Skripsi
Diajukan Kepada Fakultas Ilmu Dakwah dan Ilmu Komunikasi
Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh
Gelar Sarjana Sosial (S.Sos)
Oleh:
Fanhari Nugroho(1112054100053)
viii
KATA PENGANTAR
ix
Jakarta. Dr. Siti Napsiyah Ariefuzzaman, MSW sebagai
Wakil Dekan Bidang Akademik. Dr. Rulli Nasrullah,
M.Si sebagai Wakil Dekan Bidang Administrasi Umum.
Drs. Cecep Sastrawijaya, MA sebagai Wakil Dekan
Bidang Kemahasiswaan.
3. Ahmad Zaky, M.Si sebagai Ketua Program Studi
Kesejahteraan Sosial UIN Syarif Hidayatullah
Jakartayang sekaligus sebagai Dosen Pembimbing bagi
penulis. Hj. Nunung Khoiriyah, MA selaku sekretaris
Program Studi Kesejahteraan Sosial UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta.
4. Lisma Dyawati Fuaida, M.Si, sebagai Dosen Pembimbing
Akademik.
5. Seluruh Dosen Program Studi Kesejahteraan Sosial UIN
Syarif Hidayatullah Jakarta yang telah memberikan ilmu
pengetahuan, pengajaran, dan bimbingan selama penulis
menjalani perkuliahan di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
6. Seluruh Dosen Fakultas Ilmu Dakwah dan Ilmu
Komunikasi dan Civitas Akademika yang telah
memberikan sumbangan ilmu pengetahuan, pengajaran,
dan bimbingan selama penulis menjalani perkuliahan di
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
7. Perpustakaan Umum dan Perpustakaan Fakultas Ilmu
Dakwah dan Ilmu Komunikasi UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta, penulis mengucapkan terimakasih karena telah
membantu dalam memberikan referensi buku, jurnal,
ataupun skripsi dari penelitian-penelitian terdahulu.
x
8. Pusat Pengelolaan Komplek Gelora Bung Karno Jakarta.
Dalam proses penelitian, peneliti sangat di sambut dengan
keramahan yang tulus dan membantu penulis dalam
menyelesaikan skripsi.
9. HMJ Kesejahteraan Sosial dan keluarga besar mahasiswa
Kesejahteraan Sosial UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
yang telah berperan besar dalam penulis selama menjadi
mahasiswa dan menerima penulis dalam keluarga
Kesejahteraan Sosial UIN Jakarta.
10. HMI Cabang Ciputat, keluarga besar HMI KOMFAKDA,
terkhusus Aula Insan Cita. Terimakasih telah memberikan
wadah dan mengajarkan banyak hal.
11. Teman-teman seperjuangan UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta dari awal masuk kampus. Terimakasih yang
sebesar-besarnya atas segala perbuatan baik yang
diberikan kepada penulis dan selalu mendukung penulis
selama menjadi mahasiswa.
Fanhari Nugroho
1112054100053
xi
xii
DAFTAR ISI
ABSTRAK ............................................................................... viii
KATAPENGANTAR .............................................................. xi
DAFTAR ISI ............................................................................ xiii
DAFTAR TABEL ................................................................... xvi
DAFTAR GAMBAR ............................................................... xvii
BAB I PENDAHULUAN ................................................... 1
A. Latar Belakang Masalah .................................... 1
B. Batasan dan Rumusan Masalah ......................... 5
1. Batasan Masalah ......................................... 5
2. Rumusan Masalah ...................................... 6
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian .......................... 6
1. Tujuan Penelitian ........................................ 6
2. Manfaat Penelitian ...................................... 6
D. Metodologi Penelitian ....................................... 7
1. Pendekatan Penelitian................................. 7
2. Jenis Penilitian ............................................ 8
3. Tempat dan Waktu Penelitian .................... 8
4. Sumber Data ............................................... 9
5. Teknik Pengumpulan Data ......................... 9
6. Keabsahan Data .......................................... 10
7. Teknik Analisis Data .................................. 11
8. Teknik Pemilihan Informan........................ 11
9. Teknik Penulisan ........................................ 13
E. Tinjauan Pustaka ............................................... 13
F. Sistermatika Penulisan....................................... 14
xiii
BAB II LANDASAN TEORI .............................................. 17
A. Kebijakan Publik ............................................... 17
1. Definisi Kebijakan Publik .......................... 17
2. Dimensi Kebijakan Publik ......................... 18
3. Proses Kebijakan Publik ............................ 20
4. Kebijakan Sosial ........................................ 22
B. Implementasi Kebijakan .................................... 23
1. Definisi Implementasi ................................ 23
2. Implementasi Kebijakan ............................ 24
C. Penyandang Disabilitas ..................................... 25
1. Beberapa Istilah Sebutan “Orang
Berkelainan” (Disabilitas) .......................... 25
2. Ciri-Ciri Penyandang Disabilitas ............... 33
3. Pandangan Islam Terhadap
Penyandang Disabilitas .............................. 35
4. Pemahaman Dan Pandangan Terhadap
Penyandang Disabilitas .............................. 38
D. Aksesibilitas Bagi Penyandang Disabilitas ....... 40
xiv
BAB IV DATA DAN TEMUAN PENELITIAN ................ 71
A. Implementasi Kebijakan Aksesibilitas Bagi
Penyandang Disabilitas Di Lingkungan
Stadion Utama Gelora Bung Karno Jakarta ...... 71
B. Aksesibilitas PenyandangDisabilitas Di
Lingkungan Stadion Utama Gelora Bung
Karno Jakarta ..................................................... 81
xv
DAFTAR TABEL
xvi
DAFTAR GAMBAR
xvii
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
1
Pengertian tentang fasilitas publik seperti yang
dijelaskan oleh Mujimin WM (2007, 25) adalah semua atau
sebagian dari kelengkapan prasarana dan sarana pada
bangunan gedung dan lingkungannya agar dapat diakses dan
dimanfaatkan oleh semua orang termasuk penyandang
disabilitas guna mewujudkan kesamaan kesempatan dalam
segala aspek kehidupan dan penghidupan.
Penyediaan fasilitas dan aksesibilitas dalam bangunan
gedung dan lingkungan, harus dilengkapi dengan penyediaan
fasilitas dan aksesibilitas. Setiap orang atau badan termasuk
instansi pemerintah dalam penyelenggaraan pembangunan
bangunan gedung wajib memenuhi persyaratan teknis fasilitas
dan aksesibilitas. Keselamatan, kegunaan, dan kemandirian
adalah hal yang perlu mendapat perhatian lebih dalam hal ini.
Menurut Mujimin WM (2007, 64) fasilitas publik
aksesibilitas disabilitas pada bangunan gedung dan
lingkungan meliputi : Ukuran dasar ruang, jalur pedestrian,
jalur pemandu, area parkir, pintu, Ramp, tangga, lift,
Eskalator, toilet, pancuran, westafel, telepon, perlengkapan
dan peralatan kontrol, perabot, dan marka.
Perlu juga kita cermati bersama, bahwa pemenuhan
layanan sosial terhadap penyandang disabilitas tidak hanya
berhenti dalam penerimaan di suatu masyarakat. Akan tetapi
juga harus diperhatikan sejauh mana pemerintah memberikan
kebutuhan dan pelayanan dalam membangun kemandirian
teman-teman penyandang disabilitas dalam melakukan
aktivitasnya sehari-hari.
2
Dari Undang-Undang No. 8 Tahun 2016 sudah
ditegaskan dengan jelas, bahwa penyandang disabilitas wajib
hukumnya mendapatkan hak atas aksesibilitas dan hak
pelayanan publik yang mudah, layak, tanpa diskriminasi dan
tanpa biaya tambahan. Kemudian pada pasal 83 poin (1) yang
menyebutkan bahwa: Pemerintah dan Pemerintah Daerah
wajib mengembangkan sistem keolahragaan pendidikan,
keolahragaan rekreasi, dan keolahragaan prestasi.
Adapun kebijakan yang lebih mengerucut lagi terkait
aksesibilitas, yakni pada Peraturan Menteri Pekerjaan Umum
Nomor: 30/PRT/M/2006 tentang pedoman teknis fasilitas dan
aksesibilitas pada bangunan gedung dan lingkungan. Dan
untuk lingkup provinsi DKI Jakarta SK Gubernur No. 66
Tahun 1981 telah di undangkan sebagai respon positif
diberlakukannya tahun penyandang disabilitas sedunia
selanjutnya pada tahun 2001 muncul SK Gub No. 140 tentang
Tim aksesibilitas sarana dan prasarana bagi penyandang
disabilitas di wilayah provinsi DKI Jakarta.
Dari tindakan kebijakan akan dihasilkan kinerja dan
dampak kebijakan, dan proses selanjutnya adalah evaluasi
terhadap implementasi, kinerja, dan dampak kebijakan. Hasil
evaluasi ini bermanfaat bagi penentuan kebijakan baru di
masa yang akan datang, agar kebijakan yang akan datang
lebih baik dan lebih berhasil (Subarsono, 2005: 11-12).
Penyelenggaraan Asian Para Games 2018 lalu
sebenarnya bisa menjadi batu loncatan penyediaan fasilitas
olahraga yang dilengkapi dengan fasilitas bagi disabilitas.
3
Dikutip dari Tempo yang dipublikasikan oleh soldier.id
(2016) menyebutkan bahwa di Stadion Utama Gelora Bung
Karno Jakarta (SUGBK), sudah ada 264 kursi untuk
disabilitas, 6 toilet disabilitas dan Rampdengan lebar dan
tingkat kemiringan yang sesuai. Memang, pada beberapa
arena pertandingan baik di area terpadu Gelora Bung Karno
(GBK) maupun area selain itu, pekerjaan besar masih harus
dihadapi untuk pengembangan sistem manajemen olahraga
disabilitas di Indonesia karena beberapa fasilitas yang
dibangun untuk menunjang aksesibilitas bagi disabilitas pada
gelaran Indonesia 2018 Asian Para Games lalu sifatnya masih
belum permanen.
Salah satu penyandang masalah kesejahteraan sosial
sebagai sasaran dari pembangunan sosial adalah penyandang
disabilitas. Dimana aksesibilitas merupakan kemudahan yang
disediakan bagi penyandang disabilitas guna mewujudkan
kesamaan kesempatan dalam segala aspek kehidupan dan
penghidupan sebagai suatu kemudahan bergerak melalui dan
menggunakan bangunan gedung dan lingkungan dengan
memperhatikan kelancaran dan kelayakan, yang berkaitan
dengan masalah sirkulasi visual dan komponen setting.
Sehingga aksesibilitas wajib diterapkan secara optimal guna
mewujudkan kesamaan kesempatan dalam mencapai segala
aspek kehidupan dan penghidupan menuntut adanya
kemudahan dan keselamatan akses bagi semua pengguna.
Serta dengan hadirnya Undang-Undang No. 8 Tahun
2016 Tentang Penyandang Disabilitas memberikan harapan
4
agar penyandang disabilitas dapat beraktivitas secara mandiri
dan berpartisipasi penuh dalam segala aspek kehidupan,
negara wajib mengambil langkah yang tepat umtuk menjamin
akses bagi penyandang disabilitas atas dasar kesamaan
dengan warga lainnya, terhadap lingkungan fisik, transportasi,
informasi dan komunikasi termasuk juga sistem serta
teknologi informasi dan komunikasi serta akses terhadap
fasilitas dan jasa pelayanan untuk publik.
Untuk itu aksesibilitas sangatlah penting dalam
membangun kemandirian teman-teman penyandang
disabilitas agar mereka tidak selalu bergantung pada orang
lain, dan dapat membuat penyandang disabiitas jauh dari
stigma “orang yang dikasihani”.
Dengan penjabaran latar belakang di atas, maka
peneliti tertarik untuk meneliti
mengenai”ImplementasiKebijakan Aksesibilitas Bagi
Penyandang Disabilitas di Lingkungan Stadion Utama
Gelora Bung Karno Jakarta”.
5
2. Rumusan Masalah
Berdasarkan pembatasan masalah tersebut, penelitian
dapat dirumuskan dalam pertanyaan penelitian sebagai
berikut:
a. Bagaimana implementasi kebijakan aksesibilitas bagi
penyandang disabilitas di lingkungan Stadion Utama
Gelora Bung Karno Jakarta?
b. Bagaimana aksesibilitas bagi penyandang disabilitas di
lingkungan Stadion Utama Gelora Bung Karno
Jakarta?
6
b. Manfaat Praktis
Penelitian ini diharapkan dapat menjadi referensi
dan informasi yang berguna bagi pembaca,
khususnya bagi mahasiswa Program Studi
Kesejahteraan Sosial dalam mengetahui
implementasi kebijakan aksesibilitas bagi
penyandang disabilitas di lingkungan Stadion Utama
Gelora Bung Karno Jakarta.
D. Metodologi Penelitian
1. Pendekatan Penelitian
Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan
pendekatan Kualitatif dengan menggunakan metode
Deskriptif, Rustanto (2015, 17) menyebutkan bahwa:
“metode penelitian Kualitatif adalah metode penelitian
yang di gunakan untuk meneliti pada kondisi yang
alamiah, dimana peneliti adalah sebagai instrumen kunci,
teknik pengumpulan data dilakukan secara triangulasi
(gabungan), analisis data bersifat induktif dan hasil
penelitian Kualitatif lebih menekankan makna pada
generalisasi”.
