Anda di halaman 1dari 29

MAKALAH

TULI PERSEPSI DAN TULI KONDUKSI

Di Susun Oleh :

Adinda Cahya Firdausi (1901110568/S1Kep /06 / 01)

Duwi Mulyosari (1901110575/S1Kep/06/08)

PROGRAM STUDI S1 KEPERAWATAN

SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN KENDEDES MALANG

Tahun Ajaran 2021

JL. R. Panji Suroso No. 6 Malang Kode pos 65126

Telp. (0341) 488762 Faks : (0341) 488483


Kata Pengantar

Puji syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa yang telah
menganugerahkan banyak nikmat sehingga kami dapat menyusun Makalah Komunitas
Medikal Bedah III ini dengan baik. Makalah ini berisi tentang uraian hasil riset mengenai
“Tuli Persepsi dan Tuli Konduksi’’.

Makalah ini kami susun secara cepat dengan bantuan dan dukungan berbagai pihak
diantaranya; Ibu chintia kartika, S.Kep., Ns., M.Kep selaku penanggung jawab mata kuliah
Keperawatan Jiwa, Ibu Putu Sintya A A., M.Kep selaku wali kelas Achenar Ibu Yulia candra
L., M.Kep selaku Ketua Prodi S1 Keperawatan. Oleh karena itu kami sampaikan terima kasih
atas waktu, tenaga dan pikirannya yang telah diberikan.

Dalam penyusunan makalah ini, kami menyadari bahwa hasil makalah ini masih jauh
dari kata sempurna.

Sehingga kami selaku penyusun sangat mengharapkan kritik dan saran yang
membangun dari pembaca sekalian. Akhir kata Semoga laporan praktikum ini dapat
memberikan manfaat untuk kelompok kami khususnya, dan masyarakat Indonesia umumnya.

Malang , 05 Oktober 2021

Penyusun
DAFTAR ISI

COVER
LATAR BELAKANG…………………...…………………………………………………ii
DAFTAR ISI…………………………………...…………………………………….….….iii

BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang………...……………………………………...……….……………1
1.2 Rumusan Maslah…………………………………………...……….………………2
1.3 Tujuan Penulisan………………………………………...………….………………2

BAB II KONSEP DASAR


2.1 Definisi ……….…………........…...……………...……………...….…………….7
2.2 Etiologi ………….……..………………...…….……………………...…….…….7
2.3 Manifestasi Klinis ………………………………………………………….…...…8
2.4 Patofisiologi……………………………………...…...………………..…………..10
2.5 Pemeriksaan Penunjang……………………………………………………………12
2.6 Penatalaksanaan……………………………………………………………………17
2.7 Komplikasi …………………………………………………………………..……18

BAB III PENUTUP


3.1 Pengkajian………………………………………………………………………….19
3.2 Diagnosa ……………………………………………………………….....……….24
3.3 Intervensi………………………………………………………………...…………
24
3.4 Implementasi……………………………………………………...………………..26
3.5 kesimpulan………………………………………………………………...……….27

BAB Iv Penutup
4.1 Kesimpulan………………………………………………………………...………28
4.2 Saran……………………………………………………………………...………..28

DAFTAR PUSTAKA
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Gangguan pendengaran tuli dapat ditimbulkan oleh beberapa faktor, diantaranya
yaitu faktor keturunan, kongenital, virus, peradangan selaput otak, efek dari obat
ototoksik yang dapat merusak sel sensori pendengaran, dapat juga karena bising (noise
induced hearing loss / NIHL) serta presbikusis atau degenerasi fungsi pendengaran pada
lansia.
Secara garis besar ketulian dibagi menjadi dua yakni tuli konduksi dan tuli
persepsi.Tuli konduksi adalah kelainan yang terletak antara meatus akustikus eksterna
sampai dengan tulang pendengaran stapes. Sedangkan tuli persepsi (sensori neural
hearing-loss) yaitu kelainan yang terletak dimulai dari organ korti di koklea sampai
dengan pusat pendengaran di otak. Jika tuli konduksi dan tuli persepsi timbul bersamaan,
disebut mix-hearing loss atau tuli campuran. Untuk mengetahui jenis ketulian diperlukan
pemeriksaan pendengaran, yang dapat dideteksi dengan cara yang paling sederhana
sampai dengan alat elektro - akustik yang disebut audiometri atau timpanometri.
Menurut John Hopkins Medicine pada Hearing Loss Association of America bahwa
sekitar 20% orang dewasa US, 48 juta dilaporkan mengalami ketulian. Sekitar 2- 3 dari
1000 anak dilaporkan mengalami ketulian berat. Prevalensi tuli saraf yang disebabkan
oleh presbikusis hasilnya bervariasi, diperkirakan terjadi pada 30-45% orang dengan usia
di atas 65 tahun. Mengetahui hal tersebut, maka tenaga perawat perlu mengenali
gangguan pada fungsi pendengaran sesorang dan mengetahui cara memberikan suatu
asuhan keperawatan pada pasien dengan gangguan tuli konduksi ataupun tuli persepsi.
1.2 Rumusan Masalah
1. Apakah pengertian dari tuli persepsi dan konduksi ?
2. Apa sajakah faktor yang dapat menyebabkan tuli persepsi dan konduksi ?
3. Bagaimanakah patofisiologi dari tuli persepsi dan konduksi ?
4. Bagaimanakah manifestasi klinis dari tuli persepsi dan konduksi ?
5. Bagaimanakah pemeriksaan diagnostik dari tuli persepsi dan konduksi ?
6. Bagaimana penatalaksanaan dari tuli persepsi dan konduksi ?
7. Bagaimanakah Asuhan keperawatan dari tuli persepsi dan konduksi ?
1.3 Tujuan
1. Mengidentifikasi pengertian tentang tuli persepsi dan konduksi.
2. Menjelaskan etiologi yang menyebabkan terjadinya tuli persepsi dan tuli konduksi.
3. Menjelaskan patofisiologi dari tuli persepsi dan konduksi.
4. Menjelaskan manifestasi klinis tuli persepsi dan tuli konduksi.
5. Menjelaskan pemeriksaan diagnostik dari tuli persepsi dan konduksi.
6. Menjelaskan penatalaksanaan dari tuli persepsi dan konduksi.
7. Menjelaskan asuhan keperawatan dari tuli persepsi dan konduksi.
BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Definisi

