Anda di halaman 1dari 7

PEMBAHASAN

Kanker mulut menempati urutan ke enam penyakit kanker yang


ada didunia, dengan prevalensi tinggi di Asia Selatan (Shah & Gil, 2009).
Konsumsi tembakau dan alkohol merupakan faktor etiologi yang sering
meyebabkan terjadinya kanker jenis ini. Akan tetapi HPV mulai
diindentifikasi sebagai penyebab timbulnya kanker mulut. Operasi
merupakan cara yang paling banyak dilakukan untuk mengatasi penyakit
ini. Faktor – faktor yang mempengaruhi terapi berkaitan dengan tumor dan
kondisi pasien. Letak utama, ukuran, jarak terhadpa tulang, dan dalamnya
infiltrasi tumor merupakan faktor yang mempengaruhi pendekatan
pembedahan pada pasien (Shah & Gil, 2009).
Pasien Ny. D dengan usia 41 tahun dengan berat badan 32 Kg dan
tinggi 138 cm merupakan pasien BPJS dengan diagnose Ca Maxilla
Dektra yang mengalami tindakan maxillectomy total. Maxillectomy total
merupakan tindakan pembedahan pada seluruh daerah maxilla.
Pembedahan atau reseksi melibatkan daerah dasar dan tengah dinding dari
orbital dan ethmoid sinus (Fagan, 2009). Maxillectomy total sangat
berpotensi mengakibatkan komplikasi akibat kerusakan daerah mata,
kelenjar lakrimal, saraf optik, arteri ethmoidal, intrakranial dan adanya
kemungkinan perdarahan yang banyak (Fagan, 2009).
Pada pasien Ny. D mendapatkan terapi yang meliputi terapi
antibiotik, terapi analgesik, terapi mual dan muntah dan terapi suportif.
Terapi antibiotika meliputi terapi antibiotika profilaksis dan terapi
antibiotika post operasi. Terapi antibiotika profilaksis pada Ny.D yaitu
cefazolin. Cefazolin merupakan golongan cefalosporin generasi pertama
yang bekerja dengan mengikat satu atau lebih penicillin binding protein
mengakibatkan hambatan pembentukan dinding sel bakteri serta
merupakan antibiotika time dependent (konsentrasi hambatan tergantung
dari pemberian/interval). Cefazolin digunakan sebagai antibiotika
profilaksis preoperatif yang digunakan 30 menit sebelum tindakan/operasi.
Antibiotika profilaksis yang digunakan selama 24 jam dapat menurunkan
resiko kolonisasi atau super infeksi dan penggunaan antibiotik perioperatif
dapat menurunkan insiden luka operasi secara signifikan (Skiteralic et al.,
2007). Rata – rata insiden infeksi pada luka operasi berkisar 14 – 40%
(Skiteralic et al., 2007). Pada psien Ny. D diberikan cefazolin sebagai
antibiotika profilaksis sebelum dilakukan operasi maxillectomy total yang
tergolong operasi bersih terkontaminasi. Berdasarkan pedoman
penggunaan antibiotika RSUD dr. Soetomo untuk profilaksis bedah kepala
dan leher direkomendasi cefazolin dengan dosis 1 gram – 2 gram
intravena. ASHP menyebutkan bahwa flora pada normal pada mulut
didominasi oleh mikroorganisme yang meliputi streptococcus (aerobik dan
anaerob), S. Epidermidis, Peptococcus, Peptostreptococcus, dan banyak
kuman anaerob gram negatif (spesies Bacteroides tetapi bukan B. Fragilis
dan veillonella). Bakteri aerob gram negatif merupakan bakteri koloni
daripada patogen pada kebanykan pasien (ASHP, 2013). Dalam ASHP
dijelaskan bahwa untuk operasi bersih terkontaminasi kepala leher
digunakan cefazolin 2 gram intravena pada saat induksi anastesi dan setiap
8 jam selama 24 jam (ASHP, 2013) atau 1 gram sebelum tindakan operasi
diulang dengan 500 mg sampai 1 gram bila operasi diperpanjang, diikuti
dengan 500 mg sampai 1 gram setiap 6 – 9 jam sesudah operasi (Lacy et
al., 2009). Pada pasien mendapatkan cefazolin pada saat akan dilakukan
tindakan (3/03/2015) sebanyak 2 gram diteruskan sampai tanggal
4/03/2015 pagi. Jadi penggunaan cefazolin pada pasien tersebut sudah
tepat dimana pasien mendapatkan 2 gram sebelum operasi (jam 09.15 –
11.15) kemudian diterukan hingga 4/03/2015 (post operasi selama 24
jam). Pasien juga mendapatkan antibiotika cefixime setelah operasi dari
tanggal 7 – 11/03/2015. Pemberian cefixime pada pasien post operasi
maxillectomy total tidak ditemukan adanya indikasi dimana pada pasien
tidak didapatkan tanda – tanda SIRS maupun kultur yang dilakukan.
