Anda di halaman 1dari 47

RESPONSI

SEORANG PEREMPUAN 37 TAHUN


DENGAN MS SEVERE, TR MODERATE, MR MODERATE

Disusun Oleh:
Adya Sitaresmi
Jati Febriyanto ALP
Annisa Susilowati
Silvia Putri Kumalasari
Aninda Dwi Anggraeni

G99142024
G99142025
G99142026
G99142027
G99142028

Pembimbing:
dr. Triadhy Nugraha, Sp.JP(K), FIHA
KEPANITERAAN KLINIK ILMU PENYAKIT JANTUNG
FAKULTAS KEDOKTERAN UNS / RSUD Dr. MOEWARDI
SURAKARTA
2016
BAB I
PENDAHULUAN
Kelainan katup jantung merupakan keadaan dimana katup jantung
mengalami kelainan yang membuat aliran darah tidak dapat diatur dengan
maksimal oleh jantung. Suatu keadaan di mana terjadi refluks darah dari ventrikel
kiri ke atrium kiri pada saat sistolik karena katup mitral tidak menutup dengan

baik. Katup jantung yang mengalami kelainan membuat darah, yang seharusnya
tidak bisa, kembali masuk ke bagian serambi jantung ketika berada di bilik
jantung. Hal ini membuat jantung memiliki tekanan yang cukup kuat untuk
memompa darah ke seluruh tubuh. Akibatnya, orang tersebut tidak bisa
melakukan aktifitas dalam tingkat tertentu.
Kelainan katup jantung yang parah membuat penderitanya tidak dapat
beraktifitas dan juga dapat menimbulkan kematian karena jantung tidak lagi
memiliki kemampuan untuk dapat mengalirkan darah. Kelainan katup jantung
biasanya terjadi karena faktor genetika atau keturunan dan terjadi sejak masih
dalam kandungan. Kelainan pada katup jantung juga bisa terjadi karena
kecelakaan ataupun cedera yang mengenai jantung. Operasi jantung juga dapat
menyebabkan kelainan pada katup jantung jika operasi tersebut gagal atau terjadi
kesalahan teknis maupun prosedur dalam melakukan operasi pada jantung.
Katup yang terserang penyakit dapat menimbulkan 2 jenis gangguan
fungsional, yaitu insuffisiensi katup, di mana daun katup tidak dapat menutup
dengan rapat, sehingga darah dapat mengalir balik dan stenosis katup, di mana
lubang katup mengalami penyempitan, sehingga aliran darah dapat mengalami
hambatan. Insufisiensi dan stenosis dapat terjadi bersamaan pada satu katup (lesi
campuran) atau sendiri-sendiri (lesi murni). Penyakit katup jantung merupakan
penyakit jantung dengan insiden yang masih cukup tinggi, terutama di negara
berkembang seperti Indonesia. Berdasarkan penelitian di berbagai daerah di
Indonesia, penyakit katup jantung ini menduduki urutan kedua setelah penyakit
jantung koroner.
Di negara-negara industri, prevalensi penyakit jantung katup diperkirakan
2,5%. Karena dominasi etiologi degeneratif, prevalensi meningkat penyakit katup
pada usia di atas 65 tahun, khususnya berkaitan dengan stenosis aorta dan
regurgitasi mitral, yang menyumbang 3 di 4 kasus penyakit katup. penyakit
jantung rematik masih merupakan 22% dari penyakit katup jantung di Eropa.
Di negara berkembang, penyakit jantung rematik masih penyebab utama
penyakit jantung katup. prevalensi tinggi, antara 20 dan 30 kasus per 1.000
subyek ketika menggunakan skrining ekokardiografi sistematis. Penurunan

penyakit katup memerlukan strategi pencegahan di negara-negara industri dan


peningkatan lingkungan sosial ekonomi di negara-negara berkembang.

BAB II
STATUS PASIEN
A. Anamnesis
1. Identitas Penderita
Nama
Umur
Jenis kelamin
Agama
Alamat

: Ny. S
: 37 tahun
: Perempuan
: Islam
: Nyaen, Trobayan, Kalijambe, Sragen

Tanggal periksa: 22 April 2016


No rekam medik
: 00 90 53 42
2. Keluhan Utama
Sesak Nafas
3. Riwayat Penyakit Sekarang
Pasien datang dengan keluhan sesak nafas sejak 3 hari SMRS.
Sesak nafas dirasakan pasien saat istirahat dan terjadi terus-menerus.
Pasien merasa sesak nafas semakin berat dari hari ke hari, pasien belum
berobat ke dokter untuk mengurangi sesak nafasnya. Pasien mengaku
sering terbangun pada malam hari karena sesak nafas, dan pasien hanya
bisa tidur jika menggunakan 2 buah bantal karena sesaknya. Selain sesak
nafas, pasien juga merasakan nyeri dada kiri yang menjalar hingga ke
bagian punggung disertai berdebar dan kelar keringat dingin. Pasien juga
mengeluh perut terasa sakit dan mual, sebelum dibawa ke RS Dr.
Moewardi pasien sempat muntah sebanyak 10 kali. Pasien tidak
mengeluhkan penurunan nafsu makan dan tidak mengeluhkan penurunan
berat badan. Buang air kecil dan buang air besar tidak ada kelainan.
4. Riwayat Penyakit Dahulu
- Riwayat penyakit jantung : (+) MS
severe, TR, MR moderate dan telah
mendapat terapi Digoxin 1x0,25 mg ;
Simarc 0-0-1mg ; Furosemid 1x40mg ;
Valsartan 1x40mg ; Sucralfat 3xC1 ;
Alprazolam 1x0,5mg
- Riwayat hipertensi

: disangkal
- Riwayat diabetes melitus : disangkal

- Riwayat dislipidemia

: disangkal

- Riwayat asma

: disangkal

- Riwayat gastritis

: disangkal

- Riwayat alergi

: disangkal

5. Riwayat Penyakit Keluarga


- Riwayat penyakit jantung

: disangkal

- Riwayat hipertensi

: disangkal
- Riwayat diabetes melitus : disangkal

- Riwayat dislipidemia

: disangkal

- Riwayat asma

: disangkal

6. Riwayat Kebiasaan
- Riwayat merokok
Riwayat olah raga
: disangkal
Riwayat konsumsi alkohol : disangkal
7. Riwayat Sosial dan Ekonomi

: disangkal

Pasien merupakan seorang wanita berusia 37 tahun, telah menikah,


saat ini tinggal dengan anak-anaknya. Pasien berobat dengan fasilitas
BPJS/III.
B. Pemeriksaan Fisik
1. Keadaan umum
tampak lemah, compos mentis E4V5M6, gizi kesan cukup
2. Tanda vital
Tensi
: 117/90 mmHg
Laju napas
: 26x/menit
Denyut nadi
: 160x/menit
Detak jantung
: 160x/menit
Suhu
: 36,6C
Saturasi O2 pulse : 96% dengan O2 3 liter per menit
3. Keadaan Sistemik
Kulit
Kepala
Mata

: sawo matang, ikterik (-), anemis (-), sianosis (-)


: mesocephal
: konjungtiva anemis (-/-), sklera ikterik (-/-), mata cekung (-/-)

Telinga
Hidung
Mulut
Leher

:
:
:
:

edema palpebra (-/-)


sekret (-/-)
nafas cuping hidung (-), sekret (-), epistaksis (-)
mukosa basah (-), sianosis (-)
JVP meningkat (+) 5+3 cm, pembesaran kelenjar getah
bening (-)

Thorax
Cor
Inspeksi
Palpasi

: bentuk normochest, simetris, retraksi (-),


:
: ictus cordis tampak
: ictus cordis kuat angkat, Right Ventricel Activity
meningkat
: batas jantung melebar ke arah caudolateral
: bunyi jantung I-II intensitas normal, irreguler, bising (+)

Perkusi
Auskultasi

diastolik III/6 di apex - axila


Pulmo
:
Inspeksi
Palpasi
Perkusi
Auskultasi

: pengembangan dada kanan sama dengan dada kiri


: fremitus raba dada kanan sama dengan dada kiri
: sonor / sonor
: suara dasar vesikuler (+/+), ronkhi basah kasar (-/-),
ronkhi basah halus (+/+)

Abdomen
Inspeksi
Auskultasi
Perkusi
Palpasi
Ekstremitas
Oedem

:
:
:
:

dinding perut sejajar dinding dada


bising usus (+) normal
timpani, hepar dan lien tidak teraba
supel, nyeri tekan (-), hepar dan lien teraba normal

Akral Dingin -

C. Pemeriksaan Penunjang
EKG

(22 April 2016)


AF rapid 160 bpm RAD RVH
Laboratorium darah

Foto thoraks (22 April 2016)

HEMATOLOGI RUTIN
Hemoglobin
Hematokrit
Leukosit
Trombosit
Eritrosit
INDEX ERITROSIT
MCV
MCH
MCHC
RDW
MPV
PDW
HITUNG JENIS
Eosinofil
Basofil
Netrofil
Limfosit
Monosit
HEMOSTASIS
PT
APTT
INR
ELEKTROLIT
Natrium darah
Kalium darah
Klorida darah
KIMIA KLINIK
GDS
SGOT
SGPT
Albumin
Ureum
Creatinine

