Anda di halaman 1dari 9

DESKRIPSI KASUS

I. IDENTITAS PASIEN
Nama : An. S
Usia : 3th
Jenis kelamin : Perempuan
Alamat : Kediri

II. ANAMNESIS
Keluhan Utama : ada putih-putih di pinggir manik mata
Riwayat Penyakit Sekarang :
1 minggu, tiap malam anak kucek-kucek mata
Mata merah (+), tai mata (-)
Dibawa ke bidan, diberi obat oxytetracycline dan obat pil serta sirup,
namun sampai obat habis tidak ada perbaikan
Riwayat Penyakit Dahulu :
Sakit mata sebelumnya (-)
Sakit seperti ini (-)
Tidak ada riwayat alergi
Riwayat Penyakit Keluarga :
Sakit seperti ini (-)
Ibu pasien riwayat alergi telur
Riwayat Psikososial :
Suka bermain sepeda tiap hari di luar rumah
Anak suka makan sayur dan buah, tidak minum susu

III.PEMERIKSAAN FISIK
Status Generalis
Kesadaran : Compos mentis
Status gizi : Baik

1
Vital Sign
Nadi : 90 kali / menit
RR : 24 kali / menit

Status Lokalis: Mata

OD OS

Visus 5/60

Pergerakan semua arah semua arah


bola mata

TIO (-) dievaluasi (-) dievaluasi


.

OD OS

Pemeriksaan Segmen Anterior

Palpebra Edema (-), Hiperemi (-) Edema (-), Hiperemi (-)

Konjungtiva CVI (+) CVI (+)

Kornea PCVI (-), Trantas dots (+) PCVI (-), Trantas dots (+)

BMD Dalam Dalam

Iris Reguler, sinekia (-) Reguler, sinekia (-)

Pupil Refleks pupil (+), bulat (+) 3 Refleks pupil (+), bulat (+)
mm 3 mm

Lensa Jernih Jernih

Pemeriksaan Segmen Posterior

(-) dievaluasi (-) dievaluasi

2
IV. DIAGNOSIS
ODS Konjungtivitis Vernal

V. DIAGNOSIS BANDING
Konjungtivitis alergika musiman (Hay Fever Conjunctivitis)
Trakoma

VI. TERAPI
Non Medikamentosa
Menghindari allergen
Artificials tears
Kompres dingin
Medikamentosa
Topikal : Antihistamin Levocabastine 0,05%, 4x1 tetes/hari ODS
Mast cell stabilizers Lodoxamide tromethamine 0,1%, 1-2
tetes/6 jam ODS
NSAID Ketorolac 0,5%, 4x1 tetes/hari ODS

VII. PROGNOSIS
Prognosis umumnya baik karena sebagian besar kasus dapat
sembuh spontan (self-limited disease), namun prognosis penyakit dapat
pula menjadi buruk bila terjadi komplikasi yang diakibatkan oleh
penanganan yang kurang baik.

VIII. DISKUSI
Kedua mata pasien didiagnosa dengan konjungtivitis vernal.
Dalam studi kepustakaan, menurut American Ophtalmetric
Association (2002) konjungtivitis adalah sebuah inflamasi dari
konjungtiva dengan tanda paling umum adalah konjungtiva hiperemi
dan discharge okular. Konjungtivitis adalah penyakit mata paling
umum di dunia. Penyakit ini bervariasi mulai dari hiperemia ringan

