Anda di halaman 1dari 131

MODUL UTAMA

NEUROOTOLOGI

MODUL VI.1
GANGGUAN PENDENGARAN

EDISI II

KOLEGIUM
ILMU KESEHATAN TELINGA HIDUNG TENGGOROK
BEDAH KEPALA DAN LEHER
2015
Modul VI.1−Gangguan Pendengaran

DAFTAR ISI

A. WAKTU ...................................................................................... 2
B. PERSIAPAN SESI ...................................................................... 2
C. REFERENSI ......................................................................................... 3
D. KOMPETENSI ..................................................................................... 3
E. GAMBARAN UMUM ......................................................................... 5
F. CONTOH KASUS DAN DISKUSI ..................................................... 6
G. TUJUAN PEMBELAJARAN ............................................................... 6
H. METODE PEMBELAJARAN ............................................................. 7
I. EVALUASI .......................................................................................... 7
J. INSTRUMEN PENILAIAN KOMPETENSI KOGNITIF .................. 8
K. INSTRUMEN PENILAIAN PSIKOMOTOR ...................................... 13
L. DAFTAR TILIK .................................................................................... 23
M. MATERI PRESENTASI ....................................................................... 33
N. MATERI BAKU .................................................................................... 34

1
Modul VI.1−Gangguan Pendengaran

A. WAKTU

Mengembangkan Kompetensi Alokasi Waktu:


Sesi di dalam kelas 35 x 60 menit (classroom session)
Sesi praktikum 20 x 60 menit (coaching session)
Sesi praktek dan pencapaian kompetensi 79 x 60 menit (facillitation and
assessment)

B. PERSIAPAN SESI

1. Materi presentasi :

a. Topik Gangguan Dengar (embriologi, anatomi,


fisiologi,patofisiologi,etiologi, diagnosis dan tatalaksana)
b. Topik Gangguan Dengar Kongenital (herediter-nonherediter, sindroma-
nonsindroma, patofisiologi, diagnosis, tatalaksana)
c. Topik Tinitus (fisiologi,patofisiologi,etiologi, diagnosis dan tatalaksana)
d. Topik Proses degenerative pada Sistem Auditorius (fisiologi,etiologi,
diagnosis dan tatalaksana)
e. Topik gangguan dengar akibat suara bising (patofisiologi,diagnosis dan
tatalaksana)
f. Topik gangguan dengar akibat obat ototoksik (patofisiologi,diagnosis dan
tatalaksana)

o Slide 1 : Anatomi dan Fisiologi Pendengaran


o Slide 2 : Jenis dan Derajat Gangguan Pendengaran
o Slide 3 : Etiologi dan Patofisiologi Gangguan Pendengaran
o Slide 4 : Pemeriksaan Fungsi Pendengaran Dasar
o Slide 5 : Pemeriksaan Fungsi Pendengaran Khusus
o Slide 6 : Pemeriksaan Fungsi Pendengaran Lanjutan
o Slide 7 : Diagnosis dan Tatalaksana Gangguan Pendengaran
o Slide 8 : Gangguan Pendengaran Kongenital
o Slide 9 : Tinitus
o Slide 10 : Proses Degenerative pada Sistem Auditorius
o Slide 11 : Gangguan Pendengaran Akibat Suara Bising
o Slide 12 : Gangguan Pendengaran Akibat Obat Ototoksik

2. Kasus : Tuli Mendadak


3. Sarana dan Alat Bantu Latih :
• Model anatomi

2
Modul VI.1−Gangguan Pendengaran

• Penala, Audiometer Nada Murni, Audiometri Tutur, Impedance,


BERA, OAE
• Penuntun belajar (learning guide) terlampir
• Tempat belajar (training setting): poliklinik THT, Ruang pemeriksaan
audiologis
• Komputer / Laptop

C. REFERENSI

1. Byron J Bailey : head and Neck Surgery Otolaryngology, J P Lippincot,


Philadelphia, 2014
2. Katz J, Chasin M, English K, Hood LJ, Tillery KL. Handbook of Clinical
Audiology. Edisi 7. Wolter Kluwer: Philadelphia; 2015.
3. Jackler RK, Brackmann DE. Neurotology. Edisi 2.Elsevier Mosby. United
States of America; 2005
4. Lee K.J : Essential Otolaryngology Head and Neck Surgery, 8th ed, Mac Graw
Hill, 2003
5. Efiaty Soepardy, Nurbaiti Iskandar : Buku Ajar Ilmu Kesehatan THT, Ed 7,
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2012.
6. Adam GL, Boies Lr and Higler Peter A. : Fundamentals of Otolaryngology,
(Buku Ajar Penyakit THT), Penerbit Buku Kedokteran EGC, 1997.

D. KOMPETENSI

Mampu memeriksa dan menginterpretasi hasil pemeriksaan pendengaran, serta


mendiagnosis dan menatalaksana gangguan pendengaran secara komperhensif.

3
Modul VI.1−Gangguan Pendengaran

1. Tingkat Kemampuan Keterampilan Klinis

Tingkat Keterampilan
Tindakan
1 2 3 4
1. Tes suara (voice test) / tes berbisik
2. Tes Garputala
3. - PemeriksaanAudiometri nada murni &
masking
-Tes SAL(Sensineural Aquity Level) untuk
mengatasi dilema masking
4. Pemeriksaan audiometri tutur & masking

5. Pemeriksaan penentuan lokasi lesi (site of


lesion) : ABLB, SISI, Tone decay
6. Audiologi pediatric
- Behavioural Observsation Audiometry
(BOA)
- Visual Reinvorcement Audiometry (VRA)
- Tes play audiometri
- Tes fungsi persepsi
7. Pemeriksaan Timpanometri
8. Pemeriksaan Tes Fungsi Tuba
9. Pemeriksaan BERA
10. Pemeriksaan ASSR
11. Pemeriksaan OAE
12. Pemeriksaan Audiometri tutur dalam bising
13. Habilitasi dan rehabilitasi fungsi pendengaran

Keterampilan:
Setelah mengikuti sesi ini, peserta didik diharapkan terampil dalam :
1. Menjelaskan anatomi dan fisiologi pendengaran
2. Menjelaskan jenis-jenis dan derajat gangguan pendengaran
3. Menjelaskan penyebab berbagai jenis gangguan pendengaran dan patofisiologinya
4. Menjelaskan gejala dan tanda gangguan pendengaran
5. Melakukan anamnesis, pemeriksaan fisik, pemeriksaan pendengaran dan
pemeriksaan penunjang lain yang berhubungan dengan gangguan pendengaran
6. Membuat diagnosis klinis penyebab gangguan pendengaran, jenis dan derajat
gangguan pendengaran dan diagnosis bandingnya

4
Modul VI.1−Gangguan Pendengaran

7. Menentukan terapi gangguan pendengaran; konservatif, operatif, habilitatif dan


rehabilitatif.
8. Menjelaskan dampak sosial gangguan pendengaran

E. GAMBARAN UMUM

Pendengaran merupakan suatu peristiwa psikoakustik yaitu persepsi terhadap


rangsang bunyi, sedangkan ketulian adalah menurunnya intensitas pendengaran
seseorang dibanding orang normal. Dalam bidang audiologi suatu jenis ketulian
masih harus dibedakan antara keulian konduktif, sensorineural, atau campuran.

Komunikasi dengan orang sekitar atau masyarakat melalui percakapan adalah


sangat vital bagi kehidupan seseorang. Bagaimanapun, akibat dari hilangnya
pendengaran akan memperberat masalah dalam hal pengertian percakapan.
Gangguan pendengaran pada orang dewasa berhubungan dengan depresi,
kebingungan, perhatian yang kurang, ketegangan meningkat, dan negativisme. Ini
juga akan mengakibatkan memburuknya kesehatan, berkurangnya mobilitas
(berkurangnya aktifitas dan jarang keluar rumah), dan komunikasi interpersonal
yang juga menurun.

Akibat dari hilangnya pendengaran pada anak lebih buruk. Ditambah akibat dari
keterlambatan bicara dan perkembangan bahasa, dan kesulitan belajar akan
memperburuk situasi. Gangguan pendengaran pada anak secara signifikan
memperlambat perkembangan bicara dan bahasa, tergantung pada beberapa faktor
antara lain onset umur, beratnya ketulian, dan usia dari identifikasi dan
pengobatan.

Audiologi adalah ilmu yang mempelajari tentang seluk-beluk fungsi pendengaran


yang erat hubungannya dengan habilitasi dan rehabilitasinya. Rehabilitasi adalah
usaha untuk mengembalikan fungsi pendengaran yang pernah dimiliki, sedangkan
habilitasi ialah usaha untuk memberikan fungsi yang seharusnya dimiliki.

Dewasa ini audiologi telah berkembang dengan pesat karena ditunjang oleh alat-
alat canggih, sehingga pemeriksaan lebih tepat, lebih baik dan lebih banyak hal-hal
yang dapat diperiksa.

Gangguan pendengaran ialah berkurangnya kemampuan mendengar baik sebagian


atau seluruhnya, pada salah satu atau kedua telinga, baik derajat ringan atau lebih
berat dengan ambang pendengaran rata lebih dari 26 dB pada frekuensi 500, 1000,
2000 dan 4000 Hz.

Gangguan pendengaran merupakan masalah yang harus kita tangani karena dapat
mengakibatkan hambatan dalam berkomunikasi yang menyebabkan seseorang

5
Modul VI.1−Gangguan Pendengaran

dapat mengalami masalah sosial seperti penurunan prestasi belajar, produktivitas


menurun dan berdampak psikologis seperti menarik diri dari pengaulan.

Kemampuan untuk mendengar dapat ditentukan dengan berbagai cara mulai dari
cara yang sederhana hingga pengukuran tepat berstandar tinggi yang memerlukan
peralatan khusus. Dengan semakin sering atau menjadi rutinnya pemeriksaan
pendengaran di bagian THT-KL, maka semakin besar keahlian yang harus
dikembangkan untuk pemeriksaan pendengaran guna aplikasi praktis dan
penerapannya.

F. CONTOH KASUS

Seorang laki-laki usia 30 tahun datang dengan pendengaran menurun tiba – tiba
dan berbunyi terus menerus pada telinga kanan sejak 2 hari yang lalu. Tidak ada
riwayat infeksi, trauma, makan obat ototoksik dan terpajan bising.
a. Apa diagnosis saudara ?
b. Pemeriksaan yang diperlukan ?
c. Bagaimana penatalaksanaannya ?

G. TUJUAN PEMBELAJARAN

Proses, materi dan metoda pembelajaran yang telah disiapkan bertujuan untuk alih
pengetahuan, keterampilan dan perilaku yang terkait dengan pencapaian
kompetensi dan keterampilan yang diperlukan dalam mendiagnosis dan
menatalaksana gangguan pendengaran yang meliputi :
1. Mengetahui dan memahami anatomi, fisiologi pendengaran (konduksi,
transduksi, transmisi, prosesing/sentral).
2. Memahami patofisiologi dan mampu melakukan diagnosis dan tatalaksana
gangguan pendengaran akibat kelainan telinga luar, tengah,dalam dan sentral,
seperti :
a. Atresia liang telinga, mikrotia
b. Gangguan fungsi tuba, patolous tuba
c. Infeksi (OMSK, labirintitis)
d. Timpanosklerosis, Otosklerosis
e. Proses sentral (CAPD)
f. Vaskuler (sudden deafness, stroke)
g. Gangguan pendengaran akibat bising (NIHL)
h. Trauma (trauma kepala, trauma akustik, barotrauma)
i. Degenerasi (presbikusis, multipel sklerosis)
j. Imunologi (ALHL)
k. Kongenital
l. Tinitus
m. Tumor (neuroma akustik)

6
Modul VI.1−Gangguan Pendengaran

n. Ototoksik (gol aminoglikosida, cisplatin, furosemid)


3. Mampu melakukan pemeriksaan dan menginterpretasi hasil pemeriksaan
pendengaran dasar seperti otoskopi, tes penala, tes bisik, audiometri nada
murni, audiometri tutur dan tes pendengaran behavioral pada anak
4. Mampu melakukan dan menginterpretasi hasil pemeriksaan pendengaran
khusus seperti akustik imitans, OAE, tes SISI, tes Tone Decay.
5. Mampu memeriksa dan menginterpretasi tes pendengaran yang
advanced/lanjut seperti tes psikoakustik untuk tinitus, SAL(Sensorineural
Acquity Level), BERA dan ASSR.
6. Mampu menginterpretasi secara terintegrasi seluruh hasil pemeriksaan
neurotologi (pendengaran, keseimbangan perifer dan saraf fasialis perifer)
serta menganalisanya sehingga dapat mengelola pasien dengan optimal.

H. METODE PEMBELAJARAN

1. Interactive lecture
2. Small group discussion
3. Peer assisted learning
4. Bedside teaching
5. Task based medical education
6. Case simulation and investigating exercise
7. Equipment characteristic and operating instruction
8. Literature reading
9. Referat
10. Skills lab
11. Praktek lapangan
12. Journal reading
13. Mini lecture
14. Minicex

I. EVALUASI

1. Pada awal pertemuan dilaksanakan pre-test dalam bentuk essay dan oral sesuai
dengan tingkat masa pendidikan, yang bertujuan untuk menilai kinerja awal, yang
dimiliki peserta didik dan untuk mengidentifikasi kekurangan yang ada. Materi
pretest terdiri atas : Anatomi, gambaran klinik, pemeriksaan fisik, pemeriksaan
penunjang, diagnosis, penatalaksanaan dan prognosis
2. Small group discussion bersama fasilitator untuk membahas kekurangan yang
ada, hal-hal yang berkenaan dengan penuntun belajar dan proses penilaian.
3. Setelah mempelajari penuntun belajar ini mahasiswa diwajibkan untuk
mengaplikasikan langkah-langkah yang tertera dalam penuntun belajar dalam
bentuk role play dengan teman-teman (peer assisted learning) atau kepada

7
Modul VI.1−Gangguan Pendengaran

standardized patient. Pada saat tersebut yang bersangkutan tidak diperkenankan


membawa penuntun belajar, penuntun belajar dipegang oleh teman-temannya
untuk melakukan evaluasi (peer assieted evaluation). Setelah dianggap memadai
melalui metode bed side teaching dibawah pengawasan fasilitator, peserta didik
mengaplikasikan penuntun belajar dari model anatomi dan setelah kompetensi
tercapai peserta didik akan diberikan kesempatan untuk melakukannya pada
pasien sesunggguhnya. Pada saat pelaksanaan, evaluator melakukan pengawasan
langsung (direct observation) dan mengisi formulir penilaian berikut :
• Perlu perbaikan : pelaksanaan belum benar atau sebagian langkah tidak
dilaksanakan
• Cukup : pelaksanaan sudah benar tetapi tidak efisien, misalnya
pemeriksaan terlalu lama atau kurang memberi kenyamanan kepada pasien
• Baik : pelaksanaan benar dan baik (efisien)
4. Setelah selesai bedside teaching, dilakukan kembali untuk mendapatkan
penjelasan dari berbagai hal yang tidak memungkinkan dibicarakan di depan
pasien, dan memberi masukan untuk memperbaiki kekurangan yang ditemukan.
5. Self assesment dan peer assisted evaluation dengan mempergunakan penuntun
belajar
6. Pendidik / fasilitator :
• Pengamatan langsung dengan memakai evaluation check list form
(terlampir)
• Penjelasan lisan dari peserta didik / diskusi
• Kriteria penilaian keseluruhan : cakap / tidak cakap / lalai
7. Pada akhir penilaian peserta didik diberi masukan dan bila diperlukan diberi tugas
yang dapat memperbaiki kinerja (task-based medical education)
8. Pencapaian pembelajaran :
• Ujian akhir setelah penyelesaian modul meliputi (K, P, A )
• Ujian Tulis Kolegium THT-KL
• Ujian Lisan OSCE Kolegium THT-KL

J. INSTRUMEN PENILAIAN KOMPETENSI KOGNITIF

Kuesioner meliputi :

1. Sebelum pembelajaran

Soal :
a. Jelaskan dengan lengkap syarat dan metoda step masking pada audiometri
nada murni.
b. Jelaskan mengenai refleks akustik dan buat skemanya

8
Modul VI.1−Gangguan Pendengaran

Jawaban :
` a. Metoda step masking hantaran udara
• Syarat: Bila terdapat perbedaan intensitas antara hantaran udara telinga
yang diperiksa (AC Test Ear = TE) dengan hantaran tulang telinga yang
tidak diperiksa (BC Non Test Ear = NTE) minimal sebesar interaural
attenuation (IA) sesuai dengan frekuensi dan transduser yang dipakai
• Cara melakukan masking untuk hantaran udara
Kriteria kapan dibutuhkan masking berdasarkan Min IA (35-50 dB
tergantung pada frekuensi)
Bila selisih ambang dengar hantaran udara pada telinga yang diperiksa
dengan ambang hantaran tulang telinga yang tidak diperiksa lebih atau
sama dengan Min IA, maka kita perlu untuk memberikan masking
Masking awal diberikan sebesar 30 dB di atas ambang dengar telinga
yang tidak diperiksa
Bila tidak terjadi perubahan ambang dengar pada telinga yang diperiksa,
maka ini adalah ambang dengar yang sebenarnya dan tidak diperlukan
masking lagi
Namun, bila terjadi perubahan sebesar 20 dB atau lebih pada ambang
dengar telinga yang diperiksa setelah diberikan masking awal (30 dB),
maka perlu masking tambahan
Masking tambahan adalah sebesar 20 dB di atas level masking
sebelumnya
Bila tidak terjadi perubahan ambang dengar pada telinga yang diperiksa,
maka ini adalah ambang dengar yang sebenarnya dan masking tidak
diperlukan lagi
Namun bila terjadi perubahan ambang dengar pada telinga yang diperiksa
sebesar 15 dB atau lebih setelah diberikan masking tambahan, maka perlu
diberikan masking tambahan lagi (yang kedua) sebesar 20 dB
Bila tidak didapatkan lagi peningkatan ambang dengar sebesar 15 dB atau
lebih, atau tidak ada respons lagi setelah batas kemampuan audiometer,
maka kita sudah mendapatkan informasi yang sesuai

Metoda step masking hantaran tulang


• Syarat:
Bila terdapat A-B gap (selisih 10 dB atau lebih antara hantaran udara dan
hantaran tulang pada 2 frekuensi berurutan) pada telinga yang diperiksa
Pertimbangan dilakukan MASKING
Jika selisih ambang dengar hantaran udara pada pada telinga yang diuji
dengan ambang dengar hantaran tulang yang tidak diuji lebih atau sama
dengan min IA

9
Modul VI.1−Gangguan Pendengaran

Curiga bahwa pasien kemungkinan mendengar pada telinga yang tidak


diperiksa (Non Test Ear = NTE)
Ada keraguan tentang kemungkinan terjadi cross-hearing
Tergantung adanya A-B gap (selisih antara hantaran udara dan hantaran
tulang min. 10 dB pada 2 frekuensi yang berurutan ) pada telinga yang
sedang diperiksa (pada hantaran tulang)
b. Refleks akustik (atau otot stapedius refleks) adalah kontraksi otot tak sadar
yang terjadi di telinga tengah mamalia dalam menanggapi suara tinggi
intensitas rangsangan. Ketika disajikan dengan intensitas tinggi rangsangan
suara, yang otot stapedius tensor timpani dan otot-otot dari kontrak ossicles .
Para otot stapedius menarik stapes (sanggurdi) dari telinga tengah jauh dari
jendela oval koklea dan menarik otot tensor timpani maleus (palu) dari
gendang telinga. Refleks mengurangi transmisi energi getaran ke koklea, di
mana diubah menjadi impuls listrik untuk diproses oleh otak. Refleks akustik
biasanya terjadi hanya pada intensitas yang relatif tinggi; aktivasi suara tenang
dapat menunjukkan disfungsi telinga dan tidak adanya refleks akustik dapat
menunjukkan saraf pendengaran
• Suatu rangsangan sebesar > 70 db diatas ambang dengar akan
menimbulkan kontraksi m.stapedius secara reflektoris.
• Refleks terjadi secara bilateral walaupun rangsangan diberikan pada
satu telinga (ipsi dan kontralateral)
• Refleks normal terjadi pada rangsangan 70 sampai 100 db, tapi dapat
terjadi pada intensitas <70 db pada ketulian kohlear (karena adanya
“recruitment” )

2. Tengah pembelajaran

Soal : Seorang wanita 35 tahun datang dengan keluhan telinga kiri terasa
tertutup sejak 1 minggu yang disertai dengan bunyi di telinga yang sama
seperti suara desis air. Pendengaran juga dirasa menurun. Riwayat keluar

10
Modul VI.1−Gangguan Pendengaran

cairan dari telinga, trauma, paparan bising atau minum obat-obatan ototoksik
tidak ada.
a. Diagnosis apa yang mungkin?
b. Pemeriksaan apa saja yang diperlukan untuk pasien ini?

Jawaban :
a. Gangguan konduktif telinga kiri ec susp OME AS dd/ gangguan fungsi
tuba telinga kiri
b. Pemeriksaan yang perlu dilakukan:
- Penala
- Timpanometri
- Audiometri nada murni
- Nasoendoskopi  bila didapatkan OME unilateral dan kecurigaan ke
arah Kanker nasofaring

3. Akhir pembelajaran

Soal : Seorang laki – laki usia 40 tahun datang dengan keluhan pendengaran
kurang jelas bila berkomunikasi di tempat ramai sejak beberapa bulan
terakhir. Tidak ada keluhan bunyi di telinga dan hiperakusis. Tidak
mempunyai riwayat gangguan keseimbangan terpajan bising, pemakaian obat
ototoksik, dan infeksi telinga. Pada audiometri nada murni, tutur, OAE dan
BERA dalam batas normal.
a. Pemeriksaan apa yang diperlukan dan apa alasannya?
b. Apa diagnosis kerja dan diagnosis banding pasien di atas?
c. Bagaimana penatalaksanaan pasien ini?

Jawaban :
a. Pemeriksaan yang diperlukan adalah speech in noise (audiometri tutur
dalam bising)
Alasan: keluhan pasien adalah kurang jelas dalam berkomunikasi di
tempat ramai, yang dapat diartikan sebagai adanya gangguan persepsi
yang disebabkan oleh gangguan kemampuan sistem auditori dalam
membedakan signal akustik yang berbeda – beda. Proses ini dipengaruhi
oleh kerja sama sistem auditori perifer dan sentral. Audiometri nada murni
dan tutur tidak adekuat dalam mengevaluasi kemampuan kedua sistem ini
khususnya dalam mempersepsikan bunyi. Speech in noise audiometri
dilakukan untuk mengevaluasi kemampuan mekanisme proses auditori
dalam keadaan yang sebenarnya, dan menilai proses auditori pasien

11
Modul VI.1−Gangguan Pendengaran

khusunnya proses sentral dalam mempersepsikan berbagai bunyi yng


didengar pada saat yang bersamaan dengan lebih adekuat.
b. Central auditory processing disorder dd/ gangguan konsentrasi
c. Tatalaksana:
• Modifikasi lingkungan
• Strategi kompensasi
• Auditory training:
- program latihan listening dan communication enhancement
untuk meningkatkan kemampuan mendengar di tempat ramai
- auditory rehabilitation for interaural symmetry untuk
meningkatkan kemampuan pendengaran dikotik

K. INSTRUMEN PENILAIAN KOMPETENSI PSIKOMOTOR

1. PENUNTUN BELAJAR
PROSEDUR PEMERIKSAAN TES BERBISIK
Nilailah kinerja setiap langkah yang diamati menggunakan skala sebagai berikut.:
1 Perlu perbaikan: langkah tidak dikerjakan atau tidak sesuai dengan yang seharusnya atau
urutannya tidak sesuai (jika harus berurutan)
2 Mampu: langkah dikerjakan sesuai dengan yang seharusnya dan urutannya (jika harus berurutan).
Pelatih hanya membimbing untuk sedikit perbaikan atau membantu untuk kondisi di luar normal
3 Mahir: langkah dikerjakan dengan benar, sesuai urutannya dan waktu kerja yang sangat efisien
T/D Langkah tidak diamati (penilai menganggap langkah tertentu tidak perlu diperagakan)

NAMA PESERTA: ...................................... TANGGAL: .................................

KEGIATAN KASUS

I. TAHAP PERSIAPAN PEMERIKSAAN TES BERBISIK


• Informed Choice & Informed Consent
• Ruang sepi dengan ukuran terdapat sisi dengan jarak 6 meter (tidak boleh
terdapat echo dalam ruangan tersebut)
II. TAHAP PEMERIKSAAN TES BERBISIK
• Beritahu pasien tindakan yang akan dilakukan
• Tes dimulai satu per satu dimulai dari telinga kanan/kiri, telinga yang
tidak di tes disumbat kapas basah yang ditekan dengan jari selama
dilakukan tes.

12
Modul VI.1−Gangguan Pendengaran

KEGIATAN KASUS
• Dilakukan pengucapan kata bisilabik pada telinga pasien dengan jarak 6m
• Kemudian pasien diminta untuk mengulang dan mengucapkan kata
tersebut
• Bila belum didengar dan ditirukan oleh pasien, jarak makin didekatkan,
sampai pasien menirukan 80% kata-kata tersebut dengan benar
• Dilakukan pemeriksaan dengan cara yang sama pada telinga sebelahnya
• Hasil pemeriksaan:
Jarak pendengaran 6 m = normal
Jarak pendengaran 5 m = dalam batas normal
Jarak pendengaran 4 m = tuli ringan
Jarak pendengaran 2- 3 m = tuli sedang
Jarak pendengaran 1 m atau <= tuli berat

2. PENUNTUN BELAJAR
PROSEDUR PEMERIKSAAN GARPU TALA
Nilailah kinerja setiap langkah yang diamati menggunakan skala sebagai berikut.:
1 Perlu perbaikan: langkah tidak dikerjakan atau tidak sesuai dengan yang seharusnya atau
urutannya tidak sesuai (jika harus berurutan)
2 Mampu: langkah dikerjakan sesuai dengan yang seharusnya dan urutannya (jika harus berurutan).
Pelatih hanya membimbing untuk sedikit perbaikan atau membantu untuk kondisi di luar normal
4 Mahir: langkah dikerjakan dengan benar, sesuai urutannya dan waktu kerja yang sangat efisien
T/D Langkah tidak diamati (penilai menganggap langkah tertentu tidak perlu diperagakan)

NAMA PESERTA: ...................................... TANGGAL: .................................

KEGIATAN KASUS

I. TAHAP PERSIAPAN PEMERIKSAAN GARPU TALA


• Informed Choice & Informed Consent
• Ruang kedap suara 40 dB
• Garpu tala frekuensi 128 Hz, 256 Hz, 512 Hz, 1024 Hz, 2048 Hz
• Pasien diminta untuk melepas kaca mata (bila memakai), pasien
ditanyakan apakah menggunakan gigi palsu atau implan logam di gigi
II. TAHAP PEMERIKSAAN GARPU TALA
• Beritahu pasien tindakan yang akan dilakukan

13
Modul VI.1−Gangguan Pendengaran

KEGIATAN KASUS
• Pasien diminta duduk menghadap pemeriksa
• Tanyakan kepada pasien keadaan berat ringannya keluhan diantara kedua
telinga, yang lebih ringan lebih dulu diperiksa
A. Tes Rinne
• Penala digetarkan, tangkainya diletakkan pada salah satu prosesus
mastoid, setelah tidak terdengar penala dipindah ke depan daun telinga
kira – kira dengan jarak 2,5 cm.
• Bila masih terdengar saat dipindahkan di depan daun telinga disebut
dengan Rinne positif, namun bila sudah tidak terdengar disebut dengan
Rinne negatif
• Hasil tes:
Rinne positif (+): fungsi pendengaran normal atau gangguan pendengaran
sensorineural
Rinne negatif (-): gangguan pendengaran konduktif
NB: pada tuli konduktif < 30 dB, Rinne dapat positif
B. Tes Weber
• Penala digetarkan dan tangkai penala diletakkan di garis median kepala
(verteks, dahi, pangkal hidung, ditengah – tengah gigi seri atau di dagu)
• Kemudian ditanyakan dimanakah bunyi terdengar, apakah ada sisi yang
lebih keras atau kedua sisi mendengar sama keras.
• Apabila bunyi penala terdengar lebih keras pada salah satu telinga disebut
weber lateralisasi ke telinga tersebut, bila tidak dapat dibedakan ke arah
telinga mana bunyi terdengar lebih keras disebut weber tidak ada
lateralisasi
• Hasil tes:
Tidak ada lateralisasi: fungsi pendengaran normal
Lateralisasi ke telinga yang sakit: gangguan pendegaran konduktif
Lateralisasi ke telinga yang sehat: gangguan pendengaan sensorineural
C. Tes Schwabach
• Penala digetarkan, tangkai penala diletakkan pada prosesus mastoid
pasien sampai bunyi tidak terdengar.
• Penala kemudian dipindahkan ke prosesus mastoid telinga pemeriksa
yang pendengarannya normal
• Bila pemeriksa masih dapat mendengar disebut Schwabach memendek
• Bila pemeriksa masih dapat mendengar bunyi, pemeriksaan diulang
dengan cara yang sebalikanya yaitu penala diletakkan pada prosesus
mastoid pemeriksa terlebih dahulu dan kemudian dipindahkan ke
prosesus mastoid pasien.

14
Modul VI.1−Gangguan Pendengaran

KEGIATAN KASUS
• Bila pasien masih dapat mendengar bunyi disebut Scwabach memanjang
• Bila pasien dan pemeriksa sama – sama mendengarnya disebut dengan
Scwabach sama dengan pemeriksa
• Hasil tes: • • • • •
Sama dengan pemeriksa: fungsi pendengaran normal
Memanjang: gangguan pendengaran konduktif
Memendek: gangguan pendengaran sensorineural

3. PENUNTUN BELAJAR
PROSEDUR PENGUKURAN PENDENGARAN AUDIOMETRI NADA
MURNI

Lakukan penilaian kinerja pada setiap langkah/ tugas dengan menggunakan skala penilaian di
bawah ini :
1. Perlu perbaikan Langkah atau tugas tidak dikerjakan secara benar atau dalam
urutan yang salah(bila diperlukan) atau diabaikan
2. Mampu Langkah atau tugas dikerjakan secara benar, dalam urutan yang
benar (bila diperlukan), tetapi belum dikerjakan secara lancar
3. Mahir Langkah atau tugas dikerjakan secara efisien dan dikerjakan
dalam urutan yang benar (bila diperlukan)

NAMA PESERTA: ...................................... TANGGAL: .................................

KEGIATAN KASUS

I. TAHAP PERSIAPAN PEMERIKSAAN AUDIOMETRI NADA MURNI


• Ruang kedap suara dengan ukuran minimal 1x1 meter
• Siapkan seperangkat audiometri terdiri dari:
2. Sepasang headphone (untuk air conduction)
3. Vibrator (untuk bone conduction)
4. Tombol respon
• Formulir audiogram
• Spidol merah dan biru
II. TAHAP PEMERIKSAAN AUDIOMETRI NADA MURNI
• Beritahu pasien tindakan yang akan dilakukan

15
Modul VI.1−Gangguan Pendengaran

KEGIATAN KASUS
• Tanyakan kepada pasien keadaan berat ringannya keluhan diantara kedua
telinga, yang lebih ringan lebih dulu diperiksa
• Atur posisi duduk pasien ke arah sudut 30o membelakangi pemeriksa
• Putar switch power untuk menghidupkan audiometer
• Atur tombol-tombol pengoperasian alat
• Pasang headphone tepat di depan liang telinga
• Berikan perintah sederhana, jelas pada pasien, untuk memencet tombol
respon apabila mendengar nada/bunyi sekecil apapun
• Lakukan pemeriksaan dari telinga yang keluhannya lebih ringan
• Dilakukan pemeriksaan hantaran udara (AC) dimulai dari frekuensi 1000
Hz dengan memberi sinyal pada intensitas 40 dB, kemudian naik tiap 5
dB, atau diturunkan tiap 10 dB sampai memperoleh ambang dengar.
• Berikan secara ireguler pada setiap pemberian nada sebanyak 2-3 kali
rangsangan
• Selanjutnya frek. 2000 Hz, 3000 Hz, 4000 Hz, 6000 Hz, 8000 Hz,
kembali ke 1000 Hz kemudian periksa frek. 500 Hz dan 250 Hz (untuk
hantaran udara)
• Bila ada perbedaan 20 dB atau lebih antara 2 frekuensi, cek pada frek. ½
oktaf (hindari standing wave)
• Hal yang sama dilakukan untuk telinga lainnya
• Catat hasil tes pada formulir audiogram, dengan simbol(0) mengunakan
spidol merah untuk telinga kanan dan simbol (X) menggunakan spidol
biru untuk telinga kiri. Hubungkan dengan garis tegas hingga membentuk
grafik.
• Lakukan pemeriksaan hantaran tulang atau BC bila ambang dengar
hantaran udara meningkat dengan cara :
1. Ganti headphone dengan bonefibrator
2. Pasang bonefibrator pada os mastoid dengan sedikit penekanan
3. Lakukan pemeriksaan dengan cara yang sama pada hantaran udara
hanya frekuensi dan intensitas terbatas yaitu : 500Hz, 1000Hz,
2000Hz, 4000Hz dan intensitasnya hanya sampai 60-85 dB.
4. Catat respon pasien pada formulir audiogram dengan menggunakan
simbul (<) untuk telinga kiri dan (>) untuk telinga kanan, hubungkan
dengan titik-titik hingga membentuk grafik.
• Dokumentasi hasil audiogram kedalam formulir audiogram

16
Modul VI.1−Gangguan Pendengaran

KEGIATAN KASUS
III. TAHAP PEMERIKSAAN MASKING (METODE STEP MASKING)
A. MASKING HANTARAN UDARA
• Bila terdapat perbedaan intensitas antara hantaran udara telinga yang
diperiksa (AC Test Ear = TE) dengan hantaran tulang telinga yang tidak
diperiksa (BC Non Test Ear = NTE) minimal sebesar interaural
attenuation (IA) sesuai dengan frekuensi dan transduser yang dipakai,
maka kita perlu untuk memberikan masking
• Masking awal diberikan sebesar 30 dB di atas ambang dengar telinga
yang tidak diperiksa
• Bila tidak terjadi perubahan ambang dengar pada telinga yang diperiksa,
maka ini adalah ambang dengar yang sebenarnya dan tidak diperlukan
masking lagi
• Namun, bila terjadi perubahan sebesar 20 dB atau lebih pada ambang
dengar telinga yang diperiksa setelah diberikan masking awal (30 dB),
maka perlu masking tambahan
• Masking tambahan adalah sebesar 20 dB di atas level masking
sebelumnya
• Bila tidak terjadi perubahan ambang dengar pada telinga yang diperiksa,
maka ini adalah ambang dengar yang sebenarnya dan masking tidak
diperlukan lagi
• Namun bila terjadi perubahan ambang dengar pada telinga yang diperiksa
sebesar 15 dB atau lebih setelah diberikan masking tambahan, maka perlu
diberikan masking tambahan lagi (yang kedua) sebesar 20 dB
• Bila tidak didapatkan lagi peningkatan ambang dengar sebesar 15 dB atau
lebih, atau tidak ada respons lagi setelah batas kemampuan audiometer,
maka kita sudah mendapatkan informasi yang sesuai
B. MASKING HANTARAN TULANG
• Bila terdapat A-B gap (selisih 10 dB atau lebih antara hantaran udara dan
hantaran tulang pada 2 frekuensi berurutan) pada telinga yang diperiksa,
maka diperlukan masking
• Masking awal adalah 20 dB di atas ambang dengar hantaran udara telinga
yang tidak diperiksa. Minimum IA untuk hantaran tulang bernilai nol
• Efek oklusi diberikan bila tidak ada A-B gap pada telinga yang tidak
diperiksa sebesar 15 db untuk frek. 250 dan 500 Hz dan sebesar 10 dB
untuk frek. 1000 Hz. Untuk frek. 2000 dan 4000 Hz tidak diperlukan efek
oklusi. Bila telinga yang tidak diperiksa ada A-B gap, maka tidak
diperlukan tambahan efek oklusi
• Bila tidak terjadi perubahan ambang dengar pada telinga yang diperiksa
setelah menggunakan masking yang sesuai maka didapatkan ambang

17
Modul VI.1−Gangguan Pendengaran

KEGIATAN KASUS
dengar yang sebenarnya, dan tidak diperlukan tambahan masking lagi
• Namun bila ada perubahan ambang dengar sebesar 15 db atau lebih,
maka diperlukan masking tambahan. Masking tambahan yang diberikan
sebesar 20 dB di atas level masking sebelumnya
• Bila tidak terjadi perubahan ambang dengar pada telinga yan tidak
diperiksa, maka didapatkan ambang dengar yang sebenarnya dan masking
tidak diperlukan lagi
• Namun bila terjadi perubahan 15 dB atau lebih ketika dilakukan masking
tambahan, maka diperlukan masking tambahan lagi (yang kedua) sebesar
20 dB. Tambahan efek oklusi hanya satu kali

4. PENUNTUN BELAJAR
PROSEDUR PEMERIKSAAN AUDIOMETRI TUTUR
Nilailah kinerja setiap langkah yang diamati menggunakan skala sebagai berikut.:
1 Perlu perbaikan: langkah tidak dikerjakan atau tidak sesuai dengan yang seharusnya atau
urutannya tidak sesuai (jika harus berurutan)
2 Mampu: langkah dikerjakan sesuai dengan yang seharusnya dan urutannya (jika harus berurutan).
Pelatih hanya membimbing untuk sedikit perbaikan atau membantu untuk kondisi di luar normal
5 Mahir: langkah dikerjakan dengan benar, sesuai urutannya dan waktu kerja yang sangat efisien
T/D Langkah tidak diamati (penilai menganggap langkah tertentu tidak perlu diperagakan)

NAMA PESERTA: ...................................... TANGGAL: .................................

KEGIATAN KASUS

I. TAHAP PERSIAPAN PEMERIKSAAN AUDIOMETRI TUTUR


• Ruang kedap suara dengan ukuran minimal 1x1 meter
• Siapkan audiometri yang telah terkalibrasi
• Siapkan phonetically balance list
II. TAHAP PEMERIKSAAN AUDIOMETRI TUTUR
• Beritahu pasien tindakan yang akan dilakukan
• Putar switch power untuk menghidupkan audiometer
• Atur posisi duduk pasien menghadap pemeriksa
• Pasang headset pada pasien dan pemeriksa, sambungkan

18
Modul VI.1−Gangguan Pendengaran

KEGIATAN KASUS
• Sambungkan kabel
• Atur tombol-tombol pengoperasian alat (pada channel 1 tekan high freq,
tekan source A)
• Lakukan pemeriksaan pada telinga yang yang keluhannya lebih ringan
• Berikan perintah sederhana, jelaskan pada pasien, untuk menirukan kata-
kata yang didengar melalui headphone
• Dilakukan pemeriksaan SRT (nilai ambang persepsi tutur) pada intensitas
sesuai ambang dengar hantaran udara telinga yang diperiksa
• Lakukan pemilihan deret bisilabik
• Tekan switch correct/incorrect sesuai jumlah kata-kata yang benar/salah
hingga 10 kata
• Lakukan pemeriksaan SDS pada intensitas 40dB dari intensitas SRT
• Lakukan pemilihan deret monosilabik
• Tekan switch correct/incorrect sessuai jumlah kata-kata yang benar/salah
hingga 10 kata
• Lakukan masking apabila syarat masking pada SRT dan SDS terpenuhi
• Nilai hasil tes:
SRT  Interpretasi : 50% kata ditiru dengan benar
NPT 30 dB  mulai ada hambatan berkomunikasi
NPT 45 dB  terhambat berkomunikasi

SDS Interpretasi : 90-100% kata ditiru dengan benar

19
Modul VI.1−Gangguan Pendengaran

5. PENUNTUN BELAJAR
PROSEDUR PEMERIKSAAN TIMPANOMETRI
Nilailah kinerja setiap langkah yang diamati menggunakan skala sebagai berikut.:
1 Perlu perbaikan: langkah tidak dikerjakan atau tidak sesuai dengan yang seharusnya atau
urutannya tidak sesuai (jika harus berurutan)
2 Mampu: langkah dikerjakan sesuai dengan yang seharusnya dan urutannya (jika harus berurutan).
Pelatih hanya membimbing untuk sedikit perbaikan atau membantu untuk kondisi di luar normal
6 Mahir: langkah dikerjakan dengan benar, sesuai urutannya dan waktu kerja yang sangat efisien
T/D Langkah tidak diamati (penilai menganggap langkah tertentu tidak perlu diperagakan)

NAMA PESERTA: ...................................... TANGGAL: .................................

