Anda di halaman 1dari 20

MAKALAH PARASITOLOGI

Toxoplasma gondii

Disusun Oleh
Nadia Muslimah Annisa
NIM. I1A013028
Kelompok 9

Dosen Pembimbing : dr. Istiana, M.Kes

FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS LAMBUNG MANGKURAT
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN DOKTER
BANJARMASIN

September, 2014

KATA PENGANTAR

Alhamdulillah, puji syukur kami panjatkan ke hadirat Allah SWT, karena


atas berkat limpahan rahmat dan anugerah-Nya jualah, saya dapat menyelesaikan
makalah yang berjudul Toxoplasma gondii, tepat pada waktunya. Makalah ini
dibuat untuk memenuhi tugas mata kuliah parasitologi.
Pada kesempatan ini saya mengucapkan terima kasih kepada dr. Istiana,
M.Kes selaku dosen pembimbing dan semua pihak yang telah membantu. Semoga
bantuan dan kerjasama yang telah diberikan mendapat balasan yang setimpal dari
Allah SWT. Saya menyadari bahwa makalah ini jauh dari sempurna. Oleh sebab
itu, saya mengharapkan kritik dan saran yang membangun untuk perbaikan
selanjutnya. Akhirnya saya sebagai penulis berharap semoga karya ini dapat
diterima dan bermanfaat bagi kita semua. Amin.

Banjarmasin, 28 September 2014


Penulis

Nadia Muslimah Annisa

DAFTAR ISI

Halaman
HALAMAN JUDUL ............................................................. . i
KATA PENGANTAR .................................................................. ii
DAFTAR ISI ................................................................................. iii
BAB 1 PENDAHULUAN ........................................................... 1
A. Latar Belakang .......................................................... 1
B. Tujuan Penulisan ....................................................... 2
C. Rumusan Masalah ..................................................... 2
BAB 2 PEMBAHASAN .............................................................. 3
A. Taksonomi Toxoplasma gondii .................................. 3
B. Morfologi Toxoplasma gondii .................................... 4
C. Epidemiologi Toxoplasma gondii............................... 5
D. Siklus Hidup Toxoplasma gondii ............................... 7
E. Gejala Klinis ............................................................... 8
F. Pencegahan dan Pengobatan ....................................... 9
BAB 3 PENUTUP ....................................................................... 15
A. Kesimpulan ................................................................ 15
DAFTAR PUSTAKA .................................................................. 16

BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Toxoplasmosis merupakan penyakit zoonosis yaitu penyakit pada
hewan yang dapat ditularkan ke manusia. Penyakit ini disebabkan oleh
sporozoa yang dikenal dengan nama Toxoplasma gondii, yaitu suatu parasit
intraselluler yang banyak terinfeksi pada manusia dan hewan peliharaan.
Parasit ini diidentifikasi oleh Nicolle dan Manceaux, di Afrika Utara Rodent.
Host nya bisa terdapat pada manusia ataupun hewan berdarah panas. Penderita
toxoplasmosis sering tidak memperlihatkan suatu gejala klinis yang jelas
sehingga dalam menentukan diagnosis penyakit toxoplasmosis sering
terabaikan dalam praktek dokter sehari-hari. Infeksi ini bisa terjadi karena
congenital dan kehamilan. Apabila penyakit toxoplasmosis mengenai wanita
hamil trismester ketiga dapat mengakibatkan hidrochephalus, khorioretinitis,
tuli atau epilepsy. (Zineb Tlamani, et al, 2013. Abolghasem S. P, et al 2013)
Infeksi Toxoplasma tersebar luas dan sebagian besar berlangsung
asimtomatis, meskipun penyakit ini belum digolongkan sebagai penyakit
parasite yang diutamakan pemberantasannya oleh pemerintah, tetapi beberapa
penelitian telah dilakukan di beberapa tempat untuk mengetahui derajat
distribusi dan prevalensinya. Indonesia sebagai negara tropik merupakan
tempat yang sesuai untuk perkembangan parasit tersebut. Keadaan ini
ditunjang oleh beberapa factor seperti sanitasi lingkungan dan banyak sumber
penularan terutama kucing dan sebangsanya (Felidae) (Adyatma, 1980 ;
Levine, 1990).
Toksoplasmosis menyerang berbagai jenis hewan mamalia dan unggas,
dapat pula menular kepada manusia. Penyakit ini tersebar di berbagai penjuru
dunia. Di Indonesia, penyakit ini bersifat endemic pada hewan maupun
manusia, meskipun jumlah kasus relative kecil(3). Penyakit toxoplasmosis
biasanya ditularkan dari kucing atau anjing tetapi penyakit ini juga dapat
menyerang hewan lain seperti babi, sapi, domba, dan hewan peliharaan

