Anda di halaman 1dari 25

LAPORAN PRAKTIKUM KESEHATAN KERJA

Pengukuran Pendengaran menggunakan


Audiometri

Mardiyahtul Husnah Ritonga


R0220072

D-4 KESELAMATAN DAN KESEHATAN KERJA


SEKOLAH VOKASI UNIVERSITAS SEBELAS MARET
SURAKARTA
2021

i
PENGESAHAN

Laporan Kesehatan Kerja dengan Judul


Pengukuran Pendengaran menggunakan Audiometri

Mardiyahtul Husnah Ritonga, R0220072, 2021

Telah disahkan pada :

Hari Kamis, Tanggal 19 November 2021

Dosen Pengampu Pembimbing Praktikum

Farhana Syahrotun N., S.ST., M.KKK Indah Ratnasari, A.Md.


NIP1995052520200901 NIP198909292014042001
ii
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ............................................................................................................ i


HALAMAN PENGESAHAN.......................................................................................... ii

DAFTAR ISI ................................................................................................................... iii

BAB I. PENDAHULUAN .............................................................................................. 1

A . Latar Belakang.............................................................................................. 1

B. Tujuan ........................................................................................................... 2

C. Manfaat…………………………………………………………………… 2
BAB II. LANDASAN TEORI........................................................................................... 3

A. Tinjauan Pustaka.............................................................................................. 3

B. Perundang-undangan .................................................................................... 10

BAB III. HASIL ............................................................................................................. 11

A. Gambar Alat, Cara Kerja, dan Prosedur Pengukuran ................................ 11

B. Hasil Pengukuran dan Perhitungan ............................................................ 16

BAB IV. PEMBAHASAN .............................................................................................. 19

BAB V. SIMPULAN DAN SARAN ............................................................................ 21

A. Simpulan ...................................................................................................... 21

B. Saran ............................................................................................................. 21

DAFTAR PUSTAKA..................................................................................................... 22

iii
BAB I
PENDAHULUAN

1. Latar Belakang
Pendengaran normal ialah dapat mendengar pembicaraan biasa dan tidak ada
kesukaran mendengar suara perlahan. Secara fisiologis telinga manusia dapat
mendengar suara denga interval 20-2000 Hz.
Audiologi adalah ilmu pendengaran yang meliputi evaluasi pendengaran dan
reahibilitasi individu dengan masalah komunikasi sehubungan dengan gangguan
pendengaran. Ada dua alasan untuk melakukan evaluasi yaitu pertama, untuk
mendiagnosis lokasi dan jenis penyakit dan kedua, untuk menilai dampak gangguan
pendengaran terhadap proses belajar, interaksi sosial dan pekerjaan.
Audiometri monitoring adalah alat yang digunakan untuk mengukur tingkat
kepekaan terhadap pendengaran. Manfaat pemeriksaan audiometri monitoring sendiri
yaitu: sebagai bagian dan program awal dari sebuah perusahaan sehingga perusahaan
mempunyai data awal tingkat ambang dengar tenaga kerja yang akan di tempatkan di
tempat bising sebagai dasar evaluasi untuk pemeriksaan berkala. Jika hasil pemeriksaan
tidak menunjukkan peningkatan paparan dan hasil tidak ada perubahan maka program
konservasi pendengaran tersebut efektif.
Hasil peningkatan paparan berupa kebisingan akan menyebabkan intensitas
gangguan pendegaran sesorang akan terganggu. Gangguan intensitas pendengaran
tersebut biasanya dikenal dengan tuli.
Tuli adalah keadaan dimana individu tidak dapat mendengar sama sekali (total
deafness), suatu bentuk ekstrim dari kekurangan pendegaran. Pendapat lain menytakan
bahwa tuli adalah penurunan fungsi pendengaran yang sangat berat. Berdasarkan
pendapat tersebut dapat disimpulkan bahwa tuli adalah keadaan dimana individu tidak
dapat mendengar nada anatara 20-20.000 Hz.
Praktikum pengukuran intensitas pendengaran ini dilakukan dengan menggunakan
audiometric. Sementara itu, yang menjadi petugas pemeriksa dan responden adalah
mahasiswa. Diman pemeriksaan ini untuk mengetahui apakah pendengaran masih
normal atau tidak.

