Anda di halaman 1dari 17

KepadaYth.

dr. Nanik Sri Mulyani, Sp.M

REFERAT
PTERIGIUM

DISUSUN OLEH :

Fortune De Amor

406181083

PEMBIMBING :

dr. Nanik Sri Mulyani, Sp.M

KEPANITERAAN KLINIK ILMU PENYAKIT MATA

RUMAH SAKIT UMUM DAERAH K.R.M.T WONGSONEGORO SEMARANG

PERIODE 31 DESEMBER 2018 – 3 FEBRUARI 2019

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS TARUMANAGARA


LEMBAR PENGESAHAN

NAMA : Fortune De Amor

NIM : 406181083

UNIVERSITAS : Fakultas Kedokteran Universitas Tarumanagara

JUDUL REFERAT : Pterigium

BAGIAN : IlmuPenyakit Mata – RSUD K.R.M.T Wongsonegoro


Semarang

PEMBIMBING : dr. Nanik Sri Mulyani,Sp.M

Semarang, 14 Januari 2019

Pembimbing,

dr.Nanik Sri Mulyani, Sp.M

1
KATA PENGANTAR

Puji syukur kepada Tuhan atas kasih karunia dan rahmat-Nya kepada penulis
sehingga referat dengan judul “Pterigium” ini dapat selesai dengan baik.

Referat ini disusun dalam rangka memenuhi tugas Kepaniteraan Ilmu Penyakit
Mata Fakultas Kedokteran Universitas Tarumanagara di Rumah Sakit Umum Daerah
K.R.M.T Wongsonegoro Semarang, periode 31 Desember 2018 – 3 Februari 2019.

Dalam referat ini, penulis telah mendapat bantuan, bimbingan dan kerja sama
dari berbagai pihak. Maka pada kesempatan ini penulis ingin menyampaikan terimakasih
kepada:

1. dr. Nanik Sri Mulyani, Sp.M, selaku pembimbing dalam penulisan referat ini.
2. Rekan – rekan anggota kepaniteraan klinik baik dari UNTAR, Unisula dan
Trisakti di bagian Ilmu Penyakit Mata RSUD K.R.M.T Wongsonegoro
Semarang, periode 31 Desember 2018 – 3 Februari 2019.

Penulis menyadari bahwa referat yang disusun ini juga tidak luput dari
kekurangan karena kemampuan dan pengalaman penulis yang terbatas. Oleh karena itu,
penulis mengharapkan kritik dan saran yang dapat bermanfaat demi kesempurnaan referat
ini.Akhir kata, semoga referat ini bermanfaat bagi para pembaca.

Semarang, 14 Januari 2019

Penulis,

Fortune De Amor

2
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 LATAR BELAKANG

Pterigium merupakan pertumbuhan fibrovaskular konjungtiva yang


bersifat degeneratif dan invasif. Seperti daging berbentuk segitiga, dan umumnya
bilateral di sisi nasal.1 Pterigium berasal dari bahasa Yunani yaitu pterygos yang
berarti sayap.2
Prevalensi pterigium ditemukan 10,2% di dunia, dengan prevalensi
tertinggi di daerah dataran rendah. peningkatan kejadian pterigium tercatat di
daerah tropis dan di zona khatulistiwa antara 30 ° lintang utara dan selatan.
Kejadian yang lebih tinggi dikaitkan dengan paparan sinar matahari kronis (sinar
ultraviolet), dan aktivitas di luar ruangan.2

3
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 ANATOMI
2.1.1 Anatomi Konjungtiva
Konjungtiva merupakan membran yang menutupi sclera dan kelopak mata
bagian belakang. Berbagai macam obat mata dapat diserap melalui
konjungtiva. Konjungtiva ini mengandung sel musin yang dihasilkan oleh sel
goblet.3

Konjungtiva terdiri atas tiga bagian, yaitu :


 Konjungtiva tarsal yang menutupi tarsus, konjungtiva tarsal ini sukar
digerakkan dari tarsus.
 Konjungtiva bulbi, menutupi sclera dan mudah digerakan dari sclera
dibawahnya.
 Konjungtiva forniks, merupakan tempat peralihan konjungtiva tarsal
dengan konjungtiva bulbi. 3