Pendekatan Kualitatif ini dipilih berdasarkan
tujuan penelitian yang ingin mendapatkan gambaran
tentang peran Gelora Bung Karno (GBK) dalam
memberikan kebijakan dan bentuk pelaksanaan serta
kendala apa saja dalam membangun aksesibilitas untuk
penyandang disabilitas.
7
2. Jenis Penelitian
Penelitian ini menggunakan penelitian Deskriptif,
yaitu penelitian yang menggambarkan sebuah situasi di
lapangan. Data yang dikumpulkan berupa kata-kata,
gambar dan bukan angka-angka. Data tersebut berasal dari
hasil wawancara secara langsung, observasi, dan
dokumentasi (Bugin 2013, 39).
Berdasarkan pemahaman di atas, maka dalam
penelitian kali ini peneliti berusaha untuk
menggambarkan serta menganalisa implementasi
kebijakan aksesibilitas bagi penyandang disabilitas di
lingkungan Stadion Utama Gelora Bung Karno Jakarta.
8
2) Waktu penelitian dimulai pada bulan Januari 2019
sampai dengan bulan Juni 2019.
4. Sumber Data
Dalam penelitian ini sumber data yang digunakan
adalah sumber data primer (pokok) dan sumber data
sekunder (pendukung). Sumber data primer diperoleh
langsung dari subyek yang diteliti (responden),
sedangakan sumber data sekunder diperoleh dari
keterangan-keterangan dari orang lain yang mengerti
mengenai obyek yang diteliti, dan keterangan-keterangan
dari buku, artikel, dan sejenisnya, yang ada hubungannya
dengan obyek yang diteliti.
9
b. Wawancara, yaitu suatu cara yang digunakan peneliti
untuk memperoleh informasi secara lisan dari
informan, melalui interaksi verbal secara langsung
dengan tatap muka atau dengan menggunakan media
(seperti telepon), dengan tujuan untuk memperoleh
data yang dapat menjawab permasalahan penelitian
(Bungin 2005,134). Dalam wawancara yang dilakukan
penulis guna menjalin keakraban tak hanya sekedar
untuk mendapatkan informasi yang dibutuhkan oleh
penulis.
c. Studi Dokumentasi, yaitu teknik pengumpulan data
dengan menggunakan dokumen atau bahan-bahan
tertulis/cetak/rekaman peristiwa yang berhubungan
dengan hal yang ingin diteliti. (Rustanto 2015,60).
6. Keabsahan Data
Dalam melakukan penelitian kualitatif sering kali
mendapatkan persoalan dalam menguji keabsahan hasil
penelitian, hal ini dikarenakan banyak hal yaitu, alat yang
diandalkan adalah wawancara dan observasi mendukung
banyak kelemahan ketika dilakukan secara terbuka
apalagi tanpa kontrol dalam observasi partisipasif, sumber
data kualitatif yang kurang akan mempengaruhi hasil
akurasi penelitian (Bungin 2005, 156)
Oleh sebab itu, untuk melakukan keabsahan data
adalah dengan melakukan triangulasi. Dimana triangulasi
adalah pemerikasaan data yang memanfaatkan sesuatu
10
yang lain. Diluar data ini untuk keperluan pengecekan
atau pembanding data itu (Moleong 2003, 330).
Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan teknik
triangulasi dengan cara membandingkan sumber-sumber
data yang diperoleh dilapangan dengan kenyataan yang
ada saat penelitian.
11
yang kita harapkan, atau mungkin dia sebagai penguasa
sehingga memudahkan peneliti menjelajahi objek
ataupun situasi sosial yang diteliti. (Sugiono 2009, 54)
Dalam penelitian ini penulis mengambil informan,
yaitu pihak Pusat Pengelolaan Komplek Gelora Bung
Karno sebagai pembuat kebijakan dan kedua masyarakat
disabilitas sebagi penerima kebijakan.
Dalam penelitian ini penulis memilih beberapa sumber
karena agar mendapatkan informasi yang variatif dari
bobot kasus yang terjadi. Hal ini lah yang membuat
penulis tertarik mengkaji penelitian.
12
9. Teknik Penulisan
Untuk penulisan dan penyusunan skripsi ini dalam
penelitian ini mengacu pada buku Pedoman Penulisan
Karya Ilmiah (Skripsi, Tesis, dan Disertasi)
Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
E. Tinjauan Pustaka
Dalam penelitian ini, peneliti melakukan tinjauan pustaka
sebagai langkah penyusunan skripsi yang diteliti agar
terhindar dari kesamaan judul dan lain-lain dari skripsi yang
sudah ada sebelumnya, serta sebagai referensi penelitian yang
berhubungan dengan disabilitas. Setelah mengadakan tinjauan
pustaka, maka peneliti menemukan beberapa skripsi yang
berhubungan dengan disabilitas, tetapi peneliti akan
memaparkan dari sudut yang berbeda yaitu:
1. Skripsi dengan judul “Implementasi Kebijakan
Pendidikan Inklusif Bagi Mahasiswa Difabel di UIN
Syarif Hidayatullah Jakarta” yang ditulis oleh Tridiwa
Arief Sulistyo, NIM: 1111054100030, Program Studi
Kesejahteraan Sosial. Fakultas Ilmu Dakwah dan Ilmu
Komunikasi Universitas Islam Negeri Syarif
Hidayatullah Jakarta, tahun 2011. Skripsi tersebut
mengenai implementasi kebijakan pendidikan inklusif
bagi mahasiswa difabel di UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta. Perbedaan skripsi peneliti adalah penelitian ini
mengarah kepada kebijakan pendidikan inklusif dan
pelaksanaan aksesibilitas bagi mahasiswa difabel. Selain
13
itu subjek dan objek penelitian yang berbeda dengan
judul penelitian yang tertera di atas.
2. Skripsi dengan judul “Implementasi Kebijakan
Aksesibilitas Bagi Penyandang Disabilitas Fisik di
Perpustakaan Pusat Universitas Indonesia” yang ditulis
oleh Rani Artiesda Bonavida, NIM: 0906534073,
Program Studi Ilmu Administrasi Negara, Fakultas Ilmu
Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, tahun
2013. Skripsi ini membahas mengenai implementasi
kebijakan bagi penyandang disabilitas yang diterapkan
pada fasilitas di perpustakaan pusat Universitas
Indonesia. Lebih spesifikasinya menggambarkan
bagaimana perpustakaan pusat Universitas Indonesia
dalam mengimplementasikan kebijakan akasesibilitas
terkait dengan fasilitas yang aksesibelitas terkait dengan
institusi pendidikan yang inklusif.
F. Sistematika Penelitian
Skripsi ini disusun berdasarkan buku “Petunjuk
Penulisan Skripsi, Tesis, dan Disertasi : Fakultas Ilmu
Dakwah dan Ilmu Komunikasi UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta. Adapun sistematika dalam penulisan skripsi ini terdiri
dari lima bab antara lain:
Terdiri dari latar belakang masalah,
perumusan masalah, batasan dan
BAB I:
perumusan masalah, tujuan dan manfaat
PENDAHULUAN
penelitian, metodologi penelitian, serta
sistematika penulisan.
14
BAB II: Dalam bab ini akan membahas landasan
KAJIAN teoritis yang akan digunakan. Teori-teori
PUSTAKA yang berkaitan dengan dukungan sosial.
BAB III:
GAMBARAN Bab ini berisi gambaran umum objek
UMUM LATAR penelitian.
PENELITIAN
15
16
BAB II
LANDASAN TEORI
17
d. Program, yaitu seperangkat kegiatan yang mencakup
rencana penggunaan sumber daya lembaga dan strategi
pencapaian tujuan.
e. Keluaran (output), apa yang nyata yang telah disediakan
oleh pemerintah, sebagai produk dari kegiatan tertentu.
f. Teori yang menjelaskan bahwa jika kita melakukan X,
maka akan diikuti oleh Y.
g. Proses yang berlangsung dalam periode waktu tertentu
yang relatif panjang (Suharto 2013, 4-5)
18
Karenanya, sebuah kebijakan yang baik akan
menghindari jebakan ini dengan jalan merumuskan
secara eksplisit:
1. Pernyataan resmi mengenai pilihan-pilihan
tindakan yang akan dilakukan
2. Model sebab dan akibat yang mendasari kebijakan
3. Hasil-hasil yang akan dicapai dalam kurun waktu
tertentu
b. Kebijakan publik sebagai pilihan tindakan yang
legal
Pilihan tindakan dalam kebijakan bersifat legal atau
otoritatif karena dibuat oleh lembaga yang memiliki
legitimasi dalam sistem pemerintahan. Dalam konteks
ini, adalah penting mengembangkan proses kebijakan
yang partisipatif dan dapat diterima secara luas sehingga
dapat menjamin bahwa usulan dan aspirasi masyarakat
dapat diputuskan secara teratur dan mencapai hasil baik.
c. Kebijakan publik sebagai hipotesis
Kebijakan dibuat berdasarkan teori, model dan
hipotesis mengenai sebab akibat. Kebijakan-kebijakan
senantiasa bersandar pada asumsi-asumsi mengenai
perilaku. Kebijakan selalu mengandung insentif yang
mendorong orang untuk melakukan sesuatu. Kebijakan
harus mampu menyatukan perkiraan-perkiraan
(proyeksi) mengenai keberhasilan yang akan dicapai
dan mekanisme mengenai kegagalan yang mungkin
terjadi (Suharto 2013, 5-8). Kebijakan publik
19
merupakan suatu keputusan atau tindakan yang
mengatur pengelolaan sumber daya alam, manusia dan
finansial serta mempunyai tujuan baik demi
kepentingan bersama.
Hasil
Diikuti
Hasil
Diperlukan
Hasil
Diperlukan Mengarah Ke
20
benar dianggap masalah. Sebab bisa jadi suatu fenomena
oleh sekelompok masyarakat tertentu dianggap masalah,
tetapi bagi sebagian masyarakat yang lain bukan
dianggap sebagai masalah; (2) membuat batasan
masalah; (3) memobilisasi dukungan agar masalah
tersebut dapat masuk dalam agenda pemerintah.
Pada tahap formulasi dan legitimasi kebijakan, perlu
mengumpulkan dan menganalisis informasi yang
berhubungan dengan masalah yang bersangkutan,
kemudian berusaha mengembangkan alternatif-alternatif
kebijakan, melakukan negosiasi, sehingga sampai pada
sebuah kebijakan yang dipilih.
Tahap selanjutnya adalah implementasi kebijakan.
Pada tahap ini perlu dukungan sumber daya, dan
penyusunan organisasi pelaksana kebijakan. Dalam
proses implementasi sering ada mekanisme insentif dan
sanksi agar implementasi suatu kebijakan berjalan
dengan baik.
Dari tindakan kebijakan akan dihasilkan kinerja dan
dampak kebijakan, dan proses selanjutnya adalah
evaluasi terhadap implementasi, kinerja, dan dampak
kebijakan. Hasil evaluasi ini bermanfaat bagi penentuan
kebijakan baru di masa yang akan datang, agar kebijakan
yang akan datang lebih baik dan lebih berhasil
(Subarsono 2005, 11-12)
21
4. Kebijakan Sosial
Kebijakan sosial adalah seperangkat tindakan,
kerangka kerja, petunjuk, rencana, peta dan strategi,
yang dirancang untuk menterjemahkan visi politis
pemerintah atau lembaga pemerintah ke dalam program
dan tindakan untuk mencapai tujuan tertentu di bidang
kesejahteraan sosial. Karena urusan kesejahteraan sosial
senantiasa menyangkut orang banyak, maka kebijakan
sosial seringkali diidentikan dengan kebijakan publik
(Suharto 2005, 82)
Kebijakan sosial adalah ketetapan yang didesain
secara kolektif untuk mencegah terjadinya masalah
sosial (fungsi preventif), mengatasi masalah sosial
(fungsi kuratif), dan mempromosikan kesejahteraan
sebagai wujud kewajiban negara dalam memenuhi hak-
hak sosial warganya (Suharto 2013, 11). Tujuan-tujuan
kebijakan sosial:
1. Mengantisipasi, mengurangi, atau mengatasi
masalah-masalah sosial yang terjadi di masyarakat.
2. Memenuhi kebutuhan-kebutuhan individu, keluarga,
kelompok, atau masyarakat yang tidak dapat mereka
penuhi secara sendiri-sendiri melainkan harus melalui
tindakan kolektif.
3. Meningkatkan hubungan intrasosial manusia dengan
mengurangi kedisfungsian sosial individu dan
kelompok yang disebabkan oleh faktor-faktor
internal-personal maupun eksternal-struktural.
22
4. Meningkatkan situasi dan lingkungan sosial-ekonomi
yang kondusif bagi upaya pelaksanaan peranan-
peranan sosial dan pencapaian kebutuhan masyarakat
sesuai dengan hak, harkat, dan martabat
kemanusiaan.
5. Menggali, mengalokasikan dan mengembangkan
sumber-sumber kemasyarakatan demi tercapainya
kesejahteraan sosial dan keadilan sosial (Suharto
2005, 62)
B. Implementasi Kebijakan
1. Definisi Implementasi
Secara etimologis konsep implementasi berasal dari
Bahasa Inggris yaitu to implement. Dalam kamus besar
webster, to implement (mengimplementasikan) berarti to
provide the means for carrying out (menyediakan sarana
untuk melaksanakan sesuatu); dan to give practical effect
to (untuk menimbulkan dampak/akibat terhadap sesuatu).
