NEUROOTOLOGI
MODUL VI.1
GANGGUAN PENDENGARAN
EDISI II
KOLEGIUM
ILMU KESEHATAN TELINGA HIDUNG TENGGOROK
BEDAH KEPALA DAN LEHER
2015
Modul VI.1−Gangguan Pendengaran
DAFTAR ISI
A. WAKTU ...................................................................................... 2
B. PERSIAPAN SESI ...................................................................... 2
C. REFERENSI ......................................................................................... 3
D. KOMPETENSI ..................................................................................... 3
E. GAMBARAN UMUM ......................................................................... 5
F. CONTOH KASUS DAN DISKUSI ..................................................... 6
G. TUJUAN PEMBELAJARAN ............................................................... 6
H. METODE PEMBELAJARAN ............................................................. 7
I. EVALUASI .......................................................................................... 7
J. INSTRUMEN PENILAIAN KOMPETENSI KOGNITIF .................. 8
K. INSTRUMEN PENILAIAN PSIKOMOTOR ...................................... 13
L. DAFTAR TILIK .................................................................................... 23
M. MATERI PRESENTASI ....................................................................... 33
N. MATERI BAKU .................................................................................... 34
1
Modul VI.1−Gangguan Pendengaran
A. WAKTU
B. PERSIAPAN SESI
1. Materi presentasi :
2
Modul VI.1−Gangguan Pendengaran
C. REFERENSI
D. KOMPETENSI
3
Modul VI.1−Gangguan Pendengaran
Tingkat Keterampilan
Tindakan
1 2 3 4
1. Tes suara (voice test) / tes berbisik
2. Tes Garputala
3. - PemeriksaanAudiometri nada murni &
masking
-Tes SAL(Sensineural Aquity Level) untuk
mengatasi dilema masking
4. Pemeriksaan audiometri tutur & masking
Keterampilan:
Setelah mengikuti sesi ini, peserta didik diharapkan terampil dalam :
1. Menjelaskan anatomi dan fisiologi pendengaran
2. Menjelaskan jenis-jenis dan derajat gangguan pendengaran
3. Menjelaskan penyebab berbagai jenis gangguan pendengaran dan patofisiologinya
4. Menjelaskan gejala dan tanda gangguan pendengaran
5. Melakukan anamnesis, pemeriksaan fisik, pemeriksaan pendengaran dan
pemeriksaan penunjang lain yang berhubungan dengan gangguan pendengaran
6. Membuat diagnosis klinis penyebab gangguan pendengaran, jenis dan derajat
gangguan pendengaran dan diagnosis bandingnya
4
Modul VI.1−Gangguan Pendengaran
E. GAMBARAN UMUM
Akibat dari hilangnya pendengaran pada anak lebih buruk. Ditambah akibat dari
keterlambatan bicara dan perkembangan bahasa, dan kesulitan belajar akan
memperburuk situasi. Gangguan pendengaran pada anak secara signifikan
memperlambat perkembangan bicara dan bahasa, tergantung pada beberapa faktor
antara lain onset umur, beratnya ketulian, dan usia dari identifikasi dan
pengobatan.
Dewasa ini audiologi telah berkembang dengan pesat karena ditunjang oleh alat-
alat canggih, sehingga pemeriksaan lebih tepat, lebih baik dan lebih banyak hal-hal
yang dapat diperiksa.
Gangguan pendengaran merupakan masalah yang harus kita tangani karena dapat
mengakibatkan hambatan dalam berkomunikasi yang menyebabkan seseorang
5
Modul VI.1−Gangguan Pendengaran
Kemampuan untuk mendengar dapat ditentukan dengan berbagai cara mulai dari
cara yang sederhana hingga pengukuran tepat berstandar tinggi yang memerlukan
peralatan khusus. Dengan semakin sering atau menjadi rutinnya pemeriksaan
pendengaran di bagian THT-KL, maka semakin besar keahlian yang harus
dikembangkan untuk pemeriksaan pendengaran guna aplikasi praktis dan
penerapannya.
F. CONTOH KASUS
Seorang laki-laki usia 30 tahun datang dengan pendengaran menurun tiba – tiba
dan berbunyi terus menerus pada telinga kanan sejak 2 hari yang lalu. Tidak ada
riwayat infeksi, trauma, makan obat ototoksik dan terpajan bising.
a. Apa diagnosis saudara ?
b. Pemeriksaan yang diperlukan ?
c. Bagaimana penatalaksanaannya ?
G. TUJUAN PEMBELAJARAN
Proses, materi dan metoda pembelajaran yang telah disiapkan bertujuan untuk alih
pengetahuan, keterampilan dan perilaku yang terkait dengan pencapaian
kompetensi dan keterampilan yang diperlukan dalam mendiagnosis dan
menatalaksana gangguan pendengaran yang meliputi :
1. Mengetahui dan memahami anatomi, fisiologi pendengaran (konduksi,
transduksi, transmisi, prosesing/sentral).
2. Memahami patofisiologi dan mampu melakukan diagnosis dan tatalaksana
gangguan pendengaran akibat kelainan telinga luar, tengah,dalam dan sentral,
seperti :
a. Atresia liang telinga, mikrotia
b. Gangguan fungsi tuba, patolous tuba
c. Infeksi (OMSK, labirintitis)
d. Timpanosklerosis, Otosklerosis
e. Proses sentral (CAPD)
f. Vaskuler (sudden deafness, stroke)
g. Gangguan pendengaran akibat bising (NIHL)
h. Trauma (trauma kepala, trauma akustik, barotrauma)
i. Degenerasi (presbikusis, multipel sklerosis)
j. Imunologi (ALHL)
k. Kongenital
l. Tinitus
m. Tumor (neuroma akustik)
6
Modul VI.1−Gangguan Pendengaran
H. METODE PEMBELAJARAN
1. Interactive lecture
2. Small group discussion
3. Peer assisted learning
4. Bedside teaching
5. Task based medical education
6. Case simulation and investigating exercise
7. Equipment characteristic and operating instruction
8. Literature reading
9. Referat
10. Skills lab
11. Praktek lapangan
12. Journal reading
13. Mini lecture
14. Minicex
I. EVALUASI
1. Pada awal pertemuan dilaksanakan pre-test dalam bentuk essay dan oral sesuai
dengan tingkat masa pendidikan, yang bertujuan untuk menilai kinerja awal, yang
dimiliki peserta didik dan untuk mengidentifikasi kekurangan yang ada. Materi
pretest terdiri atas : Anatomi, gambaran klinik, pemeriksaan fisik, pemeriksaan
penunjang, diagnosis, penatalaksanaan dan prognosis
2. Small group discussion bersama fasilitator untuk membahas kekurangan yang
ada, hal-hal yang berkenaan dengan penuntun belajar dan proses penilaian.
3. Setelah mempelajari penuntun belajar ini mahasiswa diwajibkan untuk
mengaplikasikan langkah-langkah yang tertera dalam penuntun belajar dalam
bentuk role play dengan teman-teman (peer assisted learning) atau kepada
7
Modul VI.1−Gangguan Pendengaran
Kuesioner meliputi :
1. Sebelum pembelajaran
Soal :
a. Jelaskan dengan lengkap syarat dan metoda step masking pada audiometri
nada murni.
b. Jelaskan mengenai refleks akustik dan buat skemanya
8
Modul VI.1−Gangguan Pendengaran
Jawaban :
` a. Metoda step masking hantaran udara
• Syarat: Bila terdapat perbedaan intensitas antara hantaran udara telinga
yang diperiksa (AC Test Ear = TE) dengan hantaran tulang telinga yang
tidak diperiksa (BC Non Test Ear = NTE) minimal sebesar interaural
attenuation (IA) sesuai dengan frekuensi dan transduser yang dipakai
• Cara melakukan masking untuk hantaran udara
Kriteria kapan dibutuhkan masking berdasarkan Min IA (35-50 dB
tergantung pada frekuensi)
Bila selisih ambang dengar hantaran udara pada telinga yang diperiksa
dengan ambang hantaran tulang telinga yang tidak diperiksa lebih atau
sama dengan Min IA, maka kita perlu untuk memberikan masking
Masking awal diberikan sebesar 30 dB di atas ambang dengar telinga
yang tidak diperiksa
Bila tidak terjadi perubahan ambang dengar pada telinga yang diperiksa,
maka ini adalah ambang dengar yang sebenarnya dan tidak diperlukan
masking lagi
Namun, bila terjadi perubahan sebesar 20 dB atau lebih pada ambang
dengar telinga yang diperiksa setelah diberikan masking awal (30 dB),
maka perlu masking tambahan
Masking tambahan adalah sebesar 20 dB di atas level masking
sebelumnya
Bila tidak terjadi perubahan ambang dengar pada telinga yang diperiksa,
maka ini adalah ambang dengar yang sebenarnya dan masking tidak
diperlukan lagi
Namun bila terjadi perubahan ambang dengar pada telinga yang diperiksa
sebesar 15 dB atau lebih setelah diberikan masking tambahan, maka perlu
diberikan masking tambahan lagi (yang kedua) sebesar 20 dB
Bila tidak didapatkan lagi peningkatan ambang dengar sebesar 15 dB atau
lebih, atau tidak ada respons lagi setelah batas kemampuan audiometer,
maka kita sudah mendapatkan informasi yang sesuai
9
Modul VI.1−Gangguan Pendengaran
2. Tengah pembelajaran
Soal : Seorang wanita 35 tahun datang dengan keluhan telinga kiri terasa
tertutup sejak 1 minggu yang disertai dengan bunyi di telinga yang sama
seperti suara desis air. Pendengaran juga dirasa menurun. Riwayat keluar
10
Modul VI.1−Gangguan Pendengaran
cairan dari telinga, trauma, paparan bising atau minum obat-obatan ototoksik
tidak ada.
a. Diagnosis apa yang mungkin?
b. Pemeriksaan apa saja yang diperlukan untuk pasien ini?
Jawaban :
a. Gangguan konduktif telinga kiri ec susp OME AS dd/ gangguan fungsi
tuba telinga kiri
b. Pemeriksaan yang perlu dilakukan:
- Penala
- Timpanometri
- Audiometri nada murni
- Nasoendoskopi bila didapatkan OME unilateral dan kecurigaan ke
arah Kanker nasofaring
3. Akhir pembelajaran
Soal : Seorang laki – laki usia 40 tahun datang dengan keluhan pendengaran
kurang jelas bila berkomunikasi di tempat ramai sejak beberapa bulan
terakhir. Tidak ada keluhan bunyi di telinga dan hiperakusis. Tidak
mempunyai riwayat gangguan keseimbangan terpajan bising, pemakaian obat
ototoksik, dan infeksi telinga. Pada audiometri nada murni, tutur, OAE dan
BERA dalam batas normal.
a. Pemeriksaan apa yang diperlukan dan apa alasannya?
b. Apa diagnosis kerja dan diagnosis banding pasien di atas?
c. Bagaimana penatalaksanaan pasien ini?
Jawaban :
a. Pemeriksaan yang diperlukan adalah speech in noise (audiometri tutur
dalam bising)
Alasan: keluhan pasien adalah kurang jelas dalam berkomunikasi di
tempat ramai, yang dapat diartikan sebagai adanya gangguan persepsi
yang disebabkan oleh gangguan kemampuan sistem auditori dalam
membedakan signal akustik yang berbeda – beda. Proses ini dipengaruhi
oleh kerja sama sistem auditori perifer dan sentral. Audiometri nada murni
dan tutur tidak adekuat dalam mengevaluasi kemampuan kedua sistem ini
khususnya dalam mempersepsikan bunyi. Speech in noise audiometri
dilakukan untuk mengevaluasi kemampuan mekanisme proses auditori
dalam keadaan yang sebenarnya, dan menilai proses auditori pasien
11
Modul VI.1−Gangguan Pendengaran
1. PENUNTUN BELAJAR
PROSEDUR PEMERIKSAAN TES BERBISIK
Nilailah kinerja setiap langkah yang diamati menggunakan skala sebagai berikut.:
1 Perlu perbaikan: langkah tidak dikerjakan atau tidak sesuai dengan yang seharusnya atau
urutannya tidak sesuai (jika harus berurutan)
2 Mampu: langkah dikerjakan sesuai dengan yang seharusnya dan urutannya (jika harus berurutan).
Pelatih hanya membimbing untuk sedikit perbaikan atau membantu untuk kondisi di luar normal
3 Mahir: langkah dikerjakan dengan benar, sesuai urutannya dan waktu kerja yang sangat efisien
T/D Langkah tidak diamati (penilai menganggap langkah tertentu tidak perlu diperagakan)
KEGIATAN KASUS
12
Modul VI.1−Gangguan Pendengaran
KEGIATAN KASUS
• Dilakukan pengucapan kata bisilabik pada telinga pasien dengan jarak 6m
• Kemudian pasien diminta untuk mengulang dan mengucapkan kata
tersebut
• Bila belum didengar dan ditirukan oleh pasien, jarak makin didekatkan,
sampai pasien menirukan 80% kata-kata tersebut dengan benar
• Dilakukan pemeriksaan dengan cara yang sama pada telinga sebelahnya
• Hasil pemeriksaan:
Jarak pendengaran 6 m = normal
Jarak pendengaran 5 m = dalam batas normal
Jarak pendengaran 4 m = tuli ringan
Jarak pendengaran 2- 3 m = tuli sedang
Jarak pendengaran 1 m atau <= tuli berat
2. PENUNTUN BELAJAR
PROSEDUR PEMERIKSAAN GARPU TALA
Nilailah kinerja setiap langkah yang diamati menggunakan skala sebagai berikut.:
1 Perlu perbaikan: langkah tidak dikerjakan atau tidak sesuai dengan yang seharusnya atau
urutannya tidak sesuai (jika harus berurutan)
2 Mampu: langkah dikerjakan sesuai dengan yang seharusnya dan urutannya (jika harus berurutan).
Pelatih hanya membimbing untuk sedikit perbaikan atau membantu untuk kondisi di luar normal
4 Mahir: langkah dikerjakan dengan benar, sesuai urutannya dan waktu kerja yang sangat efisien
T/D Langkah tidak diamati (penilai menganggap langkah tertentu tidak perlu diperagakan)
KEGIATAN KASUS
13
Modul VI.1−Gangguan Pendengaran
KEGIATAN KASUS
• Pasien diminta duduk menghadap pemeriksa
• Tanyakan kepada pasien keadaan berat ringannya keluhan diantara kedua
telinga, yang lebih ringan lebih dulu diperiksa
A. Tes Rinne
• Penala digetarkan, tangkainya diletakkan pada salah satu prosesus
mastoid, setelah tidak terdengar penala dipindah ke depan daun telinga
kira – kira dengan jarak 2,5 cm.
• Bila masih terdengar saat dipindahkan di depan daun telinga disebut
dengan Rinne positif, namun bila sudah tidak terdengar disebut dengan
Rinne negatif
• Hasil tes:
Rinne positif (+): fungsi pendengaran normal atau gangguan pendengaran
sensorineural
Rinne negatif (-): gangguan pendengaran konduktif
NB: pada tuli konduktif < 30 dB, Rinne dapat positif
B. Tes Weber
• Penala digetarkan dan tangkai penala diletakkan di garis median kepala
(verteks, dahi, pangkal hidung, ditengah – tengah gigi seri atau di dagu)
• Kemudian ditanyakan dimanakah bunyi terdengar, apakah ada sisi yang
lebih keras atau kedua sisi mendengar sama keras.
• Apabila bunyi penala terdengar lebih keras pada salah satu telinga disebut
weber lateralisasi ke telinga tersebut, bila tidak dapat dibedakan ke arah
telinga mana bunyi terdengar lebih keras disebut weber tidak ada
lateralisasi
• Hasil tes:
Tidak ada lateralisasi: fungsi pendengaran normal
Lateralisasi ke telinga yang sakit: gangguan pendegaran konduktif
Lateralisasi ke telinga yang sehat: gangguan pendengaan sensorineural
C. Tes Schwabach
• Penala digetarkan, tangkai penala diletakkan pada prosesus mastoid
pasien sampai bunyi tidak terdengar.
• Penala kemudian dipindahkan ke prosesus mastoid telinga pemeriksa
yang pendengarannya normal
• Bila pemeriksa masih dapat mendengar disebut Schwabach memendek
• Bila pemeriksa masih dapat mendengar bunyi, pemeriksaan diulang
dengan cara yang sebalikanya yaitu penala diletakkan pada prosesus
mastoid pemeriksa terlebih dahulu dan kemudian dipindahkan ke
prosesus mastoid pasien.
14
Modul VI.1−Gangguan Pendengaran
KEGIATAN KASUS
• Bila pasien masih dapat mendengar bunyi disebut Scwabach memanjang
• Bila pasien dan pemeriksa sama – sama mendengarnya disebut dengan
Scwabach sama dengan pemeriksa
• Hasil tes: • • • • •
Sama dengan pemeriksa: fungsi pendengaran normal
Memanjang: gangguan pendengaran konduktif
Memendek: gangguan pendengaran sensorineural
3. PENUNTUN BELAJAR
PROSEDUR PENGUKURAN PENDENGARAN AUDIOMETRI NADA
MURNI
Lakukan penilaian kinerja pada setiap langkah/ tugas dengan menggunakan skala penilaian di
bawah ini :
1. Perlu perbaikan Langkah atau tugas tidak dikerjakan secara benar atau dalam
urutan yang salah(bila diperlukan) atau diabaikan
2. Mampu Langkah atau tugas dikerjakan secara benar, dalam urutan yang
benar (bila diperlukan), tetapi belum dikerjakan secara lancar
3. Mahir Langkah atau tugas dikerjakan secara efisien dan dikerjakan
dalam urutan yang benar (bila diperlukan)
KEGIATAN KASUS
15
Modul VI.1−Gangguan Pendengaran
KEGIATAN KASUS
• Tanyakan kepada pasien keadaan berat ringannya keluhan diantara kedua
telinga, yang lebih ringan lebih dulu diperiksa
• Atur posisi duduk pasien ke arah sudut 30o membelakangi pemeriksa
• Putar switch power untuk menghidupkan audiometer
• Atur tombol-tombol pengoperasian alat
• Pasang headphone tepat di depan liang telinga
• Berikan perintah sederhana, jelas pada pasien, untuk memencet tombol
respon apabila mendengar nada/bunyi sekecil apapun
• Lakukan pemeriksaan dari telinga yang keluhannya lebih ringan
• Dilakukan pemeriksaan hantaran udara (AC) dimulai dari frekuensi 1000
Hz dengan memberi sinyal pada intensitas 40 dB, kemudian naik tiap 5
dB, atau diturunkan tiap 10 dB sampai memperoleh ambang dengar.
• Berikan secara ireguler pada setiap pemberian nada sebanyak 2-3 kali
rangsangan
• Selanjutnya frek. 2000 Hz, 3000 Hz, 4000 Hz, 6000 Hz, 8000 Hz,
kembali ke 1000 Hz kemudian periksa frek. 500 Hz dan 250 Hz (untuk
hantaran udara)
• Bila ada perbedaan 20 dB atau lebih antara 2 frekuensi, cek pada frek. ½
oktaf (hindari standing wave)
• Hal yang sama dilakukan untuk telinga lainnya
• Catat hasil tes pada formulir audiogram, dengan simbol(0) mengunakan
spidol merah untuk telinga kanan dan simbol (X) menggunakan spidol
biru untuk telinga kiri. Hubungkan dengan garis tegas hingga membentuk
grafik.
• Lakukan pemeriksaan hantaran tulang atau BC bila ambang dengar
hantaran udara meningkat dengan cara :
1. Ganti headphone dengan bonefibrator
2. Pasang bonefibrator pada os mastoid dengan sedikit penekanan
3. Lakukan pemeriksaan dengan cara yang sama pada hantaran udara
hanya frekuensi dan intensitas terbatas yaitu : 500Hz, 1000Hz,
2000Hz, 4000Hz dan intensitasnya hanya sampai 60-85 dB.
4. Catat respon pasien pada formulir audiogram dengan menggunakan
simbul (<) untuk telinga kiri dan (>) untuk telinga kanan, hubungkan
dengan titik-titik hingga membentuk grafik.