Konjungtiva bulbi dan forniks berhubungan dengan sangat longgar dengan


jaringan di bawahnya sehingga bola mata mudah bergerak. 3

4
Gambar 1: Anatomi Konjungtiva4
2.1.2 Anatomi Kornea
Kornea adalah selaput bening mata, bagian selaput mata yang tembus
cahaya, merupakan lapis jaringan yang menutup bola mata bagian depan. 3
Kornea terdiri dari lima lapis, yaitu :
1. Epitel
 Tebalnya 550 μm, terdiri atas 5 lapis sel epitel tidak bertanduk yang saling
tumpang tindih; satu lapis sel basal, sel poligonal dan sel gepeng.
 Pada sel basal sering terlihat mitosis sel, dan sel muda ini terdorong ke
depan menjadi lapis sel sayap dan semakin maju ke depan menjadi sel
gepeng, sel basal berikatan erat dengan sel basal di sampingnya dan sel
poligonal di depannya melalui desmosom dan makula okluden; ikatan ini
menghambat pengaliran air, elektrolit, dan glukosa yang merupakan
barrier.
 epitel berasal dari ektoderm permukaan.3
2. Membran Bowman
 Terletak dibawah membran basal epitel kornea yang merupakan
kolagen yang tersusun tidak teratur seperti stroma dan berasal dari
bagian depan stroma.
5
 Lapis ini tidak mempunyai daya regenerasi.3
3. Stroma
 Terdiri atas lamel yang merupakan susunan kolagen yang sejajar satu
dengan lainnya, pada permukaan terlihat anyaman yang teratur sedang
di bagian perifer serat kolagen ini bercabang; terbentuknya kembali
serat kolagen memakan waktu yang lama yang kadang-kadang sampai
15 bulan. Keratosit merupakan sel stroma kornea yang merupakan
fibroblas terletak di antara seratkolagen stroma. Diduga keratosit
membentuk bahan dasar dan serat kolagen dalam perkembangan
embrio atau sesudah trauma.3
4. Membrane descement
 Merupakan membran aselular dan merupakan batas belakang stroma
kornea dihasilkan selendotel dan merupakan membran basalnya.
 Bersifat sangat elastik dan berkembang terus seumur hidup,
mempunyai tebal 40µm.3
5. Endotel
 Berasal dari mesotellium, berlapis satu, bentuk heksagonal, besar 20-
40µm. endotel melekat pada membrane descement melalui
hemidesmosom dan zonula okluden.3

Kornea dipersyarafi oleh banyak saraf sensoris terutama berasal dari saraf siliar
longus, saraf nasosiliar, saraf ke V saraf siliar longus berjalan suprakoroid,
masuk ke dalam stroma kornea, menembus membrane bowman melepaskan
selubung schwannya. Seluruh lapis epitel dipersarafi sampai pada kedua lapis
terdepan tanpa ada akhir saraf. Bulbus Krause untuk sensasi dingin ditemukan
di daerah limbus. Daya regenerasi saraf sesudah dipotong di daerah limbus
terjadi dalam waktu 3 bulan.3
Trauma atau penyakit yang merusak endotel akan mengakibatkan system
pompa endotel terganggu sehingga dekompensasi endotel dan terjadi edema
kornea. Endotel tidak mempunyai daya regenarasi.3

6
Kornea merupakan bagian mata yang tembus cahaya dan menutup bola mata di
sebelah depan. Pembiasan sinar terkuat dilakukan oleh kornea, dimana 40
dioptri dari 50 dioptri pembiasan sinar masuk kornea dilakukan oleh kornea.3

Gambar 2: Lapisan Kornea 5

2.2 PTERIGIUM
2.2.1 Definisi
Pterigium merupakan pertumbuhan fibrovaskular konjungtiva yang
bersifat degeneratif dan invasif. Seperti daging berbentuk segitiga, dan umumnya
bilateral di sisi nasal.1 Pterigium berasal dari bahasa Yunani yaitu pterygos yang
berarti sayap.2
Menurut kamus kedokteran Dorland, pterygium adalah bangunan mirip
sayap, khususnya untuk lipatan selaput berbentuk segitiga yang abnormal dalam
fisura interpalpebralis, yang membentang dari konjungtiva ke kornea, bagian
puncak (apeks) lipatan ini menyatu dengan kornea sehingga tidak dapat
digerakkan sementara bagian tengahnya melekat erat pada sclera, dan kemudian
bagian dasarnya menyatu dengan konjungtiva. 6
Menurut American Academy of Ophthalmology, pterigium adalah
pertumbuhan fibrovaskular segitiga yang memanjang dari konjungtiva ke arah
kornea. Pterigium lebih sering terjadi pada daerah fisura interpalpebral dan dapat
terjadi dibagian nasal atau temporal atau keduanya. Lokasi dibagian nasal lebih
umum.2