(elip.unikom.ac.id, 2016).
Pengertian implementasi selain secara estimologis
diatas, dijelaskan juga menurut Van Meter dan Van Horn
bahwa: (elip.unikom.ac.id, 2016).
“Implementasi adalah tindakan-tindakan yang
dilakukan baik oleh individu-individu/pejabat-pejabat
atau kelompok-kelompok pemerintah atau swasta yang
diarahkan pada tercapainya tujuan-tujuan yang telah
digariskan dalam keputusan kebijakan.”
23
Pandangan Van Meter dan Van Horn bahwa
implementasi merupakan tindakan oleh individu, pejabat,
kelompok badan pemerintah atau swasta yang diarahkan
pada tercapainya tujuan-tujuan yang telah digariskan
dalam suatu keputusan tertentu. Badan-badan tersebut
melaksanakan pekerjaan-pekerjaan pemerintah yang
membawa dampak pada warga negaranya
(elip.unikom.ac.id, 2016)
2. Implementasi kebijakan
Dalam pandangan George C. Edwards III,
implementasi kebijakan dipengaruhi oleh empat variabel,
yaitu: (1) komunikasi, (2) sumber daya, (3) disposisi, dan
(4) struktur birokrasi. Keempat variabel ini juga saling
berhubungan satu sama lain.
(1) Komunikasi
Keberhasilan implementasi kebijakan mensyaratkan
agar implementor mengetahui apa yang harus
dilakukan. Apa yang menjadi tujuan dan sasaran
kebijakan harus ditransmisikan kepada kelompok
sasaran (target group) sehingga akan mengurangi
distorsi implementasi.
(2) Sumber Daya
Walaupun isi kebijakan sudah dikomunikasikan secara
jelas dan konsisten, tetapi apabila implementor
kekurangan sumber daya untuk melaksanakan,
implementasi tidak akan berjalan efektif. Sumber daya
24
tersebut dapat berwujud sumber daya manusia, yaitu
kompetensi implementor, dan sumber daya finansial.
(3) Disposisi
Disposisi adalah watak dan karakteristik yang dimiliki
oleh implementor. Apabila implementor memiliki
disposisi yang baik, maka dia akan dapat menjalankan
kebijakan dengan baik seperti apa yang diinginkan
oleh pembuat kebijakan. Ketika implementor memiliki
sikap atau perspektif yang berbeda dengan pembuat
kebijakan, maka proses implementasi kebijakan juga
menjadi tidak efektif.
(4) Struktur Birokrasi
Struktur organisasi yang bertugas
mengimplementasikan kebijakan memiliki pengaruh
yang signifikan terhadap implementasi kebijakan.
Salah satu dari aspek struktur yang penting dari setiap
organisasi adalah adanya operasi yang standar
(standard operating procedures atau SOP) SOP
menjadi pedoman bagi setiap implementor dalam
bertindak (Subarsono 2005, 90-92).
C. Penyandang Disabilitas
1. Beberapa Istilah Sebutan “Orang Berkelainan”
(Disabilitas)
a) Pengertian Istilah Penyandang Cacat
Kata “cacat” dalam Kamus Umum Bahasa
Indonesia memiliki beberapa arti, yaitu: (1)
25
kekurangan yang menyebabkan mutunya kurang baik
atau kurang sempurna (yang terdapat pada benda,
badan, batin, atau akhlak); (2) lecet (kerusakan, noda)
yang menyebabkan keadaannya menjadi kurang baik
(kurang sempurna); (3) cela atau aib; (4) tidak/kurang
sempurna. Dari beberapa pengertian ini tampak jelas
bahwa istilah “cacat” memiliki konotasi yang negatif,
peyoratif, dan tidak bersahabat terhadap mereka yang
memiliki kelainan. Persepsi yang muncul dari istilah
“penyandang cacat” adalah kelompok sosial ini
merupakan kelompok yang serba kekurangan, tidak
mampu, perlu dikasihani, dan kurang bermartabat.
Persepsi seperti ini jelas bertentangan dengan tujuan
konvensi Internasional yang mempromosikan
penghormatan atau martabat “penyandang cacat” dan
melindungi dan menjamin kesamaan hak asasi mereka
sebagai manusia.
Dalam The International Classification of
Impairment, Disability and Handicap (WHO, 1980),
ada tiga definisi berkaitan dengan kecacatan, yaitu
impairment, disability, dan handicap. Impairment
adalah kehilangan atau abnormalitas struktur atas
fungsi psikologis, fisiologis atau anatomi. Disability
adalah suatu keterbatasan atau kehilangan kemampuan
(sebagai akibat impairment) untuk melakukan suatu
kegiatan dengan cara atau dalam batas-batas yang
dipandang normal bagi seorang manusia.
26
Handicapadalah suatu kerugian bagi individu tertentu,
sebagai akibat dari suatu impairment atau disability,
yang membatasi atau menghambat terlaksananya suatu
peran yang normal. Namun hal ini juga tergantung
pada usia, jenis kelamin, dan faktor-faktor sosial atau
budaya.
Definisi-definisi di atas menunjukkan bahwa
disability hanyalah salah satu dari tiga aspek
kecacatan, yaitu kecacatan pada level organ tubuh dan
level keberfungsian individu. Handicap merupakan
aspek yang dipengaruhi oleh faktor-faktor yang tidak
terkait langsung dengan kecacatan. Suatu impairment
belum tentu mengakibatkan disability. Misalnya,
seseorang yang kehilangan sebagian dari jari
kelingking tangan kanannya tidak akan menyebabkan
orang itu kehilangan kemampuan untuk melakukan
kegiatan sehari-harinya secara selayaknya. Demikian
pula, Disability tidak selalu mengakibatkan seseorang
mengalami handicap. Misalnya, orang yang
kehilangan penglihatan (impairment) tidak mampu
mengoperasikan komputer secara visual (disability),
tetapi dia dapat mengatasi keterbatasannya itu dengan
menggunakan software pembaca layar dan, oleh
karemnanya, dia tetap dapat berperan sebagai
pemrogram (progamer) komputer. Akan tetapi,
handicap dalam bidang programming itu akan muncul
manakala dia dihadapkan pada komputer yang tidak
27
dilengkapi dengan speech screen reader. Ini berarti
bahwa keadaan handicap itu ditentukan oleh faktor-
faktor di luar dirinya. Gerakan Penyandang Cacat
secara tegas menolak definisi ketiga ini, yaitu
handicap, karena dianggap tidak berpihak dan lebih
banyak disebabkan oleh faktor dari luar diri mereka.
Mereka lebih memilih menggunakan dua konsep yang
berkaitan dengan model sosial, yaitu istilah
impairment dan disability, karena keduanya mencakup
“hilangnya suatu fungsi” dan “menjadi cacat akibat
sikap sosial”.
Undang-Undang RI Nomor 4 Tahun 1997 tentang
Penyandang Cacat, Pasal 1 Ayat 1, mendefinisikan
“penyandang cacat” sebagai “setiap orang yang
mempunyai kelainan fisik atau mental, yang dapat
mengganggu atau merupakan rintangan dan hambatan
baginya untuk melakukan kegiatan secara selayaknya.”
Menurut (Dr. Akhmad Soleh 2016,19), definisi ini dan
istilah “penyandang cacat” itu bukan karena konsepnya
yang salah, melainkan karena pilihan kata yang
dipergunakan untuk mewakili konsep (cacat) tidak
tepat.
b) Pengertian Istilah Difabel
Pada Konferensi Ketunanetraan Asia di Singapura
pada tahun 1981 yang diselenggarakan oleh
International Federation of The Blind (IFB) dan World
Council for the Welfare The Blind (WCWB), istilah
28
“diffabled” diperkenalkan, yang kemudian
diindonesiakan menjadi “difabel”. Istilah “diffabled”
sendiri merupakan akronim dari “differently abled” dan
kata bendanya adalah diffability yang merupakan
akronim dari different ability yang dipromosikan oleh
orang-orang yang tidak menyukai istilah “disabled”
dan “disability”. Bagi masyarakat Yogyakarta pada
umumnya, dan khususnya kalangan LSM, istilah
“difabel” sangat populer sebagai pengganti sebutan
penyandang cacat, karena dianggap lebih ramah dan
menghargai daripada sebutan “cacat”. Di samping
lebih ramah, istilah “difabel” lebih egaliter dan
memiliki keberpihakan, karena different ability berarti
“memiliki kemampuan yang berbeda”. Tidak saja
mereka yang memiliki ketunaan yang “memiliki
kemampuan yang berbeda”, tetapi juga mereka yang
tidak memiliki ketunaan juga memiliki kemampuan
yang berbeda.
c) Pengertian Istilah Penyandang Ketunaan
“Penyandang Ketunaan” berasal dari kata “tuna”,
dari bahasa Jawa Kuno yang berarti rusak atau rugi.
Penggunaan kata ini diperkenalkan pada awal tahun
1960-an sebagai bagian dari istilah yang mengacu pada
kekurangan yang dialami oleh seseorang pada fungsi
organ tubuhnya secara spesifik, misalnya istilah
tunanetra, tunarungu, tunadaksa, dan tunagrahita.
Penggunaan istilah tuna ini pada awalnya dimaksudkan
29
untuk memperhalus kata cacat demi tetap menghormati
martabat penyandangnya, tetapi dalam perkembangan
selanjutnya kata tuna digunakan juga untuk
membentuk istilah yang mengacu pada kekurangan
non-organik, misalnya istilah tunawisma, tunasusila,
dan tunalaras. Tetapi, kata tuna tidak seperti kata cacat
yang dapat digunakan untuk mengatakan, misalnya,
“sepatu ini cacat”.
Secara kebahasaan, tuna adalah kata sifat (adjective)
dan kata bendanya adalah ketunaan, yang secara
harifiah berarti kerugian atau kerusakan. Pararel
dengan kata “tuna” yang digunakan untuk
memperhalus kata “cacat”, maka kata “ketunaan” dapat
pula digunakan untuk memperhalus kata “kecacatan”.
Oleh karena itu, istilah “penyandang ketunaan” cukup
realistik, karena tetap menggambarkan keadaan yang
sesungguhnya (kerusakan, kekurangan, atau kerugian
sebagaimana arti hakikat harifiah kata tuna itu), tetapi
tidak mengandung unsur merendahkan martabat berkat
eufisme yang sudah melekat pada kata tersebut. Lebih
jauh, istilah “tuna” juga sudah dikenal dan diterima
secara luas, baik oleh penyandangnya maupun oleh
masyarakat pada umumnya.
d) Pengertian Istilah Penyandang Disabilitas
Dalam upaya mencari istilah sebagai pengganti
terminologi “penyandang cacat” maka diadakan
Semiloka di Cibinong Bogor pada 2009. Forum ini
30
diikuti oleh pakar linguistik, komunitas, filsafat,
sosiologi, unsur pemerintah, komunitas penyandang
cacat, dan Komnas HAM. Dari forum ini munculah
istilah baru, yaitu “Orang dengan Disabilitas”, sebagai
terjemahan dari “Persons with Disability”.
Berdasarkan saran dari pusat bahasa yang menetapkan
bahwa kriteria peristilahan yang baik adalah frase yang
terdiri dari dua kata, maka istilah “Orang dengan
Disabilitas” dipadatkan menjadi “penyandang
disabilitas”. Akhirnya, istilah “penyandang disabilitas”
inilah yang disepakati untuk digunakan sebagai
pengganti istilah “penyandang cacat”. Dengan
demikian, dikutip dari (Dr. Akhmad Soleh 2016, 22)
menggunakan istilah “penyandang disabilitas” sebagai
terminologi untuk merujuk kepada mereka yang
sebelumnya disebut “penyandang cacat”.
Disabilitas (disability) atau cacat adalah mereka
yang memiliki keterbatasan fisik, mental, intelektual,
atau sensorik, dalam jangka waktu lama di mana ketika
berhadapan dengan berbagai hambatan, hal ini dapat
menghalangi partisipasi penuh dan efektif mereka
dalam masyarakat berdasarkan kesetaraan dengan yang
lainnya. Istilah (penyandang disabilitas) mempunyai
arti yang lebih luas dan mengandung nilai-nilai
inklusif yang sesuai dengan jiwa dan semangat
reformasi hukum di Indonesia, dan sejalan dengan
substansi Convention on the Rights of Persons with
Disabilities (CRPD) yang telah disepakati untuk
31
diratifikasi pemerintah Indonesia dan sudah disahkan
sebagai undang-undang negara Indonesia pada 2011.
Dimana tujuan CRPD adalah untuk memajukan,
melindungi, dan menjamin kesamaan hak dan
kebebasan yang mendasar bagi semua penyandang
disabilitas, serta penghormatan terhadap martabat
penyandang disabilitas sebagai bagian yang tidak
terpisahkan (inherent dignity).
Perubahan berbagai istilah penyebutan terhadap
penyandang disabilitas yang diusung oleh para
akademisi, kalangan LSM, Orsos/Ormas, dan para
birokrat itu merupakan proses perubahan pergeseran
dari paradigma lama ke paradigma baru. „hal ini
bertujuan untuk memperhalus kata sebutan dan
mengangkat harkat serta martabat penyandang
disabilitas, karena makna dari istilah sebutan tersebut
berpengaruh terhadap asumsi, cara pandang, dan pola
pikir seseorang terhadap penyandang disabilitas.
