Oleh:
Paramita Stella
G99141079
Pembimbing
dr. H. Marthunus Judin, Sp.An.KAP
KEPANITERAAN KLINIK BAGIAN ILMU ANESTESI DAN TERAPI
INTENSIF
FAKULTAS KEDOKTERAN UNS/RSUD DR. MOEWARDI
SURAKARTA
2014
BAB I
PENDAHULUAN
perawatan
prenatal
dan
pendekatan
yang
rasional
dalam
dapat
menyebabkan
preeklampsia
pada
wanita
yang
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. PREEKLAMSIA
Definisi
Preeklampsia ialah timbulnya hipertensi disertai proteinuria dan/atau
edema akibat dari kehamilan setelah umur kehamilan 20 minggu atau segera
setelah persalinan. Kelainan ini dianggap berat jika tekanan darah dan proteinuria
meningkat secara bermakna atau terdapat tanda-tanda kerusakan organ termasuk gangguan
pertumbuhan janin.
Hipertensi umumnya timbul terlebih dahulu dari pada tanda-tanda kenaikan lain.
Kenaikan tekanan darah sistolik dan diastolik 140/90 mmHg dapat membantu
ditegakkannya diagnosis hipertensi. Penentuan tekanan darah dilakukan minimal 2 kali
dengan jarak waktu 4 jam pada keadaan istirashat.
Terdapat empat jenis penyakit hipertensi, antara lain:
1. Hipertensi kronik, dengan gejala yaitu tekanan darah > 140/90 mmHg sebelum hamil
atau didiagnosa sebelum usia gestasi 20 minggu, atau bila terdapat hipertensi
didiagnosa
minggu
setelah
melahirkan.
2. Hipertensi gestasional dengan gejala yaitu tekanan darah > 140/90 mmHg untuk
pertama kalinya ketika hamil, tidak terdapat proteinuria dan tekanan darah kembali
normal kurang dari 12 minggu pasca persalinan.
3. Preeklampsia-eklampsia dengan gejala yaitu tekanan darah
>140/90mmHg setelah usia gestasi 20 minggu pada wanita yang
sebelumnya memiliki tekanan darah yang normal dan adanya
proteinuria (0,3 gr protein dalam spesimen urin dalam 24 jam),
sedangkan
tidak dapat
eklampsia
didefinisikan
dihubungkan dengan
sebagai
kejang
yang
preeklampsia.
4. Superimposed Preeclampsia (preeklampsia pada pengidap
hiper
atau
midstream yang diambil minimal 2 kali dengan jarak waktu 6 jam. Umumnya proteinuria
timbul lebih lambat, sehingga harus dianggap sebagai tanda yang serius.
Salah satu komplikasi dari preeklampsia adalah sindroma HELLP, yang bila
ditegakkan, akan ditemukan 3 tanda, yaitu :
1. Hemolisis, yang ditandai dengan anemia yang progresif, abnormalitas hapusan darah
tepi, dan kenaikan bilirubin serum > 1.2 mg/dl.
2. Kenailkan kadar enzim liver, yaitu SGO'T > 70 IU/1, dan laktat dehidrogenase (LDH)
600 IU/1.
3. Trombositopenia, angka trombosit < 100.000 / ml.
Preeklampsia/ eklampsia diduga disebabkan adanya peningkatan bahan
vasokonstriktor (angiotensin dan tromboxane) dan penurunan bahan vasodilator (PGE2,
prostasiklin dan EDRF) yang menyebabkan kerusakan dari endotel yang luas. Manifestasi
yang terjadi adalah vasospasme arteriol, retensi natrium dan air serta perubahan proses
koagulasi. Penyebab yang lain diduga adanya iskemia dari plasenta, hubungan antara
lipoprotein dengan densitas yang rendah dengan pencegahan keracunan, perubahan sistem
imun dan perubahan genetik..