1. Tuli Konduksi
Tuli konduksi adalah gangguan yang terjadi pada telinga bagian luar dan
tengah, sehingga menghambat bunyi-bunyian yang akan masuk ke dalam telinga.
Kelainan telinga luar yang menyebabkan tuli konduksi antara lain, otalgia, atresia
liang telinga, sumbatan oleh serumen, otitis eksterna sirkumskripta, otitis eksterna
maligna, dan osteoma liang teliga. Kelainan telinga tengah yang menyebabkan tuli
konduksi anatara lain sumbatan tuba eustachius, otitis media, otosklerosis,
timpanisklerosia, hemotimpanum, dan dislokasi tulang pendengaran (Soetirto, 2003).
Tuli konduksi terjadi ketika gelombang suara terhambat dan tidak terjadi
kontak dengan nerves fiber di teliga bagian dalam karena inflamasi atau obstruksi
pada telinga bagian dalam atau tengah oleh serumen atau benda asing, otitis media,
tumor, maupun peningkatan jaringan lunak pada ossicles (Ignatavicius, 2010).
2. Tuli Persepsi
Tuli perseptif yaitu gangguan pendengaran berupa berkurangnya pendengaran
disebabkan kelainan pada telinga tengah, nervus vestibulochohlearatau pada proses
sentral diotak dan tidak bisa kembali ke normal (Hearing Loss Association of
America).
Tuli sensorineural terbagi atas tuli sensorineural koklea dan tuli sensorineural
retrokoklea.Tuli sensorineural koklea disebabkan aplasia, labirinitis, intoksikasi obat
ototoksik atau alkohol. Disebabkan jugaoleh tuli mendadak, trauma kapitis, trauma
akustik dan pemaparan bising. Tuli sensorineural retrokoklea disebabkan neuoroma
akustik, tumor sudut pons serebellum, mieloma multipel, cedera otak, perdarahan
otak, dan kelainan otak lainnya (Soetirto, 2003).
2.2 Etiologi
1. Tuli Konduksi
a. Menurut anatomi organ telinga
1) Dalam meatus akustikus eksterna : atresia liang telinga, cairan (sekret, air) dan
benda padat (serumen, benda asing) atau tumor, otitis eksterna sirkumskripta,
osteoma liang telinga.
2) Kerusakan membrana timpani : otitis media, otosklerosis, timpanosklerosis,
hemotimpanum dan dislokasi tulang pendengaran, perforasi, ruptur membrane
tympani.
3) Dalam kavum timpani : kelebihan (kekurangan) udara pada okiusi tuba, (darah,
sekret pada otitis media), tumor.
4) Pada osikula : gerakannya terganggu oleh sikatriks, destruksi karena otitis
media, ankilosis stapes pada otosklerosis dan luksasi oleh trauma.
5) Tuba katar/ sumbatan tuba eusthaciu
b. Proses Degeneratif
1) Berkurangnya elastisitas dan bertambah besarnya ukuran daun telinga (pinna)
2) Atropi dan bertambah kakunya liang telinga
3) Membrane tympani bertambah tebal dan kaku
4) Kekuatan sendi tulang-tulang pendengaran menurun.
c. Kelainan bawaan / Kongenital
Atresia liang telinga, hipoplasia telinga tengah, kelainan posisi tulang-tulang
pendengaran dan otosklerosis. Mutasi gen GJB2 pada kromosom13. Gangguan ini
memiliki hubungan autosomal dominan pada penurunan keturunan.
d. Gangguan pendengaran yang didapat, misal otitis media dan adanya tumor.
2. Tuli Persepsi
a. Kongenital
1) Aplasia kokhlea.
2) Kelainan kromosom.
3) Kolesteatom conginetal.
b. Proses inflamasi: labiryinitis, mumps, meningitis, measles, syphilis.
c. Obat-obatan yang bersifat ototoxic
1) Aminoglikosid (tersering: tobramycin).
2) Loop diuretic (tersering: furosemid).
3) Antimetabolik (methotrexate).
4) Salisilat (aspirin).
d. Trauma rudapaksa atau kecelakaan yang dapat mengakibatkan ruptur labirin atau
komosio labirin.
e. Operasi: karena kurang hati-hatinya operator dalam pemakaian alat seperti bor
frekuensi tinggi.
f. Noise induce (trauma suara): sering terpapar dengan suara yang keras dalam waktu
yang lama (>90 db) dapat menyebabkan SNHL.
g. Faktor usia atau degeneratif (presbyacusis).
h. Tuli tiba-tiba (sudden hearing loss) bisa disebabkan oleh:
1) Idiopatic.
2) Pembuluh darah yang iskemic di telinga dalam.
3) Fistula perilimfa: biasanya disebabkan karena rupturnya tingkap lonjong atau
bulat yang berakibat pada bocornya perilimfe.
i. Autoimun: seperti Wegener's granulomatosis.
j. Tumor acustik neuroma (Vestibular schwannoma), tumor sudut (cerebellopontine)
dan meningioma.
k. Penyakit lain
1) Penyakit meniere sebabkan tuli perspektif nada rendah (125 Hz to 1000 Hz).
2) Measles (jika terjadi kerusakan pada saraf pendengaran).
3) Fetal alkohol syndrome (efek ototoxic).
4) Otitis media supurativ kronik yang berlanjut penyakit sistemik kronik yang lain.
5) Diabetes.
2.3 Patofisiologi
1. Tuli Konduksi
Tuli konduktif disebabkan kelainan di telinga luar atau telinga tengah.
Kelainan telinga luar yang menyebabkan tuli konduktif adalah otalgia, atresia liang
telinga, sumbatan oleh serumen, otitis eksterna sirkumskripta, otitis eksterna maligna,
dan osteoma liang telinga. Kelainan telinga tengah yang menyebabkan tuli konduktif
ialah sumbatan tuba eustachius, otitis media, otosklerosis, timpanisklerosia,
hemotimpanum, dan dislokasi tulang pendengaran.
2. Tuli Persepsi
Menurut Boies &Adams (1997) mekanisme terjadinya tuli perseptif tergantung faktor
penyebabnya :
1. Presbikusis Pada kasus ini terjadi perubahan struktur pada koklea dan nervus
akustik, berupa atrofi dan degenerasi sel - sel penunjang organocorti, disertai
perubahan vaskuler pada stria vaskularis, dimana jumlah dan ukuran sel-sel
ganglion dan saraf berkurang.
2. Tuli akibat bising (noise induced). Tuli yang terjadi diakibatkan oleh bising dengan
intensitas 85db atau lebih yang mengakibatkan kerusakan pada reseptor
pendengaran corti di telinga dalam terutama yang berfrekuensi 3000 – 6000 Hz.
3. Tuli mendadak. Penyebab paling sering dari tuli mendadak ini adalah iskemia
koklea yang berakibat pada degenerasi yang luas pada sel-sel ganglion stria
vasikularis dan ligamen spiral. Selanjutnya diikuti dengan pembentukan jaringan
ikat dan penulangan. Pada kasus ini kerusakan sel rambut yang terjadi tidaklah luas
dan membran basal jarang terkena.
4. Tuli akibat obat -obatan yang ototosik seperti aminoglisida obat ini menyebabkan
tuli yang biasanya bersifat bilateral dan bernada tinggi dikarenakan hilangnya sel
rambut pada putaran basal koklea. Sedangkan obat-obat diuretik menyebabkan tuli
yang sebagian besar bersifat sementara dengan cara menyebabkan perubahan
komposisi elektrolit cairan dalam endolimfe. 5
5. Penyakit Meniere. Tuli yang terjadi adalah tuli nada rendah, disebabkan karena
adanya hidrops endolimfa pada koklea dan vestibulum. Hidrops ini dapat
disebabkan karena:
a) Meningkatnya tekanan hidrostatik pada ujung arteri.
b) Berkurangnya tekanan osmotik didalam kapiler, dan meningkatnya tekanan
osmotik extrakapiler
c) Jalan keluar sakus endolimfatikus tersumbat, sehingga terjadi penimbunan
cairan endolimfa. Hal-hal tersebut menyebabkan pembengkakan pada skala
media yang dapat berakibat pada ruptrunya membran Reisner dan terjadilah
percampuran cairan endolimfe dan perilimfe.
6. Neuroma Akustik. Pada kasus ini terdapat tumor jinak yang membungkus nervus
vestibulochochlear yang berakibat pada tuli sensorineural yang unilateral, dengan
gejala mula-mula ringan. Tumor ini menyebabkan gangguan pendengaran dengan
cara menghancurkan saraf-saraf saluran telinga dalam.
2.4 Manifestasi Klinis
1. Tuli Konduksi
1. Ada riwayat keluarnya carian dari telinga atau riwayat infeksi telinga sebelumnya.
2. Perasaan seperti ada cairan dalam telinga dan seolah-olah bergerak dengan
perubahan posisi kepala.
3. Dapat disertai tinitus (biasanya suara nada rendah atau mendengung). d. Bila kedua
telinga terkena, biasanya penderita berbicara dengan suara lembut (soft voice)
khususnya pada penderita otosklerosis.
4. Kadang-kadang penderita mendengar lebih jelas pada suasana ramai.
5. Menurut Lalwani, pada pemeriksaan fisik atau otoskopi, dijumpai ada sekret dalam
kanal telinga luar, perforasi gendang telinga, ataupun keluarnya cairan dari telinga
tengah. Kanal telinga luar atau selaput gendang telinga tampaknormal pada
otosklerosis. Pada otosklerosis terdapat gangguan pada rantai tulang pendengaran.
Pada tes fungsi pendengaran, yaitu tes bisik, dijumpai penderita tidak dapat
mendengar suara bisik pada jarak lima meter dan sukar mendengar kata-kata yang
mengandung nada rendah. Melalui tes garputala dijumpai Rinne negatif. Dengan
menggunakan garputala 250 Hz dijumpai hantaran tulang lebih baik dari hantaran
udara dan tes Weber didapati lateralisasi ke arah yang sakit. Dengan menggunakan
garputala 512 Hz, tes Scwabach didapati Schwabach memanjang(Soepardi dan
Iskandar, 2001).
2. Tuli Persepsi
1. Bila gangguan pendengaran bilateral dan sudah diderita lama, suara percakapan
penderita biasanya lebih keras dan memberi kesan seperti suasana yang tegang
dibanding orang normal. Perbedaan ini lebih jelas bila dibandingkan dengan suara
yang lembut dari penderita gangguan pendengaran jenis hantaran, khususnya
otosklerosis.
2. Penderita lebih sukar mengartikan atau mendengar suara atau percakapan dalam
suasana gaduh dibanding suasana sunyi.
3. Terdapat riwayat trauma kepala, trauma akustik, riwayat pemakaian obatobat
ototoksik, ataupun penyakit sistemik sebelumnya.
4. Menurut Soetirto, Hendarmin dan Bashiruddin, pada pemeriksaan fisik atau
otoskopi, kanal telinga luar maupun selaput gendang telinga tampak normal.
5. Pada tes fungsi pendengaran, yaitu tes bisik, dijumpai penderita tidak dapat
mendengar percakapan bisik pada jarak lima meter dan sukar mendengar katakata
yang mengandung nada tinggi (huruf konsonan).
6. Pada tes garputala Rinne positif, hantaran udara lebih baik dari pada hantaran
tulang. Tes Weber ada lateralisasi ke arah telinga sehat. Tes Schwabach ada
pemendekan hantaran tulang.
Pathway tuli kondukrif