Pergeseran istilah sebutan, model pendekatan, dan
sifat pendekatan terhadap disabilitas telah
menggambarkan pergeseran posisi dan perkembangan
peran penyandang disabilitas. Menurut Brown S, pada
paradigma lama penyandang disabilitas dilihat sebagai
obyek, selalu diintervensi, menjadi pasien, penerima
bantuan, dan sebagai subyek penelitian. Sedangkan
pada paradigma baru penyandang disabilitas dilihat
sebagai pemakai/pelanggan, rekan yang terberdayakan
32
(empowered peer), menjadi partisipan riset, dan
pemegang kebijakan.
33
policy, law, culture ethics, philosophy, and technology.
Penelitian mengenai disabilitas menghasilkan beberapa
teori yang menjelaskan disabilitas dari perspektif
masyarakat. Colemen, Butcher, dan Carson dalam
Supraktiknya disabilitas fisik dibedakan menjadi dua yaitu
kontingental dan bawaan. Kontingental ialah cacat yang
sudah dibawa sejak lahir kemudian cacat bawaan ialah
cacat yang dibawa setelah lahir (Michael Oliver 1996, 25).
Menurut Kaufman dan Kallhallahan dalam Pothier, dan
Devlin, mengklarifikasikan disabilitas fisik dan mental
sebagai berikut:
34
3. Pandangan Islam terhadap Penyandang Disabilitas
Manusia dalam pandangan Islam adalah makhluk
yang paling sempurna bentuknya. Tidak ada yang lebih
tinggi kesempurnaannya dari manusia kecuali Allah SWT.,
meskipun sebagian manusia diciptakan dalam kondisi fisik
kurang sempurna. Karena apa pun yang sudah melekat dan
terjadi pada manusia adalah pemberian Allah SWT. Hal ini
sesuai dengan firman Allah yang tersurat dalam surat at-
Tin ayat 4 yang artinya: “Sesungguhnya Kami telah
menciptakan manusia dalam bentuk yang sebaik-baiknya”.
Demikian juga terdapat dalam surat Al-Hujurat ayat 13
yang berbunyi:
“Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan
kamu dari seorang laki-laki dan seorang
perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-
bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling
kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang
paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah
orang yang paling bertakwa di antara kamu.
Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha
Mengenal.” (QS. Al-Hujurat: 13).
Dalam sebuah hadits Nabi yang diriwayatkan oleh
Bukhari-Muslim juga dikatakan bahwa:
“Sesungguhnya Allah tidak melihat tubuhmu,
rupamu, akan tetapi Allah melihat hatimu” (HR.
Bukhari-Muslim).
Berdasarkan kedua ayat dan hadits di atas dapat
disimpulkan bahwa Islam memandang manusia secara
positif dan egaliter serta memandang substansi manusia
lebih pada sesuatu yang bersifat immateri daripada yang
35
bersifat materi. Dengan kata lain, semua manusia memiliki
hak dan kewajiban yang sama, apa pun latar belakang
sosial, pendidikan, ataupun fisik seseorang. Yang
membedakan di antara manusia adalah aspek ketakwaan
dan keimanannya.
Dalam sejarah Nabi Muhammad SAW. juga dikenal
tentang bagaimana seharusnya penyandang disabilitas
diperlakukan secara sama. Sebagaimana yang dijelaskan
dalam asbab an-nuzul surat „Abasa ayat 1-4, dalam Tafsir
Jalalain, bahwa pada suatu hari datanglah kepada Nabi
seorang tunanetra (buta) bernama Abdullah Ibnu Ummi
Maktum atau anak Ummi Maktum, dan dikutip dari
(Ahmad Mustafa Al-Maragi 1993, 70) mengisahkan anak
Ummi Maktum bernama Amr Ibnu Qais (anak laki-laki
paman Siti Khadijah). Dia berkata dengan suara agak keras
kepada Nabi: “Ajarkanlah kepadaku apa-apa yang telah
Allah ajarkan kepadamu.” Karena buta maka pada saat itu
Abdullah Ibnu Ummi Maktum tidak mengetahui kesibukan
Nabi yang sedang menghadapi para pembesar kaum
musyrikin Quraisy. Nabi sangat menginginkan mereka
masuk Islam. Hal ini menyebabkan Nabi bermuka masam
dan berpaling dari Abdullah Ibnu Ummi Maktum lalu
menuju rumah tetap menghadapi pembesar-pembesar
Quraisy. Karena merasa diabaikan, Abdullah Ibnu Ummi
Maktum berkata: “Apakah yang saya katakan ini
mengganggu Tuan?” Nabi menjawab: “Tidak.” Maka
turunlah wahyu yang menegur sikap Nabi tersebut. Setelah
36
itu setiap Abdullah Ibnu Ummi Maktum datang
berkunjung, Nabi selalu mengatakan: “Selamat datang
orang yang menyebabkan Rabbku menegurku karenanya,”
lalu Nabi menghamparkan kain serbannya untuk tempat
duduk Abdullah Ibnu Ummi Maktum. Selanjutnya, Nabi
mengangkat dan memberi kepercayaan kepada Abdullah
Ibnu Ummi Maktum untuk memangku jabatan sebagai
walikota, dan dia adalah orang kedua dalam permulaan
Islam sebelum hijrah yang dikirim Nabi sebagai mubalig
atau da‟i ke Madinah.
Para ahli hukum Islam pada tahun 1981
mengemukakan tentang “Universal Islamic Declaration of
Human Right” yang diangkat dari Al-Quran dan sunnah
Nabi. Pernyataan deklarasi HAM ini terdiri dari dua puluh
tiga bab, enam puluh tiga pasal, yang meliputi segala aspek
kehidupan dan penghidupan manusia. Beberapa hak pokok
yang disebutkan dalam deklarasi tersebut, antara lain, (a)
hak untuk hidup, (b) hak untuk mendapatkan kebebasan,
(c) hak untuk persamaan kedudukan, (d) hak untuk
mendapatkan keadilan, (e) hak untuk mendapatkan
perlindungan terhadap penyalahgunaan kekuasaan, (f) hak
untuk mendapatkan perlindungan dari penyiksaan, (g) hak
untuk mendapatkan atas kehormatan dan nama baik, (h)
hak untuk bebas berfikir dan berbicara, (i) hak untuk bebas
memilih agama, (j) hak untuk bebas berkumpul dan
berorganisasi, (k) hak untuk mengatur tata kehidupan
ekonomi, (l) hak jaminan sosial, (m) hak untuk bebas
37
mempunyai keluarga dan segala sesuatu yang berkaitan
dengannya, (n) hak bagi wanita dalam kehidupan rumah
tangga, (o) hak untuk mendapatkan pendidikan.
38
Meskipun pandangan seperti ini sudah tidak dominan lagi,
di beberapa tempat pandangan seperti ini masih berlaku.
Sementara itu, pandangan medis beranggapan bahwa
disabilitas hanyalah sebuah isu medis, dan oleh karena itu,
pendekatannya pun juga bersifat medis. Masalah disabilitas
dikaitkan dengan persoalan abnormalitas. Mereka yang
cacat dianggap sebagai abnormal, dan oleh karena itu,
perlu dikoreksi, diluruskan, dan disembuhkan. Pandangan
tradisional dan medis sama-sama cenderung menganggap
masalah disabilitas sebagai masalah pribadi masing-masing
penyandang cacat, tanpa dikaitkan dengan keseluruhan
bangunan sosial-kemasyarakatan. Pandangan ini
menggiring pada individualisasi masalah kecacatan, yaitu
memandang disabilitas sebagai masalah individu dan tidak
dikaitkan dengan konteks dan struktur sosial yang lebih
luas.
Berbeda dengan kedua pandangan di atas, pandangan
sosial beranggapan bahwa masalah disabilitas tidak bisa
dipisahkan dari konteks sosial yang luas. Pandangan
tradisional dan medis dianggap tidak memberdayakan
kelompok penyandang disabilitas. Dalam pandangan
sosial, penyatuan kelompok disabilitas dengan masyarakat
berarti proses memberdayakan mereka dalam rangka
menundukkan rintangan-rintangan sosial, bukan dalam
rangka normalisasi, perawatan, atau pengobatan.
Pemberdayaan dalam model sosial juga dipahami dalam
konteks sosial yang lebih luas. Tidak hanya kelompok
39
disabilitas yang secara individu diberdayakan agar dapat
mentransendensi situasi-batas, tapi ruang publik pun juga
harus didesain sedemikian rupa sehingga memungkinkan
bagi kelompok penyandang disabilitas untuk
mengaksesnya.
40
berpartisipasi penuh dalam segala aspek kehidupan, maka
negara-negara pihak harus melakukan langkah-langkah yang
diperlukan untuk menjamin harus melakukan langkah-
langkah yang diperlukan untuk menjamin akses penyandang
cacat terhadap lingkungan fisik, transportasi, informasi dan
komunikasi serta fasilitas dan pelayanan lainnya yang terbuka
atau disediakan bagi publik, baik di perkotaan maupun di
pedesaan, atas dasar kesetaraan dengan orang-orang lain (Dr.
Akhmad Soleh 2016, 53).
Penyediaan fasilitas dan aksesibilitas dalam bangunan
gedung dan lingkungan, harus dilengkapi dengan penyediaan
fasilitas dan aksesibilitas. Setiap orang atau badan termasuk
instansi pemerintah dalam penyelenggaraan pembangunan
bangunan gedung wajib memenuhi persyaratan teknis fasilitas
dan aksesibilitas. Dalam hal ini ada beberapa hal yang perlu
mendapatkan perhatian:
1) Keselamatan, yaitu setiap bangunan yang bersifat umum
dalam suatu lingkungan. Dinamika yaitu setiap orang dapat
mencapai semua tempat atau bangunan yang bersifat
umum dalam suatu lingkungan.
2) Kegunaan, yaitu setiap orang harus dapat mempergunakan
semua tempat atau bangunan yang bersifat umum dalam
suatu lingkungan.
3) Kemandirian, yaitu setiap orang harus bisa mencapai,
masuk dan mempergunakan semua tempat atau bangunan
yang bersifat umum dalam suatu lingkungan dengan tanpa
membutuhkan bantuan orang lain (WM 2007, 63).
41
Adapun fasilitas publik aksesibilitas disabilitas
pada bangunan gedung dan lingkungan meliputi: (a) Ukuran
dasar ruang, (b) Jalur pedestrian, (c) Jalur pemandu; (d) Area
parkir; (e) Pintu; (f) Ramp; (g) Tangga; (h) Lift; (i) Eskalator;
(j) Toilet; (k) Pancuran; (l) Wastafel; (m) Telepon; (n)
Perlengkapan dan peralatan kontrol; (o) Perabot; (p) Marka
(WM 2016, 64). Berbagai fasilitas publik yang aksesibel
tersebut sudah ada petunjuk teknisnya yang terdapat pada
Pedoman Teknis Fasilitas dan Aksesibilitas pada Bangunan
Gedung dan Lingkungan. Dalam naskah ini hanya
dikemukakan beberapa contoh. Antara lain, berkenaan dengan
ukuran dasar ruang, jalur pemandu, Ramp, dan toilet. Sebagai
berikut:
a. Ukuran Ruang
1) Esensi
Ukuran dasar ruang tiga dimensi (panjang, lebar, tinggi)
yang mengacu kepada ukuran tubuh manusia dewasa,
peralatan yang digunakan dan ruang yang dibutuhkan
untuk mewadahi pergerakannya.
2) Persyaratan
a) Ukuran dasar ruang diterapkan dengan
mempertimbangkan fungsi bangunan, bangunan
dengan fungsi yang memungkinkan digunakan oleh
orang banyak secara sekaligus, seperti balai
pertemuan, bioskop dan sebagainya harus
menggunakan ukuran dasar maksimum.
42
b) Ukuran dasar minimum dan maksimum yang
digunakan dalam pedoman ini dapat ditambah atau
dikurangi sepanjang asas-asas aksesibilitas dapat
tercapai
b. Jenis Pemandu
1) Esensi
Jalur yang memandu kaum disabilitas untuk berjalan
dengan memanfaatkantekstur ubin pengarah dan ubin
peringatan.
2) Persyaratan
a) Tekstur ubin pengarah bermotif garis-garis
menunjukkan arah perjalanan.
b) Tekstur ubin peringatan (bulat) memberi peringatan
terhadap adanya perubahan situasi di sekitarnya.
c) Daerah-daerah yang hams menggunakan ubin tekstur
pemandu (guidingblocks):
1. Di depan jalur lalu-lintas kendaraan.
2. Di depan pintu masuk/keluar dari dan ke tangga
atau fasilitas persilangan dengan perbedaan
ketinggian lantai.
3. Di pintu masuk/keluar pada terminal transportasi
umum atau area penumpang.
4. Pada pedestrian yang menghubungkan antara
jalan dan bangunan.
5. Pada pemandu arah dari fasilitas umum ke
stasiun transportasi umum terdekat.
43
d) Pemasangan ubin tekstur untuk jalur pemandu pada
pedestrian yang telahada perlu memperhatikan
tekstur dari ubin, sehingga tidak terjadi kebingungan
dalam membedakan tekstur ubin pengarah dan
tekstur ubin peringatan.
e) Untuk memberikan perbedaan warna antara ubin
pemandu dengan ubin lainnya, maka pada ubin
pemandu dapat diberi warna kuning atau jingga.
c. Ramp
1) Esensi
Ramp adalah jalur sirkulasi yang memiliki bidang
dengan kemiringan tertentu, sebagai alternatif bagi
orang yang tidak dapat menggunakan tangga (WM
2007, 68).