Preeklampsia dibagi menjadi 2 golongan, yaitu :
1. Preeklampsia ringan
a. Tekanan darah 140/90 mmHg yang diukur pada posisi terlentang; atau kenaikan
sistolik 30 mmHg; atau kenaikan tekanan diastolik 15 mmHg.
b. Cara pengukuran sekurang-kurangnya pada dua kali pemeriksaan dengan jarak
periksa 1 jam, sebaiknya 6 jam.
c. Oedem umum, kaki, jari tangan dan muka, atau kenaikan berat badan 1 kg per
minggu.
d. Proteinuria kuantitatif 0,3 gram/liter; kualitatif +1 atau +2 pada urin kateter atau
mid stream.
2. Preeklampsia berat
Definisi:
Preeklampsia dengan tekanan darah lebih dari 160 / 110; proteinuria lebih dari
5 gram/ 24 jam; atau +3 pada dipstick urin; urin output < 400 ml / 24 jam; oedem paru
atau adanya gangguan respirasi, nyeri epigastrik atau kuadran kanan atas, ruptur hepar,
jumlah platelet kurang dari 100 x 109 / liter, serta adanya komplikasi serebral.
Preeklampsia dibagi menjadi:
a. Preeklampsia berat dengan impending eklampsia
b. Preeklampsia berat tanpa impending eklampsia
Preeklampsia digolongkan berat bila terdapat satu atau lebih gejala:
a. Tekanan sistol 160 mmHg atau lebih, atau tekanan diastol 110
mmHg atau lebih dan tidak turun walaupun sudah menjalani
perawatan di RS dan tirah baring.
Perdarahan akibat luka insisi tidak begitu banyak, bahaya peritonitis tidak
terlalu besar, parut pada uterus umumnya kuat, sehingga bahaya ruptura uteri
di masa mendatang tidak besar karena dalam masa nifas segmen bawah uterus
tidak mengalami kontraksi yang kuat seperti korpus uteri. Hal ini
menyebabkan luka dapat sembuh lebih sempurna.
Indikasi
1. Indikasi ibu: Panggul sempit, tumor jalan lahir yang menimbulkan
obstruksi, stenosis serviks uteri atau vagina, perdarahan ante partum,
disproporsi janin dan panggul, bakat ruptura uteri, preeklampsia/
hipertensi.
2. Indikasi janin : kelainan letak, gawat janin.
Komplikasi
1. Infeksi puerperal.
2. Perdarahan.
3. Komplikasikomplikasi lain seperti luka kandung kencing dan terjadinya
embolisme paru.
D. ANESTESI SPINAL
Analgesi regional adalah suatu tindakan anestesi yang menggunakan
obat analgetik lokal untuk menghambat hantaran saraf sensorik, sehingga
impuls nyeri dari suatu bagian tubuh diblokir untuk sementara. Fungsi
motorik dapat terpengaruh sebagian atau seluruhnya, sedangkan penderita
tetap sadar.
Anestesi spinal merupakan salah satu macam anestesi regional. Pungsi
lumbal pertama kali dilakukan oleh Qunke pada tahun 1891. Anestesi spinal
subarachnoid dicoba oleh Corning, dengan menganestesi bagian bawah tubuh
penderita dengan kokain secara injeksi columna spinal. Efek anestesi tercapai
setelah 20 menit, mungkin akibat difusi pada ruang epidural. Indikasi
10
penggunaan anestesi spinal salah satunya adalah tindakan pada bedah obstetri
dan ginekologi.
Analgesi spinal (anestesi lumbal, blok subarachnoid) dihasilkan bila
kita menyuntikkan obat analgetik lokal ke dalam ruang subarachnoid di
daerah antara vertebra L2-L3 / L3-L4 (obat lebih mudah menyebar ke kranial)
atau L4-L5 (obat lebih cenderung berkumpul di kaudal).
Indikasi: anestesi spinal dapat digunakan pada hampir semua operasi
abdomen bagian bawah (termasuk sectio caesaria), perineum dan kaki.
