Anda di halaman 1dari 22

Laporan Studi Kasus SMF Ilmu Bedah Urologi

Program Pendidikan Magister Farmasi Klinik 2014

KASUS 4
SMF ILMU BEDAH UROLOGI

BATU URETRA ANTERIOR + AKI dd


ACKD + HIDRONEFROSIS SEDANG
(D) + RETENSI URIN

1
Laporan Studi Kasus SMF Ilmu Bedah Urologi
Program Pendidikan Magister Farmasi Klinik 2014
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Batasan
Batu ureter merupakan penyebab ketiga terbanyak yang mengenai
saluran kemih, terutama pada infeksi saluran kemih (ISK) dan kondisi
patologis prostat. Penyakit batu ureter merupakan masalah multifaktor yang
dapat menimbulkan komplikasi pada chronic kidney disease (CKD) dan
tidak ada solusi yang sederhana secara medis untuk mencegah kekambuhan
timbulnya batu. Sebagian besar batu melewati tubuh tanpa adanya intervensi
medis. Batu yang menyebabkan gejala terakhir atau komplikasi dapat diatasi
dengan berbagai cara, sebagian besar tidak melibatkan operasi besar.
Penelitian yang lebih lanjut diarahkan ke pemahaman yang lebih baik
tentang factor apa saja yang menimbulkan terjadinya batu, sehingga dapat
diberikan terapi yang lebih baik untuk mencegah terbentuknya batu (Stoller,
2008; Robertson, 2010).
Menurut Kidney Disease Outcome Quality Initiative (K/DOQI), terdapat 2
kriteria dari CKD, antara lain:
1. CKD didefinisikan sebagai kerusakan ginjal, baik secara fungsional
maupun morfologis, dengan waktu ≥ 3 bulan, dengan atau tanpa
penurunan GFR, dimanifestasikan sebagai salah satu dari
abnormalitas fisiologis atau penanda kerusakan ginjal termasuk
abnormalitas komposisi serum atau urine (NKF, 2002).
2. CKD didefinisikan dengan harga GFR <60 ml/menit/1,73 m2
selama ≥ 3 bulan, dengan atau tanpa kerusakan ginjal (NKF, 2002).
CKD biasanya diklasifikasikan berdasarkan pada penurunan
kemampuan ginjal. Kemmpuan ginjal ini dapat diketahui dari nilai laju
filtrasi glomerulus (GFR). Nilai GFR dapat diukur menggunakan senyawa-
senyawa yang bebas difiltrasi, tidak direabsorpsi, tidak beracun dan tidak
mengalami metabolisme dalam tubuh. Contoh dari senyawa ini adalah
kreatinin dan inulin (Ganong, 2005).

2
Laporan Studi Kasus SMF Ilmu Bedah Urologi
Program Pendidikan Magister Farmasi Klinik 2014
1.2 Etiologi
Klinisi dan tim medis tidak selalu mengetahui penyebab terjadinya
batu pada ureter. Bila makanan tertentu dapat meningkatkan pembentukan
batu pada beberapa pasien, peneliti tidak mempercayai bahwa
mengkonsumsi makanan tertentu menyebabkan terjadinya batu pada pasien
yang tidak diduga sebelumnya (Stoller, 2008; Robertson, 2010).
Pasien dengan riwayat keluarga menderita batu ureter memiliki
risiko lebih tinggi terserang batu. ISK, gangguan ginjal seperti penyakit
ginjal kistik dan beberapa gangguan metabolisme seperti hipertiroid juga
berhubungan dengan terbentuknya batu. Sekitar lebih dari 70% pasien
dengan penyakit herediter yang disebut asidosis tubular ginjal dapat
menyebabkan batu ureter.
Cystinuria dan hiperoksaluria adalah hal yang jarang terjadi. Pada
cystinuria, terlalu banyak penumpukan asam amino cystine yang tidak dapat
larut dalam urine sehingga mengendap dan membentuk batu ureter yang
mengandung cystine. Pada pasien dengan hiperoksaluria, tubuh
memproduksi garam oksalat dalam jumlah besar. Bila urine mengandung
banyak oksalat daripada yang terlarut, Kristal akan membentuk dan menjadi
batu (Brudicardi, 2006).
Hiperkalsiuria adalah penyakit turunan yang dapat menyebabkan
timbulnya batu ureter pada lebih dari ½ jumlah pasien dalam populasi.
Kalsium diabsorpsi dari makanan dalam jumlah yang berlebih dan
menumpuk di urine. Kadar kalsium yang tinggi dalam urine menyebabkan
Kristal kalsium oksalat atau kalsium fosfat yang terbentuk di ginjal atau
daerah di sekitar saluran kemih (Grace, 2002).

