Oleh :
dr. IGA DIAH KUMARADEWI
Puji syukur kehadapan Tuhan Yang Maha Esa, atas berkat rahmat-Nya
monograf ini bisa diselesaikan. Tugas ini disusun untuk memenuhi salah satu
divisi budaya oleh residen Program Pendidikan Dokter Spesialis I Psikiatri FK
UNUD/RSUP Sanglah Denpasar dan juga sebagai suatu upaya untuk terus
mencari dan menambah ilmu pengetahuan yang kiranya dapat memberi manfaat
bagi penulis sendiri maupun para pembaca lainnya.
Pada kesempatan ini penulis mengucapkan banyak terima kasih kepada:
1. dr. AA Sri Wahyuni, SpKJ selaku selaku Kepala Bagian Lab/SMF Psikiatri
FK UNUD/RSUP Sanglah.
2. dr. Wayan Westa, SpKJ(K) selaku KPS Psikiatri FK UNUD/RSUP Sanglah.
3. Dr. dr. Cokorda Bagus Jaya Lesmana, SpKJ selaku dosen pembimbing dalam
penyusunan monograf ini dan telah memberikan saran serta masukan dalam
penulisannya.
4. dr. Nyoman Ratep, SpKJ(K) selaku dosen pembimbing akademis saya.
5. Seluruh staf pengajar dan rekan-rekan Residen beserta semua pihak yang tidak
sempat disebutkan satu persatu atas bantuan dan dukungan dalam penyusunan
tinjauan pustaka ini.
Akhir kata penulis menyadari bahwa monograf ini jauh dari sempurna
sehingga memerlukan bimbingan, kritik dan saran dari para senior maupun teman-
teman residen lainnya. Atas masukannya penulis mengucapkan banyak terima
kasih.
Penulis
1
DAFTAR ISI
2
BAB I
PENDAHULUAN
Masalah kesehatan mental pada awalnya kurang mendapat perhatian oleh karena
mendalam bagi individu dan beban berat bagi keluarga, baik mental maupun
materi karena penderita tidak lagi produktif. Gangguan jiwa merupakan gejala
fungsi perilaku atau psikologis yang secara umum diukur dari beberapa konsep
norma, dihubungkan dengan distress atau penyakit, tidak hanya respon yang
diharapkan pada kejadian tertentu atau keterbatasan hubungan antara individu dan
Setiap gangguan jiwa itu bukanlah sekedar suatu respon saja, yang pada dasarnya
(misal reaksi sedih karena kecewa besar, reaksi kebingungan karena keluarga
3
Pengaruh budaya setempat sering melatarbelakangi penatalaksanaan yang
diberikan oleh keluarga dalam menangani salah satu anggota keluarga yang
melakukan restraints atau pasung untuk melindungi pasien dengan gangguan jiwa
jika terapi medis dan verbal sudah tidak dapat mengatasi kegelisahan pasien.
Dalam referat ini akan membahas tentang aspek budaya pada fenomena pasung
4
BAB II
Gangguan jiwa bukanlah sesuatu hal yang berdiri sendiri, karena kita
yang erat kaitannya dengan tubuh dan kondisi tubuh/ jasmani seseorang serta
(Riskerda, 2007)
gangguan jiwa memerlukan waktu yang lama, sehingga lebih dari setengah pasien
dengan gangguan jiwa tidak meneruskan pengobatan. (Minas & Diatri, 2008)
5
2.2. Pasung
manusiawi. Akan tetapi masih saja ada tindakan pasung untuk mengatasi gaduh
gelisah pada orang dengan gangguan jiwa. (Minas & Diatri, 2008)
fisik atau pengekangan dengan cara memblok pergelangan kaki pada kayu,
mengikat tali ke objek tak bergerak (misalnya bangunan atau pohon), mengunci di
ruang tertutup seperti sangkar atau kotak, dan sering merupakan kombinasi dari
kurungan dan pengikatan. Pengekangan atau kurungan tersebut dapat singkat dan
intermiten atau dapat bertahan selama beberapa waktu. Alasan yang sering
atau orang lain tanpa persetujuan orang tersebut sehingga mencegah adanya
traumafisik yang serius kepada pasien atau orang lain. (Lambeth, 2013)
6
terjadinya bunuh diri ataupun dikarenakan tidak adanya orang untuk mengawasi
para penderita gangguan jiwa yang dirantai di rumah sakit Bicetre and Sapetrere
dan pengasingan harus disediakan untuk menghadapi ancaman dan situasi yang
Rata-rata lamanya pemasungan di Aceh bervariasi dari yang beberapa hari hingga
20 tahun. Hampir dari separuhnya dipasung selama kurang dari satu tahun.
