Anda di halaman 1dari 22

Potensi Beta Endorphine Transplantation sebagai Stress-relief terhadap Progresivitas Oral

Squamous Cell Carcinoma (OSCC) pada Usia Lanjut

Oleh :

1. Fitrul Azmi Eka Farhana 021811133017


2. Zhafira Nur Aini Salsabilla 021811133018
3. Hana Ai Ardiana 021811133019
4. Rika Fitri Anjani 021811133020
Latar Belakang : Oral Squamous Cell Carcinoma (OSCC) adalah kanker ganas yang
paling umum terjadi dengan meliputi 80-90% dari malignant neoplasms pada rongga mulut.
Dapat dipastikan bahwa rongga mulut merupakan lokasi paling umum ke – 6 hingga ke – 9
sebagai tempat terjadinya kanker, tergantung pada sebagian negara. OSCC merupakan kanker
yang paling sering terjadi pada orang dewasa dan usia lanjut. Progresifitas OSCC pada pasien
lanjut usia sangat berhubungan dengan tingkat stres yang dialami. Penelitian sebelumnya telah
menunjukkan bahwa pasien dengan kanker mulut seringkali memiliki tingkat stres kronis yang
tinggi. Juga ditemukan bahwa stres kronis menghasilkan ukuran tumor yang lebih besar dan
pertumbuhan OSCC yang lebih invasif. BEP transplant merupakan salah satu terobosan yang
digunakan untuk mengaktifkan sistem opioid endogen untuk regulasi stres dan fungsi neuroimun
dengan menunjukkan hasil yang menjanjikan. Tujuan : Mengetahui potensi beta endorphin
transplantation sebagai stress-relief terhadap progresivitas Oral Squamous Cell Carcinoma pada
Usia Lanjut. Tinjauan Pustaka : OSCC merupakan salah satu kanker ganas yang menyerang
daerah kepala dan leher. OSCC berkembang di rongga mulut dan orofaring dan dapat terjadi
karena banyak faktor. OSCC memiliki prevalesi yang lebih tinggi pada usai lanjut. Salah satu hal
yang dapat memperparah dan meningkatkan progresivitasnya adalah stres. Stres kronis
menghasilkan ukuran tumor yang lebih besar dan pertumbuhan OSCC yang lebih invasif. Produk
neurohormonal yang berasal dari stres kronis dapat menurunkan sitotoksisitas sel Natural Killer
(NK) dengan cara menghambat respon sel terhadap sitokin tertentu seperti interferon-gamma
(IFN-c) dan interleukin-2 (IL-2). BEP-transplant berfungsi mengaktifkan sistem opioid endogen
untuk regulasi stres dan fungsi neuroimun menunjukkan hasil yang menjanjikan. Teknik yang
digunakan dapat secara in vitro maupun langsung ditansplantasikan kedalam hipotalamus. BEP
berfungsi mengaktifkan sistem opioid endogen untuk regulasi stres dan fungsi neuroimun yang
menunjukkan hasil yang menjanjikan. Teknik yang digunakan dalam penelitiannya
mentransplantasikan sel b-endorphin, dimana sel b- endorphin asli dibedakan dengan neuronal
stem cells secara in vitro dan kemudian ditransplantasikan ke paraventricular nucleus di lokasi di
mana neuron b-endorfin endogen melakukan kontak sinaptik . Sedangkan penelitian yang
dilakukan oleh (Zhang et al., 2014) pada model hewan coba tikus b-endorphin neuron
ditransplantasikan langsung ke dalam hipothalamus dapat menekan kanker yang diinduksi oleh
karsinogen. Metode : Melakukan analisis pada berbagai jurnal pada database Google Schoolar,
NCBI, PubMed, dan Research Gate. Kriteria jurnal yang dianalisis adalah tipe literatur review
dan research yang merupakan jurnal terbitan tahun 20011-2020. Kesimpulan :

Bab I

Pendahuluan

1. Latar belakang masalah

Oral Squamous Cell Carcinoma (OSCC) adalah kanker ganas yang paling umum terjadi
dengan meliputi 80-90% dari malignant neoplasms pada rongga mulut. Meskipun kejadian
kanker sangat bervariasi di seluruh dunia, dapat dipastikan bahwa rongga mulut merupakan
lokasi paling umum ke – 6 hingga ke – 9 sebagai tempat terjadinya kanker, tergantung pada
sebagian negara. Kendati demikian dari kejadian rata – rata ini, dapat mewakili lokasi paling
umum terutama yang terjadi di Asia Tenggara. (PIRES et al., 2013)

OSCC merupakan kanker yang paling sering terjadi pada orang dewasa dan usia lanjut
dengan persebaran <41 tahun (3%), 41 – 60 tahun (46%), 61 – 80 tahun (41%), dan >80 tahun
(10%). OSCC terdistribusi pada perbatasan lidah (37%), gingiva (20%) dan pada dasar mulut
(19%). (PIRES et al., 2013)

