Anda di halaman 1dari 63

USULAN PENELITIAN

ANALISIS PENDENGARAN PEKERJA BENGKEL LAS

YANG TERPAPAR BISING DI KOTA MAKASSAR

Oleh

dr YUNIA CHAIRUNNISA ABDULLAH

Pembimbing :

Dr. dr. RISKIANA DJAMIN, Sp.T.H.T.B.K.L(K)

Dr. dr. NANI IRIANI DJUFRI, Sp.T.H.T.B.K.L(K)FICS

Dr. ABDUL SALAM, SKM, M.Kes

PROGRAM PENDIDIKAN DOKTER SPESIALIS-1(Sp-1)

PROGRAM STUDI ILMU KESEHATAN TELINGA HIDUNG TENGGOROK,

BEDAH KEPALA LEHER

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS HASANUDDIN

MAKASSAR

2020
HALAMAN PENGESAHAN
SEMINAR PROPOSAL PENELITIAN

Program Pendidikan Dokter Spesialis-1 (Sp-1)


Fakultas Kedokteran Universitas Hasanuddin

Disetujui untuk diseminarkan :

Nama Mahasiswa : Yunia Chairunnisa Abdullah


Nomor Pokok : C035191004
Program Pendidikan : Dokter Spesialis-1 (Sp-1) FK. UNHAS
Program Studi : Ilmu Kesehatan T.H.T.K.L
Tahun Masuk : 2019
Hari / Tanggal : / 2022
Tempat : Ruang Pertemuan Departemen
Ilmu Kesehatan T.H.T.K.L lt. 5 Gedung A RS.
UNHAS
Komisi Penasihat :

Ketua, Sekretaris,

Dr. dr. Riskiana Djamin, Sp.T.H.T.K.L(K) Dr.dr.Nani Iriani Djufri, Sp.T.H.T.K.L (K) FICS

Mengetahui
Manajer Program Pendidikan Dokter Spesialis
Fakultas Kedokteran UNHAS,

dr. Uleng Bahrun, Sp.PK(K), Ph.D


NIP. 19680518 199802 2 001

i
DAFTAR ISI

COVER

LEMBAR PENGESAHAN………………………………………………. i

DAFTAR ISI………………………………………………………………. ii

DAFTAR GAMBAR……………………………………………………… iv

DAFTAR TABEL…………………………………………………........... v

DAFTAR SINGKATAN…………………………………………………. vi

BAB I PENDAHULUAN………………………………………………… 1

1.1 Latar Belakang………………………………………………………. 1

1.2 Rumusan Masalah………………………………………………….. 6

1.3 Tujuan Penelitian……………………………………………………. 6

1.4 Hipotesis penelitian………………………………………………… 7

1.5 Manfaat penelitian…………………………………………………... 7

BAB II TINJAUAN PUSTAKA…………………………………………. 8

2.1 Anatomi Telinga……………………………………………………… 8

2.2 Fisiologi pendengaran……………………………………………… 13

2.3 Bising…………………………………………………………………. 15

2.4. Noice Induced Hearing Loss…………………………………….... 18

2.4.1Gangguan pendengaran akibat Bising……………………… 18

2.4.2 Epidemiologi…………………………………………………… 19

2.4.3 Patogenesis gangguan pendengaran……………………… 19

2.4.4 Factor yang berperan pada NIHL…………………………... 23

2.5. Pemeriksaan Pendengaran……………………………………….. 25

ii
2.5.1. Pure Tone Audiometri (PTA)……………………………….. 25

2.5.2. Timpanometri…………………………………………………. 28

2.5.3. Oto acoustic Emission (OAE)………………………………. 31

2.6 Kerangka Teori……………………………………………………… 34

2.7 Kerangka Konsep……..……………………………………………. 35

BAB III METODE PENELITIAN………………………………………. 36

3.1 Rancangan Penelitian……………………………………………… 36

3.2 Tempat dan Waktu Penelitian…………………………………….. 36

3.3 Populasi dan Sampel Penelitian………………………………….. 36

3.4 Kriteria Penelitian…………………………………………………… 41

3.5 Izin Penelitian……..………………………………………………… 42

3.6 Bahan dan Cara Penelitian………………………………………... 42

3.7 Definisi Operasional………………………………………………… 43

3.8 Analisa Data…………………………………………………………. 45

3.9 Alur Penelitian ……………………………………………………….. 46

3.10 Biaya Penelitian……………………………………………………. 47

DAFTAR PUSTAKA……………………………………………………. 48

LAMPIRAN………………………………………………………………. 54

iii
DAFTAR GAMBAR

Gambar 1. Anatomi Telinga…………………………………………......... 9

Gambar 2. Anatomi Koklea ……………………………………………….. 12

Gambar 3. Lebar membran basilaris dari basal ke apeks……………… 13

Gambar 4. Fisiologi Pendengaran………………………………………... 14

Gambar 5. Jalur Pendengaran……………………………………………. 15

Gambar 6. Timpanogram Normal………………………………………… 29

Gambar 7. Timpanogram Tipe AS……………………………………….. 29

Gambar 8. Timpanogram Tipe AD……………………………………….. 30

Gambar 9. Timpanogram Tipe B ………………………………………… 30

Gambar 10. Timpanogram Tipe C ………………………………………. 31

Gambar 11. Kerangka Teori……………………………………………… 34

Gambar 12. Kerangka Konsep ………………………………………….. 35

Gambar 13. Alur Penelitian…………………………………………......... 46

iv
DAFTAR TABEL

Tabel 1. Intensitas Bunyi dan Waktu Paparan………………………….. 17

Tabel 2. Daftar skala intensitas kebisingan…………………………...... 18

Tabel 3. Derajat gangguan pendengaran dan ketulian menurut ISO... 27

v
DAFTAR SINGKATAN

Singkatan Arti dan keterangan

AC : Air Conduction

BC : Bone conduction

dB : Decibel

dBA : Decibel A weighted

PTA : Pure Tone Audiometri

DPOAE : Distortion Product Oto Accoustic Emission

GPAB : Gangguan Pendengaran Akibat Bising

Hz : Hertz

NIHL : Noice Induced Hearing Loss

NIPTS : Noice Induced Permanent Threshols Shift

OAE : Oto Accoustic Emission

PGPKT : Penganggulangan Gangguan Pendengaran dan

Ketulian

PTS : Permanent Threshold Shift

SLM : Sound level Meter

SOAE : Spontaneous Otoacoustic Emission SOAE

TTS : Temporary Threshold Shift

TEOAE : Transient Evoked Otoacoustic Emission.

vi
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Fungsi pendengaran memegang peran sangat penting dalam

kehidupan manusia. Pendengaran tidak hanya diperlukan untuk proses

komunikasi tetapi juga untuk keamanan (perlindungan diri). Gangguan

terhadap organ pendengaran selain akan menyebabkan cacat fisik juga

menimbulkan masalah psikososial (Espmark AK, 2002). Gangguan

pendengaran di Indonesia sering disebabkan oleh tingginya tingkat

paparan suara bising di tempat kerja juga di lingkungan tempat tinggal,

serta kebiasaan mendengarkan musik dan menonton film dengan suara

yang lebih dari 85 dB, tempat bermain anak di pusat perbelanjaan,

sekolah otomotif, dan penggunaan mesin perahu nelayan. Kelainan-

kelainan yang diakibatkan keadaan tersebut bersifat tuli sensorineural

(Kementerian Kesehatan RI, 2014).

Bising merupakan bunyi keras yang tidak diinginkan dan tidak

dikehendaki oleh setiap individu. Efek bising tergantung pada jenis

karakteristik bunyi yaitu intensitas, spektrum dan waktu paparan bising.

Paparan bising merupakan hal yang penting dan masalah yang serius.

Bising dianggap menjadi masalah lingkungan yang penting dan

memperoleh perhatian serta menjadi masalah global karena tingginya

angka prevalensi dan dampaknya yang dapat mengenai semua

individu dengan segala usia dan jenis kelamin. Penanganannyapun

1
hanya dengan alat bantu dengar apabila sudah bersifat permanen.

Oleh karena itu, diperlukan suatu metode pencegahan dan

penanganan kondisi ini dengan harapan penurunan angka kejadian

gangguan pendengaran akibat bising (GPAB) (Kopke, et al.,

2007;Demirel, et al.,2009; Dereko, et al., 2004).

Kelainan atau gangguan pendengaran dan ketulian yang

disebabkan oleh bising dengan intensitas 85-120 dB dalam jangka

waktu yang lama dapat menyebabkan hilangnya fungsi pendengaran

seseorang yang bersifat Sensorineural Hearing Loss (SNHL). Jenis

gangguan pendengaran ini lebih dikenal dengan istilah Noise induced

hearing loss (NIHL). Bising dengan intensitas di atas 85 dB dan

berlangsung lama akan mengakibatkan degenerasi organ korti yang

menetap dan ireversibel (National Safety Council, 2010).

Kebisingan di tempat kerja bukan hanya menyebabkan

gangguan pendengaran seperti penurunan nilai ambang batas dengar

pekerja, namun juga dapat menyebabkan gangguan non audiotori

(gangguan yang tidak berpengaruh langsung terhadap pendengaran)

yaitu stress, mempercepat denyut nadi, meningkatkan tekanan darah,

perasaan mudah marah, gangguan komunikasi, dan menurunkan

gairah kerja yang akan menyebabkan meningkatnya absensi (Kunto,

2008).

