MEDULLOBLASTOMA
Disusun oleh:
Fortune De Amor (406181083)
Pembimbing:
dr. Andrew Robert Diyo, Sp.BS
Diajukan untuk memenuhi tugas kepaniteraan klinik dan melengkapi salah satu
syarat menempuh Program Pendidikan Profesi Dokter di bagian Ilmu Bedah Rumah
Sakit Umum Daerah KRMT Wongsonegoro Semarang periode 20 Mei - 4 Agustus
2019.
NIM : 406181083
Fakultas : Kedokteran
Judul : Medulloblastoma
Pembimbing,
Juli 2019
PENDAHULUAN
Tumor embrional merupakan bagian besar dari tumor otak anak. Asal sel,
klasifikasi, dan penatalaksanaan tumor ini masih dalam kontroversi.1 Prognosis untuk
tumor-tumor ini dulu sangat buruk, namun kemajuan terapi memperbaiki angka
harapan hidup. Secara historis, seluruh tumor embrional, terlepas dari tempatnya di
system saraf pusat (SSP) dibagi dibawah istilah primitive neuroectodermal tumor
(PNET).2 Medulloblastoma kadang disebut sebagai PNET infratentorial. Namun,
perbedaan asal biologis medulloblastoma saat ini semakin jelas.3
Pasien dengan gejala neurologis yang jelas (terutama pasien dengan perubahan
status mental atau gambaran pencitraan yang konsisten dengan hidrosefalus) harus
dirawat di RS untuk pengawasan lebih ketat.5 Penatalaksanaan medulloblastoma
melibatkan tindakan pembedahan, radioterapi, dan kemoterapi.2
Medulloblastoma adalah tumor yang sangat agresif. Bahkan setelah respon baik
post operasi dan radiasi, kekambuhan dapat terjadi; kekambuhan paling sering terjadi
dalam 2 tahun setelah pengobatan.4
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2. 1 Definisi
2.2 Epidemiologi
Angka kejadian puncak berkisar antara usia 4 tahun. Tiga puluh persen lebih
kasus terjadi pada pasien diatas usia 15 tahun.1
Pada pria 1.5 kali lebih sering ditemukan dibandingkan wanita, kecuali pada
bayi dimana insidensinya hampir sama antar gender. Gender tampaknya tidak
mempunyai pengaruh pada prognosis hingga usia tiga tahun dimana prognosis anak
perempuan lebih baik.2
2.3 Etiologi
Seperti yang dijelaskan diatas, etiologi tumor ini tidak jelas, kecuali untuk
sebagian kecil anak yang mempunyai mutasi pada gen supresor tumor di jalur sel
germinal, seperti pada sindrom Gorlin, atau lebih jarang lagi, sindrom Turcot, sindrom
Li-Fraumeni, ataksia telangiektasia, atau sindrom Coffin-Siris. Sindrom Gorlin
diidentifikasi dengan menemukan karsinoma sel basal nevoid, kista rahang, sulkus
palmar dan plantar, anomaly pada iga, hiperesponsif terhadap hormone paratiroid, dan
medulloblastoma.4
2.4 Patofisiologi4
2.5 Patologi
Lebih dari setengah pasien anak dengan medulloblastoma saat ini dapat
sembuh. Kekambuhan terjadi paling sering pada tempat tumor primer walaupun dapat
ditemukan pada tempat lain, dengan atau tanpa penyebaran neuroaxis. Waktu rata-rata
kekambuhan adalah 14 minggu setelah diagnosis walaupun pada bayi dapat 6 bulan.
Pada pasien dengan gejala malfungsi serebellar, nervus kranialis, dan batang
otak dan/atau peningkatan tekanan intracranial mengarahkan penyakit pada fossa
posterior sehingga diindikasikan pemeriksaan MRI dengan atau tanpa gadolinium atau
CT dengan atau tanpa kontras.1 Meduloblastoma biasanya soid, dengan lesi yang
menyangat di dalam atau melekat pada vermis, dan menekan jaringan normal
disekitarnya. Dengan bertambahnya usia saat munculnya gejala, dan kemungkinan
keterlibatan hemisfer serebellar yang lebih besar.4 Pencitraan mengkonfirmasi adanya
lesi pada fossa posterior yang tampaknya terpisah dari serebellum sendiri. Sebagai
tambahan, hampir sepertiga pasien akan mengalami penyebaran leptomeningeal dan
ependimal difus saat terdiagnosis. Karena itu, perencanaan penatalaksanaan yang tepat
mengharuskan seluruh pasien dengan diagnosis ini menjalani pencitraan spinal untuk
menilai penyebaran leptomeningeal dan pemeriksaan sitologi cairan serebrospinal jika
pencitraan menghasilkan nilai negative. Pada pasien yang lebih muda, keterlibatan
sistemik tidak jarang terjadi dan pemeriksaan sumsum tulang merupakan suatu
indikasi.5
Peningkatan lingkar kepala sering menjadi satu-satunya gejala yang ada pada
bayi
Bayi mempunyai fontanella anterior yang penuh dengan sutura kranialis yang
terpisah lebar
Pemeriksaan funduskopi:
Pemeriksaan ekstraokular
