Anda di halaman 1dari 18

Monograf

ASPEK BUDAYA FENOMENA PASUNG PADA

PENATALAKSANAAN GANGGUAN JIWA

Oleh :
dr. IGA DIAH KUMARADEWI

Dr. dr.COKORDA BAGUS JAYA LESMANA, SpKJ

PROGRAM PENDIDIKAN DOKTER SPESIALIS I


BAGIAN/SMF ILMU KEDOKTERAN JIWA FK UNUD
RSUP SANGLAH DENPASAR
2016
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadapan Tuhan Yang Maha Esa, atas berkat rahmat-Nya
monograf ini bisa diselesaikan. Tugas ini disusun untuk memenuhi salah satu
divisi budaya oleh residen Program Pendidikan Dokter Spesialis I Psikiatri FK
UNUD/RSUP Sanglah Denpasar dan juga sebagai suatu upaya untuk terus
mencari dan menambah ilmu pengetahuan yang kiranya dapat memberi manfaat
bagi penulis sendiri maupun para pembaca lainnya.
Pada kesempatan ini penulis mengucapkan banyak terima kasih kepada:
1. dr. AA Sri Wahyuni, SpKJ selaku selaku Kepala Bagian Lab/SMF Psikiatri
FK UNUD/RSUP Sanglah.
2. dr. Wayan Westa, SpKJ(K) selaku KPS Psikiatri FK UNUD/RSUP Sanglah.
3. Dr. dr. Cokorda Bagus Jaya Lesmana, SpKJ selaku dosen pembimbing dalam
penyusunan monograf ini dan telah memberikan saran serta masukan dalam
penulisannya.
4. dr. Nyoman Ratep, SpKJ(K) selaku dosen pembimbing akademis saya.
5. Seluruh staf pengajar dan rekan-rekan Residen beserta semua pihak yang tidak
sempat disebutkan satu persatu atas bantuan dan dukungan dalam penyusunan
tinjauan pustaka ini.
Akhir kata penulis menyadari bahwa monograf ini jauh dari sempurna
sehingga memerlukan bimbingan, kritik dan saran dari para senior maupun teman-
teman residen lainnya. Atas masukannya penulis mengucapkan banyak terima
kasih.

Penulis

1
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ............................................................................................ 1


DAFTAR ISI ........................................................................................................... 2
BAB I PENDAHULUAN .................................................................................... 3
BAB II ASPEK BUDAYA FENOMENA PASUNG DALAM…………………..
PENATALAKSANAAN GANGGUAN JIWA ..................................................... 5
2.1. Gangguan Jiwa ................................................................................................ 5
2.2. Pasung .............................................................................................................. 6
2.2.1. Sejarah dan Prevalensi Pasung ............................................................... 7
2.2.2. Alasan dan Penggunaan Pasung ............................................................. 8
3.1. Aspek Budaya pada fenomena pasung............................................................. 9
PEMBAHASAN ................................................................................................... 12
SIMPULAN .......................................................................................................... 14
DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................... 16

2
BAB I

PENDAHULUAN

Masalah kesehatan mental pada awalnya kurang mendapat perhatian oleh karena

tidak langsung terkait sebagai penyebab kematian.Gangguan jiwa walaupun tidak

langsung menyebabkan kematian, namun akan menimbulkan penderitaan yang

mendalam bagi individu dan beban berat bagi keluarga, baik mental maupun

materi karena penderita tidak lagi produktif. Gangguan jiwa merupakan gejala

yang dimanifestasikan melalui perubahan karakteristik utama dari kerusakan

fungsi perilaku atau psikologis yang secara umum diukur dari beberapa konsep

norma, dihubungkan dengan distress atau penyakit, tidak hanya respon yang

diharapkan pada kejadian tertentu atau keterbatasan hubungan antara individu dan

lingkungan sekitarnya. ( kapplan 2007).

Setiap gangguan jiwa itu bukanlah sekedar suatu respon saja, yang pada dasarnya

dapat terduga atau layak terjadi atas dasar pertimbangan-pertimbangan kultural

(misal reaksi sedih karena kecewa besar, reaksi kebingungan karena keluarga

meninggal dunia, dsb). Suatu gangguan jiwa harus memperlihatkan manifestasi

perilaku tertentu, suatu psikopatologi tertentu, dan disfungsi mekanisme biologik

tertentu dari individu tersebut. Karena manifestasi perilaku manusia sangat

terpengaruh oleh dasar pertimbangan kultural setempat, maka manifestasi

gangguan jiwapun mempunyai bentuk dan gejala yang terpengaruh budaya

setempat. (Wicaksana, 2010)

3
Pengaruh budaya setempat sering melatarbelakangi penatalaksanaan yang

diberikan oleh keluarga dalam menangani salah satu anggota keluarga yang

mengalami gangguan jiwa. Salah satu penatalaksanaannya yaitu dengan

melakukan restraints atau pasung untuk melindungi pasien dengan gangguan jiwa

jika terapi medis dan verbal sudah tidak dapat mengatasi kegelisahan pasien.

