Anda di halaman 1dari 21

REFARAT

TRAUMA AKUSTIK

Oleh:
Felicia Jesslyn 220131105
Francisca T.A. Sitorus 220131148

Pembimbing:
dr. Yuliani Mardiati Lubis, Sp.THT-KL

PROGRAM PENDIDIKAN PROFESI DOKTER


DEPARTEMEN ILMU KESEHATAN
TELINGA HIDUNG TENGGOROK BEDAH KEPALA LEHER
RUMAH SAKIT UMUM PUSAT HAJI ADAM MALIK
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SUMAERA UTARA
MEDAN
2023
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa,karena
hanya atas rahmat, karunia, dan perkenanan-Nya lah sehingga penulis dapat
menyelesaikan makalah neurologi yang berjudul “Trauma Akustik” ini .
Makalah ini merupakan salah satu syarat untuk menyelesaikan Kepaniteraan
Klinik Program Pendidikan Profesi Dokter (P3D) di Departemen THT-BKL
Rumah Sakit Umum Pusat Haji Adam Malik Fakultas Kedokteran Universitas
Sumatera Utara.
Dalam proses penulisan makalah ini, penulis ingin menyampaikan rasa
terimakasih kepada dosen pembimbing, dr. Yuliani Mardiati Lubis, Sp.THT-KL
yang telah memberikan masukan dan arahan selama penyusunan makalah ini.
Penulis menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari kata sempurna. Oleh
karena itu, penulis mengharapkan segala kritik dan saran yang membangun dari
para pembaca. Akhir kata, semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi para
pembacanya, khususnya dalam hal menambah pengetahuan terkait dengan
trauma akustik.

Medan, 6 Agustus 2023

Penulis

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ...................................................................................... i


DAFTAR ISI .................................................................................................... ii

BAB 1 PENDAHULUAN ................................................................................ 1


1.1. LATAR BELAKANG ........................................................................... 1
1.2. TUJUAN ............................................................................................... 2
1.3. MANFAAT ........................................................................................... 2

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA ....................................................................... 3


2.1. DEFINISI DAN KLASIFIKASI ............................................................ 3
2.2. EPIDEMIOLOGI .................................................................................. 3
2.3. ETIOLOGI ............................................................................................ 5
2.4. PATOFISIOLOGI ................................................................................ 5
2.5. MANIFESTASI KLINIS ...................................................................... 6
2.6. DIAGNOSIS ......................................................................................... 6
2.7. DIAGNOSIS BANDING ...................................................................... 7
2.8. TATALAKSANA ................................................................................. 8
2.9. PENCEGAHAN DAN EDUKASI ...................................................... 10
2.10. KOMPLIKASI .................................................................................... 11
2.11. PROGNOSIS ...................................................................................... 12
2.12. RUJUKAN .......................................................................................... 12

BAB 3 KESIMPULAN .................................................................................. 14


DAFTAR PUSTAKA..................................................................................... 16

ii
BAB 1
PENDAHULUAN

1.1 LATAR BELAKANG


Bunyi adalah suatu gelombang yang dihasilkan oleh benda yang bergetar,
dimana getaran tersebut akan merambat melalui media transmisi seperti gas,
cairan atau padat sebagai gelombang akustik. Ketika bunyi yang terdengar
merupakan bunyi yang tidak diinginkan, maka dinyatakan sebagai kebisingan.
Secara audiologik, bising merupakan campuran bunyi nada murni dengan
berbagai frekuensi. Bising yang intensitasnya berlebih dapat mengakibatkan
terjadinya gangguan pendengaran karena terjadinya kerusakan pada reseptor
pendengaran Corti di telinga dalam (Salawati, 2013).
Noise-Induced Hearing Loss (NIHL) merupakan suatu gangguan
pendengaran akibat adanya paparan bising yang cukup keras dalam jangka waktu
tertentu (Bashiruddin & Soetirto, 2017). NIHL dapat diklasifikasikan menjadi
chronic noise-induced hearing loss dan acute noise-induced hearing loss. NIHL
yang bersifat kronik membutuhkan durasi waktu paparan bising yang cukup lama,
yaitu 5-15 tahun hingga seseorang menunjukkan gejala gangguan atau hilangnya
pendengaran. Sedangkan pada NIHL yang bersifat akut hanya dibutuhkan waktu
yang singkat, menit hingga jam, atau bahkan detik untuk menyebabkan seseorang
mengalami gangguan atau hilangnya pendengaran. Acute NIHL dapat
dikelompokkan menjadi dua kategori, yaitu acoustic trauma (Trauma Akustik)
dan NIHL lainnya (seperti concert-related hearing loss). Trauma akustik
merupakan suatu gangguan pendengaran yang disebabkan oleh bising yang keras
dan sesaat pada telinga yang disebabkan oleh letusan ataupun ledakan yang
umumnya berasal dari tembakan pistol ataupun kembang api (Wada et al., 2017).
Akibat paparan bising impulsif yang berlebihan, maka dengan segera akan
menyebabkan terjadinya kerusakan pada organ pendengaran. Kerusakan yang
terjadi bahkan tidak hanya disebabkan oleh proses mekanik saja tetapi juga dapat
disebabkan oleh proses metabolik yang apabila berlebihan akan menyebabkan
terjadi stres oksidatif, sehingga apoptosis/nekrosis sel-sel rambut koklea terjadi.