1
2. Tujuan
Tujuan dilakukannya pratikum pengukuran intensitas pendengaran adalah untuk:
1. Mahasiswa mengenal metode dan peralatan pengukuran intensitas pendengaran.
2. Mahasiswa mampu melakukan kegiatan pengukuran intesitas pendengaran dengan
menggunakan audiometri.
3. Mahasiswa mampu menganalisis data hasil pengukuran intensitas pendengaran

4. Manfaat
Manfaat dilakukannya praktikum intensitas pendengaran adalah untuk :

1. Mahasiswa dapat mengenal metode dan peralatan pengukuran intensitas pendengaran


2. Mahasiswa dapat melakukan kegiatan pengukuran intensitas pendengaran dengan
menggunakan audiometri
3. Mahasiswa dapat menganalisis data hasil pengukuran intensitas pendengaran

2
BAB II
LANDASAN TEORI

1. Tinjauan Pustaka
1. Pengertian Audiometri
Audiometri berasal dari kata audire dan metrios yang berarti mendengar dan
mengukur (uji pendengaran). Pengertian audiometri yang lain adalah suatu sistem uji
pendengaran yang mempergunakan alat listrik yang dapat menghasilkan bunyi nada-
nada murni dari berbagai frekuensi 250-500- 1000-2000-4000-8000 (Dullah, 2009).
Audiometri tidak saja dipergunakan untuk mengukur ketajaman pendengaran, tetapi
juga dapat dipergunakan untuk menentukan lokalisasi kerusakan anatomis yang
menimbulkan gangguan pendengaran Nada murni berarti bunyi yang hanya mempunyai
satu frekuensi, dinyatakan dalam jumlah getaran per detik. Audiometri nada murni/ pure
tune audiometry (PTA) adalah salah satu jenis uji pendengaran untuk menilai fungsi
pendengaran (Dhingra, 2007).
2. Manfaat Audiometri
1. Untuk mengukur batas pendengaran pada konduksi udara dan tulang serta derajat
atau tipe ketulian.
2. Merekam hasil dapat disimpan dan dapat dugunakan untuk rujukan masa akan
datang.
3. Audiogram berguna sebagai ukuran untuk pengunaan alat bantu dengar.
4. Membantu untuk mencari derajat kecacatan untuk tujuan medikolegal.
(Dhingra, 2007)
5. Istilah-Istilah dalam Audiometr
1. Nada murni (pure Tone): merupakan bunyi yang hanya mempunyai satu frekuensi,

dinyatakan dalam jumlah getaran per detik.
2. Bising: merupakan bunyi yang mempunyai banyak frekuensi, terdiri dari spectrum

terbatas (Narrow band), spektrum luas (White noise).
3. Frekuensi: merupakan nada murni yang dihasilkan oleh getaran suatu benda yang

sifatnya harmonis sederhana (simple harmonic motion). Dengan satuannya dalam

jumlah getaran per detik dinyatakan dalam Hertz (Hz).

3
4. Intensitas bunyi: dinyatakan dalam desibel (dB). Dikenal dB HL (hearing level), dB

SL (sensation level), dB SPL (sound pressure level). dB HL dan dB SL dasarnya
adalah subjektif, dan inilah yang biasanya digunakan pada audiometer, sedangkan
dB SPL digunakan apabila ingin mengetahui intensitas bunyi yang sesungguhnya
secara fisika (ilmu alam).
5. Ambang dengar: merupakan bunyi nada murni yang terlemah pada frekuensi
tertentu yang masih dapat didengar oleh telinga seseorang. Terdapat ambang dengar
menurut konduksi udara (AC) dan menurut konduksi tulang (BC). Bila ambang
dengar ini dihubung-hubungkan dengan garis, baik AC maupun BC, maka akan
didapatkan audiogram. Dari audiogram dapat diketahui jenis dan derajat ketulian.
6. Nilai nol audiometrik (audiometric zone) dalam dB HL dan dB SL, yaitu intensitas
nada murni yang terkecil pada suatu fekuensi tertentu yang masih dapat didengar
oleh telinga rata-rata dewasa muda yang normal (18-30 tahun). Pada tiap frekuensi
intensitas nol audiometrik tidak sama. Pada audiogram angka-angka intensitas
dalam dB bukan menyatakan kenaikan linier, tetapi merupakan kenaikan logaritmik
secara perbandingan. Terdapat dua standar yang dipakai adalah ISO (International
Standard Organization) dan ASA (American standard Association). Dengan nilai
berupa 
0dB ISO = -10 dB ASA atau 10dB ISO = 0 dB ASA.
7. Notasi pada audiogram. Untuk pemeriksaan audiogram dipakai grafik AC, yaitu

dibuat dengan garis lurus penuh (intensitas yang diperiksa antara 125 – 8000 Hz)
dan grafik BC yaitu dibuat dengan garis terputus-putus (intensitas yang diperiksa:
250 – 4000 Hz). Untuk telinga kiri dipakai warna biru sedangkan untuk telinga
kanan, warna merah.