22/04/16

Nilai Rujukan

13.3
43
8.1
321
4.40

12.0 15.6
33 45
4.5 11.0
150 450
4.10 5.10

97.1
30.2
31.1
13.3
8.4
16

80.0 96.0
28.0 33.0
33.0 36.0
11.6 14.6
7.2 11.1
25 65

0.20
0.10
69.10
23.30
7.30

0.00 4.00
0.00 0.200
55.00 80.00
22.00 44.00
0.00 7.00

26.9
31.1
2.680

10.0 15.0
20.0 40.0
-

136
5.5
98

136 145
3.3 5.1
98 106

130
45
8 14
4.5
28
28

60 140
< 31
< 34
3.5 5.2
< 50
0.6 1.1

Foto dengan identitas Ny. S, 55 tahun, diagnosis klinis MS Severe. Foto diambil
di ruang radiologi RS Dr.Moewardi. Foto thorax dengan proyeksi PA. Kekerasan
cukup, simetris.
Cor
: CTR > 50%
Pulmo : Tak tampak infiltrat di kedua lapang paru, corakan bronkovaskuler
meningkat, mengabur dengan hilar haze positif
Sinus costophrenicus kanan tajam kiri tumpul
Trakea di tengah
Sistema tulang baik
Kesimpulan:

Edema pulmonum
Efusi pleura sinistra
Cardiomegaly

Echocardiography
(Januari 2016)
MS severe, MR moderate, TR moderate, PH moderate
Wall motion global normokinetik, EF 54%
C. Diagnosis
Anatomis
Fungsional
Etiologi
Penyulit
Faktor risiko

: MS severe, TR moderate, MR moderate


: Acute Lung Oedem, EF 54%, AF rapid VR
: Penyakit Jantung Rematik
: Hiperkalemia
: Usia 37 tahun

D. Terapi
Planning terapi
1. Bedrest total bangsal Aster IV
2. Infus RL 20 cc/jam
3. O2 3 lpm nasal kanul
4. Diet Jantung III 1700 kkal
5. Injeksi lanoxin 0,5mg (1amp) evaluasi 2 jam bila HR 100x/menit
diinjeksikan 0,25mg (1/2 amp), bila HR < 100x/menit ganti dengan
digoxin 1x0,25mg

6. Simarc 2 mg 0-0-1/2
7. Furosemid 1 x 40mg
8. Valsartan 1 x 40mg
9. Sucralfat syr 3 x C1
Planning diagnostik
1. EKG evaluasi 2 jam selanjutnya
2. Lab melengkapi
A Prognosis
Ad Vitam

: dubia ad bonam

Ad Sanationam

: dubia ad bonam

Ad Fungsionam

: dubia ad bonam

B Follow Up
22 April 2016
S : Sesak nafas (+)
O : TD : 145/89 mmHg
HR : 100x/menit
N : 90x/menit
RR : 32x/menit
SiO2 : 98%
Cor : I : IC tak tampak
P : IC tak kuat angkat
P : Batas jantung melebar ke caudolateral
A : BJ I-II intensitas normal, irregular, bising (+) diastolik 3/60 di
axial
Pulmo : SDV (+/+), RBH (+/+) lapang pandang paru
A : Ax : MS severe, TR moderate, MR moderate
Fx : ALO, EF 54%, AF rapid
Ex : PJR
P : Hiperkalemia, pleura efusi
P : 1. Bedrest total duduk
2. O2 ventilator NIV
3. Inf NaCl 0,9% 20 cc/jam
4. Diet jantung III 1700 kkal
5. SP furosemid 100mg/50cc 10mg/jam (5cc/jam)
6. SP dobutamin 250mg/50cc kec. 30cc/jam
10

7. Valsartan 1x40mg
8. Simarc 2mg (0-0-1 )
9. Inj lanoxin 0,5mg jika HR>110, jika HR<110 ganti digoxin
1x0,25mg
10. Inj ranitidine 1amp/12jam
11. Sucralfat syr 3xC1
12. Inj morphine 2,5mg (extra)
13. SP dopamine 200mg/50cc kec 2,5cc/jam
23 April 2016
S : Sesak nafas (+) berkurang
O : TD : 98/62 mmHg
HR : 82x/menit
N : 82x/menit
RR : 31x/menit
SiO2 : 99%
Cor : I : IC tak tampak
P : IC tak kuat angkat
P : Batas jantung melebar ke caudolateral
A : BJ I-II intensitas normal, irregular, bising (+) diastolik 3/4 di
axial
Pulmo : SDV (+/+), RBH (+/+) 1/3 lapang pandang paru
A : Ax : MS severe, TR moderate, MR moderate, PH moderate
Fx : ALO, EF 54%, AF rapid
Ex : PJR
P : Hiperkalemia, pleura efusi minimal, dyspepsia, pneumonia
P : 1. Bedrest total duduk
2. O2 10 lpm NRM
3. Inf NaCl 0,9% 20 cc/jam
4. Diet jantung III 1700 kkal
5. SP furosemid 100mg/50cc 10mg/jam (5cc/jam)
6. SP dobutamin 250mg/50cc kec. 30cc/jam
7. Valsartan 1x40mg
8. Simarc 2mg (0-0-1 )
9. Inj lanoxin 0,5mg jika HR>110, jika HR<110 ganti digoxin
1x0,25mg
10. Inj ranitidine 1amp/12jam
11. Sucralfat syr 3xC1
12. Inj ceftriaxon 2g/24jam
13. Inj levofloxacin 750mg/24jam
14. Codein 3x10mg
15. Inj metoclopramid 10mg/8jam
24 April 2016
S : Sesak nafas (-)
O : TD : 110/38 mmHg
HR : 131x/menit
N : 131x/menit
11

RR : 24x/menit
SiO2 : 100%
Cor : I : IC tak tampak
P : IC tak kuat angkat
P : Batas jantung melebar ke caudolateral
A : BJ I-II intensitas normal, irregular, bising (+) diastolik III/IV di
apex
Pulmo : SDV (+/+), RBH (+/+) di basal
A : Ax : MS severe, TR moderate, MR moderate, PH moderate
Fx : ALO, EF 54%, AF rapid
Ex : PJR
P : Hiperkalemia, pleura efusi minimal, dyspepsia, pneumonia
P : 1. Bedrest total duduk
2. O2 10 lpm NRM
3. Inf NaCl 0,9% 20 cc/jam
4. Diet jantung III 1700 kkal
5. SP furosemid 100mg/50cc 10mg/jam (2,5cc/jam)
6. SP dobutamin 250mg/50cc kec. 5mg/kgBB/menit
7. Inj lanoxin 0,5mg jika HR>100; jika HR<100ganti digoxin 0,25mg
1x1 tab
8. Inj ranitidine 50mg/12jam
9. Valsartan 1x40mg (tunda)
10. Simarc 2mg (0-0-1 )
11. Sucralfat syr 3xC1
12. Inj ceftriaxon 2g/24jam
13. Inj levofloxacin 750mg/24jam
14. Codein 3x10mg
15. Inj metoclopramid 10mg/8jam
25 April 2016
S : Sesak nafas (-)
O : TD : 92/35 mmHg
HR : 76x/menit
N : 70x/menit
RR : 20x/menit
SiO2 : 100%
Cor : I : IC tak tampak
P : IC tak kuat angkat
P : Batas jantung melebar ke caudolateral
A : BJ I-II intensitas normal, irregular, bising (+) diastolik III/4 di
apex
Pulmo : SDV (+/+), RBH (+/+) di basal
A : Ax : MS severe, TR moderate, MR moderate, PH moderate
Fx : ALO (perbaikan), EF 54%, AF normo VR,
Ex : PJR
P : Hiperkalemia, pleura efusi minimal, dyspepsia, pneumonia,
hiperurisemia
12

P:

1. Bedrest total duduk


2. O2 3 lpm nasal kanul
3. Inf NaCl 0,9% 20 cc/jam
4. Diet jantung III 1700 kkal
5. Inj furosemid 20mg/8jam
6. SP dobutamin 250mg/50cc kec. 5mg/kgBB/menit tapering off
7. Inj ranitidine 50mg/12jam
8. Digoxin 1x0,25mg
9. Valsartan 1x40mg jika TDS 100mmHg
10. Simarc 2mg (0-0-1 ) tunda
11. Sucralfat syr 3xC1
12. Inj ceftriaxon 2g/24jam
13. Inj levofloxacin 750mg/24jam
14. Codein 3x10mg
15. Inj metoclopramid 10mg/8jam
26 April 2016
S : Sesak nafas (-)
O : TD : 90/60 mmHg
HR : 60x/menit
N : 60x/menit
RR : 20x/menit
SiO2 : 100%
Cor : I : IC tak tampak
P : IC tak kuat angkat
P : Batas jantung melebar ke caudolateral
A : BJ I-II intensitas normal, irregular, bising (+) diastolik
Pulmo : SDV (+/+), RBH (+/+) di basal
A : Ax : MS severe, TR moderate, MR moderate, PH moderate
Fx : ALO (perbaikan), EF 54%, AF normo VR, periode non VT
Ex : PJR
P : Hiperkalemia, pleura efusi minimal, dyspepsia, pneumonia,
hiperurisemia
P : 1. Bedrest total duduk
2. O2 3 lpm nasal kanul
3. Inf NaCl 0,9% 20 cc/jam
4. Diet jantung III 1700 kkal
5. Inj furosemid 20mg/8jam
6. Inj ranitidine 50mg/12jam
7. Inj metoclopramid 10mg/8jam k/p
8. Digoxin 1x0,25mg
9. Valsartan 1x40mg jika TDS 100mmHg
10. Simarc 2mg (0-0-1 ) tunda
11. Sucralfat syr 3xC1
12. Inj ceftriaxon 2g/24jam
13. Inj levofloxacin 750mg/24jam
14. Codein 3x10mg
13

