Anda di halaman 1dari 16

INOKULASI VIRUS PADA TELUR AYAM BEREMBRIO

Oleh :
Nama : Dian Kusumawardani
NIM : B1J013053
Kelompok :3
Rombongan : IV
Asisten : Chairunisa Fadhilah

LAPORAN PRAKTIKUM VIROLOGI

KEMENTERIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN


UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN
FAKULTAS BIOLOGI
PURWOKERTO
2015
I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Penyakit tetelo ditemukan pertamakali oeh Kraneveld di Indonesia pada


tahun 1926, karena karena menyerupai pes ayam maka disebutnya Pseudovogelpest.
Doyle pada tahun 1927 memberi nama penyakit tersebut dengan nama Newcastle
Disease hal ini dinamakan demikian sebab juga pernah terjangkit penyakit serupa.
Penyakit tetelo ini sering ditakuti oleh para peternak ayam karena penyakit ini bisa
menular dalam jangka waktu yang singkat, biasanya dalam kurun waktu 3 sampai 4
hari penyakit ini akan menular ke seluruh ternak, penularan ini bisa terjadi melalui
udara, peralatan, serta burung liar yang ada disekitar. Kerugian yang ditimbulkan
penyakit tetelo adalah berupa kematian yang tinggi, penurunan produksi telur serta
daya tetasnya dan menghambat pertumbuhan (Akoso, 2010).
Penyakit tetelo menyerang unggas dan burung. Ayam ras, ayam kampung
baik piaraan maupun yang liar sangat rentan, usia yang muda lebih rentan daripada
yang dewasa dan mengakibatkan mortalitas (kematian) tinggi, sedangkan jenis
kelamin tidak mempengaruhi kerentanan ini. ND merupakan penyakit yang dapat
menimbulkan angka kematian yang sangat tinggi (mencapai 100%) dan waktu
penyebarannya yang sangat cepat. Hampir semua jenis unggas, baik unggas darat
maupun unggas air rentan terhadap virus ND, termasuk ayam, kalkun, itik, angsa,
merpati, unggas liar, maupun jenis unggas lainnya. Menurut para ahli, penyakit ini
dapat menular pada manusia dengan gejala klinis conjunctivitis (radang konjunctiva
mata) walaupun kasusnya sangat jarang dijumpai. Sedangkan pada unggas dan
burung liar lainnya dengan gejala klinis berupa gejala syaraf, gejala pernafasan dan
gejala pencernaan serta gejala pada system reproduksi (Akoso, 2010).
Penyebaran penyakit ini biasanya melalui kontak langsung dengan ayam yang
sakit dan kotorannya, melalui ransum, air minum, kandang, tempat ransum/minum,
peralatan lainnya yang tercemar oleh kuman penyakit, melalui pengunjung, serangga,
burung liar dan angina atau udara (dapat mencapai radius 5 km). Virus ND
ditemukan dalam jumlah tinggi selama masa inkubasi sampai masa kesembuhan.
Virus ini terdapat pada udara yang keluar dari pernafasan ayam, kotoran, telur-telur
yang diproduksi selama gejala klinis dan dalam karkas selama infeksi akut sampai
kematian (Cavanagh and Gelb, 2010).
B. Tujuan

Tujuan dari acara praktikum Inokulasi Virus Pada Telur Ayam Berembrio
yaitu untuk memberikan pemahaman tentang macam-macam inokulasi virus,
mengetahui bagaimana cara menginokulasikan virus pada telur ayam berembrio, dan
mengetahui ciri-ciri embrio ayam yang terinfeksi virus New Castle Disease (ND).
II. MATERI DAN METODE

A. Materi

Alat-alat yang digunakan pada acara praktikum kali ini yaitu: spuit injeksi 1
cc, jarum, senter atau alat peneropong, cawan petri, sarung tangan latex, pensil dan
masker.
Bahan yang digunakan pada acara praktikum kali ini yaitu: telur ayam
berembrio usia 9-12 hari, tissue, alkohol 70%, lilin, dan susupensi virus New Castle
Disease (ND) sejumlah 0,1 cc, 0,2 cc, dan 0,3 cc. Commented [i1]: saat praktikum volume yang digunakan berapa
aja?