3
Laporan Studi Kasus SMF Ilmu Bedah Urologi
Program Pendidikan Magister Farmasi Klinik 2014

Gambar 1. Lokasi batu pada saluran genitouria (Smith, 2006)

Etiologi CKD antara lain faktor-faktor yang berpengaruh


mempunyai faktor risiko terjadinya penyakit ginjal (susceptibility factors),
faktor-faktor yang mengawali langsung kerusakan ginjal (initiation factors)
dan faktor-faktor yang memperparah kerusakan ginjal (progression factors)
(Joy et al, 2008). Etiologi CKD meliputi faktor-faktor risiko yang
ditunjukkan oleh tabel 1.
Tabel 1. Faktor-faktor risiko CKD (Joy et al, 2008)
Faktor-faktor risiko

Susceptibility factors Bertambahnya umur


Penurunan massa ginjal dan berat ginjal
Minoritas ras/etnik
Riwayat keluarga
Pendidikan/pendapatan rendah
Radang sistemik
Dislipidemia

Initiation factors Diabetes mellitus


Hipertensi
Glomerulonefritis
Penyakit autoimun
Penyakit ginjal polikistik
Toksisitas obat

4
Laporan Studi Kasus SMF Ilmu Bedah Urologi
Program Pendidikan Magister Farmasi Klinik 2014
Progression factors Peningkatan tekanan darah
Proteinuria
Merokok

1.3 Patofisiologi
Mineralisasi pada semua sistem biologik adalah inti utama
bertemunya Kristal dan matriks, tidak terkecuali pada batu ureter, yaitu
adanya agregat polikristalin yang mengandung berbagai Kristal dan matriks
organik. Teori untuk menjelaskan penyakit batu ureter masih belum lengkap.
Pembentukan batu membutuhkan urine yang supersaturasi. Kondisi
supersaturasi bergantung pada pH urine, ionic strength, konsentrasi solut
dan kompleksasi. Komposisi urine dapat berubah-ubah selama kondisi
fisiologis yang berbeda dari urine yang relative asam pada pagi hari menjadi
alkali setelah makan (American Urology Association, 2007).
Ionic strength ditentukan utamanya dari konsentrasi relative ion
monovalensi. Dengan meningkatnya ionic strength, koefisien aktivitas
menurun. Koefisien ini menunjukkan availabilitas ion yang ada. Peran dari
konsentrasi solute sangat jelas. Semakin besar konsentrasi 2 ion, maka
semakin mudah mengendap. Konsentrasi ion yang rendah menyebabkan
tidak jenuh dan meningkatkan kelarutan.
Pada saat konsentrasi ion naik, aktivitas terbentuknya produk
mencapai titik spesifik yang disebut solubility product (Ksp). Konsentrasi di
atas titik ini adalah metastabil dan mampu mengawali pertumbuhan Kristal
dan nukleasi heterogen. Dengan larutan yang menjadi semakin pekat,
aktivitas dari produk akan mencapai pembentukannya. Kadar supersaturasi
melewati titik ini adalah tidak stabil, dan nukleasi homogeny akan terbentuk
secara spontan.
Faktor lain yang berperan penting dalam perkembangan
pembentukan batu ureter adalah kompleksasi. Kompleksasi mempengaruhi
availabilitas ion tertentu, missal Na akan membentuk kompleks dengan
oksalat dan menurunkan bentuk ion bebasnya. Sulfat membentuk kompleks
dengan kalsium. Pembentukan Kristal diubah oleh adanya bahan-bahan lain
dalam saluran kemih, seperti Mg, sitrat, pirofosfat dan logam lainnya.

5
Laporan Studi Kasus SMF Ilmu Bedah Urologi
Program Pendidikan Magister Farmasi Klinik 2014
Inhibitor ini berfungsi sebagai tempat pertumbuhan Kristal aktif atau
sebagai inhibitor dalam larutan (seperti sitrat). Teori nukleasi menyebutkan
bahwa batu ureter berawal dari Kristal atau bagian lain yang asing yang
akan membuat urine menjadi jenuh. Batu juga tidak selalu terbentuk pada
pasien dengan hiperekskretori atau berisiko dehidrasi (American Urology
Association, 2007)
Chronic Kidney Disease yang ditimbulkan oleh adanya batu ureter
yang kronis menyebabkan kerusakan ginjal dengan berbagai cara yang
menyebabkan berbagai perubahan morfologi pada glomerulus.
Perkembangan kerusakan ginjal utamanya melalui 3 jalur, yaitu kerusakan
massa nefron, hipertensi intraglomerulus dan proteinuria. Paparan initiation
factors menghasilkan kerusakan massa nefron.
Kerusakan massa nefron dan fungsi ginjal akan dikompensasi
dengan hipertrofi nefron yang selanjutnya menjadi maladaptive dan
berkembang menjadi hipertensi glomerulus. Hipertensi glomerulus secara
tak langsung ditimbulkan oleh angiotensin II (AT II) yang merupakan
vasokonstriktor kuat arteriol aferen dan eferen. Efek AT II lebih kuat pada
arteriol eferen sehingga meningkatkan tekanan kapiler glomerulus (DiPiro,
2008). Hal ini memicu kerusakan permeabilitas glomerulus dan
menimbulkan proteinuria. Protein yang berada di tubulus renalis akan
menimbulkan peningkatan produksi sitokin peradangan dan vasoaktif pada
membrane apikal tubulus proksimal, sehingga akan menimbulkan kerusakan
dan penurunan fungsi ginjal. Adanya proteinuria dapat mempercepat
progesifitas kerusakan nefron (Joy et al, 2008).