Sikap dan perilaku pekerja yang tidak mau menggunakan alat

pelindung diri yang disediakan oleh industri ini bisa disebabkan oleh

2
pekerja yang berpendidikan rendah dan juga budaya Kesehatan dan

Keselamatan Kerja (K3) yang belum dipahami oleh pekerja. Berbeda

dengan industri-industri lain yang berada diluar negara Indonesia dan

masih berada di kawasan Asia Tenggara, seperti Singapura, Malaysia,

Thailand, Philipina, Jepang, dan China yang memiliki kesadaran tinggi

akan pentingnya keselamatan diri pada saat bekerja (Pratini, 2008).

Menurut World Health Organization (WHO) pada tahun 2012

prevalensi gangguan pendengaran di Asia Tenggara adalah 156 juta

orang atau 27% dari total populasi sedangkan pada orang dewasa di

bawah umur 65 tahun adalah 49 juta orang atau 9,3% yang disebabkan

karena suara keras yang dihasilkan di tempat kerja (Taneja, 2014).

Menurut komite nasional penanggulangan gangguan

pendengaran dan ketulian pada tahun 2014 gangguan pendengaran

akibat bising di Indonesia termasuk yang tertinggi di Asia Tenggara

yaitu sekitar 36 juta orang atau 16,8% dari total populasi. Berdasarkan

Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi No. PER

13/MEN/X/2011 tentang nilai ambang batas faktor fisik dan faktor kimia

di tempat kerja, di dalamnya ditetapkan Nilai Ambang Batas (NAB)

kebisingan sebesar 85 dB sebagai intensitas tertinggi dan merupakan

nilai yang masih dapat diterima oleh pekerja tanpa mengakibatkan

penyakit atau gangguan pendengaran kesehatan dalam pekerjaan

sehari-hari untuk waktu tidak melebihi 8 jam sehari atau 40 jam

seminggu (Septiana Nur Rizqi, 2017).

3
Penelitian tentang skrining gangguan dengar pada pekerja

terpapar bising di pabrik tekstil di bandung dengan menggunakan

audiometri nada murni, hasil penelitian menunjukkan prevalensi

gangguan pendengaran pada laki-laki 68,1% dibanding perempuan

37,2%. Jenis gangguan pendengaran terbanyak tipe sensorineural

32%, tipe konduktif 23% , tipe campuran 4%. Prevalansi gangguan

dengar ringan 46,8%, sedang 3,7%, berat 0,9% ( Dewi, 2012).

Penelitian pada pekerja bengkel las di purwareja klampok

dengan sampel sebanyak 30 orang dengan menggunakan audiometri

nada murni, dari 30 sampel sebanyak 19 (63,33 %) pekerja menderita

NIHL dan 11 (36,67 %) pekerja dinyatakan normal. Hasil uji Chisquare

menunjukkan hubungan bermakna antara lama kerja dengan kejadian

NIHL pekerja bengkel las Purwareja klampok dengan p < 0,05,

(Prasetya, 2015).

Penelitian di PT Makassar Tene dari 40 responden ada 17

responden yang mengalami gangguan pendengaran (42, 5%). Hasil

penelitian juga mengungkapkan bahwa ada hubungan antara umur

(p<0,05), intensitas bising (p<0,05) , masa kerja (p<0,05), lama kerja

(p<0,05), penggunaan apd (p<0,05) , dengan gangguan fungsi

pendengaran pada pekerja bagian produksi PT Makassar Tene. (Farid,

2018)

Berdasarkan penjelasan dan uraian di atas maka penulis

tertarik untuk melakukan penelitian pada pekerja yang terpapar bising

4
yang tidak terukur pada pekerja bengkel las dalam jangka waktu lama

yang dapat menyebabkan NIHL (Noise induced hearing loss).

Gangguan pendengaran dan ketulian akibat paparan bising NIHL (

Noise Induced Hearing Loss merupakan salah satu Program

Penanggulangan Gangguan Pendengaran dan Ketulian (PGPKT)

termasuk juga kelainan kongenital, otitis media, presbikusis serta

serumen obturans. Dari penelitian ini diharapkan agar pekerja selalu

memakai alat pelindung telinga saat terpapar bising serta meningkatkan

kualitas hidup pekerja dengan melakukan screening pendengaran.

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian di atas dapat dirumuskan masalah penelitian

sebagai berikut:

Bagaimanakah pendengaran pekerja bengkel las yang terpapar

bising di Makassar berdasarkan pemeriksaan Pure Tone Audiometri

(PTA), Timpanometri dan Otoacoustic Emission (OAE).

1.3 Tujuan Penelitian

1.3.1 Tujuan Umum

Menganalisis pendengaran pekerja bengkel las yang

terpapar bising dengan Pure Tone Audiometri (PTA), Timpanometri

dan Otoacoustic Emission (OAE) di Kota Makassar.

5
1.3.2. Tujuan Khusus

a. Menentukan ambang dengar pekerja bengkel las yang

terpapar bising berdasarkan pemeriksaan Pure Tone

Audiometri (PTA);

b. Menentukan jenis gangguan pendengaran dan ketulian

pekerja bengkel las terpapar bising dengan pemeriksaan

Pure Tone Audiometri (PTA).

c. Menentukan derajat gangguan pendengaran dan ketulian

pekerja bengkel las terpapar bising dengan pemeriksaan Pure

Tone Audiometri (PTA).

d. Menentukan fungsi telinga tengah dengan pemeriksaan

Timpanometri pekerja bengkel las yang terpapar bising

e. Menentukan fungsi koklea dengan pemeriksaan Otoacoustic

Emission (OAE) pekerja bengkel las yang terpapar bising

1.4 Hipotesis

Pekerja yang terpapar bising ≥8 jam dengan intensitas yang lebih

dari 85 dB menderita gangguan pendengaran dan ketulian

Sensorineural Hearing Loss (SNHL).

1.5 Manfaat Penelitian

1. Dengan diketahuinya hasil pemeriksaan Pure Tone Audiometri

(PTA), Timpanometri , Otoacoustic Emission (OAE) pada pekerja

6
bengkel las yang terpapar bising dapat memberikan peningkatan

pencegahan ketulian lanjut akibat paparan bising.

2. Memberikan informasi ilmiah di bidang THT Komunitas tentang efek

paparan bising terhadap ambang dengar pekerja bengkel las yang

terpapar bising.

3. Dengan hasil penelitian ini diharapakan sebagai tambahan informasi

dan data yang dapat digunakan sebagai acuan maupun bahan

pustaka untuk pengembangan ilmu THT Komunitas

4. Hasil penelitian ini diharapkan sebagai acuan untuk selalu

melakukan screening pendengaran yang rutin serta pengguanan alat

pelindung telinga pada pekerja yang bekerja di tempat bising.

7
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Anatomi Telinga

Telinga merupakan organ penerima gelombang suara atau

udara dan kemudiannya nanti gelombang mekanik ini diubah menjadi

tenaga listrik seterusnya diteruskan ke korteks pendengaran oleh saraf

pendengaran. Selain itu, fungsi umum dari telinga juga adalah sebagai

organ pendengaran dan keseimbangan tubuh. Untuk memahami

tentang gangguan pendengaran, perlu diketahui dan dipelajari terlebih

dahulu mengenai anatomi telinga, fisiologi pendengaran dan cara

pemeriksaan pendengaran. Secara umum telinga dapat dibahagi

atas telinga luar, telinga tengah dan telinga dalam (Bansal M, 2013)

Telinga manusia terbagi atas telinga luar, telinga tengah

serta telinga dalam. Telinga bagian luar terdiri dari daun dan liang

telinga. Telinga bagian tengah terdiri atas membran timpani, kavum

timpani, tuba eustachius, dan sel-sel mastoid (Oghalai dan Brownell,

2008).

8
Gambar 1. Anatomi Telinga (Tortora, GJ., Principles ofAnatomy and

Physiology, Edisi ke-13, 2012. Hlm 658-664)

2.1.1 Telinga Luar

Terbagi atas daun telinga, liang telinga, dan bagian lateral dari

membrane timpani. Daun telinga dibentuk oleh tulang rawan dan otot

serta ditutupi kullit. Kearah liang telinga lapisan tulang rawan berbentuk

corong menutupi hampir sepertiga lateral, dua pertiga lainnya liang

telinga dibentuk oleh tulang yang ditutupi kulit yang melekat erat dan

berhubungan dengan membran timpani. Bentuk daun telinga dengan

berbagai tonjolan dan cekungan serta bentuk liang telinga yang lurus

dengan Panjang sekitar 2,5 cm, akan menyebabkan terjadinya

resonansi bunyi sebesar 3500 Hz. (Mills JH, Weber PC, 2001). Telinga

luar berfungsi sebagai mikrofon yaitu menampung gelombang suara dan

menyebabkan membran timpani bergetar. Semakin tinggi frekuensi

getaran semakin cepat pula membran tersebut bergetar, begitu juga

sebaliknya.(Modul THT KL, 2008, Moleer AR, 2006).

2.1.2 Telinga Tengah

Telinga tengah tersusun atas membran timpani (gendang telinga)

di sebelah lateral dan kapsul otik di sebelah medial celah telinga tengah

terletak di antara kedua membrana timpani terletak pada akhiran kanalis

aurius eksternus dan menandai batas lateral telinga. Membran ini sekitar

1 cm dan selaput tipis normalnya berwarna kelabu mutiara dan

9
translulen. Telinga tengah merupakan rongga berisi udara merupakan

rumah bagi osikuli (tulang telinga tengah) dihubungan dengan tuba

eustachii ke nasofaring berhubungan dengan beberapa sel berisi udara

di bagian mastoid tulang temporal (Bashiruddin J dan Indro S, 2012).

