Anda di halaman 1dari 100

STANDAR

PELAYANAN RADIOLOGI

PERHIMPUNAN DOKTER SPESIALIS RADIOLOGI


INDONESIA
STANDAR PELAYANAN RADIOLOGI

@2011 pada penyusun

Editor: Bambang Budyatmoko

Kontributor Naskah:

• A. Tenri A.Siswanto Avianti Djurzan Bambang B


• Chunadi Ermanta Daniel Makes M. Djakaria
• Indrati Suroyo Iwan Ekayuda Jacub Pandelaki
• Kahar Kusumawidjaja M. Yamin N. Diana Yulisa
• Patricia M. Widjaja Prijo Sidipratomo Paulus Raharjo
• Sawitri Darmiati Sudarmo S. P Tonny Kuncoro

ISBN: 978-979-755-155-1

Cetakan pertama 2011

PERHIMPUNAN DOKTER SPESIALIS RADIOLOGI SELURUH


INDONESIA (PDSRI)

HAK CIPTA DILINDUNGI OLEH UNDANG-UNDANG


Dilarang keras mengutip, menjiplak atau memfotokopi baik
sebagian maupun seluruh isi buku ini serta memperjualbelikannya
tanpa mendapat izin tertulis dari penyusun.

i
KATA PENGANTAR
Standar Pelayanan Radiologi merupakan suatu kebutuhan yang amat penting dan harus ada dalam
organisasi.

Standar pelayanan radiologi ini digunakan sebagai acuan oleh dokter spesialis radiologi, organisasi
profesi, rumah sakit, pusat-pusat pendidikan atau lembaga lainnya. Persiapan untuk membuat
standar ini sudah dirintis sejak lama, bermula dari kebutuhan PDSRI Jaya kemudian dalam
perjalanan waktu, berkembang menjadi kebutuhan rumah sakit, dan lembaga kesehatan lainnya.
Buku ini akan selalu diperbaiki, sesuai dengan perkembangan ilmu radiologi dan situasi kesehatan
masyarakat Indonesia.

Di dalam buku ini dibahas mengenai ketentuan standar pelayanan secara umum, pedoman dan
petunjuk praktik radiologi, standar teleradiologi, radio diagnostik pada gawat darurat, pemeriksaan
radiologi konvensional, pemeriksaan radiologi dengan kontras, dan pemeriksaan ultrasonografi,
CT Scan, MRI, Doppler USG, radiologi nuklir serta radiologi intervensional.

Standar pelayanan radio diagnostik ini bukanlah suatu hal yang sudah sempurna, dan sesuai
dengan perkembangan ilmu radiologi, melainkan harus selalu diperbaiki dan ditambah secara
terus menerus. Oleh karena itu saran-saran perbaikan sangat kami harapkan.

Akhir kata banyak terima kasih kami ucapkan kepada contributor buku ini: dr. A. Tenri
A.Siswanto,SpRad, dr. Aviyanti Djurzan,SpRad, dr. Bambang Budyatmoko,SpRad, Prof dr
Chunadi Ermanta SpRad, dr. Daniel Makes,SpRad, Prof. dr. H.M.Djakaria, SpRad, dr. Indrati
Suroyo, SpRad, dr. Iwan Ekayuda, SpRad, dr. Jacub Pandelaki, SpRad, dr.Kahar Kusumawidjaja,
SpRad, dr M Yamin Sp Rad dan kawan-kawan, dr.N.Diana Yulisa,SpRad, dr.Patricia
M.Widjaja,SpRad, dr. Prijo Sidipratomo Sp Rad, dr. Paulus Rahardjo SpRad, dr. Sawitri
Darmiati,SpRad, Prof. dr. Sudarmo S.Purwohudoyo, SpRad, serta dr. Tonny Kuncoro S, SpRad,
atas saran dan kontribusi yang sudah diberikan.

Kepada semua pihak yang telah ikut berpartisipasi dalam pembuatan naskah ini, kami ucapkan
pula terima kasih yang tiada terhingga. Semoga hasil karya ini dapat bermanfaat bagi semua.

Wassalam,

Jakarta, 6 September 2011 Editor

Bambang Budyatmoko

ii
DAFTAR ISI

Kata Pengantar ii

Daftar Isi iii

Bab 1 Pendahuluan 1

Bab 2 Ketentuan Umum Standar,Pedoman, dan Petunjuk Praktik Radiologi 2

Bab 3 Standar Teleradiology Indonesia 4

Bab 4 Prosedur Pemeriksaan Radiologi Standar pada Keadaan Gawat Darurat 6

A. Trauma Serviko Torako Lumbal 6


B. Trauma Kepala 6
C. Pemeriksaan CT Scan Kepala 6
D. Trauma Dada 7
E. Trauma pada Traktus Urinarius 7
F. Trauma pada Hati 7
G. Trauma pada Lien 8
H. Trauma Orbita 8
I. Akut Abdomen 8
J. Invaginasi 9
K. Aspirasi Benda Asing 9
L. Atresia Ani 9

Bab 5 Prosedur Pemeriksaan Radiologi Konvensional 10

A. Pemeriksaan Radiologi Konvensional Tanpa Kontras 10


B. Pemeriksaan Traktus Respiratorius Bagian Atas 10
C. Pemeriksaan Tulang Kepala 10
D. Pemeriksaan Tulang Temporal 11
E. Tulang-tulang Ekstremitas 11
F. Pemeriksaan Tulang Belakang 11
G. Pemeriksaan Radiologi Konvensional dengan Kontras 11
H. Protokol Pemeriksaan pada Abdomen Polos/PIV 15
I. Sistografi 17
J. Uretrosistografi 18
K. MSU (Micturating Sisto Uretrography) 18

iii
L. Bipolar Sistografi 19
M. Pielografi Retrograd 19
N. Mielografi 20
O. Histerosalpingografi (HSG) 22
P. Arthrografi 23
Q. Pelvimetri 24
R. Mammografi 24
S. Galaktografi 25

Bab 6 Pemeriksaan Ultrasonografi (USG) Abdomen dan Pelvic 26

A. Pemeriksaan USG Abdomen 26


B. Pemeriksaan Pelvis 27
C. Sonografi Kranium 27
D. Pemeriksaan USG Payudara 28
E. Pemeriksaan USG Muskuloskeletal 29

Bab 7 Pemeriksaan USG Doppler Pembuluh Darah 30

A. Pemeriksaan Doppler Pembuluh Darah di Pelvik 30


B. Pemeriksaan Doppler Pembuluh Darah Ekstremitas Inferior 31
C. Pemeriksaan Doppler Pembuluh Darah Ekstremitas Superior 33

Bab 8 Pemeriksaan Radiologi Nuklir 34

A. Kelenjar Tiroid 34
B. Ginjal 35
C. Tulang 40
D. Saluran Cerna 41
E. Onkologi 42
F. Terapi 43

Bab 9 Pemeriksaan PETSCAN 46

Bab 10 Pemeriksaan Angiografi 47

A. Persiapan Angiografi 47
B. Radiologi-Neuroradiologi Intervensional 48
C. Pemeriksaan Angiografi 50
D. Teknik Arteriografi 56
E. Venografi Ekstremitas Inferior 58

iv
Bab 11 Kontras Media 59

Tinjauan Umum Tentang Kontras Media 59


Aplikasi Kontras Media pada MRI 64

Bab 12 Protokol Pemeriksaan CT Scan 66

A. CT Scan Otak 66
B. CT Scan Hipofisis 66
C. CT Scan Telinga/OS. Petrosum 66
D. CT Scan Orbita 66
E. CT Scan Nasofaring, Orofaring, Lidah 67
F. CT Scan Laring (Pita Suara) 67
G. CT Scan Tiroid 67
H. CT Scan Sinus Paranasalis 68
I. CT Scan Toraks 68
J. CT Scan Abdomen Atas 68
K. CT Scan Abdomen Bawah/Pelvis 69
L. CT Scan Spinal 69

Bab 13 Pemeriksaan MSCT Cardiac 70

Bab 14 Pemeriksaan CT Angiografi 73

A. Pemeriksaan MSCT –Scan Leher Khusus (CTA Carotis) 73


B. Pemeriksaan CT Angiografi Aorta Abdominalis (CTA Abdominalis) 74
C. Pemeriksaan CT Angiografi Tungkai Bawah (CTA RUN OFF) 75

Bab 15 Pemeriksaan MRI 77

A. Protokol Standar untuk Pemeriksaan MRI Ekstremitas 77


1. Ekstremitas Atas 77
2. Ekstremitas Bawah 79
B. Protokol Standar untuk Pemeriksaan MRI Kepala 82
C. Protokol Standar untuk Pemeriksaan MRI Kolumna Vertebrae 89
1. Vertebrae Servikal 89
2. Vertebrae Torakal 90
3. Vertebrae Lumbo-Sakral 90
D. Protokol Pemeriksaan MRI Abdomen dan Pelvis 91
1. MRI Abdomen 91
2. MRCP 92
3. MRI Pelvis 92
E. Protokol Pemeriksaan MRI Breast dan Cardiac 93
1. Pemeriksaan MRI Breast 93
2. Pemeriksaan MRI Cardiac 94
v
BAB 1 PENDAHULUAN
Radiologi adalah cabang ilmu kedokteran yang berhubungan dengan penggunaan semua
modalitas yang menggunakan energy radiasi pengion maupun non-pengion, untuk
kepentingan imaging diagnosis dan prosedur terapi dengan menggunakan panduan radiologi.
Teknik pencitraan dan penggunaan emisi radiasi dengan sinar-X, radioaktif, dan radiasi radio
frekwensi elektromagnetik oleh atom-atom juga termasuk dalam radiologi.
Keanggotaan Perhimpunan Dokter Spesialis Radiologi Indonesia(PDSRI) menjamin hak dan
wewenang seorang dokter spesialis radiologi(Sp.Rad). PDSRI sekaligus menuntut dedikasi
para anggotanya terhadap pelaksanaan Kode Etik Kedokteran Indonesia dalam pelayanan
radiologi. KODEKI merupakan landasan etik pelayanan radiologi di Indonesia.

Pelayanan Radiologi pada hakikatnya harus bisa memberikan tindakan medis yang aman,
efektif, dan berperikemanusiaan. Selain itu tindakan medis yang dilakukan harus berdasarkan
ilmu kedokteran mutakhir, dan teknologi tepat guna dengan mendayagunakan sumber daya
manusia yang berkompeten dan profesional. Kompetensi dan keprofesionalan sangat penting
dalam menggunakan peralatan dan obat-obatan yang sesuai dengan standar, pedoman, dan
petunjuk profesi radiologi Indonesia.

Berikut ini ruang lingkup pelayanan radiologi.


1. Pelayanan radiologi dengan modalitas yang terkait dengan X-ray.
2. Prosedur pencitraan dan intervensi dengan menggunaka Fluoroskopi.
3. Pelayanan pemeriksaan Mammografi.
4. Pelayanan pemeriksaan Bone Mineral Densitometri.
5. Pelayanan pemeriksaan dan intervensi dengan USG.
6. Pelayanan pemeriksaan Doppler.
7. Pelayanan pemeriksaan dan intervensi dengan CT-Scan.
8. Pelayanan pemeriksaan dan intervensi dengan MRI.
9. Diagnostik dan Intervensi Angiography/Angiografi.
10. Pelayanan Radiologi Nuklir.
11. PET Scan.
12. Prosedur ablasi dan Crio/Thermoablasi.
Tujuan pelayanan radiologi adalah sebagai berikut.
1. Memberikan pelayanan radiologi yang memberikan informasi pencitraan untuk
diagnostik maupun pengobatan pasien atau untuk medical check up. Dalam hal ini
termasuk radiologi konvensional, USG, Study Doppler, Densitometri tulang,
Mammografi, CT Scan, MRI, Radiologi Nuklir, dan PET/CT.
2. Memberikan Pelayanan dalam tindakan diagnostik dan intervensi angiografi.

Kewajiban professional seorang dokter spesialis radiologi diuraikan dalam sumpah profesi,
etik profesi, standar profesi, dan prosedur operasional yang berlaku. Dalam melaksanakan
profesi dokter spesialis radiologi, diperlukan adanya rambu-rambu yang memberikan
perlindungan hukum baik bagi pemberi layanan maupun bagi penerima layanan medis. Berikut
ini akan dipaparkan tentang standar, pedoman, dan petunjuk praktik radiologi Indonesia yang
dapat dipakai sebagai acuan pelayanan radiologi di Indonesia.
1
BAB 2 KETENTUAN UMUM STANDAR, PEDOMAN,
DAN PETUNJUK PRAKTIK RADIOLOGI
Standar pelayanan radiologi merupakan ketentuan-ketentuan atau persyaratan minimum
untuk pelayanan radiologi di seluruh Indonesia.

Standar-standar ini berkembang melalui berbagai proses berdasarkan consensus yang


diterima secara luas dan pertimbangan bukti ilmiah. Standar-standar ini dapat disesuaikan
pada keadaan-keadaan yang tidak lazim, misalnya kedaruratan yang ekstrim,
ketidaktersediaan peralatan, dan lain-lain. Pengurus Cabang Radiologi dapat membuat
Standar Pelayanan Radiologi untuk wilayahnya dengan mengacu pada Standar Pelayanan
Radiologi Indonesia (PDSRI).

Syarat ini juga tidak boleh diabaikan untuk tingkat/kelas rumah sakit tipe D, sedangkan
pada rumah sakit propinsi dan rumah sakit pendidikan wajib dipatuhi. Adalah menjadi
kewajiban dan wewenang Pemerintah untuk memenuhi kebutuhan tenaga dokter spesialis
radiologi agar tercapai pelayanan radiologi yang berkualitas, aman, dan profesional.

A. Standar Tenaga Radiologi


1. Pelayanan Radiologi

Pelayanan radiologi adalah bagian vital dari pelayanan kesehatan dasar yang memerlukan
tenaga/personil yang kompeten. Tindakan radiologi adalah tindakan medis dan dilakukan
oleh tenaga medis yang telah mendapat pendidikan/pelatihan yang legal.

2. Jenjang Kompetensi Pelayanan Radiologi

Pelayanan radiologi dilakukan oleh dokter spesialis radiologi (SpRad) dan/atau dokter
spesialis radiologi konsultan (SpRad K). Bila tidak ada SpRad dan SpRad K, pelayanan
radiologi dilakukan oleh dokter peserta didik program spesialis radiologi. Berikut ini
penjelasan masing-masing kompetensi dokter radiologi.

a. Dokter Spesialis Radiologi

Dokter Spesialis Radiologi adalah dokter yang telah menyelesaikan program pendidikan
dokter spesialis radiologi di pusat pendidikan yang diakui atau lulusan luar negeri yang telah
melakukan adaptasi dan Ujian Nasional BPNRI, serta mendapat Surat Tanda Registrasi
(STR).

b. Dokter Spesialis Radiologi Konsultan (SpRad K)

Dokter Spesialis Radiologi Konsultan adalah dokter spesialis radiologi yang telah
mendalami salah satu cabang ilmu radiologi yang telah diakui oleh PDSRI. Tanggung jawab
dan kompetensinya sama dengan dokter spesialis radiologi, dan bertindak sebagai konsultan

2
dalam bidang pendidikan keilmuannya.

c. Peserta Program Dokter Spesialis Radiologi -1 (PPDS-1)

Peserta program dokter spesialis radiologi-1, yaitu dokter yang sedang menjalani
program pendidikan untuk menjadi dokter spesialis radiologi di pusat-pusat pendidikan
yang diakui PDSRI. PPDS-1 tersebut dapat melakukan tindakan radiologi di rumah sakit
pendidikan dan di rumah sakit mitra pendidikan (rumah sakit jejaring), serta bertanggung
jawab sesuai dengan tingkat kompetensinya.

3. Pelayanan Radiologi pada kondisi tertentu

a. Di rumah sakit yang tidak memiliki SpRad


Di rumah sakit yang tidak memiliki SpRad tetapi di wilayah/daerah tersebut ada SpRad,
maka rumah sakit yang bersangkutan harus meminta bantuan kepada SpRad tersebut untuk
pelayanan radiologi sesuai dengan aturan departemen kesehatan yang berlaku (kepmenkes
512 psl 9-10). Oleh karena itu, perlu dibangun jejaring pelayanan radiologi.

b. Di wilayah yang tidak ada SpRad


Bila tidak ada SpRad di wilayah/daerah tersebut, tanggung jawab medis radiologi di rumah
sakit yang memerlukan pelayanan radiologi dilimpahkan kepada dokter yang mempunyai
sertifikat kompetensi terbatas dari Kolegium Radiologi Indonesia yang berlaku untuk
jangka waktu 1 tahun. Jika sudah ada SpRad di tempat tersebut maka wewenang tersebut
otomatis di serahkan kepada spesialis radiologi.

B. Standar Pelayanan Radiologi

Standar-stadar pelayanan radiologi ini berlaku bagi semua pasien yang mendapat
pelayanan radiologi, kecuali bila terjadi keadaan darurat, maka tindakan bantuan hidup harus
didahulukan. Dalam keadaan yang tidak biasa sehingga penyimpangan dapat diterima,
misalnya kedaruratan ekstrim, dokter SpRad yang bertanggung jawab dapat memodifikasi
standar ini. Dianjurkan bahwa bila ini dilakukan harus dicatat dalam rekam medis pasien,
berikut dengan alasannya.

3
BAB 3 STANDAR TELERADIOLOGI INDONESIA
A. Definisi Teleradiologi

Teleradiologi adalah transmisi elektronik gambar radiografi dari semua modalitas


radiologi kepada spesialis radiologi secara langsung atau sesegera mungkin dari satu lokasi
ke lokasi yang lain, yang dapat dikerjakan untuk tujuan interpretasi dan konsultasi serta
untuk memberikan pelayanan terbaik bagi pasien.

B. Persyaratan Teleradiologi

Dalam pelaksanaannya, teleradiologi harus memenuhi persyaratan sebagai berikut.

1. Teleradiologi hanya dilakukan oleh dokter spesialis radiologi.


2. Teleradiologi dapat dikerjakan apabila persyaratan sudah sesuai dengan standar pelayanan
teleradiologi dan disetujui oleh PDSRI(Perhimpunan Dokter Spesialis Radiologi
Indonesia) Pusat setelah mendapat rekomendasi PDSRI cabang.
3. Teleradiologi dapat dilaksanakan oleh pelayaan kesehatan yang berada dalam wilayah
Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) dan ke atau dari luar negeri.
4. Teleradiologi harus tetap menhaga kerahasiaan data pasien sesuai dengan undang- undang
kesehatan yang berlaku.
5. Teleradiologi selamanya selalu dikembangkan untuk kepentingan pasien yang terbaik
berdasarkan keamanan pasien dan standar pelayanan kesehatan yang berlaku.
6. Perlengkapan atau peralatan dan manfaat teleradiologi selalu dievaluasi minimal satu tahun
sekali oleh PDSRI sesuai PERMENKES No.1014/MENKES/SK/XI/2008 tentang Standar
Pelayanan Radiologi Diagnostik.
7. Seluruh konsultasi teleradiologi ke luar negeri harus sesuai dengan peraturan PB IDI.

C. Pelaksanaan Teleradiologi

1. Teleradiologi yang digunakan untuk konsultasi ke Negara lain dapat dikerjakan atas
persetujuan tertulis pasien atau pengampu dan setelah ada kesepakatan termasuk jasa
teleradiologi antara sarana kesehatan dan ahli radiologi dengan pihak luar negeri.
2. Teleradiologi harus mengacu dan tidak boleh bertentangan dengan undang-undang Praktik
Kedokteran Indonesia dan PERMENKES 512.
3. Teleradiologi tidak dapat digunakan oleh sarana kesehatan/rumah sakit untuk bekerja sama
dengan institusi atau dokter spesialis radiologi luar negeri kecuali sepengetahuan dan seijin
dokter spesialis radiologi setempat dan ijin tertulis PDSRI Pusat.

D. Teleradiologi untuk daerah terpencil

Teleradiologi untuk daerah terpencil dapat memanfaatkan departemen radiologi dari rumah
sakit pendidikan yang berada di propinsi tersebut. Teleradiologi di daerah terpencil dapat pula
memanfaatkan sarana pelayanan kesehatan propinsi terdekat atau rumah sakit jejaring yang
mampu melaksanakan, sampai ada dokter spesialis radiologi yang bertugas atau seijin dokter
spesialis radiologi yang bertugas ditempat tersebut.

4
E. Interpretasi Teleradiologi

1. Teleradiologi dapat dimanfaatkan oleh profesi kesehatan yang lain (selain dokter spesialis
radiologi) sebagai konsultasi saja dan bukan untuk membuat laporan interpretasi
(ekspertise).
2. Laporan interpretasi teleradiologi dapat dibuat tertulis atau dikomunikasikan langsung ke
departemen radiologi setempat atau klinisi yang meminta, serta dapat didiskusikan sesuai
kebutuhan.
3. Laporan interpretasi teleradiologi dapat dikomunikasikan langsung ke departemen
radiologi yang terkait atau klinisi yang meminta, serta dapat didiskusikan sesuai
kebutuhan.
4. Laporan interpretasi atau konsultasi teleradiologi oleh dokter spesialis radiologi di tempat
praktik dapat dikirim dan dicetak dari jarak jauh tanpa memerlukan tanda tangan. Akan
tetapi pada lembar interpretasi dicantumkan interpretasi atau konsultasi ini dibuat
berdasarkan teleradiologi.
5. Hasil interpretasi atau konsultasi teleradiologi harus dapat dipertanggungjawabkan serta
sesuai dengan peraturan dan undang-undang yang berlaku di wilayah NKRI.

F. Kwalitas Teleradiologi

Perlengkapan atau peralatan untuk melakukan proses teleradiologi, secara keseluruhan


memiliki kwalitas hasil pencitraan (imaging) yang dapat diinterpretasi.

G. Jasa Teleradiologi.
1. Jasa interpretasi teleradiologi minimal sama dengan jasa interpretasi radiologi.
2. Jasa konsultasi teleradiologi kepada dokter spesialis radiologi lain minimal dibagi sama
rata.
3. Jasa konsultasi teleradiologi dari profesi kesehatan lain pada sarana pelayanan
kesehatan yang tidak memiliki dokter spesialis radiologi besarnya minimal sama
dengan jasa interpretasi radiologi.
4. Jasa konsultasi teleradiologi ke luar negeri besranya sesuai dengan kesepakatan
kerjasama yang dibuat bersama.

H. Hasil Interpretasi Teleradiologi


Hasil interpretasi konsultasi teleradiologi mencantumkan nama dokter spesialis radiologi
yang meminta dan dokter spesialis radiologi yang menjawab konsultasi.

5
BAB 4 PROSEDUR PEMERIKSAAN RADIOLOGI
STANDAR PADA KEADAAN GAWAT DARURAT
A. Trauma Serviko Torako Lumbal
1. Tujuan pemeriksaan serviko lumbal
Tujuan pemeriksaan radiologi standar pada traima serviko torako lumbal adalah
sebagai berikut.
a. Memperlihatkan fraktur, fragmen fraktur, dan memperlihatkan komplikasi yang
ditimbulkan oleh trauma di daerah tersebut.
b. Memperlihatkan adanya korpus alienum seperti proyektil pada luka tembak.
2. Teknik pemeriksaan
Teknik-teknik pemeriksaan radiologi standar yang dilakukan terhadap pasien trauma
serviko torako lumbal adalah sebagai berikut.
a. Foto polos
b. CT Scan
c. MRI
Dalam praktiknya, foto polos cukup dibuat dua posisi saja (AP dan lateral) dan diusahakan
untuk tidak memanipulasi pasien. CT scan atau MRI dilakukan apabila informasi dari
foto polos kurang mencukup, atau apabila trauma diduga mengenai medulla spinalis.

B. Trauma Kepala
1. Tujuan pemeriksaan trauma kepala
Tujuan pemeriksaan trauma kepala adalah untuk menemukan fraktur, perdarahan ekstra dan
intra serebral serta komplikasi lain akibat trauma. Untuk GCS kurang dari 14 atau cedera
kepala berat, segera gunakan CT scan kepala. Untuk trauma wajah dapat dibuat foto
Waters bila keadaan memungkinkan atau CT csan 3D.
2. Teknik pemeriksaan
Foto polos kepala dibuat AP dan lateral saja. Sebaiknya pada foto lateral digunakan sinar
horizontal sehingga daerah servikal masuk lapangan radiografi. Dilarang memanipulasi
pasien, terutama bila diduga adanya fraktur servikal. Untuk trauma wajah dapat
digunakan foto Waters bila keadaan memungkinkan atau CT scan 3D.

C. Pemeriksaan CT scan kepala


Pemeriksaan CT scan kepala dilakukan dengan posisi pasien berbaring, dengan potongan
aksial. Apabila perlu dilakukan potongan lebih, maka pemotongannya dilakukan dibawah
garis OM line (REIDS). Pemeriksaan CT scan kepala juga dilakukan apabila pasien
dicurigai mengalami fraktur tulang-tulang wajah dan basis crania. Selain itu, pemeriksaan
CT scan kepala dilakukan dalam reformatting sagital atau koronal dan tiga dimensi
window tulang pada daerah fraktur dan kontras media tidak digunakan.

6
D. Trauma Dada
1. Tujuan pemeriksaan radiologi standar pada trauma dada
Pemeriksaan radiologi juga dilakukan untuk trauma dada dengan tujuan sebagai berikut.
a. Mencari adanya fraktur tulang-tulang dinding dada.
b. Mencari adanya benda asing (luka tembak)
c. Mencari adanya kelainan pada mediastinum.
d. Mencari adanya hematotoraks, pneumotoraks, dan efusi pleura.
2. Teknik pemeriksaan
Pada trauma dada, pemeriksaan dilakukan dengan foto polos AP dan lateral sebagai data
dasar untuk mencari adanya fraktur, pneumotoraks, hematotoraks, benda asing, dan
melihat kelainan diafragma sinus. Pemeriksaan trauma dada dengan USG digunakan untuk
melihat adanya efusi pleura. Sedangkan pemeriksaan trauma dada dengan CT scan
digunakan untuk melihat pneumotoraks tersembunyi, adanya benda asing atau adanya
dugaan cedera pembuluh darah (dissecting aorta). Pada keadaan ini digunakan kontras media.

E. Trauma pada Traktus Urinarius


1. Tujuan pemeriksaan radiologi standar pada Traktus Urinarius
Tujuan pemeriksaan radiologi pada traktus urinarius dilakukan untuk melihat
kemungkinan adanya kontusio, laserasi atau ruptur ginjal, dan buli-buli.
2. Teknik pemeriksaan
Teknik pemeriksaan trauma pada traktus urinarius dilakukan denga foto polos abdomen
untuk melihat adanya fraktur pada tulang-tulang, melihat perubahan udara usus dan garis
psoas, serta peritoneal fat line.
3. Pemeriksaan PIV
Pemeriksaan PIV dilakukan untuk melihat fungsi ginjal, sistem kalises-ektravasasi
kontras pada ginjal dan buli-buli, tanpa persiapan dan tanpa kompresi pada perut. Apabila
perlu dilakukan dengan menggunakan kontras dosis ganda. USG dan CT scan digunakan
untuk menilai parenkim ginjal, struktur buli-buli, dan organ sekitarnya. Pemeriksaan USG
dan CT scan dilakukan untuk memperlihatkan adanya hematom di dalam buli-buli dan
organ sekitarnya, serta memperlihatkan adanya ruptur organ. Pemeriksaan ini digunakan
untuk melengkapi pemeriksaan terdahulu bila hasilnya masih meragukan. Khusus pada
USG ginjal, hasilnya dapat digunakan sebagai screening, bila dicurigai adanya kontusio
atau ruptur ginjal, dan buli-buli.

F. Trauma pada Hati


1. Tujuan pemeriksaan radiologi standar pada trauma hati
Tujuan pemeriksaan radiologi standar pada trauma hati adalah untuk memperlihatkan
adanya laserai atau hematom serta ruptur dari lobus-lobus hati.
2. Teknik pemeriksaan
Pemeriksaan trauma hati dilakukan melalui pemeriksaan USG hati. Hal ini dilakukan untuk
melihat struktur parenkhim hati, melihat adanya hematom intra parenkimal, atau
pericapsular. Apabila pemeriksaan USG sulit dilakukan pada orang-orang yang gemuk atau
terdapat banyaknya udara di usus dan mengganggu pemeriksaan dengan USG, maka
dilakukan pemeriksaan dengan CT scan.
7
G. Trauma pada Lien
1. Tujuan pemeriksaan radiologi standar untuk trauma pada lien
Pemeriksaan radiologi standar untuk trauma pada lien bertujuan untuk memperlihatkan
kemungkinan adanya ruptur limpa.
2. Teknik pemeriksaan
Pemeriksaan trauma pada lien dilakukan dengan USG untuk memperlihatkan adanya
hematom intrakapsular serta adanya ruptur pada limpa. Pemeriksaan CT scan hanya
dilakukan bila pemeriksaan USG hasilnya meragukan.
H. Trauma Orbita
1. Tujuan pemeriksaan radiologi standar pada trauma orbita
Pemeriksaan radiologi standar pada trauma orbita bertujuan untuk memperlihatkan adanya
fraktur dinding orbita serta memperlihatkan adanya benda asing, radio opak, dan
hematom sekitar orbita.
2. Teknik pemeriksaan
Pemeriksaan pada trauma orbita dilakukan dengan foto polos AP, lateral, dan Caldwell untuk
memperlihatkan adanya fraktur dinding orbita. Pemeriksaan juga dapat dilakukan
menggunakan metode Pfeiper Comberg untuk memperlihatkan benda asing pada orbita intra
atau ekstra ocular. Bila diperlukan, pemeriksaan dapat menggunakan CT scan dengan
potongan aksial dan koronal.