• Dokumentasi hasil audiogram kedalam formulir audiogram
16
Modul VI.1−Gangguan Pendengaran
KEGIATAN KASUS
III. TAHAP PEMERIKSAAN MASKING (METODE STEP MASKING)
A. MASKING HANTARAN UDARA
• Bila terdapat perbedaan intensitas antara hantaran udara telinga yang
diperiksa (AC Test Ear = TE) dengan hantaran tulang telinga yang tidak
diperiksa (BC Non Test Ear = NTE) minimal sebesar interaural
attenuation (IA) sesuai dengan frekuensi dan transduser yang dipakai,
maka kita perlu untuk memberikan masking
• Masking awal diberikan sebesar 30 dB di atas ambang dengar telinga
yang tidak diperiksa
• Bila tidak terjadi perubahan ambang dengar pada telinga yang diperiksa,
maka ini adalah ambang dengar yang sebenarnya dan tidak diperlukan
masking lagi
• Namun, bila terjadi perubahan sebesar 20 dB atau lebih pada ambang
dengar telinga yang diperiksa setelah diberikan masking awal (30 dB),
maka perlu masking tambahan
• Masking tambahan adalah sebesar 20 dB di atas level masking
sebelumnya
• Bila tidak terjadi perubahan ambang dengar pada telinga yang diperiksa,
maka ini adalah ambang dengar yang sebenarnya dan masking tidak
diperlukan lagi
• Namun bila terjadi perubahan ambang dengar pada telinga yang diperiksa
sebesar 15 dB atau lebih setelah diberikan masking tambahan, maka perlu
diberikan masking tambahan lagi (yang kedua) sebesar 20 dB
• Bila tidak didapatkan lagi peningkatan ambang dengar sebesar 15 dB atau
lebih, atau tidak ada respons lagi setelah batas kemampuan audiometer,
maka kita sudah mendapatkan informasi yang sesuai
B. MASKING HANTARAN TULANG
• Bila terdapat A-B gap (selisih 10 dB atau lebih antara hantaran udara dan
hantaran tulang pada 2 frekuensi berurutan) pada telinga yang diperiksa,
maka diperlukan masking
• Masking awal adalah 20 dB di atas ambang dengar hantaran udara telinga
yang tidak diperiksa. Minimum IA untuk hantaran tulang bernilai nol
• Efek oklusi diberikan bila tidak ada A-B gap pada telinga yang tidak
diperiksa sebesar 15 db untuk frek. 250 dan 500 Hz dan sebesar 10 dB
untuk frek. 1000 Hz. Untuk frek. 2000 dan 4000 Hz tidak diperlukan efek
oklusi. Bila telinga yang tidak diperiksa ada A-B gap, maka tidak
diperlukan tambahan efek oklusi
• Bila tidak terjadi perubahan ambang dengar pada telinga yang diperiksa
setelah menggunakan masking yang sesuai maka didapatkan ambang
17
Modul VI.1−Gangguan Pendengaran
KEGIATAN KASUS
dengar yang sebenarnya, dan tidak diperlukan tambahan masking lagi
• Namun bila ada perubahan ambang dengar sebesar 15 db atau lebih,
maka diperlukan masking tambahan. Masking tambahan yang diberikan
sebesar 20 dB di atas level masking sebelumnya
• Bila tidak terjadi perubahan ambang dengar pada telinga yan tidak
diperiksa, maka didapatkan ambang dengar yang sebenarnya dan masking
tidak diperlukan lagi
• Namun bila terjadi perubahan 15 dB atau lebih ketika dilakukan masking
tambahan, maka diperlukan masking tambahan lagi (yang kedua) sebesar
20 dB. Tambahan efek oklusi hanya satu kali
4. PENUNTUN BELAJAR
PROSEDUR PEMERIKSAAN AUDIOMETRI TUTUR
Nilailah kinerja setiap langkah yang diamati menggunakan skala sebagai berikut.:
1 Perlu perbaikan: langkah tidak dikerjakan atau tidak sesuai dengan yang seharusnya atau
urutannya tidak sesuai (jika harus berurutan)
2 Mampu: langkah dikerjakan sesuai dengan yang seharusnya dan urutannya (jika harus berurutan).
Pelatih hanya membimbing untuk sedikit perbaikan atau membantu untuk kondisi di luar normal
5 Mahir: langkah dikerjakan dengan benar, sesuai urutannya dan waktu kerja yang sangat efisien
T/D Langkah tidak diamati (penilai menganggap langkah tertentu tidak perlu diperagakan)
KEGIATAN KASUS
18
Modul VI.1−Gangguan Pendengaran
KEGIATAN KASUS
• Sambungkan kabel
• Atur tombol-tombol pengoperasian alat (pada channel 1 tekan high freq,
tekan source A)
• Lakukan pemeriksaan pada telinga yang yang keluhannya lebih ringan
• Berikan perintah sederhana, jelaskan pada pasien, untuk menirukan kata-
kata yang didengar melalui headphone
• Dilakukan pemeriksaan SRT (nilai ambang persepsi tutur) pada intensitas
sesuai ambang dengar hantaran udara telinga yang diperiksa
• Lakukan pemilihan deret bisilabik
• Tekan switch correct/incorrect sesuai jumlah kata-kata yang benar/salah
hingga 10 kata
• Lakukan pemeriksaan SDS pada intensitas 40dB dari intensitas SRT
• Lakukan pemilihan deret monosilabik
• Tekan switch correct/incorrect sessuai jumlah kata-kata yang benar/salah
hingga 10 kata
• Lakukan masking apabila syarat masking pada SRT dan SDS terpenuhi
• Nilai hasil tes:
SRT Interpretasi : 50% kata ditiru dengan benar
NPT 30 dB mulai ada hambatan berkomunikasi
NPT 45 dB terhambat berkomunikasi
19
Modul VI.1−Gangguan Pendengaran
5. PENUNTUN BELAJAR
PROSEDUR PEMERIKSAAN TIMPANOMETRI
Nilailah kinerja setiap langkah yang diamati menggunakan skala sebagai berikut.:
1 Perlu perbaikan: langkah tidak dikerjakan atau tidak sesuai dengan yang seharusnya atau
urutannya tidak sesuai (jika harus berurutan)
2 Mampu: langkah dikerjakan sesuai dengan yang seharusnya dan urutannya (jika harus berurutan).
Pelatih hanya membimbing untuk sedikit perbaikan atau membantu untuk kondisi di luar normal
6 Mahir: langkah dikerjakan dengan benar, sesuai urutannya dan waktu kerja yang sangat efisien
T/D Langkah tidak diamati (penilai menganggap langkah tertentu tidak perlu diperagakan)
KEGIATAN KASUS
20
Modul VI.1−Gangguan Pendengaran
6. PENUNTUN BELAJAR
PROSEDUR PEMERIKSAAN FUNGSI TUBA
Nilailah kinerja setiap langkah yang diamati menggunakan skala sebagai berikut.:
1 Perlu perbaikan: langkah tidak dikerjakan atau tidak sesuai dengan yang seharusnya atau
urutannya tidak sesuai (jika harus berurutan)
2 Mampu: langkah dikerjakan sesuai dengan yang seharusnya dan urutannya (jika harus berurutan).
Pelatih hanya membimbing untuk sedikit perbaikan atau membantu untuk kondisi di luar normal
7 Mahir: langkah dikerjakan dengan benar, sesuai urutannya dan waktu kerja yang sangat efisien
T/D Langkah tidak diamati (penilai menganggap langkah tertentu tidak perlu diperagakan)
KEGIATAN KASUS
21
Modul VI.1−Gangguan Pendengaran
L. DAFTAR TILIK
KEGIATAN NILAI
I. TAHAP PERSIAPAN PEMERIKSAAN TES BERBISIK
• Informed Choice & Informed Consent
• Rencana Tindakan
• Ruang sepi dengan ukuran terdapat sisi dengan jarak 6 meter (tidak
boleh terdapat echo dalam ruangan tersebut)
22
Modul VI.1−Gangguan Pendengaran
KEGIATAN NILAI
I. TAHAP PERSIAPAN PEMERIKSAAN GARPU TALA
• Informed Choice & Informed Consent
• Rencana Tindakan
• Ruang kedap suara 40 dB
• Garpu tala frekuensi 128 Hz, 256 Hz, 512 Hz, 1024 Hz, 2048 Hz
• Pasien diminta untuk melepas kaca mata (bila memakai), pasien
ditanyakan apakah menggunakan gigi palsu atau implan logam di gigi
23
Modul VI.1−Gangguan Pendengaran
KEGIATAN NILAI
(verteks, dahi, pangkal hidung, ditengah – tengah gigi seri atau di dagu)
• Kemudian ditanyakan dimanakah bunyi terdengar, apakah ada sisi yang
lebih keras atau kedua sisi mendengar sama keras.
• Apabila bunyi penala terdengar lebih keras pada salah satu telinga
disebut weber lateralisasi ke telinga tersebut, bila tidak dapat dibedakan
ke arah telinga mana bunyi terdengar lebih keras disebut weber tidak
ada lateralisasi
• Evaluasi hasil tes
C. Tes Schwabach
• Penala digetarkan, tangkai penala diletakkan pada prosesus mastoid
pasien sampai bunyi tidak terdengar.
• Penala kemudian dipindahkan ke prosesus mastoid telinga pemeriksa
yang pendengarannya normal
• Bila pemeriksa masih dapat mendengar disebut Schwabach memendek
24
Modul VI.1−Gangguan Pendengaran
KEGIATAN NILAI
I. TAHAP PERSIAPAN PEMERIKSAAN AUDIOMETRI NADA MURNI
• Informed Choice & Informed Consent
• Rencana Tindakan
• Persiapan Sebelum Tindakan
• Pastikan kelengkapan alat dan bahan
II. PROSEDUR PEMERIKSAAN AUDIOMETRI NADA MURNI
25
Modul VI.1−Gangguan Pendengaran
KEGIATAN NILAI
kembali ke 1000 Hz kemudian periksa frek. 500 Hz dan 250 Hz
(untuk hantaran udara)
• Bila ada perbedaan 20 dB atau lebih antara 2 frekuensi, cek pada frek.
½ oktaf (hindari standing wave)
• Hal yang sama dilakukan untuk telinga lainnya
• Catat hasil tes pada formulir audiogram, dengan simbol(0)
mengunakan spidol merah untuk telinga kanan dan simbol (X)
menggunakan spidol biru untuk telinga kiri. Hubungkan dengan garis
tegas hingga membentuk grafik.
• Lakukan pemeriksaan hantaran tulang atau BC bila ambang dengar
hantaran udara meningkat dengan cara :
- Ganti headphone dengan bonefibrator
- Pasang bonefibrator pada os mastoid dengan sedikit penekanan
- Lakukan pemeriksaan dengan cara yang sama pada hantaran
udara hanya frekuensi dan intensitas terbatas yaitu : 500Hz,
1000Hz, 2000Hz, 4000Hz dan intensitasnya hanya sampai 60-85
dB.
- Catat respon pasien pada formulir audiogram dengan
menggunakan simbul (<) untuk telinga kiri dan (>) untuk telinga
kanan, hubungkan dengan titik-titik hingga membentuk grafik.
• Dokumentasi hasil audiogram kedalam formulir audiogram
III. TAHAP PEMERIKSAAN MASKING (METODE STEP MASKING)
A. MASKING HANTARAN UDARA
• Bila terdapat perbedaan intensitas antara hantaran udara telinga yang
diperiksa (AC Test Ear = TE) dengan hantaran tulang telinga yang tidak
diperiksa (BC Non Test Ear = NTE) minimal sebesar interaural
attenuation (IA) sesuai dengan frekuensi dan transduser yang dipakai,
maka kita perlu untuk memberikan masking
• Masking awal diberikan sebesar 30 dB di atas ambang dengar telinga
yang tidak diperiksa
• Bila tidak terjadi perubahan ambang dengar pada telinga yang diperiksa,
maka ini adalah ambang dengar yang sebenarnya dan tidak diperlukan
masking lagi
• Namun, bila terjadi perubahan sebesar 20 dB atau lebih pada ambang
dengar telinga yang diperiksa setelah diberikan masking awal (30 dB),
maka perlu masking tambahan
• Masking tambahan adalah sebesar 20 dB di atas level masking
sebelumnya
• Bila tidak terjadi perubahan ambang dengar pada telinga yang diperiksa,
maka ini adalah ambang dengar yang sebenarnya dan masking tidak
26
Modul VI.1−Gangguan Pendengaran
KEGIATAN NILAI
diperlukan lagi
• Namun bila terjadi perubahan ambang dengar pada telinga yang
diperiksa sebesar 15 dB atau lebih setelah diberikan masking tambahan,
maka perlu diberikan masking tambahan lagi (yang kedua) sebesar 20
dB
• Bila tidak didapatkan lagi peningkatan ambang dengar sebesar 15 dB
atau lebih, atau tidak ada respons lagi setelah batas kemampuan
audiometer, maka kita sudah mendapatkan informasi yang sesuai
B. MASKING HANTARAN TULANG
• Bila terdapat A-B gap (selisih 10 dB atau lebih antara hantaran udara
dan hantaran tulang pada 2 frekuensi berurutan) pada telinga yang
diperiksa, maka diperlukan masking
• Masking awal adalah 20 dB di atas ambang dengar hantaran udara
telinga yang tidak diperiksa. Minimum IA untuk hantaran tulang
bernilai nol
• Efek oklusi diberikan bila tidak ada A-B gap pada telinga yang tidak
diperiksa sebesar 15 db untuk frek. 250 dan 500 Hz dan sebesar 10 dB
untuk frek. 1000 Hz. Untuk frek. 2000 dan 4000 Hz tidak diperlukan
efek oklusi. Bila telinga yang tidak diperiksa ada A-B gap, maka tidak
diperlukan tambahan efek oklusi
• Bila tidak terjadi perubahan ambang dengar pada telinga yang diperiksa
setelah menggunakan masking yang sesuai maka didapatkan ambang
dengar yang sebenarnya, dan tidak diperlukan tambahan masking lagi
• Namun bila ada perubahan ambang dengar sebesar 15 db atau lebih,
maka diperlukan masking tambahan. Masking tambahan yang diberikan
sebesar 20 dB di atas level masking sebelumnya
• Bila tidak terjadi perubahan ambang dengar pada telinga yan tidak
diperiksa, maka didapatkan ambang dengar yang sebenarnya dan
masking tidak diperlukan lagi
• Namun bila terjadi perubahan 15 dB atau lebih ketika dilakukan
masking tambahan, maka diperlukan masking tambahan lagi (yang
kedua) sebesar 20 dB. Tambahan efek oklusi hanya satu kali
27
Modul VI.1−Gangguan Pendengaran
28
Modul VI.1−Gangguan Pendengaran
KEGIATAN NILAI
hingga 10 kata
• Lakukan masking apabila syarat masking paa SRT dan SDS terpenuhi
• Evaluasi hasil tes
29
Modul VI.1−Gangguan Pendengaran
KEGIATAN NILAI
I. TAHAP PERSIAPAN PEMERIKSAAN TIMPANOMETRI
• Siapkan alat timpanometer beserta probe dan ear tip
• Pastikan kertas pencetak timpanogram tersedia
• Informed Choice dan Informed Consent
II. TAHAP PEMERIKSAAN TIMPANOMETRI
• Beritahu pasien tindakan yang akan dilakukan
• Pastikan kedua telinga pasien bersih
• Tekan switch power untuk menghidupkan Timpanometer
• Tekan switch timpanometri, tekan switch right/left sesuai telinga yang
diperiksa
• Pasang tip probe menuju ke arah membran timpani, pastikan tip probe
kedap terhadap liang telinga
• Timpanogram akan muncul pada display
• Lakukan pemeriksaan pada telinga sisi yang lainnya
• Tekan tombol store lalu print
• Evaluasi hasil tes
30
Modul VI.1−Gangguan Pendengaran
KEGIATAN NILAI
• Siapkan alat timpanometer beserta probe dan ear tip
• Pastikan kertas pencetak timpanogram masih cukup
• Beritahu pasien tindakan yang akan dilakukan
• Tekan switch power untuk menghidupkan Timpanometer
• Tekan switch ETF, tekan switch right/left sesuai telinga yang
diperiksa
• Pasang tip probe menuju ke arah membran timpani, pastikan tip
probe kedap terhadap liang telinga
• Timpanogram akan muncul pada display
• Setelah perintah swallow muncul pada display, pasien diminta
menutup hidung, menutup mulut sambil melakukan gerakan
menelan (Toynbe)
• Setelah perintah vaslava muncul pada display, pasien diminta
menutup hidung, menutup mulut sambil melakukan gerakan meniup
(vasalva)
• Lakukan pemeriksaan pada telinga sisi yang lainnya
• Tekan tombol store lalu print
• Evaluasi hasil test
31
Modul VI.1−Gangguan Pendengaran
M. MATERI PRESENTASI :
32
Modul VI.1−Gangguan Pendengaran
N. MATERI BAKU
1. Gangguan Pendengaran
Diperkirakan 7.000 (0,2-0,4%) bayi dilahirkan setiap tahunnya dengan tuli yang
bervariasi dari ringan sampai total. Pada umur kurang dari 18 tahun, dua dari 100
anak mengalami gangguan pendengaran dalam berbagai derajat. Untungnya hanya
dalam jumlah sedikit yang tidak dapat tertolong oleh pengobatan modern.
b. Etiologi
33
Modul VI.1−Gangguan Pendengaran
Proses mendengar diawali dengan ditangkapnya energi bunyi oleh daun telinga
dalam bentuk gelombang. Setelah memasuki meatus eksterna, bunyi akan
menggetarkan membran timpani selanjutnya dirambatkan melalui osikula auditiva.
Setelah melalui osikula, akhirnya getaran yang telah diperkuat daya dorongnya
diteruskan ke dalam perlimfa, utamanya yangterdapat dalam koklea. Bila frekuensi
getaran yang masuk sangat rendah (frekuensi subsonik), maka lintasan
gelombangnya adalah:
Fenestra ovalis → skala vestibuli → helikotrema → skala timpani → fenestra
rotundum.
Lintasan ini tidak berlaku jika frekuensi bunyi lebih tinggi. Untuk frekuensi
bunyi sonik (16 – 20.000 Hz), lintasannya sebagai berikut :
Fenestra ovalis → skala vestibuli → duktus koklearis → skala timpani →
fenestra rotundum.
Duktus koklearis yang merupakan bagian dari labirin membran berdinding lunak,
yaitu membrana reissner dan mebrana basilaris. Bila pintasan gelombang bunyi
menggerakkan membran basilaris maka akan terjadi efek gesekan membrana
tektoria terhadap rambut-rambut sel sensorik dari organ corti. Pergerakan rambut
sel tersebut akan menimbulkan reaksi biokimiawi di dalam sel sensorik sehingga
timbul muatan listrik negatif pada dinding sel. Ujung-ujung saraf kedelapan yang
menempel pada dasar sel-sel sensorik akan menampung impuls yang terbentuk.
Lintasan impuls auditorik selanjutnya adalah :
Ganglion spiralis corti → nervus VIII → nucleus koklearis di M.O →
folikulus inferior → korpus genikulatum medial → korteks audotori (area 39-40)
di lobus temporalis serebrum.
Proses perkembangan berbicara melibatkan banyak fungsi khusus yang
terintegrasi. Diperlukan fungsi pendengaran untuk menerima informasi dari luar,
fungsi saraf perifer untuk penghantaran, saraf pusat untuk pengolahan informasi,
fungsi luhur, komponen motorik serta otot-otot yang kesemuanya bekerja dengan
baik. Yang bertanggungjawab untuk kemampuan berbicara adalah daerah broca
34
Modul VI.1−Gangguan Pendengaran
yang terletak di lobus frontalis kiri dan berkaitan erat dengan daerah motorik
korteks yag mengontrol otot-otot penting untuk artikulasi. Sedangkan daerah yang
bertanggungjawab untuk pemahaman bahasa baik tertulis maupun lisan adalah
daerah wernicke yang terletak di korteks kiri pada pertemuan lobus-lobus
pareitalis, temporalis dan oksipitalis. Selain itu daerah wernicke bertanggungjawab
untuk memformulasikan pola pembicaraan koheren yang disalurkan melelui
seberkas serat ke daerah broca yang kemudian mengontrol artikulasi pembicaraan.
Daerah wernicke menerima masukan dari korteks auditorius di lobus temporalis
yang merupakan suatu jalur yang penting untuk memahami bahasa lisan.
Urutan proses yang terlibat sewaktu mendengar dan berbicara adalah sebagai
berikut :
1. Sinyal bunyi mula-mula diterima oleh area auditorik yang nantinya akan
menjadikan sinyal tadin dalam bentuk kata-kata.
2. Kata-kata lalu diinterpretasikan di area wernicke.
3. Penentuan buah pikiran dan kata-kata yang kana diucapkan juga terjadi di
dalam area wernicke.
4. Penjalaran sinyal-sinyal dari area wernicke ke area broca melalui fasikulus
arkuatus.
5. Aktivasi program keterampilan motorik yang terdapat di area broca untuk
mengatur pembentukan kata.
6. Penjalaran sinyal yang sesuai ke korteks motorik untuk mengatur otot-otot
bicara
d. Persarafan Auditori
35
Modul VI.1−Gangguan Pendengaran
Hubungan frekuensi dengan tinggi rendah nada adalah tidak seluruh getaran
dialam ini bisa didengar manusia, frekuensi sonik adalah frekuensi yang dapat
dipersepsi manusia sebagai bunyi = bisa di dengar. Rentang frekuensi sonik antara
20 Hz – 20.000 Hz. Getaran kurang dari 20 Hz = subsonik. getaran diatas 20.000
Hz = supra atau ultrasonik (dipakai untuk USG). Kedua frekuensi diatas tidak
36
Modul VI.1−Gangguan Pendengaran
terdengar oleh manusia, mungkin masih bisa didengar oleh hewan (misal :anjing)
karrena rentang frekuensi pendengaran hewan berbeda dengan manusia.
10
Garis lengkung ambang pendengaran
20
isophon = diagram lurus
30
40
50
60
70
80
90
100
125 250 500 1000 2000 4000 6000 8000 (Hz)
37
Modul VI.1−Gangguan Pendengaran
Sekarang grafik dB SPL (Sound Pressure Level) dalam garis isophon tidak
digunakan dalam klinik. Yang dipakai adalah grafik dB HL (Hearing Level) pada
kurva audiogram. Titik ambang pendengaran untuk masing-masing frekuensi
digambarkan sebagai garis horizontal yang lurus yaitu garis 0 dB HL
Garis 0 dB HL pada audiogram yang lurus horizontal adalah samaa dengan garis
Isophon untuk ambang pendengaran semua frekuensi yang lengkung pada grafik
dB SPL
Ketulian : hilangnya kemampuan mendengar pada salah satu atau kedua sisi
telinga , merupakan gangguan pendengaran sangat berat dengan ambang
pendengaran rata-rata lebih dari 81 dB pada frekuensi 500, 1000, 2000 dan 4000
Hz.