7
2.2.2 Patofisiologi
Terjadinya pterigium sangat berhubungan erat dengan paparan sinar
matahari, walaupun dapat pula disebabkan oleh udara yang kering, inflamasi, dan
paparan terhadap angin dan debu atau iritan yang lain. UV-B merupakan faktor
mutagenik bagi tumor supressor gene p53 yang terdapat pada stem sel basal di
limbus. Ekspresi berlebihan sitokin seperti TGF-β dan VEGF (vascular
endothelial growth factor) menyebabkan regulasi kolagenase, migrasi sel, dan
angiogenesis. 7
Akibatnya terjadi perubahan degenerasi kolagen dan terlihat jaringan
subepitelial fibrovaskular. Jaringan subkonjungtiva mengalami degenerasi
elastoid (degenerasi basofilik) dan proliferasi jaringan granulasi fibrovaskular di
bawah epitel yaitu substansi propia yang akhirnya menembus kornea. Kerusakan
kornea terdapat pada lapisan membran Bowman yang disebabkan oleh
pertumbuhan jaringan fibrovaskular dan sering disertai dengan inflamasi ringan.
Kerusakan membran Bowman ini akan mengeluarkan substrat yang diperlukan
untuk pertumbuhan pterigium. Epitel dapat normal, tebal atau tipis dan kadang
terjadi displasia. 7
Limbal stem cell adalah sumber regenerasi epitel kornea. Pada keadaan
defisiensi limbal stem cell, terjadi konjungtivalisasi pada permukaan kornea.
Gejala dari defisiensi limbal adalah pertumbuhan konjungtiva ke kornea,
vaskularisasi, inflamasi kronis, dan pertumbuhan jaringan fibrotik. Tanda ini juga
ditemukan pada pterigium dan oleh karena itu banyak penelitian yang
menunjukkan bahwa pterigium merupakan manifestasi dari defisiensi atau
disfungsi localized interpalpebral limbal stem cell. Pterigium ditandai dengan
degenerasi elastotik dari kolagen serta proliferasi fibrovaskuler yang ditutupi oleh
epitel.7
Pada pemeriksaan histopatologi daerah kolagen abnormal yang mengalami
degenerasi elastolik tersebut ditemukan basofilia dengan menggunakan
pewarnaan hematoxylin dan eosin, Pemusnahan lapisan Bowman oleh jaringan
fibrovascular sangat khas. Epitel diatasnya biasanya normal, tetapi mungkin
acanthotic, hiperkeratotik, atau bahkan displastik dan sering menunjukkan area.7

8
2.2.3 Gejala Klinis
Gejala klinis pterigium pada tahap awal biasanya ringan bahkan sering
tanpa keluhan sama sekali (asimptomatik). Beberapa keluhan yang sering
dialami pasien antara lain:

a) Mata sering berair dan tampak merah


b) Merasa seperti ada benda asing
c) Timbul astigmatisme akibat kornea tertarik oleh pertumbuhan pterigium
tersebut
d) Pada pterigium yang lanjut (derajat 3 dan 4) dapat menutupi pupil dan
aksis visual sehingga tajam penglihatan menurun.7
Bila masih baru, banyak mengandung pembuluh darah, warnanya
menjadi merah, kemudian menjadi membran yang tipis berwarna putih dan
stasioner. Bagian sentral melekat pada kornea dapat tumbuh memasuki kornea
dan menggantikan epitel, juga membran bowman, dengan jaringan elastik dan
hialin. Pertumbuhan ini mendekati pupil. Biasanya didapat pada orang-orang
yang banyak berhubungan dengan angin dan debu, terutama pelaut dan petani.
Kelainan ini merupakan kelainan degenarasi yang berlangsung lama. Bila
mengenai kornea, dapat menurunkan visus karena timbul astigmat dan juga
dapat menutupi pupil, sehingga cahaya terganggu perjalanannya.8

2.2.3 Pemeriksaan Fisik


Pterigium memiliki tiga bagian :
a. Bagian kepala atau cap, biasanya datar, terdiri atas zona abu-abu pada
kornea yang kebanyakan terdiri atas fibroblast. Area ini menginvasi dan
menghancurkan lapisan Bowman pada kornea.
b. Bagian whitish. Terletak langsung setelah cap, merupakan sebuah lapisan
vesikuler tipis yang menginvasi kornea seperti halnya kepala.
c. Bagian badan atau ekor, merupakan bagian yang mobile (dapat bergerak),
lembut, merupakan area vesikuler pada konjungtiva bulbi dan merupakan area
paling ujung. Badan ini menjadi tanda khas yang paling penting untuk
dilakukannya koreksi pembedahan. 7