Anestesi ini memberi relaksasi yang baik, tetapi lama anestesi didapat dengan
lidokain hanya sekitar 90 menit. Bila digunakan obat lain misalnya
bupivakain, sinkokain, atau tetrakain, maka lama operasi dapat diperpanjang
sampai 2-3 jam. Kontraindikasi: pasien dengan hipovolemia, anemia berat,
penyakit jantung, kelainan pembekuan darah, septikemia, tekanan intrakranial
yang meninggi.
Tahapan penatalaksanaan anestesi yang dilaksanakan perioperatif:
1. Persiapan pra anestesi
11
ASA II
Pasien
dengan
gangguan
sistemik
berat
yang
12
13
14
15
a. Bupivakain
Bupivakain (Decain, Marcain) adalah derivat butil yang 3 kali
lebih kuat dan bersifat long acting (5-8 jam). Obat ini terutama
digunakan
untuk anestesi
daerah luas
(larutan 0,25%-0,5%)
Berat Jenis
Sifat
Dosis
1,005
1,027
Isobarik
Hiperbarik
b. Fentanyl
16
Dosis
: 0,05 ug/kgBB
a. Keuntungan:
1) Respirasi spontan.
2) Lebih murah.
3) Sedikit resiko muntah yang dapat menyebabkan aspirasi paru
pada pasien dengan perut penuh.
4) Tidak memerlukan intubasi.
5) Pengaruh terhadap biokimiawi tubuh minimal.
6) Fungsi usus cepat kembali.
7) Observasi dan perawatan post operatif lebih ringan.
b. Kerugian:
1) Efeknya terhadap sistem kardiovaskuler lebih dari general system.
2) Menyebabkan post operatif headache.
17
a. Hipotensi berat
Akibat Akibat blok simpatis terjadi venous pooling. Pada dewasa
dicegah dengan pemberian cairan elektrolit 1000 ml atau koloid 500
ml sebelum tindakan.
b. Bradikardi
Dapat terjadi tanpa disertai hipotensi atau hipoksia, terjadi akibat blok
sampai T-2.
c. Hipoventilasi
Akibat paralisis saraf phrenikus atau hipoperfusi pusat kendali nafas.
d. Hematom
e. Cedera saraf
f. Mual-muntah
g. Blok spinal tinggi atau spinal total
7. Penatalaksanaan
a. Pemberian oksigen
Apabila terjadi hipoventilasi baik oleh obatobat narkotik,
anestesi umum maupun lokal, maka akan mudah terjadi hipoksemia
yang berat. Faktor-faktor yang menyebabkan hal ini, yaitu :
1) Turunnya kemampuan paru-paru untuk menyimpan O2
2) Naiknya konsumsi oksigen
3) Airway closure
4) Turunnya cardiac output pada posisi supine
Pemberian oksigen terhadap pasien sangat bermanfaat karena:
1) Memperbaiki keadaan asam-basa bayi yang dilahirkan
2) Dapat memperbaiki pasien dan bayi pada saat episode hipotensi
3) Sebagai preoksigenasi kalau anestesi umum diperlukan
b. Terapi cairan
18
room yaitu ruangan untuk observasi pasien pasca atau anestesi. Ruang
pulih sadar merupakan batu loncatan sebelum pasien dipindahkan ke
bangsal atau masih memerlukan perawatan intensif di ICU. Dengan
demikian pasien paska operasi atau anestesi dapat terhindar dari
komplikasi yang disebabkan karena operasi atau pengaruh anestesinya.
Untuk memindahkan pasien dari ruang pulih sadar ke ruang
perawatan perlu dilakukan skoring tentang kondisi pasien setelah anestesi
dan pembedahan. Untuk regional anestesi digunakan skor Bromage.