B. Metode

Metode yang dilakukan pada acara praktikum kali ini yaitu sebagai berikut:
1. Embrio ayam usia 9-12 hari diteropong.
2. Setelah diteropong, lalu ditentukan batas kantung udara dan letak embrio dan
ditandai menggunakan pensil.
3. Permukaan telur yang telah ditandai tersebut diolesi dengan alkohol 70%, lalu
dilubangi dengan jarum.
4. Setelah telur dilubangi lalu diinjeksikan suspensi virus New Castle Disease
(ND) sebanyak 0,2 cc dengan arah sudut penginjeksian sebesar 45⁰.
5. Kemudian ditutupi lubang tersebut menggunakan lilin.
6. Diinkubasikan selama 4 hari dengan suhu 38-39⁰C.
7. Setelah diinkubasi, kedua telur ayam dipecahkan masing-masing pada cawan
petri.
8. Telur berembrio non-injeksi dan telur berembrio yang telah diinjeksikan
suspensi virus New Castle Disease (ND) diamati dan dibandingkan.
III. HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Hasil

Tabel 3.1. Pengamatan Perubahan pada Embrio yang Diinjeksi Virus ND.
Volume Perubahan Warna Lesi pada Lesi pada Kaki dan
NO
Virus (cc) Hijau pada Kaki Embrio Bulu
1 0,1 cc - - -
2 0,1 cc - +++ -
3 0,2 cc - - -
4 0.2 cc - ++ -
5 0,3 cc - +++ -
6 0,3 cc - +++ -
Keterangan
- : Tidak ada gejala
+ : Ada gejala
++ : Sedang
+++ : Banyak gejala

Gambar 3.1 Kontrol 0,1 cc Gambar 3.2 Kontrol 0,2 cc


Gambar 3.3 Kontrol 0,3 cc Gambar 3.4 Kontrol tanpa perlakuan

Gambar 3.5 Telur Non-Injeksi Gambar 3.6 Telur Injeksi 0,2 cc


B. Pembahasan

Newcastle Disease (ND) adalah penyakit yang sangat menular, dengan angka
kematian yang tinggi, disebabkan oleh virus genus Paramyxovirus dengan family Commented [i2]: capital

Paramyxoviridae. Nama lain untuk ND adalah tetelo, pseudovogolpest, sampar Commented [i3]: capital

ayam, Rhaniket, Pneumoencephalitis dan Tontaor furrens. Newcastle Disease


dipandang sebagai salah satu penyakit penting di bidang perunggasan. Kejadian
wabah penyakit ND seringkali terjadi pada kelompok ayam yang tidak memiliki
kekebalan atau pada kelompok yang memiliki kekebalan rendah akibat terlambat
divaksinasi atau karena kegagalan program vaksinasi. Penyakit ND menyebabkan
gangguan yang sangat berat pada sistem pernafasan, syaraf dan pencernaan pada
ayam. Kerugian yang ditimbulkan oleh penyakit ND antara lain berupa kematian
ayam, penurunan produksi telur pada ayam petelur, gangguan pertumbuhan dan
penurunan berat badan pada ayam pedaging (Tabbu, 2012).
Penyakit ND disebabkan oleh Avian Paramyxovirus type-1 (APMV-1). Virus
penyebab penyakit tetelo termasuk dalam ordo Mononegavirales yang mempunyai
tiga famili virus, yaitu: Bornaviridae, Filoviridae, dan Paramyxoviridae. Famili
Paramyxoviridae memiliki dua subfamili yaitu Paramyxovirinae dan Pneumovirinae.
Genom virus tetelo merupakan single-stranded RNA (ssRNA) dan berpolarisasi Commented [i4]: italic