1.4 Manifestasi Klinik / Gejala Klinik


Batu ureter sering tidak menunjukkan gejala / tanda apapun. Gejala
awal dari batu ureter pada umumnya adalah nyeri hebat pada punggung
bagian belakang (kolik), yang diawali bila batu tiba-tiba berpindah ke
saluran kemih dan memblokade aliran urine. Secara khas, pasien akan
merasakan nyeri yang tajam, kram di bagian punggung dan sekitar area
ginjal atau abdomen bagian bawah. Nantinya nyeri akan menyebar ke

6
Laporan Studi Kasus SMF Ilmu Bedah Urologi
Program Pendidikan Magister Farmasi Klinik 2014
daerah paha. Kadang dapat timbul rasa mual dan muntah. Bila batu ureter
terlalu besar, nyeri akan berlanjut pada dinding ureter yang menekan batu ke
kandung kemih. Dengan bergeraknya batu dan tubuh berusaha menolaknya,
darah akan Nampak pada urine. Saat batu turun ke ureter, pasien akan sering
merasa BAK lebih sering atau merasakan sensasi terbakar pada saat BAK.
Klasifikasi gejala pada batu ginjal adalah sebagai berikut (Nair &
Peate, 2009; Brazie & Hanes, 2008) :
1. Occults passage akibat batu yang masih berukuran kecil dan
asimptomatik (karena ukuran batu yang kecil)
2. Hematuria terjadi akibat pergerakan batu di dalam saluran kemih
85% dari kejadian dan dapat berukuran mikroskopik maupun
menyolok. Hematuria dapat timbul dengan atau tanpa gejala nyeri
3. Frekuensi dan disuria sering terjadi pada pasien dengan batu ginjal
terletak pada segmen intravesika dari ureter distal dan sring
disalahartikan sebagai gejala cystitis. Disuria juga dapat terjadi
pada bentukan sludge.
4. Nyeri abdomen, tenesmus dan rectal pain dapat timbul bila terdapat
batu pada renal pelvis dan sering disertai dengan mual dan muntah.
5. Kolik renal dengan flank pain yang menjalar hingga ligamen
inguinal, uretra, labia, testis dan penis merupakan karakterisitk
khas adanya batu di ureter yang mengakibatkan obastruksi. Nyeri
biasanya terlokalisasi pada flank dan biasanya parah dapat timbul
secara tiba-tiba dan membangunkan pasien dari tidurnya.

7
Laporan Studi Kasus SMF Ilmu Bedah Urologi
Program Pendidikan Magister Farmasi Klinik 2014
BAB II
PROFIL PENDERITA

II.1 Riwayat Penyakit


Nama : Tn. S.
No. RM : 1240.**.**
Ruangan Asal : Bedah Gladiol.
Umur/BB/TB : 56 tahun / 65 kg / 165 cm.
Alamat : Surabaya.
Status : BPJS.
Tanggal MRS : 20-03-2015.
Diagnosa : Batu Uretra Anterior.
Riwayat perjalanan penyakit : Pasien mengeluhkan tidak bisa buang air
kecil 1 hari sebelum masuk rumah sakit. Kencing menetes pada 3 hari yang
lalu dan kencing sebelumnya normal. Pasien juga mengeluhkan nyeri
pinggang.
II.2 Data Klinik dan Data Lab
Pemeriksaan Laboratorium :
a. Pemeriksaan Thorax (20-11-2015).
Kesimpulan :
Cor dan pulmo tidak tampak kelainan.
b. Pemeriksaan BOF (20-03-2015).
Kesimpulan :
- Batu opaque uretra anterior.
- Degenerative disease of spine.
- Hemangioma DD/Fibrodisplasia.
c. Pemeriksaan USG (20-03-2015).
Kesimpulan :
- Hidronefrosis sedang kanan disertai hidroureter distal.
- Hidronefrosis ringan kiri.
- Tak tampak nefrolithiasis pada gnjal kanan dan kiri.

