Anda di halaman 1dari 26

Laporan Kasus

SEORANG WANITA 56 TAHUN DENGAN SYOK SEPTIK et causa


PERITONITIS GENERALISATA

Oleh:
Aulia Nadhiasari
G99142137
Pembimbing
dr. Bambang Novianto P, Sp.An, M.Kes Perf

KEPANITERAAN KLINIK BAGIAN ILMU ANESTESI DAN TERAPI


INTENSIF
FAKULTAS KEDOKTERAN UNS/RSUD DR. MOEWARDI
SURAKARTA
2016
BAB I
PENDAHULUAN

Terdapat beberapa hal yang menjadi pertanyaan mengenai keadaan fisik


pasien-pasien bedah dengan keadaan yang sakit parah. Pasien tersebut
menunjukkan pola gejala-gejala klinis takipnea, takikardi, demam, diaforesis dan
lekositosis yang biasanya berhubungan dengan infeksi lokal yang parah,

bakteriemia, diseminasi produk sel mikroba (endotoksin) atau kombinasi dari


keadaan tersebut. Pasien-pasien tersebut umumnya kita hubungkan dengan suatu
diagnosis sepsis atau septikemia. Istilah ini secara tradisional memberikan
pengertian suatu manifestasi klinis yang menggambarkan infeksi invasif yang
tidak terkendali yang akibatnya menjadi suatu manifestasi sistemik penyakit
tersebut. Secara umum dapat dikatakan bahwa proses infeksi yang terjadi
mengalami perubahan dari lokal menjadi sistemik. Bukti-bukti telah menunjukkan
bahwa reaksi sistemik sepsis bukan merupakan reaksi spesifik atas suatu jenis
mikroba tetapi merupakan reaksi non-spesifik host (pasien). Bakteri, jamur
maupun virus dapat mendatangkan respon sistemis yang sama pada host.
Reaksi inflamasi yang bersifat non-spesifik menjadi dasar atas semua
peristiwa ini. Dengan demikian setiap peristiwa yang dapat membangkitkan reaksi
inflamasi, walaupun secara lokal (seperti trauma tumpul, luka bakar) bila terjadi
secara hebat, dapat mengaktifkan reaksi sistemik yang menunjukkan suatu
kumpulan gejala klinis sepsis, tanpa ditemukannya mikroba patogen sebagai
penyebab. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa sepsis yang disebabkan
infeksi mikroba dan aseptik sepsis yang disebabkan stimulus lain memberikan
gambaran klinis yang serupa yaitu suatu respons sistemik host terhadap reaksi
inflamasi sistemik.
Kata sepsis pertama kali digunakan oleh Hippocrates, lebih dari dua
milenium yang lalu, untuk menggambarkan proses penguraian jaringan dengan
hasil akhir penyakit, bau yang tidak sedap dan kematian. Sepsis merupakan lawan
dari pepsis yang berarti proses penguraian jaringan yang memberikan
kehidupan yang berhubungan dengan pencernaan makanan atau fermentasi anggur
untuk menghasilkan wine. Dengan berhasil diidentifikasikannya mikroorganisme
sebagai penyebab infeksi, kata sepsis lalu mempunyai pengertian infeksi mikroba
yang berat, sementara septikemia mempunyai arti keberadaan atau invasi bakteri
di dalam sirkulasi.

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. SEPSIS
Definisi
Sepsis merupakan suatu sindroma respons inflamasi sistemik (systemic
inflammatory response syndrome) dengan etiologi mikroba yang terbukti atau
dicurigai. Bukti klinisnya berupa suhu tubuh yang abnormal (>38oC atau

<36oC); takikardi; asidosis metabolik; biasanya disertai dengan alkalosis


respiratorik terkompensasi dan takipneu; dan peningkatan atau penurunan
jumlah sel darah putih. Sepsis juga dapat disebabkan oleh infeksi virus atau
jamur. Sepsis berbeda dengan septikemia. Septikemia (nama lain untuk blood
poisoning) mengacu pada infeksi dari darah, sedangkan sepsis tidak hanya
terbatas pada darah, tapi dapat mempengaruhi seluruh tubuh, termasuk organorgan.
Sepsis yang berat disertai dengan satu atau lebih tanda disfungsi organ,
hipotensi, atau hipoperfusi seperti menurunnya fungsi ginjal, hipoksemia, dan
perubahan status mental. Syok septik merupakan sepsis dengan tekanan darah
arteri <90 mmHg atau 40 mmHg di bawah tekanan darah normal pasien
tersebut selama sekurang-kurangnya 1 jam meskipun telah dilakukan
resusitasi cairan atau dibutuhkan vasopressor untuk mempertahankan agar
tekanan darah sistolik tetap >90 mmHg atau tekanan arterial rata-rata >70
mmHg.
Terminology dalam sepsis menurut American College of Chest
Physicians/society of Critical Care Medicine consensus Conference
Committee : Critical Care Medicine, 1992 :

Infeksi
Fenomena microbial yang ditandai dengan munculnya respon
inflamasi terhadap munculnya / invasi mikroorganisme ke
dalam jaringan tubuh yang steril.

Bakteriemia
Munculnya atau terdapatnya bakteri di dalam darah.