KEGIATAN KASUS

I. TAHAP PERSIAPAN PEMERIKSAAN TIMPANOMETRI


• Siapkan alat timpanometer beserta probe dan ear tip
• Pastikan kertas pencetak timpanogram tersedia
• Informed Choice dan Informed Consent
II. TAHAP PEMERIKSAAN TIMPANOMETRI
• Beritahu pasien tindakan yang akan dilakukan
• Pastikan kedua telinga pasien bersih
• Tekan switch power untuk menghidupkan Timpanometer
• Tekan switch timpanometri, tekan switch right/left sesuai telinga yang
diperiksa
• Pasang tip probe menuju ke arah membran timpani, pastikan tip probe
kedap terhadap liang telinga
• Timpanogram akan muncul pada display
• Lakukan pemeriksaan pada telinga sisi yang lainnya
• Tekan tombol store lalu print
• Nila hasil tes:
Tipe timpanogram modifikasi klasifikasi Jerger dan Liden
▪ Tipe A = normal
▪ Tipe Ad (deep) = mis. pada disartikulasi tulang
▪ Tipe As (shallow) = mis.pada fiksasi tulang
▪ Tipe C = mis. pada disfungsi tuba
▪ Tipe B = mis. pada OME

20
Modul VI.1−Gangguan Pendengaran

6. PENUNTUN BELAJAR
PROSEDUR PEMERIKSAAN FUNGSI TUBA
Nilailah kinerja setiap langkah yang diamati menggunakan skala sebagai berikut.:
1 Perlu perbaikan: langkah tidak dikerjakan atau tidak sesuai dengan yang seharusnya atau
urutannya tidak sesuai (jika harus berurutan)
2 Mampu: langkah dikerjakan sesuai dengan yang seharusnya dan urutannya (jika harus berurutan).
Pelatih hanya membimbing untuk sedikit perbaikan atau membantu untuk kondisi di luar normal
7 Mahir: langkah dikerjakan dengan benar, sesuai urutannya dan waktu kerja yang sangat efisien
T/D Langkah tidak diamati (penilai menganggap langkah tertentu tidak perlu diperagakan)

NAMA PESERTA: ...................................... TANGGAL: .................................

KEGIATAN KASUS

I. TAHAP PERSIAPAN PEMERIKSAAN FUNGSI TUBA


• Siapkan alat timpanometer beserta probe dan ear tip
• Pastikan kertas pencetak timpanogram masih cukup
II. TAHAP PEMERIKSAAN TIMPANOMETRI
• Beritahu pasien tindakan yang akan dilakukan
• Tekan switch power untuk menghidupkan Timpanometer
• Tekan switch ETF, tekan switch right/left sesuai telinga yang diperiksa
• Pasang tip probe menuju ke arah membran timpani, pastikan tip probe
kedap terhadap liang telinga
• Timpanogram akan muncul pada display
• Setelah perintah swallow muncul pada display, pasien diminta menutup
hidung, menutup mulut sambil melakukan gerakan menelan (Toynbe)
• Setelah perintah vaslava muncul pada display, pasien diminta menutup
hidung, menutup mulut sambil melakukan gerakan meniup (vasalva)
• Lakukan pemeriksaan pada telinga sisi yang lainnya
• Tekan tombol store lalu print
• Nilai Hasil Test:
Timpanogram pasca manuver Toynbee hasil bergeser ke kiri (lebih
negatif)
Timpanogram pasca manuver Valsava hasil bergeser ke kanan (lebih
positif)

21
Modul VI.1−Gangguan Pendengaran

L. DAFTAR TILIK

1. DAFTAR TILIK PENILAIAN


PEMERIKSAAN TES BERBISIK

Berikan penilaian tentang kinerja psikomotorik atau keterampilan yang diperagakan


oleh peserta pada saat melaksanakan statu kegiatan atau prosedur, dengan ketentuan
seperti yang diuraikan dibawah ini:
✓: Memuaskan: Langkah atau kegiatan diperagakan sesuai dengan prosedur atau
panduan standar
: Tidak memuaskan: Langkah atau kegiatan tidak dapat ditampilkan sesuai
dengan prosedur atau panduan standar
T/T: Tidak Ditampilkan: Langkah, kegiatan atau keterampilan tidak diperagakan
oleh peserta selama proses evaluasi oleh pelatih

PESERTA: _____________________________ TANGGAL :______________

KEGIATAN NILAI
I. TAHAP PERSIAPAN PEMERIKSAAN TES BERBISIK
• Informed Choice & Informed Consent
• Rencana Tindakan
• Ruang sepi dengan ukuran terdapat sisi dengan jarak 6 meter (tidak
boleh terdapat echo dalam ruangan tersebut)

II. PROSEDUR PEMERIKSAAN TES BERBISIK


• Beritahu pasien tindakan yang akan dilakukan
• Tes dimulai satu per satu dimulai dari telinga kanan/kiri, telinga yang
tidak di tes disumbat kapas basah yang ditekan dengan jari selama
dilakukan tes.
• Dilakukan pengucapan kata bisilabik pada telinga pasien dengan jarak
6m
• Kemudian pasien diminta untuk mengulang dan mengucapkan kata
tersebut
• Bila belum didengar dan ditirukan oleh pasien, jarak makin didekatkan,
sampai pasien menirukan 80% kata-kata tersebut dengan benar
• Dilakukan pemeriksaan dengan cara yang sama pada telinga sebelahnya
• Evaluasi hasil pemeriksaan

22
Modul VI.1−Gangguan Pendengaran

2. DAFTAR TILIK PENILAIAN


PEMERIKSAAN GARPU TALA

Berikan penilaian tentang kinerja psikomotorik atau keterampilan yang diperagakan


oleh peserta pada saat melaksanakan statu kegiatan atau prosedur, dengan ketentuan
seperti yang diuraikan dibawah ini:
✓: Memuaskan: Langkah atau kegiatan diperagakan sesuai dengan prosedur atau
panduan standar
: Tidak memuaskan: Langkah atau kegiatan tidak dapat ditampilkan sesuai
dengan prosedur atau panduan standar
T/T: Tidak Ditampilkan: Langkah, kegiatan atau keterampilan tidak diperagakan
oleh peserta selama proses evaluasi oleh pelatih

PESERTA: _____________________________ TANGGAL :______________

KEGIATAN NILAI
I. TAHAP PERSIAPAN PEMERIKSAAN GARPU TALA
• Informed Choice & Informed Consent
• Rencana Tindakan
• Ruang kedap suara 40 dB
• Garpu tala frekuensi 128 Hz, 256 Hz, 512 Hz, 1024 Hz, 2048 Hz
• Pasien diminta untuk melepas kaca mata (bila memakai), pasien
ditanyakan apakah menggunakan gigi palsu atau implan logam di gigi

II. PROSEDUR PEMERIKSAAN GARPU TALA


• Beritahu pasien tindakan yang akan dilakukan
• Pasien diminta duduk menghadap pemeriksa
• Tanyakan kepada pasien keadaan berat ringannya keluhan diantara
kedua telinga, yang lebih ringan lebih dulu diperiksa
A. Tes Rinne
• Penala digetarkan, tangkainya diletakkan pada salah satu prosesus
mastoid, setelah tidak terdengar penala dipindah ke depan daun telinga
kira – kira dengan jarak 2,5 cm.
• Bila masih terdengar saat dipindahkan di depan daun telinga disebut
dengan Rinne positif, namun bila sudah tidak terdengar disebut dengan
Rinne negatif
• Evaluasi hasil tes
B. Tes Weber
• Penala digetarkan dan tangkai penala diletakkan di garis median kepala

23
Modul VI.1−Gangguan Pendengaran

KEGIATAN NILAI
(verteks, dahi, pangkal hidung, ditengah – tengah gigi seri atau di dagu)
• Kemudian ditanyakan dimanakah bunyi terdengar, apakah ada sisi yang
lebih keras atau kedua sisi mendengar sama keras.
• Apabila bunyi penala terdengar lebih keras pada salah satu telinga
disebut weber lateralisasi ke telinga tersebut, bila tidak dapat dibedakan
ke arah telinga mana bunyi terdengar lebih keras disebut weber tidak
ada lateralisasi
• Evaluasi hasil tes
C. Tes Schwabach
• Penala digetarkan, tangkai penala diletakkan pada prosesus mastoid
pasien sampai bunyi tidak terdengar.
• Penala kemudian dipindahkan ke prosesus mastoid telinga pemeriksa
yang pendengarannya normal
• Bila pemeriksa masih dapat mendengar disebut Schwabach memendek

• Bila pemeriksa masih dapat mendengar bunyi, pemeriksaan diulang


dengan cara yang sebalikanya yaitu penala diletakkan pada prosesus
mastoid pemeriksa terlebih dahulu dan kemudian dipindahkan ke
prosesus mastoid pasien.
• Bila pasien masih dapat mendengar bunyi disebut Scwabach
memanjang
• Bila pasien dan pemeriksa sama – sama mendengarnya disebut dengan
Scwabach sama dengan pemeriksa
• Evaluasi hasil tes

24
Modul VI.1−Gangguan Pendengaran

3. DAFTAR TILIK PENILAIAN


PROSEDUR AUDIOMETRI NADA MURNI

Berikan penilaian tentang kinerja psikomotorik atau keterampilan yang diperagakan


oleh peserta pada saat melaksanakan statu kegiatan atau prosedur, dengan ketentuan
seperti yang diuraikan dibawah ini:
✓: Memuaskan: Langkah atau kegiatan diperagakan sesuai dengan prosedur atau
panduan standar
: Tidak memuaskan: Langkah atau kegiatan tidak dapat ditampilkan sesuai
dengan prosedur atau panduan standar
T/T: Tidak Ditampilkan: Langkah, kegiatan atau keterampilan tidak diperagakan
oleh peserta selama proses evaluasi oleh pelatih

PESERTA: ___________________________ TANGGAL :______________

KEGIATAN NILAI
I. TAHAP PERSIAPAN PEMERIKSAAN AUDIOMETRI NADA MURNI
• Informed Choice & Informed Consent
• Rencana Tindakan
• Persiapan Sebelum Tindakan
• Pastikan kelengkapan alat dan bahan
II. PROSEDUR PEMERIKSAAN AUDIOMETRI NADA MURNI

• Tanyakan kepada pasien keadaan berat ringannya keluhan diantara


kedua telinga, yang lebih ringan lebih dulu diperiksa
• Atur posisi duduk pasien ke arah sudut 30o membelakangi pemeriksa
• Putar switch power untuk menghidupkan audiometer
• Atur tombol-tombol pengoperasian alat
• Pasang headphone tepat di depan liang telinga
• Berikan perintah sederhana, jelas pada pasien, untuk memencet
tombol respon apabila mendengar nada/bunyi sekecil apapun
• Lakukan pemeriksaan dari telinga yang keluhannya lebih ringan
• Dilakukan pemeriksaan hantaran udara (AC) dimulai dari frekuensi
1000 Hz dengan memberi sinyal pada intensitas 40 dB, kemudian naik
tiap 5 dB, atau diturunkan tiap 10 dB sampai memperoleh ambang
dengar.
• Berikan secara ireguler pada setiap pemberian nada sebanyak 2-3 kali
rangsangan
• Selanjutnya frek. 2000 Hz, 3000 Hz, 4000 Hz, 6000 Hz, 8000 Hz,

25
Modul VI.1−Gangguan Pendengaran

KEGIATAN NILAI
kembali ke 1000 Hz kemudian periksa frek. 500 Hz dan 250 Hz
(untuk hantaran udara)
• Bila ada perbedaan 20 dB atau lebih antara 2 frekuensi, cek pada frek.
½ oktaf (hindari standing wave)
• Hal yang sama dilakukan untuk telinga lainnya
• Catat hasil tes pada formulir audiogram, dengan simbol(0)
mengunakan spidol merah untuk telinga kanan dan simbol (X)
menggunakan spidol biru untuk telinga kiri. Hubungkan dengan garis
tegas hingga membentuk grafik.
• Lakukan pemeriksaan hantaran tulang atau BC bila ambang dengar
hantaran udara meningkat dengan cara :
- Ganti headphone dengan bonefibrator
- Pasang bonefibrator pada os mastoid dengan sedikit penekanan
- Lakukan pemeriksaan dengan cara yang sama pada hantaran
udara hanya frekuensi dan intensitas terbatas yaitu : 500Hz,
1000Hz, 2000Hz, 4000Hz dan intensitasnya hanya sampai 60-85
dB.
- Catat respon pasien pada formulir audiogram dengan
menggunakan simbul (<) untuk telinga kiri dan (>) untuk telinga
kanan, hubungkan dengan titik-titik hingga membentuk grafik.
• Dokumentasi hasil audiogram kedalam formulir audiogram
III. TAHAP PEMERIKSAAN MASKING (METODE STEP MASKING)
A. MASKING HANTARAN UDARA
• Bila terdapat perbedaan intensitas antara hantaran udara telinga yang
diperiksa (AC Test Ear = TE) dengan hantaran tulang telinga yang tidak
diperiksa (BC Non Test Ear = NTE) minimal sebesar interaural
attenuation (IA) sesuai dengan frekuensi dan transduser yang dipakai,
maka kita perlu untuk memberikan masking
• Masking awal diberikan sebesar 30 dB di atas ambang dengar telinga
yang tidak diperiksa
• Bila tidak terjadi perubahan ambang dengar pada telinga yang diperiksa,
maka ini adalah ambang dengar yang sebenarnya dan tidak diperlukan
masking lagi
• Namun, bila terjadi perubahan sebesar 20 dB atau lebih pada ambang
dengar telinga yang diperiksa setelah diberikan masking awal (30 dB),
maka perlu masking tambahan
• Masking tambahan adalah sebesar 20 dB di atas level masking
sebelumnya
• Bila tidak terjadi perubahan ambang dengar pada telinga yang diperiksa,
maka ini adalah ambang dengar yang sebenarnya dan masking tidak

26
Modul VI.1−Gangguan Pendengaran

KEGIATAN NILAI
diperlukan lagi
• Namun bila terjadi perubahan ambang dengar pada telinga yang
diperiksa sebesar 15 dB atau lebih setelah diberikan masking tambahan,
maka perlu diberikan masking tambahan lagi (yang kedua) sebesar 20
dB
• Bila tidak didapatkan lagi peningkatan ambang dengar sebesar 15 dB
atau lebih, atau tidak ada respons lagi setelah batas kemampuan
audiometer, maka kita sudah mendapatkan informasi yang sesuai
B. MASKING HANTARAN TULANG
• Bila terdapat A-B gap (selisih 10 dB atau lebih antara hantaran udara
dan hantaran tulang pada 2 frekuensi berurutan) pada telinga yang
diperiksa, maka diperlukan masking
• Masking awal adalah 20 dB di atas ambang dengar hantaran udara
telinga yang tidak diperiksa. Minimum IA untuk hantaran tulang
bernilai nol
• Efek oklusi diberikan bila tidak ada A-B gap pada telinga yang tidak
diperiksa sebesar 15 db untuk frek. 250 dan 500 Hz dan sebesar 10 dB
untuk frek. 1000 Hz. Untuk frek. 2000 dan 4000 Hz tidak diperlukan
efek oklusi. Bila telinga yang tidak diperiksa ada A-B gap, maka tidak
diperlukan tambahan efek oklusi
• Bila tidak terjadi perubahan ambang dengar pada telinga yang diperiksa
setelah menggunakan masking yang sesuai maka didapatkan ambang
dengar yang sebenarnya, dan tidak diperlukan tambahan masking lagi
• Namun bila ada perubahan ambang dengar sebesar 15 db atau lebih,
maka diperlukan masking tambahan. Masking tambahan yang diberikan
sebesar 20 dB di atas level masking sebelumnya
• Bila tidak terjadi perubahan ambang dengar pada telinga yan tidak
diperiksa, maka didapatkan ambang dengar yang sebenarnya dan
masking tidak diperlukan lagi
• Namun bila terjadi perubahan 15 dB atau lebih ketika dilakukan
masking tambahan, maka diperlukan masking tambahan lagi (yang
kedua) sebesar 20 dB. Tambahan efek oklusi hanya satu kali

27
Modul VI.1−Gangguan Pendengaran

4. DAFTAR TILIK PENILAIAN KINERJA


PROSEDUR PEMERIKSAAN AUDIOMETRI TUTUR

Berikan penilaian tentang kinerja psikomotorik atau keterampilan yang diperagakan


oleh peserta pada saat melaksanakan statu kegiatan atau prosedur, dengan ketentuan
seperti yang diuraikan dibawah ini:
✓: Memuaskan: Langkah atau kegiatan diperagakan sesuai dengan prosedur atau
panduan standar
: Tidak memuaskan: Langkah atau kegiatan tidak dapat ditampilkan sesuai
dengan prosedur atau panduan standar
T/T: Tidak Ditampilkan: Langkah, kegiatan atau keterampilan tidak diperagakan
oleh peserta selama proses evaluasi oleh pelatih

NAMA PESERTA: ...................................... TANGGAL: .................................


KEGIATAN NILAI
• Ruang kedap suara dengan ukuran minimal 1x1 meter
• Siapkan audiometri yang telah terkalibrasi
• Siapkan phonetically balance list
• Beritahu pasien tindakan yang akan dilakukan
• Putar switch power untuk menghidupkan audiometer
• Atur posisi duduk pasien menghadap pemeriksa
• Pasang headset pada pasien dan pemeriksa, sambungkan
• Sambungkan kabel
• Atur tombol-tombol pengoperasian alat (pada channel 1 tekan high freq,
tekan source A)
• Lakukan pemeriksaan pada telinga yang yang keluhannya lebih ringan
• Berikan perintah sederhana, jelas pada pasien, untuk menirukan kata-kata
yang didengar melalui headset
• Dilakukan pemeriksaan SRT (nilai ambang persepsi tutur) pada intensitas
sesuai ambang dengar hantaran udara telinga yang diperiksa
• Lakukan pemilihan deret bisilabik
• Tekan switch correct/incorrect sessuai jumlah kata-kata yang benar/salah
hingga 10 kata
• Lakukan pemeriksaan SDS pada intensitas 40dB dari intensitas SRT
• Lakukan pemilihan deret monosilabik
• Tekan switch correct/incorrect sessuai jumlah kata-kata yang benar/salah

28
Modul VI.1−Gangguan Pendengaran

KEGIATAN NILAI
hingga 10 kata
• Lakukan masking apabila syarat masking paa SRT dan SDS terpenuhi
• Evaluasi hasil tes

29
Modul VI.1−Gangguan Pendengaran

5. DAFTAR TILIK PENILAIAN KINERJA


PROSEDUR PEMERIKSAAN TIMPANOMETRI

Berikan penilaian tentang kinerja psikomotorik atau keterampilan yang diperagakan


oleh peserta pada saat melaksanakan statu kegiatan atau prosedur, dengan ketentuan
seperti yang diuraikan dibawah ini:
✓: Memuaskan: Langkah atau kegiatan diperagakan sesuai dengan prosedur atau
panduan standar
: Tidak memuaskan: Langkah atau kegiatan tidak dapat ditampilkan sesuai
dengan prosedur atau panduan standar
T/T: Tidak Ditampilkan: Langkah, kegiatan atau keterampilan tidak diperagakan
oleh peserta selama proses evaluasi oleh pelatih

PESERTA: _____________________________ TANGGAL :______________

KEGIATAN NILAI
I. TAHAP PERSIAPAN PEMERIKSAAN TIMPANOMETRI
• Siapkan alat timpanometer beserta probe dan ear tip
• Pastikan kertas pencetak timpanogram tersedia
• Informed Choice dan Informed Consent
II. TAHAP PEMERIKSAAN TIMPANOMETRI
• Beritahu pasien tindakan yang akan dilakukan
• Pastikan kedua telinga pasien bersih
• Tekan switch power untuk menghidupkan Timpanometer
• Tekan switch timpanometri, tekan switch right/left sesuai telinga yang
diperiksa
• Pasang tip probe menuju ke arah membran timpani, pastikan tip probe
kedap terhadap liang telinga
• Timpanogram akan muncul pada display
• Lakukan pemeriksaan pada telinga sisi yang lainnya
• Tekan tombol store lalu print
• Evaluasi hasil tes

30
Modul VI.1−Gangguan Pendengaran

6. DAFTAR TILIK PENILAIAN KINERJA


PROSEDUR PEMERIKSAAN FUNGSI TUBA
Berikan penilaian tentang kinerja psikomotorik atau keterampilan yang diperagakan
oleh peserta pada saat melaksanakan statu kegiatan atau prosedur, dengan ketentuan
seperti yang diuraikan dibawah ini:
✓: Memuaskan: Langkah atau kegiatan diperagakan sesuai dengan prosedur atau
panduan standar
: Tidak memuaskan: Langkah atau kegiatan tidak dapat ditampilkan sesuai
dengan prosedur atau panduan standar
T/T: Tidak Ditampilkan: Langkah, kegiatan atau keterampilan tidak diperagakan
oleh peserta selama proses evaluasi oleh pelatih

NAMA PESERTA: ...................................... TANGGAL:................................

KEGIATAN NILAI
• Siapkan alat timpanometer beserta probe dan ear tip
• Pastikan kertas pencetak timpanogram masih cukup
• Beritahu pasien tindakan yang akan dilakukan
• Tekan switch power untuk menghidupkan Timpanometer
• Tekan switch ETF, tekan switch right/left sesuai telinga yang
diperiksa
• Pasang tip probe menuju ke arah membran timpani, pastikan tip
probe kedap terhadap liang telinga
• Timpanogram akan muncul pada display
• Setelah perintah swallow muncul pada display, pasien diminta
menutup hidung, menutup mulut sambil melakukan gerakan
menelan (Toynbe)
• Setelah perintah vaslava muncul pada display, pasien diminta
menutup hidung, menutup mulut sambil melakukan gerakan meniup
(vasalva)
• Lakukan pemeriksaan pada telinga sisi yang lainnya
• Tekan tombol store lalu print
• Evaluasi hasil test

31
Modul VI.1−Gangguan Pendengaran

M. MATERI PRESENTASI :

1. Topik Gangguan Dengar (embriologi, anatomi, fisiologi,patofisiologi,etiologi,


diagnosis dan tatalaksana)
2. Topik Gangguan Dengar Kongenital (herediter-nonherediter, sindroma-
nonsindroma, patofisiologi, diagnosis, tatalaksana)
3. Topik Tinitus (fisiologi,patofisiologi,etiologi, diagnosis dan tatalaksana)
4. Topik Proses degenerative pada Sistem Auditorius (fisiologi,etiologi,
diagnosis dan tatalaksana)
5. Topik gangguan dengar akibat suara bising (patofisiologi,diagnosis dan
tatalaksana)
6. Topik gangguan dengar akibat obat ototoksik (patofisiologi,diagnosis dan
tatalaksana)

o Slide 1 : Anatomi dan Fisiologi Pendengaran


o Slide 2 : Jenis dan Derajat Gangguan Pendengaran
o Slide 3 : Etiologi dan Patofisiologi Gangguan Pendengaran
o Slide 4 : Pemeriksaan Fungsi Pendengaran Dasar
o Slide 5 : Pemeriksaan Fungsi Pendengaran Khusus
o Slide 6 : Pemeriksaan Fungsi Pendengaran Lanjutan
o Slide 7 : Diagnosis dan Tatalaksana Gangguan Pendengaran
o Slide 8 : Gangguan Pendengaran Kongenital
o Slide 9 : Tinitus
o Slide 10 : Proses Degenerative pada Sistem Auditorius
o Slide 11 : Gangguan Pendengaran Akibat Suara Bising
o Slide 12 : Gangguan Pendengaran Akibat Obat Ototoksik

32
Modul VI.1−Gangguan Pendengaran

N. MATERI BAKU

1. Gangguan Pendengaran

a. Insiden dan Prevalensi

Diperkirakan 7.000 (0,2-0,4%) bayi dilahirkan setiap tahunnya dengan tuli yang
bervariasi dari ringan sampai total. Pada umur kurang dari 18 tahun, dua dari 100
anak mengalami gangguan pendengaran dalam berbagai derajat. Untungnya hanya
dalam jumlah sedikit yang tidak dapat tertolong oleh pengobatan modern.

Di Amerika Serikat gangguan pendengaran congenital pada anak terjadi pada 10


dari 100 anak. Dari jumlah ini, satu diantaranya tuli sangat berat, dan 3-5 tuli
sedang-berat yang dapat mengakibatkan gangguan perkembangan bahasa kecuali
jika gangguan tersebut dikoreksi. Gangguan pendengaran dapat menambah angka
tadi menjadi 10-20%. Data sensus Amerika Serikat mmperlihatkan bahwa hampir
3% populasi mengalami gangguan pendengaran termasuk tuli konduktif, tuli
sensorineural dan tuli campuran.

Tidak terdapat predileksi untuk jenis kelamin tertentu. Walaupun beberapa


penyebab gangguan pendengaran herediter atau dapatan rentan pada jenis kelamin
tertentu, namun secara umum prevalensi ketulian seimbang pada laki-laki dan
perempuan.

Kebanyakan gangguan pendengaran merupakan kelainan kongenital atau


didapatkan masa perinatal, namun tentu saja dapat terjadi pada semua usia.
Hampir 10-20% gangguan pendengaran didapatkan pada masa postnatal,
walaupun beberapa penyakit genetik gangguan pendengaran dimulai usia kanak-
kanak atau dewasa.

b. Etiologi

Penyebab gangguan pendengaran pada anak dapat dibedakan menjadi penyebab


pada masa prenatal, perinatal, dan postnatal.
1) Masa prenatal
a. Genetik, dengan kelainan struktur anatomis telinga luar atau telinga
tengah,mengakibatkan ketulian sejak lahir atau pendengaran mungkin
normal sewaktu lahir, ketulian dimulai pada masa anak.
b. Non-genetik, disebabkan peyakit-penyakt yang mempengaruhi
perkembangan embrio atau fetus. Infeksi kongenital (misalnya
sitomegalovirus[CMV], herpes, rubella, sifilis, toksoplasmosis, varisella)
dapat menyebabkan tuli sensorineural. Juga keterpaparan terhadap bahan

33
Modul VI.1−Gangguan Pendengaran

teratogen seperti alkohol, kokain, metil merkuri, talimoid juga dapat


berakibat sama.
2) Masa perinatal
Beberapa keadaan yang dialami bayi pada saat usia lahir juga merupakan
faktor risiko untuk terjadi ketulian seperti prematuritas, BBLR, tindakan
dengan alat pada proses kelahiran, hiperbilirubinemia, asfiksia dan anoksia
otak. Kondisi ini juga dapat menyebabkan tuli sensorineural.
3) Masa postnatal
Ketulian yang terjadi setelah bayi lahir atau setelah dapat berbicara

c. Fisiologi Pendengaran dan Berbicara

Proses mendengar diawali dengan ditangkapnya energi bunyi oleh daun telinga
dalam bentuk gelombang. Setelah memasuki meatus eksterna, bunyi akan
menggetarkan membran timpani selanjutnya dirambatkan melalui osikula auditiva.
Setelah melalui osikula, akhirnya getaran yang telah diperkuat daya dorongnya
diteruskan ke dalam perlimfa, utamanya yangterdapat dalam koklea. Bila frekuensi
getaran yang masuk sangat rendah (frekuensi subsonik), maka lintasan
gelombangnya adalah:
Fenestra ovalis → skala vestibuli → helikotrema → skala timpani → fenestra
rotundum.

Lintasan ini tidak berlaku jika frekuensi bunyi lebih tinggi. Untuk frekuensi
bunyi sonik (16 – 20.000 Hz), lintasannya sebagai berikut :
Fenestra ovalis → skala vestibuli → duktus koklearis → skala timpani →
fenestra rotundum.

Duktus koklearis yang merupakan bagian dari labirin membran berdinding lunak,
yaitu membrana reissner dan mebrana basilaris. Bila pintasan gelombang bunyi
menggerakkan membran basilaris maka akan terjadi efek gesekan membrana
tektoria terhadap rambut-rambut sel sensorik dari organ corti. Pergerakan rambut
sel tersebut akan menimbulkan reaksi biokimiawi di dalam sel sensorik sehingga
timbul muatan listrik negatif pada dinding sel. Ujung-ujung saraf kedelapan yang
menempel pada dasar sel-sel sensorik akan menampung impuls yang terbentuk.
Lintasan impuls auditorik selanjutnya adalah :
Ganglion spiralis corti → nervus VIII → nucleus koklearis di M.O →
folikulus inferior → korpus genikulatum medial → korteks audotori (area 39-40)
di lobus temporalis serebrum.
Proses perkembangan berbicara melibatkan banyak fungsi khusus yang
terintegrasi. Diperlukan fungsi pendengaran untuk menerima informasi dari luar,
fungsi saraf perifer untuk penghantaran, saraf pusat untuk pengolahan informasi,
fungsi luhur, komponen motorik serta otot-otot yang kesemuanya bekerja dengan
baik. Yang bertanggungjawab untuk kemampuan berbicara adalah daerah broca

34
Modul VI.1−Gangguan Pendengaran

yang terletak di lobus frontalis kiri dan berkaitan erat dengan daerah motorik
korteks yag mengontrol otot-otot penting untuk artikulasi. Sedangkan daerah yang
bertanggungjawab untuk pemahaman bahasa baik tertulis maupun lisan adalah
daerah wernicke yang terletak di korteks kiri pada pertemuan lobus-lobus
pareitalis, temporalis dan oksipitalis. Selain itu daerah wernicke bertanggungjawab
untuk memformulasikan pola pembicaraan koheren yang disalurkan melelui
seberkas serat ke daerah broca yang kemudian mengontrol artikulasi pembicaraan.
Daerah wernicke menerima masukan dari korteks auditorius di lobus temporalis
yang merupakan suatu jalur yang penting untuk memahami bahasa lisan.
Urutan proses yang terlibat sewaktu mendengar dan berbicara adalah sebagai
berikut :
1. Sinyal bunyi mula-mula diterima oleh area auditorik yang nantinya akan
menjadikan sinyal tadin dalam bentuk kata-kata.
2. Kata-kata lalu diinterpretasikan di area wernicke.
3. Penentuan buah pikiran dan kata-kata yang kana diucapkan juga terjadi di
dalam area wernicke.
4. Penjalaran sinyal-sinyal dari area wernicke ke area broca melalui fasikulus
arkuatus.
5. Aktivasi program keterampilan motorik yang terdapat di area broca untuk
mengatur pembentukan kata.
6. Penjalaran sinyal yang sesuai ke korteks motorik untuk mengatur otot-otot
bicara

d. Persarafan Auditori

Persepsi bunyi diakibatkan oleh inpuls auditory yang dibangkitkan di koklea


(corti) dan mencapai kortex melalui lintasan auditori di medulla oblongata dan
batang otak. Proses pembangkitan inpuls auditori terjadi akibat proses bioelektrik
sel sensorik corti yang merubah energi mekanik getaran bunyi yang menggetarkan
perilimf-endolimf, sehingga merangsang silia sel corti dan membangkitkan listrik
berpotensi histokimia statis dan kecil yang dinamakan “Cochlear microponics” .
Sumasi dari cochlea micropocics menghasilkan inpuls auditori yang selanjutnya
dialirkan/disalurkan melalui N VIII ke SS pusat. Neuron pertama N VIII yang
sifatnya sensorik, adalah ganglion spiralis yang terletak di dalam ………. Neuron
kedua di dalam medula oblongata = Nuchleus cochlearis. Lintasan auditori
selanjutnya adalah kolikulus inferior dan korpus genikulatum medial, selanjutnya
ke cortex cerebri-lobus temporalis/ area auditoria.

e. Istilah Hantaran dalam Audiologi

Catatan : perambatan gelombang bunyi di sistem konduksi (M.Tympani dan


osikula) dan hidrodinamika koklea sudah diajarkan pada kuliah anatomi dan faal
telinga.

35
Modul VI.1−Gangguan Pendengaran

Untuk membangkitkan impuls auditori gelombang bunyi harus mencapai koklea,


emlalui 2 cara yaitu : melalui sistem konduksi dan melalui tulang tengkorak.
Pendengaran yang dihasilkan serupa, namun dalam audiologi dipisahkan menurut
jalan rambat menuju koklea yaitu :
• Definisi Hantaran Udara (HU) yaitu pendengaran yang dihasilkan oleh bunyi
yang dihantarkan melalui udara dalam meatus akustikus eksternus dan sistem
konduksi.
• Definisi Hantaran tulang yaitu pendengaran yang dihasilkan oleh bunyi yang
dirambatkan melalui tulang (os temporal langsung ke koklea, tanpa melewati
sistem konduksi).
Dalam praktek pemeriksaan audiologi, hantan udara bisa disajikan ke telinga
melalui :
- Suara percakapan
- Bisikan
- Head phone atau earphone
Sedang hantaran tulang disajikan melalui suatu alat vibrator atau garpu tala yang
ditempelkan pada prosesus mastoid.
Untuk selanjutnya bila tidak disebutkan hantaran udara atau hantaran tulang, yang
dimaksud pendengaran secara umum adalah hantaran udara. Karena istilah-istilah
dalam audiologi sering kacau dan membingungkan, maka terminologi definitif
berikut perlu selalu diingat dan digunakan :

Istilah Bunyi Pendengaran

Peristiwa Fisika Biologik


dasarnya
Komponen Frekwensi Nada
Penentu Tinggi-rendah Tinggi-rendah
Kualitas Hertz (Hz) Hertz (Hz)
Satuan
Komponen Intensitas Intensitas
penentu Tinggi-rendah Kuat-lemah
Kuantitas Dyne/cm2 DB (decibel)
Satuan

Hubungan frekuensi dengan tinggi rendah nada adalah tidak seluruh getaran
dialam ini bisa didengar manusia, frekuensi sonik adalah frekuensi yang dapat
dipersepsi manusia sebagai bunyi = bisa di dengar. Rentang frekuensi sonik antara
20 Hz – 20.000 Hz. Getaran kurang dari 20 Hz = subsonik. getaran diatas 20.000
Hz = supra atau ultrasonik (dipakai untuk USG). Kedua frekuensi diatas tidak

36
Modul VI.1−Gangguan Pendengaran

terdengar oleh manusia, mungkin masih bisa didengar oleh hewan (misal :anjing)
karrena rentang frekuensi pendengaran hewan berbeda dengan manusia.

Frekuensi sonik yang sangat diperlukan untuk komunikasi percakapan sehari-hari


adalah anatar 500 Hz sampai 2000 Hz. Rentang frekuensi ini disebut frekuensi
percakapan atau frekuensi tengahan. Frekuensi bunyi dibawah 500 Hz akan
didengar sebagai nada rendah, sedang diatas 200 Hz akan didenagr sebagai anda
tinggi. Nada C’ (512 Hz) terdengar 1 oktav lebih tinggi dari nada C (256 Hz).

Kuat lemah Pendengaran memiliki satuan phons, secara subyektif kuatnya


pendengaran ditera dengan membandingkan bunyi 1000 Hz yang menimbulkan
pendengaran tersebut = bunyi patokan. Sound pressure level (SPL) bunyi patokan
diatur sedemikian sehingga bunyi patokan (yang bisa diukur intensitasnya) tersa
sama keras dengan bunyi patokan. Hasilnya dalam satuan dB SPL dinyatakan
dengan Phons.
Contoh : Suara (berapa pun frekuensi nya) dengan kekerasan 50 phons
memberikan arsa kekerasan sama dengan bunyi patokan 50 dB SP

KURVA AUDIOGRAM NADA MURNI


dB HL

10
Garis lengkung ambang pendengaran
20
isophon = diagram lurus
30

40

50

60

70

80

90

100
125 250 500 1000 2000 4000 6000 8000 (Hz)

37
Modul VI.1−Gangguan Pendengaran

Sekarang grafik dB SPL (Sound Pressure Level) dalam garis isophon tidak
digunakan dalam klinik. Yang dipakai adalah grafik dB HL (Hearing Level) pada
kurva audiogram. Titik ambang pendengaran untuk masing-masing frekuensi
digambarkan sebagai garis horizontal yang lurus yaitu garis 0 dB HL

Garis 0 dB HL pada audiogram yang lurus horizontal adalah samaa dengan garis
Isophon untuk ambang pendengaran semua frekuensi yang lengkung pada grafik
dB SPL

d. Pengertian Gangguan Pendengaran dan Ketulian

Menurut WHO pegertian gangguan pendengaran dan ketulian dibedakan


berdasarkan ketentuan sebagai berikut.

Gangguan pendengaran : berkurangnya kemampuan mendengar baik sebagian atau


seluruhnya, pada salah satu atau kedua telinga, baik derajat ringan atau lebih berat
dengan ambang pendengaran rata lebih dari 26 dB pada frekuensi 500, 1000, 2000
dan 4000 Hz.

Ketulian : hilangnya kemampuan mendengar pada salah satu atau kedua sisi
telinga , merupakan gangguan pendengaran sangat berat dengan ambang
pendengaran rata-rata lebih dari 81 dB pada frekuensi 500, 1000, 2000 dan 4000
Hz.

Derajat ketulian berdasarkan ISO

0 – 25 dB : normal
> 25 – 40 dB : gangguan pendengaran ringan
> 40 – 55 dB : gangguan pendengaran sedang
> 55 – 70 dB : gangguan pendengaran sedang berat
> 70 – 90 dB : gangguan pendengaran berat
> 90 dB : gangguan pendengaran sangat berat

Jenis Gangguan Pendengaran Dan Ketulian


1. Konduktif yang disebabkan oleh gangguan mekanisme hantaran di telinga
luar atau telinga tengah
2. Sensorineural disebabkan oleh kelainan di kohlea, N.VIII dan pusat
pendengaran di cortex cerebri
3. Campuran (mixed) yang disebabkan kelainan konduktif dan sensorineural

Istilah – Istilah Keluhan Pendengaran :


1. Tinitus : Persepsi abnormal akan adanya pendengaran
2. Autofoni : Persepsi abnormal, suara sensori terdengar lebih keras

38
Modul VI.1−Gangguan Pendengaran

3. Displakusis : Gema pada setiap bunyi yang masuk.


4. Disakusis : Nyeri bila ada suara yang melengking
5. Parakusis : Mendengar suara percakapan lebih jelas pada suasana
ramai.

e. Pemeriksaan Fungsi Pendengaran

Tes pendengaran bermacam-macam dari yang paling sederhana seperti tes bisik
dan tes garpu tala, yang tergolong non elektronik sampai yang elektronik seperti
audiometri dalam berbagai bentuk. Peserta PPDS harus menguasai tes bisik dan
graputala sejak S1. Walau tidak dikuliahkan lagi, kemungkinan diujikan selalu
ada, karena itu harus selalu siap pda penanganan pasien maupun untuk menjawab
soal-soal ujian.

Tes Bisik
Syarat : ruang yang sepi serta terdapat jarak 6 m dalam ruang tersebut. Jangan
terjadi echo dalam ruang dengan menata perabot
Setiap telinga di tes tersendiri, kanan atau kiri, telinga yang tidak di tes
disumbat kapas basah yang ditekan dengan jari selama dilakukan tes.
Bahan tes, suara dokter mengucapkan kata bi-silabik. Caranya bisikan
dengan udara cadangan pada jarak 6 m. Bila belum didengar dan ditirukan oleh
pasien, jarak makin didekatkan, sampai pasien menirukan 80% kata-kata tersebut
dengan betul.
Hasilnya disebut : jarak pendengaran
Nilainya = Jarak pendengaran 6 m = normal
Jarak pendengaran 5 m = dalam batas normal
Jarak pendengaran 4 m = tuli ringan
Jarak pendengaran 2- 3 m = tuli sedang
Jarak pendengaran 1 m atau <= tuli berat
Kegunaan tes bisisk : untuk skrining secara masa

Tes Garpu tala


Garpu tala yang dipakai berfrekuensi 128 Hz, 256 Hz, 512 Hz, 1024 Hz, 2048 Hz
dan 4096 Hz.

Kegunaan : secara kasar boleh dipisahkan antara SNHL kalau batas atas turun,
CHL bila batas bawah naik.

Tes Weber
Menggunakan garpu tala 256 (nada c) atau 512 (nada C'). Ditekankan pada dahi
atau gigi insisivus (di garis median).

39
Modul VI.1−Gangguan Pendengaran

Prinsipnya : membandingkan hantaran tulang telinga kiri dan kanan. Bila sama
kuat, tergolong pendengaran normal. Bila terdengar hanya pada 1 telinga maka
disebut : Lateralisasi.
Tuli konduktif lateralisasi kearah telinga yang sakit, sedang tuli sensorineural
lateralisasi kea rah yang sehat.

Tes Rinne
Prinsip : membandingkan durasi terdengarnya garpu tala antara hantaran tulang
dan hantaran udara.
Rinne positif : Hantaran udara lebih panjang dari hantaran tulang, terjadi apda
telinga normal atau tuli sensorineural.
Rinne negative : Hantaran tulang lebih panjang dari hantaran udara, terdapat pada
tuli konduktif.

Tes Schwabach
Membandingkan durasi pendengaran hantaran tulang antara pasien dan dokter.
• Scwabach memendek : hantaran tulang pasien lebih pendek dari hantaran
tulang dokter = SNHL. Dalam laporan, tejadi swabach memendek.
• Scwabach memanjang : Hantaran tulang pasien lebih panjang daripada
hantaran tulang dokter = tuli konduktif. Dalam laporan, scwabach
memanjang.
• Normal : Hantran tulang pasien sama panjang dengan hantaran tulang
dokter, dengan catatan pendengaran dokternya normal. Hasil di laporan=
Scwabach normal.

Efek oklusi meatus akustikus eksternus terhadap kualitas hantaran tulang, yaitu
bila oklusi diberikan dengan menekan tragus, kemudian dilepas bergantian maka,
telinga normal atau SNHL, akan mendengar, hantaran tulang menguat-melemah
bergantian disebut Bing positif.
Bila pasien tidak mengenali perubahan mengeras dan melemah bergantian = Bing
negative; terjadi pada ketulian konduktif.
Misal : Otitis media nonpurulenta atau otosklerosis.
Catatan : pada tes Bing garpu tala ditekankan pada processus mastoid sisi telinga
yang di tes.

