PENDAHULUAN
Karbon monoksida adalah sebuah gas yang tidak berwarna, berbau, atau berasa.
Karbon monoksida sebenarnya adalah sebuah gas yang dapat mematikan ketika dihirup dalam
konsentrasi tertentu namun dalam kadar tertentu berguna sebagai antioksidan di dalam tubuh.
Karbon monoksida pada tubuh didapatkan dari dua sumber yaitu lingkungan dan juga
dari produksi di dalam tubuh sendiri. Produksi karbon monoksida pada dalam tubuh didapatkan
dari degradasi heme dengan menggunakan enzim haemoglobin oksidase. Proses tersebut
ditemukan dipengaruhi oleh reaksi inflamasi dalam tubuh.
Karena reaksi inflamasi adalah bagian dari kebanyakan proses penyakit, dipikirkan
bahwa pemeriksaan kadar karbon monoksida baik pada nafas atau darah dapat menggambarkan
proses perjalanan penyakit tersebut. Referat ini bertujuan untuk membahas beberapa kegunaan
dari pemeriksaan kadar karbon monoksida sebagai penanda dari penyakit-penyakit tertentu.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Pendahuluan
Karbon monoksida (CO) adalah sebuah gas yang tidak berwarna, tidak berbau
tidak berasa yang sedikit lebih padat dibandingkan dengan udara. CO beracun dan dapat
mematikan bahkan pada konsentrasi yang sangat rendah. Inhalasi CO dengan
konsentrasi 1% dapat menyebabkan kematian.
2.2. Sumber CO
2.2.1. Lingkungan
2.2.2. CO Sistemik
2.3. Toksisitas CO
Kadar HbCO pada kondisi normal berkisar antara 0,1 – 1%. Seorang perokok dapat
memiliki kadar HbCO setinggi 5 – 15%. Gejala klinis dari keracunan CO mulai muncul pada
kadar HbCO setinggi 20%. Gejala-gejala tersebut dapat berupa gangguan kognitif, penurunan
kesadaran, dan bahkan kematian.
Seperti telah disebutkan sebelumnya, dari sisi medis CO memiliki peran yang
cukup besar di tubuh manusia. CO dapat mengakibatkan sebuah penyakit sendiri yaitu
keracunan CO dan juga dapat menjadi penanda dari reaksi inflamasi. Untuk menilai CO
pada tubuh dapat dilakukan metode yang salah satunya adalah menganalisa kadar CO
pada nafas ekshalasi (eCO). eCO dapat digunakan sebagai marker atau penanda pada
beberapa penyakit baik paru seperti PPOK, asma, cystic fibrosis, infeksi, dan
bronchiectasis atau sistemik seperti sepsis. eCO juga sering digunakan sebagai penanda
inflamasi pada pasien kritis dan juga pasien bedah dan penerima transplantasi organ.
Terakhir, eCO juga telah divalidasi sebagai tes yang dapat menentukan status merokok
seseorang.
Penyakit paru obstruktif kronis (PPOK) adalah sebuah penyakit yang ditandai
oleh menurunnya aliran udara di paru secara progresif yang tidak sepenuhnya reversible.
PPOK juga dihubungkan dengan adanya reaksi inflamasi yang abnormal terhadap
partikel-partikel atau gas tertentu seperti contohnya asap rokok. Rokok adalah
penyebab utama dari PPOK dimana 15 – 20% perokok menderita PPOK. Selain rokok,
penyebab lain dari PPOK adalah polusi udara, infeksi kronik, dan asma. Mekanisme
yang mendasari PPOK belum sepenuhnya diketahui namun diperkirakan disebabkan
oleh ketidakseimbangan protease/anti-protease, peningkatan stres oksidatif, dan
apoptosis sel paru.
Pada pemeriksaan eCO ditemukan pasien PPOK memiliki kadar eCO yang
lebih tinggi dibandingkan dengan non-perokok tanpa PPOK. Pada kelompok pasien
PPOK, ditemukan pasien yang masih aktif merokok memiliki kadar eCO yang lebih
tinggi dibandingkan mereka yang sudah berhenti.