Dalam referat ini akan membahas tentang aspek budaya pada fenomena pasung

dalam penatalaksanaan gangguan jiwa.

4
BAB II

ASPEK BUDAYA FENOMENA PASUNG DALAM

PENATALAKSANAAN GANGGUAN JIWA

2.1. Gangguan Jiwa

Gangguan jiwa bukanlah sesuatu hal yang berdiri sendiri, karena kita

mengetahui manifestasi gangguan jiwa berupa, perilaku, pikiran, dan perasaan,

yang erat kaitannya dengan tubuh dan kondisi tubuh/ jasmani seseorang serta

lingkungan sosialnya. (Mangindaan, 2010)

Gejala-gejala gangguan jiwa ialah hasil interaksi kompleks antara unsur

somatik, psikologik dan sosiobudaya. Gejala-gejala inilah yang sebenarnya

menandakan dekompensasi proses adaptasi dan terdapat terutama pada pemikiran,

perasaan dan (Wicaksana, 2010)

Di Indonesia, jumlah klien gangguan jiwa cukup tinggi dan cenderung

meningkat dari tahun ke tahun. DKI Jakarta merupakan provinsi dengan

prevalensi gangguan jiwa berat tertinggi di Indonesia, yaitu sebesar 4,6%.

(Riskerda, 2007)

Penanganan yang sering dilakukan dilakukan di rumah sakit jiwa adalah

pengikatan atau restrain (restraint) dan pengurungan atau seklusi (seclusion).

Sedangkan pasien dengan gangguan jiwa di komunitas akan di restrain dan di

seklusi yang dikenal dengan istilah pasung (confinement) . Penatalaksanaan

gangguan jiwa memerlukan waktu yang lama, sehingga lebih dari setengah pasien

dengan gangguan jiwa tidak meneruskan pengobatan. (Minas & Diatri, 2008)

5
2.2. Pasung

Setiap orang dengan gangguan jiwa seharusnya diterapi dengan

manusiawi. Akan tetapi masih saja ada tindakan pasung untuk mengatasi gaduh

gelisah pada orang dengan gangguan jiwa. (Minas & Diatri, 2008)

Pasung sendiri dalam bahasaIndonesia dapat diartikan sebagai pengikatan

fisik atau pengekangan dengan cara memblok pergelangan kaki pada kayu,

mengikat tali ke objek tak bergerak (misalnya bangunan atau pohon), mengunci di

ruang tertutup seperti sangkar atau kotak, dan sering merupakan kombinasi dari

kurungan dan pengikatan. Pengekangan atau kurungan tersebut dapat singkat dan

intermiten atau dapat bertahan selama beberapa waktu. Alasan yang sering

diberikan di masa lalu untuk menerapkan pasung adalah karena pengobatan

dianggap gagal dan memiliki ketidakmampuan untuk memenuhi biaya yang

diperlukan. (Puteh, Marthoenis, & Minas, 2011)

Pasung juga dapat diartikan tindakan pengikatan dan membatasi gangguan

jiwa pada suatu tempat untuk meminimalkan ruang gerak. (Marthoenis,

Aichberger, Puteh, Roslaini, & Ocak, 2012)

Pada pelaksanaannya, pengekangan fisik atau pasung berarti tindakan

untuk mengontrol kebebasan seseorang dalam pergerakan. Pasung ini

dimaksudkan untuk mencegah seseorang dari tindakan merugikan dirinya sendiri

atau orang lain tanpa persetujuan orang tersebut sehingga mencegah adanya

traumafisik yang serius kepada pasien atau orang lain. (Lambeth, 2013)

Ada banyak alasan dilakukannya pasung pada pasien gangguan jiwa,

seperti untuk menghindari kekerasan, mencegah pasien kabur, mencegah

6
terjadinya bunuh diri ataupun dikarenakan tidak adanya orang untuk mengawasi

pasien. (Minas & Diatri, 2008)

2.2.1. Sejarah dan Prevalensi Pasung

Philipp Pinel dianggap berjasa sebagai orang pertama yang melepaskan

para penderita gangguan jiwa yang dirantai di rumah sakit Bicetre and Sapetrere

di Paris pada akhir abad ke -18. (Minas & Diatri, 2008)

Pengekangan fisik awalnya lebih banyak digunakan di banyak Negara

Eropa Barat dibandingkan di Amerika Serikat. Pada pertengahan tahun 1840

penggunaan pengekangan dan pengasingan di rumah sakit jiwa Inggris telah

diminimalkan. Amerika Serikat melakukan sebaliknya dimana dikatakan bahwa

pengekangan dan pengasingan memiliki nilai sebagai intervensi terapeutik.