Menurut data Riskesdas tahun 2018, sebanyak 6,5% penduduk usia 55 – 64 tahun
mengalami depresi dan stres. Stres merupakan reaksi tubuh terhadap suatu permintaan atau
tantangan. Stres terjadi ketika individu menghadapi situasi yang dianggap sebagai ancaman atau
tuntutan yang melebihi kapasitas individu untuk mengatasinya. Dibandingkan dengan kelompok
usia lain, stres menunjukkan efek kesehatan yang lebih parah dan intens untuk orang lanjut usia
(lansia). Lansia rentan terhadap stres karena berbagai faktor psikologis, seperti kesepian,
kehilangan, masalah kesehatan, pendapatan terbatas dan dukungan sosial. (Zhang, Simon, and
Dong, 2014; Thunstrom et al., 2015)
Respon stres fisiologis dianggap sebagai salah satu kemungkinan mediator dari efek
faktor psikososial pada perkembangan kanker. Respon stres secara keseluruhan melibatkan
aktivasi beberapa sistem tubuh termasuk sistem saraf otonom dan sumbu HPA. Sumbu HPA dan
sistem saraf otonom memainkan peran penting dalam semua tahap kanker yang meliputi inisiasi,
pertumbuhan, dan perkembangan. Selama kondisi stres, sumbu HPA diaktifkan, diikuti dengan
pensinyalan, pembentukan, dan pelepasan hormon adrenokortikotropik yang merangsang
kelenjar adrenal untuk melepaskan CAT (adrenalin, noradrenalin). Juga, mediator stres lain
seperti glukokortikoid (misalnya kortisol) berperan dalam pertumbuhan dan metastasis kanker.
(Kruk et al., 2019)

Perawatan kanker saat ini berfokus pada pengangkatan fisik tumor dan penghancuran sel-
sel pemisah dengan jalan pembedahan dan radioterapi. Terapi radiasi dan kemoradiasi apabila
perlu dapat dilakukan pasca operasi. Terapi ini merupakan pengobatan alternatif dan bukanlah
pengobatan utama, selain itu terapi ini tidak diperkenankan dilakukan secara terus menerus
karena selain sel kanker mereka juga akan menghancurkan sel sel normal tubuh. Hal ini
menyebabkan banyak efek samping seperti rambut rontok dan mual, serta dapat melemahkan
pertahanan tubuh terhadap patogen serta tumor. Tubuh bisa mengenali dan membunuh sel-sel
kanker dengan sendirinya melalui pengawasan kekebalan tubuh. Sel tumor akan
mengekspresikan antigen yang tidak ada dalam sel-sel normal. Sel-sel kekebalan tubuh dapat
mengenali antigen asing ini dan kemudian menghancurkannyar. Prosedur transplantasi sel BEP
untuk mengobati kanker sangat berpotensi karena memanfaatkan dan mengoptimalkan sistem
pertahanan tubuh sendiri untuk mengontrol proliferasi sel sel abnormal. (Zhang C, et al, 2015)

Beta endorphin merupakan endogenous-opioid yang mengikat pada reseptor yang sama
dengan obat golongan opioid dan diproduksi serta disimpan pada kelenjar pituitary anterior.
(Sprouse-Blum AS,et al, 2010). Beta-endorphin (BEP) memiliki peran penting pada pola
perilaku dan terlibat pada respon stress pada HPA axis. Jika tubuh dalam kondisi stress, hal ini
tentunya dapat menggangu sistem imun di tubuh kita, tidak terkecuali terhadap meningkatnya
resiko kanker, progresivitas dari keganasan sel, dan lain-lain. Penangan kanker dengan
menggunakan substansi yang dapat mencegah kanker untuk berkembang (chemoprevention)
menjadi salah satu interes dibidang onkologi.(Zhang C, et al, 2015). Dalam sebuah penelitian
disebutkan bahwa metode transplantasi BEP dapat meningkatkan sistem imun innate terutama
sel NK dan makrofag serta menghambat pertumbuhan dari sel karsinogen dan metastasis sel
kanker (Sarkar DK, et al, 2012)

2. Rumusan masalah

1. Apakah Beta Endorphine Transplantation berpotensi sebagai Stress-relief terhadap


Progresivitas Oral Squamous Cell Carcinoma pada Usia Lanjut?
2. Bagaimana Potensi Beta Endorphine Transplantation sebagai Stress-relief terhadap
Progresivitas Oral Squamous Cell Carcinoma pada Usia Lanjut?

3. Tujuan umum

1. Mengetahui potensi beta endorphin transplantation sebagai stress-relief terhadap


progresivitas Oral Squamous Cell Carcinoma pada Usia Lanjut
2. Mengetahui mekanisme beta endorphin transplantation sebagai stress-relief terhadap
progresivitas Oral Squamous Cell Carcinoma pada Usia Lanjut

4. Rencana judul paper : Potensi Beta Endorphine Transplantation sebagai Stress-relief terhadap
Progresivitas Oral Squamous Cell Carcinoma pada Usia Lanjut
Bab II

Tinjauan Pustaka

2.1 Penuaan

Menjadi tua adalah suatu proses yang pasti akan dialami oleh semua manusia yang
diberi karunia umur yang panjang. Menurut WHO, seseorang dikatakan lanjut usia apabila telah
mencapai usia 60 tahun ke atas. Pada tahap ini manusia akan mengalami suatu proses yang
disebut dengan Aging Process (proses penuaan). Proses ini ditandai dengan terjadinya
perubahan, baik perubahan fisik maupun perubahan mental.(Nauli et al, 2014)

Penuaan merupakan proses penurunan fungsi organ secara menyeluruh dan bersifat
progresif seiring dengan bertambahnya usia. Penurunan fungsi organ ini akan bermanifestasi
dalam bentuk gejala/ tanda klinis dan penyakit yang akan berlanjut dan menyebabkan kecacatan,
ketergantungan bahkan hingga kematian. Penurunan kapasitas fisiologis tubuh dapat
meningkatkan kerentanan pada usia lanjut yang berdampak pada kondisi kesehatannya.(Uyainah
et.al, 2015)