SIRS (Systemic Inflamatory Response Syndrome)


Respon inflamasi secara sistemik yang dapat disebabkan oleh
bermacam macam kondisi klinis yang berat. Respon tersebut
dimanifestasikan oleh 2 atau lebih dari gejala khas berikut ini :

Suhu badan> 380 C atau <360 C

Heart Rate >9O;/menit

RR >20 x/menit atau PaCO2 < 32 mmHg

WBC > 12.000/mm3 atau < 4.000/mm3 atau 10% bentuk


immature

Sepsis sistemik
Respon terhadap infeksi yang disebabkan oleh adanya sumber
infeksi yang jelas, yang ditandai oleh dua atau lebih dari gejala
di bawah ini:

Suhu badan> 380 C atau <360 C

Heart Rate >9O;/menit

RR >20 x/menit atau PaCO2 < 32 mmHg

WBC > 12.000/mm3 atau < 4.000/mm3 atau 10% bentuk


immature

Severe Sepsis
Keadaan sepsis dimana disertai dengan disfungsi organ,
hipoperfusi atau hipotensi. Hipoperfusi atau gangguan perfusi
mungkin juga disertai dengan asidosis laktat, oliguria, atau
penurunan status mentas secara mendadak.

Syok sepsis
Sepsis yang menyebabkan kondisi syok, dengan hipotensi
walaupun telah dilakuakn resusitasi cairan. Sehubungan
terjadinya hipoperfusi juga bisa menyebabkan asidosis laktat,
oliguria atau penurunan status mental secara mendadak. Pasien
yang mendapatkan inotropik atau vasopresor mungkin tidak
tampaka hipotensi walaupun masih terjadi gangguan perfusi.

Sepsis Induce Hipotension


Kondisi dimana tekanan darah sistolik <90mmHg atau terjadi
penurunan sistolik >40mmHg dari sebelumnya tanpa adanya
penyebab hipotensi yang jelas.

MODS (Multy Organ Dysfunction Syndroma)


Munculnya penurunan fungsi organ atau gangguan fungsi organ
dan homeostasis tidak dapat dijaga tanpa adanya intervensi.

Derajat Sepsis:
Derajat Sepsis
Systemic Inflammatory response Syndrome
(SIRS) dua atau lebih dari kriteria berikut

Suhu >380C atau <360C


Frekuensi nadi > 90x/menit
Frekuensi nafas >20x/menit atau pCO 2<32
mmHg
Hitung leukosit >12.000 sel/mm3 atau <4.000
sel/mm3 atau >10% neutrofil imatur

Sepsis

SIRS yang terbukti disebabkan oleh infeksi

Sepsis Berat

Sepsis dengan hipotensi atau manifestasi


sistemik hipoperfusi (asidosis laktat, oliguria,
perubahan status mental)

Syok Septik

Sepsis berat yang tidak teratasi dengan


resusitasi cairan yang adekuat sekalipun

Syok septik adalah subset dari sepsis berat, yang didefinisikan


sebagai hipotensi yang diinduksi sepsis dan menetap kendati telah
mendapat resusitasi cairan, dan disertai hipoperfusi jaringan.

Ketidakseimbangan: DO2 (oxygen delivery) dan VO2 (oxygen


consumption).

USA 400.000 kasus sepsis; 200.000 kasus syok septik;


100.000 kematian.

Pasien mendapatkan obat vasoaktif syok septik jika

mengalami hipoperfusi jaringan.


Manifestasi Klinik Sepsis
Gejala klinis sepsis biasanya tidak spesifik, biasanya didahului oleh tanda
tanda sepsis non spesifik, meliputi demam, menggigil, dan gejala konstitutif
seperti lelah, malaise, gelisah, atau kebingungan.
Pada pasien sepsis kemungkinan ditemukan:

Perubahan sirkulasi
6

Penurunan perfusi perifer

Tachycardia

Tachypnea

Pyresia atau temperature <36oc

Hypotensi

Pasien harus mempunyai sumber infeksi yang terbukti atau yang


dicurigai (biasanya bakteri) dan mempunyai paling sedikit dua dari persoalanpersoalan berikut: denyut jantung yang meningkat (tachycardia), temperatur
yang tinggi (demam) atau temperatur yang rendah (hypothermia), pernapasan
yang cepat (>20 napas per menit atau tingkat PaCO2 yang berkurang), atau
jumlah sel darah putih yang tinggi, rendah, atau terdiri dari >10% sel-sel
band. Pada kebanyakan kasus-kasus, adalah agak mudah untuk memastikan
denyut jantung (menghitung nadi per menit), demam atau hypothermia
dengan thermometer, dan untuk menghitung napa-napas per menit bahkan di
rumah. Adalah mungkin lebih sulit untuk membuktikan sumber infeksi,
namun jika orangnya mempunyai gejala-gejala infeksi seperti batuk yang
produktif, atau dysuria, atau demam-demam, atau luka dengan nanah, adalah
agak mudah untuk mencurigai bahwa seseorang dengan infeksi mungkin
mempunyai sepsis. Bagaimanapun, penentuan dari jumlah sel darah putih dan
PaCO2 biasanya dilakukan oleh laboratorium. Pada kebanyakan kasus-kasus,
diagnosis yang definitif dari sepsis dibuat oleh dokter dalam hubungan
dengan tes-tes laboratorium.
Beberapa pengarang-pengarang mempertimbangkan garis-garis merah
atau

alur-alur

Bagaimanapun,

merah

pada

alur-alur

ini

kulit

sebagai

disebabkan

tanda-tanda
oleh

dari

sepsis.