Bromage Scoring System
Kriteria
Skor
Gerakan penuh dari tungkai
0
Tak mampu ekstensi tungkai
1
Tak mampu fleksi lutut
2
Tak mampu fleksi pergelangan kaki 3
Bromage skor 2 boleh pindah ke ruang perawatan
E. TEKNIK ANESTESI SPINAL PADA SECTIO CAESARIA
Anestesi spinal adalah suatu metode anestesi dengan menyuntikkan
obat analgetik lokal ke dalam ruang subarachnoid di daerah lumbal. Cara ini
sering digunakan pada persalinan per vaginam dan pada sectio caesaria tanpa
komplikasi. Pada sectio caesaria blokade sensoris spinal yang lebih tinggi
penting. Hal ini disebabkan karena daerah yang akan dianestesi lebih luas,
diperlukan dosis agen anestesi yang lebih besar, dan ini meningkatkan
frekuensi serta intensitas reaksi-reaksi toksik.
1. Teknik anestesi spinal pada sectio caesaria
Pada tindakan premedikasi sekitar 15-30 menit sebelum anestesi lakukan
observasi tanda vital. Setelah tindakan antisepsis kulit daerah punggung
pasien dan memakai sarung tangan steril, pungsi lumbal dilakukan dengan
menyuntikkan jarum lumbal (biasanya no 25 atau 27) pada bidang median
setinggi vertebra L3-4 atau L4-5. Jarum lumbal akan menembus berturut-
20
turut beberapa ligamen, sampai akhirnya menembus duramatersubarachnoid. Setelah stilet dicabut, cairan serebro spinal akan menetes
keluar. Selanjutnya disuntikkan larutan obat analgetik lokal kedalam
ruang subarachnoid tersebut. Keberhasilan anestesi diuji dengan tes
sensorik Pin prick test, menggunakan jarum halus atau kapas. Daerah
pungsi ditutup dengan kasa dan plester, kemudian posisi pasien diatur
pada posisi operasi.
2. Pembagian tingkat anestesi spinal:
a. Sadle back anestesi, yang kena pengaruhnya adalah daerah lumbal
bawah dan segmen sakrum.
b. Spinal rendah, daerah yang mengalami anestesi adalah daerah
umbilikus/ Th X di sini termasuk daerah thoraks bawah, lumbal dan
sakral.
c. Spinal tengah, mulai dari perbatasan kosta (Th VI) di sini termasuk
thoraks bawah, lumbal dan sakral.
d. Spinal tinggi, mulai garis sejajar papilla mammae, disini termasuk
daerah thoraks segmen Th4-Th12, lumbal dan sakral.
e. Spinal tertinggi, akan memblok pusat motor dan vasomotor yang lebih
tinggi.
3. Indikasi anestesi spinal pada sectio caesaria
Biasanya anestesi spinal dilakukan untuk pembedahan pada daerah yang
diinervasi oleh cabang Th.4 (papila mammae kebawah).
4. Kontraindikasi anestesi spinal pada sectio caesaria
a. Infeksi tempat penyuntikan
b. Gangguan koagulasi
c. Tekanan intrakranial meninggi
d. Alergi obat lokal anestesi
e. Hipertensi tak terkontrol
21
f. Pasien menolak
g. Syok hipovolemik
h. Sepsis
5. Obat anestesi spinal pada sectio caesaria
Obat anestetik yang sering digunakan: Lidocain 1-5 %, Bupivacain 0,250,75 %.
6. Komplikasi anestesi spinal pada sectio caesaria
a. Hipotensi
b. Brakikardi
c. Sakit kepala spinal (pasca pungsi)
d. Menggigil
e. Mual-muntah
f. Total spinal
g. Sequelae neurologic
h. Penurunan tekanan intrakranial
i. Meningitis
j. Retensi urine
22
BAB III
LAPORAN KASUS
I. ANAMNESIS
A. Identitas Penderita
Nama
Umur
Agama
Pekerjaan
Alamat
Tanggal masuk
Tanggal pemeriksaan
No RM
: Ny. A
: 22 tahun
: Islam
: Ibu rumah tangga
: Pucang sawit, Jebres
: 22 Oktober 2014
: 22 Oktober 2014
: 01198537
B. Data Dasar
1. Keluhan Utama
Tekanan darah tinggi, kehamilan cukup bulan
2. Riwayat Penyakit Sekarang
Pasien seorang wanita G1P0A0 usia 22 tahun dengan usia
kehamilan 34 minggu datang didorong ke OK IGD RSUD Dr.