4
Gambar: simbol-simbol notasi pada audiogram
(Soepardi, Arsyad, 2008)
8. Fisiologi pendengaran
Proses mendengar diawali dengan ditangkapnya energi bunyi oleh daun telinga
dalam bentuk gelombang yang dialirkan melalui udara atau tulang ke koklea. Getaran
tersebut menggetarkan membrane timpani, diteruskan ke telinga tengah melalui
rangkaian tulang pendengaran yang akan mengamplifikasi getaran melalui daya ungkit
tulang pendengaran dan perkalian perbandingan luas membran timpani dan tingkap
lonjong (Soepardi, Arsyad, 2008).
Oleh karena luas permukaan membran tympani 22 kali lebih besar dari luas
tingkap oval, maka terjadi penguatan tekanan gelombang suara 15-22 kali pada tingkap
oval. Selain karena luas permukaan membran timpani yang jauh lebih besar, efek dari
pengungkit tulang-tulang pendengaran juga turut berkontribusi dalam peningkatan
tekanan gelombang suara (Sherwood, 2007).
Energi getar yang telah diamplifikasikan ini akan diteruskan ke stapes yang
menggerakkan tingkap lonjong. Sehingga cairan perlimfa pada skala vestibuli bergerak.
Getaran ini diteruskan melalui membrane Reissner yang mendorong endolimfa,
sehingga akan menimbulkan gerak relatif antara membrane basalis dan membran
tektoria. Proses ini merupakan ransangan mekanik yang menyebabkan terjadinya
defleksi stereosilia sel-sel rambut, sehingga kanal ion terbuka dan terjadi pelepasan ion
bermuatan listrik dari badan sel. Keadaan ini menimbulkan proses depolarisasi sel
rambut, sehingga melepaskan neurotransmiter ke dalam sinapsis yang menimbulkan
potensial aksi pada saraf auditorius, lalu dilanjutkan ke nukleus auditorius sampai ke
korteks pendengaran (area 39-40) di lobus temporalis (Katz, 2009).
9. Nilai Ambang Dengar
Menurut Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Republik Indonesia
Nomor PER. 25/MEN/XII/2008, tingkat cacat ditentukan dengan mengukur nilai
ambang dengar (Hearing Threshold Level = HTL), yaitu angka rata-rata penurunan
ambang dengan dengan dB pada frekuensi 500, 1000, 2000, 4000 Hz. Penurunan nilai
ambang dengar dilakukan pada kedua telinga:
1. Telinga normal: Pada pemeriksaan audio metrik ambang dengar tidak melebihi 25
dB dan di dalam pembicaraan biasa tidak ada kesukaran mendengar suara perlaha.
2. Tuli ringan: Pada pemeriksaan audio-metrik ambang dengar 25 - 40 dB dan
terdapat kesukaran mendengar.