Tes Gelle
Serupa Bing, tetapi garpu tala ditekankan di garis median dahi seperti tes Weber
dan untuk oklusi meatus digunakan balon Politzer.

Audiometri
Audiometri adalah pemeriksaan pendengaran dengan menggunakan bunyi yang
dihasilkan alat elektroakustik yaitu audiometric sebagai bahan tes.

40
Modul VI.1−Gangguan Pendengaran

Audiometri Nada Murni


Pure Tone Audiometry = PTA
Tujuan : menentukan ambang pendengaran satu telinga, baik hantaran udara
maupun hantaran tulang. Oleh karena itu PTA disebut Threshold audiometry.

Didepan sudah diuraikan bahwa garis 0 dBHL tereltak diatas, sedang garis kurva
ambang pendengaran pasien, umumnya terletak di abwah, terutama pada kasus
ketulian. Cara menentukan titik ambang pendengaran agar dipelajari pada buku
lokkarya audiologi FK Unhas, suntungan dr. Anton Manukbua, Th 1978. Pelajari
dan latihlah menggunakan masking.
Temuan dari hasil pemeriksaan audiometric yang perlu diperhatikan adalah :
• Hantaran udara normal : terentang antara -10 s/d 26 dB
• Hanatran tulang berimpit atau hampir berimpit dengan hantaran udara, pada
telinga normal atau ketu;ian sensorineural
• Hanataran tulang terpisah dari hantaran udara yang lebih rendah disebut 'air-
bone gap' terjadi apda ketulian konduktif

Secara keseluruhan kemiringan hantaran udara dapat 'ascending' atau


menanjak=ketulian konduktif; 'descending atau menurun = ketulian sensorineural.

Kemampuan alat audiometer dalam memproduksi suara untuk bahan tes adalah
terbatas. Untuk Hantaran udara maksimal adalah 100 dB, hanatran tulang anatara
50 – 60 dB. Dampaknya, bila ada pemisahan hanatran tulang dan hantaran udara
pada ketulain berat atau total, ini bukan air bone gap. Misal ada ketulian berat 95
dB, dari tes garpu tala diketahui SNHL, seharusnya hantaran tulang juga 95 dB,
akan tetapi karena maksimum yang dapat dihasilkan hantran tulang hanya 60 dB,
maka pada audiogram hantaran tulang ditandai dengan apnah arah ke bawah,
artinya hantaran tulang lebih besar dari 60 dB.

f. Prosedur Pelaksanaan

Untuk pemeriksaan PTA, perlu diperhatikan beberapa syarat antara lain:


1. Alat audiometer yang telah distandardisasi oleh American National Standards
Institute (ANSI).
2. Suasana yang tenang. Bila perlu ruangan kedap suara.
3. Pemeriksa yang sabar dab teliti.

Pada pengukuran audiologi, fungsi pendengaran terdapat signal nada maupun


ucapan diukur terpisah untuk masing-masing telinga dengan menggunakan
earphone (hantaran udara). Saat ini yang sering digunakan adalah insert-earphone
yang langsung dimasukkan dalam MAE karena memiliki beberapa kelebihan
dibanding earphone supraaural antara lain kontak dengan tulang temporal yang

41
Modul VI.1−Gangguan Pendengaran

minimal sehingga mengurangi kemungkinan terjadinya cross hearing, lebih


nyaman dan lebih diterima bagi pasien anak-anak. PTA juga dapat dilakukan
dengan menggunakan osilator atau vibrator yang diletakkan pada tulang mastoid
untuk mengukur hantaran tulang, yaitu tanpa diperiksa hanya antara 250-4000 Hz.
Pada frekuensi 126 Hz hanya akan memberi rasa getar bukan mendengar. Dan
frekuensi diatas 4000 Hz secara teknis tidak mungkin dihasilkan oleh vibrator.

• Cara pemeriksaan
Untuk mendapatkan hasil pemeriksaan yang baik maka prosedir yang perlu
diperhatikan antara lain :
A. Penderita ditempatkan sedemikian rupa sehingga ia tidak melihat gerakan
tangan pemeriksa, karena hal ini akan mempengaruhi penderita bahwa nada
tes sedang disajikan.
B. Untuk mengurangi interferensi dari suara-suara latar belakang yang berasal
dari sekitarnya maka tempat yang terbaik adalah ruangan kedap suara akan
tetapi bila tidak ada maka tes dilakukan di ruangan tersembunyi.
C. Instruksi kepada penderita harus jelas misalnya “anda akan diperiksa dan akan
mendengar bunyi yang kadang-kadang keras dan kadang-kadang lemah
melalui earphone. Bila mendengar bunyi itu, tekan tombol dan acungkan
tangan. Kalau mendengar di sebelah kanan acungkan tangan kanan dan kalau
didengar pada telinga kiri maka acungkan tangan kiri”.
D. Earphone harus diletakkan secara tepat diatas liang telinga luar,warna merah
di sebelah kanan dan warna biru di sebelah kiri.
E. Telinga yang diperiksa terlebih dahulu harus yang berfungsi lebih baik. Bila
oleh penderita mengatkan kedua telinga sama tulinya, maka yang diperiksakan
terlebih dahulu adalah telinga kanan.
F. Penyajian nada tes tidak boleh dengan irama yang konstan dan lamanya
interval antara dua bunyi harus selalu diubah-ubah. Tidak boleh memutar
tombol (dial) pengatur selama penyaji masih ditekan.
G. Pemeriksaan pertama dimulai pada frekuensi 1000 Hz karena nada ini dapat
memberi hasil akurat yang konsisten. Kemudian periksa nada-nada lebih
tinggi 2000 Hz, 3000 Hz, 4000 Hz, 6000 Hz, dan 8000 Hz.

▪ Penentuan ambang pendengaran.


Untuk menentukan nilai ambang tiap-tiap frekuensi dilakukan sebagai berikut :
A. Putar tombol (dial) dimulai pada kedudukan 40 dB dan sajikan bunyi selama
1-2 detik. Bila tidak ada respon, intensitas dinaikkan 5 dB, demikian
seterusnya sampai ada respon.. Jika sudah ada respon, turunkan intensitasnya
10 dD sebagai cross check dan bila tidak mendengar maka inilah nilai ambang
frekuensi tersebut. Untuk telinga kanan diberikan kode O dan telinga kiri
diberi kode X pada audiogram.
B. Cara yang sama dilakukan untuk frekuensi-frekuensi yang lain.

42
Modul VI.1−Gangguan Pendengaran

Kekurangan/Kelemahan Audiometri Nada Murni


Dalam beberapa hal, ternyata audiometri nada murni mempunyai kekurangan
antara lain:
A. Seringkali audiogram nada murni dari seorang yang sama dibuat oleh dua
orang yang berpengelaman sekalipun, menunjukkan perbedaan yang kadang
cukup besar, misalnya 15 dB. Faktor-faktor yang menyebabkan hal ini antara
lain:
1. Faktor teknis, misalnya, audiometri, ruang kedap suara, kualitas
headphone yang berlainan.
2. Faktor phsycis, baik dari pihak penderita maupun pemeriksa. Faktor ini
dapat dimengerti karena sifatnya yang tidak menetap. Lebih-lebih dalam
menentukan titik peralihan antara intensitas yang cukup kuat dan cukup
lemah untuk dapat didengar, dan mengingat bahwa nada murni
merupakan suara yang tidak punya arti sosial. Ketidakmantapan psikis ini
dapat diperlihatkan dengan mudah yaitu dengan memberikan kepada
penderita satu nada tunggal yang kontinyu pada intensitas sekitar ambang
pendengarannya. Penderita di kinta untuk menekan tombol isyarat bila
mendengar suara dan melepaskannya bila tak mendengar. Ternyata
hampir seluruh penderita yang dites berkali-kali menekan dan melepaskan
tombol isyarat walaupun suara diberikan secara terus-menerus.
B. Audiometri nada murni ini ternyata tidak dapat dipakai untuk menentukan
dengan tepat validitas sosial penderita oleh karena kemampuan penderita
untuk menangkap kata-kata tidak cocok dengan informasi yang didapat dari
audiogram nada murni.

Cross Hearing And Masking


Bila suatu nada disajikan pada telinga yang mengalami gangguan, kadang-kadang
dapat pula didengar oleh telinga yang tidak sedang diperiksa (pendengaran baik).
Jika stimulus nada yang diberikan lebih besar dari 40 dB dan menggunakan supra-
aural earphone dimana bantalannya berada di luar telinga, maka energi akustik
dapat menjalar ke telinga pada sisi yang berlawanan yang disebut sebagai
fenomena cross hearing. Mekanisme perjalanan ini disebabkan oleh vibrasi dari
bantalan earphone terhadap cranium pada tingkat intensitas stimulus yang tinggi.
Jumlah intensitas suara yang dibutuhkan untuk terjadinya cross hearing disebut
atenuasi interaural. Atuenasi interaural untuk frekuensi yang rendah biasanya 50
dB dan 60 dB untuk frekuensi tinggi, sedangkan untuk insert-earphone memiliki
atenuasi yang lebih tinggi. Sementara atenuasi interaural untuk tes hantaran tulang
berkisar antara 10 sampai 0 dB, sehingga dapat diasumsikan bahwa dengan
stimulasi suara yang sangat halus sudah dapat menyebabkan penjalaran vibrasi ke
dua telinga melalui cranium. Presepsi dari sinyal hantaran tulang ini juga
bergantung dari fungsi sensitivitas sensori neural dari masing-masing telinga
pasien.

43
Modul VI.1−Gangguan Pendengaran

Oleh karena itu, salah satu nunsur penting pada PTA adalah masking, sebagai
salah satu syarat utama, masking harus dilakukan apabila terjadi kemungkinan
untuk terjadinya penjalaran stimulus dari telinga yang sedang diperiksa melalui
tulang kepala ke tulang telinga yang berlawanan. Dengan kata lain, masking harus
dilakukan apabila stimulasi hantaran udara maupun tulang melewati batas atenuasi
interaural. Masking harus dilakukan dengan memberikan suara tambahan pada
telinga yang diperiksa bersamaan dengan diberikannya stimulus pada telinga yang
sedang diperiksa. Jika suara tambahan yang diberikan adekuat, maka suara
stimulus yang menjalar ke sisi yang berlawanan dapat tertutupi (masked) oleh
suara tersebut. Yang sering digunakan untuk masking adalah suara dengan
gelombang sempit yang terdengar seperti suara gemuruh. Teknik masking yang
efektif tidak menghalangi terjadinya cross hearing tetapi prinsipnya lebih ke arah
untuk menghalangi respon dari telinga yang tidak diperiksa.
Masking adalah mengaburkan suatu bunyi dengan menggunakan bunyi lainnya
atau peninggian ambang pendengaran suatu sinyal yang diakibatkan terdengarnya
sinyal kedua. Walaupun penyamaran yang paling efisien untuk suatu nada murni
adalah nada lain yang berfrekuensi sama, namun terdapat kesulitan yang nyata
dalam membedakan nada yang disamarkan dan nada yang menyamarkan. Bising
frekuensi sempit yang merupakan penyamar yang paling efisien untuk nada-nada
murni. Bising ini merupakan energi dalam rentang frekuensi terbatas dengan pusat
yang sama dengan frekuensi nada murni yang diuji. Cukup stabil untuk
mendapatkan tingkat penyamaran yang tepat. Penyamaran yang terlalu kecil
berakibat masih terjadinya pendengaran pada telinga yang tidak diuji. Namun jika
terlalu besar akan menghasilkan ambang pendengaran yang salah.

Hood (1962) menjelaskan metode dasar penyamaran (masking):


1. Buatlah audiogram hantaran udara dari kedua telinga dengan cara penyamaran
normal, jika perlu, pada telinga yang tak diuji, yaitu bila perbedaan hilangnya
pendengaran antara kedua telinga melampaui 50 dB.
2. Tentukan ambang hantaran tulang dengan menempelkan konduktor tulang pada
mastoid telinga yang diuji tanpa melakukan penyamaran pada telinga yang tak
diuji.
3. Lakukan penyamaran dengan rentang frekuensi yang sama pada telinga yaang
tidak diuji memakai penerima yang dapat diselipkan dalam telinga dan
tentukan ambang hantaran tulang.
4. Demikian lakukan prosedur “bayangan” : Tingkatkan bunyi penyamaran
sebesar 10 dB di atas ambang dan ulangi penentuan ambang hantaran tulang.
Bila ambang hantaran tulang meningkat 10 dB, tambahkan lagi intensitas
bunyi penyamar sebesar 10 dB dan ulangi. Lanjutkan prosedur ini hingga
mencapai titik di mana hantaran tulang tetap konstan meskipun peningkatan
bunyi penyamar masih berlanjut. Titik ini adalah titik “perubahan” yang
memberikan ambang hantaran tulang sejati dari telinga yang diuji.

44
Modul VI.1−Gangguan Pendengaran

Karena sinyal-sinyal penyamar juga mengikuti aturan peredaman antar telinga


seperti juga ransangan udara yang dihadirkan lewat tipe tranduser yang sama,
maka penyamaran berlebihan dapat terjadi jika tingkat penyamar melampaui
ambang hantaran tulang sebesar 45 dB atau lebih. Hubungan linear yang
dijelaskan sebelumnya akan kembali terbukti bila terjadi penyamaran berlebihan.
Sinyal-sinyal bicara juga mengikuti “aturan” peredaman antar telinga dan
pendengaran silang yang sama seperti sinyal-sinyal nada murni. Maka kriteria
yang sama dalam menentukan saat melakukan penyamaran mpada uji nada murni,
dapat diterapkan pada audiometri bicara; yaitu bila tingkat sinyal melampaui
ambang pendengaran hantaran tulang dari telinga yang tidak diuji sebesar 45 dB,
penyamran sebaiknya digunakan. Pemeriksa harus memberi perhatian khusus
terhadap hubungan saat ini saat melakukan uji diskriminasi bicara, karena kata-
kata dalam uji tersebut diberikan pada tingkat di atas ambang.
Kendati lebih disukai bisng dalam rentang waktu yang sempit untuk menyamarkan
nada-nada murni, frekuensi ini amat terbatas untuk menyamarkan spektrum bicara
yang luas. Untuk itu penyamar yang dipilih dapat berupa bising putih atau bising
bicara yaitu keadaan bising putih yang mengalami penyaringan sehingga spektrum
frekuensinya menyerupai frekuensi bicara.
Tanpa memandang bising apa yang digunakan, perlu dipastikan tingkat
penyamaran efektif dari audiometer yang dipakai. Hal ini dapat dilakukan dengan
mengambil rata-rata tingkat efektif pada frekuensi 500, 1000, dan 2000 Hz atau
melalui pengukuran sekelompok individu dengan pendengaran normal. Bisisng
dan pembicaraan dapat dipadukan pada satu earphone, dan ambang pendengaran
bicara ditentukan menggunakan beberapa tingkat kebisingan. Cara ini
memberitahu pemeriksa penunjuk yang diperlukan untuk mendapat pergeseran
ambang pendengaran pada telinga yang disamarkan.

Audiometri Supra Threshold


Yaitu audiometri yang bahan tesnya terdiri dari bunyi beberapa decibel di atas
ambang pendengaran

Loudness Balance Test (Fowler’s Test)

Pada ketulian unilateral disajikan bunyi 20 dB di atas ambang. Pasien disuruh


merasakan perubahan2 kanan dan kiri bila intensitas secara bertahap dinaikkan 20
dB. Bila rasa kekerasan (phons) selalu sama antara telinga yang tuli dengan
normal sampai intensitas = 80 dB maka ketuliannya = Retrokoklear
Bila telinga yang tuli merasakan intensitas sama dengan telinga normal padahal
peningkatannya kurang dari 20 dB pada intensitas 80 dB dst maka ketuliannya =
Koklear, gejala diatas disebabkan fenomena rekrutmen
Tes Fowler : tes subjektif, Alat : audiometer N murni

45
Modul VI.1−Gangguan Pendengaran

Fowler’s test patut diketahui untuk menjawab soal ujian. Namun sekarang sudah
jarang atau tidak lagi dipakai. Catatan telinga normal peka terhadap perbedaan
intensitas = 5 dB
Beda intensitas 1 – 2 dB tidak dirasakan

DL Test : Difference Liman Test  sudah tidak dipakai lagi


Tes ini juga untuk menentukan recruitment.
Dasarnya adalah ketulian SN koklear mempunyai sifat lebih peka dari telinga
normal dalam merasakan perbedaan intensitas yang kecil.
Tes ini subjektif dan hanya perlu diketahui sebagai pembanding saat multichoice.
(Perlu dikenal untuk menjawab multichoice)
Alat yang dipakai audiometer N murni

SISI Test (Short Increment Sensitivity Index)  sudah tidak dipakai


Tes ini juga untuk menentukan adanya rekrutmen secara subjektif
Pada telinga yang mengalami gangguan pendengaran disajikan nada murni pada
frekuensi tertentu 20 dB diatas ambangc secara kontinyu. Tanpa kita beritahukan
kepada pasien intensitas ditingkatkan 1 dB untuk 0,2 detik dengan interval 5 detik.
Selama 20 siklus pasien diminta mencatat berapa kali merasakan kenaikan
intensitas.
Pasien normal tidak dapat mendeteksi perubahan (score rendah).
Pasien rekrutmen akan melaporkan score 60 – 100 %
Cara ini sudah tidak dipakai, perlu dikenal untuk jawab multichoice

BEKESY Audiometry  pasien mengerjakan sendiri


Disajikan ke telinga yang berketulian : bunyi dengan frekuensi rendah sampai
frekuensi tinggi secara beruntun dan menyatu  20 menit.
Pasien secara aktif menekan tombol bila mulai mendengar bunyi dan menekan lagi
begitu bunyi menghilang.
Hasilnya dibuat kurva audiogram Bekesy untuk dievaluasi : 5 kategori ketulian
Cara ini sudah tidak dipakai lagi. Perlu dikenal untuk menjawab multichoice

Audiometri Tutur = Speech Audiometry


Alat yang dipakai audiometri nada murni, namun dihubungkan dengan tape
recorder atau CD.
Sebagai bahan tes = nada komplex berupa daftar kata-kata yang sudah ditera
sesuai presentase phonem2 dalam suatu bahasa percakapan hari2 (Phonetically
Balanced Words)
Di Indonesia dipakai daftar kata PB dari Univ. GajahMada = GajahMada PB
words
Ada 2 macam daftar kata, yaitu kata2 bi-silabik dan mono silabik

46
Modul VI.1−Gangguan Pendengaran

Cara penyajian secara HU yang intensitasnya diatur oleh dokter pemeriksa dan
diberikan secara serial à 20 kata untuk satu intensitas dB.
Tugas pasien menyimak suara Tape dan menirukan dengan jelas apa yang
didengarnya.
Tugas dokter menentukan dB intensitas level kata2 dan menghitung jumlah kata
yang diucapkan secara benar

Contoh Intensitas % benar


10 dB 5%
20 dB 10 %
30 dB 30 %
40 dB 60 %
50 dB 90 %
60 dB 100 %
80 dB
100 dB

Audiogram tutur (susunannya berbeda dengan PTA). Kurva berbentuk sigma.


Hasil harus dicatat pada audiometri tutur adalah
1. NPT (Nilai persepsi tutur)  bisa pakai yang bisilabik tapi bisa juga
monosilabik
Pada kurve normal diatas kita mulai tunjuk koordinat 50 % tarik garis
putus2 ke kiri sampai memotong sigma. Dari titik potong ini tarik garis
vertical sampai memotong ordinat dB. Dalam kasus diatas 32 dB. Inilah
NPT tsb
NPT kira2 25 dB diatas ambang pendengaran rata2 frekuensi percakapan
Jadi pada kasus diatas derajat pendengaran / ketulian = 32 – 25 = 7 dB 
normal

2. NDT (Nilai diskriminasi tutur)


Bahan tes sebaiknya menggunakan GajahMada PB list mono-silabik
NDT 100 % terdapat pada telinga normal dan ketulian konduktif. Bedanya
pada ketulian konduktif angka 100 % dicapai pada dB yang lebih tinggi
(pada kurve lebih ke kanan)
NDT : kurang dari 100 terdapat pada ketulian SN atau tuli campuran
Pada ketulian SN koklear NDT tidak mencapai 100 % dan bila intensitas
dinaikkan lagi justru NDT menurun. Hal ini terjadi karena fenomena
rekrutmen
Pada ketulian SN retrokoklear NDT tidak mencapai 100 dan bila intensitas
dinaikkan NDT tidak naik dan tidak turun. Kurve mendatar

47
Modul VI.1−Gangguan Pendengaran

Kegunaan Aud Tutur :


1. Membedakan ketulian SN disebabkan kelainan koklear atau retrokoklear
2. Mengecek kebenaran ambang pendengaran pada PTA  ambil NPT
kemudian kurangi 25 atau 20 dB
3. Menilai keberhasilan pemakaian ABD

Audiometri Impedans (=hambatan) dan IMITANSI AKUSTIK (acoustic


immitance)

Prinsip : di dalam ruangan tertutup energi


1. bunyi dapat dijejalkan dalam jumlah terbatas, tergantung dari volume ruangan
dan tekanan udara dalam ruang tsb
2. liang telinga dan M. timpani dijadikan satu ruang dengan memasang sumbat
dari luar melalui sebuah lubang pada sumbat tersebut dijejalkan (emitted)
bunyi 228 Hz
3. melalui lubang ke2 pada sumbat udara dalam ruang tertutup meatus -
m.timpani tadi di pompa udara masuk s/d tek + 200 daPa (deca Pascal) atau
disedot sampai – 400 daPa.

a. Tympanometry :
Sementara mengubah2 tekanan udara dalam ruang tertutup tadi penjejalan
(immitansi) bunyi 228 Hz ( Probe tone) akan naik dan turun
Imitansi bunyi turun bila tek udara padat atau vakum. Imitansi naik bila tek udara
mendekati tek udara di luar (1 atmosfer). Pada saat itu, normalnya, membrana
tympani paling optimal ketegangannya, sehingga getaran suara memberi
amplitudo paling besar. Naik-turunnya energi bunyi yang masuk (emitted) bila tek
udara diubah2 ini disebut kepatuhan (compliance)
Compliance maximum terjadi bila di m. tympani pada posisi paling mudah
bergetar, yaitu bila tekanan udara yang diberikan sama besar dengan tek udara
intra tympanik.

Tympanometri : yaitu mengukur besarnya tekanan intra tympanik, tanpa


mencoblos m.tympani (non invasive)
Caranya : cari puncak kurve tympanogram, proyeksikan ke tek udara :
Jika > - 100  tipe C: ggn fx tuba (tp blm ada cairan)
Datar tidak ada puncak  tipe B : kavum tympani tertutup cairan (OM serosa)
Kemungkinannya adalah
1. Type A : tekanan sekitar 0 daPa atau diatas - 100 daPa = normal
2. Type C : tekanan intratympanik lebih rendah dari – 100 daPa = vakum
3. Type B : kurve datar tidak berpuncak. Kavum tympani penuh dengan cairan
sekret

48
Modul VI.1−Gangguan Pendengaran

Compliance : satuan volume ml


Normal : 1 – 2 ml
Sangat tinggi : 3 – 4 ml
- m.tympani atrophy
- vesiculer chain putus
Rendah : tek intratympanik turun
Tidak muncul / mendatar : pada type B : OM effusi / serosa

b. Refleks Akustik
Ini adalah untuk mendeteksi reflex m.stapedius dengan merangsang telinga dengan
suara keras, yaitu + 70 dB diatas ambang
Melalui lubang ke-3 pada sumbat telinga disajikan bunyi dari berbagai frekuensi
yaitu 500, 1000, 2000 dan 4000 Hz. Bila intensitas bunyi mencapai 70 dB diatas
ambang pendengaran telinga yang ditest maka geraknya akan terekam akibat
berubahnya ketegangan M.tympani.
Reflex akustik negatif pada OM serosa atau ankylosis stapes pada otosclerosis.
Mis ambang pendengaran  15 dB diberi rx 70 dB + 15 dB (85dB)  disebut
ambang reflex akustik

Kegunaan reflex akustik :


1. Audiometri Impedans : pemeriksaan objektif
Sajikan bunyi frekuensi misal 1000 Hz pada ruang tertutup tadi. Naikkan
intensitasnya sampai muncul reflex akustik,katakan muncul pada intensitas 90
dB. Maka ambang pendengaran telinga tsb untuk frek 1000 Hz adalah
90 – 70 = 20 dB
Bila reflex akustik muncul pada 110 dB berarti ambangnya 110 – 70 = 40 dB,
atau berketulian ringan
Bila ambang reflex akustik untuk frekuensi 500 – 4000 dB berikut ini maka
audiogram impedancenya adalah

500 1000 2000 4000 Hz


Ambang refl akustik 115 110 90 80 dB
maka
PTA ekivalen 45 40 20 10 dB

Audiometer impedans berguna untuk pembanding hasil pemeriksaan PTA<


BERA, tuli pura2 (malingering) dst
2. Untuk deteksi ankylosis stapes pada otosclerosis yaitu
- tympanogram type A (normal)
- refl akustik negatif

49
Modul VI.1−Gangguan Pendengaran

3. Reflex decay (pelapukan reflex akustik)


Reflex akustik dibangkitkan dan ditahan terus sampai 12 detik
Bila kekuatan kompliance bertahan dengan tinggi yang sama sampai 12 detik
berarti decay reflex negatif
Bila reflex akustik yang dipertahankan 12 detik makin melemah, berarti decay
positif.
Reflex akustik decay positif terjadi pada ketulian retrokoklear.

Ambang Refleks Akustik


Suatu bunyi yang cukup keras dapat menimbulkan refleks, maka kontraksi
muskulus stapedius secara tiba-tiba akan meningkatkan ketegangan sistem,
sehingga menyebabkan perubahan yang menimbulkan refleks. Intensitas bunyi
terendah yang mampu membangkitkan refleks akustik disebut ambang refleks
akustik.

Penilaian Diagnostik :
1. Ketulian konduktif :
Tidak ada refleks yang tercatat jika telinga tengah mengalami gangguan,
meskipun sangat ringan. Sebaliknya jika terdapat suatu refleks berarti bagian
tengah tersebut adalah normal.
2. Ketulian Sensorineural :
• Patologi Kohlea
Jika refleks akustik timbul pada peransangan 60 dB atau kurang di atas
ambang nada murni, maka ada indikasi yang kuat terhadap adanya
kelainan kohlea. Gejala ini dikaitkan dengan fenomena recruitment.
• Patologi Retrokohlear
Pada ketulian ringan dimana refleks akustik masih dapat dibangkitkan,
maka bila penyajian stimulus diperpanjang sampai 12 detik dan terjadi
perlemahan refleks akustik, sering diistilahkan “Refleks Decay“ positif

Otoacoustic Emission (OAE)

Prinsip teknik ini adalah mengukur emisi yang dikeluarkan oleh telinga saat suara
menstimulasi koklea. Teknik ini sensitif untuk mengetahui kerusakan pada sel-sel
rambut luar, dapat pula digunakan untuk memeriksa telinga tengah dan telinga
dalam. Jika bayi dapat melewati tes OAE, berarti bayi tersebut tidak mengalami
gangguan pendengaran. Namun, tes OAE tidak dapat memeriksa adanya
gangguan saraf pendengaran atau respon otak terhadap suara. Jika dijumpai ada
masalah pendengaran setelah tes OAE dilakukan, maka harus dilakukan tes
tambahan.

50
Modul VI.1−Gangguan Pendengaran

Cara kerja alat ini dengan menghasilkan bunyi halus yang tidak dapat didengar
oleh telinga normal, tapi dapat dideteksi oleh mikrofon yang sangat sensitif yang
ditempatkan di dalam liang telinga. Selama tes dilakukan, sebuah sumbat fleksibel
yang sangat kecil dimasukkan ke dalam liang telinga dan selanjutnya suara akan
diproyeksikan ke dalam liang telinga melalui sumbat tersebut. Sebuah mikrofon
yang berada dalam sumbat tersebut merekam emisi otokaustik yang dihasilkan
pada telinga normal sebagai respon terhadap datangnya suara. Tes ini juga
menimbulkan rasa sakit, dilakukan sekitar 5 menit dan dapat dilakukan pada saat
bayi tertidur.
Untuk mendapatkan hasil pemeriksaan yang lebih maksimal, kedua metode
tersebut diatas biasanya dilakukan secara bersama. Dimana metode OAE
memastikan suara mencapai telinga dalam, sementara metode ABR akan
mengidentifikasi suara yang melalui jalur auditori ke otak.

Brainstem Evoked Response Audiometry (BERA)

Merupakan suatu alat elektroakustikyang bersifat obyektif, tidak dipengaruhi


sedasi ataupun anastesi umum. Penggunaan utama alat ini untuk mengetahui
adanya kelainan pada N.VIII dan batang otak dengan merekam dan memperbesar
potensial listrik yang dilontarkan oleh kohlea akibat ransangan bunyi di telinga
dan mengikuti perjalanan impuls auditori melalui nervus auditorius dan
vestibularis ke inti-inti tertentu di batang otak. Dikatakan pula bahwa BERA hanya
dapat mengukur ada tidaknya respon elektris terhadap ransangan bunyi di batang
otak.

Penyadapan impuls listrik dilakukan melalui elektroda-elektroda yang dipasang


pada kulit kepala dan mastoid, sehingga menciptakan suatu gelombang EEG dan
dengan merat-ratakan gelombang tersebut, terbentuklah suatu pola gelombang
yang dikemukakan oleh Jewet (1971) dan diberi label I sampai dengan VII. Hasil
dari penelitian Jewet ini keudian dipetakan untuk melihat waktu relative dari
gelombang I sampai V yang kemudian dikenal sebagai masa laten dari masing-
masing gelombang.

Berdasarkan penyelidikan dengan menggunakan elektroda pada binatang


percobaan dengan lesi-lesi buatan di batang otak manusia, maka dapat
disimpulkan 5 gelombang pertama yang masing-masing dibangkitkan oleh inti-inti
dalam batang otak yakni gelombang I : Organ Corti, gelombang II : nucleus
kohlear, gelombang III : Oliva superior, gelombang IV : inti lemniskus lateralis
dan gelombang V : kolikulus inferior. Sedangkan pembangkit gelombang VI dan
VII masih belum jelas.

51
Modul VI.1−Gangguan Pendengaran

Interpretasi BERA
Penilaian BERA didasarkan atas masa laten yaitu masa dari mulainya ransangan
diberikan (stimulus “click”) sampai tercatatnya suatu respons dalam bilangan
mildetik. Umumnya setiap gelombang memilki masa laten yang telah ditentukan
berdasarkan hasil penelitian standarisasi.

Penting diketahui bahwa BERA tidak memberikan informasi mengenai


kemampuan dengar seseorang. Bisa saja hasil BERA normal, namun terdapat
gangguan pada pusat pendengaran yang membuat anak tidak “mendengar”.
Dengan demikian pemeriksaan ini harus dipadukan dengan pemeriksaan lainnya
untuk mendapat diagnosis yang tepat.

Masa laten gelombang absolute dan masa laten antar gelombang dapat
memberikan ciri berbagai perbedaan disfungsi system auditori. Ketulian konduktif
biasanya memperlihatkan bentuk gelombang yang bagus dan masa laten antar
gelombang yang normal, namun dapat juga memberikan gambaran terlambatnya
latensi gelombang I. Ketulian kohlear memiliki bentuk gelombang I maupun
gelombang III dan V yang kurang baik, lemah atau kecil bahkan mendatar, atau
dapat juga membeikan gambaran pemendekan masa laten gelombang V. Pada
ketulian tipe saraf tampak gelombang I dan III yang normal, namun masa laten
gelombang V memanjang.

Berbagai kesulitan yang dapat terjadi pada saat pemeriksaan BERA :


• Waktu pemeriksaan yang lama
Untuk menunggu hingga pasien tertidur, maupun mempersiapkan kulit kepla
yang akan dipasang elektroda dan tehnik pemasangan elektroda yang benar,
memerukan waktu yang cukup lama. Belum lagi harus dilakukan pencatatan
ulang pada berbagai intensitas ransang “click“ untuk memperoleh hasil yang
dapat dipercaya. Setelah itu pasien masih harus diawasi secara ketat sampai
sadar benar. Dengan demikian waktu peeriksaan dapat saja memakan waktu
sampai 1 jam.
• Banyak artefak
Pada saat peneriksaan BERA, sangat sering terjadi pencatatan gelombang yang
berasal dari sumber lain yang bukan berasal dari respon auditori terhadap
ransang bunyi “click“ yang kita sajikan yang disebut sebagai artefak. Artefak
ini terjadi apabila banyak imbas listrik yang berasal dari lingkungan sekitar
tempat pemeriksaan, baik itu akibat tumpang tindihnya elektroda denga
headphone, aktivitas otot bila pasien bergerak atau adanya ketegangan ritmis
pada otot misalnya penderita yang tiba-tiba kejang atau pada penderita cerebral
palsy. Bila pada pemeriksaan ditemukan banyak artefak, maka artefak ini harus
dibuang, karena akan menghambat dan memperlambat pemeriksaan.
• Subyektifitas

52
Modul VI.1−Gangguan Pendengaran

Walaupun BERA merupakan peeriksaan yang bersifat obyektif namun


penilaian puncak gelombang harus ditentukan dengan mempertimbangkan
berbagai hasil peeriksaan yang lain, seperti audiometri, timpanometri dan yes
observasi lainnya.
• Kesalahan Interpretasi
Dapat terjadi pada anak dengan kecacatan ganda seperti anak hiperaktif, mental
retardasi, cerebral palsy dan lain-lain. Penyebabnya kemungkinan gangguan
pencacatan, oleh karena adanya gangguan mielinisasi saraf di otak. Oleh
karena itu perlu observasi yang seksama dan harus selalu dikombinasikan
dengan pemeriksaan lainnya.

2. MASKING KLINIK
(Terjemahan dari buku Katz)

Tidak diragukan lagi, masking merupakan prosedur klinik yang paling menantang
yang harus dikuasai oleh siswa audiologi. Banyak di antara kita yang lulus dari
pendidikan tanpa menguasai dengan baik tentang konsep dan perasat masking.
Namun ditangan seorang yang berpengalaman, konsep ini menjadi semakin jelas.
Saat ini, kita sebagai seorang profesional, mengembangkan teknik masking sendiri
dan sudah terbiasa melakukannya. Namun, Martin, dkk (1994) menyatakan bahwa
prosedur-prosedur masking yang telah kita gunakan, validitasnya diragukan.
Untuk itu perlu kita mengulas dan menilai kembali topik ini sesuai dengan konsep
yang terbaru.

Beberapa tahun yang lalu, siswa-siswa lulusan kita setelah melewati program,
mampu memahami masking dan menerapkan prosedur plateu dan step di klinik.
Metode plateu lebih lambat dan membutuhkan banyak waktu. Masking step
memberikan hasil yang hampir sama dan lebih menghemat waktu. Tujuan
penulisan bab ini adalah untuk memaparkan pendekatan masking kita secara
terperinci dan untuk para klinisi yang berminat untuk melakukan masking lebih
baik. Masking merupakan prosedur yang kompleks, maka para siswa sebaiknya
mengikuti teknik-teknik dasar tanpa penyimpangan yang banyak, sehingga mudah
untuk dipelajari. Bila telah di lapangan, mereka akan mampu mengembangkan
variasinya berdasarkan pengetahuan dan pengalaman kinis.

a. Prinsip umum & masking untuk tes ambang dengar hantaran udara

Mengapa perlu masking ?


Jika kita menguji seseorang yang diketahui tidak mampu mendengar di telinga
kanannya, maka kita akan menaikkan intensitas suara di earphone telinga kanan,

53
Modul VI.1−Gangguan Pendengaran

yang jika terus menerus akan menyebabkan vibrasi tengkorak dan isinya. Jika
vibrasi dari telinga kanan ini cukup kuat maka bunyi akan menyeberang melalui
tengkorak dan mengguncang cairan di dalam koklea telinga kiri, yang disebut
sebagai cross-over. Jika vibrasi ini cukup besar maka bunyi akan terdengar oleh
telinga kiri, dan disebut dengan cross-hearing.

Ketika kita menguji telinga kanan pasien namun malah didengar oleh telinga kiri
karena cross-hearing, maka ini akan menjadi masalah. Pasien yang tidak mampu
mendengar pada salah satu telinga sedangkan pendengaran telinga lainnya normal,
akan memperlihatkan gangguan pendengaran moderat karena terjadi konduksi
udara di telinga yang sakit karena adanya cross-hearing. Kesalahan ini dapat
menyebabkan kesalahan diagnosis, terapi yang tidak tepat, kemungkinan
kesalahan tindakan operasi, memberikan harapan yang salah pada pasien, dan
atau menjadi tuntutan hukum.

Untuk menguji pendengaran dengan benar pada keadaan kemungkinan terjadinya


cross-hearing, maka harus digunakan masking. Masking merupakan suatu
prosedur klinis berupa pemberian suara bising pada telinga yang lebih baik untuk
mencegah terdengarnya suara dari telinga yang sedang diuji.

Berikut suatu ilustrasi yang menjelaskan manfaat masking pada kasus Joan. Di
frekuensi 1000 Hz, pendengarannya telinga kiri normal (5 dB), telinga kanan
menderita tuli sensorineural sangat berat (95 dB). Gambar 9.1 menunjukkan situasi
ini. Pada masing-masing telinga, angka yang terdapat dalam kotak menunjukkan
sensitivitas (dalam dB) dari komponen sistem konduksi pendengaran (telinga
tengah dan telinga luar), dan angka yang terdapat dalam lingkaran menunjukan
sensitivitas (dalam dB) dari sistem sensorineural (koklea dan n.VIII). Telinga kiri
Joan menunjukkan sistem konduksi yang normal (0 dB) demikian pula ambang
sensorineuralnya juga normal (5 dB). Jika kita menguji pendengaran telinga kiri
dengan hantaran udara, maka kita akan mendapatkan ambang dengar 5 dB HL
(0+5 dB HL). Untuk hantaran tulang telinga kiri (bone conduction = BC) ,
didapatkan ambang dengar 5 db. Pengukuran BC dilakukan melalui sistem
mekanik yang menstimulasi koklea kiri oleh vibrator BC (dan didapatkan ambang
dengar 5 dB). Pemeriksaan ini menggambarkan sensitivitas pendengaran telingan
kiri Joan pada 1000 Hz secara akurat.

Pengujian fungsi pendengaran telinga kanan lebih sulit, karena perbedaan ambang
dengar kedua telinga sangat besar, maka sebelum kita mencapai ambang dengar 95
dB, tulang tengkorak sudah tervibrasi cukup kuat sehingga telinga kiri terangsang.
Kita dapatkan, Joan telah berespon ketika ambang dengar baru mencapai 70 dB di
telinga kanan. Karena kita sebelumnya telah mengetahui ambang dengar
sebenarnya dari telinga kanan adalah 95 dB, maka respon yang terjadi pada 70 dB

54
Modul VI.1−Gangguan Pendengaran

merupakan respon cross-hearing (seperti ketika dia mampu mendengar suara di


telinga kiri dengan BC). Untuk membuktikan bahwa ini bukan ambang dengar
yang sesungguhnya dan untuk mengetahui ambang dengar yang sesungguhnya,
kita butuh sesuatu yang menyebabkan telinga kiri tidak ikut terlibat ketika
melakukan pemeriksaan telinga kanan. Untuk itu diberikan suara bising masking
ke telinga yang lebih baik (telinga kiri) sehingga ambang dengar telinga kiri akan
naik sehingga suara yang cross-over tidak terdengar. Dengan ini maka kita yakin
bahwa yang kita uji adalah telinga kanan. Sebaliknya tanpa masking, akan
didapatkan adanya kurva bayangan telinga yang baik. Kurva bayangan pada
telinga yang lebih buruk merupakan gambaran dari konfigurasi telinga yang lebih
baik (khususnya kurva hantaran tulang).

Masking bukan prosedur bebas


Jika masking dilakukan secara bebas maka setiap pasien akan dimasking, dan
ini tidak bijaksana. Maka terdapat 3 prinsip dalam masking:
• Masking dilakukan bila dicurigai bahwa pasien kemungkinan mendengar pada
telinga yang tidak diuji (nontest ear = NTE)
• Masking dilakukan bila ada keraguan tentang kemungkinan cross-hearing.
• Jangan dilakukan masking jika didapatkan alasan yang kuat untuk tidak
melakukannya seperti pada pasien yang bingung. Pada keadaan ini ambang
dengar tanpa masking, hasilnya harus dipertanyakan dan dibutuhkan teknik
lain untuk mendapatkan hasil yang valid.

Selanjutnya kita akan membahas mengapa masking tidak bisa dilakukan secara
bebas. Prosedur masking memakan waktu, dibutuhkan beberapa tahap tambahan
pemeriksaan :
o Kita harus memberikan instruksi ulang ke pasien yang menjelaskan akan
adanya suara bising di telinga yang tidak diperiksa dan diminta untuk tidak
menghiraukan suara tersebut.
o Untuk tes konduksi tulang, perlu masuk ke ruang tes dan pasien menggunakan
headphone.
o Untuk tes ambang dengar, seseorang harus mencek ulang ambang dengar setiap
kali level masking diubah.

