PEMERIKSAAN AUDIOLOGI
Disusun oleh:
Giovani Meisy
030.16.064
Pembimbing:
dr. Sevi Aristya Sudarwin, Sp.THT-KL
DAFTAR ISI........................................................................................................1
DAFTAR TABEL................................................................................................2
DAFTAR GAMBAR...........................................................................................3
KATA PENGANTAR..........................................................................................4
BAB I PENDAHULUAN....................................................................................5
DAFTAR PUSTAKA.........................................................................................38
1
DAFTAR TABEL
2
DAFTAR GAMBAR
3
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas berkat
dan rahmat-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan referat yang berjudul
“Pemeriksaan Audiologi” Penyusunan referat ini dilakukan dalam rangka
memenuhi salah satu persyaratan dalam menempuh kepaniteraan klinik di bagian
Ilmu THT, RSUD Budhi Asih, melewati pembelajaran jarak jauh. Penulis
mengucapkan terimakasih atas waktunya dalam penyusunan referat.
Penulis
4
BAB I
PENDAHULUAN
5
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
Bidang audiologi didirikan selama Perang Dunia II. Sebelum pada masa
itu, pemeriksaan pendengaran dilakukan dengan menggunakan garpu tala dan
pemeriksaan berbisik yang dilakukan oleh dokter umum, meskipun beberapa
kali pemeriksaan dengan menggunakan audiometri nada murni juga
dilakukan.3 Saat terjadi Perang Dunia II, profesi audiologi muncul
dikarenakan kebutuhan akan pelayanan rehabilitasi untuk para veteran perang
yang tuli. Pelayanan rehabilitasi untuk para veteran yang kehilangan
pendengaran akibat dari paparan bising pada saat perang membutuhkan
masukan spesialis dari berbagai macam bidang, termasuk ilmu akustik,
psikologi dan patologi berbicara. Audiologi sebagai disiplin ilmu dibentuk
dikarenakan pendidikan dan keterampilan klinik yang dibutuhkan oleh para
audiolog meliputi berbagai disiplin ilmu. Setelah Perang Dunia II, para
veteran perang tersebut masih menggunakan dan memanfaatkan dari
pelatihan yang telah diterima dari para audiolog saat profesi tersebut masih
pada tahap pengembangan.
Setelah keluar dari dinas militer, para audiolog pemula mulai untuk
melakukan pelatihan untuk orang-orang yang ada di perguruan tinggi dan
universitas. Para audiolog ini mulai untuk melakukan penelitian mengenai
masalah klinis yang dihadapi dan berbagai pendekatan dan solusi yang saat
ini masih digunakan. Prosedur ini juga mengarahkan pada inovasi-inovasi
penting. Pada saat itu belum ada pemeriksaan diagnostik yang cukup untuk
6
mengukur secara pasti dan mengkategorikan gangguan pendengaran, saat
pengembangan prosedur diagnostik yang baru terdapat banyak penekanan
yang berat. Oleh karena itu, dalam beberapa tahun, diagnosis hanya
ditegakkan melalui focus primer pada penelitian audologi dan praktis.3
7
2.2. Anatomi telinga4
Telinga memiliki tiga bagian, yaitu telinga luar, telinga tengah, dan
telinga dalam. Struktur anatomi telinga adalah sebagai berikut:
8
timpani, batas depan oleh tuba eustachius, batas bawah oleh vena
jugularis, batas belakang oleh aditus ad antrum dan kanalis fasialis pars
vertikalis, batas atas oleh tegmen timpani, batas dalam secara berturut-
turut oleh kanalis semisirkularis horizontal, kanalis fasialis, oval window,
round window, dan promontorium.
Membran timpani berbentuk bundar dan cekung bila dilihat dari arah
liang telinga dan terlihat oblik terhadap sumbu liang telinga.
9
menandakan membran timpani kiri dan pukul 5 untuk membran timpani
kanan. Refleks cahaya ini secara klinis digunakan untuk menilai
gangguan pada tuba eustachius.
3. Telinga dalam
Telinga dalam terdiri dari koklea (rumah siput) yang terdiri dari dua
setengah lingkaran dan vestibuler yang terdiri dari 3 buah kanalis
semisirkularis. Ujung atau puncak koklea disebut helicotrema,
menghubungkan perilimfe skala timpani dengan skala vestibuli.
