OTOLOGI
EDISI III
KOLEGIUM
ILMU KESEHATAN TELINGA HIDUNG TENGGOROK
BEDAH KEPALA LEHER
2022
Tim Penyusun
1. Prof. Dr. dr. M. Thaufiq S. Boesoirie, Sp.T.H.T.B.K.L., Subsp.F.P.R(K)., M.S.
2. Dr. dr. Azwar Ridwan, Sp.MK, Sp.T.H.T.B.K.L., Subsp.Oto.(K), FICS
3. Dr. dr. Devira Zahara, Sp.T.H.T.B.K.L., Subsp.Oto.(K)
4. Dr. dr. Edi Handoko, Sp.T.H.T.B.K.L., Subsp.Oto.(K), FICS
5. Dr. dr. Hadi Sudrajad, Sp.T.H.T.B.K.L., Subsp.Oto.(K), M.Si.Med.
6. Dr. dr. Harry A. Asroel, Sp.T.H.T.B.K.L., Subsp.Oto.(K), M.Ked.
7. Dr. dr. Lina Lasminingrum, Sp.T.H.T.B.K.L., Subsp.Oto.(K), M.Kes.
8. Dr. dr. Made Lely Rahayu, Sp.T.H.T.B.K.L., Subsp.Oto.(K)
9. Dr. dr. Masyita Gaffar, Sp.T.H.T.B.K.L., Subsp.Oto.(K)
10. Dr. dr. Ratna Dwi Restuti, Sp.T.H.T.B.K.L., Subsp.Oto.(K)
11. Dr. dr. RM Tedjo Oedono, Sp.T.H.T.B.K.L., Subsp.Oto.(K)
12. Dr. dr. Shinta Fitri Boesoirie, Sp.T.H.T.B.K.L., Subsp.F.P.R.(K), M.Kes.
13. dr. Abla Ghanie, Sp.T.H.T.B.K.L., Subsp.Oto.(K)
14. dr. Ahmad Dian Wahyudiono, Sp.T.H.T.B.K.L., Subsp.Oto.(K)
15. dr. Arif Dermawan, Sp.T.H.T.B.K.L, Subsp.A.I.(K), M.Kes
16. dr. Artono, Sp.T.H.T.B.K.L., Subsp.Oto.(K), FICS
17. dr. Bambang Purwanto, Sp.T.H.T.B.K.L., Subsp.B,E.(K), M.M.
18. dr. Dewi Pratiwi Sp.T.H.T.B.K.L., Subsp.Oto.(K), M.Kes.
19. dr. Dian Ayu Ruspita, Sp.T.H.T.B.K.L., Subsp.Oto.(K), M.Si.Med.
20. dr. Dyah Ayu Kartika Dewanti, Sp.T.H.T.B.K.L., Subsp.Oto.(K), M.Sc.
21. dr. Eka Putra Setiawan, Sp.T.H.T.B.K.L., Subsp.Oto.(K)
22. dr. Harim Priyono, Sp.T.H.T.B.K.L., Subsp.Oto.(K)
23. dr. Jacky Munilson, Sp.T.H.T.B.K.L., Subsp.Oto.(K)
24. dr. M. Pahala Hanafi Harahap, Sp.T.H.T.B.K.L., Subsp.Oto.(K), M.Ked.
25. dr. Pujo Widodo, Sp.T.H.T.B.K.L., Subsp.Oto.(K)
26. dr. Rangga Rayendra Saleh, Sp.T.H.T.B.K.L., Subsp.Oto.(K)
27. dr. Rosydiah Rahmawati, Sp.T.H.T.B.K.L., Subsp.Oto.(K)
28. dr. Sally Mahdiani, Sp.T.H.T.B.K.L., Subsp.Oto.(K), M.Kes.
29. dr. Titiek Ahadiah, Sp.T.H.T.B.K.L., Subsp.Oto.(K)
30. dr. Trining Dyah, Sp.T.H.T.B.K.L., Subsp. N.O.(K), M.Kes
31. dr. Yan Edward, Sp.T.H.T.B.K.L., Subsp.Oto.(K)
32. dr. Zulfikar Naftali, Sp.T.H.T.B.K.L., Subsp.Oto.(K)
33. dr. Ahmad Hifni, Sp.T.H.T.B.K.L.
34. dr. Ayu Astria Sriyana, Sp.T.H.T.B.K.L.
35. dr. Fiona Widyasari, Sp.T.H.T.B.K.L.
KATA PENGANTAR
Assalammu’alaikum Wr.Wb.