Moewardi dengan keluhan tekanan darah yang tinggi. Pasien sudah
dirawat di RSDM sejak tanggal 15 Oktober 2014 dan merupakan
rujukan RS Swasta dengan diagnose primigravida hamil preterm
dan PEB. Pasien merasa hamil 8 bulan, gerakan janin dirasakan
namun melemah, kenceng-kenceng teratur belum dirasakan, air
kawah belum dirasakan keluar, gerak janin masih dirasakan, lendir
darah (-), nyeri kepala frontalis (-), pandangan kabur (-), mual (-),
muntah (-), nyeri epigastrium (-), kejang (-). BAB dan BAK tidak
ada kelainan.
3. Riwayat Penyakit Dahulu
Riwayat penyakit serupa
: disangkal
23
: disangkal
: disangkal
: disangkal
: disangkal
: disangkal
: disangkal
: disangkal
: 1 jam pre op
: 1 jam pre op
: disangkal
: disangkal
: disangkal
: disangkal
: disangkal
: disangkal
5. Riwayat Kebiasaan
Merokok
Minuman beralkohol
Ketergantungan obat
: disangkal
: disangkal
: disangkal
24
dingin (-).
: GCS E4V5M6, pupil isokor dengan diameter 3mm/3mm,
Kepala
Mata
ikterik(-)
: bentuk mesocephal, rambut warna hitam
:konjungtiva pucat (-/-), sklera ikterik (-/-), lensa
Telinga
keruh (-/-)
:sekret (-), nyeri tekan mastoid (-), nyeri tekan
Hidung
Mulut
Leher
tragus (-)
: nafas cuping hidung (-), sekret (-)
: sianosis (-), mukosa basah (+), papil lidah atrofi (-)
stomatitis (-)
:trakhea di tengah, simetris, massa/ pembesaran
limfonodi (-)
:dinding perut lebih tinggi dari dinding dada,
Abdomen
:
akral dingin
-
oedem
- -
PEMERIKSAAN
Hb
HASIL
13.2
SATUAN
g/dl
RUJUKAN
12.0 - 15.6
25
Hct
AL
AT
AE
Golongan darah
PT
APTT
GDS
SGOT
SGPT
Albumin
Kreatinin
Ureum
HBsAg
Na
K
Cl
Protein kuantitatif
39
9.4
397
4.71
A
12.5
32.1
86
50
37
2.9
0.8
88
Non reactive
136
5.0
107
+++
%
Ribu/ul
Ribu/ul
Juta/ul
33 - 45
4.5 - 11.0
150 - 450
4.10 5.10
Detik
Detik
mg/dl
u/l
u/l
g/dl
mg/dl
mg/dl
10.0 15.0
20.0 40.0
60 140
< 31
< 34
3.5 5.2
0.6 1.1
< 50
Non reactive
136-145
3.3-5.1
98-106
Mmol/L
Mmol/L
Mmol/L
STATUS HIDRASI
Mukosa basah, mata tidak cekung, turgor kulit normal, CRT < 2
T : 170/110 mmHg
N : 92x/mnt
(isi cukup,kuat, reguler)
RR: 22 x/mnt
S : 36,5oC
POTENSIAL PROBLEM
Fetal death
Eklampsia
Perdarahan
Aspirasi
Nyeri post op
26
Airway
Breathing
simetris,
Disability
Exposure
B. Secondary survey
Kulit
: turgor menurun (-), lembab (+), ikterik(-)
Mata
: konjungtiva pucat (-/-), sklera ikterik (-/-)
Telinga
: nyeri tekan mastoid (-), nyeri tekan tragus (-)
Hidung
: nafas cuping hidung (-), sekret (-)
Mulut
: sianosis (-), mukosa basah (+), papil lidah atrofi (-)
stomatitis (-)
Leher
: trakhea di tengah, massa/pembesaran limfonodi (-)
Abdomen
:dinding perut lebih tinggi dari dinding dada,
distensi, bising usus (+) normal, timpani, supel,
hepar dan lien tidak teraba, teraba janin tunggal,
intrauterin, memanjang, puki, preskep, HIS(-), DJJ
Ekstremitas
(+).