27 April 2016
S : Sesak nafas (-)
O : TD : 80/60 mmHg
HR : 62x/menit
N : 62x/menit
RR : 20x/menit
SiO2 : 100%
Cor : I : IC tak tampak
P : IC tak kuat angkat
P : Batas jantung melebar ke caudolateral
A : BJ I-II intensitas normal, irregular, bising (+) diastolic III/6 di
apex
Pulmo : SDV (+/+), RBH (+/+) di basal
A : Ax : MS severe, TR moderate, MR moderate, PH moderate
Fx : ALO (perbaikan), EF 54%, AF normo VR, periode rem VT
Ex : PJR
P : Hiperkalemia, pleura efusi minimal, dyspepsia, pneumonia,
hiperurisemia
P : 15. Bedrest total duduk
16. O2 3 lpm nasal kanul
17. Inf NaCl 0,9% 20 cc/jam
18. Diet jantung III 1700 kkal
19. Inj furosemid 20mg/8jam
20. Inj ranitidine 50mg/12jam
21. Inj metoclopramid 10mg k/p
22. Digoxin 1x0,25mg
23. Valsartan 1x40mg jika TDS 100mmHg
24. Simarc 2mg (0-0-1 ) tunda
25. Sucralfat syr 3xC1
26. Inj ceftriaxon 2g/24jam
27. Inj levofloxacin 750mg/24jam
28. Codein 3x10mg

14

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Definisi
Penyakit katup jantung adalah kelainan pada jantung yang
menyebabkan kelainan-kelainan pada aliran darah yang melintasi katup
jantung. Katup yang terserang penyakit dapat mengalami dua jenis
gangguan fungsional :
1) Regurgitasi daun katup tidak dapat menutup rapat sehingga darah
dapat mengalir balik (sinonim dengan insufisiensi katup dan
inkompetensi katup)
2) Stenosis katup lubang katup mengalami penyempitan sehingga
aliran darah mengalami hambatan.
Insufisiensi dan stenosis dapat terjadi bersamaan pada satu katup,
dikenal sebagai lesi campuran atau terjadi sendiri yang disebut sebagai
lesi murni .
Disfungsi katup akan meningkatkan kerja jantung. Insufisiensi
katup

memaksa

jantung

memompa

darah

lebih

banyak

untuk

menggantikan jumlah darah yang mengalami regurgitasi atau mengalir


balik sehingga meningkatkan volume kerja jantung. Stenosis katup
memaksa jantung meningkatkan tekanannya agar dapat mengatasi
resistensi terhadap aliran yang meningkat, karena itu akan meningkatkan
tekanan kerja miokardium. Respon miokardium yang khas terhadap
peningkatan volume kerja dan tekanan kerja adalah dilatasi ruang dan
hipertrofi otot. Dilatasi miokardium dan hipertrofi merupakan mekansime
kompensasi yang bertujuan meningkatkan kemampuan pemompaan
jantung. (ODonnell MM, 2002).
15

B. Epidemiologi
Penyakit katup jantung merupakan penyakit jantung yang masih
cukup tinggi insidennya, terutama di negara-negara yang sedang
berkembang seperti halnya di Indonesia. Namun demikian, akhir-akhir ini
prevalensi penyakit katup jantung ada kecenderungan semakin menurun.
Berdasarkan penelitian yang ditekankan diberbagai tempat di Indonesia
penyakit katup jantung ini menduduki urutan ke-2 atau ke-3 sesudah
penyakit koroner dari seluruh jenis penyebab penyakit jantung. (Gordis,
1985).
Insiden tertinggi penyakit katup adalah katup mitralis, kemudian
katup aorta. Kecenderungan menyerang katup-katup jantung kiri dikaitkan
dengan tekanan hemodinamik yang relatif besar pada katup-katup ini.
Insiden penyakit trikuspid relatif rendah. Penyakit katup pulmonalis jarang
terjadi. Penyakit katup trikuspidalis atau pulmonalis biasanya disertai
dengan lesi pada katup lainnya, sedangkan penyakit katup aorta atau
mitralis sering terjadi sebagai lesi tersendiri. (Gordis, 1985).
Di Negara maju terlihat penurunan insiden setelah 1900. Pada
tahun 1980 insiden demam reumatik di Amerika Serikat berkisar 0,52/100.000 penduduk. Karena pengobatan yang luas dan efektif dari
penggunaan antibiotik dalam mengobati infeksi dari streptococcus, insiden
pada reumatik endokarditis dengan penyakit katup pada jantung, termasuk
mitral stenosis, telah menurun di Amerika Serikat. Sekarang ini,
kebanyakan pasien adalah seseorang yang sudah tua yang sebelumnya
mengalami perkembangan degenaratif. Reumatik mitral stenosis masih
tetap

ditemui,

tetapi

timbul

pada

orang

yang

lebih

tua

dan

perkembangannya lambat dari sebelumnya. Mitral stenosis masih terdapat


dalam negara-negara berkembang dimana demam reumatik merupakan hal
yang umum. Kondisi ekonomi dan genetik keduanya mungkin memegang
peranan. (Johanna JM, 2008).

16

C. Etiologi
Penyakit katup jantung dahulu dianggap sebagai penyakit yang hampir
selalu disebabkan oleh reumatik, tetapi sekarang telah banyak ditemukan
penyakit katup jenis baru. Meskipun terjadi penurunan insiden penyakit
demam reumatik, namun penyakit demam reumatik masih merupakan
penyebab lazim deformitas katup yang membutuhkan koreksi bedah.
(ODonnell MM, 2002)
Demam reumatik akut merupakan sekuele faringitis akibat streptokokus Bhemolitikus group A. Demam reumatik timbul hanya jika terjadi respon
antibodi atau imunologis yang bermakna terhadap infeksi streptokokus
sebelumnya. Sekitar 3% infeksi steptokokus pada faring diikuti dengan
serangan demam reumatik (dalam 2 hingga 4 minggu). Serangan awal demam
reumatik biasanya dijumpai pada masa anak dan awal masa remaja.
(ODonnell MM, 2002)
Patogenesis pasti demam reumatik masih belum diketahui. Dua
mekanisme dugaan yang telah diajukan adalah (1). respon hiperimun yang
bersifat autoimun maupun alergi dan (2). efek langsung organisme
streptokokus atau toksinnya. Reaksi autoimun terhadap infeksi streptokokus
secara teori akan menyebabkan kerusakan jaringan atau manifestasi demam
reumatik, dengan cara :
1. Streptokokus grup A akan menyebabkan infeksi faring.
2. Antigen streptokokus akan menyebabkan pembentukan antibodi pada
penjamu yang hiperimun.
3. Anitibodi akan bereaksi dengan antigen streptokokus, dan dengan jaringan
penjamu yang secara antigenik sama seperti streptokokus (dengan kata lain
: antibodi tidak dapat membedakan antara antigen streptokokus dengan
antigen jaringan jantung).
4. Autoantibodi tersebut bereaksi dengan jaringan penjamu sehingga
mengakibatkan kerusakan jaringan.
Apapun patogenesisnya, manifestasi demam rematik akut berupa
peradangan difus yang menyebabkan jaringan ikat berbagai organ, terutama
jantung, sendi dan kulit. Gejala dan tandanya tidak khas, dapat berupa demam,
17

artritis yang berpindah-pindah, artralgia, ruam kulit, korea dan takikardi.


Terserangnya jantung merupakan keadaan yang sangat penting, karena dua
alasan berikut (1). kematian pada fase akut, walaupun sangat rendah, tetapi
hampir seluruhnya disebabkan oleh gagal jantung dan (2). kecacatan residual
yang terutama disebabkan oleh deformitas katup
Demam reumatik akut dapat menyebabkan peradangan pada semua
lapisan jantung yang disebut pankarditis. Peradangan endokardium biasanya
mengenai endotel katup, mengakibatkan pembengkakan daun katup dan erosi
pinggir daun katup. Vegetasi seperti manik-manik akan timbul disepanjang
pinggir daun katup. Perubahan akut ini dapat mengganggu penutupan katup
yang efektif, mengakibatkan regurgitasi katup. (ODonnell MM, 2002).
Serangan awal karditis reumatik biasanya akan mereda tanpa
meninggalkan

kerusakan

berarti.

Namun

serangan

berulang

akan

menyebabkan gangguan progresif pada bentuk katup. Perubahan patologis


penyakit katup reumatik kronis timbul akibat proses penyembuhan yang
disertai pembentukan jaringan parut, proses radang berulang, dan deformitas
progresif yang disertai stres hemodinamik dan proses penuaan. (ODonnell
MM, 2002).
Deformitas akhir yang menyebabkan stenosis katup ditandai oleh
penebalan dan penyatuan daun katup disepanjang komisura (tempat
persambungan antara duan daun katup). Perubahan ini mengakibatkan
penyempitan lubang katup dan mengurangi pergerakan daun katup sehingga
menghambat majunya aliran darah. Korda tendinae katup atrioventrikularis
dapat juga menebal dan menyatu sehingga membentuk terowongan fibrosa
dibawah daun katup dan semakin menghambat aliran darah. (ODonnell MM,
2002).
Lesi yang berkaitan dengan insufisiensi katup terdiri atas daun katup
yang menciut dan retraksi yang menghambat kontak dan pemendekan antar
daun katup, menyatukan korda tendinae yang menghalangi gerak daun katup.
Perubahan ini akan mengganggu penutupan katup sehingga menimbulkan
aliran balik melalui katup tersebut. (ODonnell MM, 2002).

