Anda di halaman 1dari 98

PERSELISIHAN TERUS MENERUS ANTARA SUAMI ISTERI

AKIBAT TURUT CAMPUR ORANG TUA SEBAGAI DASAR

ALASAN PERCERAIAN

(Kajian Terhadap Putusan Pengadilan Agama Jakarta Timur No. 1164/Pdt.

G/2008/PA JT)

Skripsi

Diajukan Kepada Fakultas Syariah dan Hukum Untuk Memenuhi Salah Satu

Syarat Mencapai Gelar Sarjana Hukum Islam (SHI)

oleh :

AHMAD SAUQI
NIM : 106044101386

KONSENTRASI PERADILAN AGAMA


PROGRAM STUDI AHWAL AL-SYAKHSHIYAH
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAHJ A K A R T A
1430 H/2010 M
PERSELISIHAN TERUS MENERUS ANTARA SUAMI ISTERI

AKIBAT TURUT CAMPUR ORANG TUA SEBAGAI DASAR

ALASAN PERCERAIAN

(Kajian Terhadap Putusan Pengadilan Agama Jakarta Timur No. 1164/Pdt.

G/2008/PA JT)

Skripsi

Diajukan kepada Fakultas Syariah dan Hukum


Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar
Sarjana Hukum Islam (SHI)

Oleh

Ahmad Sauqi
NIM :106044101386

Di bawah Bimbingan

Dr. H. Yayan Sopyan, M.Ag


NIP : 150 277 991

KONSENTRASI PERADILAN AGAMA


PROGRAM STUDI AHWAL AL-SYAKHSHIYAH
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH
J A K A R T A
1430 H/2010 M
PENGESAHAN PANITIA UJIAN

Skripsi berjudul “PERSELISIHAN TERUS MENERUS ANTARA SUAMI

ISTERI AKIBAT TURUT CAMPUR ORANG TUA SEBAGAI DASAR

ALASAN PERCERAIAN (Kajian Terhadap Putusan Pengadilan Agama Jakarta

Timur No. 1164/Pdt.G/2008/PA.JT) telah diujikan dalam Sidang Munaqasyah

Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah

Jakarta pada 18 Maret 2010. Skripsi ini telah diterima sebagai salah satu syarat

memperoleh gelar Sarjana Hukum Islam (SHI) pada Program Studi Ahwal Al

Sakhshiyyah.

Jakarta, 18 Maret 2010


Dekan Fakultas Syariah dan Hukum

Prof. DR. H. M. Amin Suma, SH, MA, MM


NIP 1955 0505 198203 1012
PANITIA UJIAN

1. Ketua : Drs. H. A. Basiq Djalil, SH, MA. ( ……………… )


NIP 1955 0505 198203 1012

2. Sekretaris : Kamarusdiana, S.Ag, MH. ( ……………… )


NIP 1972 0224 199803 1003

3. Pebimbing : Dr. H. Yayan Sopyan, M.Ag. ( ……………… )


NIP 150 277 991

4. Penguji I : Dr. Asmawi, M. Ag. ( ……………… )


NIP 1972 1010 199703 1008
5. Penguji II : Drs. H. Ahmad Yani, MA. ( ……………… )
NIP 1964 0412 199403 1004
LEMBAR PERNYATAAN

Dengan ini saya menyatakan bahwa:

1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya, yang diajukan untuk memenuhi salah

satu persyaratan memperoleh Gelar Strata satu (S 1) di Universitas Islam Negeri

(UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.

2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya cantumkan

sesuai dengan ketentuan yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif

Hidayatullah Jakarta.

3. Jika di kemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan hasil karya saya atau

merupakan hasil jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia menerima

sanksi yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah

Jakarta.

Jakarta, Maret 2010

Ahmad Sauqi
Nim: 106044101386


 




KATA PENGANTAR

Assalammu’alaikum. Wr. Wb.

Segala puji bagi Allah SWT Tuhan semesta alam, yang telah menciptakan

manusia sebagai mahluk yang paling sempurna. Diantara salah satu

kesempurnaannya adalah Allah karuniakan manusia pikiran dan kecerdasan.

Shalawat dan salam kita sanjungkan kepada pemimpin revolusioner ummat Islam

sedunia tiada lain yakni, Nabi Muhammad SAW beserta keluarga, para sahabat dan

ummatnya yang selalu berpegang teguh hingga akhir zaman.

Dalam menyelesaikan skripsi ini penulis betul-betul menyadari adanya

rintangan dan ujian, namun pada akhirnya selalu ada jalan kemudahan, tentunya tidak

terlepas dari beberapa individu yang sepanjang penulisan skripsi ini banyak

membantu dalam memberikan bimbingan dan masukan yang berharga kepada penulis

guna penyempurnaan skripsi ini. Sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini

yang berjudul: “PERSELISIHAN TERUS MENERUS ANTARA

SUAMI ISTERI AKIBAT TURUT CAMPUR ORANG TUA

SEBAGAI DASAR ALASAN PERCERAIAN (Kajian Terhadap Putusan

Pengadilan Agama Jakarta Timur No. 1164/Pdt. G/2008/PA JT)”.

Dengan demikian dalam kesempatan yang berharga ini penulis ingin

mengungkapkan rasa hormat dan terima kasih serta penghargaan yang setinggi-

tingginya kepada pihak-pihak berikut:


1. Bapak Prof. Dr. H. Komaruddin Hidayat, MA., selaku Rektor UIN Syarif

Hidayatullah Jakarta.

2. Bapak Prof. Dr. KH. Muhammad Amin Suma, S.H., MA.,MM. Dekan Fakultas

Syariah dan Hukum beserta staf dan jajarannya yang telah memberikan

bimbingan serta arahan baik secara langsung maupun tidak langsung selama

penulis menuntut ilmu di Fakultas Syari’ah dan Hukum UIN Syarif

Hidayatullah Jakrta.

3. Bapak Drs. H.A. Basiq Djalil, S.H., MA. Ketua Program Studi Ahwal Al-

Syakhshiyah Konsentrasi Peradilan Agama.

4. Bapak Kamarusdiana, S.Ag.,M.H. Sekretaris Prodi Ahwal Syakhshiyah

Konsentrasi Peradilan Agama yang telah sabar dalam membantu proses transkif

nilai, semoga Allah membalasnya.

5. Bapak Dr. H. Yayan Sopyan, M.Ag sebagai dosen pembimbing yang dengan

sabar dalam memberikan arahan dan masukan yang amat bermanfaat kepada

penulis hingga selesainya skripsi ini, tiada kata yang pantas selain ucapan rasa

terima kasih dan do’a semoga Allah SWT membalasnya.

6. Seluruh dosen Konsentrasi Peradilan Agama, Fakultas Syariah dan Hukum,

serta karyawan-karyawan dan staf perpustakaan yang telah memfasilitasi

penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.

7. Teristimewa buat Ayahanda H. Khotib Aly dan Ibunda tercinta Hj. Marwiyah

serta adik-adik kandungku Syukron Hamdi dan Nur Faizah serta seluruh
keluarga tercinta. Terima kasih atas segala do’anya, kesabaran, jerih payah dan

pengorbanan serta nasihat yang senantiasa memberikan semangat tanpa jemu

hingga ananda dapat menyelesaikan studi. Tiada kata yang pantas selain ucapan

do’a, sungguh jasamu tiada tara dan tak akan pernah terbalaskan.

8. Kepada Ketua Pengadilan Agama Jakarta Timur Drs. H. Wakhidun AR, SH, M.

Hum beserta staf dan para hakim yang telah bersedia untuk wawancara

langsung, penulis ucapkan banyak terima kasih atas partisipasi dan bantuannya.

9. Teman-teman angkatan 2005/2006 kelas Syariah dan Hukum Konsentrasi

Peradilan Agama, yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu, terima kasih

atas kebersamaannya selama penulis belajar di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta,

semoga persahabatan kita terjalin hingga rambut memutih.

Mudah-mudahan skripsi ini bermanfaat bagi penulis khususnya dan pembaca

pada umumnya serta menjadi amal baik kita di sisi Allah SWT, Akhirnya, semoga

setiap bantuan yang telah diberikan kepada penulis mendapat balasan dari Allah

SWT. Amin yaa robbal alamien.

(Jaza ka Allah khaira al-Jaza)

Wasallamu’alaikum. Wr. Wb.

Jakarta, Maret 2010

Al-Faqir Ahmad Sauqi


DAFTAR ISI

KATA

PENGANTAR..................................................................

....................i

DAFTAR ISI.....................................................................................................iv

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah.......................................................1

B. Pembatasan dan Perumusan Masalah...................................8

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian.............................................9

D. Metode Penelitian.................................................................9

E. Tinjauan Kajian Terdahulu..................................................11

F. Sistematika Penulis...……………………………………...14

BAB II PERCERAIAN, HAK DAN KEWAJIBAN ANTARA ORANG

TUA DAN ANAK

A. Pengertian dan Dasar Perceraian………………………….16

B. Jenis dan Alasan Perceraian……………………………….20

C. Akibat dan Hikmah Perceraian…………………………....29

D. Kedudukan Orang Tua Dalam Keluarga Anak…………....34


E. Hak dan Kewajiban Orang Tua Terhadap Anak Menurut Hukum

Islam……………………………………………....38

F. Hak dan Kewajiban Orang Tua Terhadap Anak Menurut Hukum

Positif......................................................................42

BAB III ANALISA PUTUSAN TENTANG CERAI GUGAT TURUT

CAMPUR ORANG TUA SEBAGAI ALASAN PERCERAIAN

DI PENGADILAN AGAMA JAKARTA TIMUR

A. Profil Pengadilan Agama Jakarta Timur..............................46

B. Kronologis Kasus Perceraian di Pengadilan Agama Jakarta Timur

Nomor 1164/Pdt.G/2008/PA.JT................................60

C. Pertimbangan dan Putusan Hakim Dalam Kasus Perceraian di

Pengadilan Agama Jakarta Timur Nomor

1164/Pdt.G/2008/PA.JT.................................,.....................62

D. Analisa Penulis.....................................................................70

BAB IV PENUTUP

A. Kesimpulan..........................................................................76

B. Saran....................................................................................65

DAFTAR PUSTAKA......................................................................................80

LAMPIRAN.....................................................................................................84

1. Surat Permohonan Kesediaan Menjadi Pembimbing Skripsi

2. Hasil Wawancara Dengan Hakim


3. Surat Bukti Wawancara

4. Laporan Perkara Tahunan 2008 Pengadilan Agama Jakarta Timur

5. Putusan Nomor 1164/Pdt. G/2008/PA JT


BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Allah menciptakan segala sesuatu berpasang-pasangan, hidup berpasang-

pasangan adalah naluri segala makhluk Allah termasuk manusia, maka setiap diri

akan cenderung untuk mencari pasangan hidup dari lawan jenisnya untuk

menikah dan melahirkan generasi baru yang akan memakmurkan kehidupan

dimuka bumi ini.

Pernikahan merupakan ikatan suci dari dua insan yang saling mencintai dan

mengharapkan kebahagiaan yang kekal dalam menjalani kehidupan rumah

tangganya. Namun untuk mencapai cita-cita tersebut sangatlah tidak mudah,

karena didalam membina sebuah keluarga yang sakinah akan banyak ujian dan

rintangan yang menghalangi terwujudnya suatu keluarga yang kekal dan bahagia.

Perkawinan menurut hukum Islam adalah pernikahan, yaitu akad yang

sangat kuat atau mitsaaqon ghalidzan untuk menaati perintah Allah dan

melaksanakannya merupakan ibadah.1 Agama Islam menganjurkan perkawinan,

anjuran ini diungkapkan dalam berbagai macam ungkapan yang terdapat dalam

1
Direktorat pembinaan Peradilan Agama Departemen Agama R.I, Kompilasi Hukum Islam,
(Jakarta : Direktorat pembinaan Peradilan Agama, 1992), pasal 2 h. 219
Al-Quran dan Hadits. Ada yang mengatakan bahwa perkawinan itu telah menjadi

sunnah para rasul sejak dahulu dan hendaklah diikuti pula oleh generasi-generasi

yang akan datang kemudian.2

Islam sangat memperhatikan masalah keluarga bagi para penganutnya.

Apabila landasan keluarga itu kuat, landasan negarapun akan kuat pula. Oleh

karena itu, Islam tidak mengabaikan peranan pribadi antara anggota keluarga

demi perenungan kemanusiaan saja. Islam memberi hak setiap anggota keluarga

sesuai dengan kehidupannya, kemudian mengajukannya untuk mengemban

tanggung jawab dengan penuh ketaqwaan.

Untuk memelihara kedamaian dan ketertiban dalam kehidupan keluarga

muslim, Allah telah menerangkan dalam surat An-nisa ayat 34 yang mengatakan

bahwa kaum lelaki adalah pelindung dan pemelihara kaum perempuan.

Kedudukan sebagai pelindung dan pemelihara diberikan kepada kaum lelaki atas

kaum perempuan, karena secara umum mereka memiliki kekuatan fisik lebih

besar daripada kaum perempuan untuk bekerja keras. Kaum lelaki juga

dinobatkan sebagai pemimpin. Adanya seorang pemimpin akan berpengaruh

dalam menata anggota keluarga. Inilah sebabnya anggota keluarga yang lain

terutama istri dituntut untuk menaati suaminya, maka Allah menjelaskan ketaatan

istri sebagai hal yang paling pantas.

2
Kamal Mukhtar, Asas-asas Hukum Islam Tentang Perkawinan, (Jakarta : Bulan Bintang,
1993), Cet, ke-3, h.9.
Kehidupan berkeluarga tidak selalu harmonis seperti yang diangankan pada

kenyataan, bahwa memelihara kelestarian dan keseimbangan hidup bersama

suami isteri bukanlah perkara yang mudah dilaksanakan. Bahkan banyak di dalam

hal kasih sayang dan kehidupan harmonis antara suami isteri itu tidak dapat

diwujudkan.

Keluarga bisa berarti “bathin” yaitu ibu, bapak, anak-anaknya atau seisi

rumah yang menjadi tanggungan dan dapat pula berarti “kaum” yaitu sanak

saudara serta kaum kerabat. Yang di maksud dengan keluarga di sini adalah “Unit

terkecil dalam masyarakat yang terdiri dari suami dan isteri, atau suami-isteri

dan anak-anaknya, atau ayah dan anaknya atau ibu dan anaknya”.3

Asal-usul keluarga terbentuk dari peristiwa pernikahan yang kemudian

melahirkan keturunan. Melalui sebuah lembaga pernikahan, seseorang laki-laki

dan seorang perempuan mengikatkan diri lahir dan bathin untuk hidup bersama

membentuk keluarga sebagai suami isteri dengan tujuan “membangun kehidupan

yang tentram, penuh cinta dan kasih sayang”, yang sering diistilahkan dengan

sakinah mawaddah waa rahmah.