lainnya. Walaupun sering terjadi pada hewan-hewan yang disebutkan di atas


penyakit toxoplasmosis ini paling sering dijumpai pada kucing dan anjing.
Manusia dapat terkena infeksi parasit ini dengan cara didapat(Aquired
Toxoplasmosis) maupun diperoleh semenjak dalam kandungan(Congonital
Toxoplasmosis). Diperkirakan sepertiga penduduk dunia mengalami penyakit
ini. Protozoa ini hidup dalam sel epitel usus muda hospes definitif, sedangkan
ookistanya dikeluarkan bersama tinjanya. Penularan parasit ini terjadi dengan
tertelannya ookista dan kista jaringan dalam daging mentah atau kurang
matang serta transplasental pada waktu janin dalam kandungan. Diagnosis
infeksi protozoa dilakukan dengan mendapatkan anti bodi IgM dan IgG anti T.
gondii dalam tes serologi (WHO,1979 ; Zaman dan Keong,1988).
Sebagai parasit T. gondii ditemukan dalam segala macam sel jaringan
tubuh kecuali sel darah merah. Tetepi pada umumya parasit ini ditemukan
dalam sel retikulo endothelia dan system syaraf pusat(Remington dan
Desmonts, 1983).Sehubungan dengan masalah di atas. Dalam makalah ini
penulis mencoba menguraikan dan menginformasikan mengenai Toxoplasma
gondii.
B. Tujuan Penulisan
Adapun tujuan dari penulisan makalah ini ialah :
1. Memenuhi tugas dari mata kuliah parasitologi
2. Mengetahui apa yang dimaksud dengan Toxoplasma gondii
C. Rumusan Masalah
Adapun rumusan masalah dari makalah ini adalah :
1. Bagaimana Taksonomi dari Toxoplasma gondii?
2. Bagaimana Morfologi dari Toxoplasma gondii?
3. Bagaimana Epidemiologi Toxoplasma gondii?
4. Bagaimana Siklus Hidup dari Toxoplasma gondii?
5. Apa Saja Gejala Klinis dari penyakit yang ditimbulkan oleh Toxoplasma
gondii?
6. Bagaimana Pencegahan dan Pengobatan dari penyakit yang ditimbulkan
oleh Toxoplasma gondi?

BAB II
PEMBAHASAN

A. Taksonomi Toxoplasma gondii

Klasifikasi
Kerajaan:

Protista

Filum:

Apicomplexa

Kelas:

Conoidasida

Upakelas:

Coccidiasina

Ordo:

Eucoccidiorida

Famili:

Sarcocystidae

Genus:

Toxoplasma

Spesies:

T. gondii

Toxoplasma gondii pada tahun 1908 pertama kali ditemukan pada


binatang mengerat, yaitu Ctenodactylus gundi, disuatu laboratorium di Tunisia
dan pada seekor kelinci di laboratorium Brazil (nicolle & Splendore). Pada
tahun 1937 parasit ini ditemukan pada neonates dengan ensefalitis. Walapun
transmisi intrauterine secara transprasental sudah diketahui, baru pada tahun
1970 daur hidup parasit ini menjadi jelas, ketika ditemukan daur seksualnya
pada kucing (Hutchison). Setelah dikembangkan tes seerologi yang sensitive

oleh Sabin dan Feldman (1948), zat anti T. Gondii ditemukan kosmopolit,
terutama didaerah dengan iklim panas dan lembab. ( Soejoto, 1996).
B. Morfologi Toxoplasma gondii
Toxoplasma gondii terdapat dalam tiga bentuk yaitu takizoit (bentuk
poriferatif), kista (berisi bradizoit) dan ookista (berisi sporozoit).
1. Bentuk Takizoit (Bentuk Poriferatif), Takizoit memiliki ciri-ciri:
a. menyerupai bulan sabit dengan ujung yang runcing dan ujung lain
agak membulat.
b. Ukuran panjang 4 - 8 mikron, lebar 2 - 4 mikron dan mempunyai
selaput sel, satu inti yang terletak di tengah bulan sabit dan beberapa
organel lain seperti mitokondria dan badan golgi.
c. Tidak mempunyai kinetoplas dan sentrosom serta tidak berpigmen.
Bentuk ini terdapat di dalam tubuh hospes perantara seperti burung
dan mamalia termasuk manusia dan kucing sebagal hospes definitif.
d. Takizoit ditemukan pada infeksi akut dalam berbagai jaringan tubuh.
e. Takizoit dapat memasuki tiap sel yang berinti.