Telinga tengah mengandung tulang terkecil (osikula) yaitu

malleus, inkus dan stapes. Osikuli dipertahankan pada tempatnya oleh

sendi, otot, dan ligamen, yang membantu hantaran suara. Ada dua

jendela kecil (jendela oval dan dinding medial telinga tengah, yang

memisahkan telinga tengah dengan telinga dalam. Bagian dataran kaki

menjejak pada jendela oval, di mana suara dihantar telinga tengah.

Jendela bulat memberikan jalan ke getaran suara. Jendela bulat

ditutupi oleh membrana sangat tipis, dan dataran kaki stapes

ditahan oleh yang agak tipis, atau struktur berbentuk cincin. anulus

jendela bulat maupun jendela oval mudah mengalami robekan. Bila ini

terjadi, cairan dari dalam dapat mengalami kebocoran ke telinga tengah

kondisi ini dinamakan fistula perilimfe (Bashiruddin J dan Indro S, 2012).

2.1.3 Telinga Dalam

Telinga dalam mengandung organ vestibulocochlear yang

berperan untuk menerima suara dan menjaga keseimbangan. Terletak

di dalam pars petrosa dari os temporal, telinga dalam terdiri atas

kantung dan duktus dari labyrinth membranosa. Struktur ini

mengandung endolimfe yang dikelilingi cairan perilimfe yang terletak

dalam struktur labirin tulang melalui filamen halus. Cairan ini berperan

10
dalam menstimulasi organ akhir dari keseimbangan dan pendengaran

serta mencipta perbedaan ion untuk organ sensori (Moore, 2015).

Telinga dalam terdiri dari dua bagian, yaitu bagian depan yang

merupakan bagian pendengaran yang disebut koklea dan bagian

belakang adalah vestibulum dan kanalis semisirkularis yang merupakan

organ keseimbangan. Koklea merupakan suatu tabung tulang

berbentuk kumparan dengan panjang 35 mm, terdiri dari skala vestibuli,

skala media, dan skala timpani. Skala media atau koklearis mempunyai

penampang segitiga. Dasar segitiga tersebut dikenal dengan nama

membran basilaris yang menjadi dasar dari organ korti seperti gambar

dibawah ini (Moller, 2006).

Gambar 2. Anatomi Koklea (Moller AR, 2006)

Koklea pada telinga dalam mengandung sel-sel yang berperan

terhadap persepsi suara. Koklea terdiri dari labirin tulang, dimana

dalamnya terdapat struktur selular yang membentuk labirin membran.

11
Termasuk di dalam labirin tulang adalah kapsul otik yang merupakan

batas luar dari koklea dan modiolus, tabung tulang yang membentuk

sumbu pusat koklea dan mengandung serat syaraf auditori dan sel-

sel ganglionnya. Di dalam koklea ada tiga ruang berisi cairan, yaitu

skala vestibuli, skala timpani dan skala media dan dipisahkan oleh

membrane basilaris dan membran Reissner. Stria vaskularis dan

ligamentum spiralis terdapat dekat dengan tulang sepanjang dinding

lateral koklea. Alat Korti, yang mengandung sel rambut (3 sel rambut

luar dan 1 sel rambut dalam) sebagai sel sensori dan sel penyokong,

berbentuk spiral pada membrane basilaris (Nagashima, et al, 2005).

Gambar 3. Lebar membran basilaris dari basal ke apeks (Moller,

2006)

2.2 Fisiologi Pendengaran

Proses mendengar diawali dengan di tangkapnya energi bunyi

oleh daun telinga dalam bentuk gelombang yang di alirkan melalui

12
udara atau tulang ke koklea. Getaran tersebut menggetarkan

membran tympani di teruskan ke telinga tengah melalui rangkaian

tulang pendengaran yang akan mengamplifikasi getaran melalui

daya ungkit tulang pendengaran dan perkalian perbandingan luas

membran tympani dan tingkap lonjong. Energi getar yang telah di

amplifikasi ini akan di teruskan ke stapes yang menggerakkan

tingkap lonjong sehingga perilimfa pada skala vestibuli bergerak.

Getaran di teruskan melalui membrana Reissner yang mendorong

endolimfe sehingga akan menimbulkan gerak relatif antara membran

basillaris dan membran tektoria. Proses ini merupakan rangsangan

mekanik yang menyebabkan terjadinya defleksi stereosilia sel-sel

rambut, sehingga kanal ion terbuka dan terjadi penglepasan ion

bermuatan listrik dari badan sel. Keadaan ini menimbulkan proses

depolarisasi sel rambut, sehingga melepaskan neurotransmitter ke

dalam sinapsis yang akan menimbulkan potensial aksi pada saraf

auditorius sampai ke korteks pendengaran di lobus temporalis

(Bashiruddin J dan Indro S, 2012).

13
Gambar 4. Fisiologi Pendengaran (Pearson Education, Inc.,

publishing as Benjamin Cummings .2007)

Suara yang dihantarkan ke dalam telinga mengalami perubahan

transfer energi dari medium udara, padat dan cair pada telinga

dalam sehingga memerlukan adanya pengumpul suara yang dilakukan

oleh telinga luar, dan amplifikasi mekanik suara. Amplifikasi mekanik

diperoleh dari daya ungkit malleus dan incus sebesar 1,3 kali dan

perbandingan luas permukaan membrana timpani dan foramen ovale

sebesar 17:1 sehingga diperoleh amplifikasi suara sebesar 22 kali

(Oghalai JS & Brownell WE, 2008; Dhingra P, 2008).

Endolimfe yang diakibatkan oleh pergerakan sel rambut luar,

sedangkan pergerakan membran basilaris mempunyai pengaruh yang

lebih kecil terhadap pergerakan sel rambut dalam. Hal inilah yang

menjadi alasan kenapa cochlear microphonic pada sel rambut luar

dapat mencerminkan keadaan pada koklea. Kerusakan pada sel

rambut luar koklea secara total akan membuat penurunan

pendengaran sekitar 60 dB, sehingga pada pemeriksaan OAE

tidak akan memberikan respon (Gillespie, P.G, 2006).

14
Gambar 5. Jalur pendengaran (Dhingra P, 2008)

2. 3 Bising

Secara umum bising adalah bunyi yang tidak diinginkan. Secara

audiologik, bising adalah campuran bunyi nada murni dengan berbagai

frekuensi. Bising yang intensitasnya 85 desibel (dB) atau lebih dapat

mengakibatkan kerusakan pada reseptor pendengaran corti di telinga

dalam, yang sering mengalami kerusakan adalah alat corti untuk

reseptor bunyi yang frekuensi 3000 hertz (Hz) sampai dengan 6000

Hz dan terberat kerusakan alat corti untuk reseptor bunyi yang

berfrekuensi 4000 Hz (Jenny Bashiruddin & Indro Soetirto, 2012).

Tiga aspek gelombang bising yang perlu diperhatikan untuk

terjadinya gangguan pendengaran yaitu frekuensi, intensitas dan

waktu (Agrawal, etal., 2008; Harrianto, 2010).

Frekuensi bunyi menentukan pola nada, dinyatakan dalam

berapa getaran/detik atau siklus/detik, yang satuannya disebut Hz.

Intensitas bunyi (amplitudo/derajat kekerasan bunyi/SPL) adalah

besarnya daya atau tinggi gelombang suara yang merupakan ukuran

15
derajat intensitas suatu bunyi. Besar intensitas bunyi dipadatkan dalam

satuan dB. Selain intensitas bunyi, derajat gangguan bising bergantung

pada lamanya pajanan (Harrianto, 2010).

Keputusan Menteri Tenaga Kerja No. 51 tahun 1999 tentang nilai

ambang batas faktor fisik dalam lingkungan kerja yang diperkenankan,

termasuk di dalamnya tentang kebisingan tercantum pada tabel berikut

(Menteri Tenaga Kerja RI, 1999).

Tabel 1. Intensitas Bunyi dan Waktu Paparan yang Diperkenankan

Sesuai dengan Keputusan Menteri Tenaga Kerja:

Intensitas (db) Waktu Paparan perhari (jam)


85 8
87,5 6
90 4
92,5 3
95 2
100 1
105 ½
110 ¼

Pengukuran objektif terhadap bising dapat dilakukan dengan

menggunakan alat Sound Level Meter (SLM). SLM merupakan

instrument dasar untuk mengukur variasi tekanan bunyi di udara, yang

dapat mengubah bising menjadi suatu sinyal elektrik dan hasilnya dapat

dibaca secara langsung pada monitor dengan satuan dB. Alat ini berisi
16
mikrofon dan amplifier, pelemah bunyi yang telah dikalibrasi, satu set

network frequency response dan sebuah monitor. Beberapa SLM

mempunyai rentang pengukuran 40-140 dB. Seperti lazimnya

peralatan lainnya, SLM harus dikalibrasi sebelum dan sesudah

pengukuran bising, biasanya dengan menggunakan kalibrator akustik

(Harrianto, 2010)

Tabel 2. Daftar skala intensitas kebisingan

Intensitas Bunyi dan Waktu Paparan yang Diperkenankan Sesuai dengan

Keputusan Menteri Tenaga Kerja: KEP-51/MEN/1999.

Tingkat kebisingan Intensitas (db) Batas dengar tertinggi


Menulikan 100 – 120 Mesin uap, meriam, halilintar
Sangat kuat 80 – 100 Pluit polisi, perusahan sangat

Kuat 60 – 80 Perusahan, radio, jalanpada


gaduh,Jalan hiruk pikuk
umumnya,kantor gaduh
Sedang 40 – 60 Radio perlahan, percakapan

kuat,Kantor umumnya,

rumah gaduh

Tenang 20 – 40 Percakapan, auditorium, kantor

perorangan, rumah tenang


Sangat tenang 0 – 20 Batas dengar terendah,

berbisik, bunyi

Daun

17
2.4. Noice Induced Hearing Loss

2. 4.1.Gangguan Pendengaran Akibat Bising (Noise induced

hearing loss)

Gangguan pendengaran akibat bising (GPAB) adalah bentuk

gangguan pendengaran dan ketulian yang muncul akibat paparan

bising dalam jangka waktu yang cukup lama. Keadaan ini dapat

bersifat sementara dan digambarkan sebagai pergeseran ambang

batas sementara, walaupun belum ada definisi yang pasti tentang

durasi paparan kebisingan yang mungkin berkisar dari jam hingga hari.