1
Akibatnya seseorang dapat mengalami tuli sensorineural sementara dan dalam
komplikasi yang lebih parah dapat menyebabkan tuli sensorineural permanen
(Salawati, 2013).
Hingga saat ini, tatalaksana baik farmakologi maupun non-farmakologi
yang dapat digunakan untuk mengatasi trauma akustik masih dalam tahap
penelitian. Belum ada tatalaksan yang secara pasti dan efektif dapat digunakan
untuk mengobati pasien-pasien dengan trauma akustik, sehingga tindakan
pencegahan masih berperan sangat penting. Selain itu, masih rendahnya
pengetahuan baik tenaga medis, maupun masyarakat luas terkait trauma akustik
ataupun bentuk-bentuk NIHL lainnya menjadi penyebab utama minimnya upaya
pencegahan yang dilakukan (Levihaiem , 2015).
Oleh karena hal-hal yang telah diutarakan di atas, maka penulisan makalah
ini sangatlah penting sehingga dapat menambah wawasan, pengetahuan serta
kepedulian dari penulis, pembaca, dan terutama sejawat Program Pendidikan dan
Profesi Dokter (P3D) terhadap gangguan pendengaran akibat bising (Noise-
Induced Hearing Loss /NIHL), khususnya yang disebabkan oleh trauma akustik.

1.2 TUJUAN
Tujuan penulisan makalah ini adalah untuk membahas dan menguraikan
teori-teori mengenai mengenai gangguan pendengaran akibat bising (Noise-
Induced Hearing Loss /NIHL), khususnya yang disebabkan oleh trauma akustik.
Penyusunan makalah ini juga bertujuan sebagai persyaratan pelaksanaan kegiatan
Program Pendidikan Profesi Dokter (P3D) di Departemen Neurologi Fakultas
Kedokteran Universitas Sumatera Utara.

1.3 MANFAAT
Penulisan makalah ini diharapkan dapat mengembangkan kemampuan dan
pemahaman penulis serta pembaca khususnya peserta Program Pendidikan Profesi
Dokter (P3D) untuk lebih mengenal dan memahami tentang gangguan
pendengaran akibat bising (Noise-Induced Hearing Loss /NIHL), khususnya yang
disebabkan oleh trauma akustik.

2
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 DEFINISI DAN KLASIFIKASI


Noise-Induced Hearing Loss (NIHL) merupakan suatu gangguan
pendengaran akibat adanya paparan bising yang cukup keras dalam jangka waktu
tertentu (Salawati, 2013). NIHL dapat diklasifikasikan menjadi chronic noise-
induced hearing loss dan acute noise-induced hearing loss. NIHL yang bersifat
kronik membutuhkan durasi waktu paparan bising yang cukup lama, yaitu 5-15
tahun hingga seseorang menunjukkan gejala gangguan atau hilangnya
pendengaran. NIHL yang bersifat kronik dapat diklasifikasikan lagi menjadi
NIHL okupasional (berkaitan dengan kebisingan di lingkungan kerja) dan NIHL
non-okupasional. Sedangkan pada NIHL yang bersifat akut hanya dibutuhkan
waktu yang singkat, menit hingga jam, atau bahkan detik untuk menyebabkan
seseorang mengalami gangguan atau hilangnya pendengaran.
Acute NIHL dapat dikelompokkan menjadi dua kategori, yaitu acoustic
trauma (Trauma Akustik) dan NIHL lainnya (seperti concert-related hearing loss)
(Tabel 1.1). Trauma akustik merupakan suatu gangguan pendengaran yang
disebabkan oleh bising yang keras dan sesaat pada telinga yang disebabkan oleh
letusan ataupun ledakan yang umumnya berasal dari tembakan pistol ataupun
kembang api (Wada et al., 2017).
Tabel 2.1 Klasifikasi NIHL (Wada et al., 2017).
Klasifikasi Jenis Penyebab Paparan Durasi Paparan
Acute Noise Induced Hearing Loss
Trauma Akustik Tembakan senjata Segera setelah
Letusan kembang api Paparan
NIHL lainnya Konser menit-jam
Chronic Noise Induced Hearing Loss
Occupational NIHL Long-term noise exposure 5-15 tahun atau
in occupational setting lebih
Non-occupational NIHL Long-term noise exposure Tergantung
in non-occupational penyebab
setting