2. Bentuk Kista (Berisi Bradizoid), Memiliki cirri-ciri :


a. Kista dibentuk di dalam sel hospes bila takizoit yang membelah telah
membentuk dinding.
b. Ukuran kista berbeda-beda, ada yang berukuran kecil hanya berisi
beberapa bradizoit dan ada yang berukuran 200 mikron berisi kirakira
3000 bradizoit.
c. Kista dalam tubuh hospes dapat ditemukan seumur hidup terutama di
otak, otot jantung, dan otot bergaris. Di otak bentuk kista lonjong
atau bulat, tetapi di dalam otot bentuk kista mengikuti bentuk sel otot.

3. Bentuk Ookista (Berisi Sporozoid), Memiliki ciri-ciri :


a. Ookista berbentuk lonjong, berukuran 12,5 mikron.
b. Ookista mempunyai dinding, berisi satu sporoblas yang membelah
menjadi dua sporoblas.

c. Pada perkembangan selanjutnya ke dua sporoblas membentuk


dinding dan menjadi sporokista.
d. Masing-masing sporokista tersebut berisi 4 sporozoit yang berukuran
8 x 2 mikron dan sebuah benda residu.

C. Epidemiologi Toxoplasma gondii


Prevalensi zat anti Toxoplasma gondii pada binatang di Indonesia
adalah sebagai berikut, 35-73% pada kucing, 11-36% pada babi, 11-61% pada
kambing, 75% pada anjing, dan kurang dari 10% pada ternak lain.
Keadaan toksoplasmosis di suatu daerah ditentukan oleh banyak factor,
sepertikebiasaan makan daging kurang matang, adanya kucing yang terutama
dipelihara sebagai hewan kesayangan, adanya tikus dan burung yang sebagai
hospes perantara, adanya lipas atau lalat yang sebagai vector untuk
memindahkan ookista dari tinja kucing. ( Natadisastra D & Agoes R, 2009).
Distribusi geografis dari Toxoplasma gondii ini kosmopolit dengan
infeksi terbanyak pada berbagai jenis hewan yaitu dapat menginfeksi lebih
dari duaratus spesies serta mamalia termasuk juga manusia. Pada penelitian
Hutchison pada tahun 1965 menyatakan bahwa bila kucing memakan tikus
yang terinfeksi oleh Toxoplasma gondii maka infeksi tersebut dapat ditularkan
kembali kepada tikus melalui feces kucing tersebut, bahkan dapat pula
ditransmisikan melalui air serta di dalam air parasit ini akan bertahan selama
setahun atau lebih. ( Natadisastra D & Agoes R, 2009)
Walaupun transmisi intrauterine secara transplacental sudah diketahui
tetapi baru pada tahun 1970 siklus hidup parasit ini menjadi lebih jelas yaitu
ketika

ditemukannya

siklus

seksualnya

pada

kucing.

Setelah

dikembangkannya test serologis yang sensitive oleh Sabin dan Feldman maka
diketahui bahwa zat anti Toxoplasma gondii

dapat ditemukan secara

cosmopolitan terutama di daerah dengan iklim panas dan lembab


(Gandahusada S dkk, 2004)

Berikut ini adalah frekuensi toxoplasmosis pada beberapa hewan yang


pernah diteliti di Hongkong, Taiwan, Jakarta, dan Kalimantan Selatan:
No
1

Tempat
Hongkong

Hewan

Frekuensi

Peneliti

- Babi

70,6 %

- Anjing

29.4 %

- Babi

30.5 %

- Kucing

27.7 %

- Babi

28,0 %

Koesharyono &

- Anjing

76.5 %

Gandahusada

- Kucing

77.7 %

Kalimantan

- Kambing

60,7 %

Selatan

- Kucing

40,3 %

Taiwan

Jakarta

Ludlam Chabra

Dufee

Dufee

Frekuensi Toxoplasmosis Pada Penduduk di Berbagai Daerah Indonesia:


No

Tempat

Frekuensi

Peneliti

tahun

Kalimantan barat

3%

Cross

1976

Sulawesi tenggara

8%

Clark

1973

Sulawesi utara

8%

Sumatera utara

9%

Cross

1975

Surabaya

9%

Yamamoto

1970

Jawa tengah

10 %

Cross

1975

Jawa barat

20 %

1973

Kalimantan selatan

31 %

Ujung pandang

60 %

Rasiyanto

1976

Dengan merebaknya kasus penyakit HIV-AIDS, saat ini toxoplasmosis


dihubungkan pula dengan kemampuan untuk memperparah penyakit HIVAIDS oleh karena sifat dari parasit ini yang opportunistic. Dikalangan
penderita HIV-AIDS ditengarai toxoplasmosis merupakan penyebab paling
sering dari kelainan Susunan Saraf Pusatnya. (Natadisastra D & Agoes R,
2009)

D. Siklus Hidup Toxoplasma gondii


T. Gondii adalah spesies dari Coccidia yang mirip dengan Isospora.
Dalam sel epitel usus halus kucing berlangsung daur aseksual (skizogoni) dan
daur seksual (gametogoni, sporogoni) yang menghasilkan ookista yang
dikeluarkan bersama tinja. Ookista bentuknya lonjong dengan ukuran 12,5
mikron menghasilkan 2 sporokista yang masing-masing mengandung 4
sporozoit. Bila ookista tertelan oleh manusia lain atau burung perantara
(hospes perantara), maka pada berbagai jaringan hospes perantara ini dibentuk
oelhkelompok trofozoit yang membelah secara aktif dan disebut takizoit
(bentuk yang membelah cepat. Kecepatan takozoit toxoplasma membelah
berkurang secara berangsur dan terbentuklah kista yang mngandung bradizoit
(bentuk yang membelah perlahan); masa ini adalah masa infeksi klinis
menahun yang biasanya merupakan infeksi laten. Pada hospes perantara tidak
dibentuk stadium seksual, tetapi dibentuk stadium istirahat, yaitu kista
jaringan ( Monotoyama, 2004).
Bila kucing sebagai hospes definitive makan hospes perantara yang
terinfeksi, maka terbentuk lagi berbagai stadium seksual didalah sel epitel usus
halusnya. Bila hospes perantara mengandung kista jaringan toxoplasma , maka
prapaten (samapi dikeluarkan ookista) adalah 3-5 hari. Bila ookistalangsung
tertelan kucing, maka masa prapaten adalah 20-24 hari. Kucing lebih mudah
terinfeksi kista jaringan daripada ookista.
Di berbagai jaringan tubuh kucing juga ditemukan tropofit dan kista
jaringan. Pada manusia takozoit ditemukan pada infeksi akut dan dapat
memasuki tiap sel yang berinti. Bentuk takozoit menyerupai bulan sabit
dengan satu ujung yang runcing dan ujung lain yang agak membulat.
Panjangnya 4-8 mikron yang mempunyai satu inti yang letaknya di tengah.
Takizoit pada manusia adalah parasit obligat intraseluler.
Takizoit berkembangbiak dalam sel secara endodiogeni. Bila sel penuh
dengan takizoit . maka sel menjadi pecah dan takizoit memasuki sel-sel
disekitarnya atau difagositosis oleh sel makrofag. Kista jaringan dibentuk di

dalam sel hospers bila takizoit yang memblah telah membentuk dinding.
Ukuran kista berbeda-beda; ada kista yang kecil mengandung beberapa
organism dan ada yang berukuran 200 mikron berisi 3000 organisme. Kista
jaringan dapat ditemukan didalam hospes seumur hidup terutama di otak
bergaris. Di otak kista berbentuk lonjong dan bulat, sedangkan di otot, kista
mengikuti bentuk sel otot (Monotoyama, 2004)
Cara infeksi :
1. Pada toxoplasmosis konginetal transmisi toxoplasma kepada janin terjadi in
utero melalui plasenta, bila ibunya mendapat infeksi primer waktu hamil.
2. Pada toxoplasmosis akuisita infeksi dapat terjadi, bila makan daging mntah
atau kurang matang (misalnya sate), kalau daging tersebut mengandung
kista jaringan atau takizoit Toxoplasma.
3. Pada orang yang tidak makan dagingpun dapat terjadi infeksi bila ookista
yang dikeluarkan dengan tinja kucing tertelan.
4. Infeksi juga dapat terjadi di laboratorium pada orang yang bekerja dengan
binatang percobaan yang diinfeksi Toxoplasma gondii, melalui jarum
suntik dan alat laboratorium lain yang terkontaminasi dengan Toxoplasma
gondii. ibu hamil tidak dianjurkan bekerja dengan Toxoplasma gondii yang
hidup. Infeksi dengan Toxoplasma gondii juga pernah terjadi waktu
mengerjakan autopsy.
5. Infeksi dapat terjadi dengan transplantasi organ dari donor yang mederita
toksoplasmosis laten.
6. Transfusi darah lengkap juga dapat menyebabkan infeksi.