Dari sudut pandang pasien, suara bising kadang-kadang tidak nyaman dan
mengganggu, dan beberapa orang menjadi cepat lelah selama masking. Dan perlu
diperhatikan adanya kemungkinan perpindahan ambang dengar sementara pada
telinga yang tidak diperiksa setelah periode masking. Akibatnya, jika dibutuhkan
pemeriksaan lebih lanjut pada telinga tersebut, maka kemungkinan terdapat respon
yang bervariasi.

55
Modul VI.1−Gangguan Pendengaran

Masking dapat menjadi kontra-indikasi pada beberapa kasus. Contohnya pada


anak-anak, yang menjadi bingung dengan adanya masking, atau pada pasien
dengan kerusakan otak atau yang mempunyai masalah di proses pendengaran
sentral akan menghasilkan ambang pendengaran yang lebih buruk karena
mempertinggi efek sentral. Masking sentral adalah peralihan ambang dengar yang
tidak diharapkan dari telinga yang diuji, sebagai akibat dari masking di telinga
yang tidak diuji. Karena pertimbangan waktu pemeriksaan, efek pada pasien dan
kemungkinan terjadinya penyimpangan pengukuran ambang dengar sendiri, maka
harus dihindari penggunaan masking yang tidak perlu.

Mengapa dapat terjadi Pendengaran Menyilang (Cross Hearing) ?


Kita ingat kembali pada contoh kasus Joan, yang mampu mendengar suara pada
telinga yang lebih baik (cross-hearing) sebelum ambang dengar yang
sesungguhnya dicapai pada telinga yang diuji. Bila kita bandingkan intesitas di
telinga yang diuji dengan telinga yang tidak diuji, dibutuhkan level yang lebih
tinggi pada telinga yang diuji (meskipun ini tidak terdengar ditelinga tersebut).
Alasan mengapa dibutuhkan desibel yang lebih banyak untuk dapat didengar oleh
telinga yang tidak diuji adalah karena dibutuhkan energi yang cukup untuk
menggetarkan tengkorak dan selanjutnya dibutuhkan lebih banyak lagi energi
untuk merangsang koklea telinga yang tidak diperiksa. Perbedaan nilai ambang ini
atau energi yang hilang, dari telinga yang diperiksa untuk mencapai koklea telinga
yang tidak diperiksa disebut atenuasi interaural (interaural attenuation=IA)

Karena cross-hearing terutama terjadi akibat peristiwa vibrasi melewati tulang


tengkorak, maka ambang dengar hantaran tulang (BC) pada telinga yang tidak
diuji menentukan apakah suara yang menyeberang dari telinga yang diperiksa ini
dapat didengar atau tidak.Karena alasan ini maka pertimbangan utama untuk
cross-hearing berdasarkan pada ambang dengar hantaran tulang di telinga yang
tidak diuji dan bukan ambang dengar hantaran udara.

Bagaimana IA diterapkan, kembali ke gambar 9.1. Di sini kita lihat ketika


intensitas mencapai 70 dB di telinga yang diperiksa, Joan telah berespon karena
dia mendengar suara di telinga yang tidak diperiksa. Ini menunjukkan bahwa
dibutuhkan 65 dB dari telinga kanan, melewati tulang tengkorak untuk mencapai
koklea telinga kiri. Perbandingan ambang dengar hantaran udara telinga kanan (70
dB) dengan ambang dengar hantaran tulang telinga kiri (5 db) adalah 65 dB IA.
Sehingga IA Joan adalah 65 dB pada 1000 Hz. IA yang khas untuk individu yang
menggunakan supra-aural receivers dan cushions adalah sekitar 60 dB. Maka
tidaklah mengejutkan nilai IA Joan.

Dua faktor yang menentukan berapa besar intensitas suara yang diberikan ke
telinga yang diuji sebelum terdengar di telinga yang tidak diuji adalah : (a) nilai IA
Joan dan (b) ambang dengar hantaran tulang di telinga yang tidak diuji. IA

56
Modul VI.1−Gangguan Pendengaran

umumnya berkisar antara 40-80 dB pada 1000 HZ. Jika Joan mempunyai IA 40
dB, bukan 65 dB, maka dia akan berespon di 45 dB HL (40 IA + 5 dB BC NTE),
bukan di 70 dBHL. Sementara itu bila IAnya 80 dB, maka suara menyilang akan
terjadi pada 85 dB (80+5= 85 dB). Dengan 85 dB HL di telinga yang diuji,
intensitas suara belum mencapai ambang dengar Joan yang sesungguhnya, 95dB,
sehingga masih terjadi suara menyilang.

Variabel lain yang membantu menentukan tanda adanya penyeberangan suara


adalah ambang dengar hantaran tulang. Jika dia mempunyai tuli sensorineural
dengan ambang dengar 20 dB pada telinga yang tidak diperiksa dan IA 65 dB,
maka pada level berapa dia akan berespon? Dalam hal ini dibutuhkan 85 dB HL
pada telinga yang diuji sehingga terjadi penyeberangan suara di telinga yang tidak
diuji (65 IA + 20 dBNTE = 85 dB). Enam puluh lima dB dibutuhkan untuk
menyeberang dan sampai di koklea kiri pada 0 dB HL dan kemudian dibutuhkan
tambahan 20 dB untk mencapai ambang dengar hantaran tulangnya. Bila ambang
dengar hantaran tulang adalah –5 dB, maka hanya dibutuhkan 60 dB HL untuk
terjadinya suara menyilang 65IA – 5 dB BCNTE = 60).

Atenuasi Interaural Minimum (Minimum Interaural Attenuation=MinIA)


Mudah dimengeti bahwa rata-rata IA pada pengguna aural receiver adalah sekitar
60 dB. Ini dapat diduga dari table 9.1 dari Goldstein dan Newman (1994),
berdasarkan pada range IA pada kelompok subjek di 3 penelitian menggunakan
supra-aural headphones. Dengan mengunakan nilai terendah IA pada penelitian
ini, mereka merekomendasikan IA minumum sebesar 35 sampai 50 dB dari
beberapa frekuensi (table 9.2)

Tabel 9.1. Range of Interaural Attenuation Values for Air-Conducted Signals


Under Supraural Earphones
Frekuensi (Hz)
Penelitian 100 200 400 80
125 250 500
0 0 0 00
Coles & Priede 50- 45- 40- 45- 50-
(1968) 40- 80 80 80 75 85 45-
Liden, dkk (1959b) 75 45- 50- 45- 45- 45- 80
Chaiklin (1967) 32- 75 70 70 75 75 51-
45 44- 54- 57- 55- 61- 69
58 65 66 72 85

57
Modul VI.1−Gangguan Pendengaran

Tabel 9.2. Recommended Values for Interaural Attenuation for Air-


Conducted Signals
Frekuensi
125 250 500 100 200 400 80
0 0 0 00
Perbedaan dB antara
35 40 40 40 45 50 50
kedua telinga

IA minimal (Min IA) merupakan nilai yang penting untuk menentukan apakah
masking diperlukan, sementara nilai rata-rata IA membantu memahami bahwa
pada hampir sebagian besar kasus tidak terjadi cross hearing pada Min IA. Karena
kita tidak tahu pasien mana yang mempunyai min IA, maka setiap pasien harus
dianggap dahulu mempunyai IA yang kecil.

Pada table 9.1. dan 9.2. menunjukan bahwa IA makin besar dengan meningkatnya
frekuensi. Selain itu, lebarnya jangkauan nilai IA di penelitian tersebut
menunjukan bahwa beberapa orang mempunyai tengkorak yang tebal dan
beberapa orang lainnya tipis.. Walaupun hanya sedikit individu yang mempunyai
Min IA, kita harus menggunakan kriteria Min IA untuk masking tanpa didahului
tes terlebih dahulu, karena kita tidak tahu bagaimana memperkirakan IA seseorang
tanpa dites terlebih dahulu.

Bertahun-tahun kita menggunakan perbedaan 40 dB antara level respon telinga


yang diperiksa dengan ambang dengar BC di telinga yang tidak diperiksa sebagai
kriteria masking. Ini tidak efisien, dapat menyebabkan beberapa kesalahan, dan
increased the wear and tear pada pasien kami karena pada frekuensi yang lebih
dari 2000 Hz, Min IA adalah 45 atau 50 dB (dan pada 125 Hz, Min IA adalah 35
dB). Dengan menggunakan Min IA yang sesuai dengan frekuensi, pemeriksaan
masking yang tidak perlu bisa dihindari. Dengan kriteria ini maka pemeriksaan
pun menjadi sederhana dan menghemat waktu.

Apakah Masking itu ?


Kita semua pernah mengalami masking, disadari atau tidak disadari. Di Subway
kota New York, masking kadang-kadang keras dan menyakitkan. Bising begitu
kerasnya sehingga kita harus menaikkan level bicara kita bahkan berteriak dan
masih mungkin belum dapat pula melebihi level tekanan suara (SPL) yang masuk
ke (flooding) telinga pendengar.

Kita mungkin tidak sadar dengan bising di sekitar kita. Jika bising berupa suara
dengungan dari sistem ventilasi atau kulkas, mungkin kita tidak sadar sampai
benar-benar memperhatikan bunyi tersebut. Jika kita ukur SPL ruangan maka akan
didapatkan bising dengan level yang tinggi pada frekuensi rendah. Jika

58
Modul VI.1−Gangguan Pendengaran

pendengaran kita normal dan dites tanpa headphones (dari pengeras suara atau
oscillator BC), maka akan didapatkan respon pendengaran yang lebih buruk
(ambang dengar meningkat) pada frekuensi nada rendah dibanding nada tinggi.
Peningkatan ambang dengar ini mengingatkan kita pada energi di frekuensi band
of the masker yang menunjukan seberapa buruk ambang dengar yang mungkin
terjadi. Pada masking klinik, agar efisien, cakupan frekuensi yang sempit, di
sekitar nada yang diperiksa, digunakan untuk mencegah terjadinya crosshearing
(akan lebih dijelaskan di bagian selanjutnya).

Gambar 9.3a. menggambarkan pendengaran tiga orang (dengan ambang dengar


masing-masing -10 dB, 10 dB dan 25 dB). Seorang penghibur jalanan di subway
berbicara pada mereka, namun energi suaranya di bawah dari kebisingan subway,
sehingga mereka tidak dapat mendengarnya. Gambar 9.3B menunjukkan ketika
penghibur tersebut menaikkan suaranya, baru terdengar oleh mereka dengan baik
dan sama.

Meskipun ambang dengar mereka agak berbeda, namun ambang dengar masking
agak sama di antara mereka, berbeda hanya sekitar 5 dB (lihat A, yang mewakili
ambang ketiga pendengar tersebut). Konsep ini lebih masuk akal bila kita ingat
bagaimana suara redup dapat membentuk amplitudo yang kecil di membran basilar
sedangan suara yang keras menghasilkan amplitudo yang besar di koklea. Jika
bising subway kota New York menghasilkan amplitudo yang besar pada membran
basilar, maka agar dapat terdengar, diperlukan suara yang yang besar yang
melebihi bising ini.

Spektrum kritis (Critical Bands)


Kita ketahui dari penelitian psikoakustik bahwa energi pada spektrum kritis
menentukan berapa besar suara yang harus dimasking. Energi terpusat pada
frekuensi 1000 Hz, dengan jangkauan ferekuensi yang relatif kecil, menentukan
ambang dengar mana yang harus dinaikkan pada frekuensi tertentu. SPL diluar
dari spektrum kritis tidak akan mengubah ambang dengar, hanya akan menambah
kekerasan bising. Apakah ini nada murni atau bicara, spektrum kritis untuk bising
yang berhubungan akan mempengaruhi efek masking. Pada kasus tiga orang di
atas, perbedaan ambang rangsang secara individu tidak menggambarkan respon
masking mereka. Malah pendengaran mereka meningkat sekitar level yang sama,
tergantung pada energi di spektrum kritis.

Besarnya amplitudo yang terjadi di membran basilar dengan intensitas suara 10


dB atau bising, lebih dari intensitas suara 40 dB atau 75 dB. Makin besar
amplitudo yang dihasilkan, maka semakin besar energi pada spektrum kritis yang
dibutuhkan agar suara tidak terdengar.

59
Modul VI.1−Gangguan Pendengaran

Masking Lautan seperti Lautan Air


Pengalaman pembaca di lautan, danau atau kolam renang akan membantu
memahami pentingnya konsep masking. Sebagai contoh, terdapat 3 sukarelawan,
masing-masing dengan tinggi 4 kaki, 5 kaki dan 6 kaki. Disiapkan kolam renang
yang airnya telah dikosongkan, dan ketiga sukarelawan tersebut masuk
kedalamnya. Mereka berdiri di dasar kolam renang, dan tinggi mereka ditandai
pada dinding kolam renang. Dipompakan air ke dalam kolam renang setinggi 1
kaki, tinggi mereka diukur kembali. Tidak didapatkan perubahan tinggi badan
ketiganya. Kemudian ditambahkan air kolam menjadi 2 kaki, lalu 3 kaki dan masih
tidak ada perubahan tinggi badan. Namun ketika air kolam mencapai 4 kaki,
bagian kepala sukarelawan yang tingginya 4 kaki, tidak lagi setinggi 4 kaki dari
dasar kolam renang, menjadi lebih tinggi (karena dia harus bertahan hidup).
Sedangkan 2 orang lainnya belum ada perubahan. Namun perubahan juga terjadi
di saat air telah mencapai 5 dan 6 kaki. Maka setelah 6 kaki air masuk ke
kolam,maka tinggi ketiga sukarelawan tersebut lebih dari 6 kaki.

Level Masking yang Efektif (Effective Masking Level=EML)


EML menunjukan potensi masking. Ini akan menjawab pertanyaan : berapa besar
intensitas bising yang harus diberikan agar terjadi perubahan ambang dengar
pada telinga yang sama ? Contohnya EML 50 dB akan mengubah ambang dengar
menjadi 50 dB HL ( untuk individu dengan ambang dengar 50 dB atau kurang).
EML menjelaskan level ambang dengar seseorang yang seharusnya terjadi
(kesalahan audiometri sekitar 5 dB) akibat masking.

EML sangat penting dalam audiologi karena jika terdapat cross-hearing pada
telinga yang tidak diuji, maka ambang dengar telinga tersebut harus dinaikkan
sehingga cross-hearing dapat dihindari. Jika setelah pemberian masking, ternyata
seseorang berespon pada level ambang dengar yang sama dengan sebelum
masking pada telinga yang diuji maka ini bukanlah cross-hearing, melainkan ini
ambang dengar asli telinga yang diuji. Namun jika terdapat cross-hearing maka
masking yang adekuat akan merubah respon seseorang bahwa suara didengar pada
telinga yang diuji ?

EML menunjukkan kepada audiologis mengenai metoda yang mengontrol


sensitivitas pendengaran seseorang di telinga yang tidak diuji. Kita ketahui dengan
35 dB EML, meskipun ambang dengar tanpa masking 10, 20 atau 30 dB, intensitas
bising sebesar 35 db EML menunjukkan akan terjadinya amplituido yang cukup di
membrana basilaris, bahkan untuk ambang dengar 30 dB, sehingga respon akan
terjadi pada masking sebesar 35 dB

60
Modul VI.1−Gangguan Pendengaran

Kesimpulan Pengalaman Masking-Air


Jika kita perhatikan antara eksperimen dengan air dan masking, ditemui ada
kemiripan. Tiga orang sukarelawan mempunyai ambang dengar masing masing A
(10 dB), B (20 dB), C (30 dB). Jika kita tes ulang ambang dengar mereka setelah
diberikan suara sebesar 5 dB EML, tidak mempengaruhi ambang dengar mereka.
Ini mirip dengan percobaan di air, di mana bila air yang ditambahkan sedikit maka
tidak membuat perubahan apapun. Jika EML lebih rendah dari ambang dengar
seseorang (atau di bawah dagu pada percobaan air), maka tidak berefek apapun.
Bahkan bila kita berikan masking sebesar 10 dB, juga belum merubah ambang
dengar. Namun bila diberikan 15 atau 20 dB EML akan merubah respon A, tapi
belum cukup merubah level B dan C. Dengan EML 25 dB akan merubah respon A
dan B, dan dengan 35 dB akan merubah ambang dengar ketiga-tiganya.
Maka dapat kita lihat sesuai dengan percobaan di kolam renang, tidak penting
mulainya dari mana, suatu masking yang efektif akan menaikkan ambang dengar
siapapun yang memiliki ambang dengar kurang atau sama dengan EML.
Bagaimana halnya jika ambang dengar seseorang lebih besar dari EML? Tidak
terjadi apapun. Bila ambang dengar seseorang 60 dB, kemudian diberikan masking
sebesar 35 dB, maka masking ini tidak akan terdengar olehnya.

Masking Minimun (Min Mask)


Masking minimun merupakan nilai minimal yang perlu ditambahkan dari ambang
dengar (5 dB) pada telinga yang tidak diuji sehingga masking bermakna. Untuk
menghilangkan cross-hearing secara bermakna dibutuhkan minimal 5 dB untuk
menaikkan ambang dengar di telinga yang tidak diuji. Di bawah nilai ini maka
tidak akan merubah ambang dengar telinga yang tidak diuji, sehingga cross-
hearing tetap terjadi. Min Mask untuk seseorang dengan ambang dengar 10 dB
adalah 15 dB EML. Jika ambang dengar seseorang adalah 40 dB di telinga yang
tidak diuji maka berapa besar EML yang dibutuhkan untuk min Mask? Adalah
sebesar 45 dB, atau 5 dB lebih besar dari ambang dengarnya.

Penelitian Masking Versus Penerapan Masking Klinik


Masking klinik langsung ditujukan pada telinga yang tidak diuji. Contoh ”Min
Mask” di atas dapat diartikan memiliki intensitas suara dan bising pada telinga
yang sama, ini menunjukan bahwa suatu suara yang mengalami penyeberangan ke
telinga yang tidak diuji dapat dimasking. Secara teori, suara datang dari telinga
yang diuji melewati tengkorak dan sampai ke telinga yang tidak diuji.

Tipe Bising Masking


Sebagian besar audiometer mempunyai 3 tipe masking : (a)”white noise”/bising
putih atau spektrum luas, (b) bising spektrum terbatas, dan (c) bising spektrum

61
Modul VI.1−Gangguan Pendengaran

bicara. Bising yang diperlukan adalah bising yang efisien tanpa mengurangi
keakuratan pemeriksaan.

Untuk memilih masking mana yang paling efisien, maka harus dipahami dulu
konsep spektrum kritis. Spektrum kritis merupakan bagian dari spektrum bising
yang terjadi terus menerus di sekitar suatu nada murni. Fletcher (1940)
menjelaskan bahwa komponen bising spektrum luas yang akan memberikan efek
masking pada nada murni adalah yang berada di jangkauan frekuensi tertentu
dengan frekuensi nada murni di tengah-tengah. Selanjutnya dijelaskan lebih lanjut
jika nada murni terdengar di antara bising dengan spektrum kritis, energi akustik
di frekuensi terbatas tersebut sama dengan energi akustik tes nada murni.

Dengan memahami spektrum kritis, maka suatu bising putih atau spektrum luas
bukan pilihan yang paling efisien untuk masking nada murni. Bising putih
merupakan signal akustik yang sebanding dengan jumlah energi yang ada pada
semua frekuensi yang dapat didengar. Bila mengacu pada penemuan Fletcher,
frekuensi 1000 Hz tercakup oleh pendengar dengan bising spektrum luas. Bahkan
jika batas spektrum dipersempit, baik di frekuensi tinggi atau rendah, efek
masking tidak berubah. Tidak akan terjadi perubahan ambang dengar meskipun
lebarnya spektrum dipersempit sampai spektrum kritis. Bila spektrum kritis
dipersempit, diperlukan intensitas yang lebih untuk mempertahankan masking di
level yang sama. Frekuensi yang dihilangkan sebelum mencapai spektrum kritis,
akan menghilangkan masking yang tidak efisien. Adanya frekuensi ini malah akan
menambah keras suara di telinga, yang membuat rasa tidak nyaman.

Suara bising yang paling efisien untuk masking nada murni adalah bising
spektrum terbatas. Spektrum bising ini sedikit lebih lebar dari pada spektrum
kritis, dan mempunyai intesitas yang lebih rendah dari pada intensitas bising putih,
sehingga memberikan efek masking yang relatif lebih besar. Keuntungan bising
terbatas, dibanding spektrum kritis, adalah kebingungan pasien berkurang, karena
frekuensi bising ini mudah diibedakan dari nada murni.

Ketika memutuskan bising seperti apa yang harus digunakan untuk uji speech,
perlu diingat bahwa speech merupakan signal spektrum luas. Maka bising putih
merupakan pilihan yang tepat untuk ini. Bising putih ini disaring pada frekuensi di
atas 1000 Hz dengan kecepatan 12 dB per oktaf, sehingga dibutuhkan energi yang
lebih di frekuensi rendah untuk mendekati energi di frekuensi udara. Reduksi pada
frekuensi tinggi ini menghasilkan frekuensi yang terbatas dari pada bising putih,
sehingga bising spektrum bicara lebih efisien untuk masking selama uji bicara.

62
Modul VI.1−Gangguan Pendengaran

Kapan dilakukan masking pada saat uji nada murni hantaran udara
Kita kembali lagi ke kasus Joan, kita mengetahui bahwa ambang dengar hantaran
tulangnya adalah 5 dB HL pada telinga yang tidak diuji, tanpa dimasking dengan
70 dB HL Joan berespon. Apakah kita membutuhkan masking pada telinga yang
tidak diuji? Tentu, karena kita ketahui bahwa dia mengalami cross hearing di
telinga yang lebih baik. Tetapi bagaimana kita mengetahui suatu masking
diperlukan untuk pasien kita? Ini mudah kita bisa melihatnya pada tabel 9.2.

Tabel 9.2. menunjukkan di frekuensi 1000 Hz, perbedaan 40 dB atau lebih


hantaran udara telinga diuji dengan ambang dengar hantaran tulang yang tidak
diuji adalah bermakna, karena cross-hearing sangat mungkin terjadi. Pada Joan
perbedaan ini 65 dB, melebihi 40 dB sehingga kita harus melakukan masking.

Sepuluh menit adalah waktu yang diperlukan untuk mengingat tabel 9.2.
berdasarkan tabel ini kita dapat memutuskan di frekuensi mana yang memerlukan
masking, dan untuk Joan di tabel 9.3, lingkari jawaban Y atau T untuk tiap
frekuensi.

Tabel 9.3. Respon Nada Murni Joan tanpa Masking


250 500 1000 2000 4000 8000
AC 35 45 70 40 60 60
kanan -5 -10 5 0 10 15
BC kiri Y T Y T Y T Y T Y T Y T
Mask?

Jika diperhatikan kembali Tabel 9.2, setiap frekuensi membutuhkan masking


kecuali frekuensi 2000 dan 8000 Hz. Jika keputusan anda berbeda, maka
sebaiknya diperhatikan kembali apakah penulis membuat kesalahan.

Prosedur masking pada bab ini merupakan step masking, kecuali ada indikasi
maka metode plateu digunakan. Metode plateu lebih lama, di mana ditambahkan
masking bertahap 5 atau 10 dB. Step masking lebih cepat karena langkah
maskingnya lebih besar.

Berapa besar level inisial masking untuk hantaran udara ?


Level inisial masking (Init Mask) merupakan sinyal masking pertama yang
diberikan untuk memasking cross hearing pada frekuensi tertentu. Idealnya level
Init Mask adalah jumlah masking yang adekuat. Ini harus sama dengan level Min
Mask atau lebih. Ini harus (a) cukup besar untuk merubah ambang dengar
bermakna, namun (b) tidak terlalu besar sehingga menggangu telinga yang diuji
karena over masking, harus (c) terdapat indikasi segera apakah terjadi cross
hearing (d) mengurangi tahapan langkah-langkah masking. Pemilihan level Init

63
Modul VI.1−Gangguan Pendengaran

Mask yang tepat adalah berdasarkan pengalaman pribadi. Kami memilih 30 dB


EML di atas ambang dengar hantaran udara di telinga yang tidak diuji sebagai
level Init Mask. Agar tidak bingung maka kami merekomendasikan level ini untuk
digunakan secara konsisten sampai anda mempunyai pengetahuan yang baik
tentang masking, 30 dB SML telah memenuhi keempat kriteria di atas.

Unit Mask merupakan intensitas suara yang rutin ditambahkan dari ambang dengar
telinga yang tidak diuji bila masking diperlukan . Dengan ambang dengar 10 dB
HL di telinga yang tidak diuji maka masking dimulai dengan 40 dB EML. Jika
ambang dengar -5 dB di telinga yang tidak diuji, berapa besar bising yang
diberikan? Maka dibutuhkan 25 dB. Pada kasus Joan, di mana pada frekuensi 1000
Hz, Joan telah berespon di 70 dB pada telinga yang diuji, dan diketahui ambang
dengar hantaran udara dan hantaran tulang adalah sama (5 dB HL), maka berapa
besar Init Masknya? Mudah saja, tinggal tambahkan 30 dB dari ambang dengar
hantaran tulang telinga yang tidak diuji, yaitu 35 dB EML. Kita butuh nilai
ambang dengar hantaran tulang telinga yang tidak diuji untuk menentukan apakah
masking dibutuhkan dan ambang dengar hantaran udara untuk menentukan berapa
besar masking yang diberikan. Tentukanlah berapa besar Init Mask yang
dibutuhkan pada tabel 9.4. Tidak perlu memperhatikan frekuensi 2000 dan 4000
Hz, karena tidak dibutuhkan masking.

Tabel 9.4. Ambang Dengar Hantaran Udara Joan pada NTE


250 500 1000 2000 4000 8000
LE-AC -5 -10 5 0 10 15
Init ___dB ___dB ___dB ___dB ___dB ___dB
Mask

Jika dites ulang ambang dengar telinga kontralateral masking, dan tidak
didapatkan perubahan ditelinga yang diuji, maka tidak ada cross-hearing. Misal
pada kasus Joan, di ferekuensi 1000 Hz, ternyata ambang dengar sesungguhnya
telinga yang diuji 70 dB (bukan 95 dB), maka dengan diberikan 35 dB EML, tidak
terjadi perubahan ambang dengar pada telinga yang diuji. Jika terdapat cross-
hearing, maka dengan pemberian suara masking sebesar 30 dB, akan
menghilangkan respon mendengar di 70 dB, karena dibutuhkan intensitas suara
yang lebih besar lagi di atas masking.

Level Masking tambahan (Subsequent Masking=Sub Mask) pada Uji Hantaran


Udara Nada Murni
Seringkali, dengan menggunakan Init Mask 30 dB SL, tidak dibutuhkan masking
tambahan (Sub Mask). Keadaan ini dimungkinkan jika perubahan ambang dengar
kecil (5 atau 10 dB). Ini menunjukkan bahwa cross-hearing yang terjadi minor (5

64
Modul VI.1−Gangguan Pendengaran

atau 10 dB) dan ambang dengar yang baru ini merupakan ambang dengar yang
sebenarnya. Sehingga tidak diperlukan masking tambahan.

Namun, bila ambang dengar di telinga yang diuji berubah sekitar 25 atau 30 dB,
maka mungkin diperlukan masking tambahan. Jika terdapat perubahan 20 dB atau
lebih sebagai respon Init Mask maka direkomendasikan untuk dilakukan Sub
Mask.

Seperti pada pemberian Init Mask, kita butuh untuk mengubah ambang dengar
telinga yang tidak diuji namun jangan pula memberikan masking yang telalu
berlebihan . Kita telah memberikan 30 dB EML di atas ambang dengar hantaran
udara telinga yang tidak diuji, dan ini meningkatkan masking sentral, overmasking
dan atau ketidak-nyamanan pasien. Karena itu, Sub Mask hanya diberikan 20 dB
saja, tidak lebih dari 30 dB.

Kembali ke kasus Joan, misalnya ambang dengar Joan yang sesungguhnya adalah
sangat buruk, yaitu 120 dB, namun ketika diberikan intensitas 70 dB, ia sudah
berespon karena terjadi cross-hearing pada telinga yang tidak diuji. Kemudian
ditambahkan 30 dB EML pada telinga yang tidak diuji (sebesar 35 dB dB HL
EML), kemudian ternyata ambang dengarnya meningkat. Ambang dengar telinga
yang tidak diuji menjadi 35 dB. Kita tahu sebelumnya bahwa IA Joan adalah 65
dB pada 1000 Hz, sehingga dibutuhkan 65 dB agar terjadi suatu penyeberangan
pada 0 dB HL pada telinga yang tidak diuji. Dengan masking, ambang dengar
sensorineuralnya adalah di atas 35 dB, jadi dibutuhkan 100 dB HL (65 IA + 35
BCNTE) sebelum dia mendengar suara lagi di telinga yang tidak diuji. Apakan
dalam hal ini dibutuhkan Sub Mask atau tidak ?

Untuk menentukan apakan diperlukan Sub Mask maka dapat dilihat ke tabel 9.5A
atau gunakan logika kita. Pada kasus ini respon terjadi dengan perubahan 30 dB
pada telinga yang diuji, ketika diberikan masking sebesar 30 dB pada telinga yang
tidak diuji. Hal ini bisa jadi masking yang diberikan cukup atau malah terjadi
cross-hearing kembali pada telinga yang tidak diuji. Untuk itu kita perlu
memberikan Sub Mask. Maka ditambahkan masking 20 dB menjadi 55 dB EML
(Init Mask 35 dB ditambah 20 dB menjadi 55 dB).

Ambang dengar telinga yang tidak diuji sekarang meningkat menjadi 55 dB. IA
masih tetap 65 dB, sehingga cross hearing dapat terjadi lagi pada 120 dB.
(Sebelumnya, cross hearing terjadi di 100 dB, maka Sub Mask ditambah 20 dB,
sehingga mungkin akan terjadi respon di 120 dB). Misalkan, audiometer mencapai
angka 120 dB, maka akan dibutuhkan Sub Mask lagi. Maka masking ditambahkan
lagi 20 dB menjadi 75 dB. Tabel 9.5B menunjukan perubahan level yang terjadi
dengan penambahan masking 20 dB. Dengan masking 75 dB pada telinga yang
tidak diuji ternyata tidak terjadi respon pada 120 dB HL. Pada saat tidak ada

65
Modul VI.1−Gangguan Pendengaran

respon, maka kita tahu tidak ada cross hearing yang terjadi, dan tidak perlu
dilakukan penambahan masking lagi. Maka kita telah membuktikan bahwa Joan
mempunyai ambang dengar yang tidak terukur di telinga kanannya pada 1000 Hz.

Tabel 9.5. Kapan Sub Masking dibutuhkan.


A. Kriteria setelah Init Masking
Perubahan dB dengan 30 dB SL EML Kebutuhan Sub MAsk
0-10 dB Sangat tidak perlu
15 dB Mungkin tidak perlu
20 dB Mungkin perlu
> 25 dB Sangat perlu
B. Kriteria setelah Sub Mask
Perubahan dB dengan 20 dB SL EML Kebutuihan Sub Mask
0-5 dB Sangat tidak perlu
10 dB Mungkin tidak perlu
15 dB Mungkin perlu
>20 dB Sangat perlu

Rangkuman Masking untuk Hantaran Udara


Berikut prinsip-prinsip masking pada ambang dengar hantaran udara nada murni :
- Kriteria kapan dibutuhkan masking adalah berdasarkan Min IA (35 sampai 50
dB, tergantung pada frekuensi
- Jika selisih ambang dengar hantaran udara pada telinga yang diuji dengan
ambang dengar hantaran tulang telinga yang tidak diuji lebih atau sama
dengan Min IA, maka kita perlu untuk memberikan masking untuk
meyakinkan bahwa hantaran udara yang didengar tidak di telinga yang tidak
diuji.
- EML merupakan level di mana bising masking akan menaikkan ambang
dengar telinga yang tidak diuji; 60 dB EML akan menaikkan ambang dengar
sebesar 60 dB HL.
- Init Mask adalah sebesar 30 dB SL EML di atas ambang dengar telinga yang
tidak diuji.
- Jika tidak terjadi perubahan ambang dengar pada telinga yang diuji, maka ini
adalah ambang dengar yang sebenarnya dan tidak diperlukan masking lagi.
- Namun, jika terdapat perubahan lebih dari 20 dB pada ambang dengar telinga
yang diperiksa setelah diberikan Init Mask, maka perlu ditambahkan Sub
Mask.
- Sub Mask adalah sebesar 20 dB lebih di atas level masking sebelumnya. Jika
tidak terjadi perubahan ambang dengar pada telinga yang diuji maka ini
adalah ambang dengar yang sesungguhnya dan masking tidak diperlukan lagi.

66
Modul VI.1−Gangguan Pendengaran

- Namun jika penambahan ambang dengar 15 dB atau lebih setelah diberikan


Sub Mask, maka perlu diberikan tambahan Sub Mask lagi sebanyak 20 dB.
- Jika tidak didapatkan lagi peningkatan ambang dengar yang bermakna setelah
Sub Mask, atau tidak ada respon lagi setelah batas kemampuan audiometer,
maka kita mendapatkan informasi yang sesuai.

Latihan Masking untuk Hantaran Udara


Anda seorang audiologis yang akan menguji pendengaran Bill. Bill mengeluh
adanya gangguan pendengaran unilateral. Kita akan latihan masking di frekuensi
2000 Hz. Ambang dengar telinga kanan untuk hantaran udara dan tulang adalah
10 dB, Ketika menguji ambang dengar hantaran udara telinga kiri, dia berespon di
60 dB HL. Apakah ini membutuhkan masking? Lingkari : Ya atau Tidak. Terdapat
perbedaan 50 dB antara respon hantaran udara telinga yang diuji dengan ambang
dengar hantaran tulang telingan yang diuji. Maka pada kasus ini dibutuhkan
masking, karena pada 2000 Hz, Min Mask adalah 45 dB.

Besar masking yang diberikan berdasarkan ambang dengar hantaran udara telinga
yang akan dimasking. Kita perlu mengubah ambang dengar telinga yang tidak
diuji secara bermakna sehingga yakin respon yang terjadi bukan suatu cross
hearing. Telinga mana yang akan dimasking? Kanan atau kiri? Berapa besar
masking yang diberikan di atas dari ambang dengar hantaran udara telinga yang
tidak diuji? ____dB SL EML.

Kita lihat selanjutnya apakah kita setuju dengan ini. Untuk menentukan berapa
besar masking yang diberikan, kita hanya membutuhkan nilai ambang dengar
hantaran udara dari telinga yang tidak diuji. Kita akan menambahkan 30 dB dari
nilai tersebut. Pada Bill, ambang dengar hantaran udara telinga yang tidak diuji
pada 2000 Hz adalah 10 dB, maka kita memberikan masking sebesar 40 dB EML.
Maka ambang dengar telinga yang tidak diuji menjadi _____dB HL.

Ambang dengar telinga yang tidak diuji dengan masking menjadi 40 DB.
Kemudian didapatkan respon pada saat diberikan intensitas sebesar 90 dB HL
ketika dilakukan tes ulang pada telinga yang diuji setelah pemberian Init Mask di
telinga yang tidak diuji. Apakah ini ambang dengar yang sesungguhnya ataukah
dibutuhkan masking lebih lanjut?

Level yang rendah dari masking spektrum sempit ini umumnya dapat ditoleransi
oleh sebagian besar orang, dan tanpanya kita tidak pernah mengetahui ambang
dengar yang sebenarnya. Pada awal masking, ambang dengar telinga yang tidak
diperiksa berubah 30 dB, namun respon ditelinga yang diperiksa juga bertambah
30 dB, maka diperlukan penambahan masking. Bahkan jika penambahan ambang
dengar di telinga yang diperiksa ini bertambah 20 atau 25 dB, maka lebih baik
menggunakan Sb Mask, karena kemungkinan terjadinya cross-hearing lagi.

67
Modul VI.1−Gangguan Pendengaran

Berapa dB yang akan diberikan untuk Sub Mask ? ____ dB. Jadi, berapa total dB
masking yang diberikan? ____dB EML.

Ketika kita menambah 20 dB (total 60 dB EML), Bill berespon pada 95 dB,


sedangan pada Init Mask pada 90 dB. Dengan ambang dengar yang kita dapat
sekarang, apakah masih diperlukan tambahan Sub Mask?

Jika hanya terdapat pertambahan yang sedikit (5 dB pada kasus ini, maka, tidak
diperlukan lagi tambahan Sub Mask.

Overmasking
Ketika melakukan masking, kita harus- hati-hati jangan sampai memberikan
terlalu tinggi EML. Kembali ke kasus Bill di atas. Kita memberikan total masking
sebesar 60 dB EML di telinga yang tak diuji. Ini tidak terlalu keras, tapi dapat
menyebabkan overmasking. Overmasking terjadi bila intensitas terlalu keras
sehingga terjadi penyeberangan kembali dari telinga yang tidak diuji ke telinga
yang diuji oleh hantaran tulang dan akibatnya akan mengganggu hasil pengukuran
ambang dengar (menyebabkan ambang dengar di telinga yang diuji lebih buruk).
Formula overmasking adalah : EMLNTE  (IA+BCTE+5). Ini berarti suara mampu
cross over ke telinga yang diuji dan begitu kerasnya sehingga mencapai ambang
dengar melalui hantaran tulang.

Jika IA 50 dB pada 2000 Hz, seperti pada kasus Bill (TE AC = 60 dB HL – NTEBC
= 10 dB HL) . kita dapat menganggap bahwa dibutuhkan IA yang samabesarnya
untuk terjadi penyeberangan bunyi dari telinga yang tidak diuji ke telinga yang
diuji, seperti kebalikannya. Jika dibutuhkan 50 dB pada frekuensi 2000 Hz untuk
terjadi cross-hearing pada telinga kanan, maka diperlukan 50 dB bising spektrum
sempit dengan frekuensi tengahnya 2000 Hz untuk terjadi perpindahan ke koklea
kiri. Dengan 60 dB EML pada telinga yang tidak diuji, pada level berapa vibrasi
mencapai telinga yang diuji? ____dB.

Seandainya Bill mempunyai Tuli Konduktif


Suara yang menyeberang ke koklea kiri Bill adalah sekitar 10 dB EML. Untuk
melihat apakah berpotensial adanya masking, maka bayangkan jika tuli pada
telinga yang lebih buruk adalah tuli konduktif. Jika ambang dengar telinga yang
diuji lebih baik 10 dB HL,maka masking crosss over akan menaikkan responnya
(makin buruk).

Untuk contoh di atas, 60 dB EML diberikan ke telinga yang tidak diuji, dan
sebanyak 10 dB mengalami cross over ke koklea telinga yang diuji. Jika ambang

68
Modul VI.1−Gangguan Pendengaran

dengar hantaran tulang telinga yang diuji 5 dB, maka berapa ambang degar telinga
yang diuji dengan adanya masking? Ambang dengar akan menjadi 10 dB HL. Bila
ambang dengar hantaran tulang -5 dB, berapa ambang dengarnya berubah?
Overmasking akan mengubah ambang dengarnya dari -5 dB menjadi 10 dB HL.

Jika terjadi overmasking, akan tampak telinga yang yang diuji lebih buruk dari
sebenarnya. Dan ini akan tampak baik ketika kita menilai ambang dengar hantaran
udara, tulang atau bicara. Jika terjadi overmasking, maka ambang dengar di telinga
yang diuji akan bertambah buruk dengan semakin besarnya masking yang
diberikan pada telinga yang tidak diuji. Untuk itu kita harus hati-hati jangan
sampai terjadi overmasking.

Sebenarnya Bill mempunyai Tuli Sensori-Neural


Pada kasus tuli sensorineural, sangat tidak mungkin terjadi cross over. Contohnya
pada Bill, yang mempunyai kelainan tuli sensorineural 95 dB (ambang dengar
hantaran udara 95 dB HL dan hantaran tulang 95 dB HL). Dengan IA 50 dB, maka
dibutuhkan 95+50 untuk merangsang koklea di telinga yang diuji ditambah 5 dB
sehingga ambang dengar bertambah. Sehingga dibutuhkan 150 dB masking! Ini di
luar jangkauan audiometer. Maka perlu dilakukan perhitungan overmasking yang
praktis. Untuk praktisnya, maka dapat digunakan formula Min IA+BC TE+5 dB.
Jika perhitungan ini bermakna, kita dapat mengganti nila IA yang sebenarnya,
sehingga hasilnya lebih nyata.

Maximum Masking (Max Mask)


Maximum masking (Max Mask) adalah nilai EML maksimal yang kita gunakan
untuk masking tanpa menyebabkan overmasking (Studebarker 1967). Rumus
untuk Max Mask adalah IA + BCTE. IA menunjukkan berapa besar intensitas yang
menyebabkan rangsangan koklea di kontralateral dan BC menentukan berapa
besar yang dapat dihantarkan.Max Mask akan menyebabkan masking pada telinga
yang diuji namun belum menaikkan ambang dengarnya. Penambahan intensitas
lebih dari Max Mask akan menyebabkan overmasking.

Masking yang adekuat mempunyai 2 kriteria : (1) setidaknya mencapai Min Mask,
sehingga ambang dengar minimal bergeser 5 dB; dan (2) tidak lebih dari Max
Mask.