Keterampilan mengelola sebuah keluarga agar mencapai kehidupan yang

sakinah membutuhkan pengetahuan manajemen keluarga, juga memerlukan

pengetahuan lain yang berkaitan dengan keluarga, diantaranya: sosiologi

3
Undang-Undang No 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak (Citra Umbara,
Bandung),hal 4.
keluarga. Yang dimaksud dengan sosiologi keluarga adalah “suatu ilmu yang

menjelaskan hubungan dan pengaruh timbal balik antara anggota keluarga dan

antara keluarga dengan struktur sosial, proses sosial dan perubahan sosial”.4

Pola hubungan anak dan orang tua dalam sebuah keluarga sangat ditentukan

oleh dua hal. Pertama, bagaimana orang tua memposisikan anaknya. Kedua,

bagaimana status orang tua di tengah-tengah masyarakat.5

Mendudukan posisi anak “apakah anak itu sesungguhnya milik orang tua”

ataukah “milik dirinya sendiri” akan sangat mempengaruhi relasi orang tua

terhadap anak itu. Jika anak dianggap milik orang tua, maka orang tua akan

berusaha sekuat tenaga mengarahkan, membimbing dan mengatur agar segenap

prilaku dan pikiran anak sesuai dengan keinginan orang tua. Dalam banyak hal,

orang tua akan bersikap diktator dan anak tidak punya kesempatan untuk

mengembangkan pilihannya sendiri. Sedangkan jika anak diposisikan sebagai

milik diri anak itu sendiri, maka orang tua akan berusaha sekuat tenaga

mengarahkan, membimbing dan mengatur agar segenap prilaku dan pikiran anak

sesuai dengan kemampuan, keuntungan dan dampaknya bagi anak. Anak

memiliki banyak kesempatan melakukan pilihan-pilihan berdasarkan

keinginannya sendiri. Dalam banyak hal, orang tua dan anak akan melakukan

proses tawar menawar. Terkadang anak yang harus mengalah mengikuti harapan

4
Hendi Suhendi, Pengantar Studi Sosial Keluarga, (Bandung: Pustaka Setia, 2001), h. 45-53
5
A. Sutarmadi, Administrasi Pernikahan dan manajemen Keluarga, (Jakarta: Fak. Syariah
dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah, 2006) h. 178
orang tua, dan terkadang lagi orang tua yang harus mengalah mengikuti keinginan

anak. 6

Adapun pengertian konsep keluarga bahagia adalah bilamana seluruh

anggota keluarga merasa bahagia yang ditandai oleh berkurangnya ketegangan,

kekecewaan dan puas terhadap seluruh keadaan dan keberadaan dirinya

(eksistensi atau aktualisasi diri) yang meliputi aspek fisik, mental, emosi dan

sosial tanpa adanya turut campur dari orang lain. Keluarga tak bahagia sebaliknya

bilamana ada seorang atau beberapa orang anggota keluarga yang kehidupannya

diliputi ketegangan, kekecewaan dan tidak pernah merasa puas dan bahagia

terhadap keadaan, dan keberadaan dirinya terganggu atau terhambat.7

Rumah tangga adalah amanah bersama yang seharusnya dijadikan sebagai

awal ketika menempatkan masalah rumah tangga sebagai sentral pembinaan

bersama di dalamnya. Apabila terjadi suatu problematika kehidupan dalam rumah

tangga, hal ini dikarenakan masing-masing pihak di antara mereka tidak bisa

memenuhi amanah tersebut. Karena itu, upaya-upaya dalam menanggulangi

segala permasalahan dalam sebuah keluarga sangat penting sekali baik sebelum

dilaksanakannya pernikahan maupun setelah terjadinya masalah-masalah dalam

rumah tangga.8

6
Ibid., h. 179
7
Ibid., h. 180
Islam memberikan jalan keluar ketika suami isteri yang tidak dapat lagi

meneruskan perkawinan, dalam arti ketidakcocokan pandangan hidup dan

perselisihan rumah tangga yang tidak bisa didamaikan lagi, maka diberikan jalan

keluar yang dalam istilah fiqih disebut dengan thalaq (perceraian). Agama islam

membolehkan suami isteri bercerai, tentunya dengan alasan-alasan tertentu

walaupun dibenci oleh Allah SWT.

Perceraian merupakan solusi terakhir yang dapat ditempuh oleh suami isteri

dalam mengakhiri ikatan perkawinan setelah mengadakan upaya perdamaian

secara maksimal. Perceraian dapat dilakukan atas kehendak suami atau

permintaan isteri, perceraian yang dilakukan atas permintaan isteri disebut cerai

gugat.9

Salah satu masalah sosial yang datangnya dari keluarga adalah terjadinya

campur tangan orang tua yang mengakibatkan tidak harmonisnya relasi antara

orang tua dan anak. Fenomena tersebut sangatlah memprihatinkan karena rumah

tangga yang diawali dengan suatu ikatan dan ikrar suci, saling percaya dan

menyayangi hancur dengan hilangnya kepercayaan dan tidak adanya keselarasan.

Turut campur orang tua dalam rumah tangga anak memang sering terjadi

dalam kehidupan, karena orang tua tersebut merasa menjadi orang tua dari anak

8
Mohammad Daud Ali, Hukum Islam dan Peradilan Agama, (Jakarta: PT. Raja Grafindo
Persada, 2002) Cet. Ke-2 H. 102
9
Syekh Mahmudunnasir, Islam Konsepsi dan Sejarahnya (Bandung: Remaja Rosdakarya,
1991), H. 509
tersebut sehingga ikut campur dalam rumah tangga anaknya. Ada pula bahkan

yang mengatur kehidupan anaknya sehingga anaknya tertekan. Problem inilah

yang menjadi masalah, batasan dari orang tua mencampuri urusan dari rumah

tangga anaknya. Karena tidak semua dengan turut campurnya orang tua dalam

keluarga anak bisa membuat harmonis dalam keluarga anak tersebut.

Dalam kasus yang berada pada pengadilan agama Jakarta Timur yaitu

bahwasannya rumah tangga penggugat dengan tergugat selalu dicampuri

urusannya oleh orang tua tergugat dan tergugat lebih mementingkan orang tuanya

dari pada isterinya, sehingga sebuah keluarga tidak berjalan dengan baik karena

adanya intervensi dari keluarga tergugat yang kemudian menyebabkan perceraian.

Melihat dari pembahasan diatas, penulis tergugah untuk menulis tentang

perkara turut campur orang tua yang mengakibatkan perceraian karena campur

tangan orang tua dalam keluarga anak bisa menyebabkan hingga perceraian.

Problem inilah yang membuat penulis tertarik untuk mengadakan studi penelitian,

dan pada skripsi ini penulis mengangkat judul “TURUT CAMPUR ORANG

TUA SEBAGAI ALASAN PERCERAIAN (Kajian Terhadap Putusan

Pengadilan Agama Jakarta Timur No. 1164/Pdt.G/2008/PA.JT). Dengan

harapan bahwa skripsi ini dapat bermanfaat dan menyumbangkan sedikit

keterangan mengenai perceraian dengan alasan karena adanya turut campur dari

orang tua.
B. Pembatasan dan Perumusan Masalah

1. Pembatasan Masalah

Sesuai dengan latar belakang yang telah dipaparkan di atas dan untuk

mempertajam pembahasan maka penulis akan membatasi masalah tentang

kewenangan orang tua terhadap keluarga anak dan mengetahui apa yang

menjadi alasan hakim dalam memutuskan perkara di Pengadilan Agama

Jakarta Timur dengan nomor 1164/Pdt.G/2008/PA.JT.

2. Perumusan Masalah

Dalam kehidupan rumah tangga, suami dan istri mempunyai kewajiban

yang sama yaitu menjaga keutuhan rumah tangga agar menjadi keluarga yang

sakinah, mawaddah waa rahmah yang tidak adanya intervensi atau turut

campur dari orang lain. Akan tetapi, terkadang orang tua sering kali

mencampuri urusan rumah tangga anaknya dikarenakan masih merasa

menjadi orang tua dari anaknya tersebut. Padahal, seseorang yang sudah

menikah artinya anak itu sudah dianggap dewasa dan bisa menjalankan

kehidupan keluarganya tanpa harus adanya turut campur orang tua dalam
menjalankan kehidupan keluarganya. Maka yang menjadi rumusan pada

penelitian ini dapat dirinci sebagai berikut:

a. Apakah turut campur orang tua terhadap rumah tangga anak dibenarkan

menurut hukum Islam dan hukum positif.

b. Bagaimana pertimbangan hakim dalam menyelesaikan dan memutus

perkara tersebut.

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian

Adapun tujuan yang ingin dicapai dari penelitian ini adalah :

1. Untuk mengetahui turut campur orang tua terhadap rumah tangga anak

dibenarkan menurut hukum Islam dan hukum positif.

2. Untuk mengetahui pertimbangan hakim dalam menyelesaikan dan

memutus perkara cerai gugat dengan alasan turut campur orang tua.

Sedangkan manfaat dan signifikansi penelitian ini adalah:

1. Hasil kajian ini diharapkan menjadi masukan dan manfaat bagi khazanah

keilmuan bidang hukum, baik hukum perdata positif maupun hukum

perdata Islam.

2. Menambah perbendaharaan kepustakaan hukum umumnya dan hukum

Islam khususnya dibidang Peradilan Agama.

3. Bagi pihak suami atau istri hendaknya selalu menjaga dan memelihara

keutuhan dan keharmonisan rumah tangga, dari berbagai masalah yang

sewaktu-waktu bisa datang tanpa disadari.


D. Metode Penelitian

Untuk mengumpulkan data dalam penulisan skripsi ini, penulis

menggunakan metode sebagai berikut:

1. Jenis penelitian

Jenis penelitian yang digunakan penulis adalah jenis penelitian kualitatif

yang bersifat pendekatan survey.

2. Sumber data dan proses pengumpulan data

a. Data primer

Data primer berbentuk putusan yang didapatkan dari Pengadilan

Agama Jakarta Timur, serta melakukan wawancara dengan hakim yang

memutuskan perkara tersebut.

b. Data sekunder

Data sekunder adalah data yang diperoleh dari buku-buku, internet

dan beberapa hasil penelitian yang berhubungan dengan perkara turut

campur orang tua sebagai alasan perceraian dan dikumpulkan permasalah

dan diklasifikasikan berdasarkan klasisifikasi masalah.

3. Alat pengumpul data

Alat pengumpul data yang diperoleh meliputi transkip interview,

catatan lapangan, dokumen pribadi dan lain-lain.

4. Analisa data
Analisa data dalam penelitian ini dilakukan dengan cara menggunakan

analisa kualitatif dengan pendekatan konten analisis yaitu menganalisis isi

(conten analisa) dengan mendeskripsikan putusan perceraian akibat campur

tangan orang tua dan menghubungkan dengan hasil wawancara, analisa

yurisprudensi hakim Pengadilan Agama Jakarta Timur untuk melihat sejauh

mana proses penyelesaian para hakim dalam menyelesaikan kasus perceraian

yang dikarenakan adanya campur tangan orang tua.

5. Teknik Penulisan

Teknik penulisan skripsi ini menggunakan buku “Pedoman Penulisan

Skripsi Fakultas Syari’ah Dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Tahun 2007”.

E. Tinjauan Kajian Terdahulu

Untuk menentukan arah pembahasan dalam penulisan skripsi ini penulis

menelaah literatur yang sudah membahas tentang judul yang akan penulis

kemukakan dalam penulisan skripsi.

No Nama/ Substansi Perbedaan


NIM/Judul/Pro
di/Kon/Fak/Tah
un
1. Herdianto 1. Menjelaskan 1. Munculnya orang
103044121030 penyebab dan faktor- ketiga bukan dari
Perceraian Karena faktor apa saja yang luar akan tetapi
Perselingkuh menyebabkan adanya datang dari keluarga
(Studi Kasus di orang ketiga atau atau orang tua.
Pengadilan perselingkuhan.
Agama Jakarta 2. Untuk mengetahui
Timur) penyelesaian kasus
Ahwal Al- cerai gugat karena
Syakhsiyyah orang ketiga atau
Peradilan Agama perselingkuhan.
Universitas Islam
Negeri syarif
Hidayatullah
Jakarta
Fakultas Syari’ah &
Hukum
2007

2. M. Lutfi 1. Menjelaskan faktor- 1. Menjelaskan faktor-


103044128035 faktor penyebab faktor penyebab
Penyebab Perceraian perceraian pada orang tua turut
Pada Pasangan pasangan dini. campur yang
Dini (Studi kasus 2. Perselisihan yang mengakibatkan
pada Pengadilan sering dihadapi perceraian.
Agama Jakarta kurang siapnya 2. Akibat dari kurang
Selatan) pasangan untuk siapnya menjalin
Ahwal Al- menuju bahtera sebuah keluarga
Syakhsiyyah rumah tangga juga sehingga adanya
Peradilan Agama merupakan penyebab turut campur orang
Universitas Islam perceraian pada tua.
Negeri syarif pasangan dini
Hidayatullah
Jakarta
Fakultas Syari’ah &
Hukum
2007

3. Eva Muslimah 1. Menjelaskan 1. Untuk mengetahui


104044201463 penyebab dan faktor- turut campur orang
Intervensi Orang faktor apa saja yang tua terhadap anak
Tua Sebagai menyebabkan adanya dibenarkan menurut
Faktor Pemicu intervensi orang tua hukum Islam dan
Perceraia(Studi yang menjadi pemicu hukum positif.
analisis putusan perceraian. 2. Kedudukan orang
Pengadilan tua dalam keluarga
Agama Jakarta anak.
Barat)
Ahwal Al-
Syakhsiyyah
Peradilan Agama
Universitas Islam
Negeri syarif
Hidayatullah
Jakarta
Fakultas Syari’ah &
Hukum
2009

4. Surya Parma Batu 1. Menjelaskan faktor- 1. Menjelaskan faktor-


Bara faktor perceraian faktor penyebab
10404414445 yang diakibatkan orang tua turut
Faktor Ekonomi karena ekonomi. campur yang
Sebagai Alasan 2. Adanya pihak ketiga mengakibatkan
Perceraian dalam penyelesaian perceraian.
Ahwal Al- yaitu orang tua yang 2. Akibat dari kurang
Syakhsiyyah membantu keluarga siapnya menjalin
Peradilan Agama anaknya sebuah keluarga
Universitas Islam sehingga adanya
Negeri syarif turut campur orang
Hidayatullah tua.
Jakarta
Fakultas Syari’ah &
Hukum
2008

5. Shonifah Albani 1. Perceraian yang 1. Perceraian yang di


102044125066 diakibatkan oleh akibatkan karena
Perceraian Akibat orang ketiga, adanya turut campur
Poligami (Studi sehingga terjadi atau orang tua.
kasus Pengadilan adanya perceraian.
Agama Jakarta 2. Orang ketiga tersebut
Selatan) bukanlah dari pihak
Ahwal Al- keluarga atau dengan
Syakhsiyyah kata lain adalah orang
Peradilan Agama lain.
Universitas Islam
Negeri syarif
Hidayatullah
Jakarta
Fakultas Syari’ah &
Hukum
2006

6. Hilmia 1. Perceraian yang 1. Perceraian yang di


Perceraian Karena dikarenakan suami akibatkan karena
Alasan Murtad murtad, sehingga adanya turut campur
Ahwal Al- terjadi atau adanya orang tua.
Syakhsiyyah perceraian.
Peradilan Agama
Universitas Islam
Negeri syarif
Hidayatullah
Jakarta
Fakultas Syari’ah &
Hukum
2007

F. Sistematika Penulisan

Untuk lebih memudahkan dalam pembahasan skripsi ini. Penulis

menyusunnya secara sistematik. Adapun setiap babnya terdiri dari:

Bab I Pendahuluan. Dalam bab ini diuraikan hal-hal yang meliputi latar

belakang masalah, pembatasan dan perumusan masalah, tujuan dan

manfaat penelitian, tinjauan kajian terdahulu, metode penelitian serta

sistematika penulisan.

Bab II Perceraian, Hak dan kewajiban antara orang tua dan anak. Dalam bab

ini diuraikan hal-hal yang meliputi pengertian dan dasar perceraian,

hukum, jenis dan alasan perceraian, akibat dan hikmah perceraian,

kedudukan orang tua dalam keluarga anak, hak dan kewajiban antara

orang tua dan anak menurut hukum Islam dan positif.


Bab III Analisa kasus cerai gugat turut campur orang tua sebagai alasan

perceraian di pengadilan agama Jakarta timur. Dalam bab ini diuraikan

hal-hal yang meliputi profil pengadilan agama Jakarta Timur, duduk

perkara, pertimbangan hukum, amar putusan, analisis penulis.

Bab IV Penutup. Bab ini merupakan kesimpulan menggambarkan secara umum

tentang permasalahan yang dibahas, dalam bab ini juga mencakup

saran-saran dari peneliti atas permasalahan yang di teliti sehingga

upaya mencapai tujuan dari penelitian yang dilakukan dan diharapkan

akan bermanfaat untuk kalangan akademis umumnya dan penulis pada

khususnya.
BAB II

PERCERAIAN, HAK DAN KEWAJIBAN ANTARA ORANG TUA DAN

ANAK

A. Pengertian dan Dasar Perceraian

1. Pengertian perceraian

Langgengnya kehidupan perkawinan merupakan suatu tujuan yang sangat

diinginkan oleh setiap umat Islam yang hendak menikah dari awal pernikahan

hingga ajal menjemput, karena di dalam perkawinan itulah kita bisa

menikmati naungan kasih sayang dan dapat memelihara keluarga kita dengan

baik, tetapi apabila semua itu tidak tercapai maka tidak sedikit pasangan

suami istri mengakhiri bahtera rumah tangganya melalui jalan perceraian.

Talak diambil dari kata “Ithlaq” yang menurut bahasa artinya

“melepaskan atau meninggalkan”. Menurut istilah syara' talak yaitu :

10
ِ َ ِّ‫َّ ُ رَِِْ ا وَاجِ وَاَِْ ءُ اََْ َِ ا وْج‬
Artinya: “Melepas tali perkawinan dan mengakhiri hubungan suami istri”.