E. Gejala Klinis dari Penyakit yang Disebabkan oleh Toxoplasma gondii


Setelah invasi yang biasanya terjadi diusus, maka parasit memasuki sel
berinti atau difagositosis. Sebagian parasit mati setelah difagositosis. Sebagian
yang lain berkembangbiak dalam sel, menyebabkan sel hospes pecah dan
menyerang sel-sel lain. Dengan adanya parasit didalam makrofag dan limfosit,
maka penyebaran secara heterogen dan limfogen keseluruh tubuh mudah
terjadi. Parasitemia berlangsung selama beberapa minggu. Toxoplasma gondii

dapat menyerang semua organ dan jaringan tubuh hospes, kecuali sel darah
merah tidak berinti. Kista jaringan dibentuk bila sudah ada kekebalan dan
dapat ditmukan diberbagai alat dan jaringan, mungkin untuk seumur hidup.
Kerusakan yang terjadi pada jaringan tubuh, tergantung pada :
1. umur, pada bayi kerusakan lebih berat daripada orang dewasa.
2. virulensi strain Toxoplasma
3. jumlah parasit, dan
4. organ yang diserang.
Lesi pada susunan saraf pusat dan mata biasanya lebih berat dan
permanen, oleh Karena jaringan ini tidak mempunyai kemampuan untuk
regenerasi. Kelainan pada susunan saraf pusat berupa nekrosis yang disertai
dengan klasifikasi. Pada toksoplasmosi kongnital, nekrosis pada pada otak
lebih sering di korteks, ganglia basal dan daerah periventrikular. Penyumbatan
akuaduktus

Sylvii

atau

foramen

Monro

oleh

karena

ependimitis

mengakibatkan hidrosefalus pada bayi ( Natadisastra D & Agoes R, 2009).


Pada infeksi akut di retina ditemukan reaksi peradangan focal dengan
edema dan infitrasi leukosit yang dapat menyebabkan kerusakan total dan
pada proses penyembuhan menjadi parut (sikatriks) dengan atrofi retina dan
koroid, disertai pigmentasi.
Di otot jantung dan otot bergaris ditemukan Toxoplasma gondii tanpa
menimbulkan peradangan. Di alat tubuh lainnya, seperti limpa dan hati, parasit
lebih jarang ditemukan.

Toksoplasmosis akuista
Infeksi pada orang dewasa biasanya tidak diketahui oleh karena jarang
menimbilkan gejala (asimtomatik). Bila seseorang ibu hamil mendapat infeksi
primer, maka ia dapat melahiran anak toksomoplasmosis congenital.
Manifestasi klinis yang paling sering dijumpai pada toksomoplasmosis akuista
akut adalah limfadenopati (servikal, suprakalvikular, axial, inguinal, dan
oksipital), rasa lelah, demam, nyeri otot, dan rasa sakit kepala. Gejalanya
mirip mononucleosis infeksiosa pada toksoplasmosis akuista. Toxoplasma
menyebabkan

infeksi

oportunistik

yang

disebabkan

imunosupresi

berhubungan dengan transplantasi organ dan pengobatan keganasan. Pada


tahun 1980-an ensefalitis toksoplasmik muncul sebagai penyakit parasitic
yang paling sering dijumpai pada penderita AIDS dan biasanya terjadi jika
CD4+<100>3. Kelainan susunan saraf pusat kerena toxoplasma mungkin
tampak sebagai manifestasi klinis pertama dan paling sering pada AIDS.
Mula-mula timbul sakit kepala, demam, letargi, perubahan mental dan
berlanjut mnjadi kelainan neurologic dan kejang. Dengan CT-scan dan MRI
tampak lesi tunggal atau multiple ring-enchancing lesion yang dikelilingi
edema otak dengan predileksi pada ganglia basal dan cortico-medullary
junction. Lesi dapat juga terjadi pada serebelum dan thalamus. Lesi pada
ganglia basal dapat mengganggu pergerakan seperti hemikorea, hemiballism,
Parkinson atau tremor. Pemeriksaan dengan menggunakan MRI lebih
sensitive daripada CT-scan. Lesi biasanyan tetap disusunan saraf pusat dan
tidak menyebar ke organ lain. Ini adalah reaktivasi infeksi laten, sehingga
tampak antibody IgG dari infeksi lampau. Manifestasi lainnya korioretinitis
dan yang agak jarang pneumonitis dan miokarditis. Toksoplasmosis paru pada
pasien imunodefisiensi dapat timbul sebagai pneumonitis interstitial,
necrotizing pneumonia, konsolidasi dan enfusi pleura (Monotoyama, 2004)