10
Kanalis semisirkularis saling berhubungan secara tidak lengkap dan
membentuk lingkaran yang tidak lengkap. Pada irisan melintang koklea
tampak skala vestibuli sebelah atas, skala timpani disebelah bawah dan
skala media (ductus koklearis) diantaranya. Skala vestibuli dan skala
timpani berisi perilimfa, sedangkan skala media berisi endolimfa. Dasar
skala vestibuli disebut sebagai membran vestibuli (Reissner’s membran)
sedangkan dasar skala media adalah membran basalis yang terdapat
organ corti. Pada skala media terdapat bagian yang berbentuk lidah yang
disebut membran tektoria, dan pada membran basal melekat sel rambut
yang terdiri dari sel rambut dalam, sel rambut luar dan kanalis corti, yang
membentuk organ corti.
11
Gambar 4. Fisiologi pendengaran5
A. Tes penala
Tes penala ditemukan pada saat audiometer listrik atau
otoskopi tidak tersedia. Pada awalnya, tes ini digunakan untuk
membedakan berbagai jenis gangguan pendengaran untuk
memberikan indikasi yang ‘kasar’ sebagai alat diagnostik yang baik
yang tersedia pada masa itu. Namun pada saat ini, spesialis THT
12
mempertimbangkan tes dengan menggunakan garpu tala ini sebagai
langkah yang tepat dan mudah digunakan pada situasi-situasi akut
untuk membedakan antara tuli konduktif dan tuli perseptif.7
Alat yang digunakan pada pemeriksaan penala adalah garpu
tala dengan frekuensi 128 Hz, 256 Hz, 512 Hz, 1024 Hz, dan 2048
Hz. Pada umumnya dipakai 3 macam penala (512 Hz, 1024 Hz, dan
2048 Hz), namun jika akan memakai 1 penala, gunakan ukuran 512
Hz.4
13
a. Garpu tala digetarkan, tangkai penala diletakkan pada
prosesus mastoideus pasien sampai pasien tidak
mendengar suara
b. Saat pasien sudah tidak mendengar suara, garpu tala
dipindahkan ke prosesus mastoideus pemeriksa sambil
pemeriksa melihat jam untuk menentukan sampai
berapa detik bunyi masih terdengar setelah pasien
tidak mendengar suara tersebut
c. Apabila pemeriksa sudah tidak mendengar suara,
pemeriksaan diulang dengan cara memeriksa pada
prosesus mastoideus pemeriksa terlebih dulu setelah
tidak terdengar suara di pindahkan pada prosesus
mastoideus pasien
Hasil pemeriksaan:
a. Apabila pada pemeriksa dan pasien memiliki
pendengaran yang normal, keduanya akan berhenti
mendengarkan bunyi yang dipancarkan oleh garpu tala
pada waktu yang kurang lebih sama. Hasil ini disebut
pemeriksaan schwabach normal.
b. Apabila pemeriksa masih dapat mendengar bunyi yang
dihantarkan oleh garpu tala, hasil ini disebut
14
Schwabach memendek. Hal ini berarti pasien memiliki
gangguan pendengaran sensoris (tuli perseptif)
c. Apabila pemeriksaan yang dilakukan terlebih pada
pemeriksa didapatkan sudah tidak mendengar namun
pada pasien masih terdengar, hasil ini disebut
Schwabach memanjang. Hal in berarti pasien memiliki
gangguan pendengaran konduktif (tuli konduktif)
2. Tes Rinne
Tes Rinne digunakan untuk membandingkan sensitifitas
pendengaran pada hantaran tulang dengan sensitifitas pada
hantaran udara.
Cara pemeriksaan
a. Penala digetarkan dan tangkainya diletakkan pada
prosesus mastoideus pasien
b. Setelah pasien tidak mendengar bunyi, penala
dipindahkan di depan telinga kira-kira 2,5 cm.
Hasil pemeriksaan
a. Tes rinne dinyatakan positif apabila pasien masih
mendengar penala saat dipindahkan di depan telinga.
Karena hantaran suara melalu udara lebih baik
15
dibandingkan melalui tulang. Hasil ini menyatakan
bahwa pasien normal atau memiliki gangguan
pendengaran sensoris (tuli perseptif)
b. Tes rinne dinyatakan negative apabila pasien
mendengar suara lebih keras saat penala diletakkan di
tulang mastoid dibandingkan dengan hantaran udara.
Hasil ini menyatakan bahwa pasien memiliki
gangguan pendengaran konduktif (tuli konduktif)
3. Tes Weber
Tes Weber dilakukan untuk menguji lateralisasi dari nada
yang diberikan.
