Anda di halaman 1dari 13

BAB I

PENDAHULUAN

Karbon monoksida adalah sebuah gas yang tidak berwarna, berbau, atau berasa.
Karbon monoksida sebenarnya adalah sebuah gas yang dapat mematikan ketika dihirup dalam
konsentrasi tertentu namun dalam kadar tertentu berguna sebagai antioksidan di dalam tubuh.

Karbon monoksida pada tubuh didapatkan dari dua sumber yaitu lingkungan dan juga
dari produksi di dalam tubuh sendiri. Produksi karbon monoksida pada dalam tubuh didapatkan
dari degradasi heme dengan menggunakan enzim haemoglobin oksidase. Proses tersebut
ditemukan dipengaruhi oleh reaksi inflamasi dalam tubuh.

Karena reaksi inflamasi adalah bagian dari kebanyakan proses penyakit, dipikirkan
bahwa pemeriksaan kadar karbon monoksida baik pada nafas atau darah dapat menggambarkan
proses perjalanan penyakit tersebut. Referat ini bertujuan untuk membahas beberapa kegunaan
dari pemeriksaan kadar karbon monoksida sebagai penanda dari penyakit-penyakit tertentu.
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Pendahuluan

Karbon monoksida (CO) adalah sebuah gas yang tidak berwarna, tidak berbau
tidak berasa yang sedikit lebih padat dibandingkan dengan udara. CO beracun dan dapat
mematikan bahkan pada konsentrasi yang sangat rendah. Inhalasi CO dengan
konsentrasi 1% dapat menyebabkan kematian.

CO selama ini banyak digunakan dalam menganalisa fungsi paru seperti


perannya dalam berbagai penyakit. Namun, dalam beberapa tahun terakhir mulai
ditemukan bahwa CO yang diproduksi secara endogenous dapat memiliki kegunaan
secara medis.

2.2. Sumber CO

2.2.1. Lingkungan

CO yang dihirup dari lingkungan seringkali berasal dari proses pembakaran


material organik seperti kayu, batu bara, gas, dan tembakau. Pada kondisi normal, kadar
CO di dalam ruangan berkisar antara 0,5 – 5 ppm. Kadar CO dapat meningkat
pada daerah di sekitar pembakaran atau daerah dengan polusi yang tinggi. Sebagai
contoh, kadar CO pada daerah dengan tingkat kemacetan yang tinggi dapat mencapai
10 – 50 ppm. Kadar CO yang tinggi tersebut berpotensi untuk menimbulkan keracunan
CO.

2.2.2. CO Sistemik

CO juga diproduksi di dalam tubuh sebagai produk dari degradasi heme.


Degradasi heme dilakukan oleh enzim heme oksidase (HO) dan menghasilkan
biliverdin-IXa dan CO sebagai produk sampingannya. Reaksi ini membutuhkan 3 mole
oksigen dan electron dari NADPH untuk setiap degradasi heme. Biliverdin-IXa
kemudian akan diubah menjadi bilirubin-IXa oleh biliverdin reductase.
Gambar 1. Metabolisme Heme

Terdapat 2 isoenzim dari HO yaitu HO-1 dan HO-2, masing-masing diproduksi


oleh gen yang berbeda. HO-1 dapat ditranskripsi dalam respon stress seluler seperti
pada reaksi inflamasi pada berbagai penyakit. Maka dari itu, HO-1 disebut sebagai
isoenzim inducible. Kebalikannya, transkripsi HO-2 tidak dipengaruhi oleh faktor
eksternal seperti HO-1. HO-2 terdapat pada kebanyakan jaringan, terutama pada testis,
liver, otak, dan jaringan vaskuler.

2.3. Toksisitas CO

Bahaya CO bagi tubuh datang dari kemampuannya untuk berikatan dengan


haemoglobin dengan afinitas yang jauh lebih tinggi dibandingkan oksigen. CO
berikatan dengan afinitas 218 kali lipat lebih tinggi dibandingkan oksigen dan
menghasilkan carboxyhaemoglobin (HbCO). Selain daripada berikatan dengan
haemoglobin dan menurunkan jumlah haemoglobin yang tersedia untuk dapat berikatan
dengan oksigen, CO juga mengakibatkan pergesaran ke kiri daripada kurva disosiasi
oxyhaemoglobin yang berujung pada menurunnya jumlah oksigen yang dilepaskan ke
jaringan.
Selain daripada membentuk HbCO, CO juga memiliki beberapa dampak
langsung terhadap tubuh pada tingkat seluler. CO dapat berikatan dengan protein
intraseluler (myoglobin, cytochrome a,a3), dapat meningkatkan produksi NO yang
kemudian menyebabkan produksi peroxynitrite, peroksidasi lipid oleh neutrofil, stress
oksidatif pada mitokondria, apoptosis, dan juga inflamasi.

