elektrolit ke dalam rongga usus. Isi rongga usus yang berlebihan ini akan merangsang
usus untuk mengeluarkannya sehingga timbulkan diare yang juga sering disebut
sebagai diare osmotik.2
Gejala Klinis secara Umum
7

Biasanya pada awalanya bayi dan anak menjadi cengeng, gelisah, suhu tubuh
biasanya meningkat, nafsu makan berkurang, kemudian barulah timbul diare. Tinja
yang dikeluarkan cari dan dapat disertai lendir ataupun darah. Anus dan daerah
sekitarnya dapat menjadi lecet akibat dari seringnya defekasi dan karena tinja makin
lama makin asam sebab makin banyak asam laktat yang berasal dari laktosa yang
tidak dapat diabsorbsi usus selama diare.2
Gejala muntah dapat juga muncul sebelum ataupun sesudah diare yang
disebabkan oleh karena lambung yang turut meradang atau akibat gangguan
keseimbangan asam-basa dan elektrolit. Bila penderita telah banyak kehilangan cairan
dan elektrolit, maka gejala dehidrasi mulai tampak. Gejala dehidrasi diantaranya
seperti berat badan menurun, turgot kulit berkurang, mata dan ubun-ubun menjadi
cekung, selaput lendir bibir dan mulut serta kulit tanpa kering.2

Gambar 2. Tanda-Tanda Dehidrasi


Asidosis metabolik dapat terjadi karena tubuh kehilangn NaHCO3 melalui tinja,
ketosis kelapran, produk-produk metabolik yang bersifat asam tidak dapat
dikeluarkan, atau karena penimbunan asam laktat. 2 Gejala lain seperti lemah otot,
aritmia, dan ileus paralitik (kembung) dapat terjadi akibat hipokalemia. Jika penderita
mengalami hipoglikemi dapat memunculkan gejala seperti apatis, tremor, berkeringat,
pucat, kejang, dan syok.
Diare akibat bakteri biasanya diindikasikan dengan adanya darah dalam tinja.
Infeksi Campylobacter jejuni biasanya berhubungan dengan nyeri abdomen yang
berat serta darah pada tinja. Pada diare akibat infeksi rotavirus gejala yang pertama
muncul adlah vomitus diikuti diare cari dan febris ringan. Pada infeksi Shigella
mungkin juga didapatkan demam tinggi.6 Untuk lebih lengkapnya akan dipaparkan
pada pembahasan diare terkait dengan penyebabnya.
Komplikasi
8

Dehidrasi dapat timbul sebagai komplikasi diare apabila penderita diare telah
kehilangan banyak cairan dan elektrolit. Kebanyakan dehidrasi disebabkan oleh
karena keterlambatan diagnosis dan keterlambatan pemberian terapi yang tepat. 1
Dehidrasi dapat digolongkan menjadi 3 berdasarkan dari derajadnya, yaitu dehidrasi
ringan, dehidrasi sedang, dan dehidrasi berat. Masing-masing dari dehidrasi tersebut
akan memiliki gejala klinis yang berlainan dan dapat dilihat pada Tabel 2.
Tabel 2. Gejala Klinis Dehidrasi Berdasarkan Derajadnya
Defisit cairan
Tampilan Umum