perubahan-perubahan

peradangan lokal pada pembuluh-pembuluh darah lokal atau pembuluhpembuluh limfa (lymphangitis). Alur-alur atau garis-garis merah adalah
mengkhawatirkan karena mereka biasanya mengindikasikan penyebaran
infeksi yang dapat berakibat pada sepsis.
Dikatakan sepsis jika mengalami dua atau lebih gejala di bawah ini:

Suhu badan> 380 C atau <360 C


7

Heart Rate >9O;/menit

RR >20 x/menit atau PaCO2 < 32 mmHg

WBC > 12.000/mm3 atau < 4.000/mm3 atau 10% bentuk immature

Kriteria Diagnostik sepsis menurut ACCP/SCCM th 2001 dan


International Sepsis Definitions Conference, Critical Care Medicine, th 2003 :

Variabel Umum

Suhu badan inti > 380 C atau <360 C

Heart Rate >9O;/menit

Tachipnea

Penurunan status mental

Edema atau balance cairan yang positif > 20ml/kg/24 jam

Hiperglikemia > 120 mg/dl pada pasien yang tidak diabetes.

Variable Inflamasi

WBC > 12.000/mm3 atau < 4.000/mm3 atau 10% bentuk immature

Peningkatan plasma C-reactive protein

Peningkatan plasma procalcitonin

Variabel Hemodinamik

Sistolik < 90mmHg atau penurunan sistolik . 40>mmHg dari


sebelumnya.

MAP <70mmHg

SvO2 >70%

Cardiak Indeks >3,5 L/m/m3

Variable Perfusi Jaringan

Serum laktat > 1mmol/L

Penurunan kapiler refil

Variable Disfungsi Organ

PaO2 / Fi O2 <300

Urine output < 0,5 ml/kg/jam

Peningkatan creatinin > 0,5 mg/dl


8

INR >1,5 atau APTT > 60 detik

Ileus

Trombosit < 100.000mm3

Hiperbilirubinemia (plasma total bilirubin > 4mg/dl)

Manifestasi Klinis Syok Septik

Fase dini: terjadi deplesi volume, selaput lendir kering, kulit


lembab dan kering.

Post resusitasi cairan: gambaran klinis syok hiperdinamik:


takikardia, nadi keras dengan tekanan nadi melebar, precordium
hiperdinamik pada palpasi, dan ekstremitas hangat.

Disertai tanda-tanda sepsis.

Tanda hipoperfusi: takipnea, oliguria, sianosis, mottling, iskemia


jari, perubahan status mental.

Tanda tanda Syok Sepsis :

Peningkatan HR

Penurunan TD

Flushed Skin (kemerahan sebagai akibat vasodilatasi)

Peningkatan RR kemudian kelamaan menjadi penurunan RR

Crakles

Perubahan sensori

Penurunan urine output

Peningkatan temperatur

Peningkatan cardiac output dan cardiac index

Penurunan SVR

Penurunan tekanan atrium kanan

Penurunan tekanan arteri pulmonalis

Penurunan curah ventrikel kiri

Penurunan PaO2

Penurunan PaCO2 kemudian lama kelamaan berubah menjadi


peningkatan PaCO2

Penurunan HCO3

Gambaran Hasil Laborat :

WBC > 12.000/mm3 atau < 4.000/mm3 atau 10% bentuk immature

Hiperglikemia > 120 mg/dl

Peningkatan Plasma C-reaktif protein

Peningkatan plasma procalcitonin.

Serum laktat > 1 mMol/L

Creatinin > 0,5 mg/dl

INR > 1,5

APTT > 60

Trombosit < 100.000/mm3

Total bilirubin > 4 mg/dl

Biakan darah, urine, sputum hasil positif.

Penatalaksanaan
Early goal directed therapy berfokus pada optimalisasi pengiriman
oksigen jaringan yang diukur dengan saturasi oksigen vena, pH, atau kadar
laktat arteri. Pendekatan ini telah menunjukkan peningkatan kelangsungan
hidup dibandingkan dengan resusitasi cairan dan pemeliharaan tekanan darah
yang standar.
Penatalaksanaan sepsis yang optimal mencakup eliminasi patogen
penyebab infeksi, mengontrol sumber infeksi dengan tindakan drainase atau
bedah bila diperlukan, terapi antimikroba yang sesuai, resusitasi bila terjadi
kegagalan organ atau renjatan. Vasopresor dan inotropik, terapi suportif
terhadap kegagalan organ, gangguan koagulasi dan terapi imunologi bila
terjadi respons imun maladaptif host terhadap infeksi.
1. Resusitasi

10

Mencakup tindakan airway (A), breathing (B), circulation


(C) dengan oksigenasi, terapi cairan (kristaloid dan/atau koloid),
vasopresor/inotropik, dan transfusi bila diperlukan. Tujuan
resusitasi pasien dengan sepsis berat atau yang mengalami
hipoperfusi dalam 6 jam pertama adalah CVP 8-12 mmHg,
MAP >65 mmHg, urine >0.5 ml/kg/jam (menggunakan transfusi,
agen inotropik, dan oksigen tambahan dengan atau tanpa ventilasi
mekanik) dan saturasi oksigen vena sentral >70%. Bila dalam 6
jam resusitasi, saturasi oksigen tidak mencapai 70% dengan
resusitasi cairan dengan CVP 8-12 mmHg, maka dilakukan
transfusi

PRC

untuk

mencapai

hematokrit >30%

dan/atau

pemberian dobutamin (sampai maksimal 20 g/kg/menit).