3
dengan mata berair sampai konjungtivitis berat dengan banyak sekret
purulen kental. Penyebab umumnya eksogen, tetapi bisa juga endogen
(Vaughan, 2010). Sedangkan konjungtivitis vernal adalah suatu
keradangan bilateral konjungtiva yang berulang menurut musim,
sebagai akibat reaksi hipersensitif tipe I dengan gambaran spesifik
hipertropi papil di canaltarsus dan limbus. Penyebab utama terjadinya
konjungtivitis vernal adalah reaksi alergi (Lukitasari, 2012).
Patogenesis terjadinya kelainan ini belum diketahui secara jelas,
tapi terutama dihubungkan dengan reaksi hipersensitivitas pada mata.
Reaksi hipersensitivitas tipe I merupakan dasar utama terjadinya
proses inflamasi pada konjungtivitis vernalis. Pemeriksaan
histopatologik dari lesi di konjungtiva menunjukkan peningkatan sel
mast, eosinofil dan limfosit pada subepitel dan epitel. Dalam
perjalanan penyakitnya, infiltrasi sel dan penumpukan kolagen akan
membentuk papil raksasa. Penemuan ini menjelaskan bahwa
konjungtivitis vernalis bukan murni disebabkan oleh reaksi
hipersensitivitas tipe I fase cepat, melainkan merupakan kombinasi
tipe I dan IV (Widyastuti, 2004).
Faktor lain yang berperan adalah aktivitas mediator non IgE oleh
sel mast. Reaksi hipersensitivitas tipe I dimulai dengan terbentuknya
antibodi IgE spesifik terhadap antigen bila seseorang terpapar pada
antigen tersebut. Antibodi IgE berperan sebagai homositotropik yang
mudah berikatan dengan sel mast dan sel basofil. Ikatan antigen
dengan antibodi IgE ini pada permukaan sel mast dan basofil akan
menyebabkan terjadinya degranulasi dan dilepaskannya mediator-
mediator kimia seperti histamin, slow reacting substance of
anaphylaxis, bradikinin, serotonin, eosinophil chemotactic factor, dan
faktor-faktor agregasi trombosit (Widyastuti, 2004).
Histamin adalah mediator yang berperan penting, yang
mengakibatkan efek vasodilatasi, eksudasi dan hipersekresi pada
mata. Keadaan ini ditandai dengan gejala seperti mata gatal, merah,
edema, berair, rasa seperti terbakar dan terdapat sekret yg bersifat

4
mukoid. Terjadinya reaksi hipersensitivitas tipe I fase lambat
mempunyai karakteristik, yaitu dengan adanya ikatan antara antigen
dengan IgE pada permukaan sel mast, maka mediator kimia yang
terbentuk kemudian akan dilepaskan seperti histamin, leukotrien C4
dan derivat-derivat eosinofil yang dapat menyebabkan inflamasi di
jaringan konjungtiva (Widyastuti, 2004).
Reaksi hipersensitivitas tipe IV, terjadi karena sel limfosit T yang
telah tersensitisasi bereaksi secara spesifik dengan suatu antigen
tertentu, sehingga menimbulkan reaksi imun dengan manifestasi
infiltrasi limfosit dan monosit (makrofag) serta menimbulkan indurasi
jaringan pada daerah tersebut. Setelah paparan dengan alergen,
jaringan konjungtiva akan diinfiltrasi oleh limfosit, sel plasma,
eosinofil dan basofil. Bila penyakit semakin berat, banyak sel limfosit
akan terakumulasi dan terjadi sintesis kolagen baru sehingga timbul
nodul-nodul yang besar pada lempeng tarsal. Aktivasi sel mast tidak
hanya disebabkan oleh ikatan alergen IgE, tetapi dapat juga
disebabkan oleh anafilatoksin, IL-3 dan IL-5 yang dikeluarkan oleh
sel limfosit. Selanjutnya mediator tersebut dapat secara langsung
mengaktivasi sel mast tanpa melalui ikatan alergen IgE. Reaksi
hiperreaktivitas konjungtiva selain disebabkan oleh rangsangan
spesifik, dapat pula disebabkan oleh rangsangan non spesifik, misal
rangsangan panas sinar matahari, angin (Widyastuti, 2004).
Gejala klinis utama adalah rasa gatal yang terus menerus pada
mata, mata sering berair, rasa terbakar atau seperti ada benda asing di
mata. Gejala lainnya fotofobia, ptosis, sekret mata berbentuk mukus
seperti benang tebal berwarna hijau atau kuning tua. Konjungtivitis
vernal dapat terjadi pada konjungtiva tarsalis atau limbus, atau terjadi
bersamaan dengan dominasi pada salah satu tempat tersebut. Pada
konjungtiva tarsalis superior dapat dijumpai gambaran papil
cobblestone yang menyerupai gambaran mozaik atau hipertrofi papil.
Sedangkan pada limbus dijumpai satu atau lebih papil berwarna putih
yang disebut sebagai trantas dots, yaitu terdiri dari tumpukan sel-sel