0 – 25 dB : normal
> 25 – 40 dB : gangguan pendengaran ringan
> 40 – 55 dB : gangguan pendengaran sedang
> 55 – 70 dB : gangguan pendengaran sedang berat
> 70 – 90 dB : gangguan pendengaran berat
> 90 dB : gangguan pendengaran sangat berat
38
Modul VI.1−Gangguan Pendengaran
Tes pendengaran bermacam-macam dari yang paling sederhana seperti tes bisik
dan tes garpu tala, yang tergolong non elektronik sampai yang elektronik seperti
audiometri dalam berbagai bentuk. Peserta PPDS harus menguasai tes bisik dan
graputala sejak S1. Walau tidak dikuliahkan lagi, kemungkinan diujikan selalu
ada, karena itu harus selalu siap pda penanganan pasien maupun untuk menjawab
soal-soal ujian.
Tes Bisik
Syarat : ruang yang sepi serta terdapat jarak 6 m dalam ruang tersebut. Jangan
terjadi echo dalam ruang dengan menata perabot
Setiap telinga di tes tersendiri, kanan atau kiri, telinga yang tidak di tes
disumbat kapas basah yang ditekan dengan jari selama dilakukan tes.
Bahan tes, suara dokter mengucapkan kata bi-silabik. Caranya bisikan
dengan udara cadangan pada jarak 6 m. Bila belum didengar dan ditirukan oleh
pasien, jarak makin didekatkan, sampai pasien menirukan 80% kata-kata tersebut
dengan betul.
Hasilnya disebut : jarak pendengaran
Nilainya = Jarak pendengaran 6 m = normal
Jarak pendengaran 5 m = dalam batas normal
Jarak pendengaran 4 m = tuli ringan
Jarak pendengaran 2- 3 m = tuli sedang
Jarak pendengaran 1 m atau <= tuli berat
Kegunaan tes bisisk : untuk skrining secara masa
Kegunaan : secara kasar boleh dipisahkan antara SNHL kalau batas atas turun,
CHL bila batas bawah naik.
Tes Weber
Menggunakan garpu tala 256 (nada c) atau 512 (nada C'). Ditekankan pada dahi
atau gigi insisivus (di garis median).
39
Modul VI.1−Gangguan Pendengaran
Prinsipnya : membandingkan hantaran tulang telinga kiri dan kanan. Bila sama
kuat, tergolong pendengaran normal. Bila terdengar hanya pada 1 telinga maka
disebut : Lateralisasi.
Tuli konduktif lateralisasi kearah telinga yang sakit, sedang tuli sensorineural
lateralisasi kea rah yang sehat.
Tes Rinne
Prinsip : membandingkan durasi terdengarnya garpu tala antara hantaran tulang
dan hantaran udara.
Rinne positif : Hantaran udara lebih panjang dari hantaran tulang, terjadi apda
telinga normal atau tuli sensorineural.
Rinne negative : Hantaran tulang lebih panjang dari hantaran udara, terdapat pada
tuli konduktif.
Tes Schwabach
Membandingkan durasi pendengaran hantaran tulang antara pasien dan dokter.
• Scwabach memendek : hantaran tulang pasien lebih pendek dari hantaran
tulang dokter = SNHL. Dalam laporan, tejadi swabach memendek.
• Scwabach memanjang : Hantaran tulang pasien lebih panjang daripada
hantaran tulang dokter = tuli konduktif. Dalam laporan, scwabach
memanjang.
• Normal : Hantran tulang pasien sama panjang dengan hantaran tulang
dokter, dengan catatan pendengaran dokternya normal. Hasil di laporan=
Scwabach normal.
Efek oklusi meatus akustikus eksternus terhadap kualitas hantaran tulang, yaitu
bila oklusi diberikan dengan menekan tragus, kemudian dilepas bergantian maka,
telinga normal atau SNHL, akan mendengar, hantaran tulang menguat-melemah
bergantian disebut Bing positif.
Bila pasien tidak mengenali perubahan mengeras dan melemah bergantian = Bing
negative; terjadi pada ketulian konduktif.
Misal : Otitis media nonpurulenta atau otosklerosis.
Catatan : pada tes Bing garpu tala ditekankan pada processus mastoid sisi telinga
yang di tes.
Tes Gelle
Serupa Bing, tetapi garpu tala ditekankan di garis median dahi seperti tes Weber
dan untuk oklusi meatus digunakan balon Politzer.
Audiometri
Audiometri adalah pemeriksaan pendengaran dengan menggunakan bunyi yang
dihasilkan alat elektroakustik yaitu audiometric sebagai bahan tes.
40
Modul VI.1−Gangguan Pendengaran
Didepan sudah diuraikan bahwa garis 0 dBHL tereltak diatas, sedang garis kurva
ambang pendengaran pasien, umumnya terletak di abwah, terutama pada kasus
ketulian. Cara menentukan titik ambang pendengaran agar dipelajari pada buku
lokkarya audiologi FK Unhas, suntungan dr. Anton Manukbua, Th 1978. Pelajari
dan latihlah menggunakan masking.
Temuan dari hasil pemeriksaan audiometric yang perlu diperhatikan adalah :
• Hantaran udara normal : terentang antara -10 s/d 26 dB
• Hanatran tulang berimpit atau hampir berimpit dengan hantaran udara, pada
telinga normal atau ketu;ian sensorineural
• Hanataran tulang terpisah dari hantaran udara yang lebih rendah disebut 'air-
bone gap' terjadi apda ketulian konduktif
Kemampuan alat audiometer dalam memproduksi suara untuk bahan tes adalah
terbatas. Untuk Hantaran udara maksimal adalah 100 dB, hanatran tulang anatara
50 – 60 dB. Dampaknya, bila ada pemisahan hanatran tulang dan hantaran udara
pada ketulain berat atau total, ini bukan air bone gap. Misal ada ketulian berat 95
dB, dari tes garpu tala diketahui SNHL, seharusnya hantaran tulang juga 95 dB,
akan tetapi karena maksimum yang dapat dihasilkan hantran tulang hanya 60 dB,
maka pada audiogram hantaran tulang ditandai dengan apnah arah ke bawah,
artinya hantaran tulang lebih besar dari 60 dB.
f. Prosedur Pelaksanaan
41
Modul VI.1−Gangguan Pendengaran
• Cara pemeriksaan
Untuk mendapatkan hasil pemeriksaan yang baik maka prosedir yang perlu
diperhatikan antara lain :
A. Penderita ditempatkan sedemikian rupa sehingga ia tidak melihat gerakan
tangan pemeriksa, karena hal ini akan mempengaruhi penderita bahwa nada
tes sedang disajikan.
B. Untuk mengurangi interferensi dari suara-suara latar belakang yang berasal
dari sekitarnya maka tempat yang terbaik adalah ruangan kedap suara akan
tetapi bila tidak ada maka tes dilakukan di ruangan tersembunyi.
C. Instruksi kepada penderita harus jelas misalnya “anda akan diperiksa dan akan
mendengar bunyi yang kadang-kadang keras dan kadang-kadang lemah
melalui earphone. Bila mendengar bunyi itu, tekan tombol dan acungkan
tangan. Kalau mendengar di sebelah kanan acungkan tangan kanan dan kalau
didengar pada telinga kiri maka acungkan tangan kiri”.
D. Earphone harus diletakkan secara tepat diatas liang telinga luar,warna merah
di sebelah kanan dan warna biru di sebelah kiri.
E. Telinga yang diperiksa terlebih dahulu harus yang berfungsi lebih baik. Bila
oleh penderita mengatkan kedua telinga sama tulinya, maka yang diperiksakan
terlebih dahulu adalah telinga kanan.
F. Penyajian nada tes tidak boleh dengan irama yang konstan dan lamanya
interval antara dua bunyi harus selalu diubah-ubah. Tidak boleh memutar
tombol (dial) pengatur selama penyaji masih ditekan.
G. Pemeriksaan pertama dimulai pada frekuensi 1000 Hz karena nada ini dapat
memberi hasil akurat yang konsisten. Kemudian periksa nada-nada lebih
tinggi 2000 Hz, 3000 Hz, 4000 Hz, 6000 Hz, dan 8000 Hz.
42
Modul VI.1−Gangguan Pendengaran
43
Modul VI.1−Gangguan Pendengaran
Oleh karena itu, salah satu nunsur penting pada PTA adalah masking, sebagai
salah satu syarat utama, masking harus dilakukan apabila terjadi kemungkinan
untuk terjadinya penjalaran stimulus dari telinga yang sedang diperiksa melalui
tulang kepala ke tulang telinga yang berlawanan. Dengan kata lain, masking harus
dilakukan apabila stimulasi hantaran udara maupun tulang melewati batas atenuasi
interaural. Masking harus dilakukan dengan memberikan suara tambahan pada
telinga yang diperiksa bersamaan dengan diberikannya stimulus pada telinga yang
sedang diperiksa. Jika suara tambahan yang diberikan adekuat, maka suara
stimulus yang menjalar ke sisi yang berlawanan dapat tertutupi (masked) oleh
suara tersebut. Yang sering digunakan untuk masking adalah suara dengan
gelombang sempit yang terdengar seperti suara gemuruh. Teknik masking yang
efektif tidak menghalangi terjadinya cross hearing tetapi prinsipnya lebih ke arah
untuk menghalangi respon dari telinga yang tidak diperiksa.
Masking adalah mengaburkan suatu bunyi dengan menggunakan bunyi lainnya
atau peninggian ambang pendengaran suatu sinyal yang diakibatkan terdengarnya
sinyal kedua. Walaupun penyamaran yang paling efisien untuk suatu nada murni
adalah nada lain yang berfrekuensi sama, namun terdapat kesulitan yang nyata
dalam membedakan nada yang disamarkan dan nada yang menyamarkan. Bising
frekuensi sempit yang merupakan penyamar yang paling efisien untuk nada-nada
murni. Bising ini merupakan energi dalam rentang frekuensi terbatas dengan pusat
yang sama dengan frekuensi nada murni yang diuji. Cukup stabil untuk
mendapatkan tingkat penyamaran yang tepat. Penyamaran yang terlalu kecil
berakibat masih terjadinya pendengaran pada telinga yang tidak diuji. Namun jika
terlalu besar akan menghasilkan ambang pendengaran yang salah.
44
Modul VI.1−Gangguan Pendengaran
45
Modul VI.1−Gangguan Pendengaran
Fowler’s test patut diketahui untuk menjawab soal ujian. Namun sekarang sudah
jarang atau tidak lagi dipakai. Catatan telinga normal peka terhadap perbedaan
intensitas = 5 dB
Beda intensitas 1 – 2 dB tidak dirasakan
46
Modul VI.1−Gangguan Pendengaran
Cara penyajian secara HU yang intensitasnya diatur oleh dokter pemeriksa dan
diberikan secara serial à 20 kata untuk satu intensitas dB.
Tugas pasien menyimak suara Tape dan menirukan dengan jelas apa yang
didengarnya.
Tugas dokter menentukan dB intensitas level kata2 dan menghitung jumlah kata
yang diucapkan secara benar
47
Modul VI.1−Gangguan Pendengaran
a. Tympanometry :
Sementara mengubah2 tekanan udara dalam ruang tertutup tadi penjejalan
(immitansi) bunyi 228 Hz ( Probe tone) akan naik dan turun
Imitansi bunyi turun bila tek udara padat atau vakum. Imitansi naik bila tek udara
mendekati tek udara di luar (1 atmosfer). Pada saat itu, normalnya, membrana
tympani paling optimal ketegangannya, sehingga getaran suara memberi
amplitudo paling besar. Naik-turunnya energi bunyi yang masuk (emitted) bila tek
udara diubah2 ini disebut kepatuhan (compliance)
Compliance maximum terjadi bila di m. tympani pada posisi paling mudah
bergetar, yaitu bila tekanan udara yang diberikan sama besar dengan tek udara
intra tympanik.
48
Modul VI.1−Gangguan Pendengaran
b. Refleks Akustik
Ini adalah untuk mendeteksi reflex m.stapedius dengan merangsang telinga dengan
suara keras, yaitu + 70 dB diatas ambang
Melalui lubang ke-3 pada sumbat telinga disajikan bunyi dari berbagai frekuensi
yaitu 500, 1000, 2000 dan 4000 Hz. Bila intensitas bunyi mencapai 70 dB diatas
ambang pendengaran telinga yang ditest maka geraknya akan terekam akibat
berubahnya ketegangan M.tympani.
Reflex akustik negatif pada OM serosa atau ankylosis stapes pada otosclerosis.
Mis ambang pendengaran 15 dB diberi rx 70 dB + 15 dB (85dB) disebut
ambang reflex akustik
49
Modul VI.1−Gangguan Pendengaran
Penilaian Diagnostik :
1. Ketulian konduktif :
Tidak ada refleks yang tercatat jika telinga tengah mengalami gangguan,
meskipun sangat ringan. Sebaliknya jika terdapat suatu refleks berarti bagian
tengah tersebut adalah normal.
2. Ketulian Sensorineural :
• Patologi Kohlea
Jika refleks akustik timbul pada peransangan 60 dB atau kurang di atas
ambang nada murni, maka ada indikasi yang kuat terhadap adanya
kelainan kohlea. Gejala ini dikaitkan dengan fenomena recruitment.
• Patologi Retrokohlear
Pada ketulian ringan dimana refleks akustik masih dapat dibangkitkan,
maka bila penyajian stimulus diperpanjang sampai 12 detik dan terjadi
perlemahan refleks akustik, sering diistilahkan “Refleks Decay“ positif
Prinsip teknik ini adalah mengukur emisi yang dikeluarkan oleh telinga saat suara
menstimulasi koklea. Teknik ini sensitif untuk mengetahui kerusakan pada sel-sel
rambut luar, dapat pula digunakan untuk memeriksa telinga tengah dan telinga
dalam. Jika bayi dapat melewati tes OAE, berarti bayi tersebut tidak mengalami
gangguan pendengaran. Namun, tes OAE tidak dapat memeriksa adanya
gangguan saraf pendengaran atau respon otak terhadap suara. Jika dijumpai ada
masalah pendengaran setelah tes OAE dilakukan, maka harus dilakukan tes
tambahan.
50
Modul VI.1−Gangguan Pendengaran
Cara kerja alat ini dengan menghasilkan bunyi halus yang tidak dapat didengar
oleh telinga normal, tapi dapat dideteksi oleh mikrofon yang sangat sensitif yang
ditempatkan di dalam liang telinga. Selama tes dilakukan, sebuah sumbat fleksibel
yang sangat kecil dimasukkan ke dalam liang telinga dan selanjutnya suara akan
diproyeksikan ke dalam liang telinga melalui sumbat tersebut. Sebuah mikrofon
yang berada dalam sumbat tersebut merekam emisi otokaustik yang dihasilkan
pada telinga normal sebagai respon terhadap datangnya suara. Tes ini juga
menimbulkan rasa sakit, dilakukan sekitar 5 menit dan dapat dilakukan pada saat
bayi tertidur.
Untuk mendapatkan hasil pemeriksaan yang lebih maksimal, kedua metode
tersebut diatas biasanya dilakukan secara bersama. Dimana metode OAE
memastikan suara mencapai telinga dalam, sementara metode ABR akan
mengidentifikasi suara yang melalui jalur auditori ke otak.
51
Modul VI.1−Gangguan Pendengaran
Interpretasi BERA
Penilaian BERA didasarkan atas masa laten yaitu masa dari mulainya ransangan
diberikan (stimulus “click”) sampai tercatatnya suatu respons dalam bilangan
mildetik. Umumnya setiap gelombang memilki masa laten yang telah ditentukan
berdasarkan hasil penelitian standarisasi.
Masa laten gelombang absolute dan masa laten antar gelombang dapat
memberikan ciri berbagai perbedaan disfungsi system auditori. Ketulian konduktif
biasanya memperlihatkan bentuk gelombang yang bagus dan masa laten antar
gelombang yang normal, namun dapat juga memberikan gambaran terlambatnya
latensi gelombang I. Ketulian kohlear memiliki bentuk gelombang I maupun
gelombang III dan V yang kurang baik, lemah atau kecil bahkan mendatar, atau
dapat juga membeikan gambaran pemendekan masa laten gelombang V. Pada
ketulian tipe saraf tampak gelombang I dan III yang normal, namun masa laten
gelombang V memanjang.
52
Modul VI.1−Gangguan Pendengaran
2. MASKING KLINIK
(Terjemahan dari buku Katz)
Tidak diragukan lagi, masking merupakan prosedur klinik yang paling menantang
yang harus dikuasai oleh siswa audiologi. Banyak di antara kita yang lulus dari
pendidikan tanpa menguasai dengan baik tentang konsep dan perasat masking.
Namun ditangan seorang yang berpengalaman, konsep ini menjadi semakin jelas.
Saat ini, kita sebagai seorang profesional, mengembangkan teknik masking sendiri
dan sudah terbiasa melakukannya. Namun, Martin, dkk (1994) menyatakan bahwa
prosedur-prosedur masking yang telah kita gunakan, validitasnya diragukan.
Untuk itu perlu kita mengulas dan menilai kembali topik ini sesuai dengan konsep
yang terbaru.
Beberapa tahun yang lalu, siswa-siswa lulusan kita setelah melewati program,
mampu memahami masking dan menerapkan prosedur plateu dan step di klinik.
Metode plateu lebih lambat dan membutuhkan banyak waktu. Masking step
memberikan hasil yang hampir sama dan lebih menghemat waktu. Tujuan
penulisan bab ini adalah untuk memaparkan pendekatan masking kita secara
terperinci dan untuk para klinisi yang berminat untuk melakukan masking lebih
baik. Masking merupakan prosedur yang kompleks, maka para siswa sebaiknya
mengikuti teknik-teknik dasar tanpa penyimpangan yang banyak, sehingga mudah
untuk dipelajari. Bila telah di lapangan, mereka akan mampu mengembangkan
variasinya berdasarkan pengetahuan dan pengalaman kinis.
a. Prinsip umum & masking untuk tes ambang dengar hantaran udara
53
Modul VI.1−Gangguan Pendengaran
yang jika terus menerus akan menyebabkan vibrasi tengkorak dan isinya. Jika
vibrasi dari telinga kanan ini cukup kuat maka bunyi akan menyeberang melalui
tengkorak dan mengguncang cairan di dalam koklea telinga kiri, yang disebut
sebagai cross-over. Jika vibrasi ini cukup besar maka bunyi akan terdengar oleh
telinga kiri, dan disebut dengan cross-hearing.
Ketika kita menguji telinga kanan pasien namun malah didengar oleh telinga kiri
karena cross-hearing, maka ini akan menjadi masalah. Pasien yang tidak mampu
mendengar pada salah satu telinga sedangkan pendengaran telinga lainnya normal,
akan memperlihatkan gangguan pendengaran moderat karena terjadi konduksi
udara di telinga yang sakit karena adanya cross-hearing. Kesalahan ini dapat
menyebabkan kesalahan diagnosis, terapi yang tidak tepat, kemungkinan
kesalahan tindakan operasi, memberikan harapan yang salah pada pasien, dan
atau menjadi tuntutan hukum.
Berikut suatu ilustrasi yang menjelaskan manfaat masking pada kasus Joan. Di
frekuensi 1000 Hz, pendengarannya telinga kiri normal (5 dB), telinga kanan
menderita tuli sensorineural sangat berat (95 dB). Gambar 9.1 menunjukkan situasi
ini. Pada masing-masing telinga, angka yang terdapat dalam kotak menunjukkan
sensitivitas (dalam dB) dari komponen sistem konduksi pendengaran (telinga
tengah dan telinga luar), dan angka yang terdapat dalam lingkaran menunjukan
sensitivitas (dalam dB) dari sistem sensorineural (koklea dan n.VIII). Telinga kiri
Joan menunjukkan sistem konduksi yang normal (0 dB) demikian pula ambang
sensorineuralnya juga normal (5 dB). Jika kita menguji pendengaran telinga kiri
dengan hantaran udara, maka kita akan mendapatkan ambang dengar 5 dB HL
(0+5 dB HL). Untuk hantaran tulang telinga kiri (bone conduction = BC) ,
didapatkan ambang dengar 5 db. Pengukuran BC dilakukan melalui sistem
mekanik yang menstimulasi koklea kiri oleh vibrator BC (dan didapatkan ambang
dengar 5 dB). Pemeriksaan ini menggambarkan sensitivitas pendengaran telingan
kiri Joan pada 1000 Hz secara akurat.
Pengujian fungsi pendengaran telinga kanan lebih sulit, karena perbedaan ambang
dengar kedua telinga sangat besar, maka sebelum kita mencapai ambang dengar 95
dB, tulang tengkorak sudah tervibrasi cukup kuat sehingga telinga kiri terangsang.
Kita dapatkan, Joan telah berespon ketika ambang dengar baru mencapai 70 dB di
telinga kanan. Karena kita sebelumnya telah mengetahui ambang dengar
sebenarnya dari telinga kanan adalah 95 dB, maka respon yang terjadi pada 70 dB
54
Modul VI.1−Gangguan Pendengaran
Selanjutnya kita akan membahas mengapa masking tidak bisa dilakukan secara
bebas. Prosedur masking memakan waktu, dibutuhkan beberapa tahap tambahan
pemeriksaan :
o Kita harus memberikan instruksi ulang ke pasien yang menjelaskan akan
adanya suara bising di telinga yang tidak diperiksa dan diminta untuk tidak
menghiraukan suara tersebut.
o Untuk tes konduksi tulang, perlu masuk ke ruang tes dan pasien menggunakan
headphone.
o Untuk tes ambang dengar, seseorang harus mencek ulang ambang dengar setiap
kali level masking diubah.
Dari sudut pandang pasien, suara bising kadang-kadang tidak nyaman dan
mengganggu, dan beberapa orang menjadi cepat lelah selama masking. Dan perlu
diperhatikan adanya kemungkinan perpindahan ambang dengar sementara pada
telinga yang tidak diperiksa setelah periode masking. Akibatnya, jika dibutuhkan
pemeriksaan lebih lanjut pada telinga tersebut, maka kemungkinan terdapat respon
yang bervariasi.