Dehidrasi Ringan Dehidrasi Sedang


Dehidrasi Berat
5-6%
5-10%
>10%
Normal/tidak
Gelisah/
Stupor

Membran

sehat, tampak haus


Normal/kering

mengantuk/lemas
Kering, lendir

Sangat kering seperti

Normal/menurun

melekat
Menurun

tertarik
Sangat

Mukosa
Pengeluaran Urin

menurun/oliguria/tidak
Turgor Kulit
Kualitas Denyut
Nadi
Mata dan Ubun-

Normal
Normal
Normal

Normal/menurun
Mulai melemah

ada selama 12 jam


Sangat turun
Sangat melemah/tidak

Cekung

teraba
Sangat cekung

Ubun
Sementara itu jika dibagi berdarkan kadar natrium dalam darah, dehidrasi dapat
dibagi menjadi dehidrasi isotonik, hiponatremik, dan hipernatremik. Dehidrasi
isotonik terjadi apabila kehilangan air dan natrium secara proposional. Kadar natrium
dalam plasma sejumlah 130-150 mmol/L. Dehidrasi hipnatremik terjadi apabila
natrium hilang dalam jumlah banyak di tinja tanpa bersamaan dengan proposi air yang
seimbang dan jumlah natirum dalam plasma kurang dari 130mmol/L. Dehidrasi
hipernatremik adalah dehidrasi yang terjadi apabila kehilangan air lebih banyak
daripada kehilangan natrium, dengan kadar natrium dalam plasma lebih dari
150mmol/L.2
Diagnosis Banding
1. Diare akibat Escherichia coli
Escherichia coli E.coli, merupakan penyebab diare yang sangat umum
ditemukan di seluruh dunia.5 E.coli merupakan bakteri gram negatif yang mempunyai
sifat meragikan dan membentuk gas pada glukosa dan laktosa. Pada saat ini dikenal 3
9

macam strain E.coli yang dianggap patogen dan dapat menyebabkan diare, yaitu:
Enteropathogenic

E.coli

(EPEC),

Enterotoxigenic

E.coli

(ETEC),

dan

Enteroinvasisve E.coli (EIEC).2


EPEC merupakan penyebab diare pada bayi yang penting, khususnya dinegara
berkembang. Dahulu EPEC dikaitan dengan wabah diare di ruang perawatan bayi di
negara maju. EPEC melekat ke sel mukosa usus dan terkadang masuk ke sel mukosa.
EPEC kemudian akan membentuk koloni dan menyebabkan pendataran mikrovili.
Akibat dari ini akan terjadi diare cair yang biasanya sembuh spontan tetapi dapat pula
menjadi kronis.5
ETEC merupakan penyebab diare turis yang lazim ditemui dan diare pada bayi
yang sangat penting di negara berkembang. Eberapa galur ETEC menghasilkan
eksotoksin labil-panas (heat-labile exotoxin-LT) yang secara genetik dikendalikan
oleh plasmid. Subunit B-nya meekat pada gangiosida GM1 di brush border sel epitel
usus halus dan mempermudah masuknya subunit A ke dalam sel yang kemudian
mengaktifkan adenilat siklase. Hal ini meningkatkan konsentrasi siklik adenosin
monofosfat secara bermakna pada tempat tersebut sehingga menyebabkan
hipersekresi air dan klorida. Akhirnya, terjadilah diare yang berlangsung selama
beberapa hari. Beberapa galur ETEC yang lain menghasilkan enterotoksin stabil-panas
(heat-stable enterotoxin-ST) yang dikendalikan secara genetik oleh sekelompok
plasmid yang heterogen. ST mengaktifkan guanilat siklase dalam sel epitel usus dan
merangsang sekresi cairan yang kemudian menyebabkan diare.5
EIEC dapat dibedakan dari strain EPEC dan ETEC karena strain ini dapat
menembus muka usus besar (kolon), menimbulkan kerusakan jaringan mukosa,
sehingga dapat ditemukan eritrosit dan leukosit dalam tinja penderita. 2 Galur EIEC ini
bersifat nonmotil dan ridak memfermentasi atau lambat memfermentasi laktosa. EIEC
menyebabkan penyakit yang sangat mirip dengan shigelosis, yang sering terjadi pada
anak-anak di negara berkembang dan para turis yang berpergian ke daerah tersebut.5
Sampel koloni dapat diperiksa lebih lanjut untuk kecurigaan strain patogenik
melalui beberapa cara misalnya dengan menggunakan immunoassay dan probe DNA.
Pada EPEC dapat ditentukan serotipe dari strain patogenik melalui probe DNA. Pada
ETEC akan ditemukan enterotoksin menggunakan immunoassay atau penemuan gen
toksin menggunakan probe DNA. Pada EIEC akan ditemukan plasmid entero-invasif
menggunakan probe DNA.7
ETEC berespon baik terhadap terapi trimetoprim-sulfametoksazole atau kuinolon
yang diberikan selama 3 hari. Pemberian antimikroba belum diketahui akan
10