Alhamdulillahirobbil ‘alamin, saya panjatkan puja dan puji syukur kehadirat Allah swt yang
senantiasa melimpahkan segala rahmat, taufik dan hidayah-Nya sehingga dapat menyelesaikan
penyusun Buku Modul Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Bedah Kepala Leher (IK
THTBKL) edisi ketiga ini.
Modul ini disusun untuk memenuhi kebutuhan peserta pendidikan dokter spesialis THTBKL yang
merupakan penyempurnaan edisi kedua, pemenambahan beberapa materi sesuaikan dengan
perkembangan ilmu pengetahuan serta ketrampilan baru guna meningkatlan mutu proses
pendidikan dokter spesialis THTBKL di Indonesia
Selaras dengan dimulainya program fellowship serta persiapan pembukaan program pendidikan
Subspesialisasi THTBKL, modul Pendidikan dokter spesialis THTBKL ini disusun agar
pendidikan spesialis THTBKL terjaga menjadi satu kesatuan yang mendalam antara ketiga
program pendidikan tersebut. Selain itu Buku Modul ini dapat menjadi pedoman untuk
melaksanakan pendidikan secara terstruktur dan berkualitas, dimulai dari perencanaan,
pelaksanaan, monitoring hingga proses evaluasi secara berkesinambungan. Hal tersebut bertujuan
agar lulusan peserta program studi IK THTBKL mempunyai kompetensi akademik dan
kompetensi profesional unggul seiring berkembangnya jaman.
Pada era baru ini para lulusan Dokter Spesialis THTBKL diharapkan memiliki kemampuan
akademik professional bertaraf internasional, inovatif dan tangguh yang mampu berkiprah secara
global sesuai Visi dan Misi Pendidikan Spesialis THTBKL. Semoga dengan terbitnya Buku
Modul ketiga ini program pendidikan dokter spesialis THTBKL semakin maju dan menghasilkan
pencapaian lulusan yang unggul, kompeten dan berkualitas.
Apresiasi kami yang setinggi-tingginya kepada seluruh teman sejawat, Profesor Dokter, atas
komitmen, dedikasi, serta pemikiran dan waktu yang telah diberikan terutama dalam suasana
pandemi Covid-19. Keterbatasan jarak dan keadaan Pandemi telah membuka peluang
pengembangan komunikasi, diskusi dan ujicoba modul ketiga, secara digital (TIK), sehingga kita
dapat berkoordinasi, produktif menyelesaikan buku modul Ilmu Kesehatan Telinga Hidung
Tenggorok Bedah Kepala dan Leher edisi ketiga ini.
Semoga modul ini dapat bermanfaat bagi kita semua, khususnya para peserta didik dan semua
yang kita lakukan selalu mendapat ridha Allah SWT.
Wassalammu’alaikum Wr.Wb.
MODUL I.1.1
BENDA ASING LIANG TELINGA
EDISI III
KOLEGIUM
ILMU KESEHATAN TELINGA HIDUNG TENGGOROK
BEDAH KEPALA LEHER
2022
DAFTAR ISI
C. REFERENSI ................................................................................................. 1
D. KOMPETENSI ............................................................................................. 2
H. EVALUASI .................................................................................................. 5
M. MATERI BAKU......................................................................................... 17
Modul I.1.1 – Benda Asing Liang Telinga
MODUL I.1.1
OTOLOGI – GANGGUAN TELINGA LUAR : BENDA ASING LIANG TELINGA
A. WAKTU PEMBELAJARAN
Proses Pengembangan Kompetensi Alokasi Waktu
Sesi dalam kelas 4 x 120 menit (classroom session)
Sesi praktikum 5 x 120 menit (coaching session)
Sesi praktik dan pencapaian kompetensi 6 jam (facilitation and assessment)
B. PERSIAPAN SESI
1. Materi presentasi: Power point
2. Kasus: Benda Asing Liang Telinga.
3. Sarana dan alat bantu latih: (disesuaikan dengan pencapaian kompetensi)
o Penuntun belajar (learning guide): terlampir.
o Tempat belajar (training setting): instalasi rawat jalan, instalasi rawat inap, kamar
operasi, ruang praktikum.
o Model/manekin (liang) telinga atau cadaver.
o Komputer/laptop.
o In focus.
C. REFERENSI
1. Jung TT, Jinn TH. Diseases of The External Ear. In : Snow JB, Ballenger JJ.
Ballenger’s Manual of Otorhinolaryngology Head and Neck Surgery. 18th
Edition. London: BC Dekker Inc. 2018; 21-33.