Cefixime merupakan golongan cefalosporin generasi ketiga yang aktif
terhadap bakteri gram negatif. Meskipun telah disebutkan di atas bahwa
bakteri gram negatif banyak terdapat pada daerah mulut tetapi pada salah
satu jurnal RCT yang kami temukan mengenai operasi yang dilakukan di
daerah mulut dan leher didapatkan hasil bahwa rata – rata infeksi akibat
operasi maxillectomy kecil/tidak ditemukan (Skiteralic et al., 2007). Rata –
rata infeksi yang tinggi ditemukan pada tindakan laryngectomy (28%) dan
pharyngetomy (33%). Sehingga untuk pemberian cefixime kami
rekomendasikan untuk tidak diberikan menginggat tanda – tanda SIRS
maupun data lab yang tidak ada pada pasien serta tanda – tanda klinik
pasien dalam rentang normal. Berikutnya pasien mendapatkan gentamcin
salep pada tanggal 5 – 10/03/2015. Terapi tersebut diberikan karena
terdapat luka pada bekas operasi, dimana antibiotika topikal diberikan
pada kasus adanya bekas luka sesudah operasi untuk mencegah terjadinya
infeksi. Penggunaan antibiotika lokal sebaiknya digunakan untuk luka
operasi yang baru dengan periode waktu yang singkat dan tidak untuk
digunakan pada luka operasi yang luas dan terbuka (Scwartz & Muntairi,
2010). Gentamisin merupakan antibiotika golongan aminoglikosida yang
diproduksi oleh strain Micromonospora purpurea dengan mekanisme
menghambat sintesis protein dan translasi mRNA. Spesien yang sensitif
terhadap antibiotika ini meliputi golongan enterobacteria (Aerobacter,
Escherichia, Klebsiella, Salmonella, Shigella, Proteus kecuali P. vulgaris
dan Psuedomonas) dan gram positif bakteri meliputi staphylococci.
Gentamisin pada prinsipnya digunakan untuk infeksi yang yang
disebabkan oleh Ps. aeruginosa dan staphylococci (Scwartz & Muntairi,
2010). Dosis dan penggunaan dari salep gentamisin pada pasien Ny. D
sudah sesuai yaitu digunakan sehari 4 kali selama 5 hari pada bekas luka
operasi yang masih baru.
Terapi selanjutnya yang diberikan kepada Ny. D adalah terapi
analgesik. Pasien dengan tindakan/operasi kanker pada leher dan kepala
besar kemungkinan untuk mengalami nyeri akut (Kuo & Williams, 2011).
Nyeri akut post operasi harus diterapi secukupnya dan tepat untuk
mencegah terjadinya nyeri kronik post operasi (Kuo & Williams, 2011).