negatif yang terdiri dari 15.186 nukleotida. Virus tetelo termasuk dalam genus
Avulavirus memiliki viral envelope dengan diameter 100-500 nm dan berbentuk
pleomorfik. Genom virus terdiri dari 6 gen yang menyandi protein nucleocapsid
(NP), Phosphoprotein (P), protein Matriks (M) dan protein Fusion (F), protein
Haemagglutinin-Neuraminidase (H/N) yang berfungsi untuk attachment dan protein
polymerase besar (Large) atau L. Genom virus ini juga terdapat dua protein
tambahan yaitu protein V dan W yang berasal dari gen P yang mengalami proses
editing RNA. Terdapat sembilan serotype dari avian Paramyxovirus yaitu APMV-1
sampai APMV-9 (Fournier et al., 2012).
Sifat-sifat virus ND penting untuk diketahui guna menentukan model atau
cara-cara pencegahan dan penanganan vaksin. Sifat virus ND antara lain
menggumpalkan butir darah merah, di bawah sinar ultra violet akan mati dalam dua
detik, mudah mati dalam keadaan sekitar yang tidak stabil dan rentan terhadap zat-
zat kimia, seperti : kaporit, besi, klor dan lain-lain. Desinfektan yang peka untuk ND,
antara lain NaOH 2%, Formalin (1 – 2%), Phenol-lisol 3%, alkohol 95 dan 70%,
fumigasi dengan Kalium permanganat (PK) 1 : 5000. Aktivitas ND akan hilang pada
suhu 100⁰C selama satu menit, pada suhu 56⁰C akan mati selama lima menit sampai
lima jam, pada suhu 37⁰C selama berbulan-bulan. Virus ND stabil pada pH 3 sampai
dengan 11. Masa inkubasi penyakit ND adalah 2 – 15 hari, dengan rata-rata 6 hari.
Ayam yang tertular virus ND akan mulai mengeluarkan virus melalui alat pernapasan
antara 1 sampai dengan 2 hari setelah infeksi. Infeksi oleh virus ND di alam yang
tidak menyebabkan kematian akan menimbulkan kekebalan selama 6 – 12 bulan,
demikian juga halnya kekebalan yang diperoleh dari vaksinasi (Kencana et al., Commented [i5]: et al atau tidak?

2013).
Berdasarkan atas virulensinya, virus ND (VND) dikelompokkan menjadi tiga
patotype yaitu: lentogenik adalah strain virus yang kurang virulen, mesogenik
merupakan strain virus dengan virulensi sedang, dan velogenik adalah strain virus
ganas. Strain velogenik dibedakan lagi menjadi bentuk neurotrofik dengan gejala
gangguan saraf dan kelainan pada sistem pernafasan, dan bentuk viserotrofik yang
ditandai dengan kelainan pada sistem pencernaan. Kerugian akibat penyakit ND
disebabkan karena angka kesakitan (morbiditas) maupun angka kematian (mortalitas)
pada ternak unggas yang sangat tinggi. Mortalitas maupun morbiditas dapat
mencapai 50-100% akibat infeksi VND strain velogenik terutama pada kelompok
ayam yang peka, 50% pada strain mesogenik, dan 30% pada infeksi virus strain
velogenik (Kencana et al., 2012).
Masa inkubasi dan gejala klinis penyakit ND pada ayam bervariasi,
tergantung pada strain virus dan status kebal ayam saat terinfeksi. Kondisi infeksi
virus strain lentogenik, penyakit bersifat subklinis, atau ditandai dengan gangguan
respirasi yang bersifat ringan seperti bersin dan keluar leleran dari hidung. Infeksi
virus strain mesogenik bersifat akut ditandai dengan gangguan respirasi dan kelainan
saraf. Gejala klinis pada ayam ditandai dengan penurunan nafsu makan, jengger dan
pial sianosis, pembengkakan di daerah kepala, bersin, batuk, ngorok, dan diare putih
kehijauan. Infeksi virus strain velogenik bersifat fatal, seringkali diikuti dengan
angka kematian yang tinggi. Gejala tersebut sangat bervariasi, diawali dengan
konjungtivitis, diare serta dikuti dengan gejala saraf seperti tremor, tortikolis, atau
kelumpuhan pada leher dan sayap (Kencana et al., 2012).
Berdasarkan gejala klinis yang ditimbulkan pada ayam, ND dapat
dikelompokkan menjadi 5 patotipe yaitu viscerotropic velogenic, neurotropic
velogenic, mesogenic, lentogenic dan asymptomatic enteric. Viscerotropic velogenic
merupakan suatu bentuk ND yang sangat patogen dimana lesi pendarahan pada
sistem pencernaan sering terlihat pada bentuk ini. Neurotropic velogenic adalah
bentuk ND yang menyebabkan mortalitas yang tinggi dan biasanya diikuti dengan
gangguan sistem respirasi dan syaraf. Newcatle disease bentuk mesogenic
menunjukkan gejala klinis gangguan sistem pernafasan tetapi gangguan sistem syaraf
tidak selalu terlihat dan mortalitas yang rendah, sedangkan asymptomatic enteric
merupakan suatu bentuk infeksi subklinik pada sistem pencernaan. Virus ND strain
avirulent (lentogenik dan mesogenik) digunakan sebagai vaksin hidup untuk
meningkatkan pengendalian penyakit ND pada ayam tetapi pemilihan jenis vaksin
tergantung pada kondisi penyakitnya. Vaksin inaktif juga digunakan dalam
pengendalian penyakit ND. Patogenitas yang ditimbulkan virus ND dapat ditentukan
oleh beberapa faktor diantaranya virulensi virus ND dan inang (Herwajuli dan Commented [i6]: dan