Cara pemeriksaan
a. Penala digetarkan dan tangkai penala diletakkan di
garis tengah dari kepala (vertex, dahi, pangkal hidung,
tengah-tengah gigi seri, atau dagu)
16
Hasil pemeriksaan
a. Hasil tes Weber dinyatakan tidak ada lateralisasi
apabila pasien bisa mendengar suara di kedua
telinga.
b. Hasil tes Weber dinyatakan ada lateralisasi apabila
pasien mendengar suara lebih keras di salah satu
telinga. Apabila pasien mendengar suara lebih keras
pada telinga yang tidak sakit, pasien memiliki
gangguan sensori (tuli perseptif) sementara apabila
pasien mendengar suara lebih keras di telinga yang
sakit, pasien memiliki gangguan konduksi (tuli
konduktif)
4. Tes Bing
Tes Bing dilakukan untuk mengetahui efek oklusi. Efek
oklusi merupakan kondisi dimana suara menjadi lebih
keras akibat meningkatnya hantaran tulang saat dilakukan
penutupan pada liang telinga.
Cara pemeriksaan:
a. Penala digetarkan lalu diletakkan di prosesus
mastoideus pasien
b. Saat penala diletakkan, pemeriksa sambil menutup
dan membuka liang telinga dengan tragus pada
telinga pasien yang diperiksa.
17
Hasil pemeriksaan:
a. Tes Bing dinyatakan positif apabila pasien
mendengar suara lebih keras. Hal ini memiliki
kemungkinan pasien memiliki pendengaran yang
normal atau memiliki gangguan pendengaran
sensoris (tuli perseptif)
b. Tes Bing dinyatakan negatif apabila pasien tidak
mendengar adanya perbedaan suara. Hal ini berarti
pasien memiliki gangguan pendengaran konduktif
(tuli konduktif)
B. Tes berbisik3
Pemeriksaan tes berbisik bersifat semi-kuantitatif untuk
menentukan derajat ketulian secara kasar. Hal yang perlu
disiapkan adalah ruang yang cukup tenang, dengan panjang
ruangan minimal 6 meter.
Cara pemeriksaan:
a. Pemeriksa dan pasien berdiri sejajar pada telinga
pasien yang akan diperiksa dengan jarak 6 meter
b. Pemeriksa mengucapkan 10 kata yang telah difahami
pasien dengan berbisik, mencakup nada tinggi (desis),
dan nada rendah.
c. Pasien diminta untuk mengulangi kata yang dibisikkan
tersebut
d. Apabila pasien salah menyebutkan, pemeriksa
kemudian maju mendekat setiap 1 meter sampai pasien
mendengar kata yang disebutkan
Hasil pemeriksaan:
a. Hasil dinyatakan normal apabila pasien dapat
mendengar kata pada jarak 6/6 – 5/6
18
b. Hasil dinyatakan tuli ringan apabila pasien dapat
mendengar kata pada jarak 4/6
c. Hasil dinyatakan tuli sedang apabila pasien dapat
mendengar kata pada jarak 3/6 – 2/6
d. Hasil dinyatakan tuli berat apabila pasien dapat
mendengar kata pada jarak 1/6 – 0/6
19
Suara kebisingan yang rendah penting untuk menguji hantaran
tulang.
Cara pemeriksaan
a. Menjelaskan kepada pasien untuk merespon apabila
suara mulai terdengar atau suara sudah mulai tidak
mendengar (dengan mengangkat tangan atau menekan
tombol)
b. Pemeriksa memasangkan earphone dengan penanda
warna merah untuk telinga kanan dan warna biru untuk
telinga kiri. (sebelumnya meminta pasien untuk
melepaskan aksesoris seperti anting dan kacamata yang
dapat mengganggu pemeriksaan)
c. Melakukan pemasangan bone-conductor vibrator pada
prosesus mastoideus
d. Pemeriksa mulai melakukan pencarian ambang dengar
dengan menggunakan ambang dengar paling rendah
atau dengan menggunakan ambang dengar yang familiar
oleh pendengar (biasanya dimulai pada 1000 Hz pada
30 dB HL) pada telinga yang sehat
e. Pasang nada dengan durasi 1 -2 detik.
f. Jika ambang dengar sudah ditentukan, mulai
pemeriksaan dengan menyalakan nada pada 30 dB HL
g. Jika pasien merespon, turunkan nada setiap 10 dB
hingga pasien tidak mendengar.
h. Setelah ambang ditentukan pada 1000 Hz, frekuensi
selanjutnya yang akan diuji tergantung pada tujuan
pemeriksaan namun biasanya frekuensi yang lebih
rendah diuji terlebih dahulu sebelum frekuensi yang
tinggi.
i. Untuk diagnostik ambang dengar diukur pada interval
antara 250 hingga 8000 Hz.