Infeksi skunder (ISPA Trauma benda Kongenital


Sumbatan Tumor pada
bacteri streptococcus tumpul / tajam
telianga luar
hemophylus
dan tengah
Atresia liang telinga,
Rupture gendang hypoplasia telinga tengah,
telinga kelainan posisi tulang-tulang
pendengaran dan
otosklerosis
Invasi bakteri

Infeksi telinga
tengah

Tekanan udara pada


telinga tengah

Retraksi membrane
timpani

Hantaran suara atau udara


yang diterima menurun

tinitus Tuli konduktif

Indikasi penatalaksanaan medis


Penurunan Rasa penuh
pendengaran pada tellinga

Gangguan Peningkatan Pengobatan tidak Pre operasi Post


persepsi produksi cairan tuntas operasi

Kurangnya
Akumulasi cairan Resti infeksi informasi Terputusnya
Luka terbuka
muskus dan serosa intregitas
kulit
Mistake infeksi ke cemas
Resti infeksi
telinga tengah
Rupture membrane
Nyeri akut
timpani karena desakan
Gangguan
termogulasi
Secret keluar dan
berbau tidak enak
hipertermi
Gangguan body
image
Proses evaporasi
cairan

Resti kekurangan
volume cairan

Pathway tuli persepsi

Tuli persepsi

Pemaparan bising
Proses Tuli dari lingkungan
degenerasi mendadak
tulang dalam
pada lansia Lama tererpapar
Iskemia intensitas tinggi
koklea
presbicusis

Kesulitan Kesulitan dalam


Timbul tuli
Perbahan struktur berkomunikasi menjalin hubungan
koklea dan nervus interpersonal
Tuli ulinateral
Bising dengn
intensitas tinggi Harga diri rendah
Pendengaran Tinnitus,
berkrang secara vertigo nyeri
perlahan
Kerusakan
reseptor
Hambatan
Perubahan mobilitas
vaskularis jumlah Kurang
dan ukuran sel pendengaran,
ganglion titinus

Perubahan status
Sensasi kesehatan
pendengarann
dengan intensitas
yang redah ansietas