2.2 EPIDEMIOLOGI
Di Amerika Serikat, diperkirakan terdapat sekitar 22 juta orang yang
berisiko mengalami terjadinya NIHL. Namun, data di Indonesia terkait NIHL

3
secara umum, masih belum ada. Trauma akustik umumnya banyak didapati pada
kelompok-kelompok militer dikarenakan tingginya paparan kelompok ini terhadap
suara-suara berintensitas tinggi yang berasal dari tembakan senjata (Bayoumy et
al., 2021). Dalam penelitian yang dilakukan terhadap veteran di Amerika serikat
didapati bahwa rata-rata tahunan terjadinya trauma akustik pada veteran tersebut
adalah 13-18%. Trauma akustik terus menjadi disabilitas massal di kalangan para
veteran. Dari 2,35 juta kasus gangguan atau disabilitas sistem pendengaran pada
kalangan veteran, didapati bahwa sekitar 870.000 kasus disebabkan oleh era Gulf
War dan sekitar 551.000 kasus disebabkan oleh paparan selama operasi di Irak
dan Afghanistan. Sedangkan dalam penelitian terpisah yang dilakukan oleh
Departemen Pertahanan Amerika Serikat terhadap pasukan-pasukan militernya,
ditemukan bahwa setiap tahunnya terdapat 2% dari total pasukan militer yang
mengalami gangguan pendengaran permanen, dan sebanyak 11–14% dari total
pasukan didapati terjadinya episode temporer gangguan pendengaran. Namun,
cukup disayangkan dikarenakan cedera pada sistem pendengaran merupakan jenis
cedera yang tidak tampak oleh mata, sehingga atensi medis sangat minim
ditujukan terhadap kasus-kasus ini (Esquivel et al., 2018).
Di Indonesia juga pernah dilakukan penelitian terhadap para prajurit
Tentara Nasional Indonesia (TNI) terkait kejadian trauma akustik di Pusat
pendidikan Artileri medan (Pusdik Armed). Pusat pendidikan Artileri medan
(Pusdik Armed) sebagai lembaga pencetak prajurit Armed menggunakan meriam
Howitzer 105 sebagai salah satu sarana latihan siswa sejak tahun 1985 sampai
sekarang, dengan frekuensi latihan 34 kali per tahun. Saat menembak, para
prajurit berada pada jarak sekitar 1 meter di samping meriam. Jumlah tembakan
berkisar 210 kali per meriam, dan pada saat menembak, masih ada prajurit yang
tidak memakai alat proteksi pendengaran. Data teoritis, menunjukkan tingkat
tekanan suara pistol 9 mm adalah 157 dB, senapan M-16 adalah 157 dB, granat
adalah 164 dB, dan meriam Howitzer 105 adalah 183 dB. Pada penelitian tersebut,
didapati sebanyak 30% prajurit penembak meriam Howitzer 105 terkena trauma
akustik (Sasongko, 2015).

4
2.3 ETIOLOGI
Trauma akustik merupakan suatu gangguan pendengaran yang disebabkan
oleh bising yang keras dan sesaat pada telinga yang umumnya disebabkan oleh
suara letusan ataupun ledakan yang berasal dari tembakan pistol, senapan, meriam
ataupun dari ledakan kembang api (Wada et al., 2017).
Gangguan pendengaran akibat paparan bising terus-menerus harus
dibedakan dari trauma akustik. Gangguan pendengaran trauma akustik terjadi
akibat paparan singkat (satu kali) dan langsung diikuti dengan gangguan
pendengaran temporer atau permanen. Intensitas rangsangan suara umumnya
melebihi 140 dB dan sering bertahan selama < 0,2 detik. Trauma akustik
menyebabkan terjadinya robekan membran timpani dan gangguan pada dinding
sel sehingga perilimfe dan endolimfe tercampur. Trauma akustik juga dapat
menyebabkan cedera pada tulang pendengaran (Salawati, 2013).

2.4 PATOFISIOLOGI
Trauma akustik adalah gangguan dengar yang disebabkan oleh bising
keras sesaat pada telinga, yang disebabkan letusan/ledakan. Akibat bising impulsif
berlebihan, kerusakan bukan hanya meliputi proses mekanik saja tetapi juga
proses metabolik, yang bila berlebihan, dapat menyebabkan terjadinya stres
oksidatif, sehingga terjadi apoptosis maupun nekrosis sel-sel rambut koklea yang
mengakibatkan tuli sensorineural sementara atau bahkan tuli sensorineural
permanen (Sasongko, 2015).
Pada trauma akustik bising yang keras akan menyebabkan perubahan
dramatis dalam aliran darah di koklea, termasuk peningkatan permeabilitas
pembuluh darah, vasokonstriksi kapiler, dan stagnasi darah dalam kapiler strial.
Hal ini membuat sel-sel rambut relatif anoksik dan dengan demikian mengalami
kerusakan sekunder, sehingga menimbulkan peningkatan metabolisme yang
berlebihan di mitokondria. Metabolisme yang berlebihan di mitokondria akan
memacu terbentuknya radikal bebas yang cenderung bersifat toksik terhadap
membran sel (peroksidasi lipid) maupun inti sel (DNA), akibatnya terjadi
apoptosis maupun nekrosis pada sel-sel rambut koklea (Sasongko, 2015).