Sementara itu beberapa kelompok psikiater menyimpulkan bahwa pengekangan

dan pengasingan harus disediakan untuk menghadapi ancaman dan situasi yang

berbahaya. (Steel, 2011)

Di Indonesia diperkirakan lebih dari 30000 orang dengan gangguan jiwa

mengalami pemasungan, dimana sekitar 200 dari mereka ditemukan di Aceh.

Rata-rata lamanya pemasungan di Aceh bervariasi dari yang beberapa hari hingga

20 tahun. Hampir dari separuhnya dipasung selama kurang dari satu tahun.

(Marthoenis, Aichberger, Puteh, Roslaini, & Ocak, 2012)

Di Bali terdapat 42 kasus pasung yang terjadi sejak tahun 2013-2014,

dimana terbanyak di dapatkan di daerah Gianyar yaitu 10 kasus, disusul Singaraja,

7
Tabanan, Klungkung, Denpasar, Badung, Karangasem dan Bangli. (Darmendra,

2014)

Sementara itu pada tahun 2006 di Sumatra Barat tepatnya pulau Samosir

terdapat 15 kasus pasung. (Minas & Diatri, 2008)

2.2.2. Alasan dan Penggunaan Pasung

Alasan pemasungan berbeda-beda pada pasien gangguan jiwa. Di Aceh

ditemukan bahwa pasien terbanyak yang dipasung mengalami skizofrenia,

kemudian skizoafektif, gangguan bipolar dan yang terakhir adalah mengalami

gangguan mental dan prilaku akibat penggunaan zat dengan gejala psikotik.

(Puteh, Marthoenis, & Minas, 2011)

Pada penelitian yang dilakukan oleh Marthoenis dkk, alasan dalam

melakukan pasung adalah adanya masalah keuangan pada keluarga pasien,

keyakinan yang salah terhadap penyebab gangguan jiwa, untuk melindungi pasien

dari tindakan agresif, melindungi pasien melukai orang lain, tidak ada yang

mengawasi pasien ketika anggota keluarga bekerja, ekspresi kasih sayang dan

menghindarkan pasien dari ejekan, serta merupakan pilihan terakhir saat tidak ada

pengobatan yang dapat dilakukan. Ditemukan juga bahwa setelah pasien dipasung

dapat terjadi atrofi pada otot kakai atau tangan saat mereka dibebaskan. Pada

pasien yang mengalami atrofi otot kaki akan mengalami kesulitan berjalan.

(Marthoenis, Aichberger, Puteh, Roslaini, & Ocak, 2012)

Dalam penelitian Minas dan Diatri disebutkan jika pelanggaran hak asasi

manusia melalui pemasungan ini bukanlah hasil dari ketidakpedulian atau

8
pengabaian oleh keluarga atau komunitas, atau menolak mendapatkan pengobatan

tapi lebih dianggap sebagai bentuk kelalaian pemerintah tentang tanggung jawab

mereka untuk menyediakan pelayanan dasar kesehatan jiwa. Alasan keluarga

dalam melakukan pemasungan terhadap pasien gangguan jiwa sangat bervariasi

meliputi pencegahan prilaku kekerasan, mencegah pasien menggelandang

sehingga membahayakan orang lain, mencegah resiko bunuh diri dan ketidak

mampuan dalam merawat pasien. (Minas & Diatri, 2008)

Selain alasan keamanan dan stigma masyarakat, kondisi sosial ekonomi

dan kegagalan tindakan alternatif pra pasung juga membuat keluarga memutuskan

untuk memasung keluarganya dengan gangguan jiwa

3.1. Aspek Budaya pada fenomena pasung

Pandangan keluarga dan masyarakat belakangan ini, tentang penderita

gangguan jiwa, selalu diidentikkan dengan sebutan orang gila dan karena hal-hal yang

seperti kerasukan setan. Setan sekali lagi dianggap penyebab penyakit dan individu

yang terganggu jiwanya dianggap kerasukan setan. Pedoman Penggolongan

Diagnosa Gangguan Jiwa ke-1 (PPDGJ-1) menyebutkan kondisi yang terikat pada

kebudayaan setempat ( culture-bound phenomena) yaitu: 1. Amok, 2. Koro, 3.