18

Kalsifikasi dan sklerosis jaringan katup akibat usia lanjut juga


berperan dalam perubahan bentuk katup akibat demam reumatik. Penyakit
kronis yang disertai kegagalan ventrikel serta pembesaran ventrikel juga dapat
mengganggu fungsi katup atrioventrikularis. Bentuk ventrikel mengalami
perubahan sehingga kemampuan otot papilaris untuk mendekatkan daun-daun
katup pada waktu katup menutup akan berkurang. Selain itu lubang katup juga
melebar, sehingga semakin mempersulit penutupan katup dan timbul
insufisiensi katup. (ODonnell MM, 2002).
Selain penyakit reumatik, dikenal beberapa penyebab lain yang
semakin sering menimbulkan perubahan bentuk dan malfungsi katup : (1).
dekstruksi katup oleh endokarditis bakterialis (2). defek jaringan penyambung
sejak lahir (3) disfungsi atau ruptura otot papilaris karena aterosklerosis
koroner dan (4). malformasi kongenital. (ODonnell MM, 2002).
Endokarditis infektif dapat disebabkan oleh banyak organisme,
termasuk bakteri, jamur, dan ragi. Infeksi bakteri merupakan penyebab
tersering. Akibatnya, keadaan ini sering disebut sebagai endokarditis
bakterialis. Endokarditis menimbulkan vegetasi disepanjang pinggir daun
katup, vegetasi-vegetasi ini dapat meluas dan menyerang seluruh katup,
bahkan moikardium. Akibatnya, daun katup dapat mengalami fibrosis, erosi
dan perforasi sehingga menimbulkan suatu disfungsi katup regurgitan yang
khas. (ODonnell MM, 2002).
Disfungsi atau ruptura otot papilaris dapat menimbulkan berbagai
macam disfungsi katup. Gangguan otot papilaris dapat bersifat intermitan
(yaitu akibat iskemia) dan hanya menimbulkan regurgitasi episodik yang
ringan. Tetapi, apabila terjadi ruptura otot papilaris nekrotik setelah infrak
miokardium, dapat terjadi insufisiensi mitralis akut. (ODonnell MM, 2002).
Malformasi kongenital dapat terjadi pada setiap katup. Misalnya,
sekitar 1% sampai 2% katup aorta adalah katup bikuspidalis dan bukan
trikuspidalis.
Lesilesi katup tertentu sangat menunjukan penyebab disfungsi.
Misalnya, stenosis mitralis murni biasanya disebabkan oleh rematik,

19

sedangakan stenosis aorta murni biasanya disebabkan oleh kalsifikasi


prematur dan degenerasi katup bikuspidalis kengenital. Lesi katup pulmonalis
atau trikuspidalis murni hampir pasti disebabkan oleh cacat kongenital. Lesi
katup gabungan biasanya disebabkan oleh rematik. (ODonnell MM, 2002).
D. Macam Kelainan Katup
a. Stenosis Mitral
Stenosis mitral terjadi karena adanya fibrosis dan fusi komisura
katup mitral pada waktu fase penyembuhan demam rematik.
Terbentuknya

sekat

jaringan

ikat

tanpa

pengapuran

yang

mengakibatkan lubang katup mitral pada waktu diastol lebih kecil dari
normal. (ODonnell MM, 2002).
Berkurangnya luas efektif lubang katup mitral menyebabkan
berkurangnya daya alir katup mitral. Hal ini akan meningkatkan
tekanan di ruang atrium kiri, sehingga timbul perbedaan tekanan antara
atrium kiri dengan ventrikel kiri waktu diastole. Otot atrium mengalami
hipertfofi, untuk meningkatkan kekuatan pemompaan darah. Dilatasi
atrium terjadi karena volume atrium meningkat akibat ketidakmampuan
atrium untuk mengosongkan diri secara normal. Peningkatan tekanan
dan volume atrium kiri dipantulkan ke belakang ke dalam pembuluh
darah paru sehingga tekanan dalam vena pulmonalis dan kapiler
meningkat. Akibatnya terjadi kongesti paru-paru. Pada akhirnya,
tekanan arteri pulmonalis harus meningkat akibat peningkatan kronis
resistensi vena pulmonalis. Hipertensi pulmonalis meningkatkan
resistensi ejeksi ventrikel kanan menuju arteri pulmonalis, kemudian
terjadi hipertrofi ventrikel kanan. (ODonnell MM, 2002).
Ventrikel kanan tidak dapat memenuhi tugas sebagai pompa
bertekanan tinggi untuk jangka waktu yang lama. Kegagalan ventrikel
kanan dipantulakan ke belakang ke dalam sirkulasi sistemik,
menimbulkan kongesti pada vena sistemik dan edema perifer seperti

20

pada hati, kaki dan lain-lain. Bendungan hati yang berlangsung lama
akan menyebabkan gangguan pada fungsi hati. (ODonnell M, 2002).

Gambar 1. Patofisiologi stenosis mitralis: 1. Hipertrofi atrium kiri; 2.


Dilatasi atrium kiri; 3. Kongesti vena pulmonalis; 4. Kongesti paru; 5. Hipertensi

21

paru; 6. Hipertrofi ventrikel kanan; 7. Curah jantung terfiksasi. (ODonnell MM,


2002).

Keluhan dapat berupa takikardia, dispneu, takipneu atau


ortopneu dan denyut jantung tidak teratur. Tak jarang terjadi gagal
jantung, batuk darah atau tromboemboli serebral maupun perifer.
(Braunwald E, 1994 ; Indrajaya T, 2009).
Pada pemeriksaan fisik, Sianosis perifer dan fasial terdapat pada
pasien dengan stenosis mitral yang sangat parah. Pada kasus yang sudah
lanjut terdapat malar flush (pipi yang kemerah-merahan) dan muka
tampak kurus dan biru, pulsasi vena jugularis yang kuat, tekanan arteri
sistemik biasanya normal atau rendah sedikit. (Braunwald E, 1994 ;
Indrajaya T, 2009). Stenosis mitral yang murni dapat dikenal dengan
terdengarnya

bising

mid-diastolik

yang

bersifat

kasar,

bising

menggenderang (rumble), aksentuasi presistolik dan bunyi jantung satu


yang mengeras. Jika terdengar bunyi tambahan opening snap berarti
katup masih relatif lemas (pliable) sehingga waktu terbuka mendadak
saat diastole menimbulkan bunyi yang menyentak (seperti tali putus).
Jarak bunyi jantung kedua dengan opening snap memberikan gambaran
beratnya stenosis. Makin pendek jarak ini berarti makin berat derajat
penyempitannya. (Braunwald E, 1994 ; Indrajaya T, 2009).
Komponen pulmonal bunyi jantung ke-2 dapat mengeras
disertai bising sistolik karena adanya hipertensi pulmonal. Jika sudah
terjadi insufisiensi pulmonal maka dapat terdengar bising diastolik dini
dari katup pulmonal. Pada fase lanjut ketika sudah terjadi bendungan
interstitial dan alveolar paru akan terdengar ronkhi basah atau wheezing
pada fase ekspirasi. (Braunwald E, 1994 ; Indrajaya T, 2009).
Jika hal ini berlanjut terus dan menyebabkan gagal jantung
kanan maka keluhan dan tanda-tanda sembab paru akan berkurang atau
menghilang dan sebaliknya tanda-tanda bendungan sistemik akan

22

menonjol (peningkatan tekanan vena jugularis, hepatomegali, asites,


sembab tungkai). Pada fase ini biasanya tanda-tanda gagal hati akan
mencolok

antara

lain

ikterus,

menurunnya

protein

plasma,

hiperpigmentasi kulit (fasies mitral) dan sebagainya. (Braunwald E,


1994 ; Indrajaya T, 2009).
Pada EKG tampak pembesaran atrium kiri, gelombang P
melebar dan bertakik (paling jelas pada sadapan II) dikenal sebagai P
mitral, bila irama sinus normal; hipertrofi ventrikel kanan, fibrilasi
atrium lazim terjadi tetapi tidak spesifik untuk stenosis mitral. (Yusak
M, 1996).
Pada foto thorax terdapat gambaran dapat berupa pembesaran
atrium kiri dan ventrikel kanan, pelebaran arteri pulmonalis (karena
peninggian tekanan), kongesti vena pulmonalis; edema paru interstitial,
redistibusi pembuluh darah paru ke lobus bagian atas, aorta yang relatif
kecil (pada penderitapenderita yang dewasa atau fase lanjut penyakit),
kadang terlihat perkapuran didaerah katup mitral atau perikard. (Yusak
M, 1996).
Prinsip dasar pengelolaan adalah melebarkan lubang katup
mitral yang menyempit, tetapi indikasi intervensi ini hanya untuk
penderita kelas fungsional III (NYHA) keatas. (Braunwald E, 1994).
Valvulotomi mitral diindikasikan pada pasien simtomatik dengan
stenosis mitral murni yang orifisium efektifnya kurang dari kira-kira 1,3
cm2 (atau 0,8 cm2/m2 luas permukaan tubuh) dan pada pasien yang telah
terjadi embolisasi sistemik yang rekuren/berulang. Valvulotomi tidak
dianjurkan untuk pasien yang seluruhnya asimtomatik, tanpa peduli
temuan hemodinamik. (Braunwald E, 1994). Operasi terbuka dengan
menggunakan pintas kardioparu biasanya lebih disukai daripada
komisurotomi tertutup untuk pasien dengan stenosis mitral murni yang
belum diopersi sebelumnya. (Braunwald E, 1994). Valvuloplasti balon
perkutan adalah alternatif terhadap valvuloplasti mitral operatif pada
pasien dengan stenosis mitral reumatik yang mencolok. Indikasinya :

23

pasien muda tanpa klasifikasi valvuler yang ekstensif atau penebalan


atau deformitas subvalvuler. (Braunwald E, 1994).

b.

Regurgitasi Mitral
Regurgitasi mitralis memungkinkan aliran darah berbalik
dari ventrikel kiri ke atrium kiri akibat penutupan katup yang tidak
sempurna. Perubahan-perubahan katup mitral tersebut adalah
kalsifikasi,

penebalan

dan

distorsi

daun

katup.

Hal

ini

mengakibatkan koaptasi yang tidak sempurna waktu sistole. Selain


itu pemendekan korda tendinea mengakibatkan katup tertarik ke
ventrikel terutama bagian posterior dan dapat juga terjadi dilatasi
anulus atau ruptur korda tendinea. (ODonnell MM, 2002).
Selama sistolik ventrikel secara bersamaan mendorong
darah ke dalam aorta dan kembali ke dalam atrium kiri. Ventrikel
kiri harus memompakan darah dalam jumlah cukup guna
mempertahankan aliran darah normal ke dalam aorta dan darah
yang kembali melalui katup mitralis. Beban volume tambahan
yang ditimbulkan oleh katup yang mengalami insufisiensi akan
segera mengakibatkan dilatasi ventrikel yang akan meningkatkan
kontraksi miokardium. Akhirnya dinding ventrikel hipertrofi.
(ODonnell MM, 2002).
Regurgitasi menimbulkan beban volume tidak hanya bagi
ventrikel kiri tetapi juga bagi atrium kiri. Atrium kiri berdilatasi
untuk memungkinkan peningktan volume dan meningkatkan
kekuatan

kontraksi

atrium.