Hambatan
komunikasi
2.5 Pemeriksaan Diagnostik
1. Pemeriksaan Dengan Garputala
Pada orang dewasa, pendengaran melalui hantaran udara dinilai dengan
menempatkan garputala yang telah digetarkan di dekat telinga. Penurunan fungsi
pendengaran bisa menunjukkan adanya kelainan pada saluran telinga, telinga tengah,
telinga dalam, sarat pendengaran atau jalur saraf pendengaran di otak. Getaran akan
diteruskan ke seluruh tulang tengkorak, termasuk tulang koklea di telinga dalam.
Koklea mengandung sel-sel rambut yang merubah getaran menjadi gelombang saraf,
yang selanjutnya akan berjalan di sepanjang saraf pendengaran.
Pemeriksaan ini hanya menilai telinga dalam, saraf pendengaran dan jalur saraf
pendengaran di otak. Jika pendengaran melalui hantaran udara menurun, tetapi
pendengaran melalui hantaran tulang normal, dikatakan terjadi tuli konduktif.Jika
pendengaran melalui hantaran udara dan tulang menurun, maka terjadi tuli
sensorineural. Kadang pada seorang penderita, tuli konduktif dan sensorineural terjadi
secara bersamaan.Terdapat tiga macam test yang dilakukan menggunakan garpu tala,
antara lain:
a. Tes Weber
Garputala digetarkan kemudian diletakkan pada vertex dahi/ puncak dahi.
Pada penderita tuli konduktif, suara akan terdengar pada telingan yang sakit. Hal
tersebut biasa disebut dengan weber lateralisasi ke kanan. Namun pada penderita
dengan tuli persepsi, getaran garputala akan terdengar pada telinga yang normal.
b. Tes Rine
Test ini membandingkan antara konduksi melalui tulang dan udara. Garputala
digetarkan dan diletakkan pada prosesus mastoideus, kemudian dipindah ke depan
liang telinga setelah getaran tidak terdengar. Tanyakan penderita apakah masih
mendengar suara dari garputala tersebut. Hasil normal pada konduksi melalui udara
adalah 85-90 detik. Konduksi melalui tulang adalah 45 detik. Hasil rinne positif (+)
adalah pendengaran penderita baik juga pada penderita tuli persepsi. Hasil rinne
negatif (-) adalah yang didapat pada penderita tuli konduksi dimana jarak waktu
konduksi tulang mungkin sama atau lebih panjang.
c. Test Schwabach
Membandingkan jangka waktu konduksi tulang melalui verteks atau prosesus
mastoideus penderita dengan konduksi tulang pemeriksa. Pada kondisi tuli
konduksi, konduksi tulang penderita lebih panjang dari pada pemeriksa. Pada tuli
persepsi, konduksi tulang penderita sangat pendek.
2. Audiometri
Audiometri dapat mengukur penurunan fungsi pendengaran secara tepat, yaitu
dengan menggunakan suatu alat elektronik (audiometer) yang menghasilkan suara
dengan ketinggian dan volume tertentu. Ambang pendengaran untuk serangkaian nada
ditentukan dengan mengurangi volume dari setiap nada sehingga penderita tidak lagi
dapat mendengarnya.Telinga kiri dan telinga kanan diperiksa secara terpisah.Untuk
mengukur pendengaran melalui hantaran udara digunakan earphone, sedangkan untuk
mengukur pendengaran melalui hantaran tulang digunakan sebuah alat yang
digetarkan, yang kemudian diletakkan pada prosesus mastoideus.
3. Audiometri Ambang Bicara
Audiometri ambang bicara mengukur seberapa keras suara harus diucapkan
supaya dapat dimengerti. Kepada penderita diperdengarkan kata-kata yang terdiri dari
2 suku kata yang memiliki aksentuasi yang samapada volume tertentu. Dilakukan
perekaman terhadap volume dimana penderita dapat mengulang separuh kata-kata
yang diucapkan dengan benar.
4. Diskriminasi
Dengan diskriminasi dilakukan penilaian terhadap kemampuan untuk
membedakan kata-kata yang bunyinya hampir sama. Digunakan kata-kata yang terdiri
dari 1 suku kata, yang bunyinya hampir sama.Pada tuli konduktif, nilai diskriminasi
(persentasi kata-kata yang diulang dengan benar)biasanya berada dalam batas
normal.Pada tuli sensori, nilai diskriminasi berada di bawah normal.Pada tuli neural,
nilai diskriminasi berada jauh di bawah normal.
5. Timpanometri
Timpanometri merupakan sejenis audiometri yang mengukur impedansi
(tahanan terhadap tekanan) pada telinga tengah.Timpanometri digunakan untuk
membantu menentukan penyebab dari tuli konduktif.Prosedur in tidak memerlukan
partisipasi aktif dari penderita dan biasanya digunakan padaanakanak.Timpanometer
terdiri dari sebuah mikrofon dan sebuah sumber suara yang terus menerus
menghasilkan suara dan dipasang di saluran telinga.Dengan alat ini bisa diketahui
berapa banyak suara yang melalui telinga tengah dan berapabanyak suara yang
dipantulkan kembali sebagai perubahan tekanan di saluran telinga.Hasil pemeriksaan
menunjukkan apakah masalahnya berupa:
1) Penyumbatan tuba eustakius (saluran yang menghubungkan telinga tengah dengan
hidung bagian belakang).
2) Cairan di dalam telinga tengah.
3) Kelainan pada rantai ketiga tulang pendengaran yang menghantarkan suara melalui
telinga tengah.

Timpanometri juga bisa menunjukkan adanya perubahan pada kontraksi otot


stapedius, yang melekat pada tulang stapes. Dalam keadaan normal, otot ini
memberikan respon terhadap suara-suara yang keras atau gaduh (refleks akustik)
sehingga mengurangi penghantaran suara dan melindungi telinga tengah. Jika terjadi
penurunan fungsi pendengaran neural, maka refleks akustik akan berubah atau
menjadi lambat. Dengan refleks yang lambat, otot stapedius tidak dapat tetap
berkontraksi selama telinga menerima suara yang gaduh.