20
j. Gunakan masking noise untuk mengurangi keterlibatan
dari telinga yang tidak diuji
Hasil interpretasi
Ambang dengar untuk frekuensi yang tinggi diplot
dalam satuan dB dalam sound pressure level (SPL).
Audiogram umumnya diklasifikasikan berdasarkan derajat
dari gangguan pendengaran
21
Gambar 12. Hasil interpretasi audiogram
22
2.4.2. Audiologi khusus4,8
Audiologi khusus diperlukan untuk membedakan tuli sensorineural
koklea dengan retrokoklea, audiometri obyektif, tes untuk tuli
anorganik, audiologi anak, dan audiologi industri. Pada audiometri
khusus, istilah yang perlu dipahami adalah rekruitmen (recruitment)
dan kelelahan (decay/fatigue).
23
a. Apabila pasien dapat membedakan perubahan tiap 1 dB,
tes SISI dinyatakan positif.
24
audiometri tutur, yaitu speech detection threshold (SDT) dan
speech recognition threshold (SRT)
Speech detection threshold (SDT) menurut American
Speech Language Hearing Association (ASHA) merupakan
cara untuk estimasi level dimana individu mempersepsikan
tutur yang ditampilkan sebayak 50% dan dilaporkan dalam
decibel hearing level (dB HL). SDT biasanya digunakan untuk
menetapkan level dari kesadaran stimulus berbicara pada bayi,
anak atau dewasa yang tidak merespon secara verbal atau untuk
mereka yang rendah kemampuan mengenali kata spondaic
sehingga tidak mengenali kata-kata yang terkandung pada SRT.
Speech recognition threshold (SRT) merupakan estimasi
dari level pada individu yang bisa mengulang dari kata
spondaic 50% dari waktu dan umumnya dilaporkan dalam dB
HL atau decibels sound pressure level (dB SPL)
1. Speed recognition threshold (SRT)
Cara pemeriksaan:
a. Instruksi kepada pasien mengenai apa stimulus
yang akan diberikan (berupa kata spondaic yang
ada pada list) dan bagaimana cara merespon dari
kata tersebut (dengan menulis atau respon verbal)
25
Tabel 2. Daftar kata spondaic yang direkomendasikan oleh ASHA
(1988)
b. Setiap pasien harus mengenali terlebih dahulu kata
yang ada pada daftar yang akan digunakan selama
pengujian dengan cara mendengar dari daftar dari
kata yang diuji pada tingkat yang mudah didengar
dan kata yang mudah dibalikan seperti pada yang
telah ditunjukkan pada pengenalan kata
c. Menentukan ambang dengar dengan melakukan
inisiasi tingkat awal dengan menampilkan kata
spondaic pada tingkat 30 – 40 dB HL, diatas dari
SRT yang diantisipasi, jika terdapat respon yang
benar, turunkan tingkatan 10 dB sampai muncul
respon yang tidak sesuai. Apabila pada satu kata
pasien tidak menjawab dengan benar, tampilkan
kata kedua pada tingkatan yang sama. Apabila
responnya sudah benar, turunkan 10 dB sampai
pasien menyebutkan 2 kata yang salah dalam 1
26
tingkatan. Saat mencapai level dimana 2 kata yang
disebutkan tadi salah, naikan tingkatan 10 dB,
itulah tingkatan awalnya. Setelah ambang
ditentukan dengan ditambahkan 2 atau 5 dB sampai
audiometer cukup dengan tambahan tersebut.
d. Pada penambahan 2 dB, sebutkan 2 kata spondaic
pada tingkatan awal, lalu turunkan 2 dB dan
sebutkan 2 kata spondaic, lanjutkan penurunan 2
dB sampai pasien salah menyebutkan 5 dari 6 kata
yang diberikan
e. Pada penambahan 5 dB, sebutkan 5 kata spondaic
pada tingkatan awal. Saat pasien sudah bisa
menyebutkan 5 kata tersebut, turunkan 5 dB dan
sebutkan 5 kata spondaic. Lanjutkan menurunan
tingkatan sebanyak 5 dB sampai pasien salah
menyebutkan semua kata pada tingkatan yang sama
Hasil pemeriksaan:
a. Hasil tersebut, dihitung dengan mengurangi jumlah
kata yang diulang dengan benar dari awal dan
tambahkan faktor koreksi 1 dB apabila
menggunakan step 2 dB atau 2 dB apabila
menggunakan step 5 dB.