2. Eliminasi sumber infeksi
Tujuan: menghilangkan patogen penyebab, oleh karena
antibiotik pada umumnya tidak mencapai sumber infeksi seperti
abses, viskus yang mengalami obstruksi dan implan prostesis yang
terinfeksi. Tindakan ini dilakukan secepat mungkin mengikuti
resusitasi yang adekuat.
3. Terapi antimikroba
Merupakan modalitas yang sangat penting dalam pengobatan
sepsis. Terapi antibiotik intravena sebaiknya dimulai dalam jam
pertama sejak diketahui sepsis berat, setelah kultur diambil. Terapi
inisial berupa satu atau lebih obat yang memiliki aktivitas melawan
patogen bakteri atau jamur dan dapat penetrasi ke tempat yang
diduga sumber sepsis. Oleh karena pada sepsis umumnya
disebabkan oleh gram negatif, penggunaan antibiotik yang dapat
mencegah pelepasan endotoksin seperti karbapenem memiliki
keuntungan, terutama pada keadaan dimana terjadi proses inflamasi
yang hebat akibat pelepasan endotoksin, misalnya pada sepsis berat
dan gagal multi organ. Pemberian antimikrobial dinilai kembali
setelah 48-72 jam berdasarkan data mikrobiologi dan klinis. Sekali

11

patogen penyebab teridentifikasi, tidak ada bukti bahwa terapi


kombinasi lebih baik daripada monoterapi.
4. Terapi suportif

Oksigenasi
Pada keadaan hipoksemia berat dan gagal napas bila
disertai dengan penurunan kesadaran atau kerja ventilasi
yang berat, ventilasi mekanik segera dilakukan.

Terapi cairan

Hipovolemia harus segera diatasi dengan cairan


kristaloid (NaCl 0.9% atau ringer laktat) maupun koloid.

Pada keadaan albumin rendah (<2 g/dL) disertai tekanan


hidrostatik melebihi tekanan onkotik plasma, koreksi
albumin perlu diberikan.

Transfusi PRC diperlukan pada keadaan perdarahan


aktif atau bila kadar Hb rendah pada kondisi tertentu,
seperti pada iskemia miokard dan renjatan septik. Kadar
Hb yang akan dicapai pada sepsis masih kontroversi
antara 8-10 g/dL.

Vasopresor dan inotropik


Sebaiknya diberikan setelah keadaan hipovolemik teratasi
dengan pemberian cairan adekuat, akan tetapi pasien masih
hipotensi. Vasopresor diberikan mulai dosis rendah dan
dinaikkan (titrasi) untuk mencapai MAP 60 mmHg atau
tekanan darah sistolik 90mmHg. Dapat dipakai dopamin
>8g/kg.menit,norepinefrin 0.03-1.5g/kg.menit,
phenylepherine

0.5-8g/kg/menit

atau

epinefrin

0.1-

0.5g/kg/menit. Inotropik dapat digunakan: dobutamine 228 g/kg/menit, dopamine 3-8 g/kg/menit, epinefrin 0.10.5 g/kg/menit atau fosfodiesterase inhibitor (amrinone
dan milrinone).

Bikarbonat
12

Secara empirik bikarbonat diberikan bila pH <7.2 atau


serum bikarbonat <9 mEq/L dengan disertai upaya untuk
memperbaiki keadaan hemodinamik.

Disfungsi renal
Akibat

gangguan

perfusi

organ.

Bila

pasien

hipovolemik/hipotensi, segera diperbaiki dengan pemberian


cairan adekuat, vasopresor dan inotropik bila diperlukan.
Dopamin dosis renal (1-3 g/kg/menit) seringkali diberikan
untuk mengatasi gangguan fungsi ginjal pada sepsis, namun
secara evidence based belum terbukti. Sebagai terapi
pengganti gagal ginjal akut dapat dilakukan hemodialisis
maupun hemofiltrasi kontinu.

Nutrisi
Pada metabolisme glukosa terjadi peningkatan produksi
(glikolisis, glukoneogenesis), ambilan dan oksidasinya pada
sel, peningkatan produksi dan penumpukan laktat dan
kecenderungan hiperglikemia akibat resistensi insulin.
Selain itu terjadi lipolisis, hipertrigliseridemia dan proses
katabolisme protein. Pada sepsis, kecukupan nutrisi: kalori
(asam amino), asam lemak, vitamin dan mineral perlu
diberikan sedini mungkin

Kontrol gula darah


Terdapat penelitian pada pasien ICU, menunjukkan terdapat
penurunan mortalitas sebesar 10.6-20.2% pada kelompok
pasien yang diberikan insulin untuk mencapai kadar gula
darah antara 80-110 mg/dL dibandingkan pada kelompok
dimana insulin baru diberikan bila kadar gula darah >115
mg/dL. Namun apakah pengontrolan gula darah tersebut
dapat diaplikasikan dalam praktek ICU, masih perlu
dievaluasi, karena ada risiko hipoglikemia.