9
Gambar 3: Pterigium7
Berdasarkan stadium pterigium dibagi menjadi 4 derajat yaitu:
1) Derajat I : jika pterigium hanya terbatas pada limbus kornea
2) Derajat II : jika pterigium sudah melewati limbus dan belum
mencapai pupil, tidak lebih dari 2 mm melewati kornea.
3) Derajat III : jika pterigium sudah melebihi derajat II tetapi tidak
melebihi pinggiran pupil mata dalam keadaan cahaya normal (diameter pupil
sekitar 3-4 mm).
4) Derajat IV : jika pertumbuhan pterigium sudah melewati pupil
sehingga mengganggu penglihatan. 7

Gambar 4: Derajat Pterigium7

10
2.2.4 Diagnosis Banding
Pinguekula
Pinguekula merupakan benjolan pada konjungtiva bulbi yang
ditemukan pada orang tua, terutama yang matanya sering mendapat
rangsangan sinar matahari, debu, dan angin panas. Letak bercak ini pada
celah kelopak mata terutama di bagian nasal.3
Pinguekula merupakan degenerasi hialin jaringan submukosa
konjungtiva. Pembuluh darah tidak masuk ke dalam pinguekula akan tetapi
bila meradang atau terjadi iritasi, maka sekitar bercak degenerasi ini akan
terlihat pembuluh darah yang melebar.3

Gambar 5: Pinguekula9
Pseudopterigium
Pseudopterigium merupakan perlekatan konjungtiva dengan kornea
yang cacat. Pseudopterigium sering ditemukan pada proses penyembuhan
ulkus kornea, sehingga konjungtiva menutupi kornea. Pseudopterigium ini
terletak pada daerah konjungtiva yang terdekat dengan proses kornea
sebelumnya.3

11
Gambar 6: Pseudopterigium10

2.2.5 Tatalaksana
1. Medikamentosa
Penatalaksanaan medikamentosa di tujukan untuk mengurangi gejala yang
muncul, sehingga diberikan obat antiinflamasi. Pada pterigium yang
ringan tidak perlu diobati. Untuk pterigium mengalami inflamasi, pasien
dapat diberikan obat tetes mata steroid.11
2. Tindakan bedah
Tindakan dilakukan bila pterigium mengganggu pengelihatan dan
mengurangi resiko resiko kekambuhan.3
Teknik pembedahan pterigium dapat dilakukakan dengan beberapa cara
yaitu:11
 Bare sclera, tidak ada jahitan dan benang absorabable yang
digunakan untuk melekatkan konjungtiva ke supervisial sklera di
depan insersi tendon rectus.
 Simple closure, yakni tepi konjungtiva yang bebas dijahit bersama
(efektif jika hanya defek konjungtiva sangat kecil).
 Sliding flap, yakni suatu insisi berbentuk L dibuat di sekitar luka
kemudian flap konjungtiva digeser untuk menutup defek.
 Rotational flap, yakni insisi berbentuk U dibuat sekitar luka untuk
membentuk lidah konjungtiva yang dirotasi pada tempatnya.
 Conjungtival graft, yakni suatu free graft biasanya dari konjungtiva
superior, dieksisi sesuai dengan besar luka dan kemudian
dipidahkan dan dijahit.
12
 Amnion membran transplantasi, mengurangi frekuensi rekuren dan
mengurangi fibrosis.
 Lamellar keratoplasty, yakni terapi baru dengan menggunakan
gabungan angiostatik dan steroid. Teknik yang dapat digunakan
adalah teknik bare sclera karena pada teknik operasi ini tidak perlu
dilakukan pejahitan meskipun tingkat rekuren masih sekitar 40-
50%.
2.2.6 Komplikasi
Komplikasi yang muncul baik sebelum dilakukan insisi adalah
merah, iritasi, dapat menyebabkan diplopia. Sedangkan jika sudah
dilakukan insisi adalah dapat terjadi infeksi, diplopia, scar cornea,
perforasi bola mata, dan komplikasi yang terbanyak adalah rekurensi
pterigium post operasi.11

2.2.7 Prognosis
Prognosis visual dan kosmetik setelah eksisi pterigium baik.
Prosedur ditoleransi dengan baik oleh pasien, dan, selain dari beberapa
ketidaknyamanan pada beberapa hari pertama pasca operasi, sebagian
besar pasien dapat melanjutkan aktivitas penuh dalam waktu 48 jam
setelah operasi. Pasien-pasien yang mengalami rekurensi pterygia dapat
diterapi ulang dengan eksisi bedah berulang dan okulasi, dengan autografts
konjungtiva / limbal atau transplantasi membran amniotik pada pasien
tertentu.12

13
BAB III
PENUTUP

3.1 KESIMPULAN
1. Pterigium merupakan pertumbuhan fibrovaskular konjungtiva yang
bersifat degeneratif dan invasif. Seperti daging berbentuk segitiga, dan
umumnya bilateral di sisi nasal.
2. Kejadian pterigium berhubungan erat dengan papran sinar matahari.
3. Pterigium terdiri atas 3 bagian: cap, whitish, dan badan.
4. Derajat pertumbuhan pterigium ditentukan berdasarkan bagian kornea
yang tertutup oleh pertumbuhan pterigium, dan dapat dibagi menjadi 4
stadium.
5. Tatalaksana pterigium terdiri atas tatalaksana medikamentosa dan bedah.