Contoh: dengan step 5 dB, pada tingkatan awal 40
dB, pasien menjawab 5 kata benar, pada 35 dB
pasien menjawab 3 kata benar, dan pada 30 dB
tidak ada yang benar. 8 dari 15 kata benar, oleh
karena itu 40 – 8 = 32. Tambahkan +2 untuk
koreksi, sehingga jumlah menjadi 34 dB HL.
27
Setelah itu, untuk menentukan derajat kemampuan
pemahaman dari tutur tersebut, hasil yang sudah di
sebutkan tadi dikalikan 2
28
tekanan positif atau tekanan negative pada liang telinga luar, dan
efisiensi getaran pada membran menurun.
29
Gambar 14. Timpanogram
a. Tipe A: merupakan kurva pada orang yang memiliki
fungsi telinga tengah yang normal. Titik dari penyesuaian
yang baik ada pada 0 daPa, dan kurva dikarakteristikan
dengan V terbalik yang agak besar
b. Tipe As: kurva menunjukan puncak karakteristik yang
sama pada atau sekitar 0 daPa, mengacu kepada tekanan
telinga tengah yang normal, namun, punyak lebih dangkal
dibandingkan pada tipe A. Tipe As banyak ditemukan
pada pasien dengan tulang stapes yang imobilisasi secara
parsial. ‘s’ diartikan untuk kekakuan (stiffness) atau
dangkal (shallow)
c. Tipe AD: pada beberapa kasus, pola pada tipe A
dipertahankan, namun, amplitude dari kurva cukup tinggi
dan pada beberapa kasus, sisi positif dan negatif dari
puncak tidak bertemu seperti pada tipe AD. Kurva tersebut
dikaitkan dengan lunaknya membran timpani atau
terpisahnya rantai pada tulang-tulang pendengaran di
telinga tengah. ‘D’ diartikan untuk ‘discontinuous’, atau
untuk ‘deep’
30
d. Tipe B: Kurva pada tipe B tampak ketika area pada telinga
tengah terisi oleh cairan, karena variasi tekanan yang luas
di liang telinga luar tidak akan pernah sama dengan
tekanan dari cairan yang berada di belakang membran
timpani, sehingga titik dari penyesuaian tidak ditemukan.
Tipe B juga dapat ditemukan saat serumen atau debris
menumpuk pada liang yang kecil ketika dilakukan
pemeriksaan. Saat terdapat penyumbatan yang menutupi
liang telinga tengah atau adanya lubang pada membran
timpani, sehingga pengukur dari penyesuaian tersebut
menyebukan adanya kekauan pada telinga tengah. Oleh
karena itu, kurva pada tipe B bisa menjadi bukti untuk
pemeriksa untuk memastikan faktor tersebut tidak terjadi
e. Tipe C: Pada kondisi tertentu, tekanan di telinga tengah
turun dibawah normal. Pada beberapa kasus membran
timpani menjadi lebih ‘menurut’ saat tekanan di liang
telinga negative, sehingga tekanan di telinga tengah
menyesuaikan.
f. Pada beberapa kejadian muncul tympanogram yang datar,
tidak adanya poin tekanan puncak. Hal ini bisa
dikarenakan tekanan telinga tengah yang secara drastis
sangat negative sehingga titik puncak dari tekanan tidak
muncul.
31
menjadi besar. hal ini menunjukan bahwa emisi otoakustik
adalah gerakan sel rambut luar dan merefleksikan fungsi koklea,
sedangkan sel rambut dalam dipersarafi serabut aferen yang
berfungsi mengubah suara menjadi bangkitan listrik dan tidak
ada ada gerakan dari sel rambut sendiri.
Cara pemeriksaan:
a. Memasukkan sumbat telinga (probe) ke dalam liang
telinga luar
b. Probe tersebut terdapat mikrofon dan pengeras suara
yang memberikan stimulus suara, sementara mikrofon
berfungsi untuk menangkap suara yang dihasilkan oleh
koklea setelah pemberian stimulus
c. Sumbat telinga dihubungkan dengan computer untuk
mencatat respon yang timbul dari koklea.