Tanda cerebellar:
CT scan
Anak dengan gambaran klinis diatas harus segera dievaluasi dengan pencitraan
otak. CT scan kepala dapat dilakukan saat pertama kali menemukan gejala karena
kemudahannya, kecepatan, dan ketersediaan CT scan di masyarakat. CT scan dapat
mendeteksi massa di fossa posterior. Karena densitas selularnya yang tinggi,
medulloblastoma dapat hiperdens.2
Karena sebagian besar pasien datang dengan sakit kepala, CT scan kepala
nonkontras biasanya dilakukan. Tumor ini biasanya berlokasi di garis tengah
serebellum dan menyebar hingga dan mengisi ventrikel keempat.6 Sebelum pemberian
kontras intravena, tumor terlihat hiperdens dibandingkan dengan otak karena tingginya
selularitas. Densitas tinggi pada CT scan dapat membantu membedakan
medulloblastoma dengan gambaran hipodens astrositoma serebellar. Medulloblastoma
menunjukan penyangatan kontras yang bermakna. Hipodensitas didaerah sekelilingnya
mengindikasikan edema vasogenik.5
MRI
Jika tumor menyebar keatas hingga akuaduktus serebri dan ventrikel ketiga,
hidrosefalus bermakna dengan reabsorpsi CSF transependyal dapat terjadi. Penyebaran
juga dapat turun hingga kanalis servikalis.6
Sitologi CSF penting untuk staging medulloblastoma; namun tidak ada metode
standar yang disetujui mengenai bagaimana cara pengambilan CSF. Pungsi lumbal
merupakan metode tersering untuk pengambilan CSF; namun hal ini dapat memicu
herniasi tonsilar serebelum pada pasien dengan peningkatan tekanan intracranial.
Walaupun lebih aman, pungsi lumbal dilakukan sesaat setelah operasi dapat
mengakibatkan hasil yang salah; cairan dapat mengandung sel yang tidak signifikan
yang didapatkan saat operasi. Pemeriksaan CSF dilakukan 2 minggu setelah operasi.
Jika drain ventricular dipasang, hal ini dapat digunakan untuk pengambilan
CSF untuk pemeriksaan sitologi; namun, sampel CSF ventricular akan mengandung
sel keganasan dibandingkan CSF dari sakus tekal.
2.9 Penatalaksanaan
Pasien dengan gejala neurologis yang jelas (terutama pasien dengan perubahan
status mental atau gambaran pencitraan yang konsisten dengan hidrosefalus) harus
dirawat di RS untuk pengawasan lebih ketat.4
Cranium hanya dapat mengakomodasi sedikit peningkatan volume CSF dan
peningkatan tekanan intracranial. Namun, karena tengkorak merupakan wadah rigid
dengan batasan volume, peningkatan lebih lanjut dari ukuran ventricular
mengakibatkan peningkatan drastic tekanan intracranial. Penurunan status mental
merupakan indikasi volume ventrikel mendektai ambang batas; pembesaran ventrikel
melebihi batas akan disertai konsekuensi potensial yang lebih buruk.4
Operasi untuk diagnosis dan mengurangi tekanan intracranial dengan debulking tumor
adalah langkah awal untuk hampir semua pasien. Pada saat yang sama, operator dapat
mempertimbangkan ventikulostomi untuk menghindari hipertensi intracranial
postoperative atau hidrosefalus. Untungnya, pada pasien dengan reseksi komplit,
kurang dari sepertiganya akan membutuhkan shunt ventrikuloperitoneal.1
Walaupun reseksi radikal dapat dilakukan, pengangkatan melalui operasi tidak
menyembuhkan. Pada orang dewasa, sekali luka sembuh dengan baik, radioterapi
ditambah dengan kemoterapi dapat dilakukan. Follow up teratur dengan pemeriksaan
neurologis dan pencitraan penting untuk menilai kekambuhan lesi ini.4
Penatalaksanaan dasar untuk anak adalah penggunaan kemoterapi saja pada
anak usia kurang dari 2 tahun dengan resiko rendah. Sejumlah agen telah digunakan
tanpa ada regimen yang lebih superior dibandingkan yang lain. Radiasi ditunda jika
memungkinkan untuk melindungi sistem saraf yang masih imatur dari toksisitas.6
Pembedahan
Drainase postoperasi dipertahankan selama 3 hari, setelah itu drain diklem dan
dihubungkan dengan monitor tekanan. Jika pasien dapat mentolerir 24 jam dengan
drain diklem, ventrikulostomi diangkat. Penurunan status mental merupakan indikasi
pembukaan ventrikulostomi dan melanjutkan drainase. Drainase memungkinkan darah
dan debris seluler postoperasi menjadi bersih; klem dapat dicoba setelah 5 hari
tambahan. Jika drainase berulang gagal mengurangi gejala, shunt ventriculoperitoneal
harus dipasang untuk hidrosefalus jangka panjang; namun hal ini penting hanya untuk