I. Akut Abdomen
1. Tujuan pemeriksaan radiologi standar pada akut abdomen
Pemeriksaan radiologi standar untuk akut abdomen bertujuan sebagai berikut.
a. Memperlihatkan adanya perforasi usus.
b. Mencari adanya tanda sumbatan traktus gastrointestinal (obstruksi ileus), atau
paralityk ileus.
c. Menilai adanya distensi usus besar dan usus kecil.
d. Mencari adanya udara bebas, asites, kalsifikasi intra dan ekstra peritoneal dan
dinding abdomen.
2. Teknik pemeriksaan
a. Pemeriksaan abdomen dilakukan dengan tiga posisi:
1) Terlentang.
2) ½ duduk ( ½ toraks dan ½ abdomen )
3) Lateral dekubitus.
b. Pada penderita yang payah pemeriksaan dilakukan seperti berikut
1) Posisi AP terlentang.
2) Posisi terlentang, sinar horizontal.
3) Lateral dekubitus kalau mungkin, atau posisi semi erect dengan fluoroskopi.
c. Lain-lain:
Untuk melihat udara di rectum, gunakan posisi telungkup, dengan sinar horizontal. Pada
kasus bayi dan anak gunakan posisi terlentang AP dan posisi lateral. Gunakan sinar
horizontal bila perut sangat kembung. Bila perut tidak terlalu kembung, gunakan
posisi telungkup, dengan sinar horizontal.

8
J. Invaginasi
Pemeriksaan radiologi standar pada invaginasi bertujuan untuk mendiagnosis dan
melakukan tindakan terapi bila memungkinkan. Teknik pemeriksaan yang dilakukan adalah
sebagai berikut.
1. Foto polos terlentang.
2. AP untuk melihat distribusi udara usus.
3. USG untuk melihat adanya tanda Dough Nut atau Pseudokidney Diagnosis dan
terapinya dilakukan dengan barium enema dan tinggi permukaan kontras dengan meja
pasien tidak lebih dari 100cm;
4. Tidak boleh menggunakan massage(pemijatan) untuk mendorong kontras.
5. Tindakan reposisi dengan barium dikatakan gagal apabila setelah dicoba sebanyak 3
kali tidak berhasil.
6. Tindakan barium enema tidak dilakukan bila sudah terjadi tanda-tanda peritonitis.

K. Aspirasi Benda Asing


Pemeriksaan radiologi dilakukan dengan tujuan untuk menemukan benda asing, radio opak
atau menemukan akibat dari benda asing tersebut. Benda-benda asing yang dimaksud
adalah:
1. Uang logam
Apabila benda asing tersebut adalah logam maka dapat dilakukan pemeriksaan foto
toraks dan abdomen dan bila perlu dilakukan pemeriksaan fluoroskopi untuk melihat benda
asing di daerah servikal.
2. Aspirasi benda non radio opak, misalnya kacang
Untuk kasus seperti ini pemeriksaan dilakukan dengan membuat foto toraks dalam kondisi
inspirasi dan ekspirasi untuk menemukan adanya atelektasis atau fokal emfisema distal
dari daerah sumbatan.
3. Duri ikan atau jarum yang tertelan
Untuk kasus seperti ini, pemeriksaan dilakukan dengan membuat foto daerah servikal
kondisi jaringan lunak untuk menemukan benda asing tersebut. Apabila benda asing
tersebut tidak ditemukan, gunakan kontras barium dengan sebelumnya menelan kapas
terlebih dahulu agar lokasi dapat dilakukan dengan tepat. Apabila diperlukan dapat
menggunakan CT scan.

L. Atresia Ani
Tujuan pemeriksaan radiologis pada atresia ani adalah untuk memperlihatkan jenis atresia
ani, letaknya, (tinggi atau rendah). Batasnya adalah garis pubo koksigeus. Pemeriksaannya
dapat dilakukan dengan cara membuat foto polos pada posisi rectum di atas kira-kira selama
3 sampai dengan 5 menit. Setelah itu dilakukan identifikasi apakah udara terletak dibawah
garis pubo koksigeus atau diatas garis tersebut. Cara identifikasinya pasien dalam posisi
bersujud (prone), sinar horizontal atau gunakan USG dengan mengukur jarak dari kulit.

9
BAB 5 PROSEDUR PEMERIKSAAN RADIOLOGI
KONVENSIONAL
Pemeriksaan radiologi konvensional adalah pemeriksaan radiologi yang ditujukan kepada
organ-organ toraks dan traktus respiratorius bagian atas tulang, dan sistem musculoskeletal,
traktus urinarius dan sistem reproduksi, traktus digestivus, serta organ superficial: mammae-
tiroid-testis, dan jaringan lunak lainnya. Pemeriksaan radiologi konvensional ini dilakukan
tanpa kontras dan dengan kontras.

A. Pemeriksaan radiologi konvensional tanpa kontras


Pemeriksaan-pemeriksaan radiologi konvensional tanpa kontras yang sering dilakukan antara
lain sebagai berikut:
1. Foto toraks
Tujuan pemeriksaan ini adalah untuk memperlihatkan struktur morpologi organ- organ dalam
rongga toraks seperti jantung dan pembuluh darah besar, paru-paru, rongga pleural, serta
struktur organ lain dalam rongga mediatinum dan paru.
Foto toraks dibuat dalam posisi PA dan sebaiknya disertai dengan foto lateral untuk
memperlihatkan kelainan-kelainan dalam dua dimensi. Bila diperlukan dibuat foto top lordotic
untuk memperlihatkan bagian atas paru-paru. Untuk memperlihatkan struktur jantung dan
pembuluh darah besar dilakukan pemeriksaan Cor analisis dengan meminum barium sebelum
pembuatan foto dada pada PA lateral. Untuk penderita-penderita payah hanya diperlukan
foto dalam posisi berbaring.

B. Pemeriksaan Traktus Respiratorius Bagian Atas


Yang paling sering diperlukan adalah pemeriksaan sinus paranasal. Tujuan pemeriksaan ini
adalah memperlihatkan struktur sinus paranasal, septum nasi, konka nasalis, dan adenoid.
Untuk jenis pemeriksaan ini dibutuhkan foto Waters dengan mulut terbuka dan foto lateral.
Bila perlu dibuat foto AP kepala.

C. Pemeriksaan Tulang Kepala


Pemeriksaan foto kepala bertujuan untuk memperlihatkan adanya fraktur, adanya tekanan
intracranial yang meninggi dengan terbukanya sutura dan kontanel serta sella tursika yang
melebar. Pemeriksaan foto kepala juga memperlihatkan struktur tulang-tulang kepala,
misalnya lesi-lesi osteolitik, osteoblastik, pelebaran diploe, serta klasifikasi patologis.

D. Pemeriksaan Tulang Temporal


Pemeriksaan tulang temporal bertujuan untuk memperlihatkan struktur tulang temporal,
misalnya apakah terdapat fraktur, terjadi infeksi akut atau kronis, serta ada atau tidaknya
kolesteatoma dan tumor-tumor di daerah CPA, seperti neurinoma akustik. Pemeriksaan foto
tulang temporal memerlukan foto-foto pada posisi Schuller, Stenvers, Chause III atau Towne

10
sesuai dengan kebutuhan.
E. Tulang-tulang Ekstremitas
Pemeriksaan tulang-tulang ekstremitas bertujuan memperlihatkan adanya fraktur,
osteomyelitis, penyakit degeneratif atau destruksi tulang akibat metastasis, tumor tulang primer
atau penonjolan tulang. Pada pemeriksaan ini dibuat foto pada posisi AP dan lateral serta sedapat
mungkin memperlihatkan sendi.

F. Pemeriksaan Tulang Belakang


Pemeriksaan ini memperlihatkan struktur tulang vertebra servikal torakal-lumbal dan sakrum
serta koksigeus. Pemeriksaan ini bertujuan memperlihatkan kemungkinan kelainan congenital
vertebrae, skoliosis atau dekstruksi tulang serta fraktur patologis akibat metastasis, tumor
primer, trauma, infeksi atau osteoporosis serta penyakit degeneratif.

G. Pemeriksaan Radiologi Konvensional dengan Kontras


1. Saluran Cerna Bagian Atas
a. Persiapan umum:
Pasien mengurangi jumlah makanan;
Pasien berpuasa 4-6 jam sebelum pemeriksaan tergantung pada kondisi umur; pada bayi puasa
hanya 2-3 jam saja, boleh minum air manis, asal jangan susu tanpa laksan.
b. Foto abdomen survey bila diperlukan
Foto yang dilakukan sekurang-kurangnya foto abdomen AP untuk mengetahui adanya tumor,
ileus paralitik/sumbatan.
c. Tes minum
Bila ada disfagi, pasien diberi minum air putih. Bila tidak bisa menelan, barium meal
ditiadakan.
d. Kesadaran menurun
Tes kesadaran dan aktivitas kooperatif.
e. Kontra indikasi
Kelainan yang ditemukan pada ad a, b, dan c merupakan kontra indikasi untuk meneruskan
pemeriksaan saluran cerna bagian atas. Juga pada keadaan hematemesis akut.
f. Indikasi umum
Hematemesis, melena, penurunan berat badan, anemia, nyeri epigastrium, gangguan
pencernaan, khusus diar, disfagia, dan muntah-muntah.

3. Oesofagus Bagian Atas-Bawah


a. Kontras
Larutan barium encer Larutan barium tebal(pasta)
Larutan kontras non-ionik
b. Teknik
1) Kontras tunggal-barium encer
Minum satu teguk barium encer/kontras non-ionik yang dilarutkan Setelah diminum,
dilihat dengan fluoroskopi, adakah sumbatan, dilatasi, atau menyempit. Bila dilatasi
saja dan dugaan adanya akalasia, barium encer boleh ditambah. Foto AP, lateral,
oblik, di daerah khusus Cardia.
11
2) Kontras tunggal-barium kental
Bila ada penyempitan atau jalannya kontras tersumbat, barium boleh ditambah. Foto
oblik dan lateral, AP. Buat foto lagi yang fase ekspirasi untuk mengisi oesofagus bagian
distal. Buat foto seluruh oesofagus, film besar, AP, lateral.
c. Indikasi
Dikerjakan pada Ca. oesofagus, struktur oesofagus, dan lain-lain. Post operatif anastomosis
esophagus dimulai dengan barium encer dan barium kental. Bila dikhawatirkan adanya
perforasi dan anastomosis bocor, dapat dilakukan dengan larutan kontras non-ionik.
d. Pasca pemeriksaan oesofagus
Dibuat foto toraks untuk kontrol aspirasi kontras bila perlu. Untuk pengamatan pasase barium,
bila perlu, dilakukan foto abdomen.

4. Lambung-Duodenum
a. Kontras
1) Larutan barium sulfat dalam air 1:3 sampai 1:4
2) Larutan barium sulfat 120-200 W/V/%
3) Larutan gastrografin (sudah tidak diproduksi saat ini), kontras non-ionik
4) Kontras ganda terdiri dari larutan barium dan udara atau gas
b. Teknik
1) Cara Kontras Tunggal
Pasien minum satu atau dua teguk kontras. Ikuti dengan fluoroskopi sampai
kontras menyebar dan menggambarkan mukosa lambung. Buatlah satu “foto
mukosa” dalam posisi terlentang. Minum satu gelas kontras sampai habis. Buatlah
foto sebagai berikut.
a) Satu foto dalam posisi tegak.
b) Satu foto terlentang (LAO dan RAO).
c) Satu foto tengkurap (kontras kebanyakan “lari” ke antrum dan bulbus dan
sisanya menggambarkan mukosa fundus).
d) Spot foto: di daerah yang dicurigai ada kelainan dibuat beberapa spot foto
dengan posisi yang berbeda dan dengan kompresi.
2) Cara kontras ganda
a) Sebelumnya pasien diberi spasmolitik 1 ampul.
b) Intramuscular “15 sampai 30”.
Kontras diberikan sebelum pemeriksaan atau bila diberikan intravena dapat
langsung diberikan pada saat pemeriksaan. Tujuannya agar lambung dalam
keadaan relaksasi dan dapat meregang dengan baik serta mengurangi peristaltic.
c) Perhatikan kontra indikasi pemberian spasmolitik antara lain aritmia, takikardi,
glaucoma, dan hipertrofi porstat. Pada anak tidak perlu diberikan spasmolitik.
d) Pasien meminum kontras barium lebih kurang 30 cc, kemudian buat foto dalam
posisi tengkurap (prone) untuk melihat dinding anterior. Pasien berdiri lagi,
minum 1 gelas kontras barium dan masukkan udara atau gas. Udara dimasukkan
dengan menggunakan nasogastric tube, akan tetapi sekarang jarang dipakai.

12
e) Untuk gas dapat diberikan gas effervescent atau bila tidak ada dapat dipakai 1,5 gram
atau 3 tablet bicarbonas natricus kemudian ditambahkan 1 sendok asam sitrat.
f) Foto-foto dibuat seperti kontras tunggal.
3) Lain-lain
Foto lateral dibuat bila dijumpai adanya tumor intra abdomen pada anak-anak.
c. Indikasi
Hematemesis, melena (pendarahan sudah berhenti), penurunan berat badan, nyeri epigastrium,
tumor-tumor lambung/di luar lambung.
d. Kontra indikasi
Adanya perforasi, Ileus, Keadaan umum yang buruk, Hal-hal lain yang mungkin memperburuk
keadaan penderita.

5. Usus Halus
a. Indikasi dan kontra indikasi
Anemia yang tidak diketahui sebabnya, sakit perut yang tidak diketahui sebabnya, tanda-tanda
malabsorpsi, berat badan menurun, dan adanya keluhan pada saluran cerna.
Kontra indikasi yang terjadi yaitu obstruksi usus halus.
b. Persiapan
Sama dengan lambung duodenum (pasien berpuasa minimal 8 jam), p asien tidak boleh
memakan makanan yang berlemak.
c. Kontras
Sama dengan lambung duodenum.
d. Teknik
Follow-through (diminum),
Dapat dikerjakan sama dengan pemeriksaan lambung duodenum, foto posisi terlentang dan lateral,
bila perlu berdiri atau kompresi, dibuat dengan spot foto/bucky table, foto 1/2 – 1 jam – 2 jam –
4 jam, prinsip kontras sudah masuk sekum, waktu dapat diperpanjang atau diperpendek sesuai
keadaan, dengan kateter duodenum, kateter dimasukkan sampai duodenum, kontras dan udara
dimasukkan, foto diambil dengan fluoroskopi.

6. Kolon (Barium Enema)


a. Indikasi
Diare kronis, hematoschezia.
Indikasi umum: konstipasi kronis dan perubahan pola defikasi. Indikasi-indikasi menurut klinis:
1) Kolitis
2) Tumor kolon
3) Tumor intra abdominal di luar kolon
4) Kelainan congenital, missal: hirschprung
5) Invaginasi
6) Ileus obstruksi rendah, misalnya volvulus
7) Hal-hal lain yang diperkirakan berasal dari kolon
b. Kontra indikasi:
Perforasi, colitis berat dimana dindingkolon menjadi sangat tipis dan ditakutkan perforasi, NEC,
tipus, keadaan umum yang jelek, ileus paralitik.

13
c. Persiapan
1) Obstipasi kronis
a) Minimal 2 hari sebelum pemeriksaan kolon
b) Makanan yang mudah dicerna, lunak, tidak mengandung serat dan lemak.
c) Minum banyak diberi laksa dan dipuasakan
2) Tanpa riwayat obstipasi
a) Minimal 1 hari sebelum pemeriksaan makan makanan yang mudah dicerna, lunak
tidak mengandung serat dan lemak, minum air biasa yang banyak dan sering,
b) Diberikan laksan kira-kira 8-12 jam sebelumnya,
c) Puasa makan kira-kira 8 jam,
d) Minum air tidak dibatasi.
3) Dengan riwayat diare
d. Laksan
Jenis laksan yang digunakan sesuai dengan kondisi penderita.
1) Dengan riwayat obstipasi diberi laksan kuat/berat seperti:
a) Castrol oil,
b) Garam inggris,
c) Lemonade purgative
2) Dalam keadaan normal digunakan laksan ringan misalnya Laxadine dan Dulcolax
e. Teknik
1) Teknik kontras tunggal
a) Setelah kontras masuk ke rectum dan sigmoid, buat foto oblik atau lateral supaya
rectum dan sigmoid tidak saling tumpah tindih.
b) Kontras kemudian dimasukkan sampai sekum, apendiks, dan ileum terminal.
c) Dibuat foto (ikhtisar) post evakuasi.
d) Foto KV tinggi digunakan untuk melihat kelainan intraluminal, misal polip.
2) Kontras ganda
Spasmolitik diberikan bila perlu saja. Misalnya bila penderita terlalu mulas atau untuk menilai
indentasi bersifat fungsional atau patologis.
3) Fase pengisian
Kontras dimasukkan ke dalam lumen, tergantung kepada bentuk dan panjangnya kolon.
Pada umumnya sampai pertengahan kolon transversum. Dengan melakukan mobilisasi,
kontras masuk ke dalam kolon asendens sampai sekum.
4) Fase pelapisan
Kontras dalam lumen didiamkan selama kurang lebih 1 menit supaya dalam melapisi mukosa
kolon.
5) Fase evakuasi
Kontras dikeluarkan melalui irigator ke dalam kantong dengan jalan merubah posisi penderita.
6) Fase pengembangan
Dilakukan pemompaan udara ke dalam kolon melalui irrigator.
7) Fase pemotretan
Foto dibuat tergantung pada kebutuhan mulai dari rekto-sigmoid, supine, AP-LAT atau oblik.
8) Efek samping
Perforasi, refleksi vagal karena distensi yang berlebihan atau terlalu cepat, meteorismus.

14
H. Protokol Pemeriksaan pada PIV(Pyelografi Intravena)

1. Tujuan pemeriksaan PIV


a. Menilai fungsi ekskresi ginjal.
b. Menilai morfologi dari struktur sistem pelviokalises.
c. Menilai kemampuan miksi.
d. Membuat PIV dalam kondisi optimal.

2. Indikasi
Kelainan pada/ di luar traktus urinarius yang dicurigai mempengaruhi traktus urinarius.

3. Kontradiksi
a. Absolut, jika hipersenstif terhadap kontras thireotoksikosis.
b. Relative, jika keadaan umum buruk, diabetes mellitus, miyeloma multiple, dan
dekompensasi kordis. Dipertimbangkan dengan saksama keuntungan dan bahayanya. Pada
keadaan dimana kadar kreatinin lebih besar 6 mg/dL sebaiknya PIV tidak dilakukan.

4. Persiapan penderita
a. Tujuan menghilangkan sebanyak mungkin feses dari traktus gastrointestinalis.
b. Untuk memperoleh gambaran PIV optimal. Caranya:
1) Minum laksan 6 jam sebelumnya.
2) Jenis laksa tergantung kebutuhan (lihat bab pemeriksaan kolon)
3) Mengurangi minum dan tidak merokok pada hari pemeriksaan.
4) Mengisi inform consent.

5. Persiapan alat
a. Jarum suntik bersayap (wing needle), atau jarum kateter, dan kompresor pinggang. Akan
tetapi, kompresor pinggang tidak dipakai pada keadaan:
1) Trauma ginjal
2) Penderita dengan asites
3) Tumor abdomen
4) Neonates
b. Obat-obatan
1) Adrenalin
2) Oradexon/kortikosteroid lain
3) Antihistamin, avil
4) Infuse garam fisiologi, glukosa.
c. Alat lain: tabung O2 (oksigen, resusitasi set)
PIV tidak dikerjakan sebelum obat-obatan emergency tersedia.

6. Tempat pemeriksaan
a. Rumah sakit
b. Tempat praktik dengan perlengkapan pada pasal 5

15
7. Pemeriksaan klinis
a. Anamnesis, pernah reaksi yodium/obat-obatan
b. Wanita hamil atau tidak
c. Pemeriksaan fisk bila diperlukan
d. Post operasi

8. Kontras media/dosis
a. Larutan meglumin diatrizoat, kombinasi sodium diatrizoat
b. Nama dagang
1) Kontras ionik: urografin, angiografin.
2) Kontras non ionik: ultravist-omnipaque-lopamiro, dan lain-lain.
c. Dosis
1) Dewasa sampia 50kg
2) Pada keadaan ureum/kreatinin normal:
a) 1 ampul urografin 76% > 60 kg,
b) 2 ampul urografin 76%,
c) Anak-anak menurut umur,neonates 2-3 cc/kgBB,
d) Dosis ganda menurut pertimbangan ahli radiologi,
e) Lebih baik gunakan kontras non-ionik, dosis bervariasi, rata-rata 1 cc/kgBB.

9. Teknik standar foto


a. Foto abdomen polos
b. Foto ginjal dengan kompresi foto 5, 10 menit,
c. Foto ikhtisar kompresi lepas, meliputi:
1) Foto 15menit,
2) Foto 30 menit-terlentang, tengkurap, tegak atas indikasi
d. Variasi, meliputi:
1) Foto oblik-foto lateral,
2) Waktu dapat diperpanjang sesuai keperluan diagnosis, setelah dinilai foto basah
& standar,
3) Premiksi, postmiksi vesika urinaria,
4) Pada neonates posisi supine 5-10, 15-30 menit diberikan minum air saat
pemeriksaan. Tujuannya agar lambung berkembang dan sistem kalises mudah dinilai.

10. Teknik penyuntikan


a. Intravena melalui jarum bersayap/jarum kateter dalam waktu 25 menit,
b. Bolus injeksi 1-2 menit,
c. Post injeksi spooling bilasan dengan NaCl fisiologis,
d. Jarum tidak boleh dicabut sebelum selesai,
e. Melalui infuse drip, misalnya pada trauma ginjal, sebanyak 250 cc – 300 cc dalam larutan
35% dalam 1 jam. Waktu dan tetesan cairan disesuaikan dengan kondisi penderita.

11. Nefrogram (pre-sekresi) foto dibuat atas indikasi seperti tumor dan sebagainya
a. Menilai fase sekretis kontras,
b. Menilai kontur ginjal,
c. Teknik: foto 1-2 menit pos injeksi, tomogram
16
12. Rapid sequences pyelography untuk mendapatkan informasi keadaan ginjal pada:
a. Permulaan sekresi sampai sekresi,
b. Waktu 1 menit-3 menit-5 menit,
c. Tomogram,
d. Selanjutnya seperti biasa.

13. PIV Tanpa persiapan


a. PIV, cito, karena kecelakaan
b. Karena sebab lain PIV tak perlu persiapan, misalnya pada penderita diabetes;
c. Sebaiknya dibuat tomogram.

I. Sistografi

1. Tujuan pemeriksaan
Tujuan pemeriksaan sistografi adalah untuk memperlihatkan struktur kandung kemih
serta struktur infravesika dan organ-organ sekitarnya.

2. Persiapan
Rectum dikosongkan kecuali pada keadaan akut.

3. Indikasi
a. Tumor buli-buli,
b. Ruptur buli-buli,
c. Divertikel,
d. Neurogenic bladder,
e. Hipertrofi prostat,
f. Sistitis kronis,
g. Tumor-tumor sekitar buli-buli.

4. Kontra indikasi
Infeksi akut saluran kemih

5. Teknik
a. Menggunakan kateter dengan balon (folley) atau tanpa balon. Ukuran tergantung
keadaan, ukuran yang biasa dipakai 16 atau 18 F, transuretra dan cara fungsi suprapubik.
b. Kandung kencing dikosongkan.
c. Menggunakan kontras dengan kepekatan 15% - 20% dalam NaCl fisiologis 150-250 cc.
d. Foto dibuat pada posisi AP oblik.

6. Lain-lain
Kontras dapat berupa tunggal atau ganda dengan yodium atau udara.

17
J. Uretroristografi

1. Tujuan pemeriksaan: seperti ad I.1

2. Indikasi: seperti ad I.3 ditambah dengan keadaan-keadaan seperti struktur uretra dan
ruptur uretra.

3. Kontra indikasi: seperti ad I.4

4. Teknik
a. Menggunakan semprit khusus untuk mengisi uretra dan kandung kemih atau NGT.
b. Menggunakan anestesi local (jelly).
c. Ujung semprit diletakkan pada ujung uretra, pengisian dilakukan dengan perlahan
dan tekanan yang tepat.
d. Foto dibuat pada posisi oblik apabila diperkirakan kontras sudah mulai mengisi.
e. Foto lain berupa foto AP dan oblik setelah kandung kencing penuh,
f. Kontras yang digunakan dengan kepekatan 20% atau 15%, jumlah kontras
yang dilarutkan seperti ad 150-250 cc.

K. MSU (Micturating Sisto Uretrography)


MSU dilakukan terutama pada pasien anak-anak.

1. Tujuan pemeriksaan
a. Memperlihatkan gambaran traktus urinarius dan bila mungkin seluruh traktus
urinarius dengan jala retrograd dan dengan menggunakan fluoroskopi.
b. Memperlihatkan refluks.

2. Indikasi
a. Infeksi saluran kencing yang berulang,
b. Kelainan genitalia eksterna,
c. Nyeri waktu kencing,
d. Pancaran air seni yang abnormal.

3. Kontra indikasi
Infeksi akut saluran kencing.

4. Teknik
a. Penggunaan kateter tergantung kebutuhan. Misalnya 5F – 8F untuk mengeluarkan urin.
b. Buli-buli diisi kontras dengan kepekaan 15% dalam larutan NaCl 250 ml.
c. Kontras harus sesuai dengan suhu ruangan (tidak boleh terlalu dingin).
d. Kontras diberikan dengan cara tetesan dengan kecepatan 120 tetes/menit.
e. Kontras diletakkan pada ketinggian kira-kira 1 meter dari permukaan tubuh.
f. Dilakukan pemeriksaan fluoroskopi intermiten untuk mencegah radiasi berlebihan.
g. Pengisian dihentikan pada saat kandung kencing penuh, pada neonatus bisa dilihat
adanya reflex Babinsky. Pengisian pada anak-anak yang lebih besar dihentikan setelah
merasa penuh atau setelah merasa sakit.
18
5. Foto-foto
a. Foto dibuat pada saat pengisian awal untuk melihat uretra dan struktur infra vesika.
b. Foto juga dibuat saat buli-buli penuh atau sebelum buli-buli penuh bila ada refluks.
c. Posisi AP dan oblik.
d. Apabila ada post voiding, dibuat foto dengan melihat refluks. Pada neonatus dapat
dipakai es untuk merangsang miksi.

L. Bipolar Sistografi

1. Tujuan pemeriksaan
Memperlihatkan struktur kandung kemih, infra vesika, serta uretra dengan cara mengisi
kandung kemih melalui stoma supra pubis serta uretra.

2. Indikasi
Pada keadaan digunakannya stoma seperti ruptur uretra, struktur uretra, dan sebagainya.

3. Kontra indikasi
Infeksi akut saluran kemih.

4. Teknik
Menggunakan fluoroskopi untuk melihat distensi buli-buli dan mencegah distensi yang
berlebihan atau adanya ekstravasasi. Kontras yang digunakan kepekatannya 20%. Buli-
buli diisi terlebih dahulu melalui stoma dan langkah selanjutnya adalah mengisi uretra.

M. Pielografi Retrograd

1. Tujuan pemeriksaan
a. Memperlihatkan sistem pielokalises dan ureter dengan pengisian kontras yang postif.
b. Untuk mencari kelainan morfologik pada sistem pielokalises dan ureter
sehubungan dengan kemungkinan adanya tumor, radang, dan kelainan bawaan pada
traktus urinarius.

2. Teknik pemeriksaan
a. Kateter kecil dimasukkan ke dalam ureter (satu atau kedua ureter) oleh ahli urologi
atau ahli radiologi yang sudah terlatih dibidang urologi, melalui sistokopi.
b. Sebelum pemasukkan kateter oleh ahli urologi dilakukan pemeriksaan dengan
sistokopi
c. Kontras positif (urografin dan sejenisnya) dimasukkan ke dalam ureter, pielum,
dan kalises di bawah pengawasan fluoroskopi oleh ahli radiologi.

3. Pembuatan foto
a. Pembuatan spot foto dibawah pengamatan fluoroskopi pada sistem pelviokalises.
Foto dibuat PA, lateral/oblik sedangkan untuk ureter foto cukup PA saja.
b. Pembuatan foto dengan posisi berdiri setelah kateter dikeluarkan, untuk melihat arus
kontras dari ginjal ke buli-buli, dan untuk menilai ureter.
c. Foto-foto dengan overhead tube dapat ditambahkan setelah kateter dicabut.
19
4. Dosis kontras
a. Dosis kontras bervariasi dari 10 sampai dengan 30 cc, tergantung pada besarnya kalises
dan pielum.
b. Pengisian kontras dihentikan setelah pada fluoroskopi kalises dan pielum sudah nampak
penuh atau adanya keluhan penderita yang merasa pegal atau sakit pada pinggangnya.
c. Pemberian tekanan yang lebih tidak dilakukan karena kemungkinan terjadinya backflow
dari kontras yang dapat merusak parenkim ginjal, ruptur, dan ureter.
d. Konsentrasi kontras yang dipakai rendah sekitar 30%-35%. Kontras yang pekat tidak
digunakan karena akan menutup bayangan kelainan radiolusen, polip, dan lain-lain.
e. Pencabutan kateter sebaiknya dilakukan oleh ahli urologi/radiologi. Bila ada kesulitan
dalam pengeluaran kateter sebaiknya dilakukan oleh ahli urologi.