55
Modul VI.1−Gangguan Pendengaran
Dua faktor yang menentukan berapa besar intensitas suara yang diberikan ke
telinga yang diuji sebelum terdengar di telinga yang tidak diuji adalah : (a) nilai IA
Joan dan (b) ambang dengar hantaran tulang di telinga yang tidak diuji. IA
56
Modul VI.1−Gangguan Pendengaran
umumnya berkisar antara 40-80 dB pada 1000 HZ. Jika Joan mempunyai IA 40
dB, bukan 65 dB, maka dia akan berespon di 45 dB HL (40 IA + 5 dB BC NTE),
bukan di 70 dBHL. Sementara itu bila IAnya 80 dB, maka suara menyilang akan
terjadi pada 85 dB (80+5= 85 dB). Dengan 85 dB HL di telinga yang diuji,
intensitas suara belum mencapai ambang dengar Joan yang sesungguhnya, 95dB,
sehingga masih terjadi suara menyilang.
57
Modul VI.1−Gangguan Pendengaran
IA minimal (Min IA) merupakan nilai yang penting untuk menentukan apakah
masking diperlukan, sementara nilai rata-rata IA membantu memahami bahwa
pada hampir sebagian besar kasus tidak terjadi cross hearing pada Min IA. Karena
kita tidak tahu pasien mana yang mempunyai min IA, maka setiap pasien harus
dianggap dahulu mempunyai IA yang kecil.
Pada table 9.1. dan 9.2. menunjukan bahwa IA makin besar dengan meningkatnya
frekuensi. Selain itu, lebarnya jangkauan nilai IA di penelitian tersebut
menunjukan bahwa beberapa orang mempunyai tengkorak yang tebal dan
beberapa orang lainnya tipis.. Walaupun hanya sedikit individu yang mempunyai
Min IA, kita harus menggunakan kriteria Min IA untuk masking tanpa didahului
tes terlebih dahulu, karena kita tidak tahu bagaimana memperkirakan IA seseorang
tanpa dites terlebih dahulu.
Kita mungkin tidak sadar dengan bising di sekitar kita. Jika bising berupa suara
dengungan dari sistem ventilasi atau kulkas, mungkin kita tidak sadar sampai
benar-benar memperhatikan bunyi tersebut. Jika kita ukur SPL ruangan maka akan
didapatkan bising dengan level yang tinggi pada frekuensi rendah. Jika
58
Modul VI.1−Gangguan Pendengaran
pendengaran kita normal dan dites tanpa headphones (dari pengeras suara atau
oscillator BC), maka akan didapatkan respon pendengaran yang lebih buruk
(ambang dengar meningkat) pada frekuensi nada rendah dibanding nada tinggi.
Peningkatan ambang dengar ini mengingatkan kita pada energi di frekuensi band
of the masker yang menunjukan seberapa buruk ambang dengar yang mungkin
terjadi. Pada masking klinik, agar efisien, cakupan frekuensi yang sempit, di
sekitar nada yang diperiksa, digunakan untuk mencegah terjadinya crosshearing
(akan lebih dijelaskan di bagian selanjutnya).
Meskipun ambang dengar mereka agak berbeda, namun ambang dengar masking
agak sama di antara mereka, berbeda hanya sekitar 5 dB (lihat A, yang mewakili
ambang ketiga pendengar tersebut). Konsep ini lebih masuk akal bila kita ingat
bagaimana suara redup dapat membentuk amplitudo yang kecil di membran basilar
sedangan suara yang keras menghasilkan amplitudo yang besar di koklea. Jika
bising subway kota New York menghasilkan amplitudo yang besar pada membran
basilar, maka agar dapat terdengar, diperlukan suara yang yang besar yang
melebihi bising ini.
59
Modul VI.1−Gangguan Pendengaran
EML sangat penting dalam audiologi karena jika terdapat cross-hearing pada
telinga yang tidak diuji, maka ambang dengar telinga tersebut harus dinaikkan
sehingga cross-hearing dapat dihindari. Jika setelah pemberian masking, ternyata
seseorang berespon pada level ambang dengar yang sama dengan sebelum
masking pada telinga yang diuji maka ini bukanlah cross-hearing, melainkan ini
ambang dengar asli telinga yang diuji. Namun jika terdapat cross-hearing maka
masking yang adekuat akan merubah respon seseorang bahwa suara didengar pada
telinga yang diuji ?
60
Modul VI.1−Gangguan Pendengaran
61
Modul VI.1−Gangguan Pendengaran
bicara. Bising yang diperlukan adalah bising yang efisien tanpa mengurangi
keakuratan pemeriksaan.
Untuk memilih masking mana yang paling efisien, maka harus dipahami dulu
konsep spektrum kritis. Spektrum kritis merupakan bagian dari spektrum bising
yang terjadi terus menerus di sekitar suatu nada murni. Fletcher (1940)
menjelaskan bahwa komponen bising spektrum luas yang akan memberikan efek
masking pada nada murni adalah yang berada di jangkauan frekuensi tertentu
dengan frekuensi nada murni di tengah-tengah. Selanjutnya dijelaskan lebih lanjut
jika nada murni terdengar di antara bising dengan spektrum kritis, energi akustik
di frekuensi terbatas tersebut sama dengan energi akustik tes nada murni.
Dengan memahami spektrum kritis, maka suatu bising putih atau spektrum luas
bukan pilihan yang paling efisien untuk masking nada murni. Bising putih
merupakan signal akustik yang sebanding dengan jumlah energi yang ada pada
semua frekuensi yang dapat didengar. Bila mengacu pada penemuan Fletcher,
frekuensi 1000 Hz tercakup oleh pendengar dengan bising spektrum luas. Bahkan
jika batas spektrum dipersempit, baik di frekuensi tinggi atau rendah, efek
masking tidak berubah. Tidak akan terjadi perubahan ambang dengar meskipun
lebarnya spektrum dipersempit sampai spektrum kritis. Bila spektrum kritis
dipersempit, diperlukan intensitas yang lebih untuk mempertahankan masking di
level yang sama. Frekuensi yang dihilangkan sebelum mencapai spektrum kritis,
akan menghilangkan masking yang tidak efisien. Adanya frekuensi ini malah akan
menambah keras suara di telinga, yang membuat rasa tidak nyaman.
Suara bising yang paling efisien untuk masking nada murni adalah bising
spektrum terbatas. Spektrum bising ini sedikit lebih lebar dari pada spektrum
kritis, dan mempunyai intesitas yang lebih rendah dari pada intensitas bising putih,
sehingga memberikan efek masking yang relatif lebih besar. Keuntungan bising
terbatas, dibanding spektrum kritis, adalah kebingungan pasien berkurang, karena
frekuensi bising ini mudah diibedakan dari nada murni.
Ketika memutuskan bising seperti apa yang harus digunakan untuk uji speech,
perlu diingat bahwa speech merupakan signal spektrum luas. Maka bising putih
merupakan pilihan yang tepat untuk ini. Bising putih ini disaring pada frekuensi di
atas 1000 Hz dengan kecepatan 12 dB per oktaf, sehingga dibutuhkan energi yang
lebih di frekuensi rendah untuk mendekati energi di frekuensi udara. Reduksi pada
frekuensi tinggi ini menghasilkan frekuensi yang terbatas dari pada bising putih,
sehingga bising spektrum bicara lebih efisien untuk masking selama uji bicara.
62
Modul VI.1−Gangguan Pendengaran
Kapan dilakukan masking pada saat uji nada murni hantaran udara
Kita kembali lagi ke kasus Joan, kita mengetahui bahwa ambang dengar hantaran
tulangnya adalah 5 dB HL pada telinga yang tidak diuji, tanpa dimasking dengan
70 dB HL Joan berespon. Apakah kita membutuhkan masking pada telinga yang
tidak diuji? Tentu, karena kita ketahui bahwa dia mengalami cross hearing di
telinga yang lebih baik. Tetapi bagaimana kita mengetahui suatu masking
diperlukan untuk pasien kita? Ini mudah kita bisa melihatnya pada tabel 9.2.
Sepuluh menit adalah waktu yang diperlukan untuk mengingat tabel 9.2.
berdasarkan tabel ini kita dapat memutuskan di frekuensi mana yang memerlukan
masking, dan untuk Joan di tabel 9.3, lingkari jawaban Y atau T untuk tiap
frekuensi.
Prosedur masking pada bab ini merupakan step masking, kecuali ada indikasi
maka metode plateu digunakan. Metode plateu lebih lama, di mana ditambahkan
masking bertahap 5 atau 10 dB. Step masking lebih cepat karena langkah
maskingnya lebih besar.
63
Modul VI.1−Gangguan Pendengaran
Unit Mask merupakan intensitas suara yang rutin ditambahkan dari ambang dengar
telinga yang tidak diuji bila masking diperlukan . Dengan ambang dengar 10 dB
HL di telinga yang tidak diuji maka masking dimulai dengan 40 dB EML. Jika
ambang dengar -5 dB di telinga yang tidak diuji, berapa besar bising yang
diberikan? Maka dibutuhkan 25 dB. Pada kasus Joan, di mana pada frekuensi 1000
Hz, Joan telah berespon di 70 dB pada telinga yang diuji, dan diketahui ambang
dengar hantaran udara dan hantaran tulang adalah sama (5 dB HL), maka berapa
besar Init Masknya? Mudah saja, tinggal tambahkan 30 dB dari ambang dengar
hantaran tulang telinga yang tidak diuji, yaitu 35 dB EML. Kita butuh nilai
ambang dengar hantaran tulang telinga yang tidak diuji untuk menentukan apakah
masking dibutuhkan dan ambang dengar hantaran udara untuk menentukan berapa
besar masking yang diberikan. Tentukanlah berapa besar Init Mask yang
dibutuhkan pada tabel 9.4. Tidak perlu memperhatikan frekuensi 2000 dan 4000
Hz, karena tidak dibutuhkan masking.
Jika dites ulang ambang dengar telinga kontralateral masking, dan tidak
didapatkan perubahan ditelinga yang diuji, maka tidak ada cross-hearing. Misal
pada kasus Joan, di ferekuensi 1000 Hz, ternyata ambang dengar sesungguhnya
telinga yang diuji 70 dB (bukan 95 dB), maka dengan diberikan 35 dB EML, tidak
terjadi perubahan ambang dengar pada telinga yang diuji. Jika terdapat cross-
hearing, maka dengan pemberian suara masking sebesar 30 dB, akan
menghilangkan respon mendengar di 70 dB, karena dibutuhkan intensitas suara
yang lebih besar lagi di atas masking.
64
Modul VI.1−Gangguan Pendengaran
atau 10 dB) dan ambang dengar yang baru ini merupakan ambang dengar yang
sebenarnya. Sehingga tidak diperlukan masking tambahan.
Namun, bila ambang dengar di telinga yang diuji berubah sekitar 25 atau 30 dB,
maka mungkin diperlukan masking tambahan. Jika terdapat perubahan 20 dB atau
lebih sebagai respon Init Mask maka direkomendasikan untuk dilakukan Sub
Mask.
Seperti pada pemberian Init Mask, kita butuh untuk mengubah ambang dengar
telinga yang tidak diuji namun jangan pula memberikan masking yang telalu
berlebihan . Kita telah memberikan 30 dB EML di atas ambang dengar hantaran
udara telinga yang tidak diuji, dan ini meningkatkan masking sentral, overmasking
dan atau ketidak-nyamanan pasien. Karena itu, Sub Mask hanya diberikan 20 dB
saja, tidak lebih dari 30 dB.
Kembali ke kasus Joan, misalnya ambang dengar Joan yang sesungguhnya adalah
sangat buruk, yaitu 120 dB, namun ketika diberikan intensitas 70 dB, ia sudah
berespon karena terjadi cross-hearing pada telinga yang tidak diuji. Kemudian
ditambahkan 30 dB EML pada telinga yang tidak diuji (sebesar 35 dB dB HL
EML), kemudian ternyata ambang dengarnya meningkat. Ambang dengar telinga
yang tidak diuji menjadi 35 dB. Kita tahu sebelumnya bahwa IA Joan adalah 65
dB pada 1000 Hz, sehingga dibutuhkan 65 dB agar terjadi suatu penyeberangan
pada 0 dB HL pada telinga yang tidak diuji. Dengan masking, ambang dengar
sensorineuralnya adalah di atas 35 dB, jadi dibutuhkan 100 dB HL (65 IA + 35
BCNTE) sebelum dia mendengar suara lagi di telinga yang tidak diuji. Apakan
dalam hal ini dibutuhkan Sub Mask atau tidak ?
Untuk menentukan apakan diperlukan Sub Mask maka dapat dilihat ke tabel 9.5A
atau gunakan logika kita. Pada kasus ini respon terjadi dengan perubahan 30 dB
pada telinga yang diuji, ketika diberikan masking sebesar 30 dB pada telinga yang
tidak diuji. Hal ini bisa jadi masking yang diberikan cukup atau malah terjadi
cross-hearing kembali pada telinga yang tidak diuji. Untuk itu kita perlu
memberikan Sub Mask. Maka ditambahkan masking 20 dB menjadi 55 dB EML
(Init Mask 35 dB ditambah 20 dB menjadi 55 dB).
Ambang dengar telinga yang tidak diuji sekarang meningkat menjadi 55 dB. IA
masih tetap 65 dB, sehingga cross hearing dapat terjadi lagi pada 120 dB.
(Sebelumnya, cross hearing terjadi di 100 dB, maka Sub Mask ditambah 20 dB,
sehingga mungkin akan terjadi respon di 120 dB). Misalkan, audiometer mencapai
angka 120 dB, maka akan dibutuhkan Sub Mask lagi. Maka masking ditambahkan
lagi 20 dB menjadi 75 dB. Tabel 9.5B menunjukan perubahan level yang terjadi
dengan penambahan masking 20 dB. Dengan masking 75 dB pada telinga yang
tidak diuji ternyata tidak terjadi respon pada 120 dB HL. Pada saat tidak ada
65
Modul VI.1−Gangguan Pendengaran
respon, maka kita tahu tidak ada cross hearing yang terjadi, dan tidak perlu
dilakukan penambahan masking lagi. Maka kita telah membuktikan bahwa Joan
mempunyai ambang dengar yang tidak terukur di telinga kanannya pada 1000 Hz.
66
Modul VI.1−Gangguan Pendengaran
Besar masking yang diberikan berdasarkan ambang dengar hantaran udara telinga
yang akan dimasking. Kita perlu mengubah ambang dengar telinga yang tidak
diuji secara bermakna sehingga yakin respon yang terjadi bukan suatu cross
hearing. Telinga mana yang akan dimasking? Kanan atau kiri? Berapa besar
masking yang diberikan di atas dari ambang dengar hantaran udara telinga yang
tidak diuji? ____dB SL EML.
Kita lihat selanjutnya apakah kita setuju dengan ini. Untuk menentukan berapa
besar masking yang diberikan, kita hanya membutuhkan nilai ambang dengar
hantaran udara dari telinga yang tidak diuji. Kita akan menambahkan 30 dB dari
nilai tersebut. Pada Bill, ambang dengar hantaran udara telinga yang tidak diuji
pada 2000 Hz adalah 10 dB, maka kita memberikan masking sebesar 40 dB EML.
Maka ambang dengar telinga yang tidak diuji menjadi _____dB HL.
Ambang dengar telinga yang tidak diuji dengan masking menjadi 40 DB.
Kemudian didapatkan respon pada saat diberikan intensitas sebesar 90 dB HL
ketika dilakukan tes ulang pada telinga yang diuji setelah pemberian Init Mask di
telinga yang tidak diuji. Apakah ini ambang dengar yang sesungguhnya ataukah
dibutuhkan masking lebih lanjut?
Level yang rendah dari masking spektrum sempit ini umumnya dapat ditoleransi
oleh sebagian besar orang, dan tanpanya kita tidak pernah mengetahui ambang
dengar yang sebenarnya. Pada awal masking, ambang dengar telinga yang tidak
diperiksa berubah 30 dB, namun respon ditelinga yang diperiksa juga bertambah
30 dB, maka diperlukan penambahan masking. Bahkan jika penambahan ambang
dengar di telinga yang diperiksa ini bertambah 20 atau 25 dB, maka lebih baik
menggunakan Sb Mask, karena kemungkinan terjadinya cross-hearing lagi.
67
Modul VI.1−Gangguan Pendengaran
Berapa dB yang akan diberikan untuk Sub Mask ? ____ dB. Jadi, berapa total dB
masking yang diberikan? ____dB EML.
Jika hanya terdapat pertambahan yang sedikit (5 dB pada kasus ini, maka, tidak
diperlukan lagi tambahan Sub Mask.
Overmasking
Ketika melakukan masking, kita harus- hati-hati jangan sampai memberikan
terlalu tinggi EML. Kembali ke kasus Bill di atas. Kita memberikan total masking
sebesar 60 dB EML di telinga yang tak diuji. Ini tidak terlalu keras, tapi dapat
menyebabkan overmasking. Overmasking terjadi bila intensitas terlalu keras
sehingga terjadi penyeberangan kembali dari telinga yang tidak diuji ke telinga
yang diuji oleh hantaran tulang dan akibatnya akan mengganggu hasil pengukuran
ambang dengar (menyebabkan ambang dengar di telinga yang diuji lebih buruk).
Formula overmasking adalah : EMLNTE (IA+BCTE+5). Ini berarti suara mampu
cross over ke telinga yang diuji dan begitu kerasnya sehingga mencapai ambang
dengar melalui hantaran tulang.
Jika IA 50 dB pada 2000 Hz, seperti pada kasus Bill (TE AC = 60 dB HL – NTEBC
= 10 dB HL) . kita dapat menganggap bahwa dibutuhkan IA yang samabesarnya
untuk terjadi penyeberangan bunyi dari telinga yang tidak diuji ke telinga yang
diuji, seperti kebalikannya. Jika dibutuhkan 50 dB pada frekuensi 2000 Hz untuk
terjadi cross-hearing pada telinga kanan, maka diperlukan 50 dB bising spektrum
sempit dengan frekuensi tengahnya 2000 Hz untuk terjadi perpindahan ke koklea
kiri. Dengan 60 dB EML pada telinga yang tidak diuji, pada level berapa vibrasi
mencapai telinga yang diuji? ____dB.
Untuk contoh di atas, 60 dB EML diberikan ke telinga yang tidak diuji, dan
sebanyak 10 dB mengalami cross over ke koklea telinga yang diuji. Jika ambang
68
Modul VI.1−Gangguan Pendengaran
dengar hantaran tulang telinga yang diuji 5 dB, maka berapa ambang degar telinga
yang diuji dengan adanya masking? Ambang dengar akan menjadi 10 dB HL. Bila
ambang dengar hantaran tulang -5 dB, berapa ambang dengarnya berubah?
Overmasking akan mengubah ambang dengarnya dari -5 dB menjadi 10 dB HL.
Jika terjadi overmasking, akan tampak telinga yang yang diuji lebih buruk dari
sebenarnya. Dan ini akan tampak baik ketika kita menilai ambang dengar hantaran
udara, tulang atau bicara. Jika terjadi overmasking, maka ambang dengar di telinga
yang diuji akan bertambah buruk dengan semakin besarnya masking yang
diberikan pada telinga yang tidak diuji. Untuk itu kita harus hati-hati jangan
sampai terjadi overmasking.
Masking yang adekuat mempunyai 2 kriteria : (1) setidaknya mencapai Min Mask,
sehingga ambang dengar minimal bergeser 5 dB; dan (2) tidak lebih dari Max
Mask.
69
Modul VI.1−Gangguan Pendengaran
Berapa besar EML yang digunakan pada telinga kiri?_____dB EML (frekuensi
4000 HZ). Unit Mask umunnya adalah 30 dB. Maka kita menggunakan 50 dB
EML untuk Ny. Hunt. Dengan menggunakan Min IA untuk menghitung Max
Mask, apakah 50 dB terlalu tinggi?___Ya atau ____Tidak.
Min Ia pada 4000 Hz adalah 50 dB. Ambang dengar BCNTE Ny. Hunt adalah -5
dB. Maka Max Mask adalah 45 dB (IAMIN =50+BCNTE=-5). Maka, 50 dB
tampaknya terlalu tinggi. Maka kita hitung ulang Max Mask menggunakan nilai
IA yang sesunguhnya. IA sesungguhnya Ny. Hunt lebih tinggi dari Min IA, yaitu
65 dB. Maka Max Masknya adalah 60 dB (ACTE + NTEBC). Maka pemberian 50
dB EML pada NTE sebenarnya tidak masalah dengan menggunakan IA yang
sebenarnya.
70
Modul VI.1−Gangguan Pendengaran
Namun gap dapat terjadi akibat dari (a) cross hearing, (b) kesalahan audiometri,
(c) kalibrasi yang tidak adekuat (misalnya karena struktur tulang seseorang
berbeda dengan populasi normal atau prosedur tidak sama dengan populasi
normal), atau (d) karena memang terdapat tuli konduktif. Kalibrasi hantaran tulang
dilakukan dengan menggunakan 30 dB EML di telinga yang tidak diuji.
Selanjutnya, untuk memastikan apakah terdapat gangguan konduksi, kita butuh
masking.
Kita melakukan masking pada hantaran tulang bila didapatkan gap sebesar 10 dB
atau lebih pada telinga yang diuji. Masking tidak lagi dibutuhkan bila gap kurang
dari 5 dB.