2. Linstrom CJ, Lucente FE. Diseases of the External Ear. In : Bailey BJ, Johnson
JT, Newlands SD, Editors. Head and Neck Surgery Otolaryngology. 5th ed. Vol
2. Philadelphia, USA. Lippincott Williams & Wilkins. 2013; p 2333-2357.
3. Lee.K.J. Infections of the ear. Essential Otolaryngology Head and Neck Surgery
12th Edition. Elseiver Science Publishers, 2015, p. 345
4. Khan, T. A., Mahboob, H. M., Tahir, I., Nasir, M., Ali, A., Abbas, I & Khan, A.
A. Foreign Bodies Presentation at Otorhinolaryngology Emergencies in A
Tertiary Care Hospital. Annals of King Edward Medical University, 24(S).2018:
893-896.
1
Modul I.1.1 – Benda Asing Liang Telinga
5. Rafique M, Shaikh AA, Siddiqui AH. Foreign Bodies in Ear - Its Type, Diagnosis
and Management. J Liaquat Uni Med Health Sci. 2015;14(02):86-9.
6. Falcon-Chevere JL, Giraldez L, Rivera-Rivera JO, Suero-Salvador T. Critical
ENT skills and procedures in the emergency department. Emerg. Med. Clin. North
Am. 2013 Feb;31(1):29-58. [PubMed]
7. Friedman EM. VIDEOS IN CLINICAL MEDICINE. Removal of Foreign Bodies
from the Ear and Nose. N. Engl. J. Med. 2016 Feb 18;374(7):e7. [PubMed]
D. KOMPETENSI
1. Pengetahuan
Setelah mengikuti sesi ini peserta didik mampu:
a. Menegakkan diagnosis benda asing liang telinga berdasarkan pemeriksaan fisik
dan pemeriksaan penunjang.
b. Memutuskan dan menangani secara mandiri kasus benda asing liang telinga.
2. Keterampilan
Setelah mengikuti sesi ini peserta didik diharapkan terampil dalam:
a. Menjelaskan anatomi dan fisiologi liang telinga.
b. Menjelaskan macam-macam benda asing liang telinga.
c. Menjelaskan gambaran klinis dan terapi benda asing liang telinga.
d. Menegakkan diagnosis benda asing liang telinga.
e. Melakukan penanganan benda asing liang telinga dan komplikasinya.
f. Melakukan tindakan bedah pada kasus sulit benda asing (terletak lebih dalam).
g. Melakukan work-up penderita benda asing liang telinga.
2
Modul I.1.1 – Benda Asing Liang Telinga
Jawaban:
Langkah awal adalah pemeriksa menentukan jenis benda asing di dalam laing telinga.
Bila benda asingnya adalah serangga, harus dipastikan sudah mati. Selanjutnya pemeriksa
melakukan ekstraksi terhadap benda asing dan melakukan evaluasi struktur anatomi liang
telinga dan membran timpani. Bila dijumpai komplikasi akibat benda asing maupun
tindakan, memberikan terapi yang sesuai.
F. TUJUAN PEMBELAJARAN
1. Tujuan Pembelajaran Umum
Setelah mengikuti sesi ini peserta:
a. Mampu menegakkan diagnosis benda asing liang telinga berdasarkan
pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang.
b. Mampu memutuskan dan menangani secara mandiri kasus benda asing liang
telinga.
2. Tujuan Pembelajaran Khusus
Setelah mengikuti sesi ini peserta didik diharapkan terampil dalam:
a. Menjelaskan anatomi dan fisiologi liang telinga.
b. Menjelaskan macam-macam benda asing liang telinga.
c. Menjelaskan gambaran klinis dan terapi benda asing liang telinga.
d. Menegakkan diagnosis benda asing liang telinga.
e. Melakukan penanganan benda asing liang telinga dan komplikasinya.
f. Melakukan tindakan bedah pada kasus sulit benda asing (terletak lebih dalam).
g. Melakukan work-up penderita benda asing liang telinga.
G. METODE PEMBELAJARAN
Tujuan 1. Menjelaskan anatomi dan fisiologi liang telinga.
Untuk mencapai tujuan ini maka dipilih metode pembelajaran berikut ini:
• Belajar mandiri.
• Diskusi kelompok.
Harus diketahui :
• Anatomi liang telinga
• Fisiologi liang telinga
Tujuan 2. Menjelaskan macam-macam benda asing.
3
Modul I.1.1 – Benda Asing Liang Telinga
Untuk mencapai tujuan ini maka dipilih metode pembelajaran berikut ini:
• Belajar mandiri.
• Diskusi kelompok.
Harus diketahui :
• Jenis/pembagian jenis benda asing liang telinga.