Sedangkan dalam Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang

Perkawinan dijelaskan bahwa perceraian hanya dapat dilakukan di depan

sidang Pengadilan setelah Pengadilan yang bersangkutan berusaha dan tidak

10
Sayyid Sabiq, Fiqh al-Sunnah Jilid Dua, (Darul Fattah, t.th ), h 278.
berhasil mendamaikan kedua belah pihak.11 Hal ini sesuai dengan Kompilasi

Hukum Islam pasal 115 dikatakan bahwa perceraian hanya dapat dilakukan di

depan sidang Pengadilan Agama setelah pengadilan agama tersebut berusaha

dan tidak berhasil mendamaikan kedua belah pihak.12

Bila kita melihat dari redaksi di atas bahwa yang dinamakan perceraian

adalah menghilangkan atau melepas ikatan perkawinan sehingga setelah

hilangnya ikatan tersebut maka tidak lagi halal bagi suami atas istrinya. Tetapi

dari pengertian di atas ada perbedaan bahwa para ulama mendefinisikan

perceraian bisa dilakukan kapanpun dan dimanapun, tetapi hal ini berbeda jika

kita melihat di dalam Undang-Undang No 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan

dan Kompilasi Hukum Islam bahwa perceraian dapat dilangsungkan hanya

pada pengadilan agama.

Sehingga apabila ada orang Islam yang berada di negara Indonesia yang

melakukan pernikahan secara sah baik secara agama atau negara dan

melakukan perceraian di luar pengadilan agama maka perceraiannya itu tidak

sah demi hukum atau batal demi hukum.

2. Dasar perceraian

11
R.Subekti, S.H dan R.Tjitrosudibio, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, (PT Pradnya
Paramita, Jakarta,2006) cet ke-37, h 549.
12
Abdurrahman, Kompilasi Hukum Islam di Indonesia, (Akademika Persindo, Jakarta, 1992)
h 141.
Memang tidak terdapat dalam al-Qur’an ayat-ayat yang menyuruh atau

melarang eksistensi perceraian itu, namun isinya hanya sekedar mengatur bila

thalaq terjadi. Di dalam hal perceraian dasar-dasar perceraian itu dapat kita

lihat dari beberapa ayat al-Qur'an atau Hadis, seperti:

a) Al-Baqarah Ayat 232

 !"#$

( !)#*+,  %&'

- 565#7859 3⌧, - ./)#012


- ./01?!@2 ( ;<=*> :2
(٢٣٢ : ‫ )أة‬ABAC …….
Artinya : “Apabila kamu mentalak isteri-isterimu, lalu habis masa

iddahnya, Maka janganlah kamu (para wali) menghalangi

mereka kawin lagi dengan bakal suaminya”.(Q.S. Al-Baqarah

Ayat 232)

b) At-Thalaq Ayat 1


 IJKL=
DEFGH"*>
 %&'
MO!"#$
QREB-G5 - 567E#P,
U )Y-G5!
U
VWX2
U [\7+]^_ Z
U
7L9

c b QR561B!>ab 3`
FRX1!>e 3` - /9d^
hD*i;⌧j^ *fg9,H*> :2 `
..G) 0h,#9 m hD=&k*hlb
0.G) -G05*n*> *b m 

3` m o%!j*p (\)#. XG, 

.sG!*e Z
Lr05 q_XG9
uC
t!b2 0h? 0G5*^
(١ : ‫)ا ق‬

Artinya: “Hai Nabi, apabila kamu menceraikan istri-istrimu maka


hendaklah kamu ceraikan mereka pada waktu mereka dapat
(menghadapi) iddahnya (yang wajar) dan hitunglah waktu
iddah itu dan bertakwalah kepada Allah Tuhanmu. Janganlah
kamu keluarkan mereka dari rumah mereka dan janganlah
mereka (diizinkan) keluar kecuali kalau mengerjakan
perbuatan keji yang terang. Itulah hukum-hukum Allah dan
barang siapa yang melanggar hukum-hukum Allah, maka
sesungguhnya dia telah berbuat zalim terhadap dirinya sendiri.
Kamu tidak mengetahui barangkali Allah mengadakan sesudah
itu sesuatu hal yang baru.” (Q.S. At-Thalaq: 1)

c) Hadits Nabi Muhammad SAW

ِ   ٍ ُّ  !"# ّ$ %&'‫"!  آ(ُ  ٍ ا‬#


 ِ*‫  ربِ  دِ!رٍ ا‬%&ِ.‫ﺹ‬0‫ِْ ا‬0‫ا*ِ  ا‬
:567‫ و‬96 *‫ ا‬:6‫ل ا* ﺹ‬07‫ <ل ر‬:2  *‫& ا‬3‫َ ر‬
13
(9? ‫ ا‬$‫ِ اَ" َقُ )روا‬9َ6‫َ ا‬:ِ‫أَ ْ>َ=ُ ا َْ َ لِ ا‬

Artinya : “Telah menceritakan kepada kami Katsir bin Uba’id al- Himsi,
telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Khalid dari
Ubaidillah bin Walid al-Dzashofi dari Muharib bin Itsar dari
Abdullah bin Umar RA.: telah berkata Rasulullah Saw. :
Sesuatu perbuatan halal yang paling dibenci Allah adalah talak
atau perceraian (HR.Ibnu Majah)”.

Dalam perundang-undangan Indonesia mengenai perceraian ini diatur

dalam Undang-Undang No. 1 tahun 1974 pada pasal 38-41. Pada pasal 38

Undang-Undang No. 1 tahun 1974 disebutkan bahwa : “perkawinan dapat

13
Abi Abdullah bin Yazid Al-Qazwainiy, Sunan Ibnu Majah, Beirut, Lebanon, Daar al-
Fikr,1994, h. 633.
putus karena: a. Kematian; b. perceraian; c. atas keputusan pengadilan”. Hal

ini sejalan dengan Kompilasi Hukum Islam pasal 113.

Dalam perundang-undangan Indonesia membedakan antara perceraian

atas kehendak suami dan perceraian atas kehendak istri. Hal ini karena

karakteristik hukum Islam dalam perceraian memang menghendaki demikian

sehingga proses penyelesaiannya pun berbeda.14 Maksud dari hal ini

perceraian dapat terjadi akibat talak yang dilakukan oleh suami kepada istri

seperti halnya talak yang dijelaskan oleh hukum Islam, dan perceraian dapat

terjadi akibat gugatan perceraian yang dilakukan oleh istri terhadap suami.

Namun hal ini harus dilakukan didepan pengadilan seperti dalam pasal 115

Kompilasi Hukum Islam yang berbunyi: “perceraian hanya dapat dilakukan

didepan sidang Pengadilan Agama setelah Pengadilan Agama tersebut

berusaha dan tidak berhasil mendamaikan kedua belah pihak”.15

B. Jenis dan Alasan Perceraian

1. Jenis Perceraian

a. Cerai Talak

14
Mukri Arto, Praktek Perkara Perdata Pada Pengadilan Agama, (Jakarta : Pustaka Pelajar,
2003), cet. ke-4, h. 206.
15
Kompilasi Hukum Islam. Departemen Agama RI, 1996. h. 38.
Cerai talak adalah ikrar suami di hadapan sidang Pengadilan Agama

yang menjadi salah satu sebab putusnya perkawinan, dengan cara

sebagaimana dimaksud dalam pasal 129, 130 dan 131.16

b. Cerai Gugat

Dalam sebuah perkawinan, keputusan untuk bercerai tidak hanya

tergantung pada seorang suami, isteri juga bisa mengajukan gugatan

perceraian apabila sudah tidak merasa cocok lagi dan tidak tahan oleh

tingkah laku suaminya.

Dalam Islam, gugat cerai biasa disebut khulu’. Khulu’ berasal dari

lafadz kha-la-‘a yang secara bahasa berarti menanggalkan atau membuka

pakaian. Pengertian ini dihubungkan dengan perkawinan karena Al-Qur’an

surat Al-Baqarah ayat 187, Allah SWT berfirman:

[\Op2 [\<Z JL *+ - 56 …


(١٨٧ : ‫ )أة‬uwC …. < - ./Z JL *+
Artinya: Mereka merupakan pakaian bagimu dan kamu adalah pakaian bagi

mereka (QS. Al-Baqarah: 187)

Secara istilah, kata Khulu’ diartikan talak yang berlaku dengan

keinginan isteri dan kesunguhannya untuk bercerai, maksudnya adalah

16
Ibid., h. 60.
isteri menebus dirinya agar dibebaskan dari ikatan perkawinan dengan cara

mengembalikan mas kawin yang telah mereka sepakati sebelumnya. 17

Definisi lain dari khulu’ secara bahasa berarti tebusan dan menurut

istilah adalah talak yang diucapkan oleh isteri dengan mengembalikan

mahar yang penah dibayarkan suami. 18

Sebagian Ulama mendefinisikan Khulu’ secara harfiah adalah “lepas”

atau “copot” tetapi secara istilah Khulu’ diartikan “perceraian dengan

tebusan (dari pihak isteri kepada pihak suami) dengan menggunakan lafadz

talak atau khulu”.19

2. Alasan perceraian

Alasan perceraian adalah suatu kondisi dimana suami atau isteri

mempergunakanya sebagai alasan untuk mengakhiri atau memutuskan tali

perkawinan mereka.

Di dalam menjalankan kehidupan perkawinan bertujuan untuk

membentuk keluarga yang sakinah, mawadah dan rohmah. Namun terkadang

dalam perjalanannya sebuah perkawinan ada yang tidak mencapai tujuan

17
Mustofa Al-Khin, Mustofa Al-Bugho, dan Ali Asy-Syarbaji, kitab fiqh madzhab syafie,
jilid ke 4 (Kuala Lumpur: Prospecta Printers SDN BHD, 2005)
18
Syaikh Hasan Ayub, fikih keluarga,penerjemah M. Abd.Ghofar,E.M (Pustaka Al-
Kautsar,2006) cet ke-5. hlm. 305.
19
Amir Syarifuddin, Garis-garis besar Fiqh,(Jakarta: Kencana Prenada Media,2003) edisi ke-
1. hlm. 131.
tersebut, maka terajadi putusnya perkawinan yakni melalui jalan perceraian.

Dalam sebuah perceraian harus ada alasan kuat yang melatar belakangi

terjadinya perceraian ini. Setidaknya ada empat kemungkinan yang terjadi

dalam kehidupan rumah tangga, yang dapat memicu timbulnya keinginan

untuk memutus/terputusnya perkawinan. 20

a. Terjadinya nusyuz dari pihak istri

Nusyuz bermakna kedurhakaan yang dilakukan seorang istri

terhadap suaminya. Hal ini bisa terjadi dalam bentuk pelanggaran

perintah, penyelewengan, dan hal-hal yang dapat menggangu

keharmonisan rumah tangga. Berkenaan dengan hal ini Al-Qur’an

memberi tuntunan bagaimana mengatasi nusyuz istri agar tidak terjadi

perceraian. Adapun petunjuk mengenai langkah-langkah menghadapi istri

melakukan nusyuz, surat an-Nisa’ ayat 34:

|)9* F{b?y xy0 Bz

3r~8, 0☺^  %&'

K€5*^ m|)9* ./385*^ 

X b U
7⌧jp2  0☺^
m [\/?!b2
ƒ*n=y 70#‚W ,
0☺^ #!d*,#… 7j0
JZ
 m 
⌧†j0
QR560@7i5‡ *:5, >b
- 567ˆ6
 QR56V75,

20
Ahmad Rofiq, Hukum Islam Di Indonesia, (Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada, 1997), cet. Ke-2, h.
269-274.
Rƒ;1 380☺!
|f
:Š, U - 56^‰X

U
[h9 3⌧, [\7+=5$2
Z
L: < ‹⌧d+0Œ - E[‰)#*
BC
=‰+3 `#* F{y⌧c
(٣٤ : ‫ء‬C ‫)ا‬

Artinya: “Kaum laki-laki adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena
Allah telah melebihkan sebahagian mereka (laki-laki) atas
sebahagian yang lain (wanita), dan karena mereka (laki-laki)
telah menafkahkan sebagian dari harta mereka. Sebab itu maka
wanita yang saleh, ialah yang taat kepada Allah lagi memelihara
diri, ketika suaminya tidak ada, oleh karena Allah telah
memelihara (mereka). Wanita-wanita yang kamu khawatiri
nusyuznya maka nasihatilah mereka dan pisahkan diri mereka
dari tempat tidur mereka ,dan pukulah mereka. kemudian jika
mereka menaatimu maka janganlah kamu mencari-cari jalan
untuk menyusahkannya. Sesungguhnya Allah Maha Tinggi lagi
Maha Besar” (Q.S. an-Nisa’ : 34).

Petunjuk tersebut apabila dirinci, dapat dikemukakan sebagai

berikut:

1) Isteri diberi nasihat tentang berbagai kemungkinan negatif

dan positifnya (al-Tarhib wa al-Targib), dari tindakannya itu,

terlebih apabila sampai terjadi perceraian, dan yang

terutama agar kembali lagi berbaikan dengan suaminya.

2) Apabila usaha pertama berupa pemberian nasihat tidak

berhasil, langkah kedua adalah memisahkan istri dari tempat

tidur suami, meski masih dalam satu rumah.


3) Apabila langkah kedua tersebut tidak juga dapat mengubah

pendirian istri untuk nusyuz, maka langkah ketiganya adalah

memberi pelajaran, atau dalam bahasa Al-Qur’an

memukulnya. Para mufasir menafsirkan dengan memukul

yang tidak melukai atau yang lebih tepat mendidiknya.

b. Terjadinya nusyuz dari pihak suami

Kemungkinan nusyuz ternyata tidak hanya datang dari istri tetapi

dapat juga nusyuz yang datang dari suami. Selama ini sering

disalahpahami bahwa nusyuz hanya datang dari pihak istri.

Dalam surat an-Nisa’ ayat 128 dinyatakan:

c b X,y ŽY2(I[
C:
2
@7ip 0/#5*^
00 Y'1 3⌧, =u
kX
0#W> :2  0☺E[‰)#*’
m ☯,#.” 0☺’z=k*^
< ‰[0( .⌧,#IW

–☯7jpO
\‰;•Xa2
U
=;59 : m -⌧|i

F{y⌧c Z
Q{Š, U
7]n9

=‰+0( F{5#0☺59 0☺^
( : ‫ء‬C ‫ )ا‬uAC

Artinya: “Dan jika seseorang khawatir akan nusyuz, atau sikap tidak acuh
dari suaminya, maka tidak mengapa bagi keduanya mengadakan
perdamaian yang sebenarnya dan perdamaian itu itu lebih baik
(bagi mereka) walaupun manusia itu menurut tabiatnya kikir.
Dan jika kamu menggauli istrimu dengan baik dan memelihara
dirimu (dari nusyuz dan sikap tak acuh), maka sesungguhnya
Allah adalah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan” (Q.S.
an-Nisa’ : 128).

Dalam Al-Qur’an dan terjemahannya terdapat keterangan bahwa

jalan yang ditempuh apabila suami nusyuz seperti acuh tak acuh, tidak

menggauli dan tidak memenuhi kewajibannya, maka upaya perdamaian

bisa dilakukan dengan cara istri merelakan haknya dikurangi untuk

sementara agar suaminya bersedia kembali kepada istrinya dengan baik.

c. Terjadinya perselisihan atau percekcokan antara suami dan istri

Jika dua kemungkinan diatas menggambarkan salah satu pihak

nusyuz sedangkan pihak yang lain dalam kondisi normal, maka

kemungkinan yang ketiga ini terjadi karena keduan-duanya terlibat dalam

syiqaq (percekcokan), misalnya disebabkan kesulitan ekonomi, sehingga

keduanya sering bertengkar. Dalam hal ini Al-Qur’an memberi petunjuk:

— Z O!j;( :


U
5š05[^ , ˜EC™k*^
œ2
62 X &b ›☺<0
 0/#62 X &b ›☺<0
☯)#X” 
0G>B> :
 0☺E™!*^ 
C…,>
‹☺#* *:y⌧c Z
L: <
( : ‫ء‬C ‫ )ا‬BC
=‰h0(

Artinya: “Jika kamu khawatirkan ada persengketaan antara keduanya,


maka kirimlah seorang hakam dari keluarga laki-laki dan
seorang hakam dari keluarga perempuan. Jika kedua orang
hakam itu bermaksud mengadakan perbaikan, niscayaAllah
memberi taufik kepada suami istri itu, sesungguhnya Allah Maha
Mengetahui Lagi Maha Bijaksana”. (Q.S. an-Nisa’ : 35).