Latihan Menghitung Maksimum Masking


Mari kita menghitung Max Mask untuk Ny. Hunt. Hasil ambang dengar tanpa
masking tampak pada tabel 9.6. Ny. Hunt mengalami tuli konduktif. Apakah
masking diperlukan untuk menentukan ambang dengar AC telinga kanan?

69
Modul VI.1−Gangguan Pendengaran

Tabel 9.6. Hasil Pemeriksaan Ny. Hunt


4000 Hz
Kanan (TE) Kiri (NTE)
AC 60 20
BC -5 -5

Terdapat perbedaan 65 dB antara ACTE dengan BCNTE, maka masking diperlukan.


(Perhatikan, jika keputusan berdasarkan pada ACNTE bukan BCNTE, maka terjadi
kesimpulan yang salah, yaitu masking tidak diperlukan. Untuk itu, jika anda
menilai BC, setelah menilai AC, anda harus mentes ulang ambang dengar untuk
yakin bahwa masking memang tidak diperlukan).

Berapa besar EML yang digunakan pada telinga kiri?_____dB EML (frekuensi
4000 HZ). Unit Mask umunnya adalah 30 dB. Maka kita menggunakan 50 dB
EML untuk Ny. Hunt. Dengan menggunakan Min IA untuk menghitung Max
Mask, apakah 50 dB terlalu tinggi?___Ya atau ____Tidak.

Min Ia pada 4000 Hz adalah 50 dB. Ambang dengar BCNTE Ny. Hunt adalah -5
dB. Maka Max Mask adalah 45 dB (IAMIN =50+BCNTE=-5). Maka, 50 dB
tampaknya terlalu tinggi. Maka kita hitung ulang Max Mask menggunakan nilai
IA yang sesunguhnya. IA sesungguhnya Ny. Hunt lebih tinggi dari Min IA, yaitu
65 dB. Maka Max Masknya adalah 60 dB (ACTE + NTEBC). Maka pemberian 50
dB EML pada NTE sebenarnya tidak masalah dengan menggunakan IA yang
sebenarnya.

b. Masking untuk penentuan ambang dengar hantaran tulang

Masking BC diperlukan untuk menentukan ambang dengar hantaran tulang yang


valid. Terdapat 3 faktor yang membuat masking hantaran tulang lebih memberi
tantangan dari pada masking untuk hantaran udara. Pertama, IA pada hantaran
tulang seringkali minimal, maka masking dibutuhkan walaupun ada perbedaan
yang kecil atau bahkan tidak ada perbedaan antara kedua telinga. Kedua, mungkin
terjadi efek hambatan pada frekuensi rendah, saat earphone masking diletakkan di
telinga yang tidak diuji. Faktor ini tidak terjadi pada ketulian sensorineural, namun
terjadi pada tuli konduksi. Ketiga, karena kedua faktor ini, maka kita kadang-
kadang memerlukan level masking yang lebih tinggi dari pada ambang dengar
hantaran udara. Karena hal ini, dan level yang normal pada kasus konduksi, maka
kemungkinan terjadi overmasking lebih besar terjadi.

70
Modul VI.1−Gangguan Pendengaran

Kapan masking hantaran tulang diperlukan


Keputusan untuk memberikan masking pada hantaran tulang, tidak
mempertimbangkan IA (yang mungkin besarnya 0 dB) atau perbedaan ambang
dengar antara kedua telinga. Bila terdapat gap yang bermakna antara hantaran
udara dan tulang, masking dibutuhkan untuk meyakinkan tuli sensorineural tidak
ada. Maka bila ambang dengar hantaran udara lebih buruk bermakna dari pada
ambang dengar hantaran tulang pada telinga yang sama, maka terdapat gap. Gap
sebesar 10 dB bermakna untuk diberikan masking.

Namun gap dapat terjadi akibat dari (a) cross hearing, (b) kesalahan audiometri,
(c) kalibrasi yang tidak adekuat (misalnya karena struktur tulang seseorang
berbeda dengan populasi normal atau prosedur tidak sama dengan populasi
normal), atau (d) karena memang terdapat tuli konduktif. Kalibrasi hantaran tulang
dilakukan dengan menggunakan 30 dB EML di telinga yang tidak diuji.
Selanjutnya, untuk memastikan apakah terdapat gangguan konduksi, kita butuh
masking.

Kita melakukan masking pada hantaran tulang bila didapatkan gap sebesar 10 dB
atau lebih pada telinga yang diuji. Masking tidak lagi dibutuhkan bila gap kurang
dari 5 dB.

Efek Oklusi
Pada saat telinga ditutup earphone (saat memberikan masking untuk hantaran
tulang), maka dapat terjadi perubahan pada respons hantaran tulang. Perubahan ini
adalah suatu kesalahan, namun dapat diukur, terdapat perbaikan ambang dengar
hantaran tulang pada telinga yang tidak diuji. Meletakkan earphone pada telinga
yang tidak diuji jelas tidak mengubah sensitivitas koklea seseorang. Sensitivitas
fisiologi tidak berubah, namun suara ekstra masuk ke dalam koklea, sehingga
terjadi respon ambang dengar hantaran tulang yang lebih rendah. Vibrasi hantaran
tulang yang menyebabkan pergerakan cairan koklea, juga menyebabkan vibrasi
tulang liang telinga, sehingga terjadi vibrasi udara di liang telinga. Suara ini
terhalang keluar dari liang telinga karena tertutup oleh earphone. Akibatnya, suara
akan melewati membran timpani dan masuk ke koklea (Tondorf, 1966). Hal ini
sering disebut sebagai konduksi udara akibat konduksi tulang (Dirk, 1994). Jika
terdapat halangan konduksi di telinga tengah, maka tekanan suara tambahan ini
akan ditolak masuk ke koklea, sehingga bukan faktor yang berpengaruh bila gap
yang bermakna di telinga yang diuji.

Jika telinga yang tidak diuji normal atau mengalami tuli sensorineural, maka efek
oklusi merupakan faktor yang berpengaruh. Masking harus dilakukan untuk
mengimbangi tekanan suara tambahan yang dihantarkan ke koklea (Sanders,
1978). Efek oklusi hanya mempengaruhi audiometri di frekuensi 250 sampai 1000

71
Modul VI.1−Gangguan Pendengaran

Hz. Namun, meluasnya efek ini berbeda setiap individu. Goldstein dan Newman
(1994) menyarankan untuk menggunakan 15 dB pada frekuensi 250 Hz dan 500
Hz, dan 10 dB pada 1000 Hz sebagai masking tambahan untuk mengimbangi efek
oklusi.

Masking Awal untuk Hantaran Tulang


Pertama-tama penentuan ambang dengar hantaran tulang diuji tanpa menggunakan
earphone, sehingga tanpa oklusi. Bila dibutuhkan masking, maka earphone baru
kemudian digunakan untuk memberikan bising spektrum sempit.

Peletakan earphone kadang-kadang sulit, karena harus menutupi seluruh telinga


yang tidak diuji, sementara sisi yang lain tidak dapat menutup telinga yang diuji.
Maka earphone dapat diletakkan di pelipis di depan telinga atau setinggi forehead.
Terdapat bukti bahwa penggunaan earphone yang dimasukkan ke dalam liang
telinga, tidak menimbulkan efek oklusi. Jika earphone dimasukkan dengan benar
ke dalam liang telinga, maka tidak ada efek oklusi sehingga prosedur masking
lebih mudah. Untuk menentukan apakah terdapat efek oklusi, diuji ulang lagi
ambang dengar hantaran tulang dengan earphone terpasang. Diskusi di bawah
akan menjelaskan tentang penggunaan earphone standar.

Level Init Mask untuk hantaran tulang adalah (a) 20 db EML di atas ambang
dengar hantaran udara telinga yang tidak diuji, dan (b) masking tambahan
dibutuhkan mengatasi efek oklusi. Kecuali terdapat tuli konduksi pada telinga
yang tidak diuji, kita tambahkan 35 dB SL pada frekuensi 250 dan 500 Hz (20 dB
sebagai Init Mask, tambah 15 dB untuk efek oklusi) dan 30 dB SL pada frekuensi
1000 Hz (20 dB untuk Init Mask dan 10 dB untuk efek oklusi). Jika terdapat
gangguan konduksi yang bermakna (misal 20 dB) pada telinga yang tidak diuji,
maka level masking cukup 20 dB EML saja pada semua frekuensi (efek oklusi
diabaikan). Jika kita tidak mengetahui adanya gangguan konduksi pada telinga
yang tidak diuji, maka lebih baik level masking ditambahkan saja untuk mencegah
efek oklusi.

Pada saat menguji ambang dengar hantaran tulang pada frekuensi 250 dan 500 Hz,
ingatlah adanya variasi individu pada efek oklusi. Maka perlu dipertimbangkan
perlunya Sub Mask meskipun perubahan ambang dengar sangat kecil dengan
pemberian Init Mask untuk meyakinkan efek oklusi telah diatasi dan ambang
dengar yang sebenarnya dari telinga yang diuji telah didapatkan.

Level Masking tambahan (Sub Mask) untuk Hantaran Tulang


Jika level Init mask (20 dB SL, dengan atau tanpa masking untuk efek oklusi)
menyebabkan perubahan 15 dB atau lebih, maka sub mask diperlukan. Kita
menggunakan sub mask sebesar 20 dB. Jika pada frekuensi 500 Hz, init mask yang
diberikan 35 dB EML, maka sub mask akan sebesar 55 dB. Jika sub mask

72
Modul VI.1−Gangguan Pendengaran

menyebabkan perubahan ambang dengar 15 dB atau lebih, maka sub mask


tambahan diperlukan. Jika hantaran tulang pada telinga yang diuji cukup baik
(pada kasus gangguan konduksi), kita harus hati-hati jangan sampai terjadi
overmask. Jika ambang dengar hantaran tulang telinga yang diuji makin buruk,
maka overmasking harus dihitung ulang.

Rangkuman Masking pada Hantaran Tulang


Ahli audiologi melakukan masking untuk hantaran tulang lebih banyak daripada
untuk hantaran udara, karena lebih kompleks, diperlukan usaha yang lebih besar
untuk menguasai hal ini.
- Min IA untuk hantaran tulang dapat bernilai nol.
- Kriteria untuk melakukan masking pada hantaran tulang berdasarkan gap
telinga yang diuji dan bukan perbedaan ambang dengar antara kedua telinga.
Masking pada hantaran tulang berguna untuk menunjukkan adanya
gangguan konduksi, bukan tuli sensorineural atau campuran.
- Nilai gap yang menunjukkan adanya gangguan konduksi adalah 10 dB.
- Level Init Mask untuk hantaran tulang adalah 20 dB EML di atas ambang
dengar hantaran udara telinga yang tidak diuji. Dan seringkali dubutuhkan
masking tambahan untuk mengatasi efek oklusi.
- Efek oklusi berkisar sebesar 15 dB pada frekuensi 250 dan 500 Hz dan 10 dB
pada frekuensi 1000 Hz.
- Jika terdapat gangguan konduksi pada telinga yang tidak diuji, kita tidak
perlu khawatir akan terjadinya efek oklusi, namun jika tidak terdapat gap
yang bermakna, maka sebesar 15 dB lebih harus ditambahkan pada frekuensi
250 dan 500 dB, serta 10 dB pada frekuensi 1000 Hz.
- Jika tidak terjadi perubahan ambang dengar pada telinga yang diuji setelah
menggunakan masking yang sesuai maka didapatkan ambang dengar yang
sesungguhnya, dan tidak diperlukan tambahan masking lagi.
- Namun jika ambang dengar berubah 15 dB atau lebih setelah init mask, maka
diperlukan sub mask. Biasanya bila perubahan ambang dengar 10 dB,
masking tidak diperlukan, karena adanya variasi efek oklusi, namun perlu
diperhatikan bila perubahan sebesar 10 dB pada frekuensi nada rendah.
- Sub mask adalah sebesar 20 dB di atas level masking sebelumnya. Jika tidak
terjadi perubahan ambang dengar pada telinga yang tidak diuji, maka
didapatkan ambang dengar yang sebenarnya dan masking tidak diperlukan
lagi.
- Namun jika terjadi perubahan 15 dB atau lebih ketika dilakukan sub mask,
maka diperlukan sub mask tambahan (sebesar 20 dB).
- Koreksi efek oklusi dibutuhkan hanya pada Init mask.

73
Modul VI.1−Gangguan Pendengaran

Latihan masking untuk Hantaran Tulang Nada Murni

Fran memiliki ambang dengar untuk hantaran udara dan tulang sebesar 10 dB pada
telinga yang tidak diuji, pada frekuensi 250 sampai 4000 Hz. Dia memberikan
respon pada 50 dB hantaran udara pada telinga yang diuji. Tanpa masking,
ambang dengar hantaran tulang telinga yang diuji adalah 25 dB. Apakah pada
kasus ini terjadi cross hearing? Ya atau Tidak atau bukan kasus yang jelas.

Jawabannya adalah Ya. Dengan Min IA sebesar 0 dB, hantaran tulang akan lebih
mudah didengar Fran di telinga yang tidak diuji. (Karena dibutuhkan masking,
maka digunakan earphone yang dimasukkan ke liang telinga untuk meminimalkan
efek oklusi). Dengan kriteria adanya gap, berapa besar masking yang
dibutuhkan?____ dB.

Benar, hanya dengan gap 10 dB kita sudah membutuhkan masking. Karena


terdapat gap 25 dB pada semua frekuensi maka jelas diperlukan masking. Pada
frekuensi 1000 Hz, berapa besar masking yang akan diberikan? Ingat besarnya
ambang dengar hantaran udara dan hantaran tulang pada telinga yang tidak diuji
adalah 10 dB. ______dB EML pada frekuensi 1000 Hz.

Level init mask adalah sebesar 40 dB. Ambang dengar hantaran udara adalah 10
dB, ditambah 20 dB sebagai init mask, dan ditambah lagi 10 dB untuk mengatasi
efek oklusi pada 1000 Hz. Jika terdapat tuli konduksi pada telinga yang tak diuji,
kita tidak perlu mengkhawatirkan efek oklusi, namun pada kasus Fran, hal ini
penting diperhatikan. Dengan masking tersebut maka didapatkan ambang dengar
menjadi 40 dB HL. Masih terdapat gap 10 dB. Apakah ini ambang dengar yang
sebenarnya atau dibutuhkan sub mask? ______ini gap 10 dB yang sebenarnya,
_______ kita tidak yakin tanpa dilakukan sub mask terlebih dahulu.

Ya, kita membutuhkan masking tambahan untuk meyakinkan bahwa 40 dB bukan


akibat cross hearing. Berapa besar masking yang akan ditambahkan pada telinga
yang tidak diuji?______dB di atas Init mask, yaitu masking menjadi sebesar
______dB EML.

Kita menambahkan 20 dB dari level masking sebelumnya, sehingga menjadi 60


dB. Dengan masking sebesar ini, Fran berespon pada 59 dB pada hantaran tulang.
Ini menunjukkan bahwa masking memang dibutuhkan pada frekuensi 1000 Hz dan
menunjukkan bahwa terdapat gangguan sensorineural bukan konduksi atau
campur.

Mengapa masking pada frekuens 2000 Hz berbeda dengan pada frekuensi 1000
Hz? Kita tidak mengkhawatirkan terjadinya efek oklusi pada frekuensi 2000 Hz.
Sehingga Init mask yang akan diberikan adalah _____dB EML. Maka dengan

74
Modul VI.1−Gangguan Pendengaran

ambang dengar hantaran udara telinga yang tidak diuji sebesar 10 dB ditambah 20
dB sebagai init mask, maka totalnya menjadi 30 dB EML. Jika sub mask
dibutuhkan, maka berapa besar yang ditambahkan? _____dB EML, sehingga
totalnya ______ dB EML. Kita tambahkan sub mask sebesar 20 dB. Pada kasus ini
menjadi 50 dB EML. Jika gap tidak mendekati 5 dB, maka sub mask diperlukan
lagi.

Kita juga memerlukan masking untuk frekuensi 500 Hz. Berapa besar masking
yang kita berikan pada Fran di telinga yang tidak diuji? _____dB EML. Di sini,
kita perlu memperhatikan adanya efek oklusi. Kita mulai dengan ambang dengar
hantaran udara telinga yang tidak diuji (10 dB), ditambah 20 dB (init mask),
ditambah 15 dB (untuk efek oklusi). Maka dibutuhkan 45 dB EML masking pada
telinga yang tidak diuji. Nilai ini berlaku pula untuk masking pada frekuensi 250
Hz.

c. Masking sentral
Masking sentral menjadi masalah bila bising yang diberikan pada telinga yang
tidak diuji menyebabkan pendengaran menjadi makin buruk pada telinga yang
diuji. Masking sentral terjadi akibat adanya kontaminasi dari sistem saraf pusat
yang belum diketahui mekanismenya. Hal ini diduga akibat adanya gangguan
karena terdapat bising pada suara yang tidak diuji. Hal ini bukan akibat suara yang
menyeberang atau adanya overmasking pada telinga yang diuji. Pengaruh masking
sentral umumnya kecil, sekitar 5 dB, dan tidak melebihi 15 dB. Fenomena ini
mungkin berhubungan dengan hambatan pendengaran setinggi kumparan
olivokoklea (Liden, 1959)

Biasanya audiologi tidak melakukan koreksi akibat deviasi minor ini, tidak banyak
mengubah hasil akhir. Namun, efek masking yang besar dapat ditemui pada
individu dengan gangguan sistem saraf pusat. Jika deviasi yang bermakna ini
terbukti akibat masking sentral, maka harus dapat dijelaskan pada audiogram.

d. Metode plateu

Metode plateu telah digunakan bertahun-tahun (Hood, 1960), namun saat ini sudah
jarang, karena pertimbangan waktu dan adanya prosedur lain yang lebih valid.
Namun metode ini masih butuhkan di antara level Min dan Overmasking.

Metode plateu menggunakan masking yang bertahap naik sampai dicapai keadaan
plateu pada telinga yang tidak diuji atau kisaran level masking di mana tidak
terjadi lagi penambahan ambang dengar pada telinga yang diuji. Bila telah
mencapai level yang adekuat untuk masking , terdapat di beberapa level masking
yang memberikan respon ambang dengar yang sama pada telinga yang diuji. Bila
mengunakan metode ini, ahli audiologi mempertimbangkan tiga level masking

75
Modul VI.1−Gangguan Pendengaran

yang berurutan yang memberikan respon yang sama pada ambang dengar dengar
tertentu.
Metode plateu klasik dimulai dengan 10 dB SL EML di atas ambang dengar
hantaran udara. Kemudian diperiksa ambang dengar telinga yang diuji. Kemudian
bising masking dinaikkan lagi 10 dB, dan diperiksa kembali ambang dengar
telinga yang diuji. Jika tidak terjadi lagi perubahan ambang dengar pada 2 atau 3
EML yang berurutan, maka kita mendapatkan ambang dengar sebenarnya
(Sanders, 1978). Pada metode plateu tidak mempertimbangkan adanya cross
hearing atau overmasking.

Untuk hantaran tulang tulang, masking tambahan tetap dibutuhkan untuk


mengatasi efek oklusi bila tidak terdapat gangguan konduksi di telinga yang tidak
diuji. Pada beberapa kasus, plateu dapat dimulai pada 25 dB SL pada frekuensi
250 dan 500 Hz dan 20 dB SL untuk 1000 Hz dibanding 10 dB SL.

Metode plateu merupakan pengukuran yang valid, namun makan waktu dan pasien
menjadi cepat lelah. Jika terdapat cross hearing, pada kondisi tanpa masking,
maka ambang dengar telinga yang diuji akan meningkat 10 dB (±5 dB) pada saat
masking ditambahkan. Selanjutnya, jika dibutuhkan 30 dB masking untuk
menghilangkan cross hearing, maka dibutuhkan dua atau tiga level masking lagi
untuk mencapai plateu, sehingga dilakukan penentuan ambang dengar sebanyak
lima atau enam kali untuk setiap frekuensi untuk hantaran tulang dan hantaran
udara. Prosedur ini sangat kontras dengan prosedur step masking (init mask 30 dB
SL), di mana ambang dengar ditentukan dari awal masking dan dikoreksi dengan
pemberian sub mask (20 dB).

Latihan Masking Plateu


Terdapat banyak variasi metode plateu yang digunakan saat ini. Contohnya,
beberapa menggunakan 5 dB atau 15 dB, bukan 10 dB, untuk menghemat waktu.

Kita akan latihan metode plateu pada kasus Chris. Ambang dengar hantaran udara
dan tulang pada telinga yang tidak diuji adalah 5 dB HL. Ambang dengar yang
sebenarnya pada telinga yang diuji di frekuensi 4000 Hz adalah 100 dB, namun dia
telah berespon pada 65 dB HL tanpa masking.

Pada level berapa metode plateu dimulai untuk Chris? ____dB EML. Dengan
menggunakan 10 dB SL di atas ambang dengar hantaran udara yang tidak diuji,
init masknya adalah 15 dB EML. Ternyata pada 75 dB HL, telinga yang diuji telah
berespon. Apakah ini ambang dengar yang sebenarnya? ___Ya atau ____ tidak.
Karena terdapat kenaikan 5 atau 10 dB, maka diperlukan penambahan masking,
maka ditambahkan lagi 10 dB EML (menjadi 25 dB EML). Ambang dengar
kemudian meningkat menjadi 85 dB pada telinga yang diuji. Maka diperlukan
tambahan lagi sebesar 10 dB lagi menjadi 35 dB EML, yang memberikan respon

76
Modul VI.1−Gangguan Pendengaran

pada 95 dB. Kita harus mendapatkan plateu. Maka 45 dB EML diberikan lagi pada
telinga yang tidak diuji, dan Chris berespon pada 100 dB. Anda mengetahui bahwa
ambang dengar yang sebenarnya adalah 100 dB, apakah kita berhenti sampai
sini?____Ya atau ____tidak. Belum, kita harus menambahkan kenaikan 10 dB
sekali atau dua kali lagi (55 dan 65 dB EML) agar terbentuk plateu.

e. Masking ambang dengar bicara

Masking untuk ambang dengar bicara (Speech recognition treshold = SRT), mirip
dengan masking untuk ambang dengan hantaran udara. Perbedaannya ada 2, yaitu:
(a) hanya ada satu min IA, dan (b) masker yang digunakan adalah bising spektrum
luas.

Kapan dilakukan masking untuk SRT


Goldstein dan Newman merekomendasikan adanya perbedaan 45 dB sebagai min
IA untuk masking SRT. Jika terdapat perbedaan 45 dB atau lebih antara SRT
telinga yang diuji tanpa masking (SRTUM) dengan rata-rata ambang dengar
(puretone average =PTA) hantaran tulang di frekuensi 500, 1000 dan 2000 Hz
telinga yang tidak diuji, maka diperlukan masking. Tentu jika terdapat perbedaan
SRT yang bermakna antara kedua telinga, juga diperlukan masking, meskipun
ambang dengar hantaran tulang belum didapatkan.

Init Mask dan Sub Mask untuk Masking SRT


Bila membutuhkan masking pada SRT, kita menggunakan init mask yang sama
seperti untuk nada murni, hanya bising masking yang digunakan adalah yang
berspektrum luas. Selama bertahu-tahun, bising putih merupakan pilihan, dan
dengan makin berkembangnya bising spektrum suara, maka terdapat pergeseran ke
arah ini. Bising spektrum bicara merupakan bentuk bising putih yang lebih banyak
frekuensi rendahnya dari pada frekuensi tinggi. Ini lebih mendekati karakteristik
frekuensi bicara, sehingga merupakan masker bicara yang efisien.

Seperti pada kasus nada murni, kita merekomendasikan 30 dB EML ditambahkan


di atas rata-rata ambang dengar hantaran udara telinga yang tidak diuji. Jika
terdapat peningkatan 15 dB atau kurang pada telinga yang diuji, maka tidak
dibutuhkan masking tambahan. Namun bila terdapat peningkatan 20 dB atau lebih
pada SRT telinga yang diuji dengan Init mask, maka diperlukan sub mask. Seperti
pada nada murni, kita menganjurkan menambah 20 dB di atas level masking
sebelumnya. Dan penambahan 20 dB selanjutnya secara bertahap dapat diberikan
sesuai kebutuhan. Pada semua kasus masking, kita harus yakin tidak terjadi suatu
overmasking.

77
Modul VI.1−Gangguan Pendengaran

Rangkuman Masking untuk SRT


- Masking untuk SRT mirip dengan prosedur pada nada murni.
- Min IA adalah 45 dB, yaitu selisih antara SRT tanpa masking pada telinga
yang diuji dengan rata-rata ambang dengar hantaran tulang pada telinga yang
tidak diuji.
- Level init mask adalah 30 dB SL EML dengan menggunakan bising
spektrum luas.
- Sub mask adalah sebasar 20 dB untuk tambahan masking.

Latihan Masking untuk SRT


Anda mendapatkan hasil ambang dengar pada tabel 9.7 untuk Lauren, wanita 35
tahun dengan otosklerosis. PTAAC di frekuensi bicara adalah 12 dB pada telinga
kanan (right ear = RE) dan SRTUM telinga kiri (left ear = LE) adalah 50 dB, maka
tampaknya tidak diperlukan masking. Namun hal ini salah, SRT pada telinga
kanan adalah 15 dB HL. Kebutuhan masking berdasarkan pada SRTUM telinga
yang diuji PTABC telinga yang tidak diuji. PTABC telinga kanan adalah 0 dB.

Maka hitung kembali SRT telinga kiri dengan PTABC telinga kanan, apakah
terdapat perbedaan 45 dB atau lebih yang menunjukkan diperlukannya masking
SRT. LE SRT adalah ______dB dikurang RE PTABC _____dB = _____ dB.
Apakah masking diperlukan ?

Tabel 9.7. Latihan Masking untuk SRT (Lauren)


250 500 1000 2000 4000 8000 SRT
RE/N 15 10 10 15 20 25 15
TE -5 -5 0 5 0
AC 55 55 50 45 60 85 50
BC 5 5 0 10 15
LE/TE
AC
BCM

Bila PTABC sebesar 0 dB dikurangi dengan SRT UM adalah 50 dB, perbedaan 50


dB ini bermakna. Maka telah terjadi pnyeberangan melalui hantaran tulang. Maka
diperlukan masking untuk mengetahui SRT telinga kiri Lauren. Digunakan bising
spektrum bicara. Berapa EML yang akan diberikan? PTAAC adalah pada telinga
yang tidak diuji adalah ______dB, maka kita menambahkan ______dB di atasnya
sebagai init mask. Maka didapatkan level masking sebesar _____dB EML.

PTA di telinga yang tidak diuji adalah 12 dB, ditambah 30 dB SL EML menjadi
42 dB EML. Anda dapat memberikan masking sebesar 40 sampai 45 dB EML jika
anda bekerja dengan langkah 5 dB.

78
Modul VI.1−Gangguan Pendengaran

Dengan bising spektrum bicara 42 dB EML pada telingan kanan, kemudian SRT
telinga kiri diuji kembali, dan ternyata tidak ditemukan perubahan, yaitu tetap 50
dB. Maka berapa SRT telinga kiri Lauren dengan masking? _____dB.

Masking yang diberikan cukup untuk menghilangkan cross hearing sebesar 30 dB


(jika menggunakan 43 dB EML), maka SRT sebesar 50 dB merupakan nilai yang
sesuai dan tidak ada cross hearing atau overmasking (karena ambang dengar tidak
berubah dengan pemberian masking). Kita dapat pula menghitung Max mask
untuk memastikan tidak ada overmask (Max mask = IAspeech + TE PTABC, atau 45
dB + 5 dB = 50 dB). Kasus ini mengingatkan kita bahwa kita harus
membandingkan SRTUM telinga yang diuji dengan PTABC telinga yang tidak diuji.

f. Masking pada skor pengenalan kata (word recognation score = wrs)

Prosedur WRS berbeda dengan SRT dalam 2 hal. Pertama, WR presentation Level
(PL) lebih tinggi dari pada SRT, dan kedua, tes WR hanya pada satu PL, dan
bukan pada beberapa level, seperti pengukuran ambang dengar. PL yang lebih
tinggi membutuhkan masking yang lebih untuk WRS dari pada SRT, namun
penggunaan satu level memudahkan prosedur masking.

Kapan Masking dilakukan pada WRT


Min IA adalah 45 dB, seperti halnya pada SRT. Min IA ini didapat dari selisih
antara PL di telinga yang diuji dengan PTABC telinga yang tidak diuji. Jika
seseorang mempunyai 30 dB SRT pada telinga yang diuji dan 40 dB digunakan
untuk kata-kata monosilabus, maka harus diberikan pada 70 dB HL. Dengan
kriteria min IA 45 dB, PTABC sebesar 25 atau kurang (70-25 = 45) pada telinga
yang tidak diuji, akan membutuhkan masking untuk mencegah cross hearing.

Maka keputusan dilakukan masking untuk WRS, mudah dihitung setelah kita
tentukan PL telinga yang diuji. Jika terdapat perbedaan antara PLTE dan PTABC
telinga yang tidak diuji ≥ 45 dB atau lebih, maka diperlukan masking.

Level masking untuk WRT


Karena kita menggunakan kata-kata monosilabus pada satu level tertentu untuk
telinga yang diuji, maka kita memilih level masking yang adekuat untuk
keseluruhan daftar. Kita menggunakan standar yang direkomendasikan oleh
Goldstein dan Newman untuk masking WRT, yaitu PL bicara dikurang 30 dB. Jika
diketahui PLTE adalah 70 dB dan BC PTANTE adalah 10 dB, maka masking
dibutuhkan, karena perbedaannya 60 dB, melebihi kriteria yang besarnya 45 dB.
Kita atur level masking pada telinga yang tidak diuji sebesar 40 dB EML (70 dB

79
Modul VI.1−Gangguan Pendengaran

minus 30 dB) dengan bising spektrum bicara. Jika tidak ada tuli konduksi pada
telinga yang diuji, maka besarnya masking ini cukup.

Perlu diperhatikan bahwa adanya tuli konduksi pada telinga yang tidak diuji
menurunkan pengaruh masking pada koklea telinga yan tidak diuji, sebanding
dengan besarnya gap. Katakanlah PTAAC telinga yang tidak diuji adalah 10 dB
(seperti contoh di atas), tetapi PTABC telinga tersebut -10 dB (gap 20 dB). Dengan
PL 70 dB untuk bicara pada telinga yang diuji dan masking 40 dB EML pada
telinga yang tidak diuji, sebanyak 20 dB akan terhalang akibat gangguan konduksi,
sehingga hanya 20 dB masking yang sampai koklea. Dengan 20 dB EML akan
menaikkan ambang dengar menjadi 20 dB pada telinga yang tidak diuji, bukan 40
dB seperti pada kasus bukan konduksi. Reduksi masking ini cukup besar sehingga
masking yang diberikan tidak adekuat. Kata-kata di telinga yang diuji dapat
mengalami cross over pada telinga yang tidak diuji. Nilai 70 dB dikurangi 45 dB
(min IA) adalah 25 dB HL, akan mencapai koklea telinga yang tidak diuji, hanya
dengan 20 dB. Pengaruh konduksi pada telinga yang tidak diuji merupakan satu-
satunya hal yang harus jadi perhatian pada Uji WRS, karena level masking
berdasarkan pada PLTE, bukan ambang dengan hantaran udara telinga yang tidak
diuji.

Rangkuman Masking untuk WR


WR bukanlah prosedur yang mirip dengan prosedur sebelumnya, karena di sini
tidak mengukur ambang dengar, hanya menggunakan satu level intensitas saja.
- Digunakan masker bising spektrum luas (atau bising putih lainnya)
- Level masking untuk telinga yang tidak diuji adalah PLTE kurang 30 dB.
- Ini meyakinkan sedikitnya 15 dB lebih besar daripada cross over, meskipun
jika seseorang memiliki min IA (45 dB).
- Karena EML berdasarkan pada telinga yang diuji, dan bukan di atas level
telinga yang tidak diuji, adanya gangguan konduksi akan mengganggu
formula. Kita harus menambahkan masking sesuai dengan gap.

Latihan Masking untuk WRS


Greg mempunyai gangguan pendengaran familial di telinga kanannya. Tabel
9.8 menunjukkan di telinga kirinya tidak terdapat gap yang bermakna. Ini akan
memudahkan masking WR (karena tidak perlu menambahkan EML untuk
mengatasi komponen konduksi). Masking tidak diperlukan untuk SRT, karena
perbedaannya hanya 30 dB antara SRT telinga kanan dengan PTABC telinga kiri
(45-15). Namun, sekarang kita memberikan suara di atas level ambang dengar,
katakanlah sebesar 40 dB SL (di atas SRT atau PTAAC telinga yang diuji). Maka
diperdengarkan kata-kata monosilabus dengan 85 dB HL (45+40 = 85 dB HL).

80
Modul VI.1−Gangguan Pendengaran

Apakah masking dibutuhkan untuk WRS?____Ya atau____Tidak atau ____ hanya


jika pasien meminta.

Tabel 9.8. Latihan Masking untuk WR (Greg)


250 500 1000 2000 4000 8000
RE-AC 25 40 45 50 60 75
RE-BC 25 35 50 50 55
LE-AC 5 15 15 15 30 40
LE-BC 5 15 10 20 35

Jawabannya adalah jelas YA, karena pada telinga yang tidak diuji jelas dapat
menerima materi tes bicara yang diberikan pada telinga yang diuji. Perli
ditegaskan karena kita menggunakan min IA, kita memperkirakan cross hearing
secara konservatif. Pengurangan dari 85 dB menjadi 45 dB (IAmin), menimbulkan
rangsangan pada telinga yang tidak diuji di 40 dB HL. Ini 25 dB di atas ambang
dengar telinga yang tidak diuji.

Merujuk pada kriteria WRS, berapa besar bising spektrum luas yang dibutuhkan
untuk mencegah cross hearing?_____dB EML.

Pada kasus ini, kita mengurangi 30 dB dari PL, dan nilai tersebut sebagai level
masking untuk telinga yang tidak diuji. Maka diberikan masking sebesar 55 dB
EML ke telinga kiri (85-30 dB=55 dB EML). Bahkan jika Greg meggunakan min
IA, maka masker yang digunakan minimal 15 dB di atas level bicara pada telinga
yang tidak diuji.

Pada semua prosedur masking, kita harus yakin tidak terjadi overmasking. Apakah
menurut anda 85 dB overmasking? ____Ya atau _____Tidak.

Berapa besar masking (EML) yang dibutuhkan untuk terjadinya overmasking pada
telinga kiri dan mengganggu pengukuran ambang dengar telinga kanan? ___50
dB, _____60 dB, ____70 dB, ____80 dB atau _____> 80 dB.

Mari kita menduga (secara konservatif) bahwa IA adalah sebesar 45 dB. Maka
pemberian 55 dB masking pada telinga yang tidak diuji, berkurang menjadi 45 dB
sebelum mencapai koklea pada telinga yang diuji. Cross over masking adalah 10
dB EML, namun ini tidak terdengar oleh Greg, karena PTABC telinga tersebut 45
dB HL. Untuk mencapai level ambang dengar hantaran tulang dibutuhkan 35 dB
lagi (55+35 = 90 dB EML). Nilai ini merupakan Max Mask dan bukan
overmaking. Overmasking terjadi pada 95 dB EML (Dengan dianggap
menggunakan IAmin). Jawaban yang benar adalah > 80 dB (IAmin = 45 dB+BC
PTATE = 50 dB).

81
Modul VI.1−Gangguan Pendengaran

g. Masking untuk tes audiometri lainnya

Kita telah mendiskusikan bagaimana melakukan masking pada pengukuran nada


murni dan bicara. Ketentuan-ketentuan yang mirip dapat digunakan pula untuk
prosedur audiometri lainnya. Ketentuan ini tergantung pada frekuensi nada murni,
level bicara dan tranduser yang digunakan. Bila suatu pemeriksaan terancam
terjadinya cross over pada telinga yang tidak diuji, maka masking dibutuhkan.

Masking untuk Tes Nada Murni Khusus dan Bicara


Pada banyak kasus, tes audiometri khusus diperlukan untuk menyingkirkan
adakah keterlibatan retrokoklea. Contohnya pada tes Tone Decay (lihat Bab 8),
digunakan prosedur audiometri . Jika pada level awal pada telinga yang diuji
terjadi cross hearing, maka masking dibutuhkan. Tanpa masking yang tepat, maka
telinga yang tidak diuji dapat berespon, sehingga terjadi kesalahan pemeriksaan
(misal gangguan pendengaran menjadi koklea, bukan retrokoklea). Digunakan 30
dB EML di atas level masking digunakan untuk menghasilkan hasil tes Tone
Decay yang positif.

Secara umum, tes pendengaran sentral (lihat bab 26 dan 28) dilakukan pada
individu dengan pendengaran normal dan tidak dibutuhkan masking. Banyak tes
sentral yang tidak dapat dilakukan masking karena efeknya pada hasil tes tidak
diketahui. Ada yang meyakini bahwa pada tes pendengaran sentral, cross hearing
bukan menjadi perhatian penting. Contohnya, kelompok mahasiswa yang
mempunyai gangguan pendengaran unilateral dilakukan tes SSW, suatu
pemeriksaan dikotik untuk fungsi pendengaran sentral. Karena sebagian pesan ke
telinga bersaing dan sebagian lagi tidak bersaing, maka kita akan berpikir bahwa
bagian yang tidak bersaing merupakan cross hearing, di mana intensitas telinga
yang tuli 105 dB. Namun, tidak ada cross hearing pada kata-kata yang bersaing
pada telinga yang normal (menerima kata pada 50 dB), dan hanya kata-kata tidak
bersaing tertentu yang mengalami cross hearing. Maka pada pemeriksaan
pendengaran sentral jenis ini tidak dibutuhkan masking. Diperlukan penelaahan
lebih lanjut mengenai masalah ini.

Masking Untuk BERA


Masking juga dibutuhkan pada pemeriksaan BERA. Prinsip penggunaan masking
pada BERA mirip dengan penggunaannya pada behaviour audiometry.
Rangsangan ”click” yang digunakan pada BERA terdiri dari bising spektrum luas.
Demikian pula masking yang digunakan juga harus merupakan bising spektrum
luas. Hall (1992) menyarankan sekitar 65 dB sebagai kriteria antara ”click” atau
level intensitas pip di telinga yang diuji dengan hantaran tulang telinga yang tidak
diuji. IA yang besar ini menyebabkan tidak diperlukan masking pada sebagian
besar kasus. Jika masking dibutuhkan, Hall menyarankan level rutin sebesar 50 dB
EML, pada level ini maka masking harus dilakukan bahkan dengan PL tertinggi

82
Modul VI.1−Gangguan Pendengaran

(anggap tidak ada gap pada telinga yang tidak diuji). Earphone yang dimasukkan
ke liang telinga sering digunakan pada pemeriksaan BERA. Ini akan
meningkatkan IA sekitar 20 dB, yang lebih lanjut dapat mengurangi kebutuhan
masking.

h. Dilema masking

Pada tahun1950, Naunton menyatakan pada kasus dengan tuli konduksi yang berat
di kedua telinga, kita menghadapi dilema. Pada beberapa kasus, masking yang
baik untuk menghilangkan cross hearing dapat begitu besar diberikan sehingga
terjadi cross hearing di telinga yang diuji sehingga meningkatkan nilai ambang
dengar dari yang sebenarnya (overmasking). Contoh di bawah mengambarkan
dilema masking.

Melvin mempunyai riwayat keluarga dengan otosklerosis. Ia didiagnosis dengan


penyakit ini 15 tahun yang lalu. Selama bertahun-tahun, pendengarannya makin
menghilang di kedua telinga. Ambang dengarnya yang terakhir ditunjukkan pada
tabel 9.9.

Tabel 9.9. Dilema Masking


250 500 1000 2000 4000 8000
TE RE- 55 60 65 65 70 80
AC -5 5 5 10 15
RE-BC 55 60 65 65 70 80
NTE 0 5 0 15 20
LE-AC
LE-BC

Ketika dilakukan uji pendengaran telinga kanan (RE/TE) untuk hantaran udara di
1000 Hz, tampak bahwa masking dibutuhkan, karena terdapat perbedaan antara
ACTE sebesar 65 dB dengan BCNTE. Ini sebanding atau melebihi nilai min IA pada
1000 Hz yaitu 40 dB. Maka kita perlu memberikan masking pada telinga kiri.
Maka diberikan Init Mask sebesar 95 dB EML (65 dB HL + 30), dan ini
overmasking karena melebihi Max Mask. Pada kenyataannya, dengan
menggunakan IAMIN, 50 dB EML akan menimbulkan cross over ke telinga yang
diuji dan meningkatkan hantaran tulang dari 5 menjadi 50 dB. Ini akan
meningkatkan respon ACTE dari 65 dB HL menjadi 115 dB! Jelas ini bukan
ambang dengarnya, melainkan akibat dari overmasking. Bahkan bila kita
menurunkan masking menjadi Min Mask, masih terlalu tinggi ambang dengar
yang didapat seperti halnya overmask.