Dharmayati, 2011).
Penularan VND dapat terjadi secara langsung antar ayam dalam satu
kelompok ternak tertular. Sumber virus biasanya berasal dari ekskreta ayam
terinfeksi baik melalui pakan, air minum, lendir, feses, maupun udara yang tercemar
virus, peralatan, dan pekerja kandang. Patogenisitas VND dipengaruhi oleh galur
virus, rute infeksi, umur ayam, lingkungan, dan status kebal ayam saat terinfeksi
virus. Selama sakit, ayam mengeluarkan virus dalam jumlah besar melalui feses
(Tabbu, 2012). Commented [i7]: tabbu atau tabu?

Protein Haemagglutinin-Neuraminidase (HN) berperan dalam tahap


penempelan virus ND pada reseptor sel inang atau induk semang yang mengandung
sialic acid. Molekul sialic acid ini adalah glycoprotein dan glycolipid. Penempelan
virus dilakukan dengan penyatuan virus dan membran sel yang diperantarai oleh
protein Fusion (F). Virus RNA kemudian dilepaskan dalam sitoplasma dan terjadi
replikasi. Envelope virus masuk ke dalam sel melalui 2 jalan utama yaitu pertama,
penyatuan secara langsung antara envelope virus dengan membran plasma dan
kedua, diperantarai oleh reseptor endositosis. Penetrasi virus melalui reseptor
endositosis tergantung pada kondisi pHnya. Paramyxoviruses, proses penyatuan
membran virus dengan membran plasma inang atau induk semang tidak tergantung
pH. Walaupun demikian, hasil penelitian sebelumnya menunjukkan bahwa
penyatuan virus ND dengan sel mampu meningkatkan pH. Hasil tersebut
mengindikasikan bahwa penetrasi virus ND pada sel inang melalui reseptor
endositosis juga dipengaruhi oleh kondisi pH (Herwajuli dan Dharmayati, 2011).
Kepekaan sel terhadap virus ND yang tidak virulen dipengaruhi oleh
beberapa faktor. Sel tersebut harus mempunyai reseptor yang cocok sehingga virus
dapat melakukan penempelan dan masuk ke dalam sel. Disamping itu, sel tersebut
juga harus memiliki tripsin yang menyerupai protease dimana enzim ini berperan
dalam pemecahan protein F0 menjadi F1 dan F2. Penyebaran reseptor sel pada ayam
yang peka terhadap virus ND bentuk tidak virulen bersifat terbatas dan hanya
ditemukan pada saluran pencernaan dan saluran pernafasan bagian atas. Sedangkan
virus bentuk virulen tidak selalu memerlukan enzim protease dan replikasi virus
biasanya terjadi di sebagian besar jaringan induk semang. Replikasi virus yang
terjadi di limfosit menghasilkan suatu respon imun dan produksi antigen virus yang
cukup dibutuhkan untuk meningkatkan efektivitas sistem imun. Dalam saluran
pencernaan terdapat faktor-faktor nonspesifik yang mempengaruhi replikasi virus
ND. Enzim protease dan pH yang bervariasi mempunyai pengaruh dalam proses
penempelan virus pada reseptor sel. Dimana keberadaan tripsin pada beberapa bagian