5
3. Tuli sedang: Pada pemeriksaan audio-metrik terdapat ambang dengar antara 40 – 55
dB Seringkali terdapat kesukaran untuk mendengar pembicaraan biasa.
4. Tuli sedang berat: Pada pemeriksaan audiometri terdapat ambang dengar rata-rata
antara 55 - 70 dB. Kesukaran mendengar suara pembicaraan kalau tidak dengan
suara keras.
5. Tuli berat: Ambang dengar rata-rata antara 70 - 90 dB. Hanya dapat mendengar
suara yang sangat keras.
6. Tuli sangat berat: Ambang dengar 90 dB atau lebih. Sama sekali tidak mendengar
pembicaraan.
7. Macam Gangguan Pendengaran (Ketulian)
Kesehatan serta keselamatan kerja merupakan masalah penting dalam setiap proses
operasional di tempat kerja. Dengan berkembangnya industrialisasi di Indonesia maka
sejak awal disadari tentang kemungkinan timbulnya dampak baik terhadap tenaga kerja
maupun pad a masyarakat di lingkungan sekitarnya. Faktor-faktor penyebab penyakit
akibat kerja dapat digolongkan menjadi golongan fisik, kimia, infeksi, fisiologis dan
mental psikologis. Bising, yang termasuk dalam golongan fisik, dapat menyebabkan
kerusakan pendengaran/tuli (Soemonegara, 1975; Miller, 1975).
Kurang pendengaran akibat bising terja di secara perlahan, dalam waktu hitungan
bulan sampai tahun. Hal ini sering tidak disadari oleh penderitanya, sehingga pada saat
penderita mulai mengeluh kurang pendengaran, biasanya sudah dalam stadium yang
tidak dapat disembuhkan (irreversibe). Kondisi seperti ini akan mempengaruhi
produktivitas tenaga kerja yang pada akhirnya akan menyebabkan menurunnya derajad
kesehatan masyarakat pekerja. Hal ini maka cara yang paling memungkinkan adalah
mencegah terjadinya ketulian total (Ballantyne, 1990; Beaglehole, 1993).
Sataloff (1987) mendapati sebanyak 35 juta orang Amerika menderita ketulian dan
8 juta orang diantaranya merupakan tuli akibat kerja. Oetomo, A dkk (Semarang,
1993) dalam penelitiannya terhadap 105 karyawan pabrik dengan intensitas bising
antara 79 s/d 100 dB didapati bahwa sebanyak 74 telinga belum terjadi pergeseran
nilai ambang, sedangkan sebanyak 136 telinga telah mengalami pergeseran nilai
ambang dengar, derajat ringan sebanyak 116 telinga (55,3%), derajat sedang 17 (8%)
dan derajat berat 3 (1,4%). Kamal, A ( 1991 ) melakukan penelitian terhadap pandai
besi yang berada disekitar kota Medan. Ia mendapatkan sebanyak 92,30 % dari
pandai besi tersebut menderita sangkaan NIHL. Sedangkan Harnita, N (1995) dalam
suatu penelitian terhadap karyawan pabrik gula mendapati sebanyak 32,2% menderita

6
sangkaan NIHL.
Berikut adalah macam-macam ketulian:
1. Tuli Konduktif
Diagnosis gangguan dengar konduktif ditegakkan berdasarkan prinsip bahwa
gangguan konduktif (telinga tengah) menyebabkan gangguan hantaran udara yang
lebih besar daripada hantaran tulang. Pada keadaan tuli konduktif murni, keadaan
koklea yang baik (intak) menyebabkan hantaran tulang normal, yaitu 0 dB pada
audiogram.
Selama koklea normal, gangguan pendengaran maksimum tidak melebihi 60
dB. Konfigurasi audiogram pada tuli konduktif biasanya menunjukkan pendengaran
lebih pada frekuensi rendah. Dapat pula berbentuk audiogram yang datar.

Gambar: Audiogram tuli konduktif


(Soepardi, Arsyad, 2008)
2. Tuli Sensorineural (SNHL)
Tuli sensorineural terjadi bila didapatkan ambang pendengaran hantaran tulang
dan udara lebih dari 25 dB. Tuli sensorineural ini terjadi bila terdapat gangguan
koklea, N.auditorius (NVIII) sampai ke pusat pendengaran termasuk kelainan yang
terdapat didalam batang otak (Soepardi, Arsyad, 2008).
Kelainan pada pusat pendengaaran saja (gangguan pendengaran sentral)
biasanya tidak menyeababkan gangguan dengar untuk nada murni, namun tetap
terdapat gangguan pendengaran tertentu. Gangguan pada koklea terjadi karena dua
cara: pertama sel rambut didalam koklea rusak, kedua karena stereosilia dapat
hancur. Proses ini dapat terjadi karena infeksi virus, obat ototoxic, dan biasa
terpapar bising yang lama, dapat pula terjadi congenital (Kutz,).

7
Gambar. Audiogram tuli sensorineural
3. Tuli Campuran
Menunjukkan gangguan fungsi koklea ditambah dengan penurunan
pendengaran karena sumbatan konduksi udara mengambarkan tingkat ketulian yang
disebabkan oleh komponen konduktif (Kutz,). Menurut Iskandar (1993), tuli ini
merupakan kombinasi antara tuli konduktif dengan tuli sensorineural.