Proses penuaan melibatkan 2 faktor utama, yakni faktor intrinsik yang berasal dari
dalam tubuh yang terjadi secara alamiah dan sejalan dengan waktu. Proses biologic/ genetic
clock yang berperan dalam menentukan jumlah multiplikasi pada setiap sel sampai sel berhenti
membelah diri dan kemudian mati diyakini sebagai penyebab penuaan intrinsik. Serta faktor
ekstrinsik yang berasal dari luar tubuh yang dipengaruhi oleh faktor eksternal seperti paparan
sinar matahari yang terus menerus, polusi, kebiasaan merokok, nutrisi yang buruk, serta radikal
bebas. Radikal bebas dapat memberikan dampak yang besar terhadap penuaan karena dapat
menyebabkan stress oksidatif. Stress oksidatif dapat terjadi ketika terjadi ketidakseimbangan
antara radikal bebas dan antioksidan yang dipicu oleh 2 kondisi umum yakni kurangnya anti
oksidan atau kelebihan produksi radikal bebas. Pada saat produksi ROS (Reactive Oxygen
Species) meningkat maka kontrol protektif tidak akan mencukupi sehingga terjadi kerusakan
oksidatif. Keadaan ini menyebabkan terjadinya kerusakan oksidatif mulai dari tingkat sel,
jaringan hingga ke organ tubuh dan mempercepat proses penuaan dan munculnya berbagai
macam penyakit diantaranya stroke, asma, diabetes melitus, radang usus, dan lainnya. (Ardhie,
2011)

2.2 Stress

Secara biologis, stres adalah faktor fisik, mental, atau emosional yang menyebabkan
ketegangan tubuh atau mental. Stres dapat bersifat eksternal (dari lingkungan, psikologis, atau
situasi sosial) atau internal (penyakit, atau dari prosedur medis). Stres dapat memulai respons
"fight or flight", reaksi kompleks dari sistem neurologis dan endokrinologis. Pada stres akut,
terjadi serangkaian perubahan pada sistem saraf, kardiovaskular, endokrin, dan sistem imun.
Perubahan ini merupakan respons stres adaptif dalam jangka pendek. Respons stres adaptif
menyebabkan yang pertama, hormon stres dilepaskan untuk membuat simpanan energi tersedia
untuk digunakan segera oleh tubuh. Kedua, energi dialihkan ke jaringan yang menjadi lebih
aktif selama stres, terutama otot dan otak. Sel-sel sistem kekebalan juga diaktifkan dan
bermigrasi ke "battle stations". (Schneiderman et al., 2005)

Hormon stres diproduksi oleh SNS dan sumbu adrenokortikal hipotalamus-hipofisis. SNS
merangsang medula adrenal untuk menghasilkan katekolamin (misalnya, epinefrin). Secara
paralel, inti paraventrikular dari hipotalamus menghasilkan faktor pelepas kortikotropin, yang
pada gilirannya merangsang hipofisis untuk menghasilkan adrenokortikotropin.
Adrenokortikotropin kemudian merangsang korteks adrenal untuk mengeluarkan kortisol.
Bersama-sama, katekolamin dan kortisol meningkatkan sumber energi yang tersedia dengan
mempromosikan lipolisis dan konversi glikogen menjadi glukosa atau gula darah. Lipolisis
adalah proses memecah lemak menjadi sumber energi yang dapat digunakan yaitu, asam lemak
dan gliserol. (Schneiderman et al., 2005)
Selain peningkatan ketersediaan dan redistribusi energi, respons stres akut mencakup
aktivasi sistem kekebalan. Sel-sel sistem kekebalan bawaan (misalnya makrofag dan sel NK),
garis pertahanan pertama, berangkat dari jaringan limfatik dan limpa dan memasuki aliran darah,
untuk sementara meningkatkan jumlah sel kekebalan yang beredar (yaitu, leukositosis). Dari
sana, sel-sel kekebalan bermigrasi ke jaringan yang paling mungkin mengalami kerusakan
selama konfrontasi fisik (misalnya, kulit). Setelah berada di "battle stations", sel-sel ini berada
dalam posisi mengandung mikroba yang dapat masuk ke tubuh melalui luka dan dengan
demikian memfasilitasi penyembuhan. (Schneiderman et al., 2005)

Stress pada lansia


Penelitian yang dilakukan oleh Azizah dan Hartanti (2016) mendapatkan bahwa sebagian
besar lansia mengalami stress dalam katagori sedang. Hasil penelitian ini sejalan dengan teori
yang menyebutkan bahwa pada umumnya lansia akan mengalami stress, kecemasan dan depresi
yang dapat terjadi gangguan baik fisik, mental maupun sosial. Dilihat dari segi mental lansia
dengan stress akan menjadi pemarah, pemurung, sering merasa cemas dan lain sebagainya.
(Seangpraw et al., 2020)
Tingkat stres di antara populasi lansia ini dapat berdampak negatif pada kesehatan dan
kesejahteraan mereka. Penelitian lain di tempat lain telah menunjukkan efek stres, yang
menunjukkan bahwa stres secara langsung akan mempengaruhi status mental dan fisik di antara
lansia. Lebih lanjut, ketika populasi lansia mengalami kesehatan fisik dan mental yang buruk,
mereka akan lebih cenderung memiliki kecemasan. Penyakit kronis dan masalah ekonomi adalah
penyebab utama stres di antara orang tua. Selain itu, stres dan kecemasan jangka panjang juga
dapat menyebabkan depresi dan kecenderungan bunuh diri di kalangan lansia. Studi di Korea
Selatan dan Denmark menemukan bahwa tingkat stres yang lebih tinggi dikaitkan dengan
kematian yang lebih tinggi. (Seangpraw et al., 2020)