saluran pencernaan dapat mengaktifkan virus ND bentuk tidak virulen setelah virus
tersebut dilepaskan dari sel yang kekurangan enzim protease (Herwajuli dan
Dharmayati, 2011).
Penelitian untuk menentukan tempat awal replikasi virus ND setelah diinfeksi
virus V4 secara oral menunjukkan hasil bahwa virus dapat diisolasi dari esophagus,
tembolok dan trakea setelah 24 jam pasca inokulasi virus V4 melalui mulut pada
ayam umur 3 minggu. Tetapi jumlah virus yang ditemukan pada organ tersebut lebih
sedikit jika dibandingkan dengan organ proventrikulus. Virus V4 juga tidak dapat
diisolasi dari organ pencernaan lain dan darah. Meskipun demikian, virus dapat
dideteksi pada jejunum, ileum dan caecum pada 6 hari setelah diinfeksi virus V4
melalui tembolok, virus juga dapat ditemukan dalam darah pada 4 hari pasca infeksi.
Antigen virus ND dideteksi pada sebagian besar sel epitel saluran pencernaan serta
limfosit dan makrofag ditemukan pada lamina propia beberapa jaringan. Hasil
penelitian tersebut memperlihatkan bahwa tempat awal replikasi virus ND terutama
terjadi di saluran pencernaan bagian atas yaitu esophagus, tembolok dan
proventrikulus apabila virus ND diinfeksikan melalui mulut, sedangkan replikasi
virus ND pada saluran pencernaan bagian bawah yaitu duodenum, jejunum, ileum
dan caecum kemungkinan terjadi sebagai akibat viremia (Herwajuli & Dharmayati,
2011).
Virus tetelo mempunyai dua protein utama yang terdapat pada envelope,
yaitu protein yang berfungsi untuk attachment virus, yang terdiri dari protein fusi
hemaglutinin/neuramidase dan protein fusion (F). Hemaglutinin merupakan protein
untuk menempel dan mengikat reseptor pada bagian luar membran sel inang,
termasuk juga pada membran luar sel darah merah. Neuramidase merupakan protein
aktif yang merupakan enzim untuk pelepasan virus tetelo dari membran luar sel
inang setelah selesai menginfeksi. Protein F pada virus tetelo berfungsi untuk proses
penyatuan envelope virus dengan membran sel hospes sebagai target infeksi dan
replikasi virus (Haryanto et al., 2013).
Telur ayam berembrio merupakan sistem yang telah digunakan secara luas
untuk isolasi. Embrio dan membran pendukungnya menyediakan keragaman tipe sel
yang dibutuhkan untuk kultur berbagai tipe virus yang berbeda. Membran kulit telur
yang fibrinous terdapat di bawah kerabang. Membran membatasi seluruh permukaan
dalam telur dan membentuk rongga udara pada sisi tumpul telur. Membran kulit telur
bersama dengan cangkang telur membantu mempertahankan intregitas mikrobiologi
dari telur, sementara terjadinya difusi gas kedalam dan keluar telur. Distribusi gas di
dalam telur dibantu dengan pembentukan CAM yang sangat vaskuler yang berfungsi
sebagai organ respirasi embrio (Purchase, 1989 dalam Cattoli et al., 2011).