Penunjukan hakam dari kedua belah pihak ini diharapkan dapat

mengadakan perdamaian dan perbaikan untuk menyelesaikan

persengketaan antara kedua belah pihak suami dan istri. Apabila karena

sesuatu hal hakam yang ditunjuk tidak dapat melaksanakan tugasnya,

dicoba lagi dengan menunjuk hakam lainnya.

d. Terjadinya salah satu pihak melakukan perbuatan zina.

Hal ini juga disebut dengan fakhisyah, hal ini menimbulkan saling

tuduh menuduh antara keduanya. Cara penyelesaiannya adalah

membuktikan tuduhan yang didakwakan, dengan cara li’an. Li’an

sesungguhnya telah memasuki “gerbang putusnya perkawinan, dan

bahkan untuk selama-lamanya karena akibat li’an adalah terjadinya talak

ba’in kubra”.

Dalam hukum Islam perceraian dapat disebabkan oleh alasan-alasan sebagai

berikut:21

a. Tidak ada lagi keserasian dan keseimbangan dalam suasana

rumah tangga, tidak ada lagi rasa kasih sayang yang merupakan

tujuan dan hikmah dari perkawinan.

21
Muhammad Hamidy, Perkawinan Dan Permasalahannya, (Surabaya : Bina Ilmu, 1980), h.
89.
b. Karena salah satu pihak berpindah agama (murtad).

c. Salah satu pihak melakukan perbuatan keji yang dilarang agama.

d. Istri meminta cerai kepada suami dengan alasan suami tidak

berapologi dengan alasan yang dicari-cari dan menyusahkan istri.

e. Suami tidak memberi apa yang seharusnya menjadi hak istri.

f. Suami melanggar janji yang pernah diucapkan sewaktu akad

pernikahan (taklik talak).

Sedangkan menurut Sayyid Sabiq, alasan-alasan perceraian itu adalah:

a. Suami tidak dapat memberi nafkah.

b. Suami berbuat aniaya terhadap istri.

c. Suami ghaib (berjauhan).

d. Suami di hukum penjara.

Di dalam muatan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No. 9 Tahun

1975 Tentang Pelaksanaan Undang-undang Perkawinan No. 1 Tahun 1974

Tentang Perkawinan menerangkan dan menjelaskan bahwa alasan-alasan

perceraian sebagai berikut:

a. Salah satu pihak berbuat zina atau menjadi pemabuk, pemadat, penjudi,

dan lain sebagainya yang sukar disembuhkan.

b. Salah satu pihak meninggalkan pihak lain selama 2 (dua) tahun berturut-

turut tanpa izin pihak lain dan tanpa alasan yang sah atau karena hal lain

luar kemampuanya.
c. Salah satu pihak mendapat hukuman penjara 5 (lima) tahun atau hukuman

yang lebih berat setelah perkawinan berlangsung.

d. Salah satu pihak melakukan kekejaman atau penganiayaan berat yang

membahayakan pihak lain.

e. Salah satu pihak mendapatkan cacat badan atau penyakit dengan akibat

tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai suami/isteri.

f. Antara suami dan isteri terus-menerus terjadi perselisihan dan

pertengkaran dan tidak ada harapan akan hidup rukun lagi dalam rumah

tangga.

Sedangkan di dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) menjelaskan hal

yang sama tentang alasan-alasan perceraian akan tetapi di dalam kompilasi

hukum Islam ada tambahan dua point dalam penyempurnaannya yaitu:

a. Suami melanggar taklik-talak.

b. Peralihan agama atau murtad yang menyebabkan terjadinya

ketidakrukunan dalam rumah tangga.

C. Akibat dan Hikmah Perceraian

1. Akibat Perceraian

Apabila perkawinan yang diharapkan tidak tercapai dan perceraian yang

diambil sebagai jalan keluarnya maka akan timbul akibat dari perceraian itu

sendiri. Dalam hal ini baik Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang
Perkawinan atau Kompilasi Hukum Islam (KHI) mengatur hal tersebut pada

pasal-pasal berikut ini, yaitu :

1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 197422

Pasal 41

Akibat putusnya perkawinan karena perceraian ialah :

a. Baik ibu atau bapak tetap berkewajiban memelihara dan mendidik

anak-anaknya semata-mata berdasarkan kepentingan anak, bilamana

ada perselisihan mengenai penguasaan anak-anak Pengadilan memberi

keputusannya.

b. Bapak yang bertanggung jawab atas semua biaya pemeliharaan dan

pendidikan yang diperlakukan anak itu, bilamana bapak dalam

kenyataan tidak dapat memenuhi kewajiban tersebut Pengadilan dapat

menentukan bahwa ibu ikut memikul biaya tersebut.

c. Pengadilan dapat mewajibkan kepada bekas suami untuk memberikan

biaya penghidupan dan/atau menentukan sesuatu kewajiban bagi bekas

isteri.

2) Kompilasi Hukum Islam (KHI)23

Pasal 149

Bilamana perkawinan putus karena talak, maka bekas suami wajib :

22
R.Subekti, S.H dan R.Tjitrosudibio, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, h 549.
23
Kompilasi Hukum Islam, Departemen Agama RI, 1996, h 149.
a. Memberikan mut’ah yang layak kepada bekas isterinya baik berupa

uang atau benda kecuali bekas isteri tersebut Qobla al-Dukhul.

b. Memberi nafkah, maskan dan kiswah kepada bekas isteri selama

dalam iddah, kecuali bekas isteri telah dijatuhi talak bain atau nusyuz

dan dalam keadaan tidak hamil.

c. Melunasi mahar yang masih terutang seluruhnya dan separuh apabila

Qobla al-Dukhul.

d. Memberikan biaya hadhanah untuk anak-anaknya yang belum

mencapai umur 21 tahun.

Pasal 150

Bekas suami berhak melakukan ruju’ kepada bekas isterinya yang masih

dalam masa iddah.

Pasal 151

Bekas isteri selama dalam masa iddah wajib menjaga dirinya tidak

menerima pinangan dan tidak menikah dengan pria lain.

Pasal 152

Bekas isteri berhak mendapat nafkah iddah dari bekas suaminya kecuali

bila ia nusyuz.

pasal 156
a. anak yang belum Mumayyiz berhak mendapatkan hadhanah dari

ibunya, kecuali bila ibunya telah meninggal dunia, maka

kedudukannya diganti oleh:

1) Wanita-wanita dalam garis lurus keatas dari ibu;

2) Ayah;

3) Wanita-wanita dalam garis lurus keatas dari ayah;

4) Saudara perempuan dari anak yang besangkutan;

5) Wanita-wanita dari kerabat sedarah menurut garis samping dari

ibu;

6) Wanita-wanita dari kerabat sedarah menurut garis samping dari

ayah.

b. Anak yang sudah Mumayyiz berhak memilih untuk mendapatkan

hadhanah dari ayah atau ibunya.

c. Apabila pemegang hadhanah ternyata tidak dapat menjamin

keselamatan jasmani dan rohani anak, meskipun biaya nafkah dan

hadhanah telah dicukupi, maka atas permintaan kerabat yang

bersangkutan pengadilan dapat memindahkan hak hadhanah kepada

kerabat lain yang mempunyai hak hadhanah pula.

d. Semua biaya hadhanah dan nafkah anak menjadi tanggungan ayah

menurut kemampuannya, sekurang-kurangnya sampai anak tersebut

dewasa dan dapat mengurus dirinya sendiri (21 tahun).


e. Bilamana terjadi perselisihan mengenai hadhanah dan nafkah anak,

pengadilan agama memberikan putusannya berdasarkan huruf (a), (b),

(c), dan (d).

f. Pengadilan dapat pula dengan mengingat kemampuan ayahnya

menetapkan jumlah biaya untuk pemeliharaan dan pendidikan anak-

anak yang tidak turut padanya. 24

2. Hikmah Perceraian

Dalam Al-Qur’an tidak ada ayat yang menyuruh atau melarang eksistensi

perceraian, sedangkan untuk perkawinan ditemukan beberapa ayat yang

menyuruh melakukannya.

Suatu kejadian pastilah terdapat hikmah yang akan didapatkan, begitu

juga pada permasalahan perceraian akan ada hikmah yang akan kita dapatkan

baik bagi sang suami atau sang isteri. Talak pada dasarnya sesuatu yang halal

tetapi hal yang paling dibenci oleh Allah SWT, hikmah dibolehkannya talak

itu adalah karena dinamika kehidupan rumah tangga kadang-kadang menjurus

kepada sesuatu yang bertentangan dengan tujuan pembentukan rumah tangga

itu. Dalam keadaan begini kalau dilanjutkan akan menimbulkan mudharat

bagi kedua belah pihak baik itu sang suami atau isteri bahkan kepada sang

anak itu sendiri.25

24
Ibid., h. 74-75.
Allah SWT Yang Maha Bijaksana menghalalkan talak tapi membencinya,

kecuali untuk kepentingan suami, istri atau keduanya, atau untuk kepentingan

keturunannya. Selain hal itu, hikmah adanya perceraian akan menambahkan

kita pada pembelajaran hidup bahwasanya dalam hidup terdapat dinamika

yang harus kita jalani, baik itu bersifat senang ataupun sedih. Karena semua

ini sudah ada ketentuannya yang telah lama ditentukan oleh Allah SWT

sehingga diharapkan semua peristiwa yang kita alami dapat kita ambil hikmah

atau sebagai pembelajaran untuk kehidupan kita kedepan agar lebih baik dan

bisa lebih mendekatkan diri dengan sang pencipta yaitu Allah SWT.

D. Kedudukan Orang Tua Dalam Keluarga Anak

Orang tua merupakan orang yang lebih tua atau orang yang dituakan, namun

umumnya di masyarakat pengertian orang tua adalah orang yang telah melahirkan

kita yaitu bapak dan ibu.26

Ibu dan bapak selain telah melahirkan kita ke dunia ini juga yang mengasuh

dan yang telah membimbing anaknya dengan cara memberikan contoh yang baik

25 Amir Syarifudin
, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia antara Fiqh dan Munakahat dan UU
perkawinan, (Jakarta, Prenada Media, 2006), h. 109-200.

26
Abdul Mustakim, Kedudukan dan Hak-hak Anak dalam Perspektif al-Qur’an, (Artikel
Jurnal Musawa, vol.4 No. 2, Juli-2006), hal. 149-150.
dalam menjalani kehidupan sehari-hari, selain itu orang tua juga telah

memperkenalkan anaknya kedalam hal-hal yang terdapat di dunia ini dan

menjawab secara jelas tentang sesuatu yang tidak dimengerti oleh anak. Karena

orang tua adalah pusat kehidupan rohani anak dan sebagai penyebab berkenalnya

dengan alam luar, maka setiap reaksi emosi anak dan pemikirannya dikemudian

hari terpengaruh oleh sikapnya terhadap orang tuanya di permulaan hidupnya

dahulu. Sedangkan anak adalah amanah sekaligus karunia Tuhan Yang Maha Esa

yang senantiasa harus dijaga karena dalam dirinya melekat harkat, martabat dan

hak-hak sebagai manusia yang harus dijunjung tinggi.27

Semua agama menempatkan kedudukan orang tua pada tempat terhormat.

Hal ini sungguh pada tempatnya, karena tiada seorang pun yang nuraninya bisa

mengingkari pengorbanan dan jasa tanpa batas dari orang tua mereka. Selama

sembilan bulan ibu menjaga dan memberikan darahnya sendiri demi anak yang

dikandung. Pada saat melahirkan betapa seorang ibu amat menderita. Ia tidak

mempedulikan hidupnya sendiri. Harapan satu-satunya hanyalah: "Semoga

anakku lahir dengan selamat".28

Anak dalam kamus besar bahasa Indonesia diartikan sebagai keturunan,

anak juga mengandung pengertian sebagai manusia yang masih kecil. Selain itu

27
Undang-Undang No 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak (Citra Umbara, Bandung),
hal. 4.

28
Hendi Suhendi, Pengantar Studi Sosial Keluarga, (Bandung: Pustaka Setia, 2001), h. 45-
53.
anak pada hakekatnya seorang yang berada pada satu masa perkembangan

tertentu dan mempunyai potensi untuk dewasa.29

Di dalam al-Qur’an anak sering disebutkan dengan kata walad-awlad yang

berarti anak yang dilahirkan orang tuanya laki-laki maupun perempuan, besar

atau kecil, tunggal atau banyak. Karenanya jika anak belum lahir belum dapat

disebut al-Walad atau al-Mawlud, tetapi disebut al-Janin yang berarti al-Mastur

(tertutup) dan al-Khafy (tersembunyi) di dalam rahim ibu. 30

Dalam masyarakat ditemui banyak sekali bentuk keluarga, antara satu

masyarakat dengan masyarakat lainnya dan terkadang tidak memiliki bentuk

keluarga yang sama. Bentuk-bentuk keluarga tersebut dapat dibedakan dari dua

hal, yaitu: 31

1. Keluarga Bathin (Nuclear Family), yaitu sebuah keluarga yang terdiri dari

pasangan suami isteri bersama anak-anaknya yang belum menikah. Bentuk

keluarga yang seperti ini tidak memiliki ketergantungan terhadap unit

keluarga lainnya. Hanya saja, dalam kegiatan yang sifatnya kolektif,

keluarga ini masih relatif mementingkan kebersamaan walau hanya bersifat

pilihan bukan kewajiban. Hubungan antara suami dan isteri lebih penting

dari pada hubungan dengan sanak saudara lainnya. Sehingga membentuk

29
Anton M. Moeliono, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (cet-2; Jakarta: Balai Pustaka, 1988),
hal. 30-31.
30
M. Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah:Pesan, Kesan, dan Keserasian al-Qur’an, (jilid XV,
Jakarta, Lentera Hati, 2004), hal. 614.

31
A. Sutarmadi, Administrasi Pernikahan dan maanajemen Kekeluargaan, h. 8-13.
keluarga yang mandiri, lebih bertanggung jawab, lebih bebas menentukan

pilihan dan terhindar dari konflik lebih jauh antara keluarga besar.

2. Keluarga Luas (Extended Family), yaitu sebuah keluaga yang terdiri dari

keluarga bathin ditambah semua orang yang memiliki hubungan keturunan

dari kakek dan nenek yang sama, termasuk keturunan tinggal dalam satu

atap rumah. Bentuk kekeluargaan luas biasanyanya adanya konflik antara

anggota keluarga akan sering terjadi dan arus hubungan kekeluargaan lebih

banyak ditentukan oleh satu orang saja, yaitu orang yang memiliki

kelebihan dan pengaruh, biasanya oleh orang yang lebih tua.

Pada hakekatnya kedudukan orang tua sangatlah penting bagi anak, karena

orang tua adalah orang yang telah melahirkan dan membesarkan anak. Sesuai

dengan pasal 46 Undang-undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1974

Tentang Perkawinan seorang anak hendaklah wajib menghormati orang tuanya

dan wajib mentaati kehendak dan keinginan yang baik dari orang tuanya, dan jika

anak sudah dewasa mengemban kewajiban memelihara orang tua serta karib

kerabatnya yang memerlukan bantuan sesuai kemampuannya.

Walaupun hubungan orang tua dan anak perlu mendapatkan perhatian

khusus karena antara orang tua dan anak adanya ikatan biologis, artinya relasi ini

secara alamiah atau natural yang mempersatukan mereka, yang terpenting dalam

hubungan antara orang tua dan anak ini adalah kewajiban orang tua dalam

memberikan nafkah selama anak ini belum dewasa orang tua wajib memberi
nafkah dan penghidupan kepada anak itu. Artinya ketika anak sudah berkeluarga,

orang tua sudah tidak wajib lagi dalam memberikan nafkah dan penghidupan

kepada anaknya, karena seorang anak yang sudah berkeluarga sudah dikatakan

dewasa, dan seorang anak yang sudah berkeluarga apabila seorang isteri menjadi

tanggungan suaminya.