Terapi analgesik diberikan berdasarkan tanda klinik melalui nilai VAS
(Visual Analogue Scale). Pada tanggal 1/03/2015 nilai VAS pasien (2 -3)
namun pasien tidak mendapatkan terapi apapun. Hal ini kemungkinan
berdasarkan pertimbangan bahwa nyeri yang dialami pasien hanya terjadi
pada waktu tertentu dan keesokan harinya pasien sudah tidak mengeluhkan
nyeri lagi. Pada tanggal 3/03/2015 pasien menjalani operasi dan
mengeluhkan nyeri yang sangat (VAS = 6 – 7), pasien diberikan terapi
tramadol yang bekerja secara sentral dengan berikatan pada reseptor
opioid (mu) menyebabkan hambatan pada jalur nyeri ascending. Tramadol
mempunyai efikasi yang bagus untuk pasien dengan nyeri akut maupun
kronik (moderate – severe) (Lacy et al., 2009 ; Brunton, 2012). Dosis dan
interval pemberian dari tramadol tersebut sudah sesuai menurut WHO pain
ladder, dimana untuk nyeri yang moderate – severe dapat diberikan
golongan opioid. Ny. D mendapatkan terapi tramadol dari tanggal 3 –
5/03/2015, dimana pada tanggal 4/03/2015 nyeri pasien mengalami
perbaikan (VAS = 3 – 4). Pada tanggal 5 – 6/03/2015 Ny. D mendapatkan
terapi analgesik tambahan yaitu ketorolak. Ketorolak merupakan golongan
NSAID yang sangat selektif terhadap COX – 1 dan merupakan analgesik
yang sangat poten. Pada tanggal 7/03/2013 Ny. D hanya mendapatkan
pasetamol sebagai analgesik. Dari pola terapi analgesik yang didapatkan
Ny. D tersebut kami merekomendasikan untuk tidak memberikan
ketorolak pada tanggal 5 – 6/03/2015 disebabkan nilai dari VAS pasien
hanya (2 – 3). Dari data nilai VAS tersebut sebaiknya dari tanggal 3 –
5/03/2015 pasien diberikan kombinasi tramadol dan parasetamol yang
mempunyai efikasi yang baik untuk mengatasi nyeri yang moderate –
severe (Brunton, 2012 ; Lacy et al., 2009 ; Kuo & Wlliams, 2011) dan
dihentikan setelah tanda – tanda nyeri pada pasien hilang. Parasetamol
merupakan obat yang sudah banyak digunakan karena efikasi dan
keamanannya untuk banyak pasien dengan nyeri ringan sampai sedang
(Kuo & Wlliams, 2011). Dari data Cochrane didapatkan bahwa
parasetamol efektif sebagai analgesik pada pasien dengan nyeri akut post
operasi.
Terapi selanjutnya adalah postoperative nausea and vomiting
(PONV). Pasien mengalami mual pada tanggal 4/3/2015, hal ini
kemungkinan disebabkan pasien mendapatkan terapi tramadol yang dapat
menyebabkan mual/muntah dengan mekanisme menyebabkan upset pada
lambung yang pada akhirnya menyebabkan penurunan motilitas lambung
dan peningkatan sekresi lambung (Brunton, 2012), sehinggan pasien
diberikan ranitidin yang meruapkan AH2 bloker yang menyebabkan
hambatan sekresi asam lambung (Lacy et al., 2009). Ranitidin diberikan
dari tanggal 3 – 6/03/2015, pemberian ranitidin tersebut sebaiknya hanya
diberikan pada tanggal 4/03/2015 atau bila pasien menunjukkan tanda –
tanda klinik (mual) selain itu pasien juga sudah melakukan diet per sonde
sejak tanggal 4/03/2015 sehingga peningkatan sekresi asam lambung
kemungkinan sudah teratasi.