Hilangnya pendengaran bisa saja permanen dan keadaan ini

digambarkan sebagai pergeseran ambang batas permanen

(Bashiruddin dan Soetjipto, 2007; Okpala, 2012).

2.4.2.Epidemiologi

Menurut World Health Organization (WHO) pada tahun 2012

prevalensi gangguan pendengaran di Asia Tenggara adalah 156 juta

orang atau 27% dari total populasi sedangkan pada orang dewasa di

bawah umur 65 tahun adalah 49 juta orang atau 9,3% yang

disebabkan karena suara keras yang dihasilkan di tempat kerja

(Taneja,2014). Menurut Komite Nasional Penanggulangan Gangguan

Pendengaran dan Ketulian pada tahun 2014 gangguan pendengaran

akibat bising di Indonesia termasuk yang tertinggi di Asia Tenggara

18
yaitu sekitar 36 juta orang atau 16,8% dari total populasi. (Septiana, N.

R., & Widowati, E.; 2017).

2.4.3 Patofisiologi

Paparan untuk suara keras dapat menyebabkan Temporary

Threshold Shifts (TTS) dan/atau Permanent Treshold Shifts (PTS).

Paparan sedang pada waktu yang singkat dapat menyebabkan TTS.

Gangguan pendengaran setelah TTS dapat membaik setelah 24-48 jam

(O Hong, et al; 2013). Namun, jika paparan atau TTS berlangsung

dalam waktu lama, perbaikan menjadi inkomplit dan PTS dapat terjadi

akibat paparan yang persisten menyebabkan sel rambut tidak dapat

pulih atau membaik. (Salawati L, 2013)

Paparan bising mengakibatkan perubahan sel-sel rambut silia

dari organ Corti. Stimulasi dengan intensitas bunyi sedang

mengakibatkan perubahan ringan pada sillia dan hensen’s body,

sedangkan stimulasi dengan intensitas tinggi (suara dengan level diatas

85 dB) pada waktu pajanan yang lama akan mengakibatkan kerusakan

pada struktur sel rambut lain seperti mitokondria, granula lisosom, lisis

sel dan robek membran reissner. Daerah yang pertama terkena

adalah sel-sel rambut luar yang menunjukkan adanya degenerasi yang

meningkat sesuai dengan intensitas dan lama paparan. Stereosilia pada

sel-sel rambut luar menjadi kurang kaku sehingga mengurangi respon

terhadap stimulasi. (Bashiruddin J dan Indro S.;2012. Salawati L, 2013).

19
Gangguan pendengaran akibat paparan bising terus-

menerus harus dibedakan dari trauma akustik. Gangguan

pendengaran trauma akustik terjadi akibat paparan singkat (satu kali)

langsung diikuti dengan gangguan pendengaran permanen. Trauma

akustik menyebabkan terjadinya robekan membrane timpani dan

gangguan pada dinding sel sehingga tercampur perilimfe dan

endolimfe. Trauma akustik juga dapat menyebabkan cedera tulang

pendengaran. (Salawati L ,2013).

Dalam waktu lama, paparan terus menerus dari bising dapat

menyebabkan gangguan transmisi pada bunyi frekuensi tinggi dan

rendah di otak. Jika intensitas bising dan lama paparan meningkat,

kerusakan organ sensoris juga meningkat dan bahkan menjadi

ireversibel. Khususnya aliran darah kokhlea dapat terganggu, sel

rambut bergabung menjadi giant cilia atau menghilang, sel rambut dan

struktur pendukung terdisintegrasi dan serabut saraf yang menginervasi

sel rambut menghilang. Dengan degenerasi dari serabut saraf kokhlea,

terdapat degenerasi dari system saraf pusat. Paparan dari bunyi bising

yang keras jarang menyebabkan kerusakan pada telinga luar dan

telinga tengah. Oleh karena itu, orang dengan gangguan pendengaran

sensorineural, termasuk NIHL, biasanya memiliki membrane timpani

dan fungsi telinga tengah yang normal. (O Hong, et al; 2013).

Dalam waktu lama, paparan terus menerus dari bising dapat

menyebabkan gangguan transmisi pada bunyi frekuensi tinggi dan

20
rendah di otak. Jika intensitas bising dan lama paparan meningkat,

kerusakan organ sensoris juga meningkat dan bahkan menjadi

ireversibel. Khususnya aliran darah kokhlea dapat terganggu, sel

rambut bergabung menjadi giant cilia atau menghilang, sel rambut dan

struktur pendukung terdisintegrasi dan serabut saraf yang menginervasi

sel rambut menghilang. Dengan degenerasi dari serabut saraf kokhlea,

terdapat degenerasi dari system saraf pusat. Paparan dari bunyi bising

yang keras jarang menyebabkan kerusakan pada telinga luar dan

telinga tengah. Oleh karena itu, orang dengan gangguan pendengaran

sensorineural, termasuk NIHL, biasanya memiliki membrane timpani

dan fungsi telinga tengah yang normal. (O Hong, et al; 2013).

Kerusakan koklea akibat frekuensi dan intensitas tinggi terpusat

pada frekuensi 4.000 Hz dimana keadaan ini sesuai dengan getaran

terbesar pada membran basilaris dan organ Corti. Pada pemeriksaan

audiometri, tuli akibat bising memberikan gambaran yang khas yaitu

notch (takik) berbentuk ‘V’ atau ‘U’ sering diawali pada frekuensi 4.000

Hz, tapi kadang-kadang 6.000 Hz, yang kemudian secara bertahap

semakin dalam dan selanjutnya akan menyebar ke frekueansi di

dekatnya. Khasnya didapati perbaikan pada 8.000 Hz, hal ini yang

membedakannya dari prebiskusis (Alberti, 1997).

Mekanisme dasar terjadinya GPAB merupakan kombinasi dari

factor mekanis dan metabolik, yakni adanya paparan bising kronis

yang merusak sel rambut koklea dan perubahan metabolik yang

21
menyebabkan hipoksia akibat vasokontriksi kapiler. GPAB juga dapat

terjadi akibat interaksi dari factor lingkungan dan faktor genetik (Laer, et

al., 2006).

Pada Temporary threshold shift dapat menjadi irreversibel akibat

kerusakan struktur akar, gangguan pada duktus koklearis dan organ

korti, bergabungnya cairan endolimfe dan perilimfe, serta hilangnya sel

rambut dan degenerasi dari serabut –serabut saraf koklea (Agrawal &

Schindler, 2008). Sel -sel rambut luar lebih rentan terhadap paparan

bising daripada sel-sel rambut dalam. TTS secara anatomi berkolerasi

dengan penurunan kekakuan dari stereosilia dan sel rambut luar.

Stereosilia menjadi tidak teratur dan terkulai sehingga memberikan

respon yang buruk. PTS juga berasosiasi dengan stereosilia yang

saling berdekatan dan hilangnya stereosilia. Pajanan bising yang lebih

berat dapat mengakibatkan rusaknya sel-sel penyokong yang

menyebabkan gangguan hingga rusaknya organ corti. Dengan

hilangnya stereosilia, sel rambut akan mati. Kematian dari sel sensorik

dapat memicu degenerasi Wallerian dan kehilangan primer serat-serat

saraf pendengaran (Mathur, 2014).

Permanent threshold shift (PTS) dapat terjadi setelah terpapar

bising secara berulang yang diawali dengan Temporary threshold shift

yang tidak dapat pulih dalam beberapa jam. Paparan bising

menyebabkan hilangnya sterosilia sel rambut secara permanen

tampak fraktur pada akar struktur dan kerusakan sel sensori,

22
dimana diganti dengan jaringan parut yang tidak berfungsi (Agrawal &

Schindler, 2008 ; Dobie, 2014).

2.4.4. Faktor-faktor yang berperan pada Noice Induced Hearing Loss

(NIHL)

Fungsi pendengaran dipengaruhi beberapa faktor antara lain

tingkat kebisingan, umur, pendidikan, status kesehatan, riwayat

gangguan kesehatan pendengaran pada keluarga, masa kerja dan

penggunaan alat pelindung telinga (National Safety Council, 2010).

a. Umur

Sensitivitas pendengaran seseorang akan berkurang dengan

bertambahnya umur. Pada umur tua relatif akan mengalami

penurunan kepekaan rangsangan suara karena adanya faktor

proses penuaan (presbikusis) yaitu proses degeneratif organ

pendengaran yang umumnya dimulai sejak usia 40 tahun ke atas,

dan ambang pendengaran turun 0.5 dBA per tahun.

b. Tingkat pendidikan

Pekerja dengan tingkat pendidikan yang rendah lebih berpotensi

mengalami gangguan pendengaran daripada tingkat pendidikan

yang lebih tinggi seseorang yang selanjutnya ditunjukkan melalui

sikap dan perilaku.

c. Status kesehatan

23
Status kesehatan yang buruk lebih berpotensi terjadi gangguan

pendengaran, diantaranya kejadian cedera/trauma pada kepala atau

telinga yang pernah dialaminya, terjadinya penyakit infeksi (TBC,

sifilis, otitis media) yang disebabkan oleh virus (campak, cacar),

metabolik seperti DM dan hipertensi/stroke. Di samping itu, riwayat

pemakaian obat-obat yang bersifat ototoksik seperti aspirin,

antibiotik kina, kebiasaan minum dan merokok (National Safety

Council , 2010);

d. Riwayat gangguan pendengaran pada keluarga

Para pekerja yang memiliki keluarga dengan riwayat gangguan

kesehatan pendengaran sebelum usia 50 tahun lebih berpotensi

terjadi gangguan pendengaran. (National Safety Council, 2010);

e. Masa kerja

Gangguan pendengaran terjadi 5-10 tahun setelah pekerja bekerja

di tempat bising (Dobie, 2006);

f. Penggunaan alat pelindung telinga (APT)

Alat pelindung telinga merupakan suatu alat yang digunakan untuk

melindungi organ pendengaran (telinga) manusia dari bahaya

pajanan bising yang tinggi. (National Safety Council ,2010).