5. Indikasi dan kontra indikas pielografi retrograde


a. Pada umumnya dilakukan pada ginjal-ginjal yang PIV nya tidak menampakkan
ekskresi kontras.
b. Indikasi dan kontra indikasi ditetapkan oleh ahli urologi.
c. Dari segi radiologi hipersensitif terhadap kontras.
6. Tindakan steril
a. Dilakukan pensterilan semaksimal mungkin, untuk menghindari bahaya infeksi.
b. Pencegahan dilakukan dengan pemberian antibiotik kalau perlu.

7. Pembuatan foto
a. Spot foto dibuat pada waktu pemeriksaan fluoroskopi dengan posisi tegak untuk
melihat dan menetapkan sumbatan pada sistem pelvio-ureter.
b. Foto oblik dibuat untuk menilai jenis sumbatan atau kelainan pada pelvio-ureter.
c. Pembuatan foto oblik, PA, lateral dengan spot foto atau over head dilakukan
untuk menilai vesico-ureter junction.

8. Indikasi
a. Mencari sebab-sebab sumbatan pada sistem pelvio-ureter yang tidak jelas tampak
pada pemeriksaan PIV.
b. Sumbatan yang timbul pasca bedah.
c. Kontra indikasi dari bedah urologi.
d. Hipersensitif terhadap kontras.
e. Keadaan umum yang buruk dan tidak kooperatif.

N. Mielografi

1. Pilihan kontras media


a. Kontras non-ionik larut air misalnya, lopamino 200. Kontras lain adalah Omnipaque atau
Ultravist (merek dagang), digunakan dengan konsentrasi osmolalitas yang rendah.
Contoh kontras larut air lainnya Amipaque 170 mg dan metrizamide.
b. Kontras larut minyak tidak digunakan lagi, misalnya Durolipaque dan Myodil.

20
2. Dosis
a. Lopamiro/Ultravist/Omnipaque;10 cc untuk dewasa.
b. Durolipaque: 5 cc untuk orang dewasa
c. Untuk anak diperhitungkan menurut umur.

3. Jenis pemeriksaan mielografi


a. Mielografi lumbal-kaudografi
b. Mielografi torako lumbal
c. Mielografi servikal

4. Tujuan pemeriksaan mielografi


a) Meneliti kantong dura dari Th.XII sampai daerah sacrum
b) Meneliti jalannya urat saraf perifer (nerve root).
c) Mencari kelainan (defect), tekanan, dan indentasi terhadap dura.
d) Mencari filling defect dari pengisian ruang subaraknoid.

5. Teknik injeksi
a) Posisi tidur miring membungkuk.
b) Posisi duduk membungkuk.
c) Posisi tengkurap feet down, membungkuk.
d) Cara memasukkan kontras non-ionik:
Posisi kaki rendah.
Cairan/likuor dikeluarkan lebih kurang 5 cc untuk pemeriksaan laboraturium.
Injeksikan kontras pelan-pelan dengan tekanan konstan. Pasien tidak boleh bergerak.
e) Cara memasukkan kontras larut minyak (sudah tidak dilakukan):
Dilakukan pelan-pelan supaya kontras tetap homogen. Kontras yang masuknya
tersendar-sendat menyebabkan kontras terpisah-pisah dalam subaraknoid.

6. Tempat injeksi
a) Untuk mielografi lumbal, torakal, dan servikal pungsi dilakukan pada lumbal belakang
antara L4-L5 atau L3-L4 pada posisi miring.
b) Pada L4-L5 dilakukan pada pasien dengan posisi duduk.
c) Pada L3-L4 pungsi dilakukan hati-hati. Tidak boleh dilakukan pungsi antara L2-L3
karena beresiko terkena konus medularis.
d) Khusus untuk servikal bila pungsi lumbal hasilnya kurang baik, dilakukan pungsi servikal
C1-C2 dari lateral di bawah pengamatan fluoroskopi dari lateral.
e) Hanya dikerjakan oleh/bersama ahli yang sudah berpengalaman.
f) Untuk post mielografi kontras tidak perlu dikeluarkan per pungsi.
g) Untuk mielografi dengan kontras
Pungsi dilakukan di daerah lumbal. Dilakukan pada posisi seperti di atas. Jumlah kontras
berkisar antara 5 cc sampai 10 cc. tergantung pada besarnya kantung medula. Untuk
lokasi sumbatan (tumor dan lain-lain) cukup dimasukkan 5 cc kontras ke dalam
subaraknoid. Post mielografi kontras harus sebaik mungkin dikeluarkan dari subaraknoid
dengan pungsi.

21
Foto pada mielografi dengan kontras minyak sama dengan foto pada mielografi dengan
kontras larut air. Kontras larut minyak dijaga jangan sampai masuk ke dalam sisterna magna
atau sisterna lainnya. Foto lateral dengan sinar horizontal perlu dibuat bila ada sumbatan di
daerah torakal atau di daerah servikal, juga di daerah lumbal. Posisi penderita dalam hal ini
harus tengkurap (prone). Pada mielografi dengan kontras larut air sebaiknya dikombinasi
dengan pemeriksaan CT. Foto sinar horizontal tidak diperlukan lagi.

7. Kontra indikasi
a) Terjadinya tekanan intracranial yang meninggi.
b) Keadaan umum yang memburuk.
c) Hipersensitif terhadap yodium.

8. Indikasi
a) Tetraparesis, paraparesis anggota badan.
b) Gangguan ventrikuler
c) Low pack pain yang belum ditemukan penyebabnya.

O. Histerosalpingografi (HSG)

1. Indikasi
a. Infertilitas
b. Pendarahan intrauterine yang abnormal.
c. Abortus berulang.
d. Post setio Caesaria.
e. Untuk melihat patensi tuba setelah strerilisasi.
f. Massa intrauterine.
g. Mengetahui kelainan bawaan uterus.
h. Translokasi IUD.

2. Kontra indikasi
a. Kehamilan
b. Infeksi (salpingitis, vaginitis, dan sebagainya).
c. Alergi kontras
d. Post menstruasi karena kemungkinan vaskularisasi bertambah.

3. Komplikasi
a. Nyeri oleh karena tindakan/kontras.
b. Infeksi setelah tindakan.
c. Perdarahan
d. Reaksi alergi
e. Refleks vasovagal
f. Intravasasi.

22
4. Teknik
a. Dilakukan 7-9 hari setelah menstruasi.
b. Menggunakan fluoroskopi/tanpa fluoroskopi.
c. Kandung kencing dikosongkan/miksi sebelum pemeriksaan.
d. Posisi litotomi
e. Dapat dilihat dengan bermacam-macam metode seperti berikut.
1) Dengan kanul metal seperti Green Army Tage, Jarcho, dan Schultze.
2) Malstrom Westerman Methode dengan pompa vacuum pada servik.
3) Dengan memakai kateter Folley pediatric 8F dan 9F.

5. Kontras
a. Kontras yang larut air seperti: Urografin, Hexabrix, Ultravist, Omnipaque, lopamiro,
b. Jumlah kontras kira-kira 5-10 cc tergantung teknik yang dipakai.

6. Foto-foto
a. Dibuat foto supine dengan jumlah kontras kira-kira 2-4 cc untuk mengisi uterus.
b. Kontras dihabiskan untuk menilai tuba dan spill. Posisi oblik kiri/kanan.
c. Foto supine dibuat setelah kanul dicabut.

P. Arthrografi

1. Indikasi
a. Adanya gangguan dari sendi lutut.
b. Untuk melihat struktur post menisectomy.

2. Kontra indikasi
a. Adanya tanda-tanda infeksi atau infeksi sekitarnya.
b. Alergi kontras.

3. Teknik
a. Menggunakan fluoroskopi
1) Kontras positif/kontras cair seperti Urografin, Ultravist, dan lain-lain.
2) Kontras negative-berupa udara/oksigen.
3) Campuran.
b. Jumlah kontras kira-kira 10-15 cc.
c. Dikerjakan dengan tindakan sterilitas sebaik-baiknya.
d. Jarum dimasukkan ke dalam rongga sendi.
e. Aspirasi cairan sinovial.
f. Dimasukkan kontras.

4. Pemotretan
a. Posisi netral
b. Ekso rotasi biasa (555 - 205)
c. Ekso rotasi maksimal (455)
d. Endo rotasi biasa (155 - 205).
e. Endo rotasi maksimal (455).
Q. Pelvimetri
23
1. Tujuan pemeriksaan
Tujuan pemeriksaan pelvimetri adalah untuk memperlihatkan gambaran jalan lahir dan
ukurannya.

2. Indikasi
a. CPD atau terdektesi adanya CPD.
b. Kecurigaan adanya kelainan mayor seperti anencephaly yang ditunjukkan dengan USG.

3. Teknik
Foto AP dan lateral sebaiknya menggunakan meja khusus. Beberapa hal yang harus
jelas misalnya: promontorium-spina-os sacrum dan koksigeus serta simfisis pubis.

4. Pengukuran
a. Indikasi pelvis
Sudut antra garis antero-posterior(diameter AP), dengan garis promontorium, normal
lebih dari 905. Diameter AP adalah garis antara batas atas simfisis pubis-promontorium.
b. Pelvic inlet
1) Diameter AP: jarak antara batas atas simfisis pubis-promontorium.
2) Diameter tranversum: jarak terlebar pelvic inlet.
c. Mid pelvic
1) Diameter AP: jarak antara batas bawah simfisis pubis- os sacrum IV/V.
2) Diameter tranversum: jarak antara spina ischiadika-garis diameter AP inlet.
d. Pelvic-outlet: jarak tuberositas ischiadika-SV.
e. Mengert Index
1) Pelvic inlet: diameter AP x diameter TRSV cm2
2) Mid pelvic: diameter AP x diameter TRSV cm2
f. Kapasitas panggul
1) Pelvic inlet: (Mengert index x 100%)/120
2) Mid pelvic: (Mengert index x 100%)

R. Mammografi

1. Indikasi
a. Skrining(screening).
b. Keluhan di payudara (benjolan, nyeri, nipple discharge, dan lain-lain)
c. Wanita dengan resiko tinggi kanker payudara.
d. Kontrol pasca terapi.

2. Persiapan
Tidak diperlukan persiapan khusus.

3. Cara pemeriksaan
Dilakukan kompresi pada kedua payudara pada posisi kraniokaudal (CC) dan mediolateral
(MLO) dengan sebagian muskulus pektoralis mayor masuk dalam lapangan.

24
S. Galaktografi

1. Indikasi
Nipple discharge patologis, biasanya unilateral dan masih berlangsung.

2. Kontra indikasi
Terjadi proses inflamasi.

3. Kontra indikasi relatif


Alergi kontras.

4. Cara pemeriksaan
a. Pemeriksaan sitologik harus sudah dilakukan sebelum pemeriksaan galaktografi.
b. Pasien harus senyaman mungkin, lebih baik bila digunakan magnifikasi.
c. Buat foto mammografi tanpa kontras untuk mengetahui kecukupan kondisi foto.
d. Nipple dan kulit sekitar dibersihkan dengan desinfektan. Masukkan kanul ke dalam
nipple ditempat keluarnya cairan. Gunakan kanul ukuran 25-30 gauge, tumpul dan
pendek, dapat juga digunakan kanul limfografi. Hubungkan kanul dengan syringe yang
berisi kontras non-ionik. Usahakan tidak ada udara sebelum dimasukkan dalam duktus.
e. Pada pasien yang cemas dapat digunakan anestesi lokal.
f. Fiksasi kanul.
g. Masukkan 0,1-0,5 ml kontras tanpa udara, bila perlu dapat ditambah.
h. Buat foto mammografi 2 posisi (CC dan ML) dengan kompresi moderate.

25
BAB 6 PEMERIKSAAN ULTRASONOGRAFI (USG)
ABDOMEN DAN PELVIC
A. Pemeriksaan USG Abdomen
Pemeriksaan USG Abdomen adalah pemeriksaan organ-organ abdomen. Misalnya hati, kandung
empedu, pankreas, ginjal, dan lain-lain.

1. Tujuan
Pemeriksaan ini untuk memperlihatkan struktur morfologi organ-organ abdomen seperti hati,
kandung empedu, pankreas, lien, kedua ginjal, buli-buli, prostat atau adneksa, struktur vascular,
termasuk arteri dan vena serta kelenjar sekitarnya(mesenterium, para aortal, para iliaka), keadaan
usus-usus, adanya ascites, portal hipertensi, dan lain-lain.

Kelainan yang diperlihatkan bervariasi mulai adanya ruptur, kontusio jaringan karena trauma,
perdarahan, adanya batu atau tumor, dan sebagainya.

2. Teknik
Berikut ini beberapa teknik yang harus diperhatikan berkaitan dengan pemeriksaan USG abdomen.
a. Pada keadaan akut seperti trauma, tidak perlu dilakukan persiapan puasa. Pemeriksaan
ditujukan untuk melihat organ serta kemungkinan adanya cairan bebas intra abdominal.
b. Pada keadaan elektif, diperlukan puasa untuk mendapat hasil yang optimal. Puasa diperlukan
sekitar 5-6 jam sebelumnya atau sebaiknya dilakukan pemeriksaan USG sebelum makan pagi.
c. Untuk neonatus puasa hanya kira-kira sekitar 2-3 jam. Puasa terutama ditujukan bila kita ingin
menilai kandung empedu dan salurannya. Untuk pemeriksaan lain misalnya ginjal, tidak
diperlukan puasa bahkan harus minum 20-30 menit sebelumnya untuk melihat buli-buli.
d. Untuk menilai pankreas dengan optimal, pasien harus minum air terlebih dahulu kira-kira
500 cc untuk dewasa agar lambung terisi air sehingga pankreas mudah dilihat terutama bagian
cauda. Pemeriksaan USG abdomen dengan transduser linier atau convec frekuensi 2,5-5 MHz.
e. Untuk orang gemuk digunakan transduser 2,5 MHz dan untuk neonatus atau orang-orang yang
kurus, dapat digunakan transduser 5 MHz. Bila ada peralatan tambahan seperti Color
Doppler, nilai diagnostik akan lebih baik, terutama pada penilaian struktur pembuluh darah.

3. Penilaian (pemeriksaan)
Pemeriksaan yang dilakukan terhadap struktur masing-masing organ abdomen, struktur vascular
dan sistem bilier, digunakan untuk menilai apakah ada batu, SOL atau kista, mengukur besarnya
SOL, mengecek ada atau tidaknya hematom, pembesaran kelenjar atau bendungan pada sistem
traktus urinarius, mengecek ada atau tidaknya cairan bebas atau asites. Pemeriksaan ini dilakukan
dengan seteliti mungkin dengan mengacu pada keterangan klinis serta pemeriksaan fisik sebelum
pemeriksaan USG.

26
B. Pemeriksaan Pelvis
Pemeriksaan USG daerah pelvis dilakukan terutama pada penilaian kehamilan. Misalnya apakah
ada kehamilan, adakah fetus, atau janin dalam kantung kehamilan? Selain itu untuk mengetahui
apakah kehamilan tersebut hidup atau intra uterine fetal death?

Untuk penilaian kehamilan normal pemeriksaan meliputi posisi janin, letak plasenta, dan
insersinya, cairan amnion, kelainan mayor, dan janin, serta jumlah janin dalam uterus.
Disamping itu, penilaian tentang usia kehamilan, taksiran partus serta ada atau tidaknya lilitan
tali pusat. Pemeriksaan USG pelvis juga digunakan pada dugaan adanya kehamilan di luar uterus
atau kehamilan ektopik terganggu (KET).

Pemeriksaan ditujukan terutama untuk melihat cairan bebas di dalam Kavum Douglasi atau dalam
rongga abdomen, kadang-kadang dapat dilihat janin. Untuk kasus-kasus dengan infeksi pelvis
diperlukan pemeriksaan USG untuk melihat daerah adnexa dan untuk mengetahui apakah ada fokal
abses seperti tubo ovarial abses dan sebagainya.

1. Persiapan
Persiapan tidak diperlukan pada kehamilan lanjut. Pada awal kehamilan atau keadaan patologis
seperti KET dan infeksi pelvis, kadang-kadang pasien diminta minum terlebih dahulu agar buli
terisi air dan dapat digunakan sebagai jendela untuk melihat struktur uterus dan adnexa.

2. Transduser
Dalam pemeriksaan pelvis, digunakan transduser seperti USG abdomen. Apabila diperlukan,
dapat digunakan transduser transvaginal.

C. Sonografi Kranium
1. Tujuan
Tujuan pemeriksaan sonografi kranium adalah untuk memperlihatkan struktur morfologi
intracranial selama fontanel atau sutura masih terbuka.

2. Indikasi
a. Penurunan kadar Hb pada neonatus.
b. Kelainan neurologis.
c. Kelainan pernapasan yang tidak diketahui sebabnya.
d. Sutura yang melebar.
e. Fontanel yang menonjol.
f. Ukuran kepala yang lebih besar dari normal.
g. Follow up tindakan seperti pemasangan ventil, dan sebagainya.

3. Kontra indikasi tidak ada

4. Pasca tindakan Sonografi Cranium, persiapan bagi pasien tidak diperlukan

27
5. Teknik
a. Sebaiknya menggunakan sector scanner 3,5-5-10 MHz. apabila scanner jenis ini tidak
ada, dapat digunakan linier scanner.
b. Potongan koronal – aksial – sagital daerah para sagittal.

6. Dinilai
a. Konfigurasi, besar, ekhostruktur ventrikel
b. Pleksus koroideus
c. Parenkim otak
d. Sulkus dan girus
e. Falk dan tentorium serebri
f. Dengan Doppler dinilai vascular intracranial.

D. USG Payudara

1. Indikasi
a. Terutama pada wanita di bawah usia 30 tahun.
b. Keluhan di payudara (benjolan, nyeri, nipple discharge, dan lain-lain)
c. Control pasca terapi.
d. Sebagai konfirmasi setelah pemeriksaan mammografi pada hasil mammografi yang
meragukan.
e. Untuk penuntun biopsy atau penuntun pre operative.

2. Peralatan
a. Transduser superficial minimal 7 ,5 MHz. Makin tinggi makin baik resolusinya.
b. Jelly digunakan antara kutis dan transduser.

3. Cara pemeriksaan
Pemeriksaan dilakukan terhadap kedua payudara dan aksila pada pasien dengan posisi suphine
dan ekstensi tangan ipsilateral melewati kepalanya.

4. Penilaian
Penilaian hasil pemeriksaan yang dilakukan berkaitan dengan struktur fibroglandular, duktus
laktiferus, ada atau tidaknya SOL, lokasinya, tepi lesinya, kistik atau solid, ukurannya, jumlah
lesi, dan sebagainya.

E. Pemeriksaan Ultrasonografi Muskuloskeletal


1. Definisi
Pemeriksaan Ultrasonografi Muskuloskeletal (UM) adalah kompetensi radiologi untuk
menentukan diagnosis beragam kelainan yang melibatkan jaringan lunak (lemak subkutan,
pembuluh darah, saraf, dan lain-lain), struktur sendi (membrane synovial, ligament, dan tendon),
serta beberapa kelainan tulang dengan menggunakan modalitas/alat ultrasound. Pemeriksaan ini
dilakukan untuk melengkapi pemeriksaan musculoskeletal yang lain seperti foto polos.

28
a. Peralatan yang digunakan
Alat ultrasound dengan linear probe/transduser 7.5 MHz atau lebih tinggi. Frekuensi probe
yang optimal adalah 10 MHz atau lebih tinggi. Untuk struktur yang lebih kecil, seperti daerah
jari-jari, dapat digunakan transduser tipe hockey stick untuk resolusi yang lebih baik.

b. Persiapan penderita
Pada pemeriksaan UM ini tidak ada persiapan khusus untuk penderita. Foto polos sedapat
mungkin disediakan sebelum pemeriksaan karena dengan adaya foto polos untuk bagian yang
akan diperiksa bisa memberikan informasi yang penting untuk membantu diagnose. Bila
dibutuhkan, dokter dapat meminta pemeriksaan foto polos sebelum memberikan diagnosis USG.

2. Protokol pemeriksaan
Posisi penderita atau posisi dari bagian-bagian tubuh yang diperiksa bervariasi tergantung dari
bagian tubuh yang akan diperiksa dan juga tergantung maksud pemeriksaannya. Dalam
pemeriksaan UM tidak ada standar posisi pemeriksaa. Untuk pemeriksaan tendon dan ligament,
sedapat mungkin dilakukan pada aksis panjang maupun aksis pendeknya. Berikut ini adalah
panduan pemeriksaan yang paling umum dilakukan, yaitu pemeriksaan bahu.

a. Pemeriksaan long biceps tendon


1) Pasien duduk, sebaiknya pada kursi dengan sandaran rendah dan tempat duduknya dapat
berputar.
2) Lengan atas pada posisi anatomi atau pada posisi sedikit rotasi internal (mengarah ke
lutut kontralateal). Siku fleksi 905, dan telapak tangan menghadap ke atas.
3) Mulai pemriksaan ke long biceps tendon diantara greater dan tuberosities minor.
4) Lakukan pemeriksaan aksis panjang dan aksis pendek.
b. Posisi pemeriksaan untuk tendon subscapularis.
Dari pemeriksaan long head of biceps eksternal rotasikan lengan atas dengan siku tetap di
samping tubuh.
c. Posisi pemeriksaan tendon supraspinatus
Posisikan tangan memegang saku belakang dengan siku mengarah ke posterior. Bila pasien
merasa tidak nyaman dengan posisi ini , modifikasikan posisi dengan tetap posisi siku ke
belakang sebisa mungkin, walaupun tangan mungkin tidak dapat mencapai saku belakang.
d. Pemeriksaan dinamis – impingement
Pemeriksaan untuk subracomial impingement dilakukan dengan penempatan probe pada
bidang koronal. Tepi medial probe menempel sisi lateral acromion. Pasien dalam posisi
lengan internal-rotasi, mengabduksikan lengan. Dengan maneuver seperti ini, tendon
supraspinatus dan subdeltoid bursa dapat dilihat termasuk ke bawah arkus korakoakromial.
e. Pemeriksaan tendon infraspinatus dan teres minor
Posisikan probe pada sisi posterior dari sendi glenohumeral dengan lengan menyilang
tubuh, tangan menggapai bahu kontralateral. Posisi ini juga dipakai untuk memeriksa
struktur posterior sendi glenohumeral dan resesus posteriornya.

29
BAB 7 PEMERIKSAN USG DOPPLER PEMBULUH
DARAH

A. Pemeriksaan Doppler Pembuluh Darah di Pelvis

1. Pengertian
Pemeriksaan Doppler pembuluh darah di pelvis merupakan pemeriksaan ultrasonografi pada
pembuluh darah arteri maupun vena di daerah vacum pelvis.

2. Tujuan pemeriksaan
Tujuan pemeriksaan ini untuk mendiagnosa adanya kelainan pembuluh darah arteri dan vena
di daerah vacum pelvis.

3. Persiapan pemeriksaan
Untuk pemeriksaan ini tidak ada persiapan khusus yang harus dilakukan pasien.

4. Teknik dan protokol pemeriksaan


a. Menggunakan transduser konvek dengan menggunakan frekwensi 3,5-5 MHz.
b. Frekwensi transduser dan gain dipilih pada pembuluh darah yang sehat.
c. Pasien posisi supine. Bila diperlukan, pasien miring kanan atau kiri untuk mengurangi gas
usus.
d. Pemeriksaan dimulai di bifurkasio aorta setinggi umbilicius, sepanjang arteri iliaka
comunis, iliaka externa, berserta sistem vena dengan orientasi longitudinal dan tranversal.
e. Menentukan pembuluh darah nama yang akan dievaluasi.
f. Pemeriksaan selalu dimulai dengan grayscale kemudian dilanjutkan dengan Doppler.
g. Grayscale dilakukan secara tranversal dan longitudinal untuk menilai besar bentuk
pembuluh darah, adanya thrombus, adanya struktur hiperekoik/soekoik (soft plaque
maupun hard plaque) pada dinding pembuluh darah, serta ketebalan dinding arteri.
h. Pada pasien dengan contour abdomen yang tipis untuk mengevaluasi adanya thrombus
pada vena dapat dilakukan penekanan, bila hal itu tidak dapat dikerjakan, maka dilakukan
color doppler untuk mapping.
i. Setelah itu, dilanjutkan dengan doppler secara tranversal dan longitudinal
j. Color gain diatur maksimal tetapi tidak boleh terjadi noisy.
k. Velocity range (PRF) diatur sekecil mungkin tetapi tidak boleh terjadi aliasing.
l. Color box dibuka secukupnya agar frame rate maksimal.
m. Doppler angle dan doppler sterring diatur agar didapatkan sudut doppler sekecil mungkin
(kurang dari 60 derajat).
n. Samping gate besarnya 2/3 jam dari lumen.
o. Pada sistem arteri dilakukan evaluasi kecepatan aliran (PSV), doppler sign (bentuk
spectrum), stenosis, dan derajat stenosis. Sedangkan pada sistem vena cukup dilakukan
mapping.

30
B. Pemeriksaan Doppler Pembuluh Darah Ekstremitas Inferior

1. Pengertian
Yang dimaksud dengan pemeriksaan doppler pembuluh darah ekstremitas inferior adalah
pemeriksaan ultrasonografi pada pembuluh darah arteri dan vena di ekstremitas inferior.

2. Tujuan pemeriksaan
Pemeriksaan ini dilakukan untuk mendiagnosa adanya kelainan pembuluh darah arteri dan
vena di ekstremitas inferior.

3. Persiapan pemeriksaan
Sebelum pemeriksaan tidak ada persiapan khusus yang harus dilakukan oleh pasien. Pasien
cukup istirahat lebih dari 5 menit sebelum pemeriksaan dimulai.

4. Teknik dan protokol pemeriksaan


a. Menggunakan transduser dengan frekwensi tinggi yaitu frekwensi 5-7,5 MHz, tergantung
dari tebal tipisnya soft tissue.
b. Frekwensi transduser dan gain dipilih pada pembuluh darah yang sehat.
c. Pasien berada pada posisi supine untuk pemeriksaan arteri-vena femoralis komunis-
profunda maupun superficial, arteri-vena tibialis anterior, arteri-vena poplitea, tibialis
posterior dan peroneal dengan posisi prone dengan sedikit elevasi pada distal ekstremitas
dengan meletakkan pengganjal di lutut (ankle).
d. Pemeriksaan dimulai dari sepanjang arteri-vena femoralis komunis sampai bifurcation
kemudian arteri-vena femoralis profunda, femoralis superficial, poplitea, kemudian
trifurcation arteri-vena tibialis anterior, posterior, dan peroneal dengan orientasi
longitudinal dan dilanjutkan dengan arteri dorsalis pedis.
e. Menentukan pembuluh darah mana yang akan dievaluasi.
f. Pemeriksaan selalu dimulai dengan grayscale kemudian dilanjutkan dengan doppler.
g. Grayscale dilakukan secara tranversal dan longitudinal untuk menilai besar bentuk
pembuluh darah, adanya thrombus, adanya struktur hiperekoik/isoekoik (soft plaque
maupun hard plaque) pada dinding pembuluh darah, serta ketebalan dinding arteri. Kutis
dan subcutis juga dievaluasi.
h. Untuk menilai thrombus pada vena dilakukan teknik kompresi. Probe diletakkan
tranversal pembuluh darah kemudian dilakukan kompresi intermiten (setiap 1-2 cm).
Semua vena profunda (vena femoralis komunis-superficial-poplitea-tibialis anterior-
posterior dan peroneal) dan superficial (vena saphena magna dan parva) dievaluasi.
i. Setelah itu, dilanjutkan dengan doppler secara longitudinal.
j. Pembuluh darah yang akan dievaluasi ditentukan dahulu.
k. Color gain diatur maksimal tetapi tidak boleh terjadi noisy.
l. Velocity range (PRF) diatur sekecil mungkin tetapi tidak boleh terjadi aliasing.
m. Color box dibuka secukupnya agar frame rate maksimal.
n. Doppler angle dan doppler sterring diatur agar didapatkan sudut doppler sekecil
mungkin(kurang dari 60 derajat).
o. Sampling gate besarnya 2/3 dari lumen.
p. Pada sistem arteri, kecepatan aliran (PSV), doppler sign (bentuk spectrum), stenosis, dan
31
derajat stenosis dievaluasi.
q. Pada sistem vena dilakukan mapping dan dilakukan tes fungsi katub untuk menilai ada
tidaknya insufisiensi pada katub vena.
r. Insufisiensi kronis vena pad avena profunda atau varicosis pada vena perifer dievaluasi
dengan cara scan doppler secara longitudinal pada vena. Setelah itu, dilakukan test
provokatif/valsava manuver pada vena femoralis komunis-superficial dan poplitea.
s. Bila didapatkan insufisiensi di daerah proksimal maka tes dilanjutkan sampai popliteal
dan vena tungkai.
t. Bila proksimal kompeten/tidak ada insufisiensi maka kompetensi katub vena didaerah
distal harus ditentukan.

C. Pemeriksaan Doppler Pembuluh Darah Ekstremitas Superior


1. Pengertian
Pemeriksaan ini adalah pemeriksaan ultrasonografi pada pembuluh darah ekstremitas superior.

2. Tujuan pemeriksaan
Tujuan pemeriksaan ini untuk mendiagnosa adanya kelainan pembuluh darah arteri dan vena
di ekstremitas superior serta vena subclavia.

3. Persiapan
Sebelum pemeriksaan,tidak ada persiapan khusus yang harus dilakukan oleh pasien. Pasien
cukup beristirahat lebih dari 5 menit sebelum pemeriksaan di mulai .