mempersingkat penyakit pada diare EPEC dan EAEC. Sementara itu, antibiotik harus
dihindari pada diare yang berhubungan dengan EHEC.7
2. Diare akibat Shigella spp
Infeksi Shigella pada manusia dapat menyebabkan keadaan seperti ringan tanpa
demam, disenteri hebat disertai demam, toksis, kejang terutama pada anak, tenesmus
dan tinja berlendir atau berdarah. Patogenesisnya terjadinya diare oleh Shigella spp.
ialah disebabkan kemampuannya mengadakan invasi ke epitel sel mukosa usus,
berkembang biak dan kemudian mengeluarkan eksotoksin. Akibat invasi bekateri ini
terjadi infilrasi sel-sel polimorfnuklier dan menyebabkan matinya sel-sel epitel
tersebut, sehingga menyebabkan tukak-tukak kecil yang membuat sel darah merah
dan plasma protein keluar dari sel dan masuk ke lumen usus untuk kemudian keluar
bersama tinja.2
Kultur tinja dibutuhkan, bahan digoreskan pada medium diferensial (misalnya,
agar MacConkey atau EMB) dan pada medium selektif (agar enterik Hektoen atau
agar salmonela-shigela). Akan dapat dilihat koloni yang tidak berwarna (laktosanegatif) pada agar triplet gula besi. Organisme ini juga tidak menghasilkan H 2S,
namun menghasilkan asam tetapi tidak menghasilkan gas pada pangkal dan bagian
miring yang basa di medium agar triplet gula besi. Sebaiknya dilakukan pemeriksaan
aglutinasi slide dengan antiserum spesifik shigela. Siprofloksasin untuk orang dewasa
dan trimetoprim untuk anak-anak seringkah cukup untuk terapi.7

Gambar 3. Kultur Shigella pada Berbagai Media


3. Diare akibat Vibrio cholerae
Vibrio cholerae dapat menyebabkan suatu penyakit yang disebut kolera dengan
manifestasi berupa diare dan kadang-kadang disertai dengan muntah. Tinja diare akan
11

tampak seperti air cucian beras atau tajin, kadang-kadang disertai muntah, turgor yang
cepat menurun, mata cekung, ubun-ubun cekung, pernafasan cepat dan dalam,
dianosis, nadi kecil dan cepat, tekanan darah menurun, bunyi jantung melemah hingga
akhirnya dapat timbul renjatan.2
Bakteri ini tertelan dan masuk ke dalam usus halus lalu melakukan multiplikasi di
dalam usus halus. Bakteri kemudian akan mengeluarkan enterotoksin kolera yang
akan mempengaruhi sel mukosa usus halus (menstimulasi enzim adenilisiklase).
Enzim tersebut akan mengubah ATP menjadi cAMP dan dengan meningkatnya cAMP
makan akan terjadi peningkatan sekresi ion Cl ke dalam lumen usus. Pada akhirnya
akan terjadi hipersekresi ke dalam lumen usus yang berujung pada diare. Dijumpai
pula kedaan dimana terjadi penurunan aktifitas enzim disakaridase.2
Diagnosis dapat ditegakkan dengan menemukan kuman Vibrio cholere dengan
cara penanaman pada gar empedu atau agar GTT selama 18 jam. Akan tampak koloni
berwarna hijau jernih berkiat yang merupakan koloni Vibrio.