2) Persyaratan-persyaratan
a) Kemiringan suatu Ramp di dalam bangunan tidak
boleh melebihi 7°, perhitungan kemiringan tersebut
tidak termasuk awalan atau akhiran dinamika Ramp
(curb Ramps/landing). Sedangkan kemiringan suatu
Ramp yang ada di luar bangunan maksimum 6°.
b) Panjang mendatar dari satu Ramp (dengan
kemiringan 7°) tidak boleh lebih dari 900 cm.
Panjang Ramp dengan kemiringan yang lebih rendah
dapat lebih panjang.
c) Lebar minimum dari Ramp adalah 95 cm tanpa tepi
pengaman, dan 120 cm dengan tepi pengaman.
Untuk Ramp yang juga digunakan sekaligus untuk
44
pejalan kaki dan pelayanan angkutan barang hams
dipertimbangkan secara seksama lebarnya,
sedemikian sehingga bisa dipakai untuk kedua fungsi
tersebut, atau dilakukan pemisahan Ramp dengan
fungsi sendiri-sendiri.
d) Muka datar pada awalan atau akhiran dari suatu
Ramp harus bebasdan datar sehingga memungkinkan
sekurang-kurangnya untuk memutar kursiroda
dengan ukuran minimum 160 cm.
e) Permukaan datar awalan atau akhiran suatu Ramp
harus memiliki tekstur sehingga tidak licin.
f) Lebar tepi pengaman Ramp (low curb) 10 cm,
dirancang untuk menghalangi kursi roda agar tidak
terperosok atau keluar dari jalur Ramp. Apabila
berbatasan langsung dengan lalu-lintas jalan umum
atau persimpangan harus dibuat sedemikian rupa
agar tidak mengganggu jalan umum.
g) Ramp harus diterangi dengan pencahayaan yang
cukup sehingga membantu penggunaan Ramp saat
malam hari. Pencahayaan disediakan pada bagian-
bagian Ramp yang memiliki ketinggian terhadap
muka tanah sekitarnya dan bagian-bagian yang
membahayakan.
h) Ramp harus dilengkapi dengan pegangan (handrail)
yang dijamin kekuatannya dengan ketinggian yang
sesuai.
45
d. Kamar Kecil
Fasilitas sanitasi yang aksesibel untuk semua
orang (tanpa terkecuali kaum disabilitas, orang tua dan
ibu-ibu hamil) pada bangunan atau fasilitas umum lainnya
(WM 2007, 69).
1) Persyaratan-persyaratan
a) Toilet atau kamar kecil umum yang aksesibel harus
dilengkapi dengan tampilan rambu bagi disabilitas
pada bagian luarnya.
b) Toilet atau kamar kecil umum harus memiliki ruang
gerak yang cukup untuk masuk dan keluar pengguna
kursi roda.
c) Ketinggian tempat duduk closet harus sesuai dengan
ketinggian pengguna kursi roda (45-50 cm).
d) Toilet atau kamar kecil umum harus dilengkapi
dengan pegangan rambat (handrail) yang memiliki
posisi dan ketinggian disesuaikan dengan pengguna
kursi roda dan disabilitas yang lain. Pegangan
disarankan memiliki bentuk siku-siku mengarah ke
atas untuk membantu pergerakan pengguna kursi
roda.
e) Letak kertas tissu, air, keran air atau pancuran
(shower) dan perlengkapan-perlengkapan seperti
tempat sabun dan pengering tangan hatus dipasang
sedemikian hingga mudah digunakan oleh orang
yang memiliki keterbatasan-keterbatasan fisik dan
bisa dijangkau pengguna kursi roda.
46
f) Keran pengungkit sebaiknya dipasang pada
wastafel.
g) Bahan dan penyelesaian lantai harus tidak licin.
h) Pintu harus mudah dibuka untuk memudahkan
pengguna kursi roda untuk membuka dan menutup.
i) Kunci-kunci toilet dipilih sedemikian sehingga bisa
dibuka dari luar jika terjadi kondisi darurat.
j)Pada tempat-tempat yang mudah dicapai, seperti
pada daerah pintu masuk, dianjurkan untuk
menyediakan tombol pencahayaan darurat
(emergency light button) bila sewaktu-waktu terjadi
listrik padam.
Fasilitas layanan publik berupa gedung dan
lingkungannya tersebut sudah selayaknya berlaku
universal bagi semua orang, termasuk bagi penyandang
disabilitas ini bukan dalam pengertian mengistimewakan
penyandang disabilitas, melainkan suatu pendekatan yang
menganjurkan agar suatu desain direncanakan dan
dirancang memenuhi kebutuhan spesifik penyandang
disabilitas, tetapi sekaligus juga memenuhi kebutuhan
pengguna lain (WM 2007, 71).
47
48
BAB III
PROFIL LEMBAGA
49
selesainya pembangunan Gelanggang Olahraga Bung
Karno pada saat itu membuktikan bahwa bangsa Indonesia
mampu melaksanakan pembangunan sebuah komplek
olahraga bertaraf internasional yang pada masa itu belum
banyak dimiliki oleh negara maju sekalipun. Seiring
dengan perkembangan zaman maka di komplek Gelora
Bung Karno dilaksanakan berbagai pembangunan fasilitas
olahraga maupun fasilitas pendukung lainnya.
Dukungan kepada dunia olahraga menjadi fokus dan
perhatian kami dimana Gelora Bung Karno telah
menanamkan dan tidak kurang Rp1 Triliun dalam bentuk
berbagai Prasarana dan Sarana serta fasilitas lainnya
sebagai bentuk sumbangsih kepada dunia olahraga.
Saat ini Kawasan Gelora Bung Karno berdiri berbagai
macam fasilitas untuk kegiatan olahraga sebanyak 36
Venues, Politik, Bisnis, Rekreasi dan Pariwisata. Fungsi
lain Kawasan Gelora Bung Karno adalah memiliki 84%
Kawasan Terbuka Hijau yang merupakan daerah resapan
air dengan lingkungan hijau seluas 67,5% yang masih
terdapat kelestarian aneka pepohonan langka yang besar
dan rindang yang merupakan hutan kota juga sebagai
tempat bermukimnya 22 jenis burung liar yang senantiasa
berkicau sepanjang hari menambah suasana asri di
kawasan ini.
Selain itu juga telah dilakukan penataan secara terpadu
dan menyeluruh pada Kawasan Gelora Bung Karno yaitu
dengan dibangunnya plaza, gerbang, air mancur dan
50
pedestrian yang tidak lain adalah untuk meningkatkan
penampilan serta kenyamanan bagi masyarakat pengguna
yang berkunjung di Kawasan Gelora Bung Karno.
Adapun yang melatar belakangi pembentukan Gelora
Bung Karno yang dikutip dari (gbk.id, 2017), yaitu:
1) KEPRES 318 Tahun 1962:
1. Pembentukan Yayasan Gelora Bung Karno.
2) KEPRES 4 Tahun 1984:
1. Badan Pengelola Gelanggang Olahraga Senayan
sebagaimana telah bebrapa kali diubah, terakhir
diubah dengan KEPRES 94 Tahun 2004.
3) KEPRES 7 Tahun 2001:
1) Perubahan Nama Gelanggang Olahraga Senayan
menjadi Gelanggang Olahraga Bung Karno.
4) Keputusan Menteri Keuangan Nomor 233 Tahun
2008:
1. Tentang penetapan Gelora Bung Karno sebagai
BLU (Badan Layanan Umum).
51
B. Visi dan Misi GBK
1. Visi GBK
“Menjadi salah satu kawasan olahraga terintegrasi yang
modern, ramah lingkungan dan unggul di dunia”
2. Misi
1. Mengoptimalkan seluruh sumber daya PPKGBK
untuk menunjang terselenggaranya pelayanan prima
dan pengelolaan Gelora Bung Karno secara
profesional sesuai kaidah-kaidah good corporate
governance;
2. Melestarikan lingkungan Komplek Gelora Bung
Karno sebagai paru-paru kota, sebagai ruang terbuka
hijau, dan sebagai objek wisata dan prasarana
komunikasi sosial;
3. Mengamankan dan melestarikan aset di Komplek
Gelora Bung Karno sebagai aset negara dengan tetap
memperhatikan sebagai benda cagar budaya serta
membangun, mengembangkan, memelihara sarana
dan prasarana yang terintegrasi, modern dan
berstandar internasional untuk mendukung kemajuan
olahraga nasional;
4. Mengembangkan dan memanfaatkan segala potensi
Kawasan Gelora Bung Karno yang bersifat strategis,
umum, dan rutin untuk meningkatkan pendapatan
dalam rangka menciptakan kemandirian ekonomi.
52
C. Struktur Organisasi
53
f. Pencahayaan 3000 lux (mendukung kualitas HD
untuk siaran langsung)
g. Sistem pencahayaan berbasis perangkat lunak
h. 2 Lantai VVIP Box perusahaan
i. 12 Gates, 24 Sektor Gates
j. Akses Wifi 4,5G
k. 8 Cara Akses
l. System Manajemen Bangunan
m. Dikelilingi oleh Air Kanal
n. Pusat Operasi Tempat
o. Pusat Data
p. 1293 Modul Sel Surya (teknologi ramah
lingkungan)
2) Portofolio
Berikut ini adalah acara multinasional dan
besar telah diadakan di Stadion Utama Gelora Bung
Karno:
1. Asian Games (1962)
2. Ganefo
3. SEA Games X
4. SEA Games XIV
5. SEA Games XIX
6. Pertandingan Trafeo Persija (Maret 2015)
7. Konser Musik One Direction (Maret 2015)
8. Indonesia Greaser Party (2015)
9. Tumplek Blek (2015)
54
10. Ngabuburit Djarum (2015)
11. Ujian Masuk STAN (Agustus 2015)
12. Konser Bon Jovi (September 2015)
13. Job Fair Career (2015)
14. Familiy Gathering Panasonic Global (Oktober
2015)
15. Final Piala Presiden (Oktober 2015)
16. Islamic Fashion Fair
17. Final Piala Presiden (2016)
18. Final Bhayangkara Cup (2016)
19. Mayday Fiesta
20. Musim Panas Jackloth
3) Istora
a. Spesifikasi
Berikut adalah spesifikasi Istora:
1. Arena bermain menggunakan lapisan parkeet
kayu sungkai
2. Sound System: TOA dengan 4 speaker dan 2
subwoovers
3. LED dan jam analog untuk papan skor
4. Tiket digital
5. AC 900PK
6. 60.400 watt untuk penerangan
7. Sistem CCTV 7K untuk keamanan dengan
fitur manajemen keramaian
55
8. Istora sudah dilengakapi dengan fasilitas
pendukung publik seperti toilet, musholla,
ruang VIP, ruang ganti pemain, ruang kantor,
ruang medis, dan area parkir.
b. Portofolio
Berikut ini beberapa acara multinasional dan
besar telah diadakan di Istora:
1. Dahsyat Award (2015)
2. Shooting Telkomsel
3. Levis Bazaar
4. Resepsi Pernikahan Masal
5. Pocari Clinic Run
6. Try Out SBMPTN 2015
7. Shooting Iklan Aqua
8. Konser Musik KCA
9. Pasar Jongkok Otomotif (2015)
10. Konser Musik Boyzone
11. Kejuaraan Bulutangkis BCA
12. Mudik Bersama Pertamina
13. HUT SCTV 2015
14. Kejuaraan World Championship (2015)
15. Pameran Indonesia Hebat (2015)
16. Islamic Fair
17. Natal Bersama MNC Group (2015)
18. HUT Indosiar (2016)
56
4) Lapangan Panahan
a. Spesifikasi
Lapangan Panahan Gelora Bung Karno adalah
lapangan memanah berstandar internasional yang
memiliki panjang 59 meter untuk putaran
internasional (dengan luas lahan 10.471 meter
persegi untuk putaran internasional). Rumput
yang digunakan di bidang ini adalah rumput
alami. Lapangan memanah ini sudah dilengkapi
dengan fasilitas pendukung publik seperti toilet,
masjid, ruang VIP, ruang ganti pemain, dan tribun
top-down dengan kapasitas 97 kursi. Lapangan
memanah Gelora Bung Karno dapat digunakan
untuk turnamen memanah atau untuk latihan atau
latihan memenah rutin harian.
b. Portofolio
Bidang panahan biasanya digunakan untuk
kompetisi panahan baik secara nasional maupun
internasional. Selain itu, Lapangan Panahan
secara rutin digunakan sebagai tempat untuk
latihan memanah dan kegiatan non-olahraga
lainnya.
57
5) Stadion Akuatik
a. Spesifikasi
Setelah renovasi untuk Asian Games ke-18,
Stadion Akuatik terdiri dari 4 kolam standar
internasional dengan konsep semi indoor
1. Kolam utama dengan ukuran 50m x 25m x
3m dengan 8 baris
2. Kolam polo air dengan kedalaman 3m
3. Kolam selam indah dengan ukuran 21m x
25m x 5m
4. Pemanasan kolam di lantai dasar dengan
ukuran 20m x 50m x 1,4m hingga 2m
Stadion Akuatik Gelora Bung Karno sudah
dilengkapi dengan fasilitas pendukung umum
seperti toilet, masjid, sound system, ruang VIP,
ruang ganti pemain, ruang kantor, ruang medis,
dan area parkir. Berikut adalah spesifikasi
lengkap dari Stadion Akuatik:
1. Sistem Sky Pool
2. Sistem Penyaringan UV 24 Jam
3. 7830 kursi tunggal, 800 kursi teleskop
4. Panel sel surya
5. Pintu pagar untuk kontrol akses
6. Sistem CCTV 4K untuk keamanan
7. Sistem tiket digital
8. Wifi berkecepatan tinggi, jaringan selular
4,5G
58
Stadion Akuatik dapat digunakan untuk
turnamen (turnamen nasional dan internasional)
atau untuk latihan atau latihan rutin harian.
b. Portofolio
Beberapa acara yang berlangsung Di Stadion
Akuatik adalah turnamen nasional dan
internasional. Tempat ini juga digunakan untuk
olahraga teratur.