Gambar. Audiogram tuli campuran

4. Cara Penanggulangan Ketulian


Pada dasarnya tuli bersal dari kebisingan atau bunyi di tempat kerja yang melebihi
nilai ambang batas. Sesuai dengan penyebab ketulian, penderita sebaiknya dipindahkan
kerjanya dari lingkungan bising. Bila tidak mungkin dipindahkan dapat dipergunakan
alat pelindung telinga yaitu berupa sumbat telinga (ear plug), tutup telinga (ear muffs),

8
dan pelindung kepala (helmet). Oleh karena tuli akibat bising adalah tuli saraf koklea
yang bersifat menetap (irreversible), bila gangguan pendengaran sudah mengakibatkan
kesulitan berkomunikasi dengan volume percakapan biasa, dapat dicoba pemasangan
alat bantu dengar (ABD). Apabila pendengarannya telah sedemikian buruk, sehingga
dengan memakai ABD pun tidak dapat berkomunikasi dengan adekuat, perlu dilakukan
psikoterapi supaya pasien dapat menerima keadaannya. Latihan pendengaran (auditory
training) juga dapat dilakukan agar pasien dapat menggunakan sisa pendengaran dengan
ABD secara efisien dibantu dengan membaca gerak bibir (lip reading), mimik dan
gerakan anggota badan serta bahasa isyaratuntuk dapat berkomunikasi.
5. Cara Pencegahan Ketulian
Tujuan utama perlindungan terhadap pendengaran adalah untuk mencegah
terjadinya NIHL (Noise Induced Hearing Loss) yang disebabkan oleh kebisingan di
lingkungan kerja. Program ini terdiri dari 3 bagian yaitu:
1. Pengukuran pendengaran
Test pendengaran yang harus dilakukaan ada 2 macam, yaitu:
1. Pengukuran pendengaran sebelum diterima bekerja.
2. Pengukuran pendengaran secara periodik.
3. Pengendalian suara bising
Dapat dilakukan dengan 2 cara yaitu:
1. Melindungi telinga para pekerja secara langsung dengan memakai tutup telinga (ear muff),
sumbat telinga (ear plugs), dan pelindung kepal (helmet)
2. Mengendalikan suara bising dari sumbernya, dapat dilakukan dengan cara:
1. Memasang perdam suara
2. Menempatkan suara bising (mesin) di dalam suatu ruangan yang terpisah
dari pekerja
3. Analisa bising
Analisa bising ini dikerjakan dengan jalan menilai intensitas bising, fekuensi bising,
lama dan distribusi pemaoaran serta waktu total pemaparan bising. Alat utama
untuk pengukuran kebisingan adalah Sound Level Meter. (Pohan, 2013)
4. Perundang-undangan
1. Undang-undang No. 1 Tahun 1970 tentang Keselamatan Kerja
2. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No. 66 tahun 2014 tentang kesehatan
Lingkungan.

9
3. Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor Per. 13/MEN/X/2011
Tahun 2011 tentang Nilai Ambang Batas Faktor Fisika dan Faktor Kimia di Tempat
Kerja.
4. Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup KEP-48/MENLH/11/1996 tentang
Standar Kebisingan
5. Peraturan Menteri Ketenagakerjaan tentang Keselamatan Kerja

10
BAB III
HASIL

1. Gambar Alat, Cara Kerja Alat dan Prosedur Pengukuran


1. Gambar Alat
1.Audiometri nada murni dengan hantaran udara,dengan bagian -bagian alat sebagai
berikut:

5
6

3
3

4
3

7
3

Keterangan :
1. Tombol Frekuensi
11
2. Tombol Intensitas
3. Tombol Sensitivity
4. Tombol Tone
5. Kabel Power
6. Kabel Earphone
7. Earphone

2. Audiogram

Merupakan kertas pencatat berupa grafik dengan garis horizontal dari kiri ke kanan mulai
dari frekuensi 500 – 8000 Hz dan garis vertikal dari atas ke bawah yang menunjukkan tingkat
intensitas suara dalam dB. Tingkat ambang dengar yang dicatat adalah tingkat intensitas
terendah yang masih dapat didengar.
3. Tempat/Ruang pemeriksaan yang kedap suara/tenang
4. Spidol merah dan biru
5.Kursi sandaran