5
Malondialdehid (MDA) adalah salah satu hasil akhir dari peroksidasi lipid.
Kadar MDA digunakan sebagai indikator kerusakan akibat radikal bebas.
Peroksidasi lipid merupakan serangkaian reaksi oksidatif asam lemak rantai
panjang tidak jenuh membran fosfolipid yang menghasilkan degadrasi fosfolipid,
kerusakan membran, pembentukan hidrokarbon jenuh (etana, pentana), MDA, dan
lainnya. Pengambilan sampel darah dari vena perifer untuk mengukur kadar MDA
mencerminkan stres oksidatif seluruh tubuh (Sasongko, 2015).

2.5 MANIFESTASI KLINIS


Manifestasi klinis yang dapat timbul akibat terjadinya trauma akustik,
antara lain:
 Tinitus (sensasi berdenging di telinga)
 Telinga terasa penuh (aural fullnes)
 Recruitment (telinga terasa sakit saat mendengar suara keras)
 Kesulitan dalam melokalisasi suara
 Kesulitan mendengar di dalam keadaan bising
 Vertigo.
Trauma akustik dapat mengakibatkan tuli sensorineural yang bersifat
sementara (pergeseran ambang batas sementara/ temporary treshold shift) atau tuli
sensorineurl permanen (pergeseran ambang permanen/ permanent treshold shift).
Temporary Treshold Shift akan sembuh seiring waktu, adapun waktu yang
dibutuhkan untuk pemulihan pendengaran adalah berbeda-beda dalam setiap
kasus. Akan tetapi, pada tuli sensorineural yang bertahan lebih dari 8 minggu
setelah trauma akustik terjadi, kemungkinan besar tuli sensorineural bersifat
permanen dan harus dianggap sebagai permanent treshold shift (Esquivel et al.,
2018).

2.6 DIAGNOSIS
2.6.1 ANAMNESIS
Indikator terbaik trauma akustik ialah terjadinya gangguan atau hilang
pendengaran setelah terpapar bising. Oleh karena itu, pada saat anamnesis, adanya
riwayat pasien terpapar dengan bising yang begitu keras dan langsung diikuti oleh

6
gangguan pendengaran menjadi hal yang sangat penting (Sasongko, 2015).

2.6.2 PEMERIKSAAN FISIK DAN PENUNJANG


Hasil pemeriksaan pemeriksaan audiologi akan memberikan gambaran
tentang jenis dan keparahan dari gangguan pendengaran yang diderita. Hasil
pemeriksaan dapat menunjukkan gangguan pendengaran berupa tuli sensorineural
ataupun tuli campuran. Pemeriksaan audiologi yang dapat dilakukan antara lain:
 Tes penala
Pemeriksaan ini merupakan tes kualitatif dan memiliki banyak macam.
Untuk mempermudah interpretasi secara klinik, dipakai tes Rinne, tes
Weber dan tes Schwabach secara bersamaan. Pada umumnya digunakan 3
macam penala, namun jika memakai 1 penala saja, maka digunakan penala
dengan frekuensi 512 Hz.
 Audiometri nada murni
Diagnosis trauma akustik dapat dilakukan dengan menggunakan
pemeriksaan audiometri nada murni dengan gambaran khas yakni tuli
sensorineural berupa takik di frekuensi antara 2–6 KHz.
 Emisi otoakustik
Kerusakan awal sel-sel rambut koklea yang merupakan risiko terjadinya
trauma akustik dapat dinilai menggunakan alat emisi otoakustik.
Pemeriksaan emisi otoakustik adalah suatu prosedur yang cepat,
noninvasif, sensitif dan objektif untuk menyingkirkan atau memastikan
gangguan fungsi sel-sel rambut luar koklea. Batas normal pada alat emisi
otoakustik, yakni apabila signal to noise ratio (SNR) lebih dari 6 pada tiap
frekuensi, dan abnormal apabila SNR kurang dari 6 pada tiap frekuensi.
 Pemeriksaan audiologi khusus sebagai sarana evaluasi untuk penggunaan
alat bantu dengar (Sasongko, 2015).