Pembentukan HbCO dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu konsentrasi CO


yang dihirup, tekanan barometrik, PO2, ventilasi alveolus, volume darah, afinitas
haemoglobin terhadap CO, dan kapasitas difusi. Kinetik dari pembentukan CO dapat
dilihat pada grafik di bawah.

Gambar 2. Persamaan The Coburn-Foster-Kane.

Kadar HbCO pada kondisi normal berkisar antara 0,1 – 1%. Seorang perokok dapat
memiliki kadar HbCO setinggi 5 – 15%. Gejala klinis dari keracunan CO mulai muncul pada
kadar HbCO setinggi 20%. Gejala-gejala tersebut dapat berupa gangguan kognitif, penurunan
kesadaran, dan bahkan kematian.

2.3. CO dan Penyakit Paru

Seperti telah disebutkan sebelumnya, dari sisi medis CO memiliki peran yang
cukup besar di tubuh manusia. CO dapat mengakibatkan sebuah penyakit sendiri yaitu
keracunan CO dan juga dapat menjadi penanda dari reaksi inflamasi. Untuk menilai CO
pada tubuh dapat dilakukan metode yang salah satunya adalah menganalisa kadar CO
pada nafas ekshalasi (eCO). eCO dapat digunakan sebagai marker atau penanda pada
beberapa penyakit baik paru seperti PPOK, asma, cystic fibrosis, infeksi, dan
bronchiectasis atau sistemik seperti sepsis. eCO juga sering digunakan sebagai penanda
inflamasi pada pasien kritis dan juga pasien bedah dan penerima transplantasi organ.
Terakhir, eCO juga telah divalidasi sebagai tes yang dapat menentukan status merokok
seseorang.

eCO menggambarkan proses eliminasi CO dari tubuh secara sistemik melalui


difusi CO dari sirkulasi pulmonal menuju alveoli. Maka dari itu, eCO dapat dikatakan
berhubungan dengan kadar HbCO di tubuh. Selain dari produksi sistemik, eCO dapat
berasal langsung dari saluran nafas sebagai hasil dari inflamasi lokal pada daerah
tersebut.

Penelitian mengenai eCO paling sering diukur menggunakan teknologi


electrochemical. Metode ini sensitif dalam rentang 1 – 500 ppm. Alat yang
menggunakan teknologi ini bersifat portable sehingga mudah untuk digunakan dalam
penelitian medis. Beberapa contoh alatnya adalah Carbolyzer® oleh Taiyo Inc. dan
piCO Smokerlyzer® dari Bedfont Scientific Limited. Pada penelitian eksperimental
yang membutuhkan alat yang lebih sensitif, biasa digunakan teknologi infrared laser
spectroscopic dengan sensitivitas mencapai 1 ppb (parts per billion).

2.3.1. Penyakit Paru Obstruktif Kronis

Penyakit paru obstruktif kronis (PPOK) adalah sebuah penyakit yang ditandai
oleh menurunnya aliran udara di paru secara progresif yang tidak sepenuhnya reversible.
PPOK juga dihubungkan dengan adanya reaksi inflamasi yang abnormal terhadap
partikel-partikel atau gas tertentu seperti contohnya asap rokok. Rokok adalah
penyebab utama dari PPOK dimana 15 – 20% perokok menderita PPOK. Selain rokok,
penyebab lain dari PPOK adalah polusi udara, infeksi kronik, dan asma. Mekanisme
yang mendasari PPOK belum sepenuhnya diketahui namun diperkirakan disebabkan
oleh ketidakseimbangan protease/anti-protease, peningkatan stres oksidatif, dan
apoptosis sel paru.

Pada pemeriksaan eCO ditemukan pasien PPOK memiliki kadar eCO yang
lebih tinggi dibandingkan dengan non-perokok tanpa PPOK. Pada kelompok pasien
PPOK, ditemukan pasien yang masih aktif merokok memiliki kadar eCO yang lebih
tinggi dibandingkan mereka yang sudah berhenti.