2.3 Oral Squamus Cell Carcinoma

Menurut J. P. Shah dan Z. Gil, kanker rongga mulut adalah kanker paling umum keenam
di dunia. Lebih dari 90% dari semua kanker mulut adalah karsinoma sel skuamosa (SCC). kanker
jenis ini terjadi di berbagai belahan dunia. Di Indonesia, prevalensi kasus OSCC menyumbang 3-
20% dari seluruh kasus kanker, dan kematian pasien antara 2,4% -3,57% dan 76,3% berada pada
kanker stadium lanjut. Lebih dari 90% kasus kanker di daerah kepala dan leher adalah OSCC.
OSCC berkembang di rongga mulut dan orofaring dan dapat terjadi karena banyak penyakit.
Namun, merokok dan minuman beralkohol masih merupakan faktor risiko yang paling umum. Di
negara-negara Asia Selatan, Smokeless tobacco dan budaya inang adalah penyebab utama yang
terkait dengan OSCC. Mutasi gen juga dapat menyebabkan perkembangan kanker rongga mulut
dan orofaring. Namun, tidak ada gen spesifik yang diidentifikasi di OSCC. (Bugshan, A., &
Farooq, I. 2020)
SCC oral memiliki dampak yang lebih besar pada pria daripada wanita dengan
perbandingan P : W = 1.5 : 1, dengan kemungkinan penyebab karena lebih banyak pria daripada
wanita yang melakukan kebiasaan berisiko tinggi (seperti merokok dan konsumsi alkohol).
Probabilitas terjadinya SCC oral meningkat dengan lamanya paparan faktor risiko, dan
peningkatan usia meningkatkan perkembangan mutagenesis terkait usia dan perubahan
epigenetik lebih lanjut (Feller Liviu & Lemmer Johan, 2012).
Karsinoma sel skuamosa oral atau OSCC dapat memiliki banyak bentuk klinis yang mirip
dengan leukoplakia, leukoplakia verrucous, eritro-leukoplakia, atau eritroplakia dan pada
akhirnya dapat berkembang menjadi ulkus nekrotik dengan batas yang tidak teratur. Ketika
trauma terjadi, SCC oral lebih mudah berdarah dan seringkali menjadi infeksi sekunder
superfisial. SCC oral biasanya tidak menimbulkan rasa sakit kecuali jika terinfeksi secara
sekunder. Lesi besar dapat mengganggu fungsi bicara, mengunyah atau menelan (Feller Liviu &
Lemmer Johan, 2012)
Diagnosis lesi yang mencurigakan biasanya dimulai dengan pemeriksaan mulut rutin,
termasuk evaluasi klinis dan palpasi mukosa mulut di bawah pencahayaan dental chair.
Kemampuan mendiagnosis OSCC secara dini sangat penting untuk menurunkan morbiditas dan
mortalitas penderita yang tinggi. Salah satu metode yang paling umum digunakan untuk
mendiagnosis OSCC adalah vital staining atau pewarnaan vital dengan toluidine blue (TB), yang
merupakan metode yang dikenal untuk mengidentifikasi lesi premaligna dan maligna juga
direkomendasikan sebagai bagian dari evaluasi klinis jaringan mukosa mulut, Terutama pada
pasien yang berisiko tinggi. (Givony Shahaf, 2020)
Perawatan yang paling umum untuk mengobati kanker rongga mulut bisa bersifat non-
invasif, seperti terapi radiasi. Dan dalam banyak kasus, dapat bersifat invasif, seperti
pembedahan, yang biasanya merupakan pengobatan pilihan yang pertama. Radioterapi dapat
digunakan sendiri atau dikombinasikan dengan kemoterapi untuk mengobati tumor primer
(initial tumor). terapi kombinasi ini dapat digunakan sebagai terapi neoadjuvan, yang akan
mengurangi ukuran tumor sebelum operasi awal. Radioterapi juga dapat digunakan sebagai
terapi adjuvan, yang akan meningkatkan efisiensi pengobatan awal, sehingga memperpanjang
tingkat kelangsungan hidup, mengurangi perubahan kemungkinan kambuh, dan bahkan
memperbaiki gejala kanker mulut stadium lanjut. (Givony Shahaf, 2020)
Radioterapi memiliki beberapa kelemahan utama seperti xerostomia, osteoradionecrosis,
mucositis dan pengobatan dalam durasi panjang pada pasien usia muda tidak dianjurkan. Metode
pengobatan kanker mulut seperti pembedahan, radioterapi, dan kemoterapi berdampak besar
pada kualitas. Kehidupan pasien, dan karena lokasinya dianggap berisiko tinggi dan menarik
(Givony Shahaf, 2020)