8
Laporan Studi Kasus SMF Ilmu Bedah Urologi
Program Pendidikan Magister Farmasi Klinik 2014
Data Klinik

TGL
NO. DATA KLINIK
20/3 21/3 22/3 23/3 24/3 25/3 26/3 27/3 28/3 29/3 30/3 31/3 1/4 2/4 3/4
1. Suhu 36,8 36,8 37,2 36,8 36,9 36,6 36,6 36,5 36,5 36,6 36,8
2. Nadi 88 87 84 86 86 88 86 88 86 88 88 86
3. RR 18 18 18 18 18 18 20 20 20 20 18
4. Tekanan Darah 120/80 120/80 120/80 120/80 120/80 120/80 120/80 120/80 120/80 120/80 120/80 120/80
5. KU/GCS 456 456 456 456 456 456 456 456 456 456 456 456
6. Mual/muntah -/- -/- -/- -/- -/- -/- -/- -/- -/- -/- -/- -/-
7. Nyeri 1 1 1 1 1 4 4 4 4 3 2
8. BAB - - - + + + + + +
9. BB/TB 160/65 160/65 160/65 160/65 160/65 160/65 160/65 160/65 160/65 160/65 160/65 160/65
10. Hematuri - - - - - - - - - - - -
11. Urine output 1500 1000 1200 1500 1500 1000 1600 1800 2000 1800
0 0 0 0 0 0 0 0 0
12. Balance cairan 0

6
Laporan Studi Kasus SMF Ilmu Bedah Urologi
Program Pendidikan Magister Farmasi Klinik 2014
Data Laboratorium Darah
Data Tgl 19-03- Tgl 20-03- Tgl 25-03-
No. Nilai Rujukan
Laboratorium 2015 2015 2015
3.70-10.1
1. WBC 12.58
(103/µL)
3.60-4.69
2. RBC 4.33
(106/µL)
3. HGB 10.8-14.2 g/dL 12.8
4. HCT 41.3-52.1% 38.7
5. MCV 86.7-102.3 mm3 89.3
6. MCH 27.1-32.4 pg 29.4
7. MCHC 29.7-33.1 g/dL 33
8. RDW 12.2-14.8 13.6
155-366
9. PLT 210
(103/m3)
10. BUN 7-18 (mg/dL) 57 12
11. SCr 0.6-1.3 (mg/dL) 3.3 3.7
12. SGOT 15-37 (U/L) 56 86
13. SGPT 12-78 (U/L) 36 47
14. Albumin 3.4-5 (g/dL) 3.2 3.21 3.1
15. PTT 9-12 (detik) 12.2
16. APTT 23-33 (detik) 34
17. Glukosa ‹ 100 mg/dl 114 103
18. K 3.5 – 5.1 4.1 3.9
19. Na 136 – 145 141 140
20. Cl 98 – 107 103 100
21. Ca 8.5 – 10.1 8.2
22. Asam urat 2.6 – 7.2 mg/dl 10.1
23. Kolesterol Tot 00 – 200 mg/dl 90
24. TG 30 – 150 mg/dl 137
25. HDL 40 – 60 mg/dl 12
26. LDL 00 – 99 mg/dl 53
Data Laboratorium Urin
Data
No. Nilai Rujukan Tgl 19-03-2015
Laboratorium
1. Glu Negatif -
2. Bil Negatif -
3. Ket Negatif -
4. SG 1010 - 1015 1.015
5. BLD - 1+
6. pH 6 -8 5.5
7. Prot Negatif +/-
8. Uro Negatif 3.2

7
Laporan Studi Kasus SMF Ilmu Bedah Urologi
Program Pendidikan Magister Farmasi Klinik 2014
9. Nit Negatif Negatif
10. Leu Negati 4+
11. Colour - Yellow
12. Clarity Clear -
13. Eritrosit 0 – 2/LP 2–5
14. Leukosit 0 – 5/LP ›100
15. Epitel Sedikit/LP Sedikit
16. Kristal Negatif -

8
Laporan Studi Kasus SMF Ilmu Bedah Urologi
Program Pendidikan Magister Farmasi Klinik 2014
BAB III
PROFIL PENGOBATAN

Regimen Tanggal
No. Nama Obat
Dosis 20/3 21/3 22/3 23/3 24/3 25/3 26/4 27/3 28/3 29/3 30/3 31/3 1/4 2/4 3/4
1. Ketorolac iv/kp 3x10 mg √
2. Antrain iv 3x1 g √ √ √ √ √ √ √
3. Paracetamol tab 3x500 mg √ √ √
4. Ciprofloxacin iv 2x200 mg √ √ √ √
5. Ceftriaxon iv 2x1 g √ √ √ √
6. Cefixime cap 2x100 mg √ √ √
7. Kalnex iv 3x500 mg √ √ √
8. Raitidine iv 2x50 mg √ √ √
1500 cc/24 jam √ √ √
10. PZ
1000 cc/24 jam √
11. PZ : D5 2:1 √ 1:1

8
Laporan Studi Kasus SMF Ilmu Bedah Urologi
Program Pendidikan Magister Farmasi Klinik 2014
BAB IV
MONITORING DAN INFORMASI

IV.1 Monitoring
Parameter Tujuan Monitoring
Tanda SIRS, keadaan
Untuk memonitoring apakah perlu diberikan terapi
klinis pasien, kultur,
antibiotika setelah operasi (ceftriaxon dan cefixime).
WBC, urinalisis.
Untuk mengevaluasi efektifitas terapi anti mual
Mual muntah muntah (ranitidin) sebagai profilaksis stress ulcer
dan SMRD.
Untuk mengevaluasi efektifitas terapi analgesik pre
Keluhan nyeri dan post operasi (antrain, ketorolac, dan
paracetamol) melalui pengukuran VAS.
Perdarahan pada
Untuk mengevaluasi efektifitas dan lama pemberian
tempat operasi, PPT,
terapi asam traneksamat/kalnex pada pasien.
APPT.

