Anda di halaman 1dari 40

LAPORAN KASUS

“Penyakit Paru Obstruksi Kronik”

Pembimbing :

DR. dr. Muhammad Fachri, Sp.P., FAPSR., FISR

Oleh :

Ari Aripin

2015730014

KEPANITERAAN KLINIK ILMU PENYAKIT DALAM

RUMAH SAKIT ISLAM JAKARTA SUKAPURA

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH JAKARTA

2020
KATA PENGANTAR

Assalammu’alaikum wr wb,
Dengan memanjatkan puja dan puji syukur ke hadirat Allah SWT Tuhan Yang Maha
Esa karena atas segala limpahan rahmat dan karunia-Nya kami dapat menyelesaikan
penulisan laporan kasus mengenai PPOK
Pada kesempatan ini penulis menyampaikan pernghargaan dan terima kasih yang
sebesar-besarnya kepada semua pihak yang telah memberikan bantuan dan arahan demi
terselesaikannya laporan kasus ini khususnya kepada Dr. dr. Muhammad Fachri, Sp.P,
FAPSR., FISR selaku pembibing utama.
Penulis sangat menyadari dalam proses penulisan laporan kasus ini masih jauh dari
kesempurnaan baik materi maupun metode penulisan. Namun demikian, penulis telah
mengupayakan segala kemampuan dan pengetahuan yang dimiliki. Penulis dengan rendah
hati dan dengan tangan terbuka menerima segala bentuk masukan, saran dan usulan guna
menyempurnakan laporan kasus ini.
Kami berharap semoga laporan kasus ini dapat bermanfaat bagi siapapun yang
membacanya.
Wassalammu’alaikum wr wb.

Jakarta, November 2020

Ari Aripin

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR................................................................................................................i
DAFTAR ISI..............................................................................................................................ii
BAB I.........................................................................................................................................3
BAB II........................................................................................................................................8
DAFTAR PUSTAKA..............................................................................................................40

ii
BAB I
STATUS PASIEN
2.1 Identitas Pasien
Nama : Tn. K
Usia : 60 tahun
Jenis Kelamin : Laki-laki
Pekerjaan : Pasien sudah tidak bekerja
Agama : Islam
Status : Menikah
Alamat : Cilincing, Jakarta Utara
Masuk RS : 13-11-2020
No. RM : 00-21-36-**

Anamnesis : dilakukan autoanamnesis pada pasien tanggal 11 November 2020

2.2 Anamnesis
Keluhan Utama
Sesak sejak 2 hari SMRS

Riwayat Penyakit Sekarang


Pasien datang ke Poliklinik Paru RSIJ Sukapura dengan keluhan sesak 2 hari
SMRS. Sesak dirasakan terus menerus dan tidak berkurang saat pasien beristirahat.
Pasien memiliki Riwayat sesak napas sejak 2 tahun yang lalu dan dirasakan semakini
memberat. Pasien juga mengeluhkan batuk dengan dahak berwarna putih sejak 2 tahun
SMRS yang juga dirasakan semakin sering dan produktif sejak 2 hari SMRS. Bunyi
ngik saat batuk (-), darah (-), batuk terutama pada malam dan dini hari (-). Sesak
timbul terutama setelah aktivitas, sesak berkurang setelah pasien beristirahat. Pasien
menggunakan 1 bantal saat tidur. Pasien menyangkal adanya demam, nyeri dada,
batuk darah, pusing dan terbangun di malam hari karena sesak. Keluhan penurunan
berat badan drastis disangkal.

3
Keluhan mual dan muntah (-), demam (-), menggigil (-), penurunan berat
badan (-), keringat malam (-), nyeri menelan (-), buang air besar dan buang air kecil
tidak ada masalah.

Riwayat Penyakit Dahulu


 Riwayat sesak napas yang dirasakan semakin berat sejak 2 tahun yang lalu
 Riwayat TB Paru pada tahun 2010, dengan pengobatan tuntas selama 9 bulan.
 Riwayat DM dan hipertensi disangkal

Riwayat Penyakit Keluarga


Pasien tidak mengetahui ada riwayat keluhan serupa pada keluarga (-). Riwayat
penyakit jantung, hipertensi dan diabetes mellitus di sangkal.

Riwayat Pengobatan
Pasien sebelumnya mengkonsumsi salbutamol dan teofilin jika keluhan sesak
napas semakin berat dan mengatakan sesak napas sedikit mengalami perbaikan
setelah mengkonsumsi kedua obat.

Riwayat Alergi
Disangkal adanya alergi cuaca, debu, makanan dan obat-obatan

Riwayat Psikososial
Pasien sejak umur 30-50 tahun adalah seorang supir bus malam dari Jakarta
ke Surabaya dan merupakan perokok aktif sejak usia 25 tahun, dalam sehari pasien
dapat menghabiskan sekitar 1 bungkus rokok. Pasien sudah tidak merokok lagi sejak
usia 50 tahun Ketika didiagnosa tb paru. Pasien tidak mengkonsumsi minuman
beralkohol.

4
2.3 Pemeriksaan Fisik
Keadaan umum : Tampak sakit ringan
Kesadaran : Compos mentis
Tanda vital
Tekanan darah : 130/80 mmHg
Nadi : 84x/menit
Pernafasan : 22x/menit
Suhu : 36,6oC

Status gizi
Berat badan : 154 cm
Tinggi badan : 54 kg
IMT : 22,7 (normoweight)

Status Generalisata
Kepala : normocephal, deformitas (-)

Mata : pupil bulat isokor, refleks cahaya (+/+) sklera ikterik

(-/-), konjungtiva anemis (-/-)

Hidung : deviasi septum (-/-), sekret (-/-)

Telinga : normotia, sekret (-/-)

Mulut : bibir kering (-), sianosis (-), pucat (-)

Leher : pembesaran KGB dan tiroid (-)

Thorax :

Paru-paru

- Inspeksi : pergerakan dada simetris, retraksi dinding dada (-)


- Palpasi : tidak ada pergerakan dada yang tertinggal,
vokal fremitus sama simetris bilateral.