2.7 DIAGNOSIS BANDING


Diagnosis banding trauma akustik adalah idiopathic sudden sensorineural
hearing loss, trauma akut akibat, penurunan pendengaran diakibatkan toksin, dan
efek samping obat. Toksin yang dapat menyebabkan menurunnya pendengaran

7
adalah alkohol, thalidomide, dan quinine. Untuk membedakannya, dapat
dilakukan anamnesis riwayat dan pemeriksaan otoskopi rutin. Beberapa
pemeriksaan yang dapat dilakukan adalah tes garpu tala, tes bisik, pure-tone
audiogram, speech audiogram, dan emisi otoakustik. (Zahnert T., 2011)

2.8 TATALAKSANA
Sampai saat ini, belum ditemukan terapi definitif untuk Noise induced
hearing loss (NIHL). Namun terdapat beberapa opsi terapi untuk NIHL, yaitu
steroid, hyperbaric oxygen therapy (HBOT), agen rheologik, dan pengobatan lain,
seperti pengobatan alternatif, operasi, dan observasi (Chandrasekhar S., et al,
2019). Steroid dapat membentuk keseimbangan ion di telinga dalam,
menstabilisasi membran sel, meningkatkan perfusi dan inhibisi dari sitokin anti-
inflamasi. Dosis steroid sistemik yang dapat diberikan adalah prednisone 1 mg/kg,
dengan dosis maksimal 60 mg/hari (Zloczower E., et al, 2022).
Kematian sel akibat trauma akustik sering dikaitkan dengan hipoksia dan
formasi radikal bebas (Ata N., et al, 2021). HBOT adalah jenis terapi inhalasi
yang menggunakan oksigen berkonsentrasi tinggi dalam ruang hiperbarik, dimana
tekanan nya lebih tinggi daripada tekanan atmosfer. Tekanan terapeutik yang
digunakan adalah 200-280 kPa, dilakukan selama 120 menit, 1 kali dalam sehari.
Terapi HBO2 berkontribusi pada trauma akustik dengan meningkatkan oksigenasi
ke telinga dalam, sehingga dapat menyesuaikan potensi transmembran,
mengaktivasi metabolisme sel, dan meregenerasi keseimbangan ionik (Holy R., et
al, 2021).
Terapi rheologik atau vasoaktif dapat meningkatkan aliran pembuluh
darah koklea. Pemberian agen vasoaktif dapat menyebabkan perubahan
patofisiologi pada tingkat kapiler dan mikrovaskukar, seperti embolisme,
hiperkoagulabilitas, vasospasme, perdarahan intrakoklea, dan lainnya. (Agarwal
L. and Pothier D., 2009) Apabila terdapat perforasi membran timpani, dapat
diberikan antibiotik tetes untuk membersihkan debris dan gumpalan darah. Dosis
antibiotik tetes adalah 4 tetes ciprofloxacin atau ofloxacin, 3 kali sehari selama 7
hari. (Equisvel C., et al, 2018) Pada umumnya, perforasi timpani akan sembuh

8
dalam 3 bulan. Apabila tidak bisa, maka timpanoplasti dapat dilakukan (CDC,
2009).
Berikut beberapa opsi terapi NIHL menurut American Academy of
Otolaryngology-Head and Neck Surgery Foundation 2019 :
1. Terapi inisial kortikosteroid
Kortikosteroid dapat diberikan sebagai terapi inisial dalam 2 minggu
setelah munculnya gejala.
2. Terapi inisial dengan Hyperbaric Oxygen Therapy (HBOT)
Sebagai inisial terapi, HBOT dikombinasi dengan steroid dalam 2 minggu
setelah munculnya gejala.
3. Terapi salvage dengan Hyperbaric Oxygen Therapy (HBOT)
HBOT dikombinasi dengan terapi steroid dalam 1 bulan setelah
munculnya gejala.
4. Terapi salvage dengan steroid intratimpani.
Terapi steroid intratimpani dapat diberikan kepada pasien yang belum
mengalami perbaikan setelah 2-6 minggu sejak munculnya gejala.
5. Pengobatan lain
Obat yang tidak boleh diberikan secara rutin adalah antiviral, trombolitik,
vasodilator, atau substansi vasoaktif.
6. Rehabilitasi
Rehabilitasi audiologi yang dapat dilakukan adalah alat bantu dengar,
assistive listening device (ALD), dan auditory training. Alat bantu dengar
adalah suatu perangkat elektronik untuk meningkatkan volume suara,
sehingga dapat terdengar jelas. (American Academy of Audiology, 2023).
Berikut beberapa jenis alat bantu dengar.

9
Gambar 2.1 Jenis-jenis alat bantu dengar (NICDC, 2022)
Assistive listening device adalah perangkat elektronik yang dapat
meningkatkan kenyamanan mendengar, contoh mikrofon jarak jauh, sistem
FM (Frequency Modulation), dan sistem kabel-T. Selain itu, rehabilitasi
audiologi juga dapat meningkatkan kemampuan, membaca gerak bibir dan
diskriminasi kata. (American Academy of Audiology, 2023).
7. Follow-up
Pasien wajib melakukan evaluasi audiometri setelah selesai pengobatan
dan 6 bulan setelah selesai pengobatan.