Gangguan koagulasi

13

Proses inflamasi pada sepsis menyebabkan terjadinya


gangguan koagulasi dan DIC (konsumsi faktor pembekuan
dan pembentukan mikrotrombus di sirkulasi). Pada sepsis
berat dan renjatan, terjadi penurunan aktivitas antikoagulan
dan supresi proses fibrinolisis sehingga mikrotrombus
menumpuk di sirkulasi mengakibatkan kegagalan organ.
Terapi antikoagulan, berupa heparin, antitrombin dan
substitusi

faktor

pembekuan

bila

diperlukan

dapat

diberikan, tetapi tidak terbukti menurunkan mortalitas.

Kortikosteroid
Hanya diberikan dengan indikasi insufisiensi adrenal.
Hidrokortison dengan dosis 50 mg bolus IV 4x/hari selama
7 hari pada pasien dengan renjatan septik menunjukkan
penurunan mortalitas dibandingkan kontrol. Keadaan tanpa
syok, kortikosteroid sebaiknya tidak diberikan dalam terapi
sepsis.

B. TERAPI CAIRAN
Definisi
Terapi cairan ialah tindakan untuk memelihara, mengganti cairan
tubuh dalam batas-batas fisiologis dengan cairan infus kristaloid
(elektrolit) atau koloid (plasma ekspander) secara intravena. Terapi cairan
berfungsi untuk mengganti defisit cairan saat puasa sebelum dan sesudah
pembedahan, mengganti kebutuhan rutin saat pembedahan, mengganti
perdarahan yang terjadi, dan mengganti cairan yang pindah ke rongga
ketiga.
a) Terapi cairan resusitasi
Terapi cairan resusitasi ditujukan untuk menggantikan
kehilangan akut cairan tubuh atau ekspansi cepat dari cairan

14

intravaskuler untuk memperbaiki perfusi jaringan. Misalnya pada


keadaan syok dan luka bakar. Terapi cairan resusitasi dapat
dilakukan dengan pemberian infus Normal Saline (NS), Ringer
Asetat (RA), atau Ringer laktat (RL) sebanyak 20 ml/kg selama
30-60 menit. Pada syok hemoragik bisa diberikan 2-3 L dalam 10
menit.
b) Terapi rumatan
Terapi rumatan bertujuan untuk memelihara keseimbangan
cairan tubuh dan nutrisi. Orang dewasa rata-rata membutuhkan
cairan 30-35 ml/kgBB/hari dan elektrolit utama Na+=1-2
mmol/kgBB/hari dan K+= 1mmol/kgBB/hari. Kebutuhan tersebut
merupakan pengganti cairan yang hilang akibat pembentukan
urine,

sekresi

gastrointestinal,

keringat

(lewat

kulit)

dan

pengeluaran lewat paru-paru atau dikenal dengan insensible water


losses. Untuk anak digunakan rumus Holiday Segar 4:2:1
Pada terapi rumatan dapat diberikan infus cairan elektrolit
dengan kandungan karbohidrat atau infus yang hanya mengandung
karbohidrat saja. Larutan elektrolit yang juga mengandung
karbohidrat adalah larutan KA-EN, dextran + saline, DGAA,
Ringers

dextrose,

dll.

Sedangkan

larutan

rumatan

yang

mengandung hanya karbohidrat adalah dextrose 5%. Tetapi cairan


tanpa elektrolit cepat keluar dari sirkulasi dan mengisi ruang antar
sel sehingga dextrose tidak berperan dalam hipovolemik.
Dalam terapi rumatan cairan keseimbangan kalium perlu
diperhatikan karena seperti sudah dijelaskan kadar berlebihan atau
kekurangan dapat menimbulkan efek samping yang berbahaya.
Umumnya infus konvensional RL atau NS tidak mampu mensuplai
kalium sesuai kebutuhan harian. Infus KA-EN dapat mensuplai
kalium

sesuai

kebutuhan

harian.

Pada

pembedahan

akan

15

menyebabkan cairan pindah ke ruang ketiga, ke ruang peritoneum,


ke luar tubuh. Untuk menggantinya tergantung besar kecilnya
pembedahan, yaitu :
6-8 ml/kg untuk bedah besar
4-6 ml/kg untuk bedah sedang
2-4 ml/kg untuk bedah kecil

Derajat Dehidrasi
Derajat dehidrasi

% kehilangan cairan

Tanda dan gejala

Ringan

25%

Haus, jumlah urine turun, jumlah


keringat turun

Sedang

5 10 %

Sangat haus, mual, ketiak dan lipat paha


kering, takhikardi, hipotensi ortostastik,
CVP menurun, turgor menurun, apatis,
oliguri, hemokonsentrasi.

Berat / fatal

10 15 %

Stupor, hipotensi, oliguri berat sampai


anuria, masa otot menurun, vena
jugularis kolap pada posisi baring, nadi
kecil/ tak teraba, syok, koma mati.

Prinsip Resusitasi Cairan


1. Tentukan besar kekurangan volume cairan , atas dasar amamnese,

pemeriksaan fisik dan bila perlu pemeriksaan laboratorium.