5
- Perkusi : sonor di seluruh lapangan paru
- Auskultasi : vesikular (+/+) normal, Ronkhi (-/-), Wheezing (+/+)

Jantung :

- Inspeksi : ictus cordis tidak tampak


- Palpasi : Ictus cordis tidak teraba
- Perkusi :
o Batas atas setinggi ICS II di line parasternalis dextra
o Batas jantung kanan ICS IV Linea parasternalis dextra
o Batas jantung kiri ICS V Linea midclavicula sinistra
- Auskultasi : BJ I dan II murni regular, Murmur (-), gallops (-)

Abdomen :

- Inspeksi : distensi abdomen (-), datar, scar (-)


- Auskultasi : Bising usus (+) normal.
- Perkusi : Timpani di seluruh kuadran abdomen
- Palpasi : Supel, Nyeri tekan (-), hepatomegali (-), spleenomegali (-)

Ekstremitas atas : akral hangat, CRT < 2 detik, edema (-/-), sianosis (-/-)

Ekstremitas bawah : akral hangat, CRT < 2 detik, edema (-/-), sianosis (-/-)

6
2.4 Pemeriksaan penunjang
Sprirometri

7
2.5 Resume
Paien laki-laki usia 60 tahun datang ke Poliklinik Paru RSIJ Sukapura dengan
keluhan sesak 2 hari SMRS. Sesak dirasakan terus menerus dan tidak berkurang saat
pasien beristirahat. Pasien memiliki Riwayat sesak napas sejak 2 tahun yang lalu dan
dirasakan semakini memberat. Pasien juga mengeluhkan batuk dengan dahak
berwarna putih sejak 2 tahun SMRS yang juga dirasakan semakin sering dan produktif
sejak 2 hari SMRS. Riwayat sesak napas yang dirasakan semakin berat sejak 2 tahun
yang lalu, Riwayat TB Paru pada tahun 2010, dengan pengobatan tuntas selama 9
bulan. Pasien sejak umur 30-50 tahun adalah seorang supir bus malam dari Jakarta ke
Surabaya dan merupakan perokok aktif sejak usia 25 tahun, dalam sehari pasien dapat
menghabiskan sekitar 1 bungkus rokok. Pasien sudah tidak merokok lagi sejak usia
50 tahun Ketika didiagnosa tb paru
Pada pemeriksaan fisik didapatkan TD: 130/80 mmHg, Nadi: 84x/menit, RR:
22x/menit, Suhu: 36,6 C. dan pemeriksaan Spirometri didapatkan FEV1  50,55%.

2.6 Daftar masalah


 Penyakit Paru Obstruksi Kronik

2.7 Assesment
- S : Sesak 2 hari SMRS terus menerus dan batuk berdahak berwarna
Putih.

- O :

- Nadi : 84x/menit, kuat angkat, isi cukup, reguler.


- Pernapasan : 22 x/menit

8
- Suhu : 36,6 °C
- Tekanan Darah : 130/80 mmHg
- Spirometri : FEV1  50,55%
- A : Penyakit Paru Obstruksi Kronik

- P :

- Medikamentosa
- Pemberian ICS
- Pemberian Bronkodilator & SABA
- Nonmedikamentosa
- Rutin control 1 bulan sekali
- Konsumsi obat sesuai anjuran dokter

2.8 Prognosis
Ad vitam : Dubia ad Malam
Ad fungsionam : Dubia ad Malam
Ad sanasionam : Dubia ad Malam

9
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. Definisi

Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK), umumnya dapat dicegah dan


penyakit yang dapat diobati, ditandai dengan keterbatasan aliran udara yang tidak
sepenuhnya reversible, bersifat progresif dan berhubungan dengan respons
inflamasi paru terhadap partikel atau gas yang beracun/berbahaya.

B. Epidemiologi

Di Indonesia tidak ada data yang akurat tentang kekerapan PPOK. Pada
Survai Kesehatan RumahTangga (SKRT) 1986 asma, bronkitis kronik dan
emfisema menduduki peringkat ke - 5 sebagai penyebab kesakitan terbanyak dari
10 penyebab kesakitan utama. SKRT Depkes RI 1992 menunjukkan angka
kematian karena asma, bronkitis kronik dan emfisema menduduki peringkat ke - 6
dari 10 penyebab tersering kematian di Indonesia PPOK merupakan salah satu
penyakit tidak menular utama yang agak jarang terekposekarena kurangnya
informasi yang diberikan.
Di Amerika Serikat data tahun 2007 menunjukkan bahwa prevalensi PPOK
sebesar 10,1% (SE 4,8) pada laki-laki sebesar 11,8% (SE 7,9) danuntuk
perempuan 8,5% (SE 5,8). Sedangkan mortalitas menduduki peringkat keempat
penyebab terbanyak yaitu 18,6 per 100.000 penduduk pada tahun 1991 dan angka
kematian ini meningkat 32,9% dari tahun 1979 sampai 1991. Sedangkan
prevalensi PPOK di negara-negara Asia Tenggara diperkirakan 6,3% dengan
prevalensi tertinggi terdapat di Vietnam (6,7%) dan China (6,5%).

C. Faktor Risiko

Beberapa studi longitudinal telah mengikuti populasi hingga 20 tahun,


termasuk periode pra-dan perinatal yang penting dalam membentuk masa depan

10
individu yang berisiko PPOK.
1. Asap rokok

Kebiasaan merokok adalah satu-satunya penyebab kausal yang terpenting,


jauh lebih penting dari faktor penyebab lainnya. Asap rokok mempunyai
prevalensi yang tinggi sebagai penyebab gejala respirasi dan gangguan fungsi
paru. Dari beberapa penelitian dilaporkan bahwa terdapat rerata penurunan
VEP1.

Angka kematian pada perokok mempunyai nilai yang bermakna


dibandingkan dengan bukan perokok. Perokok dengan pipa dan cerutu
mempunyai morbiditi dan mortaliti lebih tinggi dibandingkan bukan perokok,
tetapi masih lebih rendah jika dibandingkan dengan perokok sigaret. Tipe lain
dari jenis rokok yang populer di berbagai negara tidak dilaporkan.
Risiko PPOK pada perokok tergantung dari dosis rokok yang dihisap, usia
mulai merokok, jumlah batang rokok pertahun dan lamanya merokok ( Indeks
Brinkman ) Tidak semua perokok berkembang menjadi PPOK secara klinis,
karena dipengaruhi oleh faktor risiko genetik setiap individu. Perokok pasif
(atau dikenal sebagai environmental tobacco smoke- ETS) dapat juga memberi
kontribusi terjadinya gejala respirasi dan PPOK, dikarenakan terjadinya
peningkatan jumlah inhalasi pertikel dan gas. Merokok selama kehamilan dapat
berisiko terhadap janin, mempengaruhi tumbuh kembang paru di uterus dan
dapat menurunkan sistem imun awal.
Dalam pencatatan riwayat merokok perlu diperhatikan :
a. Riwayat merokok
- Perokok aktif
- Perokok pasif
- Bekas perokok
b. Derajat berat merokok dengan Indeks Brinkman (IB), yaitu perkalian jumlah
rata-rata batang rokok yang dihisap sehari dikalikan lama merokok dalam
tahun:
- Ringan : 0-200
- Sedang : 200-600

11
- Berat : > 600
2. Polusi udara
Berbagai macam partike dan gas yang terdapat di udara sekitar dapat
menjadi penyebab terjadinya polusi udara. Ukuran dan macam partikel akan
memberikan efek yang berbeda terhadap timbulnya dan beratnya PPOK. Agar
lebih mudah mengidentifikasi partikel penyebab, polusi udara terbagi menjadi :
• Polusi di dalam ruangan
- Asap rokok
- Asap kompor
• Polusi di luar ruangan
- Gas buang kendaraan bermotor
- Debu jalanan
• Polusi tempat kerja (bahan kimia, zat iritasi, gas beracun)
3. Stress Oksidatif