2.4 Beta Endorphin Transplantation

Beta-endorphin (BEP) adalah neuronpeptida opioid endogen yang diproduksi pada


hipotalamus dengan memegang kunci peranan dalam menghambat produksi hormon stress,
menjaga sistem pertahanan kekebalan tubuh, menghasilkan analgesia, dan perasaan nyaman.
Tingkat b- endorphin pada sentral yang rendah dihubungkan dengan proses gangguan psikiatri
terkait stres, depresi, dan gangguan stres pasca trauma. Abnormalitas pada fungsi saraf b-
endorphin berkorelasi dengan terjadinya insiden kanker. (Sarkar et al., 2011) (Sarkar, Murugan,
Zhang and Boyadjieva, 2012) (Zhang et al., 2014)
Stress neurobehavioral kronis dapat meningkatkan pertumbuhan dan perkembangan
berbagai jenis kanker. Di lain sisi telah lama diketahui bahwa menghilangkan stress akibat
kanker memberikan efek pemulihan yang lebih cepat dan pada pasien yang menjalani kemoterapi
atau radioterapi secara umum. (Sarkar, Murugan, Zhang and Boyadjieva, 2012)
Pada penelitian yang dilakukan oleh (Sarkar, Murugan, Zhang and Boyadjieva,2012)pada
model hewan tikus , Teknik yang digunakan dalam penelitiannya mentransplantasikan sel b-
endorphin, dimana sel b- endorphin asli dibedakan dengan neuronal stem cells secara in vitro dan
kemudian ditransplantasikan ke paraventricular nucleus di lokasi di mana neuron b-endorfin
endogen melakukan kontak sinaptik . Sedangkan penelitian yang dilakukan oleh (Zhang et al.,
2014) pada model hewan coba tikus b-endorphin neuron ditransplantasikan langsung ke dalam
hipothalamus dapat menekan kanker yang diinduksi oleh karsinogen dan hormone pada berbagai
jaringan dan dapat mencegah pertumbuhan dan metastatis tumor melalui aktivasi system imun
tubuh bawaan.
Pada penelitian yang dilakukan oleh (Sarkar, Murugan, Zhang and Boyadjieva) yang
dilakukan pada model hewan menyatakan bahwa pengurangan stress tubuh melalui transplantasi
b-endorphin di otak mengurangi pertumbuhan dan perkembangan kanker pada kanker payudara
dan prostat, diduga bahwa hal ini terjadi mungkin dikarenakan dengan mengubah fungsi ANS
(autonomic nervous system) yang mengarah pada aktivasi imunitas bawaan dan menurunnya
tingkat inflamasi dan anti-insflamasi rasio sitokin. Sedangkan, menurut (Zhang et al., 2014)
penggunaan transplantasi neuron BEP berfungsi mengaktifkan sistem opioid endogen untuk
regulasi stres dan fungsi neuroimun yang menunjukkan hasil yang menjanjikan.
BAB III

Kerangka konseptual

Usia Lanjut Stress

HPA Axis

β-endorphine
ACTH
(BEP) 

Adrenal  Adrenaline 
Noradrenaline 

Glukokortikoid  Kortisol 
+

+
Progresivitas OSCC

-
Sistem imun 

BEP Transplant
BAB IV

METODE

Penelusuran menyeluruh dari pencarian literature review dilakukan dengan menggunakan


database Google Schoolar, NCBI, PubMed, dan Research Gate menggunakan kata kunci yang
dipilih yakni : beta endorphin transplant, stress, OSCC, kanker. Artikel atau jurnal yang sesuai
selanjutnya dianalisis. Literature Review ini menggunakan literature terbitan tahun 2011 - 2020
yang dapat diakses fulltext dalam format pdf. Kriteria jurnal yang direview adalah artikel jurnal
penelitian berbahasa Indonesia dan Inggris. Jenis jurnal yang digunakan yaitu literatur review,
dan research. Kriteria jurnal yang terpilih untuk review adalah jurnal yang didalamnya terdapat
tema hubungan psikososial yang berkaitan dengan stress pada pasien kanker dan mekanisme
beta endorphine sebagai stress relief .  Selanjutnya pemilihan data dilakukan untuk memilih
masalah penelitian yang sesuai dengan topik yang dipilih. Dengan topik tersebut data jurnal yang
diakses dalam literature ini diberi batasan sebagai berikut : 
a. Jurnal yang diterbitkan dalam rentan waktu tahun 2011 - 2020.
b. Menggunakan tipe literature review dan research. 
BAB V

HASIL

Kategori Jumlah Artikel/ Gambaran Singkat


Pencarian Jurnal

Hubungan Stress 4 ( Said. 2012; WHO telah menetapkan kanker menjadi salah satu
dan Progresivitas Prima et al. 2020 ; penyakit yang disebabkan oleh pola hidup yang
Kanker, Hubungan Daniel G. et al, tidak baik, seperti stress. Stress dipengaruhi oleh
Stress dan OSCC 2011; Bowen fungsi fisiologis tubuh, kepribadian, karakteristik
Zhang, et al, 2020) perilaku, dan juga sifat dari stressor tersebut. Stress
berkontribusi sampai 80% pada perkembangan
penyakit termasuk kanker. Hal ini dikarenakan
stres dapat meningkatkan perogresifitas sel kanker.
Pasien dengan oral cancer seringkali memiliki
tingkat stress yang tinggi. Dan ditemukan bahwa
stress kronis menghasilkan ukuran tumor yang
lebih besar dan pertumbuhan OSCC yang lebih
invasif.

Beta Endorphin 3 (Sarkar et al.,


Transplant sebagai 2011) (Sarkar, Beta-endorphin (BEP) adalah
Stress Relief Murugan, Zhang neuronpeptida opioid endogen yang diproduksi
and Boyadjieva, pada hipotalamus dengan memegang kunci peranan
2012) (Zhang et al., dalam  menghambat produksi hormon stress,
2014) menjaga sistem pertahanan kekebalan tubuh,
menghasilkan analgesia, dan perasaan nyaman. Di
lain sisi telah lama diketahui bahwa menghilangkan
stress akibat kanker memberikan efek pemulihan
yang lebih cepat dan pada pasien yang menjalani
kemoterapi atau radioterapi secara umum. 