Berdasarkan Keputusan Menteri Kesehatan dan Keputusan

Direktur Jenderal PPM & PLP tentang Persyaratan Kesehatan

24
Lingkungan Kerja, tingkat kebisingan maksimal selama satu hari adalah

85 dBA untuk lama pajanan 8 jam.

2.5. Pemeriksaan pendengaran

2.5.1 Pemeriksaan Pure Tone Audiometri (PTA)

Audiometer adalah alat elektronik yang dapat menghasilkan nada

murni yang relative bebas bising dan intensitasnya dapat diatur

(biasanya sebesar ±5 dB dengan rentang antara -10 dB hingga 100 dB).

Alat ini terdiri dari bagian untuk mengatur intensitas bunyi dan frekuensi,

headphone untuk memeriksa hantaran udara (air conduction), bone

conductor untuk memeriksa hantaran tulang (bone conduction).

Interpretasi hasil digambarkan dalam suatu diagram yang disebut

audiogram (Soetirto I et al., 2007)

Tujuan pemeriksaan PTA adalah untuk menentukan ambang

dengar penderita, yaitu intensitas terendah yang masih dapat di dengar

oleh penderita pada hantaran udara dan hantaran tulang sehingga dapat

diperoleh informasi mengenai derajat dan jenis gangguan pendengaran

dan ketulian penderita. Frekuensi yang diperiksa adalah 125, 250, 500,

1000, 2000, 4000, dan 8000 Hz (kadang tersedia pula nada interval

setengah oktaf 750, 1500, 3000, dan 6000 Hz). Frekuensi ini tidak

mencakup seluruh frekuensi pendengaran yang dapat didengar oleh

manusia (20- 20.000 Hz) namun diperkirakan mencakup frekuensi

percakapan. (Dhingra , 2014).

25
Derajat gangguan pendengaran dan ketulian di tentukan dengan

menghitung nilai rata-rata ambang dengar hantaran udara pada

frekuensi 500, 1000, 2000, dan 4000 Hz lalu dibagi 4. Derajat gangguan

pendengaran dan ketulian dari nilai rata-rata kemudian dikategorikan

beratnya berdasarkan International Standard Organization yaitu

pendengaran normal (≤ 25 dB), gangguan pendengaran ringan (26-40

dB), gangguan pendengaran sedang (41-55 dB), gangguan

pendengaran sedang berat (56-70 dB), gangguan pendengaran berat

(71-90 dB). Dan gangguan pendengaran sangat berat (>90 dB). Jenis

gangguan pendengaran dan ketulian ditentukan dengan melihat ada

tidaknya air bone gap sebesar 10 dB atau lebih pada 2 frekuensi

berdekatan. Gangguan pendengaran konduktif yang disebabkan oleh

komponen konduksi bagian telinga luar hingga ossicula auditiva ditsndai

dengan gambaran hantaran tulang yang normal, hantaran udara > 25

dB, dan terdapat jarak (gap) sebesar > 10 dB antara hantaran tulang

dab hantaran udara pada pemerikasaan audiomteri nada murni.

Gangguan pendengaran sensorineural disebabkan oleh kerusakan

komponen sensoris dan neural telinga dalam dan ditandai dengan

gambaran hantaran tulang dan hantaran udara yang lebih dari 25 dB

dan saling berhimpit satu sama lain pada pemeriksaan audiometri nada

murni. Gangguan pendengaran campuran (mixed) disebabkan oleh

kerusakan momponen konduksi dan sensorineural telinga sehingga

memberikan gambaran hantaran tulang dan hantaran udara yang lebih

26
dari 25 dB dan terdapat jarak sebesar 25 dB pada antara hantaran

tulang dan hantaran udara pada pemeriksaan audiometri nada murni.

(Gelfand SA, 2016 ; Soetirto I et al., 2007).

Dalam menentukan derajat ketulian, yang dihitung hanya

ambang dengar hantaran udara (AC).

Tabel 3. Derajat gangguan pendengaran dan ketulian menurut WHO

2019

Ambang Pendengaran Interpretasi

≤25 dB Normal

26-40 Tuli Ringan

41-60 Tuli Sedang

61-80 Tuli Sedang Berat

≥81 dB Tuli Berat

Derajat Gangguan Pendengaran dan Ketulian dapat diukur

dengan menggunakan indeks Fletcher, yaitu:

Ambang dengar (AD) =

AD 500 Hz + AD 1000Hz + AD 2000Hz + AD 4000Hz


4

27
Menurut kepustakaan terbaru frekuensi 4000 Hz berperapenting

untuk pendengaran, sehingga perlu turut diperhitungkan, sehingga

derajat gangguan pendengaran dan ketulian dihitung dengan

menambahkan ambang dengar 4000Hz dengan ketiga ambang dengar

di atas lalu dibagi 4 (Levine S, et al, 1997).

2.5.2. Pemeriksaan Timpanometri

Pemeriksaan timpanometri merupakan salah satu dari rangkaian

pemeriksaan fungsi telinga tengah secara objektif. Penilaian objektif

fungsi telinga dilakukan dengan mengukur beberapa parameter dari

isyarat akustik yang direfleksikan oleh membran timpani yang utuh.

Tekanan pada telinga tengah, integritas membran timpani serta

mobilitas tulang pendengaran dapat dievaluasi dengan pemeriksaan ini.

Timpanometri adalah tehnik pemeriksaan yang objektif untuk menilai

aliran energi bunyi dalam liang telinga dan telinga tengah, tekanan

bervariasi pada telinga tengah serta digambarkan dalam bentuk grafik

(timpanogram). Timpanometri merupakan alat pengukur tak langsung

dari compliance (kelenturan) membran timpani dan sistem osikular

dalam berbagai kondisi tekanan positif, normal atau negatif. (Laurent C,

et al 2014).

1. Interpretasi

Tipe-tipe klasifikasi yang diilustrasikan adalah sebagai berikut :

28
 Tipe A: Terdapat pada fungsi telinga tengah yang normal.

(Mikolai, et al 2016; Laurent C, et al 2014)

Gambar 6. Timpanogram Normal

(Dikutip dari Cummings W Charles, et al 2017)

 Tipe As: Terdapat pada otosklerosis dan MT yang

mengalami scarring.

Gambar 7. Timpanogram Tipe As

(Dikutip dari Cummings W Charles, et al 2017)

 Tipe Ad : Pada keadaan membran timpani yang flaksid atau

diskontinuitas (kadang-kadang sebagian) dari tulang-tulang

pendengaran.

29
Gambar 8. Timpanogram Tipe Ad (Dikutip dari

Cummings W Charles, et al 2017

 Tipe B: Timpanogram tidak memiliki puncak, cenderung

mendatar, atau sedikit membulat. Sering dikaitkan dengan

cairan di telinga tengah (kavum timpani), misalnya pada

otitis media efusi.(Mikolai, et al 2016; Laurent C, et al 2014)

Gambar 9. Timpanogram Tipe B (Dikutip dari

Cummings W Charles, et al 2017)

 Tipe C

Terdapat pada keadaan membran timpani yang retraksi

dan malfungsi dari tuba Eustachius. Tekanan telinga

30
tengah dengan puncaknya di wilayah tekanan negatif di luar

-150 mm H2O menunjukkan ventilasi telinga tengah

terganggu karena disfungsi tuba estachius. (Mikolai, et al

2016; Laurent C, et al 2014)

Gambar 10.Timpanogram Tipe C (Dikutip dari Cummings

W Charles, et al 2017).

2.5.3. Otoacoustic Emission (OAE)

Oto Acoustic Emission (OAE) adalah suara dengan intensitas

rendah yang dihasilkan oleh koklea. Suara klik dengan intensitas sedang

atau kombinasi dua nada yang cukup akan mengaktifkan pergerakan

atau motilitas sel rambut luar. Pergerakan sel rambut luar akan

mengahsilkan energi mekanik di koklea yang selanjutnya dipancarkan

keluar melalui sistem telinga tengah dan membran timpani ke liang

telinga luar. Getaran membran timpani selanjutnya menimbulkan signal

akustik yang dapat di deteksi dengan mikrofon yang sensitif. OAE

adalah suatu Teknik pemeriksaan koklea yang relativ baru, berdasarkan

prinsip elektrofisiologik yang objektif, cepat, mudah, non invasive,

31
dengan sensitifitas mendeteksi 100%. Analisis gelombang OAE

dilakukan berdasarkan perhitungan statistic yang menggunakan

program computer. (Hall, 2000)

Prinsip pemeriksaan OAE adalah memberikan stimulus bunyi

tertentu melalui loudspeaker mini yang terdapat dalam probe (insert

probe) dengan bagian luarnya dilapisi karet lunak (probe tip) yang

ukurannya dapat dipilih sesuai dengan besanya liang telinga. Insert

probe dipasang di liang telinga sehingga stimulus bunyi dapat masuk

tanpa hambatan dan menggetarkan mambran timpani, selanjutnya

melalui telinga tengah akan mencapai koklea. Pada saat stimulus bunyi

mencapai sel-sel rambut koklea yang sehat, sebagai respon maka sel

rambut dalam tersebut akan memancarkan emisi akustik yang dapat di

pantulakn ke arah luar (echo) menuju telinga tengah dan liang telinga.