5
eosinofil. Apabila penyakit meluas sampai kornea, disebut sebagai
keratokonjungtivitis vernalis dan digolongkan ke dalam penyakit yang
lebih berat, karena dapat menyebabkan penurunan visus (Widyastuti,
2004).
Penatalaksanaan konjungtivitis vernal bertujuan untuk meredakan
gejala mengingat penyakit ini dapat sembuh dengan sendirinya setelah
2-10 tahun. Prinsip pengobatan bersifat konservatif. Tata laksana
konjungtivitis vernalis, yaitu :
1. Terapi utama berupa penghindaran terhadap semua
kemungkinan alergen penyebab (Widyastuti, 2004).
2. Terapi medikamentosa
Pemberian vasokonstriktor topikal dapat mengurangi gejala
kemerahan dan edem pada konjungtiva (Widyastuti, 2004).
Namun, vasokonstriktor adalah dekongestan okular dan harus
digunakan dengan hati-hati pada anak yang lebih tua dan
dihindari pada usia di bawah 6 tahun (Myers et al, 2005).
Pemberian stabilisator sel mast yaitu Natrium kromoglikat
2% atau Sodium kromolyn 4% atau Lodoxamide trometamin
dapat mencegah degranulasi dan lepasnya substansi
vasoaktif, sehingga dapat mengurangi kebutuhan akan
kortikosteroid topikal. Pemakaian Lodoxamide dikatakan
mempunyai efek yang lebih baik dibandingkan dengan
Natrium kromoglikat 2% maupun Sodium kromolyn 4%
(Widyastuti, 2004). Stabilisator sel mast umumnya aman dan
memiliki efek samping mata minimal, walaupun mungkin
ada beberapa masalah tolerabilitas, karena transient burning
atau rasa tersengat yang dapat terjadi pada saat aplikasi
(Leonardi, 2013).
Antihistamin, bertindak antagonis melalui reseptor histamin
untuk menghambat efek peradangan histamin endogen dan
mencegah atau meringankan tanda dan gejala yang terkait
(mengurangi sensasi gatal, edema). Sebagian besar

6
antihistamin yang digunakan dalam pengobatan alergi adalah
antagonis reseptor H1, walaupun beberapa agen memiliki
afinitas untuk subtipe reseptor lainnya. Antihistamin yang
memiliki durasi tindakan yang lama (4-6 jam), dan lebih baik
ditoleransi termasuk Levocabastine 0,05% dan Emedastine
difumarate 0,05% (Leonardi, 2013).
Pemberian obat antiinflamasi non-steroid topikal seperti
Diklofenak, Suprofen, Flubirofen dan Ketorolac dapat
menghambat kerja enzim siklooksigenase, namun saat ini
hanya Ketorolac yang mendapat rekomendasi dari Food Drug
Administration (Widyastuti, 2004).
Bila obat-obatan topikal tidak adekuat maka dapat
dipertimbangkan pemberian kortikosteroid topikal.
Kortikosteroid okular topikal digunakan untuk mengobati
bentuk yang lebih parah dan kronis. Bila diberikan melalui
jalur topikal, ini adalah agen antiinflamasi yang paling
manjur, karena mengganggu sintesis protein intraseluler dan
menghambat fosfolipase A2 - enzim yang bertanggung jawab
untuk pembentukan asam arakhidonat. Mereka juga
menghambat produksi sitokin dan migrasi sel inflamasi.
Sejumlah kortikosteroid yang berbeda tersedia, dengan
berbagai potensi (dari potensi yang lebih besar ke kurang):
medroksiprogesteron, fluoronolon, deksametason dan
prednison (Sanchez, 2011).
Kortikosteroid berpotensi menyebabkan efek samping yang
penting, seperti pembentukan katarak, tekanan intraokular
dan infeksi yang meningkat. Obat ini harus digunakan untuk
jangka waktu singkat tidak lebih dari dua minggu.
Deksametason, prednisolon dan fluorometholon adalah
kortikosteroid dengan gugus keton dalam karbon 20, dan
berhubungan dengan pembentukan katarak dan peningkatan
tekanan intraokular (Sanchez, 2011).