Kadar HbCO juga diukur pada pasien PPOK untuk dapat menilai produksi CO
endogenous dengan lebih baik. Kadar HbCO ditemukan meningkat pada pasien PPOK
dan juga berkorelasi secara positif dengan derajat keparahan PPOK yang diderita.
Kadar HbCO juga ditemukan meningkat pada kasus PPOK eksaserbasi akut. Sebuah
temuan menarik didapatkan dari hubungan antara HbCO dan eCO pada pasien PPOK.
Kadar HbCO ditemukan berhubungan dengan eCO pada PPOK derajat ringan dan
sedang namun peningkatan HbCO pada PPOK derajat berat tidak disertai peningkatan
yang sesuai pada kadar eCO. Hal ini dapat disebabkan oleh menurunnya produksi dan
kapasitas difusi CO pada paru pasien PPOK derajat berat ditambah oleh meningkatnya
produksi CO sistemik.

Selain dari kurangnya kegunaan eCO dalam menentukan derajat keparahan


PPOK, eCO juga ditemukan tidak berhubungan dengan fungsi paru yang diukur dengan
FEV1. Pada sebuah penelitian yang mengukur eCO pada pasien dengan defisiensi a1-
AT ditemukan kadar eCO yang lebih rendah dibandingkan dengan pasien PPOK yang
disebabkan oleh rokok. Defisiensi a1-AT adalah salah satu penyebab genetic dari
emfisema. Kadar eCO pada pasien tersebut lebih rendah meskipun adanya proses
inflamasi di paru pada penyakit ini.

2.3.2. Asma

Asma adalah penyakit saluran nafas kronik yang ditandai dengan adanya
obstruksi aliran nafas yang reversible. Inflamasi yang terdapat pada penyakit ini
diakibatkan oleh hipersensitivitas saluran nafas terhadap paparan allergen dan iritan.

Pada pemeriksaan eCO ditemukan pasien asma yang tidak menjalani


pengobatan steroid memiliki kadar eCO yang lebih tinggi dibandingkan dengan subjek
sehat. Pada beberapa penelitian kadar eCO ditemukan berhubungan dengan steroid
dimana setelah diberikan terapi steroid, kadar eCO pada pasien ditemukan kembali
normal. Pada pasien yang sebelumnya hanya mendapatkan terapi b-agonis pemberian
terapi steroid inhalasi selama 4 minggu menurunkan kadar eCO secara signifikan.
Namun, beberapa penelitian menemukan hasil yang bertentangan. Sebuah penelitian
menemukan tidak ada perubahan kadar eCO pada pasien yang diberikan terapi steroid
inhalasi selama 30 hari.
Penelitian juga dilakukan pada kadar HbCO pasien asma. Kebanyakan
penelitian menemukan bahwa HbCO berhubungan dengan eCO. Kadar HbCO juga
ditemukan meningkat pada kasus asma eksaserbasi akut dan kembali ke kadar normal
setelah diberikan terapi steroid. Ekspresi HO-1 juga ditemukan meningkat pada pasien
dengan eksaserbasi akut dibandingkan dengan pasien stabil.

Selain dari kemungkinan kegunaan eCO sebagai penanda untuk eksaserbasi


asma dan respons terhadap terapi steroid, eCO kemungkinan memiliki hubungan
dengan fungsi paru yang diukur menggunakan FEV1. Pada pasien asma alergi, eCO
meningkat sebagai respons terhadap allergen challenge sebelum terjadinya penurunan
FEV1. Karena eCO ditemukan tidak berhubungan dengan stimulus asma alergik seperti
histamine sendiri, maka disimpulkan bahwa eCO kemungkinan memiliki hubungan
dengan FEV1. Namun, hal ini tidak ditemukan pada pasien asma atopic dimana eCO
tidak dapat menunjukkan adanya hubungan terhadap FEV1. Kekurangan lain dari
pemeriksaan kadar eCO pada pasien asma adalah tidak dapat menggambarkan derajat
keparahannya atau derajat keberhasilan terapi, sama seperti pada kasus PPOK.

2.3.3. Cystic Fibrosis

Cystic fibrosis (CF) adalah sebuah penyakit genetic yang ditandai oleh adanya
akumulasi berlebih dari mukus di saluran nafas yang disebabkan oleh adanya defek
pada protein CFTR. Akibatnya, pasien CF mengalami sesak nafas dan memiliki risiko
yang tinggi menderita infeksi sekunder akibat penumpukan mukus tersebut.