Paru selalu terpajan oleh oksidan endogen dan eksogen. Oksidan endogen
timbul dari sel fagosit dan tipe sel lainnya sedangkan oksidan eksogen dari
polutan dan asap rokok. Oksidan intraseluler (endogen) seperti derivat elektron
mitokondria transpor termasuk dalam mekanisme seluler signaling pathway.
Sel paru dilindungi oleh oxydative chalenge yang berkembag secara sistem
enzimatik atau non enzimatik.
Ketika keseimbangan antara oksidan dan antioksidan berubah bentuk,
misalnya ekses oksidan dan atau deplesi antioksidan akan menimbulkan stres
oksidatif. Stres oksidatif tidak hanya menimbulkan efek kerusakan pada paru
tetapi juga menimbulkan
aktifitas molekuler sebagai awal inflamasi paru.
Jadi, ketidakseimbangan antara oksidan dan anti oksidan memegang peranan
penting pada patogenesi PPOK.
4. Infeksi saluran napas bawah berulang
Infeksi virus dan bakteri berperan dalam patogenesis dan progresifitas
PPOK. Kolonisasi bakteri menyebabkan inflamasi jalan napas, berperan secara
bermakna menimbulkan eksaserbasi. Infeksi saluran napas berat pada anak
akan menyebabkan penurunan fungsi paru dan meningkatkan gejala respirasi

12
pada saat dewasa.
Terdapat beberapa kemungkinan yang dapat menjelaskan penyebab
keadaaan ini, karena seringnya kejadian infeksi berat pada anak sebagai
penyebab dasar timbulnya hiperesponsif jalan napas yang merupakan faktor
risiko pada PPOK. Pengaruh berat badan lahir rendah akan meningkatkan
infeksi viral yang juga merupakan faktor risiko PPOK.

5. Social ekonomi
Sosial ekonomi sebagai faktor risiko terjadinya PPOK belum dapat
dijelaskan secara pasti. Pajanan polusi di dalam dan luar ruangan, pemukinan
yang padat, nutrisi yang jelek, dan faktor lain yang berhibungan dengan status
sosial ekonomi kemungkinan dapat menjelaskan hal ini.
Peranan nutrisi sebagai faktor risiko tersendiri penyebab berkembangnya
PPOK belum jelas. Malnutrisi dan penurunan berat badan dapat menurunkan
kekuatan dan ketahanan otot respirasi, karena penurunan masa otot dan
kekuatan serabut otot. Kelaparan dan status anabolik/katabolik berkembang
menjadi empisema pada percobaan binatang. CT scan paru perempuan dengan
kekurangan nutrisi akibat anoreksia nervosa menunjukkan seperti empisema.
6. Pertumbuhan Paru
Pertumbuhan paru ini berhubungan dengan proses selama kehamilan,
kelahiran, dan pajanan waktu kecil. Kecepatan maksimal penurunan fungsi
paru seseorang adalah risiko untuk terjadinya PPOK. Studi metaanalias
menyatakan bahwa berat lahir mempengaruhi nilai VEP1 pada masa anak.
7. Asma
Asma kemungkinan sebagai faktor risiko terjadinya PPOK, walaupun
belum dapat disimpulkan. Pada laporan “The Tucson Epidemiological Study”
didapatkan bahwa orang dengan asma 12 kali lebih tinggi risiko terkena PPOK
daripada bukan asma meskipun telah berhenti merokok. Penelitian lain 20%
dari asma akan berkembang menjadi PPOK dengan ditemukannya obstruksi
jalan napas ireversibel.
8. Gen
PPOK adalah penyakit poligenik dan contoh klasik dari interaksi gen-
lingkungan. Faktor risiko genetik yang paling sering terjadi adalah kekurangan

13
alpha-1 antitrypsin sebagai inhibitor dari protease serin. Sifat resesif ini jarang,
paling sering dijumpai pada individu origin Eropa Utara. Ditemukan pada usia
muda dengan kelainan emphysema panlobular dengan penurunan fungsi paru
yang terjadi baik pada perokok atau bukan perokok dengan kekurangan alpha-1
antitripsin yang berat. Banyak variasi individu dalam hal beratnya emfisema
dan penurunan fungsi paru.

Meskipun kekurangan -1 antitrypsin yang hanya sebagian kecil dari


populasi di dunia, hal ini menggambarkan adanya interaksi antara gen dan
pajanan lingkungan yang menyebabkan PPOK. Gambaran di atas menjelaskan
bagaimana faktor risiko genetik berkontribusi terhadap timbulnya PPOK.
Risiko obstruksi aliran udara yang di turunkan secara genetik telah diteliti
pada perokok yang mempunyai keluarga dengan PPOK berat. Hasil penelitian
menunjukkan keterkaitan bahwa faktor genetic mempengaruhi kerentanan
timbulnya PPOK. Telah diidentifikasi kromosom 2q7 terlibat dalam
patogenesis PPOK, termasuk TGF-1, mEPHX1dan TNF. Gen-gen di atas
banyak yang belum pasti kecuali kekurangan alpha 1 antitrypsin.
9. Bronchitis Kronis
Pada studi yang dilakukan oleh Fletcher dkk, bronchitis kronik tidak
dikaitkan dengan penurunan percepatan fungsi paru. Namun, pada penelitian
selanjutnya telah mengamati hubungan antara hipersekresi mucus dan peningkatan
FEV1, penurunan pada usia dewasa muda yang merokok, bronchitis kronik
dikaitkan dengan kemungkinan peningkatan terjadinya PPOK. Bronkitis kronik
juga dikaitkan dengan peningkatan risiko dalam keparahan eksaserbasi PPOK.
10. Infeksi
Riwayat sejarah infeksi pernapasan berat dikaitkan dengan berkurangnya
fungsi paru-paru. Kerentanan terhadap infeksi berperan dalam eksaserbasi PPOK
tetapi efek pada perkembangan penyakit kurang jelas. Ada bukti bahwa infeksi
HIV mempercepat timbulnya emfisema yang berhubungan dengan merokok dan
PPOK, tuberculosis juga telah diidentifikasi sebagai factor risiko PPOK. Selain
tuberculosis merupakan difential diagnosis PPOK dan pontensi komorbiditas.

14
D. Klasifikasi PPOK
Berdasarkan GOLD. Global Strategy for the Diagnosis, Management,
and Prevention of COPD. (Report 2020):

E. Patogenesis dan Patologi


Patogenesis

Inflamasi saluran napas pasien PPOK merupakan amplifikasi dari respon


inflamasi normal akibat iritasi kronis seperti asap rokok. Mekanisme untuk
amplifikasi ini belum dimengerti, kemungkinan disebabkan faktor genetik.
Beberapa pasien menderita PPOK tanpa merokok, respon inflamasi pada pasien ini
belum diketahui. Inflamasi paru diperberat oleh stres oksidatif dan kelebihan
proteinase. Semua mekanisme ini mengarah pada karakteristik perubahan patologis
PPOK.