6. Respon Auditoris Batang Otak


Pemeriksaan ini mengukur gelombang saraf di otak yang timbul akibat
rangsangan pada saraf pendengaran.Respon auditoris batang otak juga dapat
digunakan untuk memantau fungsi otak tertentu pada penderita koma atau penderita
yang menjalani pembedahan otak.
7. Elektrokokleografi
Elektrokokleografi digunakan untuk mengukur aktivitas koklea dan saraf
pendengaran. Pemeriksaan ini bisa membantu menentukan penyebab dari penurunan
fungsi pendengaran sensorineural. Elektrokokleografi dan respon auditoris batang
otak bisa digunakan untuk menilai pendengaran pada penderita yang tidak dapat atau
tidak mau memberikan respon bawah sadar terhadap suara. Misalnya untuk
mengetahui ketulian pada anak-anak dan bayi atau untuk memeriksa hipakusis 9
psikogenik (orang yang berpura-pura tuli). Beberapa pemeriksaan pendengaran bisa
mengetahui adanya kelainan pada daerah yang mengolah pendengaran di otak.
Pemeriksaan tersebut mengukur kemampuan untuk :
a) Mengartikan dan memahami percakapan yang dikacaukan.
b) Memahami pesan yang disampaikan ke telinga kanan pada saat telinga kiri
menerima pesan yang lain.
c) Menggabungkan pesan yang tidak lengkap yang disampaikan pada kedua telinga
menjadi pesan yang bermakna.
d) Menentukan sumber suara pada saat suara diperdengarkan di kedua telinga pada
waktu yang bersamaan.
Jalur saraf dari setiap telinga menyilang ke sisi otak yang berlawanan, karena itu
kelainan pada otak kanan akan mempengaruhi pendengaran pada telinga kiri.
Kelainan pada batang otak bisa mempengaruhi kemampuan dalam menggabungkan
pesan yang tidak lengkap menjadi pesan yang bermakna dan dalam menentukan
sumber suara.
2.6 Penatalaksanaan
Pengobatan untuk penurunan fungsi pendengaran tergantung kepada
penyebabnya. Jika penurunan fungsi pendengaran disebabkan oleh adanya cairan di
telinga tengah atau kotoran di saluran telinga, maka dilakukan pembuangan cairan dan
kotoran tersebut. Jika penyebabnya tidak dapat diatasi, maka digunakan alat bantu
dengar atau kadang dilakukan pencangkokan koklea.
1. Alat bantu dengar
Alat bantu dengar merupakan suatu alat elektronik yang dioperasikan dengan
baterai, yang fungsinya memperkuat dan merubah suara sehingga komunikasi bisa
berjalan dengan lancar. Alat bantu dengar terdiri dari:
a. Sebuah mikrofon untuk menangkap suara.
b. Sebuah amplifier untuk meningkatkan volume suara.
c. Sebuah speaker untuk menghantarkan suara yang volumenya telah dinaikkan.

Berdasarkan hasil tes fungsi pendengaran, seorang audiologis bisa menentukan


apakah penderita sudah memerlukan alat bantu dengar atau belum. Alat bantu dengar
sangat membantu proses pendengaran dan pemahaman percakapan pada penderita
penurunan fungsi pendengaran sensorineural. Adapun macam-macam alat bantu
dengar, diantaranya adalah:

a. Alat Bantu Dengar Hantaran Udara


Alat ini paling banyak digunakan, biasanya dipasang di dalam saluran telinga
dengan sebuah penutup kedap udara atau sebuah selang kecil yang terbuka.
b. Alat Bantu Dengar yang Dipasang di Badan
Digunakan pada penderita tuli dan merupakan alat bantu dengar yang paling kuat.
Alat ini disimpan dalam saku kemeja atau celana dan dihubungkan dengan sebuah
kabel ke alat yang dipasang di saluran telinga.Alat ini seringkali dipakai oleh bayi
dan anak-anak karena pemakaiannya lebih mudah dan tidak mudah rusak. Deraan
pasca kelahiran : Trauma Terpapar bising Metabolic Trauma SSP Infeksi Ototoksik
c. Alat Bantu Dengar yang dipasang di Belakang Telinga
Digunakan untuk penderita gangguan fungsi pendengaran sedang sampai berat.Alat
ini dipasang di belakang telinga dan relatif tidak terlihat oleh orang lain.
d. CROS (contralateral routing of signals)
Alat ini digunakan oleh penderita yang hanya mengalami gangguan fungsi
pendengaran pada salah satu telinganya. Mikrofon dipasang pada telinga yang
tidak berfungsi dan suaranya diarahkan kepada telinga yang berfungsi melalui
sebuah kabel atau sebuah transmiter radio berukuran mini. Dengan alat ini,
penderita dapat mendengarkan suara dari sisi telinga yang tidak berfungsi.
e. BICROS (bilateral CROS)
Jika telinga yang masih berfungsi juga mengalami penurunan fungsi pendengaran
yang ringan,maka suara dari kedua telinga bisa diperkeras dengan alat ini.
f. Alat Bantu Dengar Hantaran Tulang
Alat ini digunakan oleh penderita yang tidak dapat memakai alat bantu dengar
hantaran udara, misalnya penderita yang terlahir tanpa saluran telinga atau jika dari
telinganya keluar cairan otore. Alat ini dipasang di kepala, biasanya di belakang
telinga dengan bantuan sebuah pita elastis .Suara dihantarkan melalui tulang
tengkorak ke telinga dalam. Beberapa alat bantu dengar hantaran tulang bisa
ditanamkan pada tulang di belakang telinga.
2. Pencangkokan Koklea
Pencangkokan koklea (implankoklea) dilakukan pada penderita tuliberat yang
tidak dapat mendengar meskipun telah menggunakan alat bantu dengar. Alat ini
dicangkokkan di bawah kulit di belakang telinga dan terdiri dari 4 bagian:
a. Sebuah mikrofon untuk menangkap suara dari sekitar.
b. Sebuah prosesor percakapan yang berfungsi memilih dan mengubah suara yang
tertangkap oleh mikrofon.
c. Sebuah transmiter dan stimulator/penerima yang berfungsi menerima sinyal dari
prosesor percakapan dan merubahnya menjadi gelombang listrik.
d. Elektroda, berfungsi mengumpulkan gelombang dari stimulator dan mengirimnya
ke otak.
Suatu implant tidak mengembalikan atau pun menciptakan fungsi pendengaran
yang normal, tetapi bias memberikan pemahaman auditoris kepada penderita tuli dan
membantu mereka dalam memahami percakapan. Implan koklea sangat berbeda
dengan alat bantu dengar. Alat bantu dengar berfungsi memperkeras suara. Implan
koklea menggantikan fungsi dari bagian telinga dalam yang mengalami kerusakan.

Jika fungsi pendengaran normal, gelombang suara diubah menjadi gelombang


listrik oleh telinga dalam. Gelombang listrik ini lalu dikirim keotak dan kita 14
menerimanya sebagai suara. Implan koklea bekerja dengan cara yang sama. Secara
elektronik, implant koklea menemukan bunyi yang bermakna dan kemudian
mengirimnya ke otak
BAB III

KONSEP ASUHAN KEPERAWATAN

3.1 Pengkajian

Menurut Badi’ah dan Suryani (2017) beberapa hal yang perlu dikaji adalah :

a. Perawat perlu melakukan anamnesa dari keluhan klien seperti


1) Nyeri saat pinna (aurikula) dan tragus bergerak
2) Nyeri pada liang tengah
3) Telinga terasa tersumbat
4) Perubahan pendengaran
5) Keluar cairan dari telinga yang berwarna kehijauan
b. Riwayat kesehatan yang perlu ditanyakan pada klien di antaranya :
1) Kapan keluhan nyeri terasa oleh klien?
2) Apakah klien dalam waktu dekat berenang di laut atau kolam renang?
3) Apakah klien sering mengorek-orek telinga sehingga mengakibatkan nyeri setelah
dibersihkan?
4) Apakah klien pernah mengalami trauma terbuka pada liang telinga akibat terkena
benturan sebelumnya?