12

4. Diare akibat Clostridium perfringens


C perfringens adalah bakteri batang gram positip, anaerob, membentuk spora.
Bakteri ini sering menyebabkan keracunan makanan akibat dari enterotoksin dan
biasanya sembuh sendiri. Gejala berlangsung setelah 8 24 jam setelah asupan
produk-produk daging yang terkontaminasi, diare cair dan nyeri epigastrium,
kemudian diikuti dengan mual, dan muntah. Demam jarang terjadi. Gejala ini akan
berakhir dalam waktu 24 jam. Pemeriksaan mikrobiologis bahan makanan dengan
isolasi lebih dari 105 organisma per gram makanan, menegakkan diagnosa keracunan
makanan C perfringens . Pulasan cairan fekal menunjukkan tidak adanya sel
polimorfonuklear, pemeriksaan laboratorium lainnya tidak diperlukan. Terapi dengan
rehidrasi oral dan antiemetik.5
5. Diare akibat Staphylococcus spp.
Staphylococcus dapat membentuk toksin di dalam makanan dan bila makanan
tersebut dimakan manusia dapat timbul gejala keracunan makanan seperti sakit perut,
muntah hebat dan diare ringan. Terdapat 4 macam toksin yang bersifat tahan panas
yaitu tipe A, B, C, dan D. Toksin tipe B dapat menyebabkan sekresi air dan elekttrolit
pada usus halus. Toksin juga dapat merusak mukosa usus sehingga menimbulkan
diare.
6. Diare akibat Aeromonas
Spesies Aeromonas adalah gram negatif, anaerobik fakultatif. Aeromonas
menghasilkan beberapa toksin, termasuk hemosilin, enterotoksin, dan sitotoksin.
Gejala diare cair, muntah, dan demam ringan. Kadang-kadang feses berdarah.
Penyakit sembuh sendiri dalam 7 hari. Diagnosa ditegakkan dari biakan kotoran.
Antibiotik direkomendasikan pada pasien dengan diare panjang atau kondisi yang
berhubungan dengan peningkatan resiko septikemia, termasuk malignansi, penyakit
hepatobiliar, atau pasien immunocompromised. Pilihan antibiotik adalah trimetroprim
sulfametoksazole.

13

7. Diare karena Rotavirus


Rotavirus (virus RNA) merupakan penyebab tersering gastroenteritis di seluruh
dunia. Sebagian besar disebabkan oleh grup A. Grup A dapat dibagi lagi menjadi
sejumlah serotype. Insidensi tertinggi adalah pada anak- anak berusia 6-24 bulan,
walaupun tidak jarang pula hingga usia 4 tahun. Penularan biasanya terjadi secara
fekal-oral namun dapat juga fekores- piratorius. Virus stabil dalam lingkungan dan
dapat ditularkan melalui air atau permukaan yang terkontaminasi. Masa inkubasi 2-3
hari.5
Virus bermultiplikasi dalam mukosa usus proksimal, merusak mikrovili dan epitel
kolumnar yang digantikan oleh sel-sel kuboid imatur. Virus mengganggu absorpsi
cairan dan menyebabkan diare osmotic. Imunitas (lokal, humoral, dan selular)
terbentuk setelah pemulihan, sehingga infeksi berulang cenderung lebih ringan.
Penyakit timbul secara mendadak dengan demam, muntah, dan diare cair dengan
berbagai keparahan. Gejala biasanya berhenti setelah 4-6 hari, namun dapat
memanjang dan berat pada pasien immunocompromised.5

Gambar 4. Mekanisme Infeksi Rotavirus


Ekskresi virus berhenti setelah seminggu atau lebih, namun dapat memanjang
pada pasien immunocompromised. Diagnosis biasanya dapat ditegakkan melalui
deteksi antigen cepat dengan immunoassay enzim atau immuno- chromatography. Tes
berbasis PCR meningkatkan angka deteksi, namun kurang cepat dan tidak tersedia
secara rutin.5
8. Diare akibat Adenovirus