Sel inflamasi PPOK ditandai dengan pola tertentu peradangan yang


melibatkan neutrofil, makrofag, dan limfosit. Sel-sel ini melepaskan mediator
inflamasi dan berinteraksi dengan sel-sel struktural dalam saluran udara dan
parenkim paru-paru.
Hiperinflasi dinamik terutama berhubungan dengan peningkatan aktivitas otot
pernapasan, mungkin sangat berpengaruh terhadap tampilan kardiovaskular.
Hiperinflasi paru akan meningkatkan after load pada ventrikel kanan oleh karena
peningkatan efek kompresi langsung terhadap pembuluh darah paru.

15
Gambar 1. Pathogenesis PPOK (Dikutip dari GOLD 2010)

Stres oksidatif
Stres oksidatif dapat menjadi mekanisme penguatan penting dalam PPOK.
Biomarker stres oksidatif (misalnya, peroksida hidrogen, 8-isoprostan) meningkat
dalam dahak, kondensat hembusan napas dan sirkulasi sistemik pada pasien PPOK.
Stres oksidatif lebih lanjut meningkat pada eksaserbasi.
Oksidan yang dihasilkan oleh asap rokok dan partikulat yang dihirup lainnya
yang dilepaskan dari sel-sel inflamasi ( seperti makrofag dan neutrophil )
diaktifkan. Mungkin juga ada penurunan antioksidan endogen pada pasien PPOK.

Stres oksidatif memiliki beberapa konsekuensi yang merugikan di


paru,termasuk aktivasi gen inflamasi, inaktivasi antiproteases, stimulasi sekresi
lendir, dan stimulasi eksudasi plasma meningkat. Banyak dari efek samping
dimediasi oleh peroxynitrite, yang dibentuk melalui interaksi antara anion
superoksida dan oksida nitrat. Oksida nitrat yang dihasilkan oleh sintase oksida
nitrat induktif, terdapat pada saluran udara perifer dan parenkim paru pasien
PPOK. Stres oksidatif juga dapat mencakup pengurangan dalam kegiatan histone
deacetylase pada jaringan paru dari pasien PPOK, yang dapat menyebabkan
peningkatan ekspresi gen inflamasi dan juga pengurangan tindakan anti- inflamasi
glukokortikosteroid.

16
Patologi
Perubahan patologis karakteristik PPOK ditemukan di saluran napas
proksimal, saluran napas perifer, parenkim dan vascular paru. Perubahan patologis
akibat inflamasi kronis terjadi karena peningkatan sel inflamasi kronis di berbagai
bagian paru yang menimbulkan kerusakan dan perubahan struktural akibat cedera
dan perbaikan berulang. Secara umum, perubahan inflamasi dan struktural saluran
napas akan tetap berlangsung sesuai dengan beratnya penyakit walaupun sudah
berhenti merokok.

Tabel 1. Dikutip dari PDPI 2011

Patofisiologi
Penurunan FEV1 yang terjadi disebabkan peradangan dan penyempitan
saluran napas perifer, sementara transfer gas yang menurun disebabkan kerusakan
parenkim yang terjadi pada emphysema.
Keterbatasan Aliran Udara dan Air Trapping
Tingkat peradangan, fibrosis, dan eksudat luminal dalam saluran udara kecil
berkorelasi dengan penurunan FEV1 dan rasio FEV1/FVC. Penurunan FEV1
merupakan gejala yang khas pada PPOK, obstruksi jalan napas perifer ini
menyebabkan udara terperangkap dan mengakibatkan hiperinflasi.

17
Meskipun emfisema lebih dikaitkan dengan kelainan pertukaran gas
dibandingkan dengan FEV1 berkurang, hal ini berkontribusi juga pada udara yang
terperangkap yang terutama terjadi pada alveolar. Ataupun saluran napas kecil akan
menjadi hancur ketika penyakit menjadi lebih parah.
Hiperinflasi mengurangi kapasitas inspirasi seperti peningkatan kapasitas
residual fungsional, khususnya selama latihan (bila kelainan ini dikenal sebagai
hiperinflasi dinamis), yang terlihat sebagai dyspnea dan keterbatasan kapasitas
latihan. Hiperinflasi yang berkembang pada awal penyakit merupakan mekanisme
utama timbulnya dyspnea pada aktivitas.
Bronkodilator yang bekerja pada saluran napas perifer mengurangi perangkap
udara, sehingga mengurangi volume paru residu dan gejala serta meeningkatkan dan
kapasitas berolahraga.
Mekanisme Pertukaran Gas
Ketidak seimbangan pertukaran gas menyebabkan kelainan hipoksemia dan
hypercapnia yang terjadi karena beberapa mekanisme. Secara umum, pertukaran
gasakan memburuk selama penyakit berlangsung. Tingkat keparahan emfisema
berkorelasi dengan PO2 arteri dan tanda lain dari ketidakseimbangan ventilasi-
perfusi (VA / Q).
Hipersekresi lendir

Hipersekresi lendir, yang mengakibatkan batuk produktif kronis, adalah


gambaran dari bronkitis kronis tidak selalu dikaitkan dengan keterbatasan aliran
udara. Sebaliknya, tidak semua pasien dengan PPOK memiliki gejala hipersekresi
lendir. Hal ini disebabkan karena metaplasia mukosa yang meningkatkan jumlah sel
goblet dan membesarnya kelenjar submukosa sebagai respons terhadap iritasi kronis
saluran napas oleh asap rokok atau agen berbahaya lainnya. Beberapa mediator dan
protease merangsang hipersekresi lendir melalui aktivasi reseptor faktor EGFR.
Hipertensi Paru
Hipertensi paru ringan sampai sedang mungkin terjadi pada PPOK akibat
proses vasokonstriksi yang disebabkan hipoksia arteri kecil pada paru yang
kemudian mengakibatkan perubahan struktural yang meliputi hiperplasia intimal dan
kemudian hipertrofi otot polos / hiperplasia.

18
Respon inflamasi dalam pembuluh darah sama dengan yang terlihat di
saluran udara dengan bukti terlihatnya disfungsi sel endotel. Hilangnya kapiler paru
pada emfisema juga dapat menyebabkan peningkatan tekanan dalam sirkulasi paru
sehingga terjadi. pulmonary hypertension yang bersifat progresif dapat
mengakibatkan hipertrofi ventrikel kanan dan akhirnya gagal jantung kanan (cor
pulmonale).