4. Teknik dan Protokol


a. Menggunakan tranduser frekuensi tinggi yaitu frekwensi 5-5-7,5 MHz untuk arteri-vena
subclavia dan arteri axillaris. Sedangkan untuk arteri tangan dengan transduser 7,5-10 MHz.
b. Frekwensi transduser dan gain di pilih pada pembuluh darah yang sehat.
c. Pasien posisi supine pada arteri-vena subclavia dan arteri-vena axillaris. Sedangkan pada
pemeriksaan lengan dan jari-jari posisi tangan supine.
d. Pemeriksaan di mulai di arteri-vena subclavia, axillaris, brachialis, sampai dengan arteri-vena
didaerah arcus palmaris.
e. Pemeriksaan selalu di mulai dengan grayscale kemudian dilanjutkan dengan doppler.
f. Grayscale dilakukan secara transversal dan longitudinal untuk menilai besarnya bentuk
pembuluh darah, adanya thrombus, adanya struktur hiperekoik/iseokoik (soft plaque
maupun hard plaque) pada dinding pembuluh darah, serta ketebalan dinding arteri. Kutis
dan Subcutis juga di evaluasi.
g. Untuk mencari adanya thrombus pada sistem vena dilakukan teknik kompresi kecuali
pada vena subclavia yang berada disupraclavicula.
h. Vena subclavia di supraclavicula discan secara longitudinal dengan spectrum doppler.

32
i. Pemeriksaan untuk menilai thrombus dimulai di vena axillaris sampai pergelangan tangan
dengan cara melakukan kompresi intermiten (setiap 1-2 cm) dengan probe posisi
transversal. Semua sistem vena profunda (vena axillaris, brachialis, radialis, ulnaris),dan
vena superficial (vena basilica,cephalica) dievaluasi.
j. Setelah itu, dilanjutkan dengan doppler secara longitudinal.
k. Tentukan pembuluh darah yang akan dievaluasi.
l. Color gain diatur maksimal tetapi tidak boleh terjadi noisy.
m. Velocity range (PRF) diatur sekecil mungkin tetapi tidak boleh terjadi aliasing.
n. Color box dibuka secukupnya agar frame raete maksimal.
o. Doppler angle dan doppler strerring diatur agar didapatkan sudut doppler sekecil mungkin
(kurang dari 60 derajat).
p. Sampling gate besarnya 2/3 dari lumen.
q. Pada sistem arteri dievaluasi kecepatan aliran (PSV), doppler sign (bentuk spectrum),
stenosis, dan derajat stenosis. Sedangkan pada sistem vena cukup dilakukan mapping.

33
BAB 8 PEMERIKSAAN RADIOLOGI NUKLIR
A. Kelenjar Tiroid
1. Sidik Kelenjar Tiroid (Thyroid scintigraphy)
a. Indikasi.
1. Evaluasi nodul tiroid
2. Evaluasi pembesaran kelenjar tiroid tanpa nodul yang jelas.
3. Evaluasi jaringan tiroid ektopik atau sisa pasca-operasi.
4. Evaluasi fungsi tiroid.
b. Radiofarmaka
1) Nal-131 uCi,diberikan per oral.
2) 99m Tc-pertechnetate, dosis 2-5 mCi,diberikan iv.
c. Persiapan
1) Bila yang digunakan radiofarmaka Nal-131,pasien dipuasakan selama 6 jam.
2) Obat-obat dihentikan selama beberapa waktu (lihat tabel).
d. Peralatan
Kamera gamma dengan atau tanpa kolimator pinhole; kalau tidak ada dapat
menggunakan kolimator LEHR (Low Energy High Resolution) untuk 99 mTc-
pertechnetate dan energi medium untuk 131I. Pemilihan kolimator tergantung pada
energi radiasi gamma utama dari radionuklida yang digunakan, yaitu 131I : 364 keV
dan 99mTc-pertecnetate:140 keV.
e. Tatalaksana
1) Pencitraan dilakukan 10 sampai dengan 15 menit setelah penyuntikan 99mTc-
pertechnetate iv, atau 24 jam setelah minum NaI-131.
2) Posisi pasien terlentang di bawah kamera gamma dengan leher hiperekstens.
3) Pencitraan statik dilakukan pada posisi AP (kalau perlu oblik kiri atau kanan).
4) Pada kartilogo tiroid dan jugular diberi tanda ; matrix:256x256
5) Peak energi disesuaikan dengan radionuklida, yaitu 140 keV (untuk 99 mTc),
159,0(untuk 123I), dan 360 keV (131I) dengan window:20%.
6) Jumlah cacahan: 400.000 kcts (99mTc-pertechnetate) atau 100.000 kcts (Nal-131)
7) Proses pencitraan berlangsung selama 5-10 menit.
f. Catatan
Radionuklida yang paling ideal untuk evaluasi kelenjar tiroid adalah NaI-123, karena
energinya tidak begitu tinggi (159 keV) dengan waktu parah pendek (13,2 jam). NaI-
123 adalah suatu radionuklida produksi siklotron, sayangnya NaI-123 saat ini belum
ada di Indonesia. Obat tertentu, terutama yang mengandung iodium dan hormon
tiroid, akan mengganggu pencitraan. Daftar beberapa obat tersebut dan lama
penghentian sebelum dilakukan penyidikan tiroid dapat dilihat pada tabel 4.1.

34
Tabel 8.1. Lama penghentian obat

Nama Obat Lama Penghentian


Obat yang mengandung iodium (Sol.lugol Minimal 4 minggu
betadine, kontras radiologi)
Obat-obat antiroid (neomereazole, PTU) 3-5 hari
Obat-obatan mengandung vitamin dan mineral 1 minggu
Hormon tiroid T4
4 minggu
Hormon tiroid T3 1 minggu

B. Ginjal
1. Sidik ginjal (Renal Scintigraphy)
a. Indikasi
1) Deteksi adanya proses desak ruang pada ginjal
2) Mengetahui jaringan yang masih berfungsi dari suatu pielonefritis
3) Deteksi malformasi arteri-vena
4) Deteksi daerah yang avaskular (infark ginjal, abses, dan kista)
5) Deteksi kelainan ginjal congenital seperti horse shoe kidney.
b. Radiofarmaka
1) 99mTc-DMSA sebanyak 5 mCi.
2) 99mTc-Glukoheptonat sebanyak 10 mCi.
3) Disuntikkan intravena pada vena mediana cubiti.
c. Persiapan
Tidak ada persiapan khusus bagi pasien.
d. Peralatan
1) Kamera gamma, kolimator: LEHR paralel hole.
2) Pengaturan energi(energy setting): energi rendah(low energy) dengan puncak
pada 140 KeV.
3) Window width: 20%
e. Tatalaksana
1) Posisi pasien terlentang.
2) Lapang pandang pencitraan sedemikian rupa sehingga mencakup ginjal dan
kandung kemih. Proyeksi posterior.
3) Protokol akuisisi:
a) Pencitraan statik 2-3 jam setelah injeksi
b) Total counts 400 Kcount.
c) Posisi posterior, dilanjutkan dengan RAO dan LAO apabila diperlukan.
f. Penilaian
1) Pada sidik ginjal normal, tampak kontur ginjal halus dengan distribusi
radioaktivitas rata.
2) Pada ginjal normal, tampak defect (kelainan/cacat) yang multipel berbatas tegas.

35
2. Renografi Konvensional
Secara garis besar ginjal mempunyai dua fungsi utama yaitu fungsi filtrasi dan reabsorbsi
sekresi. Fungsi filtrasi dilakukan oleh glomerulus sedangkan fungsi reabsorbsi dan sekresi
dilakukan oleh sel-sel tubuli.
a. Indikasi
1. Evaluasi perfusi dan fungsi ginjal.
2. Uji saring hipertensi renovaskular.
3. Deteksi dan evaluasi obstruksi sistem koleksi ginjal.
4. Evaluasi trauma ginjal.
b. Radiofarmaka
1) Radiofarmaka yang biasa digunakan adalah 131I hippuran sebanyak 300uCi atau
99mTc-MAG3 sebanyak 4mCi yang disuntikkan di vena median kubiti secara
bolus.
2) Radiofarmaka ini hampir seluruhnya disekresikan oleh tubuli.
3) Konsentrasi maksimal terjadi dalam 5 menit pasca injeksi, dan hilang dari
parenkim dan sistem koleksi dalam 30 menit.
4) Seperti juga 131I hippuran,99mTc-MAG3 juga di eliminasi hampir sempurna
melalui sekresi tubulus. Nilai klerens MAG3 lebih rendah dibandingkan dengan
nilai hippuran, hal ini mungkin disebabkan oleh perbedaan dalam protein pembawa
c. Persiapan
1) Penderita harus dalam keadaan hidrasi baik dengan memberi minum 500 ml sebelum
pemeriksaan.
2) Pada pemakaian radiofarmaka 131I-hippuran, penderita sebelumnya diberi larutan
lugol 10 tetes untuk memblok jaringan tiroid agar tidak menangkap 131I.
3) Kandung kemih penderita diusahakan dalam keadaan kosong.
d. Peralatan
1) Kamera gamma: large field of view.
2) Kolimator: LEHR untuk 99Tc-MAG3.
3) Medium energy collimator untuk pemakaian 131I-hippuran.
4) Pengaturan energy (energy setting):
a) Energi rendah (low energi) pada puncak 140 KeV.
b) Window width: 20%
e. Tatalaksana
1) Posisi pasien terlentang, karena dari arah posterior.
2) Deteksi ditempatkan sedemikian rupa hingga ginjal dan kandung kemih berada dalam
lapang pandang pencitraan.
3) Protokol akusisi:
a) Teknik pencitraan dinamik
b) Frame time I: 6 frame 10 detik
c) Frame time II: 15 frame /1 menit
4) Pemrosesan data:
Seluruh data kasar digabung. Setelah itu, dibuat ROI pada kedua ginjal serta dibawah
kedua ginjal untuk substraksi latar belakang untuk membuat kurva waktu-aktivitas.

36
f. Penilaian
1) Pada pencitraan dinilai penangkapan radioaktivitas oleh kedua ginjal untuk melihat
kemampuan ginjal mengekskresi radiofarmaka.
2) Penilaian kurva sebagai berikut:
a) Fase pertama initial
Terjadi peningkatan secara cepat segera setelah penyuntikan radiofarmaka yang
menunjukkan kecepatan injeksi dan aliran darah vascular ke dalam ginjal. Dari fase
ini dapat juga dilihat teknik dari penyuntikan radiofarmaka, apakah bolus aaatau tidak.
Fase ini terjadi kurang dari 2 menit.
b) Fase kedua sekresi
Menunjukkan kenaikan yang lebih lamban dan meningkatkan secara bertahap. Fase
ini berkaitan dengan proses penangkapan radiofarmaka oleh dan didalam ginjal
melalui proses difusi lewat sel-sel tubuh kedalam lumen tubulus.Dalam keadaan
normal fase ini mencapai puncak dalam waktu 2-5 menit.
c) Fase ketiga/ekskresi
Tampak kurva menurun dengan cepat setelah mencapai puncak kurva yang
menunjukkan keseimbangan antara radioaktifitas yang masuk dan yang meninggalkan
ginjal.
g. Catatan
Pada penderita yang sebelumnya telah dilakukanIVP, pemeriksaan renogram harus
ditunda dahulu kurang lebih dari dua minggu.Hal ini bertujuan agar edema sel-sel tubuli
akibat penggunaan zat kontras pada IVP mereda.

3. Renografi kaptopril
Sekresi Angiotensin II (A-II) di ginjal merupakan gal yang penting dalam pemeliharaan
fungsi ginjal secara normal. Sistem rennin angiotensin memainkan peranan penting dalam
patogenesis hipertensi renovaskular. Penurunan perfusi renal akan merangsang pelepasan
rennin kedalam sirkulasi darah yang dapat menyebabkan kadar a-II plasma meningkat.A-
II selain sebagai vasokonstriktor terutama di arteriole eferen akan merangsang juga
sekresi aldosteronoleh korteks adrenal serta merangsang sistem saraf simpatis.

Renografi kaptopril merupakan modifikasi dari renografi konvensional yang dilakukan


dengan memberikan 25-50 mg kaptopril sebelum pemeriksaan dilakukan.

Kaptopril (ACE inhibitor) menghambat vasokonstriksi arteriolar glomerulus yang


disebabkan oleh A-II, menurunkan laju filtrasi glomerulus, aliran urin, dan retensi garam
diginjal yang sakit. Penurunan LFG ini melatarbelakangi adanya perubahan pada renogram.
Pada ginjal dengan stenosis renalis, penurunan fungsi terlihat setelah pemberian kaptopril.

a. Indikasi
Uji saring hipertensi renovaskular.
b. Radiofarmaka
99mTc-MAG3 sebanyak 5 mCi atau uCi 131I-hippuran disuntikkan intraven secara
bolus melalui vena mediana cubiti.

37
c. Persiapan
Persiapan hampir sama dengan pemeriksaan renogram konvensional. Hanya satu jam
sebelum pemeriksaan, penderita diberi 25-50 mg kaptopril per oral. Penderita
dianjurkan puasa paling kurang 4 jam sebelum pemberian dalam pengobatan diuretic,
obat harus dihentikan 2-3 hari sebelum pemeriksaan. Apabila radiofarmaka yang
digunakan 131I-hippuran, maka 15 menit sebelum pemeriksaan diberi 1cc lugol.
d. Peralatan
1) Kamera gamma LFOV
2) Kolimator: LEHR untuk 99mTc-MAG3,
3) Medium energy collimator untuk pemakaian 131I-hippuran
4) Pengaturan energi (energy setting):
a) Energi rendah (low energy) pada puncak 140 Kev
b) Window width: 20%
e. Tatalaksana
a. Posisi pasien terlentang, karena dari arah posterior.
b. Deteksi ditempatkan sedemikian rupa hingga ginjal dan kandung kemih berada
dalam lapamh pandang pencitraan.
c. Protokol akuisisi:
1) Teknik pencitraan dinamik.
2) Frame/time I: 6 frame/10 detik
3) Frame/time II: 15 frame/1 menit.
d. Pemrosesan data:
1) Seluruh data kasar digabung, kemudian dibuat ROI pada kedua ginjal serta di
bawah keduaginjal untuk substraksi latar belakang dan didapatkan kurva
aktivitas terhadap waktu.
f. Penilaian
Berdasarkan penilaian kualitatik terhadap kurva renogram. Penilaian semi kuantitatif
berdasarkan rekomendasi Working Party on Diagnostic Criteria of Renovascular
Hypertension with Captopril Renography adalah sebagai berikut.
1) Derajat 0: normal.
2) Derajat 2-salah satu dari yang berikut.
a) Perlambatan ringan dari fase sekresi (fase 2)
b) Penurunan aktifitas maksimal
3) Waktu puncak (Tmaks) abnormal 6<Tmaks<11menit.
4) Derajat 2A.
Perlambatan fase sekresi dan Tmaks, dengan fase ekskresi.
5) Derajat 2B.
Perlambatan fase sekresi, Tmaks tanpa fase ekskresi.
6) Derajat 3
Penurunan yang nyata atau penangkapan radiofar maka tidak ada sama sekali.
g. Nilai
1) Bila terjadi perubahan dari satu atau lebih derajat (termasuk 2A>2B) fra dan
pasca-katopril, maka terdapat probabilitas tinggi untuk hipertensi renovaskular.
2) Probalitasnya rendah apabila derajat nya 0 pasca-katopril.
3) Probalitasnya intermediate apabila renografi awal abnormal tanpa ada
perbedaan antara fra dan pasca-katopril.
38
4) Penilaian kuantitatif lain meliputi:
a) Perubahan fungsi terpisah (split renal function) dengan misbah 60/40%
atau lebih.
b) Perpanjangan waktu transit parenkim.
c) Aktivitas residual korteks (cacahan pada 20-30 menit versus cacahan pada
puncak)
d) Perubahan laju filtrasi glomerulus total (penurunan 15% atau lebih);
berguna untuk mendeteksi stenosis a. renalis bilateral atau pada pasien
dengan hanya satu ginjal.

4. Renografi Diuresis
Prinsip pemeriksaan ini berdasarkan fenomena bahwa obstruksi yang terjadi di ginjal
dapat disebabkan oleh hambatan statis aliran urin yang tinggi setelah pemberian diuretik
diharapkan dapat menghilangkan hambatan tadi. Renografi bioresis adalah modifikasi
renografi konvensional dengan intervensi farmakologi diuretika furosemid.

a. Indikasi
Untuk mengetahui lebih lanjut tingkat obstruksi ginjal, apakah total atau parsial.
Misalnya, pada megapielum, hipoteni pielum, atau batu.
b. Persiapan
Persiapan yang dilakukan seperti pemeriksaan renografi konvensional
c. Peralatan
1) Kamera gamma LFOV
2) Kolimator, meliputi:
a) LEHR untuk 99mTc-MAG3
b) Medium energy collimator untuk pemakaian 131I-hippuran.
3) Energy setting
a) Low energy pada puncak 140 KeV.
b) Window width: 20%
d. Tata laksana
1) Posisi pasien terlentang
2) Deteksi ditempatkan sedemikian rupa hingga ginjal dan kandung kemih
berada dalam lapang pandang pencitraan dari proyeksi posterior.
3) Protokol akuisisi
a) Teknik pencitraan dinamik.
b) Matrix 128 x 128
c) Frame/time I: 6 frame/10 detik.
d) Frame/time II: 15 frame/1 menit.
Pemeriksaan diikuti dengan saksama dan bila setelah 15 menit tidak tampak
penurunan fase III (retensi radiofarmaka pada ginjal), segera berikan
furomesid 20mg intravena. Pemeriksaan terus dilanjutkan lebih kurang 10
menit setelah penyuntikan furosemid.

39
4) Pemrosesan data
Kemungkinan yang dapat ditemukan sebagai berikut.
a) Pemberian furosemid tak mengubah bentuk kurva obstruksi (fase III terus
naik). Gambaran demikian dikenal sebagai gambaran obstruksi total.
b) Pemberian furosemid menyebabkan perubahan kurva renogram dengan cepat
dan ekskresinya menjadi sangat efektif; gambaran ini ditemukan pada
hidronefrosis non-obstruksi atau dilatasi hipotonik.
c) Apabila pengaruh furosemid pada kurva obstruksi hanya bersifat parsial, tidak
cepat dan ekskresinya lambat maka gambaran demikian menunjukkn adanya
obstruksi atau subtotal.

C. Tulang
1. Sidik Tulang (Bone Scintigraphy)
Sidik tulang merupakan pemeriksaan yang telah lama digunakan untuk membantu
menegakkan diagnosa dan mengikuti perjalanan penyakit. Sidik tulang dianggap sebagai
pemeriksaan terpilih untuk deteksi dini proses metastasis tumor ke tulang.

Radiofarmaka yang paling sering digunkan untuk sidik tulang adalah 99mTc-MDP
(methylenediphosphonate). Radiofarmaka ini apabila disuntikkan ke dalam tubuh secara
intravena akan ditangkap oleh sel-sel osteoblast (osteoblastic-mapping). Mekanisme
penangkapan radiofarmaka tersebut tergantung pada kemampuan bahan tersebut berkaitan
dengan ion-ion organik dan reaksinya dengan berbagai unsur organik pada tulang.

Atas dasar mekanisme ini maka pemeriksaan sidik tulang menjadi sangat sensitif
dibandingkan dengan pemeriksaan radiologi yang didasarkan adanya perubahan anatomi.
Hasil positif sudah dapat diperoleh 3-18 bulan lebih awal dibandingkan
pemeriksaanradiologi. Sebaliknya pemeriksaan ini menjadi kurang spesifik, karena setiap
proses peningkatan osteoblastik oleh sebab apapun akan memberikan gambaran positif.

Untuk evaluasi vaskularisasi suatu lesi pada tulang dapat dilakukan pemeriksaan dengan
metode tiga fase (three-phase-bone scan).

a. Indikasi
Pemeriksaan dilakukan apabila ada indikasi seperti berikut.
1) Metastasis pada tulang
2) Tumor tulang primer
3) Osteomielitis
4) Nekrosis aseptic
5) trauma
6) kelainan sendi
7) penyakit metabolic pada tulang
b. Radiofarmaka
99Tc-MDP dengan dosis 15-20 mCi disuntikkan secara intravena pada v.mediana cubiti.
c. Persiapan
Tidak diperlukan persiapan khusus

40
d. Peralatan
1) Kamera gamma planar dilengkapi data processor
2) Kolimator LEHR
a) Puncak energy: 140 KeV
b) Window width: 20%
e. Tatalaksana
Pencitraan dilakukan dengan metode tiga fase
1) Fase pertama (vascular)
a) Penderita tidur terlentang dengan detector ditempatkan sedemikian rupa sehingga
tubuh yang akan diperiksa berada di atas lapang pandang detector.
b) Pemeriksaan fase pertama merupakan pemeriksaan dinamik dalam frame
berukuran matrix 128x128 dengan pencacahan 3 detik/frame selama 2 menit.
c) Posisi pencitraan: anterior dan atau posterior.
d) Pencitraan dimulai bersamaan dengan saat penyuntikan radiofarmaka secara
bolus.
2) Fase kedua (boold pool)
a) Pemeriksaan fase kedua dilaksanakan segera setelah fase pertama selesai berupa
pencitraan static dalam frame berukuran matrix 256x256 sebanyak 700 Kcounts.
b) Posisi pencitraan: anterior dan posterior.
3) Fase ketiga
a) Fase ketiga merupakan pemeriksaan statik yang dilakukan 3 jam pasca
penyuntikan radiofarmaka.
b) Sebelum memasuki ruang pemeriksaan penderita dianjurkan untuk buang air kecil
dengan hati-hati untuk menghindari kontaminasi. Pada fase ketiga ini dilakukan
pemeriksaan seluruh tubuh (whole body scan) dari posisi anterior dan posterior
dilanjutkan dengan pemeriksaan spot pada bagian-bagian yang mencurigakan.
Pemeriksaan dalam frame berukuran matrix 256x256 sebanyak 700 Kcounts.
c) Posisi pencitraan: anterior dan posterior. Apabila diperlukan pemeriksaan
dilakukan dengan posisi miring (oblique) untuk memperjelas lokasi kelainan.

D. Saluran Cerna
1. Pemeriksaan Divertikulum Meckle
a. Indikasi
1) Mendeteksi /mencari lokasi divertikulum meckle yang mengandung mukosa
gaster yang berfungsi
2) Mendeteksi/mencari lokasi struktur patologis yang mengandung mukosa gaster.
b. Waktu pemeriksaan: 1 jam 15 menit
c. Peralatan dan energy window
1) Gamma camera: LFOV
2) Collimator: LEHR, parallel hole
3) Window width: 20% window dipusatkan pada 140 kev
d. Radiofarmaka
1) Tc-99m sodium Pertechnetate (Tc-O4)
2) Dosis: 10 mCi intravena

41
e. Protokol akuisisi
1) Dynamic flow 20 frame/30 sec, matriks 128x128x16,
2) Diikuti dengan pencitraan static setiap 5,10,15,30,45 dan 60 menit, 1000 kcts,
matriks 256x256x16.
Catatan: semua gambar dibuat pada posisi yang sama.

2. Pemeriksaan Perdarahan Gastrointestinal


Pemeriksaan perdarahan gastrointestinal ditujukan untuk mencari lokasi perdarahan
gastrointestinal.
a. Waktu pemeriksaan
1) 2 jam: 1 jam untuk pengambilan darah
2) 4 jam untuk pencitraan
3) Pencitraan lanjut dilakukan 24 jam sesudah pemeriksaan pertama bila diperlukan.
b. Persiapan pasien
Harus dilakukan pemasangan infuse/jalur intravena
c. Peralatan dan energy window
1) Gamma camera: LFOV
2) Collimator: LE, general purpose, parallel hole
3) Window width: 20% dipusatkan pada 140 kev
d. Radiofarmaka
1) Tc-99m Red Blood Cells
2) Dosis: 30 mCi Tc-O4
3) Cara melabel: in vivo
4) Suntikan intravena
e. Catatan
1) Pasien diberikan 2,0 ml stannous pyrophosphate intravena. Tunggu 20-30 menit,
kemudian ambil 8 cc ACD dan tunggu sampai mengendap. Setelah itu, serum
disisihkan. Sediment RBC dilabel dengan Tc-99m dan disuntikkan intravena.
2) Formulir jalur label darah harus diisi untuk setiap pasien perdarahan saluran cerna.
Teknisi dan saksi yang sama mengambil darah dan menyuntikkannya kembali,
diikuti seluruh instruksi pada formulir jalur darah.
3) Darah akan dilabel oleh ahli radiofarmaka. Jika tidak, ikuti perintah pemberian etiket
pada manual farmasi.
f. Protokol akuisisi
1) Posisi pasien berbaring terlentang dibawah FOV kamera yang besar(meliputi
abdomen dan pelvis).
2) Dynamic flow: 30 fps dilanjutkan dengan 6 frame/300s, matriks128x128x8.
3) Dilanjutkan dengan static selama 5 menit pada 1,2,3 dan 4 serta 24 jam bila perlu.

E. Onkologi
1. Skintimammografi (99Tc Sestamibi)
a. Indikasi
1) Massa payudara yang dicurigai keganasan dengan USG dan mammografi radiologi.
2) Penyakit keganasan payudara yang telah dicurigai bermetatasis ke KCB aksilla.
3) Dicurigai tumor payudara residif.

42
b. Radiofarmaka
1) 99mTc-sestamibi dengan dosis 15 mCi.
2) Pemberian secara intravena pada vena mediana cubiti inspilateral payudara yang
normal atau vena di daerah dorsalis pedis.
c. Persiapan
Pada pemeriksaan ini tidak diperlukan persiapan khusus
d. Peralatan
1) Kamera gamma planar dilengkapi processor.
2) Kolimator LEHR/LEGP.
3) Puncak energy: 140 KeV. Window width: 20%
e. Tatalaksana
1) Posisi prone
Menggunakan mammopad khusus, dimana kedua mammae menggantung dengan
bebas, posisi tangan ke atas. Pada pencitraan planar statik lateral, kolimator sedekat
mungkin dengan payudara, aksila dimasukkan dalam lapangan, matriks 256x256
selama 10 menit, kemudian diambil lagi selama 3 menit dengan nipple marker.
2) Posisi anterior
Tangan dibelakang kepala, dilakukan pencitraan planar statik selama 10 menit dan 3
menit dengan nipple marker.

F. Terapi
1. Pengobatan Hipertiroid dengan Iodium Radioaktif
a. Indikasi
Semua jenis hipertiroid, kecuali tirotoskosis faktitia, hipertiroid dalam kehamilan,
atau sedang laktasi, dan hipertiroid postpartum.
b. Radiofarmaka
NaI-131 dengan dosis rendah (80-150aCi/g), dosis sedang (150-200uCi/g), atau dosis
tinggi (>200uCi/g), diberikan per oral.
c. Persiapan
1) Obat/ makanan tinggi iodium dihentikan paling kurang satu minggu sebelumnya.
2) Obat-obat antitiroid dihentikan paling kurang 5 hari sebelumnya.
3) Pasien puasa, dan baru boleh makan satu jam setelah pemberian NaI-131.
d. Catatan
1) Dosis ditentukan dengan rumus berdasarkan uptake dan perkiraan berat kel. tiroid
2) Efek samping yang perlu diperhatikan
a) Eksaserbasi tirotoksikosis, jarang terjadi (dalam 1 minggu pasca pengobatan)
b) Rasa pembengkakan di daerah tiroid dan mulut kering (hilang sendiri)
c) Hipotiroid selintas (biasanya 3 sampai dengan 6 bulan pasca-pengobatan)
d) Hipotiroid menetap (dipantau dengan nilai kadar TSH periodik tiap 3-6 bulan)
3) Apabila dalam 3-6 bulan belum menunjukkan perbaikan, pengobatan dapat diulang
4) Pasien wanita atau istri pasien pria tidak dibolehkan hamil selama 6 bulan pasca-
pengobatan. Oleh karena itu, pakailah kontrasepsi selama waktu tersebut.
5) Pasien dianjurkan tidak berada dekat dengan bayi atau anak berusia < 12 tahun
atau wanita hamil selama paling kurang 2 hari selama pengobatan.
43
2. Pengobatan Karsinoma Tiroid Berdiferensiasi Baik
Karsinoma berdiferensiasi baik berasal dari jaringan epithelial folikel tiroid. Penyakit
tersebut banyak dijumpai pada wanita daripada pria. Ada 3 jenis karsinoma yang dikenal,
yaitu karsinoma tiroid folikuler, papilifer, dan campuran.

Karsinoma tiroid folikuler secara histologis mempunyai gambaran yang mirip dengan
jaringan tiroid normal, sering bermetastasis secara hematogen secara dini, sehingga saat
penderita berobat penyakit sudah bermetastasis jauh ke tulang dan paru.

Insiden karsinoma tiroid papilifer lebih tinggi daripada karsinoma tiroid folikuler dan
banyak dijumpai oada decade II-III, serta usia lanjut. Penyakit tersebut berkembang lebih
lambat dan bermetastasis ke kelenjar getah bening regional.