7
Tabanan, Klungkung, Denpasar, Badung, Karangasem dan Bangli. (Darmendra,
2014)
Sementara itu pada tahun 2006 di Sumatra Barat tepatnya pulau Samosir
gangguan mental dan prilaku akibat penggunaan zat dengan gejala psikotik.
keyakinan yang salah terhadap penyebab gangguan jiwa, untuk melindungi pasien
dari tindakan agresif, melindungi pasien melukai orang lain, tidak ada yang
mengawasi pasien ketika anggota keluarga bekerja, ekspresi kasih sayang dan
menghindarkan pasien dari ejekan, serta merupakan pilihan terakhir saat tidak ada
pengobatan yang dapat dilakukan. Ditemukan juga bahwa setelah pasien dipasung
dapat terjadi atrofi pada otot kakai atau tangan saat mereka dibebaskan. Pada
pasien yang mengalami atrofi otot kaki akan mengalami kesulitan berjalan.
Dalam penelitian Minas dan Diatri disebutkan jika pelanggaran hak asasi
8
pengabaian oleh keluarga atau komunitas, atau menolak mendapatkan pengobatan
tapi lebih dianggap sebagai bentuk kelalaian pemerintah tentang tanggung jawab
sehingga membahayakan orang lain, mencegah resiko bunuh diri dan ketidak
dan kegagalan tindakan alternatif pra pasung juga membuat keluarga memutuskan
gangguan jiwa, selalu diidentikkan dengan sebutan orang gila dan karena hal-hal yang
seperti kerasukan setan. Setan sekali lagi dianggap penyebab penyakit dan individu
Diagnosa Gangguan Jiwa ke-1 (PPDGJ-1) menyebutkan kondisi yang terikat pada
sama dengan yang terdapat pada gangguan jiwa, hanya saja gejala-gejala dan
(Maramis, 2005)
9
Pada penelitian di Aceh disebutkan bahwa salah satu penyebab
budaya representative dari seluruh dunia dengan gambaran klinis yaitu, Amok,
merupakan suatu episode disosiatif yang ditandai dengan periode berpikir sedih
diikuti ledakan perilaku ingin membunuh, agresif, atau melakukan kekerasan yang
diremehkan atau dihina dan tampaknya hanya sering pada laki-laki. Episode
sakit setelah episode. Istilah ini berasal dari Malaysia dan pola perilaku yang sama
ditemukan di Laos, Filipina, papua dan Puerto rico. (Sadock & Sadock, 2004)
secara mendadak atau didahului tindakan ritualistik atau meditasi (biasanya pria),
yang masuk dalam suatu kesadaran menurun atau berkabut tanpa dasar epilepsi.