2. Cara Kerja Alat

1. Tahap Persiapan
Persiapan tenaga kerja yang akan diperiksa :
1. Hindari paparan bising (termasuk music) selama 16 jam sebelum dilakukan
pemeriksaan.
2. Lakukan pemeriksaan telinga luar apakah ada sumbatan (contoh : serumen). Bila terdapat
sumbatan harus dibersihkan terlebih dahulu (konsultasikan ke dokter THT)
3. Ditanyakan apakah ada gangguan pendengaran dan adakah perbedaan kemampuan
mendengar pada kedua telinga
4. Duduk dalam ruangan kedap suara (≤ 40 dB) atau duduk dalam ruangan tenang (≤40 dB)
menghadap ke arah yang berlawanan dengan operator.
Persiapan peralatan dan bahan:
1. Audiometri set telah terkalibrasi
2. Tersedianya audiogram dalam jumlah yang cukup (sesuai dengan jumlah tenaga kerja yang
akan diperiksa)
3. Tersedianya alat tulis (spidol merah dan biru)
12
4. Tersedianya sumber listrik untuk peralatan audiometri
Persiapan metode
1. Tersedianya SOP (standar Operational Prosedur)

13
2. Tersedianya data audiogram dasar (baseline data)

1. Tahap Pelaksanaan
1. Pasangkan earphone sesuai dengan posisi sumber bunyi pada telinga
yg diukur.
2. Hidupkan alat dengan memutar tombol Sensitivity searah jarum jam.
3. Mulai pemeriksaan pada frekuensi 4000 Hz dengan memutar tombol frekuensi pada
posisi angka 4000.
4. Putar tombol intensitas mulai dari intensitas 40 dB.
5. Untuk memberikan rangsangan, tekan tombol Tone.
6. Turunkan secara bertahap intensitas suara sebesar 10 dB sampai probandus tidak
mendengar, kemudian naikkan lagi intensitas suara sebesar 5 dB sampai probandus
tidak mendengar lagi.
7. Berikan rangsangan sampai 3 kali pada intensitas terendah yang dapat didengar, bila
respon hanya 1 kali dari 3 kali test maka naikan lagi 5 dB dan berikan rangsangan 3
kali.
8. Respon yang tetap pada intensitas terendah dari penurunan dan penambahan
intensitas suara yang dapat didengar oleh probandus merupakan batas ambang dengar.
9. Catat hasilnya pada lembar data pemeriksaan dan Audiogram chart.
10. Periksa tingkat ambang dengar pada frekuensi 2000, 1000 dan 500
Hz dengan prosedur yang sama.
11. Periksa tingkat ambang dengar telinga sebelah pada frekuensi
500, 1000, 2000 dan 4000 Hz dengan prosedur yang sama.
12. Lepaskan earphone dan matikan alat dengan memutar tombol
Sensitivity berlawanan arah dengan jarum jam sampai angka “0”.

3. Prosedur Pengukuran

Pengukuran diawali dengan proses pemasangan earphone ketelinga


pekerja yang dimana pekerja sudah terhindar dari paparan bising selama 16
jam sebelum melulai pengukuran.Setelah pemasangan eraphone,hidupkan
alat dengan tombol Sensitivity,lalu tekan timbol frekuensi angka sesuai
dengan frekuensi yang ditentukan,dan putar tombol intensitas untuk
menentukan db pengukuran. Pengukuran debu dilakukan di lab Kesehatan
Kerja Gedung E Fakultas Kedokteran UNS pada 5 November 2021 pada
14
situasi pandemi.Pada saat pengkuran intensitas dimulai dari 40 db hingga
kebawah .Selama melakukan pengukuran ,catat hasil yang didapatkan pada
lembar data dan Audiogram chart dan setelah itu analisis tingkat
pendengaran pekerja apakah sudah sesuai dengan perundang undangan
yang berlaku.

15
B. Hasil Pengukuran dan Perhitungan
1. Hasil Pengukuran
Lampiran A
Lembar Pemeriksaan

Nama :Mardiyahtul Husnah Ritonga


Umur :19 tahun
Jenis Kelamin :L

Telinga Frekuensi Tingkat Kategori


(Hz) Pendengaran (db) Ketulian
Kanan 500 30 Ringan
1000 25 Ringan
2000 10 Rendah
4000 15 Rendah
Rata – Rata 20 Rendah
Kiri 500 25 Ringan
1000 10 Rendah
2000 15 Rendah
4000 5 Rendah
Rata -Rata 13,75 Rendah