2. Tentukan macam cairan yang hilang atas dasar patofiologis penyakit yang
kita hadapi.
Misalnya :

16

o Pada perdarahan seluruh komponen dalam plasma ikut hilang


( termasuk protein ) yang berarti tekanan onkotik akan turun bila
hanya diganti dengan cairan kristaloid saja ( prinsip hemodilusi ).
o Pada gastroenteritis cairan dan elektrolit saja yang hilang.
o Pada sepsis terjadi kebocoran kapiler sehingga partikel dengan
molekul relative kecil ( termasuk albumin ) akan keluar sehingga
tekanan onkotik akan menurun.
3. Pilih cairan yang akan kita gunakan untuk mengganti, bila diperkirakan
tekanan onkotik turun, berikan cairan koloid. Sebagai pagangan kasar
( pada resusitasi perdarahan ) setiap 2000 2500 cc cairan kristaloid
berikan 500 cc cairan koloid.
4. Tentukan lama / waktu pemberian. Pasien kritis / gawat harus segera
mungkin tercukupi jumlah cairannya, sebab targetnya adalah mencukupi
cardiac out put. Oleh karena itu dalam waktu 6 jam harus tercapai
targetnya.

Pemantauan Resusitasi Cairan


Pemantauan resusitasi cairan di tujukan pada dua pokok utama, yaitu :
1. Evaluasi terhadap target resusitasi.
Target resusitasi adalah mencukupi cardiac uot put. Berarti bila
cardiac out put tercukupi maka perfusi ke jaringan akan baik. Oleh sebab
itu pemantauan di tujukan pada perfusi jaringan. Yaitu :
o Tingkat kesadaran akan terjadi perbaikan.
o Fungsi organ organ :
a) Fungsi respirasi respirasi adekuat
b) Fungsi saluran cerna peristaltic, absorbsi nutrient membaik.
c) Fungsi saluran kemih produksi urine 1 cc / kg bb / jam.
d) Tekanan darah dan nadi terjadi perbaikan kwalitas.

17

2. Pemantauan terhadap efek samping.


1. Kelebihan cairan

o Edema paru hypoxia, ronkhi basah.


o Edema perifer.
2. Sehubungan dengan tehnik infuse :

o Ektravasasi.
o Phlebitis.
o Thrombus.
o Adanya udara.
3. Sehubungan dengan reaksi

o Mengigil demam.
o Reaksi anafilaktis.
Jenis Cairan
1. Cairan Kristaloid
Cairan ini mempunyai komposisi mirip cairan ekstraseluler (CES =
CEF). Cairan kristaloid bila diberikan dalam jumlah cukup (3-4 kali cairan
koloid) ternyata sama efektifnya seperti pemberian cairan koloid untuk
mengatasi defisit volume intravaskuler. Waktu paruh cairan kristaloid di
ruang intravaskuler sekitar 20-30 menit. Larutan Ringer Laktat merupakan
cairan kristaloid yang paling banyak digunakan untuk resusitasi cairan
walau agak hipotonis dengan susunan yang hampir menyerupai cairan
intravaskuler. Laktat yang terkandung dalam cairan tersebut akan
mengalami metabolisme di hati menjadi bikarbonat. Cairan kristaloid
lainnya yang sering digunakan adalah NaCl 0,9%, tetapi bila diberikan
berlebih dapat mengakibatkan asidosis hiperkloremik (delutional
hyperchloremic acidosis) dan menurunnya kadar bikarbonat plasma akibat
peningkatan klorida.

18

Karena perbedaan sifat antara koloid dan kristaloid dimana


kristaloid akan lebih banyak menyebar ke ruang interstitiel dibandingkan
dengan koloid maka kristaloid sebaiknya dipilih untuk resusitasi defisit
cairan di ruang interstitiel. Pada suatu penelitian mengemukakan bahwa
walaupun dalam jumlah sedikit larutan kristaloid akan masuk ruang
interstitiel sehingga timbul edema perifer dan paru serta berakibat
terganggunya oksigenasi jaringan dan edema jaringan luka, apabila
seseorang mendapat infus 1 liter NaCl 0,9. Selain itu, pemberian cairan
kristaloid berlebihan juga dapat menyebabkan edema otak dan
meningkatnya tekanan intra kranial.
2. Cairan Koloid
Disebut juga sebagai cairan pengganti plasma atau biasa disebut
plasma substitute atau plasma expander. Di dalam cairan koloid
terdapat zat/bahan yang mempunyai berat molekul tinggi dengan aktivitas
osmotik yang menyebabkan cairan ini cenderung bertahan agak lama
(waktu paruh 3-6 jam) dalam ruang intravaskuler. Oleh karena itu koloid
sering digunakan untuk resusitasi cairan secara cepat terutama pada syok
hipovolemik/hermorhagik atau pada penderita dengan hipoalbuminemia
berat dan kehilangan protein yang banyak (misal luka bakar).

BAB III
LAPORAN KASUS

I. ANAMNESIS
A. Identitas Penderita
19

Nama
Umur
Agama
Pekerjaan
Alamat
Tanggal masuk
Tanggal pemeriksaan
No RM

: Ny. S
: 56 tahun
: Islam
: Ibu rumah tangga
: Pucang sawit, Jebres
: 4 Januari 2016
: 4 Januari 2016
: 01325204

B. Data Dasar
1. Keluhan Utama
Nyeri perut kanan bawah
2. Riwayat Penyakit Sekarang
Pasien seorang wanita usia 56 tahun rujukan dari RS IPHI
Pedan datang didorong ke OK IGD RSUD Dr. Moewardi dengan
keluhan nyeri pada seluruh lapang abdomen. Mual (+) di ulu hati
Tidak bisa BAB, BAK dan kentut sejak 2 hari yang lalu. Pasien
rencana akan di operasi laparotomi perforasi appendisitis
3. Riwayat Penyakit Dahulu
Riwayat penyakit serupa
Riwayat tekanan darah tinggi
Riwayat sakit gula
Riwayat sakit jantung
Riwayat alergi
Riwayat asma
Riwayat operasi