IV.2 Informasi
Obat Informasi
Ketorolac Ketorolac diberikan secara intravena dengan tidak kurang
dari 15 detik untuk mencegah vasodilatasi pembuluh darah
secara cepat. Durasi efek analgesik 4-6 jam, mula kerjanya
30 menit, dan kadar puncak untuk menimbulkan efek
analgesik dicapat pada 2 jam (Lacy, 2009; Trissel,2009).
Ranitidin Ranitidin sebaiknya tidak diberikan dalam jangka waktu
lama. Ranitidin sebaiknya dihentikan saat tanda/resiko stress
ulcer hilang. Ranitidin diberikan secara intramuskular
dengan tidak dilarutkan dan secara intravena perlahan (lebih
dari 5 menit) setelah dilarutkan.
Ciprofloxasin. Sediaan infuse (premix) disimpan pada suhu 5 0 – 250 C dan
sediaan vial pada suhu 50 – 300 C serta tidak boleh
dibekukan. Pemberian secara iv diberikan dengan infus
pelan selama lebih dari 60 menit dengan konsentrasi tidak

10
Laporan Studi Kasus SMF Ilmu Bedah Urologi
Program Pendidikan Magister Farmasi Klinik 2014
boleh melebihi 2 mg/ml (Lacy et al, 2013).
Ceftriaxon diberikan secara infus intermitten lebih dari 30
menit dan dapat diebrikan secara intramuskular (deep i.m)
Ceftriaxon pada otot yang besar. Sediaan ini tidak boleh dicampur
dengan aminoglikosida dan larutan yang mengandung
kalsium (Lacy et al, 2013).

11
Laporan Studi Kasus SMF Ilmu Bedah Urologi
Program Pendidikan Magister Farmasi Klinik 2014
BAB V
PEMBAHASAN

Hambatan aliran akibat batu uretra berkaitan dengan ukuran dan


lokasi dimana batu tersebut berada. Kebanyakan batu dengan ukuran diameter ≤ 4
mm dapat mengalir secara spontan, batu dengan diameter ≥5 mm berkaitan
dengan penurunan aliran, dengan gejala yang berbeda dengan batu yang
berdiameter ≥10 mm. Batu ureter proximal kurang bisa mengalir dengan spontan
dibandingkan dengan batu pada posisi lainnya. Managemen terapi dari batu uretra
tergantung dari ukuran dan lokasi batu, ada atau tidaknya komorbid lain pada
pasien. Pasien sepsis dengan obstruksi batu, obstruksi bilateral dengan gagal
ginjal akut, dan obstruksi unilateral dengan gagal gnjal akut diatasi dengan
dekompresi pada sistem pengumpul tidak hanya dengan drainage perkutaneus
tetapi juga dengan penggunaan ueretral stenting. Untuk pasien dengan diagnose
batu uretra baru serta gejala terkontrol maka hanya perlu dilakukan observasi
secara periodik. Jika dengan cara di atas tidak dapat diatasi maka dilakukan
pengambilan/pembuangan batu (operasi) akibat adanya hambatan yang menetap
(Preminger, 2015).
Tn. S dengan diagnosa batu uretra anterior dengan komplikasi acute
kidney injury dd acute chronic kidney disease dan hidronefrosis sedang dekstra
dan retensi urin masuk rumah sakit pada tanggal 20 Maret 2015 dengan keluhan
retensi urin sejak 1 hari sebelumnya. Pada tanggal tersebut pasien mendapatkan
terapi antibiotika ciprofloxasin iv. Terapi antibiotika tersebut diberikan dengan
alsan berdasarkan hasil urinalisis pada tanggal 19 maret 2015 menunjukkan hasil
bahwa leukosit uri sebesar 4+ dan leukosit (mikroskopik) ›100/LP. Hal tersebut
menunjukkan bahwa aanya infeksi saluran kencing pada pasien, untuk itu
diberikan antibiotika sebagai terapi dari infeksi tersebut. Fluoroquinolon
(cipropfloxacin) merupakan antibiotika yang bekerja dengan menghambat DNA –
gyrase pada bakteri yang sensitif (Grabe, 2010). Dosis yang digunakan pada
pasien tersebut adalah 2 kali 200 mg iv dengan durasi 3 – 5 hari, dimana pasien
mengalami acute kidney injury dd acute chronic kidney disease perlu dilakukan