Efek Oklusi
Pada saat telinga ditutup earphone (saat memberikan masking untuk hantaran
tulang), maka dapat terjadi perubahan pada respons hantaran tulang. Perubahan ini
adalah suatu kesalahan, namun dapat diukur, terdapat perbaikan ambang dengar
hantaran tulang pada telinga yang tidak diuji. Meletakkan earphone pada telinga
yang tidak diuji jelas tidak mengubah sensitivitas koklea seseorang. Sensitivitas
fisiologi tidak berubah, namun suara ekstra masuk ke dalam koklea, sehingga
terjadi respon ambang dengar hantaran tulang yang lebih rendah. Vibrasi hantaran
tulang yang menyebabkan pergerakan cairan koklea, juga menyebabkan vibrasi
tulang liang telinga, sehingga terjadi vibrasi udara di liang telinga. Suara ini
terhalang keluar dari liang telinga karena tertutup oleh earphone. Akibatnya, suara
akan melewati membran timpani dan masuk ke koklea (Tondorf, 1966). Hal ini
sering disebut sebagai konduksi udara akibat konduksi tulang (Dirk, 1994). Jika
terdapat halangan konduksi di telinga tengah, maka tekanan suara tambahan ini
akan ditolak masuk ke koklea, sehingga bukan faktor yang berpengaruh bila gap
yang bermakna di telinga yang diuji.
Jika telinga yang tidak diuji normal atau mengalami tuli sensorineural, maka efek
oklusi merupakan faktor yang berpengaruh. Masking harus dilakukan untuk
mengimbangi tekanan suara tambahan yang dihantarkan ke koklea (Sanders,
1978). Efek oklusi hanya mempengaruhi audiometri di frekuensi 250 sampai 1000
71
Modul VI.1−Gangguan Pendengaran
Hz. Namun, meluasnya efek ini berbeda setiap individu. Goldstein dan Newman
(1994) menyarankan untuk menggunakan 15 dB pada frekuensi 250 Hz dan 500
Hz, dan 10 dB pada 1000 Hz sebagai masking tambahan untuk mengimbangi efek
oklusi.
Level Init Mask untuk hantaran tulang adalah (a) 20 db EML di atas ambang
dengar hantaran udara telinga yang tidak diuji, dan (b) masking tambahan
dibutuhkan mengatasi efek oklusi. Kecuali terdapat tuli konduksi pada telinga
yang tidak diuji, kita tambahkan 35 dB SL pada frekuensi 250 dan 500 Hz (20 dB
sebagai Init Mask, tambah 15 dB untuk efek oklusi) dan 30 dB SL pada frekuensi
1000 Hz (20 dB untuk Init Mask dan 10 dB untuk efek oklusi). Jika terdapat
gangguan konduksi yang bermakna (misal 20 dB) pada telinga yang tidak diuji,
maka level masking cukup 20 dB EML saja pada semua frekuensi (efek oklusi
diabaikan). Jika kita tidak mengetahui adanya gangguan konduksi pada telinga
yang tidak diuji, maka lebih baik level masking ditambahkan saja untuk mencegah
efek oklusi.
Pada saat menguji ambang dengar hantaran tulang pada frekuensi 250 dan 500 Hz,
ingatlah adanya variasi individu pada efek oklusi. Maka perlu dipertimbangkan
perlunya Sub Mask meskipun perubahan ambang dengar sangat kecil dengan
pemberian Init Mask untuk meyakinkan efek oklusi telah diatasi dan ambang
dengar yang sebenarnya dari telinga yang diuji telah didapatkan.
72
Modul VI.1−Gangguan Pendengaran
73
Modul VI.1−Gangguan Pendengaran
Fran memiliki ambang dengar untuk hantaran udara dan tulang sebesar 10 dB pada
telinga yang tidak diuji, pada frekuensi 250 sampai 4000 Hz. Dia memberikan
respon pada 50 dB hantaran udara pada telinga yang diuji. Tanpa masking,
ambang dengar hantaran tulang telinga yang diuji adalah 25 dB. Apakah pada
kasus ini terjadi cross hearing? Ya atau Tidak atau bukan kasus yang jelas.
Jawabannya adalah Ya. Dengan Min IA sebesar 0 dB, hantaran tulang akan lebih
mudah didengar Fran di telinga yang tidak diuji. (Karena dibutuhkan masking,
maka digunakan earphone yang dimasukkan ke liang telinga untuk meminimalkan
efek oklusi). Dengan kriteria adanya gap, berapa besar masking yang
dibutuhkan?____ dB.
Level init mask adalah sebesar 40 dB. Ambang dengar hantaran udara adalah 10
dB, ditambah 20 dB sebagai init mask, dan ditambah lagi 10 dB untuk mengatasi
efek oklusi pada 1000 Hz. Jika terdapat tuli konduksi pada telinga yang tak diuji,
kita tidak perlu mengkhawatirkan efek oklusi, namun pada kasus Fran, hal ini
penting diperhatikan. Dengan masking tersebut maka didapatkan ambang dengar
menjadi 40 dB HL. Masih terdapat gap 10 dB. Apakah ini ambang dengar yang
sebenarnya atau dibutuhkan sub mask? ______ini gap 10 dB yang sebenarnya,
_______ kita tidak yakin tanpa dilakukan sub mask terlebih dahulu.
Mengapa masking pada frekuens 2000 Hz berbeda dengan pada frekuensi 1000
Hz? Kita tidak mengkhawatirkan terjadinya efek oklusi pada frekuensi 2000 Hz.
Sehingga Init mask yang akan diberikan adalah _____dB EML. Maka dengan
74
Modul VI.1−Gangguan Pendengaran
ambang dengar hantaran udara telinga yang tidak diuji sebesar 10 dB ditambah 20
dB sebagai init mask, maka totalnya menjadi 30 dB EML. Jika sub mask
dibutuhkan, maka berapa besar yang ditambahkan? _____dB EML, sehingga
totalnya ______ dB EML. Kita tambahkan sub mask sebesar 20 dB. Pada kasus ini
menjadi 50 dB EML. Jika gap tidak mendekati 5 dB, maka sub mask diperlukan
lagi.
Kita juga memerlukan masking untuk frekuensi 500 Hz. Berapa besar masking
yang kita berikan pada Fran di telinga yang tidak diuji? _____dB EML. Di sini,
kita perlu memperhatikan adanya efek oklusi. Kita mulai dengan ambang dengar
hantaran udara telinga yang tidak diuji (10 dB), ditambah 20 dB (init mask),
ditambah 15 dB (untuk efek oklusi). Maka dibutuhkan 45 dB EML masking pada
telinga yang tidak diuji. Nilai ini berlaku pula untuk masking pada frekuensi 250
Hz.
c. Masking sentral
Masking sentral menjadi masalah bila bising yang diberikan pada telinga yang
tidak diuji menyebabkan pendengaran menjadi makin buruk pada telinga yang
diuji. Masking sentral terjadi akibat adanya kontaminasi dari sistem saraf pusat
yang belum diketahui mekanismenya. Hal ini diduga akibat adanya gangguan
karena terdapat bising pada suara yang tidak diuji. Hal ini bukan akibat suara yang
menyeberang atau adanya overmasking pada telinga yang diuji. Pengaruh masking
sentral umumnya kecil, sekitar 5 dB, dan tidak melebihi 15 dB. Fenomena ini
mungkin berhubungan dengan hambatan pendengaran setinggi kumparan
olivokoklea (Liden, 1959)
Biasanya audiologi tidak melakukan koreksi akibat deviasi minor ini, tidak banyak
mengubah hasil akhir. Namun, efek masking yang besar dapat ditemui pada
individu dengan gangguan sistem saraf pusat. Jika deviasi yang bermakna ini
terbukti akibat masking sentral, maka harus dapat dijelaskan pada audiogram.
d. Metode plateu
Metode plateu telah digunakan bertahun-tahun (Hood, 1960), namun saat ini sudah
jarang, karena pertimbangan waktu dan adanya prosedur lain yang lebih valid.
Namun metode ini masih butuhkan di antara level Min dan Overmasking.
Metode plateu menggunakan masking yang bertahap naik sampai dicapai keadaan
plateu pada telinga yang tidak diuji atau kisaran level masking di mana tidak
terjadi lagi penambahan ambang dengar pada telinga yang diuji. Bila telah
mencapai level yang adekuat untuk masking , terdapat di beberapa level masking
yang memberikan respon ambang dengar yang sama pada telinga yang diuji. Bila
mengunakan metode ini, ahli audiologi mempertimbangkan tiga level masking
75
Modul VI.1−Gangguan Pendengaran
yang berurutan yang memberikan respon yang sama pada ambang dengar dengar
tertentu.
Metode plateu klasik dimulai dengan 10 dB SL EML di atas ambang dengar
hantaran udara. Kemudian diperiksa ambang dengar telinga yang diuji. Kemudian
bising masking dinaikkan lagi 10 dB, dan diperiksa kembali ambang dengar
telinga yang diuji. Jika tidak terjadi lagi perubahan ambang dengar pada 2 atau 3
EML yang berurutan, maka kita mendapatkan ambang dengar sebenarnya
(Sanders, 1978). Pada metode plateu tidak mempertimbangkan adanya cross
hearing atau overmasking.
Metode plateu merupakan pengukuran yang valid, namun makan waktu dan pasien
menjadi cepat lelah. Jika terdapat cross hearing, pada kondisi tanpa masking,
maka ambang dengar telinga yang diuji akan meningkat 10 dB (±5 dB) pada saat
masking ditambahkan. Selanjutnya, jika dibutuhkan 30 dB masking untuk
menghilangkan cross hearing, maka dibutuhkan dua atau tiga level masking lagi
untuk mencapai plateu, sehingga dilakukan penentuan ambang dengar sebanyak
lima atau enam kali untuk setiap frekuensi untuk hantaran tulang dan hantaran
udara. Prosedur ini sangat kontras dengan prosedur step masking (init mask 30 dB
SL), di mana ambang dengar ditentukan dari awal masking dan dikoreksi dengan
pemberian sub mask (20 dB).
Kita akan latihan metode plateu pada kasus Chris. Ambang dengar hantaran udara
dan tulang pada telinga yang tidak diuji adalah 5 dB HL. Ambang dengar yang
sebenarnya pada telinga yang diuji di frekuensi 4000 Hz adalah 100 dB, namun dia
telah berespon pada 65 dB HL tanpa masking.
Pada level berapa metode plateu dimulai untuk Chris? ____dB EML. Dengan
menggunakan 10 dB SL di atas ambang dengar hantaran udara yang tidak diuji,
init masknya adalah 15 dB EML. Ternyata pada 75 dB HL, telinga yang diuji telah
berespon. Apakah ini ambang dengar yang sebenarnya? ___Ya atau ____ tidak.
Karena terdapat kenaikan 5 atau 10 dB, maka diperlukan penambahan masking,
maka ditambahkan lagi 10 dB EML (menjadi 25 dB EML). Ambang dengar
kemudian meningkat menjadi 85 dB pada telinga yang diuji. Maka diperlukan
tambahan lagi sebesar 10 dB lagi menjadi 35 dB EML, yang memberikan respon
76
Modul VI.1−Gangguan Pendengaran
pada 95 dB. Kita harus mendapatkan plateu. Maka 45 dB EML diberikan lagi pada
telinga yang tidak diuji, dan Chris berespon pada 100 dB. Anda mengetahui bahwa
ambang dengar yang sebenarnya adalah 100 dB, apakah kita berhenti sampai
sini?____Ya atau ____tidak. Belum, kita harus menambahkan kenaikan 10 dB
sekali atau dua kali lagi (55 dan 65 dB EML) agar terbentuk plateu.
Masking untuk ambang dengar bicara (Speech recognition treshold = SRT), mirip
dengan masking untuk ambang dengan hantaran udara. Perbedaannya ada 2, yaitu:
(a) hanya ada satu min IA, dan (b) masker yang digunakan adalah bising spektrum
luas.
77
Modul VI.1−Gangguan Pendengaran
Maka hitung kembali SRT telinga kiri dengan PTABC telinga kanan, apakah
terdapat perbedaan 45 dB atau lebih yang menunjukkan diperlukannya masking
SRT. LE SRT adalah ______dB dikurang RE PTABC _____dB = _____ dB.
Apakah masking diperlukan ?
PTA di telinga yang tidak diuji adalah 12 dB, ditambah 30 dB SL EML menjadi
42 dB EML. Anda dapat memberikan masking sebesar 40 sampai 45 dB EML jika
anda bekerja dengan langkah 5 dB.
78
Modul VI.1−Gangguan Pendengaran
Dengan bising spektrum bicara 42 dB EML pada telingan kanan, kemudian SRT
telinga kiri diuji kembali, dan ternyata tidak ditemukan perubahan, yaitu tetap 50
dB. Maka berapa SRT telinga kiri Lauren dengan masking? _____dB.
Prosedur WRS berbeda dengan SRT dalam 2 hal. Pertama, WR presentation Level
(PL) lebih tinggi dari pada SRT, dan kedua, tes WR hanya pada satu PL, dan
bukan pada beberapa level, seperti pengukuran ambang dengar. PL yang lebih
tinggi membutuhkan masking yang lebih untuk WRS dari pada SRT, namun
penggunaan satu level memudahkan prosedur masking.
Maka keputusan dilakukan masking untuk WRS, mudah dihitung setelah kita
tentukan PL telinga yang diuji. Jika terdapat perbedaan antara PLTE dan PTABC
telinga yang tidak diuji ≥ 45 dB atau lebih, maka diperlukan masking.
79
Modul VI.1−Gangguan Pendengaran
minus 30 dB) dengan bising spektrum bicara. Jika tidak ada tuli konduksi pada
telinga yang diuji, maka besarnya masking ini cukup.
Perlu diperhatikan bahwa adanya tuli konduksi pada telinga yang tidak diuji
menurunkan pengaruh masking pada koklea telinga yan tidak diuji, sebanding
dengan besarnya gap. Katakanlah PTAAC telinga yang tidak diuji adalah 10 dB
(seperti contoh di atas), tetapi PTABC telinga tersebut -10 dB (gap 20 dB). Dengan
PL 70 dB untuk bicara pada telinga yang diuji dan masking 40 dB EML pada
telinga yang tidak diuji, sebanyak 20 dB akan terhalang akibat gangguan konduksi,
sehingga hanya 20 dB masking yang sampai koklea. Dengan 20 dB EML akan
menaikkan ambang dengar menjadi 20 dB pada telinga yang tidak diuji, bukan 40
dB seperti pada kasus bukan konduksi. Reduksi masking ini cukup besar sehingga
masking yang diberikan tidak adekuat. Kata-kata di telinga yang diuji dapat
mengalami cross over pada telinga yang tidak diuji. Nilai 70 dB dikurangi 45 dB
(min IA) adalah 25 dB HL, akan mencapai koklea telinga yang tidak diuji, hanya
dengan 20 dB. Pengaruh konduksi pada telinga yang tidak diuji merupakan satu-
satunya hal yang harus jadi perhatian pada Uji WRS, karena level masking
berdasarkan pada PLTE, bukan ambang dengan hantaran udara telinga yang tidak
diuji.
80
Modul VI.1−Gangguan Pendengaran
Jawabannya adalah jelas YA, karena pada telinga yang tidak diuji jelas dapat
menerima materi tes bicara yang diberikan pada telinga yang diuji. Perli
ditegaskan karena kita menggunakan min IA, kita memperkirakan cross hearing
secara konservatif. Pengurangan dari 85 dB menjadi 45 dB (IAmin), menimbulkan
rangsangan pada telinga yang tidak diuji di 40 dB HL. Ini 25 dB di atas ambang
dengar telinga yang tidak diuji.
Merujuk pada kriteria WRS, berapa besar bising spektrum luas yang dibutuhkan
untuk mencegah cross hearing?_____dB EML.
Pada kasus ini, kita mengurangi 30 dB dari PL, dan nilai tersebut sebagai level
masking untuk telinga yang tidak diuji. Maka diberikan masking sebesar 55 dB
EML ke telinga kiri (85-30 dB=55 dB EML). Bahkan jika Greg meggunakan min
IA, maka masker yang digunakan minimal 15 dB di atas level bicara pada telinga
yang tidak diuji.
Pada semua prosedur masking, kita harus yakin tidak terjadi overmasking. Apakah
menurut anda 85 dB overmasking? ____Ya atau _____Tidak.
Berapa besar masking (EML) yang dibutuhkan untuk terjadinya overmasking pada
telinga kiri dan mengganggu pengukuran ambang dengar telinga kanan? ___50
dB, _____60 dB, ____70 dB, ____80 dB atau _____> 80 dB.
Mari kita menduga (secara konservatif) bahwa IA adalah sebesar 45 dB. Maka
pemberian 55 dB masking pada telinga yang tidak diuji, berkurang menjadi 45 dB
sebelum mencapai koklea pada telinga yang diuji. Cross over masking adalah 10
dB EML, namun ini tidak terdengar oleh Greg, karena PTABC telinga tersebut 45
dB HL. Untuk mencapai level ambang dengar hantaran tulang dibutuhkan 35 dB
lagi (55+35 = 90 dB EML). Nilai ini merupakan Max Mask dan bukan
overmaking. Overmasking terjadi pada 95 dB EML (Dengan dianggap
menggunakan IAmin). Jawaban yang benar adalah > 80 dB (IAmin = 45 dB+BC
PTATE = 50 dB).
81
Modul VI.1−Gangguan Pendengaran
Secara umum, tes pendengaran sentral (lihat bab 26 dan 28) dilakukan pada
individu dengan pendengaran normal dan tidak dibutuhkan masking. Banyak tes
sentral yang tidak dapat dilakukan masking karena efeknya pada hasil tes tidak
diketahui. Ada yang meyakini bahwa pada tes pendengaran sentral, cross hearing
bukan menjadi perhatian penting. Contohnya, kelompok mahasiswa yang
mempunyai gangguan pendengaran unilateral dilakukan tes SSW, suatu
pemeriksaan dikotik untuk fungsi pendengaran sentral. Karena sebagian pesan ke
telinga bersaing dan sebagian lagi tidak bersaing, maka kita akan berpikir bahwa
bagian yang tidak bersaing merupakan cross hearing, di mana intensitas telinga
yang tuli 105 dB. Namun, tidak ada cross hearing pada kata-kata yang bersaing
pada telinga yang normal (menerima kata pada 50 dB), dan hanya kata-kata tidak
bersaing tertentu yang mengalami cross hearing. Maka pada pemeriksaan
pendengaran sentral jenis ini tidak dibutuhkan masking. Diperlukan penelaahan
lebih lanjut mengenai masalah ini.
82
Modul VI.1−Gangguan Pendengaran
(anggap tidak ada gap pada telinga yang tidak diuji). Earphone yang dimasukkan
ke liang telinga sering digunakan pada pemeriksaan BERA. Ini akan
meningkatkan IA sekitar 20 dB, yang lebih lanjut dapat mengurangi kebutuhan
masking.
h. Dilema masking
Pada tahun1950, Naunton menyatakan pada kasus dengan tuli konduksi yang berat
di kedua telinga, kita menghadapi dilema. Pada beberapa kasus, masking yang
baik untuk menghilangkan cross hearing dapat begitu besar diberikan sehingga
terjadi cross hearing di telinga yang diuji sehingga meningkatkan nilai ambang
dengar dari yang sebenarnya (overmasking). Contoh di bawah mengambarkan
dilema masking.
Ketika dilakukan uji pendengaran telinga kanan (RE/TE) untuk hantaran udara di
1000 Hz, tampak bahwa masking dibutuhkan, karena terdapat perbedaan antara
ACTE sebesar 65 dB dengan BCNTE. Ini sebanding atau melebihi nilai min IA pada
1000 Hz yaitu 40 dB. Maka kita perlu memberikan masking pada telinga kiri.
Maka diberikan Init Mask sebesar 95 dB EML (65 dB HL + 30), dan ini
overmasking karena melebihi Max Mask. Pada kenyataannya, dengan
menggunakan IAMIN, 50 dB EML akan menimbulkan cross over ke telinga yang
diuji dan meningkatkan hantaran tulang dari 5 menjadi 50 dB. Ini akan
meningkatkan respon ACTE dari 65 dB HL menjadi 115 dB! Jelas ini bukan
ambang dengarnya, melainkan akibat dari overmasking. Bahkan bila kita
menurunkan masking menjadi Min Mask, masih terlalu tinggi ambang dengar
yang didapat seperti halnya overmask.
83
Modul VI.1−Gangguan Pendengaran
Untuk ilustrasi ini, Min Mask pada telinga kiri di frekuensi 1000 Hz adalah
sebesar 70 dB EML. Ini 65 dB di atas BCNTE, yang mana melebihi kriteria
overmasking (IAMIN = 40 dB + BCNTE = 5 dB + 5 dB untuk overmask). Maka
tampaknya tidak ada metode yang tepat untuk memasking telinga yang tidak diuji
tanpa adanya overmasking, bahkan jika kita menggunakan IA Melvin yang
sebenarnya, bukan IAMIN.
Anda akan melihat dilema yang sama untuk setiap frekuensi pada setiap telinga,
dan kita dapat menganggap adanya masalah yang sama di frekuensi 8000 Hz. Kita
lihat apakah hantaran tulang juga terpengaruh. Pada frekuensi 1000 Hz di telinga
kanan terdapat gap sebesar 60 dB, maka kita butuh masking untuk hantaran tulang.
Maka Init Mask diberikan sebesar 85 dB EML (tidak ada tambahan untuk efek
oklusi, karena terdapat gangguan konduksi pada telingan yang tidak diuji). Ini
menunjukkan 80 dB di atas BCTE sehingga terjadi overmasking. Bahkan dengan
menggunakan Min Mask sebesar 70 dB di telinga kiri, masih melebihi Max Mask.
Dilema yang sama juga terjadi pada SRT dan WR. Contohnya, pada 65 dB di
telinga kanan, respon Melvin sebesar 50%. Ini bisa jadi bukan ambang dengar
yang sesungguhnya, karena selisih 65 dB dikurangi 7 dB PTA untuk BCNTE adalah
58 dB. Ini melebihi kriteria Min IA, 45 dB, sehingga membutuhkan masking.
Namun 30 dB di atas PTAAC telinga kiri adalah 93 dB HL, yang akan
menyebabkan cross hearing ke telinga yang diuji, sebanyak 41 dB. Maka dilema
masking pun terjadi lagi.