Eksaserbasi

Eksaserbasi merupakan amplifikasi lebih lanjut dari respon inflamasi dalam


saluran napas pasien PPOK, dapat dipicu oleh infeksi bakteri atau virus atau oleh
polusi lingkungan. Mekanisme inflamasi yang mengakibatkan eksaserbasi PPOK,
masih banyak yang belum diketahui. Dalam eksaserbasi ringan dan sedang terdapat
peningkatan neutrophil, beberapa studi lainnya juga menemukan eosinofil dalam dahak
dan dinding saluran napas. Hal ini berkaitan dengan peningkatan konsentrasi mediator
tertentu, termasuk TNF-, LTB4 dan IL-8, serta peningkatan biomarker stres oksidatif.

D. Diagnosis

Tabel 2. Dikutip dari GOLD 2010

19
Pertimbangkan PPOK dan lakukan uji spirometri, jika salah satu indicator
ini ada pada individu di atas usia 40 tahun. Indikator ini bukan merupakan diagnostik
pasti, tetapi keberadaan beberapa indikator kunci meningkatkan kemungkinan
diagnosis PPOK. Spirometri diperlukan untuk memastikan diagnosis PPOK.
Dispnea. Merupakan gejala kardinal dari PPOK, yang menyebabkan
disability dan kecemasan yang berhubungan pada penyakit ini. Pada pasien PPOK
khas menunjukan dyspnea sebagai usaha napas, dada berat, dan terengah-engah.
Batuk. Batuk kronik sering menjadi gejala pertama pada PPOK dan
seringkali menjadi akibat dari merokok dan atau paparan lingkungan. Awalnya batuk
intermiten, tetapi kemudian dapat berubah menjadi setiap hari. Batuk konik pada
PPOK mungkin menjadi produktif. Pada beberapa kasus, hambatan aliran udara
dapat tejadi tanpa adanya batuk. Penyebab lain batuk kronis terncatum pada tabel.

Tabel 3. Dikutip dari GOLD 2019

Produksi sputum. Produksi sputum dapat intermiten dengan periode sering


dan periode remisi. Pasien yang menghasilkan produksi sputum banyak mungkin
memiliki awal penyakit bronkiektasis. Adanya sputum purulent menunjukan
peningkatan mediator inflamasi dan perkembangan yang dapat mengidentifikasi
timbulnya suatu eksaserbasi bakteri, meskippun hubungannya relatif lemah.
Wheezing dan sesak dada. Merupakan gejala yang setiap hari dapat brubah-
ubah dan gejala ini bisa tidak terdapat pada PPOK.

20
Fatigue, berat badan menurun, anoreksia. Gejala ini bisa saja terjadi pada
PPOK yang sudah berat.
Untuk menegakkan diagnosis PPOK secara rinci diuraikan sebagai berikut:
Gambaran Klinis

1. Anamnesis

- Riwayat merokok atau bekas perokok dengan atau tanpa gejala pernapasan
- Riwayat terpajan zat iritan yang bermakna di tempat kerja
- Riwayat penyakit emfisema pada keluarga
- Terdapat faktor predisposisi pada masa bayi/anak, mis berat badan lahir rendah
(BBLR), infeksi saluran napas berulang,
- lingkungan asap rokok dan polusi udara

- Batuk berulang dengan atau tanpa dahak


- Sesak dengan atau tanpa bunyi mengi
2. Pemeriksaan Fisis
PPOK dini umumnya tidak ada kelainan
 Inspeksi
- Pursed-lips breathing (mulut setengah terkatup / mencucu)
- Barrel chest (diameter antero-posterior dan transversal sebanding)
- Penggunaan otot bantu napas
- Hipertropi otot bantu napas
- Pelebaran sela iga
- Bila telah terjadi gagal jantung kanan terlihat denyut vena jugularis di leher dan
edema tungkai
- Penampilan pink puffer atau blue bloater
 Palpasi
- Pada emfisema fremitus melemah, sela iga melebar
 Perkusi
- Pada emfisema hipersonor dan batas jantung mengecil, letak diafragma rendah,
hepar terdorong ke bawah
 Auskultasi
- Suara napas vesikuler normal, atau melemah

21
- Terdapat ronki dan atau mengi pada waktu bernapas biasa atau pada ekspirasi paksa
- Ekspirasi memanjang
- Bunyi jantung terdengar jauh

Pink puffer
Pink Puffer ialah timbulnya dispneu tanpa disertai batuk dan produksi sputum yang
berarti. Biasanya dispneu timbul antara usia 30 – 40 tahun dan semakin lama semakin
berat. Pada penyakit yang sudah lanjut pasien akan kehabisan napas sehingga tidak
lagi dapat makan dan tubuhnya bertambah kurus. Pada pasien ini mengalami
penurunan berat badan yang

signifikan, dari 65 kg
menjadi 55 kg. Blue bloater

Gambaran khas pada bronkitis kronik, penderita gemuk sianosis, terdapat edema
tungkai dan rongki basah di basal paru, sianosis sentral dan perifer
Pursed-lips breathing
Adalah sikap seseorang yang bernapas dengan mulut mencucu dan ekspirasi
yang memanjang. Sikap ini terjadi sebagai mekanisme tubuh untuk mengeluarkan
retensi CO2 yangterjadi pada gagal napas kronik.
Pemeriksaan Rutin
1. Spirometri (VEP1, VEP1 prediksi, KVP, VEP1/KVP)
- Obstruksi ditentukan oleh nilai VEP1 prediksi (%) dan atau VEP1/KVP (%).
- Obstruksi : % VEP1 (VEP1/VEP1 pred) < 80% VEP1% (VEP1/KVP) < 75%
- VEP1 % merupakan parameter yang paling umum dipakai untuk menilai
beratnya PPOK dan memantau perjalanan penyakit
- Apabila spirometri tidak tersedia atau tidak mungkin dilakukan, APE meter
walaupun kurang tepat, dapat dipakai sebagai alternatif dengan memantau
variability harian pagi dan sore, tidak lebih dari 20%
2. Laboratorium darah
- Hb, Ht, Tr, Lekosit
- Analisis Gas Darah
3. Radiologi

22
Foto toraks PA dan lateral berguna untuk menyingkirkan penyakit
paru lain Pada emfisema terlihat gambaran :
- Hiperinflasi
- Hiperlusen
- Ruang retrosternal melebar
- Diafragma mendatar
- Jantung menggantung (jantung pendulum/tear drop / eye drop
appearance) Pada bronkitis kronik :
- Normal

- Corakan bronkovaskuler bertambah pada 21% kasus

E. Diagnosis Banding

23
Tabel 4. Dikutip dari GOLD 2020

Asma dan PPOK adalah penyakit obstruksi saluran napas yang sering
ditemukan di Indonesia, karena itu diagnosis yang tepat harus ditegakkan karena
terapi dan prognosisnya berbeda.
F. Klasifikasi
PPOK diklasifikasikan berdasarkan gabungan antara gejala klinis pasien,
derajat keparahan berdasarkan spirometri, kuesioner mMRC dan CAT.

24
25
Menggabungkan penilaian ini untuk meningkatkan pengelolaan PPOK.