: motorik dan sensori dalam batas normal
akral dingin
oedem
- - -
- - -
16.15
170/110
Darah
Nadi
90
SpO2
96%
Keterangan Pasien
16.30
140/100
16.45
17.00
150/100 160/110
88
97%
Setelah
85
98%
Setelah
81
99%
Pemantauan
masuk
dilakukan lahir
20
ruang
anestesi
pertama
bayi
menit
OK IGD RASAB
setelah
dan akan
kelahiran
dilakukan
bayi
anestesi
Jam
Tekanan
17.15
160/110
17.30
160/110
Darah
Nadi
80
84
SpO2
97%
96%
Keterangan Pemantauan Pemantauan
20
menit 20
17.45
160/110
18.00
165/115
80
98%
Pemantauan
88
100%
Pemantauan
menit 20
menit 20
menit
kedua
ketiga
keempat
kelima
setelah
setelah
setelah
setelah
kelahiran
kelahiran
kelahiran
kelahiran
bayi
bayi
bayi
bayi
28
Kesadaran
Tensi
Nadi
Suhu
Urine
: Compos Mentis
: 158/112 mmHg
: 82 x per menit
: 36,7 C
: 50 cc/jam
Analgetik post op :
Fentanil 0.5mcg/kgbb/jam 27.5 mcg/jam
Kebutuhan cairan 90 ml/jam 30 tpm
Penggunaan:
Fentanil 150 mcg dalam RL 500 30 tpm
29
BAB IV
PEMBAHASAN
Penggunaan anestesi sangat penting untuk melakukan tindakan medis
tertentu. Sebagaimana tindakan medis lainnya, tindakan anestesi khususnya
penggunaan obat-obatan anestesi, memiliki risiko tersendiri. Banyak hal yang
harus diperhatikan dalam melakukan tindakan anestesi pada wanita hamil
yang akan melakukan persalinan. Karena dalam melakukan tindakan anestesi
harus memperhatikan teknik anestesi yang akan dipakai demi menjaga
keselamatan ibu, bayi, serta kehamilan itu sendiri. Untuk menghindari hal-hal
yang tidak diinginkan saat melakukan tindakan anestesi pada wanita hamil,
maka kita harus mengetahui perubahan-perubahan fisiologis wanita hamil
serta efek masing-masing obat anestesi. Usia kehamilan pada kasus ini adalah
kehamilan preterm.
Penatalaksanaan preeklampsia berat adalah penanganan aktif yaitu
terminasi kehamilan se-aterm mungkin, kecuali apabila ditemukan penyulit
dapat dilakukan terminasi tanpa memandang usia kehamilan. Begitu pula
pada kasus ini, dengan kondisi bayi fetal distress dan usia kehamilan preterm,
maka kehamilan harus segera diakhiri. Terminasi dilakukan dengan sectio
caesaria emergensi atas indikasi maternal dan fetal. Indikasi maternal adalah
untuk mencegah timbulnya komplikasi eklampsia maupun HELLP sindrome.
Sedangkan indikasi fetal adalah fetal distress. Sehingga apabila tidak
dilakukan terminasi secara emergensi dikhawatirkan dapat menimbulkan
kematian pada janin.
30
diberikan
vasokonstriktor, seperti
diberikan
efedrin
telah
31
32
lidokain. Durasi kerja obat 8 jam. Setelah itu posisi pasien dalam keadaan
terlentang (supine). Anestesi spinal mulai dilakukan, posisi pasien duduk
tegak dengan kepala menunduk hingga prossesus spinosus mudah teraba.