Menurut J. P. Shah dan Z. Gil, kanker rongga mulut adalah kanker paling umum keenam di
dunia. Lebih dari 90% dari semua kanker mulut adalah karsinoma sel skuamosa (SCC). kanker
jenis ini terjadi di berbagai belahan dunia. Di Indonesia, prevalensi kasus OSCC menyumbang 3-
20% dari seluruh kasus kanker, dan kematian pasien antara 2,4% -3,57% dan 76,3% berada pada
kanker stadium lanjut. Lebih dari 90% kasus kanker di daerah kepala dan leher adalah OSCC.
OSCC merupakan kanker yang paling sering terjadi pada orang dewasa dan usia lanjut dengan
persebaran <41 tahun (3%), 41 – 60 tahun (46%), 61 – 80 tahun (41%), dan >80 tahun (10%).
OSCC terdistribusi pada perbatasan lidah (37%), gingiva (20%) dan pada dasar mulut (19%).
(PIRES et al., 2013 dan Bugshan, A., & Farooq, I. 2020)
Perubahan hormonal dan sistem imun tubuh akibat stres kronis dan kondisi perilaku
lainnya dapat mempengaruhi perkembangan dan progresivitas kanker. Pasien dengan kanker
mulut seringkali memiliki tingkat stres kronis yang tinggi. Juga ditemukan bahwa stres kronis
menghasilkan ukuran tumor yang lebih besar dan pertumbuhan OSCC yang lebih invasif (Daniel
G. et al, 2011; Bowen Zhang, et al, 2020)

Menurut (Zhang et al., 2014) penggunaan transplantasi neuron BEP berfungsi mengaktifkan
sistem opioid endogen untuk regulasi stres dan fungsi neuroimun yang menunjukkan hasil yang
menjanjikan. Penggunaan BEP transplan digunakan untuk mengaktifkan sistem opioid endogen
untuk regulasi stres dan fungsi neuroimun dengan menunjukkan hasil yang menjanjikan, BEP
tidak hanya menghambat respon stress dari hipotalamuspituitari-adrenal (HPA)  melalui
interaksi dengan corticotrophin-releasing hormone (CRH) dalam  paraventricular nucleus
(PVN) tetapi juga menghambat symphatetic nervous system (SNS) dan mengaktifkan sistem
saraf parasimpatis melalui persarafan di PVN di mana molekul BEP ini berikatan dengan
reseptor δ- dan μ-opioid untuk memodulasi neurotransmisi neuron di autonomic nervous system
autonomic nervous system (ANS). (Zhang et al., 2014 dan Sarkar, Murugan, Zhang and
Boyadjieva, 2012)
BAB VI

Pembahasan

4.1 Hubungan Stress terhadap Progressivitas OSCC

WHO telah menetapkan kanker menjadi salah satu penyakit yang disebabkan oleh pola
hidup yang tidak baik, seperti stress, kurangnya berolah raga, merokok, mengonsumsi minuman
beralkohol, serta pola diet yang buruk. Belum ada riset yang membuktikan bahwa aspek
psikososial dapat secara langsung menimbulkan kanker, namun kenyataannya insiden kanker
cenderung lebih tinggi pada kalangan yang memiliki perilaku atau ciri emosional tertentu. Stress
dipengaruhi oleh fungsi fisiologis tubuh, kepribadian, karakteristik perilaku, dan juga sifat dari
stressor tersebut.(Said,2012)

Kanker dan stress merupakan kompleksitas, heterogenitas, dan pathogenesis multi faktor.
Stress terjadi ketika seseorang merasa terbebani dengan suatu hal yang melebihi dari
kapasitasnya. Stress berkontribusi sampai 80% pada perkembangan penyakit termasuk kanker.
Hal ini dikarenakan stres dapat meningkatkan perogresifitas sel kanker. Kondisi stress yang
dialami oleh penderita kanker dapat terjadi akibat beberapa faktor seperti jenis kelamin, jenis
kanker, jenis terapi, lama sakit, serta usia. Dua faktor yang berhubungan dengan stress yaitu
karakteristik demografi dan kondisi kesehatan pasien. (Prima et al, 2020)

Semakin banyak penelitian yang menunjukkan banwa perubahan hormonal dan sistem
imun tubuh akibat stres kronis dan kondisi perilaku lainnya dapat mempengaruhi perkembangan
dan progresivitas kanker. Penelitian sebelumnya telah menunjukkan bahwa pasien dengan
kanker mulut seringkali memiliki tingkat stres kronis yang tinggi. Juga ditemukan bahwa stres
kronis menghasilkan ukuran tumor yang lebih besar dan pertumbuhan OSCC yang lebih invasif.
Produk neurohormonal yang berasal dari stres kronis dapat menurunkan sitotoksisitas sel
Natural Killer (NK) dengan cara menghambat respon sel terhadap sitokin tertentu seperti
interferon-gamma (IFN-c) dan interleukin-2 (IL-2). Hormon stres juga memiliki kemampuan
untuk mempengaruhi secara langsung pada sel tumor dan deregulasi produksi sitokin, kemokin,
dan faktor pertumbuhan yang terkait dengan perkembangan dan progresivitas kanker (Daniel G.
et al, 2011 dan Bowen Zhang, et al, 2020)

4.2 Mekanisme Beta Endorphine Transplantation Sebagai Stress Relief

Beta-endorphin (BEP) adalah neuron peptida opioid endogen yang diproduksi pada
hipotalamus dengan memegang kunci peranan dalam menghambat produksi hormon stress,
menjaga sistem pertahanan kekebalan tubuh, menghasilkan analgesia, dan perasaan nyaman.
Tingkat b- endorphin pada sentral yang rendah dihubungkan dengan proses gangguan psikiatri
terkait stres, depresi, dan gangguan stres pasca trauma. Abnormalitas pada fungsi saraf b-
endorphin berkorelasi dengan terjadinya insiden kanker. (Sarkar et al., 2011) (Sarkar, Murugan,
Zhang and Boyadjieva, 2012) (Zhang et al., 2014)