Kadar HbCO juga diukur pada pasien PPOK untuk dapat menilai produksi CO
endogenous dengan lebih baik. Kadar HbCO ditemukan meningkat pada pasien PPOK
dan juga berkorelasi secara positif dengan derajat keparahan PPOK yang diderita.
Kadar HbCO juga ditemukan meningkat pada kasus PPOK eksaserbasi akut. Sebuah
temuan menarik didapatkan dari hubungan antara HbCO dan eCO pada pasien PPOK.
Kadar HbCO ditemukan berhubungan dengan eCO pada PPOK derajat ringan dan
sedang namun peningkatan HbCO pada PPOK derajat berat tidak disertai peningkatan
yang sesuai pada kadar eCO. Hal ini dapat disebabkan oleh menurunnya produksi dan
kapasitas difusi CO pada paru pasien PPOK derajat berat ditambah oleh meningkatnya
produksi CO sistemik.
2.3.2. Asma
Asma adalah penyakit saluran nafas kronik yang ditandai dengan adanya
obstruksi aliran nafas yang reversible. Inflamasi yang terdapat pada penyakit ini
diakibatkan oleh hipersensitivitas saluran nafas terhadap paparan allergen dan iritan.
Cystic fibrosis (CF) adalah sebuah penyakit genetic yang ditandai oleh adanya
akumulasi berlebih dari mukus di saluran nafas yang disebabkan oleh adanya defek
pada protein CFTR. Akibatnya, pasien CF mengalami sesak nafas dan memiliki risiko
yang tinggi menderita infeksi sekunder akibat penumpukan mukus tersebut.
BOS dapat dicegah namun dibutuhkan deteksi saat penyakit ini masih berada
pada tahap awal untuk meningkatkan keberhasilan terapi. Saat ini metode yang
digunakan untuk mendeteksi BOS adalah pemeriksaan kadar helium atau nitrogen pada
nafas. Metode ini memiliki tingkat sensitivitas yang rendah sehingga mengurangi
kegunaannya dalam situasi klinis. Kadar eCO dan eNO (exhaled nitric oxide)
ditemukan meningkat pada pasien dengan BOS dan ketika pemeriksaan eCO dan eNO
digabungkan dengan pemeriksaan kadar helium maka sensitivitas dapat ditingkatkan.
2.3.5. Pneumonia
Kadar eCO pada pasien dengan pneumonia atau infeksi saluran nafas bawah
yang lain ditemukan meningkat. Kadar eCO ditemukan menurun seiring dengan
pemberian antibiotic dan perbaikan penyakit. Maka dari itu, pemeriksaan kadar eCO
dapat digunakan sebagai monitor non-invasif dari penyakit dan respons terhadap
pengobatan.
eCO telah digunakan sebagai metode untuk menentukan status merokok seseorang terutama
bagi perokok yang memiliki kemungkinan untuk menyangkal status merokok mereka. Metode
menilai eCO tidak invasif dan relatif lebih mudah serta murah dibandingkan dengan mengukur
kadar nikotin pada urine. Beberapa faktor yang mempengaruhi kadar CO di dalam tubuh
seorang perokok adalah jumlah hisapan, kedalaman menghisap, interval menghisap, dan
apakah perokok tersebut menahan nafas atau tidak.
Perokok aktif ditemukan memiliki kadar HbCO pada rentang 3 – 5% dan setiap kotak rokok
yang dihisap setiap harinya dapat meningkatkan HbCO sebanyak 2,5%. Pada beberapa kasus
bahkan ditemukan perokok dengan kadar HbCO setinggi 20% lebih. Maka dari itu, menilai
kadar HbCO dapat digunakan untuk menentukan status perokok seseorang dan karena HbCO
mempengaruhi eCO, maka eCO juga dapat digunakan.