84
Modul VI.1−Gangguan Pendengaran
Dari kedua earphone ini, jenis supra-aural memberikan kontak yang luas pada
telinga. Ini akan memberikan tekanan yang lebih besar yang dibutuhkan untuk
menghasilkan ambang dengar, dan mengurangi IA. Pada tahun 1953, Zwislocki
membuktikan kekurangan IA supra-aural dan menyarankan untuk menggunakan
insert earphone untuk meningkatkan IA. Kita telah mendiskusikan nilai IA di atas.
Nilai ini dibuat dengan menggunakan supra-aural earphone, dan angka ini akan
meningkat secara bermakna jika menggunakan insert earphone.
Bila insert earphone dimasukkan ke dalam liang telinga namun tidak terlalu dalam,
hanya memberikan keuntungan yang tidak terlalu banyak dibanding supra-aural
earphone, namun bila dimasukkan lebih dalam, akan memberikan keuntungan
yang lebih besar. Pada penelitian Etymotic ER-3A, insersi dalam ini terjadi bila
probe masuk ke dalam liang telinga sejauh 2-3 mm, dan ini tidak nyaman untuk
pasien. Insersi medium, bila batas bagian luar earphone setinggi mulut liang
telinga, dan pasien merasa lebih nyaman, dan ini dapat meningkatkan nilai IA
juga, walaupun tidak besar, namun pasien lebih nyaman. Yacullo (1996)
menyarankan perkiraan konservatif Min IA dengan insersi ER-3A adalah 75 dB
pada 1000 dB atau yang lebih rendah, dan 50 dB di frekuensi 1000 Hz.
Jika nilai IA ini digunakan pada contoh-contoh di atas, maka masking tidak akan
dibutuhkan. Keuntungan lain dengan menggunakan insert phones adalah
meningkatnya nilai Max Mask sebelum overmasking terjadi. Dan ini diharapkan
akan mengatasi dilema masking.
h. Kesimpulan
Tabel 9.10 merangkum prosedur masking pada bab ini. Siswa sebaiknya merujuk
ke sini sebelum melakukan tes, untuk melakukan masking yang benar. Meskipun
masking klinis merupakan prosedur yang sulit untuk siswa (kadang-kadang juga
para profesional), namun prosedur ini terbukti berguna, efisien dan mudah
dipelajari. Dibutuhkan waktu untuk menguasainya.
IA 60-65 dB 65 dB 65 dB
tipikal HLTE ≥Min 0-20 dB SRTTE≥Min PLTE≥Min
85
Modul VI.1−Gangguan Pendengaran
86
Modul VI.1−Gangguan Pendengaran
87
Modul VI.1−Gangguan Pendengaran
88
Modul VI.1−Gangguan Pendengaran
89
Modul VI.1−Gangguan Pendengaran
b. Otosklerosis
Pendahuluan
Istilah otosklerosis berasal dari bahasa Yunani yang artinya “pengerasan pada
telinga”.1 Otosklerosis adalah penyakit primer pada tulang kapsul labirin, biasanya
bersifat herediter dan bilateral, ditandai dengan adanya fokus pembentukan tulang
baru yang terbatas dan bersifat spongiosa.7 Penyakit ini memiliki karakteristik
adanya fase resorpsi dan redeposisi tulang secara bergantian yang menghasilkan
fiksasi dari tulang-tulang pendengaran dan gangguan pendengaran konduktif.3
Penyakit ini ditemukan bilateral pada 70-80% kasus, dengan penyebaran dan
distribusi fokus sklerosis yang simetris.3 Manifestasi klinik ditandai dengan
gangguan pendengaran, tinitus, dan vertigo. Tipe gangguan pendengarannya
adalah konduktif, namun pada studi jangka panjang ditemukan 10% kasus
berkembang menjadi sensorineural.3 Otosklerosis klinis harus dibedakan dari
otosklerosis histologi, yaitu suatu istilah karena ditemukannya kapsul tulang
abnormal pada studi mikroskopik. Otosklerosis histologi didapatkan 10% lebih
tinggi dari otosklerosis klinis.3
90
Modul VI.1−Gangguan Pendengaran
Anatomi fisiologi
Secara anatomi dan fungsional, telinga dibagi menjadi 3 bagian : telinga luar,
telinga tengah dan telinga dalam. Telinga luar terdiri dari daun telinga, liang
telinga, dan bagian lateral membran timpani. Liang telinga mempunyai peranan
pasif dalam sistem pendengaran. Daun telinga berfungsi mengetahui lokasi bunyi
dari arah depan-belakang serta dapat membedakan tinggi rendahnya bunyi. Fungsi
akustik telinga luar dapat menguatkan suara paling tinggi untuk nada 250 Hz, yaitu
sekitar 20 db untuk bunyi yang datang dari sebelah telinga yang diukur. 15 Bentuk
daun telinga dengan berbagai tonjolan dan cekungan serta panjang 2,5-3 cm
menyebabkan terdapatnya resonansi bunyi sebesar 3500 Hz..
Telinga tengah terdiri dari suatu ruang yang terletak di antara membran timpani
dan kapsul telinga dalam, berisi tulang–tulang dan otot beserta penunjangnya, tuba
eustachius dan sistem sel–sel udara mastoid. 4 Fungsi telinga tengah adalah
mengkopling (meneruskan sambil menguatkan atau melemahkan) energi akustik
dari medium udara ke medium cairan. 15 Sebelum memasuki koklea bunyi akan
diamplifikasi melalui system ossicular chain sehingga meningkatkan gain sebesar
25-30 db. Di dalam telinga tengah juga terdapat mekanisme bergerak, yaitu
membran timpani dan ketiga tulang pendengaran. Manubrium malei melekat pada
membran timpani, inkus, dan stapes yang melekat pada tingkap lonjong melalui
ligamen anular di daerah kaki stepes. Fungsi ketiga tulang tersebut untuk
memperkuat energi bunyi agar cukup kuat menggerakkan cairan di dalam koklea
dengan meningkatkan tekanan energi bunyi yang menerpa membran timpani.
Selain itu efek penguatan bunyi juga dipengaruhi oleh perbedaan luas penampang
antara membran timpani dengan tingkap lonjong dan oleh bentuk kerucut
membran timpani.
Penelitian lebih mutakhir oleh Marchan et al. Tahun 1997 menyimpulkan teori
transformasi akustik di telinga tengah harus dimodifikasi. Dikemukakan bahwa
transmisi suara di telinga tengah merupakan hasil kopling osikular, kopling akustik
dan input impedansi stapes-koklea. Selain itu aerasi telinga tengah perlu untuk
sistem konduksi suara di telinga tengah.15
Kopling Osikuler
Merupakan pembesaran energi suara yang disampaikan ke telinga dalam melalui
membran timpani dan rantai osikel. Penambahan pendengaran sekitar 20 db pada
nada 250-500 Hz, mencapai penambahan maksimum sebesar 25 db pada nada
1000 Hz. Pada nada rendah seluruh membran timpani bergerak dalam satu fase,
sedang pada nada di atas 1000 Hz gerakan membran timpani terbagi menjadi
bagian-bagian kecil yang bergerak dengan fase berbeda.
91
Modul VI.1−Gangguan Pendengaran
Kopling Akustik
Adalah perbedaan tekanan suara yang beraksi langsung pada tingkap lonjong dan
tingkap bulat. Gerakan membran timpani menyebabkan tekanan suara di telinga
tengah yang dihantarkan langsung (selain melalui osikel) ke tingkap lonjong dan
tingkap bulat. Tekanan tersebut berbeda karena perbedaan orientasi letaknya
terhadap membran timpani. Pada telinga normal dengan membran timpani utuh
perbedaan itu dapat diabaikan.
Pada fiksasi parsial atau total seperti otosklerosis, akan mengurangi kopling
osikuler. Derajat ketuliannya bervariasi menurut derajat fiksasi dan tempat fiksasi.
Ketulian terutama nada rendah. Fiksasi kaki stapes komplit menyebabkan AB gap
sekitar 60 db, tetapi fiksasi maleus hanya akan menyebabkan ketulian 15-25 db.15
Telinga dalam terdiri dari 2 bagian, yaitu koklea serta vestibulum dan kanalis
koklearis. Koklea merupakan saluran tulang yang bergelung 2,5 lingkaran.
Sepanjang salurannya terbagi menjadi 3 bagian, skala vestibuli, skala media dan
skala timpani. Skala media mempunyai penampang segitiga dengan dasarnya
membran basilaris yang menjadi landasan organ corti. Organ corti mengandung
sel-sel reseptor bunyi, yaitu sel rambut dalam dan sel rambut luar. Proses hantaran
bunyi di koklea dimulai adanya energi akustik yang menimbulkan gerakan tulang
stapes seperti piston, sehingga akan menggerakkan membran reissner dan cairan
endolimf skala media, sehingga menimbulkan pergeseran pada membran basilaris.
Selain itu getaran pada membran basilaris juga menimbulkan gerak relatif antara
membran basilaris dan membran tektoria yang merupakan rangsang mekanik, yang
menyebabkan defleksi stereosilia sel-sel rambut dan terjadi penglepasan ion
bermuatan listrik. Proses tersebut merupakan perubahan energi mekanik menjadi
energi listrik.8,11
92
Modul VI.1−Gangguan Pendengaran
Etiologi
Penyebab otosklerosis sampai saat ini tidak diketahui secara pasti. Namun sudah
lama diketahui, bahwa komponen genetik memegang peranan dalam terjadinya
otosklerosis, dimana transmisinya terjadi secara autosomal dominan. Adapun gen
93
Modul VI.1−Gangguan Pendengaran
penyebab otosklerosis belum dapat diidentifikasi dengan jelas, namun suatu studi
menyebut bahwa gen tersebut terletak pada kromosom 15q25-26. Adapula yang
menghubungkan otosklerosis dengan gen COLI A1, yang mengkode kolagen tipe
1.1
Saat ini penelitian mengarah pada peranan infeksi virus campak dalam
menginisiasi terjadinya otosklerosis pada pasien yang sebelumnya telah memiliki
predisposisi genetik. Peningkatan titer imunoglobulin G spesifik untuk campak
telah ditemukan pada perilimf pasien dengan otosklerosis. Namun peranan virus
campak secara pasti dalam menyebabkan penyakit belum dapat ditegakkan.1
Epidemiologi
Sekitar 60% pasien dengan otosklerosis klinis dilaporkan memiliki riwayat
keluarga dengan keluhan serupa. Penelitian keluarga yang paling mendalam
menunjukkan bahwa otosklerosis adalah faktor keturunan autosomal dominan
dengan kemungkinan diturunkan 40-50%.4 Angka tersebut cukup tinggi mengingat
bahwa otosklerosis histologis jauh lebih banyak daripada otosklerosis klinik.
Beberapa lesi terjadi pada lokasi yang tidak menunjukan manifestasi klinis. Pada
sekitar 10% ras Kaukasian ditemukan otosklerosis secara histologi, namun hanya
sekitar 1% yang menunjukkan manifestasi klinis. Guild, pada pemeriksaan tulang
temporal post mortem menemukan prevalensi histologi yang tinggi, yaitu 8,3%
pada ras Kaukasian dan 1% pada ras Afrika Amerika yang bermanifestasi secara
klinis.1 Pada populasi orang Jepang atau Amerika Selatan, insidensi terjadinya
otosklerosis sekitar 50% dari ras Kaukasian. Populasi Amerika Afrika memiliki
insidensi lebih sedikit, yaitu 1% yang ditemukan secara histologi.
Pada semua ras, ketika satu telinga terkena otosklerosis, maka telinga kontralateral
juga menunjukkan keterlibatan histologi (80%), dimana lokasi anatomi dan fase
histologinya serupa dengan telinga yang terkena.5 Otosklerosis unilateral
didapatkan pada 15% kasus.9 Pada umumnya onset terjadi antara umur 15-45
tahun.3 Dengan rata-rata munculnya manifestasi klinis pada umur 30 tahun.5,7
Otosklerosis juga dilaporkan berkembang lebih cepat pada wanita dibanding pria.
Faktor hormonal memiliki peran, yaitu wanita dengan otosklerosis mengalami
perburukan penyakit saat wanita tersebut hamil. Reseptor estrogen telah diketahui
terdapat pada plak otosklerosis.5
94
Modul VI.1−Gangguan Pendengaran
Patofisiologi
Area yang terkena otosklerosis menggambarkan manifestasi klinis. Tipe yang
paling sering adalah yang melibatkan stapes, sehingga tuli konduktif merupakan
manifestasi klinisnya. Tuli konduktif disebabkan fiksasi kaki stapes, biasanya
dimulai dari fissula ante fenestram. Perjalanan penyakit yang progresif dari kaki
stapes dapat menyebabkan penebalan fokus otosklerosis sehingga memenuhi
lubang tingkap lonjong (otosklerosis obliterasi).5
Gejala klinis
Gangguan Pendengaran
Gangguan pendengaran pada otosklerosis bilateral, progresif, kadang disertai
parakusis dan tinitus. Gangguan pendengaran ini sering tidak disadari, sampai
mencapai 25-30 db, ketika pasien mulai merasa kesulitan dalam berkomunikasi.
Seringkali pasien merasa lebih nyaman mendengar pada suasana bising (parakusis
willisi).4,5,8 Hal ini terutama pada gangguan konduktif, karena umumnya seseorang
akan meninggikan suaranya diatas ambang bising sehingga menimbulkan efek
masking terhadap bunyi bising tersebut. Level suara yang terdengar itu, diatas
ambang dengar seseorang dengan gangguan konduktif. Parakusis terjadi karena
terjadi fiksasi stapes.8
Tinitus
Merupakan gejala yang umum, dan dapat muncul pada pasien tanpa degenerasi
koklea ketika terdapat vaskularitas abnormal pada tulang yang mengalami
otosklerotik. Tinitus merupakan indikasi terjadinya degenerasi sensorineural.
Biasanya muncul pada tahap awal penyakit, dan dapat menghilang ketika ketika
95
Modul VI.1−Gangguan Pendengaran
lesi telah matur dan tulang spongiosa telah diganti menjadi tulang sklerotik yang
keras.9 Tinitus ditemukan pada 75% pasien.5
Vertigo
Keluhan ini kemungkinan disebabkan adanya enzim toksik yang dilepaskan oleh
fokus lesi, pada labirin vestibuler. Bermacam gejala vestibuler dapat terjadi pada
otosklerosis dan yang paling sering adalah true benign positional vertigo. Jika
didapatkan gejala vertigo, apakah yang disebabkan hidrops vestibuler sekunder
dari otosklerosis kapsular ataupun yang disebabkan keterlibatan akuaduktus
vestibuler, maka harus dipertimbangkan adanya penyakit penyerta meniere. Pada
anamnesis perlu ditanyakan riwayat penyakit telinga, paparan bising, paparan obat
ototoksik, penyakit tulang dan sendi.9 Keluhan vertigo didapatkan pada 30%
pasien dengan otosklerosis.5
Diagnosis
Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik, pemeriksaan
dengan garpu tala, audiometri dibantu dengan timpanometri dan radiologi bila
diperlukan. Diagnosis pasti dengan adanya temuan operasi untuk memastikan
adanya kekakuan pada gerak tapak stapes dan hasil pemeriksaan histopatologik.
Otosklerosis khas terjadi pada usia dewasa muda, walaupun gejala gangguan
pendengaran tidak dirasakan sampai usia menengah. Gejala jarang muncul
sebelum usia akhir remaja dan sangat jarang sebelum usia 5 tahun. Selama periode
aktivitas endokrin, seperti kehamilan dan menopause, penyakit dapat lebih
progresif. Pada mayoritas pasien, gejala gangguan pendengaran mulai dikeluhkan
pada saat usia antara 20-30 tahun. Setelah onset, gangguan pendengaran
berkembang dengan lambat.4,9 Walaupun kadang terdapat riwayat infeksi telinga
sewaktu masa kanak-kanak, hal tersebut hanya hubungan kebetulan saja dan tidak
ada hubungannya dengan gangguan pendengaran baik secara anamnesis maupun
secara obyektif. Hanya 1-2% dari yang menderita otitis media akan menderita juga
otosklerosis.4
96
Modul VI.1−Gangguan Pendengaran
Evaluasi Audiologi
Meskipun diagnosis pasti otosklerosis ditegakkan saat tindakan pembedahan,
tetapi diagnosis preoperatif dan penentuan ada tidaknya indikasi operasi adalah
berdasarkan evaluasi audiologi.
Evaluasi audiologi penting untuk tindakan operasi stapes dalam tiga hal. Pertama,
evaluasi ini dapat mengarahkan diagnosis ke otosklerosis. Kedua, evaluasi ini
dapat menilai gangguan pendengaran secara kuantitatif dan karena itu pula dapat
membantu dalam membuat keputusan perlu tidaknya tindakan operasi. Ketiga,
evaluasi audiologi merupakan alat ukur yang baik dalam menilai keberhasilan
operasi dan mengukur hasil operasi.6
Adapun tes rinne dapat menunjukkan rinne negatif bila telinga mengalami
gangguan pendengaran konduktif. Tes ini dapat diinterpretasi dengan dua cara.
Pertama, berdasarkan perbandingan antara ambang konduksi tulang dan udara.
Normalnya ambang konduksi udara tercapai 15 detik setelah ambang konduksi
tulang. Kedua, berdasarkan perbandingan kerasnya suara antara dua macam
97
Modul VI.1−Gangguan Pendengaran
98
Modul VI.1−Gangguan Pendengaran
Masking merupakan suatu prosedur klinis berupa pemberian suara bising pada
telinga yang lebih baik untuk mencegah terdengarnya suara dari telinga yang
sedang diuji. Jika kita menguji seseorang yang diketahui tidak mampu mendengar
di telinga kanannya, maka kita akan menaikkan intensitas suara di earphone
telinga kanan, yang jika terus menerus akan menyebabkan vibrasi tengkorak dan
isinya. Jika vibrasi dari telinga kanan ini cukup kuat, maka bunyi akan
menyeberang melalui tengkorak dan mengguncang cairan di dalam koklea telinga
kiri, yang disebut cross over. Jika vibrasi cukup besar sehingga tedengar oleh
telinga kiri disebut cross hearing. Pada kasus dengan tuli konduksi yang berat di
kedua telinga, kita menghadapi dilema. Pada beberapa kasus, masking yang baik
untuk menghilangkan cross hearing dapat begitu besar diberikan sehingga terjadi
cross hearing di telinga yang diuji dan meningkatkan nilai ambang dengar dari
yang sebenarnya (overmasking). Kemajuan terbesar dalam mengatasi dilema ini
adalah penggunaan earphone ke liang telinga.
Tidak semua perbedaan yang terjadi antara ambang konduksi tulang dan ambang
konduksi udara pada telinga yang sama merupakan akibat dari gangguan konduksi.
Suatu penjelasan mengenai air-bone gap telah dijelaskan oleh Sohmer et al.6
Mereka menyimpulkan bahwa konduksi tulang tidak hanya disebabkan oleh
penghantaran suara sampai ke telinga dalam melalui vibrasi tulang. Tonndof
(1972) menjabarkan 3 mekanisme konduksi tulang, yang bekerja bersama
sehingga timbul aktivitas di koklea.8
Audiometri Tutur
Guna pemeriksaan ini adalah untuk menilai kemampuan pasien dalam
pembicaraan sehari-hari, dan untuk menilai pemberian alat bantu dengar (hearing
aid). Pada tes ini dipakai kata-kata yang sudah disusun dalam silabus :
monosilabus (1 suku kata) & bisilabus (2 suku kata). Kata-kata tersebut disusun
dalam daftar yang disebut Phonetically balance word (PB). Pasien diminta
mengulang kata-kata yang didengar melalui kaset. Terdapat 2 istilah:
- SRT (speech reception test) yaitu kemampuan mengulangi kata-kata yang
benar sebanyak 50%, biasanya 20-30 db di atas ambang pendengaran.
- SDS (speech discrimination scor) yaitu skor tertinggi yang dapat dicapai oleh
seseorang pada intensitas tertentu. Apabila kata yang betul :
90 - 100% : pendengaran normal
75 - 90% : tuli ringan
99
Modul VI.1−Gangguan Pendengaran
Pemeriksaan audiometri tutur akan menunjukan hasil yang baik selama tidak ada
penurunan hantaran tulang atau tuli saraf.7
Audiometri Impedans
a. Timpanometri
Hasil pemeriksaan timpanometri adalah timpanogram yaitu grafik yang
menggambarkan Middle Ear Compliance (MEC) pada berbagai perubahan
tekanan udara. Pemeriksaan timpanometri sangat menolong dalam
menentukan diagnostik. Rangkaian tulang-tulang pendengaran yang terletak
pada telinga tengah dan menepel pada membran timpani di satu sisi dan sisi
lainnya pada tingkap lonjong. Pada pemberian tekanan udara, mekanisme dari
rangkaian tulang akan mempengaruhi mobilitas dari membran timpani dan
dapat memberi gambaran mengenai keadaan pada telinga tengah. Nilai
kelenturan (compliance) biasanya mengecil atau normal. Menurut Jerger, ada
3 kategori dan 2 sub kategori timpanogram :
1. Tipe A
Ditandai oleh puncak pada 0 mm dengan selisih antara compliance dasar-
puncak antara 0,3-1,6 cc. Ada 3 jenis tipe A yang mempunyai ciri seperti
diatas. Pola ini dijumpai pada orang normal dengan fungsi telinga tengah yang
normal, dapat juga terjadi pada fase awal fiksasi stapes.