Pembingbing Praktikum Koordinator Kel

Farhana Syahrotun Nisa Suratna (…………………)

16
Lampiran B
AUDIOGRAM
Nama :Mardiyahtul Husnah Ritonga Pemeriksa:Charla Agata T
Diagnosa:Tuli Rendah Tanggal Periksa:5/08/2021
Umur :19 tahun

Merah :Kanan
Biru :Kiri

17
2.Hasil Perhitungan
a.Rata -Rata Telinga Kanan
X=30+25+10+15
4
X=80
4
X=20

b.Rata-Rata Telingan Kiri


X=25+10+15+5
4
X=55
4
X=13,75

18
BAB IV
PEMBAHASAN

Praktikum yang dilakukan pada tanggal 5 November 2021 adalah


pengukuran intensitas pendengaran dengan Audiometri .Praktikum ini dilakukan
untuk mengetahui intensitas pendengaran seseorang ,sehingga dengan begitu dapat
diketahui apakah orang tersebut mengalami gangguan pendengaran atau
tidak.Gangguan Pendengaran yang umumnya diderita yaitu ketulian.Apabila orang
tersebut mengalami ketulian dapat dilakukan penanganan (perawatan) terhadap
ketulian.

Audiologi adalah Ilmu pendengaran yang meliputi evaluasi pendengaran dan


rehahibilitasi individu dengan masalah komunikasi sehubungan dengan gangguan
pendengaran. Sedangkan Audiometri monitoring adalah alat yang digunakan untuk
mengukur tingkat kepekaan terhadap pendengaran. Manfaat pemeriksaan audiometri
monitoring sendiri yaitu: sebagai bagian dan program awal dari sebuah perusahaan
sehingga perusahaan mempunyai data awal tingkat ambang dengar tenaga kerja
yang akan di tempatkan di tempat bising sebagai dasar evaluasi untuk pemeriksaan
berkala. Ada dua alasan untuk melakukan evaluasi yaitu pertama, untuk
mendiagnosis lokasi dan jenis penyakit dan kedua, untuk menilai dampak gangguan
pendengaran terhadap proses belajar, interaksi sosial dan pekerjaan.

Pengkuran intensitas pendengaran ini dilakukan pada satu responden, dimana


yang berperan sebagai Responden adalah salah satu Mahasiswa S1 Tehnik Sipil
yaitu Mardiyahtul Husnah Ritonga dan untuk Pemeriksanya adalah Charla Agata
Turu,padang.

Berdasarkan hasil pemeriksaan Audimetri (Audiometri Monitor) yang telah


dilakukan terhadap Saudara Padel Muhammad Risqy , dimana ia tidak mulai
mendengar pada telinga kanan yaitu 500 Hz (30 dB), 1000 Hz (25 dB), 2000 Hz (10
dB), 4000 Hz (15 dB), sementara itu pada telinga kiri yaitu 500 Hz (25 dB), 1000 Hz
(10 dB), 2000 Hz (15 dB), 4000 Hz (5 dB).

Semua hasil pemeriksaan tersebut kemudian di rata-rata untuk mengetahui


hasil akhirnya yang nantinya akan dibandingkan dengan standar nilai ambang
dengar dalam Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Republik Indonesia
Nomor PER. 25/MEN/XII/2008. Hasil rata-rata pada Responder saudara Padel
Muhammad Risqy di telinga kanan yaitu 13,75 dB, hal ini menunjukkan bahwa
telinga kanan Saudara Muhammad Washul dalam keadaan normal. Sementara pada
telinga kiri yaitu 20 dB, hasil ini juga menunjukkan bahwa telinganya dalam
keadaan normal.

19
Masalah kebisngan di tempat kerja sendiri erat kaitannya dengan penyakit
akibat kerja yaitu ketulian. Oleh karena itu setiap perusahaan harus melakukan
upaya pecegahan mencegah ketulian terhadap tenaga kerjanya yaitu dengan
memberikan APD (Alat Pelindung Diri) berupa erar plug, ear muff. Selain itu dapat
dilakukan pengukuran tingkat/intensitas kebisingan di tempat kerja dengan
menggunakan Sound Level Meter secara berkala. Hasil pengukuran yang diperoleh
ini kemudian dianalisis untuk mengetahui apakah suara bising tersebut melebih Nilai
Ambang Batas (NBA) atau tidak. Apabila suara bising tersebut melebihi Nilai
Ambang Batas (NBA) maka dapat dilakukan upaya pengendalian/penanganan
terhadap sumber kebisingan. Sementara itu apabila tenaga kerja mengalami ketulian
maka dapat dilakukan penanganan (perawatan) kepada tenaga kerja dengan cara
diberikan ABD (Alat Bantu Dengar) ataupun memberika psikoterapi pada tenaga
kerja.