2.9 PENCEGAHAN DAN EDUKASI


Pencegahan trauma akustik dapat dilakukan dengan mematuhi regulasi
kerja dan membangun kesadaran masing-masing individu. Nilai ambang batas
(NAB) kebisingan menurut Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi
Nomor 13 Tahun 2011 adalah 85 dB untuk pekerja yang sedang bekerja selama 8
jam per hari atau 40 jam per minggu. Pekerja tidak boleh terpajan lebih dari 140
dB walaupun hanya sesaat.
Selain itu, terdapat beberapa cara untuk mencegah kejadian akustik trauma,
yaitu (Sliwinska-Kowalska and Davis, 2012):
1. Mengetahui intensitas suara yang dapat menyebabkan kerusakan
2. Pakai penutup telinga (ear muffs) atau penyumbat telinga (ear plugs) atau
alat pelindung lainnya saat terlibat dalam aktivitas bunyi yang keras. Ear

10
muffs digunakan pada suara sedang sampai keras. Ear plugs diindikasikan
pada suara rendah sampai sedang, alat ini dipakai pada liang telinga.
Musician’s ear plugs dibuat khusus menyesuaikan telinga individu.
Disposable foam ear plugs digunakan pada suara sedang sampai sangat
keras (Blue Tree Publishing, 2016). Penggunaan ear muffs dan ear plugs
secara terpisah dapat meredam suara 15-30 dB. Namun jika digunakan
bersamaan dapat meredam suara sebanyak 105 dB. (CDC, 2004)
3. Jika tidak bisa mengurangi bunyi atau melindungi diri, menjauhlah dari
sumber bunyi
4. Selalu waspada pada bunyi keras di lingkungan
5. Tes pendengaran jika merasa pendengaran berkurang

Gambar 2.2 Alat-alat pelindung telinga (Pembina Trails, 2017)

2.10 KOMPLIKASI
Suara yang sangat keras dan mendadak dapat menyebabkan perforasi dari
membran timpani, fraktur dan disrupsi osikel, merusak sel rambut di telinga
dalam, dan merusak organ vestibular. Hal ini dapat menyebabkan tuli konduktif,
tuli sensorineural, ataupun tuli campuran. Derajat keparahan bergantung pada
kerasnya suara. Stimulasi berlebihan pada sel rambut di telinga dalam dapat
menyebabkan kerusakan nerve endings, sehingga menghambat aktivitas saraf.
Apabila paparan bunyi terjadi dalam durasi yang singkat, maka dapat
menyebabkan kehilangan pendengaran temporer atau Tempory Threshold Shift
(TTS). Namun apabila paparan bunyi terjadi dalam durasi yang lama dan
berulang, kerusakan sel rambut dan saraf menjadi permanent. Hal ini dinamakan
Permanent Threshold Shift (PTS) . (Community Ear & Hearing Health, 2019)

11
2.11 PROGNOSIS
Meningkatkan keberhasilan terapi trauma akustik membutuhkan pelaporan
dini, sehingga dapat dievaluasi dan didiagnosis secara tepat waktu. Diagnosis dini
diperlukan untuk menjaga kemampuan pendengaran dalam fungsi dan kinerja
tingkat tinggi. Diperkirakan sebanyak 50% korban ledakan eksplosif dan 20%
kasus ledakan non-eksplosif menderita tuli permanent. Pada sekitar 50-80% kasus
trauma akustik, perforasi membran timpani akan sembuh secara spontan. Terdapat
sebanyak 62% sembuh dalam 3 bulan pertama dan sebanyak 69% sembuh dalam
10 bulan. Intervensi bedah diperlukan apabila membran timpani tidak sembuh
dengan sendirinya dalam 10-12 bulan. (Fisher, 2008)

2.12 RUJUKAN
Terdapat 2 indikasi merujuk kepada spesialis Telinga Hidung Tenggorok
(THT)-KL, yaitu indikasi absolut dan indikasi relatif. Indikasi absolut untuk
merujuk adalah (Equisvel C., et al, 2018):
 Fraktur tulang temporal dengan atau tanpa drainase telinga
 Kehilangan pendengaran > 72 jam setelah trauma akustik, atau kesulitan
melakukan pekerjaan sehari-hari akibat kehilangan pendengaran
 Perforasi membran timpani yang tidak sembuh dalam 8 minggu setelah
cedera. Pada perforasi membran timpani, merujuk dilakukan setelah
minggu ke-8 dengan tujuan memberikan waktu kepada membran timpani
untuk sembuh
 Vertigo tidak sembuh dalam 7 hari setelah cedera
 Drainase telinga
 Drainase telinga yang terus berubah warna dan tidak sembuh setelah 3 hari
terapi tetes kombinasi steroid antibiotik topikal
 Paralisis nervus fasialis
 Skrining audiogram
 Rata-rata ambang nada murni pada 500, 1000, dan 2000 Hz yang lebih
besar dari 30 dB

12
 Atau ambang pendengaran diatas 35 dB, yaitu pada 500, 1000, dan 2000
Hz
 Atau ambang pendengaran diatas 45 dB, yaitu pada 3000 Hz atau 55 dB
pada 4000 Hz