Jaringan tiroid normal maupun patologis mengakumulasi ion 131I dan radiofarmaka lain,
dengan demikian kedokteran nuklir mempunyai peranan yang penting dalam penanganan
penderita karsinoma tiroid berdiferensiasi baik pasca-tiroidektomi total.

a. Protokol pengobatan
1) Lakukan sidik tiroid dan seluruh tubuh (SST/whole body scan) dengan 2-5 mCi 131I
dalam 4-6 minggu pasca tiroidektomi total. Tujuanya untuk mengetahui adanya sisa
jaringan tiroid di thyroid bed dan kemungkinan metastasis.
2) Periksa kadar TSHs dan tiroglobulin (Tg) sebagai pembanding. Jangan diberikan terapi
substitusi dahulu kepada pasien.
3) Apabila pada sidik kelenjar tiroid jaringan tiroid tampak masih utuh (satu lobi), rujuk
kembali penderita kepada dokter bedahnya untuk tiroidektomi total.
4) Apabila hanya dijumpai sisa jaringan tiroid, lakukan tiroablasi dosis 50 mCi. Pasien
dirawat dikamar isolasi sampai paparan radiasi mencapai 1 mrm/m/jam.
5) Berikan terapi substitusi pasca-ablasi dan dianjurkan pasien kontrol 6 bulan lagi. 1 bulan
sebelum kontrol pasien diminta menghentikan terapi substitusi sedikitnya 4 minggu
dan memeriksa kadar TSHs serta Tg sebelum dilakukan SST. Bila tidak dijumpai sisa
jaringan tiroid atau metastasis pada SST, maka pasien langsung diberi terapi substitusi
dan diminta kontrol kembali 6 bulan kemudian.
6) Bila SST (+), kadar TSHs (-), kadar serum TSHs tinggi dan Tg rendah. Apabila kadar
serum Tg tinggi, walaupun SST (-) maka hal ini merupakan indikasi untuk melanjutkan
terapi. Dosis maksimal yang dapat diberikan sebanyak 1 Curie.
7) Bila dalam 2 kali waktu kontrol (6 bulan) berturut-turut hasil pemeriksaan baik, maka
masa kontrol diperpanjang menjadi 1 tahun sekali. Bila hasil pemeriksaan 2 kali waktu
kontrol (1 tahun) berturut-turut baik maka penderita dianjurkan untuk kontrol 2 tahun
sekali. Bila 2 kali waktu kontrol (2 tahun) hasil pemeriksaan baik, maka penderita
dianjurkan untuk kontrol kembali 5 tahun sekali.

44
3. Pengobatan Paliatif Rasa Nyeri pada Tulang Akibat Proses Metastasis

a. Indikasi
Rasa nyeri akibat proses metastasis ke tulang

b. Kontra indikasi
Pengobatan tidak dapat diberikan kepada pasien wanita yang sedang hamil atau
laktasi, pasien dengan fraktur patologis, dan pemeriksaan darah tepi abnormal.

c. Persiapan
Sebelum dilakukan pengobatan tersebut dilakukan sidik tulang untuk memastikan
adanya proses metastasis ke tulang yang bersifat menangkap rafiofarmaka.

d. Radiofarmaka
153Sm-EDTMP 0,5-1 mCi/kgBB intravena
Sidik tulang dilakukan 4 jam setelah penyuntikan untuk memastikan radiofarmaka
telah memasuki tulang yang terkena metastasis.

e. Efek samping
Mielosupresi yang bersifat sementara dan relative ringan (2 sampai dengan 4 minggu)

f. Catatan
Pengobatan paliatif dapat diberikan bersama-sama dengan radioterapi eksterna,
kemoterapi, dan terapi hormonal bila keadaan umum pasien memungkinkan.
Pengobatan ulang dapat diberikan bila rasa nyeri timbul kembali 3 sampai
dengan 24bulan pasca pengobatan paliatif dengan pemberian radionuklida bila
jumlah trombosit > 60.000/ml dan leukosit > 2.400/ml

45
BAB 9 PEMERIKSAAN PET SCAN

A. Prosedur Pemeriksaan Pet CT

1. Persiapan pasien
a. Pasien yang memiliki diabetes (DM) berpuasa makan 12 (dua belas jam).
b. Pasien diperbolehkan minum air putih.Pasien tidak berolahraga/melakukan aktifitas
berat selama 12 (dua belas jam) sebelum pemeriksaan.
c. Level gula darah 140 mg/dl.
d. Pasien tidak boleh merokok dalam waktu 1 x 24 jam sebelum pemeriksaan.
e. Pasien yang tidak dapat berjalan, harus dibantu oleh anggota keluarganya
(sesuai aturan BAPETEN), dan akan dipasang kateter untuk kelancaran dan
kenyamanan pasien.
f. Pada saat scanning, pasien harus tenang, dan kooperatif. Apabila pasien panas
sampai
menggigil, sering batuk, sebaiknya diobati terlebih dahulu. Pada kasus-kasus
tertentu pasien perlu didampingi anaestesi.
g. Apabila gula darah pasien tinggi, diberikan suntikan insulin pertama. Pemberian
suntikan dapat diulang sampai gula darah ideal agar tidak terjadi false negative.
h. Obat Metformin dihentikan untuk sementara dan diganti dengan obat lain minimal
2 hari.
i. Tidak diberikan obat pemacu sel darah dalam 5 hari terakhir, misalnya Leukokine,
Leucogen, Neupogen, Granocyte, dan lain-lain)
j. Periksa Ureum & Creatinin (toleransi Creatinin 1.8 untuk penggunaan kontras).
k. Pemeriksaan diagnostik yang sudah dilakukan mohon disertakan maksimal
pada waktu pemeriksaan PET-CT Scan.
l. Karena FDG memiliki paruh waktu, maka pasien diwajibkan untuk datang tepat
pada waktu yang dijadwalkan.

2. Tindakan Pemeriksaan
a. Pasien disuntik (intravena): FDG dengan dosis pemberian: 10-15 mci (370-555
MBq) (3,7 – 5,2 MBq/kg. Max 740 MBq).
b. Pasien diistirahatkan selama 45 sampai dengan 60 menit.
c. Setelah itu pasien diletakkan di atas pesawat PET-CT. Sebelumnya VU
dikosongkan.
d. Dilakukan penyuntikan kontras (bila perlu) dan CT Scan dioperasikan dari
Cranial Caudal, setelah itu PET Scan dari Caudal-Cranial untuk mengurangi
pengaruh aktivitas dalam vesica urinaria yang tinggi pada pencitraan.
3. Pemeriksaan PET-CT dilakukan
1 minggu setelah biopsi, 6 minggu post operasi, 4-6 minggu post chemoterapi, dan
6-12 minggu post radiasi.

46
BAB 10 PEMERIKSAAN ANGIOGRAFI
A. Persiapan Angiografi
1. Indikasi
a. Diagnosis penyakit vascular primer.
b. Diagnosis dan lokasi tumor vascular.
c. Tindakan sebelum operasi.
d. Diagnosis dan terapi komplikasi
e. Prosedur endovascular dalam radiologi intervensional.

2. Kontra Indikasi
a. Absolut: pasien tidak stabil, misalnya sepsis.
b. Relatif: infark jantung, alergi kontras,koagulopati (gangguan faktor
pembekuan), tidak dapat berbaring (supine), sisa pemeriksaan barium, hamil, dan
menstruasi.

3. Persiapan
a. Tempat perawatan sebelum dan sesudah tindakan.
b. Riwayat penyakut, pemeriksaan fisik, dan radiologi sebelumnya.
c. Izin tindakan medik.
d. Laboratorium: Hb, Ht, leukosit, trombosit, BT, CT, ureum, dan kreatinin.
e. Puasa 6-8 jam sebelum pemeriksaan.
f. Infus D5 ½%, 150 ml/jam.
g. Premedikasi (bila perlu): diazepam 10 mg, oral.
h. Kosongkan kandung kemih atau pasang kateter urin.
i. Identitas pasien dan catatan rekam medis lengkap.
j. Pulsasi a. femoralis atau a. brakialis.
k. Mencukur rambut pubis.
l. Antibiotic pra dan pasca prosedur.

4. Obat-obatan
a. Heparinisasi: stop 5-12 jam, PTT 1,2 x control. Mulai lagi setelah prosedur =
6-12 jam. Dapat diberikan protamine sulfat dengan dosis 100 berbanding 1.
b. Warfarin: stop 1-2 hari, beri FFP atau vit. K (25-50 mg, IM) sampai PT = 15
sec.
c. Aspirin = fungsi agregasi trombosit mencapai normal dalam 3-10 hari.
d. Trombosit= 75.000/ml, jika < 75.000 beri dahulu tranfusi FFP sebanyak 10
kantong. Jika antara 75.000 -100.000 berikan tranfusi selama tindakan.
e. IDDM: insulin pada pagi hari ½ dosis. Infus D5% tetesan emergensi. Pada
tengah hari berikan makanan oral dan insulin awal.
f. Gagal ginjal: kontras yang diberikan maksimal 5 ml/KgBB dibagi kreatinin serum.
g. Infeksi menular: hepatitis, HIV
h. Demam: berikan antibiotik dan antipiretik.
i. Hipertensi: berikan obat sebelumnya agar terkontrol
j. Alergi: berikan antihistamin atau kortikosteroid.

47
5. Hal-hal yang perlu diperhatikan
a. Untuk sedasi dan analgetik: Midazolam dan Fentanyl.
b. Usia tua: kurangi dosis kontras sampai 50%
c. Untuk penyakit serebrovaskular dan jantung koroner: hindari obat-obatan
penurun tekanan darah cepat dan cardiac output
d. Untuk penyakit hati: hindari barbiturate dan kurangi dosis sedative dan analgesic.
e. Feokromositoma dengan tekanan darah labil pakai Dibenzyline 4 x 10 mg,
oral selama 1 minggu sebelumnya.
f. Phentolamine untuk krisis hipertensi.
g. Konsul ahli anestesi.
h. Myeloma multiple: hidrasi cairan harus baik.
i. Sickle cell anemia dan polisitemia vera: dapat terjadi komplikasi tromboemboli.

B. Radiologi-Neororadiologi Intervensional
1. Peran radiologi intervensional
a. Biopsi per kutan (bantuan fluoroskopi, USG, CT atau MRI)
1) Sitologi,
2) Paru,
3) Mediastinum,
4) Payudara,
5) Tulang,
6) Intra abdomen,
7) Kelenjar getah bening.

b. Penatalaksanaan kumpulan cairan patologid (abses)


1) Intraperitoneum,
2) Retroperitoneum dan pelvis,
3) Intratorakal.

c. Penatalaksanaan penyakit sistem bilier


1) PTC (percutaneos transhepatic cholangiography)
2) PTCD (percutaneos transhepatic chlolangiography drainage)
3) Biliary endoprosthesis (stent duktus bilier) pada keganasan
4) Kelainan lain:
Obstruksi benigna dengan dilatasi duktus
Fistula
Kolelitiasis

d. Penatalaksanaan kelainan traktus urogenital


1) Nefrostomi per kutan
2) Struktur dan fistula ureter atau uretra
3) Urolitiasis
4) Uretroplasti pada hipertrofi prostate
5) Rekanalisasi tuba

48
e. Penatalaksanaan kelainan sistem vascular
1) Hemoptisis atau batuk darah
2) Perdarahan traktus digestivus: atas dan bawah
3) Hematemesis karena pecahnya varises esophagus (TIPS)
4) Perdarahan karena trauma
5) Pemasangan porth catheter
6) Embolisasi atau kemoterapi tumor:
Paru
Hepar (hepatoma)
Ginjal
Urogenital (mioma uteri, perdarahan karsinoma serviks uteri)
Tulang

7) Embolisasi malformasi vascular:


AVM, AVF
Aneurisma
Varikokel
8) Obstruksi vascular:
PTA (percutaneos transluminal angioplasty)
Aspirasi thrombus atau atrektomi per kutan
Trombolisis
Stent
Filter vena cava
Sampel darah vena pada kelainan adrenal.
f. Penatalaksanaan kelainan traktus digestivus
a) Struktur esophagus, intestinum dan klorektal
b) Gastrostomi dan enferal feeding
c) Fistula
g. Penatalaksanaan kelainan sistem lakrimalis
h. Pengeluaran benda asing

2. Peran neuroradiologi intervensional


a. Embolisasi
1) Meningioma
2) Juvenile nasopharyngeal angiofibroma
3) Paraganglioma
4) Tumor korpus vestebrae
5) Epistaskis
6) Perdarahan tumor jaringan lunak leher
7) AVF dan trauma vascular
8) AVF a. vertebralis
9) Malformasi vascular spinal
10) Dural arteriovenosa intracranial
11) CCF (carotid cavernous fistulae)
12) Pial dan dural AVM
13) Aneurisma
49
b. Angioplasty dan stenting
1) Karotis interna ekstrakranial dan bifurkasio
2) Intrakranial
c. Penatalaksanaan stroke iskemik akut
d. Lain-lain
1) Penatalaksanaan hemangioma dan malformasi vascular superficial daerah
servikofasial
2) Kemoterapi tumor daerah leher dan kepala
3) Oklusi:
A. karotis interna temporer dan permanent
Vascular ekstra dan intracranial
Stent pada trauma vascular supra aorta
Sampel sinus petrosus inferior
Blok saraf dan disektomi
HNP (herniasi discus lumbal dan servikal)

C. Pemeriksaan Angiografi
1. Aortografi Torakalis
a. Indikasi
1) Trauma aorta
2) Aeurisma disekting atau aterosklerosis
3) Emboli
4) Steal phenomenon
b. Alat:
1) Akses femoralis: kateter pigtail diameter 6 Fr, panjang 90 cm
2) Akses brakialis: kateter pigtail 5 Fr, 60 cm
3) Guidewire standar, diameter 0,030 inch, bentuk “J”
c. Pemberian kontras
1) Konsentrasi yodium 350 mg I/ml, dosis 25-30 ml/detik, volume total 60-80 ml
d. Prosedur
Memasukkan kateter pigtail dengan tuntuan guidewire, lalu ujung kateter diletakkan
sedikit diatas katup aorta, posisi 35-450 RPO (bila perlu tambah posisi AP atau LPO)

2. Aortografi Abdominalis
a. Indikasi
1) Penyakit oklusi vascular
2) Persiapan kateterisasi selektif
3) Pemetaan aneurisma
4) Persiapan pembedahan intra abdomen (revaskularisasi aorta-ekstermitas)
b. Alat
1) Kateter pigtail 5 Fr, 60 cm
2) Guidewire standar
c. Pemberian kontras
Konsentrasi yodium 350 mg I/ml, dosis 15-25 ml/detik, volume total 45-80 ml.
d. Prosedur
Ujung kateter diletakkan di atas trunkus celiacus (Vth-12), posisi AP-Lateral

50
3. Arteriografi Celiacus
a. Indikasi
1) Tumor visceral
2) Perdarahan saluran cerna atas
3) Prabedah pirai porto-vena
b. Alat
Kateter RC1 atau Cobra atau Yashiro, 5 Fr, 65 cm
c. Pemberian kontras
Konsentrasi yodium 350 mg I/ml, dosis 6-10 ml/detik, volume total 36-60 ml.
d. Prosedur
1) Ujung kateter setinggi T12-L1, lalu ujungnya diarahkan ke anterior kemudian
diturunkan perlahan sampai terasa tersangkut di pangkal trunkus coeliacus. Untuk
meyakini apabila perlu, dilakukan tes dengan menyuntikkan kontras 1-2 ml
2) Posisi AP dengan vertebrata di tengah dan batas atas diafragma kanan terlihat.

4. Arteriografi Hepatica
a. Indikasi
1) Pemetaan vascular prabedah: hepatoma, tranplantasi
2) TAI (Trans Arterial Infusion) dan TAE (Trans Arterial Embolization)
3) Hipertensi porta
4) Arteritis, aneurisma, trauma dan hemophilia
b. Alat
1) Kateter RC atau cobra, rosch hepatic atau simmon
2) Guidewire
3) Microcatheter 3 Fr atau SP catheter (Terumo)
c. Pemberian kontras
1) Konsetrasi yodium 350 mg I/ml
2) Dari a. hepatica komunis: 6-8 ml/detik, volume total 30-40 ml.
3) Dari a. hepatica propria: 4-5 ml/detik, volume total 25-30 ml.
4) Atau injeksi 5-10 ml dengan tangan (tanpa alat injeksi), terutama bila memakai
microcatheter.
d. Prosedur
1) Terlebih dahulu melakukan arteriografi celiacus untuk pemetaan a. hepatica.
2) Masukkan guidewire melewati kateter di coeliacus, lalu diarahkan selektif ke a.
hepatica komunis atau a. hepatica propria (tergantung kebutuhan)
3) Setelah itu, kateter dimasukkan secara perlahan-lahan sampai maksimal (jangan
dipaksa karena bisa berakibat robekan/ disekting pada endotel).
4) Apabila tidak berhasil guidewire dikeluarkan dan diganti dengan microchateter
(SP catheter, Terumo).
5) Posisi AP dengan abdomen kuadran kanan atas terlihat (termasuk batas atas
diafragma dan batas bawah hepar), dapat ditambah posisi oblik bila terdapat
superposisi dengan organ lain.
6) Arteriografi mesentrika superior harus dikerjakan karena sebanyak 18,5% a.
hepatica dapat berasal dari arteri tersebut.

51
5. Arteriografi Renalis
a. Indikasi
1) Hipertensi renovaskular
2) Fistel arteriovena(AVF)
3) Tumor
4) Trauma
5) Transplantasi ginjal
b. Alat
Cobra 5 Fr
c. Pemberian kontras
Konsentrasi yodium 350 mg/ ml dosis 4-7 ml/detik, volume total 10-21 ml, 5 ml
dengan tangan.
d. Prosedur
Terlebih dahulu dilakukan aortografi abdominal sebelum memasukkan kateter secara
selektif ke a. renalis kanan dan kiri karena a. renalis dapat multiple (25%) dan
kelainan di pangkal a. renalis dapat terdeteksi. A. renalis kanan umumnya setinggi L1
dan a. renalis kiri sedikit di bawahnya.
e. Posisi AP dan posterior oblik, bila perlu dengan magnifikasi (pembesaran).

6. Arteriografi Mesentrika Superior


a. Indikasi
1) Perdarahan saluran cerna: divertikel,AVM, angiodisplasia (perdarahan di atas 0,5
ml/menit baru terdeteksi)
2) Tumor
3) Trombosis
4) Portografi indirek (untuk mengevaluasi vena porta)
b. Alat
Cobra 5 Fr
c. Pemberian kontras
1) Konsentrasi yodium 350 mg I/ml, dosis 5-8 ml/detik, volume total 36-60 ml
2) 5-10 ml dengan tangan
d. Prosedur
1) Lokasi a. mesenterika superior terletak 1 cm dibawah celiacius atau setting T12-
L1.
2) Posisi sedikit RPO (10-15) berguna untuk portografi (pangkal v. porta akan
terlihat lebih jelas tanpa superposisi dengan vertebra dan karena pengaruh
gravitasi, kontras lebih banyak ke v. porta)
3) Apabila diperlukan, dapat diberikan Tolazoline 25 mg yang diencerkan dalam 10
ml NaCl 0,9% lalu disuntikkan secara selektif intra arterial dan ditunggu selama
45 detik sebelum dilakukan angiografi.

52
7. Arteriografi Mesenterika Inferior
a. Indikasi
1) Perdarahan saluran cerna bawah
2) Iskemi usus (emboli atau thrombosis arteri/vena)
b. Alat
Cobra 5 Fr
c. Pemberian kontras
1) Konsentrasi yodium 350 mg I, dosis 3-5 ml/detik, volume total 9-15 ml
2) 5-10 ml dengan tangan
d. Prosedur
1) Lokasi a. mesenterika inferior setinggi L2 atau di pedikel L3
2) Posisi AP (pertama harus diambil pada rectum dan kedua pada fleksura lienalis)
Untuk menghindari superposisi, perlu dipasang kateter di kandung kemih agar
kontras di dalamnya dapat dikeluarkan.

8. Arteriografi Pelvis
a. Indikasi
1) Aneurisma, AVM
2) Atheroocclusive vascular disease
3) Trauma
4) Tumor
5) Impotensi vascular
b. Alat
1) Pigtail 5 Fr
2) Selektif kontralateral: Cobra, 5 Fr
3) Selektif ipsilateral: Cobra 2 atau reverse-curve (Simmons 2),5 Fr
c. Pemberian kontras
1) Konsentrasi yodium 300 mg I/ml
2) Posisi aorta: dosis 12-15 ml/detik, volume total 36-45 ml
3) Posisi untuk selektif a. iliaka: 4-6 ml/detik, total 16-36 ml
d. Prosedur
1) Dengan penuntun guidewire, kateter pigtail dimasukkan, lalu diletakkan 3-4 cm di
atas bifurkasio aorta.
2) Posisi AP ditambah posisi oblik.
3) Apabila perlu, dapat dilakukan selektif ke a. iliaka interna.

9. Arterografi Ekstremitas Superior Manus


a. Indikasi
1) Tromboemboli
2) Subcalvian steal
3) Thoratic outlet syndrome
4) Tumor
5) Aneurisma, AVM, AVF
b. Alat
Headhunter 5 Fr, panjang 110 cm

53
c. Pemberian kontras
1) Konsentrasi yodium 300 mg I/ml
2) Injeksi pada a. subkalavia: 6-10 ml/detik, volume total 18-30 ml
3) Injeksi pada a. brakialis: 3-6 ml/detik, volume total 24 ml.
4) Untuk manus: 4-5 ml/det, volume total 20 ml
5) Atau secara praktis semuanya sekitar 5-10 ml dengan tangan
d. Prosedur
1) Masukkan kateter sampai a. subklavia (bila perlu dengan tuntunan guidewire)
2) Posisi AP untuk a. subklavia dan aksilaris dan posisi 15-20° kaudal untuk a.
brakialis proksimal.
3) Untuk mendeteksi thoratic outlet syndrome diperlukan posisi adduksi dan abduksi.
4) Posisi lengan abduksi 60-90 dan manus dalam posisi supinasi. Posisi lanjutan:
pronasi manus dan rotasi internal humerus.
5) Untuk manus ujung kateter diletakka di a. brakialis distal (sedikit di atas siku).
Bila perlu diberikan Tolazolin 25 mg, intra arteri, ditunggu 30 detik. Posisi AP
dengan manus supinasi dan posisi kedua, manus sedikit pronasi.

10. Arteriografi Ekstermitas Inferior Unilateral


a. Indikasi
1) Trauma
2) Evaluasi tumor
3) Emboli
4) Pemetaan vaskular untuk tandur kulit
b. Alat
1) 4-5 Fr Pigtail atau Cobra
2) Guidewire
3) Kontras 300 mg I/ml
4) Injector
c. Pemberian kontras
1) Manual sebanyak 10-20 ml.
2) Injector: 5-8 ml/detik, untuk 35-60 ml volume kontras.
d. Prosedur
1) Pasang introducer sheath
2) Masukkan kateter
3) Untuk ipsilateral: kontras langsung disuntikkan melalui introducer sheath
4) Untuk kontra lateral: ujung kateter diletakkan di pangkal a. iliaka komunis
5) Suntikkan kontras. Ambil gambar dari pelvis sampai pedis.

11. Angiografi Pulmonalis


a. Indikasi
1) Embolisasi paru sebelum penggantian filter v. cava, bila deep vein thrombosis
pada ekstremitas atau renal vein thrombosis.
2) Evaluasi penyakit tromboembolik kronis pada pasien yang merupakan kandidat
untuk tromboembolektomi.
3) Evaluasi pada kelainan kongenital.

54
b. Kontra indikasi relatif
1) Evaluasi kardiologi mungkin diperlukan pada beberapa kasus.
2) Coexistent severe pulmonary hypertension. Penilaian noninvasive dari
tekanan/aliran pulmonal dapat dicatat dengan EKG dan mungkin dapat dibantu
dengan MRA.
3) Left bundle brouch block pada ECG. Pasangkan kateter transvenous pacing untuk
menghambat timbulnya complete heart block apabila pada pemasangan kateter
menginduksi timbulnya right bundle branch block (RBBB).
4) Ventricular irritability. Lakukan pulmonary arteriogram bila didapati adanya
resiko dari antikoagulan atau terapi trombolitik yang tinggi.
5) Penyakit-penyakit berkaitan yang mematikan (CHF), harus dievaluasi dan
ditangani dengan sebaik-baiknya sebelum dilakukan angiogram.
6) Bila tercatat adanya reaksi kontras yang berbahaya sebelumnya.
c. Persiapan sebelum tindakan
1) Prosedur standar persiapan angiografi
Periksa status kardiopulmonal (riwayat penyakit, pemeriksaan fisik, tes diagnostik,
dan lain-lain). Walaupun parameter klinis dan laboratorium setiap orang tidak
spesifik, namun kombinasi manifestasi yang signifikan mengarah pada PE adalah
penting untuk memilih pasien yang mungkin memerlukan pemeriksaan lebih
lanjut.
2) Menilai ulang/review
CXR (chest x-ray): untuk menyingkirkan gambaran klinis yang mirip dengan PE
dan membantu interpretasi V/Q scan.
ECG: untuk menyingkirkan acute myocardial infarction, menilai aritmia, dan
mengevaluasi right ventricular strain (p-pulmonale, right axis deviation, RBBB
atau S1Q3T3).
3) V/Q scan: bersamaan dengan penilaian klinis membantu pemilihan pasien
untuk menjalani angiografi serta berfungsi sebagai peta untuk menentukan
jalur pulmonary arteriogram yang sesuai.
4) Venous studies: right-sided hemodynamic (bila telah ada kateter Swan-Ganz
sebelumnya). PCWP berguna untuk menyingkirkan left-sided failure. RVEDP dan
tekanan PA dapat menentukan derajat pulmonary hypertension, yang bila ada maka
dapat digunakan untuk menentukan rancangan pulmonary angiogram yang sesuai.
5) Periksa elektrolit serum, ureum/kreatinin, parameter koagulasi (PT <1,5 kontrol;
PT <5 detik) dan trombosit (>75.000).
6) Tangani keadaan aritmia dengan prophylactic lidocaine 50-100 mg iv, dan
lakukan konsultasi dengan kardiolog.
7) Pemeriksaan harus dilakukan dengat cardiac monitoring yang berkesinambungan
8) Lakukan persiapan memasang transvenous pacer bila pasien menderita LBBB.

55
d. Prosedur
1) Akses melalui vena
Masukkan venous sheath 8-9 Fr dengan teknik Seldinger ke v. femoralis (lebih
baik sebelah kanan), bila tidak ditemukan trombosis iliofemoral. 14% pasien yang
menjalani pulmonary angiography mengalami thrombus di IVC.
2) Kateter
Kateter Grollman 7Fr atau 8.3Fr (atau kateter Pigtail 7Fr yang dimanipulasi
dengan tip-deflecting wire). Kateter Swan-Ganz 7Fr untuk pengukuran tekanan
dan possible subselective ballon occlusion injection. Kateter ini juga dapat diganti
melalui wire dengan diagnostic chateter lainnya bila diperlukan. Penggantian
mi harus dilakukan dengan cepat untuk mencegah timbulnya aritmia saat
endokardium bersinggungan dengan wire terbuka.
3) Ukur tekanan jantung kanan. Sekitar 30% pasien yang menjalani pulmonary
angiography mempunyai pulmonary hypertension.
4) RVEDP d mmHg + PA diastolic d’70 mmHg
Bila tekanan lebih tinggi, resiko kematian akibat pulmonary angiography akan
tinggi. Pada kasus ini, gunakan subselective injection (dengan teknik ballon
acciusion, bila perlu), atau media kontras non-ionik atau keduanya. Tindakan
pengamanan mi lebih penting jika cardiac output di bawah normal.

D. Teknik Arteriografi Pulmonalis


1. Kontras
a. Diatrizoate meglumin (Hypaque 76) atau Na-diatrozoate meglumin (Renografin 76).
b. Pada pasien dengan tekanan jantung kanan yang meningkat, gunakan Iohexol 350,
Iopamidol 370 dan Hexabrix.

2. Injection
a. Selektif: Arteri pulmonal kanan atau kiri: 40-50 ml dalam 20-25 ml/detik.
b. Subselektif: Gunakan V/Q scan sebagai panduan, khususnya pada pasien dengan
pulmonary hypertension (RVEDP e” 2OmmHg)-rate dan volumenya disesuaikan
menurut area yang dipelajari (5-15 ml/detik selama 2 detik; dengan ballon occlusion,
tidak lebih dari 5-7 ml total volume).
c. Main PA injection: 70 ml dalam 35 ml/detik, untuk evaluasi anatomic central
pulmonary arteries dengan kelainan congenital.

3. Imaging
a. Gunakan V/Q scan sebagai petunjuk jalan, bukti adanya single clot sering kali
merupakan satu-satunya petunjuk untuk menentukan terapi.
b. Selalu rekam film dengan inspirasi maksimal, mulai dengan pandangan ipsilateral
anterior dan posterior oblik (45-600) untuk sisa yang diduga paling mencurigakan
pada V/Q scan. Tambahan pandangan AP mungkin sekali-sekali diperlukan.

56
c. Pandangan superselective magnified peripheral mungkin diperlukan, terutama bila
V/Q scan menunjukkan emboli perifer kecil, yang dapat terlewatkan bila injeksi
dibuat di tengah. 76% pada pasien dengan PIOPED hanya memiliki single clot dan
25%nya terletak di perifer.
d. Jika menggunakan kateter balon untuk subselective injection, pastikan untuk tidak
pernah melakukan oklusi total selama injeksi.
e. Bila didapati adanya kecurigaan cardiac trauma, segera hentikan tindakan. Evaluasi
kondisi pasien untuk adanya cardiac tamponade (tekanan, ECG dan emergency
echocardiogram di meja).