Penelitian mengenai kadar eCO di pasien CF sejauh ini masih menghasilkan


temuan yang saling bertentangan. Jumlah penelitian mengenai topik ini juga relatif
lebih sedikit dibandingkan penelitian serupa pada pasien PPOK dan asma. Beberapa
penelitian menemukan kadar eCO pada pasien CF yang tidak mendapatkan terapi
steroid lebih tinggi dibandingkan dengan pasien yang mendapatkan terapi steroid. eCO
juga ditemukan meningkat pada saat eksaserbasi akut dan kembali normal setelah
diberikan penanganan. Exercise testing juga ditemukan menyebabkan peningkatan
kadar eCO pada pasien CF. Terlepas dari adanya kemungkinan eCO dapat digunakan
sebagai penanda pada penyakit CF, beberapa penelitian lain masih tidak menemukan
adanya perbedaan kadar eCO pada pasien CF dan subjek sehat.

2.3.4. Transplantasi Paru


Salah satu penyebab kematian paling sering pada pasien yang menjalani
transplantasi paru adalah bronchiolitis obliterans syndrome (BOS) dengan tingkat
mortalitas mencapai 30%. Pada BOS terjadi inflamasi dan kerusakan bronkus yang
menyebabkan penurunan fungsi paru.

BOS dapat dicegah namun dibutuhkan deteksi saat penyakit ini masih berada
pada tahap awal untuk meningkatkan keberhasilan terapi. Saat ini metode yang
digunakan untuk mendeteksi BOS adalah pemeriksaan kadar helium atau nitrogen pada
nafas. Metode ini memiliki tingkat sensitivitas yang rendah sehingga mengurangi
kegunaannya dalam situasi klinis. Kadar eCO dan eNO (exhaled nitric oxide)
ditemukan meningkat pada pasien dengan BOS dan ketika pemeriksaan eCO dan eNO
digabungkan dengan pemeriksaan kadar helium maka sensitivitas dapat ditingkatkan.

2.3.5. Pneumonia

Kadar eCO pada pasien dengan pneumonia atau infeksi saluran nafas bawah
yang lain ditemukan meningkat. Kadar eCO ditemukan menurun seiring dengan
pemberian antibiotic dan perbaikan penyakit. Maka dari itu, pemeriksaan kadar eCO
dapat digunakan sebagai monitor non-invasif dari penyakit dan respons terhadap
pengobatan.

2.4. CO dan Infeksi Saluran Pernafasan Atas (ISPA)

Beberapa penelitian menemukan bahwa terdapat produksi CO di hidung, telinga


tengah, dan sinus paranasal. Kadar eCO juga ditemukan meningkat pada pasien dengan
ISPA. Pasien dengan rhinitis alergi ditemukan memiliki kadar eCO yang lebih tinggi
saat musim tertentu, menandakan adanya hubungan antara keduanya. Namun,
pemeriksaan eCO untuk mendeteksi pasien ISPA memiliki beberapa halangan. Salah
satu halangan tersebut adalah faktor mekanis dimana saluran nafas antara sinus
paranasal dan ruang nasal berbeda-beda pada setiap orang dan juga kemungkinan
adanya kehilangan sampel pada daerah faring. Hal-hal tersebut membatasi kegunaan
pemeriksaan kadar eCO pada pasien ISPA.
2.5. CO dan Sepsis

Sepsis adalah sebuah kondisi dimana terdapat inflamasi sistemik yang


disebabkan oleh sebuah infeksi. Inflamasi sebenarnya adalah sebuah respons tubuh
terhadap suatu infeksi sehingga dalam kadar tertentu berguna dalam memerangi infeksi
yang terjadi. Namun apabila inflamasi terjadi secara berlebihan hal ini dapat
menyebabkan stress oksidatif dan merusak jaringan. Untuk dapat menangani sepsis
dipikirkan bahwa perlu diberikan penanganan terhadap inflamasi yang terjadi secara
sesuai untuk mencegah pula immunosupresi yang berlebihan. Sayangnya, sampai saat
ini belum ada metode non-invasif yang mudah dilakukan sebagai penandan inflamasi
sistemik.