12
Laporan Studi Kasus SMF Ilmu Bedah Urologi
Program Pendidikan Magister Farmasi Klinik 2014
adjustment dosis dengan Clcr sebesar 18.50 ml/menit dan 22.98 ml/menit. Dosis
penyesuaian untuk pasien dengan Clcl 5 – 29 ml/menit adalah 200 – 400 mg setiap
18 – 24 jam (Lacy, 2013). Dapat disimpulkan bahwa terapi yang diterima pasien
Tn. S sudah sesuai. Antibiotika lainnya yang diterima pasien adalah ceftriaxon
sebagai antibiotika profilaksis yang diberikan pada tanggal 25 Maret 2015. Tujuan
pemberian antibiotika profilaksis pada prosedur urologi adalah untuk mencegah
terjadinya bakteriemi dan infeksi pada tempat operasi serta infeksi setelah operasi.
Antibiotika profilaksis dianjurkan untuk beberapa prosedur di bidang urologi yang
meliputi transurethral resection of the prostate (TURP), ESWL,
ureterorenoscopy, cystectomy, dan prosedur lainnya (Bratzler, 2013).
Pasien Tn. S menjalani tindakan cytoscopy dan vesicolithotomy
sehingga pasien sebaiknya mendapatkan antibiotika profilaksis. Berdasarkan
literatur tidak didapatkan terapi mana yang lebih baik dibandingkan dengan terapi
lainnya. Antibiotika dengan rentang terapi yang lebar seperti cephalosporin,
aminoglikosida, piperacillin – tazobactam, trimetoprim – sulfametoxazol,
nitrofurantoin, dan fluoroquinolon telah banyak diteliti dalam prosedur urologi.
Tidak ada perbedaan antara fluoroquinolon ataupun cephalosporin (ceftriaxon)
dan piperacillin dalam beberapa prosedur urologi (Bratzler, 2013). Akan tetapi
cephalosporin generasi ketiga tidak menunjukkan efektivitas yang lebih bila
dibandingkan dengan cephalosporin generasi 1 dan 2, aminoglikosida,
Trimetoprim – sulfametoxazol, nitrofurantoin dan harus dijaga untuk infeksi yang
melibatkan bakteri saluran pencernaan (Bratzler, 2013). Dari terapi yang
didapatkan pasien dapat disimpulkan bahwa pemilihan terapi yang sudah sesuai
akan tetapi perlu untuk dipertimbangkan pengggunaan antibiotika lainnya yang
sesuai dengan peta kuman/sensitivitas antibiotika dan kondisi pasien. Untuk lama
pemberian terapi antibiotika profilaksis sebaiknya digunakan dalam waktu yang
singkat (kurang dari 24 jam) dan diberikan dalam dosis tunggal, sehingga
pemakaian ceftriaxon pada tanggal 26 – 28 Maret 2015 hendaknya dievaluasi
kembali mengingat tidak adanya kultur, tanda – tanda klinik dan laboratorium
yang menunjukkan adanya infeksi. Evaluasi penggunaan cefixime setelah
penggunaan ceftriaxon hendaknya juga dievaluasi kembali.

13
Laporan Studi Kasus SMF Ilmu Bedah Urologi
Program Pendidikan Magister Farmasi Klinik 2014
Terapi berikutnya adalah penggunaan analgesik pada pasien Tn. S,
dimana pasien mendapatkan analgesik antrain 3x1 g dari tanggal 22 – 29 Maret
2015, parasetamol 3x500 mg dari tanggal 29 – 31 Maret 2015. Metamizol
merupakan golongan pyrazolone NSAID yang mempunyai aktivitas antipiretik
dan analgesik. Mekanisme analgesik metamizol yaitu melalui hambatan pada
COX, hambatan pada aktivasi dari L – arginin/NO/cGMO/K + channel pathway
pada perifer dan sumsum tulang belakang (Nikolova et al., 2012). Metamizol
cukup efektif untuk mengatasi nyeri pada pasien meskipun terdapat kemungkinan
efek samping agranulositosis yang bisa terjadi namun insiden kejadian tersebut
kecil dan terjadi pada penggunaan selama 2 bulan. Metamizol juga mempunyai
efektivitas yang lebih dibandingkan dengan parasetamol untuk nyeri yang berat
(Nikolova et al., 2012). Efek samping pada ginjal berupa penurunan fungsi ginjal
(proteinuria, oliguria, anuria) sangat jarang terjadi. Terjadinya akut nefritis
disebabkan karena penyalahgunaan atau penggunaan obat yang berlebihan
(Nikolova et al., 2014). Pasien juga mendapatkan terapi parasetamol tablet
sebagai analgesik. Parasetamol dapat digunakan untuk terapi nyeri sedang jangka
pendek pada pasien dengan kondisi kritis (Wiechman & Sharar, 2015).
Parasetamol mempunyai rentang terapetik yang sangat lebar dan tingkat
keamanan yang sangat bagus dimana dari hasil meta analisi Cochrane didapatkan
intravena parasetamol 1 gram mempunyai efikasi yang tidak berbeda secara
signifikan dengan golongan NSAID (Tzortzopoulou et al., 2011). Dari terapi
analgesik yang didapatkan pasien dapat disimpulkan bahwa terapi analgesik sudah
sesuai dengan kondisi pasien akan tetapi perlu untuk dipertimbangkan pemberian
antrain injeksi pada tanggal 22 – 23 Maret 2015 dimana skala nnyeri pasien hanya
1. Hal tersebut menandakan bahwa pasien tidak memerlukan terapi farmakologi
dengan skala nyeri 1.
Terapi profilaksis stress ulcer pada pasien Tn. D yaitu ranitidine,
dimana ranitidine merupakan golongan histamine – 2 reseptor antagonis. Terapi
profilaksis diberikan untuk seluruh pasien dengan kondisi critical ill yang
mempunyai resiko tinggi terjadi perdarahan saluran pencernaan (grade 1B).
Resiko tinggi dimiliki pasien dengan karakteristik antara lain terdapat koagulopati
dimana jumlah platelet kurang dari 50000 per m3, menggunakan ventilator lebih