4. Penatalaksanaan pasca tindakan


Penatalaksanaan pasca tindakan angiografi yang standar.
a. Bila pasien alami cardiac trauma, hentikan pemberian antikoagulan, kirim ke ICCU.
b. Apabila pasien mengalami premature ventricular contraction (PVC) yang sering,
berikan bolus lidocaine 50 mg iiv melalui kateter ke RA (maksimum sampai 100 mg).
c. Untuk pasien dengan ventricular tachicardia (VT) yang rekuren, berikan bolus seperti
PVC, dan mulai pemberian tetesan 2-4 mg/menit. Hindari pemberian infus cepat,
yang dapat menyebabkan penurunan kontraktilitas jantung dan kemungkinan kejang.
d. Apabila pasien dengan PE pada angiografi memiliki kontra indikasi terhadap
antikoagulan atau terapi tromboalitik, penggantian percutaneous dan IVC filter
sebaiknya dipertimbangkan sebelum mageluarkan kateter.

5. Komplikasi
a. Kematian: 0,1-0,5%, pada pasien dengan RVEDP> 20 mmHg
b. Non fatal major dan minor:
RV perforasi - 1%
Endocardial stain - 0,4%
Significant symptomatic arrhythmia - 0,8%
Cardiopulmonary arrest - 0,4%
Renal dysfunction - 1% terutama pada pasien lansia Contrast reaction -0,8%

E. Venografi Ekstremitas Inferior


1. Indikasi
a. Deep vein thrombosis (DVT)
b. Varises

2. Alat
a. 19-21 gauge butterfly/wing needle
b. Infus set
c. NaC1 0,9%
d. Three-way
e. Pasta nitrogliserin
f. Syringe 60 ml, 3 buah

3. Pemberian kontras
Konsentrasi yodium 240 mgI/mi, dosis I mi/detik, volume total 150-180 ml.

57
4. Prosedur
a. Kaki pasien yang akan diperiksa direndam dengan air hangat.
b. Pasien dibaringkan pada titling table, sudutkan 30°.
c. Pasang tourniquet pada pergelangan kaki.
d. Oleskan pasta nitrogliserin dan lakukan pemijatan.
e. Suntikkan jarum di vena dorsum pedis, disarankan dekat digiti I.
f. Pasang three-way dengan infus NaCl 0,9%.
g. Meja disudutkan 45°, kontras disuntikkan perlahan-lahan dengan fluoroskopi
dijalankan agar ekstravasasj ada dapat terlihat langsung.
h. Apabila vena dalam belum terisi baik dapat dipasang tourniquet di genu dan pangkal
paha atau dengan manuver valsava serta pemijatan.
i. Lokasi yang diambil gambarnya adalah krusis, genu, femoral sampai pelvis.
j. Posjsi AP dan oblik.
k. Setelah selesai harus dilakukan flushing dengan NaC1 0,9%.

58
BAB 11 KONTRAS MEDIA

A. Tinjauan Umum Tentang Kontras Media


1. Pendahuluan
Penggunaan kontras media untuk pemeriksaan diagnostik radiologi sudah dimulai hampir
bersamaan dengan ditemukannya sinar X oleh W. C. Rontgen. Kontras digunakan untuk
melihat bagian-bagian yang tidak terlihat dengan pemeriksaan sinar X, misalnya usus,
ginjal, pembuluh darah, dan lain-lain.

Prinsip dasar dan penggunaan kontras adalah bahan yang digunakan dan luar tubuh untuk
meningkatkan nilai diagnostik.

Jenis-jenis kontras media yang digunakan adalah kontras media yang bersifat negatif dan
kontras media yang bersifat positif. Kontras media negatif adalah udara dan CO2.
Sedangkan kontras media positif, misalnya barium sulfat dan kontras yodium.

2. Klasifikasi kontras media

Klasifikasi Kontras Media

Kontras Negatif Kontras positif

Udara dan CO2 Barium sulfat dan Yodium

Larut dalam air Larut dalam minyak

Derivat triiodobenzoat

59
Jenis-jenis kontras media

Monomer ionic Dimer ionic

Oral kolegrafi Oral/Angio iv kolegrafi Angio

Lopodate Lothalamat lodipamic acid loxaglic acid

Locetamide acid Diatrizoat lodoxamic

Loxhithalamat lotroxic acid

Lodamic acid

Lodamic acid

Monomer Non-ionik Dimer Non-ionik

Urografi – Angiografi Myelografi

Lopamedol lotrolan

Iohexol Lopromide

Loversol Lopentol

Belakangan ini juga dikembangkan dimmer on-ionik untuk angiografi

60
3. Penggunaan kontras
Kontras media cukup luas digunakan dalam bidang radiologi. Misalnya untuk mengisi
lumen dengan kontras opak memperlihatkan struktur lambung dan usus. Selain itu,
digunakan untuk pengisian lumen pembuluh darah pada pemeriksaaan angiografi.
Kontras juga digunakan untuk memperlihatkan struktur morfologi organ dan fungsi
ekskresinya pada traktus urinarius, kandung empedu, dan memperlihatkan penyangatan
kontras pada CT scan dan sebagainya.

Dengan pemberian kontras maka beberapa kondisi yang tidak terlihat dengan
pemeriksaan polos, misalnya batu lusen dan tumor akan dapat diperjelas. Pemilihan
kontras media yang digunakan adalah berdasarkan keamanan penggunaan dan sifatnya
yang kurang toksik.

4. Jenis kontras media


Kontras media larut air yang pertama kali digunakan (kira-kira tahun 1953) adalah
derivat cliatrizoat. Struktur kontras ini terdiri dan 1 atom benzene dengan 3 atom
yodium sebagai dasar pengembangan kontras kemudian.

Bahan kontras ini berkembang menjadi kontras ionik dan non-ionik. Adapun yang
dimaksud dengan kontras ionik adalah kontras yang mengandung ion. Adapun kationnya
atau ion positifnya adalah natrium atau meglumine dan ion negatifnya adalah derivat
benzene dengan 3 atom yodium dan grup carboxyl (COO). Kontras non-ionik adalah
kontras yang terdiri dan atom benzene dengan 3 atom yodium dan terikat dengan grup
hydroxyl (OH). Kontras ini kemudian berkembang dan dikenal sebutan monomer yang
terdiri dan 3 atom yodium dan 1 ikatan benzene serta dimmer yaitu terdiri dan 2 ikatan
benzene dengan 6 atom yodium.

Tabel
Beberapa contoh kontras media yang dapat ditemukan di pasaran
No. Jenis kontras Nama Generik Nama Dagang Osmolalitas
1. Ionic monomer Iothalamate Conray-Vasoray 1500-1600
Metrizoat Isopaque
Amidotrizoate Urografin-Angiografin
Gastrografin
Ioxithalamate Telebrix
2. Ionik Dimer Ioxaglat Hexabrix 600
3. Non-ionik monomer Iohexol Omnipaque 500-700
Iopamidol Iopamiro
Iopromide Loversol Ultravist
4. Non-ionik Dinner Iodixanol Visipaque 300
Iotrolan Isovist

61
Yang penting diperhatikan dari kontras media adalah osmolalitas. Kontras ionik
mempunyai osmolitas yang tinggi dan pada umumnya lebih rentan terhadap dosis yang
tinggi. Sebaliknya, kontras non-ionik pada umumnya mempunyai osmolalitas yang rendah.

a. Dosis pemberian kontras media


Dosis pemberian kontras media diatur agar efek sampingnya dapat ditekan sekecil
mungkin. Anak-anak pada umumya lebih rentan terhadap dosis kontras yang
diberikan. Sedangkan dosis rekomendasi untuk pemeriksaan adalah sebagai berikut.
1) Mielografi sebaiknya tidak lebih dari 3 gram yodium pada orang dewasa.
2) IVP: sebaiknya menggunakan dosis tidak lebih dari 600 mg yodium/kg BB.
3) Angiografi: sebaiknya tidak melebihi 1000 mg yodium/kgBB.
b. Mekanisme toksik kontras media
Dawson membagi efek toksik kontras media ini atas 3 bagian seperti berikut.
1) Osmolalitasnya
Hiperosmolalitas dari kontras media menyebabkan peningkatan volume plasma
secara akut, terjadinya vasodilatasi, pelepasan histamine-cedera pada endotel
pembuluh darah, yang dapat menyebabkan tromboplebitis, dan nyeri serta panas
pada arteriografi. Semakin kurang osmolalitasnya semakin kurang toksisitasnya.
2) Kemotoksisitasnya
Efek kemotoksik ini berhubungan dengan molekul kontras media yang berinteraksi
dengan makromolekul tubuh seperti membran sel protein plasma. Efek toksik ini
berkaitan erat dengan gugus karboksil dalam kontras ionik. Sebagai contoh kontras
media ionik bersifat neurotoksik dalam subaraknoid. Oleh sébab itu, jangan gunakan
kontras ionik untuk mielografi.
3) Balance ion
Apabila kontras disuntikkan ke dalam pembuluh darah dan jika konsentrasi ion terlalu
tinggi/rendah, akan mengakibatkan efek samping seperti, fibrilasi ventrikel yang
terjadi pada arteriografi koroner. Efek samping umumnya dapat dibagi atas:
a) Efek samping umum seperti: mual atau muntah, reaksi alergik, sampai syok.
b) Efek akibat perbedaan osmolalitas: nyeri, panas, bradikardi, atau vasodilatasi.
Selain itu efek samping dapat dibagi atas:
a) Efek samping ringan seperti urtikaria, mual, dan muntah.
b) Efek samping sedang seperti sesak nafas.
c) Efek samping berat: syok, edema laring, dan kejang-kejang.

Sebagian besar efek samping ini terjadi pada 5 menit pertama setelah penyuntikan.
Sedangkan beberapa efek samping lambat terjadi setelah beberapa jam atau beberapa
hari pasca pemberian kontras. Misalnya, timbulnya eritema dan parotitis.

Secara keseluruhan efek samping terhadap kontras media bervariasi. Menurut


beberapa peneliti dengan ribuan kasus dan penelitian multi senter efek sampingnya
adalah seperti pada tabel berikut.

62
Tabel
Beberapa penelitian mengenai efek samping kontras media.

Peneliti % Efek samping Berat samping

Nama Tahun Ionik Non- ionik Ionik Non- ionik

Palmer 1988 3,8 1,2 0,1 0,01


Wolf 1986 4,1 0,7 0,4 0,0
Kataya ma 1990 12,7 3,1 0,22 0,04
Laroche 1998 0,04
Berdasarkan penelitian-penelitian tersebut terlihat jelas bahwa ditemukan angka efek
samping lebih rendah pada penggunaan kontras media non-ionik dibandingkan ionik.

5. Profilaksis dan Premedikasi


Sering timbul pertanyaan apakah profilaksis dan premedikasi membuat pemeriksaan
menjadi lebih aman? Meskipun menurut Clauss dan Taenzer tes kulit tidak menjamin
terjadinya reaksi alergi, perhimpunan dokter spesialis radiologi Jerman dan Jepang
menggunakan tes ini untuk melindungi pasien dan aspek medikolegal.

Tindakan premedikasi meski tidak menghilangkan kemungkinan terjadinya reaksi


alergi tetap dianjurkan, terutama untuk mereka dengan riwayat alergi. Pemberian
premedikasi juga dianjurkan berkaitan dengan pemberian kontras terhadap orangtua
(75 tahun) dan mereka dengan riwayat gangguan fungsi hati, jantung, dan pernafasan.

Tauber menganjurkan pemberian antagonis reseptor HI dan H2 10 sampai 15 menit


sebelum pemberian kontras. H1 antagonis yang dipakai adalah Fenistil mg dan H2
antagonis adalah simetidin (Tagament) dengan dosis 200 mg, untuk BB antara 40-60 kg.
Lasser menganjurkan pemberian kortikosteroid oral 32 mg metilprednisolon (Medrol)
12 jam dan 2 jam sebelurn pemberian kontras akan mengurangi efek samping. Almen &
Aspellin menganjurkan pemberian 50 mg prednisolon (10 tablet) 12 dan 2 jam sebelum
pemberian kontras serta Clemastin 2 ml i.m 1 jam sebelurn pemeriksaan.

6. Tindakan Pengobatan
Efek samping tidak dapat diramalkan, dapat terjadi begitu saja meskipun persiapan
dilakukan dengan matang. Tes kulit meskipun dikatakan tak menjamin harus dilakukan.
Pemberian informed consent sebelum pemeriksaan harus dilakukan demi hukum.

Klinik radiologi atau rumah sakit yang melakukan pemeriksaan dengan kontras
seharusnya menyediakan obat dan saran untuk melakukan tindakan pertolongan bila
terjadi efek samping. Sesuai dengan SPO radiologi, perlu disediakan alat resusitasi
sederhana, tangki oksigen, serta obat-obatan untuk keadaan darurat medik seperti
adrenalin, antihistamin, dan hidrokortison sebelum melakukan pemberian kontras.
Sebaiknya obat diberikan dalam bentuk injeksi iv sehingga efeknya lebih cepat.
63
Untuk efek samping ringan sering tidak perlu dilakukan tindakan pengobatan. Untuk
efek samping berat perlu tindakan pengobatan terutama pemberian adrenalin
subkutan 0,3 ml, kortikosteroid, dan pemberian oksigen. Pemberian adrenalin dan
steroid dapat diulang bila perlu.

7. Kesimpulan
Pemakaian bahan kontras dalam bidang radiologi diperlukan untuk meningkatkan
nilai diagnostik. Kontras media dapat bersifat negatif misalnya, udara. Kontras juga
dapat bersifat positif misalnya, barium dan yodium.

Kontras media yodium yang pertama adalah derivat diatrizoat yaitu 3 atom yodium
dalam ikatan benzene. Dalam perkembangannya kontras media dapat bersifat monomer
atau dimer serta sifat ionik dan non-ionik.

Efek samping dan kontras media terutama disebabkan efek kemotoksisitas,


osmolalitas, dan balance ion. Tindakan preventif seperti skin test tetap diperlukan
untuk aspek medikolegal. Tindakan premedikasi dapat menurunkan efek samping yang
timbul.

Klinik atau rumah sakit yang melakukan pemeniksaan radiologi dengan kontras sudah
seharusnya mempunyai peralatan oksigen dan obat-obatan pada keadaan darurat serta
mempunyai tenaga yang mempunyai pengetahuan mengenai efek samping kontras
dan pertolongan yang harus diberikan.

B. Aplikasi Kontras Media pada MRI


1. Pendahuluan
Magnetic Resonance Imaging (MRI) adalah suatu alat kedokteran dibidang
pemeriksaan diagnostik radiologi yang menggunakan medan magnet. Kemampuan
MRI dalam diferensiasi jaringan lunak sangat baik. Dengan kontras yang sesuai
dengan tujuan pemeriksaannya MRI dapat meningkatkan nilai diagnostik dan
memperlihatkan detail kelainan morfologi.

2. Kontras media dalam bidang radiologi


Bahan kontras merupakan senyawa-senyawa yang digunakan untuk meningkatkan
visualisasi (visibility) struktur-struktur internal pada sebuah pencitraan diagnostik
medik. Seperti telah dijelaskan sebelumnya, kontras media dapat diklasifikasikan
sebagai berikut
a. Kontras media negatif: CO2 dan udara.
b. Kontras media positif: barium, kontras yodium intravaskuler, intratekal.
c. Microbubbles kontras untuk pemeriksaan USG.

64
3. Sejarah kontras media MRI
a. In vitro: Bloch, Hansen dan Packard tahun 1946
b. Pemberian ferum nitnit memperpendek waktu relaksasi TI dilanjutkan Bloembergen
dan Solomon.
c. Penggunaan kontras pertama kali oleh Leuterbur, Mendoca, Diaz dan Rudin (1978)
d. Penggunaan kontras media pada manusia pertama kali menggunakan Gadolinium
DTPA (Magnevist).
e. Penelitian lanjut: kontras cukup aman, dapat ditoleransi organ.
f. Efek samping lebih sedikit dibandingkan non-ionik.

4. Prinsip dasar kontras MRI


Mempengaruhi waktu relaksasi proton T1 dan T2. Sinyal akan berbeda.

5. Jenis Kontras MRI


Paramagnetik, Superparamagnetik
Gadolinium, Chromium
Mangan, Nikel

6. Pengaruh kontras pada Intensitas


a. Paramagnetik kontras
Sifat kontras: larut dalam air
Diekskresi ginjal 3 jam (75%), 24 jam (100%) Dapat digunakan untuk kasus
insufisiensi renal. Dosis: 0,1-0,2 mmol/KgBB. Lethal dose :8 mmol/KgBB
Kontras tidak menembus BBB “Menyala” pada T1W1
Efek samping kadang-kadang: sakit kepala, rasa panas

b. Superparamagnetik kontras
Bentuk: suspensi
Setelah melalui vascular terjadi efek fagosit.
Nama barang: Resovist (Schering) dan Endoderm (Guerbet).

7. Penggunaan kontras media dalam klinik


Tumor Infeksi. Lain-lain: Demielinisasi, MRA, Kontras IV, Tes bolus 1 cc
Dengan software canggih: Smart Prep (GE), Bolus Track (Philips), MRA Non-invasif
Tanpa kontras/kontras yodium dan radiasi. Dahulu 2D TOF

8. Prospek kontras MRI di masa datang


Kontras khusus label antibodi melihat keganasan, metastasis, kelenjar, i nfark miokrad

9. Kesimpulan
Kontras meningkatkan nilai diagnostik. Memperpendek waktu relaksasi T1-T2.
Jenis kontras umum: Gadolinium. Dosis: 0,1-0,2 mmol/KgBB.
Pada masa yang akan datang dapat dilabel dengan antibodi untuk organ tertentu.
Pemeriksaan ini mahal, hendaknya digunakan secara selektif.
65
BAB 12 PROTOKOL PEMERIKSAAN CT SCAN
A. CT Scan Otak
1. Teknik
Dibuat potongan aksial dan OM line/Reids baseline sampai vertek.
Tebal potongan 4-5 mm infratentorial, atau semua rata 7 mm.
Lesi di midline sebaiknya dibuat potongan koronal sebagai tambahan.
Tambahkan kondisi tulang pada kasus trauma serebral dan suspek fraktur tulang kepala.
Indikasi pemberian kontras diberikan pada kasus-kasus dengan dugaan tumor, infeksi,
kelainan vaskular seperti AVM, dan aneurisma.

B. CT Scan Hipofisis
1. Teknik
Dibuat potongan koronal 2-5 mm, tanpa dan dengan bolus kontras.
Setelah itu, dilanjutkan dengan axial scan 2 - 5 mm dari CM line, sampai supra sella (2
mm bila lesi kecil, mikroadeoma atau hipofisis tampak normal; dan 5 mm bila
makroadenoma atau tumor besar).
FOV kecil (160 - 200) mulai dan processus clinoideus anterior sampai dorsum sella.

C. CT Scan Telinga/OS. Petrosum


1. Teknik
High resolution (CT kondisi tulang)
a. Kasus non tumor/trauma basis cranii
Dibuat potongan aksial dan koronal 2 mm sejajar dengan aksis os. Petrosum, mencakup
seluruh tulang os. Petrosum, tanpa kontras, kondisi tulang (WW dan WL yang tinggi).
b. Kasus tumor atau infeksi (abses)
Potongan aksial 2-5 mm mencakup seluruh os. petrosum, tanpa dan dengan kontras,
kondisi tulang dan soft tissue.
Potongan koronal 2-5 mm sebagai tambahan, dalam kondisi tulang dan soft tissue
mencakup daerah os petrosum yang abnormal saja.

D. CT Scan Obrita
1. Teknik
a. Tumor dan infeksi
Buat potongan aksial 3-5 mm dari dinding inferior sampai dinding superior mencakup
seluruh cavum orbita, sudut sejajar dengan N. optikus atau menggunakan garis infra
orbitomeatal tanpa dan dengan kontras.
Bila perlu buat rekortstruksi coronal/sagital.
b. Fraktur orbita
Potongan koronal dan aksial 2-4 mm tanpa kontras.
Dicetak kondisi soft tissue dan kondisi tulang di daerah fraktur, FOV kecil (160- 200).
Dapat dilanjutkan dengan 3D.

66
E. CT Scan Nasofiring, Orofaring, Lidah
1. Teknik
a. Nasofaring
Potongan aksial 3-5 mm, FOV 250 mm kondisi filter agak tinggi, lebih tinggi dan otak.
Buat potongan dan palatum sampai sinus frontalis, sudut sejajar dengan palatum tanpa
dan dengan bolus kontras, kemudian dilanjutkan dengan potongan aksial 5 mm sejajar
korpus vertebrata servikal dan C2 sampai dengan C6 dengan FOV 200 mm untuk
mencari pembesaran kelenjar leher.
Setelah itu dibuat potongan koronal 3-5 mm tergantung besar-kecilnya kelainan dari
koana sampai vertebra servikal sejajar dengan dinding posterior nasoforing. FOV 250 mm,
potongan koronal kadang perlu dibuat dalam kondisi tulang yang mengalami
destruksi basis cranii.
b. Orofaring
Sama dengan nasofaring, hanya mulainya agak rendah, garis aksial dimulai dari
mandibula ke atas.
c. Lidah
Antara gigi dan rongga mulut pasien harus diganjal dengan sepotong gabus atau
styrofoam, agar pada potongan koronal lidah tidak menyatu dengan palatum.
Teknik hampir sama dengan nasofaring, hanya aksial, koronal, dan sagitalnya harus
mencakup seluruh daerah lidah.
Bila tumor diduga berada di 2/3 depan lidah, lebih baik dibuat koronal dahulu tanpa
kontras dan dengan kontras, baru kemudian dibuat aksialnya. Sedangkan untuk tumor di
pangkal lidah, sebaiknya dibuat aksial dahulu, korona, dan kemudian sagital.
F. CT Scan Laring (Pita Suara)
1. Teknik
a. Potongan pra kontras
Aksial 5 mm dari epiglottis sampai cincin trachea 1-2 sejajar dengan pita suara.
b. Potongan dengan kontras
Aksial 2-3 mm di daerah pita suara, mulai dari batas atas sampai batas bawah
lesi. Bila didapatkan pembesaran kelenjar, dibuat potongan leher 5 mm post kontras.
FOV 160-200 mm, tanpa dan dengan bolus kontras.

G. CT Scan Tiroid
1. Teknik
Potongan aksial 3-5 mm dari bagian atas kelenjar tiroid sampai bagian bawah, biasanya
mulai setinggi C5-6 sampai thoracic inlet, tanpa dan dengan bolus kontras.
Setelah itu, diulang/ delayed scan untuk mendapatkan batas lesi dan tambahan informasi
yang lebih baik setelah seluruh kelenjar tiroid mengalami penyangatan merata.
FOV 160-200 mm.
Catatan:
Pada CT scan pita suara dan tiroid, untuk menghasilkan potongan koronal, dapat
dibuatkan teknik multiplanar rekontruksi. Untuk itu harus dibuat potongan 1-2 mm pada
waktu bolus kontras sepanjang daerah yang diperlukan untuk potongan koronalnya.
67
H. CT Sinus Paranasalis
1. Teknik
Soft tissue
a. Sinusitis
Potongan koronal 2 mm di ½ bagian depan sinus dan 4 mm di ½ bagian posterior,
mulai dari os. nasal sampai rongga nasofaring.
Potongan aksial dari dasar sinus maksilaris sampai sinus frontalis 3-5 mm, tanpa
kontras, kondisi soft tissue, FOV 200-250 mm.
b. Tumor sinus
Potongan koronal 3-5 mm dari dinding depan sinus sampai nasofaring atau tumor
habis, tanpa dan dengan kontras.
Kemudian aksial 5 mm dari dasar sinus sampai sinus frontalis atau mencakup seluruh
tumor kondisi soft tissue dan tulang bila ada destruksi tulang.

I. CT Scan Toraks
1. Teknik
Bila memungkinkan sebaiknya dipakai teknik high resolution.
Potongan aksial langsung, dengan kontras dari puncak paru sampai diafragma.
Tebal potongan antara 5-10 mm tergantung besarnya lesi paru, atau dibuat kombinasi
antara 10 mm pada daerah yang tidak ada lesi dan potongan tipis di daerah lesi. Bila
proses di bawah hilus, potongan diteruskan ke bawah sampai seluruh lesi terpotong. Bila
proses di atas puncak paru, potongan diteruskan sampai seluruh lesi terpotong.
Kondisi dicetak dalam dua macam window yaitu window mediastinum dan paru.
Permintaan khusus CT parenkim paru dibuat untuk kasus emfisema atau infiltrat paru.
Dibuat potongan aksial scan tanpa kontras, filter high resolution, tebal potongan 2 mm
Dengan indeks potongan 8-10mm dan puncak paru sampai diafragma. Untuk tumor
esophagus, pemeriksaan CT scan toraks dilakukan sambil meminum kontras oral hingga
didapatkan lumen tumor yang sempit sebagai batas atas tumor. Bolus kontras
diberikan, dan scan dibuat di atas batas atas tumor sampai batas bawah tumor dan
filmnya dicetak dengan kondisi mediastinum.
Potongan koronal dan sagital dapat diperoleh dengan teknik MPR dan untuk itu
diperlukan potongan yang tipis antara 2 sampai 3 mm.

J. CT Scan Abdomen Atas


1. Teknik
Potongan aksial dibuat dari diafragma sampai ginjal.
Pada saat pra kontras, tebal potongan 10 mm indeks 10-15 mm.
Bolus kontras diberikan pada daerah pemeriksaan. Apabila organ/kelainan yang diperiksa
besar, seperti hepar dan lien, tebal potongan 10 mm, indeks 8-12 mm.
Apabila organ/kelainannya yang diperiksa sedang (ginjal, lambung, atau usus) dipakai
tebal potongan 5-8mm, indeks 8-12 mm.
Untuk organ kecil seperti (kelenjar adrenal, pankreas dan kandung empedu) dipakai tebal
potongan antara 2-5 mm.
Pada kasus tertentu seperti tumor yang hipervaskular/hemangioma, khusus untuk hepar
dan ginjal, perlu dibuat delayed scan apabila dicurigai ada kelainan pada bolus kontras.
68
Pada alat CT spiral/helical CT, untuk hepar dan ginjal sebaiknya dipakai program volume
spiral scan untuk mendapatkan dual phase (fase arterial dan portal pada hepar atau fase
cortex dan medulla pada ginjal), kemudian dibuat lagi delayed scan untuk mendapat fase
equilibrium (untuk hepar) dan fase ekskresi (untuk ginjal) di mana sistem
pelviokalisesnya terisi penuh.

K. CT Scan Abdomen Bawah/Pelvis


1. Teknik
Potongan aksial dan L 3 sampai buli-buli/kelenjar prostat.
Pra kontras: tebal potongan 10 mm.
Bolus kontras di daerah yang ada kelainan, tebal potongan tergantung besar kecilnya
kelainan, biasanya dipakai tebal potongan 5 mm.
Kadang-kadang kontras oral tidak mengisi rectum dan sigmoid, oleh karena itu
diperlukan kontras melalui rectum.
Khusus untuk ca. serviks yang masih stadium II-III, dibuat potongan 3 mm pada waktu
bolus kontras.
Delayed scan kadang diperlukan bila batas tumor tidak jelas, dikehendaki pengisian buli
oleh kontras.
Potongan koronal dan sagital dibuat melalui teknik MPR

L. CT Scan Spinal
1. Teknik
Dibuat potongan aksial.
FOV 160 mm, tanpa kontras atau dengan kontras intratekal, disebut CT-mielografi.
Untuk kasus HNP, potongan hanya di daerah ruang discus, sejajar dengan discus, dengan
ketebalan potongan 2-4 mm, kondisi soft tissue dan tulang bila perlu.
Untuk penilaian kanal stenosis, dapat dibuat satu potongan sejajar dengan korpus
vertebrata di daerah yang ada kelainannya, kondisi soft tissue dan tulang.
Umumnya diperlukan kontras terutama untuk kasus abses paravertebra atau untuk
melihat infiltrasi tumor ke dalam kanalis vertebralis.

69
BAB 13 PEMERIKSAAN MSCT CARDIAC
A. Pengertian
Pemeriksaan MSCT Cardiac (CT scan jantung) adalah pemeriksaan untuk memperlihatkan
gambaran pembuluh darah arteri yang ada di jantung.

B. Tujuan
Tujuan dari pemeriksaan ini adalah untuk menentukan diagnosa pada pasien dengan
dugaan adanya gangguan pada sistem pembuluh darah di jantung. Misalnya, pasien
dengan diagnosa chest pain. Hasil pemeriksaan MSCT Cardiac dapat digunakan sebagai
acuan bagi petugas dalam mengerjakan pemeriksaan CT-Scan cardiac. Selain itu,
berfungsi pula untuk mendapatkan hasil pemeriksaan CT-Scan yang optimal.

C. Prosedur
1. Persiapan
a. Satu hari sebelum pemeriksaan pasien dilarang merokok, minum kopi, dan alkohol.
b. Pasien berpuasa 4-6 jam sebelum pemeriksaan.
c. Cek ureum dan kreatinin darah pasien.
d. Observasi keadaan pasien dengan cara mengukur tensi nadi. Apabila tensi di atas 65
pasien pasien diistirahatkan terlebih dahulu. Apabila dalam waktu 30 menit tensi
masih tinggi, pasien diberi oabat “Lopressor” 1 tablet. Lopressor ini diberikan dengan
tujuan menurunkan nadi, menurunkan tekanan darah, dan menenangkan pasien.
e. Setiap 30 menit setelah pemberian Lopressor keadaan pasien harus selalu di periksa.
Bila nadi sudah stabil, EKG dipasang pada pasien dan demikian dengan perangkat
infus untuk penyuntikan kontras dengan jarum infus ukuran besar, contoh ukuran 18.
f. Siapkan mesin injektor dengan kontras media sebanyak 80-100 ml, serta flow rate
suntikan 5 ml/detik, dan pressure yang digunakan 325 psi.