Neuron b-endorphin (BEP) di hipotalamus mengontrol pertumbuhan dan perkembangan sel


tumor dengan memodulasi neurotransmisi dalam sistem saraf otonom dan mengaktifkan fungsi
sel imun. Efeknya termasuk stimulasi sistem saraf parasimpatis dan pelepasan asetil kolin (Ach)
dan penekanan sistem saraf simpatis dan pelepasan norepinefrin (NE) yang mengarah ke aktivasi
sel imun bawaan (termasuk makrofag dan sel NK) dari organ limfoid dan peningkatan sel imun
sitotoksik dan kadar sitokin anti inflamasi dalam sirkulasi. Dalam lingkungan mikro tumor,
perubahan sel imun dan sitokin ini meningkatkan apoptosis sel tumor dan mengurangi transisi
epitelial-mesenkim yang dimediasi inflamasi (EMT), dan dengan demikian menekan
pertumbuhan dan perkembangan kanker. Secara kolektif, efek ini menciptakan lingkungan yang
tidak menguntungkan untuk inisiasi, pertumbuhan dan perkembangan tumor. (zhang and sarkar,
2012)

Penggunaan BEP transplan digunakan untuk mengaktifkan sistem opioid endogen untuk
regulasi stres dan fungsi neuroimun dengan menunjukkan hasil yang menjanjikan BEP tidak
hanya menghambat respon stress dari hipotalamuspituitari-adrenal (HPA) melalui interaksi
dengan corticotrophin-releasing hormone (CRH) dalam paraventricular nucleus (PVN) tetapi
juga menghambat symphatetic nervous system (SNS) dan mengaktifkan sistem saraf
parasimpatis melalui persarafan di PVN di mana molekul BEP ini berikatan dengan reseptor δ-
dan μ-opioid untuk memodulasi neurotransmisi neuron di autonomic nervous system autonomic
nervous system (ANS). (Zhang et al., 2014)

Pada penelitian yang dilakukan oleh (Sarkar, Murugan, Zhang and Boyadjieva,2012) pada
model hewan tikus, Teknik yang digunakan dalam penelitiannya mentransplantasikan sel b-
endorphin, dimana sel b- endorphin asli dibedakan dengan neuronal stem cells secara in vitro dan
kemudian ditransplantasikan ke paraventricular nucleus di lokasi di mana neuron b-endorfin
endogen melakukan kontak sinaptik . Sedangkan penelitian yang dilakukan oleh (Zhang et al.,
2014) pada model hewan coba tikus b-endorphin neuron ditransplantasikan langsung ke dalam
hipothalamus dapat menekan kanker yang diinduksi oleh karsinogen dan hormone pada berbagai
jaringan dan dapat mencegah pertumbuhan dan metastatis tumor melalui aktivasi system imun
tubuh bawaan.

Pada penelitian yang dilakukan oleh (Sarkar, Murugan, Zhang and Boyadjieva) yang
dilakukan pada model hewan menyatakan bahwa pengurangan stress tubuh melalui transplantasi
b-endorphin di otak mengurangi pertumbuhan dan perkembangan kanker pada kanker payudara
dan prostat, diduga bahwa hal ini terjadi mungkin dikarenakan dengan mengubah fungsi ANS
(autonomic nervous system) yang mengarah pada aktivasi imunitas bawaan dan menurunnya
tingkat inflamasi dan anti-insflamasi rasio sitokin. Sedangkan, menurut (Zhang et al., 2014)
penggunaan transplantasi neuron BEP berfungsi mengaktifkan sistem opioid endogen untuk
regulasi stres dan fungsi neuroimun yang menunjukkan hasil yang menjanjikan. Dengan regulasi
stress dan fungsi neuroimun yang baik maka progresivitas kanker dapat dihambat, hal ini
dikarenakan sitotoksisitas dari sel Natural Killer (NK) tidak akan terganggu oleh produk
neurohormonal dari stres . Sehingga penggunaan BEP transplat ini tidak hanya bisa diterapkan
pada pasien dengan kanker payudara saja, melainkan sangat mungkin dilakukan pada pasien
dengan jenis kanker lain seperti OSCC.
Daftar Pustaka

1. Ardhie, AM. 2011. Radikal Bebas dan Peran Antioksidan dalam Mencegah Penuaan.
Medicinus. 24 (1)

2. Azizah, R dan R. D. Hartatnti. 2016. Hubungan antara Tingkat Stres dengan Kualitas Hidup
Lansia Hipertensi di Wilayah Kerja Puskesmas Wonopringgo Pekalongan. The 4 th
University Research Coloqium. 261- 278.