14
DAFTAR PUSTAKA

1. Vaughan & Asbury: oftalmologi umum / paul Riordan-Eva, John P.Whitcher :


alih bahasa, Brahm U. Pendit : editor edisi bahasa indonesia< diana susanto. –Ed
17- Jakarta : EGC, 2009

2.American Academy of Ophthalmology. Pterygium-Asia Pasific. 2015.


https://www.aao.org/topic-detail/pterygium-asia-pacific

3.Ilyas, Sidarta. 2007. Ilmu Penyakit Mata, Cetakan ke-4. Jakarta: Balai Penerbit
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia

4. Conjuntiva’s picture available from


https://www.google.com/imgres?imgurl=https%3A%2F%2Freader001.docslide.n
et%2Freader001%2Fhtml5%2F20170810%2F563db9f4550346aa9aa168b6%2Fb
g3.png&imgrefurl=https%3A%2F%2Fdokumen.tips%2Fdocuments%2Flapkas-
mata-
granuloma.html&docid=s2JigP_wSSVmNM&tbnid=4nDDdoUE9SdQJM%3A&v
et=10ahUKEwjEoums_OjfAhUUTn0KHYTYCVYQMwhCKAUwBQ..i&w=506
&h=387&safe=strict&bih=657&biw=1366&q=gambar%20anatomi%20konjungti
va&ved=0ahUKEwjEoums_OjfAhUUTn0KHYTYCVYQMwhCKAUwBQ&iact
=mrc&uact=8#h=387&imgdii=pyNaUh5VtwdVIM:&vet=10ahUKEwjEoums_Oj
fAhUUTn0KHYTYCVYQMwhCKAUwBQ..i&w=506

5. Kornea’s picture available from


https://www.google.com/imgres?imgurl=http%3A%2F%2F3.bp.blogspot.com%2
F-
JC2VU_Oy93Q%2FUlWSF5_RlII%2FAAAAAAAAAaQ%2FAAUpU0hm0LE
%2Fw1200-h630-p-k-no-
nu%2FAnatomi%2BLapisan%2BKornea.jpg&imgrefurl=http%3A%2F%2Fkedok
teranebook.blogspot.com%2F2013%2F10%2Fkorpus-alienum-kornea-benda-
asing-
di.html&docid=wgh6hli03vA_yM&tbnid=XpSsUume0RXLTM%3A&vet=10ah
UKEwjCl6nYgunfAhXJvI8KHTd4BlIQMwhBKAQwBA..i&w=482&h=253&saf
e=strict&bih=526&biw=1093&q=gambar%20lapisan%20kornea&ved=0ahUKEw
jCl6nYgunfAhXJvI8KHTd4BlIQMwhBKAQwBA&iact=mrc&uact=8#h=253&i
mgdii=k-
3ol8iK4fVTBM:&vet=10ahUKEwjCl6nYgunfAhXJvI8KHTd4BlIQMwhBKAQ
wBA..i&w=482

6. Anderson, Dauglas M., et all. 2000. Dorland’s Illistrated Medical Dictionary.


29th. Philadelphia: W.B. Saunders Company.

7. Lestari DJT, Sari DR, Mahdi PD, Himayani R. Pterigium Derajat IV pada
Pasien Geriatri. November 2017:7(1): P20-5

8. Wijana, Nana. 1993. Ilmu Penyakit Mata. Jakarta : Abadi Tegal


15
9. Pinguecula’s picture available from
https://www.merckmanuals.com/home/quick-facts-eye-disorders/conjunctival-
and-scleral-disorders/pinguecula-and-pterygium

10. Pseudopterygium’s picture available from


https://www.columbiaeye.org/education/digital-reference-of-
ophthalmology/cornea-external-diseases/non-infectious/pseudopterygium

11. Putri GCD. Pterygium Oculi Dextra Stage III. J Agromed Unila. Februari
2015:2(1): P18-22.

12. Fisher JP. Pterygium. Nov 28, 2017. Available from


https://emedicine.medscape.com/article/1192527-overview

16

Anda mungkin juga menyukai