Sebuah penelitian menemukan rata-rata kadar eCO setinggi 17ppm pada perokok normal
sedangkan mereka yang tidak merokok memiliki kadar eCO setinggi 3 – 5ppm. Penelitian
tersebut serta beberapa penelitian lain menentukan nilai cutoff setinggi 6 – 6,5ppm untuk
membedakan perokok dan non-perokok. Penelitian-penelitian tersebut menyatakan kadar eCO
yang lebih tinggi dari itu menandakan seseorang tersebut adalah perokok aktif dengan
sensitivitas 90 -96% dan spesifisitas 80 – 93%. Namun, penelitian lain menyatakan bahwa
kadar eCO yang lebih rendah dari 6ppm tidak langsung mengeksklusi seseorang tidak merokok
dalam 24 jam terakhir. Terlebih lagi, nilai cutoff yang digunakan pada setiap CO analyser
berbeda-beda sehingga patut diperhatikan nilai cutoff masing-masing alat.
Selain daripada menentukan status perokok seseorang, menilai kadar eCO perokok juga
berguna dalam beberapa hal lain. Para perokok yang berusaha berhenti seringkali mengganti
jenis rokok mereka dengan rokok yang diiklankan sebagai rokok “light” atau “mild” yang lebih
ringan atau sehat. Kenyataannya, perokok yang mengganti rokok mereka dengan rokok-rokok
tersebut tetap memiliki kadar eCO yang sama tingginya atau bahkan lebih tinggi. Pengukuran
eCO dapat kemudian digunakan untuk menyangkal hal tersebut dan membuat perokok benar-
benar berhenti. Kegunaan lainnya adalah untuk memperkirakan keberhasilan berhenti merokok
seseorang. Perokok seringkali tidak langsung berhenti begitu saja. Mereka mengurangi jumlah
rokok yang mereka hisap sehari-harinya. Pengukuran eCO secara mingguan ditemukan dapat
membantu memprediksi keberhasilan dimana seorang perokok yang mengalami penurunan
kadar eCO secara mingguan lebih besar kemungkinannya untuk berhenti merokok
dibandingkan dengan mereka yang tidak mengalami penurunan sama sekali. Penurunan kadar
eCO secara mingguan juga dapat memberikan motivasi tambahan dan memperbesar
keberhasilan.
Terdapat beberapa hal yang mempengaruhi kadar eCO seorang perokok. Genetik ditemukan
dapat berperan dimana seseorang dengan metabolisme nikotin yang lebih lambat memiliki
kadar eCO yang lebih rendah. Hal ini penting dikarenakan semakin cepat metabolisme nikotin
seseorang maka semakin besar kemungkinan seseorang menderita kanker. Hal lain yang
mempengaruhi kadar eCO adalah penyakit-penyakit paru seperti PPOK dan asma. Atas dasar
ini, beberapa penelitian memberikan nilai cutoff yang lebih tinggi bagi perokok yang memiliki
penyakit paru.
BAB III
KESIMPULAN
Pemeriksaan kadar karbon monoksida dapat dilakukan menggunakan dua cara yaitu
pada nafas ekshalasi (eCO) atau di dalam darah (HbCO). Pemeriksaan eCO bersifat non-invasif
dan lebih mudah untuk dilakukan pada situasi klinis. Alat yang digunakan bersifat portable
dan pemeriksaan dapat dilakukan dalam waktu singkat.
Pemeriksaan kadar karbon monoksida dalam tubuh baik melalui nafas atau darah
memiliki potensial yang besar untuk dapat digunakan dalam berbagai situasi klinis. Akan tetapi,
sampai saat ini belum didapatkan konsensus baik mengenai metode pengambilan sampel
apakah pada nafas atau darah, instrument yang sebaiknya digunakan, dan juga cutoff dari kadar
karbon monoksida yang bermakna dalam situasi klinis. Maka dari itu, dibutuhkan penelitian
lebih lanjut untuk benar-benar menemukan kegunaan pemeriksaan kadar karbon monoksida.
DAFTAR PUSTAKA