2. Pelaksanaan
Setelah selesai proses registrasi, klik ikon menu “New Patient” yang ada di monitor.
Masukkan identitas pasien, nomor urut registrasi, pemeriksaan dan nama dokter
pengirim, kemudian klik gambaran anatomi paru, pilih protokol “Snapeshot Segment”.

Atur posisi pasien di meja pemeriksaan dengan posisi feet first (kaki terlebih dahulu),
dengan posisi senyaman mungkin. Sentrasikan tubuh simetris di bidang tengah
pemeriksaan dengan menekan tombol lampu laser.

Tentukan daerah yang akan dilakukan pemeriksaan dengan sentrasi sternal notch.

Tekan tombol Cutter Line di gantry untuk memposisikan meja periksa pada posisi nol.
Klik “Confirm”, tekan tombol “Move” untuk menggerakkan meja. Tekan tombol “Start”
di keyboard. Keluar gambar topogram rongga thorax. Bersamaan dengan itu klik “Next
Series”, keluar program untuk “Smart Score”, tentukan area pemeriksaan dengan
mengklik “Show Localiser” yaitu setinggi 2 cm di bawah karina, dan sebagai batas
bawah apex jantung. Setelah siap klik “Confirm”. Tekan tombol “Start” di keyboard.
70
Pesawat akan melakukan proses scanning secara otomatis sesuai dengan program yang
telah ditentukan. Keluar gambar penampang axial dan Smart Score. Smart Score ini
bertujuan untuk melihat kalsium di pembuluh darah jantung. Setelah selesai pemeriksaan
smart score,klik “Next Series” untuk program Timing Bolus, yaitu untuk menentukan
“prep group” (Sec) yang akan digunakan pada CTA coronary.

Kemudian gunakan “Smart Prep” dengan menekan tombol ROI pada Aorta Ascenden dan
amati grafik treshold sampai nilai HU 300. Atur monitor delayed 3s.

Dapat juga menggunakan timing bolus, kontras akan dimasukkan bersamaan dengan x-
ray sebanyak 20cc, tanpa saline. Keluar gambaran aorta ascenden pulmonary trunk. Klik
“Measurement”, klik “Miroi”, elips ROT, taruh elips di daerah aorta ascenden, klik
“OK”. Keluar grafik, hitung dengan rumus: (Ax2+8) atau (A-1+18), dengan A sebagai
nilai puncak (peak) tertinggi. Klik “Next Series” untuk program “SS Segment”. Atur
daerah sama seperti pada smart score. Tentukan prep group berdasarkan nilai yang telah
dihitung pada timing bolus. Tekan tanda suntikan, masukkan nama kontras media yang
dipakai. Tekan tombol “Start” di keyboard bersamaan dengan menekan tombol “Start” di
monitor injector. Mesin pesawat akan melakukan pemeriksaan secara otomatis.

Bila smart prep operator digunakan, grafik kenaikan dan HU harus diperhatikan.

a. Memproses (processing) gambaran jantung


1) Klik “retro recon”.
2) Klik “phase” ubah menjadi 35-85 % dengan increment 10.
3) Klik “accept”, “confirm”. Jika selesai ke Advance Window (AW).
4) Klik nama pasien, pilih “retro ss segment”, klik “Volume Viewer”.
5) Klik “Right Coronary”, keluar “phases selection”, OK.
b. Vessel Analizer
1) Mencari Start: pilih pembuluh kanan yang pertama keluar (Awal RCA).
2) RCA: ujung RCA yang paling panjang dan lebar.
3) Klik “Next”, keluar “Confirm Phase”, “Accept”. Lihat di lumen, atur jika ada
pembuluh yang kelihatan sempit, kemudian letakkan kursor di pembuluh darah yang
dicurigai.
4) Klik “Shift”, “Edit”, “Edit Center”. Atur garis yang merah sehingga ada di tengah
pembuluh, ubah “X section” menjadi “Best L section”. Bila di “Best L section”
sudah terlihat bagus, tetapi lumen kelihatan sempit ubah menjadi “No Lock” dan
atur sehingga lumennya tidak sempit.Kalau sudah OK atur pembuluh pada berbagai
posisi, tekan “Fl” untuk filming, dan tekan “S” untuk simpan gambar.
5) Jika sudah selesai fracking untuk RCA tekan “Accept”, “Save Tracking”. Lakukan
sama untuk tracking di pembuluh kin (LAD dan LCX). Format film 3x3.

71
c. Tree VR (Volume Rendering)
1) Klik “Select New Protocol”, pilih “Tree Vessel”, sehingga keluar gambar kemudian
taruh kursor di RCA, tekan “Shift”, klik “Display Vessel” hingga keluar gambar
pembuluh darah RCA, atur sehingga posisi jelas dan awal RCA sampai ujung
RCA. Tekan “Fl” untuk filming dan “S” untuk simpan gambar.
2) Setelah itu, letakkan kursor di LAD, tekan mouse kiri sehingga keluar pembuluh
darah secara otomatis, tekan “Fl” untuk cetak ke film dan “S” untuk menyimpan
gambar. Lakukan yang sama untuk LCX. Format film 2 x 3.
d. 3D In Space
1) Patient List, klik nama pasien, klik series “Axial ss Segment”.
2) Klik “Volume Viewer”.
3) Klik “VR Heart” klik “Volume Rendering”, hapus bagian yang tidak diperlukan
dengan menggunakan lambang “gunting”, “Cut inside/outside” tergantung bagian
mana yang diarsir.
4) Klik 3D, auto select, “Add Vessel” untuk menambah panjang pembuluh, atau
“Remove Vessel” untuk membuang pembuluh yang tidak diperlukan.
5) Atur sehingga menjadi bagus, atur pada berbagai posisi, tekan “Fl”, untuk mencetak
ke film dan “5” untuk simpan gambar. Format yang dipakai 2 x 3.
e. Hitung Calsium Scoring
1) Klik” Smart Score”.
2) Klik “Analize”.
3) Klik “Region” warnai perkapuran yang ada di pembuluh darah sesuai regionnya.
4) Klik “Preview”.
5) KIik “File”.
6) Klik “Print”, OK.

72
BAB 14 PEMERIKSAAN CT ANGIOGRAFI
A. Pemeriksaan MSCT-Scan Leher Khusus (CTA CAROTIS)
1. Pengertian
Pemeriksaan MSCT-Scan Leher Khusus yaitu pemeriksaan untuk menentukan gambaran
dan sistem pembuluh darah arteri carotis interna dan eksterna dengan penampang axial
serta format MIP (Maximal Image Projection) dan VR (Volume Rendering).

2. Tujuan
Untuk menentukan diagnosa pada pasien dengan dugaan adanya gangguan pada sistem
diagnosa CVD non Haemhorhagic, TIA, dan vertigo. Selain itu, pemeriksaan ini juga
berguna sebagai acuan bagi petugàs dalam mengerjakan pemeriksaan CT-Scan leher
khusus, dan untuk meñdapatkan hasil pemeriksaan CT-Scan yang optimal.

3. Prosedur
Persiapan
1) Pasien berpuasa 4-6 jam sebelum pemeriksaan.
2) Cek ureum dan kreatinin darah pasien.
3) Pasang perangkat infus untuk penyuntikan kontras dengan jarum infus ukuran
besar, misalnya no. 18.
4) Siapkan mesin injektor dengart kontras media sebanyak 80-l00ml, serta flow rate
suntikan 4.5ml/detik.

4. Pelaksanaan
Setelah proses registrasi pasien klik ikon menu “New Patient” yang ada di monitor.
Masukkan identitas pasien, nomor urut registrasi pemeriksaan, dan nama dokter
pengirim. Setelah itu, klik gambaran anatomi leher, pilih protokol CoW.

Secara otomatis akan muncul platform scout mode kepala. Atur kepala di sandaran
kepala. Usahakan dagu pasien agak fleksi, sentrasikan kepala simetris di bidang tengah
pemeriksaan dengan menekan tombol lampu laser.

Tentukan daerah yang akan dilakukan pemeriksaan dengan sentrasi outline di daerah
sentral notch.

Tekan tombol Outer line di gantry untuk memposisikan meja periksa pada posisi nol.

Klik “Confirm”, tekan tombol “Move” untuk menggerakkan meja. Tekan tombol
“Start” di keyboard, dan akan keluar gambar topogram leher. Bersama dengan itu
klik “Next Series”. Tentukan area pemeriksaan yaitu dari daerah setinggi arcus aorta
sampai setinggi basis cranii dengan bidang potongan sejajar orbitomeatal line, dengan
ketebalan 1.25mm setelah siap, klik “Confirm”. Tekan tombol “Start di keyboard.

Pesäwat akan melakukan proses scanning secara otomatis sesuai dengan program yang
telah ditentukan.
73
Setelah itu, keluar gambar penampang axial dan Ct-Scan leher polos.

Setelah selesai pemeriksaan CT-Scan leher polos, klik “Next Series” untuk fase kontras.
Tentukan “Pre group(sec)” sekitar 16 detik. Setelah itu, masukkan nama kontras kemudian
klik “Confirm”, atau dapat menggunakan “Smart Prep” dengan meletakkan ROI pada
Aorta Ascenden, dan mengamati grafik treshold.

Tekan tombol “Start” di keyboard bersamaan dengan menekan tombol “Start” monitor
injector. Mesin pesawat akan melakukan pemeriksaan secara otomatis. Setelah itu, akan
keluar gambar. Proses gambar dalam bentuk MIP dan VR. Tampilkan gambar arteri carotis
interna dan ekstrerna dalam bentuk MIP dan VR. serta print gambar pada film dengan
format 9 segment.

B. Pemeriksaan CT Angiografi Aorta Abdomen (CTA Aorta Abdominalis)


1. Pengertian
Pemeriksaan CT angiografi Aorta Abdomen adalah pemeriksaan CT-Scan untuk
menampilkan gambaran dan sistem pembuluh darah aorta abdominalis serta cabang-
cabangnya dengan penampang axial serta format MIP (Maksimal Image Projection).

2. Tujuan
Tujuan pemeriksaan ini adalah untuk menentukan diagnosa pada pasien dengan
dugaan adanya gangguan pada sistem pembuluh darah aorta abdominalis dan cabang-
cabangnya. Misalnya, pasien dengan diagnosa thrombus dan aorta abdomen, dissection,
dan post pasang sent. Hasil pemeriksaan ini juga dipakai sebagai acuan bagi petugas
dalam mengerjakan pemeriksaan CT-Scan Angiografi Aorta Abdomen, serta untuk
mendapatkan hasil pemeriksaan CT-Scan yang optimal.

3. Prosedur
Berikut ini prosedur yang harus dilakukan sebelum dan pada waktu pemeriksaaI CT
angiografi Aorta Abdomen.
1. Persiapan
a. Pasien puasa 4-6 jam sebelum pemeriksaan.
b. Cek urenum dan kreatinin darah pasien.
c. Pasang seperangkat infus untuk penyuntikan kontras dengan jarum infus ukuran
besar, misalnya no.18 dengan menggunakan cairan fisiologis (NaCl 0,9%), untuk
penyuntikan kontras media.
d. Siapkan mesin injektor dengan kontras media sebanyak 80-100 ml, saline 50ml, flow
rate 4.5m1/s, prosedure 300 psi.

74
2. Pelaksanaan
a. Klik “New Patient” yang ada di monitor, kemudian masukkan data-data pasien.
b. Klik gambaran anatomi paru, pilih protokol “Late Venous”.
c. Secara otomatis muncul platform scout mode. Atur posisi pasien terlentang di meja
pemeriksaan dengan tangan di atas kepala dan posisi feet first. Sentrasikan tubuh
simetris di bidang tengah pemeriksaan dengan menekan tombol lampu laser.
d. Sentrasi garis outline berada di daerah xypoideus.
e. Tekan tombol “Outer Line” di gantry untuk memposisikan meja pada posisi nol.
f. Klik “Confirm”, tekan tombol “Move”.
g. Tekan tombol “Start” di keyboard, keluar gambar topogram abdomen posisi lateral.
h. Tekan “Move” kemudian tekan tombol “Start”, keluar gambar topogram abdomen
posisi AP.
i. Klik “Next Series”, tentukan area yang akan dilakukan pemeriksaan dengan
mengklik “Show Localiser” dari daerah diafragma sampai pelvis.
j. Setelah siap, klik “Confirm”. Tekan tombol “Start” di keyboard.
k. Pesawat akan melakukan scanning secara otomatis.
l. Setelah selesai pemeriksaan CT-Scan abdomen polos, klik “Repeat Series”. Pilih
series “Late Venous”.
m. Tentukan prep group (sec) sekitar 0 detik. Masukkan nama kontras lalu “Confirm”.
n. Dapat juga menggunakan “Smart Prep” dengan meletakkan ROI rada Aorta
Ascenden, dan mengamati grafik treshold 300 HU.
o. Atur injektor, kontras yang digunakan 80-90 ml, flow rate 4.5ml/sec, press 300 psi.
p. Tekan tombol “Start” di keyboard bersamaan dengan menekan tombol “Start” di
monitor injektor. Mesin pesawat akan melakukan pemeriksaan secara otomatis.
q. Klik komputer AW, pilih nama pasien.
r. Pilihlah gambar yang akan diproses, klik “Volume Viewer”, pilih lung, klik
“Reformat”, untuk menampilkan gambar dalam bentuk MIP, klik “Circulus Wilisi”
untuk menampilkan gambar dalam bentuk VR gambar dalam bentuk VT di print ke
printer medical imager. Sedangkan dalam bentuk MIP print ke printer dalam film
dengan sembilan segment.

C. PEMERIKSAAN CT ANGIOGRAFI TUNGKAI BAWAH (CTA RUN OFF)


1. Pengertian
Pemeriksaan CT angiografi adalah pemeriksaan CT-Scan untuk menampilkan gambaran
dan sistem pembuluh darah tungkai bawah serta cabang-cabangnya dengan penampang
axial serta format gambar MlP (Maksimal Image Projection) dan VR (Volume Rendering).

2. Tujuan
Tujuan pemeriksaan ini adalah untuk menentukan diagnosa pada pasien dengan dugaan
adanya gangguan pada sistem pembuluh darah arteri tungkai bawah dan cabang-
cabangnya. Misalnya, pasien dengan diagnosa thrombus dan aorta abdomen dissection,
dan post pasang stent. Pemeriksaan ini juga bertujuan sebagai acuan bagi petugas dalam
mengerjakan pemeriksaan CT-Scan angiografi tungkai, dan untuk mendapatkan hasil
pemeriksaan CT-Scan yang optimal.

75
3. Prosedur
a. Persiapan
1) Pasien berpuasa 4-6 jam sebelum pemeriksaan.
2) Cek ureum dan kreatinin darah pasien:
3) Pasang infus set dengan jarum infus ukuran besar, misal no.18 dengan
menggunakan cairan fisiologis (NaCI 0.9%), untuk penyuntikan kontras media.
4) Siapkan mesin injektor dengan kontras media sebanyak 80-100 ml, salin 50 ml,
flow rate 4.5 ml/detik, pressure 300 psi.
b. Pelaksanaan
1) Klik “New Patient” yang ada di monitor, masukan data-data pasien.
2) Klik gambaran anatomi “hp joint”, pilih protokol “Run off 0,625mm” kemudian
secara otomatis akan muncul platform scout mode tungkai bawah.
3) Atur posisi pasien tidur terlentang di meja pemeriksaan dengan tangan di atas
kepala dan posisi feet first. Sentrasikan tubuh simetris di bidang tengah pemeriksaan
dengan menekan tombol lampu laser.
4) Sentrasi garis outline di daerah umbilikus.
5) Tekan tombol “Outer Line” di gantry untuk memposisikan meja pada posisi nol.
6) Klik “Confirm”, tekan tombol “Move”.
7) Tekan tombol “Start” di keyboard. Keluar gambar topogram tungkai bawah/
ekstremitas bawah posisi lateral.
8) Tekan move kemudian tekan tombol “Start”, keluar gambar topogram tungkai
bawah/ekstremitas bawah posisi Antero Posterior (AP).
9) Klik “Next Series”, tentukan area yang akan dilakukan pemeriksaan dengan
mengklik “Show Localiser” dan daerah Umbilicus sampai ankle.
10) Setelah siap, klik “Confirm”. Tekan tombol “Start” di keyboard. Pesawat akan
melakukan scanning secara otomatis.
11) Setelah selesai pemeriksaan CT-Scan polos tungkai bawah, klik “Next Series”.
12) Tentukan kembali area pemeriksaan dengan mengklik “Show Localiser” dan daerah
umbilicus sampai ankle. Masukkan nama kontras lalu “Confirm”.
13) Atur injektor, kontras yang digunakan 90-100 ml, flow rate 4.5 mi/sec, pressure 325
psi kemudian klik “Arm”.
14) Tentukan titik “Smart Prep” di atas bifurcation aorta iliaca komunis, buat ROT
dititik tersebut sebagai ajuan, atur treshold sampai menunjukkan angka 250.
15) Klik monitor phase untuk memonitor treshold dititik ROI yang telah dibuat.
16) Tekan tombol “Start” di keyboard bersamaan dengan menekan tombol “Start” di
monitor injektor. Ketika threshold sudah mendekati 150, klik “Scan” maka CT-
Scan akan melakukan pemeriksaan secara otomatis.
17) Klik ke komputer AW, pilihan nama pasien.
18) Pilihlah gambar yang akan diproses, klik “Volume Viewer”, pilih “Re-format”,
untuk menampilkan gambar dalam bentuk MIP, klik VR untuk 3D. Gambar dalam
bentuk VR diprint ke printer medical imager. Sedangkan gambar dalam bentuk MIP
print ke printer dalam film dengan format sembilan segment.

76
BAB 15 PEMERIKSAAN MRI
A. Protokol Standar untuk Pemeriksaan MRI Ekstremitas
1. Ekstremitas Atas
a. Sendi pergelangan tangan
1) Jenis coil: GPFLEX COIL
2) Tujuan: melihat kelainan patologis jaringan dan sendi daerah pergelangan tangan.
3) Indikasi: tumor, abses, ruptur, dan lain-lain.
4) Persiapan pasien:
a) Pasien mengisi formulir screening sebelum masuk ke ruang pemeriksaan.
b) Pasien mengganti baju dengan pakaian yang telah disediakan di ruang ganti dan
menyimpan semua baráng-barang di dalam loker yang telah disediakan.
c) Pasien diberi penjelasan sebelum pemeriksaan dan dipasangkan ear plug untuk
menutup telinga.
5) Teknik pemeriksaan:
a) Masukkan data pasien di RX manager computer.
b) Atur posisi pasien di meja pemeriksaan sesuai dengan objek yang diperiksa
dengan memasang coil yang sesuai dan sentrasikan di pergelangan tangan.
c) Tekan tombol angka nol dan setting sehingga objek di tengah gantri.
d) Tentukan protocol pada window site dan pilih series:
- Buat 3-plane lokalisir untuk menentukan lokasi potongan yang akan dibuat
- Buat potongan Axial SE T1
- Buat potongan Coronal SE T1
- Buat potongan Coronal Stir
- Buat potongan Coronal GRE T2
- Buat potongan Cor FSE PD & T2
6) Jika ada kelainan tumor, abses atau adanya indikasi kearah SOL maka diperlukan
penyuntikan kontras media dilanjutkan dengan pengambilan gambar potongan
Axial, Coronal, dan Sagital SE T1

b. Sendi siku (Elbow Joint)


1) Jenis coil: GPFLEX COIL
2) Tujuan: untuk melihat kelainan patologis jaringan dan sendi di daerah siku.
3) Indikasi: tumor, abses, ruptur, dan lain-lain.
4) Persiapan pasien:
a) Pasien mengisi formulir screening sebelum masuk ke ruang pemeriksaan.
b) Mengganti baju dengan pakaian yang telah disediakan di ruang ganti dan
menyimpan semua barang-barang di dalam loker yang telah disediakan.
c) Pasien diberi penjelasan sebelum pemeriksaan dan dipasangkan ear-plug untuk
menutup telinga.

77
5) Teknik pemeriksaan:
a) Masukkan data pasien di RX manager computer.
b) Atur posisi pasien di meja pemeriksaan sesuai dengan objek yang diperiksa
dengan memasang coil yang sesuai dan sentrasikan di pertengahan siku.
c) Tekan tombol angka nol dan setting sehingga objek di tengah gantri.
d) Tentukan protocol pada window site dan pilih series:
- Buat 3-plane lokalisir untuk menentukan lokasi potongan yang akan dibuat
- Buat potongan Axial SE T1
- Buat potongan Coronal SE T1
- Buat potongan Coronal Stir
- Buat potongan Coronal GRE T2
- Buat potongan Cor FSE PD & T2
6) Jika ada kelainan kembali ke protokol pertama.

c. Humeri
1) Jenis coil: GPFLEX COIL
2) Tujuan: untuk melihat kelainan patologis jaringan dan sendi di daerah siku.
3) Indikasi: tumor, abses, ruptur, dan lain-lain.
4) Persiapan pasien:
a) Pasien mengisi formulir screening sebelum masuk ke ruang pemeriksaan.
b) Pasien mengganti baju dengan pakaian yang telah disediakan di ruang ganti dan
menyimpan semua baráng-barang di dalam loker yang telah disediakan.
c) Pasien diberi penjelasan sebelum pemeriksaan dan dipasangkan ear plug untuk
menutup telinga.
5) Teknik pemeriksaan:
a) Masukkan data pasien di RX manager computer.
b) Atur posisi pasien di meja pemeriksaan sesuai dengan objek yang diperiksa
dengan memasang coil yang sesuai dan sentrasikan di lengan atas.
c) Tekan tombol angka nol dan setting sehingga objek di tengah gantri.
d) Tentukan protocol pada window site dan pilih series:
- Buat 3-plane lokalisir untuk menentukan lokasi potongan yang akan dibuat
- Buat potongan Axial SE T1
- Buat potongan Coronal SE T1
- Buat potongan Coronal Stir
- Buat potongan Coronal GRE T2
- Buat potongan Cor FSE PD & T2
6) Jika ada kelainan, kembali ke protokol pertama.

78
d. Sendi bahu
1) Jenis coil: SHOULDERPA4
2) Tujuan: untuk melihat kelainan patologis jaringan dan sendi di daerah bahu.
3) Indikasi: tumor, abses, ruptur, dan lain-lain.
4) Persiapan pasien:
a) Pasien mengisi formulir screening sebelum masuk ke ruang pemeriksaan.
b) Pasien mengganti baju dengan pakaian yang telah disediakan di ruang ganti dan
menyimpan semua baráng-barang di dalam loker yang telah disediakan.
c) Pasien diberi penjelasan sebelum pemeriksaan dan dipasangkan ear plug untuk
menutup telinga.
5) Teknik pemeriksaan:
a) Masukkan data pasien di RX manager computer.
b) Atur posisi pasien di meja pemeriksaan sesuai dengan objek yang diperiksa
dengan memasang coil yang sesuai dan sentrasikan di pertengahan bahu.
c) Tekan tombol angka nol dan setting sehingga objek di tengah gantri.
d) Tentukan protocol pada window site dan pilih series:
- Buat 3-plane lokalisir untuk menentukan lokasi potongan yang akan dibuat
- Buat potongan Axial SE T1
- Buat potongan Coronal SE T1
- Buat potongan Coronal Stir
- Buat potongan Coronal GRE T2
- Buat potongan Cor FSE PD & T2
6) Jika ada kelainan, kembali ke protokol pertama.

2. Ekstremitas Bawah
a. Femur
1) Jenis coil: BODY COIL
2) Tujuan: untuk melihat kelainan patologis jaringan dan sendi di daerah femur.
3) Indikasi: tumor, abses, ruptur, dan lain-lain.
4) Persiapan pasien:
a) Pasien mengisi formulir screening sebelum masuk ke ruang pemeriksaan.
b) Pasien mengganti baju dengan pakaian yang telah disediakan di ruang ganti dan
menyimpan semua baráng-barang di dalam loker yang telah disediakan.
c) Pasien diberi penjelasan sebelum pemeriksaan dan dipasangkan ear plug untuk
menutup telinga.
5) Teknik pemeriksaan:
a) Masukkan data pasien di RX manager computer.
b) Atur posisi pasien di meja pemeriksaan sesuai dengan objek yang diperiksa
dengan memasang coil yang sesuai dan sentrasikan di pertengahan femur.
c) Tekan tombol angka nol dan setting sehingga objek di tengah gantri.
d) Tentukan protocol pada window site dan pilih series:

79
- Buat 3-plane lokalisir untuk menentukan lokasi potongan yang akan dibuat
- Buat potongan Axial SE T1
- Buat potongan Coronal SE T1
- Buat potongan Coronal Stir
- Buat potongan Coronal GRE T2
- Buat potongan Cor FSE PD & T2
6) Jika ada kelainan, kembali ke protokol pertama.

b. Articulatio genu
1) Jenis coil: EXTREME COIL
2) Tujuan: untuk melihat kelainan patologis jaringan dan sendi di daerah genu.
3) Indikasi: tumor, abses, ruptur, meniscus tear, dan lain-lain.
4) Persiapan pasien:
a) Pasien mengisi formulir screening sebelum masuk ke ruang pemeriksaan.
b) Pasien mengganti baju dengan pakaian yang telah disediakan di ruang ganti dan
menyimpan semua baráng-barang di dalam loker yang telah disediakan.
c) Pasien diberi penjelasan sebelum pemeriksaan dan dipasangkan ear plug untuk
menutup telinga.
5) Teknik pemeriksaan:
a) Masukkan data pasien di RX manager computer.
b) Atur posisi pasien di meja pemeriksaan sesuai dengan objek yang diperiksa
dengan memasang coil yang sesuai dan sentrasikan di pertengahan lutut.
c) Tekan tombol angka nol dan setting sehingga objek di tengah gantri.
d) Tentukan protocol pada window site dan pilih series:
- Buat 3-plane lokalisir untuk menentukan lokasi potongan yang akan dibuat
- Buat potongan Sag T2 FSE
- Buat potongan Sag PD FSE
- Buat potongan Coronal Stir
- Buat potongan Coronal PD & T2 FSE
- Buat potongan Axial T2 FSE atau 3D-SPGR
6) Jika ada kelainan, kembali ke protokol pertama.

c. Articulatio talocruris (Angkle Joint)


1) Jenis coil: EXTREME COIL
2) Tujuan: untuk melihat kelainan patologis jaringan dan sendi di daerah talokruris.
3) Indikasi: tumor, abses, ruptur, dan lain-lain.
4) Persiapan pasien:
a) Pasien mengisi formulir screening sebelum masuk ke ruang pemeriksaan.
b) Pasien mengganti baju dengan pakaian yang telah disediakan di ruang ganti dan
menyimpan semua baráng-barang di dalam loker yang telah disediakan.
c) Pasien diberi penjelasan sebelum pemeriksaan dan dipasangkan ear plug untuk
menutup telinga.
80
5) Teknik pemeriksaan:
a) Masukkan data pasien di RX manager computer.
b) Atur posisi pasien di meja pemeriksaan sesuai dengan objek yang diperiksa
dengan memasang coil yang sesuai dan sentrasikan di pertengahan angkle joint.
c) Tekan tombol angka nol dan setting sehingga objek di tengah gantri.
d) Tentukan protocol pada window site dan pilih series:
- Buat 3-plane lokalisir untuk menentukan lokasi potongan yang akan dibuat
- Buat potongan Sag T2 FSE
- Buat potongan Sag PD FSE
- Buat potongan Coronal Stir
- Buat potongan Coronal PD & T2 FSE
- Buat potongan Axial T2 FSE
6) Jika ada kelainan, kembali ke protokol pertama.

d. Pedis
1) Jenis coil: EXTREME COIL
2) Tujuan: untuk melihat kelainan patologis jaringan dan sendi di daerah pedis.
3) Indikasi: tumor, abses, ruptur, dan lain-lain.
4) Persiapan pasien:
a) Pasien mengisi formulir screening sebelum masuk ke ruang pemeriksaan.
b) Pasien mengganti baju dengan pakaian yang telah disediakan di ruang ganti dan
menyimpan semua baráng-barang di dalam loker yang telah disediakan.
c) Pasien diberi penjelasan sebelum pemeriksaan dan dipasangkan ear plug untuk
menutup telinga.
5) Teknik pemeriksaan:
a) Masukkan data pasien di RX manager computer.
b) Atur posisi pasien di meja pemeriksaan sesuai dengan objek yang diperiksa
dengan memasang coil yang sesuai dan sentrasikan di pedis.
c) Tekan tombol angka nol dan setting sehingga objek di tengah gantri.
d) Tentukan protocol pada window site dan pilih series:
- Buat 3-plane lokalisir untuk menentukan lokasi potongan yang akan dibuat
- Buat potongan Sag T2 FSE
- Buat potongan Sag PD FSE
- Buat potongan Coronal Stir
- Buat potongan Coronal PD & T2 FSE
- Buat potongan Axial T2 FSE atau 3D-SPGR
6) Jika ada kelainan, kembali ke protokol pertama.