6) Lapangan Hoki
a. Spesifikasi
Lapangan Hoki Gelora Bung Karno adalah
area standar internasional seluas 6.755,8 meter
persegi dengan lampu 208 FOP. Ada 2 lapangan
hoki yang mencapai standar internasional,
dilapisi dengan karpet sintetis dan dilengkapi
dengan fasilitas pendukung lainnya, seperti
ruang ganti pemain, ruang kantor, toilet, dan
masjid, ruang manajemen, dan Ruang Kontrol
CCTV. Kapasitas wilayah tribun di bidang ini
adalah ± 818 kursi. Lapangan Hoki Gelora Bung
Karno telah disertifikasi oleh International
Hockey Federation (FIH).
b. Portofolio
Lapangan hoki dapat digunakan sebagai
tempat untuk turnamen nasional dan
59
internasional dan kegiatan non-olahraga lainnya.
Lapangan ini secara rutin digunakan untuk
pelatihan atlet nasional dan publik.
7) Lapangan ABC
a. Spesifikasi
Lapangan Sepak Bola ABC Gelora Bung Karno
sudah menggunakan ukuran standar
internasional untuk sepakbola (100 x 68 meter
dengan 32 lampu FOP). Jenis rumput yang
digunakan untuk lapangan A dan B adalah
rumput alami bernama Zoysia Matrella, rumput
alam berstandar internasional terbaik yang juga
digunakan untuk Stadion Utama Gelora Bung
Karno, Lapangan Sepak Bola C menggunakan
rumput sintetis. Lapangan sudah dilengkapi
dengan fasilitas pendukung, seperti masjid,
ruang ganti pemain, dan toilet. Lapangan
Sepakbola ABC adalah lapangan multifungsi
dan dapat digunakan untuk acara berskala besar,
baik acara nasional maupun internasional.
Lapangan ini juga dilengkapi dengan tribun top-
down.
b. Portofolio
Beberapa acara yang berlangsung di Lapangan
Sepakbola ABC adalah turnamen nasional dan
60
internasional. Lapangan ini juga digunakan
untuk latihan sepakbola secara rutin.
8) Basket Hall
a. Spesifikasi
Ruang Bola Basket Gelora Bung Karno adalah
arena olahraga dalam ruangan berstandar
internasional dengan konstruksi besi dan
ketinggian 15m. arena olahraga ini sangat cocok
untuk berbagai kegiatan olahraga dan non-
olahraga. Lapangan ini sudah dilengkapi dengan
fasilitas pendukung, seperti masjid, ruang ganti
pemain, toilet dan fasilitas difabel. Berikut ini
adalah spesifikasi lain dari hall basket:
1. Kapasitas tribun 2496 kursi yang terdiri dari
60 kursi VIP, 9 kursi difabel
2. Power supply 1000KVA
3. 16 lampu arena @ 1000 watt
4. 7K CCTV untuk keamanan dilengkapi
dengan fitur manajemen keramaian
b. Portofolio
Hall Basket dapat digunakan sebagai tempat
untuk turnamen nasional dan internasional dan
kegiatan non-olahraga lainnya. Salah satu acara
yang telah diadakan di tempat ini adalah Test
Event Asian Games XVIII.
61
9) Softball
a. Spesifikasi
Lapangan softball di area GBK adalah lapangan
softball terbesar dan terbaru di Indonesia yang
sudah menggunakan standar internasional (16,76
– 18,29 m). Juga ini adalah satu-satunya
lapangan bola lunak yang terletak di area utama
dan strategis di Jakarta (dekat jalan raya Gatot
Subroto-Sudirman). Lapangan ini dilengkapi
tribun, ruang ganti, toilet, dan ruang sholat.
b. Portofolio
Lapangan softball dapat digunakan untuk
turnamen (turnamen nasional dan internasional)
atau untuk latihan atau latihan rutin harian.
62
Madya Gelora Bung Karno sudah dilengkapi
dengan fasilitas pendukung umum seperti
toilet, masjid, sound system, ruang ganti
pemain, ruang kantor, area parkir. Stadion
Madya dapat digunakan untuk turnamen
sepakbola dan atletik atau untuk latihan atau
latihan rutin sepakbola dan atletik.
b. Portofolio
Stadion Madya dapat digunakan untuk
turnamen sepakbola dan atletik atau untuk
latihan atau latihan rutin sepakbola dan atletik.
63
12) Tennis Outdoor
a. Spesifikasi
Tennis Outdoor Gelora Bung Karno (Lapangan
Tengah) adalah arena olahraga luar ruang
berstandar internasional dengan ukuran arena
1.988 meter persegi, menggunakan lapisan-
lapisan selir, evolusi permukaan, dan softbase
sebagai bahan permukaan, dengan lampu LED
Gigatera 800 watt. Tennis Outdoor memiliki 2
bidang dengan kapasitas tribun 3.800 kursi dan
22 kursi VIP. Tennis Outdoor juga dilengkapi
dengan lampu standar internasional untuk
kegiatan olahraga malam. Selain digunakan
untuk tenis dan kegiatan olahraga lainnya,
Tennis Outdoor juga dapat digunakan untuk
kegiatan multi-event baik olahraga dan non-
olahraga, baik komersial maupun non-komersial,
seperti pameran, konser, pertemuan perusahaan
dan keluarga.
b. Portofolio
Beberapa acara yang berlangsung di Tennis
Outdoor adalah turnamen nasional dan
internasional. Tempat ini juga merupakan aula
multifungsi.
64
13) Tennis Indoor
a. Spesifikasi
Tennis Indoor Gelora Bung Karno adalah arena
olahraga indoor berstandar internasional dengan
fasilitas Pendingin Ruangan, dilengkapi dengan
fasilitas pendukung umum seperti toilet, masjid,
dan ruang ganti pemain. Tennis Indoor dapat
digunakan untuk turnamen tenis (turnamen
nasional dan internasional) atau untuk latihan atau
latihan rutin harian. Selain digunakan untuk tenis
dan kegiatan olahraga lainnya, Tennis Indoor
Stadium juga dapat digunakan untuk kegiatan
multi-event baik olahraga dan non-komersial,
seperti pameran, konser, pertemuan perusahaan
dan keluarga. Berikut ini adalah spesifikasi
lengkap Tennis Indoor:
1. Lapangan menggunakan lapisan flexi
2. Sistem suara dengan 4 speaker dan 2
subwoover
3. Sistem tiket digital
4. 68.000 watt untuk penerangan
5. Kapasitas Tribune: 3.300 kursi
6. Sistem CCTV 7K untuk keamanan dengan fitur
manajemen kerumunan.
b. Portofolio
Berikut ini adalah beberapa kegiatan yang telah
diadakan di Tennis Indoor Stadium:
65
1. Pelantikan Hanura DKI
2. Try Out bersama Perguruan Tinggi Negeri
Jakarta dan sekitarnya
3. Konser Musik Younder
4. Acara Partai PPP
5. HUT BTN
6. Konser Kisah Kasih
7. Pertandingan Jakarta – Japan club
8. Konser Korea Eru
9. Stand up Comedy Festival
10. Pertandingan Davis Cup
66
1) Stadion Utama GBK
Terdapat akses berupa Ramp yang bisa dilalui kursi roda
dengan lebar dan tingkat kemiringan sudah sesuai
pedoman teknis. Terdapat 264 kursi di tribun penonton
bagi penyandang disabilitas dan pendamping. Fasilitas
lainnya adalah 6 toilet khusus disabilitas dilengkapi tanda
dan petunjuk arah.
2) Training Facility
Fasilitas bagi penyandang disabilitas yakni parkir bagi
pengunjung dan atlet, lokasi drop-off yang terkoneksi
dengan Ramp, toilet, lift dan tempat penonton. Selain itu
dibangun jalur pemandu (guiding block) pada trotoar di
depan bangunan.
3) Stadion Renang (Aquatic)
Terdapat 2 pintu akses bagi penyandang disabilitas di sisi
Timur dan Barat dan jalur Ramp mulai dari loket tiket
hingga tribun. Kursi penonton penyandang disabilitas
sebanyak 100 buah.
4) Lapangan Hoki, Lapangan Panahan, dan Sepakbola ABC
Tersedia Ramp sebagai akses masuk hingga ke tribun
serta adanya toilet disabilitas.
5) Istana Olahraga (Istora)
Tersedia fasilitas akses Ramp di sisi Utara dan Selatan
Stadion, Ramp pada setiap ruangan yang berbeda elevasi,
toilet disabilitas di lantai 1 dan lantai 2. Untuk atlet
penyandang disabilitas, fasilitas tidak berbeda dengan
penonton, di mana akses menuju arena pertandingan juga
relatif mudah, karena tersedianya Ramp. Pada ruang ganti
67
atlet desain juga sudah disesuaikan dengan kebutuhan
disabilitas, di antaranya lebar daun pintu dan toilet
khusus.
6) Stadion Tenis Indoor
Untuk akses penonton penyandang disabilitas, sudah
disediakan melalui jalur pintu Barat, di mana sudah ada
penambahan Ramp kecil yang menghubungkan toilet
disabilitas dan area bagi penonton penyandang disabilitas
yang terletak di lantai dasar. Akses ke tribun melalui
koridor sisi barat gedung dan tambahan Rampportable
karena adanya beda elevasi lantai koridor dengan area
pertandingan. Kapasitas untuk kursi roda sebanyak 25
kursi di sisi Barat stadion.
7) Stadion Tenis Outdoor
Tersedia akses bagi penyandang disabilitas menuju kursi
penonton. Kursi penonton disabilitas di lantai dasar
berkapasitas 36 kursi roda, di lantai atas terdapat tribun
VIP berkapasitas 5 kursi roda dan akses VIP ke lantai
atas menggunakan lift di sisi utara.
8) Gedung Basket
Tersedia akses bagi pengunjung penyandang disabilitas
yang bisa diakses melalui pintu utara dan barat. Kursi
penonton berada di sisi area pertandingan yang dapat
diakses dengan mudah oleh penyandang disabilitas.
9) Stadion Madya
Penyandang disabilitas yang ingin menonton, dapat
mengakses tribun secara langsung atau melalui Ramp
pada bagian depan bangunan. Pada lantai dasar tribun
68
barat dan timur, bagi penonton penyandang disabilitas
telah disediakan area untuk menonton pertandingan.
10) Lapangan Softball
Akses pengunjung penyandang disabilitas berada di pintu
barat
11) Lapangan Baseball
Penonton penyandang disabilitas dapat mengakses tribun
secara langsung atau melalui Ramp pada bagian depan
bangunan. Tersedia tribun penonton penyandang
disabilitas di lantai 2 yang dilengkapi akses Ramp.
12) Penataan Kawasan GBK
Tersedia jalur pemandu (guiding block) pada sepanjang
koridor dan trotoar di kawasan GBK. Kawasan GBK juga
dilengkapi toilet bagi penyandang disabilitas.
13) Lapangan Squash
Tersedia akses masuk bagi penyandang disabilitas di
bagian pintu utama yang dapat diakses bersamaan dengan
pintu masuk penonton umum. Tersedia ruang bagi
penonton penyandang disabilitas yang menggunakan
kursi roda berkapasitas 20 orang.
69
70
BAB IV
DATA DAN TEMUAN
Pada bab ini peneliti mendapatkan berbagai data dan
temuan serta informasi mengenai implementasi kebijakan
aksesibilitas bagi penyandang disabilitas di lingkungan Stadion
Utama Gelora Bung Karno Jakarta. Dengan ini, peneliti mengkaji
serta menggabungkan data temuan dari hasil wawancara,
observasi, dan dokumentasi. Dalam bab ini terbagi dalam
beberapa pembahasan yaitu, implementasi dan aksesibilitas bagi
penyandang disabilitas di lingkungan Stadion Utama Gelora
Bung Karno Jakarta.
A. Implementasi Kebijakan Aksesibilitas Bagi Penyandang
Disabilitas di Lingkungan Stadion Utama Gelora Bung
Karno Jakarta
Pada dasarnya, kebijakan aksesibilitas bertujuan untuk
menyamaratakan kesempatan bagi penyandang disabilitas
dalam memanfaatkan akses dan fasilitas, sehingga mereka
mampu berdaya tanpa membeda-bedakan dan mendapatkan
kesempatan yang sama baik itu penyandang disabilitas dengan
non-disabilitas. Karena pada dasarnya dalam menjalankan
aktifitas sehari-hari, manusia pasti membutuhkan akses untuk
memudahkan mobilitas diri agar aktifitasnya terjaga. Seperti
yang dikatakan Ibu Dyah Kumala Sari selaku Kepala Subdivisi
Sekretaris Organisasi Pusat Pengelolaan Komplek Gelora
Bung Karno (PPKGBK) pada wawancara pribadi peneliti
71
dengan beliau yang dilakukan di PPKGBK (28/5/2019), beliau
mengatakan:
“pertama kita lihat dari sisi humanis gitu ya saudara-
saudara kita kan tidak semuanya diberikan
kesempurnaan fisik, jadi saya rasa ini kesamaan
kesempatan, menurut saya siapapun harus boleh
menikmati venue yang dibangun pemerintah.”