Emisi akustik yang tiba di telinga tengah akan direkam oleh mikrofon

mini yang juga berada di dalam insert probe. Selanjutnya akan diproses

oleh mesin OAE melalui program computer sehingga hasilnya dapat

ditampilkan di layer monitor. (Hall, 2000)

Ada dua jenis pemeriksaan OAE yaitu spontan dan evoked.

Evoked OAE secara klinis lebih bermanfaat, karena diperoleh dari

stimulus akustik pada level sedang yaitu pada 50-80 dB SPL pada liang

telinga luar, (Hall,2000).

Otoacoustic Emission dapat di bagi menjadi beberapa tipe

berdasarkan sumber stimulus:

32
1. Spontaneous Otoacoustic Emission (SOAEs). Emisi ini timbul tanpa

adanya stimulus akustik dari luar, dapat ditemukan pada sekitar 50%

orang dengan pendengaran normal dan dapat dideteksi sebagai

suatu nada rendah kontinyu.

2. Transient Evoked Otoacoustic Emission (TEOAEs). Emisi ini selalu

dapat di deteksi sebagai respon terhadap stimulus singkat (bunyi

klik) pada subyek dengan pendengaran normal. TEOAEs direkam

dari pantulan stimulus yang timbul sebagai respon terhadap stimulus.

Sebuah probe mikrofon yang di masukkan kedalam MAE akan dapat

merekam signal akustik tersebut.

3. Distorsion Product Otoacoustic Emission (DPOAEs). Distorsi akustik

pada cochlear amplifier dapat di deteksi dengan memberikan

stimulus dua nada kontinyu yang berbeda tetapi pada frekuensi yang

berdampingan. Pada saat dua frekuensi stimulus dipilih secara tepat

maka distorsion product akan muncul sebagai nada interfensi yang

memberikan respon emisi yang sangat berdekatan dengan frekuensi

stimulus tetapi tidak serupa. (Hall, 2000)

33
2.6 Kerangka Teori Penyebab NIHL
Factor yang berpengaruh
1. Tingkat kebisingan
2. Umur
3. Riwayat
hipertensi,Diabetes
Melitus
Paparan Bising 4. Hiperlipidemia
5. Riwayat gangguan
pendengaran dalam
keluarga
6. Masa kerja
7. Pemakaian alat
Non akustik Trauma akustik pelindung telinga
8. Penggunaan obat
ototoksik
9. Lingkungan
10.

1. Peningkatan tekanan
darah, denyut jantung,
frekuensi napas Trauma akustik kronik oleh
2. Peningkatan gula darah, Trauma akustik akut
karena bising kontinyu,
lemak darah oleh karena bising
bising intermitten
3. Stress, nyeri kepala, impulsif
penurunan konsentrasi, Kerusakan telinga dalam
Perforasi MT,
gangguan tidur. (kerusakan sel sensoris
kerusakan tulang
terutama pada basal koklea
pendengaran, sel
stria vaskularis,kerusakan
sensoris organ korti
pada ligament spiralis,
CHL, SNHL,MHL
limbus spiralis)

SNHL

Temporary Permanent
(Reversibel) (NIHL)

Gambar 11. Kerangka Teori mengacu pada (National Safety


Council, 2010), (Agrawal & Schindler, 2008 ; Dobie,2014), (Bashiruddin J
dan Indro S.;2012. Salawati L, 2013)

34
2.7 KERANGKA KONSEP

Paparan bising
(Frekuensi, intensitas,
waktu)

Diabetes melitus
Hipertensi Kerusakan organ korti
Riwayat trauma kepala SNHL tipe Koklea
Penggunaan obat ototoksik

Noice Induced
Hearing Loss

Gambar 12. Kerangka konsep

: Variabel bebas

: Variabel antara

: Variabel Terikat

: Variabel perancu

35
BAB III

METODE PENELITIAN

3.1. Rancangan Penelitian

Rancangan penelitian yang digunakan adalah penelitian studi

observasional analitik dengan desain penelitian cross-sectional (potong

lintang), untuk menganalisis dampak paparan bising terhadap

pendengaran pekerja bengkel las di makassar.

3.2. Tempat dan waktu penelitian

1. Tempat penelitian : Bengkel las dengan paparan bising >85 dB

di Kota Makassar

2. Waktu penelitian: April- Juni 2022

3.3. Populasi dan Sampel Penelitian

3.3.1 Populasi

Populasi penelitian adalah pekerja bengkel las yang terpapar

bising >85 dB, dengan jam kerja ≥ 8 jam dan lama bekerja 1-5 tahun,

5-10 tahun, > 10 tahun

36
3.3.2 Sampel

Pengambilan sampel dilakukan dengan cara purposive, yaitu

semua pekerja di bengkel yang memenuhi kriteria inklusi diambil

sebagai sampel sehingga jumlah sampel terpenuhi.

3.3.3. Perkiraan Jumlah sampel

Besar sampel diambil sesuai dengan rumus sebagai berikut :

Zα + Zβ 2
n= +3
1+𝑟
0,5 𝐼𝑛
( 1 − 𝑟)

Keterangan rumus :

n : Jumlah besar sampel

Zα : deviat baku alpha

Zβ : deviat baku beta

r : koefisien korelasi

Perhitungan besar sampel :

α= 0,05 Zα = 1,96

β= 0,1 Zβ = 1,282

r= 0,6

Zα+Zβ
2
n=( 1+𝑟
) + 3 = 25
0,5 𝐼𝑛
1−𝑟

Dari perhitungan besar sampel didapatkan nilai n – 25. Bila

diperkirakan drop out 10% maka besar sampel minimal adalah 28.

37
3.3.4. Prosedur Pengambilan Sampel

Semua pekerja bengkel las yang memenuhi syarat di catat

dengan menggunakan kuesioner berisi informasi tentang umur, jenis

kelamin, lama kerja, lama pajanan bising per hari, riwayat penyakit

telinga atau trauma pada telinga, penurunan ambang pendengaran,

penggunaan APD dalam bekerja.

a. Dilakukan pengukuran tingkat kebisingan pada setiap

bengkel las dengan sound level meter

b. Bengkel yang memenuhi syarat dengan bising > 85 db

c. Para pekerja yang memenuhi kriteria inklusi semua akan

dijadikan sebagai sampel , ketika sampel telah terpenuhi

maka tidak akan dilakukan pengambilan sampel

d. Dilakukan pengisian informed consent dan kemudian di

tanda tangani untuk kemudian dilakukan pemeriksaan THT

dengan alat diagnostik seperti lampu kepala dan otoskop

e. Pemeriksaan pendengaran dilakukan pada ruangan dengan

tingkat kebisingan < 40 dB

f. Pemeriksaan Pure Tone Audiometri (PTA), Timpanometri,

dan Oto Acoustic Emission (OAE).

3.3.5. Cara pemeriksaan Pure Tone Audiometri (PTA)

a. Subyek ditempatkan sedemikian rupa membelakangi

pemeriksa sehingga ia tidak melihat gerakan tangan pemeriksa,

38
karena hal ini akan mempengaruhi subyek bahwa nada tes

sedang disajikan

b. Intruksi kepada subyek dengan jelas bahwa anda akan

diperiksa dan akan mendengar bunyi mulai dengan nada yang

rendah dan nada tinggi melalui earphone. Bila mendengar

bunyi itu, tekan tombol respon. Earphone diletakkan secara

tepat diatas liang telinga luar, warna merah disebelah kanan,

warna biru disebelah kiri

c. Telinga yang diperiksa terlebih dahulu yang berfungsi lebih

baik, atau bila tidak ada keluhan maka telinga kanan yang

terlebih dahulu diperiksa

d. Penyajian nada tes irama yang tidak konstan dan lamanya

interval antara dua bunyi diubah-ubah. Tidak memutar tomboll

(dial) pengatur selama penyaji masih menekan tombol respon

e. Pemeriksaan pertama dimulai hantaran udara pada frekuensi

1000,2000,4000, 500 Hz, bila hasilnya normal kurang atau

sama dengan 25 dB maka pemeriksaan dihentikan. Apabila

hasilnya lebih dari 25 dB atau terdapat gangguan pendengaran

dan ketulian, dilanjutkan dengan pemeriksaan hantaran tulang

pada frekuensi 500, 1000,2000 dan 4000 Hz, hasilnya dicatat

dan dinterpretasikan.

39
3.3.6. Cara pemeriksaan Timpanometri

Timpanometri dilakukan untuk mengetahui fungsi telinga

tengah dengan menggunakan alat interacoustic. Petunjuk yang perlu

disampaikan kepada penderita:

a. Mencegah gerakan kepala dan mulut, misalnya

berbicara pada saat pemeriksaan.

b. Diinstruksikan untuk tidak menelan, menyunyah,

menguap sebelum pemeriksaan dimulai

c. Subyek diberitahu bahwa akan dilakukan pemasangan

probe ke dalam liang telinga yang mungkin

menimbulkan rasa sedikit itdak nyaman

Cara pemeriksaan Timpanometri :

Timpanometri dilakukan pada kedua telinga,

dilakukan pemasangan probe pada telinga sesuai dengan

ukuran meatus akustikus eksternus, selanjutnya tekan

tombol start, alat akan mengukur secara otomatis sehingga

didapatkan hasil timpanogram.