• Contoh masing-masing jenis benda asing liang telinga.
Tujuan 3. Menjelaskan gambaran klinis dan terapi benda asing.
Untuk mencapai tujuan ini maka dipilih metode pembelajaran berikut ini:
• Belajar mandiri.
• Mini lecture.
• Diskusi kelompok.
• Skills lab.
Harus diketahui:
• Tanda dan gejala klinis benda asing liang telinga.
• Teknik/metode ekstraksi benda asing liang telinga dan pengobatan/terapi
medikamentosa.
Tujuan 4. Mampu menegakkan diagnosis benda asing liang telinga.
Untuk mencapai tujuan ini maka dipilih metode pembelajaran berikut ini:
• Belajar mandiri.
• Diskusi kelompok.
• Bedside teaching.
• Praktik pada pasien.
Harus diketahui :
• Tanda dan gejala klinis benda asing liang telinga yang baru maupun lama.
Tujuan 5. Mampu melakukan penanganan benda asing liang telinga dan
komplikasinya.
Untuk mencapai tujuan ini maka dipilih metode pembelajaran berikut ini:
• Belajar mandiri.
• Minilecture
• Diskusi kelompok.
• Bedside teaching.
4
Modul I.1.1 – Benda Asing Liang Telinga
• Skills lab.
• Praktik pada pasien.
Harus diketahui :
• Teknik/metode ekstraksi benda asing liang telinga.
• Komplikasi benda asing liang telinga.
Tujuan 6. Melakukan tindakan bedah pada kasus sulit benda asing (terletak lebih
dalam).
Untuk mencapai tujuan ini maka dipilih metode pembelajaran berikut ini:
• Belajar mandiri.
• Diskusi kelompok.
• Minilecture.
• Bedside teaching.
• Skills lab.
• Bimbingan operasi dan asistensi.
• Praktik pada pasien.
Harus diketahui :
• Teknik/metode ekstraksi benda asing liang telinga yang terletak lebih
dalam (tersangkut pada isthmus).
Tujuan 7. Melakukan work-up penderita benda asing liang telinga.
Untuk mencapai tujuan ini maka dipilih metode pembelajaran berikut ini:
• Belajar mandiri.
• Diskusi kelompok.
Harus diketahui :
• Hal-hal yang harus diawasi dan dijelaskan kepada pasien selama
pascaekstraksi benda asing.
H. EVALUASI
1. Pada awal pertemuan dilaksanakan pretes dalam bentuk tes tertulis dan lisan sesuai
dengan tingkat masa pendidikan yang bertujuan untuk menilai kinerja awal yang
dimiliki peserta didik dan untuk mengidentifikasi kekurangan yang ada. Materi
pretes terdiri atas:
- Anatomi dan fisiologi telinga.
5
Modul I.1.1 – Benda Asing Liang Telinga
- Penegakan diagnosis.
- Teknik operasi.
- Follow up.
2. Selanjutnya dilakukan “small group discussion” bersama dengan fasilitator untuk
membahas kekurangan yang teridentifikasi, membahas isi dan hal-hal yang
berkenaan dengan penuntun belajar, bedside teaching dan proses penilaian.
3. Setelah mempelajari penuntun belajar ini, mahasiswa diwajibkan untuk
mengaplikasikan langkah-langkah yang tertera dalam penuntun belajar dalam bentuk
diskusi dan praktikum. Pada saat tersebut, yang bersangkutan tidak diperkenankan
membawa penuntun belajar, penuntun belajar yang dipegang oleh teman-temannya
untuk melakukan evaluasi (Peer Assisted Evaluation) setelah dianggap memadai,
melalui metode bedside teaching di bawah pengawasan fasilitator, peserta dididik
mengaplikasikan penuntun belajar kepada model anatomik dan setelah kompetensi
tercapai peserta didik akan diberikan kesempatan untuk melakukannya pada pasien
sesungguhnya. Pada saat pelaksanaan evaluator melakukan pengawasan langsung
(direct observation) dan mengisi formulir penilaian sebagai berikut:
- Perlu perbaikan: pelaksanaan belum benar atau sebagian langkah tidak
dilaksanakan.
- Cukup: pelaksanaan sudah benar tetapi tidak efisien, misal pemeriksaan terdahulu
lama atau kurang memberi kenyamanan kepada pasien.
- Baik: pelaksanaan benar dan baik (efisien).
4. Setelah selesai bedside teaching, dilakukan kembali diskusi untuk mendapatkan
penjelasan dari berbagai hal yang tidak memungkinkan dibicarakan di depan pasien
dan memberi masukan untuk memperbaiki kekurangan yang ditemukan.