Dalam keadaan tersebut ia akan bangkit dan bertindak agresif. Agresifitas ini
(Maramis, 2005).
pertengahan abad ke-19. Amok dan latah dimasukkan sebagai serangan paranoia
10
yang diasosiasikan dengan percobaan pembunuhan secara kekerasan pada
11
PEMBAHASAN
pasien dengan gangguan jiwa. Gangguan jiwa yang dibawa untuk berobat
pasien sering bengong dan hilang dari rumah. Pasien kemudian diketemukan dan
Karena tidak ada yang mengawasi di rumah, akhirnya pasien dipasung agar tidak
Contoh Kasus :
Pak WD, laki-laki usia 60 tahun. mengalami gangguan jiwa sejak usia 17
12
mengawasi, pengobatan menjadi tidak teratur sehingga kondisi medis
tidak membaik.
13
SIMPULAN
Gangguan jiwa adalah kesulitan yang harus dihadapi oleh seseorang karena
dan sikapnya terhadap dirinya sendiri. Penyebab gangguan jiwa itu bermacam-
macam ada yang bersumber dari berhubungan dengan orang lain yang tidak
tidak terbatas, kehilangan seseorang yang dicintai, kehilangan pekerjaan, dan lain-
lain. Selain itu ada juga gangguan jiwa yang disebabkan factor organik, kelainan
hukuman karena pelanggaran social atau agama, kurang minat atau semangat dan
dari masyarakat “normal” Karena hal tersebut, penanganan klien gangguan jiwa di
gangguan jiwa, dan dianggap kemasukan roh halus dijauhi, diejek, dikucilkan dari
masyarakat normal
Hal ini dapat disimpulkan bahwa pasung yang terjadi pada pasien
Indonesia yang cukup rendah, tetapi karena keluarga, stigma, ekonomi dan
14
pemerintah yang tidak memberikan perhatian khusus pada pelayanan kesehatan
yang erat kaitannya dengan budaya yang dikenal sebagai sindrom yang terkait
pada budaya. Sindrom tersebut secara lebih khusus berkaitan dengan konsep
15
DAFTAR PUSTAKA
Darmendra, I. (2014, April 30). Jangan pasung pasien pengidap kejiwaan. Tribun
Bali, pp. 2-3.
Lambeth, L. G. (2013). Mechanical and Physical Restraint. Tasmania's Mental
Health Act, 1-21.
Mangindaan, L. (2010). Diagnosis Psikiatrik. In S. D. Elvira, & G. Hadisukanto,
Buku ajar psikiatri (pp. 71-105). Jakarta: Badan penerbit FKUI.
Maramis, W. F. (2005). Catatan ilmu kedokteran jiwa. Jakarta: Airlangga
University Press.
Marthoenis, M., Aichberger, M., Puteh, I., Roslaini, & Ocak, M. S. (2012).
Releasing the mentally ill from physical restraint: An experience from a
developing country. The Third International Conference on Violence in
the Health Sector (pp. 1-5). Vancouver: Sheraton Vancouver Airport
Hotel.
Minas, H., & Diatri, H. (2008). Pasung: Physical restraint and confinement of the
mentally ill in the community. International Journal of Mental Health
Systems, 1-5.
Petrini, C. (2013). Ethical considerations for evaluating the issue of physical
restraint in psychiatry. Ann Ist Super Sanità, 49, 281-285.
Puteh, I., Marthoenis, M., & Minas, H. (2011). Aceh Free Pasung: Releasing the
mentally ill from physical restraint. International Journal of Mental
Health Systems, 1-5.
Sadock, B. J., & Sadock, V. A. (2004). Kaplan and Sadock's concise textbook of
clinical psychiatry. New York: Lippincott Wiliams and Wilkins.
Steel, E. (2011, February 15). About Us: Mental Health America . Retrieved July
12, 2014, from Mental Health America Web site: http:// www. ncstac.org
Wicaksana, I. (2010, March 7). About Us: Inuwicaksana blogspot. Retrieved July
12, 2014, from Inuwicaksana blogspot:
http://www.inuwicaksana.blogspot.com
16
Yudhistira, A. W. (2014, July 21). Etnohistori. Retrieved July 21, 2014, from
Etnohistori: http:// www. etnohistori.org
17