sekitar 15% pasien. alternative lainnya adalah pemasangan ventrikulostomi ketiga.4
Jika operasi melibatkan manipulasi atau invasi batang otak, pasien harus tetap
diintubasi untuk malam postoperative pertama dan diekstubasi dengan hati-hati ketika
fungsi saraf cranial bagian bawah dapat diperiksa.4
MRI postoperative dilakukan 48-72 jam setelah operasi.4 Tujuan dari MRI
postoperative dalam 48 jam setelah operasi meningkat 2 kali. Terlepas dari staging,
MRI menunjukkan residu tumor; jika operator menganggap residu tumor dapat
diangkat, eksplorasi ulang pasien dapat langsung dilakukan. Pasien post operasi
dirawat di ICU.1
Staging1
Setelah pembedahan, harus dilakukan staging untuk menentukan adanya
penyebaran tumor. Jika belum dilakukan, MRI seluruh tulang belakang dengan atau
tanpa gadolinium wajib dilakukan. Pencitraan tulang belakang harus ditunda 10-14 hari
setelah operasi, karena produk darah di ruang subarachnoid dapat disalahartikan
sebagai tumor metastasis. Pungsi lumbal harus dilakukan pada periode waktu yang
sama untuk memeriksa sitologi penyebaran tumor mikroskopis. Contoh ventricular
cairan CSF untuk sitologi mempunyai sensitivitas yang lebih rendah dan sebaiknya
tidak digunakan kecuali lumbal pungsi tidak dapat dilakukan. Jika terbukti ada
penyebaran penyakit, scan tulang terkadang dilakukan untuk memeriksa adanya
penyebaran ekstraneural; biopsy tulang tidak lagi direkomendasikan.
Dengan temuan dari staging, anak diatas tiga tahun dibagi menjadi 2 faktor
resiko berdasarkan luasnya reseksi dan staging metastasis Chang.
Resiko rata-rata termasuk pada anak dengan residual 1.5 cm2 dan tidak terdapat
metastasis. Resiko tinggi didefinisikan dengan lebih dari 1.5 cm2 residu atau M+.
namun, dampak dari penyakit M1 pada harapan hidup masih diperdebatkan. Variasi
histologist sepersi medulloblastoma sel besar dapat mengakibatkan prognosis yang
lebih buruk. Baru-baru ini, medulloblastoma dengan derajat anaplasia yang signifikan
dipertimbangkan sebagai resiko tinggi, sehingga tidak sesuai dengan beberapa
penelitian resiko rendah.
Awalnya, invasi batang otak (Chang stage T3B) merupakan indikasi lain untuk
dikatakan sebagai resiko tinggi, namun hal ini tampaknya tidak berpengaruh terhadap
prognosis.
Radioterapi
Saat ini, dosis radiasi 23.4 Gy kearah aksis kraniospinal ditambah 54 Gy kearah
fossa posterior diikuti oleh kemoterapi adalah penatalaksanaan standar untuk penyakit
beresiko sedang dan berdampak pada 80% angka harapan hidup selama 5 tahun yang
lebih baik. Pada pasien resiko tinggi, 36 Gy kearah aksis kraniospinal ditambah dengan
54 Gy, diikuti kemoterapi adalah terapi standar dan mempunyai angka harapan hidup
selama 5 tahun 50-70%.1
Nekrosis substansia alba, yang dapat membesar dan mengakibatkan efek massa
signifikan dan gangguan vaskular, adalah komplikasi jangka panjang radiasi lainnya.
Berkurangnya IQ dan fungsi neurobehavior berhubungan langsung dengan usia
diberikannya radiasi.4 Namun, radioterapi tetap merupakan terapi paling efektif untuk
medulloblastoma dan digunakan untuk anak-anak terlepas dari konsekuensinya.6
Kemoterapi
2.10 Komplikasi
Medulloblastoma adalah tumor yang sangat agresif. Bahkan setelah respon baik
post operasi dan radiasi, kekambuhan dapat terjadi; kekambuhan paling sering terjadi
dalam 2 tahun setelah pengobatan.4
Lokasi kekambuhan tersering adalah pada situs tumor primer pada fossa
posterior
Dengan penggunaan kemoterapi adjuvant, insider kekambuhan pada kanalis
spinalis dan region supratentorial tampak menurun.
Data dari berbagai penelitian menunjukkan harapan hidup seluruh anak dengan
medulloblastoma sekarang mendekati 60% pada 5 tahun dan paling tidak 40-50% pada
10 tahun. Kekambuhan pasien resiko tinggi biasanya terjadi pada 2 tahun pertama
dibandingkan dengan resiko rendah. Kekambuhan lebih dari 8 tahun setelah diagnosis
tampaknya tidak mungkin terjadi. Walaupun ditemukan angka harapan hidup yang
tinggi, pertambahan anak-anak yang sembuh memperlihatkan peningkatan efek
samping yang berat seperti penurunan fungsi kognitif, gagal tumbuh, endokrinopati,
tuli, penyakit vaskular SSP, dan keganasan sekunder.1
BAB III
KESIMPULAN