83
Modul VI.1−Gangguan Pendengaran

Untuk ilustrasi ini, Min Mask pada telinga kiri di frekuensi 1000 Hz adalah
sebesar 70 dB EML. Ini 65 dB di atas BCNTE, yang mana melebihi kriteria
overmasking (IAMIN = 40 dB + BCNTE = 5 dB + 5 dB untuk overmask). Maka
tampaknya tidak ada metode yang tepat untuk memasking telinga yang tidak diuji
tanpa adanya overmasking, bahkan jika kita menggunakan IA Melvin yang
sebenarnya, bukan IAMIN.

Anda akan melihat dilema yang sama untuk setiap frekuensi pada setiap telinga,
dan kita dapat menganggap adanya masalah yang sama di frekuensi 8000 Hz. Kita
lihat apakah hantaran tulang juga terpengaruh. Pada frekuensi 1000 Hz di telinga
kanan terdapat gap sebesar 60 dB, maka kita butuh masking untuk hantaran tulang.
Maka Init Mask diberikan sebesar 85 dB EML (tidak ada tambahan untuk efek
oklusi, karena terdapat gangguan konduksi pada telingan yang tidak diuji). Ini
menunjukkan 80 dB di atas BCTE sehingga terjadi overmasking. Bahkan dengan
menggunakan Min Mask sebesar 70 dB di telinga kiri, masih melebihi Max Mask.

Dilema yang sama juga terjadi pada SRT dan WR. Contohnya, pada 65 dB di
telinga kanan, respon Melvin sebesar 50%. Ini bisa jadi bukan ambang dengar
yang sesungguhnya, karena selisih 65 dB dikurangi 7 dB PTA untuk BCNTE adalah
58 dB. Ini melebihi kriteria Min IA, 45 dB, sehingga membutuhkan masking.
Namun 30 dB di atas PTAAC telinga kiri adalah 93 dB HL, yang akan
menyebabkan cross hearing ke telinga yang diuji, sebanyak 41 dB. Maka dilema
masking pun terjadi lagi.

Untuk telinga kanan, WR diberikan pada 40 dB SL (diulang : 63 dB PTAAC)


sebesar 103 dB HL. Tidak diragukan lagi, ini akan terjadi cross hearing karena
hantaran tulang telinga yang tidak diuji baik. Dibutuhkan masking 103 dB
dikurangi 30 dB atau 73 dB EML ditambah 58 dB gap (=131 dB EML) bising
spektrum luas. Besarnya masking ini melebihi batas kemampuan audiometer,
namun bahkan dengan 100 dB, tetap terjadi overmasking.

Menghadapi Dilema Masking


Ahli audiologi telah mencoba berbagai macam prosedur untuk mengatasi dilema
masking. Contohnya, baru-baru ini Pope (1998) merekomendasikan FIT test
(Bergman, 1964) sebagai prosedur yang berguna. Namun kemajuan terbesar
mengatasi dilema ini adalah penggunaan earphone ke liang telinga.

Insert Phones untuk Masking


Pilihan jenis earphone yang digunakan untuk pemeriksaan atau masking
mempengaruhi keputusan memasking. Terdapat 2 jenis eaphone yang paling
sering digunakan pada pemeriksaan audiologi, yaitu supra-aural dan insert
earphone.

84
Modul VI.1−Gangguan Pendengaran

Dari kedua earphone ini, jenis supra-aural memberikan kontak yang luas pada
telinga. Ini akan memberikan tekanan yang lebih besar yang dibutuhkan untuk
menghasilkan ambang dengar, dan mengurangi IA. Pada tahun 1953, Zwislocki
membuktikan kekurangan IA supra-aural dan menyarankan untuk menggunakan
insert earphone untuk meningkatkan IA. Kita telah mendiskusikan nilai IA di atas.
Nilai ini dibuat dengan menggunakan supra-aural earphone, dan angka ini akan
meningkat secara bermakna jika menggunakan insert earphone.

Bila insert earphone dimasukkan ke dalam liang telinga namun tidak terlalu dalam,
hanya memberikan keuntungan yang tidak terlalu banyak dibanding supra-aural
earphone, namun bila dimasukkan lebih dalam, akan memberikan keuntungan
yang lebih besar. Pada penelitian Etymotic ER-3A, insersi dalam ini terjadi bila
probe masuk ke dalam liang telinga sejauh 2-3 mm, dan ini tidak nyaman untuk
pasien. Insersi medium, bila batas bagian luar earphone setinggi mulut liang
telinga, dan pasien merasa lebih nyaman, dan ini dapat meningkatkan nilai IA
juga, walaupun tidak besar, namun pasien lebih nyaman. Yacullo (1996)
menyarankan perkiraan konservatif Min IA dengan insersi ER-3A adalah 75 dB
pada 1000 dB atau yang lebih rendah, dan 50 dB di frekuensi 1000 Hz.

Jika nilai IA ini digunakan pada contoh-contoh di atas, maka masking tidak akan
dibutuhkan. Keuntungan lain dengan menggunakan insert phones adalah
meningkatnya nilai Max Mask sebelum overmasking terjadi. Dan ini diharapkan
akan mengatasi dilema masking.

h. Kesimpulan

Tabel 9.10 merangkum prosedur masking pada bab ini. Siswa sebaiknya merujuk
ke sini sebelum melakukan tes, untuk melakukan masking yang benar. Meskipun
masking klinis merupakan prosedur yang sulit untuk siswa (kadang-kadang juga
para profesional), namun prosedur ini terbukti berguna, efisien dan mudah
dipelajari. Dibutuhkan waktu untuk menguasainya.

Tabel 9.10. Rangkuman Masking


Hantaran Hantaran SRT WRS
udara Tulang
IA 30-50 dB, 0 dB, secara 45 dB 45 dB
minimu tergantung teori
m frekuensi.

IA 60-65 dB 65 dB 65 dB
tipikal HLTE ≥Min 0-20 dB SRTTE≥Min PLTE≥Min

85
Modul VI.1−Gangguan Pendengaran

Masking IA + BCNTE Gap TE ≥ 10 IA+BCNTEa IA+BCNTEa


bila : Sering dB Sering Lebih sering
Masking Lebih sering
umumny Bising Bising Bising
a spektrum spektrum spektrum
sempit Bising bicara bicara
Tipe spektrum
masking +30 dB SL sempit +30 dB SL PLTEd – 30
EMLb EMLc dB
Unit +20 dB SL +20 db SL +20 dB SL NA
Masking EMLe EMLb EMLe EMLNTE=IA
Sub EMLNTE=IA +20 dB SL EMLNTE=IA+ +BCTEa
Masking +BCTE EMLe BCTEa EMLNTE≥IA
Max EMLNTE≥IA EMLNTE=AC EMLNTE≥IA+ +BCTEa+5
Masking +BCTE+5 IA+BCTE BCTE+5 Tidak ada
Overmas Tidak ada EMLNTE≥AC Tidak ada
king IA+BCTE+5
Efek Normal/S-N
Oklusi (250Hz-1kHz)
a
BCNTE = PTA(500, 1000. dan 2000 Hz)
b
Di atas ambang dengar ACNTE
c
Di atas PTA atau SRT NTE
d
Presentation Level TE
e
Di atas level masking sebelumnya di NTE

3. Diagnosis dan Tatalaksana Gangguan Pendengaran

Gangguan pendengaran sering dijumpai baik pada anak-anak ataupun orang


dewasa. Berdasarkan perhitungan di Amerika Serikat diperkirakan terdapat 31.5
juta orang yang mengalami gangguan pendengaran, dan lebih dari 7 juta
diantaranya merupakan pasien yang selamat dari stroke. Gangguan pendengaran
dapat disebabkan oleh kerusakan hantaran suara yang masuk ke koklea (konduksi),
menurunnya transduksi suara sel rambut dalam yang ada di dalam koklea,
transmisi abnormal pada jalur saraf auditori dan atau gangguan proses pada jalur
auditori sentral.

Kelainan yang dapat menyebabkan gangguan pendengaran, diantaranya:


• Atresia liang telinga, mikrotia
• Gangguan fungsi tuba, patolous tuba
• Infeksi (OMSK, labirintitis)
• Timpanosklerosis, Otosklerosis
• Proses sentral (CAPD)

86
Modul VI.1−Gangguan Pendengaran

• Vaskuler (sudden deafness, stroke)


• Gangguan pendengaran akibat bising (NIHL)
• Trauma (trauma kepala, trauma akustik, barotrauma)
• Degenerasi (presbikusis, multipel sklerosis)
• Imunologi (ALHL)
• Kongenital
• Tinitus
• Tumor (neuroma akustik)
• Ototoksik (gol aminoglikosida, cisplatin, furosemid)

a. Gangguan Fungsi Tuba Eustachius

Anatomi Tuba Eustachius


Tuba Eustachius (TE) merupakan bagian dari sistem organ yang ada disekitarnya
yaitu hidung, faring, palatum, telinga tengah dan sel udara mastoid. TE dapat
dikatakan organ, karena terdiri dari lumen yang dilapisi oleh mukosa, kartilago
yang dikelilingi oleh jaringan lunak, otot paratubal dan tulang sebagai
penyokongnya. TE pada dewasa, secara umum menyerupai bentuk dua buah
kerucut yang menyatu di daerah apex dan melebar pada kedua ujung
distal/orfisiumnya di nasofaring dan telinga tengah. TE merupakan saluran yang
menghubungkan antara telinga tengah dengan nasofaring. Saluran tersebut terdiri
dari 3 bagian yaitu 2/3 bagian kartilago di anteromedial dengan bagian distalnya
adalah nasofaring,1/3 bagian tulang di posterolateral dengan bagian distalnya
membuka ke telinga tengah dan ismus yang merupakan pertemuan antara bagian
tulang dan kartilago, bagian TE tersempit. Mukosa TE dilapisi oleh selapis epitel
kolumnar bersilia pada bagian posterolateral/tulang yang merupakan lanjutan dari
epitel telinga tengah. Sedangkan pada bagian anteromedial/kartilago dilapisi oleh
epitel kolumnar berlapis/bertingkat semu bersilia yang merupakan lanjutan dari
mukosa nasofaring. Sel-sel epitel pada orifisium TE mengandung sel-sel goblet
dan kelenjar mukus kecil yang menghasilkan mukus/sekret.

Fisiologi Tuba Eustachius


Tuba Eustachius (TE) yang normal memiliki 3 fungsi utama yang berkaitan
dengan kondisi telinga tengah antara lain, (1) fungsi ventilasi, yaitu
meregulasi/menyeimbangkan tekanan telinga tengah dengan tekanan atmosfer
(tekanan ambien); (2) fungsi proteksi, yaitu memproteksi telinga tengah dari suara
maupun sekresi yang berasal dari nasofaring; dan (3) fungsi bersihan, yaitu
mengeluarkan sekret dari telinga tengah ke nasofaring. Diantara ketiga fungsi
tersebut , fungsi ventilasi merupakan fungsi yang paling penting. Dalam kondisi
normal lumen TE tertutup secara pasif. Pembukaan aktif lumen TE secara

87
Modul VI.1−Gangguan Pendengaran

intermitten terjadi saat otot TVP berkontraksi selama menelan untuk


mempertahankan keseimbangan tekanan telinga tengah dengan tekanan atmosfer.

Patofisiologi Tuba Eustachius


Gangguan fungsi TE berperan terhadap patogenesis otitis media. Bluestone dkk,
mengklasifikasikan patofisiologi gangguan fungsi tE menjadi 3 yaitu: gangguan
regulasi tekanan/fungsi ventilasi, ketiadaan fungsi proteksi dan gangguan fungsi
bersihan. Secara garis besar gangguan fungsi ventilasi tE sendiri dapat
diklasifikasikan menjadi 3 yaitu: (1) obstruksi struktur anatomi TE (TE is too
closed), yang meliputi (a) obstruksi di intraluminal pada stenosis TE kongenital,
(b) obstruksi periluminal pada keadaan inflamasi akibat infeksi bakteri/virus,
alergi dan (c) obstruksi peritubal akibat adenoid atau tumor daerah nasofaring dan
polip/kolesteatom di telinga tengah. (2) Obstruksi fungsional atau gangguan fungsi
mekanisme pembukaan lumen TE dengan kata lain lumen TE tidak terbuka saat
menelan walaupun secara anatomi tidak terdapat obstruksi. Pada keadaan ini
dijumpai lumen TE kolaps persisten (TE tube is too floppy) dan kontraksi otot
TVP yang kurang efektif. Pada lumen TE yang kolaps ditemukan peningkatan
elastisitas tE sehingga lumen menjadi lembek dan kurang tegang dan meskipun
otot TVP berkontraksi, lumen TE tidak bisa terbuka. Kondisi ini pertama kali
dijumpai pada bayi dengan celah palatum yang tidak dikoreksi disertai otitis media
efusi (OME). Kegagalan terbukanya TE ini lebih sering dijumpai pada bayi dan
balita tanpa celah palatum maupun riwayat OME.

Kegagalan pembukaan lumen TE ini dapat terjadi melalui beberapa mekanisme


yaitu, yang pertama kolaps persisten kartilago tuba (floppy) yang disebabkan oleh
kurangnya kepadatan kartilago, elastin dan volume bantalan otsman’s fat.
Keadaan ini terutama dijumpai pada bayi dibandingkan pada anak-anak maupun
dewasa. Pada kartilago yang lembek, maka lumen tuba menjadi ikut lembek
sehingga lumen tuba tidak bisa terbuka, meskipun otot TVP berkontraksi.
Kolapsnya lumen TE, tidak hanya dipengaruhi oleh usia, Seperti dikutip oleh
Bluestone5 dari studi yang dilakukan oleh Low dkk, mendapatkan bahwa kartilago
TE yang terdestruksi oleh karsinoma nasofaring (KNF) menyebabkan perubahan
elastisitas lumen TE.

Mekanisme kedua yang memungkinkan terjadinya obstruksi fungsional adalah


kontraksi otot TVP yang tidak efektif. Keadaan ini dikaitkan dengan
perbedaansudut lumen tE terhadap bidang horizontal antara dewasa dan anak-
anak. Swart dan Rood seperti dikutip oleh Bluestones5 menegaskan bahwa
keterkaitan sudut yang terbentuk antara otot TVP dengan kartilago TE lebih
bervariasi pada bayi, dan lebih stabil pada dewasa. Selain inaktivasi otot TVP,
penyebab lain dari obstruksi fungsional yaitu adanya tumor atau pembedahan di
daerah palatum dan dasar otak.5

88
Modul VI.1−Gangguan Pendengaran

Gangguan mekanisme terbukanya lumen TE juga diakibatkan karena adanya


tekanan abnormal di kedua muara TE. Tekanan abnormal tersebut dapat berupa
penigkatan secara mendadak tekanan negatif. Mekanisme keadaan tersebut oleh
Bluestone digambarkan sebagai model tabung/labu dengan leher yang elastis.
Ketika Cairan/udara yang dialirkan ke labu secara normal akan tertahan di leher
labu hingga diberikan tekanan negatif di bagian labu. Pada saat tekanan telinga
tengah menjadi negatif secara perlahan-lahan seperti pada kasus infeksi saluran
nafas atas (ISPA), keseimbangan tekanan ruang telinga tengah dapat tercapai
secara bertahap ketika gerakan menelan. Namun Bila tekanan negatif terjadi
secara mendadak, maka leher labu yang elastis akan tertutup total sehingga cairan
tidak dapat masuk ke dalam labu. Keadaan ini dinamakan “locking
phenomenon”TE.Dilatasi aktif lumen TE oleh otot TVP menjadi terganggu atau
efisiensi. Oleh karenanya kecepatan terjadinya tekanan negatif dan kelenturan
kartilago TE menjadi faktor penentu yang penting apakah lumen TE akan tertutup
total atau tidak. Fenomena ini terjadi pada kejadian yang tidak fisiologis karena
perubahan tekanan atmsofer yang mendadak misalnya pada saat pesawat akan
mendarat, selama menyelam (terutama pada scuba) dan terapi hiperbarik dalam
ruang bertekanan, serta saat pemeriksaan tes fungsi ventilasi TE.5

Selain gangguan pembukaan lumen TE, gangguan patensi TE dapat berupatuba


patolous, yaitu keadaan lumen TE yang terbuka terus menerus bahkan saat
istirahat. Pada keadaan yang lebih ringan disebut sebagai tuba semipatolous, yaitu
lumen TE yang masih dapat tertutup saat istirahat namun memiliki resistensi yang
lebih rendah terhadap aliran gas atau cairan, dibandingkan dengan TE normal.
Peningkatan patensi lumen TE dapat disebabkan oleh geometri yang abnormal TE,
penurunan tekanan peritubal akibat penurunan drastis berat badan maupun faktor-
faktor periluminal. sebagai akibat bagian kartilago TE yang lebih elastis, maka
larutan gas dan cairan dapat terdorong/tertarik ke ruang telinga tengah oleh
tekanan positif/negatif di nasofaring. Tekanan positif tinggi dapat dipicu saat
meniup hidung, perasat Valsava dan Toynbee.5

Pemeriksaan fungsi ventilasi tuba Eustachius


Jenis pemeriksaan yang digunakan saat ini adalah (1) tes manometrik, yaitu tes
fungsi ventilasi TE dengan memberikan tekanan pada telinga tengah terdirir dari
forced respon test, pressure equilibration test, nine step inflation-deflation test, (2)
sonotubometri dan (3) timpanometri atau accoustic admittance.

Berdasarkan keadaan membran timpani, maka pemeriksaan fungsi ventilasi TE


terdiri dari tes fungsi ventilasi TE yang digunakan pada membran timpani intak
yaitu: timpanometri, sonotubometri dan Bluestone’s nine step test. Bluestone’s
nine step test merupakan tes inflasi-deflasi dikembangkan oleh Bluestone, terdiri

89
Modul VI.1−Gangguan Pendengaran

dari 9 langkah dan menggunakan timpanometri untuk menilai fungsi ventilasi


TE. sedangkan pada membran timpani yang perforasi digunakan metode dari
forced respon test, pressure equilibration test dan sonotubometri dalam menilai
fungsi ventilasi TE.

b. Otosklerosis
Pendahuluan
Istilah otosklerosis berasal dari bahasa Yunani yang artinya “pengerasan pada
telinga”.1 Otosklerosis adalah penyakit primer pada tulang kapsul labirin, biasanya
bersifat herediter dan bilateral, ditandai dengan adanya fokus pembentukan tulang
baru yang terbatas dan bersifat spongiosa.7 Penyakit ini memiliki karakteristik
adanya fase resorpsi dan redeposisi tulang secara bergantian yang menghasilkan
fiksasi dari tulang-tulang pendengaran dan gangguan pendengaran konduktif.3

Penyakit ini ditemukan bilateral pada 70-80% kasus, dengan penyebaran dan
distribusi fokus sklerosis yang simetris.3 Manifestasi klinik ditandai dengan
gangguan pendengaran, tinitus, dan vertigo. Tipe gangguan pendengarannya
adalah konduktif, namun pada studi jangka panjang ditemukan 10% kasus
berkembang menjadi sensorineural.3 Otosklerosis klinis harus dibedakan dari
otosklerosis histologi, yaitu suatu istilah karena ditemukannya kapsul tulang
abnormal pada studi mikroskopik. Otosklerosis histologi didapatkan 10% lebih
tinggi dari otosklerosis klinis.3

Walaupun faktor penyebab pembentukan tulang otosklerosis belum diketahui,


terdapat tendensi faktor keturunan. Riwayat keluarga didapatkan pada 59-60%
kasus ketulian karena otosklerosis. Pola ras juga telah diamati, dimana otosklerosis
umumnya muncul pada ras Kaukasian dengan insidensi sebesar 1%, diikuti oleh
ras Asia sebesar 0,5%. Jarang ditemukan pada ras Afrika Amerika. Jenis kelamin
dan usia merupakan faktor yang saling mempengaruhi. Insiden pada wanita dua
kali lebih banyak daripada pria, dan progresifitas penyakit dipercepat dengan
perubahan hormonal terutama selama masa kehamilan atau penggunaan pil
kontrasepsi.1 Walaupun dapat mengenai seluruh kelompok umur, namun biasanya
manifestasi klinis muncul pada dekade ke-2 dan ke-5 kehidupan. Pada umumnya
onset terjadi antara umur 15-45 tahun, dengan angka kejadian tertinggi pada umur
30 tahun.3,7

Pada tahun 1873, Schwartze mendeskripsikan warna kemerahan dibelakang


membran timpani yang intak, yang berhubungan dengan peningkatan vaskularitas
dari promontorium pada lesi aktif otosklerosis (suatu fase yang disebut
spongiosis).5 Penemuan tersebut dikenal dengan nama tanda Schwartze, yang
ditemukan pada 10% pasien dengan otosklerosis. Tahun 1893, Politzer
menjelaskan otosklerosis sebagai penyakit primer dari kapsul labirin, bukan

90
Modul VI.1−Gangguan Pendengaran

merupakan suatu keadaan yang berhubungan dengan episode inflamasi telinga


sebelumnya.5

Anatomi fisiologi
Secara anatomi dan fungsional, telinga dibagi menjadi 3 bagian : telinga luar,
telinga tengah dan telinga dalam. Telinga luar terdiri dari daun telinga, liang
telinga, dan bagian lateral membran timpani. Liang telinga mempunyai peranan
pasif dalam sistem pendengaran. Daun telinga berfungsi mengetahui lokasi bunyi
dari arah depan-belakang serta dapat membedakan tinggi rendahnya bunyi. Fungsi
akustik telinga luar dapat menguatkan suara paling tinggi untuk nada 250 Hz, yaitu
sekitar 20 db untuk bunyi yang datang dari sebelah telinga yang diukur. 15 Bentuk
daun telinga dengan berbagai tonjolan dan cekungan serta panjang 2,5-3 cm
menyebabkan terdapatnya resonansi bunyi sebesar 3500 Hz..

Telinga tengah terdiri dari suatu ruang yang terletak di antara membran timpani
dan kapsul telinga dalam, berisi tulang–tulang dan otot beserta penunjangnya, tuba
eustachius dan sistem sel–sel udara mastoid. 4 Fungsi telinga tengah adalah
mengkopling (meneruskan sambil menguatkan atau melemahkan) energi akustik
dari medium udara ke medium cairan. 15 Sebelum memasuki koklea bunyi akan
diamplifikasi melalui system ossicular chain sehingga meningkatkan gain sebesar
25-30 db. Di dalam telinga tengah juga terdapat mekanisme bergerak, yaitu
membran timpani dan ketiga tulang pendengaran. Manubrium malei melekat pada
membran timpani, inkus, dan stapes yang melekat pada tingkap lonjong melalui
ligamen anular di daerah kaki stepes. Fungsi ketiga tulang tersebut untuk
memperkuat energi bunyi agar cukup kuat menggerakkan cairan di dalam koklea
dengan meningkatkan tekanan energi bunyi yang menerpa membran timpani.
Selain itu efek penguatan bunyi juga dipengaruhi oleh perbedaan luas penampang
antara membran timpani dengan tingkap lonjong dan oleh bentuk kerucut
membran timpani.

Penelitian lebih mutakhir oleh Marchan et al. Tahun 1997 menyimpulkan teori
transformasi akustik di telinga tengah harus dimodifikasi. Dikemukakan bahwa
transmisi suara di telinga tengah merupakan hasil kopling osikular, kopling akustik
dan input impedansi stapes-koklea. Selain itu aerasi telinga tengah perlu untuk
sistem konduksi suara di telinga tengah.15

Kopling Osikuler
Merupakan pembesaran energi suara yang disampaikan ke telinga dalam melalui
membran timpani dan rantai osikel. Penambahan pendengaran sekitar 20 db pada
nada 250-500 Hz, mencapai penambahan maksimum sebesar 25 db pada nada
1000 Hz. Pada nada rendah seluruh membran timpani bergerak dalam satu fase,
sedang pada nada di atas 1000 Hz gerakan membran timpani terbagi menjadi
bagian-bagian kecil yang bergerak dengan fase berbeda.

91
Modul VI.1−Gangguan Pendengaran

Kopling Akustik
Adalah perbedaan tekanan suara yang beraksi langsung pada tingkap lonjong dan
tingkap bulat. Gerakan membran timpani menyebabkan tekanan suara di telinga
tengah yang dihantarkan langsung (selain melalui osikel) ke tingkap lonjong dan
tingkap bulat. Tekanan tersebut berbeda karena perbedaan orientasi letaknya
terhadap membran timpani. Pada telinga normal dengan membran timpani utuh
perbedaan itu dapat diabaikan.

Impedansi Input Stapes-Koklear


Adalah gerakan kaki stapes yang tertahan oleh struktur anatomi lain antara lain
ligamentum anulare, cairan koklea, membran tingkap bulat. Bila round window
niche terisi oleh cairan atau jaringan patologik lain, akan terjadi peningkatan
impedansi tingkap bulat, akibatnya meningkatkan impedansi input stapes-koklear
sehingga menyebabkan tuli konduktif.

Aerasi Telinga Tengah


Adanya rongga udara dengan volume yang cukup dengan tekanan yang sama
dengan tekanan udara luar perlu untuk pergerakan membran timpani. Pada batas
tertentu pengecilan volume mengganggu kopling osikuler. Diperkirakan volume
minimal yang diperlukan untuk kopling osikuler dalam 10 db telinga normal
adalah 0,5 ml.15

Pada fiksasi parsial atau total seperti otosklerosis, akan mengurangi kopling
osikuler. Derajat ketuliannya bervariasi menurut derajat fiksasi dan tempat fiksasi.
Ketulian terutama nada rendah. Fiksasi kaki stapes komplit menyebabkan AB gap
sekitar 60 db, tetapi fiksasi maleus hanya akan menyebabkan ketulian 15-25 db.15

Telinga dalam terdiri dari 2 bagian, yaitu koklea serta vestibulum dan kanalis
koklearis. Koklea merupakan saluran tulang yang bergelung 2,5 lingkaran.
Sepanjang salurannya terbagi menjadi 3 bagian, skala vestibuli, skala media dan
skala timpani. Skala media mempunyai penampang segitiga dengan dasarnya
membran basilaris yang menjadi landasan organ corti. Organ corti mengandung
sel-sel reseptor bunyi, yaitu sel rambut dalam dan sel rambut luar. Proses hantaran
bunyi di koklea dimulai adanya energi akustik yang menimbulkan gerakan tulang
stapes seperti piston, sehingga akan menggerakkan membran reissner dan cairan
endolimf skala media, sehingga menimbulkan pergeseran pada membran basilaris.
Selain itu getaran pada membran basilaris juga menimbulkan gerak relatif antara
membran basilaris dan membran tektoria yang merupakan rangsang mekanik, yang
menyebabkan defleksi stereosilia sel-sel rambut dan terjadi penglepasan ion
bermuatan listrik. Proses tersebut merupakan perubahan energi mekanik menjadi
energi listrik.8,11

92
Modul VI.1−Gangguan Pendengaran

Gambar. anatomi telinga

Mekanisme Hantaran Tulang


Suara yang terdengar dihantarkan melalui hantaran udara dan tulang menuju
koklea. Transfer energi mekanik dari sumber bunyi ke koklea terjadi akibat vibrasi
tulang kepala. Bila tulang kepala mengalami vibrasi, terjadi juga pergerakan tulang
pendengaran namun lebih lemah. Selanjutnya stapes bergerak menuju tingkap
lonjong sehingga terjadi gerakan aliran cairan koklea. Proses ini disebut inertial
bone conduction (inertial BC). Karena tulang kepala lebih sensitif terhadap
frekuensi < 800 Hz, maka inertial BC sangat berperan dalam transmisi bunyi nada
rendah. Pada bunyi dengan frekuensi lebih tinggi menyebabkan vibrasi segmental
tulang kepala, yang diteruskan ke bagian yang berhadapan. Sehingga tenaga
vibrasi dari tulang kepala akan diteruskan ke koklea bagian tulang yang pada
akhirnya juga menyebabkan aliran cairan koklea. Proses ini disebut compressional
BC. Mekanisme lain dari BC adalah vibrasi tulang kepala mengakibatkan
sejumlah energi menyebar ke liang telinga sehingga timbul gelombang bunyi yang
perjalanannya ke koklea seperti pada AC. Dalam keadaan tersumbat, liang telinga
dapat berperan sebagai high pass filter, akibatnya bila terjadi vibrasi tulang kepala
akan lebih banyak lagi bunyi nada rendah terkumpul di liang telinga untuk
diteruskan menggetarkan membran timpani. Akibatnya, energi bunyi yang tiba di
koklea akan lebih banyak lagi. Hal ini dikenal dengan occlusion effect (OE). Pada
orang yang mengalami gangguan telinga tengah, efek oklusi pada ambang BC
menjadi sangat kecil atau tidak ada sama sekali.

Etiologi
Penyebab otosklerosis sampai saat ini tidak diketahui secara pasti. Namun sudah
lama diketahui, bahwa komponen genetik memegang peranan dalam terjadinya
otosklerosis, dimana transmisinya terjadi secara autosomal dominan. Adapun gen

93
Modul VI.1−Gangguan Pendengaran

penyebab otosklerosis belum dapat diidentifikasi dengan jelas, namun suatu studi
menyebut bahwa gen tersebut terletak pada kromosom 15q25-26. Adapula yang
menghubungkan otosklerosis dengan gen COLI A1, yang mengkode kolagen tipe
1.1

Peneliti menemukan adanya kesamaan antara otosklerosis dengan osteogenesis


imperfekta dan penyakit Paget, dimana lesi pada kedua penyakit tersebut juga
terletak pada kapsul labirin.

Saat ini penelitian mengarah pada peranan infeksi virus campak dalam
menginisiasi terjadinya otosklerosis pada pasien yang sebelumnya telah memiliki
predisposisi genetik. Peningkatan titer imunoglobulin G spesifik untuk campak
telah ditemukan pada perilimf pasien dengan otosklerosis. Namun peranan virus
campak secara pasti dalam menyebabkan penyakit belum dapat ditegakkan.1

Epidemiologi
Sekitar 60% pasien dengan otosklerosis klinis dilaporkan memiliki riwayat
keluarga dengan keluhan serupa. Penelitian keluarga yang paling mendalam
menunjukkan bahwa otosklerosis adalah faktor keturunan autosomal dominan
dengan kemungkinan diturunkan 40-50%.4 Angka tersebut cukup tinggi mengingat
bahwa otosklerosis histologis jauh lebih banyak daripada otosklerosis klinik.
Beberapa lesi terjadi pada lokasi yang tidak menunjukan manifestasi klinis. Pada
sekitar 10% ras Kaukasian ditemukan otosklerosis secara histologi, namun hanya
sekitar 1% yang menunjukkan manifestasi klinis. Guild, pada pemeriksaan tulang
temporal post mortem menemukan prevalensi histologi yang tinggi, yaitu 8,3%
pada ras Kaukasian dan 1% pada ras Afrika Amerika yang bermanifestasi secara
klinis.1 Pada populasi orang Jepang atau Amerika Selatan, insidensi terjadinya
otosklerosis sekitar 50% dari ras Kaukasian. Populasi Amerika Afrika memiliki
insidensi lebih sedikit, yaitu 1% yang ditemukan secara histologi.

Pada semua ras, ketika satu telinga terkena otosklerosis, maka telinga kontralateral
juga menunjukkan keterlibatan histologi (80%), dimana lokasi anatomi dan fase
histologinya serupa dengan telinga yang terkena.5 Otosklerosis unilateral
didapatkan pada 15% kasus.9 Pada umumnya onset terjadi antara umur 15-45
tahun.3 Dengan rata-rata munculnya manifestasi klinis pada umur 30 tahun.5,7

Otosklerosis juga dilaporkan berkembang lebih cepat pada wanita dibanding pria.
Faktor hormonal memiliki peran, yaitu wanita dengan otosklerosis mengalami
perburukan penyakit saat wanita tersebut hamil. Reseptor estrogen telah diketahui
terdapat pada plak otosklerosis.5

94
Modul VI.1−Gangguan Pendengaran

Patofisiologi
Area yang terkena otosklerosis menggambarkan manifestasi klinis. Tipe yang
paling sering adalah yang melibatkan stapes, sehingga tuli konduktif merupakan
manifestasi klinisnya. Tuli konduktif disebabkan fiksasi kaki stapes, biasanya
dimulai dari fissula ante fenestram. Perjalanan penyakit yang progresif dari kaki
stapes dapat menyebabkan penebalan fokus otosklerosis sehingga memenuhi
lubang tingkap lonjong (otosklerosis obliterasi).5

Otosklerosis dapat menyebabkan terjadinya tuli sensorineural masih


diperdebatkan. Mekanisme untuk terjadinya tuli sensorineural adalah
kemungkinan terjadinya pelepasan metabolit toksik kedalam telinga dalam yang
mengakibatkan luka pada neuroepitel, kerusakkan vaskuler, ataupun terjadi
perluasan lesi secara langsung ke koklea. Hal tersebut menghasilkan gangguan
pada elektrolit dan perubahan pada membran basiler. Tuli sensorineural biasanya
berhubungan dengan otosklerosis stapedial, meskipun beberapa ahli otologi
menyebutkan tuli sensorineural dapat terjadi tanpa adanya tuli konduktif, yang
dikenal dengan otosklerosis koklear.5

Keluhan vertigo didapatkan pada 30% pasien dengan otosklerosis. Gejala


vestibuler biasanya tidak berat. Vertigo yang ditemukan bersama dengan
otosklerosis disebut sindrom otosklerosis telinga dalam. Penting untuk
membedakan gangguan ini dengan penyakit meniere, berdasarkan manifestasi
klinis. Sindrom otosklerosis telinga dalam sangat jarang menyebabkan vertigo
berat, mual, muntah, maupun tuli sensorineural yang fluktuatif.5

Gejala klinis
Gangguan Pendengaran
Gangguan pendengaran pada otosklerosis bilateral, progresif, kadang disertai
parakusis dan tinitus. Gangguan pendengaran ini sering tidak disadari, sampai
mencapai 25-30 db, ketika pasien mulai merasa kesulitan dalam berkomunikasi.
Seringkali pasien merasa lebih nyaman mendengar pada suasana bising (parakusis
willisi).4,5,8 Hal ini terutama pada gangguan konduktif, karena umumnya seseorang
akan meninggikan suaranya diatas ambang bising sehingga menimbulkan efek
masking terhadap bunyi bising tersebut. Level suara yang terdengar itu, diatas
ambang dengar seseorang dengan gangguan konduktif. Parakusis terjadi karena
terjadi fiksasi stapes.8

Tinitus
Merupakan gejala yang umum, dan dapat muncul pada pasien tanpa degenerasi
koklea ketika terdapat vaskularitas abnormal pada tulang yang mengalami
otosklerotik. Tinitus merupakan indikasi terjadinya degenerasi sensorineural.
Biasanya muncul pada tahap awal penyakit, dan dapat menghilang ketika ketika

95
Modul VI.1−Gangguan Pendengaran

lesi telah matur dan tulang spongiosa telah diganti menjadi tulang sklerotik yang
keras.9 Tinitus ditemukan pada 75% pasien.5

Vertigo
Keluhan ini kemungkinan disebabkan adanya enzim toksik yang dilepaskan oleh
fokus lesi, pada labirin vestibuler. Bermacam gejala vestibuler dapat terjadi pada
otosklerosis dan yang paling sering adalah true benign positional vertigo. Jika
didapatkan gejala vertigo, apakah yang disebabkan hidrops vestibuler sekunder
dari otosklerosis kapsular ataupun yang disebabkan keterlibatan akuaduktus
vestibuler, maka harus dipertimbangkan adanya penyakit penyerta meniere. Pada
anamnesis perlu ditanyakan riwayat penyakit telinga, paparan bising, paparan obat
ototoksik, penyakit tulang dan sendi.9 Keluhan vertigo didapatkan pada 30%
pasien dengan otosklerosis.5

Diagnosis
Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik, pemeriksaan
dengan garpu tala, audiometri dibantu dengan timpanometri dan radiologi bila
diperlukan. Diagnosis pasti dengan adanya temuan operasi untuk memastikan
adanya kekakuan pada gerak tapak stapes dan hasil pemeriksaan histopatologik.

Otosklerosis khas terjadi pada usia dewasa muda, walaupun gejala gangguan
pendengaran tidak dirasakan sampai usia menengah. Gejala jarang muncul
sebelum usia akhir remaja dan sangat jarang sebelum usia 5 tahun. Selama periode
aktivitas endokrin, seperti kehamilan dan menopause, penyakit dapat lebih
progresif. Pada mayoritas pasien, gejala gangguan pendengaran mulai dikeluhkan
pada saat usia antara 20-30 tahun. Setelah onset, gangguan pendengaran
berkembang dengan lambat.4,9 Walaupun kadang terdapat riwayat infeksi telinga
sewaktu masa kanak-kanak, hal tersebut hanya hubungan kebetulan saja dan tidak
ada hubungannya dengan gangguan pendengaran baik secara anamnesis maupun
secara obyektif. Hanya 1-2% dari yang menderita otitis media akan menderita juga
otosklerosis.4

Anamnesis dan Pemeriksaan Fisik


Anamnesis merupakan langkah pertama pada pemeriksaan yang harus dilakukan
dengan baik sehingga kita dapat mengetahui awal usia terjadinya ketulian,
progresifitas dan derajat perkembangan penyakit yang terjadi pada kedua telinga,
derajat gangguan dalam pergaulan sosial dan pekerjaan. Juga perlu ditanyakan
adanya keluhan lain seperti tinitus, vertigo, dan perasaan lebih baik bila
mendengar dalam lingkungan yang bising. Adanya riwayat keluarga pada 60%
kasus. Adanya penyakit infeksi telinga, riwayat trauma akustik, pemakaian obat-
obat ototoksik atau hormonal dan penyakit tulang harus ditanyakan untuk dapat
membuat diagnosis banding.7

96
Modul VI.1−Gangguan Pendengaran

Pemeriksaan kepala dan leher secara lengkap dibutuhkan untuk menyingkirkan


adanya kelainan di bidang telinga, hidung, tenggorok. Pada pemeriksaan otoskopi
didapatkan membran timpani yang normal. Kadang dapat pula terlihat tanda
Schwartze, yang ditemukan pada 10% pasien. Dengan spekulum pneumatik
Siegle dapat dilihat gerakan membran timpani dengan cara memberikan tekanan
negatif dan positif.

Evaluasi Audiologi
Meskipun diagnosis pasti otosklerosis ditegakkan saat tindakan pembedahan,
tetapi diagnosis preoperatif dan penentuan ada tidaknya indikasi operasi adalah
berdasarkan evaluasi audiologi.

Evaluasi audiologi penting untuk tindakan operasi stapes dalam tiga hal. Pertama,
evaluasi ini dapat mengarahkan diagnosis ke otosklerosis. Kedua, evaluasi ini
dapat menilai gangguan pendengaran secara kuantitatif dan karena itu pula dapat
membantu dalam membuat keputusan perlu tidaknya tindakan operasi. Ketiga,
evaluasi audiologi merupakan alat ukur yang baik dalam menilai keberhasilan
operasi dan mengukur hasil operasi.6

Diagnosis audiometri otosklerosis didasarkan interpretasi adanya gap pada


hantaran udara yang menggambarkan komponen konduksi pada gangguan
pendengaran. Pemeriksaan lain seperti garpu tala dapat digunakan bersama dengan
pemeriksaan objektif lainnya.

Pemeriksaan Garpu Tala


Pemeriksaan garpu tala merupakan pemeriksaan sederhana yang dapat
memberikan informasi mengenai adanya gangguan pendengaran konduktif.
Pemeriksaan ini pada prinsipnya memiliki kesamaan dengan pemeriksaan
audiometri.6 Pada fase awal, gangguan konduksi dapat terbatas pada penala 256
Hz. Ketika kaki stapes mulai terfiksasi, terjadi perubahan pada penala 512 dan
1024 Hz.5 Pemeriksaan yang sering dikerjakan adalah weber dan rinne.

Tes weber pada gangguan pendengaran konduktif berdasarkan bahwa energi


akustik yang ditransmisikan ke dalam telinga dalam melalui tulang lebih besar
daripada melalui konduksi udara. Pemeriksaan weber menunjukkan lateralisasi ke
telinga yang mengalami gangguan konduksi lebih berat, meskipun tes ini juga
dipengaruhi oleh adanya gangguan sensorineural.5,7

Adapun tes rinne dapat menunjukkan rinne negatif bila telinga mengalami
gangguan pendengaran konduktif. Tes ini dapat diinterpretasi dengan dua cara.
Pertama, berdasarkan perbandingan antara ambang konduksi tulang dan udara.
Normalnya ambang konduksi udara tercapai 15 detik setelah ambang konduksi
tulang. Kedua, berdasarkan perbandingan kerasnya suara antara dua macam

97
Modul VI.1−Gangguan Pendengaran

konduksi.6 Keuntungan pemeriksaan garpu tala adalah penggunaannya yang


mudah, tidak mahal, dan cepat.