14

Tipe 40 dan 41 adalah yang paling banyak terlibat pada terjadinya diare. Virus ini
tidak memiliki kecenderungan musiman. Transmisi secara fekal-oral Masa inkubasi 810 hari. Infeksi asimtomatik sering terjadi. Diare cenderung lebih ringan namun
kadang-kadang lebih lama bila dibandingkan dengan gastroenteritis Rotavirus.
Diagnosis melalui deteksi antigen atau PCR.5
9. Diare akibat Giardiasis lamblia
Giardia lamblia (intestinalis) adalah suatu protozoon berflagela. Di negara maju,
kasus biasanya terlihat pada pusat-pusat penitipan anak dan sekolah, di antara temanteman serumah dalam institusi dengan higiene personal yang buruk, di antara orangorang di perkemahan, pada pria homoseksual, pada pengunjung ke negara
berkembang, dan selama wabah dalam komunitas yang ditularkan melalui air.
Penularannya melalui transfer kista (bukan trofozoit) secara fekal-oral melalui kontak
manusia ke manusia atau konsumsi makanan atau air yang terinfeksi. Masa inkubasi
sekitar 2 minggu.8
Setiap kista melepaskan dua trofozoit dalam usus bagian atas yang melekat ke
mukosa dan bermultiplikasi dengan pembelahan biner. Trofozoit berubah menjadi
kista dalam kolon, dan kemudian diekskresi. Mekanisme diare akut tidak diketahui.
Invasi atau perubahan struktural biasanya tidak ada. Pada infeksi kronik dengan
malabsorpsi, sering ditemukan atrofi vilus parsial. Mekanisme imun yang terlibat
dalam pemulihan belum dapat dimengerti. Infeksi pada agamaglobulinemia seringkali berat dan lama, namun tidak pada pasien dengan imunodefisiensi selular.
Banyak infeksi bersifat asimtomatik. Penyakit dapat timbul secara mendadak
dengan diare cair. Flatulens, rasa penuh pada abdomen, dan mual sering terjadi dan
dapat mendominasi. Gejala seringkali menghilang setelah satu minggu. Diare yang
kurang berat serta gejala abdomen dapat menetap secara kontinu atau secara
intermiten selama beberapa minggu atau beberapa bulan. Pada kasus yang terabaikan
dapat timbul malabsorpsi dengan steatorea dan penurunan berat badan. Individu yang
tidak diobati dapat mengekskresi kista selama periode yang lama bahkan saat bebas
gejala.8
Diagnosis dapat dilakukan dengan mengidentifikasi kista atau trofozoit dalam
feses melalui mikroskopi langsung. Sampel multipel pada hari yang berlainan harus
diperiksa karena ekskresi kista bervariasi. Trofozoit dapat ditemukan dalam sampel
cairan duodenum (Enterotest atau aspirat atau biopsi). Juga tersedia: deteksi antigen
melalui immunoassay dan penemuan parasit melalui imunofluoresensi.8 Terapi yang
15

dapat diberikan berupa Metronidazol (2 g per hari selama 3 hari) atau tinidazol (2 g
dosis tunggal) efektif pada kira-kira 90%.
10. Diare akibat Obat-Obatan
Diare juga dapat disebabkan karena mengkonsumsi obat tertentu. Antibiotik sering
mengakibatkan hal ini. Dalam konsumsi berlebian obat pencahar maupun antasida
dengan kandungan magnesium dapat pula memicu timbulnya diare akut. Namun
gejala yang ditimbulkan umumnya adalah feses hanya menjadi cair, tidak terdapat
demam, darah atau lendir, dan umumnya tidak akan berlangsung dalam waktu yang
lama. Tidak ada keluhan spesifik untuk kondisi feses atau keadaan khusus lainnya.5

Gambar 5. Obat-Obatan yang Menimbulkan Diare5


11. Diare akibat Makanan
Makanan yang paling sering menimbulkan diare adalah protein susu sapi, protein
kedelai, beberapa makanan alergi, kafein, dsb. Mengkonsumsi makanan atau
minuman tersebut akan memicu terjadinya diare. Biasanya pada penderita tidak
ditemukan kuman patogen atau kondisi feses yang bermukus atau berlendir dan atau
disertai darah, apalagi dengan deman. Toksin lainnya yang termakan harus pula
dipertimbangkan, termasuk insektisida organofosfat, cendawan, arsen dan bahkan
kafein.5

16

Terapi secara Umum


1. Terapi Medika Mentosa
1.1 Rehidrasi Oral
Penggunaan terapi rehidrasi oral efektif dalam mengobati anak apapun penyebab
diare atau berapapun kadar natrium serium anak saat awitan terapi. Larutan rehidrasi
oral yang optimal harus dapat mengganti air, natrium, kalium, dan bikarbonat. Larutan
tersebut juga harus istonik atau hipotonik. Penambahan glukosa ke dalam larutan
berguna untuk meningkatkan penyerapan natrium dengan memanfaatkan kontraporasi
natrium yang digabungkan dengan larutan rehidrasi oral standar WHO (90mEq
natrium dan 111 mmol glukosa per liter) sudah adekuat. Jus dan soda kurang
mengandung natrium dan kalium untuk mengganti kehilangan akibat diare.9
Pencampuran larutan rehidrasi oral dengan jus dan soda harus dihindari karena hal ini
akan mengencerkan konsentrasi natrium dan kalium dan pada sebagian besar kasus
akan meningkatkan kadar glukosa melebihi kadar efektif, serta dapat menyebabkan
diare semakian parah akibat kadar glukosa yang tinggi (hipertonisitas).6