Pembentukan membran ini terjadi berdekatan dengan membran telur


sepanjang telur. Selama pembentukan, membran membentuk ruangan yang relatif
besar disebut kantong allantois yang mengandung 5-10 ml cairan alantois. Embrio
secara langsung dikelilingi oleh membran amnion yang membentuk kantong amnion
yang berisi 1-2 ml cairan amnion. Embrio melekat pada kantong kuning telur yang
berlokasi kira-kira ditengah telur dan menyuplai kebutuhan nutrisi untuk
perkembangan embrio. Telur sebaiknya berasal dari kelompok yang bebas dari
patogen spesifik (spesific pathogen free flock) atau jika tidak mungkin dapat
menggunakan telur dari kelompok bebas antibodi ND Virus. Penggunaan telur dari
kelompok antibodi positif akan mengurangi kemampuan virus untuk tumbuh dan
berhasilnya isolasi virus (Purchase, 1989 dalam Cattoli et al., 2011).
Inokulasi dilakukan pada ruang korio-alantois, dan hasil yang didapatkan jika
positif atau terdapat adanya virus ND adalah embrio pada telur ayam akan
menunjukkan gejala adanya hemoragi pada daerah kepala dan leher serta terlihat
kerdil atau kecil embrionya, dibanding dengan normalnya. Digunakan TAB umur 9–
11 hari karena, pada saat itu ruang dan cairan korio-alantoisnya sedang berkembang
sehingga daerahnya menjadi luas, maka inokulasi pada ruang alantois ini akan lebih
mudah dan mengurangi resiko. Injeksi dilakukan ke dalam cairan korio-alantois
untuk membuat daerah aman sehingga lingkungan internal embrio tidak terganggu
dan agar virus mudah menyebar dan melekat pada sel yang mempunyai reseptor
yang cocok dengan virus sebab pada ruang korio-alantois terdapat banyak pembuluh
darah, yang nantinya dapat membawa virus memasuki inangnya dan melakukan
infeksi lebih cepat (Putra et al., 2012).
Macam-macam cara menginokulasikan virus ke embrio ayam yaitu
(Sardjono, 2011). :
1. In Ovo
Metode ini merupakan penanaman virus pada telur ayam yang berembrio. Metode
ini dapat dilakukan dengan berbagai cara antara lain Inokulasi pada ruang
chorioalantois, membran chorioalantois, dan yolk sac.
2. In Vitro
Inokulasi virus dengan metode ini dilakukan dengan menanam virus pada kultur
jaringan.
3. In Vivo
Virus dapat ditanam pada hewan laboratorium yang peka. Hewan laboratorium
yang digunakan antara lain mencit, tikus putih, kelinci ataupun marmut.
Faktor-faktor yang menentukan keberhasilan inokulasi pada embrio ayam
menurut Alexander dan Senne (2011) adalah:
1. Rute Inokulasi
Inokulasi pada embrio dimana virus akan segera mendapatkan tempat untuk
menginfeksi organ. Hasil paling baik adalah ketika embrio mengalami abnormal
organ sejak 24 jam setelah inokulasi.
2. Strain virus
Strain virus menentukan efek infeksi pada masing-masing embrio yang
diinokulasikan virus. Strain yang paling virulen merupakan strain yang paling
baik untuk digunakan pada uji in ovo karena mudah terlihat gejalanya.
3. Titer Virus
Banyaknya titer virus yang diinokulasikan merupakan hal yang penting untuk
mencapai keberhasilan inokulasi dan akan menyebabkan efek infeksi yang terlihat
jelas pada embrio yang diujikan dengan kontrolnya.
4. Tahapan perkembangan embrio
Perkembangan embrio yang sudah mengalami tahap dewasa akan lebih resisten
terhadap virus karena sudah dibekali sistem imun pada tubuhnya, sebaliknya
embrio dengan umur yang lebih muda akan lebih rentan terkena virus karena
sistem imunnya belum berkembang.
Berdasarkan hasil praktikum, embrio ayam kelompok 1 dan 2 yang diinjeksi
dengan titer virus ND 0,1 cc yaitu pada kelompok 1 tidak terdapat perubahan,
sedangkan pada kelompok 2 mengalami perubahan berupa lesi pada embrio. Embrio
ayam kelompok 3 dan 4 yang diinjeksi dengan titer virus ND 0,2 cc pada kelompok 4
mengalami perubahan lesi pada embrio sedangkan pada kelompok 3 tidak terjadi
adanya perubahan. Sedangkan embrio ayam kelompok 5 dan 6 yang diinjeksi dengan
titer virus ND 0,3 cc terlihat adanya gejala penyakit ND berupa lesi pada embrio.
Kemunculan gejala dan tidak munculnya gejala pada telur milik kelompok 1 dan 3
serta persamaan gejala yang muncul dari penyakit ND pada embrio ayam
berdasarkan hasil tersebut kemungkinan disebabkan oleh titer virus yang diberikan
pada embrio ayam atau disebabkan oleh beberapa faktor seperti sistem kekebalan
imun, selain itu umur embrio yang digunakan oleh tiap kelompok juga kemungkinan
berbeda-beda, ada yang mencapai 12 hari atau pun lebih. Hal ini sesuai dengan
pernyataan Alexander dan Senne (2011), keberhasilan dalam mengisolasi dan
mengembangkan virus tergantung pada beberapa kondisi yaitu rute inokulasi, umur
embrio, temperatur inkubasi, waktu inkubasi setelah inokulasi, volume dan
pengenceran dari inokulum yang digunakan, status imun dari kelompok dimana telur
ayam berada. Cattoli et al., (2011), menambahkan bahwa produksi antibodi
berlangsung dengan cepat setelah terinfeksi NDV. Antibodi penghambat
hemaglutinasi dapat diamati dalam waktu 4-6 hari setelah infeksi. Antibodi yang
berasal dari induk dapat melindungi anak ayam sampai 3-4 minggu setelah menetas.
Antibodi IgA yang dihasilkan secara lokal berperan penting dalam melindungi
saluran pernafasan dan saluran pencernaan.
IV. KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan

Kesimpulan dari pembahasan pada acara praktikum inokulasi virus pada telur
ayam berembrio yaitu:
1. Macam-macam cara menginokulasikan virus ke embrio ayam yaitu: In Ovo
merupakan penanaman virus pada telur ayam yang berembrio, In Vitro yaitu
metode Inokulasi virus yang dilakukan dengan menanam virus pada kultur
jaringan, dan In Vivo yaitu metode dimana virus dapat ditanam pada hewan
laboratorium yang peka.
2. Inokulasi virus ke dalam telur ayam berembrio yaitu dengan menggunakan
metode In Ovo, dengan cara memasukkan suspensi virus ke dalam lubang yang
berada di atas embrio dengan menggunakan spuit 1 cc. Penyuntikan dilakukan
dengan sudut 450 ke arah bagian runcing telur agar tidak mengenai embrio dan
suspensi virus ND tersebut diinjeksikan ke dalam ruang korio-alantois.
3. Ciri-ciri embrio ayam yang terinfeksi virus New Castle Disease (ND) diantaranya
yaitu terdapat perubahan warna hijau pada kaki, lesi embrio, dan lesi pada kaki
dan bulu.

B. Saran

Saran untuk praktikum kali ini yaitu sebaiknya, praktikan pada saat mencari
telur ayam berembrio harus memastikan dengan pasti dan jelas usia dari telur ayam
bermbrio tersebut, agar tingkat keberhasilan pada saat inokulasi virus ke dalam telur
ayam berembrio dapat berpeluang lebih besar untuk terinfeksi dan dapat melihat
gejala-gejala perubahan yang ditimbulkannya.
DAFTAR REFERENSI

Akoso, B. T. 2010. Manual Kesehatan Unggas. Panduan Bagi Petugas Teknis,


Penyuluh dam Peternak. Yogyakarta: Penerbit Kanisius.

Alexander, D. J. & Senne, D. A. 2011. Newcastle Disease, Other Avian


Paramyxovirus and Pneumovirus Infection In: Disease of Poultry. Saif, Y.M.
Lowa: Blackwell Publishing.

Cavanagh & Gelb. 2010. Infectious Bronchitis In: Disease of Poultry. Saif, Y. M.
Lowa: Blackwell Publishing.

Cattoli, G., Susta, L., Terregino, C., Brown, C. 2011. Newcastle disease: a review of
field recognition and current methods of laboratory detection. Journal of
Veterinary Diagnostic Investigation, 23 (4) pp: 637–656.

Fournier, P., Wilden, H., Schirmacher, V. 2011. Importance of Retinoic Acid-


Inducible Gene I And of Receptor for Type I Interferon for Cellular
Resistance to Infection By Newcastle Disease Virus. International Journal of
Oncology, 40: 287-298,

Haryanto, A., Kristiawan D., Irianingsih, S. H., Yudianingtyas, D.W. 2013.


Amplifikasi Gen Penyandi Protein Fusion Virus Tetelo dari Spesimen
Lapangan dengan Metode One Step RT-PCR. Jurnal Veteriner Fakultas
Kedokteran Hewan UGM. 14 (3), pp: 387-393.

Hewajuli, D. A., & Dharmayanti, N.L.P.I. 2012. Patogenitas Virus Newcastle


Disease Pada Ayam. Makalah Balai Besar Penelitian Veteriner. pp: 72-80.

Kencana, G. A. Y., Kardena, I. M., Mahardika, I. G. N. K. 2012. Peneguhan


Diagnosis Penyakit Newcastle Disease Lapang Pada Ayam Buras di Bali
Menggunakan Teknik Rt-Pcr. Jurnal Kedokteran Hewan Udayana. 6 (1), pp:
28-31.

Kencana, Gusti Ayu Yuniati. 2013. Penentuan Kandungan Virus Vaksin Newcastle
Disease Dari Dua Poultry Shops Yang Berbeda Pada Kultur Sel Primer
Fibroblast Embrio Ayam. Jurnal Veteriner Udayana. 5 (2), pp: 51-69.

Putra H. H., Wibowo, M. H., Untari, T., Kurniasih. 2012. Studi Lesi Makroskopis
dan Mikroskopis Embrio Ayam yang Diinfeksi Virus Newcastle Disease
Isolat Lapang yang Virulen. Jurnal Sains Veteriner. 30 (1), pp: 57-67.

Tabbu, C. R. 2012. Penyakit Ayam dan Penanggulagannya. Volume 3. Yogyakarta:


Penerbit Kanisius.

Anda mungkin juga menyukai