Selanjutnya

atrium

mengalami

hipertrofi untuk meningkatkan kekuatan kontraksi dan curah


atrium lebih lanjut. Bila lesi makin parah, atrium kiri menjadi tidak
mampu lagi untuk meregang dan melindungi paru-paru. Kegagalan
ventrikel kiri biasanya merupakan tahap awal untuk mempercepat
dekompensasi jantung, ventrikel kiri mendapat beban yang terlalu

24

berat, dan aliran darah melalui aorta menjadi berkurang dan secara
bersamaan terjadi kongesti ke belakang. Secara bertahap, urutan
kejadian yang diperkirakan akan terjadi pada paru-paru dan jantung
kanan yang terkena adalah : kongesti vena pulmonalis, edema
interstitial, hipertensi arteri pulmonalis dan hipertrofi ventrikel
kanan. (ODonnell MM, 2002).

Gambar 2. Patofisiologi insufisiensi mitralis, 1. Dilatasi ventrikel kiri; 2.


Hipertrofi ventrikel kiri; 3. Dilatasi atrium kiri 4. Hipertrofi atrium kiri; 5.
Kongesti vena pulmonalis; 6. Kongesti paru; 7. Hipertensi arteri pulmonalis; 8.
Hipertensi ventrikel kanan (ODonnell MM, 2002).
Sebagaimana pada stenosis mitral sebagian besar penderita
insufisiensi mitral menyangkal adanya riwayat demam reumatik
25

sebelumnya. Regurgitasi mitral dapat ditolerir dalam jangka waktu


yang lama tanpa keluhan jantung, baik sewaktu istirahat maupun
saat melakukan kerja sehari-hari. Sering keluhan sesak nafas dan
lekas capek merupakan keluhan awal yang secara berangsur-angsur
berkembang menjadi ortopneu, paroksismal dispneu nokturnal dan
edema perifer. (Manurung D, 2009).
Pada pemeriksaan fisik ditemukan tekanan arterial biasanya
normal, thrill sistolik seringkali dapat dipalpasi pada apeks jantung,
pada auskultasi akan terdengar bising pansistolik yang bersifat
meniup (blowing) di apeks, menjalar ke aksila, dan mengeras pada
ekspirasi. Bunyi jantung pertama melemah, katup tidak menutup
sempurna pada akhir diastole dan pada saat tersebut tekanan atrium
dan ventrikel kiri sama. Terdengar bunyi jantung ketiga akibat
pengisian yang cepat ke ventrikel kiri pada awal diastole dan
diikuti diastolik flow murmur karena volume atrium kiri besar
mengalir ke ventrikel kiri. (Manurung D, 2009).
Pada hasil EKG didapatkan pembesaran atrium kiri (P
mitrale) bila iramanya sinus normal; fibrilasi atrium; hipertrofi
ventrikel kiri. (ODonnell MM, 2002).
Pada foto thorax didapatkan pada insufisiensi mitral ringan
tanpa gangguan hemodinamik yang nyata, besar jantung pada foto
torak biasanya normal. Pada keadaan yang lebih berat akan terlihat
pembesaran jantung akibat pembesaran atrium kiri dan ventrikel
kiri, dan mungkin terlihat tanda-tanda bendungan paru. Kadangkadang terlihat pula perkapuran pada anulus mitral. (ODonnell
MM, 2002).
Pemberian antibiotika ditujukan untuk upaya pencegahan
reaktifasi

reuma

maupun

pencegahan

terhadap

timbulnya

endokarditis infektif. (Yusak M, 1996).Adanya keluhan lekas


capek, sesak nafas dan ortopneu menunjukan adanya gangguan
fungsi ventrikel kiri yang memerlukan digitalis dan diuretik. Obat-

26

obat penurun beban awal dan beban akhir (preload dan afterload)
dapat digunakan pada penderita-penderita insufisiensi mitral yang
telah ada keluhan. Obat-obat vasodilator misalnya hydralazine dan
catopril dan lain-lain dapat memperbaiki hemodinamik serta
mengurangi keluhan. (Yusak M, 1996).
Pasien dengan regurgitasi mirtal yang asimtomatik atau
yang terbatas hanya pada waktu mengeluarkan tenaga tidak
dianggap sebagai calon untuk pengobatan operatif, karena
keadaannya tetap stabil untuk bertahun-tahun. Sebaliknya kecuali
terdapat kontraindikasi, pengobatan operatif seharusnya ditawarkan
kepada pasien dengan regurgitasi mitral parah yang keterbatasan
tidak memungkinkannya untuk bekerja penuh atau untuk
melakukan kegiatan rumah tangga normal meskipun pengelolaan
medis sudah optimal. Bahkan pada pasien dengan gejala ringan,
pengobatan

operatif

diindikasikan

jika

disfungsi

ventrikel

progresif. (Braunwald E, 1994).


Terapi pembedahan regurgitasi mitral, terutama yang
disebabkan oleh katup yang mengalami deformitas secara nyata,
dengan daun katup yang berkerut dan mengalami kalsifikasi akibat
demam reumatik, memerlukan penggantian katup dengan protesis,
walupun meningkatkan fraksi pasien, khususnya pada pasien
dengan dilatasi anulus yang parah, daun katup yang mengalami
mobilisasi abnormal atau paradoksikal (fail), prolaps katup mitral,
ruptur korda atau endokardistis infektif, rekonstruksi aparatus
katup mitral (valvuloplasti mitral) dan/atau anuloplasti mitral
mungkin berhasil. (Braunwald E, 1994).
c.

Stenosis Aorta
Stenosis aorta menghalangi aliran darah dari ventrikel kiri
ke aorta pada waktu sistolik ventrikel. Dengan meningkatnya
resistensi terhadap ejeksi ventrikel maka beban tekanan ventrikel

27

kiri meningkat. Sebagai akibatnya ventrikel kiri menjadi hipertrofi


agar dapat menghasilkan tekanan yang lebih tinggi untuk
mempertahankan perfusi perifer, hal ini akan menyebabkan
timbulnya selisih tekanan yang mencolok antara ventrikel kiri dan
aorta. (ODonnell M, 2002).
Untuk

mengkompensasi

dan

mempertahankan

curah

jantung, ventrikel kiri tidak hanya memperbesar tekanan tetapi juga


memperpanjang waktu ejeksi. Lama lama kemampuan ventrikel
kiri untuk menyesuaikan diri terlampaui. Timbul gejala-gejala
progresif yang mendahului titik kritis dalam perjalanan stenosis
aorta. Titik kritis pada stenosis aorta adalah bila lumen katup aorta
mengecil dari ukuran 3-4 cm2 menjadi kurang dari 0,8 cm2.
(ODonnell MM, 2002).
Kegagalan ventrikel progresif mengganggu pengosongan
ventrikel. Curah jantung menurun dan volume ventrikel bertambah.
Akibatnya ventrikel mengalami dilatasi kalau berlanjut disertai
kongesti paru-paru berat. Akhirnya mengakibatkan gagal jantung
kiri. (ODonnell MM, 2002).

28

Gambar 4. Patofisiologi stenosis aorta (ODonnell MM, 2002).


Pasien merasakan gejala-gejala setelah penyakit berjalan
lanjut, trias gejala khas yang berkaitan dengan stenosis aorta : (1).
angina (2). sinkop (3). kegagalan ventrikel kiri. (Pangabean MM,
2009). Apabila diabaikan, gejala-gejala ini menandakan prognosis
yang buruk dengan kemungkinan hidup rata-rata kurang dari lima
tahun. Kegagaaln ventrikel kiri merupakan indikasi dekompensasi
jantung. Angina ditimbulkan oleh ketidakseimbangan antara
penyediaan dan kebutuhan oksigen miokardium, kebutuhan
oksigen meningkat karena hipertrofi dan peningkatan kerja
miokardium,

sedangakan

penyediaan

oksigen

kemungkinan

berkurang karena penekanan sistolik yang kuat pada arteria

29

koronaria oleh otot yang hipertrofi. (Pangabean MM, 2009). Pasien


stenosis aorta yang mengalami gagal jantung, akan memberikan
gejala dispneu yang menonjol dan daya tahan hidup hanya
mungkin kira-kira 2 tahun. (Pangabean MM, 2009).
Pada stenosis aorta yang berat tekanan nadi menyempit dan
lonjakan denyut arteri lambat. Amplitudo yang mengurang dengan
puncak nadi yang terlambat ini disebut sebagai pulsus parvus et
tardus. Impuls apeks tidak berpindah ke lateral, lamanya impuls
dapat memanjang. Getaran sistolik dapat dirasakan pada ruang
interkostal ke 2 dekat sternum dan dekat leher. (Braunwald E,
1994).