Latah, 4. Kesurupan, 5. Kondisi (keadaan) lain. Pada fenomena ini sebenarnya

sama dengan yang terdapat pada gangguan jiwa, hanya saja gejala-gejala dan

psikodinamikanya dipengaruhi adat istiadat, kepercayaan dan budaya setempat.

(Maramis, 2005)

9
Pada penelitian di Aceh disebutkan bahwa salah satu penyebab

dilakukannya pasung adalah amok atau tindakan agresif. (Marthoenis, Aichberger,

Puteh, Roslaini, & Ocak, 2012)

Meskipun semua diagnosis psikiatri dipengaruhi konteks budaya, tapi pada

beberapa keadaan dapat ditemukan sindrom terkait budaya. Sindrom terkait

budaya representative dari seluruh dunia dengan gambaran klinis yaitu, Amok,

merupakan suatu episode disosiatif yang ditandai dengan periode berpikir sedih

diikuti ledakan perilaku ingin membunuh, agresif, atau melakukan kekerasan yang

ditujukan pada seseorang atau objek. Episode cenderung dicetuskan perasaan

diremehkan atau dihina dan tampaknya hanya sering pada laki-laki. Episode

sering disertai ide kejaran,automatisme, amnesia, kelelahan, dan keadaan sebelum

sakit setelah episode. Istilah ini berasal dari Malaysia dan pola perilaku yang sama

ditemukan di Laos, Filipina, papua dan Puerto rico. (Sadock & Sadock, 2004)

PPDGJ-1 menggambarkan amok sebagai suatu keadaan yang dapat timbul

secara mendadak atau didahului tindakan ritualistik atau meditasi (biasanya pria),

yang masuk dalam suatu kesadaran menurun atau berkabut tanpa dasar epilepsi.

Dalam keadaan tersebut ia akan bangkit dan bertindak agresif. Agresifitas ini

ditujukan kepada orang, hewan atau benda di sekitarnya. Satu-satunya pengobatan

segera adalah dengan menangkap penderita dan membuatnya tak berdaya.

(Maramis, 2005).

Amok dilegitimasi secara ilmiah dalam ilmu kejiwaan yang sejak

pertengahan abad ke-19. Amok dan latah dimasukkan sebagai serangan paranoia

10
yang diasosiasikan dengan percobaan pembunuhan secara kekerasan pada

pengidap skizofrenia. (Yudhistira, 2014)

11
PEMBAHASAN

Pada komunitas masyarakat ada berbagai macam cara dalam menangani

pasien dengan gangguan jiwa. Gangguan jiwa yang dibawa untuk berobat

biasanya jika sudah sampai menimbulkan gangguan pada masyarakat sekitarnya,

seperti mengamuk, melakukan tindak kekerasan dan membahayakan lingkungan

sekitarnya. Penanganannya berbeda di masyarakat bisa dibawa ke alternative, ke

tenaga medis dan bisa juga dilakukan pemasungan di rumahnya.

Bapak WD mengalami gangguan jiwa sejak usia 17 tahun. Awal keluhan

pasien sering bengong dan hilang dari rumah. Pasien kemudian diketemukan dan

dibawa berobat ke balian. Pasien tidak membaik. Kemudian pasien mulai

mengamuk, memukul ibunya, pergi ke tetangga dan meminta-minta di warung.

Karena tidak ada yang mengawasi di rumah, akhirnya pasien dipasung agar tidak

mengganggu lingkungannya. Keluarga mengetahui pasung karena di daerah

tersebut pernah ada juga pasien gangguan jiwa yang dipasung.

Contoh Kasus :

 Pak WD, laki-laki usia 60 tahun. mengalami gangguan jiwa sejak usia 17

tahun. Saat itu pasien sedang bersekolah di SPG Kelas 3. Pasien

menghilang dari rumah. Setelah diketemukan pasien kemudian dibawa

berobat ke alternative. Tapi kondisi tidak membaik dan bertambah parah.

Akhirnya pasien dipasung agar tidak mengganggu lingkungan. Sudah

mendapat pengobatan medis. Tapi karena kendala tidak ada yang

12
mengawasi, pengobatan menjadi tidak teratur sehingga kondisi medis

tidak membaik.