Tentunya kewajiban anak itu sendiri sebenarnya tidak hilang ketika seorang

anak ini sudah dewasa dan mempunyai keluarga sendiri, namun kedudukan orang

tua terhadap anak yang berubah. Karena ketika anak sudah berkeluarga mereka

sudah mempunyai kewajiban terhadap keluarganya sendiri. Oleh karena itu

kedudukan orang tua terhadap anak yang sudah mempunyai keluarga hanyalah

sebatas antara hubungan timbal balik antara orang tua dan anak, atau orang tua

hanya sebatas sebagai penasihat dan menjadi pembimbing dalam keluarga

anaknya jika memang dibutuhkan.

E. Hak dan kewajiban antara orang tua dan anak menurut hukum Islam

Islam selain mengatur hubungan suami isteri juga mengatur hubungan

timbal balik yang harmonis antara orang tua dan anaknya. Keterkaitan yang erat

dalam aturan Islam ini memugkinkan perkembangan yang seimbang antara

generasi ke generasi.32

Mengenai kewajiban orang tua terhadap anak diantaranya mencukupi

kebutuhan-kebutuhan ekonomisnya, baik dalam bentuk pangan, sandang

32
Ibnu Mushtafa, Keluarga Islam Menyongsong Abad 2,(Penerbit : al-Bayan Bandung) 1993
cet 1, h. 112.
perumahan dan kesehatan. Kemudian mendidik anak-anaknya adalah sangat

penting karena posisi keduanya sangat menentukan bagi kehidupan anak-

anaknya, selain itu kewajiban orang tua adalah mendidik anaknya agar berakhlak

baik.33

Kelahiran anak merupakan peristiwa hukum, dengan resminya seorang anak

menjadi anggota keluarga melalui garis nasab berhak mendapatkan berbagai

macam hak dan mewarisi ayah dan ibunya. Yaitu: 34

1. Hak nasab, dengan hubungan nasab ada sederetan hak-hak anak yang harus

ditunaikan orang tuanya dan dengan nasab pula dijamin hak orang tua

terhadap anaknya.

2. Hak Radla’ adalah hak anak menyusui, ibu bertanggung jawab di hadapan

Allah menyusui anaknya ketika masih bayi hingga umur dua tahun, baik

masih dalam tali perkawinan dengan ayah bayi atau pun sudah bercerai.

3. Hak Hadhanah adalah tugas menjaga, mengasuh dan mendidik bayi atau

anak yang masih kecil sejak lahir sampai mampu menjaga dan mengatur diri

sendiri.

4. Hak Walâyah disamping bermakna hak perwalian dalam pernikahan juga

berarti pemeliharaan diri anak setelah berakhir periode hadhanah sampai

33
Abdul Qadir Djaelani, Keluarga Sakinah, (PT: Bina Ilmu, Surabaya) 1995, cet. 1 h. 212.
34
Satria Effendi, Makna, Urgensi dan Kedudukan Nasab dalam Perspektif Hukum Keluarga
Islam, (Artikel Jurnal Mimbar Hukum, Jakarta, Al-Hikmah dan DITBINBAPERA Islam No. 42 Tahun
X 1999), hal. 7-19.
dewasa dan berakal atau sampai menikah dan perwalian terhadap harta

anak.

5. Hak Nafkah merupakan pembiayaan dari semua kebutuhan di atas yang

didasarkan pada hubungan nasab.

Seorang anak meskipun telah berkeluarga, tetap wajib berbakti kepada

kedua orang tuanya. Kewajiban ini tidaklah gugur bila seseorang telah

berkeluarga. Karena jalan yang haq dalam menggapai ridha Allah SWT adalah

melalui orang tua yaitu dengan “Birrul Walidain”. Sebagaimana yang tersirat

dalam al-Qur’an surat al-Israa’ ayat 23:

U
j.Gh59 ~`2 0hl^_ mJ%Jy
) ]> `
Cf!Ÿ* ?! ^
- *5#[h*> Lb m =%X
‰0;+!
⌧ 0G'
3⌧, 0☺563⌧c 2  0☺56.G*)2
3` h¤ a2  0☺¡¢£ r79
0☺./Z r5y 0☺56[DE™9
ABC ›☺>B3 =`[y
(٢٣: ‫)ءارسالا‬
Artinya : “Dan Tuhanmu telah memerintahkan supaya kamu jangan menyembah
selain dia dan hendaklah kamu berbuat baik pada ibu bapakmu dengan
sebaik-baiknya. Jika salah seorang di antara keduanya atau kedua-
duanya sampai berumur lanjut dalam pemeliharaanmu, maka sekali-
kali janganlah kamu mengatakan kepada keduanya perkataan "ah" dan
janganlah kamu membentak mereka dan ucapkanlah kepada mereka
perkataan yang mulia”. (Q.S. al-Israa’: 23).

Mengenai ayat al-Qur-an di atas, bahwa adalah benar seorang anak itu harus

berbakti dan menghormati orang tuanya walaupun anak itu sudah berkeluarga,
akan tetapi orang tua pun harus mengerti ketika anaknya sudah berkeluarga.

Artinya anaknya itu mempunyai kewajiban yang lain selain kewajiban kepada

orang tuanya, yaitu kewajiban kepada keluarganya. Selain itu memang benar

bahwa anak itu harus selalu berbakti kepada orang tuanya dan selalu

menghormatinya, namun berbakti dan menghormati disini bukan berarti harus

selalu mematuhi perintah orang tua, apalagi ketika anak tersebut sudah

berkeluarga. Jadi, selama perintah kedua orang tua tidak mengandung

kezhaliman, maka anak harus menaatinya karena ridha orang tua adalah pintu

surga. Sebagaimana dalam Hadis disebutkan:

"‫ وَاِن‬،ً‫ اَْأَة‬:ِ "‫إِن‬:َ‫ََل‬. ُ$َF‫ُ أن" رَ?ُ ًأ‬9ْ َ ُ*I َ:ِ3َ‫ ا"رْدَاءِر‬:ِ‫وََْ أ‬
567‫ِ و‬9ْ6َ 96ّ‫ ا‬:"6َ‫ِ ﺹ‬9ّ6‫لَ ا‬0ُ7َ‫ُ ر‬PْQَِ7:َ‫ََل‬..َ2ِ<َ َِ :ِ‫ُُْﻥ‬MَF :Nُ‫أ‬
َ‫َ اَْب‬Zَِ‫ِ\ْ ذ‬3َMَ. َْWِX ْ‫ِن‬Yَ. ،ِT" َUَْ‫َابِ ا‬0ْ‫ُ أ‬Vَ7ْ‫َاُِأَو‬0‫"أ‬:ُ‫ل‬0َُ‫ی‬
35
(ٌcَِْ‫ٌَ ﺹ‬Cَ# ٌdْ‫َِی‬#:َ‫ وَ<َل‬%‫ِ`ِى‬Na‫ُ ا‬$‫)رَوَا‬ ."ُ9ْ]َ^ْ#‫أَوِا‬
Artinya: Abu Darda’ ra. berkata, “Seorang laki-laki datang kepadaku dan berkata,
‘Aku memiliki seorang istri dan ibuku menyuruhku agar
menceraikannya.’” Abu Darda’ menjawab, “Aku pernah mendengar
Rasulullah SAW bersabda, ‘Orang tua adalah pintu surga yang paling
baik. Jika kamu mau, buanglah pintu itu atau peliharalah.’” (H.R.
Tirmidzi. Ia berkata, “Hadits ini shahih”).

35
Muhil Dhofir dan Farid Dhofir, Syarah dan Terjemahan Riyadhus Shalihin, (Jakarta: PT,
Najahun Dinar 2006) Cet. Ke-2 Hal. 395-386
Pada hakekatnya seorang anak harus berbuat baik kepada kedua orang

tuanya, meskipun orang tua masih dalam keadaan musyrik mereka tetap

mempunyai hak untuk mendapatkan perlakuan yang baik dari anak-anaknya.

Berbuat baik kepada kedua orang tua harus didahulukan daripada fardhu

kifayah, amalan-amalan sunnah, berjihad di jalan Allah SWT dan berbuat baik

kepada kedua orang tua tidak berarti harus meninggalkan kewajiban terhadap istri

dan anak-anaknya, kewajiban memberikan nafkah kepada istri dan anak-anak

tetap dipenuhi walaupun kepada kedua orang tuanya harus didahulukan.36

Permasalahan mentaati perintah orang tua ketika diminta untuk menceraikan

istri sudah berlangsung sejak lama. Oleh karena itu para Imam (Aimmah) sudah

menjelaskan penyelesaian dari permasalahan tersebut. Pada zaman Imam Ahmad

(abad kedua) dan zaman Syaikhul Islam (abad ketujuh) permasalahan ini sudah

terjadi dan sudah dijelaskan bahwa tidak boleh taat kepada kedua orang tua untuk

menceraikan istri karena hawa nafsu. Kecuali jika istri tidak taat pada suami,

berbuat zhalim, berbuat kefasikan, tidak mengurus anaknya, berjalan dengan laki-

laki lain, tidak pakai jilbab (tabaruj/memperlihatkan aurat), jarang shalat dan

ketika suami sudah menasehati dan mengingatkan tetapi istri tetap nusyuz

(durhaka), maka perintah untuk menceraikan istri wajib ditaati.37

F. Hak dan kewajiban antara orang tua dan anak menurut hukum Positif

36
Yazid bin Abdul Qadir Jawas, Berbakti Kepada Kedua Orang Tua, (Darul Qolam – Jakarta,
2005) hal. 34
37
Ibid., hal. 29
Di dalam Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan Hak dan

kewajiban antara orang tua dan anak dapat kita lihat dalam Bab X menyatakan

bahwa:

Pasal 45

1) Kedua orang tua wajib memelihara dan mendidik anak-anak mereka

sebaik-baiknya.

2) Kewajiban orang tua yang dimaksud dalam ayat (1) pasal ini berlaku

sampai anak itu kawin atau dapat berdiri sendiri, kewajiban mana

berlaku terus-menerus meskipun perkawinan antara kedua orang tua

putus.

Di dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2002

tentang Perlindungan Anak menyatakan bahwa:38

Pasal 19

Setiap anak berkewajiban untuk:

1) Menghormati orang tua, wali dan guru.

2) Mencintai keluarga, masyarakat dan menyayangi teman.

3) Mencintai tanah air, bangsa dan Negara.

4) Menunaikan ibadah sesuai dengan ajaran agamanya.

5) Melaksanakan etika dan akhlak yang mulia.

38
Undang-Undang No 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak (Citra Umbara, Bandung),
hal. 11
Berkaitan dengan kewajiban anak maka orang tua berkewajiban memelihara

dan mendidik anak-anaknya. Kewajiban tersebut merupakan dasar dari kekuasaan

orang tua, akan tetapi bukan sebagai akibat dari kekuasaan orang tua.

Kewajiban tersebut disebabkan oleh adanya hubungan antara orang tua

dengan anak yang tercipta karena keturunan. Hal ini terbukti dari ketentuan pasal

26 ayat Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2002 tentang

Perlindungan Anak yang menyebutkan bahwa orang tua berkewajiban dan

bertanggung jawab untuk :

1) Mengasuh, memelihara, mendidik dan melindungi anak.

2) Menumbuhkembangkan anak sesuai dengan kemampuan, bakat dan

minantnya.

Apa yang dimaksud dengan pemeliharaan yaitu pemberian tempat tinggal,

makanan, pakaian, perawatan jika anak tersebut sakit. Sedangkan pendidikan

yang dimaksud ialah mendidik anak tersebut menjadi mahluk sosial. Bagian yang

utama dari kewajiban orang tua ini adalah menyekolahkan anak-anak agar dapat

hidup mandiri di kemudian hari.39

Orang tua mempunyai hak mengoreksi dan mendisiplinkan anak-anaknya,

orang tua dapat memerintah anak dan sebaliknya anak wajib mematuhi perintah

39
Satria Effendi, Problematika Hukum Keluarga Islam Kontemporer, (cet-2, Kencana,
Jakarta, 2004), hal. 157-163.
itu. Kewajiban orang tua terhadap anaknya adalah sebuah wujud aktualitas hak-

hak anak yang harus dipenuhi oleh orang tua.40

Dalam Kompilasi Hukum Islam pada pasal 98 menyebutkan bahwa batas

usia anak yang mampu berdiri sendiri (dewasa) adalah 21 tahun, sepanjang anak

tidak cacat fisik atau pun mental atau belum kawin. Orang tua mewakili anak

mengenai segala perbuatan hukum di dalam dan di luar pengadilan. Apabila

kedua orang tua anak tidak mampu, Pengadilan dapat menunjuk salah seorang

kerabat terdekat yang mampu menunaikan kewajiban orang tuanya.

Sedangkan dalam Undang-undang Republik Indonesia No. 1 Tahun 1974

tentang perkawinan disebutkan bahwa kewajiban anak yang utama terhadap orang

tuanya adalah menghormati dan mentaati kehendak yang baik dari orang tuanya.

Dan bila mana anak telah dewasa wajib memelihara orang tuanya dengan sebaik-

baiknya menurut kemampuannya. Bahkan anak juga berkewajiban untuk

memelihara keluarga dalam garis lurus keatas, bila mereka ini memerlukan

bantuannya.

Seorang anak yang sudah berkeluarga artinya sudah dikatakan dewasa, dan

seorang yang sudah dewasa berarti harusnya sudah bisa mengurusi keluarganya

sendiri tanpa adanya turut campur orang tua, karena dengan adanya turut campur

40
Deasy Caroline Moch. Dja’is, SH, Pelaksanaan Eksekusi Nafkah Anak diPengadilan
Agama, (Artikel Jurnal Mimbar Hukum, Jakarta, Al-Hikmah dan DITBINBAPERA Islam No. 42
Tahun X 1999), hal. 39.
orang tua ke dalam keluarga anak biasanya akan terjadi ketidakharmonisan dalam

keluarga dan tidak berjalannya hak dan kewajiban sebagaimana mestinya.

Oleh karena itu, mengenai kewajiban orang tua terhadap keluarga anak

sebenarnya hanya sebatas hubungan timbal balik dan bukan mencampuri urusan

keluarga anaknya, karena anak tersebut sudah dikatakan dewasa dan mempunyai

keluarga sendiri.
BAB III

ANALISA KASUS CERAI GUGAT TURUT CAMPUR ORANG TUA

SEBAGAI ALASAN PERCERAIAN DI PENGADILAN AGAMA

JAKARTA TIMUR

A. Profil Pengadilan Agama Jakarta Timur

1. Sejarah Lahirnya Peradilan Agama Jakarta Timur41

Sebagai kelanjutan dari sikap pemerintah Hindia Belanda terhadap peradilan

agama, pada tahun 1828 dengan ketetapan Komisaris Jenderal tanggal 12 Maret

1828 nomor 17 khusus untuk Jakarta (Betawi) di tiap-tiap distrik dibentuk satu

majelis distrik yang terdiri dari :

a. Komandan Distrik sebagai Ketua.

b. Para penghulu masjid dan Kepala Wilayah sebagai anggota.

Majelis ada perbedaan semangat dan arti terhadap Pasal 13 Staatsblad 1820

Nomor 22, maka melalui resolusi tanggal 1 Desember 1835 pemerintah di masa

itu mengeluarkan penjelasan Pasal 13 Staatsblad Nomor 22 tahun 1820 sebagai

berikut :

“Apabila terjadi sengketa antara orang-orang Jawa satu sama lain mengenai
soal-soal perkawinan, pembagian harta dan sengketa-sengketa sejenis yang
harus diputus menurut hukum Islam, maka para “pendeta” memberi keputusan,

41
Diambil dari arsip Pengadilan Agama Jakarta Timur tanggal 12 Juli 2008. h.1.
tetapi gugatan untuk mendapat pembiayaan yang timbul dari keputusan dari para
“pendeta” itu harus diajukan kepada pengadilan-pengadilan biasa”.

Penjelasan ini dilatarbelakangi pula oleh adanya kehendak dari pemerintah

Hindia Belanda untuk memberlakukan politik konkordansi dalam bidang hukum,

karena beranggapan bahwa hukum Eropa jauh lebih baik dari hukum yang telah

ada di Indonesia. Seperti diketahui bahwa pada tahun 1838 di Belanda

diberlakukan Burgerlijk Wetboek (BW).

Akan tetapi dalam rangka pelaksanaan politik konkordansi itu, Mr. Scholten

van Oud Haarlem yang menjadi Ketua Komisi penyesuaian undang-undang

Belanda dengan keadaan istimewa di Hindia Belanda membuat sebuah nota

kepada pemerintahnya, dalam nota itu dikatakan bahwa :

“Untuk mencegah timbulnya keadaan yang tidak menyenangkan mungkin juga


perlawanan jika diadakan pelanggaran terhadap agama orang Bumi Putera,
maka harus diikhtiarkan sedapat-dapatnya agar mereka itu dapat tinggal tetap
dalam lingkungan (hukum) agama serta adat istiadat mereka”.