3.3.7. Cara pemeriksaan Otoaccoustic emission

Alat yang digunakan adalah alat DPOAE. Pemeriksaan tidak

harus diruang kedap suara, cukup diruangan yang tenang dengan

tingkat kebisingan kurang atau sama dengan 40 Db.

Cara pemeriksaan:

40
1. Liang telinga harus bersih dari kotoran (serumen) maupun

cairan;

2. Menggunakan probe yang sesuai dengan ukuran telinga;

3. Posisi probe mengarah ke membran timpani lalu tekan

tombol right atau left, alat akan mengkur otomatis sampai

didapatkan hasil PASS atau REFER;

4. Bila hasil refer, sebaiknya diulang beberapa kali sampai

dipastikan memang hasilnya refer.

3.4 Kriteria subjek penelitian

3.4.1. Kriteria inklusi

a. Pekerja bengkel las yang terpapar bising dengan

intensitas >85 dB , lama paparan ≥ 8 jam/ hari, lama

kerja 1-5 tahun, 5-10 tahun, > 10 tahun

b. Umur : 20-50 tahun

3.4.2 Kriteria eksklusi

a. Terdapat penyakit infeksi di telinga luar dan infeksi

telinga tengah seperti otomikosis, otits ekstera, otitis

media

b. Terdapat riwayat penggunaan obat – obatan ototoksik

c. Riwayat trauma kepala atau telinga seperti fraktur

temporal dan perforasi membran timpani akibat trauma.

41
d. Memiliki hobi yang berhubungan dengan lingkungan

bertekanan tinggi misalnya menyelam atau pun hobi

yang berkaitan dengan paparan bising, misalnya

menembak, balap motor/mobil, mendengarkan musik

keras.

e. Memiliki kelainan kongenital telinga seperti Microtia dan

atresia liang telinga.

f. Pernah bekerja di lingkungan yang terpapar bising tinggi

sebelumnya.

g. Lingkungan tempat tinggal dekat dengan paparan bising

3.5 Ijin Penelitian

Penelitian dilakukan atas ijin dari penderita yang memenuhi

kriteria untuk dijadikan sampel penelitian dengan mengisi lembar

informed consent dan dinyatakan memenuhi persyaratan etik untuk

dilaksanakan dari Komisi Etik Penelitian Biomedik pada Manusia

Fakultas Kedokteran Universitas Hasanuddin

3.6. Bahan dan cara penelitian

1. Alat dan bahan penelitian

a. Kuisioner

b. Surat persetujuan untuk mengikuti penelitian

c. Alat diagnostik THT (Lampu kepala LED-BISTOS BT410,

Otoskopi Heine Mini 3000;

42
d. Alat pengukur intensitas bising sound level meter merk

smart sensor mini digital

e. Audiometer Merk Audio Traveller

f. Timpanometri Merk Audio Traveller

g. Otoacoustic emission Merk Neuro Audio Screen

h. Ruang dengan tingkat kebisingan kurang atau sama dengan

40 db.

2. Identifikasi Variabel

Dalam penelitian ini, variabel yang digunakan adalah

1. Variabel independent : Paparan bising

2. Variabel antara: Kerusakan organ korti

3. Variabel dependen: Noise Induced Hearing Loss (NIHL)

4. Variabel perancu: Hipertensi, diabetes melitus, riwayat trauma

kepala, penggunaan obat ototoksik

3.7. Definisi Operasional

1. Pendengaran adalah persepsi terhadap bunyi pada kortex

cerebri yang dihantarkan melalui hantaran udara dan hantaran

tulang.

2. Ambang dengar adalah intensitas ambang dengar pada

frekuensi 500, 1000, 2000, 4000 pada pemeriksaan (PTA) Pure

Tone Audiometri

43
3. PTA ( Pure Tone Audiometri) adalah audiogram tipe audio

traveller yang digunakan untuk menentukan derajat dan jenis

gangguan pendengaran dan ketulian.

4. Derajat gangguan pendengaran dan ketulian adalah beratnya

gangguan pendengaran dan ketulian yang dinilai dengan

pemeriksaan Pure Tone Audiometri (PTA) dengan interpretasii

menurut World Health Organization (WHO) 2019 adalah sebagai

berikut:

Normal ≤ 25 dB

Ringan 26-40 dB

Sedang 41-60 dB

Berat 61-80 dB

Sangat Berat ≥ 81 dB

5. Jenis gangguan pendengaran dan ketulian adalah salah satu

gangguan kesehatan yang umumnya disebabkan oleh infeksi ,

factor usia atau karena sering terpapar suara bising. Jenis

gangguan pendengaran dan ketulian dibagi menjadi 3 tipe:

Konduktif, Sensorineural, Mix Hearing Loss

a. Gangguan pendengaran dan ketulian tipe SNHL merupakan

gangguan pendengaran yang terjadi sebagai akibat adanya

gangguan pada telinga bagian dalam ataupun gangguan pada

saraf pendengaran. Pada audiogram tidak terdapat jarak

44
intensitas antara hantaran udara (AC) dan hantaran tulang

(BC).

6. Gangguan pendengaran adalah berkurangnya kemampuan

mendengar baik sebagian maupun seluruhnya pada salah satu

atau kedua telinga baik derajat ringan atau lebih berat dengan

ambang dengar lebih 25-80 dB pada frekuensi 500,1000,2000,

dan 4000 Hz, bersifat sensorineural , konduktif dan atau campur

7. Ketulian adalah adalah hilangnya kemampuan mendengar pada

salah satu atau kedua telinga, merupakan gangguan pendengaran

sangat berat dengan ambang pendengaran rata-rata lebih dari 81

dB pada frekuensi 500,1000,2000, 4000 Hz.

8. Pekerja bengkel las adalah pekerja yang telah bekerja di bengkell

las di kota Makassar yaitu

1- 5 tahun

5-10 tahun

>10 tahun

9. Pajanan bising adalah suara atau bunyi yang mengganggu atau

tidak dikehendaki dalam waktu yang lama serta dapat

menyebabkan tuli sensori neural

10. Timpanometri adalah tes yang digunakan untuk mengevaluasi

fungsi dari telinga tengah. Timpanometri memberikan gambaran

grafik hubungan antara tekanan udara di liang telinga dengan

45
resistensi dari membrane timpani, dengan alat merk audio

traveller.

11. Oto acoustic emision (OAE) adalah alat elektrofisiologik untuk

menilai fungsi koklea dengan menggunakan alat DPOAE hasilnya

menggunakan kriteria pass dan refer. Pass bila terdapat gelombang

dimana SN lebih dari 6 pad setiap frekuensi (2000 Hz, 3000 Hz,

4000 Hz, dan 6000 Hz) artinya tidak terdapat kerusakan

koklea.Refer bila tidk terdapat gelombang dimana SN kurang dari 6

pada setiap frekuensi (2000 Hz, 3000 Hz, 4000 Hz, dan 6000 Hz)

artinya terdapat kerusakan koklea, dengan alat merk neuro audio

screen.

12. Sound level meter alat untuk mengukur intensitas bising di tempat

kerja bengkel las merk smart sensor mini digital

3.8. Analisis Data

Data yang diperoleh dari hasil penelitian, dikelompokkan sesuai

dengan tujuan dan jenis data, kemudian dipilih metode statistik yang

sesuai, dan diolah dengan menggunakan program statistik kemudian

disajikan dalam bentuk tabel dan grafik yang disertai penjelasan.

Untuk uji statistik akan digunakan metode analisis univariat untuk

mendeskripsikan variabel gangguan pendengaran.

46
3.9. Alur Penelitian

Bengkel las yang memenuhi kriteria >85 dB

Pekerja bengkel las yang


memenuhi kriteria inklusi

Informed
consent
Anamnesis Pemeriksaan
Kuesioner fisik THT

PTA
Konduktif Sensorineural
dan Mixed

Timpanometri
Kelainan
telinga tengah

Normal

Terapi

OAE
Tidak Membaik (PASS, REFER)
membaik

Eksklusi Data

Gambar 13. Alur Penelitian

47
3.10. Biaya Penelitian

Biaya penelitian dan pemeriksaan ditanggung oleh peneliti sendiri

dan tidak dibebankan kepada penderita.

48
DAFTAR PUSTAKA

Affriani Yussy, Ratna Anggraeni, 2012.Skirining Gangguan Dengar pada

Pekerja Pabrik Tekstil. Departemen THT FK Unpad/RS. Hasan Sadikin.

Bandung

Agrawal, S.K, Schindler, D. N., Javkler, RK, Robinson, S., 2008.

Occupational Hearing Loss in Current Diagnosis & Treatment

Otolaryngology Head & Neck Surgery, 2 nd Edition, Newyork : Mc

Graww Hill Lange. pp. 732-43.

Alberty PW, 1991. Noise and The Ear. In : Kerr AG ed. Adult Audiology,

Scott Browns Otolaryngology 5th ed. London Butterworths: 594-641

Bansal M., Diseases of Ear, Nose and Throat, Edisi Pertama, 2013

Bashiruddin J, Alviandi W. 2009. Audiometry Course and Workshop III,

Lectures, Hands-0n. Sub Departemen Neurologi. Departemen THT

FKUI/RS Dr. Cipto Mangunkusuma. Jakarta.

Bashiruddin J dan Indro S. Gangguan Pendengaran Akibat Bising (Noise

induced hearing loss). Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga, Hidung,

Tenggorokan, Kepala dan Leher Edisi 7. Fakultas Kedokteran

Universitas Indonesia. 2012.