72
Jakarta. Hal ini diutarakan beliau dalam wawancara
(28/5/2019) dengan peneliti, berikut penuturannya:
“perumusan kebijakan aksesibilitas bagi disabilitas
sebetulnya kebijakan untuk disabilitas itu kan tentu tidak
turut serta merta ya itu dari pemerintah pusat yang mana
diturunkan kepada semua kementerian bukan hanya
kementerian PUPR. Saya rasa semua sekarang harus
ramah disabilitas kan bukan hanya di stadion sebagai
sarana olahraga tapi saya rasa di tempat-tempat lain juga.
Untuk mengakomodir kebijakan dari pemerintah, PUPR
menerapkan itu kepada GBK bukan hanya di stadion
utama tapi juga di venue lainnya gitu”
73
disampaikan (28/5/2019) oleh Christoffel, berikut
pernyataannya:
“Kalo pendanaan untuk renovasi kemarin kita
menggunakan APBN tahun 2016 sampai 2018.
Pendanaan itu dari pusat. Tapi setelah itu untuk
perawatan, pemeliharaan itu dana GBK sendiri dana
pribadi jadi kita gak di supply sama APBN. Di bawah
naungan Kementerian Sekretariatan Negara melalui
badan layanan umum.” (28/5/2019)
74
berjalan dengan sendirinya gitu bukan hanya di stadion
utama.”
75
“Proses sosialisasinya sebetulnya waktu renovasi itu kan
kita juga sudah banyak melakukan sosialisasi untuk
GBK kita itu melakukan sosialisasi lewat media sosial
GBK, melalui website, foto-foto waktu pas renovasi kita
upload juga gitu ya jadi sedikit banyak sebelum SU itu
jadi kita juga sudah sounding ke masyarakat bahwa ini
kita ramah disabilitas lho gitu kan kita sudah ada Ramp,
sudah ada toilet untuk disabilitas, terus juga sudah ada
kursi untuk disabilitas juga.” (28/5/2019)
76
event-event pertandingan. Jadi mereka sudah tidak
bingung lagi kalo ke sini bagaimana, kalo ke sana
bagaimana. Jadi sudah banyak lah kemajuannya.”
Christoffel juga menambahkan perbedaan sebelum dan
sesudah adanya kebijakan dan fasilitas yang ada di SUGBK,
beliau mengatakan:
“Perbedaannya jauh sih jadi mereka terakomodir, merasa
nyaman, gak merasa di kucilkan, mereka juga dipandang
jadi dari sisi sosialnya mereka juga mau berkunjung ke
tempat kita gitu lho. Kalo dari sisi fasilitas sih
perbedaannya jauh jadi lebih tertata dan lebih
terakomodir untuk mereka” (28/5/2019)
77
diperbaiki misalnya konstruksi pembangunan ataupun
jalan pasti diperbaiki.”
78
masyarakat Indonesia, ternyata dalam penerapan
kebijakan aksesibilitas bagi penyandang disabilitas
masih ada kendala-kendala. Hal ini juga disampaikan
oleh Ibu Dyah dalam wawancara pribadi dengan peneliti
(28/5/2019), berikut pernyataannya:
“Kendalanya memang kadang-kadang kita kan belum
semua masyarakat itu tau Ramp-nya itu ada di mana
gitu kan, terus toilet disabilitas itu ada di mana gitu
kan. Mungkin kendala kita adalah belum lengkapnya
penunjuk arah, oh sudah ada sih tapi belum terlalu
lengkap”
79
SUGBK. Waktu itu kita yang pernah ada sedikit
kendala justru di kawasan, jadi dia mau nyebrang
jalan dari trotoarnya itu Ramp-nya kurang ada gitu
lho jadi bagian landainya itu kurang. Jadi itu sudah
kita kerjakan sudah kita landaikan jadi kursi roda
pun bisa menyebrang jalan dengan baik gitu gak
jomplang. Gitu sih kalo di GBK kendalanya ga
ada.”
80
belum pas, sehingga membuat terkesan sempit.”
(29/5/2019)
81
kursi roda. Lalu juga lift, kita juga apa namanya memang
karena disabilitas itu untuk kursinya diletakkan di paling
bawah gitu kan yaa jadi memang tidak ke atas gitu ya
karena kalo tribun yang di atas itu kan memang untuk
yang normal bukan untuk disabilitas.”
82
1. Ramp
2. Kursi
83
Gambar 4. 3Tribun Penyandang Disabilitas di
84
4. Lift
Gambar 4. 5 Lift Dalam Stadion Utama GBK
5. Guiding Block
Gambar 4. 6 Guiding Block di Lingkungan Stadion Utama
Gelora Bung Karno Jakarta
85
86
BAB V
ANALISIS DATA TEMUAN LAPANGAN
87
yang dilakukan PPKGBK dalam hal implementasi kebijakan
mengacu pada kebijakan pemerintah pusat yang mana
diturunkan kepada kementerian PUPR dalam hal
pembangunan, PUPR sebagai pembuat kebijakan sudah
menerapakan itu kepada PPKGBK untuk mengakomodir
kebijakan dari pemerintah.
Dalam hal melakukan implementasi kebijakan seperti
yang dikatakan oleh George C. Edwards III seperti yang
dituliskan oleh Subarsono (2005, 90-92), implementasi
kebijakan dipengaruhi oleh empat variabel, yaitu: (1)
komunikasi, (2) sumber daya, (3) disposisi, dan (4) struktur
birokrasi. Keempat variabel ini juga saling berhubungan satu
sama lain. Empat variabel ini menajdi tolak ukur akan
implementasi kebijakan yang dilakukan untuk mencapai
tujuan.
Pada analisis peneliti dengan data temuan lapangan yang
ada pada bab IV skripsi ini, peneliti melihat bentuk
komunikasi yang dilakukan oleh pihak PPKGBK dalam
melakukan implementasi kebijakan. Dalam hal ini PPKGBK
sudah melakukan sosialisasi lewat media sosial GBK, melalui
website, foto-foto ketika renovasi, dan juga menyampaikan ke
masyarakat bahwa saat ini GBK sudah ramah disabilitas
dengan menyediakan akses dan fasilitas untuk penyandang
disabilitas di lingkungan Stadion Utama Gelora Bung Karno
Jakarta. Sehingga, kini masyarakat tidak perlu khawatir lagi
jika berkunjung ke SUGBK.
88
Dalam hal ini PPKGBK dalam implementasi kebijakan
melakukan pola komunikasi dua arah kepada pemerintah atau
kementerian dan dengan masyarakat dalam melaksanakan
implementasi kebijakan tersebut. Perlu disadari bahwa
partisipasi msyarakat dalam hal implementasi sangatlah
penting demi tercapainya tujuan kebijakan. Oleh karena itu
PPKGBK juga melakukan sosialisasi kebijakan akesesibiltas
bagi penyandang disabilitas sehingga masyarakat mampu
memanfaatkan akses tersebut dan dapat menjaga serta
merawat apa yang sudah dihasilkan pada kebijakan tersebut.
Melihat pola komunikasi yang dilakukan oleh PPKGBK
mendapat tanggapan atau respon dari masyarakat khususnya
kaum difabel seperti yang di jelaskan pada bab IV, bahwa
seberapa pentingkah pembangunan aksesibilitas bagi
penyandang disabilitas di kawasan SUGBK. Dalam hal ini
masyarakat menilai bahwa, pembangunan aksesibilitas dilihat
dari sisi kemanusiaan dengan memberikan kesempatan yang
sama bagi saudara-saudara kita yang tidak semuanya diberikan
kesempurnaan fisik, sehingga mereka dapat menikmati semua
fasilitas yang dibangun pemerintah lewat pengelolaan yang
dilakukan oleh PPKGBK.
Dalam perumusan kebijakan juga terlihat adanya pola
komunikasi yang dilakukan PPKGBK, perumusan ini
didasarkan pada penyusunan agenda formulasi dan legitimasi
kebijakan, implementasi kebijakan, evaluasi terhadap kinerja
dan dampak kebijakan dan kebijakan baru. Dalam hal ini kita
perlu berkoordinasi dan mengetahui agenda pemerintah,
89
kebijakan, tindakan kebijakan yang mengarah pada kinerja dan
dampak kebijakan kepada pemerintah.
1. Kendala-Kendala yang Dihadapi Penyandang
Disabilitas
Bagi sebagian besar masyarakat dalam melihat
kebijakan aksesibilitas bagi disabilitas sebagai hal yang
lebih positif dalam usaha-usaha memberikan kesempatan
pada penyandang disabilitas yang memiliki hambatan
dalam melakukan aktivitasnya dan memanfaatkan fasilitas
publik dapat setara dengan orang non-disabilitas pada
umumnya. Dalam penerapan kebijakan ini masyarakat
diharapkan mampu memahami serta menjaga fasilitas
disabilitas di lingkungan Stadion Utama Gelora Bung
Karno Jakarta.
Stadion Utama Gelora Bung Karno sebagai salah satu
fasilitas publik yang juga sebagai kebanggaan masyarakat
Indonesia dan juga dapat menjadi contoh standarisasi dalam
penerapan implementasi kebijakan akasesibilitas bagi
penyandang disabilitas, ternyata dalam penerapannya masih
banyak kendala yang dihadapi. Hal tersebut dijelaskan pada
bab IV dalam temuan data lapangan bahwa, masyarakat
belum menyadari fungsi fasilitas-fasilitas yang dikhususkan
untuk penyandang disabilitas contohnya, masyarakat belum
mengetahui fungsi Ramp serta letaknya yang belum tau ada
di mana. Dikarenakan petunjuk arah yang ada di
lingkungan Stadion Utama belum terlalu lengkap.
Seharusnya Ramp sebagai jalur sirkulasi yang memiliki
90
bidang kemiringan tertentu, sebagai alternatif bagi orang
yang tidak dapat menggunakan tangga.
Bukan hanya itu, fasilitas seperti guiding block yang
seharusnya diperuntukkan untuk penyandang disabilitas di
alih fungsikan sebagai parkir kendaraan. Padahal
seharusnya guiding block itu fasilitas yang sangat berfungsi
dan membantu penyandang disabilitas tuna netra dalam
mempermudah aktivitasnya di lingkungan Stadion Utama
Gelora Bung Karno Jakarta. Dan juga untuk kebijakan
aksesibilitas dalam hal fasilitas parkir untuk penyandang
disabilitas saja, belum tersedia.
Hal serupa terjadi pada fasilitas tribun penonton
untuk penyandang disabilitas, mungkin karena fasilitas
tribun atau kursi untuk penyandang disabilitas itu yang
letaknya berada di depan, kendalanya adalah ketika hujan
tribun atau kursi itu terkena cipratan air hujan.
91
Sesuai Undang-Undang No. 8 Tahun 2016 Tentang
Penyandang Disabilitas, yang dimaksud aksesibilitas adalah
kemudahan yang disediakan untuk Penyandang Disabilitas
guna mewujudkan Kesamaan Kesempatan. Dalam Undang-
Undang No. 8 Tahun 2016 pada Bagian Keempat Belas Hak
Aksesibilitas pada pasal 18 disebutkan bahwa, hak
penyandang disabilitas Mendapatkan aksesibilitas untuk
memanfaatkan fasilitas publik; dan Mendaopatkan akomodasi
yang layak sebagai bentuk aksesibilitas bagi individu.
Banyak sekali permasalahan yang dihadapi oleh
penyandang disabilitas baik pada perolehan hak dalam hal
maupun pemenuhan kewajiban sebagai masyarakat
sebagaimana mestinya. Permasalahan yang ada pada
penyandang disabilitas tergantung pada jenis kelaianannya.
Mereka yang mengalami kekurangan penglihatan akan
mengalami kesulitan dalam mobilitas, untuk mengenal
lingkungan dan cara berkomunikasi, oleh karena itu mereka
memerlukan sarana-sarana khusus.
Adapun fasilitas dari hasil kebijakan yang sudah dibuat
oleh PPKGBK untuk penyandang disabilitas dalam
menunjang keberfungsian mereka agar tidak bergantung pada
orang lain di lingkungan Stadion Utama Gelora Bung Karno
Jakarta, berikut merupakan aksesibilitas bagi penyandang
disabilitas yang sudah ada seperti Ramp, kursi, toilet, lift dan
guiding block
Berdasarkan observasi langsung yang peneliti lakukan
di lapangan sesuai pada Gambar satu dan gambar dua
92
ditemukan bahwa penyediaan fasilitas Ramp tersebut sudah
memenuhi persyaratan ukuran standar internasional. Karena
lebar Ramp yang lebih dari cukup untuk kursi roda serta
sudah mempunyai pengaman.
Pada gambar tiga dan gambar empat yang menunjukan
tribun dan kursi untuk penyandang disabilitas sudah disiapkan
khusus. Dengan posisi penempatan satu kosong, satu untuk
pendamping dengan jumlah 200 kursi.