Dicari perpotongan garis yang menghubungkan kedua crista illiaca
dengan tulang punggung yaitu antara vertebra lumbal 3-4, lalu ditentukan
tempat tusukan pada garis tengah. Kemudian disterilkan tempat tusukan
dengan alkohol dan betadin. Jarum spinal nomor 27-gauge ditusukkan
dengan arah median, barbutase positif dengan keluarnya LCS (jernih)
kemudian dipasang spuit yang berisi obat anestesi dan dimasukkan secara
perlahan-lahan.
Monitor tekanan darah setiap 5 menit sekali untuk mengetahui
penurunan tekanan darah yang bermakna. Hipotensi terjadi bila terjadi
penurunan tekanan darah sebesar 20-30% atau sistol kurang dari 100
mmHg. Hipotensi merupakan salah satu efek dari pemberian obat
anestesi spinal, karena penurunan kerja syaraf simpatis. Bila keadaan ini
terjadi maka cairan intravena dicepatkan, bolus ephedrin 5-15 mg secara
intravena, dan pemberian oksigen. Pada pasien ini tidak terjadi hipotensi.
Sesaat setelah bayi lahir dan plasenta diklem diberikan syntocinon
20 IU (2 ampul), 10 IU diberikan secara bolus IV dan 10 IU diberikan
per drip. Pemberian oksitosin bertujuan untuk mencegah perdarahan
dengan merangsang kontraksi uterus secara ritmik atau untuk
mempertahankan tonus uterus post partum, dengan waktu partus 3-5
menit. Opioid memiliki efek depresi pernafasan pasca bedah. Setelah
operasi selesai, pasien dibawa ke VK IGD. Pasien berbaring dengan
posisi kepala lebih tinggi untuk mencegah spinal headache, dikarenakan
efek obat anestesi masih ada. Observasi post sectio caesari dilakukan
selama 2 jam, dan dilakukan pemantauan secara ketat meliputi vital sign
(tekanan darah, nadi, suhu dan respiratory rate), dan memperhatikan
banyaknya darah yang keluar dari jalan lahir. Oksigen tetap diberikan 4
liter/ menit. Setelah keadaan umum stabil, maka pasien dibawa ke
ruangan bangsal.
33
BAB V
KESIMPULAN
34
DAFTAR PUSTAKA
Angsar MD. 2002. Hipertensi Dalam Kehamilan dalam Ilmu Kebidanan edisi
ke 3. Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo. Jakarta: 530-561
35
Arga J. PEB dalam Guick Obgyn. Departement Obstetri dan Ginekologi Dr.
Mohammad Hoesein. FK UNSRI. Palembang: 73-77
Cunningham FG, dkk. 2005. Gangguan Hipertensi Dalam Kehamilan dalam
Obstetri Williams Edisi 21. EGC. Jakarta: 642-683
Glosten B. 2006. Anestesia for Obstetric. In: Miller RD (Ed). Anesthesia. 5th
ed. Churchill Livingstone. USA: 2053-2055
Melfiawati S.,1994, Kapita Selekta Kedaruratan Obstetri dan Ginekologi,
EGC, Jakarta, hal 368-371.
Morgan, GE. 2006. Critical care. In: Clinical Anesthesiology. 3rd ed. Lange
Medical Books/Mc Graw-Hill. USA: 951-994
Latief SA. 2002. Petunjuk praktis anestesiologi. Bagian Anestesiologi dan
Terapi Intensif Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Jakarta:
34-7, 72-80
Owen P. 2006. Caesarean section. http://www.netdoctor.co.uk.
Roesli M, Tampubolon OE. 1989. Pendidikan anestesiologi mahasiswa.
Dalam: Anestesiologi. Bagian Anestesiologi dan Terapi Intensif FKUI.
CV Infomedika. Jakarta: 9
Universitas Sriwijaya. Preeklamsia Berat. Dalam Protap Obgyn: 3-10
Wibowo B, Rachimhadhi T. 2005. Preeklampsia-Eklampsia. Dalam
Wiknjosastro H, Ilmu Kebidanan. Edisi Ketiga Cetakan Ketujuh.
Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo, Jakarta: 281-94.
36