Stres oksidatif yang disebabkan oleh inflamasi menyebabkan degradasi heme


dan menghasilkan free heme content yang bersifat pro-oksidan, meningkatkan stress
oksidatif lebih lanjut lagi. Untuk mencegahnya, tubuh menggunakan HO-1 untuk
mendegradasi heme menjadi biliverdin, besi, dan CO. Maka dari itu, dipikirkan bahwa
pemeriksaan kadar eCO dapat menggambarkan kondisi inflamasi yang sedang terjadi.

Beberapa penelitian menemukan hubungan antara kadar eCO dengan inflamasi


sistemik seperti yang terjadi pada pasien sepsis. Kadar HbCO juga ditemukan
meningkat pada pasien-pasien tersebut. Terlepas dari kemungkinan adanya kegunaan
pemeriksaan kadar eCO atau HbCO pada pasien sepsis, terdapat beberapa masalah yang
harus diteliti lebih lanjut sebelum pemeriksaan kadar tersebut dapat digunakan secara
luas. Masalah tersebut antara lain adalah belum didapatkan adanya konsensus tentang
metode apa yang sebaiknya digunakan dalam menilai eCO dan juga konsensus
mengenai pemeriksaan yang sebaiknya dilakukan, eCO atau HbCO.

2.6. CO dan Status Merokok

eCO telah digunakan sebagai metode untuk menentukan status merokok seseorang terutama
bagi perokok yang memiliki kemungkinan untuk menyangkal status merokok mereka. Metode
menilai eCO tidak invasif dan relatif lebih mudah serta murah dibandingkan dengan mengukur
kadar nikotin pada urine. Beberapa faktor yang mempengaruhi kadar CO di dalam tubuh
seorang perokok adalah jumlah hisapan, kedalaman menghisap, interval menghisap, dan
apakah perokok tersebut menahan nafas atau tidak.

Perokok aktif ditemukan memiliki kadar HbCO pada rentang 3 – 5% dan setiap kotak rokok
yang dihisap setiap harinya dapat meningkatkan HbCO sebanyak 2,5%. Pada beberapa kasus
bahkan ditemukan perokok dengan kadar HbCO setinggi 20% lebih. Maka dari itu, menilai
kadar HbCO dapat digunakan untuk menentukan status perokok seseorang dan karena HbCO
mempengaruhi eCO, maka eCO juga dapat digunakan.

Sebuah penelitian menemukan rata-rata kadar eCO setinggi 17ppm pada perokok normal
sedangkan mereka yang tidak merokok memiliki kadar eCO setinggi 3 – 5ppm. Penelitian
tersebut serta beberapa penelitian lain menentukan nilai cutoff setinggi 6 – 6,5ppm untuk
membedakan perokok dan non-perokok. Penelitian-penelitian tersebut menyatakan kadar eCO
yang lebih tinggi dari itu menandakan seseorang tersebut adalah perokok aktif dengan
sensitivitas 90 -96% dan spesifisitas 80 – 93%. Namun, penelitian lain menyatakan bahwa
kadar eCO yang lebih rendah dari 6ppm tidak langsung mengeksklusi seseorang tidak merokok
dalam 24 jam terakhir. Terlebih lagi, nilai cutoff yang digunakan pada setiap CO analyser
berbeda-beda sehingga patut diperhatikan nilai cutoff masing-masing alat.

Selain daripada menentukan status perokok seseorang, menilai kadar eCO perokok juga
berguna dalam beberapa hal lain. Para perokok yang berusaha berhenti seringkali mengganti
jenis rokok mereka dengan rokok yang diiklankan sebagai rokok “light” atau “mild” yang lebih
ringan atau sehat. Kenyataannya, perokok yang mengganti rokok mereka dengan rokok-rokok
tersebut tetap memiliki kadar eCO yang sama tingginya atau bahkan lebih tinggi. Pengukuran
eCO dapat kemudian digunakan untuk menyangkal hal tersebut dan membuat perokok benar-
benar berhenti. Kegunaan lainnya adalah untuk memperkirakan keberhasilan berhenti merokok
seseorang. Perokok seringkali tidak langsung berhenti begitu saja. Mereka mengurangi jumlah
rokok yang mereka hisap sehari-harinya. Pengukuran eCO secara mingguan ditemukan dapat
membantu memprediksi keberhasilan dimana seorang perokok yang mengalami penurunan
kadar eCO secara mingguan lebih besar kemungkinannya untuk berhenti merokok
dibandingkan dengan mereka yang tidak mengalami penurunan sama sekali. Penurunan kadar
eCO secara mingguan juga dapat memberikan motivasi tambahan dan memperbesar
keberhasilan.
Terdapat beberapa hal yang mempengaruhi kadar eCO seorang perokok. Genetik ditemukan
dapat berperan dimana seseorang dengan metabolisme nikotin yang lebih lambat memiliki
kadar eCO yang lebih rendah. Hal ini penting dikarenakan semakin cepat metabolisme nikotin
seseorang maka semakin besar kemungkinan seseorang menderita kanker. Hal lain yang
mempengaruhi kadar eCO adalah penyakit-penyakit paru seperti PPOK dan asma. Atas dasar
ini, beberapa penelitian memberikan nilai cutoff yang lebih tinggi bagi perokok yang memiliki
penyakit paru.
BAB III