Selama wawancara perawat sebaiknya mencari jawaban atas pertanyaan-pertanyaan


berikut (Black dan Hawks, 2014).

a. Apakah klien mengalami kehilangan pendengaran dan kesulitan berkomunikasi, atau


klien menyalahkan orang lain karena berbicara tidak jelas?
b. Pada suasana bagaimana klien mengalami masalah pendengaran atau komunikasi
yang lebih parah?
c. Apakah ada orang lain yang menyadari gangguan tersebut? Apakah mereka
mendukung klien dengan mempermudah komunikasi dan melibatkan klien dalam
percakapan?
d. Apakah klien mencoba memahami kata-kata yang diucapkan? Atau apakah klien
menolak dan membiarkan orang lain melakukan percakapan?
e. Apakah klien menggunakan alat bantu dengar? Apakah alat tersebut bekerja?
Black dan Hawks (2014) berpendapat riwayat otoltogik dapat menjadi alat pengkajian
yang penting dan sebaiknya dikaji. Perawat harus mengumpulkan data signifikan dengan
melakukan wawancara. Perawat juga harus mengkaji beberapa hal spesifik pada riwayat
otologis.

a. Riwayat
Wawancara untuk mencari riwayat penting dilakukan untuk menentukan masalah
sekarang terkait telinga.
1) Data Demografi dan Biografi
Data demografik relevan terhadap pengkajian otologik termasuk umur dan riwayat
kehamilan.
2) Kondisi Kesehatan Sekarang
Gangguan pendengaran dapat mengganggu kebebasan seseorang yang dapat
mengarah ke isolasi dan depresi. Perawat sebaiknya menghadapi klien secara
langsung ketika berbicara, berbicara secara perlahan dengan pengucapan artikulasi
yang jelas.
3) Keluhan utama
Tanyakan mengenai manifestasi klinis yang sering terjadi. Manifestasi klinis yang
sering dijumpai adalah nyeri, vertigo, keluar cairan dari telinga, dan infeksi. Kaji
riwayat kesehatan masa lampau untuk menentukan keparahan masalah dan
kemungkinan penyebab.
4) Riwayat Kesehatan Anak Masa Lalu
Paparan influenza atau rubella maternal pada uterus dapat menyebabkan gangguan
pendengaran kongenital pada anak. Kelahiran premature juga berhubungan dengan
gangguan pendengaran. Selain itu, riwayat kesehatan anak masa lalu berhubungan
dengan riwayat kesehatan ibu pada masa sebelum terjadinya kehamilan dan saat
hamil. Hal tersebut dikarenakan gizi ibu hamil pada sebelum terjadi kehamilan dan
saat terjadi kehamilan akan mempengaruhi BBLR atau bayi lahir mati dan
menyebabkan cacat bawaan (Suryani dan Badi’ah, 2017).
5) Riwayat kelahiran
Bayi baru lahir harus bisa melewati masalah transisi, dari suhu sistem teratur yang
sebagian besar tergantung pada organ-organ ibunya, ke suatu sistem yang
homeostatic bayi itu sendiri. Trauma kepala akibat persalinan akan berpengaruh
besar dan dapat meninggalkan cacat yang permanen (Suryani dan Badi’ah, 2017).
6) Riwayat kesehatan keluarga
Perlu dikaji apakah di dalam keluarga tersebut terdapat anggota keluarga dengan
penyakit menular yang dapat menularkan kepada bayi. Kaji juga terkait faktor
genetik yang merupakan modal dasar dalam mencapai tujuan akhir proses tumbuh
kembang (Suryani dan Badi’ah, 2017). Tanyakan terkait riwayat kehilangan
pendengaran atau pembedahan telinga pada keluarga.
7) Riwayat tumbuh kembang
Pengetahuan perawat terkait dengan ilmu tumbuh kembang anak dapat digunakan
untuk mendeteksi berbagai hal yang Poltekkes Kemenkes Yogyakarta 37
berhubungan dengan upaya menjaga dan mengoptimalkan tumbuh kembang anak,
menegakkan diagnosis dini, penanganan efektif, dan pencegahan serta mencari
penyebabnya (Suryani dan Badi’ah, 2017).
8) Riwayat imunisasi
Setelah diberikan imunisasi anak diharapkan akan terhindar dari beberapa penyakit
tertentu (Suryani dan Badi’ah, 2017).
9) Riwayat pembedahan
Penting dikaji terkait dengan kemungkinan terjadinya komplikasi.
10) Alergi
Kaji alergi berupa alergi medikasi, makanan, dan alergi musiman.
11) Medikasi
Kaji riwayat medikasi lengkap dan riwayat penggunaan obat simtomatik dan obat
herbal. Riwayat medikasi tertentu dapat menyebabkan kerusakan saraf
vestibulokoklear (saraf kranial VIII) yang memperburuk gangguan pendengaran.
12) Pola makan
Kaji mengenai kebiasaan pembatasan diet, suplemen makanan (vitamin),
kemampuan menelan dan mengunyah dan riwayat kesulitan dalam pemberian
makan.
13) Riwayat psikososial
Kaji riwayat psikososial dan gaya hidup yang mempengaruhi gangguan
pendengaran seperti paparan lingkungan, bahaya dari lingkungan kerja, aktivitas
fisik dan rekreasi. Kaji terkait kebiasaan hygiene telinga klien untuk melihat
adakah objek yang digunakan atau dimasukkan pada telinga.
b. Pemeriksaan fisik
Telinga luar dapat dilihat dengan jelas, maka identifikasi gangguan anatomi
mudah ditemukan dan dikaji. Sebagian besar telinga tengah dan dalam tidak dapat
dikaji dengan pemeriksaan langsung, sehingga diperlukan bantuan pemeriksaan uji
pendengaran. Pemeriksaan dasar yang biasa dilakukan adalah menggunakan teknik
inspeksi dan palpasi.
1) Telinga luar
Perhatikan ukuran, konfigurasi, dan sudut perlekatan telinga pada kepala. Amati
konfigurasi daun telinga untuk mengetahui kelainan bentuk. Perhatikan warna kulit
telinga dan tentukan apakah ada lipatan kulit tambahan. Lakukan palpasi dan
manipulasi daun telinga untuk mendeteksi nyeri, nodul, tofi (nodul kecil, keras
pada heliks yang merupakan deposit Kristal asam urat yang menjadi ciri gout).
2) Liang telinga
Inspeksi liang telinga dapat dilakukan dengan observasi langsung, otoskopi, atau
pemeriksaan mikroskopik.
3) Temuan Pengkajian fisik pada individu yang sehat
a) Inspeksi: daun telinga simetris, bagian superior setinggi kantus lateralis mata.
Telinga luar bersih. Area preaurikular dan postaurikular tanpa pembengkakan,
masa, atau lesi. Bisikan terdengar pada jarak 3 kaki.
b) Palpasi: Tidak ditemukan nyeri pada tragus dan mastoid. Tidak terdapat masa
c) Pemeriksaan otoskopik: Serumen lunak ditemukan di liang telinga. Tidak ada
cairan. Membrane timpani intak, abu-abu. Tidak ada retraksi atau penonjolan.