Toksoplasmosis kongenital.
Gambaran klinis toksomoplasmosis congenital dapat bermacammacam antara lain prematuritas, retardasi
postmaturitas,

retinokoroiditis,

strabismus

pertumbuhan intrauterine,
retinokoroiditis,

strabismus,

kebutaan, retadasi psikomotor, mikrosephalus dan hidrosephalus, kejang,


hipotnus, ikterus, anemia dan hepatosplenomegali. Berat infeksi tergantung
pada umur janin saat terjadi infeksi : makin muda usia janin, makin besar
kerusakan organ tubuh. Infeksi pada kehamilan muda dapat mengakibatkan
abortus spontan dan kematian janin. Sebaliknya, makin muda usia kehamilan
saat terjadi infeksi primer pada kehamilan saat terjadi infeksi primer pada
ibunya, makin kecil persentase janin yang terinfeksi. Ada yang tampaknya
normal pada waktu lahir dan gejala klinisnya baru timbul sampai beberapa
minggu bahkan sampai beberapa tahun. Ada gambaran eritroblastosis, hidrops

fetalis dan triad klasik yang terdiri atas hidrosephalus, retinokoroiditis dan
perkapuran (kalsifikasi) intrakarnial atau tetrad sabin jika disertai kelainan
psikomotorik (Monotoyama, 2004).
Kelainan susunan saraf pusat sering meninggalkan gejala sisa, misalnya
retardasi mental dan motorik. Kadang-kadang hanya ditemukan sitakriks pada
retina, namun dapat kambuh pada masa anak-anak, remaja atau dewasa.
Retinokoroiditis karena toksoplasmosi pada remaja dan dewasa biasanya
akibat infeksi kongenita, jarang sekali akibat infeksi akuisita.
Pada permpuan hamil yang terinfeksi parasit ini akan mengalami
keguguran jika berada pada tahap awal kehamilan, jika tidak maka akan
menyebabkan bayi yang dikandungnya lahir premature, bahkan sampai
keatian neonatal dan terjad triad klasik sabin yang ditandai dengan
retinochoroiditis, Kalsifikasi Serebral, dan hidrosefalus. Selain itu parasit ini
juga dapat menyebabkan perubahan perilaku selama kehamilan berupa
timbulnya rasa cemas, depresi dan manifiestasi klinis lain pada abses otak,
adapula yang mengaitkan kasus ini dengan virus AIDS yaitu HIV (Katia
Denise S. B, et al, 2013).
Selain itu gangguan yang dialami ibu hamil saat terinfeksi parasit
Toxoplasma gondii ialah menunjukan gangguan prilaku seperti skizofrenia,
gangguan mood, perubahan kepribadian dan gangguan kognitif. Selanjutnya
jika infeksi bertambah parah maka akan menyebabkan adanya aborsi,
kebutaan pada bayi, keterbelakangan mental pada bayi, microcephalus,
hydrocephalus dan penyakit neurologis (Abolghasem S. P, et al, 2013).
Pada anak yang lahir premature gejala klinis lebih berat daripada yang
lahir cukup bulan, dapat diserta hepatosplenomegali, ikterus, limfadenopati,
kelainan susunan saraf pusat dan lesi mata.

Gambar Salah Satu Gejala Klinis pada bayi yaitu Hidrosepalus


F. Pencegahan dan Pengobatan dari penyakit yang ditimbulkan oleh
Toxoplasma gondii
Pencegahan
1. Menghindari mengkonsumsi daging yang kurang matang (memasak daging
dengan cara yang benar dan harus sampai matang sebelum dikonsumsi),
2. Mencuci tangan setelah memegang daging mentah (biasanya untuk para
penjual daging),
3. Selalu menjaga kesehatan hewan peliharaan(memandikan dan membawa ke
dokter hewan secara rutin),
4. Membasmi vector, misalnya tikus dan lalat,
5. Menutup rapat makanan sehingga tidak dijamah lalat atau lipas,
6. Member makan hewan peliharaan (terutama kucing) diberi makanan yang
matang, dan dicegah agar tidak berburu tikus atau burung.
7. Pada orang yang bekerja di laboratorium, lebih berhati-hati, gunakan APD
dengan benar.
8. Berhati-hati dalam melakukan tranfusi darah serta transplantasi organ.