Gejala
Sedikit Gejala (mMRC 0-1 or CAT < 10): pasien (A) atau (B)
Banyak Gejala (mMRC = 2 or CAT = 10): pasien(C) atau (D)

Keterbatasan Aliran Udara


Risiko Rendah (GOLD 1 or 2): pasien (A) atau (B)
Risiko Tinggi (GOLD 3 or 4): pasien (C) atau (D)

Eksaserbasi
Risiko Rendah: = 1 per tahun dan tidak dirawat untuk eksaserbasi: pasien (A) atau (B)

Risiko Tinggi: = 2 per tahun atau = 1 dengan dirawat: pasien (C) atau (D)

G. Penatalaksanaan
Penatalaksanaan secara umum PPOK meliputi :
- Edukasi
- Berhenti merokok
- Obat-obatan
- Rehabilitasi
- Terapi oksigen
- Ventilasi mekanik
- Nutrisi

1. Edukasi
Edukasi merupakan hal penting dalam pengelolaan jangka panjang pada
PPOK stabil. Edukasi pada PPOK berbeda dengan edukasi pada asma. Karena
PPOK adalah penyakit kronik yang ireversibel dan progresif, inti dari edukasi
adalah menyesuaikan keterbatasan aktiviti dan mencegah kecepatan perburukan
fungsi paru. Berbeda dengan asma yang masih bersifat

26
reversibel, menghindari pencetus dan memperbaiki derajat adalah inti dari
edukasi atau tujuan pengobatan dari asma.

a. Tujuan edukasi pada pasien PPOK :


- Mengenal perjalanan penyakit dan pengobatan
- Melaksanakan pengobatan yang maksimal
- Mencapai aktiviti optimal
- Meningkatkan kualitas hidup
b. Secara umum bahan edukasi yang harus diberikan adalah:
- Pengetahuan dasar tentang PPOK
- Obat - obatan, manfaat dan efek sampingnya
- Cara pencegahan perburukan penyakit
- Menghindari pencetus (berhenti merokok)
- Penyesuaian aktivitas
Agar edukasi dapat diterima dengan mudah dan dapat dilaksanakan
ditentukan skala prioritas bahan edukasi sebagai berikut:

- Berhenti merokok
o Disampaikan pertama kali kepada penderita pada waktu diagnosis
PPOK ditegakkan
- Pengunaan obat - obatan
a. Macam obat dan jenisnya
b. Cara penggunaannya yang benar ( oral, MDI atau nebuliser )
c. Waktu penggunaan yang tepat ( rutin dengan selangwaku tertentu
atau kalau perlu saja )
d. Dosis obat yang tepat dan efek sampingnya
- Penggunaan oksigen
a. Kapan oksigen harus digunakan
b. Berapa dosisnya
c. Mengetahui efek samping kelebihan dosis oksigen
 Mengenal dan mengatasi efek samping obat atau terapi oksigen

 Penilaian dini eksaserbasi akut dan


pengelolaannya Tanda eksaserbasi:

- Batuk atau sesak bertambah

27
- Sputum bertambah
- Sputum berubah warna
Tipe I (eksasebasi berat)

memiliki 3 gejala Tipe II

(eksaserbasi sedang) memiliki 2

gejala

Tipe III (eksaserbasi ringan) memiliki 1 gejala ditambah infeksi saluran nafas,
peningkatan batuk, peningkatan mengi dan peningkatan pernafasan, nadi
meningkat.

Penyebab paling umum dari suatu eksaserbasi adalah infeksi


thorakobrokial dan polusi udara, sepertiga penyebaba eksaserbasi berat tidak
dapat diketahui. Penanganan Eksaserasi dapat dilakukan dirumah (untuk
eksaserbasi yang ringan) atau dirumah sakit (untuk eksaserbasi sedang dan
berat). Penatalaksanaan eksaserbasi akut ringan dilakukan oleh pasien yang telah
diedukasi dengan cara:

1. Menambah dosis bronkodilator atau mengubah dari bronkodilator yang


digunakan dari bentuk inhaler ke bentuk nebuliser.
2. Menggunakan oksigen bila aktivitas dan tidur
3. Menggunakan mukolitik
4. Menambahkan ekspentoran

Bila dalam 2 hari tidak ada perbaikan makapasien harus segera ke dokter. Terapi
yang diberikan pada rumah sakit antara lain:

1. Terapi oksigen adekuat

Pada eksaserbasi akut terapi oksigen adalah hal yang pertama dan utama,
bertujuan untuk memperbaiki hipoksemia dan mencegah keadaan yang
mengancam jiwa. PaO2>60 mmHg atau saturasi O2 >90%, evaluasi ketat
hiperkapnia.

2. Pemberian obat yang optimal seperti bronkodilator, kortikosteroid, dan


antibiotik

28
- Mendeteksi dan menghindari pencetus eksaserbasi
- Menyesuaikan kebiasaan hidup dengan keterbatasan aktivitas

Obat-obatan bronkodilator
Diberikan secara tunggal atau kombinasi dari ketiga jenis bronkodilator
dan disesuaikan dengan klasifikasi derajat berat penyakit. Pemilihan bentuk obat

29
diutamakan inhalasi, nebuliser tidak dianjurkan pada penggunaan jangka
panjang. Pada derajat berat diutamakan pemberian obat lepas lambat (slow
release) atau obat berefek panjang (long acting).

Macam - macam bronkodilator :

a. Golongan antikolinergik
Digunakan pada derajat ringan sampai berat, disamping sebagai
bronkodilator juga mengurangi sekresi lendir (maksimal 4 kali perhari).
b. Golongan agonis B-2
Bentuk inhaler digunakan untuk mengatasi sesak, peningkatan jumlah
penggunaan dapat sebagai monitor timbulnya eksaserbasi. Sebagai obat
pemeliharaan sebaiknya digunakan bentuk tablet yang berefek panjang.
Bentuk nebuliser dapat digunakan untuk mengatasi eksaserbasi akut, tidak
dianjurkan untuk penggunaan jangka panjang. Bentuk injeksi subkutan atau
drip untuk mengatasi eksaserbasi berat.
c. Kombinasi antikolinergik dan agonis B-2
Kombinasi kedua golongan obat ini akan memperkuat efek bronkodilatasi,
karena keduanya mempunyai tempat kerja yang berbeda. Disamping itu
penggunaan obat kombinasi lebih sederhana dan mempermudah penderita.
d. Golongan xantin
Dalam bentuk lepas lambat sebagai pengobatan pemeliharaan jangka
panjang, terutama pada derajat sedang dan berat. Bentuk tablet biasa atau
puyer untuk mengatasi sesak (pelega napas), bentuk suntikan bolus atau drip
untuk mengatasi eksaserbasi akut. Penggunaan jangka panjang diperlukan
pemeriksaan kadar aminofilin darah.
a. Anti inflamasi
Digunakan bila terjadi eksaserbasi akut dalam bentuk oral atau injeksi
intravena, berfungsi menekan inflamasi yang terjadi, dipilih golongan
metilprednisolon atau prednison. Bentuk

inhalasi sebagai terapi jangka panjang diberikan bila terbukti uji


kortikosteroid positif yaitu terdapat perbaikan VEP1 pascabronkodilator
meningkat > 20% dan minimal 250 ml.