2. Tipe As
Sama seperti tipe A, pada tipe As didapatkan puncak compliance pada
tekanan atmosfer normal 0 mm, namun selisih compliance dasar-puncak lebih
kecil atau kurang dari 0,3 cc. Huruf “s” pada As artinya shallow (dangkal)
yang menunjukkan mekanisme kekakuan abnormal. Pola ini dapat terjadi pada
kelainan fiksasi tulang-tulang pendengaran.10
3. Tipe Ad
Ditandai compliance yang sangat tinggi sehingga melampaui batas
kemampuan alat timpanometer pada daerah 0 mm. Huruf “d” artinya deep
(dangkal). Gambaran tersebut dijumpai pada diskontinuitas tulang
pendengaran, membran timpani yang sangat kaku akibat jaringan parut yang
luas.
4. Tipe B
Hanya sedikit atau sama sekali tidak dijumpai efek perubahan tekanan
pada compliance membran timpani. Hal ini menandakan probe tone
menghadapi hambatan yang besar sehingga tidak terjadi transmisi pada telinga
tengah.
5. Tipe C
100
Modul VI.1−Gangguan Pendengaran
b. Refleks Stapedius
Bila telinga diberikan stimulus dengan intensitas cukup keras, maka otot stapedial
pada kedua telinga berkontraksi. Selama stimulasi akustik yang kuat, impuls syaraf
dari koklea menjalar dalam N. VIII, menuju ke Nukleus Koklearis Ventral sesisi
(ipsilateral), dan melalui badan trapezoid ke pusat motorik N. VII, kemudian
impuls tersebut turun kembali melalui N. VII ke otot stapedial ipsilateral.
Lengkung refleks sisi yang berseberangan (kontralateral), selalu terdiri dari 4
neuron. Dari N. VIII dan Nukleus Koklearis Ventral, impuls berjalan melalui
trapezoid ke arah oliva medial superior dan melewati nukleus motoris N. VII
kontralateral ke arah otot stapedius. Jika suatu bunyi cukup keras untuk
menimbulkan refleks, maka otot-otot stapedius secara tiba-tiba akan meningkatkan
ketegangan sistem, sehingga menyebabkan perubahan yang menimbulkan refleks.
Bagi orang yang normal berkisar antara 70-100 db HL.
101
Modul VI.1−Gangguan Pendengaran
Hal penting pada pemeriksaan audiologi adalah karena pemeriksaan ini dapat
digunakan sebagai alat ukur untuk evaluasi tindakan rehabilitasi serta perlu
tidaknya tindakan operatif pada kasus otosklerosis. Air-bone gap yang kecil
dengan sedikit gangguan pendengaran bukanlah indikasi untuk operasi, meskipun
diagnosis otosklerosis dapat ditegakkan.
Diagnosis banding
Otosklerosis dapat menyerupai beberapa penyakit lain yang juga menyebabkan tuli
konduktif atau tuli saraf. Sebelum dilakukan pengobatan, penting dibuat diagnosis
yang tepat terhadap gangguan pendengaran yang ada karena untuk tiap kelainan
yang berbeda, penanganannya berbeda pula.
102
Modul VI.1−Gangguan Pendengaran
Tuli saraf yaitu penyakit Meniere, karena obat ototoksik, penyakit sifilis. Penyakit
Meniere dapat terjadi bersamaan dengan otosklerosis koklea.
Penatalaksanaan
Terdapat 2 cara penanganan otoskleosis :
1. Non bedah
a. Obat-obatan
Pada tahun 1964, Shambaugh dan Scott menduga sodium florida, pada
dosis sedang, mungkin dapat meningkatkan proses rekalsifikasi dan
mengurangi proses remodelling tulang pada lesi aktif otosklerotik. Florida
mengurangi resorpsi osteoklas dan meningkatkan formasi tulang osteoblas.
Indikasi terapi sodium florida :
- Pasien yang sudah ditegakkan diagnosis otosklerosis melalui operasi dan
menunjukkan gangguan pendengaran progresif
- Pasien dengan kemungkinan terjadi koklear otosklerosis
- Pasien yang secara pemeriksaan radiologi menunjukkan perubahan spongiosis
di kapsul koklea
- Positif tanda schwartze
Dosis pemberian sodium florida pada lesi aktif, 50 mg perhari selama 2
tahun, dan dapat ditingkatkan menjadi 75 mg perhari bila ditemukan tanda
schwartze. Dapat diberikan suplementasi kalsium dan vitamin D.9
103
Modul VI.1−Gangguan Pendengaran
2. Bedah
Yang dilakukan saat ini adalah stapedoktemi. Operasi stapedektomi ini
sudah menjadi prosedur baku untuk penyakit otosklerosis sejak diperkenalkan
oleh Shea pada tahun 1958.7 Terdapat tiga komponen yang perlu
dipertimbangkan ketika merekomendasikan operasi pada otosklerosis, yaitu :
gangguan pendengaran, jumlah air-bone gap, dan keterbatasan pendengaran
yang dialami pasien. Ketiga hal tersebut harus dianalisa secara terpisah.6
Indikasi pembedahan :
- Pada mayoritas pasien yang mengalami tuli konduktif disebabkan oleh
otosklerosis
- Pasien dengan level BC 0-25 db dan AC 45-65 db adalah kandidat yang sesuai
untuk operasi. Air-bone gap harus paling sedikit 15 db dengan Speech
Discrimination Score minimal 60% untuk mendapatkan hasil yang baik.
Pasien dengan gangguan pendengaran 90-100 db dan pada audiometri
tutur tidak terukur, masih dapat dicoba untuk dilakukan operasi, sehingga
nantinya pasien dapat menggunakan alat bantu dengar yang sebelumnya tidak
dapat ia gunakan.9
Kontra indikasi pembedahan :
- Adanya penyakit penyerta
- Usia tua, anak-anak
- Pada gangguan konduksi yang disebabkan oleh penyebab lain, maka stapes
tidak boleh di manipulasi
- Otosklerosis unilateral
- Pada pasien yang hanya mendengar pada satu telinga
- Pada stapedial dan koklear otosklerosis dengan air-bone gap yang jauh,
operasi tidak disarankan selama masih dapat menggunakan alat bantu dengar
- Terdapat vertigo dan secara klinis terbukti ada hidrops labirin terutama bila
terdapat gangguan pendengaran fluktuatif
- Stapedektomi pada telinga kedua, yang masih kontroversial
- Wanita hamil
Prognosis
Pembedahan secara signifikan dapat memperbaiki pendengaran pada sekitar 90%
pasien. 13
Prognosis otosklerosis dengan pembedahan :
- Operasi dapat memperbaiki fungsi pendengaran secara signifikan pada 90 dari
100 pasien
- Pada 8 dari 100 pasien, pendengaran dapat membaik namun tidak sebaik yang
diharapkan
104
Modul VI.1−Gangguan Pendengaran
- Sangat jarang, sekitar 1 atau 2 kali dari 100 operasi, pendengaran justru
memburuk. Hal inilah yang menjadi alasan mengapa operasi dilakukan
pertama kali pada telinga dengan pendengaran yang lebih buruk.14
Diagnosis
Central auditory processing disorder (CAPD) ialah suatu keadaan dimana terjadi
kesulitan dalam interpretasi terhadap rangsangan auditori pada individu tanpa
adanya gangguan pendengaran perifer. The American Speech And Hearing
Association (ASHA) menyatakan bahwa CAPD adalah kondisi yang menunjukan
kelainan atau masalah pada satu atau lebih dari hal berikut:
1. Lokalisasi dan lateralisasi suara
2. Diskriminasi auditori (kemampuan untuk membedakan jenis suara yang
berbeda)
3. Auditory pattern recognition (kemampuan untuk embedakan mana bunyi yang
berbeda dan bunyi mirip)
4. Temporal aspects of audition (kemampuan untuk mengikuti dan
menggabungkan suara menjadi kata-kata dan kemampuan untuk mengenal
suara yang terpisah)
5. Auditory performance decrements with competing sounds (kemampuan untuk
mengenal kata kata atau suara pada saat ada suara lain
6. Auditory performance with degraded acoustic signal (kemampuan untuk
mengenal signyal bunyi yang hilang)
Orang orang dengan CAPD mempunyai fungsi pendengaran yang normal pada
lingkungan yang mempunyai bising yang minimal. Naming bila bising lingkungan
ini meningkat maka kemampuan untuk membedakan, mengerti, dan memproses
suara ini menjadi menurun. Pada suasana seperti ini pasien CAPD biasanya akan
menunjukan beberapa gejala diantaranya : kemampuan untuk mendengar suara di
frekuensi tertentu, selalu meminta pengulangan kata yang diucapkan, sering salah
pengertian, bingung dengan kata kata yang mirip, berbicara keras, bersifat acuh tak
acuh, sulit untuk mengikuti perintah, tidak dapat memberi respon terhadap
pertanyaan selama percakapan.
105
Modul VI.1−Gangguan Pendengaran
pada usia muda memiliki kemampuan untuk proses plasticity. Sistem persarafan
auditori sentral berlanjut dari nucleus koklearis di batang otak sampai ke korteks
auditori. Komplek olivari superior, lemiskus lateralis, dan kolikulus inferior,
corpus genikulatum medial, dan formation retikularis adalah jalur penting yang
dilalui oleh bunyi. Area auditori korteks dan subkorteks terutama terdiri dari gyrus
of Heschl’s, planum temporal, dan Sylvian fissure.
Gejala klinik
Pasien dengan gangguan proses auditori seringkali terlihat tidak takin dengan apa
yang mereja dengar dan sulit untuk mendengar terutama pada lingkungan yang
bising, sulit mengikuti instruksi, dan sering sulit untuk mengerti pembicaraan yang
cepat.
Gejala ini biasanya terlihat pada awal usia sekolah atau pada akhir pendidikan dari
anak-anak karena pada saat ini terjadi perubahan dari lingkungan rumah ke
lingkungan sekolah atau meningkatnya kebutuhan akademik yang terjadi pada tiap
akhir semester. Gejala lain yang muncul adalah gangguan pada bahasa, membaca
dan memahami kata-kata sehngga pasien menjadi acuh tak acuh dan tak perduli
dengan lingkungan sekitar.
Diagnosis
Menegakan suatu diagnosis CAPD bukanlah suatu hal yang mudah. Tahap 1
adalah pemeriksaan pendengaran perifer. Pemeriksaan yang dilakukan ialah
audiometri nada murni, audiometric tutur, audimetri impendand. Pemeriksaan
elektrofisiologik juga dilakukan seperti OAE dan ABR.
Tahap 2 ialah pemeriksaan konsentrasi dan perhatian, daya ingat, dan IQ. Untuk
menentukan suatu CAPD harus disingkirkan keterlibatan gangguan konsentrasi
dan perhatian, gangguan pemahaman bahasa, dan disleksia. Diagnosis tentang hal
ini biasanya dilakukan oleh seorang psikologis.
106
Modul VI.1−Gangguan Pendengaran
Penatalaksanaan
Penatalaksanaan CAPD terdiri dari:
1. Strategi meningkatkan signal dengan tujuan untuk meningkatkan signal to
noise ratio. Cara yang digunakan adalah dengan menggunakan frequency
modulated (FM) system di dalam ruangan kelas atau personal FM system
2. Latihan auditori, dapat formal maupun informal. Bentuk latihan auditori
formal adalah earobics, mengenal bentuk kata, latihan di klinik audiologi yang
terdiri dari modifikasi latihan sentral auditori. Latihan auditori informal terdiri
dari latihan vocal atau konsonan, latihan auditori langsung
3. Strategi linguistic dan kognitif
Untuk penatalaksanaan CAPD juga diperlukan suatu strategi untuk lingkungan,
diantaranya:
1. Strategi modifikasi dari lingkungan (a)perubahan akustik ruangan kelas (b)
mengubah tempat duduk siswa (c) Penggunaan assistive listening device
2. Classroom-Based strategies
3. Compensatory strategies
4. Attribution training (a). Memberi pengertian tentang masalah yang
sesungguhnya (B)membatasi kemungkinan penyebab masalah
(c)Memecahkan masalah
107
Modul VI.1−Gangguan Pendengaran
Diagnosis
1. Anamnesis terutama untuk menentukan waktu terjadinya
2. Garpu penala
3. Audiometer nada murni
4. Uji SISI
5. Audiometri Impedance
6. Uji Vestibuler
7. Konsultasi kebagian yang terkait
Patofisiologi
Tuli mendadak bukanlah suatu penyakit tersendiri, namun merupakan manifestasi
klinis dari berbagai proses patologis. Hipotesis etiologi utama dari tuli mendadak
adalah faktor vaaskular, virus, autoimun, rupture membran basal koklea,
metabolic, dan toksik.
Faktor predisposisi
Faktor predisposisi dari tuli mendadak antara lain kelainan hematologi, hipertensi,
diabetes mellitus, stress, dan kolesterpl tinggi
Tatalaksana
Untuk pasien dengan onset kurang dari 2 minggu, pasien akan dirawat. Pasien
disarankan untuk tirah baring sempurna selama dua minggu. Namun karena kasus
terbanyak tuli mendadak adalah idiopatik yang umumnya respons dengan steroid
maka berdasarkan kesepakatan para ahli dalam Consensus on Diagnosis and
Treatment of Sudden Hearing Loss di Madrid, Spanyol tahun 2011 ditetapkan
steroid sebagai terapi utama pada tuli mendadak, dimana pilihannya dapat berupa
108
Modul VI.1−Gangguan Pendengaran
Pendahuluan
Tuli akibat bising (Noise Induced Hearing Loss/ NIHL) ialah gangguan
pendengaran yang terjadi akibat terpajan bising yang cukup keras dalam jangka
waktu yang cukup lama, biasanya lima tahun atau lebih. Bising adalah campuran
berbagai bunyi nada murni dengan berbagai frekuensi. Bising dengan intensitas
85 dB atau lebih dapat menyebabkan kerusakan pada reseptor pendengaran corti di
telinga dalam. Organ corti untuk reseptor bunyi yang sering mengalami kerusakan
adalah yang berfrekuensi 3000-6000 Hz dan yang terberat pada frekuensi 4000 Hz.
Ketulian yang terjadi adalah tuli sensorineural dan umumnya terjadi simetris pada
kedua telinga.5, 8
Patofisiologi
Mekanisme dasar terjadinya gangguan pendengaran akibat bising merupakan
kombinasi dari kerusakan koklea secara mekanis akibat bergetarnya organ Corti
melampaui batas struktural dan adanya stress metabolik yang menyebabkan
kematian sel rambut.
Paparan bising yang intens (diatas 85 dB) dan terjadi secara kronik secara mekanik
dapat menyebabkan kerusakan awal yang terjadi pada sel rambut luar yang
bertanggung jawab pada frekuensi suara tinggi (3-6 kHz).
Diagnosis
Penegakan diagnosis berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan
penunjang untuk pendengaran. Pada anamnesis biasanya pasien mengeluh kurang
pendengaran yang pada umumnya terjadi pada kedua telinga terkadang dapat
disertai dengan telinga berdeging (tinitus). Seperti halnya orang yang menderita
tuli saraf koklea, pasien lebih mudah berkomunikasi di tempat yang sunyi ataupun
tenang dan sulit mendengar serta memahami percakapan terutama di tempat yang
berlatar belakang ramai (cocktail party deafness). Fenonema lain yang dapat
terjadi pada tuli saraf koklea ialah fenomena rekrutmen dimana pasien sulit
109
Modul VI.1−Gangguan Pendengaran
mendengar pada kekerasan (volume) suara biasa, tetapi mengeluh nyeri telinga
bila volume ditinggikan. Pasien juga memiliki riwayat paparan bising yang cukup
lama, baik di lingkungan kerja atau penggunaan personal listening device (PLD).
Pada pemeriksaan otoskopis didapatkan telinga luar dan tengah dalam batas
normal. Pada pemeriksaan audiologi, tes penala didapatkan gambaran tuli
sensorineural dimana hasil Rinne positif, Weber lateralisasi ke telinga sehat dan
swabach memendek. Hasil pemeriksaan audiometri pada NIHL memiliki
gambaran yang cukup khas, dimana terdapat peningkatan ambang dengar pada
frekuensi tinggiantara 3000-6000 Hz dan pada frekuensi 4000 Hz sering terdapat
takik. Pada NIHL derajat ringan hingga sedang, umumnya ambang dengar 8000
Hz lebih baik daripada 4000 Hz.
Pemeriksaan audiologi khusus seperti SISI, ABLB, MLB, Audiometri Bekesy, dan
Audiometri tutur menunjukkan adanya fenomena rekrutmen yang patognomonik
untuk tuli sensorineural koklea. Rekrutmen adalah suatu fenomena pada tuli
sensorineural koklea dimana telinga yang tuli menjadi lebih sensitif terhadap
kenaikan intensitas yang kecil pada frekuensi tertentu setelah terlampaui ambang
dengarnya. Bila sudah didapatkan adanya gangguan komunikasi, speech
audiometri diperlukan untuk mengevaluasi seberapa berat gangguan yang terjadi.
Pemeriksaan OAE dapat membantu mengevaluasi adanya atau seberapa banyak
sel rambut yang sudah mengalami kerusakan.
110
Modul VI.1−Gangguan Pendengaran
Tata laksana
Tuli akibat bising adalah tuli saraf koklea yang bersifat menetap (irreversibel).
Oleh karena itu, tindakan yang terpenting adalah pencegahan. Paparan bising dapat
dikurangi dengan memasang peredam pada sumber bunyi di tempat kerja ataupun
menggunakan sumbat telinga (ear pulg), tutup telinga (ear muff) dan pelindung
kepala (helmet). Bila sudah terjadi gangguan komunikasi, pasien dapat disarankan
untuk memakai alat bantu dengar/ABD.
f. Acute Low Tone Hearing Loss
Definisi
Tuli sensorineural akut nada rendah (acute low tone sensorineural hearing
loss/ALHL) didefinisikan sebagai tuli sensorineural nada rendah yang bersifat
idiopatik, dengan onset yang akut dan pendengaran pada frekuensi tinggi relatif
normal
Patofisiologi
Mekanisme terbentuknya hidrops hingga terjadinya suatu gejala penyakit masih
dalam perdebatan. Hidrops endolimfa yang terjadi secara mendadak dan hilang
timbul ini diduga disebabkan oleh : 1. peningkatan tekanan hidrostatik ujung
arteri, 2. berkurangnya tekanan osmotik kapiler, 3. peningkatan tekanan osmotik
ruang ekstrakapiler, 4. sumbatan jalan keluar di sakus endolimfatikus, sehingga
terjadi penimbunan cairan endolimfa.
Gambaran Klinis
Gejala yang dikeluhkan oleh pasien dengan ALHL bervariasi a, tersering tinnitus,
rasa penh di telinga, autofoni, rasa tidak seimbang, sensasi sempoyongan. Selain
itu sering mengeluh sakit kepala ringan, kekekuan bahu, lemah.
Diagnosis
Young dan Wu dalam penelitiannya terhadap pasien dengan ALHL unilateral
membuat kriteria diagnosis ALHL berupa 1. Bentuk gangguan pendengaran
bersifat sensorineural dengan gambaran membran timpani yang normal dan
gambaran timpanometri menunjukkan tipe A, 2. Ambang dengar rata-rata hasil
pemeriksaan audiometri pada 3 frekuensi terendah (125, 250 dan 500 Hz) yaitu 30
dB atau lebih, 3. ambang dengar rata-rata dengan pemeriksaan audiometri pada 3
frekuensi tertinggi (2,4 dan 8 kHz) yaitu 20 dB atau kurang, 4. Tidak didapatkan
adanya riwayat vertigo ataupun nistagmus.
111
Modul VI.1−Gangguan Pendengaran
Penatalaksanaan
Tatalaksana ALHL dengan pemberian kortikosteroid.
Prognosis
Prognosis pada 80 % pasien dengan ALHL menunjukkan penyembuhan total atau
penyembuhan sebagian dalam waktu 3 bulan.
Pendahuluan
Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi di bidang genetika memberikan
pandangan baru dalam dunia kesehatan. Semua pola dasar yang akan membentuk
manusia tertulis dengan baik dalam genetik sehingga sering disebut juga sebagai
“book of life” atau “grammar of life”. Berbagai macam penyakit telah diketahui
memiliki kaitan yang erat dengan faktor genetik termasuk didalamnya gangguan
pendengaran.1
112
Modul VI.1−Gangguan Pendengaran
Kekerapan
Gangguan pendengaran merupakan masalah kesehatan yang memerlukan
perhatian khusus karena mengenai 6 – 8% dari populasi di negara berkembang dan
sebagian merupakan defek yang didapat saat lahir. Jika mengikuti penerapan
universal newborn hearing screening (unhs) angka kekerapan yang didapatkan
jauh lebih tinggi lagi. Kurang lebih 1 dari 1000 bayi baru lahir mengalami
ketulian, 1 dari 300 mengalami ketulian kongenital dengan derajat yang lebih
rendah, dan sebagai tambahan 1 dari 1000 anak mengalami perburukan
pendengaran sebelum mencapai usia dewasa. Sebelum program deteksi dini
gangguan pendengaran pada anak baru lahir, usia rata-rata anak yang didiagnosis
gangguan pendengaran adalah usia 1,5 sampai 3 tahun dimana memerlukan
tindakan intervensi segera sebelum melewati massa perkembangan bicara dan
kognitif. Kesalahan dan keterlambatan diagnosis dari gangguan pendengaran dapat
berimplikasi pada kemampuan bicara dan komunikasi, seperti perkembangan
kognitif dan psikologis.5
Anatomi pendengaran
Anatomi pendengaran merupakan suatu rangkaian mekanik yang merubah dari
bentuk energi suara kepada energi listrik yang dihantarkan oleh saraf ke pusat
pendengaran di otak. Kelainan kongenital dapat mengenai semua bagian dari
sistem pendengaran. Mulai dari telinga luar seperti atresia liang telinga, kegagalan
pembentukan tulang pendengaran, dan kelainan pada kokhlea. Organ korti
memiliki dua tipe sel sensoris, sel rambut dalam sebanyak satu baris dan sel
113
Modul VI.1−Gangguan Pendengaran
rambut luar sebanyak tiga baris. Sel rambut dalam merupakan reseptor murni yang
mengantarkan sinyal suara menuju saraf pendengaran dan pusat pendengaran.