Pada Auskultasi

didapatkan

bising ejeksi

sistolik,

pemisahan bunyi jantung kedua yang paradoksal. (Purnomo H,


1996).
Pada hasil EKG terdapat tanda-tanda hipertrofi ventrikel
kiri, peningkatan voltase QRS, serta vektor T terletak 180 dari
vektor QRS. Juga terdapat gambaran kelainan atrium kiri.
(Purnomo H, 1996).
Pada tahap awal penyakit, foto torak masi normal,
walaupun pada keadaan lebih lanjut jantung bisa membesar.
(Purnomo H, 1996). Pelebaran aorta pasca-stenosis, kalsifikasi
katup aorta (paling jelas terlihat posisi lateral) dan pembesaran
ringan atrium kiri bisa terlihat. (Purnomo H, 1996).
Pasien dengan stenosis aorta harus di terapi secara
profilaksis untuk pencegahan endokarditis bakterialis. Gagal
jantung diterapi dengan digitalis dan diuretik. Pengobatan untuk
menurunkan beban awal dan beban akhir harus dilakukan secara
hati-hati serta follow up untuk menentukan kapan bedah harus
dilakukan. (Braunwald E, 1994). Percutaneous ballon aortic
valvuloplasty, adalah alternatif dalam operasi pada anak dan orang
dewasa muda dengan stenosis aorta kengenital. Operasi ini tidak
umum dipergunakan pada pasien tua dengan stenosis aorta kalsifik

30

yang parah karena angka stenosis kembali tinggi. Meskipun


demikian, prosedur ini mungkin berguna pada pasien yang
terlampau sakit atau lemah untuk menjalani operasi, pada pasien
dengan stenosis aota yang membahayakan nyawa dan penyakit
ekstrakardiak yang lanjut, dan sebagai jembatan ke operasi pada
pasien dengan disfungsi ventrikel kiri yang parah. (Braunwald E,
1994).
d. Regurgitasi Aorta
Regurgitasi aorta menyebabkan refluks darah dari aorta ke
dalam ventrikel kiri sewaktu relaksasi ventrikel. Penyakit ini jelas
memberi beban volume yang cukup berat pada ventrikel kiri. Pada
setiap kontraksi, ventrikel harus mampu mengeluarkan sejumlah
darah yang sama dengan volume sekuncup normal ditambah
volume regurgitasi. Ventrikel kiri mengalami dilatasi berat dan
akhirnya menjadi hipertrofi, sehingga bentuknya berubah seperti
bola.

Kemudian

sirkulasi

(ODonnell MM, 2002).

31

perifer

menjadi

hiperdinamik.

Gambar 4. Patofisiologi regurgitasi aorta : 1. Dilatasi ventrikel kiri; 2. Hipertensi


ventrikel kiri; 3. Sirkulasi perifer hiperdinamik. (ODonnell M, 2002).
Kadang-kadang pasien datang dengan keluhan adanya
pulsasi arteri karotis yang nyata serta denyut pada apeks saat
penderita berbaring ke sisi kiri. Selain itu bisa timbul denyut
jantung prematur, oleh karena curah sekuncup besar setelah
diastolik yang panjang. (Leman S, 2009).
Pada penderita insufisiensi aorta kronis bisa timbul gejalagejala gagal jantung, termasuk dispneu waktu istirahat, ortopneu,
dispneu paroksismal nokturna, edema paru dan kelelahan. (Leman
S, 2009).

32

Angina cenderung timbul waktu istirahat saat timbulnya


bradikardi dan lebih lama menghilang daripada angina akibat
penyakit koroner saja. Penyebabnya pasti dari angina tak bisa
ditentukan hanya dari analisis gejala saja. (Leman S, 2009).
Tekanan nadi yang besar dan tekanan artifisial yang rendah,
gallop dan bising artifisial timbul akibat besarnya curah sekuncup
dan regurgitasi darah dari aorta ke ventrikel kiri. Bising artifisial
lebih keras terdengar di garis sternal kiri bawah atau apeks pada
kelainan katup artifisial, sedangkan pada dilatasi pangkal aorta,
bising terutama terdengar di garis sternal kanan. Bila ada ruptur
daun katup, bising ini sangat keras dan musikal. (Braunwald E,
1994).
Kadang-kadang ditemukan juga bising sistolik dan thrill
akibat curah sekuncup meningkat (tidak selalu merupakan akibat
stenosis aorta). Tabrakan antara regurgitasi aorta yang besar dan
aliran darah dari katup mitral menyebabkan bising mid/late
diastolik (bising Austin Flint). (Braunwald E, 1994).
Pada pasien dengan regurgitasi aorta ringan, mungkin tidak
terdapat kelainan EKG, tetapi dengan regurgitasi aorta kronik yang
parah, tanda EKG hipertrofi ventrikel kiri menjadi manifes. Lagi
pula pada pasien ini sering menunjukan depresi segmen ST dan
gelombang T terbalik pada lead I, aVL, V5, dan V4. Deviasi sumbu
kiri dan/atau perpanjangan QRS menunjukan penyakit miokardial
yang difus yang menandakan prognosis yang buruk. (ODonnell
MM, 2002).
Terlihat ventrikel kiri membesar, atrium kiri membesar,
dilatasi aorta. Bentuk dan ukuran jantung tidak berubah pada
insufisiensi akut, tapi terlihat edema paru. (ODonnell MM, 2002).
Pada kelainan katup ini harus diberikan terapi profilaksis
untuk endokarditis bakterialis. Gagal jantung diobati dengan
digitalis, diuretik serta vasodilator seperti hydralasin, penghambat

33

ACE atau dan nitrat untuk menurunkan beban akhir. (Purnomo H,


1996).
Penggantian katup aorta dengan protesis mekanis atau
jaringan yang cocok umumnya diperlukan pada pasien dengan RA
reumatik dan pada banyak pasien dengan bentuk regurgitasi lain.
(Purnomo H, 1996).
e. Stenosis Trikuspidalis
Stenosis katup trikuspidalis akan menghambat aliran darah
dari atrium kanan ke ventrikel kanan selama diastolik. Lesi ini
biasanya berkaitan dengan penyakit katup mitralis dan aorta yang
terjadi akibat penyakit jantung rematik yang berat. Stenosis
trikuspidalis meningkatkan beban kerja atrium kanan, memaksa
pembentukan tekanan yang lebih besar untuk mempertahankan
aliran melalui katup yang tersumbat. Kemampuan kompensasi
atrium kanan terbatas sehingga atrium akan mengalami dilatasi
dengan cepat. Peningkatan volume dan tekanan atrium kanan
mengakibatkan penimbunan darah pada vena sistemik dan
peningkatan tekanan. (ODonnell MM, 2002).

34

Gambar 5. Patofisiologi stenosis trikuspidalis : 1. Dilatasi atrium kanan; 2.


Kongesti vena; 3. Hepatomegali; 4. Kongesti sistemik. (ODonnell MM, 2002).
Rendahnya curah jantung akan menimbulkan keluhan
mudah lelah, dan adanya kongesti sistemik dan hepatomegali
menimbulkan keluhan tidak enak pada perut, perut membesar dan
bengkak umum. Beberapa pasien mengeluh denyut pada leher
akibat besarnya gelombang a pada vena jugularis. (Ghanie A,
2009).
Oleh karena sering menyertai kelainan katup lain, maka
stenosis trikuspidalis ini tidak terdiagnosis, kecuali memang
sengaja dicari. Suatu stenosis berat akan menimbulkan bendungan
hati yang berat sehingga terjadi sirosis,ikterus, malnutrisi yang
berat, edema dan asites yang berat bahkan splenomegali. Vena
35

jugularis akan melebar dengan gelombang a yang besar. Dapat


ditemukan pulsasi presistolik yang jelas pada permukaan hati yang
membesar. (Ghanie A, 2009).
Pada auskultasi dapat terdengar opening snap pada daerah
garis sternal kiri sampai pada daerah xifoideus, terutama
presistolik. Bising ini akan menjadi lebih keras pada inspirasi dan
melemah pada ekspirasi. (Ghanie A, 2009).
Pada hasil EKG ditemukan adanya gambaran pembesaran
atrium kanan berupa gelombang P yang tinggi dan tajam pada
sadapan II, demikian juga pada VI (dikenal sebagai P pulmonal).
(Ghanie A, 2009). Pada foto thorax ditemukan pembesaran atrium
kanan dan vena kava superior tanpa pembesaran arteri pulmonalis.
(Ghanie A, 2009).
Pengobatan

konservatif

ditujukan

untuk

mengurangi

kongesti sistemik yang merupakan kondisi yang dominan, dalam


hal ini dibutuhkan diuretik atau restriksi konsumsi garam. Keadaan
ini dibutuhakan untuk memperbaiki fungsi hati yang sangat
dibutuhkan pada saat operasi. Selain itu pemakaian antibiotik juga
penting pada keadaan tertentu untuk mencegah terjadinya
endokarditis infektif. (Braunwald E, 1994).
Terapi operatif katup trikuspid biasanya tidak diindikasikan
pada waktu operasi katup mitral pada pasien dengan ST ringan.
Sebaliknya, penyembuhan operatif definitif ST seharusnya
dilaksankan, paling baik pada waktu valvulotomi mitral, pada
pasien dengan ST sedang atau parah yang mengalami dradien
tekanan diastolik rata-rata yang melampaui 4 atau 5 mmHg dan
orifisium trikuspid kurang dari 1,5 sampai 2,0 cm 2. ST hampir
selalu disertai dengan regurgitasi trikuspid yang bermakna. Operasi
jantung terbuka yang memanfaatkan pintas (bypass) kardioparu
dapat memungkinkan banyak perbaikan fungsi katup trikuspid.
Jika hal ini tidak dapat diselesaikan, katup trikuspid mungkin harus

36

diganti dengan protesis, paling baik katup jaringan. (Braunwald E,


1994).
f.

Regurgitasi Trikuspidalis
Biasanya disebabkan gagal jantung kiri yang sudah lanjut
atau hipertensi pulmonalis berat, sehingga terjadi kemunduran
fungsi ventrikel kanan. Sewaktu ventrikel kanan gagal dan
membesar, terjadilah regurgitasi fungsional katup trikuspidalis.
Regurgitasi trikuspidalis berkaitan dengan gagal jantung kanan dan
temuan berikut ini : (ODonnell MM, 2002).
1. Auskultasi: bising sepanjang sistol
2. Elektrokardiogram: pembesaran atrium kanan (gelombang P
tinggi dan sempit dikenal sebagai P pulmonal) bila irama sinus
normal; fibrilasi atrium; hipertrofi ventrikel kanan
3. Foto thorax: pembesaran ventrikel dan atrium kanan
Konservatif ditujukan terutama bila terdapat tanda-tanda
kegagalan fungsi jantung berupa istirahat, pemakaian diuretik dan
digitalis.tanpa suatu tanda hipertensi pulmonal biasanya tidak
diperlukan suatu tindakan pembedahan.tetapi pada keadaan tertentu
dapat dilakukan tindakan anuloplasti dan pada yang lebih berat
dilakukan penggantian katup dengan prostesis. (ODonnell MM,
2002).

g.