Pengobatan
Obat yang dipakai untuk saat ini hanya membunuh stadium tekizoit
Toxoplasma gondii dan tidak membasmi stadium kista, sehingga obat dapat
memberantas infeksi akut, tetapi tidak dapat menghilangkan infeksi menahun,
yang dapat aktif kembali.
Pirimetamin dan sulfonamide bekerja secara sinergistik, maka dipakai
sebagai kombinasi selama tiga minggu atau sebulan. Pirimetamin menekan
homopoeiesis dan dapat menyebabkan trobosipenia dan leucopenia. Untuk
mencegah efek samping, dapat ditambahkan asam folinat atau ragi.
Perimetamin bersifat teratogenik, maka obat ini tidak dianjurkan untuk ibu
hamil.
Perimetamin diberikan dengan dosis 50 mg sampai 75 mg sehari untuk
dewasa selama 3 hari kemudian dikurangi menjadi 25 mg sehari (0,5-1mg/kg
berat badan /hari) selama beberapa minggu pada penyakit berat. Karena waktu
paruh adalah 4-5 hari, perimetamin dapat diberikan 2 hari sekali atau 3-4 hari
sekali. Asam folinat (leucovorin) diberikan 2-4 mg sehari atau dapat diberikan
ragi roti 5-10 g sehari, 2 kali seminggu.
Sulfonamide dapat menyebabkan trombositopenia dan hematuria,
diberikan dengan dosis 50-100 mg/kg berat badan /hari selama beberapa
minggu atau bulan.
Spiramisin adalah antibiotic macrolide, yang tidak menembus plasenta,
tetapi ditemukan dengan konsentrasi tinggi di plasenta. Spiramisin diberikan
dengan dosis 100 mg/kg berat badan/hari selama 30-45 hari. Obat ini dapat
diberikan pada ibu hamil yang mendapat infeksi primer, sebagai obat
profilaktik untuk mencegah transmisi Toxoplasma gondii ke janin dan
kandungannya. Obat ini diberikan sampai aterm atau sampai janin terbukti
terinfeksi toxoplasma. Bila janin terbukti terinfeksi Toxoplasma gondii maka
pengobatan yang diberikan adalah pirimetamin, sulfonamide dan asam folinat
dan diberikan setelah kehamilan 12 minggu atau 18 minggu.
Klindamisin efektif untuk pengobatan toksoplasmosis, tetapi dapat
enyebabkan colitis pseudomembranosa atau colitis ulserativa, maka tidak
dianjurkan untuk pengobatan rutin pada bayi dan ibu hamil. Kortikosteroid

digunakan untuk mengurangi peradangan pada mata, tetapi tidak dapat


diberikan sebagai obat tunggal.
Obat macrolide lain yang efektif terhadap Toxoplasma gondii adalah
klaritromisin dan azitromisin yang diberikan bersama pirimetamin pada
penderita AIDS

dengan ensefalitis

toksoplasmik. Obat

baru adalah

hidroksinaftokuinon (atovaquone) yang bila dikombinasi dengan sulfadiazine


atau obat lain yang aktif terhadap Toxoplasma gondii, dapat membunuh kista
jaringan pada mencit.
Toksoplasmosis akuista yang asimtomatik tidak perlu diberikan
pengobatan . seorang ibu hamil dengan infeksi primer harus diberikan
pengobatan profilaktik. Pada bayi dengan toksoplasmosis konginetal diberikan
perimetamin dan loading dose 2 mg/kg berat badan perhari selama 2 hari
kemudian 1 mg/kg perhari selama 2-6 bulan, kemudian diberikan 3 kali
seminggu. Toksoplasmosis kenginetal harus diberikan pengobatan selama
sedikitnya 1 tahun.
Penderita imunokompromais (AIDS keganasan) yang terjangkit
toksoplasmosis akut harus diberi pengobatan sebgai berikut. :
Terapi Awal : diberikan selama 6 minggu
1. Pirimetamin 200 mg loading dose dilanjutkan 50-75 mg setiap 6 jam
diberikan bersama sulfadiazine 1000 (<60kg)-1500>
2. Alternatif :
-

Pirimetamin+ asam folinat+klindamisisn 600 mg IV atau peroral tiap 6


jam.