: disangkal
: disangkal
: disangkal
: disangkal
: disangkal
: disangkal
: disangkal

4. Riwayat Penyakit Keluarga


Riwayat penyakit serupa
Riwayat tekanan darah tinggi
Riwayat sakit gula
Riwayat sakit jantung
Riwayat alergi
Riwayat asma

: disangkal
: disangkal
: disangkal
: disangkal
: disangkal
: disangkal

5. Riwayat Kebiasaan
Merokok
Minuman beralkohol
Ketergantungan obat

: disangkal
: disangkal
: disangkal

6. Riwayat asupan gizi

20

Pasien biasa makan 3x sehari dengan nasi, sayur dan lauk


pauk serta buah-buahan. Kesan: asupan gizi cukup.
7. Riwayat Sosial Ekonomi
Pasien adalah seorang wanita usia 56 tahun, bekerja sebagai ibu
rumah tangga. Pasien berobat dengan fasilitas BPJS Kesehatan.
II. PEMERIKSAAN FISIK
A. Primary Survey
Airway
: bebas, buka mulut >3 jari, mallampati I
Breathing : Thorax bentuk normochest, simetris, pengembangan dada
kanan=kiri, retraksi (-), otot bantu nafas (-), sonor/sonor,
suara dasar vesikuler +/+, suara tambahan -/-, frekuensi
nafas 30x/menit.
Circulation : jantung ictus cordis tak tampak, tak kuat angkat teraba di
SIC V LMCS, bunyi jantung I-II intensitas normal,
reguler, bising (-), tekanan darah 70/43 mmHg (MAP =
61), nadi 92x/menit irama teratur, isi cukup, CRT <2 detik,
Disability

akral dingin (+).


: GCS E3V5M6, pupil isokor dengan diameter 3mm/3mm,

reflek cahaya +/+.


Exposure : suhu 35,3 0C
B. Secondary Survey
Status gizi
:Berat badan : 50 kg
Tinggi badan : 150 cm
Kulit

:sawo matang, turgor menurun (-), lembab (+),

Kepala
Mata

ikterik (-)
: bentuk mesocephal, rambut warna hitam
:konjungtiva pucat (-/-), sklera ikterik (-/-), lensa

Telinga

keruh (-/-)
:sekret (-), nyeri tekan mastoid (-), nyeri tekan

Hidung
Mulut

tragus (-)
: nafas cuping hidung (-), sekret (-)
: sianosis (-), mukosa basah (+), papil lidah atrofi (-)
stomatitis (-)

21

Leher

:trakhea di tengah, simetris, massa/ pembesaran

Abdomen

limfonodi (-)
: distended (+), dinding perut lebih tinggi dari
dinding dada, bising usus (+) normal, timpani,
supel, hepar dan lien tidak teraba

Ekstremitas

:
akral dingin

oedem

+ +

- -

+ +

- -

III. PEMERIKSAAN PENUNJANG


Pemeriksaan laboratorium tanggal 4 Januari 2016
PEMERIKSAAN
Hb
Hct
AL
AT
AE
Golongan darah
PT
APTT
INR
GDS
SGOT
SGPT
Albumin
Kreatinin
Ureum
HBsAg
Na
K
Cl

HASIL
12.3
39
7.5
460
4.28
O
18.8
29.1
1.680
57
22
10
2.8
2.5
65
Non reactive
133
4.1
104

SATUAN
g/dl
%
Ribu/ul
Ribu/ul
Juta/ul

RUJUKAN
12.0 - 15.6
33 - 45
4.5 - 11.0
150 - 450
4.10 5.10

Detik
Detik

10.0 15.0
20.0 40.0

mg/dl
u/l
u/l
g/dl
mg/dl
mg/dl

60 140
< 31
< 34
3.5 5.2
0.6 1.1
< 50
Non reactive
136-145
3.3-5.1
98-106

Mmol/L
Mmol/L
Mmol/L

Vital Sign

T : 70/43 mmHg (MAP = 61)

N : 116x/mnt

RR: 30 x/mnt

S : 35,3 oC
Produksi urine < 0,5 cc/kgBB

22

IV. PENATALAKSANAAN SYOK SEPSIS


Penatalaksanaan syok septik dilakukan pada tanggal 4 Januari 2016 di
ruang resus IGD RS Dr Moewardi
A. Primary survey
Airway
: bebas, buka mulut > 3 jari, mallampati I
Breathing
:Thorax bentuk normochest, simetris, pengembangan
dada kanan=kiri, retraksi (-), otot bantu nafas (-),
sonor/sonor, suara dasar vesikuler +/+, suara
Circulation

tambahan -/-, frekuensi nafas 30x/menit.


: jantung ictus cordis tak tampak, tak kuat angkat
teraba di SIC V LMCS, bunyi jantung I-II intensitas
normal, reguler, bising (-), tekanan darah 70/43
mmHg (MAP = 61), nadi 116x/menit, CRT <2 detik,

Disability
Exposure

akral dingin (+).