Gambar 6. Oralit Sebagai Rehidrasi Oral


1.2 Rehidrasi Intravena
Anak yang tidak dapat minum harus mendapat rehidrasi secara intravena yang
dapat menggantikan volume air yaang hilang di urin dan tinja, serta mencegah
perkembangan dari dehidrasi dan defisiensi natrium-kalium. Perhitungan kebutuhan
carian semuanya menggunakan berat badan normal anak, dimana perhitungan
kebutuhan cairan per hari seperti tertera pada Tabel 3.

17

Tabel 3. Kebutuhan Cairan Rehidrasi Intavena per Hari3


Berat Badan
0-10 kg
11-20kg
>20kg

Cairan per hari


100mL/kg
1000mL + 50mL/kg unuk setiap kg >10kg
1500mL + 20mL/kg untuk setiap kg >20kg

1.3 Suplementasi Zink


Terdapat bukti yang kuat bahwa suplementasi Zink dapat mengurangi durasi dan
tingkat keparahan dari diare dan mengurangi angka kematian akibat diare. WHO dan
UNICEF menganjurkan suplementasi zink oral dalam 10-14 hari selama dan setelah
diare (10 mg/hari untuk balita <6 bulan dan 20mg/hari untuk yang berusia >6 bulan).
1.4 Terapi Antimikroba
Terapi antimikroba pada kasus tertentu mungkin dapat mengurangi durasi dan
tingkat keparahan dari diare dan mencegah komplikasi. Namun penggunaannya secara
berlebihan dan tidak rasional dapat menyebabkan resistensi terhadap antimikroba.
Nitaxozanide, terbukti efektif dalam terapi berbagai jenis patogen. Untuk lebih khusus
terapi ini telah dibahas pada masing-masing etiologi penyebab diare.
2. Terapi Non Medika Mentosa
Meskipun pasien penderita diare seringkali kehilangan nafsu makan, pemerian
makanan yang tepat sangat dianjurkan. Hal ini dapat dilakukan setelah rehidrasi
tercapai. Pada mayoritas anak penyerapan karbohidrat dari ASI dan susu formula
reglar tidak menunjukan penurunan sehingga dapat diberikan, namun pada anak yang
lebih besar sebaiknya menghindari produk-produk yang mengandung laktosa selama
beberapa minggu karena sering terjadi intoleransi terhadap bahan makanan tertentu
pasca diare.
Makanan yang mengandung karbohidra kompleks, daging mentah, yoghurt, buah
dan sayuran masih dapat ditoleransi tetapi makanan berlemak serta makanan yang
mengandung karbohidat simpleks dalam jumlah besar sebaikanya dihindari.3
Pengurangan asupan lemak semasa penyembuhan dapat mengurangi nausea dan
vornitus. Selain itu dianjurkan juga suplementasi pisang hijau atau pectin dalam diet.
Pencegahan
Diare dapat dicegah dengan menjaga higiene pribadi yang baik. Ini termasuk sering
mencuci tangan setelah keluar dari toilet dan khususnya selama mengolah makanan.
Kotoran manusia harus diasingkan dari daerah pemukiman, dan hewan ternak harus
terjaga dari kotoran manusia. Karena makanan dan air merupakan penularan yang utama,
ini harus diberikan perhatian khusus. Minum air, air yang digunakan untuk membersihkan