KESIMPULAN

Pemeriksaan kadar karbon monoksida dapat dilakukan menggunakan dua cara yaitu
pada nafas ekshalasi (eCO) atau di dalam darah (HbCO). Pemeriksaan eCO bersifat non-invasif
dan lebih mudah untuk dilakukan pada situasi klinis. Alat yang digunakan bersifat portable
dan pemeriksaan dapat dilakukan dalam waktu singkat.

Pemeriksaan kadar karbon monoksida ditemukan berguna sebagai penanda penyakit-


penyakit tertentu dan juga respons terhadap terapi yang diberikan. Beberapa penyakit yang
ditemukan berhubungan dengan kadar karbon monoksida adalah PPOK, asma, dan pneumonia.
Pada beberapa penyakit lain seperti ISPA dan sepsis masih membutuhkan penelitian lebih
lanjut untuk mendapatkan hubungan yang lebih kuat dari keduanya. Pemeriksaan kadar karbon
monoksida juga ditemukan dapat berguna untuk mendeteksi BOS pada pasien penerima
transplantasi paru.

Pemeriksaan kadar karbon monoksida dalam tubuh baik melalui nafas atau darah
memiliki potensial yang besar untuk dapat digunakan dalam berbagai situasi klinis. Akan tetapi,
sampai saat ini belum didapatkan konsensus baik mengenai metode pengambilan sampel
apakah pada nafas atau darah, instrument yang sebaiknya digunakan, dan juga cutoff dari kadar
karbon monoksida yang bermakna dalam situasi klinis. Maka dari itu, dibutuhkan penelitian
lebih lanjut untuk benar-benar menemukan kegunaan pemeriksaan kadar karbon monoksida.
DAFTAR PUSTAKA

1. Hess D. Inhaled Carbon Monoxide: From Toxin to Therapy. Respir Care.


2017;62(10):1333-42.
2. Ryter S, Choi A. Carbon monoxide in exhaled breath testing and therapeutics.
J Breath Res. 2013;7:1-14.
3. Bittoun R. Carbon monoxide meter: the essential clinical tool – the “stethoscope
– of smoking cessation. Jour Smoke Cess. 2008;3(2):69-70.
4. Gajdocsy R, Horvath I. Exhaled carbon monoxide in airway disease: from
research finding to clinical relevance. J Breath Res. 2010;4:1-7.
5. Chatkin H, Chatkin M, Aued G, Petersen G, Jeremias E, Thiessen F. Evaluation
of the exhaled carbon monoxide levels in smokers with COPD. J Bras Pneumol.
2010;36(3):332-38.
6. Antus B, Drozdovszky O, Barta I. Assessment of exhaled carbon monoxide in
exacerbations of chronic obstructive pulmonary disease. 2016;103(2):211-19.
7. Pogson Z et al. Exhaled carbon monoxide in asthmatic adults with bronchial
reactivity: a prospective study. J Asthma. 2009;46(7):665-69.
8. Morimatsu H et al. An increase in exhaled CO concentration in systemic
inflammation/sepsis. J Breath Res. 2010;4:1-4.
9. Vos R et al. Exhaled carbon monoxide as a noninvasive marker of airway
neutrophilia after lung transplantation. Transplantation. 2009;87(10):1579-83.
10. Shaoqing Y, Yingjian C, Jianqiu C, Yanshen W, Genhong L. A meta-analysisi
of the association of exhaled carbon monoxide on asthma and allergic rhinitis.
Clin Rev Allergy Immunol. 2011;41(1):67-75.

Anda mungkin juga menyukai