3.2 Diagnosa Keperawatan

a. Nyeri berhubungan dengan kerusakan telinga bagian luar, tengah, dalam.


b. Risiko cidera berhubungan dengan kerusakan telinga luar, tengah, dalam.
c. Harga diri rendah berhubungan dengan kerusakan pendengaran.
d. Kurangnya pengetahuan mengenai pengobatan, penatalaksanaan, dan pencegahan.
e. Cemas berhubungan dengan prosedur operasi, diagnosis, prognosis, anestesi, nyeri,
hilangnya fungsi, kemungkinan penurunan pendengaran lebih besar setelah operasi.
f. Gangguan harga diri rendah berhubungan dengan berkurangnya pendengaran.
3.3 Intervensi Keperawatan
DX I : Nyeri berhubungan dengan kerusakan telinga bagian luar, tengah, dalam.
Tujuan : setela dilakukan tindakan eperawatan selama 3x 24 jam diharapkan tingat nyeri
mneurun dengan kriteria hasil :
1. Frekuensi Nadi 3 (sedang)
2. Pola nafas 4 (cukup membaik)
3. Keluhan nyeri 3 (sedang)
4. Meringis 3 (sedang)
5. Gelisah 3 (sedang)
6. Kesulitan tidur 3 (sedang)

Intervensi :

Observasi

1. Identifikasi lokasi, karakteristik, durasi, frekuensi, kualitas, intensitas nyeri.


2. Identifikasi skala nyeri
3. Identifikasi respon nyeri non verbal
4. Indentifikasi factor yangmemperberat dan memperingan nyeri
5. Identifikasi pengetahuan dan keyakinan tentang nyeri
6. Identifikasi pengaruh nyeri pada kualitas hidup
7. Monitor efek samping penggunaan analgesik

Terapeutik

1. Berikan teknik nofarmakologi untuk mengurangi rasa nyeri


2. Control lingkungan yang memperberat rasa nyeri
3. Fasilitasi istirahat tidur
4. Pertimbangka jenis dan sumber nyeri dalam pemilihan strategi meredakan nyeri

Edukasi

1. Jelaskan penyebab, periode, dan pemicu nyeri


2. Jelaskan strategi pereda nyeri
3. Ajarkan teknik nonfarmakologik untuk mnegurangi rasa nyeri

Kolaborasi

1. Kolaborasi pemberian analgetik jika perlu

Dx 2 : Harga diri rendah berhubungan dengan kerusakan pendengaran.


Tujuan : setela dilakukan tindakan eperawatan selama 3x 24 jam diharapkan tingat nyeri
mneurun dengan kriteria hasil :
1. Penilaian diri positif 4 (cukup meningkat)
2. Perasaan memiliki kelebihan atau kemampuan positif 4 (cukup meningkat)
3. Penerimaan penilaian positif terhadap diri sendiri 4 (cukup meningkat)
4. Minat mencoba hal baru 4 (cukup meningkat)
5. Perasaan malu 4 (cukup menurun)
6. Perasaan tidak mampu mlakukan apapun 4 (cukup menurun)
7. Meremehkan kemapuan mengatasi masalah 4 (cukup menurun)

Intervensi :

Observasi

1. Monitor vebralisasi yang merendahkan diri sendiri


2. Monitor tingkat harga diri setiap wakti, sesuai kebutuhan

Terapeutik

1. Motivasi terlibat dalam vebralisasi positif untuk diri sendiri


2. Motivasi menerima tantangan atau hal baru
3. Diskusikan pernyataan tentang harga diri
4. Diskusikan kepercayaan terhadap penilaian diri
5. Diskusikan mengkritik diri atau rasa bersalah
6. Diskusikan penetapan tujuan realistis untuk mencapai harga diri yang lebih tinggi
7. Beri umpan balik positif atas peningkatan mencapai harga diri
8. Fasilitasi lingkungan dan aktifitas yang mendukung peningkatan harga diri

Edukasi

1. Jelaskan kepada keluarga pentingnya dukungan konsep peningkatan harga diri


2. Anjurka mengidentifikasi kekuatan yang dimiliki
3. Anjurkan mempertahankan kontak mata ketika berbicara dengan orang lain
4. Anjurkan membuka diri terhadap kritik negative
5. Ajarkan cara mengatasi buliying
6. Latih cara berfikir dan berperilaku positif
7. Latih pernyataan atau kemampuan positif diri
3.4 Implementasi

DX I : Nyeri berhubungan dengan kerusakan telinga bagian luar, tengah, dalam.


Tujuan : setela dilakukan tindakan eperawatan selama 3x 24 jam diharapkan tingat nyeri
mneurun dengan kriteria hasil :
1. Frekuensi Nadi 3 (sedang)
2. Pola nafas 4 (cukup membaik)
3. Keluhan nyeri 3 (sedang)
4. Meringis 3 (sedang)
5. Gelisah 3 (sedang)
6. Kesulitan tidur 3 (sedang)

Intervensi :

Observasi

1. Mengidentifikasi lokasi, karakteristik, durasi, frekuensi, kualitas, intensitas nyeri.


2. Mengidentifikasi skala nyeri
3. Mengidentifikasi respon nyeri non verbal
4. Mengidentifikasi factor yang memperberat dan memperingan nyeri
5. Mengidentifikasi pengetahuan dan keyakinan tentang nyeri
6. Mengidentifikasi pengaruh nyeri pada kualitas hidup
7. Memonitor efek samping penggunaan analgesik

Terapeutik

1. Memberikan teknik nofarmakologi untuk mengurangi rasa nyeri


2. Mengontrol lingkungan yang memperberat rasa nyeri
3. Memfasilitasi istirahat tidur
4. Mempertimbangkan jenis dan sumber nyeri dalam pemilihan strategi meredakan
nyeri

Edukasi

1. Menjelaskan penyebab, periode, dan pemicu nyeri


2. Menjelaskan strategi pereda nyeri
3. Mengajarkan teknik nonfarmakologik untuk mnegurangi rasa nyeri

Kolaborasi

1. Berkolaborasi dengan tim medis dalam pemberian analgetik jika perlu

Dx 2 : Harga diri rendah berhubungan dengan kerusakan pendengaran.