Di daerah khusus Ibukota Jakarta, berdasarkan Keputusan Menteri Agama

Nomor 4 Tahun 1967 lahir Peradilan Agama Jakarta dan diadakan perubahan

kantor-kantor cabang Pengadilan Agama dari 2 kantor cabang menjadi 4 kantor

cabang, antara lain :42


a. Kantor Cabang Pengadilan Agama Jakarta Timur.

b. Kantor Cabang Pengadilan Agama Jakarta Selatan.

c. Kantor Cabang Pengadilan Agama Jakarta Barat.

d. Kantor Cabang Pengadilan Agama Jakarta Pusat.

2. Wilayah Yurisdiksi

Wilayah kekuasaan hukum (yuridiksi) Pengadilan Agama Jakarta Timur

adalah wilayah daerah Kotamadya Jakarta Timur yang terdiri dari 10 (sepuluh)

kecamatan dan 65 kelurahan. Adapun batas-batas wilayahnya adalah :43

a. Sebelah utara dengan : Kodya Jakarta Utara dan Kodya Jakarta Pusat

b. Sebelah barat dengan : Kodya Jakarta Selatan

c. Sebelah selatan dengan : Kabupaten Bogor/Kodya Depok

d. Sebelah timur dengan : Kabupaten Bekasi/Kota Bekasi

Luas wilayah : 18.877.77 Ha. Jumlah penduduknya 3.050.713 jiwa

(besumber data BAPEKO TAHUN 2003). Jumlah penduduk yang beragama

Islam 2.569.390 jiwa (bersumber data Depag. Tahun 2003). Kodya Jakarta Timur

adalah wilayah Yuridiksi Pengadilan Agama Jakarta Timur.

42
Ibid.h. 3.

43
Ibid.h. 3.
3. Struktur Organisasi

4. Denah Kantor Pengadilan Agama Jakarta Timur

Lantai 1
Lantai 2

Lantai 3
5. Keterangan Gedung

Gedung Pengadilan Agama Jakarta Timur gedung lama, terletak di Jakarta

Timur dengan alamat Jl. Raya Bekasi KM 18 Kel. Jatinegara, Kec. Pulogadung

Timur dibangun diatas tanah negara milik Pemda DKI dengan luas tanah 360 M2,

luas bangunan 360 M2, terdiri dari 2 lantai, dibangun tahun 1979 di bawah APBN

Depag RI, dengan keadaan yang demikian kecil dan volume pekerjaan yang

relatif padat, begitu pula dengan karyawan yang berjumlah 59 orang ditambah

dengan pegawai honorer 4 orang, maka gedung tersebut tidak memadai lagi. Oleh

karena itu, pada tahun anggaran 1997/1998, melalui anggaran APBN/ABBD DKI

Jakarta Pemerintah telah membangun tambahan gedung 1 lantai di lokasi yang

sama seluas 360 m2, sehingga sekarang ini menjadi 2 lantai dan 14 ruangan.

Gedung Baru Pengadilan Agama Jakarta Timur, berkedudukan di Kelapa

Dua Wetan alamat Jl. Raya PKP No. 24 Kel. Kelapa Dua Wetan Kec. Ciracas

Kodya Jakarta Timur, Telp (021) 87717549 kode pos 13750 Gedung Pengadilan

Agama Jakarta Timur dibangun di atas nama hak pakai No. 28 Kodya Jakarta

Timur dengan luas tanah 2.760 m2, luas bangunan 1400 m2 terdiri dari 3 lantai

yang dibangun tahun 2003 dengan Dana Pemda DKI Jakarta. Gedung baru kantor

Pengadilan Agama Jakarta Timur yang demikian besar dan volume pekerjaan

yang cukup padat begitu pula dengan karyawan yang berjumlah 70 orang PNS,
ditambah dengan pegawai honorer 13 orang, pada tanggal 1 Maret 2004 seluruh

karyawan/i dan membleir pindah ke kantor tersebut sampai dengan sekarang. 44

6. Peta Lokasi

44
Ibid.h. 4.
7. Daftar Nama Ketua Pengadilan Agama Jakarta Timur

Golongan Pendidikan Tahun


No. Nama Terkah Terakhi Menduduki
ir r Jabatan

1. KH. Moh. Ali II/d Pesantren 1962-1970

2. KH. Irsyat III/a S1 IAIN 1970-1980

Drs. Asmu’i Kasim


3. III/b S1 IAIN 1980-1983
Lubis
4. Drs. H. Supangat III/d S1 IAIN 1983-1989

5. Drs. H. Muhail III/d S1 IAIN 1989-1992

Drs. H. Abd. Manan CL, S1 IAIN 1992-1994


6. IV/a
SH S1 UIA

7. H. Abdullah, SH IV/a S1 UID 1994-1996

Drs. H. Sudirman, M. SI IAIN


8. IV/b 1996-1999
SH SI UIA

S1 IAIN
Drs. Hasan Bisri, SH,
9. IV/b S1 UMY 1999-2001
MH
S1 UII

Drs. H. Sayed Usman, S1 IAIN


10. IV/a 2001-2004
SH S1 UIC

11. H. Helmy Bakri, SH IV/c S1 UII 2004 - 2004

Drs. H Ruslan Harunar


12. IV/c SL. IAIN 2004-2006
Rasyid, SH. MH

Drs. H Sarif Usman, SH.


13. IV/c SL.IAIN 2006-2008
MH
Drs. H. Wakhidun AR, S2. STIH
14. IV/c 2008-sekarang
SH, M. Hum Iblam

8. Daftar Nama Pengawai Kesekretariatan/Administrasi Pengadilan Agama Jakarta

Timur

Golongan Pendidikan
No. Nama Terkah Terakhi Keterangan
ir r

1. Hj. Siti Waingah, S.Pd.I IV/a S.Pd.I Wakil Sekretaris

Kasubbag.
2. Alfiah Yuliastuti, SH III/b SH
Kepegawaian

S1 UIJ
Kasubbag
3. Rohimah, SH. MH III/b
S2 UIJ Keuangan

4. Muhammad Zuhri III/b SLA Kasubbag Umum

5. Susilowati, SH III/a SH Staf Kepegawaian

6. Hamim Naf’an, SHI III/a S1 UIJ StafKepegawaian

7. Rd. Yadi Sumadi, W II/a SLA Staf Umum

8. Muhammad Arsyi II/a SLA Staf Umum


Sanjaya Langgeng
9. II/a SLA Bendahara
Santoso

10. Sri Komalasari II/a SLA Pem Daftar Gaji

D3.
11. R. Desy Puspasari II/c Sekretar Staf Umum
is

9. Daftar Nama Pengawai Teknis Pengadilan Agama Jakarta Timur

Golongan Pendidikan
No. Nama Terkah Terakhi Keterangan
ir r

Drs. H. Wakhidun AR, S2 STIH


1. IV/c Ketua/Hakim
SH, M.Hum Iblam

Drs. H. Muh. Abduh Wakil


2. IV/c S2 UMI
Sulaeman, SH, MH Ketua/Hakim

Hj. Munifah Djam’an,


3. IV/b S1 IAIN Hakim
SH

4. Dra. Hj. Saniyah KH IV/b S1 IAIN Hakim

Drs. Abu semen Bastoni, S1 IAIN


5. IV/c Hakim
SH S1 Hukum
6. Drs. H Fauzi M Nawawi IV/b S1 IAIN Hakim

S1 IAIN
7. Dra. Nurroh Sunnah, SH IV/b Hakim
S1 UIM

8. Hj. Yustimar, SH IV/b S1 UID Hakim

Drs.HM. Fadjri Rivai, S1 IAIN


9. IV/b Hakim
SH.MH S2 Hukum

10. Hj. Nani Setyawati, SH IV/a S1 Untar Hakim

10. Daftar Nama Tenaga Kepaniteraan Pengadilan Agama Jakarta Timur

Golongan Pendidikan
No. Nama Terkah Terakhi Keterangan
ir r

Panitera
1. Drs. H. Syaiful Anwar IV/b S1 IAIN
/Sekretaris

2. H. Syamsuri, Agus, SH III/d S1 UIA Wakil Panitera

Panitera Muda
3. Ali Mushofa, SH III/d S1 UIA
Gugatan

Panitera Muda
4. Pahrurrozi, SH III/c S1 UIA
Hukum
H. Bangbang Sri Panitera Muda
5. III/d S1 Unta
Pancala, SH Permohonan

Panitera
6. Drs. Ade Faqih III/c S1 UIJ
Pengganti

Panitera
7. Siti Makbullah, SH III/c S1 UIJ
Pengganti

Panitera
8. Aday, S.Ag III/c S1 Hukum
Pengganti

Panitera
9. Syamsul Rizal, SH III/c S1 Hukum
Pengganti

Panitera
10. Sumaryuni, SH III/b S1 Hukum
Pengganti

Panitera
11. Hamdani, SHI III/b S1 Syari’ah
Pengganti

Panitera
12. Mastanah, SH III/b S1 Hukum
Pengganti

Panitera
13. Nova Asrul Lutfi, SH III/c S1 Hukum
Pengganti

Hj. Spa Icthtiyatun, SH. S1 Hukum Panitera


14. III/c
MH S2 Hukum Pengganti

15. Idris M Ali, SH III/c S1 Hukum Panitera


Pengganti

Panitera
16. Dra. Siti Nurhayati III/d S1 IAIN
Pengganti

Panitera
17. Titiek Indriyaty, SH III/b S1 UIA
Pengganti

18. Mahrus, LC III/a LIPIA Cakim/PP Lokal.

19. Achmad Cholil, S.Ag III/a S1 IAIN Cakim/PP Lokal

S1
Staf Panmud
20. Sutini, S,Ag III/c Tarbiya
Hukum
h

Staf Panmud
21. Mohamad Edwar II/a Man
Hukum

Staf Panmud
22. Sirajuddin Haris II/a Man
Hukum

Staf Panmud
23. M. Dirwansyah Ridlah II/a Man
Gugatan

24. Shofa Qolbi Djabir, LC III/a S1 Syari’ah Cakim/PP Lokal

25. Khoerunnisa, SHI III/a S1 Syari’ah Cakim/PP Lokal

26. Siti Mahbubah III/a S1 Syari’ah CPP

27. Hisni Mubarok III/a S1 Syari’ah CPP


11. Daftar Nama Kejurusitaan Pengadilan Agama Jakarta Timur

Golongan Pendidikan
No. Nama Terkah Terakhi Keterangan
ir r

1. Zulkipli III/b SLA Juru Sita

2. Moch. Sidik III/b SLA Juru Sita

Juru Sita
3. Burhamzah III/a SLA
Pengganti

Juru Sita
4. Budi Sukirno III/a SLA
Pengganti

Juru Sita
5. Obang Hasyim. A II/c SLA
Pengganti

Juru Sita
6. Ikbal Bisry II/b SLA
Pengganti

Juru Sita
7. Sri Mulyati III/b S.Ag
Pengganti

Juru Sita
8. Veny Rarmawati II/b SLA
Pengganti
Juru Sita
9. Rahmah Sufiyah, SH III/b S1. Hukum
Pengganti

10. Tati Yulianti III/a SLA JS. Pengganti

Juru Sita
11. Muhammad Sayhon II/a SLA
Pengganti

B. Kronologis Kasus Perceraian di Pengadilan Agama Jakarta Timur Nomor

1164/Pdt.G/2008/PA.JT

Dalam Perkara Nomor 1164/Pdt.G/2008/PA.JT penggugat adalah isteri yaitu

Rita Melawati S.E. binti Abdul Azis Satrio, umur 28 tahun, agama Islam, pendidikan

S1, pekerjaan Guru, bertempat tinggal di Jalan Cipinang Muara II No. 2 RT 017 RW

02 Kelurahan Pondok Bambu, Kecamatan Duren Sawit, Kota Jakarta Timur. Dan

tergugat adalah suami yaitu Fachrizal Yaris S.H. bin Yan Safrizal, umur 37 tahun,

agama Islam pendidikan S1, pekerjaan karyawan Swasta, bertempat tinggal di Jalan

Delima II No. 14B RT 004 RW 003 Kelurahan Malaka Sari, kecamatan Duren Sawit,

Kota Jakarta Timur.

Perkawinan mereka telah tercatat di PPN KUA Kecamatan Duren Sawit Kota

Jakarta Timur dengan Akta Nikah Nomor 982/89/VI/2006 tanggal 18 Juni 2006.

Setelah menikah Penggugat dan Tergugat hidup rukun sebagaimana layaknya Suami
Isteri dengan baik telah berhubungan badan dan keduanya bertempat tinggal di

Malaka Sari Jakarta Timur selama 6 bulan namun belum dikaruniai keturunan.

Akan tetapi kehidupan rumah tangga penggugat dan tergugat mulai goyah dan

terjadi perselisihan dan pertengkaran secara terus-menerus yang sulit diatasi sejak

bulan Desember tahun 2006 dan semakin tajam dan memuncak terjadi pada bulan Juli

tahun 2008. Sebab-sebab terjadinya perselisihan dan pertengkaran tersebut karena :

1. Orang tua Tergugat selalu ikut campur dalam rumah tangga Penggugat dan

Tergugat.

2. Tergugat lebih mementingkan keluarga (orang tua) pada kepentingan Penggugat

sebagai isteri.

3. Antara Penggugat dan Tergugat sudah tidak ada kecocokan dalam membina

rumah tangga.

4. Orang tua Tergugat selalu menceritakan aib Penggugat kepada orang lain.

Sejak berpisah Penggugat dan Tergugat sejak bulan Juli tahun 2008 maka hak

dan kewajiban suami isteri tidak berjalan sebagaimana mestinya karena sejak itu

tergugat tidak lagi melaksanakan kewajibannya sebagai suami terhadap penggugat,

meskipun penggugat telah berupaya mengatasi masalah tersebut dengan jalan

bermusyawarah atau berbicara dengan tergugat secara baik-baik tetap tidak berhasil

Berdasarkan alasan tersebut penggugat telah mengajukan gugatannya

bertanggal 28 Juli 2008 yang terdaftar di Kepaniteraan Pengadilan Agama Jakarta


Timur memohon agar Bapak Ketua Pengadilan Agama Jakarta Timur mengabulkan

gugatan penggugat seluruhnya, menjatuhkan talak satu tergugat dan menetapkan

biaya perkara ini sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

C. Pertimbangan dan Putusan Hakim Dalam Kasus Perceraian di Pengadilan

Agama Jakarta Timur Nomor 1164/Pdt.G/2008/PA.JT

Peradilan agama merupakan salah satu pelaksanaan kekuasaan kehakiman

untuk rakyat pencari keadilan bagi yang beragama Islam, mengenai perkara perdata

tertentu yang diatur dalam Undang-Undang.45

Pelaksanaan tugas peradilan seorang hakim tidak boleh dipengaruhi oleh

kekuasaan siapapun, bahkan ketua pengadilan sendiri tidak berhak ikut campur dalam

soal peradilan yang dilaksanakannya. Hakim bertanggung jawab kepada diri sendiri

dan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas putusan yan telah ditetapkan.46

Pada hari sidang yang telah ditetapkan, penggugat dan tergugat telah hadir

dipersidangan. Lalu majelis hakim telah member nasihat kepada penggugat dan

tergugat agar rukun kembali.

45
Mukti Arto, Praktek Perkara Perdata di Pengadilan Agama, (Pustaka Pelajar : Yogyakarta,
1996) Cet. 1 h.16.
46
Abdul Kadir Muhammad, Hukum Acara Perdata di Indonesia, (Jakarta: Ciputat Press) Cet.
1 h.32.
Kemudian dibacakan surat gugatan tertanggal 28 Juli 2008 yang isinya tetap

dipertahankan oleh penggugat. Atas gugatan penggugat tersebut tergugat

menyampaikan jawabannya secara lisan yang intinya tergugat membenarkan semua

dalil-dalil gugatan penggugat dan tergugat menyatakan tidak keberatan bercerai

dengan penggugat. Lalu penggugat maupun tergugat menyatakan cukup dalam jawab

menjawab tanpa replik dan duplik.

Untuk menguatkan dalil-dalil gugatannya, penggugat telah mengajukan alat-alat

bukti berupa fotokopi kutipan akta nikah Nomor 982/89/VI/2006 tanggal 18 Juni

2006 yang dikeluarkan oleh KUA Kecamatan Duren Sawit Kodya Jakarta Timur

(bukti P.1).