Terapi lainnya yang diperoleh Ny. D adalah kalnex yang bekerja
denga cara menghambat fibrinolisis dengan menggeser plasminogen dari
fibrin (Lacy et al., 2009). Terapi ini diberikan karena pasien mengalami
perdarahan pada tanggal 4/03/2015. Dosis dan frekuensi penggunaan
kalnex sudah sesuai namum lama penggunaan kalnex kurang tepat/terlalu
lama, sehingga kami merekomendasikan untuk menggunakan kalnex bila
terdapat perdarahan pada pasien (tanggal 4 – 6/03/2015). Pasien juga
mendapatkan terapi tablet Fe dari tanggal 7 – 16/03/2015) yang ditujukan
untuk penggantian/penyimpanan besi dalam haemoglobin, mioglobin, dan
enzim, dengan cara mengangkut O2 melalui haemoglobin (Lacy et al.,
2009). Dosis pemberian tablet Fe sudah sesuai namun indikasi pemberian
terapi tersebut kurang jelas dimana tidak ada tanda – tanda klinik pasien
mengalami anemia serta data lab Hb pasien, sehingga kami
merekomendasikan untuk tidak diberikan.
Terapi berikutnya adalah terapi cairan dan diet. Terapi tersebut
ditujukan untuk memenuhi kebutuhan kalori sehari hari. Pada pasien Ny.
D membutuhkan nutrisi enteral post operasi dimana pasien tidak bisa
mencukupi kebutuhan kalori per oral. Formula yang umum digunakan
untuk memperkirakan kebutuhan energi adalah 25 Kcal/Kg BB dan
meningkat sejumlah 30 Kcal/Kg BB pada kondisi stres yang tinggi (Braga
et al., 2009). Terapi suportif pada pasien Ny. D dilakukan sebelum dan
sesudah operasi dengan harapan mencegah terjadinya kelaparan dan
menjaga otot, imunitas, dan fungsi kognitif serta mempercepat proses
penyembuhan. Ny. D mendapatkan terapi berupa cairan elektrolit maupun
cairan sebagai sumber energi serta diet tinggi karbohidrat tinggi protein.
Berdasarkan perkiraan perhitungan energi yang diperlukan setiap harinya
untuk Ny. D adalah sebesar 960 Kcal/hari. Dari tanggal 26/02/2015 sampai
11/03/2015 hampir kebutuhan akan kalori terpenuhi dengan baik kecuali
pada tanggal 6/03/2015 dimana pasien hanya mendapatkan PZ dan susu
5x200 cc per sonde dengan total kalori sebesar 600 Kcal. Pada hari
tersebut terjadi deficit kalori sebesar 360 Kcal untuk memenuhi kebutuhan
kalori minimal. Menginggat pentingnya pemenuhan energi untuk
mempertahankan kondisi pasien maka kami rekomendasikan pada tanggal
6/03/2015 tetap diberikan infuse D5:RL (1:1) guna mencukupi kebutuhan
energi Ny. D yang belum mampu melakukan diet per oral.
KESIMPULAN DAN SARAN

A. KESIMPULAN
Dari pembahasan di atas maka dapat kami disimpulkan bahwa
terdapat beberapa terapi yang sebaiknya tidak perlu untuk diberikan
kepada Ny. D meliputi pemberian terapi cefixime selama 5 hari sesudah
operasi, pemilihan analgesik, lama pemberian kalnex pada tanggal4 –
maret 2015, pemberian tablet Fe sejak tanggal 7 Maret 2015, dan
pemberian terapi suportif (cairan, kalori, dan protein).
B. SARAN
Dari profil terapi yang diterima Ny. D dapat kami sarankan bahwa
cefixime tidak perlu diberikan pada pasien mengingat tanda klinik maupun
yang laboratorium tidak mendukung, pemberian ketorolak dapat diganti
dengan pemberian parasetamol dan sejak awal bisa diberikan terapi
kombinasi tramadol dan paraetamol, pemberian kalnex disesuaikan dengan
tanda perdarahan pada pasien sehingga hanya perlu diberikan bila pasien
mengalami perdarahan, pemberian suplemen Fe sebaiknya disesuaikan
dengan tanda klinik dan laboratorium (Hb), dan penambahan pemberian
cairan pada tanggal 6 Maret 2015 untuk memenuhi kebutuhan minimal
kalori pasien.

Anda mungkin juga menyukai