Sedangkan sel rambut luar memiliki fungsi sensoris dan juga fungsi motorik yang
berperan pada sensitifitas pendengaran dan amplifikasi frekuensi tertentu secara
selektif. Sel rambut luar dapat mengalami elongasi dan kontraksi ketika
mendapatkan rangsang suara. Perubahan pajang sel rambut luar ini merupakan
peran dari molekul motorik sepanjang membran plasma yang mengandung filamen
seperti aktin.3,7
Dalam kokhlea terdapat sistem transport ion yang unik diantara masing-masing
cairan. Di dalam skala timpani dan skala vestibuli terdapat cairan perilimf dengan
komposisi menyerupai cairan ektraselular, dimana mengandung sedikit ion k+ dan
tinggi akan ion na+. Sedangkan skala media berisi cairan endolimf dengan
komposisi menyerupai cairan intraselular atau sitoplasma dimana mengandung
tinggi ion k+ dan sedikit ion na+ dan ca+. Kadar konsentrasi ion-ion tersebut
dipertahankan oleh adanya perputaran ion dari sel marginal stria vaskular dan
menyebabkan timbulnya potensial listrik pada endolimf sebesar + 80mv. Adanya
penurunan dari potensial listrik ini akan sangat berpengaruh pada sensitivitas
terhadap rangsang akustik.7
Ketika sensor silia dari sel rambut mengalami defleksi akibat getaran suara,
saluran kation nonselektif pada silia akan terbuka dan menyebabkan masuknya ion
k+ dari endolimf menuju sitoplasma sel rambut. Masuknya ion k+ menyebabkan
114
Modul VI.1−Gangguan Pendengaran
115
Modul VI.1−Gangguan Pendengaran
sebagai lokus gen. Setiap gen pada suatu kromosom dikatakan memiliki hubungan
dengan gen lainnya yang disebut sebagai lingkage group. Kemanapun kromosom
pindah akan membawa semua gen yang berada dalam lingkage group yang sama.9
Kelainan genetik
116
Modul VI.1−Gangguan Pendengaran
sedangkan faktor perinatal dan infeksi selama infantil atau trauma bertanggung
jawab untuk sisanya. Gambaran perpindahan gen yang bermutasi dari generasi ke
generasi selanjutnya dapat ditelusuri dari diagram yang disebut sebagai pedigree. 3,
11
30% SHL
50% genetik -1
-2
80% AR
Gambar 2.
Pembagian gangguan pendengaran berdasarkan penyebabnya.
117
Modul VI.1−Gangguan Pendengaran
Pendred syndrome
Memiliki beberapa gejala khas yang dikenal dengan trias gangguan pendengaran
kongenital, goiter multinodul, dan penurunan patologis dari hasil tes perklorat.
Goiter terjadi akibat abnormalitas dari metabolisme iodin. Gangguan pendengaran
biasanya bilateral terutama pada frekuensi tinggi. Kelainan bentuk kokhlea tipe
mondini sering ditemukan dengan organ vestibular yang normal.7,12
Usher syndrome
Laporan tentang insiden usher syndrome mengenai sekitar 3 dalam 100.000
kelahiran hidup. Saat ini telah diketahui lokasi kelainan usher syndrome tipe i
adalah pada lengan kromosom 14q, sedangkan pada tipe ii kelainan berlokasi pada
lengan kromosom 1q32. Kelainan bersifat progresif yang sering ditemukan adalah
kebutaan karena terjadinya retinitis pigmentosa, juga tuli saraf sedang sampai
berat. Retinitis pigmentosa biasanya diketahui pada masa kanak-kanak dengan
adanya kebutaan pada malam hari atau adanya defek pada lapang pandang.
Kehilangan penglihatan bersifat progresif, dengan lebih dari 50% penderita
mengalami kebutaan pada usia dibawah 50 tahun. Kelainan histopatologi yang
ditemukan adalah adanya degenerasi epitel sensoris kokhlea. Tidak ditemukannya
cochlear microphonic mengindikasikan adanya gangguan pendengaran.7,12
Trisomy 21
Dikenal juga dengan down syndrome merupakan kelainan kromosom tersering di
dunia. Insidensinya adalah 1 dalam 1000 kelahiran, dan akan meningkat dengan
118
Modul VI.1−Gangguan Pendengaran
usia ibu saat kehamilan yaitu menjadi 1 kasus dalam 25 kelahiran pada ibu usia ≥
45 tahun. Gambaran klinis yang terlihat adalah mental retardasi dan gambaran
wajah mongoloid. Gangguan pendengaran dapat mengenai 78% dari kasus dengan
kelainan konduktif, tuli saraf, dan campur. Gambaran histopatologis ditemukannya
sisa jaringan mesenkim pada telinga tengah dan hidrops endolimfatik.7,12
Alport syndrome
Kelainan ini mengenai sekitar 1 dari 200.000 orang adanya nefritis yang bersifat
herediter dengan keluhan hematuri, katarak posterior, distrofi kornea dan dislokasi
lensa. Memeiliki karakteristik gangguan ginjal progresif dan gangguan
pendengaran sensorineural. Lebih sering mengenai laki-laki dibanding wanita.
Juga disertai dengan kelainan pada ginjal pada dekade ketiga. Gangguan
pendengaran biasanya bersifat bilateral dan simetris, dengan ketulian saraf
progresif dan mengenai frekuensi tinggi.7,12
Autusomal resesif
salah satu kelainan autosomal resesif yang paling sering ditemukan adalah
kelainan pada lokus dfnb 1 pada kromosom 13q11-12 dengan karakteristik
kongenital, tidak bersifat progresif, dengan gangguan pendengaran ringan sampai
berat. Pada lokus ini terdapat dua buah gen yaitu gjb2 dan gjb6. Gjb 2 memiliki
kode nama connexin 26. Seperti dikutip oleh bai u keterlibatan gen connexin 26
dalam gangguan pendengaran non-sindromik pertama kali dilaporkan pada tahun
1997 oleh kessel dan kawan-kawan. Data awal yang disampaikan oleh reardon dan
kawan-kawan pada tahun 1998 menyebutkan bahwa 50-80% gangguan
119
Modul VI.1−Gangguan Pendengaran
120
Modul VI.1−Gangguan Pendengaran
connexin lain yang juga terekspresikan pada telinga dalam yaitu connexin 30, 31,
32 dan 43 yang juga berperan dalam proses pendengaran normal.13
Autosomal dominan
Salah satu gen yang terkait dengan kelainan autosomal dominan adalah gen coch
(dfna9) dengan enkoding cochlin, dimana protein ini terekspresikan pada matriks
ekstraselular telinga dalam. Kelainan pendengaran yang ditemukan memiliki ciri
non-sindromik, post-lingual, dengan onset pada saat dewasa, dan bersifat
progresif. Mengenai pada individu yang memiliki gambaran histopatologis tulang
temporal yang unik, yaitu dengan ditemukannya deposisi mukopolisakarida. Juga
sering ditemukan adanya gejala gangguan keseimbangan. Penyakit ini sering
dianggap menyerupai penyakit meniere namun perbedaan yang paling mencolok
adalah adanya gambaran tuli saraf frekuensi tinggi.5
Kelainan ad bersifat tuli saraf lebih sering mengenai pada masa post lingual dan
biasanya bersifat progresif, sementara tuli saraf biasanya terjadi pada masa pre
lingual. Dalam kelainan yang bersifat dominan ini akan diturunkan ke generasi
berikutnya sebesar 50%. Persentase ini dapat berkurang pada generasi selanjutnya
jika faktor yang disebut sebagai “penetrance” tidak komplit, dan efek yang timbul
pada generasi berikutnya sangat bervariasi baik dari segi gejala dan tingkat
keparahan dan ini disebut sebagai rentang ekspresi. 7,13
X-linked
Gangguan pendengaran pada pasien dengan x-linked sering diikuti dengan
kelainan lain yang juga berkaitan. Seperti x-linked agammaglobulinemia, retardasi
mental, ataxia dan lain-lain. Reiner dkk (1982) seperti kutip oleh gustavson dkk
menggambarkan suatu keluarga dengan retardasi mental x-linked, spastisitas,
seizure, gangguan pendengaran, mikrosefali, kemampuan bertahan hidup yang
terbatas, atrofi optik, genital yang kecil, dan abesitas. Sindrom ini pertama kali
ditemukan oleh juberg dan marsidi pada tahun 1980 dan disebut sebagai sindrome
juberg-marsidi. Pada banyak kasus kelainan x-linked angka kematian usia muda
sangat tinggi. 14,15,16
Kelainan mitokondrial
Sejumlah mutasi dari mitokondrial dapat menyebabkan baik sindromik maupun
non-sindromik hearing loss dan didefinisikan sebagai ketulian yang diturunkan
melalui ibu (maternal inharited hearing loss atau mihl). Sel sperma tidak
memberikan kontribusi mitokondrial secara langsung pada zigot. Gangguan
pendengaran yang terjadi biasanya terjadi pada akhir masa anak atau awal usia
dewasa dan semakin memburuk dengan bertambahnya usia. Delesi mitokondrial
(mtdna deletion) berkaitan dengan banyak kondisi patofisiologi termasuk kelainan
neurologi, gangguan pendengaran sensorineural, iskemia, kardiomyopati, dan usia.
Seidman dkk (1997) dan hattori dkk (1991) menyatakan bahwa delesi mtdna
sangat bergantung pada usia. Studi yang dilakukan pada manusia menyebutkan
121
Modul VI.1−Gangguan Pendengaran
bahwa pada otot jantung terjadi peningkatan delesi mtdna secara progresif. Subjek
penelitian dengan usia lebih muda dari 30 tahun memiliki rata-rata delesi sebesar
0%, 31-40 tahun memiliki rata-rata 25%, 41-50 tahun memiliki rata-rata 33%, 51-
60 tahun sebesar 63%, dan 61-70 tahun memiliki rata-rata delesi 75%. Mutasi
mitokondrial ini akan terjadi dan terakumulasi sampai kematian. 4,17,18
Mutasi mitokondrial pada lokasi gen yang lain juga menyebabkan beberapa
kelainan. Mutasi yang menyebabkan kelainan pendengaran non-sindromik adalah
mutasi pada a1555g pada gen ribosom (125rrna) dari mtdna. Mutasi ini merupakan
mutasi yang paling sering menyebabkan kelainan pendengaran non-sindromal di
dunia. Mutasi mitokondrial pada a1555g ini juga menyebabkan hipersensitifitas
kokhlea terhadap keracunan antibiotik golongan aminoglikosida, dimana kita
ketahui aminoglikosida sangat ototoksik terhadap sel rambut dan dapat
menyebabkan kehilangan pendengaran permanen. Hal ini disebabkan oleh
meningkatnya kemampuan sel rambut dalam mengikat aminoglikosida pada
122
Modul VI.1−Gangguan Pendengaran
Diagnosis
Penegakkan diagnosis gangguan pendengaran genetika sangat bergantung pada
hasil anamnesis dan pemeriksaan fisiologis pendengaran. Pemastian genetik yang
menjadi dasar kelainan dilakukan melakui serangkaian pemeriksaan dna. Pada shl
kecurigaan adanya gangguan pendengaran dapat lebih awal diketahui karena
terkait dengan sindrom yang ada, namun sebaliknya pada yang nshl. Gangguan
pendengaran sensorineural yang bersifat genetik harus dapat dibedakan dengan
yang non-genetik. Beberapa penyakit infeksi prenatal dapat menyebabkan
gangguan pendengaran sensorineural namun hal ini tidak diturunkan secara
genetik. Pada tahun 1970 telah diketahui bahwa rubella yang menginfeksi ibu
hamil dapat menyebabkan ketulian, katarak, serta kelainan jantung bawaan pada
bayi baru lahir. Keadaan lain yang juga dapat menyebabkan kelainan pendengaran
kongenital tapi tidak diturunkan secara genetik adalah infeksi cytomegalovirus
(cmv), keadaan hiperbilirubinemia dimana kadar bilirusin serum > 20 mg/100ml
yang disebut sebagai kernicterus.6
Gangguan pendengaran yang didapat (aquired) juga dapat dibagi menjadi genetik
dan non-genetik. Terdapat beberapa gangguan pendengaran yang didasarkan pada
kelainan genetik dengan onset lambat (delayed). Otosklerosis merupakan salah
satu manifestasi dari kelainan genetika. Gangguan pendengaran sensorineural yang
bersifat progresif dapat ditemukan bersama dengan kelainan muskuloskeletal lain
seperti pada sindom alport dan sindrom hunter. Keterlambatan timbulnya gejala
sangat bervariasi dan bersifat individual. Sedangkan gangguan pendengaran
kongenital yang bersifat non-genetik sering disebabkan oleh infeksi, keganasan,
toksisitas dan trauma termasuk noise induced hearing loss (nihl).6
123
Modul VI.1−Gangguan Pendengaran
Deteksi dini pada bayi baru lahir merupakan uji penapisan pertama yang dapat
dilakukan untuk mengetahui adanya kelainan pendengaran. Beberapa pemeriksaan
yang dapat dilakukan disesuaikan dengan usia anak. Joint committee on infant
hearing pada tahun 1982 skrining pendengaran pada anak dengan resiko tinggi
harus meliputi observasi tingkah laku (behavioral) dan pemeriksaan respon
elektrofisiologis terhadap suara22. Pada anak dengan riwayat gangguan
pendengaran pada anggota keluarga lain dapat dilakukan evaluasi untuk
mendiagnosis dan prognosis adanya kelainan genetika. Saat pertama kali anak
diketahui mengalami gangguan pendengaran serta progresifitas dari penurunan
pendengaran tersebut merupakan informasi yang sangat berharga.6
Penatalaksanaan
Penelitian terakhir menyebutkan bahwa anak dengan kelainan pendengaran
membutuhkan tindakan habilitasi sesegera mungkin, bahkan pada anak usia 6
bulan yang telah diidentifikasi memiliki kelainan pendengaran (yoshinaga-itano,
sedey, coulter, & mehl, 1998)6 . Pemberian amplifikasi perlu dipertimbangkan
untuk memberikan rangsang stimulus pendengaran namun harus diperhatikan
faktor penguatannya sehingga tidak menimbulkan kerusakan yang permanen.
Sedangkan di negara maju penggunaan implan kokhlear sudah banyak diterapkan
pada anak dengan kelainan kongenital. Yang perlu diperhatikan adalah jika
seorang anak dengan kelainan multipel seperti gangguan pendengaran yang
disertai dengan kelainan pada penglihatan seperti katarak, maka kelainan pada
penglihatan harus diperbaikai terlebih dahulu sebelum dilakukan implan kokhlear.
Hal ini untuk mengoptimalkan penglihatan sebagai salah satu indera dalam
memberikan informasi lingual.23
Kesimpulan
Kelainan genetika merupakan salah satu faktor yang mendasari gangguan
pendengaran. Anamnesis dan pemeriksaan yang cermat harus dilakukan untuk
membedakan gangguan pendengaran yang didasarkan pada kelainan genetik atau
non-genetik. Dibutuhkan kerjasama dari keluarga pasien dan beberapa fasilitas
untuk membuktikan adanya kaitan genetika dalam suatu kelainan. Penggunaan
kokhlear implan sudah dilakukan pada beberapa negara maju. Intervensi sejak dini
pada anak dengan kelainan pendengaran memberikan hasil yang lebih baik dalam
perkembangan bicara serta kognitif anak.
h. Tinitus
Definisi dan klasifikasi tinitus
Tinitus adalah suatu persepsi auditori dalam menghantarkan bunyi tanpa adanya
sumber bunyi yang nyata. Pada berbagai kepustakaan disebutkan berbagai macam
klasifikasi tinitus, secara umum tinitus sering dibedakan menjadi dua, yaitu tinitus
subjektif dan objektif. Tinitus subjektif jika bunyi hanya bisa didengar oleh
penderita sendiri, sedangkan tinitus objektif adalah jika bunyi tersebut berupa
124
Modul VI.1−Gangguan Pendengaran
bunyi yang nyata (sumber bunyinya ada) yang dapat didengar oleh penderita
maupun pemeriksa dan atau bunyi tersebut dapat berupa bunyi yang pulsatif.
Tinitus objektif disebut juga tinitus vibratory atau tinitus ekstrinsik atau
pseudotinitus dan dapat didengar melalui auskultasi di daerah telinga dan
pembuluh darah di sekitarnya. Tinitus objektif ini dihubungkan dengan adanya
kondisi-kondisi tertentu, diantaranya abnormalitas dari pembuluh darah dan
patoulus tuba eustachius. Tinitus subjektif disebut juga idiopatik tinitus. Tinitus
subjektif banyak disebabkan oleh adanya aktifitas yang abnormal dari sel-sel
rambut atau dapat juga disebabkan oleh terganggunya fungsi dari jalur perifer
nervus auditori. Pada penderita tinitus yang sangat berat kerusakan biasanya
terjadi pada sistem saraf pusat. Semua kondisi tersebut dapat bermanifestasi
sebagai gangguan dalam mentoleransi batas kekerasan suatu suara atau bunyi.
Derajat kekerasan tinitus oleh Klockhoff dan Lindblom dibagi menjadi tiga derajat
berdasarkan keluhan subjektif. Derajat I apabila bunyi tinitus hanya terdengar pada
lingkungan yang sepi, derajat II apabila tinitus terdengar dalam kondisi lingkungan
sehari-hari namun bunyi tersebut dapat hilang atau dapat diabaikan dengan bunyi
lingkungan yang ramai dan tidak mengganggu proses tidur, derajat III yaitu
apabila tinitus terdengar pada semua kondisi lingkungan, tidak dapat hilang atau
diabaikan dan mengganggu proses tidur.
125
Modul VI.1−Gangguan Pendengaran
- Mulai pada ambang dengar pada hasil pitch match (5 dB di bawah ambang
dengar)
- Atur kenaikan setiap 1 dB
- Tanyakan apakah bunyi yang diberikan sama, lebih keras atau lebih pelan dari
tinitusnya
- Bandingkan bunyi tone atau noise (berikan masing-masing stimulus selama
bebrapa detik)
- Tanyakan buni stimulus yang mana yang mirip dengan tinitusnya
- Jika pasien memilih tone (pemeriksaan selesai)
- Jika pasien memilih noise (berikan stimulus narrow band noise atau
broadband noise)
- Tanyakan stimuus bunyi mana yang mirip dengan bunyi tinitusnya
- Atur kenaikan setiap 1 dB
126
Modul VI.1−Gangguan Pendengaran
Terapi Akustik
Definisi. Penggunaan suara eksternal untuk mengurangi keluhan tinitus
Jenis.
- Tinitus ringan (malam hari), menggunakan musik, tabletop, sound generator
- Tinitus ringan-sedang (sepanjang hari), mengunakan wearable sound
generator
- Tinitus berat dan gangguan pendengaran, mengunakan ABD dan sound
generator
i. Ototoksik
Ototoksisitas adalah kemampuan obat untuk menginduksi kerusakan telinga
bagian dalam yang secara klinis diamati sebagai gangguan pendengaran dan atau
gangguan keseimbangan. Obat yang paling sering menyebabkan ototoksisitas
adalah aspirin, loop diuretik, antibiotik aminoglikosida, dan obat-obatan
antineoplastik seperti cisplatin atau carboplatin.
Patofisiologi
Aminoglikosida
Aminoglikosida memasuki sel rambut melalui suatu perantaraan transduser
mekanoelektrikal. Aminoglikosida kemudian membentuk suatu kompleks dengan
besi (AG-Fe), yang kemudian bisa bereaksi dengan donor elektron untuk
membentuk spesies oksigen reaktif (SOR, sebagai contoh hidrogen peroksida).
SOR mengaktifkan JNKs (c-Jun N-Terminal kinase), yang mengaktifkan gen-gen
127
Modul VI.1−Gangguan Pendengaran
Loop Diuretic
Obat loop diuretic seperti furosemide dan bumetanide adalah diuretik kuat karena
menghambat reabsorpsi elektrolit dan air pada cabang dari lengkung henle. Obat
ini hanya memberikan sedikit efek samping pada gangguan pendengaran dan
biasanya bersifat ringan.
Obat Antineoplastic
Penggunaan cisplatin menyebabkan ototoksitas karena mempengaruhi koklea,
kerusakan struktur yang menonjol pada awalnya adalah pada sel rambut luar dan
stria vascularis, sehingga menyebabkan penurunan pendengaran pada frekuensi
tinggi. Jika paparan berlangsung terus maka penurunan pendengaran berkembang
ke frekuensi menengah sampai pada semua frekwensi dan sering akhirnya menjadi
menetap
Diagnosis
Ditegakkan berdasarkan anamesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang.
Pada pemeriksaan penala didapatkan hasil, gambaran Rinne positif, Weber tidak
ada lateralisasi atau lateralisasi ke telinga yang lebih baik dan Schwabach yang
memendek. Pemeriksaan lain yang dapat dilakukan adalah pemeriksaan
audiometrik nada murni konvensional dengan rentang frekuensi 250 Hz – 8
KHz.
Tatalaksana
Tidak ada penatalaksanaan khusus dalam menangani kasus tuli sensorineural akibat
penggunaan obat yang bersifat ototoksik, bila terjadi gejala-gejala ototoksik maka
terapi harus dihentikan. Kerusakan yang terjadi bersifat irreversible jadi kita hanya
bisa mencegah agar kerusakan yang terjadi tidak meluas atau semakin parah
128
Modul VI.1−Gangguan Pendengaran
129