Selain bukti surat, penggugat juga telah menghadirkan 2 orang saksi keluarga

yang memberikan keterangan di depan sidang dengan di bawah sumpah sebagai

berikut:

1. Saksi I : Satya Putra Ilyas bin Hermawi, umur 53 tahun, agama Islam, pekerjaan

Swasta, bertempat tinggal kediaman di Jalan K.H. Mas Mansyur 25 A RT 012

RW 011, Kelurahan Kebon Kacang, Kecamatan Tanah Abang Kota Jakarta

Pusat, yang memberikan keterangan di bawah sumpah sebagai berikut:

− Bahwa saksi adalah Paman Penggugat

− Bahwa Penggugat dengan Tergugat adalah suami isteri dan belum

dikaruniai anak
− Bahwa Penggugat dengan Tergugat akan bercerai

− Bahwa penyebabnya karena Penggugat dengan Penggugat dijodohkan

− Bahwa mereka pisah rumah sejak bulan Juli 2008

− Bahwa saksi sudah menasehati mereka namun tidak berhasil

2. Saksi II : Hasna Hasan binti Hasan Bisri, umur 63 tahun, agama Islam,

pekerjaan Pensiunan Bukopin, bertempat tinggal di Jalan Delima II B 9/10/177

RT 15 RW 03, Kelurahan Malaka Sari, Kecamatan Duren Sawit, Kota Jakarta

Timur, yang memberikan keterangan di bawah sumpah sebagai berikut :

− Bahwa saksi adalah tante tergugat

− Bahwa penggugat dan Tergugat menikah karena dijodohkan

− Bahwa mereka saat ini akan bercerai Penggugat dengan Tergugat karena

orang tua Tergugat terlalu ikut campur dalam masalah rumah tangga

− Bahwa Penggugat dengan Tergugat sudah pisah rumah sejak bulan Juli

2008 dan

− Saksi sudah menasehati keduanya tapi tidak berhasil

Atas keterangan kedua saksi tersebut, penggugat menyatakan bahwa saksi

sudah menasehati keduanya tapi tidak berhasil dan penggugat dan tergugat

menyatakan menerimanya.
Baik penggugat maupun tergugat telah mencukupkan pembuktiannya dan

kemudian penggugat menyampaikan kesimpulan secara lisan yang intinya penggugat

tetap pada gugatannya untuk bercerai dengan tergugat sedangkan tergugat

menyatakan mengikuti kemauan penggugat saja.

Untuk menyingkat uraian dalam putusan perkara ini, majelis hakim cukup

menunjuk berita acara persidangan perkara ini.

Lalu mengenai hukumnya maksud dan tujuan gugatan penggugat adalah

sebagaimana tersebut diatas, majelis hakim telah berusaha menasehati penggugat dan

tergugat agar rukun kembali dalam membina rumah tangganya, akan tetapi tidak

berhasil, sesuai dimaksud Pasal 82 ayat (1) dan (4) Undang-Undang Nomor 7 Tahun

1989 yang telah diperbaharui dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 Pasal 31

Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 jo. Pasal 143 Kompilasi Hukum Islam.

Penggugat dalam gugatannya menyatakan ingin bercerai dengan tergugat adalah

karena saling terjadi perselisihan dan pertengkaran dengan tergugat yang disebabkan

hal-hal sebagaimana tersebut pada point 5 pada surat gugatan penggugat.

Atas gugatan penggugat tersebut, tergugat membenarkan semua dalil-dalil

penggugat. Dan dari dalil-dalil gugatan penggugat dan tanggapan tergugat dapatlah

disimpulkan bahwa yang menjadi pokok masalah dalam perkara ini apakah benar

telah terjadi perselisihan atau pertengkaran antara penggugat dan tergugat yang

terjadi sejak bulan Desember tahun 2006 dan puncaknya pada Juli tahun 2008.
Dalam meneguhkan dalil-dalilnya, penggugat telah mengajukan alat-alat bukti

yang terdiri dari bukti surat bertanda P.1. dan dua orang saksi. Bukti surat bertanda

P.1. berupa asli kutipan akta nikah nomor 982/89/VI/2006 tanggal 18 Juni 2006 yang

dikeluarkan oleh KUA Kecamatan Duren Sawit Kodya Jakarta Timur, bukti tersebut

adalah surat yang dibuat dan ditanda tangani oleh pejabat yang berwenang dan dalam

surat tersebut memuat tentang telah terjadinya akad nikah antara penggugat dan

tergugat memuat tentang telah terjadinya akad nikah antara penggugat dan tergugat

pada tanggal 18 Juni 2006.

Dengan demikian majelis hakim menilai bukti P.1. adalah bukti otentik yang

telah memenuhi syarat formil dan syarat materil sehingga mempunyai kekuatan

hukum atau pembuktian yang sempurna dan mengikat sesuai dengan Pasal 165 HIR.

Oleh karenanya majelis hakim menilai bahwa penggugat dan tergugat adalah

hubungan sesuai suami istri yang sah dan belum mempunyai anak.

Bahwa alasan-alasan perceraian yang diajukan oleh penggugat adalah antara

penggugat dengan tergugat sering terjadi perselisihan faham disebabkan dijodohkan

dan orang tua tergugat terlalu ikut campur dalam urusan rumah tangga penggugat dan

tergugat dan secara yuridis alasan-alasan perceraian yang diajukan oleh Penggugat

tersebut mengacu kepada Pasal 19 huruf (f) Peraturan Pemerintah Nomor 197 Jo,

Pasal 116 huruf (f) Kompilasi Hukum Islam.


Selanjutnya meskipun tergugat telah mengakui sebagai dalil-dalil yang diajukan

oleh penggugat dan pengakuan menurut Pasal 174 HIR merupakan bukti sempurna

terhadap yang melakukannya, sehingga dengan adanya pengakuan tergugat maka

sengketa diantara para pihak dianggap telah terbukti. Namun karena masalah rumah

tangga (pernikahan) itu bukan hanya sebatas hubungan perdata biasa saja antara

suami isteri, akan tetapi di dalamnya terkandung nilai-nilai moral yang luhur maka di

dalam memutuskan hubungan perkawinan tersebut selain harus mempertimbangkan

bukti-bukti juga perlu mendengar keterangan dari pihak keluarga penggugat dan/atau

tergugat.

Setelah bukti saksi keluarga yang keterangannya saling berhubungan dan

bersesuaian satu sama lain dengan keterangannya dibenarkan oleh penggugat maupun

tergugat maka majelis hakim telah dapat menemukan fakta di persidangan yaitu pada

pokoknya sebagai berikut :

− Penggugat dan tergugat telah terikat sebagai suami isteri.

− Pernikahan penggugat dan tergugat belum dikaruniai keturunan anak.

− Antara penggugat dan tergugat sering terjadi percekcokan dan pertengkaran dan

telah berpisah rumah selama kurang lebih empat bulan.

− Dalam berumah tangga antara penggugat dan tergugat pernah terjadi ketidak

rukunan dan perselisihan faham.


Setelah majelis hakim menemukan fakta-fakta selanjutnya majelis hakim akan

mempertimbangkan petitum gugatan penggugat. Terhadap petitum penggugat untuk

mengabulkan gugatan penggugat seluruhnya majelis hakim mempertimbangkan

sebagai berikut:

− Penggugat dan tergugat adalah suami istri yang sah sesuai bukti P.1.

− Tergugat membenarkan semua dalil-dalil penggugat, maka sesuai dengan pasal

174 HIR pengakuan tergugat tersebut menjadi bukti yang kuat, oleh karenanya

majelis hakim dapat mempertimbangkan.

− Penggugat telah menguatkan dalil-dali gugatannya melalui alat-alat bukti di

persidangan dan terbukti bahwa rumah tangga penggugat dan tergugat telah

terjadi perselisihan dan pertengkaran terus menerus yang sudah tidak dapat

dirukunkan kembali.

− Berdasarkan fakta antara penggugat dan tergugat telah berpisah rumah selama 1

tahun, kondisi ini merupakan indikasi bahwa rumah tangga penggugat dan

tergugat sudah tidak harmonis lagi karena perselisihan dan pertengkaran antara

mereka telah mencapai klimaks.

− Keluarga penggugat telah berusaha mendamaikan mereka namun tidak berhasil

sebagaiman dimaksud oleh Pasal 22 ayat 2 Peraturan Pemerintah Nomor 9

Tahun 1975, kondisi ini menunjukan bahwa rumah tangga penggugat dan

tergugat sudah pecah sehingga tujuan perkawinan sebagaimana dimaksud Pasal


1 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 jo. Pasal 3 Kompilasi Hukum Islam

yaitu untuk membentuk rumah tangga yang sakinah, mawadah dan rahmah serta

sebagaiman telah dijelaskan dalam Al-Qur’an surat Ar-Rum ayat (21) yang

artinya : “Dan diantara tanda-tanda kekuasaanya adalah diciptakanNya untukmu

pasangan hidup dari jenismu sendiri supaya kamu mendapat ketenangan hati

dan dijadikanNya kasih sayang diantara kamu, sesungguhnya yang demikian itu

menjadi tanda-tanda kebesaranNya bagi orang-orang yang berfikir” tidak dapat

terwujud.

Dari fakta-fakta tersebut terbukti kedua belah pihak baik penggugat maupun

tergugat telah kehilangan hakikat dan makna dari tujuan perkawinan tersebut dimana

ikatan perkawinan sedemikian rapuh, tidak terdapat lagi rasa sakinah (ketenangan)

dan telah luput dari rasa mawaddah (cinta) dan rahmah (kasih sayang) dan

mempertahankan perkawinan seperti itu tidak akan membawa maslahat, bahkan

mungkin melahirkan madharat yang lebih besar bagi penggugat dan tergugat.

Berdasarkan fakta-fakta tersebut dan ketentuan Pasal 39 ayat (2) Undang-

Undang Nomor 1 Tahun 1974 Jo. majelis hakim berpendapat bahwa dalil-dalil

gugatan penggugat telah memenuhi ketentuan Pasal 19 huruf (f) Peraturan

Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 jo. Pasal 116 huruf (f) Kompilasi Hukum Islam

telah terpenuhi, maka telah cukup alasan bagi majelis maka majelis hakim untuk

mengabulkan gugatan penggugat.


Terhadap petitum penggugat untuk menyatakan jatuh talak satu tergugat

terhadap penggugat, maka majelis hakim mempertimbangkan sebagai berikut:

− Oleh karena majelis hakim telah mengabulkan gugatan penggugat dengan

alasan dalil-dalil gugatan penggugat telah memenuhi ketentuan Pasal 19 huruf

(f) Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 jo. Pasal 116 huruf (f)

Kompilasi Hukum Islam, maka majelis hakim dapat menetapkan menjatuhkan

talak ba’in sugro tergugat (Eko Fachrizal Yaris S.H. bin Yan Safrizal) terhadap

penggugat (Rita Melawati S.E. binti Abdul Azis Satrio).

Terhadap petitum penggugat tentang biaya perkara, berdasarkan Pasal 89 ayat

(1) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 yang telah diperbaharui dengan Undang-

Undang Nomor 3 Tahun 2006, maka majelis hakim menetapkan biaya perkara

dibebankan kepada penggugat.

Segala ketentuan perundang-undangan yang berlaku serta hukum syara’ yang

berkaitan dengan perkara ini.

D. Analisa Penulis

Islam adalah agama yang sangat adil terhadap umatnya. Dalam hukum

perkawinan pun Islam memberikan batasan Syar’i guna mengarungi bahtera rumah

tangga agar menjadi sebuah keluarga yang sakinah, mawadah dan rahmah. Namun

seringkali konflik dan perpecahan pun sering muncul dalam biduk rumah tangga,

sehingga Islam pun membuka kelonggaran berupa pintu perceraian, bila konflik dan
perpecahan sudah tidak bisa diatasi. Artinya Islam tidak memberikan suatu ketentuan

yang kaku, sehingga ada pihak-pihak tertentu yang merasa dirugikan dalam hal ini.

Dalam Islam perkawinan tidak diikat dalam ikatan mati dan tidak pula

mempermudah terjadinya perceraian. Perceraian boleh dilakukan jika benar-benar

dalam keadaan darurat dan terpaksa. Perceraian dibenarkan dan dibolehkan apabila

hal tersebut lebih baik daripada tetap dalam ikatan perkawinan tetapi tidak tercapai

kebahagiaan dan selalu dalam penderitaan. Agama Islam membolehkan perceraian

dengan alasan-alasan tertentu, kendati perceraian itu sangat dibenci oleh Allah

SWT.47

Seperti dalam perkara perceraian di Pengadilan Agama Jakarta Timur Nomor

1164/Pdt. G/2008/PA JT yang disebabkan karena orang tua tergugat selalu ikut

campur dalam rumah tangga penggugat dan tergugat.

Dalam perkara cerai ini penggugat Rita Melawati S.E. binti Abdul Azis Satrio

menggugat suaminya Fachrizal Yaris S.H. bin Yan Safrizal pada tanggal 28 Juli

2008. Penggugat menyatakan dalam surat gugatannya yang menjadi alasan utama

penggugat menggugat cerai suaminya adalah perselisihan dan pertengkaran yang

disebabkan oleh, orang tua tergugat selalu ikut campur dalam rumah tangga

penggugat dan tergugat, tergugat lebih mementingkan keluarga (orang tua) pada

kepentingan penggugat sebagai isteri, antara penggugat dan tergugat sudah tidak ada

47
Ahmad shiddiq, Hukum Talaq Dalam Ajaran Islam (Surabaya Pustaka Pelajar 2001), cet.
Ke-1, h.54-55.
kecocokan dalam membina rumah tangga dan orang tua tergugat selalu menceritakan

aib penggugat kepada orang lain.

Hemat penulis inti dari alasan perceraian dalam perkara ini adalah perselisihan

dan pertengkaran terus menerus hal ini sesuai dengan pasal 19 huruf (f) Peraturan

Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 jo. Pasal 116 huruf (f) Kompilasi Hukum Islam.

Perselisihan dan pertengkaran ini disebabkan orang tua tergugat selalu ikut campur

dalam rumah tangga penggugat dan tergugat, tergugat lebih mementingkan keluarga

(orang tua) pada kepentingan penggugat sebagai isteri, antara penggugat dan tergugat

sudah tidak ada kecocokan dalam membina rumah tangga dan orang tua tergugat

selalu menceritakan aib penggugat kepada orang.

Majelis hakim pun sudah berusaha unuk memberikan nasihat kepada penggugat

dan tergugat agar dapat rukun kembali, namun tidak berhasil. Hal ini sudah sesuai

dengan Pasal 82 ayat (1) dan (4) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 yang telah

diperbaharui dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 Pasal 31 Peraturan

Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 jo. Pasal 143 Kompilasi Hukum Islam.

Dalam pembacaan surat gugatan oleh penggugat yang pada intinya tetap

mempertahankan isi dari surat gugatan tersebut. Dalam jawaban tergugat terhadap

gugatan penggugat yang disampaikan lisan oleh tergugat sendiri, tergugat

membenarkan semua dalil-dalil penggugat dan menyatakan tidak keberatan bercerai

dengan penggugat.
Hemat penulis, tergugat dalam jawabannya terhadap gugatan penggugat yang

membenarkan semua dalil-dalil penggugat, berarti tergugat mengakui bahwa memang

orang tua tergugat selalu ikut campur dalam rumah tangga penggugat dan tergugat

yang akhirnya menimbulkan perselisihan faham dan pertengkaran dalam rumah

tangga.

Begitu pula jawaban hakim yang penulis wawancara, hakim tersebut

menyatakan Pasal 19 huruf (f) Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 jo. Pasal

116 huruf (f) Kompilasi Hukum Islam cukup sebagai landasan hukum dalam perkara

ini. Mengenai pernyataan tergugat bahwa tergugat tidak keberatan bercerai dengan

penggugat, ini berarti pengakuan tergugat tersebut menjadi bukti yang kuat sesuai

dengan Pasal 174 HIR dan berarti tergugat menyetujui terhadap isi petitum gugatan

penggugat.