81
e. Articulatio coxae atau pelvis
1) Jenis coil: TORSOPA
2) Tujuan: untuk melihat kelainan patologis jaringan dan sendi di daerah coxae/pelvis.
3) Indikasi: tumor, abses, ruptur, dan lain-lain.
4) Persiapan pasien:
a) Pasien mengisi formulir screening sebelum masuk ke ruang pemeriksaan.
b) Pasien mengganti baju dengan pakaian yang telah disediakan di ruang ganti dan
menyimpan semua baráng-barang di dalam loker yang telah disediakan.
c) Pasien diberi penjelasan sebelum pemeriksaan dan dipasangkan ear plug untuk
menutup telinga.
5) Teknik pemeriksaan:
a) Masukkan data pasien di RX manager computer.
b) Atur posisi pasien di meja pemeriksaan sesuai dengan objek yang diperiksa
dengan memasang coil yang sesuai dan sentrasikan di pertengahan pelvis.
c) Tekan tombol angka nol dan setting sehingga objek di tengah gantri.
d) Tentukan protocol pada window site dan pilih series:
- Buat 3-plane lokalisir untuk menentukan lokasi potongan yang akan dibuat
- Buat potongan Axial T1 FSE
- Buat potongan Cor T2 FSE
- Buat potongan Coronal T2 GRE
- Buat potongan Axial Stir
6) Jika ada kelainan, kembali ke protokol pertama.

B. Protokol Standar untuk Pemeriksaan MRI Kepala


1. Brain dengan Sefalgia
(Ada riwayat post trauma/perdarahan)
a. Jenis coil: HEAD COIL
b. Tujuan: untuk melihat kelainan patologis jaringan otak.
c. Indikasi: tumor, abses, dan lain-lain.
d. Persiapan pasien:
1) Pasien mengisi formulir screening sebelum masuk ke ruang pemeriksaan.
2) Pasien mengganti baju dengan pakaian yang telah disediakan di ruang ganti dan
menyimpan semua barang-barang di dalam loker yang telah disediakan.
3) Pasien diberi penjelasan sebelum pemeriksaan dan dipasangkan ear plug untuk
menutup telinga.
e. Teknik pemeriksaan:
1) Masukkan data pasien di RX manager computer.
2) Atur posisi pasien di meja pemeriksaan sesuai dengan objek yang diperiksa dengan
memasang coil khusus kepala dan sentrasikan di pertengahan sudut mata.
3) Tekan tombol angka nol dan setting sehingga objek berada di tengah gantry.
4) Tentukan protokol pada window site dan pilih series:
82
Buat 3-plane lokalisir untuk menentukan lokasi potongan gambar yang akan dibuat.
a) Buat potongan Axial T2 SE.
b) Buat potongan Axial T2 FSE.
c) Buat potongan Axial T2 Flair.
-

d) Buat potongan Sag Ti.


e) Buat potongan Coronal T2SE.
5) Jika ada kelainan tumor, abses, atau adanya indikasi kearah SOL, maka perlu
penyuntikan kontras media dilanjutkan dengan pengambilan gambar potongan
Axial, Coronal, dan Sagital SE T1, (bila perlu dengan Fat Sat).

2. Brain dengan Sefalgia


(Ada riwayat post trauma/perdarahan)
a. Jenis coil: HEAD COIL
b. Tujuan: untuk melihat kelainan patologis jaringan otak.
c. Indikasi: perdarahan dan lain-lain.
d. Persiapan pasien:
1) Pasien mengisi formulir screening sebelum masuk ke ruang pemeriksaan.
2) Pasien mengganti baju dengan pakaian yang telah disediakan di ruang ganti dan
menyimpan semua barang-barang di dalam loker yang telah disediakan.
3) Pasien diberi penjelasan sebelum pemeriksaan dan dipasangkan ear plug untuk
menutup telinga.
e. Teknik pemeriksaan:
1) Masukkan data pasien di RX manager computer.
2) Atur posisi pasien di meja pemeriksaan sesuai dengan objek yang diperiksa dengan
memasang coil khusus kepala dan sentrasikan di pertengahan sudut mata.
3) Tekan tombol angka nol dan setting sehingga objek berada di tengah gantry.
4) Tentukan protokol pada window site dan pilih series:
Buat 3-plane lokalisir untuk menentukan lokasi potongan gambar yang akan dibuat.
a) Buat potongan Axial T2 SE.
b) Buat potongan Axial T2 FSE.
-c) Buat potongan Axial T2 Flair.
d) Buat potongan Cor T2 Flair.
e) Buat potongan Diffusion.
f) Buat potongan MRA.
5) Jika ada kelainan , kembali ke protokol pertama

83
3. Brain dengan CVD, Stroke, TIA
(Ada riwayat post trauma/perdarahan)
a. Jenis coil: HEAD COIL
b. Tujuan: untuk melihat kelainan patologis jaringan otak.
c. Indikasi: perdarahan, infark lama, dan infark baru.
d. Persiapan pasien:
1) Pasien mengisi formulir screening sebelum masuk ke ruang pemeriksaan.
2) Pasien mengganti baju dengan pakaian yang telah disediakan di ruang ganti dan
menyimpan semua barang-barang di dalam loker yang telah disediakan.
3) Pasien diberi penjelasan sebelum pemeriksaan dan dipasangkan ear plug untuk
menutup telinga.
e. Teknik pemeriksaan:
1) Masukkan data pasien di RX manager computer.
2) Atur posisi pasien di meja pemeriksaan sesuai dengan objek yang diperiksa dengan
memasang coil khusus kepala dan sentrasikan di pertengahan sudut mata.
3) Tekan tombol angka nol dan setting sehingga objek berada di tengah gantry.
4) Tentukan protokol pada window site dan pilih series:
Buat 3-plane lokalisir untuk menentukan lokasi potongan gambar yang akan dibuat.
a) Buat potongan Axial T2 SE.
b) Buat potongan Axial T2 FSE.
c) Buat potongan Axial T2 Flair.
d) Buat potongan Diffusion.
e) Buat potongan MRA.
5) Jika ada kelainan, kembali ke protokol pertama.

4. Brain dengan Tumor dan Metastasis


a. Jenis coil: HEAD COIL
b. Tujuan: untuk melihat kelainan patologis jaringan otak.
c. Indikasi: SOL, tumor, dan lain-lain.
d. Persiapan pasien:
1) Pasien mengisi formulir screening sebelum masuk ke ruang pemeriksaan.
2) Pasien mengganti baju dengan pakaian yang telah disediakan di ruang ganti dan
menyimpan semua barang-barang di dalam loker yang telah disediakan.
3) Pasien diberi penjelasan sebelum pemeriksaan dan dipasangkan ear plug untuk
menutup telinga.
e. Teknik pemeriksaan:
1) Masukkan data pasien di RX manager computer.
2) Atur posisi pasien di meja pemeriksaan sesuai dengan objek yang diperiksa dengan
memasang coil khusus kepala dan sentrasikan di pertengahan sudut mata.
3) Tekan tombol angka nol dan setting sehingga objek berada di tengah gantry.
84
4) Tentukan protokol pada window site dan pilih series:
Buat 3-plane lokalisir untuk menentukan lokasi potongan gambar yang akan dibuat.
a) Buat potongan Axial T1 SE.
b) Buat potongan Axial T2 FSE.
c) Buat potongan Axial T2 Flair.
d) Buat potongan Axial T1 SE dengan kontras.
e) Bila ada SOL buat potongan Coronal atau Sagital T1 SE bila perlu dengan Fat
Sat.

5. Brain dengan Epilepsi


a. Jenis coil: HEAD COIL
b. Tujuan: untuk melihat kelainan patologis jaringan otak.
c. Indikasi: kejang-kejang.
d. Persiapan pasien:
1) Pasien mengisi formulir screening sebelum masuk ke ruang pemeriksaan.
2) Pasien mengganti baju dengan pakaian yang telah disediakan di ruang ganti dan
menyimpan semua barang-barang di dalam loker yang telah disediakan.
3) Pasien diberi penjelasan sebelum pemeriksaan dan dipasangkan ear plug untuk
menutup telinga.
e. Teknik pemeriksaan:
1) Masukkan data pasien di RX manager computer.
2) Atur posisi pasien di meja pemeriksaan sesuai dengan objek yang diperiksa dengan
memasang coil khusus kepala dan sentrasikan di pertengahan sudut mata.
3) Tekan tombol angka nol dan setting sehingga objek berada di tengah gantry.
4) Tentukan protokol pada window site dan pilih series:
Buat 3-plane lokalisir untuk menentukan lokasi potongan gambar yang akan dibuat.
a) Buat potongan Axial T1 SE.
b) Buat potongan Axial T2 FSE.
c) Buat potongan Axial T2 Flair.
d) Buat potongan Axial T1 SE.
e) Buat potongan Cor 3D SPGR Oblique.
f) Buat potongan MRA.
5) Jika ada kelainan, kembali ke protokol pertama tanpa Fat Sat.

85
6. Sella Tursica/Tumor Hipofisis
a. Jenis coil: HEAD COIL
b. Tujuan: untuk melihat kelainan patologis hipofisis.
c. Indikasi: sefalgia, penglihatan ganda, dll.
d. Persiapan pasien:
1) Pasien mengisi formulir screening sebelum masuk ke ruang pemeriksaan.
2) Pasien mengganti baju dengan pakaian yang telah disediakan di ruang ganti dan
menyimpan semua barang-barang di dalam loker yang telah disediakan.
3) Pasien diberi penjelasan sebelum pemeriksaan dan dipasangkan ear plug untuk
menutup telinga.
e. Teknik pemeriksaan:
1) Masukkan data pasien di RX manager computer.
2) Atur posisi pasien di meja pemeriksaan sesuai dengan objek yang diperiksa dengan
memasang coil khusus kepala dan sentrasikan di pertengahan sudut mata.
3) Tekan tombol angka nol dan setting sehingga objek berada di tengah gantry.
4) Tentukan protokol pada window site dan pilih series:
Buat 3-plane lokalisir untuk menentukan lokasi potongan gambar yang akan dibuat.
a) Buat potongan Sag T1 SE (tipis 2-3 mm di Sella Tursica).
b) Buat potongan Axial T2 FSE (potongan normal seluruh kepala).
c) Buat potongan Sag T2 FSE (tipis 2-3 mm di Sella Tursica).
d) Jika tumornya kecil diambil Dynamic-Scan Potongan Coronal 6 slice di daerah
Sella Tursica
e) Jika tumornya besar buat potongan Sag T1 SE dan Cor Ti SE tipis 2-3 mm di Sella
Tursica.

7. Cranial Nerve/CPA Tumor (IAC)


a. Jenis coil: HEAD COIL
b. Tujuan: untuk melihat kelainan patologis di CPA.
c. Indikasi: sefalgia, tinnitus, kuping berdengung.
d. Persiapan pasien:
1) Pasien mengisi formulir screening sebelum masuk ke ruang pemeriksaan.
2) Pasien mengganti baju dengan pakaian yang telah disediakan di ruang ganti dan
menyimpan semua barang-barang di dalam loker yang telah disediakan.
3) Pasien diberi penjelasan sebelum pemeriksaan dan dipasangkan ear plug untuk
menutup telinga.
e. Teknik pemeriksaan:
1) Masukkan data pasien di RX manager computer.
2) Atur posisi pasien di meja pemeriksaan sesuai dengan objek yang diperiksa dengan
memasang coil khusus kepala dan sentrasikan di pertengahan sudut mata.
3) Tekan tombol angka nol dan setting sehingga objek berada di tengah gantry.
86
4) Tentukan protokol pada window site dan pilih series:
Buat 3-plane lokalisir untuk menentukan lokasi potongan gambar yang akan dibuat.
a) Buat potongan Axial T1 SE (tipis di CPA).
b) Buat potongan Axial T2 FSE (potongan normal seluruh kepala).
c) Buat potongan Axial T1 SE dan Cor SE tipis di CPA bila perlu Fat Sat dan buat
potongan 3D SPGR.

8. Kasus Pediatrik: Retardasi Mental, Kelainan Kongenital


a. Jenis coil: HEAD COIL
b. Tujuan: untuk melihat kelainan patologis jaringan otak.
c. Indikasi: retardasi mental dan kelainan kongenital
d. Persiapan pasien:
1) Pasien mengisi formulir screening sebelum masuk ke ruang pemeriksaan.
2) Pasien mengganti baju dengan pakaian yang telah disediakan di ruang ganti dan
menyimpan semua barang-barang di dalam loker yang telah disediakan.
3) Pasien diberi penjelasan sebelum pemeriksaan dan dipasangkan ear plug untuk
menutup telinga.
e. Teknik pemeriksaan:
1) Masukkan data pasien di RX manager computer.
2) Atur posisi pasien di meja pemeriksaan sesuai dengan objek yang diperiksa dengan
memasang coil khusus kepala dan sentrasikan di pertengahan sudut mata.
3) Tekan tombol angka nol dan setting sehingga objek berada di tengah gantry.
4) Tentukan protokol pada window site dan pilih series:
Buat 3-plane lokalisir untuk menentukan lokasi potongan gambar yang akan dibuat.
a) Buat potongan Axial T1 Flair.
b) Buat potongan Axial T2 FSE.
c) Buat potongan Sag T1 SE
d) Buat potongan Cor T2 FSE
5) Jika ada kelainan, kembali ke protokol pertama.
6) Jika pasien tidak kooperatif diperlukan anestesi sebelum pemeriksaan dilakukan dan
perjanjian mengenai tindakan anestesi dilakukan satu hari sebelumnya.

9. Kasus pasien yang tidak kooperatif/emergency (Fast Brain)


a. Jenis coil: HEAD COIL
b. Tujuan: untuk melihat kelainan patologis jaringan otak.
c. Indikasi: kasus emergency
d. Persiapan pasien:
1) Pasien mengisi formulir screening sebelum masuk ke ruang pemeriksaan.
2) Pasien mengganti baju dengan pakaian yang telah disediakan di ruang ganti dan
menyimpan semua barang-barang di dalam loker yang telah disediakan.
87
3) Pasien diberi penjelasan sebelum pemeriksaan dan dipasangkan ear plug untuk
menutup telinga.
e. Teknik pemeriksaan:
1) Masukkan data pasien di RX manager computer.
2) Atur posisi pasien di meja pemeriksaan sesuai dengan objek yang diperiksa dengan
memasang coil khusus kepala dan sentrasikan di pertengahan sudut mata.
3) Tekan tombol angka nol dan setting sehingga objek berada di tengah gantry.
4) Tentukan protokol pada window site dan pilih series:
Buat 3-plane lokalisir untuk menentukan lokasi potongan gambar yang akan dibuat.
a) Buat potongan Axial T1 SE.
b) Buat potongan Axial T2 FSE.
c) Buat potongan Sag T1 SE
d) Buat potongan Axial T2 Flair.
5) Jika ada kelainan, kembali ke protokol pertama.
6) Jika pasien tidak kooperatif diperlukan anestesi sebelum pemeriksaan dilakukan dan
perjanjian mengenai tindakan anestesi dilakukan satu hari sebelumnya.

10. Spektroskopi
a. Jenis coil: HEAD COIL
b. Tujuan: untuk melihat kelainan patologis jaringan otak.
c. Indikasi: retardasi mental, kelainan kongenital infeksi, tumor, dan lain-lain.
d. Persiapan pasien:
1) Pasien mengisi formulir screening sebelum masuk ke ruang pemeriksaan.
2) Pasien mengganti baju dengan pakaian yang telah disediakan di ruang ganti dan
menyimpan semua barang-barang di dalam loker yang telah disediakan.
3) Pasien diberi penjelasan sebelum pemeriksaan dan dipasangkan ear plug untuk
menutup telinga.
e. Teknik pemeriksaan:
1) Masukkan data pasien di RX manager computer.
2) Atur posisi pasien di meja pemeriksaan sesuai dengan objek yang diperiksa dengan
memasang coil khusus kepala dan sentrasikan di pertengahan sudut mata.
3) Tekan tombol angka nol dan setting sehingga objek berada di tengah gantry.
4) Tentukan protokol pada window site dan pilih series:
Buat 3-plane lokalisir untuk menentukan lokasi potongan gambar yang akan dibuat.
a) Buat potongan Axial Localiser 10 mm.
b) Buat potongan SI PRESS (Multivoxel).

88
11. Perfusion
a. Jenis coil: HEAD COIL
b. Tujuan: untuk melihat kelainan patologis jaringan otak.
c. Indikasi: CVD akut (stroke < 3 jam).
d. Persiapan pasien:
1) Pasien mengisi formulir screening sebelum masuk ke ruang pemeriksaan.
2) Pasien mengganti baju dengan pakaian yang telah disediakan di ruang ganti dan
menyimpan semua barang-barang di dalam loker yang telah disediakan.
3) Pasien diberi penjelasan sebelum pemeriksaan dan dipasangkan ear plug untuk
menutup telinga.
e. Teknik pemeriksaan:
1) Masukkan data pasien di RX manager computer.
2) Atur posisi pasien di meja pemeriksaan sesuai dengan objek yang diperiksa dengan
memasang coil khusus kepala dan sentrasikan di pertengahan sudut mata.
3) Tekan tombol angka nol dan setting sehingga objek berada di tengah gantry.
4) Tentukan protokol pada window site dan pilih series:
Buat 3-plane lokalisir untuk menentukan lokasi potongan gambar yang akan dibuat.
a) Buat potongan Axial T2 FSE.
b) Buat potongan Axial T2 Flair.
c) Buat potongan Diffusion.
d) Buat potong Perfusion (dengan kontras).

C. Protokol Standar untuk Pemeriksaan MRI Columna Vertebrae


1. Vertebrae Servikal
a. Jenis coil: UCS12
b. Tujuan: untuk melihat kelainan patologis yang ada didaerah servikal.
c. Indikasi: HNP, tumor, abses, dan lain-lain.
d. Persiapan pasien:
1) Pasien mengisi formulir screening sebelum masuk ke ruang pemeriksaan.
2) Pasien mengganti baju dengan pakaian yang telah disediakan di ruang ganti dan
menyimpan semua barang-barang di dalam loker yang telah disediakan.
3) Pasien diberi penjelasan sebelum pemeriksaan dan dipasangkan ear plug untuk
menutup telinga.
e. Teknik pemeriksaan:
1) Masukkan data pasien di RX manager computer.
2) Atur posisi pasien di meja pemeriksaan sesuai dengan objek yang diperiksa dengan
memasang coil khusus spine dengan sentrasi berada di hyoid bone.
3) Tekan tombol angka nol dan setting sehingga objek berada di tengah gantry.

89
4) Tentukan protokol pada window site dan pilih series:
Buat 3-plane lokalisir untuk menentukan lokasi potongan gambar yang akan dibuat.
a) Buat potongan Sagital T1 SE.
b) Buat potongan Sagital T2 FSE.
c) Buat potongan Axial T2 GRE.
5) Jika ada kelainan tumor, abses atau adanya indikasi kearah SOL, maka diperlukan
penyuntikan kontras dengan pengambilan gambar potongan Axial T1 SE, Cor T1
SE, dan Sagital SE T1. Apabila perlu dilakukan pengambilan gambar dengan Fat Sat
dan Ax 3-D SPGR serta MRI Myelo.

2. Vertebrae Torakal
a. Jenis coil: UCSTLMID
b. Tujuan: untuk melihat kelainan patologis yang ada didaerah torakal.
c. Indikasi: HNP, tumor, abses, dan lain-lain.
d. Persiapan pasien:
1) Pasien mengisi formulir screening sebelum masuk ke ruang pemeriksaan.
2) Pasien mengganti baju dengan pakaian yang telah disediakan di ruang ganti dan
menyimpan semua barang-barang di dalam loker yang telah disediakan.
3) Pasien diberi penjelasan sebelum pemeriksaan dan dipasangkan ear plug untuk
menutup telinga.
e. Teknik pemeriksaan:
1) Masukkan data pasien di RX manager computer.
2) Atur posisi pasien di meja pemeriksaan sesuai dengan objek yang diperiksa
dengan memasang coil khusus spine dengan sentrasi sejajar dengan aksila.
3) Tekan tombol angka nol dan setting sehingga objek berada di tengah gantry.
4) Tentukan protokol pada window site dan pilih series:
Buat 3-plane lokalisir untuk menentukan lokasi potongan gambar yang akan dibuat.
a) Buat potongan Sagital T1 SE.
b) Buat potongan Sagital T2 FSE.
c) Buat potongan Axial T2 FSE/T2 GRE.
5) Jika ada kelainan kembali ke protokol pertama.

3. Vertebrae Lumbosakral
a. Jenis coil: UCSTLBOT.
b. Tujuan: untuk melihat kelainan patologis yang ada didaerah lumbosakral.
c. Indikasi: HNP, tumor, abses, dan lain-lain.
d. Persiapan pasien:
1) Pasien mengisi formulir screening sebelum masuk ke ruang pemeriksaan.
2) Pasien mengganti baju dengan pakaian yang telah disediakan di ruang ganti dan
menyimpan semua barang-barang di dalam loker yang telah disediakan.

90
3) Pasien diberi penjelasan sebelum pemeriksaan dan dipasangkan ear plug untuk
menutup telinga.
e. Teknik pemeriksaan:
1) Masukkan data pasien di RX manager computer.
2) Atur posisi pasien di meja pemeriksaan sesuai dengan objek yang diperiksa
dengan memasang coil khusus spine dengan sentrasi di SIAS.
3) Tekan tombol angka nol dan setting sehingga objek berada di tengah gantry.
4) Tentukan protokol pada window site dan pilih series:
Buat 3-plane lokalisir untuk menentukan lokasi potongan gambar yang akan dibuat.
a) Buat potongan Sagital T1 SE.
b) Buat potongan Sagital T2 FSE.
c) Buat potongan Axial T2 FSE.
5) Jika ada kelainan kembali ke protokol pertama.

D. Protokol Pemeriksaan MRI Abdomen dan Pelvis


1. MRI Abdomen
a. Jenis coil: TORSOPA
b. Tujuan: untuk melihat kelainan di daerah rongga abdomen.
c. Indikasi: tumor, abses, dan lain-lain.
d. Persiapan pasien:
1) Pasien mengisi formulir screening sebelum masuk ke ruang pemeriksaan.
2) Pasien mengganti baju dengan pakaian yang telah disediakan di ruang ganti dan
menyimpan semua barang-barang di dalam loker yang telah disediakan.
3) Pasien diberi penjelasan sebelum pemeriksaan dan dipasangkan ear plug untuk
menutup telinga.
e. Teknik pemeriksaan:
1) Masukkan data pasien di RX manager computer.
2) Atur posisi pasien di meja pemeriksaan sesuai dengan objek yang diperiksa
dengan memasang coil torsopa dengan sentrasi berada di bawah procesus xypoideus
dan pasang alat respiratori di badan..
3) Tekan tombol angka nol dan setting sehingga objek berada di tengah gantry.
4) Tentukan protokol pada window site dan pilih series:
a) Buat potongan Coronal localize.
b) Buat potongan Axial T2 Screening.
c) Buat potongan Axial SPGR T1, Breathhold
d) Buat potongan Axial SPGR T1 Fat Sat.
e) Buat potongan Axial T1 SE Fat Sat.
5) Jika ada kelainan tumor, abses atau adanya indikasi ke arah SOL maka diperlukan
penyuntikan kontras dengan pengambilan gambar potongan Axial T1 SE, Cor t1
SE, dan Sagital SE T1, bila perlu dengan Fat Sat.

91
2. MRCP
a. Jenis coil: TORSOPA
b. Tujuan: untuk melihat kelainan di daerah kandung empedu.
c. Indikasi: bendungan saluran kandung empedu oleh batu tumor atau proses radang.
d. Persiapan pasien:
1) Pasien mengisi formulir screening sebelum masuk ke ruang pemeriksaan.
2) Pasien mengganti baju dengan pakaian yang telah disediakan di ruang ganti dan
menyimpan semua barang-barang di dalam loker yang telah disediakan.
3) Pasien diberi penjelasan sebelum pemeriksaan dan dipasangkan ear plug untuk
menutup telinga.
e. Teknik pemeriksaan:
1) Masukkan data pasien di RX manager computer.
2) Atur posisi pasien di meja pemeriksaan sesuai dengan objek yang diperiksa
dengan memasang coil torsopa dengan sentrasi berada di bawah procesus xypoideus
dan pasang alat respiratori di badan..
3) Tekan tombol angka nol dan setting sehingga objek berada di tengah gantry.
4) Tentukan protokol pada window site dan pilih series:
a) Buat potongan Coronal localize.
b) Buat potongan Axial T2 Screening.
c) Buat potongan Axial SPGR T1, Breathhold.
d) Buat potongan Coronal SS FSE Thin Slices.
e) Buat potongan Coronal SS FSE Thick Slab.

3. MRI Pelvis
a. Jenis coil: TORSOPA
b. Tujuan: untuk melihat kelainan di daerah rongga pelvis.
c. Indikasi: tumor, abses, kelainan reproduksi.
d. Persiapan pasien:
1) Pasien mengisi formulir screening sebelum masuk ke ruang pemeriksaan.
2) Pasien mengganti baju dengan pakaian yang telah disediakan di ruang ganti dan
menyimpan semua barang-barang di dalam loker yang telah disediakan.
3) Pasien diberi penjelasan sebelum pemeriksaan dan dipasangkan ear plug untuk
menutup telinga.
e. Teknik pemeriksaan:
1) Masukkan data pasien di RX manager computer.
2) Atur posisi pasien di meja pemeriksaan sesuai dengan objek yang diperiksa
dengan memasang coil torsopa dengan sentrasi berada di bawah umbilikus dan
pasang alat respiratori di badan.
3) Tekan tombol angka nol dan setting sehingga objek berada di tengah gantry.

92
4) Tentukan protokol pada window site dan pilih series:
a) Buat potongan Coronal localize.
b) Buat potongan Axial T1 SE.
c) Buat potongan Axial T2 FSE (tipis di utero-serviks/prostat atau bulu-buli).
d) Buat potongan Sag T2 FSE (tipis di daerah uterus atau prostat).
5) Jika ada kelainan kembali ke protokol pertama

E. Protokol Pemeriksaan MRI Breast dan Cardiac


1. Pemeriksaan MRI Breast
a. Pasang Breast Coil sedemikian rupa sehingga laser beam lamp jatuh tepat ditengah
garis mid line vertebrae thorakal 4.
b. Pada menu scan Rx, pilih protokol Breast rutin, yang terdiri dari series potongan:
1) 3 plane scanogram dengan sequence 2D Fast, spin echo single shot, keluar
gambar scanogram, bikin potongan.
2) Potongan Axial T2 Fast STIR.
3) Potongan Axial T1.
4) Potongan Axial T2.
5) Potongan Axial Vibrant.
6) Potongan Sag Vibrant.
c. Jika dicuri ada tumor, abses atau SOL maka diperlukan penyuntikan kontras,
kemudian Et potongan Axial Vibrant Multiphase. Setelah itu, dibuat kurve dengan
meletakkan ROL pada tumor atau daerah yang dicurigai.
d. Munculkan Film Composer” dan atur format 4x5, tekan Fl untuk memindahkan gambar
yang terseleksi ke film composer. Jumlah film yang digunakan sebanyak 6 lembar.

2. Pemeriksaan RI Cardiac
a. Pengertian
Pemeriksaan MRI pada daerah jantung dengan menggunakan medan magnet untuk
menghasilkan gambaran radiografi sesuai dengan parameter yang diatur sehingga
menghasilkan potongan per slice pada organ yang diperiksa.
b. Tujuan
Untuk memperlihatkan gambaran functional, perfusion, viability otot jantung. Selain
itu berfungsi sebagai acuan bagi petugas dalam mengerjakan pemeriksaan MRI
Cardiac, dan untuk mendapatkan hasil pemeriksaan MRI yang optimal.
c. Prosedur
Jenis Coil: CARDIAC Coil.
Indikasi: Infark, PCI, Post stenting dan lain-lain.

93
d. Persiapan pasien:
1) Membuat perjanjian di bagian administrasi radiologi.
2) Mengisi formulir screening dan informed consent sebelum dilakukan pemeriksaan.
3) Mengenakan baju yang telah disiapkan di ruang ganti baju.
4) Semua benda berlogam (ferromagnetic) dilepas.
5) Memberikan earphone (earplug) kepada pasien.
6) Memberikan penjelasan sebelum pemeriksaan dimulai.
7) Pasien dipasangi infus set di kedua lengan.
e. Teknik pemeriksaan:
1) Masukkan data pasien di RX protokol manager.
2) Atur posisi pasien di meja periksa dengan meletakkan badannya di cardiac
coil.Atur badan pasien supine sedemikian rupa sehingga laser bean lamp jatuh tepat
ditengah garis mid line Thoracal 4.
3) Aktifkan Gatting control (pernafasan dan EKG).
4) Pada menu scan Rx, pilih protokol Cardiac MR Echo yang terdiri dari series
potongan 3 plane scanogram dengan sequence 2D FIESTA, sehingga keluar
gambar scanogram buat potongan.
5) Lakukan Calibrasi dengan Shim Volum pada daerahjantung.
6) Pilih menu “Cardiac MR Echo” kemudian pilih “Real Time Sequence”. Pada real
time sequence, buat potongan jantung false 4 chamber kemudian masuk ke menu
“Function” bildn potongan real 4 chamber dengan sequence FIESTA.
7) Dan potongan 4 chamber real buat potongan short axis, dan potongan short
axis, buat potongan 3 chamber, 2 chamber.
8) Selesai function masuk ke menu “Time Course Perfusion”, dengan seq uence
GRE. Buat potongan short axis dan basal sampai apical.
9) Setelah itu, persiapkan kontras 9Gd dan Adenosin, suntik bersamaan dengan
acquisition data Time Course Perfusion (TCP).
10) Setelah selesai masuk ke menu “Miocard Delayed Inhansment (MDI)” buat
potongan short axis dan basal ke apical jantung.
11) Munculkan “Film Composer” dan atur format 4x4. Tekan Fl untuk memindahkan
gambar yang terseleksi ke film composer. Jumlah film yang digunakan untuk
dokumentasi sebanyak 6 lembar.

94

Anda mungkin juga menyukai