Stenosis Pulmonal
Pasien dengan stenosis pulmonal ringan sampai sedang
biasanya tidak mempunyai keluhan, pasien ditemukan karena ada
bising sistolik pada pemeriksaan fisik biasa, bahkan pasien dengan
stenosis pulmonal beratpun kadang tanpa keluhan. Kalau ada
keluhan biasanya berupa dispneoe deffort, rasa lelah yang
berlebihan kedua keluhan ini sehubungan dengan kenaikan isi
sekuncup yang tidak adekuat pada saat olah raga.tak ada keluhan
ortopnea karena tekanan vena pulmonal normal pada stenosis
pulmonal. (Braunwald E, 1994).

37

Gagal jantung kanan bisa terjadi pada stenosis yang


berat.sinkop bisa terjadi akan tetapi kematian mendadak tidak
terjadi seperti pada stenosis aorta. Nyeri dada menyerupai angina
pectoris dapat terjadi pada stenosis pulmonal yang berat.
(Braunwald E, 1994).
Tanda fisik pada stenosis pulmonal diantaranya terdapat
habitus syndrome noonan berupa badan yang pendek dengan dada
seperti perisai dan leher berselaput.terdapat sianosis pada
pasien,pulsasi karotis bisa normal/atau volumenya sedikit menurun
dengan pulsasi vena jugularis. (Irawan BM, 2009). Teraba getaran
(thrill) sistolik pada spasium intercosta ke 3 atau 4 linea
parasternalis kiri.bising sistolik bersifat ejeksi. Suara jantung ke 2
yang pecah dengan lemahnya komponen pulmonal. (Irawan BM,
2009).
Pada EKG Stenosis pulmonal yang ringan biasanya
normal,sedangkan pada yang berat terdapat gambaran hipertrofi
atrium dan ventrikel kanan ada defiasi aksis jantung ke kanan.
(Irawan BM, 2009). Pada foto thorax gambaran vaskularisasi paru
perifer normal, arteri pulmonalis tampak membesar akibat dilatasi
pasca stenosis. Gambaran pembesaran ventrikel kanan tampak
pada stenosis pulmonal sedang sampai berat. Jarang pada stenosis
pulmonal bisa tampak klasifikasi katup pulmonal. (Irawan BM,
2009).
Stenosis pulmonal yang ringan sampai sedang dapat
dikelola tanpa tindakan operasi. Pada pasien yang membutuhkan
tindakan operasi ataupun pencabutan gigi dianjurkan pemberian
antibiotik profilaksis. Untuk stenosis pulmonal tanpa keluhan oleh
sebagian ahli dianjurkan pengobatan konservatif saja, tanpa
tindakan valvulotomi, sedangkan sebagian ahli yang lain
menganjurkan valvulotomi. (Irawan BM, 2009).

38

Pada stenosis berat dengan gagal jantung kanan, semua


mengajurkan tindakan valvulotomi. Kalau pasien menolak
valvulotomi dianjurkan pemberian digitalis. Pemberian diuretika
secara hati-hati dapat pula dicoba, akan tetapi dapat menurunkan
isi sekuncup menit sehingga menimbulkan kelelahan yang berat.
(Irawan BM, 2009).
h.

Regurgitasi Pulmonal
Regurgitasi pulmonal sering sekali terjadi akibat disfungsi
valvular yang sekunder pada pasien dengan hipertensi pulmonal
kronik akibat stenosis mitral rematik, penyakit jantung pulmonal
dan sebab lain hipertensi pulmonal. Regurgitasi pulmonal
fungsional ini dipikirkan terjadi akibat dilatasi cincin katup
pulmonal. Walaupun jarang, regurgitasi pulmonal dapat terjadi
pada kelainan kongenital tersendiri, endokarditis infeksiosa yang
mengenai katup pulmonal dan penyakit jantung rematik. Pada
regurgitasi katup pulmonal sangat berat, tekanan arteri pulmonal
dan ventrikel kanan pada akhir fase diastolik sama atau mendekati
sama. Regurgitasi pulmonal akibat kongenital (primer) biasanya
tanpa disertai hipertensi pulmonal menimbulkan bising diastolik
dengan

nada

rendah

dan

sifatnya

crescendo-decrescendo,

sebaliknya pada pasien regurgitasi pulmonal sekunder (dengan


hipertensi pulmonal) sifat bising diastolik yang terjadi mempunyai
nada tinggi, meniup dan decrescendo. (Irawan BM, 2009).
Regurgitasi pulmonal biasanya dapat ditoleransi pasien dan
jarang terlihat dengan gagal jantung kanan atas dasar regurgitasi
pulmonal saja. Keluhan lelah dan tanda gagal jantung kanan ringan
kadang terdapat pada pasien ini. Bising diastolik yang meniup atau
kasar terdengar disternum bagian kiri atas. Bising pada regurgitasi
pulmonal ini terdengar lebih keras saat inspirasi. Dan kalau bising
ini terjadi akibat hipertensi pulmonal, disebut bising Graham Stell.
Bising ini terdengar dengan nada tinggi mirip dengan bising
regurgitasi aorta, sedangkan bising regurgitasi pulmonal organik
39

terdengar dengan nada rendah dan kasar. Bising diastolik ini


disertai dengan bising sistolik. Denyutan ventrikel kanan terasa
sepanjang dada sebelah kiri. Ada bunyi sistolik click dengan suara
dua yang pecah secara fisiologis. (Irawan BM, 2009).
Pengelolaan regurgitasi pulmonal biasanya terbatas pada
pemberian profilaksis antibiotik pada tindakan dental atau operasi.
Gagal jantung sangat jarang terjadi pada regurgitasi pulmonal
sehingga tidak banyak pengalaman tindakan pengobatan ataupun
operasi pada kasus tersebut. (Irawan BM, 2009).
E. Komplikasi
Komplikasi utama dari penyakit katup jantung adalah gagal
jantung kongestif, suatu kondisi yang terjadi ketika jantung tidak dapat
memompa keluar volume darah yang memadai. Meluapnya darah,
menumpuk di pembuluh darah paru-paru dan bagian lain dari tubuh, dan
menyebabkan kongesti cairan dalam jaringan tubuh. Cairan dapat
mengumpulkan di paru-paru, menghalangi perjalanan udara dan
pertukaran oksigen dan mengganggu pernapasan. Selama sehari, ketika
orang menghabiskan banyak waktu dalam posisi tegak, mungkin juga
cairan penumpukan di kaki. Oleh karena itu, sesak napas, yang merupakan
karakteristik gagal jantung kongestif, adalah gejala utama penyakit katup
jantung, bersama dengan pembengkakan pergelangan kaki. Gejala lain
mungkin termasuk kelelahan, pingsan, palpitasi, dan nyeri dada.
Penyakit katup jantung juga dapat menyebabkan penyakit otot
jantung dan komplikasi gangguan detak jantung sering dikaitkan dengan
gagal jantung kongestif. Komplikasi serius lainnya adalah pembentukan
gumpalan darah, yang mungkin terlepas dan berjalan melalui aliran darah
(di mana mereka berada diketahui sebagai emboli). Jika salah satu dari
gumpalan terjebak di pembuluh darah kecil, organ yang terkena mungkin
tidak mendapatkan cukup darah. Bekuan di otak dapat menyebabkan
stroke. Sebuah embolus untuk kaki dapat menyebabkan nyeri, perubahan
warna, atau, dalam kasus yang ekstrim, gangren. Gumpalan dapat
terbentuk karena permukaan katup yang rusak adalah kasar; hal ini

40

mengganggu kelancaran arus dan kestabilan darah, menciptakan daerah


dimana darah stagnan atau berputar di tempat. Substansi pelekat pada
darah memadat dan membentuk gumpalan.
Banyak penyakit katup mengambil 20 sampai 30 tahun untuk
berkembang, dan pada saat pasien menjadi sadar akan gejalanya, kondisi
sering berkembang ke stadium lanjut. Banyak katup yang rusak, namun,
mungkin tidak menimbulkan masalah sama sekali, dan orang dengan satu
atau lebih katup abnormal dapat menjalani kehidupan normal. Seringkali
pemeriksaan fisik rutin akan mendeteksi murmur, menunjukkan bahwa
salah satu katup jantung yang kasar atau sakit. Murmur hasil dari darah
bergerak melalui katup menyempit atau darah berputar-putar bolak-balik
melalui katup yang tetap sebagian terbuka. Orang dengan katup rusak
ringan mungkin tidak memerlukan pengobatan, tetapi mungkin menerima
saran tentang tindakan profilaksis, seperti mengambil antibiotik sebelum
prosedur gigi dan bedah untuk mengurangi risiko dari infeksi katup yang
disebut endocarditis.
Meskipun penurunan demam rematik, suatu penyebab penting dari
masalah katup, telah menyebabkan penurunan drastis kejadian beberapa
bentuk gangguan katup di Amerika Serikat, penyakit katup jantung tetap
menjadi bentuk yang relatif umum dari penyakit jantung. Namun,
kemajuan dalam prosedur diagnostik dan bedah, serta kesadaran umum
yang lebih besar dari gangguan kardiovaskular, telah sangat meningkat
kelangsungan taraf hidup di 20 sampai 25 tahun terakhir. Sebuah murmur
yang menunjukkan masalah katup jantung mungkin tidak diperingatkan
secara signifikansi. Seorang pasien yang telah diberitahu dia memiliki
murmur mungkin hanya dipantau untuk lebih hati-hati daripada seseorang
yang normal.
BAB III
PEMBAHASAN