30
b. Antibiotika
Hanya diberikan bila terdapat infeksi. Antibiotik yang digunakan :

- Lini I : amoksisilin, makrolid


- Lini II : amoksisilin dan asam klavulanat, sefalosporin, kuinolon,
makrolid baru Perawatan di Rumah Sakit dapat dipilih:

- Amoksilin dan klavulanat


- Sefalosporin generasi II & III injeksi
- Kuinolon per oral ditambah dengan yang anti pseudomonas
- Aminoglikose per injeksi
- Kuinolon per injeksi
- Sefalosporin generasi IV per injeksi
c. Antioksidan
Dapat mengurangi eksaserbasi dan memperbaiki kualiti hidup, digunakan N-
asetilsistein. Dapat diberikan pada PPOK dengan eksaserbasi yang sering, tidak
dianjurkan sebagai pemberian yang rutin.

d. Mukolitik
Hanya diberikan terutama pada eksaserbasi akut karena akan mempercepat
perbaikan eksaserbasi, terutama pada bronkitis kronik dengan sputum yang
viscous. Mengurangi eksaserbasi pada PPOK bronkitis kronik, tetapi tidak
dianjurkan sebagai pemberian rutin.

e. Antitusif
Diberikan hanya bila terdapat batuk yang sangat mengganggu. Penggunaan
secara rutin merupakan kontraindikasi.
g. Terapi oksigen
Pada PPOK terjadi hipoksemia progresif dan kronik yang menyebabkan
kerusakan sel dan jaringan. Manfaat oksigen: mengurangi sesak, memperbaiki
aktivitas, mengurangi hipertensi

pulmoner, mengurangi vasokontriksi, mengurangi hematokrit, memperbaiki


fungsi neuropsikiatri, dan meningkatkan kualitas hidup.
h. Rehabilitasi
Tujuan program rehabilitasi untuk meningkatkan toleransi latihan dan

31
memperbaiki kualiti hidup penderita PPOK Penderita yang dimasukkan ke
dalam program rehabilitasi adalah mereka yang telah mendapatkan pengobatan
optimal yang disertai: simptom pernapasan berat, beberapa kali masuk ruang
gawat darurat, dan kualitas hidup yang menurun. Program rehabilitiasi terdiri
dari 3 komponen yaitu : latihan fisis, psikososial dan latihan pernapasan.
i. Gizi
Malnutrisi sering terjadi pada PPOK, kemungkinan karena bertambahnya
kebutuhan energi akibat kerja muskulus respirasi yang meningkat karena
hipoksemia kronik dan hiperkapni menyebabkan terjadi hipermetabolisme.
Kondisi malnutrisi akan menambah mortaliti PPOK karena berkolerasi dengan
derajat penurunan fungsi paru dan perubahan analisis gas darah.

32
- Vaksin influenza menjadi masalah serius,memperparah bahkan sampai
kematian pada pasienn COPD.
- Vaksin (PPSV23) 23 Valent pneumoccoccal polysaccharides kasus
banyak terjadi pada pasien umur >65 tahun .

33
 Antiinflamasi
Digunakan bila terjadi eksaserbasi akut, berfungsi menekan inflamasi yang
terjadi.
Inhaled corticosteroids (ICS)
ICS dosis tunggal. Kebanyakn penelitian menemukan bahwa
pengobatan teratur dengan ICS saja tidak menurunkan FEV1 atau
mortalitas pada pasien dengan PPOK.
ICS dengan kombinasi dengan long-acting bronchodilator therapy.
Pada pasien dengan PPOK eksaserbasi sedang dan berat, ICS
dikombinasi dengan long-acting bronchodilator lebih efektif,
meningkatkan fungsi paru dan mengurangi eksaserbasi.
 Antibiotika
Studi terbaru menunjukan bahwa penggunaan rutin beebrapa
antibiotic dapat mengurangi eksaserbasi. Azitromisin (250mg/hari atau
500mg dalam 3 minggu) atau eritromisin (500mg 2 kali perhari) selama
satu tahun pada pasien yang rentan terhadap eksaserbasi mengurangi
risiko eksaserbasi dibandingkan dengan perawatan biasa. Penggunaan
Azitromisin dikaitkan dengan kemungkinan terjadinya resistensi
bacterial dan gangguan pendengaran. Tidak ada data lebih dari satu tahun
keamanan antibiotic digunakan untuk mencegah PPOK ekaserbasi.
 Mukolitik
Hanya diberikan terutama pada eksaserbasi akut karena akan
mempercepat perbaikan eksaserbasi, terutama pada bronchitis kronik
dengan sputum yang viscous (misalnya ambroksol, erdostein).
Mengurangi eksaserbasi pada PPOK bronchitis kronik, tetapi tidak
dianjurkan sebagai pemberian rutin.
4. Rehabilitas PPOK
Tujuan program rehabilitasi untuk meningkatkan toleransi letihan dan
memperbaiki kualitas hidup penderita PPOK. Penderita yang dimasukkan ke
dalam program rehabilitasi adalah mereka yang telah mendapatkan
pengobatan optimal yang disertai :
- Simptom pernapasan berat
- Beberapa kali masuk ruang

34
gawat darurat Kualitas hidup yang
menurun
Program rehabilitasi terdiri dari 3 komponen yaitu : latihan fisis, psikososial
dan latihan pernapasan.
 Latihan fisis
Ditujukan untuk memperbaiki efisiensi dan kapasiti system transportasi
oksigen. Latihan fisis yang baik akan menghasilkan :
- Peningkatan VO2 max
- Perbaikan kapasiti kerja aerobik maupun anaerobik
- Peningkatan cardiac output dan stroke volume
- Peningkatan efisiensi distribusi darah
- Pemendekkan waktu yang diperlukan untuk recovery
Latihan jasmani pada PPOK terdiri dari dua kelompok :
- Latihan untuk meningkatkan kemampuan otot pernapasan
- Endurance exercise
 Psikososial:
Status psikologi penderita perlu diamati dengan cermat dan apabila diperlukan
dapat diberikan obat
 Latihan Pernapasan:
Tujuan latihan ini adalah untuk mengurangi dan mongontrol sesak napas. Teknik
latihan meliputi pernapasan diafragma dan pursed lips breathing guna
memperbaiki ventilasi dan mensinkronkan kerja otot abdomen dan toraks.
5. Terapi Oksigen
Pada PPOK terjadi hipoksemia progresif dan berkepanjangan yang
menyebabkan kerusakan sel dan jaringan. Pemberian terapi oksigen
merupakan hal yang sangat penting untuk mempertahankan oksigenasi
seluler dan mencegah kerusakan sel baik di otot maupun organ-organ
lainnya. Manfaat oksigen:
- Mengurangi sesak
- Memperbaiki aktiviti
- Mengurangi hipertensi pulmonal
- Mengurangi vasokonstriksi
- Mengurangi hematokrit