Cumming, C.W., dkk. 2005. Cochlear Anatomy and Central Auditory

Pathway in Otolaryngology Head and Neck Surgery. 4 th edition. Elsevier

Mosby. Maryland

Cummings W Charles : Temporal Bone Anatomy, in Cummings Review of

49
Otolaryngology, 7th edition, Elsevier, Philadelphia, 2017 : 4-22.

Departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi RI. 1999. Keputusan Menteri

Tenanga Kerja dan Transmigrasi RI Nomor: Kep-51/Men/1999 tentang

Nilai Ambang Batas Faktor Fisika di Tempat Kerja. Jakarta.

Dhingra PL, et al. 2014. Diseases Of Ear, Nose and Throat & Head and

Neck Surgery. Sixth Edition. Elsevier. Philadelphia.

Dobie, RA, Rabinowitz PM.2006. Change in Audiometric Configuration

Helps to Determine whether a Standard Threshold Shift is Work-

related. Spectrum 19(Supp 1);17

Gabriel JF. Fisika Kedokteran. Jakarta: EGC XV, 1996; hal. 66-94

Gelfand, Stanley A. 2016. Essential Of Audiology. Fourth edition. Thieme.

New York.

Gillespie, P.G. 2006. Haircell function. In : Otolaryngology Basic

Science and Clinical Review. New York : Thieme : 332-338.

Guyton AC., Hall J.E. 2012. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Edisi 11. EGC.

Jakarta

Hall, J.W., 2000. Handbook of Otoacoustic emissions. Jilid III. Thomson

Learning. San Diego

Indro Soetirto dkk, Gangguan Pendengaran dan Kelainan Telinga dalam

Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga, Hidung, Tenggorok, Kepala dan

leher. Edisi 7 Jakarta: FKUI ,2012;

Kementerian Kesehatan RI. Buletin Jendela Data dan Informasi

Kesehatan : Situasi Penyandang Disabilitas. Jakarta; 2014. 8-17 p.

50
Keputusan Menteri Tenaga Kerja. (1999). Nomor: KEP-51/MEN/1999.

Tentang Nilai Ambang Batas factor Fisika di tempat

kerja.http://pusatk3.com/kepmenaker-no-kep-51men1999-2/.Diakses

pada 18 Maret 2021.

Kolegium Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Bedah Kepala dan

Leher. 2008. Modul Kesehatan Komunitas- Pekerja. Jakarta.

Kopke, R. D. et al. 2007. NAC for noise: From the bench top to the clinic,

Hearing Research, 226(1–2), pp. 114–125. Doi:

10.1016/j.heares.2006.10.008.

Kunto, I. 2 0 0 8 Mengatasi Kebisingan di Lingkungan Kerja. Badan

Penerbit Universitas Diponegoro Semarang.

Laer, L., Carlsson, P.I., Ottschytsch, N., Bondeson, M.L., Konings, A.,

Vandevelde, A., Dieltjens, N., Fransen, E., Snyders, D., Borg, E.,

Raes, A. and Van Camp, G. 2006. The contribution of genes involved

potassium recycling in the inner ear to noise induced hearing loss.

Human Mutation, 27(80), pp.786-95.

Laurent C., et al. 2014. Open Access Guide to Audiology and Hearing Aids

for Otolaryngologist: Tympanometry, 2nd edition. Department of clinical

science University of Umea. Sweden.

Levine S., et al. 1997. Audiologi. Dalam : BOEIS Buku Ajar Penyakit

THT. Penerbit Buku Kedokteran EGC. Jakarta.

51
Mathur, N.N., 2014. Inner ear, noise induced hearing loss.

Available at: http://emedicine.medscape.com/article/857813-

overview#a0104

Moller A.G. 2006. Physiology of the cochela. In : Hearing - Anatomy,

physiology, and disorders of the auditory system 2nd edition. Burlington

: Elsevier : 41-56

Moller, AR. 2006 .Anatomy of the ear. In: Hearing: anatomy, physiology,

and disorders of the auditory system, 2nd ed. Elsevier Inc: 3-16.

Moore et al. Essential Clinical Anatomy, 5th Edition, 2015 Wolters Kluwer

Health

Nassiri, P., Zare S., Esmail M.R.M., Pourbakhti A, Azam K, Golmohammadi

T 2016.„Assessment of the Effects of Different Sound Pressure Levels

on Distortion Product Otoacoustic Emissions ( DPOAEs ) in Rats, pp.

93–99.

National Safety Council. 2010. Noise Congrol: A guide for Employees dan

Employers. Chicago.

O Hong, et al. Understanding and preventing noise-induced hearing loss.

Elsevier: Disease-a Month 59. 2013.

Oghalai J.S. and Brownell W.E. 2008. Anatomy and physiology of the

ear. In: Lalwani, A.K. Current Diagnosis dan Treatment in

Otolaryngology-Head and Neck Surgery. New York: McGraw-Hill

Company, pp.577-95.

52
Okpala, N., 2012. Management of blast injuries in mass casualty

environments - A new algorithm - 1st place Ambroise Paré

Award 2012. Available at:

http://www.mciforum.com/category/new_developments/230

management_of_blast_injuries_in_mass_casualty_environments_a_n

ew_algorithm_-

_1st_place_ambroise_par_award_2012.html.

Pawlowsky, K.S., 2004. Anatomy and physiology of the cochlea. In:

Roland PS, Rutka JA,eds. Ototoxicity. Hamilton: BC Decker Inc, pp. 1-

15. FK

Penerbit buku kedokteran. EGC. Jakarta, hlm.129-47.

Prasetyo, Lutfan adi. 2015. Hubungan kebisingan bengkel las terhadap

NIHL. Semarang: Fakultas Kedokteran UNISSULA

Pratini, S. 2 0 0 8 . Analisa Tingkat Kebisingan untuk Penentuan Alat

Pelindung Telinga Yang Tepat pada Grinding Section PA-Pabrik III

PT. Petrokimia Gresik (Persero). TF – ITS.

Probst R, et al. 2006. A n a t o m y a n d P h y s i o l o g y o f t h e E a r . I

n : Basic Otolaryngology. Germany : Thieme ; 153- 270

Probst R. Inner ear and retrocochlear disorder. In: Probst R, Grevers G,

Iro H, eds.Basic otorhinolaryngology, a step-by-step learning guide.

New York: Thieme; 2006. p. 2634.

Salawati L. Noise-Induced Hearing Loss. Jurnal Kedokteran syiah kuala

Volume 13 No 1. April 2013.

53
Sastrowinoto. Penanggulangan dampak pencemaran udara dan bising

dari sarana transportasi, 1995.

Septiana, N. R., & Widowati, E. (2017). Gangguan Pendengaran

Akibat Bising. HIGEIA (Journal of Public Health Research and

Development), 1(1), 73-82.

Soetirto, I, Bashiruddin J. 2007.Gangguan Pendengaran Akibat

Bising.Disampaikan pada Simposium Penyakit THT Akibat Hubungan

Kerja & Cacat Akibat Kecelakaan Kerja, Jakarta.

Soetirto I, H. H. B. J., 2007. Gangguan Pedengaran dan Kelainan Telinga

Dalam. In: Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Kepala

Leher. Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, pp:10-20.

Soetjipto, D. 2007. Gangguan pendengaran akibat bising (GPAB). [online]

Tersedia melalui: http://www.ketulian.com/v1/web/index.php?to

=article&id =15

Tortora J. Principles of Anatomy and Physiology 15th Edition 2017. Wiley

54
KUESIONER

NAMA :

UMUR :

JENIS KELAMIN :

ALAMAT :

TANGGAL PEMERIKSAAN :

HASIL PEMERIKSAAN FISIS THT

1. Kapan pertama kali bekerja di bengkel las:

Bulan………… tahun……………

2. Mulai bekerja di bengkel jam ……..sampai dengan jam……….

1. Apakah anda pernah konsumsi obat-obatan ( obat kanker , TBC, Tekanan darah

tinggi )

a. Ya b. Tidak

4.Apakah pernah bekerja di tempat bising sebelumnya, jika ya sudah berapa lama?

5. Apakah ada keluhan telinga sebelum bekerja di bengkel las:

a. Ya b. Tidak

6. Setelah bekerja di bengkel las apakah ada keluhan pada telinga ( telinga

mendengung, gangguan pendengaran ), jika ya sejak kapan?

7. Apakah lingkungan tempat tinggal terpapar dengan bising

a. Ya b. Tidak

8. Apakah ada riwayat trauma kepala? a. Ya b. Tidak

55
FORMULIR PERSETUJUAN

Yang bertanda tangan dibawah ini:

Nama :

Umur :

Jenis Kelamin :

Alamat :

No HP :

Setelah mendapat penjelasan dari peneliti dengan ini saya menyatakan bersedia

secara sukarela tanpa paksaan untuk mengikuti penelitian : ANALISIS PENDENGARAN

PEKERJA BENGKEL LAS YANG TERPAPAR BISING DI MAKASSAR

Saya tahu bahwa saya berhak untuk bertanya apabila masih ada hal-hal yang saya

tidak mengerti.

Saya mengerti bahwa prosedur pemeriksaan ambang dengar serta pengisin

kuesioner terhadap diri saya dapat menyebabkan hal-hal yang merugikan, namun

saya percaya bahwa akan dilakukan tindakan-tindakan kewaspadaan untuk

mencegah hal tersebut.

Saya juga berhak menolak tidak ikut dalam penelitian ini tanpa kehilangan hak saya

untuk mendapat pelayanan kesehatan dari dokter.

Makassar , 2022

Nama Saksi

(………………………………) (………………………………)

Nama jelas/ Tanda tangan) Nama jelas/ Tanda tangan

56

Anda mungkin juga menyukai