20
BAB V

SIMPULAN DAN SARAN

a.Kesimpulan
Ganguguan pendengaran pada tenaga kerja yang paling umum
diderita yaitu ketulian. Tuli pada tenaga kerja erat kaitannya dengan
kebisingan di tempat kerja. Suara bising yang berasal dari mesin-mesin yang
ada di tempat kerja/perusahaan, dimana suara tersebut melebihi Nilai
Ambang Batas (NBA) salah satu yang menjadi penyebab tuli.

Berdasarkan hasil pengukuran Audiometri didapati bahwa telinga


kedua Probandus tersebut berada dalam keadaan normal, semua hasil
mennjukka nilai dibawah (<) 25 dB. Oleh karena itu dengan upaya intevensi
baik pada faktor fisik yang ada di tempat kerja maupun pada tenaga kerja
dapat mencegah terjadinya ketulian.

b.Saran
1.Bagi pengukur konsentrasi, ketelitian dan kesungguhan dalam
mengukur perlu ditingkatkan agar hasil lebih akurat.

2.Sebaiknya dilakukan pemeriksaan secara berkala terhadap


intensitas pendengaran pada tenaga kerja sehingga dapat nantinya dapat
dilakukan upaya intervensinya.

21
BAB VI
Daftar Pustaka.
Fadilah, Nani Ummi. 2012. “Penerangan di Tempat Kerja” (online),
(https://id.scribd.com/doc/83907104/Penerangan-Di-Tempat-Kerja, diakses tanggal
25 Maret 2017).

Firmansyah, F. 2010. “Pengaruh Intensitas Penerangan Terhadap Kelelahan Mata pada


Tenaga Kerja di Bagian Pengepakan PT. Ikapharmindo Putramas Jakarta Timur ”.
Skripsi. Surakarta: Universitas Sebelas Maret.

Gradjean, E. 1993. Fitting the Task to tha Man, 4th ed. London: Taylor and Franc Inc.

Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 1405/MENKES/SK/XI/2002.


Persyaratan Kesehatan Lingkungan Kerja Perkantoran dan Industri. Jakarta:
Kemenkes

Reskiaddin, Laode. 2012. “Penerangan dalam K3” (online), (http://kesmas-


ode.blogspot.co.id/2012/11/penerangan-dalam-k3.html, diakses tanggal 28 Maret
2017).

Setiawan. 2012. “Analisis Hubungan Faktor Karakteristik Pekerja, Durasi Kerja, Alat Kerja
dan Tingkat Pencahayaan dengan Keluhan Subjektif Kelelahan Mata pada Pengguna
Komputer di PT Surveyor Indonesia Tahun 2012”. Skripsi. Jakarta: Fakultas
Kesehatan Masyarakat, Universitas Indonesia.

Soewarno. 1992. Penerangan Tempat Kerja. Jakarta: Pusat Pelayanan Ergonomi dan Kesker

Suhadri, B. 2008. Perancangan Sistem Kerja dan Ergonomi Indutsri. Jakarta: Direktorat
Pembinaan Sekolah Menengah Kejuruan

Suma’mur. 1993. Higiene Perusahaan dan Kesehatan Kerja. Jakarta: CV Haji SMasagung.

Suma’mur. 1996. Higiene Perusahaan dan Kesehatan Kerja. Jakarta: Gunung Agung.

Suma’mur, P.K. 2009. Higene Perusahaan dan Kesehatan Kerja. Jakarta: Sagung Seto.

Sutaryono. 2002. “Hubungan Antara Tekanan Panas, Kebisingan, dan Penerangan dengan
Kelelahan pada Tenaga Kerja di Bagian Tapel PT. Aneka Adhi Logam Karya Ceper
Klaten”. Thesis. Semarang: Fakultas Kesehatan Masyarakat, Universitas
Diponegoro.

Zaenab. 2012. Sanitasi Industri dan Kesehatan Keselamatan Kerja. Makassar: Politeknik
Kesehatan.

22

Anda mungkin juga menyukai