7
Pengobatan sistemik dengan antihistamin oral atau
antileukotrien dapat mengurangi tingkat keparahan flares-up
dan hiperaktifitas umum. Antagonis reseptor H1 generasi
pertama dapat memberikan sedikit kelainan pada okular,
namun bersifat menenangkan dan memiliki efek
antikolinergik seperti mulut kering, mata kering, penglihatan
kabur dan retensi urin. Antihistamin generasi kedua
menawarkan efikasi yang sama seperti pendahulunya, namun
dengan profil rendah dan tidak adanya aktivitas
antikolinergik. Obat ini termasuk Acrivastine, Cetirizine,
Ebastine, Fexofenadine, Loratadine dan Mizolastine
(Leonardi, 2013).
3. Terapi Suportif (Widyastuti, 2004)
Kompres dingin pada mata dan menggunakan
kacamata hitam atau topi.
Tetes mata artifisial dapat melarutkan alergen dan
berguna untuk mencuci mata.
Hindari mengucek-ngucek mata dan menyentuh mata
dalam keadaan tangan kotor.
Klimatoterapi seperti pendingin udara di rumah atau
pindah ke tempat berhawa dingin.
4. Terapi bedah
Terapi bedah yang dapat dilakukan adalah otograf
konjungtiva dan krio terapi, namun kelemahan kedua terapi
ini dapat menyebabkan terjadinya sikatriks, trikiasis,
defisiensi air mata dan entropion (Widyastuti, 2004).

Walaupun penyakit ini termasuk self-limiting disease, namun bila


proses konjungtivitis tidak dapat teratasi maka prognosisnya menjadi
buruk (Widyastuti, 2004).

8
DAFTAR PUSTAKA

American Ophtalmetric Association. 2002. Optometric Clinical Practice

Guideline Care of the Patient with Conjungtivitis. USA: AOA.

Leonardi A. 2013. Manafement of Vernal Keratoconjungtivitis. Diunduh dari

https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC4108143/

Lukitasari A. 2012. Konjungtivitis Vernalis. Jurnal Kedokteran Syiah Kuala Vol.

12 No. 1. Banda Aceh: Bagian Ilmu Penyakit Mata FK Universitas Syiah

Kuala.

Myers, Teresa M, David K. Wallace, Sandra M. Johnson. 2005. Ophthalmic

Medications in Pediatric Patients. Diunduh dari

https://www.medscape.com/viewarticle/504199_5

Snchez, MC, B. Fernndez Parra, V. Matheu, et al. 2011. Allergic Conjunctivitis.

J Investig Allergol Clin Immunol 2011; Vol. 21, Suppl. 2: 1-19

Vaughan, 2010. Konjungtiva. Dalam buku Vaughan & Asbury. Oftalmologi

Umum. Edisi 17. Jakarta: ECG

Widyastuti, Siti Budiati, Sjawitri P. Siregar. 2004. Konjungtivitis Vernalis. Sari

Pediatri Vol. 5 No. 4, Maret 2004: 160-164

Anda mungkin juga menyukai