13
SIMPULAN

Gangguan jiwa adalah kesulitan yang harus dihadapi oleh seseorang karena

hubungannya dengan orang lain, kesulitan karena persepsinya tentang kehidupan

dan sikapnya terhadap dirinya sendiri. Penyebab gangguan jiwa itu bermacam-

macam ada yang bersumber dari berhubungan dengan orang lain yang tidak

memuaskan seperti diperlakukan tidak adil, diperlakukan semena-mena, cinta

tidak terbatas, kehilangan seseorang yang dicintai, kehilangan pekerjaan, dan lain-

lain. Selain itu ada juga gangguan jiwa yang disebabkan factor organik, kelainan

saraf dan gangguan pada otak.

Pada masyarakat awam, gangguan jiwa dipandang sebagai kerasukan setan,

hukuman karena pelanggaran social atau agama, kurang minat atau semangat dan

pelanggaran norma social. Penderita gangguan jiwa dianiaya, dihukum, dikucilkan

dari masyarakat “normal” Karena hal tersebut, penanganan klien gangguan jiwa di

masyarakat menjadi salah. Sebagai contoh, ada keluarga melakukan pemasungan,

mengurung penderita gangguan jiwa, dan memperlakukan dengan tidak manusiawi.

Bahkan masyarakat maupun dari pihak keluarga dengan sengaja mengasingkan

anggota keluarga yang mengalami gangguan jiwa, karena menampakkan gejala

gangguan jiwa, dan dianggap kemasukan roh halus dijauhi, diejek, dikucilkan dari

masyarakat normal

Hal ini dapat disimpulkan bahwa pasung yang terjadi pada pasien

gangguan jiwa di masyarakat tidak hanya karena pengetahuan masyarakat di

Indonesia yang cukup rendah, tetapi karena keluarga, stigma, ekonomi dan

14
pemerintah yang tidak memberikan perhatian khusus pada pelayanan kesehatan

jiwa pada pasien.

Dalam penggolongan klasifikasi gangguan jiwa dijumpai penggolongan

yang erat kaitannya dengan budaya yang dikenal sebagai sindrom yang terkait

pada budaya. Sindrom tersebut secara lebih khusus berkaitan dengan konsep

sakit/sehat yg dianut dlm kebudayaan tertentu.

15
DAFTAR PUSTAKA

Darmendra, I. (2014, April 30). Jangan pasung pasien pengidap kejiwaan. Tribun
Bali, pp. 2-3.
Lambeth, L. G. (2013). Mechanical and Physical Restraint. Tasmania's Mental
Health Act, 1-21.
Mangindaan, L. (2010). Diagnosis Psikiatrik. In S. D. Elvira, & G. Hadisukanto,
Buku ajar psikiatri (pp. 71-105). Jakarta: Badan penerbit FKUI.
Maramis, W. F. (2005). Catatan ilmu kedokteran jiwa. Jakarta: Airlangga
University Press.
Marthoenis, M., Aichberger, M., Puteh, I., Roslaini, & Ocak, M. S. (2012).
Releasing the mentally ill from physical restraint: An experience from a
developing country. The Third International Conference on Violence in
the Health Sector (pp. 1-5). Vancouver: Sheraton Vancouver Airport
Hotel.
Minas, H., & Diatri, H. (2008). Pasung: Physical restraint and confinement of the
mentally ill in the community. International Journal of Mental Health
Systems, 1-5.
Petrini, C. (2013). Ethical considerations for evaluating the issue of physical
restraint in psychiatry. Ann Ist Super Sanità, 49, 281-285.
Puteh, I., Marthoenis, M., & Minas, H. (2011). Aceh Free Pasung: Releasing the
mentally ill from physical restraint. International Journal of Mental
Health Systems, 1-5.
Sadock, B. J., & Sadock, V. A. (2004). Kaplan and Sadock's concise textbook of
clinical psychiatry. New York: Lippincott Wiliams and Wilkins.
Steel, E. (2011, February 15). About Us: Mental Health America . Retrieved July
12, 2014, from Mental Health America Web site: http:// www. ncstac.org
Wicaksana, I. (2010, March 7). About Us: Inuwicaksana blogspot. Retrieved July
12, 2014, from Inuwicaksana blogspot:
http://www.inuwicaksana.blogspot.com

16
Yudhistira, A. W. (2014, July 21). Etnohistori. Retrieved July 21, 2014, from
Etnohistori: http:// www. etnohistori.org

17

Anda mungkin juga menyukai