Gambar lima dan gambar 6 adalah gambaran untuk
toilet dan wastafel. Pada observasi lapangan kali ini peneliti
menemukan adanya ketersediaan untuk penyandang disabiltas
mendapatkan fasilitas toilet atau wastafel, toilet juga
merupakan salah satu fasilitas inti yang dibutuhkan bagi
semua orang. Bahkan terlihat bersih, rapih dan juga dengan
ukuran yang cukup untuk digunakan penyandang disabilitas.
Dari gambar tujuh terlihat bahwa penyediaan lift sudah
tergolong aksesibel karena dapat diakses dengan mudah dan
masih aktif dengan baik. Dengan begitu para pengguna
fasilitas tersebut bisa memanfaatkan dengan sebaik-baiknya
dan diharapkan tidak menghambat aktivitas bagi penyandang
disabilitas.
Berdasarkan observasi peneliti pada gambar delapan,
terlihat guiding block atau jalan pemandu merupakan
petunjuk arah yang bermotif bulat dan lurus untuk tanda hati-
hati dengan tekstur timbul yang digunakan untuk aksesibilitas
agar dapat mengetahui jalan arah menuju Stadion Utama
Gelora Bung Karno Jakarta. Fasilitas guiding block sudah
93
terlihat di beberapa lokasi kawasan GBK. Karena guiding
block merupakan fasilitas mendasar yang dibutuhkan untuk
penyandang tuna netra.
94
BAB VI
PENUTUP
A. Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian dan observasi mengenai
implementasi kebijakan aksesibilitas bagi penyandang
disabilitas di lingkungan Stadion Utama Gelora Bung Karno
Jakarta, diketahui bahwa sudah terdapat penerapan kebijakan
aksesibilitas di lingkungan Stadion Utama GBK demi
terwujudnya aksesibilitas yang ramah terhadap penyandang
disabilitas.
Dalam pengimplementasian kebijakan aksesibilitas
bagi penyandang disabilitas di lingkungan Stadion Utama
Gelora Bung Karno Jakarta yang dilakukan oleh Pusat
Pengelolaan Komplek Gelora Bung Karno bisa dimanfaatkan
dengan sebaik-baiknya dan menjaganya bersama-sama.
Karena penyandang disabilitas pada hakikatnya mempunyai
hak yang sama untuk menikmati segala kegiatan di
lingkungan Stadion Utama Gelora Bung Karno Jakarta. Dan
untuk non-disabilitas agar dapat menghormati fasilitas yang
disediakan bagi penyandang disabilitas.
Dalam Undang-Undang No. 8 Tahun 2016 Tentang
Penyandang Disabilitas, yang dimaksud aksesibilitas adalah
kemudahan yang disediakan untuk Penyandang Disabilitas
guna mewujudkan Kesamaan Kesempatan. Yang di
dalamnya membahas tentang hak mendapatkan fasilitas
publik dan mendapatkan akomodasi yang layak sebagai
individu.
95
Untuk aksesibilitas di lingkungan Stadion Utama
GBK sudah dikatakan ramah terhadap penyandang
disabilitas, dengan lingkungan yang luas pengelola sudah
dapat memberikan fasilitas di setiap sudut Stadion Utama.
Bahkan aksesibilitas stadion sudah menjadi standar
internasional yang ramah bagi penyandang disabilitas untuk
melakukan aktivitasnya.
B. Implikasi
Penyediaan aksesibilitas yang disediakan oleh pengelola
Stadion Utama memiliki fokus kepada kesamaan hak kepada
semua masyarakat baik disabilitas maupun non-disabilitas
dalam melakukan kegiatan di lingkungan Stadion Utama
Gelora Bung Karno Jakarta. Bahkan pada penyelenggaraan
Asian Para Games 2018, para atlet dan penonton disabilitas
sudah dapat menikmati kemeriahan acara tersebut.
Implikasi dalam penelitian dapat dijadikan landasan
dalam pembuatan kebijakan serta implementasi aksesibilitas
pada sarana dan prasarana bagi penyandang disabilitas.
Bahkan Stadion Utama GBK dapat dijadikan contoh untuk
stadion-stadion lainnya di seluruh Indonesia dari Sabang-
Merauke agar menyediakan akasesibilitas di kawasan sekitar
Stadion. Karena stadion merupakan salah satu sarana umum
untuk menikmati hiburan diranah olahraga dan tidak terjadi
perbedaan terhadap hak para pengguna fasilitas.
96
C. Saran
Berdasarkan hasil penelitan ini menunjukan bahwa
pengelola kurang melakukan sosialisasi terhadap fungsi dari
fasilitas yang disediakan oleh pihak Pusat Pengelolaan
Komplek Gelor Bung Karno, karena masih banyak
masyarakat yang kurang memahami fungsi dari fasilitas
penyandang disabilitas, maka dari itu pihak pengelola
diharapkan mampu meningkatkan sosialisasi terhadap
penggunaan akasesibilitas sepenuhnya agar dapat
dimanfaatkan sesuai dengan tujuan yang sebenarnya.
Untuk itu peneliti memberikan saran dan harapan
dengan informasi yang efektif kepada pengelola, masyarakat
dan penyandang disabilitas, agar dapat memanfaatkan dan
menjaga sesuai fungsinya masing-masing. Adapun saran yang
diberikan antara lain:
1. seharusnya pihak pengelola memperhatikan terkait
sosialisasi terhadap fungsi fasilitas yang tersedia, karena
masih banyak rambu-rambu atau petunjuk arah yang
masih belum dipahami para pengguna fasilitas
penyandang disabilitas dan diharapkan melakukan
sosialisasi kelapisan masyarakat. Bahkan guiding block
yang seharusnya diperuntukkan untuk teman-teman
disabilitas, tetapi digunakan untuk parkir kendaraan.
Dengan begitu pihak pengelola masih belum tegas
terhadap peraturan fungsi dari fasilitas penyandang
disabilitas.
97
Maka dari itru yang paling penting, pihak pengelola
serta masyarakat harus saling menjaga dan merawat
fasilitas-fasilitas yang sudah dibangun. Karena dengan
menjaga, sama saja kita menghargai hak-hak mereka
untuk mendapatkan kesamaan kesempatan di berbagai
aktivitasnya.
2. Sebaiknya penyediaan fasilitas beserta fungsi yang
dilakukan pihak pengelola harus dipahami oleh kalangan
masyarakat umum. Agar masyarakat non-disabilitas tidak
mengambil hak-hak aksesibilitas para penyandang
disabilitas demi tercapainya tujuan fungsi yang
sebenarnya, karena dapat dikatakan masyarakat juga
berperan agar terjaganya fasilitas dan aksesibilitas
tersebut.
3. Seharusnya teman-teman penyandang disabilitas bisa
menjaga fasilitas dan aksesibilitas yang telah tersedia
karena penyandang disabilitas sendiri selaku pengguna
dari fasilitas yang tersedia.
98
DAFTAR PUSTAKA
99
Suharto, Edi. 2005. Analisis Kebijakan Publik: Panduan
Praktis Mengkaji Masalah dan Kebijakan Sosial. Bandung:
Alfabeta
Suharto, Edi. 2013. Kebijakan Sosial Sebagai Kebijakan
Publik. Bandung: Alfabeta
Undang-Undang RI No. 8 Tahun 2016 Tentang
Penyandang Disabilitas
WM, Mujimin. 2007. “Penyediaan Fasilitas Publik Yang
Manusiawi Bagi Aksesibilitas Difabel”, Dinamika Pendidikan,
No. 1, h 65
https://gbk.id/
https://m.brilio.net/creator/begini-aksesibilitas-bagi-
penyandang-disabilitas-di-gelora-bung-karno-6cf57f.html
100
Lampiran 1
Transkip Wawancara Mendalam Untuk Implementasi
Kebijakan Aksesibilitas Bagi Penyandang Disabilitas di
Lingkungan Stadion Utama Gelora Bung Karno Jakarta
101
yang di atas itu kan memang untuk yang normal bukan untuk
difabel.
102
perlu berkoordinasi dan mengetahui agenda pemerintah,
kebijakan, tindakan kebijakan yang mengarah pada kinerja
dan dampak kebijakan kepada pemerintah.
103
6. SU apa sih mba?
SU itu Stadion Utama. Jadi kalo kamu bicara tentang
stadion GBK itu salah. Jadi stadion sepak bola itu adalah
namanya Stadion Utama. Kalo yang kamu sebut GBK itu
adalah all area. 279 hektar. Kamu bilang sebut GBK, yang
namanya Kementerian Pemuda dan Olahraga itu area GBK,
terus Manggala Wana Bakti itu area GBK, MPR-DPR, TVRI,
Plaza Senayan, Senayan City itu area GBK. Jadi dari area 279
hektar itu yang dipake sarana olahraga itu 52%-nya gitu. Jadi
kalo kamu sebut sepak bola itu Stadion Utama GBK, Stadion
Aquatic GBK, Stadion Madya GBK, Lapangan ABC GBK
gitu. Jadi memang ini yang orang-orang suka salah gitu ya
dan saya selalu meluruskan temen-temen kayak kamu gitu
kan temen-temen mahasiswa taunya itu Stadion GBK..
stadion yang mana.. ada Stadion Madya, ada Stadion Aquatic.
Kalo ada orang yang sudah tau semua menyebutnya SU GBK
(Stadion Utama Gelora Bung Karno)
104
karena jadi pengunjung itu tidak terbatas jadi mereka
disabilitas atau tidak mereka bisa kita akomodir.
105
11. Bagaimana perencanaan dalam pembangunan fasilitas
bagi penyandang disabilitas?
Tadi ini terkait dengan kebijakan ini ya karena itu kan
dari pemerintah jadi memang dari PUPR dan GBK kita
diskusi tentang itu ya tapi memang lebih banyak eksekutornya
itu dan perencanaannya itu dan arsitek-arsitek juga dilibatkan
karena kan Stadion Utama ini merupakan cagar budaya jadi
kita gak bisa sembarangan merombak, menghancurkan gitu
ya jadi memang banyak bagian yang harus dipertahankan.
Jadi perencanaan untuk pemabangunan ini memang diskusi
dari arsitek terus tim ahli cagar budaya, tim arsitek dan
PUPR.
106
15. Siapa saja yang terlibat dalam pembangunan fasilitas
tersebut?
Kalo pembangunan real fisiknya itu tentu PUPR gitu
kan ya, tapi kalo misalnya untuk perencanaan dan
perancangan tadi saya bilang tim arsitek dan tim cagar
budaya.
107
untuk ke bangku penonton tidak ada ya tapi lift itu bisa masuk
kursi roda.
20.
Seberapa penting pembangunan aksesibilitas bagi
penyandang disabilitas?
Harus ya menurut saya ini pertama kita lihat dari sisi
humanis gitu ya saudara-saudara kita kan tidak semuanya
diberikan kesempurnaan fisik jadi saya rasa ini kesamaan
kesempatan, menurut saya siapapun harus boleh menikmati
venue yang dibangun pemerintah.
22. Kalo gak ada, berarti mereka yang berkursi roda itu
nontonnya di mana?
Gak ada yang masuk, jadi mereka memang hanya di
ring road stadion utama saja.
108
Lampiran 2
Transkip Wawancara Mendalam Untuk Implementasi
Kebijakan Aksesibilitas Bagi Penyandang Disabilitas di
Lingkungan Stadion Utama Gelora Bung Karno Jakarta
109
itu dari Undang-Undang dan juga dari Kementerian PUPR.
Jadi renovasi kita ini juga disupport Kementerian PUPR jadi
yang membangun dan merenovasi venue-venue kita ini
semuanya PUPR.
110
dari guiding block tadi dan juga mulai memperhatikan Ramp-
Ramp yang dilalui oleh mereka. Dulunya sih karena memamg
belum kepikiran untuk mereka sekarang sudah dibikin Ramp-
Ramp untuk akses mereka yang dulunya belum ada untuk
mencantumkan kebutuhan disabilitas sekarang sudah ada,
terus untuk fasilitas toilet yang dulunya belum ada, sekarang
sudah diakomodir untul toilet disabilitas.
111
6. Bagaimana dampak adanya sarana dan prasarana
disabilitas di lingkungan SUGBK?
Pertama untuk pengunjung disabilitas mulai banyak
yang datang ke sini. Jadi dengan adanya itu penyandang
disabilitas terakomodir, mereka senang juga dong dengan
adanya fasilitas itu, terus kita juga melihat kebutuhan mereka
jadi ya mulai banyak lah kalo ada event-event pertandingan.
Jadi mereka sudah tidak bingung lagi kalo kesini bagaimana,
kalo ke sana bagaimana. Jadi sudah banyak lah kemajuannya.
112
perbaiki. Pertama misalnya ada hal kecil yg bisa diperbaiki
misalnya kontruksi pembangunan ataupun jalan pasti
diperbaiki.
113
12. Seberapa penting pembangunan aksesibilitas bagi
penyandang disabilitas?
Kenapa harus ada pembangunan, karena ini konteksnya
untuk Asian Games dan Paragames jadi kita membangun itu
juga untuk mereka.
114
Lampiran 3
Transkip Wawancara Mendalam Untuk Implementasi
Kebijakan Aksesibilitas Bagi Penyandang Disabilitas di
Lingkungan Stadion Utama Gelora Bung Karno Jakarta
115
khususkan oleh kaum difabel, seperti rampyang seharusnya
bisa di maksimalkan buat memudahkan aksesibilitas kaum
difabel akan tetapi fasilitas tersebut kadang dijadikan lahan
parkir dan lahan jualan pedagang kaki lima.
116
sangat baik semenjak persiapan Asian Games dan Asian
Para Games.
117