Audiometri Nada Murni


Salah satu gambaran klinik yang klasik pada otosklerosis adalah tuli konduktif
yang bersifat simetris yang dapat diperiksa dengan audiometri nada murni.7 Pada
fiksasi stapes yang masih dini tampak konduksi udara mendatar dan konduksi
tulang dalam batas normal. Pada beberapa kasus dilaporkan peningkatan ambang
dengar konduksi tulang terutama pada frekuensi 2 khz. Hal ini khas pada
otosklerosis, disebut takik “Carhart” dan menggambarkan adanya perbedaan
tahanan antara telinga tengah dan telinga dalam yang diakibatkan oleh
terfiksasinya stapes. Dengan perkembangan penyakit, bisa terdapat gangguan
hantaran tulang serta kesenjangan hantaran udara-tulang makin besar dan bila
terjadi juga tuli saraf, gambaran audiogram menjadi bervariasi karena mulai
terdapat gangguan hantaran tulang.7

Gambar Audiometri Nada Murni dengan Takik Carhart

Pada gangguan pendengaran konduktif didapatkan ambang dengar konduksi tulang


lebih baik dari ambang dengar konduksi udara. Namun meskipun ambang dengar
konduksi tulang dan udara menunjukkan ambang dengar yang sama tanpa adanya
komponen konduksi, ada satu hal yang perlu diingat bahwa energi yang diperlukan
pada penghantar konduksi tulang (melalui vibrator tulang) akan lebih besar
dibandingkan energi yang dibutuhkan untuk penghantar konduksi udara (melalui
headphone).

Kenyataan tersebut menyebabkan keterbatasan dalam penentuan ambang dengar


melalui konduksi tulang, yang meliputi batas level maksimum (biasanya 50-70 db
HL, tergantung alat dan frekuensi yang dipakai) dan batas frekuensi maksimum 4
khz, karena vibrator dapat menyebabkan konduksi udara pada frekuensi yang lebih
tinggi. Selain itu tingginya variabilitas dalam penentuan ambang dengar konduksi
tulang disebabkan variasi tiap individu dalam mentransmisikan getaran ke tulang

98
Modul VI.1−Gangguan Pendengaran

tengkorak kepala, dan kemudian ke telinga dalam. Hal-hal tersebut menyebabkan


pengukuran ambang dengar konduksi tulang lebih sulit. Sangatlah tidak biasa bila
terdapat gangguan konduksi karena otosklerosis pada satu telinga, sedang telinga
lainnya normal. Masking diperlukan untuk mengeliminasi keterlibatan dari telinga
yang tidak diperiksa.6

Masking merupakan suatu prosedur klinis berupa pemberian suara bising pada
telinga yang lebih baik untuk mencegah terdengarnya suara dari telinga yang
sedang diuji. Jika kita menguji seseorang yang diketahui tidak mampu mendengar
di telinga kanannya, maka kita akan menaikkan intensitas suara di earphone
telinga kanan, yang jika terus menerus akan menyebabkan vibrasi tengkorak dan
isinya. Jika vibrasi dari telinga kanan ini cukup kuat, maka bunyi akan
menyeberang melalui tengkorak dan mengguncang cairan di dalam koklea telinga
kiri, yang disebut cross over. Jika vibrasi cukup besar sehingga tedengar oleh
telinga kiri disebut cross hearing. Pada kasus dengan tuli konduksi yang berat di
kedua telinga, kita menghadapi dilema. Pada beberapa kasus, masking yang baik
untuk menghilangkan cross hearing dapat begitu besar diberikan sehingga terjadi
cross hearing di telinga yang diuji dan meningkatkan nilai ambang dengar dari
yang sebenarnya (overmasking). Kemajuan terbesar dalam mengatasi dilema ini
adalah penggunaan earphone ke liang telinga.

Tidak semua perbedaan yang terjadi antara ambang konduksi tulang dan ambang
konduksi udara pada telinga yang sama merupakan akibat dari gangguan konduksi.
Suatu penjelasan mengenai air-bone gap telah dijelaskan oleh Sohmer et al.6
Mereka menyimpulkan bahwa konduksi tulang tidak hanya disebabkan oleh
penghantaran suara sampai ke telinga dalam melalui vibrasi tulang. Tonndof
(1972) menjabarkan 3 mekanisme konduksi tulang, yang bekerja bersama
sehingga timbul aktivitas di koklea.8

Audiometri Tutur
Guna pemeriksaan ini adalah untuk menilai kemampuan pasien dalam
pembicaraan sehari-hari, dan untuk menilai pemberian alat bantu dengar (hearing
aid). Pada tes ini dipakai kata-kata yang sudah disusun dalam silabus :
monosilabus (1 suku kata) & bisilabus (2 suku kata). Kata-kata tersebut disusun
dalam daftar yang disebut Phonetically balance word (PB). Pasien diminta
mengulang kata-kata yang didengar melalui kaset. Terdapat 2 istilah:
- SRT (speech reception test) yaitu kemampuan mengulangi kata-kata yang
benar sebanyak 50%, biasanya 20-30 db di atas ambang pendengaran.
- SDS (speech discrimination scor) yaitu skor tertinggi yang dapat dicapai oleh
seseorang pada intensitas tertentu. Apabila kata yang betul :
90 - 100% : pendengaran normal
75 - 90% : tuli ringan

99
Modul VI.1−Gangguan Pendengaran

60 - 75% : tuli sedang


50 - 60% : tuli berat, kesulitan mengikuti pembicaraan sehari-hari <
50%.2

Pemeriksaan audiometri tutur akan menunjukan hasil yang baik selama tidak ada
penurunan hantaran tulang atau tuli saraf.7

Audiometri Impedans
a. Timpanometri
Hasil pemeriksaan timpanometri adalah timpanogram yaitu grafik yang
menggambarkan Middle Ear Compliance (MEC) pada berbagai perubahan
tekanan udara. Pemeriksaan timpanometri sangat menolong dalam
menentukan diagnostik. Rangkaian tulang-tulang pendengaran yang terletak
pada telinga tengah dan menepel pada membran timpani di satu sisi dan sisi
lainnya pada tingkap lonjong. Pada pemberian tekanan udara, mekanisme dari
rangkaian tulang akan mempengaruhi mobilitas dari membran timpani dan
dapat memberi gambaran mengenai keadaan pada telinga tengah. Nilai
kelenturan (compliance) biasanya mengecil atau normal. Menurut Jerger, ada
3 kategori dan 2 sub kategori timpanogram :
1. Tipe A
Ditandai oleh puncak pada 0 mm dengan selisih antara compliance dasar-
puncak antara 0,3-1,6 cc. Ada 3 jenis tipe A yang mempunyai ciri seperti
diatas. Pola ini dijumpai pada orang normal dengan fungsi telinga tengah yang
normal, dapat juga terjadi pada fase awal fiksasi stapes.
2. Tipe As
Sama seperti tipe A, pada tipe As didapatkan puncak compliance pada
tekanan atmosfer normal 0 mm, namun selisih compliance dasar-puncak lebih
kecil atau kurang dari 0,3 cc. Huruf “s” pada As artinya shallow (dangkal)
yang menunjukkan mekanisme kekakuan abnormal. Pola ini dapat terjadi pada
kelainan fiksasi tulang-tulang pendengaran.10
3. Tipe Ad
Ditandai compliance yang sangat tinggi sehingga melampaui batas
kemampuan alat timpanometer pada daerah 0 mm. Huruf “d” artinya deep
(dangkal). Gambaran tersebut dijumpai pada diskontinuitas tulang
pendengaran, membran timpani yang sangat kaku akibat jaringan parut yang
luas.
4. Tipe B
Hanya sedikit atau sama sekali tidak dijumpai efek perubahan tekanan
pada compliance membran timpani. Hal ini menandakan probe tone
menghadapi hambatan yang besar sehingga tidak terjadi transmisi pada telinga
tengah.
5. Tipe C

100
Modul VI.1−Gangguan Pendengaran

Memiliki puncak namun terjadi pada pemberian tekanan negatif udara.


Biasanya menunjukkan disfungsi tuba eustachius.

b. Refleks Stapedius

Bila telinga diberikan stimulus dengan intensitas cukup keras, maka otot stapedial
pada kedua telinga berkontraksi. Selama stimulasi akustik yang kuat, impuls syaraf
dari koklea menjalar dalam N. VIII, menuju ke Nukleus Koklearis Ventral sesisi
(ipsilateral), dan melalui badan trapezoid ke pusat motorik N. VII, kemudian
impuls tersebut turun kembali melalui N. VII ke otot stapedial ipsilateral.
Lengkung refleks sisi yang berseberangan (kontralateral), selalu terdiri dari 4
neuron. Dari N. VIII dan Nukleus Koklearis Ventral, impuls berjalan melalui
trapezoid ke arah oliva medial superior dan melewati nukleus motoris N. VII
kontralateral ke arah otot stapedius. Jika suatu bunyi cukup keras untuk
menimbulkan refleks, maka otot-otot stapedius secara tiba-tiba akan meningkatkan
ketegangan sistem, sehingga menyebabkan perubahan yang menimbulkan refleks.
Bagi orang yang normal berkisar antara 70-100 db HL.

Pada otosklerosis yang menyebabkan terjadinya kekakuan di telinga tengah,


gerakan membran timpani dan refleks stapedius didapatkan gambaran normal
pada awal penyakit, dan akan mengalami penurunan ketika terjadi peningkatan
kekakuan pada tulang-tulang pendengaran. Di fase awal terjadinya fiksasi stapes,
pada timpanometri dapat menunjukkan sebuah keadaan efek “on-off” atau
refleks bifasik yaitu terdapat ketidaknormalan peningkatan impedans di awal dan
di akhir dari signal elektrik. Dengan progresifnya penyakit ini, efek dari “on-off”
biasanya menghilang dan reflek stapedius menjadi negatif.

101
Modul VI.1−Gangguan Pendengaran

Ket : A. Refleks normal; B. Refleks bifasik; C. Refleks negatif12

Tipe timpanometri pada otosklerosis biasanya As tapi ini jarang didapatkan.


Biasanya pada timpanometri didapatkan tipe A dengan compliance yang rendah
5,10,12

Hal penting pada pemeriksaan audiologi adalah karena pemeriksaan ini dapat
digunakan sebagai alat ukur untuk evaluasi tindakan rehabilitasi serta perlu
tidaknya tindakan operatif pada kasus otosklerosis. Air-bone gap yang kecil
dengan sedikit gangguan pendengaran bukanlah indikasi untuk operasi, meskipun
diagnosis otosklerosis dapat ditegakkan.

Tomografi Komputer (CT Scan)


Pemeriksaan ini merupakan pendekatan baru yang dapat dipercaya untuk
mempelajari keadaan kapsul koklea. Zonneveld melakukan pemeriksaan dengan
bidang horizontal untuk melihat daerah kanalis semisirkularis, vestibulum,
akuaduktus vestibularis, serta putaran basal dan tengah koklea. Pemeriksaan lain
dilakukan dengan bidang semilongitudinal untuk melihat daerah kanalis
semisirkularis posterior dan koklea. Daerah tingkap lonjong paling baik dilihat
dengan bidang semiaksial.7

Diagnosis banding
Otosklerosis dapat menyerupai beberapa penyakit lain yang juga menyebabkan tuli
konduktif atau tuli saraf. Sebelum dilakukan pengobatan, penting dibuat diagnosis
yang tepat terhadap gangguan pendengaran yang ada karena untuk tiap kelainan
yang berbeda, penanganannya berbeda pula.

102
Modul VI.1−Gangguan Pendengaran

Diagnosis banding dapat dibagi atas 4 kelompok berdasarkan penyebabnya yaitu


kekakuan sistem tulang pendengaran, diskontinuitas sistem tulang pendengaran,
kelainan tulang sistemik, dan tuli saraf lainnya.

Kekakuan sistem tulang pendengaran dapat berupa fiksasi maleus-inkus,


timpanosklerosis, dan otitis media kronik adhesiva. Diskontinuitas tulang-tulang
pendengaran dapat disebabkan oleh trauma kepala atau cacat kongenital.

Penyakit tulang sistemik juga dapat menimbulkan ketulian yaitu osteogenesis


imperfekta dengan gejala lain berupa sklera biru dan tulang yang rapuh. Penyakit
Paget atau Osteitis deformans juga bisa menimbulkan gejala ketulian seperti pada
otosklerosis.

Tuli saraf yaitu penyakit Meniere, karena obat ototoksik, penyakit sifilis. Penyakit
Meniere dapat terjadi bersamaan dengan otosklerosis koklea.

Penatalaksanaan
Terdapat 2 cara penanganan otoskleosis :
1. Non bedah
a. Obat-obatan
Pada tahun 1964, Shambaugh dan Scott menduga sodium florida, pada
dosis sedang, mungkin dapat meningkatkan proses rekalsifikasi dan
mengurangi proses remodelling tulang pada lesi aktif otosklerotik. Florida
mengurangi resorpsi osteoklas dan meningkatkan formasi tulang osteoblas.
Indikasi terapi sodium florida :
- Pasien yang sudah ditegakkan diagnosis otosklerosis melalui operasi dan
menunjukkan gangguan pendengaran progresif
- Pasien dengan kemungkinan terjadi koklear otosklerosis
- Pasien yang secara pemeriksaan radiologi menunjukkan perubahan spongiosis
di kapsul koklea
- Positif tanda schwartze
Dosis pemberian sodium florida pada lesi aktif, 50 mg perhari selama 2
tahun, dan dapat ditingkatkan menjadi 75 mg perhari bila ditemukan tanda
schwartze. Dapat diberikan suplementasi kalsium dan vitamin D.9

b. Pemasangan Alat Bantu Dengar


Pasien dengan gangguan pendengaran pada otosklerosis seharusnya
dipertimbangkan untuk memilih amplifikasi sebagai alternatif pembedahan.
Pasien dengan otosklerosis biasanya mempunyai diskriminasi yang baik dan
alat bantu dengar unilateral atau bilateral dapat memberikan pengobatan yang
efektif. Beberapa pasien mungkin tidak cocok dengan pembedahan dan
mungkin penggunaan alat bantu dengar merupakan pilihan yang tepat.5,9

103
Modul VI.1−Gangguan Pendengaran

2. Bedah
Yang dilakukan saat ini adalah stapedoktemi. Operasi stapedektomi ini
sudah menjadi prosedur baku untuk penyakit otosklerosis sejak diperkenalkan
oleh Shea pada tahun 1958.7 Terdapat tiga komponen yang perlu
dipertimbangkan ketika merekomendasikan operasi pada otosklerosis, yaitu :
gangguan pendengaran, jumlah air-bone gap, dan keterbatasan pendengaran
yang dialami pasien. Ketiga hal tersebut harus dianalisa secara terpisah.6
Indikasi pembedahan :
- Pada mayoritas pasien yang mengalami tuli konduktif disebabkan oleh
otosklerosis
- Pasien dengan level BC 0-25 db dan AC 45-65 db adalah kandidat yang sesuai
untuk operasi. Air-bone gap harus paling sedikit 15 db dengan Speech
Discrimination Score minimal 60% untuk mendapatkan hasil yang baik.
Pasien dengan gangguan pendengaran 90-100 db dan pada audiometri
tutur tidak terukur, masih dapat dicoba untuk dilakukan operasi, sehingga
nantinya pasien dapat menggunakan alat bantu dengar yang sebelumnya tidak
dapat ia gunakan.9
Kontra indikasi pembedahan :
- Adanya penyakit penyerta
- Usia tua, anak-anak
- Pada gangguan konduksi yang disebabkan oleh penyebab lain, maka stapes
tidak boleh di manipulasi
- Otosklerosis unilateral
- Pada pasien yang hanya mendengar pada satu telinga
- Pada stapedial dan koklear otosklerosis dengan air-bone gap yang jauh,
operasi tidak disarankan selama masih dapat menggunakan alat bantu dengar
- Terdapat vertigo dan secara klinis terbukti ada hidrops labirin terutama bila
terdapat gangguan pendengaran fluktuatif
- Stapedektomi pada telinga kedua, yang masih kontroversial
- Wanita hamil

Prognosis
Pembedahan secara signifikan dapat memperbaiki pendengaran pada sekitar 90%
pasien. 13
Prognosis otosklerosis dengan pembedahan :
- Operasi dapat memperbaiki fungsi pendengaran secara signifikan pada 90 dari
100 pasien
- Pada 8 dari 100 pasien, pendengaran dapat membaik namun tidak sebaik yang
diharapkan

104
Modul VI.1−Gangguan Pendengaran

- Sangat jarang, sekitar 1 atau 2 kali dari 100 operasi, pendengaran justru
memburuk. Hal inilah yang menjadi alasan mengapa operasi dilakukan
pertama kali pada telinga dengan pendengaran yang lebih buruk.14

c. Central Auditory Processing Disorder

Diagnosis
Central auditory processing disorder (CAPD) ialah suatu keadaan dimana terjadi
kesulitan dalam interpretasi terhadap rangsangan auditori pada individu tanpa
adanya gangguan pendengaran perifer. The American Speech And Hearing
Association (ASHA) menyatakan bahwa CAPD adalah kondisi yang menunjukan
kelainan atau masalah pada satu atau lebih dari hal berikut:
1. Lokalisasi dan lateralisasi suara
2. Diskriminasi auditori (kemampuan untuk membedakan jenis suara yang
berbeda)
3. Auditory pattern recognition (kemampuan untuk embedakan mana bunyi yang
berbeda dan bunyi mirip)
4. Temporal aspects of audition (kemampuan untuk mengikuti dan
menggabungkan suara menjadi kata-kata dan kemampuan untuk mengenal
suara yang terpisah)
5. Auditory performance decrements with competing sounds (kemampuan untuk
mengenal kata kata atau suara pada saat ada suara lain
6. Auditory performance with degraded acoustic signal (kemampuan untuk
mengenal signyal bunyi yang hilang)
Orang orang dengan CAPD mempunyai fungsi pendengaran yang normal pada
lingkungan yang mempunyai bising yang minimal. Naming bila bising lingkungan
ini meningkat maka kemampuan untuk membedakan, mengerti, dan memproses
suara ini menjadi menurun. Pada suasana seperti ini pasien CAPD biasanya akan
menunjukan beberapa gejala diantaranya : kemampuan untuk mendengar suara di
frekuensi tertentu, selalu meminta pengulangan kata yang diucapkan, sering salah
pengertian, bingung dengan kata kata yang mirip, berbicara keras, bersifat acuh tak
acuh, sulit untuk mengikuti perintah, tidak dapat memberi respon terhadap
pertanyaan selama percakapan.

Anatomi dan fisiologi proses auditori sentral


Proses auditori sentral adalah suatu proses yang komplek setelah perubahan energy
suara menjadi aktivitas neural di koklea. Terganggunya proses auditori sentral ini
menyebabkan menurunnya kemampuan dalam persepsi kata-kata, bising
lingkungan atau music tanpa adanya ketulian.
Sistem persarafan auditori sentral jika tidak bekerja akan menunjukan kelainan tes
auditori sesuai dengan daerah yang terkena lesi. Pada anak-anak, mielinisasi dan
maturasi sistem persarafan ini berlangsung terus sampai usia 10-12 tahun. Otak

105
Modul VI.1−Gangguan Pendengaran

pada usia muda memiliki kemampuan untuk proses plasticity. Sistem persarafan
auditori sentral berlanjut dari nucleus koklearis di batang otak sampai ke korteks
auditori. Komplek olivari superior, lemiskus lateralis, dan kolikulus inferior,
corpus genikulatum medial, dan formation retikularis adalah jalur penting yang
dilalui oleh bunyi. Area auditori korteks dan subkorteks terutama terdiri dari gyrus
of Heschl’s, planum temporal, dan Sylvian fissure.

Gejala klinik
Pasien dengan gangguan proses auditori seringkali terlihat tidak takin dengan apa
yang mereja dengar dan sulit untuk mendengar terutama pada lingkungan yang
bising, sulit mengikuti instruksi, dan sering sulit untuk mengerti pembicaraan yang
cepat.
Gejala ini biasanya terlihat pada awal usia sekolah atau pada akhir pendidikan dari
anak-anak karena pada saat ini terjadi perubahan dari lingkungan rumah ke
lingkungan sekolah atau meningkatnya kebutuhan akademik yang terjadi pada tiap
akhir semester. Gejala lain yang muncul adalah gangguan pada bahasa, membaca
dan memahami kata-kata sehngga pasien menjadi acuh tak acuh dan tak perduli
dengan lingkungan sekitar.

Diagnosis
Menegakan suatu diagnosis CAPD bukanlah suatu hal yang mudah. Tahap 1
adalah pemeriksaan pendengaran perifer. Pemeriksaan yang dilakukan ialah
audiometri nada murni, audiometric tutur, audimetri impendand. Pemeriksaan
elektrofisiologik juga dilakukan seperti OAE dan ABR.

Tahap 2 ialah pemeriksaan konsentrasi dan perhatian, daya ingat, dan IQ. Untuk
menentukan suatu CAPD harus disingkirkan keterlibatan gangguan konsentrasi
dan perhatian, gangguan pemahaman bahasa, dan disleksia. Diagnosis tentang hal
ini biasanya dilakukan oleh seorang psikologis.

Tahap 3 pemeriksaan gangguan bahasa. Gangguan bahasa dapat terjadi akibat


kelainan organic maupun non organic. Pada CAPD terdapat gangguan persepsi
pada saat input suara masuk terutama di lingkungan bising, jadi dalam hal ini
gangguan bersifat non organic. Pasien anak dengan CAPD kadang mengelukan
gangguan percakapan dengan latar belakang bising lingkungan

Tahap 4 terdiri dari diagnosis audiologi deficit resolusi temporal. Resolusi


temporal adalah kemampuan untuk mendeteksi perubahan pada durasi rangsangan
auditori, dan kemampuan untuk medeteksi silent gap antara rangsangan auditori.
Pemeriksaan untuk ini adalah Random Gap Detection Test (RGDT).

106
Modul VI.1−Gangguan Pendengaran

Diagnosis deficit sequencing temporal. Sequencing temporal terdiri dari persepsi


dari proses dua atau lebih rangsangan auditori setiap waktu. Tes yang digunakan
adalah Pitch Pattern Sequence Test (PPS).

Tahap diagnosis deficit integrasi binaural. Intergrasi binaural adalah kemampuan


seseorang untuk memproses informasi yang berbeda yang diterima oleh kedua
telinga pada saat yang bersamaan. Pemeriksaan yang digunakan adalah tes digit
dikotik.

Diagnosis deficit interaksi vinaural. Interaksi binaural menunjukan keterlibatan


proses auditori pada kedua telinga dan hubungan persyarafannya. Interaksi
binaural ini dapat diperiksa dengan menggunakan latihan binaural atau masking
level difference test (MLD test).

Tahap evaluasi gambaran pendengaran keseluran. Pemeriksaan ini menggunakan


daftar pertanyaan yang disebut Children’s Auditory Performance Scale
Questionnaire.
Beberapa pusat audiologi juga mengajukan beberapa pemeriksaan tambahan yang
dapat menilai behavioral testing dengan pengukuran elektrofisiologik, yaitu
middle latency response (MLR), the mismatch negativity response (MMN) dan
event related pontentials (ERPs) pada 300-1000 milisecond.

Penatalaksanaan
Penatalaksanaan CAPD terdiri dari:
1. Strategi meningkatkan signal dengan tujuan untuk meningkatkan signal to
noise ratio. Cara yang digunakan adalah dengan menggunakan frequency
modulated (FM) system di dalam ruangan kelas atau personal FM system
2. Latihan auditori, dapat formal maupun informal. Bentuk latihan auditori
formal adalah earobics, mengenal bentuk kata, latihan di klinik audiologi yang
terdiri dari modifikasi latihan sentral auditori. Latihan auditori informal terdiri
dari latihan vocal atau konsonan, latihan auditori langsung
3. Strategi linguistic dan kognitif
Untuk penatalaksanaan CAPD juga diperlukan suatu strategi untuk lingkungan,
diantaranya:
1. Strategi modifikasi dari lingkungan (a)perubahan akustik ruangan kelas (b)
mengubah tempat duduk siswa (c) Penggunaan assistive listening device
2. Classroom-Based strategies
3. Compensatory strategies
4. Attribution training (a). Memberi pengertian tentang masalah yang
sesungguhnya (B)membatasi kemungkinan penyebab masalah
(c)Memecahkan masalah

107
Modul VI.1−Gangguan Pendengaran

5. Mengajukan cara-cara pemecahan masalah (a) evaluasi (b)motivasi diri


sendiri
6. Whole body listening technique (a) Letakkan tubuh pada posisi yang nyaman
(b) Bagian atas tubuh ditinggikan dan kepala didekatkan ke sumber suara (c)
posisi mata tetep fokus ke sumber suara (d) tidak boleh melakukan aktivitas
lain
7. Direct Intervention. Dilakukan oleh speech pathologist. Teknik ini untuk
memperkuat mekanisme “top down” pada sinyal auditori.

Tuli Mendadak (Sudden Deafness)


Definisi
Sudden deafness merupakan Kedaruratan medis di bidang audiologi, didefinisikan
sebagai Kehilangan pendengaran > 30 dB, minimal 3 frek berurutan, ± 72 jam.
Terjadi tiba-tiba, sensorineural, penyebab tidak langsung diketahui, sering pada
satu telinga

Diagnosis
1. Anamnesis terutama untuk menentukan waktu terjadinya
2. Garpu penala
3. Audiometer nada murni
4. Uji SISI
5. Audiometri Impedance
6. Uji Vestibuler
7. Konsultasi kebagian yang terkait

Patofisiologi
Tuli mendadak bukanlah suatu penyakit tersendiri, namun merupakan manifestasi
klinis dari berbagai proses patologis. Hipotesis etiologi utama dari tuli mendadak
adalah faktor vaaskular, virus, autoimun, rupture membran basal koklea,
metabolic, dan toksik.

Faktor predisposisi
Faktor predisposisi dari tuli mendadak antara lain kelainan hematologi, hipertensi,
diabetes mellitus, stress, dan kolesterpl tinggi

Tatalaksana
Untuk pasien dengan onset kurang dari 2 minggu, pasien akan dirawat. Pasien
disarankan untuk tirah baring sempurna selama dua minggu. Namun karena kasus
terbanyak tuli mendadak adalah idiopatik yang umumnya respons dengan steroid
maka berdasarkan kesepakatan para ahli dalam Consensus on Diagnosis and
Treatment of Sudden Hearing Loss di Madrid, Spanyol tahun 2011 ditetapkan
steroid sebagai terapi utama pada tuli mendadak, dimana pilihannya dapat berupa

108
Modul VI.1−Gangguan Pendengaran

prednison atau metil prednisolon. Penelitian sebelumnya menjadikan metil


prednisolon 1 mg/kg berat badan tappering off sbg standar pengobatan tuli
mendadak di RSUP Dr. Ciptomangunkusumo. Selain itu terapi yang
direkomendasikan ialah terapi oksigen hiperbarik, steroid intratimpanik. Hal ini
sesuai dengan Clinical Practice Guidelines 2012.Terapi tambahan yang daa faktor
predisposisi lain. Kriteria perbaikan fungsi pendengaran dibagi menjadi : (1)
sangat baik :>30 db pada 5 frekuensi; (2) sembuh, < 30 db pada frekuensi 250 Hz,
500 Hz, 1000 Hz, 2000 Hz dan < 25 db pada frekuensi 4000 Hz; (3) baik, 10-30
db pada 5 frekuensi; (4) tidak ada perbaikan, < 10 db pada 5 frekuensi.

Noice Induce Hearing Loss (NIHL)

Pendahuluan
Tuli akibat bising (Noise Induced Hearing Loss/ NIHL) ialah gangguan
pendengaran yang terjadi akibat terpajan bising yang cukup keras dalam jangka
waktu yang cukup lama, biasanya lima tahun atau lebih. Bising adalah campuran
berbagai bunyi nada murni dengan berbagai frekuensi. Bising dengan intensitas
85 dB atau lebih dapat menyebabkan kerusakan pada reseptor pendengaran corti di
telinga dalam. Organ corti untuk reseptor bunyi yang sering mengalami kerusakan
adalah yang berfrekuensi 3000-6000 Hz dan yang terberat pada frekuensi 4000 Hz.
Ketulian yang terjadi adalah tuli sensorineural dan umumnya terjadi simetris pada
kedua telinga.5, 8

Patofisiologi
Mekanisme dasar terjadinya gangguan pendengaran akibat bising merupakan
kombinasi dari kerusakan koklea secara mekanis akibat bergetarnya organ Corti
melampaui batas struktural dan adanya stress metabolik yang menyebabkan
kematian sel rambut.

Paparan bising yang intens (diatas 85 dB) dan terjadi secara kronik secara mekanik
dapat menyebabkan kerusakan awal yang terjadi pada sel rambut luar yang
bertanggung jawab pada frekuensi suara tinggi (3-6 kHz).

Diagnosis
Penegakan diagnosis berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan
penunjang untuk pendengaran. Pada anamnesis biasanya pasien mengeluh kurang
pendengaran yang pada umumnya terjadi pada kedua telinga terkadang dapat
disertai dengan telinga berdeging (tinitus). Seperti halnya orang yang menderita
tuli saraf koklea, pasien lebih mudah berkomunikasi di tempat yang sunyi ataupun
tenang dan sulit mendengar serta memahami percakapan terutama di tempat yang
berlatar belakang ramai (cocktail party deafness). Fenonema lain yang dapat
terjadi pada tuli saraf koklea ialah fenomena rekrutmen dimana pasien sulit

109
Modul VI.1−Gangguan Pendengaran

mendengar pada kekerasan (volume) suara biasa, tetapi mengeluh nyeri telinga
bila volume ditinggikan. Pasien juga memiliki riwayat paparan bising yang cukup
lama, baik di lingkungan kerja atau penggunaan personal listening device (PLD).

Pada pemeriksaan otoskopis didapatkan telinga luar dan tengah dalam batas
normal. Pada pemeriksaan audiologi, tes penala didapatkan gambaran tuli
sensorineural dimana hasil Rinne positif, Weber lateralisasi ke telinga sehat dan
swabach memendek. Hasil pemeriksaan audiometri pada NIHL memiliki
gambaran yang cukup khas, dimana terdapat peningkatan ambang dengar pada
frekuensi tinggiantara 3000-6000 Hz dan pada frekuensi 4000 Hz sering terdapat
takik. Pada NIHL derajat ringan hingga sedang, umumnya ambang dengar 8000
Hz lebih baik daripada 4000 Hz.

Gambaran khas hasil audiometri pasien dengan NIHL7

Pemeriksaan audiologi khusus seperti SISI, ABLB, MLB, Audiometri Bekesy, dan
Audiometri tutur menunjukkan adanya fenomena rekrutmen yang patognomonik
untuk tuli sensorineural koklea. Rekrutmen adalah suatu fenomena pada tuli
sensorineural koklea dimana telinga yang tuli menjadi lebih sensitif terhadap
kenaikan intensitas yang kecil pada frekuensi tertentu setelah terlampaui ambang
dengarnya. Bila sudah didapatkan adanya gangguan komunikasi, speech
audiometri diperlukan untuk mengevaluasi seberapa berat gangguan yang terjadi.
Pemeriksaan OAE dapat membantu mengevaluasi adanya atau seberapa banyak
sel rambut yang sudah mengalami kerusakan.

110
Modul VI.1−Gangguan Pendengaran

Tata laksana

Tuli akibat bising adalah tuli saraf koklea yang bersifat menetap (irreversibel).
Oleh karena itu, tindakan yang terpenting adalah pencegahan. Paparan bising dapat
dikurangi dengan memasang peredam pada sumber bunyi di tempat kerja ataupun
menggunakan sumbat telinga (ear pulg), tutup telinga (ear muff) dan pelindung
kepala (helmet). Bila sudah terjadi gangguan komunikasi, pasien dapat disarankan
untuk memakai alat bantu dengar/ABD.
f. Acute Low Tone Hearing Loss
Definisi
Tuli sensorineural akut nada rendah (acute low tone sensorineural hearing
loss/ALHL) didefinisikan sebagai tuli sensorineural nada rendah yang bersifat
idiopatik, dengan onset yang akut dan pendengaran pada frekuensi tinggi relatif
normal

Etiologi ALHL terdiri dari berbagai proses patofisiologi. Salah satunya


dihubungkan dengan hidrops endolimfa.

Patofisiologi
Mekanisme terbentuknya hidrops hingga terjadinya suatu gejala penyakit masih
dalam perdebatan. Hidrops endolimfa yang terjadi secara mendadak dan hilang
timbul ini diduga disebabkan oleh : 1. peningkatan tekanan hidrostatik ujung
arteri, 2. berkurangnya tekanan osmotik kapiler, 3. peningkatan tekanan osmotik
ruang ekstrakapiler, 4. sumbatan jalan keluar di sakus endolimfatikus, sehingga
terjadi penimbunan cairan endolimfa.

Gambaran Klinis
Gejala yang dikeluhkan oleh pasien dengan ALHL bervariasi a, tersering tinnitus,
rasa penh di telinga, autofoni, rasa tidak seimbang, sensasi sempoyongan. Selain
itu sering mengeluh sakit kepala ringan, kekekuan bahu, lemah.

Diagnosis
Young dan Wu dalam penelitiannya terhadap pasien dengan ALHL unilateral
membuat kriteria diagnosis ALHL berupa 1. Bentuk gangguan pendengaran
bersifat sensorineural dengan gambaran membran timpani yang normal dan
gambaran timpanometri menunjukkan tipe A, 2. Ambang dengar rata-rata hasil
pemeriksaan audiometri pada 3 frekuensi terendah (125, 250 dan 500 Hz) yaitu 30
dB atau lebih, 3. ambang dengar rata-rata dengan pemeriksaan audiometri pada 3
frekuensi tertinggi (2,4 dan 8 kHz) yaitu 20 dB atau kurang, 4. Tidak didapatkan
adanya riwayat vertigo ataupun nistagmus.

111
Modul VI.1−Gangguan Pendengaran

Penatalaksanaan
Tatalaksana ALHL dengan pemberian kortikosteroid.

Prognosis
Prognosis pada 80 % pasien dengan ALHL menunjukkan penyembuhan total atau
penyembuhan sebagian dalam waktu 3 bulan.

g. Gangguan Pendengaran Kongenital

Pendahuluan
Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi di bidang genetika memberikan
pandangan baru dalam dunia kesehatan. Semua pola dasar yang akan membentuk
manusia tertulis dengan baik dalam genetik sehingga sering disebut juga sebagai
“book of life” atau “grammar of life”. Berbagai macam penyakit telah diketahui
memiliki kaitan yang erat dengan faktor genetik termasuk didalamnya gangguan
pendengaran.1

Tuli sensorineural merupakan gangguan pendengaran yang dimulai dari koklea


dan organ saraf dibelakangnya. Tidak hanya pada usia lanjut, namun juga dapat
mengenai usia belia. Tingkat keparahannya mulai dari ringan hingga berat dengan
latar belakang yang berbeda-beda. Terdapat tiga kategori utama gangguan
pendengaran, konduktif, sensorineural, dan campur. Pada usia lanjut penurunan
pendengaran lebih disebabkan oleh faktor usia dimana terjadi proses degenerasi
sel-sel organ dan saraf pendengaran. Gangguan pendengaran presbiakusis
berkaitan erat dengan usia dan disebabkan oleh multifaktorial. Sedangkan pada
usia muda kelainan pendengaran lebih sering disebabkan oleh kelainan yang
bersifat genetik dan diturunkan (herediter). Banyak faktor yang mempengaruhi
terjadinya suatu gangguan pendengaran, dapat disebabkan oleh faktor lingkungan,
termasuk infeksi perinatal, trauma akustik atau serebral yang mempengaruhi
kokhlea, atau obat-obatan yang bersifat ototoksik seperti golongan aminoglikosida.
Gangguan pendengaran dapat dimulai sebelum masa pembentukan bicara
(prelingual) atau sesudahnya (postlingual). Kebanyakan kelainan prelingual
dimulai sesudah lahir (kongenital), namun beberapa diantaranya dimulai pada awal
kehidupan sebelum terbentuknya bahasa. Pada banyak kasus gangguan
pendengaran prelingual bersifat sangat berat namun stabil. Sekitar 1 dari 1000
anak lahir dengan kelainan pendengaran prelingual dan sekitar setengahnya
memiliki kelainan genetik.2,3,4

Perkembangan teknologi biologi molekuler saat ini memungkinkan dilakukannya


penelitian terhadap mutasi genetik yang mendasari kelainan pendengaran. Sekitar
1 dari 1000 anak lahir dengan gangguan pendengaran yang cukup bermakna
pengaruhnya pada perkembangan bicara. Di amerika lebih dari 28 juta orang
mengalami gangguan pendengaran dengan tingkat keparahan yang beragam.

112
Modul VI.1−Gangguan Pendengaran

Banyak faktor yang melatarbelakangi tuli sensorineural, kelainan yang bersifat


diturunkan atau herediter, pajanan bising dan presbiakusis. Tuli sensorineural pada
anak sering bersifat kongenital. Bisa ditemukan sebagai gangguan pendengaran
yang berdiri sendiri (non-syndromic hearing loss) atau merupakan bagian dari
kumpulan gejala (syndromic hearing loss) tertentu. Saat ini telah ditemukan lebih
dari 70 kumpulan gejala fenotip yang berkaitan dengan tuli sensorineural.
Anamnesis dan pemeriksaan fisik yang akurat sangat berperan untuk membedakan
masing-masing kelainan pendengaran tersebut.2

Kekerapan
Gangguan pendengaran merupakan masalah kesehatan yang memerlukan
perhatian khusus karena mengenai 6 – 8% dari populasi di negara berkembang dan
sebagian merupakan defek yang didapat saat lahir. Jika mengikuti penerapan
universal newborn hearing screening (unhs) angka kekerapan yang didapatkan
jauh lebih tinggi lagi. Kurang lebih 1 dari 1000 bayi baru lahir mengalami
ketulian, 1 dari 300 mengalami ketulian kongenital dengan derajat yang lebih
rendah, dan sebagai tambahan 1 dari 1000 anak mengalami perburukan
pendengaran sebelum mencapai usia dewasa. Sebelum program deteksi dini
gangguan pendengaran pada anak baru lahir, usia rata-rata anak yang didiagnosis
gangguan pendengaran adalah usia 1,5 sampai 3 tahun dimana memerlukan
tindakan intervensi segera sebelum melewati massa perkembangan bicara dan
kognitif. Kesalahan dan keterlambatan diagnosis dari gangguan pendengaran dapat
berimplikasi pada kemampuan bicara dan komunikasi, seperti perkembangan
kognitif dan psikologis.5

Berdasarkan hasil program penapisan gangguan pendengaran yang dilakukan di


amerika memperkirakan sekitar 8000 sampai dengan 16.000 anak baru lahir
diidentifikasi mengalami kehilangan pendengaran, hal ini menjadikan gangguan
pendengaran sebagai defek lahir tersering di amerika seperti dikemukakan oleh
o’neal, finitzo & litman tahun 2000.6 sementara, sekitar 25 % anak dengan
gangguan pendengaran di amerika disebabkan oleh faktor lingkungan seperti
prematuritas, infeksi, terpapar oleh obat-obatan ototoksik, dan trauma.
Diperkirakan sedikitnya 50% anak dengan gangguan pendengaran prelingual
disebabkan oleh perubahan genetik dan hal ini merupakan porsi terbesar dari
ketulian prelingual pada anak.