41

Penyakit katup jantung menyebabkan kelainan-kelainan pada aliran darah


yang melintasi katup tersebut. Katup yang terserang penyakit dapat menimbulkan
2 jenis gangguan fungsional, yaitu Insuffisiensi katup, di mana daun katup tidak
dapat menutup dengan rapat, sehingga darah dapat mengalir balik dan stenosis
katup, di mana lubang katup mengalami penyempitan, sehingga aliran darah dapat
mengalami hambatan. Insufisiensi dan stenosis dapat terjadi bersamaan pada satu
katup (lesi campuran) atau sendiri-sendiri (lesi murni)
Pada pasien ini didapatkan adanya sesak napas saat istirahat dan disertai
batuk, nyeri dada kiri, paroxysmal nocturnal dyspneu, keringat dingin,
peningkatan JVP serta tanda-tanda pembesaran jantung, atrial fibrilasi dan bising
diastolik. Dipikirkan bahwa pasien menderita suatu kegagalan jantung kongestif.
Adanya gambaran kardiomegali, oedem paru, dan adanya tanda-tanda pembesaran
jantung kanan pada EKG dipikirkan adanya komplikasi akibat kelainan katup
jantung yang dialami pasien. Adanya mitral stenosis dan mitral regurgitasi
menyebabkan kenaikan tekanan dan volume akhir diastol yang selanjutnya akan
menyebakan hipertensi pulmonal dan gagal jantung kanan.
Pada pasien ini untuk pemeriksaan penunjang diagnostik yang
dilakukan adalah echocardiografi untuk melihat ejection fraction, abnormalitas
wall motion dan katup, serta dapat untuk mengamati adanya trombus atau tidak.
Pemeriksaan laboratorium darah rutin dilakukan untuk melihat adakah infeksi
atau anemia yang mungkin menjadi penyebab terjadinya gagal jantung.Kemudian
pemeriksaan kimia klinik seperti GDS, SGOT/SGPT, albumin, creatinin dan
ureum untuk melihat adanya faktor risiko DM, disfungsi hepar akibat gagal
jantung, serta gangguan fungsi ginjal.Pemeriksaan elektrolit dilakukan untuk
melihat adanya retensi cairan dan monitoring efek obat yang diberikan terhadap
elektrolit.Rontgen thoraks dilakukan untuk menilai ukuran jantung.Kemudian
pemeriksaan EKG menilai apakah ada kelainan dalam penghantaran listrik di
jantung.Dengan melihat EKG dapat dinilai adakah pembesaran ruang jantung,
iskemi atau infark yang mungkin dapat menyebabkan gagal jantung
Pada pasien ini mendapatkan terapi bedrest total setengah duduk, infus
RL 20cc/jam, diet jantung III 1700 kkal, digoxin, warfarin, furosemid, valsartan,

42

dan sucralfat. Pada pasien dengan gagal jantung, jumlah cairan yang masuk ke
dalam tubuh sangat dibatasi sekali sehingga kecepatan tetesan cairan infus hanya
20cc/jam. Pada pasien gagal jantung dengan fibrilasi atrial, digoksin dapat
digunakan

untuk

memperlambat

laju

ventrikel

yang

cepat.

Diuretik

direkomendasikan pada pasien gagal jantung dengan tanda klinis atau gejala
kongesti (kelas rekomendasi I, tingkatan bukit B).Tujuan dari pemberian diuretik
adalah untuk mencapai status euvolemia (kering dan hangat) dengan dosis yang
serendah mungkin, yaitu harus diatur sesuai kebutuhan pasien, untuk menghindari
dehidrasi atau reistensi. Terapi dengan valsartan memperbaiki fungsi ventrikel dan
kualitas hidup, mengurangi angka perawatan rumah sakit karena perburukan gagal
jantung.

BAB IV
PENUTUP
A. Simpulan

43

1. Jenis jenis kelainan katup antara lain adalah mitral stenosis, mitral
regurgitasi, aorta stenosis, aorta regurgitasi, trikuspid stenosis,
trikuspid regurgitasi, pulmonal stenosis, dan pulmonal regurgitasi.
2. Katup yang terserang penyakit dapat menimbulkan 2 jenis gangguan
fungsional, yaitu insuffisiensi katup, di mana daun katup tidak dapat
menutup dengan rapat, sehingga darah dapat mengalir balik dan
stenosis katup, di mana lubang katup mengalami penyempitan,
sehingga aliran darah dapat mengalami hambatan.
3. Kelainan katup dapat disebabkan oleh beberapa hal antara lain (1).
dekstruksi katup oleh endokarditis bakterialis (2). defek jaringan
penyambung sejak lahir (3) disfungsi atau ruptura otot papilaris
karena aterosklerosis koroner dan (4). malformasi kongenital (5)
demam rematik.
B. Saran
1.
Deteksi dini pada pasien dengan penyakit abnormalitas katup jantung
sangat penting sehingga dapat segera mendapatkan penanganan dan
komplikasi yang mungkin muncul dapat dicegah

DAFTAR PUSTAKA
Boestan IN dan Baktijasa B, 2006. Penyakit Katup Jantung. Dalam
Standar Diagnosis Dan Terapi Penyakit Jantung Dan Pembuluh

44

Darah, edisi 4, editor: Soetomo M dan Lefi A, bagian/SMF


Kardiologi

dan

Kedokteran

Vaskular

Fakultas

Kedokteran

Universitas Airlangga Rumah Sakit Umum Dr. Soetomo, Surabaya,


halaman 7-20.
Braunwald E, 1994.

Penyakit

Katup

Jantung-Gangguan

Sistem

Kardiovaskuler. Dalam: Harrison Prinsip-Prinsip Ilmu Penyakit


Dalam volume 3, edisi 13, editor: Isselbacher, Braunwald, Wilson,
Martin, Fauci dan Kasper, editor Bahasa Indonesia: Asdi AH,
penerbit buku kedokteran EGC, Jakarta, halaman 1185-1201.
Ghanie A, 2009. Penyakit Katup Trikuspid-Kardiologi. Dalam Buku Ajar
Ilmu Penyakit Dalam, edisi 5, editor: Sudoyono AW, Setiyohadi B,
Alwi I, Simadibrata M dan Setiati S, Interna Publishing, Jakarta,
halaman 1698-1701.
Guyton AC dan Hall JE, 1997. Kelainan Katup Jantung-Sirkulasi. Dalam
Buku Ajar Fisiologi Kedokteran, edisi 9, editor Bahasa Indonesia:
Setiawan I, penerbit buku kedokteran EGC, Jakarta, halaman 349357.
Indrajaya T dan Ghanie A, 2009. Stenosis Mitral-Kardiologi.Dalam Buku
Ajar Ilmu Penyakit Dalam, edisi 5, editor: Sudoyono AW,
Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata M dan Setiati S, Interna
Publishing, Jakarta, halaman 1693-1697.
Irawan B, 2009. Kelainan Katup Pulmonal-Kardiologi.Dalam Buku Ajar
Ilmu Penyakit Dalam, edisi 5, editor: Sudoyono AW, Setiyohadi B,
Alwi I, Simadibrata M dan Setiati S, Interna Publishing, Jakarta,
halaman 1671-1678.
Johanna JM, Nalini M, Rajamannan, Raphael R, Kumar AS, Jonathan R,
Carapetis and Yacoub MH, 2008. The Need For A Global
Perspective On Heart Valve Disease Epidemiology, JHVD,vol 17
(1), hal 135.
Leman S, 2009. Regurgitasi Aorta-Kardiologi. Dalam Buku Ajar Ilmu
Penyakit Dalam, edisi 5, editor: Sudoyono AW, Setiyohadi B, Alwi
I, Simadibrata M dan Setiati S, Interna Publishing, Jakarta,
halaman 1689-1692.

45

Manurung D, 2009. Regurgitasi Mitral-Kardiologi. Dalam Buku Ajar


IlmuPenyakit Dalam, edisi 5, editor: Sudoyono AW, Setiyohadi B,
Alwi I, Simadibrata M dan Setiati S, Interna Publishing, Jakarta,
halaman 1679-1685.
ODonnell MM dan Carleton PF, 2002. Penyakit Katup Jantung-Gangguan
Sistem Kardiovaskular. Dalam: Patofisiologi Konsep Klinis ProsesProses Penyakit volume 1, edisi 6, editor: Price SA dan Wilson LM,
editor Bahasa Indonesia: Hartanto H, Wulansari P, Susi N dan
Mahanani DA, penerbit buku kedokteran EGC, Jakarta, halaman
613-629.
Pangabean MM, 2009. Stenosis Aorta-Kardiologi. Dalam Buku Ajar Ilmu
Penyakit Dalam, edisi 5, editor: Sudoyono AW, Setiyohadi B, Alwi
I, Simadibrata M dan Setiati S, Interna Publishing, Jakarta,
halaman 1686-1688.
Purnomo H, 1996. Stenosis Aorta-Penyakit Katup Jantung. Dalam Buku
Ajar Kardiologi, editor: Rilantono LI, Baraas F, Karo SK dan
Roebiono PS, Balai Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia, Jakarta, halaman 145-147.
Swartz MH, 1995. Jantung. Dalam Buku Ajar Diagnostik Fisik, editor
Bahasa Indonesia: Effendi H dan Hartanto H, Penerbit buku
kedokteran EGC, Jakarta, halaman 179-226.
Yusak M, 1996. Stenosis Mitral-Penyakit Katup Jantung. Dalam Buku
Ajar Kardiologi, editor: Rilantono LI, Baraas F, Karo SK dan
Roebiono PS, Balai Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia, Jakarta, halaman 135-139.

46

47

Anda mungkin juga menyukai