: GCS E3V5M6, pupil isokor dengan diameter
3mm/3mm, reflek cahaya (+/+).
: suhu 35,3 0C

B. Secondary survey
Kulit
: turgor menurun (-), lembab (+), ikterik(-)
Mata
: konjungtiva pucat (-/-), sklera ikterik (-/-)
Telinga
: nyeri tekan mastoid (-), nyeri tekan tragus (-)
Hidung
: nafas cuping hidung (-), sekret (-)
Mulut
: sianosis (-), mukosa basah (+), papil lidah atrofi (-)
stomatitis (-)
Leher
: trakhea di tengah, massa/pembesaran limfonodi (-)
Abdomen
: distended (+), dinding perut lebih tinggi dari
dinding dada, bising usus (+) normal, timpani,
Ekstremitas

supel, hepar dan lien tidak teraba


: motorik dan sensori dalam batas normal
akral dingin
oedem
+ +
+ +
+
+
=

- - -

23

BAB IV
PEMBAHASAN
Pada pasien ini diberikan resusitasi cairan dengan target CVP 8-12
mmHg, MAP > 65 mmHg dan urine output > 0,5 cc/kg/jam. Setelah
pemberian cairan, tekanan darah dan urine output dapat mencapai target.
Mencari dan mengatasi penyebab infeksi seharusnya dilakukan dalam 6 jam
pertama resusitasi sepsis karena semakin lama mengatasi penyebab maka
angka mortalitas semakin meningkat.
Hal pertama yang dilakukan pada saat pasien datang adalah
pemasangan monitor. Kemudian dilakukan oksigenasi menggunakan Non
Rebreathing Mask (NRM) dengan aliran oksigen sebanyak 8 LPM. Pada
pasien resusitasi cairan dengan menggunakan cairan kristaloid (RL) sebanyak
30 cc/kgBB. Berat badan pasien 50 kg = 1500 cc (3 fl). Kemudian dilakukan
pemasangan DC. Setelah pemasangan DC, dilakukan pemasangan CVC
(Central Venous Catheter) pada vena subclavia dextra. CVC dipertahankan
dalam batas 8-12 mmHg. Setelah mendapat resusitasi cairan pasien
mengalami perbaikan tensi dari 70/43 mmHg menjadi 100/60 mmHg, nadi
100 x/menit, RR 30 x/menit dan suhu 35,3C. Pasien juga diberikan
vasopressor (norephinephrine).

24

BAB V
KESIMPULAN
Tubuh mengandung 60 % air yang disebut juga cairan tubuh. Cairan
tubuh didalamnya terkandung nutrisi-nutrisi yang amat penting peranannya
dalam metabolisme sel, sehingga amat penting dalam menunjang kehidupan.
Terapi

cairan

parenteral

digunakan

untuk

mempertahankan

atau

mengembalikan volume dan komposisi normal cairan tubuh. Dalam terapi


cairan harus diperhatikan kebutuhannya sesuai usia dan keadaan pasien, serta
cairan infus itu sendiri. Jenis cairan yang bisa diberikan untuk terapi cairan
adalah cairan kristaloid dan cairan koloid.
Pengenalan dini sepsis dan penanganan yang baik sesuai dengan
protokol dapat mengurangi angka mortalitas. Penatalaksanaan syok sepsis
yang optimal mencakup eliminasi patogen penyebab infeksi, mengontrol
sumber infeksi dengan tindakan drainase atau bedah bila diperlukan, terapi
antimikroba yang sesuai, resusitasi bila terjadi kegagalan organ atau renjatan.

DAFTAR PUSTAKA

25

Adelmen, R.D., Solhaug, M.J., 2000. Patofisiologi Cairan Tubuh dan Terapi
Cairan. In: Behrman, R.E., Kliegman, R.M., Arvin, Ann.M., Ilmu
Kesehatan Anak Nelson ed 15, jilid 2. Jakarta: EGC; 258-266
Agnus DC, Linde-Zwirble WT, Lidicker J, Clermont G, Carcillo J and Pinsky
MR. Epidemiology of severe sepsis in the United States: analysis of
incidence, outcome and associated cost of care. Crit Care Med, 2001;
29(7): 1303-10.
Chamberlain NR. Septic Shock Gene Identified. 22nd January. Available at
http://www.suite101.com/article.cfm/micribi

ology/14842.

diakses

pada 1 Desember 2016


Guntur HA. SIRS, SEPSIS dan SYOK SEPTIK (Imunologi, Diagnosis dan
Penatalaksanaan). Surakarta: Sebelas Maret University Press. 2008.
Hartanto, W.W., 2007. Terapi Cairan dan Elektrolit Perioperatif. Bagian
Farmakologi Klinik dan Terapeutik Fakultas Kedokteran Universitas
Padjadjaran
Latief AS, dkk. 2002. Petunjuk praktis anestesiologi: terapi cairan pada
pembedahan.Ed.Kedua. Bagian anestesiologi dan terapi intensif,
FKUI.
Martin GS, Mannino DM, Eaton S and Moss M. The epidemiology of sepsis
in the United States from 1979 through 2000. N Engl J Med. Diakses
pada 1 Desember 2016
Murdoch RS. 1999. Sepsis dan syok sepsis. Dalam: Asdie A.H, editor.
Harrison prinsip-prinsip ilmu penyakit dalam. Jakarta: EGC: 577
Saha Rumpa, Das S,dkk. 2010. The Pathophysiologi of Septic Shock. Dept of
Microbiology, University College nof Medical Science and Guru Teg
bahadur Hospital, Delhi. India: International Journal of Pharma and
Bio Science.V1(2).

26

Anda mungkin juga menyukai