Tujuan : setela dilakukan tindakan eperawatan selama 3x 24 jam diharapkan tingat nyeri
mneurun dengan kriteria hasil :
1. Penilaian diri positif 4 (cukup meningkat)
2. Perasaan memiliki kelebihan atau kemampuan positif 4 (cukup meningkat)
3. Penerimaan penilaian positif terhadap diri sendiri 4 (cukup meningkat)
4. Minat mencoba hal baru 4 (cukup meningkat)
5. Perasaan malu 4 (cukup menurun)
6. Perasaan tidak mampu mlakukan apapun 4 (cukup menurun)
7. Meremehkan kemapuan mengatasi masalah 4 (cukup menurun)

Intervensi :

Observasi

1. Monitor vebralisasi yang merendahkan diri sendiri


2. Monitor tingkat harga diri setiap wakti, sesuai kebutuhan

Terapeutik

1. Memotivasi terlibat dalam vebralisasi positif untuk diri sendiri


2. Memotivasi menerima tantangan atau hal baru
3. Mendiskusikan pernyataan tentang harga diri
4. Mendiskusikan kepercayaan terhadap penilaian diri
5. Mendiskusikan mengkritik diri atau rasa bersalah
6. Mendiskusikan penetapan tujuan realistis untuk mencapai harga diri yang lebih
tinggi
7. Memberi umpan balik positif atas peningkatan mencapai harga diri
8. Memfasilitasi lingkungan dan aktifitas yang mendukung peningkatan harga diri

Edukasi
1. Menjelaskan kepada keluarga pentingnya dukungan konsep peningkatan harga diri
2. Menganjurka mengidentifikasi kekuatan yang dimiliki
3. Menganjurkan mempertahankan kontak mata ketika berbicara dengan orang lain
4. Menganjurkan membuka diri terhadap kritik negative
5. Mengajarkan cara mengatasi buliying
6. Melatih cara berfikir dan berperilaku positif
7. Melatih pernyataan atau kemampuan positif diri
3.5 Evaluasi
a. Pasien mengambarkan nyeri dalam keadan minimal atau tidak ada nyeri.
b. Klien memperlihatkan persepsi pendengaran yang baik.
c. Klien dapat melakukan aktivitas dengan baik.
d. Pola koping klien adekuat.
e. Klien dapat mengeti dengan penyakitnya.
f. Klien memperlihatkan ekspresi wajah yang rileks dan ceria.
BAB IV

PENUTUP

4.1 Kesimpulan
Tuli konduksi adalah gangguan yang terjadi pada telinga bagian luar dan
tengah, sehingga menghambat bunyi-bunyian yang akan masuk ke dalam telinga.
Tuli perseptif yaitu gangguan pendengaran berupa berkurangnya pendengaran
disebabkan kelainan pada telinga tengah, nervus vestibulochohlearatau pada proses
sentral diotak dan tidak bisa kembali ke normal.
Etiologi dari tuli konduktif yaitu menurut anatomi organ telinga, proses
degeneratif, kongenital, gangguan pendengaran yang didapat. Sedangkan etiologi
tuli persepsi yaitu konginetal, proses inflamasi, obat-obatan yang bersifat ototoxic,
trauma rudapaksa, operasi, noise induce, presbyacusis, tuli tiba-tiba, autoimun,
tumor, penyakit lain.Patofisiologi dari kedua jenis tuli ini mengikuti etiologinya.
Manifestasi yang ditimbulkan juga berbeda. Pada pengkajian tuli, perawat dapat
mengkaji fisik maupun dengan alat berupa otoskop, audiometri, timpanometri, dll.
Penatalaksanaan dari tuli berupa dua yaitu alat bantu dengar dan cangkok koklea.
Diagnosa keperawatan yang dapat diambil yaitu nyeri, risiko cidera, isolasi sosial,
kurangnya pengetahuan, cemas, gangguan harga diri rendah.
Intervensi keperawatan yang dilakukan disesuaikan dengan respon yang
ditampakkan pasien tuli dan dampingi pasien dalam beraktifitas sehari-hari. Evaluasi
dari asuhan keperawatan yaitu mulai berkurangnya atau bahkan hilangnya semua
yang dikeluhkan pasien.
4.2 Saran
Sebagai perawat, haruslah mampu mengkaji gangguan pendengaran pada
pasien dengan teliti karena jenis tuli itu bisa berbeda tiap individu. Disarankan selalu
mendampingi pasien tuli, dikarenakan dapat terjadi cidera yang disebabkan oleh
kerusakan organ telinga bagian luar, tengah, dalam, atau sarafnya. Disarankan juga,
keluarga serta pasien diberikan penjelasan mendetail mengenai gangguan
pendengaran yang dialami pasien serta cara merawat pasien di rumah.
DAFTAR PUSTAKA
Boies, Adams. (1997). Buku ajar penyakit THT Edisi 6. Jakarta: EGC.
Carpenito, L, J. (2001). Buku saku diagnosis keperawatan.Jakarta: EGC.
Ereoschenko, Viktor P. (2003). Atlas Histologi di Fiore edisi 9. Jakarta: EGC.
Gabriel,J. F. (1996). Fisika Kedokteran. Jakarta: EGC.
George L, A. (1997). BOEIS :Buku ajar penyakit THT. Edisi 6.Jakarta: EGC.
Hearing Loss Association of America. (tanpa tahun). Types, causes, and treatment. Diakses
dari http://www.hearingloss.org/content/types-causes-and-treatment pada 10 November
2013.
Ignatavicius. (2010). Medical Surgical Nursing - Patient Center Collaborative Care. Canada:
Saunders El Savier
Iskandar, H, N,dkk.(1997). Buku ajar ilmu penyakit THT. Jakarta: Balai Penerbit FKUI.
Mukmin, S dan Herawati, S. (1999). Teknik pemeriksaan THT. Surabaya: Laboratorium Ilmu
PenyakitTHTFK UNAIR.
Soetirto, I. (2003). Tuli akibat bising dalam buku ajar ilmu penyakit telinga hidung tenggorok
Ed.3 Editor: H. Efiaty A.Soepardi dkk. Jakarta: FKUI.
Swartz, Mark H.1997. Intisari Buku Ajar Diagnostik Fisik. Jakarta: EGC.
TIM Pokja DPP PPNI . Aplikasi asuhan keperawatan berdasarkan diagnosis medis dan SDKI,
SIKI, & SLKKI Edidi 1 desember 2016

Anda mungkin juga menyukai