Indikasi relatif untuk merujuk adalah (Equisvel C., et al, 2018):


 Debris pada kanalis akustikus eksterna yang tidak bersih dengan tetes
telinga topikal
 Kesulitan untuk visualisasi membran timpani setelah diberikan tetes
telinga topikal
 Pusing yang menetap, walaupun bukan merupakan vertigo
 Masalah signifikan pada komuikasi
 Tinnitus yang mengganggu kehidupan sehari-hari pasien

13
BAB 3
KESIMPULAN

Trauma akustik merupakan suatu gangguan pendengaran yang disebabkan


oleh bising yang keras dan sesaat pada telinga yang disebabkan oleh letusan
ataupun ledakan yang umumnya berasal dari tembakan pistol ataupun kembang
api. Trauma akustik umumnya banyak didapati pada kelompok-kelompok militer
dikarenakan tingginya paparan kelompok ini terhadap suara-suara berintensitas
tinggi yang berasal dari tembakan senjata. Dalam penelitian yang dilakukan
terhadap veteran di Amerika serikat didapati bahwa rata-rata tahunan terjadinya
trauma akustik pada veteran tersebut adalah 13-18%.
Gangguan pendengaran trauma akustik terjadi akibat paparan singkat (satu
kali) dan langsung diikuti dengan gangguan pendengaran temporer atau
permanen. Intensitas rangsangan suara umumnya melebihi 140 dB dan sering
bertahan selama < 0,2 detik. Trauma akustik menyebabkan terjadinya robekan
membran timpani, tercampurnya perilimfe dan endolimfe, cedera pada tulang
pendengaran, dan perubahan dramatis dalam aliran darah di koklea. Hal ini
membuat sel-sel rambut relatif anoksik dan dengan demikian mengalami
kerusakan sekunder, sehingga menimbulkan peningkatan metabolisme yang
berlebihan di mitokondria dan terbentuknya radikal bebas yang cenderung bersifat
toksik terhadap membran sel (peroksidasi lipid) maupun inti sel (DNA), akibatnya
terjadi apoptosis maupun nekrosis pada sel-sel rambut koklea.
Indikator terbaik trauma akustik ialah terjadinya gangguan atau hilang
pendengaran setelah terpapar bising. Oleh karena itu, anamnesis riwayat dan
gejala sangat penting untuk dilakukan. Manifestasi klinis pada trauma akustik
adalah tinnitus, telinga terasa penuh, recruitment, kesulitan melokalisasi suara,
kesulitan mendengar dalam keadaan bising, dan vertigo. Selain itu, pemeriksaan
fisik seperti tes penala, audiometri nada murni, emisi otoakustik, dan pemeriksaan
audiologi khusus juga dapat membantu penegakan diagnosis trauma akustik.
Beberapa opsi terapi untuk NIHL, yaitu steroid, hyperbaric oxygen
therapy (HBOT), agen rheologik, dan pengobatan lain, seperti pengobatan

14
alternatif, operasi, dan observasi. Dosis steroid sistemik yang dapat diberikan
adalah prednisone 1 mg/kg, dengan dosis maksimal 60 mg/hari. Tekanan HBOT
yang digunakan adalah 200-280 kPa, dilakukan selama 120 menit, 1 kali dalam
sehari. Apabila terdapat perforasi membran timpani, dapat diberikan antibiotik
tetes untuk membersihkan debris dan gumpalan darah. Dosis antibiotik tetes
adalah 4 tetes ciprofloxacin atau ofloxacin, 3 kali sehari selama 7 hari. Pada
umumnya, perforasi timpani akan sembuh dalam 3 bulan. Apabila tidak bisa,
maka timpanoplasti dapat dilakukan.
Pencegahan yang dapat dilakukan adalah mengetahui intensitas suara yang
dapat menyebabkan kerusakan, menggunakan ear muffs dan ear plugs saat terlibat
dalam aktivitas bunyi yang keras, menjauh dari sumber bunyi, selalu waspada
pada bunyi keras, dan tes pendengaran jika merasa pendengaran berkurang.
Komplikasi trauma akustik adalah tuli konduktif, tuli sensorineural, ataupun tuli
campuran. Keberhasilan diagnosis dini diperlukan untuk menjaga kemampuan
pendengaran dalam fungsi dan kinerja tingkat tinggi. Diperkirakan sebanyak 50%
korban ledakan eksplosif dan 20% kasus ledakan non-eksplosif menderita tuli
permanent.

15
DAFTAR PUSTAKA

Agarwal L, Pothier DD., 2019. Vasodilators and vasoactive substances for


idiopathic sudden sensorineural hearing loss. Cochrane Database of Systematic
Reviews, Issue 4. Art. No.: CD003422. DOI: 10.1002/14651858.CD003422.pub4.