Mengenai pembuktian penggugat mengajukan bukti surat dalam bentuk kutipan

akta nikah nomor 982/89/VI/2006 tanggal 18 Juni 2006 yang dikeluarkan oleh KUA

Kecamatan Duren Sawit Kodya Jakarta Timur dan saksi sebanyak 2 orang. Saksi-

saksi adalah keluarga dari penggugat, dan keterangan dari saksi-saksi tersebut saling

berhubungan dan bersesuaian satu sama lain yang antara lain menjelaskan: bahwa

penggugat dan tergugat benar suami istri yang sah dan belum mempunyai keturunan

anak, benar terjadi perselisihan antara mereka karena penggugat dan tergugat

menikah karena dijodohkan dan karena orang tua tergugat terlalu ikut campur dalam
masalah rumah tangga serta kedua saksi sudah berusaha mendamaikan mereka berdua

namun tidak berhasil.

Penggugat dan tergugatpun membenarkan persaksian mereka yang pada intinya

menerangkan bahwa telah terjadi perselisihan dan pertengkaran antara penggugat dan

tergugat.

Hemat penulis mengenai alat bukti surat sudah sesuai dengan Pasal 165 HIR

yang bukti surat tersebut adalah bukti otentik yang telah memenuhi syarat formil dan

syarat meteriil sehingga mempunyai kekuatan pembuktian yang sempurna, sedangkan

alat bukti saksi juga sudah sesuai dengan Pasal 22 ayat 2 Peraturan Pemerintah

Nomor 9 Tahun 1975.

Putusan hakim terhadap perkara ini yang menjadi landasan hakim adalah Pasal

19 huruf (f) Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 jo. Pasal 116 huruf (f)

Kompilasi Hukum Islam.

Hemat penulis, putusan ini terlalu sedikit mengambil landasan hukum dalam

mengambil putusan karena dari penulis lihat dari perkara ini dapat diambil Pasal 34

ayat (3) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 jo. Pasal 77 ayat (5) Kompilasi

Hukum Islam.

Lalu dengan alasan adanya campur tangan orang tua dapat dijadikan sebuah

alasan dalam mengajukan perceraian, karena mengajukan gugatan adalah hak dari

penggugat dan pengadilan bersifat pasif atau menunggu datangnya perkara.


Akan tetapi yang menjadi alasan perceraian bukanlah dari turut campurnya

orang tua, tetapi akibat dari turut campur orang tua yang mengakibatkan adanya

percekcokan dan perselisihan yang terus-menerus. Ini sesuai dengan pernyataan

hakim dari wawancara yang dilakukan penulis bahwa orang tua tergugat selalu ikut

campur dalam rumah tangga penggugat dan tergugat ini hanya dijadikan sebab atau

indikasi terjadinya perselisihan bukan sebagai alasan perceraian.

Sedangkan dilihat dari hukum Islam dalam perkara ini alasan perceraian ini

adalah syiqaq. Syiqaq ini disebabkan oleh suami tidak bisa menjadi pemimpin

keluarga yang menyebabkan pertengkaran dan perselisihan.

Dalam amar putusan majelis hakim terhadap perkara ini adalah mengabulkan

gugatan penggugat seluruhnya yang berarti seluruh isi petitum pengugat dikabulkan,

menjatuhkan talak satu bain sugra tergugat (Fachrizal Yaris S.H. bin Yan Safrizal)

terhadap penggugat (Rita Melawati S.E. binti Abdul Azis Satrio) yang berarti dalam

penyelesaian perkara ini dengan jalan perceraian.


BAB IV

PENUTUP

Berdasarkan pembahasan yang telah dikemukakan, maka dapat penulis

ambil beberapa kesimpulan dan saran sebagaimana berikut.

C. Kesimpulan

1. Turut campur orang tua terhadap rumah tangga anak menurut hukum Islam

dibenarkan atau dibolehkan selama perintah kedua orang tua tidak mengandung

kezhaliman, karena ridha orang tua adalah pintu surga. Sosok orang tua tidak

bisa dihilangkan karena orang tua adalah orang yang telah melahirkan dan

membesarkannya, akan tetapi turut campurnya orang tua dalam keluarga

anaknya hanya dalam konteks menjadi pembimbing dan memberikan nasihat

dalam keluarga anaknya, bukan berarti mencampuri urusan rumah tangga

anaknya. Permasalahan mentaati perintah orang tua ketika diminta untuk

menceraikan istri sudah berlangsung sejak lama. Oleh karena itu para Imam

(Aimmah) sudah menjelaskan penyelesaian dari permasalahan tersebut. Pada

zaman Imam Ahmad (abad kedua) dan zaman Syaikhul Islam (abad ketujuh)

permasalahan ini sudah terjadi dan sudah dijelaskan bahwa tidak boleh taat

kepada kedua orang tua untuk menceraikan istri karena hawa nafsu. Kecuali

jika istri tidak taat pada suami, berbuat zhalim, berbuat kefasikan, tidak

mengurus anaknya, berjalan dengan laki-laki lain, tidak pakai jilbab

(tabaruj/memperlihatkan aurat), jarang shalat dan ketika suami sudah


menasehati dan mengingatkan tetapi istri tetap nusyuz (durhaka), maka perintah

untuk menceraikan istri wajib ditaati.

Sedangkan turut campur orang tua terhadap keluarga anak menurut hukum

positif seharusnya tidak ada atau tidak dibenarkan, karena kewajiban orang tua

terhadap anak menurut Pasal 45 Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 Undang-

Undang tentang Perkawinan hak dan kewajiban antara orang tua dalam Bab X

menyatakan bahwa kedua orang tua hanya wajib memelihara dan mendidik

anak-anak mereka sebaik-baiknya sampai anak itu kawin atau dapat berdiri

sendiri. Artinya ketika anak itu sudah menikah anak itu sudah dikatakan dewasa

dan orang tua tentu saja sudah tidak lagi mempunyai kewajiban terhadap

anaknya. Apa lagi untuk mencampuri urusan keluarga anaknya, tentu saja tidak

dibenarkan karena anak tersebut dikatakan sudah dewasa karena sudah

menikah.

2. Peradilan Agama sebagai wadah bagi pencari keadilan , khususnya bagi orang

Islam dalam sengketa perkara perdata. Perceraian dibedakan atas cerai talak dan

cerai gugat, maka penyelesaiannya pun berbeda jika dilihat dari bentuk

putusannya. Ada yang bentuk putusannya berupa talak khul’u dan ada yang

berupa talak bain sughra. Hal ini dikarenakan materi hukum yang terdapat

dalam isi posita dan petitumnya yang akhirnya menghasilkan produk hukum

yang berbeda pula. Dalam kasus perceraian akibat dari turut campurnya orang

tua terhadap keluarga anak pada putusan nomor 1164/Pdt.G/2008/PA.JT di


Pengadilan Agama Jakarta Timur, dikarenakan dalam jawaban tergugat

terhadap gugatan penggugat membenarkan dalil-dalil penggugat dan

menyatakan tidak keberatan bercerai dengan penggugat yang pada intinya

menerangkan bahwa telah terjadi perselisihan dan pertengkaran antara

penggugat dan tergugat, maka dari itu majelis hakim berpendapat bahwa hal

tersebut telah sejalan dengan alasan perceraian sebagaimana yang dirumuskan

oleh Pasal 39 ayat (2) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang

Perkawinan, pasal 19 (f) PP No. 9 tahun 1975 jo tentang Pelaksanaan Undang-

Undang Nomor 1 Tahun 1974 dan pasal 116 (f) KHI Inpres RI Nomor 1 Tahun

1991, maka penyelesaian perkara perceraian akibat dari turut campurnya orang

tua terhadap keluarga anak ini adalah dengan putusan talak satu bain sughro.

D. Saran

1. Hendaknya orang tua lebih memahami dan menyadari, ketika anaknya telah

menikah mereka sudah mempunyai kewajiban yang lain terhadap keluarganya

sendiri.

2. Alangkah lebih baiknya ketika anak sudah menikah hendaknya tidak tinggal

serumah dengan orang tua atau mertuanya agar orang tua atau mertuanya tidak

mudah untuk mencampuri urusan rumah tangga anaknya.

3. Apabila tejadi perselisihan dalam rumah tangga diusahakan hendaknya

diselesaikan dahulu dengan pasangan dan dengan kepala dingin sebelum


keluarga masing-masing mengetahui. Jika memang tidak berhasil kirimlah

hakam atau juru damai dari pihak suami atau isteri.

4. Bagi pasangan suami isteri bisa lebih menambah intensitas komunikasi dalam

rumah tangga agar bisa menyelesaikan permasalahan keluarganya sendiri,

karena tujuan dari perkawinan adalah membentuk keluarga yang sakinah,

mawaddah waa rahmah.

5. Untuk para ulama agar selalu mensyi’arkan tantang kerukunan dalam rumah

tangga, hak dan kewajiban suami istri dalam rumah tangga kepada masyarakat

sehingga dapat mengurangi tingkat perceraian yang ada.

6. Bagi pemerintah agar lebih mensosialisasikan Undang-Undang Nomor 1 Tahun

1974 dan Kompilasi Hukum Islam mengenai perkawinan khususnya hak dan

kewajiban suami dan istri kepada masyarakat.


DAFTAR PUSTAKA

Abdul, Ghani, Abdullah, Himpunan Perundang-Undangan Dan Peraturan Peradilan


Agama, (Jakarta : PT Intermas, 1997)

Abdurrahman, Kompilasi Hukum Islam di Indonesia, (Akademika Persindo, Jakarta,


1992)

Ali, Mohammad Daud, Hukum Islam dan Peradilan Agama, (Jakarta: PT. Raja
Grafindo Persada, 2002)

Al-Qazwainiy, Abi Abdullah bin Yazid , Sunan Ibnu Majah, Beirut, Lebanon, Daar
al- Fikr,1994

Al-Jaziri, Abdurrahman, Al-Fiqh ‘ala al-Madzahib al-Arb’ah, (Kairo: Daarul Hadits,


2004)

Arikunto, Suharsimi, Manajemen Penelitian, Jakarta: PT. Rineka Bakti, 1993.

Arsip Pengadilan Agama Jakarta Timur tanggal 12 Juli 2008.

Arto, Mukri, Praktek Perkara Perdata di Pengadilan Agama, (Pustaka Pelajar :


Yogyakarta, 1996)

Asy-Syarbaji, Mustofa Al-Khin, Mustofa Al-Bugho, dan Ali, kitab fiqh madzhab
syafie, jilid ke 4 (Kuala Lumpur: Prospecta Printers SDN BHD, 2005)
Ayub, Syaikh Hasan, Fikih Keluarga, (Pustaka Al-Kautsar, 2006 )

Departemen Agama R.I, Kompilasi Hukum Islam, (Jakarta : Direktorat pembinaan


Peradilan Agama, 1992)

Djaelani, Abdul Qadir, Keluarga Sakinah, (PT: Bina Ilmu, Surabaya) 1995

Dja’is, SH, Deasy Caroline Moch., Pelaksanaan Eksekusi Nafkah Anak diPengadilan
Agama, (Artikel Jurnal Mimbar Hukum, Jakarta, Al-Hikmah dan
DITBINBAPERA Islam No. 42 Tahun X 1999)

Dhofir, Muhil Dhofir dan Farid, Syarah dan Terjemahan Riyadhus Shalihin, (Jakarta:
PT, Najahun Dinar 2006)

Effendi, Satria, Makna, Urgensi dan Kedudukan Nasab dalam Perspektif Hukum
Keluarga Islam, (Artikel Jurnal Mimbar Hukum, Jakarta, Al-Hikmah dan
DITBINBAPERA Islam No. 42 Tahun X 1999)

Ghofar, E.M, Syaikh Hasan Ayub, fikih keluarga,penerjemah M. Abd. (Pustaka Al-
Kautsar,2006)

Hasan, M. Ali, Pedoman Hidup Berumah Tangga dalam Islam, Jakarta: Siraja, 2003.

Hurman, dan Miles, Analisa Data Kualitatif, (Jakarta : UI Press, 1992)


Ibnu Rusyd, Tarjamah Bidayatul Mujtahid, (Semarang : Asy-Sifa)

Jawas, Yazid bin Abdul Qadir, Berbakti Kepada Kedua Orang Tua, (Darul Qolam –
Jakarta, 2005) hal. 34

Kompilasi Hukum Islam, (Bandung : PT Citra Umbara, 2007)

Lopa, Baharuddin, Al Qur’an dan Hak-hak Asasi Manusia, PT. Dana Bhakti
Primayasa,Yogyakarta, 1996

Manan, Abdul, Etika Hakim dalam Penyelenggaraan Peradilan, Suatu Kajian dalam
system Peradilan Islam, Kencana, Jakarta, 2007

Mertokusumo, Sudikno, Mengenal Hukum, Suatu Pengantar, Yogyakarta, Liberty, tt

Moeliono, Anton M. Kamus Besar Bahasa Indonesia, (cet-2; Jakarta: Balai Pustaka,
1988)

Moleong, J. Lexy, Metodologi Penelitian Kualitatif, (Bandung : PT. Remaja rosdakarya,


2004)

Mughniyah, M. Jawad, fikih lima madzhab, (Beirut: Dar Al- Jawad, 2006)

Muhammad, Abdul Kadir, Hukum Acara Perdata di Indonesia, (Jakarta: Ciputat


Press)

Mukhtar, Kamal, Asas-asas Hukum Islam Tentang Perkawinan. Jakarta : Bulan


Bintang, 1993.
Mustakim, Abdul, Kedudukan dan Hak-hak Anak dalam Perspektif al-Qur’an,
(Artikel Jurnal Musawa, vol.4 No. 2, Juli-2006)

Mushtafa, Ibnu, Keluarga Islam Menyongsong Abad 2,(Penerbit : al-Bayan Bandung)


1993

Nasution, Khoirudin, Status Wanita di Asia Tenggara : Studi terhadap perundang-


perundang perkawinan muslim perkawinan kontemporer di Indonesia dan
Malesia INIS, Jakarta, 2002.

Nuruddin, Amir dan Tarigan,Azhari Akmal, Hukum Perdata Islam di Indonesia studi
kritis perkembangan hukum islam dari fikih, UU No1/1974 sampai KHI,
Jakarta : Kencana, 2006

Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975 dan Undang-Undang No. 1 Tahun 1974,
Departemen Agama Republik Indonesia, 2004

R.Tjitrosudibio, dan R.Subekti, S.H, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, (PT


Pradnya Paramita, Jakarta,2006)

Rahman, Abd, Ghazaly, Fiqh Munakahat , Fajar Interpratama Offset, 2003

Sabiq, Sayyid, Fiqh al-Sunnah Jilid Dua, (Darul Fattah, t.th)

Sabiq, Sayyid, Fiqh Sunnah jilid 3, (Jakarta : Pena Pundi Aksara, 2006)

Sajastani, Abi Daud Sulaiman bin As-as, Sunan Abi Daud, h. 500.
Shiddiq, Ahmad, Hukum Talaq Dalam Ajaran Islam (Surabaya Pustaka Pelajar 2001)

Shihab, M. Quraish, Tafsir al-Misbah:Pesan, Kesan, dan Keserasian al-Qur’an, (jilid


XV, Jakarta, Lentera Hati, 2004)

Suhendi, Hendi, Pengantar Studi Sosial Keluarga, (Bandung: Pustaka Setia, 2001)

Sulaiman, Rasyid, Fiqh Islam, (Bandung :PT.Sinar Baru Algesindo)

Surtiretna, Nina, Bimbingan Seks Suami isteri Menurut Pandangan Islam dan Medis,
Bandung : PT. Remaja Rosdakarya, 2001

Sutarmadi, A. , Administrasi Pernikahan dan manajemen Keluarga, (Jakarta: Fak.


Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah, 2006)

Syarifuddin, Amir, Garis-garis besar Fiqh. Jakarta : kencana Prenada Media Group,
2003.

Syekh Mahmudunnasir, Islam Konsepsi dan Sejarahnya (Bandung: Remaja


Rosdakarya, 1991)

Taat, Amir Nasution, Rahasia Perkawinan dalam Islam Tuntunan Keluarga


Bahagia,(Jakarta : Pedoman Ilmu Jaya, 1994

Tim penulis, Relasi Suami Istri dalam Islam, (Jakarta : Pusat Studi Wanita (PSW)
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2004)
Undang-undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1974, Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 1974 Nomor 1, Jakarta.

Undang-Undang No 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak (Citra Umbara,


Bandung)

Usman, Husaini, Metodologi Penelitian Sosial, (Jakarta, Bumi Aksara, 2001)

Yanggo, Huzaemah T, Problematika Hukum Islam Kontemporer. Jakarta: PT Pustaka


Firdaus, 2002

Anda mungkin juga menyukai