3. Bowen Zhang, Chenzhou Wu, Wen Chen, Ling Qiu, Shensui Li, Tao Wang, Huixu Xie, Yi
Li, Chunjie Li, Longjiang Li. The stress hormone norepinephrine promotes tumor
progression through β2-adrenoreceptors in oral cancer. Archives of Oral Biology. Volume
113. 2020. 104712. ISSN 0003-9969. https://doi.org/10.1016/j.archoralbio.2020.104712.
4. Bugshan, A., & Farooq, I. (2020). Oral squamous cell carcinoma: metastasis, potentially
associated malignant disorders, etiology and recent advancements in diagnosis.
F1000Research, 9, 229. https://doi.org/10.12688/f1000research.22941.1

5. Daniel G. Bernabé, Adriano C. Tamae, Éder R. Biasoli, Sandra H.P. Oliveira. Stress
hormones increase cell proliferation and regulates interleukin-6 secretion in human oral
squamous cell carcinoma cells. Brain, Behavior, and Immunity, Volume 25, Issue 3. 2011.
Pages 574-583. ISSN 0889-1591. https://doi.org/10.1016/j.bbi.2010.12.012.
6. Feller, Liviu & Lemmer, Johan. (2012). Oral Squamous Cell Carcinoma: Epidemiology,
Clinical Presentation and Treatment. Journal of Cancer Therapy. 03.
10.4236/jct.2012.34037. 
7. Givony Shahaf. (2020). Oral squamous cell carcinoma (OSCC) an overview. Journal of
Medical Sciences.  Vol. 8 (13), p. 67-74
8. J. P. Shah and Z. Gil, “Current Concepts in Management of Oral Cancer-Surgery,” Oral
Oncology, Vol. 45, No. 4, 2009, pp. 394-401.

9. Kruk, J., Enein, B., Bernstein, J. and Gronostaj, M., 2019. Psychological Stress and Cellular
Aging in Cancer: A Meta-Analysis. Oxidative Medicine and Cellular Longevity, 2019,
pp.1-23.

10. Nauli FA, Yuliatri E, Savita R. 2014. Hubungan Tingkat Depresi dengan Tingkat
Kemandirian dalam Aktivitas Sehari Hari pada Lansia di Wilayah Kerja Puskesmas
Tembilahan Hulu. Jurnal Keperawatan Soedirman. Vol 09 No. 2.

11. PIRES, F., RAMOS, A., OLIVEIRA, J., TAVARES, A., LUZ, P. and SANTOS, T., 2013.
Oral squamous cell carcinoma: clinicopathological features from 346 cases from a single
Oral Pathology service during an 8-year period. J Appl Oral Sci., 21(5), pp.460 - 467.

12. Prima A, Pangastuti HS, Settiyarini S. 2020. Karakteristik Demografi dan Kondisi
Kesehatan sebagai Prediktor Stress pada Pasien Kanker. Jurnal Keperawatan.Vol 4(01)

13. Said MI. 2012. Hubungan Ketidaknyamanan : Nyeri dan Malodour dengan Tingkat Stress
pada Pasien Kanker Payudara di RSKD Jakarta dan RSAM Bandar Lampung. Tesis.
Fakulas Ilmu Keperawatan. Universitas Indonesia

14. Sarkar, D., Murugan, S., Zhang, C. and Boyadjieva, N., 2012. Regulation of Cancer
Progression by  -Endorphin Neuron. Cancer Research, 72(4), pp.836-840.
15. Sarkar, D., Zhang, C., Murugan, S., Dokur, M., Boyadjieva, N., Ortiguela, M., Reuhl, K.
and Mojtehedzadeh, S., 2011. Transplantation of  -Endorphin Neurons into the
Hypothalamus Promotes Immune Function and Restricts the Growth and Metastasis of
Mammary Carcinoma. Cancer Research, 71(19), pp.6282-6291.
16. Sarkar DK, Murugan S, Zhang C, Boyadjieva N. Regulation of cancer progression by β-
endorphin neuron. Cancer Res. 2012;72(4):836-840. doi:10.1158/0008-5472.CAN-11-3292

17. Schneiderman, N., Ironson, G. and Siegel, S., 2005. Stress and Health: Psychological,
Behavioral, and Biological Determinants. Annual Review of Clinical Psychology, 1(1),
pp.607-628.
18. Seangpraw, K., Auttama, N., Kumar, R., Somrongthong, R., Tonchoy, P. and Panta, P.,
2020. Stress and associated risk factors among the elderly: a cross-sectional study from
rural area of Thailand. F1000Research, 8, p.655.

19. Sprouse-Blum AS, Smith G, Sugai D, Parsa FD. Understanding endorphins and their
importance in pain management. Hawaii Med J. 2010;69(3):70-71.)

20. Thunström, A.O, Mossello, E., Åkerstedt, T., Fratiglioni, L. and Wang, H., 2015. Do levels
of perceived stress increase with increasing age after age 65? A population-based study.
Age and Ageing, 44(5), pp.828-834.

21. Uyainah A, Bahar A, Pramantara DP, Wahyudi ER, Harimurti K, Legiawati L, Laksmi PW,
Kuswardhani RA, Setiati S. 2015. Management of Frailty as a New Geriatric Giant: How to
Deal with Dilemmatic Health Problems in Elderly Patient. Perhimpunan Gorontologi
Medik Indonesia : Jakarta
22. Zhang, C., Murugan, S., Boyadjieva, N., Jabbar, S., Shrivastava, P. and Sarkar, D., 2014.
Beta-Endorphin Cell Therapy for Cancer Prevention. Cancer Prevention Research, 8(1),
pp.56-67.
23. Zhang C, Murugan S, Boyadjieva N, Jabbar S, Shrivastava P, Sarkar DK. Beta-endorphin
cell therapy for cancer prevention. Cancer Prev Res (Phila). 2015;8(1):56-67.
doi:10.1158/1940-6207.CAPR-14-0254
24. Zhang, C., & Sarkar, D. K. (2012). β-endorphin neuron transplantation.
OncoImmunology, 1(4), 552–554. doi:10.4161/onci.19335
25. Zhang, M., A. Simon, M. and Dong, X., 2014. The Prevalence of Perceived Stress among
U.S. Chinese Older Adults. AIMS Medical Science, 1(1), pp.40-56. doi:
10.3934/medsci.2014.1.40

Anda mungkin juga menyukai