Ata N, Kahraman E, Incesulu A, Yildirim E., 2021. Effects of oxygen therapies in


experimental acute acoustic trauma. J Int Adv Otol.17(6):508-513.

Bashiruddin, J. and Soetirto, I., 2017. Gangguan Pendengaran Akibat Bising’, in


Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga, Hidung, Tenggorok, Kepala dan Leher.
Ketujuh. Jakarta: Badan Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.

Bayoumy, A.B. et al., 2021. It’s All about Timing, Early Treatment with
Hyperbaric Oxygen Therapy and Corticosteroids is Essential in Acute Acoustic
Trauma, Journal of Otology, 16(4), pp. 237–241. doi:10.1016/j.joto.2021.05.001.

CDC Workplace Safety and Health, 2004. Wearing Hearing Protection Properly.
Available from: https://www.cdc.gov/niosh/mining/userfiles/works/pdfs/2005-
107.pdf

CDC, 2009. Ear Blast Injuries. Available from:


https://www.acep.org/siteassets/uploads/uploaded-files/acep/clinical-and-practice-
management/ems-and-disaster-preparedness/disaster-preparedness-grant-
projects/blastinjury_ear_eng.pdf

Chandrasekhar S.S., et al, 2019. Clinical Practice Guideline: Sudden Hearing Loss
(Update). American Academy of Otolaryngology– Head and Neck Surgery, Vol.
161(1S) S1–S45

Community Ear & Hearing Health, 2019. Noise Induced Hearing Loss, 16(20):1-
12. Available from: https://www.lshtm.ac.uk/sites/default/files/2020-
12/CEHH%20Issue%2020%20-%20Noise-induced%20hearing%20loss.pdf

16
Esquivel, C.R. et al., 2018. Aural blast injury/acoustic trauma and hearing loss,
Military Medicine, 183(suppl_2), pp. 78–82. doi:10.1093/milmed/usy167.

Fisher T., 2008. Synopsis of Causation: Blast Injury of the Ear. Ministry of
Defence. Available from:
https://assets.publishing.service.gov.uk/government/uploads/system/uploads/attac
hment_data/file/384465/blast_injury_ear.pdf

Holy, R., et al., 2021. The Use of Hyperbaric Oxygen Therapy and Corticosteroid
Therapy in Acute Acoustic Trauma: 15 Years’ Experience at the Czech Military
Health Service. Int. J. Environ. Res. Public Health; 18, 4460.
https://doi.org/10.3390/ijerph18094460

Levihaiem , A., 2015. Noise Induced Hearing Loss: The Impact of Acoustic
Trauma on Noise Induced Hearing Loss: The Impact of Acoustic Trauma on the
Ear, The Science Journal of the Lender College of Arts and Scinces, Volume 9.

National Institute on Deafness and Other Communication Disorders, 2019. Noise


Induced hearing loss. Available from: https://www.nidcd.nih.gov/health/noise-
induced-hearing-loss

National Institute on Deafness and Other Communication Disorders, 2022.


Hearing Aids. Available from: https://www.nidcd.nih.gov/health/hearing-aids

Pembina Trails, 2017. Hearing Protection Devices. Available from:


https://www.pembinatrails.ca/page/582/hearing-protection-devices

Salawati, L., 2013. Noise-Induced Hearing Loss, Jurnal Kedokteran Syiah Kuala.
Available at: https://jurnal.usk.ac.id/JKS/article/view/2744 (Accessed: 05 August
2023).

Sasongko, S., 2015. Pengaruh Glutation Peroksidase Mimetik Peroral terhadap


Kadar Glutation Peroksidase dan Malondialdehid Darah serta Nilai Emisi
Otoakustik pada Prajurit dengan Risiko Trauma Akustik akibat Ledakan Meriam

17
howitzer 105 - Effect of Orally Administered Glutathione Peroxidase Mimetic
towards Glutathione and Malondialdehyde Blood Bevel and Otpacoustic
Emissions Result in Soldiers with Acoustic Trauma Risk caused by Howitzer 105
Artillery Weapon Blast, Indonesian Journal of Applied Sciences, 5(1).
doi:10.24198/ijas.v5i1.16651.

Sliwinska-Kowalska M, Davis A., 2012. Noise-induced hearing loss. Noise


Health,14(61):274-80. doi: 10.4103/1463-1741.104893.

Wada, T. et al., 2017. Differences between acoustic trauma and other types of
acute noise-induced hearing loss in terms of treatment and hearing prognosis,
Acta Oto-Laryngologica, 137(sup565). doi:10.1080/00016489.2017.1297899.

Zahnert T., 2011. The differential diagnosis of hearing loss. Dtsch Arztebl Int;
108(25): 433–44. DOI: 10.3238/arztebl.2011.0433

Zloczower E., et al., 2022. Efficacy of Oral Steroids for Acute Acoustic Trauma.
Audiology and Neurotology. DOI: 10.1159/000522051

18

Anda mungkin juga menyukai