Trimotoprim + sulfametoksazol (trimetropim 5 mg/kgBB dan


sulfametoksazol 25 mg/kgBB) iv atau peroral tiap 12 jam.

Pirimetamin + asam folinat + salah satu obat ini :


Dapson 100 mg peroral setiap 6 jam
Klaritromisin 500 mg peroral tiap 12 jam.
Azitromisin 900-1200 mg peroral tiap 6 jam
Atovaquon 1500 mg peroral tiap 12 jam diberikan bersama makan
atau suplemen nutrisi

Atovaquon + sulfadiazine

Atovaquon saja bila intoleransiterhadap pirimetamin dan sulfadiazine.


Pemberian steroid jika ada edema

Terapi Pemeliharaan : (supresif, profilaksis sekunder) : diberikan seumur hidup,


jika rekonstitusi imun tidak terjadi.
1. Pirimetamin 25-50 mg peroral tiap 6 jam +asam folinat 10-25 mg/oral tiap 6
jam +sulfadiazine 500-1000 mg/oral tiap 6 jam
2. Aternatif :
-

Klindamisin 300-450 mg tiap 6-8 jam + pirimetamin + asam folinat/oral

Atovaquone 750 mg tiap 6-12 jam 25 mg tiap 6 jam + asam folinat 10 mg


tiap 6 jam (peroral)

3. Terapi supresif dapat dipertimbangkan untuk dihentikan jika : terapi diberikan


sedikitnya selama 6 minggu :
-

Pasien tidak mempunyai gejala dan tanda klinis ensefalitis toksoplasmik

CD4 + dipertahankan > 200 sel/mm3 selama 6 bulan pada terapi anti
retroviral

Profilaksis sekunder dimulai kembali jika CD4+ menurun sampai <200>3

Profilaksis Primer
1. Profilaksis primer terhadap ensefalis toksoplasmik diberikan pada pasien yang
seropositif terhadap Toxoplasma dan mempunyai CD4+ <100>3
-

TMP-SMX 1 tablet forte peroral tiap 6 jam

Dapson 50 mg tiap 6 jam + pirimetamin 50 mg 4 kali seminggu (peroral)

Dapson 200 mg + pirimetamin 75 mg + asam folinat 4 kali seminggu (peroral)

Atovaquon 1500 mg tiap 6 jam pirietamin 25 mg tiap 6 jam + asam folinat


10 mg tiap 6 jam (peroral)

2. Profilaksis primer dihentikan jika pasien respons terhadap terapi antiretroviral


dengan peningkatan hitung CD4= > 200 sel/mm3 selama sedikitnya 3 bulan.
Profilaksis diberikan kembali jika CD4+ menurun sampai <100-200>

BAB III
PENUTUP

Simpulan
Dari pembahasan diatas dapat disimpulkan Toxoplasma gondii adalah
suatu spesies dari Coccidia yang mirip dengan Isospora. Dalam sel epitel usus
kecil kucing berlangsung daur aseksual dan daur seksual yang menghasilkan
ookista yang dikeluarkan bersama tinja.
Dalam lingkar hidupnya Toksoplasma gondii mempunyai dua fase
yaitu:
1. Fase Aseksual (skizogoni)
2. Fase Seksual (gametogoni dan sporogoni)

DAFTAR PUSTAKA

Parasitologi Kedokteran edisi ketiga. 1998. Jakarta. UI

Soejoto dan Drs. Soebari, PARASITOLOGI MEDIK JILID 1 PROTOZOOLOGI


dan HELMINTOLOGI. 1996. Jakarta. UI

Monotoyama JG, Lienselfeld O. Toxoplasmosis Lancet 2004;363: 1965-76

Natadisastra D dan Agoes R. 2009. Parasitologi Kedokteran Ditinjau dari Organ


Tubuh yang Diserang. Edisi I. EGC. Jakarta . hal 120-121.

Zineb Tlamcani, et al. Toxoplasmosis: The Value of Molecular Methods in


Diagnosis compared to conventional methods. Parasitology and Medical
Mycology Laboratory Morocco. 2013: Vol 3 (2) : 93-99.

Katia Denise S.B, et al. Relevant aspects of Human toxoplasmosis. UNESP. 2013:
Vol 10 : 2052-5958.

Abolghasem S. P, et al. Seroprevalence of Toxoplasma gondii infection among


pregnant women inn Amol Northern Irann. Faculty of Paramedical of Amol.
2013: Vol 10(2s).

Anda mungkin juga menyukai