35
- Memperbaiki fungsi neuropsikiatri
- Meningkatkan kualiti hidup
6. Ventilasi Mekanik
Ventilasi mekanik pada PPOK digunakan pada eksaserbasi dengan gagal
napas akut, gagal napas akut pada gagal napas kronik atau pada pasien
PPOK derajat berat dengan gagal napas kronik. Ventilasi mekanik dapat
digunakan di rumah sakit di ruang ICU atau di rumah.
Ventilasi mekanik sebaiknya tidak diberikan pada pasien PPOK dengan
kondisi sebagai berikut :
- PPOK derajat berat yang telah mendapat terapi maksimal sebelumnya
- Terdapat ko-morbid yang berat, misalnya edema paru, keganasan
- Aktiviti sebelumnya terbatas meskipun terapi sudah maksimal
7. Nutrisi
Malnutrisi sering terjadi pada PPOK, kemungkinan karena bertambahnya
kebutuhan energi akibat kerja muskulus respirasi yang meningkat karena
hipoksemia kronik dan hiperkapni menyebabkan terjadi hipermetabolisme.
Kondisi malnutrisi akan menambah mortaliti PPOK karena berkorelasi
dengan derajat penurunan fungsi paru dan perubahan analisis gas darah.
Malnutrisi dapat dievaluasi dengan:
- Penurunan berat badan
- Kadar albumin darah
- Antropometri
- Pengukuran kekuatan otot (MVV, tekanan diafragma, kekuatan otot pipi)
Gangguan keseimbangan elektrolit sering terjadi pada PPOK karena
berkurangnya fungsi muskulus respirasi sebagai akibat sekunder dari
gangguan ventilasi. Gangguan elektrolit yang terjadi adalah :
- Hipophospatemi
- Hiperkalemi
- Hipokalsemi
- Hipomagnasemi
Gangguan ini dapat mengurangi fungsi diafragma. Dianjurkan pemberian nutrisi
dengan komposisi seimbang, yaitu porsi kecil dengan waktu pemberian yang
lebih sering.

36
H. Komplikasi
PPOK merupakan penyakit progresif, fungsi paru memburuk dari waktu ke
waktu, bahkan dengan perawatan yang terbaik. Gejala dan perubahan
obstruksi saluran napas harus dipantau untuk menentukan modifikasi terapi
dan menentukan adanya komplikasi.
Komplikasi pada PPOK merupakan bentuk perjalanan penyakit yang progresif
dan tidak sepenuhnya reversibel seperti:
 Gagal napas
- Gagal napas kronik
- Gagal napas akut pada gagal napas kronik
 Infeksi berulang’
 Kor pulmonal
Gagal napas kronik
Hasil analisis gas darah PO2 < 60 mmHg dan Pco2 > 60 mmHg, dan pH normal,
penatalaksanaan:
- Jaga keseimbangan PO2 dan PCO2
- Bronkodilator adekuat
- Terapi oksigen yang adekuat terutama waktu aktiviti atau waktu tidur
- Antioksidan
- Latihan pernapasan dengan pursed lipd breathing
Gagal napas akut pada gagal napas kronik, ditandai oleh:
- Sesak napas dengan atau tanpa sianosis
- Sputum bertambah dan purulen
- Demam
- Kesadaran menurun
Infeksi berulang :
Pada pasien PPOK produksi sputum yang berlebihan menyebabkan terbentuk
koloni kuman, hal ini memudahkan terjadinya infeksi berulang, pada kondisi
kronik ini imunitas menjadi lebih rendah, ditandai dengan menurunnya kadar
limposit darah.
Kor pulmonal:
Ditandai oleh P pulmonal pada EKG, hematokrit > 50%, dapat disertai gagal jantung
kanan.

37
EKSASERBASI AKUT

Pada seseorang yang telah didiagnosis sebagai penderita PPOK


dalam keadaan normal penderita ini telah berada dalam keadaan dispnea,
berdahak, dan batuk. Pada eksaserbasi akut, ketiga gejala ini bertambah.
Eksaserbasi akut PPOK dapat disebabkan oleh infeksi sistem pernapasan,
pengaruh polusi lingkungan, gagal jantung, infeksi sistemik, atau juga
emboli paru. Eksaserbasi akut PPOK yang ringan belum memerlukan
perawatan di rumah sakit, sedangkan eksaserbasi yang sedang dan berat
harus dipertimbangkan untuk dirawat di rumah sakit

Manajemen PPOK Ekserbasi Akut:

a.Manajemen di Rumah
Bronkodilator. Yang utama digunakan adalah : β2-agonis,
antikolinergikk dan metixantin. Obat tersebut dapat diberikan
monoterapi atau kombinasi. Pemberian secara inhalasi (MDI) lebih
menguntungkan dari pada cara oral atau parenteral karena efekenya
cepat pada organ paru dan efek sampingnya minimal. Obat dapat
diberikan 4- 6 kali, 2-4 hirup sehari. Bila tidak segera memebrikan
perbaikan bisa ditambah dengan pemakaian antikolinergik sampai
dengan perbaikan gejala.
Glukokotikosteroid. Jika FEV1 < 50% prediksi, dapat diberikan
40mg prednisolone (oral) perhari selama 10-14 hari bersamaan dengan
pemberian bronkodilator. Budesonide nebulizer bisa dipakai sebagai
alternative terapi selain oral. Glukokortikosteroid diapkai untuk
pengobatan yang non asidosis.

Antibiotic. Diberikan dengan spectrum luas yang bisa menghadapi


H.influenza, S. pneumonia dan M.catarrhalis sambil menunggu hasil

38
kultur sensitivitas kuman. Menurut penelitian ketiga bakteri tersbut
merupakan bakteripenyebabk eksaserbasi akut yang paling sering
ditemukan.

Manajemen di Rumah Sakit


- Bronkodilator kerja cepat : β2-agonis dan antikolinergik dosisi
ditinggikan dna frekuensi pemerian dinaikkan.
- Steroid : oral atau intravena
- Antibiotic : oral atau intravena
- Pertimbangkan teofilin oral atau intravena (masih kontrroversi)
- Pertimbangkan ventilator mekanik invasive.
Stop Merokok
Menghentikan merokok pada pasien PPOK merupakan usaha yang mudah
dan ekonomis dalam rangka mengurangi progresivitas penyakit.

DAFTAR PUSTAKA
GOLD. Global Strategy for the Diagnosis, Management, and Prevention of
COPD. (Report 2020)

PDPI. Diagnosis dan Penatalaksanaan Penyakit Paru Obstruktif Kronik


(PPOK). Edisi Buku Lengkap 2011

Buku Ajar. Ilmu Penyakit Dalam. Jilid II Edisi VI 2014. Interna Publishing

39

Anda mungkin juga menyukai