32
- SOAE: merupakan emisi otoakustik yang dihasilkan
koklea tanpa stimulus dari luar, didapatkan pada 60%
telinga sehat, bernada rendah dan mempunyai nilai
klinis rendah
- EOAE: merupakan respon koklea yang timbul dengan
adanya stimulus suara. Terdapat 3 jenis EOAE yang
dikenal:
1. Stimulus-frequency otoacoustic emission (SFOAE):
respon yang dibangkitkan oleh nada murni yang
terus-menerus.
2. Transiently-evoked otoacoustic emission (TEOAE):
merupakan respon stimulus klik dengan waktu cepat
yang timbul 2 – 2,5 ms setelah pemberian stimulus.
TEOAE tidak dapat dideteksi pada telinga dengan
ambang dengar lebih dari 40 dB
3. Distortion-product Otoacoustic Emission (DPOAE):
terjadi karena stimulus dua nada murni dengan
frekuensi tertentu. Nada murni yang diberikan akan
merangsang daerah koklea secara terus menerus
33
C. Auditory Brain-Stem Response (ABR)
Pemeriksaan ini juga dikenal sebagai Brainstem Evoked
Response Audiometry (BERA) yaitu suatu pemeriksaan untuk
menilai fungsi pendengaran dan fungsi N.VIII.
Prinsip pemeriksaan ABR ini adalah menilai perubahan
potensial listrik di otak setelah pemberian rangsang sensoris
berupa bunyi. Rangsangan bunyi akan diberikan melalui
headphone akan melewati saraf VIII di koklea (Gelombang I),
nukleus koklearis (Gelombang II), nukleus olivarius superior
(Gelombang III), lemnikus lateralis (Gelombang IV), kolikulus
inferior (Gelombang V), kemudian menuju ke korteks auditorius
di lobus temporal otak. Perubahan potensial listrik di otak akan
diterima oleh ketika elektroda di kulit kepala dari gelombang
yang timbul disetiap nukleus saraf sepanjang jalur saraf
pendengaran tersebut dapat dinilai bentuk gelombang dan waktu
yang diperlukan dari saat pemberian rangsang suara sampai
mencapai nukleus-nukleus saraf tersebut. Oleh karena itu setiap
keterlambatan waktu untuk mencapai masing-masing nukleus
saraf dapat memberi arti klinis keadaan saraf pendengaran,
maupun jaringan otak disekitarnya.
Cara pemeriksaan
a. Pasien duduk pada kursi didalam ruangan yang
kedap suara, dan juga ruangan berpelindung listrik
b. Area kulit yang akan ditempelkan elektroda
dibersihkan dan berikan gel konduktif di area yang
akan ditempel elektroda
c. Elektroda dipasangkan pada vertex, dan satunya
ditekan pada lobulus telinga atau pada tulang
mastoid.
d. Elektroda pada daerah telinga yang berlawanan
dijadikan landasan
34
e. Setelah elektroda di tempatkan, impedansi listrik di
cek dengan menggunakan ohm meter.
f. Satu telinga diperiksa dalam satu waktu.
g. 1000 sampai 2000 click bisa diberikan dengan
kecepatan 33,1 click per detik.
h. Tingkatan awal yang diberikan sekitar 70 dB nHL
i. Apabila tidak terdapat respon, naikan sekitar 20 dB.
j. Jika terdapat respon, turunkan tingkatan dalam 10 –
20 dB sampai gelombang V menjadi tidak
terdeteksi lagi
Hasil pemeriksaan:
Yang dinilai pada BERA:
1. Masa laten absolut gelombang I,III,V
2. Beda masing-masing masa laten absolut (interwave
latency I – V, I – III, III – V)
3. Beda masa laten absolut telinga kanan dan kiri
(interaural latency)
4. Beda masa laten pada penurunan intensitas bunyi
(latency intensity function)
5. Rasio amplitude gelombang V/I, yaitu rasio antara
nilai puncak gelombang V, ke puncak gelombang I
yang akan meningkat dengan menurunnya
intensitas
35
Gambar 16. Hasil Auditory brain-stem response pada
individu dengan pendengaran normal
D. Elektrokokleografi (ECoG)
Pemeriksaan ini digunakan untuk merekam gelombang-
gelombag yang khas dari evoke electropotential cochlea.
36
BAB III
KESIMPULAN
37
DAFTAR PUSTAKA
38