14
Laporan Studi Kasus SMF Ilmu Bedah Urologi
Program Pendidikan Magister Farmasi Klinik 2014
dari 48 jam, riwayat teradinya ulserasi/perdarahan saluran pencernaan, trauma
pada otak dan spinal, luka bakar, serta menunjukkan dua tau lebih kriteria minor
seperti sepsis, berada di intensive care unit (ICU) selama lebih dari 1 minggu,
perdarahan saluran percernaan yang tidak diketahui selama lebih dari 1 minggu,
dan penggunaan glukokortikoid lebih dari 250 mg hidrokortison atau equivalen.
Akan tetapi pemberian profilaksis tidak hanya berdasarkan kriteria tersebut bisa
berdasarkan kondisi pasien secara individu berdasarkan pertimbangan –
pertimbangan nutrisi enteral yang diterima pasien, waktu pasien tidak meneima
nutrisi enteral, tingkat keparahan penyakit, dan kondisi komorbid yang menyertai
pasien tersebut (Weinhouse, 2015).
Ranitidine bekerja dengan mengantagonisasi reseptor H2 pada sel
parietal sehingga menghilangan sekresi asam lambung. Terapi ini diterima pasien
dari tanggal 25 – 27 Maret 2015 dimana penggunaan terapi ranitidine selama 3
hari tersebut sudah sesuai namun bila kondisi pasien sudah dapat menerima diet
secara enteral maka penggunaan ranitidine dapat diperpendek. Pemilihan terapi
pada pasien tersebut kurang sesuai dimana pasien mampu menerima terapi secara
oral sehingga penggunaan proton pump inhibitor dengan mekanisme menghambat
sekresi asam lambung melalui ikatan pompa H +K+ ATP ase yang berada pada
permukaan luminal dari sel parietal lebih disukai dibandingkan terapi lainnya
(grade 2B). Bila tidak bisa menggunakan proton pump inhibitor maka bisa
diberikan H2 bloker oral sebagai alternatif. Untuk pasien yang tidak dapat
menerima terapi secara oral H2 bloker atau PPI intravena dapat digunakan (grade
2B). Dari segi harga penggunaan PPI oral lebih cost effective dibandingkan
dengan penggunaan H2 bloker intravena (Weinhouse, 2015). Untuk itu disarankan
penggunaan PPI oral untuk pasien Tn. S.
Pasien juga mendapatkan asam traneksamat injeksi pada tanggal 25 –
27 Maret 2015. Terapi ini ditujukan untuk mencegah dan menghentikan
perdarahan pada pasien yang mungkin terjadi setelah operasi. Asam traneksamat
bekerja menghambat fibrinolisis dengan menggeser plasminogen dari fibrin.
Asam traneksamat 95% diekskresi melalui urin, oleh karena itu penggunaan asam
traneksamat pada oarang dengan gangguan ginjal perlu dilakukan penyesuaian.
Dosis untuk prosedur transuretral prostatectomy sebesar 2000 mg dalam 3 dosis

15
Laporan Studi Kasus SMF Ilmu Bedah Urologi
Program Pendidikan Magister Farmasi Klinik 2014
terbagi/hari pada saat operasi dan hari pertama operasi (Lacy et al., 2013).
Penyesuain dosis untuk prosedur pencabutan gigi dimana serum kreatinin pasien
antara 3.3 mg/dl dan 3.7 mg/dl maka dosis asam traneksamat yang digunakan
seharusnya 650 mg/hari atau 975 mg/hari (Lacy et al., 2013).