18

makanan, atau air yang digunakan untuk memasak harus disaring dan diklorinasi. Jika ada
kecurigaan tentang keamanan air atau air yang tidak dimurnikan yang diambil dari danau
atau air, harus direbus dahulu beberapa menit sebelum dikonsumsi.
Ketika berenang di danau atau sungai, harus diperingatkan untuk tidak menelan air.
Semua buah dan sayuran harus dibersihkan menyeluruh dengan air yang bersih (air
rebusan, saringan, atau olahan) sebelum dikonsumsi. Limbah manusia atau hewan yang
tidak diolah tidak dapat digunakan sebagai pupuk pada buah-buahan dan sayuran. Semua
daging dan makanan laut harus dimasak. Hanya produk susu yang dipasteurisasi dan jus
yang boleh dikonsumsi. Wabah EHEC terakhir berhubungan dengan meminum jus apel
yang tidak dipasteurisasi yang dibuat dari apel terkontaminasi, setelah jatuh dan terkena
kotoran ternak.
Vaksinasi cukup menjanjikan dalam mencegah diare infeksius, tetapi efektivitas dan
ketersediaan vaksin sangat terbatas. Pada saat ini, vaksin yang tersedia adalah untuk V.
colera, dan demam tipoid. Vaksin kolera parenteral kini tidak begitu efektif dan tidak
direkomendasikan untuk digunakan. Vaksin oral kolera terbaru lebih efektif, dan durasi
imunitasnya lebih panjang. Vaksin tipoid parenteral yang lama hanya 70 % efektif dan
sering memberikan efek samping. Vaksin parenteral terbaru juga melindungi 70 %, tetapi
hanya memerlukan 1 dosis dan memberikan efek samping yang lebih sedikit. Vaksin
tipoid oral telah tersedia, hanya diperlukan 1 kapsul setiap dua hari selama 4 kali dan
memberikan efikasi yang mirip dengan dua vaksin lainnya.

Kesimpulan
Diare adalah buang air besar encer lebih dari 3 kali perhari, dimana buang air
besar encer tersebut dapat atau tanpa disertai lendir dan atau darah. Pada anak-anak
diare yang sering terjadi adalah diare akut. Diare akut yaitu diare yang berlangsung
kurang dari 15 hari dan biasanya disebabkan oleh infeksi bakteri, virus ataupun
parasit. Gejala muntah dan demam dapat muncul sebelum ataupun sesudah diare. Bila
penderita telah banyak kehilangan cairan dan elektrolit, maka gejala dehidrasi mulai
tampak. Gejala dehidrasi diantaranya seperti berat badan menurun, turgot kulit
berkurang, mata dan ubun-ubun menjadi cekung, selaput lendir bibir dan mulut serta
kulit tanpa kering. Terapi yang dapat dilakukan untuk pengobatan diare adalah
memberikan rehidrasi oral maupun intravena, antimikroba bila diperlukan, dan
memperhatikan makanan yang diberikan. Menjaga kebersihan tubuh dan lingkungan
dapat mencegah timbulnya diare.
Daftar Pustaka
19

1. Marcellus SK, Daldiyono. Ilmu Penyakit Dalam Jilid I. Diare Akut. Ed V.


Jakarta:Interna Publishing. 2009.
2. Staf Pengajar Ilmu Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.
Ilmu kesehatan anak. Jakarta: Bagian Ilmu Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia, 2007.
3. Kliegman, Behram, Jenson, Stanton. Nelson textbook of pediactric. 18th ed.
Philadelphia: Elsevier Saunders; 2007.
4. Bickley LS. Buku ajar pemeriksaan fisik dan riwayat kesehatan Bates. Edisi 8.
Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC;2009.
5. Jawetz, Melnick, Adelberg. Mikrobiologi kedokteran. Jakarta: Penerbit Buku
Kedokteran EGC; 2012.
6. Miall L, Rufolf M, Levene M. Pediatrics at a glance [e-book]. Oxford: Blackwell
Science Ltd; 2003.p.50-1.
7. Mandal BK,Wilkins EGL, Dunbar E, White RM. Lecture note penyakit infeksi.
Edisi 6. Jakarta: Erlangga Medikal Series;2008.
8. Radji M. Imunologi dan virologi. Jakarta: ISFI;2010.
9. Rudolph AM, Hoffman, JIE, Rudolph CD. Buku ajar pediatri rudolp. Ed 20.
Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC;2007.

20

Anda mungkin juga menyukai