Anatomi pendengaran
Anatomi pendengaran merupakan suatu rangkaian mekanik yang merubah dari
bentuk energi suara kepada energi listrik yang dihantarkan oleh saraf ke pusat
pendengaran di otak. Kelainan kongenital dapat mengenai semua bagian dari
sistem pendengaran. Mulai dari telinga luar seperti atresia liang telinga, kegagalan
pembentukan tulang pendengaran, dan kelainan pada kokhlea. Organ korti
memiliki dua tipe sel sensoris, sel rambut dalam sebanyak satu baris dan sel

113
Modul VI.1−Gangguan Pendengaran

rambut luar sebanyak tiga baris. Sel rambut dalam merupakan reseptor murni yang
mengantarkan sinyal suara menuju saraf pendengaran dan pusat pendengaran.
Sedangkan sel rambut luar memiliki fungsi sensoris dan juga fungsi motorik yang
berperan pada sensitifitas pendengaran dan amplifikasi frekuensi tertentu secara
selektif. Sel rambut luar dapat mengalami elongasi dan kontraksi ketika
mendapatkan rangsang suara. Perubahan pajang sel rambut luar ini merupakan
peran dari molekul motorik sepanjang membran plasma yang mengandung filamen
seperti aktin.3,7

Gambar 1. Potongan kokhlea mamalia dan perputaran ion k + ekpresi genetik


pada kokhlea. Di adaptasi dari kukichi (1995)7

Dalam kokhlea terdapat sistem transport ion yang unik diantara masing-masing
cairan. Di dalam skala timpani dan skala vestibuli terdapat cairan perilimf dengan
komposisi menyerupai cairan ektraselular, dimana mengandung sedikit ion k+ dan
tinggi akan ion na+. Sedangkan skala media berisi cairan endolimf dengan
komposisi menyerupai cairan intraselular atau sitoplasma dimana mengandung
tinggi ion k+ dan sedikit ion na+ dan ca+. Kadar konsentrasi ion-ion tersebut
dipertahankan oleh adanya perputaran ion dari sel marginal stria vaskular dan
menyebabkan timbulnya potensial listrik pada endolimf sebesar + 80mv. Adanya
penurunan dari potensial listrik ini akan sangat berpengaruh pada sensitivitas
terhadap rangsang akustik.7

Ketika sensor silia dari sel rambut mengalami defleksi akibat getaran suara,
saluran kation nonselektif pada silia akan terbuka dan menyebabkan masuknya ion
k+ dari endolimf menuju sitoplasma sel rambut. Masuknya ion k+ menyebabkan

114
Modul VI.1−Gangguan Pendengaran

terjadinya depolarisasi yang menghasilkan suatu potensial aksi yang mengaktifkan


pelepasan neurotransmiter yang berjalan sepanjang saraf pendengaran menuju
otak. Dalam perjalanannya neurotransmiter pada serabut saraf membawa serta
karakteristik kode tertentu seperti intensitas, dan frekuensi.8 untuk menjaga
perbedaan atau gradien potensial elektrokimia antara endolimf dan sel rambut, ion
k+ harus didaur ulang dari sel rambut kembali menuju endolimf.5 kikuchi dan
kawan-kawan (1995) sebagaimana dikutip oleh jeffrey r. Menduga bahwa k+
diambil oleh sel penyokong (supporting cell) dan kemudian berdifusi melalui dua
jaringan sinsitial kembali ke sel marginal dari stria vaskular yang kemudian
dipompakan kembali ke endolimf. Dengan mekanisme perputaran k+ yang
kompleks tersebut, tidak mengherankan jika saat ini telah diketahui bahwa
ketulian yang memiliki dasar kelainan genetik berkaitan erat dengan mekanisme
daur ulang k+ tersebut.7
Walaupun belum diketahui secara pasti, diperkirakan mekanisme perputaran ion
tersebut berkaitan dengan hubungan antar sell yang difasilitasi oleh connecxin gap
juntion. Berlokasi pada membran membran sel, 6 connexin dengan jenis yang
sama atau berbeda akan membentuk satu connexon, dan inilah yang akan membuat
pori-pori pada membran sel yang digunakan sebagai saluran untuk pertukaran ion.
Kelainan pada saluran ion ini akan mengganggu proses pertukaran ion antar sel
dan secara keseluruhan akan menyebabkan kematian dari sel rambut dan ketulian
secara menetap.
Genetik
Genetik merupakan cabang ilmu biologi yang memfokuskan pada masalah
herediter dan variasinya. Unit herediter yang diturunkan dari satu generasi ke
generasi berikutnya disebut sebagai gen. Gen berada sepanjang molekul yang
disebut sebagai deoxyribonucleic acid atau disingkat dna. Dna berikatan dan
bergabung dengan matrik protein dan menjadi suatu struktur organisasi yang
disebut sebagai kromosom yang dapat dijumpai di dalam inti dari suatu sel. Gen
mengandung kode informasi yang berguna dalam produksi protein. Dna
normalnya adalah suatu protein yang stabil yang memiliki kapasitas untuk
melakukan replikasi diri sendiri. Pada keadaan tertentu dapat terjadi perubahan
secara spontan pada beberapa bagian dari dna. Perubahan ini disebut sebagai
mutasi. Dalam proses mutasi tersebut dapat terjadi peningkatan kode instruksi
yang dapat menyebabkan pengurangan atau bahkan penghilangan sintesis protein
tertentu. Hasil akhir dari perubahan ini seringkali terlihat pada perubahan fisik dari
suatu individu atau komponen lain dalam organisme yang disebut sebagai karakter
atau trait. Selama terjadinya proses mutasi gen dapat berubah ke dalam dua atau
lebih bentuk alternatif yang disebut sebagai allelomorf atau allel. Sebagai contoh
adalah seorang yang sehat memiliki gen spesifik dengan struktur protein yang
normal dalam sel darah merahnya yang disebut sebagai hemoglobin. Pada orang
dengan anemia terjadi perubahan bentuk dari gen ini yang menyebabkan protein
hemoglobin tidak mampu membawa oksigen dalam jumlah yang normal ke sel
tubuh. Setiap gen menempati posisi spesifik dalam suatu kromosom yang disebut

115
Modul VI.1−Gangguan Pendengaran

sebagai lokus gen. Setiap gen pada suatu kromosom dikatakan memiliki hubungan
dengan gen lainnya yang disebut sebagai lingkage group. Kemanapun kromosom
pindah akan membawa semua gen yang berada dalam lingkage group yang sama.9

Analisis genetik untuk gangguan pendengaran paling sering digunakan untuk


diagnosis dan pengobatan. Gangguan pendengaran yang diturunkan memiliki
karakteristik adanya keragaman genetik yang impresif. Sekumpulan gen membawa
sejumlah besar mutasi, namun mutasi spesifik pada gen tunggal dapat membawa
pada gangguan pendengaran sindromik atau non-sindromik. Beberapa mutasi
banyak terjadi pada golongan atau ras tertentu.5

Kelainan genetik

Gangguan pendengaran yang berdasarkan kelainan genetik memiliki etiologi yang


berbeda dan diperkirakan sekitar 1% dari seluruh gen manusia terlibat dalam
proses pendengaran. Anamnesis harus termasuk masa kehamilan, perinatal,
postnatal, dan riwayat penyakit keluarga. Lebih dari 50% kasus gangguan
pendengaran kongenital berkaitan dengan faktor herediter.2 saat ini telah diketahui
lebih dari 100 lokus yang terlibat dalam gangguan pendengaran herediter. Secara
garis besar gangguan pendengaran yang berdasarkan kelainan genetik terbagi
menjadi non-syndromic hearing loss (nshl) sebesar 70% dari gangguan
pendengaran herediter secara keseluruhan dan syndromic hearing loss (shl). Nshl
merupakan gangguan pendengaran tersendiri yang tidak memiliki kaitan dengan
kelainan fisik lain. Sebaliknya shl merupakan gangguan pendengaran dengan
karakteristik adanya manifestasi klinis tambahan, seperti retinitis pigmentosa
(usher syndrome), eutyroid goiter atau kelinan pembentukan telinga dalam
(pendred syndrome), kelainan bentuk craniofascial (treacher collins syndrome),
bentuk badan habitus marfanoid (stickler syndrome), anomali ginjal (alport
syndrome), atau adanya pemanjangan interval qt pada pemeriksaan
elektrokardiografi (jervell and lange-nielsen syndrome). Walaupun gambaran
klinis dari kumpulan gejala ini dapat dikenali, namun menjadi dilema bila
manifestasi klinis dari masing-masing penyakit tidak muncul secara keseluruhan.
Hal ini terutama dialami oleh anak, tapi juga dapat disebabkan oleh variasi
ekspresi genetik seseorang seperti pada pendred syndrome yang merupakan
penyakit autosomal resesif kelainan goiter muncul saat usia dewasa muda. Tanpa
adanya gejala lain yang ditemukan dari pemeriksaan fisik, sangat sulit untuk
menegakkan diagnosis pendred syndrome. Untuk bentuk shl sering mudah untuk
memprediksikan adanya keterlibatan gen. Sedangkan nshl lebih sulit untuk
menentukan adanya mutasi hal ini disebabkan oleh heterogenitas lokus7, 10.
Perubahan genetik yang terjadi dapat berupa mutasi pada gen tunggal (single gene)
atau disebut sebagai bentuk monogenik (monogenic form) atau merupakan
kombinasi mutasi pada gen yang berbeda dan faktor lingkungan (multifactorial
form). Sekitar 50% kasus merupakan kelainan pendengaran bentuk monogenik;

116
Modul VI.1−Gangguan Pendengaran

sedangkan faktor perinatal dan infeksi selama infantil atau trauma bertanggung
jawab untuk sisanya. Gambaran perpindahan gen yang bermutasi dari generasi ke
generasi selanjutnya dapat ditelusuri dari diagram yang disebut sebagai pedigree. 3,
11

25% lingkungan 1 = 1% x-linked


2 = ≥ 1% kelainan mitokondrial

25% tdk diketahui

30% SHL
50% genetik -1
-2

70% NSHL 15-20% AD

80% AR

Gambar 2.
Pembagian gangguan pendengaran berdasarkan penyebabnya.

Syndromic hearing loss (shl)


Kelainan bentuk fisik yang khas mungkin dapat berhubungan dengan gangguan
pendengaran yang bersifat sindromik (shl). Kelainan pada shl yang harus menjadi
pertimbangan penilaian adalah 2 :
➢ Kelainan bentuk kraniofasial
➢ Kelainan gigi geligi
➢ Kelainan pada mata
➢ Kelainan pada ginjal
➢ Kelainan pada jantung
➢ Disfungsi sistem endokrin
➢ Disfungsi saraf
➢ Kelainan pada sistem integumen
➢ Penyakit metabolik
➢ Kelainan kromosom

Beberapa kumpulan gejala yang berkaitan dengan gangguan pendengaran adalah


sebagai berikut:
Waardenburg syndrome

117
Modul VI.1−Gangguan Pendengaran

Mengenai sekitar 2 dari 100.000 kelahiran dan diperkirakan sebesar 2% dari


seluruh masalah gangguan pendengaran kongenital di amerika. Terbagi atas tipe i
dan tipe ii. Lokasi kelainan genetik berada pada 2q35 atau 2q37. Kelainan klinis
yang tampak adalah kelainan pada tulang temporal termasuk atropi organ korti dan
stria vaskular, dengan penurunan jumlah sel saraf pada ganglion spiralis.
Gambaran klinis dari waardenburg syndrome adalah kelainan lokasi
(displacement) dari kantus medial dan punkta lakrimalis, hyperplasia high nasal
root, gambaran albinisme melingkar pada rambut bagian depan, ketulian saraf
unilateral atau bilateral bersifat ringan sampai berat.7,12

Pendred syndrome
Memiliki beberapa gejala khas yang dikenal dengan trias gangguan pendengaran
kongenital, goiter multinodul, dan penurunan patologis dari hasil tes perklorat.
Goiter terjadi akibat abnormalitas dari metabolisme iodin. Gangguan pendengaran
biasanya bilateral terutama pada frekuensi tinggi. Kelainan bentuk kokhlea tipe
mondini sering ditemukan dengan organ vestibular yang normal.7,12

Jervell and lange-nielsen syndrome (jlns)


Kelainan ini memiliki karakteristik adanya pemanjangan interval qt pada hasil
elektrokardiografi, strokes-adams attack, gangguan pendengaran kongenital berat
bilateral, bahkan kematian mendadak. Hal ini disebabkan adanya defek abnormal
pada jantung termasuk degenerasi jaras nodul sinoatrial, fibrosis, perdarahan, dan
infark. Kelainan pada organ pendengaran yang ditemukan termasuk atrofi organ
korti dan ganglion spiralis. Juga ditemukan adanya atrofi sel sensoris utrikulus dan
sakulus.7,12

Usher syndrome
Laporan tentang insiden usher syndrome mengenai sekitar 3 dalam 100.000
kelahiran hidup. Saat ini telah diketahui lokasi kelainan usher syndrome tipe i
adalah pada lengan kromosom 14q, sedangkan pada tipe ii kelainan berlokasi pada
lengan kromosom 1q32. Kelainan bersifat progresif yang sering ditemukan adalah
kebutaan karena terjadinya retinitis pigmentosa, juga tuli saraf sedang sampai
berat. Retinitis pigmentosa biasanya diketahui pada masa kanak-kanak dengan
adanya kebutaan pada malam hari atau adanya defek pada lapang pandang.
Kehilangan penglihatan bersifat progresif, dengan lebih dari 50% penderita
mengalami kebutaan pada usia dibawah 50 tahun. Kelainan histopatologi yang
ditemukan adalah adanya degenerasi epitel sensoris kokhlea. Tidak ditemukannya
cochlear microphonic mengindikasikan adanya gangguan pendengaran.7,12

Trisomy 21
Dikenal juga dengan down syndrome merupakan kelainan kromosom tersering di
dunia. Insidensinya adalah 1 dalam 1000 kelahiran, dan akan meningkat dengan

118
Modul VI.1−Gangguan Pendengaran

usia ibu saat kehamilan yaitu menjadi 1 kasus dalam 25 kelahiran pada ibu usia ≥
45 tahun. Gambaran klinis yang terlihat adalah mental retardasi dan gambaran
wajah mongoloid. Gangguan pendengaran dapat mengenai 78% dari kasus dengan
kelainan konduktif, tuli saraf, dan campur. Gambaran histopatologis ditemukannya
sisa jaringan mesenkim pada telinga tengah dan hidrops endolimfatik.7,12

Alport syndrome
Kelainan ini mengenai sekitar 1 dari 200.000 orang adanya nefritis yang bersifat
herediter dengan keluhan hematuri, katarak posterior, distrofi kornea dan dislokasi
lensa. Memeiliki karakteristik gangguan ginjal progresif dan gangguan
pendengaran sensorineural. Lebih sering mengenai laki-laki dibanding wanita.
Juga disertai dengan kelainan pada ginjal pada dekade ketiga. Gangguan
pendengaran biasanya bersifat bilateral dan simetris, dengan ketulian saraf
progresif dan mengenai frekuensi tinggi.7,12

Non-syndromic hearing loss (nshl)


Seperti dikutip oleh halpin et al nshl mengenai sekitar 1 dalam 4000 orang (gorlin,
toriello & cohen, 1995; sill et al. 1994). Kelainan genetik pada penderita nshl
memiliki 4 dasar kelainan, yaitu autosomal resesif (ar), autosomal dominan (ad),
x-linked, dan kelainan mitokondria. Kelainan genetik memiliki dasar yang cukup
rumit. Mutasi alell pada beberapa gen dapat menyebabkan gangguan pendengaran
ar atau ad, mutasi pada gen yang sama dapat menyebabkan shl atau nshl, dan
gangguan pendengaran ar juga dapat disebabkan oleh kombinasi dua mutasi dari
gen yang berbeda dengan kelompok fungsi yang sama. Seperti telah dijelaskan
sebelumnya genetik memegang peran sebesar 50% dari seluruh penyebab
gangguan pendengaran anak, 70% diantaranya merupakan nshl yang terbagi atas
80% ar, 15-20% ad, 1% x-linked, dan 1% merupakan kelainan mitokondria.
Gangguan pendengaran autosomal dominan memiliki kode genetik dfna,
autosomal resesif dengan kode dfnb, x-linked disebut sebagai dfn, dan kelainan
mitokondria. Nshl lebih sering merupakan kelainan pendengaran sensorineural.
Telah diketahui bahwa terdapat sekitar 21 gen yang berkaitan dengan kelainan
autosomal resesif, 20 gen berkaitan dengan kelainan autosomal dominan, dan satu
gen yang berkaitan dengan kelainan x-linked.7, 11

Autusomal resesif
salah satu kelainan autosomal resesif yang paling sering ditemukan adalah
kelainan pada lokus dfnb 1 pada kromosom 13q11-12 dengan karakteristik
kongenital, tidak bersifat progresif, dengan gangguan pendengaran ringan sampai
berat. Pada lokus ini terdapat dua buah gen yaitu gjb2 dan gjb6. Gjb 2 memiliki
kode nama connexin 26. Seperti dikutip oleh bai u keterlibatan gen connexin 26
dalam gangguan pendengaran non-sindromik pertama kali dilaporkan pada tahun
1997 oleh kessel dan kawan-kawan. Data awal yang disampaikan oleh reardon dan
kawan-kawan pada tahun 1998 menyebutkan bahwa 50-80% gangguan

119
Modul VI.1−Gangguan Pendengaran

pendengaran kongenital yang bersifat autosomal resesif berkaitan dengan mutasi


connexin 26 yaitu delesi dari satu nukleotida, hilangnya guanin, yang
menyebabkan terminasi dini protein selama perubahan tersebut terjadi.4 connexin
26 merupakan protein yang terekspresikan pada kokhlea, berperan dalam proses
perputaran ion k+ dalam kokhlea. Identifikasi gen gjb2 merupakan penanda utama
suatu kelainan pendengaran genetik autosomal resesif. Gen ini merupakan gen
pertama yang dikaitkan dengan gangguan pendengaran non-sindromik, dan ini
merupakan penyebab terbanyak gangguan pendengaran pada beberapa populasi. 13
didalam kokhlea k+ banyak terdapat di dalam endolimf yang akan berpindah
dengan pergerakan gelombang suara yang akan menggerakan mikrovili sel rambut.
Pergerakan mikrovili berhubungan dengan kerja dari aktin yang banyak terdapat
pada stereosilia. Kemudian k+ akan masuk ke dalam sel rambut dan terjadi
depolarisasi akibat potensial aksi yang terbentuk dan mengaktifkan nervus
akustikus. Untuk mempertahankan gradien elektromekanikal kalium antara sel
rambut dengan endolimf, harus dilakukan pembentukan kembali (recycle) kalium
dari dalam sel rambut kembali menuju ke endolimf. Stria vaskular pada bagian
dinding lateral berperan penting dalam memompakan kembali ion k+ ke dalam
endolimf. Connexin 26 merupakan komponen penghubung antar gap (gap
junction) pada mekanisme masuknya ion k+ ke dalam sel rambut. Meskipun fungsi
yang sesungguhnya dari connexin belum diketahui seluruhnya namun connexin
gap junction berperan dalam resirkulasi kalium dalam sel epitel kokhlea ini.5 suatu
mutasi gen gjb2 dapat ditemukan dan yang paling sering adalah mutasi pada
30delg, suatu delesi pada salah satu dari serangkaian 6 residu guanin yang dimulai
pada posisi 30. Mutasi 30delg ini dianggap daerah yang sering mengalami mutasi
(hyper mutation region).4,5,13

Gambar 3. Connexin 26 . Dikutip dari schrijver 5

Morell et al dalam penelitiannya menemukan bahwa mutasi 30delg ini banyak


ditemukan dalam populasi masyarakat yahudi ashkenazi, namun dia juga
menemukan adanya mutasi kedua pada populasi ini yaitu mutasi 167delt
(merupakan suatu mutasi dari residu thymine pada posisi 167). Mutasi 167delt ini
didapatkan sebanyak lebih dari 4% populasi sementara kelainan 30delg didapatkan
sebanyak 0,73 % dari populasi yahudi ashkenazi yang diteliti. Terdapat beberapa

120
Modul VI.1−Gangguan Pendengaran

connexin lain yang juga terekspresikan pada telinga dalam yaitu connexin 30, 31,
32 dan 43 yang juga berperan dalam proses pendengaran normal.13
Autosomal dominan
Salah satu gen yang terkait dengan kelainan autosomal dominan adalah gen coch
(dfna9) dengan enkoding cochlin, dimana protein ini terekspresikan pada matriks
ekstraselular telinga dalam. Kelainan pendengaran yang ditemukan memiliki ciri
non-sindromik, post-lingual, dengan onset pada saat dewasa, dan bersifat
progresif. Mengenai pada individu yang memiliki gambaran histopatologis tulang
temporal yang unik, yaitu dengan ditemukannya deposisi mukopolisakarida. Juga
sering ditemukan adanya gejala gangguan keseimbangan. Penyakit ini sering
dianggap menyerupai penyakit meniere namun perbedaan yang paling mencolok
adalah adanya gambaran tuli saraf frekuensi tinggi.5

Kelainan ad bersifat tuli saraf lebih sering mengenai pada masa post lingual dan
biasanya bersifat progresif, sementara tuli saraf biasanya terjadi pada masa pre
lingual. Dalam kelainan yang bersifat dominan ini akan diturunkan ke generasi
berikutnya sebesar 50%. Persentase ini dapat berkurang pada generasi selanjutnya
jika faktor yang disebut sebagai “penetrance” tidak komplit, dan efek yang timbul
pada generasi berikutnya sangat bervariasi baik dari segi gejala dan tingkat
keparahan dan ini disebut sebagai rentang ekspresi. 7,13

X-linked
Gangguan pendengaran pada pasien dengan x-linked sering diikuti dengan
kelainan lain yang juga berkaitan. Seperti x-linked agammaglobulinemia, retardasi
mental, ataxia dan lain-lain. Reiner dkk (1982) seperti kutip oleh gustavson dkk
menggambarkan suatu keluarga dengan retardasi mental x-linked, spastisitas,
seizure, gangguan pendengaran, mikrosefali, kemampuan bertahan hidup yang
terbatas, atrofi optik, genital yang kecil, dan abesitas. Sindrom ini pertama kali
ditemukan oleh juberg dan marsidi pada tahun 1980 dan disebut sebagai sindrome
juberg-marsidi. Pada banyak kasus kelainan x-linked angka kematian usia muda
sangat tinggi. 14,15,16

Kelainan mitokondrial
Sejumlah mutasi dari mitokondrial dapat menyebabkan baik sindromik maupun
non-sindromik hearing loss dan didefinisikan sebagai ketulian yang diturunkan
melalui ibu (maternal inharited hearing loss atau mihl). Sel sperma tidak
memberikan kontribusi mitokondrial secara langsung pada zigot. Gangguan
pendengaran yang terjadi biasanya terjadi pada akhir masa anak atau awal usia
dewasa dan semakin memburuk dengan bertambahnya usia. Delesi mitokondrial
(mtdna deletion) berkaitan dengan banyak kondisi patofisiologi termasuk kelainan
neurologi, gangguan pendengaran sensorineural, iskemia, kardiomyopati, dan usia.
Seidman dkk (1997) dan hattori dkk (1991) menyatakan bahwa delesi mtdna
sangat bergantung pada usia. Studi yang dilakukan pada manusia menyebutkan

121
Modul VI.1−Gangguan Pendengaran

bahwa pada otot jantung terjadi peningkatan delesi mtdna secara progresif. Subjek
penelitian dengan usia lebih muda dari 30 tahun memiliki rata-rata delesi sebesar
0%, 31-40 tahun memiliki rata-rata 25%, 41-50 tahun memiliki rata-rata 33%, 51-
60 tahun sebesar 63%, dan 61-70 tahun memiliki rata-rata delesi 75%. Mutasi
mitokondrial ini akan terjadi dan terakumulasi sampai kematian. 4,17,18

Gambar 4. Beberapa mutasi mitokondrial dna (mtdna). Dikutip dari


hutchin17

Mutasi mitokondrial pada lokasi gen yang lain juga menyebabkan beberapa
kelainan. Mutasi yang menyebabkan kelainan pendengaran non-sindromik adalah
mutasi pada a1555g pada gen ribosom (125rrna) dari mtdna. Mutasi ini merupakan
mutasi yang paling sering menyebabkan kelainan pendengaran non-sindromal di
dunia. Mutasi mitokondrial pada a1555g ini juga menyebabkan hipersensitifitas
kokhlea terhadap keracunan antibiotik golongan aminoglikosida, dimana kita
ketahui aminoglikosida sangat ototoksik terhadap sel rambut dan dapat
menyebabkan kehilangan pendengaran permanen. Hal ini disebabkan oleh
meningkatnya kemampuan sel rambut dalam mengikat aminoglikosida pada

122
Modul VI.1−Gangguan Pendengaran

ribosom mitokondrial dimana hal ini mengganggu sintesis protein mitokondrial.


17,19

Beberapa mutasi mitokondrial yang juga menyebabkan kelainan non-sindromik


hearing loss selain a1555g diantaranya adalah mutasi mtdna a7445g, t7511c, dan
cins7472. A3243g juga menyebabkan kelainan yang sama namun mutasi ini sudah
jarang dilaporkan. Mutasi mtdna a7445g adalah terjadinya transisi dari a ke g dari
nukleotida pada posisi 7445 yang menyebabkan kelainan pendengaran yang
bersifat non-sindomik, namun belakangan ini dilaporkan juga mutasi mtdna ini
juga berkaitan nonepidermolytic palmoplantar keratoderma (neppk). Neppk
merupakan suatu kelainan keratinisasi dengan karakteristik hiperkeratosis pada
telapak tangan dan kaki tanpa adanya epidermolisis. Diagnosis pasti neppk adalah
dengan pemeriksaan molekular untuk mengetahui defek genetika yang menjadi
dasarnya. 20,21

Diagnosis
Penegakkan diagnosis gangguan pendengaran genetika sangat bergantung pada
hasil anamnesis dan pemeriksaan fisiologis pendengaran. Pemastian genetik yang
menjadi dasar kelainan dilakukan melakui serangkaian pemeriksaan dna. Pada shl
kecurigaan adanya gangguan pendengaran dapat lebih awal diketahui karena
terkait dengan sindrom yang ada, namun sebaliknya pada yang nshl. Gangguan
pendengaran sensorineural yang bersifat genetik harus dapat dibedakan dengan
yang non-genetik. Beberapa penyakit infeksi prenatal dapat menyebabkan
gangguan pendengaran sensorineural namun hal ini tidak diturunkan secara
genetik. Pada tahun 1970 telah diketahui bahwa rubella yang menginfeksi ibu
hamil dapat menyebabkan ketulian, katarak, serta kelainan jantung bawaan pada
bayi baru lahir. Keadaan lain yang juga dapat menyebabkan kelainan pendengaran
kongenital tapi tidak diturunkan secara genetik adalah infeksi cytomegalovirus
(cmv), keadaan hiperbilirubinemia dimana kadar bilirusin serum > 20 mg/100ml
yang disebut sebagai kernicterus.6

Gangguan pendengaran yang didapat (aquired) juga dapat dibagi menjadi genetik
dan non-genetik. Terdapat beberapa gangguan pendengaran yang didasarkan pada
kelainan genetik dengan onset lambat (delayed). Otosklerosis merupakan salah
satu manifestasi dari kelainan genetika. Gangguan pendengaran sensorineural yang
bersifat progresif dapat ditemukan bersama dengan kelainan muskuloskeletal lain
seperti pada sindom alport dan sindrom hunter. Keterlambatan timbulnya gejala
sangat bervariasi dan bersifat individual. Sedangkan gangguan pendengaran
kongenital yang bersifat non-genetik sering disebabkan oleh infeksi, keganasan,
toksisitas dan trauma termasuk noise induced hearing loss (nihl).6

123
Modul VI.1−Gangguan Pendengaran

Deteksi dini pada bayi baru lahir merupakan uji penapisan pertama yang dapat
dilakukan untuk mengetahui adanya kelainan pendengaran. Beberapa pemeriksaan
yang dapat dilakukan disesuaikan dengan usia anak. Joint committee on infant
hearing pada tahun 1982 skrining pendengaran pada anak dengan resiko tinggi
harus meliputi observasi tingkah laku (behavioral) dan pemeriksaan respon
elektrofisiologis terhadap suara22. Pada anak dengan riwayat gangguan
pendengaran pada anggota keluarga lain dapat dilakukan evaluasi untuk
mendiagnosis dan prognosis adanya kelainan genetika. Saat pertama kali anak
diketahui mengalami gangguan pendengaran serta progresifitas dari penurunan
pendengaran tersebut merupakan informasi yang sangat berharga.6

Penatalaksanaan
Penelitian terakhir menyebutkan bahwa anak dengan kelainan pendengaran
membutuhkan tindakan habilitasi sesegera mungkin, bahkan pada anak usia 6
bulan yang telah diidentifikasi memiliki kelainan pendengaran (yoshinaga-itano,
sedey, coulter, & mehl, 1998)6 . Pemberian amplifikasi perlu dipertimbangkan
untuk memberikan rangsang stimulus pendengaran namun harus diperhatikan
faktor penguatannya sehingga tidak menimbulkan kerusakan yang permanen.
Sedangkan di negara maju penggunaan implan kokhlear sudah banyak diterapkan
pada anak dengan kelainan kongenital. Yang perlu diperhatikan adalah jika
seorang anak dengan kelainan multipel seperti gangguan pendengaran yang
disertai dengan kelainan pada penglihatan seperti katarak, maka kelainan pada
penglihatan harus diperbaikai terlebih dahulu sebelum dilakukan implan kokhlear.
Hal ini untuk mengoptimalkan penglihatan sebagai salah satu indera dalam
memberikan informasi lingual.23

Kesimpulan
Kelainan genetika merupakan salah satu faktor yang mendasari gangguan
pendengaran. Anamnesis dan pemeriksaan yang cermat harus dilakukan untuk
membedakan gangguan pendengaran yang didasarkan pada kelainan genetik atau
non-genetik. Dibutuhkan kerjasama dari keluarga pasien dan beberapa fasilitas
untuk membuktikan adanya kaitan genetika dalam suatu kelainan. Penggunaan
kokhlear implan sudah dilakukan pada beberapa negara maju. Intervensi sejak dini
pada anak dengan kelainan pendengaran memberikan hasil yang lebih baik dalam
perkembangan bicara serta kognitif anak.

h. Tinitus
Definisi dan klasifikasi tinitus
Tinitus adalah suatu persepsi auditori dalam menghantarkan bunyi tanpa adanya
sumber bunyi yang nyata. Pada berbagai kepustakaan disebutkan berbagai macam
klasifikasi tinitus, secara umum tinitus sering dibedakan menjadi dua, yaitu tinitus
subjektif dan objektif. Tinitus subjektif jika bunyi hanya bisa didengar oleh
penderita sendiri, sedangkan tinitus objektif adalah jika bunyi tersebut berupa

124
Modul VI.1−Gangguan Pendengaran

bunyi yang nyata (sumber bunyinya ada) yang dapat didengar oleh penderita
maupun pemeriksa dan atau bunyi tersebut dapat berupa bunyi yang pulsatif.
Tinitus objektif disebut juga tinitus vibratory atau tinitus ekstrinsik atau
pseudotinitus dan dapat didengar melalui auskultasi di daerah telinga dan
pembuluh darah di sekitarnya. Tinitus objektif ini dihubungkan dengan adanya
kondisi-kondisi tertentu, diantaranya abnormalitas dari pembuluh darah dan
patoulus tuba eustachius. Tinitus subjektif disebut juga idiopatik tinitus. Tinitus
subjektif banyak disebabkan oleh adanya aktifitas yang abnormal dari sel-sel
rambut atau dapat juga disebabkan oleh terganggunya fungsi dari jalur perifer
nervus auditori. Pada penderita tinitus yang sangat berat kerusakan biasanya
terjadi pada sistem saraf pusat. Semua kondisi tersebut dapat bermanifestasi
sebagai gangguan dalam mentoleransi batas kekerasan suatu suara atau bunyi.

Derajat kekerasan tinitus oleh Klockhoff dan Lindblom dibagi menjadi tiga derajat
berdasarkan keluhan subjektif. Derajat I apabila bunyi tinitus hanya terdengar pada
lingkungan yang sepi, derajat II apabila tinitus terdengar dalam kondisi lingkungan
sehari-hari namun bunyi tersebut dapat hilang atau dapat diabaikan dengan bunyi
lingkungan yang ramai dan tidak mengganggu proses tidur, derajat III yaitu
apabila tinitus terdengar pada semua kondisi lingkungan, tidak dapat hilang atau
diabaikan dan mengganggu proses tidur.

Pemeriksaan audiologi tinitus


Pasien tinitus biasanya disertai dengan masalah pendengaran, oleh karena itu
pemeriksaan audiologi rutin dilakukan pada pasien-pasien dengan tinitus.
Pemeriksaan meliputi 1. Pemeriksaan ambang dengar dengan uadiometri nada
murni, 2. Audiometri tutur, 3. Timpanometri untuk melihat adanya kelainan di
telinga tengah, 4. Tinitus Loudness and pitch matching, 5. MMLs(Minimum
masking levels) dan RI (Residual inhibition), 6. Loudnesss discomfort levels
(LDLs). Pemeriksaan pitch matching, loudness matching, MMLs, dan RI adalah
pengukuran secara psikoakustik.

Prosedur loudness dan pitch matching


- Mengidentifikasi tinnitus ear – stimulus ear
- Pastikan pasien mengerti tentang loudness (kekerasan) dan pitch (frekuensi)
- Lakukan pemeriksaan ambang dengar
- Mulai pada frekuensi 1000 Hz, 10-20 dBSL
- Tanyakan tinitusnya lebih keras atau lebih lemah (atur kekerasan)
Tanyakan tinitusnya lebih tinggi atau lebih rendah (pindahkn ke oktaf yang
lebih tinggi atau rendah)
- Didapat frekuensi yang sesuai
- Konfirmasi hasil dengan menghadirkan kembali hasil pitch match pada oktaf
satu tingkat di atas dan di bawah (tes octave confussion)
- Lakukan pemeriksaan loudness match

125
Modul VI.1−Gangguan Pendengaran

- Mulai pada ambang dengar pada hasil pitch match (5 dB di bawah ambang
dengar)
- Atur kenaikan setiap 1 dB
- Tanyakan apakah bunyi yang diberikan sama, lebih keras atau lebih pelan dari
tinitusnya
- Bandingkan bunyi tone atau noise (berikan masing-masing stimulus selama
bebrapa detik)
- Tanyakan buni stimulus yang mana yang mirip dengan tinitusnya
- Jika pasien memilih tone (pemeriksaan selesai)
- Jika pasien memilih noise (berikan stimulus narrow band noise atau
broadband noise)
- Tanyakan stimuus bunyi mana yang mirip dengan bunyi tinitusnya
- Atur kenaikan setiap 1 dB

Minimum Masking Leves (MMLs)


Terbagi menjadi:
- Complete masking (bunyi masking yang menyebabkan tinitus menghilang)
- Partial masking (bunyi masking yang dapat mengurangi bunyi tinitus)

Efek pemberian masking


- Level rendah: perbedaan bunyi tinitus dan stimulus menjadi jelas
- Level sama: tinitus berubah, volume menjadi lemah, kualitas tinitus berubah
- Level tinggi: persepsi tinitus berubah, bunyi tinitus menjadi tidak terdengar

Cara pengukuran MMLs


- Cari ambang dengar dengan stimulus white noise (broadband noise)
- Atur kenaikan setiap 5 dB
- Instruksikan pasien untuk menentukan tingkat terendah dri noise yang dapat
menutupi tinitus
- Pada tinitus bilateral: stimulus broad band noise (BBN) diberikan pada kedua
telinga, atur intensitas tiap 1 dB. Jika tinitus menghilang, catat dalam dBSL.
Bila tinitus hilang pada satu sisi telinga saja, naikkan terus intensitas pada
sisi kontralateral sampai dengan tinitus hilang

Residual Inhibition (RI)


- Untuk merubah persepsi tinitus dalam intensitas (partial RI) atau tinitus
menghilang (complete RI)
- Memberikan stimulus Broad Band Noise pada Minimum Masking Level
selama 1 menit.
- Pasien mengamati perubahan tinitusnya: apakah tercapai complete RI atau
partial RI atau bahkan tidak ada perubahan

126
Modul VI.1−Gangguan Pendengaran

Loudness Discomfort Levels (LDLs)


- Diberikan buni pada frekuensi 1-8 kHz
- Tes dilakukan terpsah pada masing-masin telinga
- Instruksi:
- Akan dibeikan bunyi selama 3 detik, beritahu apakah kekerasan bunyi tersebut
masih dapat diterima atau tidak
- Mulai di frekuensi 1000 Hz pada 60 dBHL dan intensitas bunyi dinaikan
setiap 5 dB dan stimulus diberikan selama 1-2 detik sampai dengan nilai LDL
tercapai
- Ulangi pemeriksaan sekali lagi sehingga didapat hasil yang berulang

Tinnitus Retraining Therapy (TRT)


Tujuan:
- Menghilangkan fikiran negatif/rasa takut akibat persepsi tinitus
- Menghilangkan persepi bunyi tinitus
Cara:
- Konseling terpimpin
- Terapi akustik (sound therapy)

Terapi Akustik
Definisi. Penggunaan suara eksternal untuk mengurangi keluhan tinitus

Jenis.
- Tinitus ringan (malam hari), menggunakan musik, tabletop, sound generator
- Tinitus ringan-sedang (sepanjang hari), mengunakan wearable sound
generator
- Tinitus berat dan gangguan pendengaran, mengunakan ABD dan sound
generator

i. Ototoksik
Ototoksisitas adalah kemampuan obat untuk menginduksi kerusakan telinga
bagian dalam yang secara klinis diamati sebagai gangguan pendengaran dan atau
gangguan keseimbangan. Obat yang paling sering menyebabkan ototoksisitas
adalah aspirin, loop diuretik, antibiotik aminoglikosida, dan obat-obatan
antineoplastik seperti cisplatin atau carboplatin.

Patofisiologi
Aminoglikosida
Aminoglikosida memasuki sel rambut melalui suatu perantaraan transduser
mekanoelektrikal. Aminoglikosida kemudian membentuk suatu kompleks dengan
besi (AG-Fe), yang kemudian bisa bereaksi dengan donor elektron untuk
membentuk spesies oksigen reaktif (SOR, sebagai contoh hidrogen peroksida).
SOR mengaktifkan JNKs (c-Jun N-Terminal kinase), yang mengaktifkan gen-gen

127
Modul VI.1−Gangguan Pendengaran

di jalur lintas apoptotis. Gen-gen dapat menyebabkan pelepasan dari c sitokrom


(Cyt c) di mitokondrium, yang mana dapat mencetuskan apoptosis melalui
aktifitas kaspase.
Aminoglikosida menyebabkan efek toksik pada sel-sel sensori telinga bagian
dalam, setidaknya dengan dua mekanisme yang berbeda. Yang pertama adalah
hambatan reversibel saluran transduksi pada bagian apikal sel rambut; mekanisme
kedua melibatkan kerusakan ireversibel dari mesin biokimia yang diperlukan
untuk sel, pemeliharaan dan kelangsungan hidup.

Loop Diuretic
Obat loop diuretic seperti furosemide dan bumetanide adalah diuretik kuat karena
menghambat reabsorpsi elektrolit dan air pada cabang dari lengkung henle. Obat
ini hanya memberikan sedikit efek samping pada gangguan pendengaran dan
biasanya bersifat ringan.

Obat Antineoplastic
Penggunaan cisplatin menyebabkan ototoksitas karena mempengaruhi koklea,
kerusakan struktur yang menonjol pada awalnya adalah pada sel rambut luar dan
stria vascularis, sehingga menyebabkan penurunan pendengaran pada frekuensi
tinggi. Jika paparan berlangsung terus maka penurunan pendengaran berkembang
ke frekuensi menengah sampai pada semua frekwensi dan sering akhirnya menjadi
menetap

Gejala dan tanda klinis


Gejala klinis pada sistem pendengaran berupa gangguan pendengaran atau ketulian
disertai tinitus nada tinggi. Tinitus nada tinggi sering merupakan gejala awal dan
dapat bertahan sampai dua minggu setelah terapi dihentikan. Gangguan
pendengaran pada nada tinggi biasanya terjadi bilateral pada kedua telinga, namun
seiring berjalannya progresifitas penyakit,

Diagnosis
Ditegakkan berdasarkan anamesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang.
Pada pemeriksaan penala didapatkan hasil, gambaran Rinne positif, Weber tidak
ada lateralisasi atau lateralisasi ke telinga yang lebih baik dan Schwabach yang
memendek. Pemeriksaan lain yang dapat dilakukan adalah pemeriksaan
audiometrik nada murni konvensional dengan rentang frekuensi 250 Hz – 8
KHz.

Tatalaksana
Tidak ada penatalaksanaan khusus dalam menangani kasus tuli sensorineural akibat
penggunaan obat yang bersifat ototoksik, bila terjadi gejala-gejala ototoksik maka
terapi harus dihentikan. Kerusakan yang terjadi bersifat irreversible jadi kita hanya
bisa mencegah agar kerusakan yang terjadi tidak meluas atau semakin parah

128
Modul VI.1−Gangguan Pendengaran

dengan melakukan pengecekan secara dini dengan melakukan pemeriksaan


audiogram secara serial.

KEPUSTAKAAN MATERI BAKU

1. Adam GL, Boies Lr and Higler Peter A. : Fundamentals of Otolaryngology,


(Buku Ajar Penyakit THT), Penerbit Buku Kedokteran EGC, 1997.
2. Efiaty Soepardy, Nurbaiti Iskandar : Buku Ajar Ilmu Kesehatan THT, Ed 7,
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2012.
3. Ballenger JJ. Disease of the Ear, Nose, Throat and Head and Neck, 13th ed.
Lea and Febiger , 1985
4. Lee K.J : Essential Otolaryngology Head and Neck Surgery, 8th ed, Mac Graw
Hill, 2003
5. Byron J Bailey : head and Neck Surgery Otolaryngology, J P Lippincot,
Philadelphia, 2014
6. Scott Brown : Otolaryngology, JP Lippincot, Sixth Ed. 1997
7. Direktorat Bina Kesehatan Komunitas Ditjen Bina Kesehatan Masyarakat
Departemen Kesehatan RI; Kurikulum dan Modul Pelatihan Pengelola
Program Kesehatan Indra Pendengaran Kabupatan Kota, Jakarta 2006
8. Katz J, Chasin M, English K, Hood LJ, Tillery KL. Handbook of Clinical
Audiology. Edisi 7. Wolter Kluwer: Philadelphia; 2015.
9. Jackler RK, Brackmann DE. Neurotology. Edisi 2.Elsevier Mosby. United
States of America; 2005
10. Gelfand SA. Essential of Audiology. Edisi 2. Thieme: New York; 2001.
11. Jenkins H. A, Abbassi O. Otosclerosis. In: Ballenger’s Manual of
Otorhinolaryngology Head and Neck Surgery. London: BC Decker; 2002: p.
75-84.
12. Djaafar ZA, Helmi, Restuti RD. Otosklerosis. Buku Ajar Ilmu Kesehatan
Telinga Hidung Tenggorok Kepala & Leher edisi keenam. Jakarta: Balai
penerbit FKUI; 2007: h. 76-77.
13. House JW, Cunnigham CD. Otosclerosis. In : Cummings Otolaryngology
Head & Neck Surgery 4th ed. Vol 4. Philadelphia. Elsevier Mosby; 2005: p.
3562-7

129

Anda mungkin juga menyukai