16
Laporan Studi Kasus SMF Ilmu Bedah Urologi
Program Pendidikan Magister Farmasi Klinik 2014
BAB VI
KESIMPULAN DAN SARAN

VI.1 Kesimpulan
Dari pembahasan di atas maka dapat kami simpulkan bahwa terapi
antibiotika (ciprofloxasin) untuk infeksi saluran kemih pasien sudah tepat,
antibiotika profilaksis (ceftriaxon) sudah tepat namun lama terapi ceftriaxon
hendaknya dievaluasi kembali serta penggunaan cefixime hendaknya
dievaluasi kembali menginggat tidak ada tanda – tanda infeksi, kultur
kuman, data laboratorium yang mendukung. Untuk terapi analgesic yang
diperoleh pasien sudah sesuai dan tepat namun perlu dievaluasi kembali
akan lama terapi dengan skala nyeri pasien sehingga bila skala nyeri pasien
rendah maka tidak perlu diberikan antrain cukup dengan parasetamol. Terapi
profilaksis stress ulcer hendaknya dipertimbangkan penggunaan PPI oral
karena efikasi dan lebih cost effective dibandingkan dengan ranitidine.
Penggunaan asam traneksamat pada pasien hendaknya dievaluasi kembali
mengenai dosis yang diberikan dimana pasien mengalami gangguan fungsi
ginjal.

VI.2 Saran
Dari profil terapi yang diterima Tn. S dapat kami sarankan untuk
lama pemberian ceftriaxon tidak sampai 4 hari serta penggunaan cefixime
hendaknya dievaluasi kembali/disertai hasil kultur, laboratorium, tanda
klinik yang mendukung. Penggunaan ranitidine disarankan untuk diganti
dengan menggunakan PPI oral (omeprazol) sebagai terapi profilaksis stress
ulcer. Pemberian dosis asam traneksamat dilakukan dosis penyesuaian pada
pasien dengan gangguan fungsi ginjal.

17
Laporan Studi Kasus SMF Ilmu Bedah Urologi
Program Pendidikan Magister Farmasi Klinik 2014
BAB VII
DAFTAR PUSTAKA

American Urology Association. (2007). Management of Ureteral Calculi :


Diagnosis and Treatment Recommendation. USA: American Urology
Association Education and Research, Inc., www.AUAnet.org.

Bratzler, D. E. (2013). Clinical Practice Guidelines for Antimicrobial Prophylaxis


in Surgery. American Journal Health - Syst Pharm , 240 - 245.

Brazie, M., & Hanes, D. (2009). Renal Disease, Fluid & Electrolyte Disorder
and Hypertension, National Medical Series Medicines
eds.Wolfsthal, SD, 6th ed. Baltimore: Lippicott William & Wilkins.

Brunicardi, F., Andersen, P., Billliar, T., Dunn, D., Hunter, J., & Pollack, R.
(2006). Schwarz's Manual of Suergery, 8th ed. USA: McGraw Hill
Companies, Inc.

Grabe, M. G. (2010). Guideline on Urological Infection. Urological Infection ,


224 - 242.

Grace, P., & Borley, N. (2002). Surgery at A Glance. UK: Blackwell Science.

Lacy, C., Amstrong, L., Goldman, N., & Lance, L. (2013). Drug Information
Handbook 22th edition . APhA: Lexi-Comp.

Nair, M., & Peate, I. (2009). Fundamentals of Applied Pathophysiology. United


Kingdom: John Wiley and Sons.

Nikolova, I., Petkova, V., Tencheva, J., Benbasat, N., & Voinikov, J. (2014).
Metamizole : A Review Profile of A Well - Known "Forgotten" Drug.
Part II : Clinical Profile. Biotechnology et Biotechnological
Equipment , 1-16.

Preminger, G. M. (2015). Management of Ureteral Calculi . UpToDate/Wolters


Kluwer , 1-10.

Stoller, M., Presti, J., & Carol, P. (2001). Chapter 23. Uroloy : Urinary Stone
Disease. In L. Tiemey, S. McPhee, & M. Papadakin, Current Medical
Diagnosis and Treatment 40th ed. (pp. 939-42). New York: McGraw
Hill.

18
Laporan Studi Kasus SMF Ilmu Bedah Urologi
Program Pendidikan Magister Farmasi Klinik 2014
Tzortzopoulou et al. (2011). Single Dose Intavenous Proparacetanol or
Intravenous paracetamol for Postperative Pain. The Cochrane
Collaboration , issue 10.

Weinhouse, G. (2015). Stress Ulcer Prophylaxis in The Intensive Care Unit.


UpToDate/Wolters Kluwer , 1-10.

Wiechman, S., & Sharar, S. (2015). Burn Pain : Principles of Pharmacologic and
Nonpharmacologic Management. UpToDate/Wolters kluwer , 1-49.

19

Anda mungkin juga menyukai