5. Self assesment dan Peer Assisted Evaluation dengan menggunakan penuntun
belajar.
6. Pendidik/fasilitas:
a. Pengamatan langsung dengan memakai evaluation checklist penilaian (terlampir).
b. Penjelasan lisan dari peserta didik atau diskusi.
c. Kriteria penilaian keseluruhan: cakap/tidak cakap/lalai.
7. Pada akhir penilaian peserta didik diberi masukan dan bila diperlukan diberi tugas
yang dapat memperbaiki kinerja (task-based medical education).
6
Modul I.1.1 – Benda Asing Liang Telinga
8. Pencapaian pembelajaran:
a. Ujian OSCA (K,P,A), dilakukan pada tahapan bedah dasar oleh kolegium I THT.
b. Ujian akhir stase, setiap divisi/unit kerja oleh masing-masing sentra pendidikan
bedah lanjut oleh kolegium ilmu THT.
c. Ujian akhir kognitif, dilakukan pada akhir tahapan bedah lanjut oleh kolegium
ilmu THT.
2. Tengah pembelajaran
Soal:
1. Sebutkan 2 bagian paling sempit liang telinga disebut........
2. Lapisan atau struktur anatomi di bawah kulit liang telinga duapertiga dalam
adalah.........
3. Langkah pertama menghadapi kasus benda asing laing telinga organik dan masih
hidup adalah.........
4. Sebutkan nervus kranialis yang memberi innervasi yang palin besar pada KAE
…
Jawaban:
7
Modul I.1.1 – Benda Asing Liang Telinga
3. Akhir pembelajaran
Soal:
1. Sebutkan kontraindikasi pengeluaran benda asing liang telinga?
2. Sebutkan dua daerah penyempitan alamiah pada kanalis akustikus eksternus........
3. Lapisan atau struktur anatomi di bawah kulit liang telinga duapertiga dalam
adalah........
4. Langkah pertama menghadapi kasus benda asing laing telinga organik dan masih
hidup adalah........
Jawaban:
1. Pasien tidak kooperatif dan tidak dapat dilakukan pemberian sedative yang aman
2. Bony-cartilagineus junction dan tepat di lateral membrane timpani
3. Periosteum.
4. Benda asing tersebut harus dimatikan terlebih dahulu.
Essay/Ujian lisan
Seorang laki-laki usia 22 tahun datang ke instalasi gawat darurat dengan keluhan telinga
kemasukan binatang sejak 4 jam yang lalu ketika sedang berbaring di lantai. Keluhan
disertai nyeri karena binatang masih bergerak dan akhirnya berhenti bergerak 1 jam yang
lalu setelah ditetesi minyak kelapa. Pada pemeriksaan tampak serangga menutupi liang
telinga.
Pertanyaan:
Tindakan apa yang perlu dilakukan dalam penatalaksanaan kasus tersebut?
Jawaban :
Langkah awal adalah pemeriksa menentukan jenis dan letak benda asing di dalam liang
telinga. Bila benda asingnya adalah serangga, harus dipastikan sudah mati. Selanjutnya
pemeriksa melakukan persiapan instrument yang sesuai dan tepat untuk jenis benda asing
8
Modul I.1.1 – Benda Asing Liang Telinga
tersebut. Ekstraksi terhadap benda asing dan melakukan evaluasi struktur anatomi liang
telinga dan membran timpani. Bila dijumpai komplikasi akibat benda asing maupun
tindakan, memberikan terapi yang sesuai.
9
Modul I.1.1 – Benda Asing Liang Telinga
10
Modul I.1.1 – Benda Asing Liang Telinga
K. DAFTAR TILIK
PROSEDUR EKSTRAKSI BENDA ASING
Berikan penilaian tentang kinerja psikomotorik atau keterampilan yang diperagakan
oleh peserta pada saat melaksanakan statu kegiatan atau prosedur, dengan ketentuan
seperti yang diuraikan dibawah ini:
ü Memuaskan: langkah atau kegiatan diperagakan sesuai dengan prosedur
atau panduan standar.
Ï Tidak memuaskan: langkah atau kegiatan tidak dapat ditampilkan sesuai
dengan prosedur atau panduan standar.
T/D Tidak ditampilkan: langkah, kegiatan atau keterampilan tidak diperagakan
oleh peserta selama proses evaluasi oleh pelatih.
11
Modul I.1.1 – Benda Asing Liang Telinga
L. MATERI PRESENTASI
12
Modul I.1.1 – Benda Asing Liang Telinga
13
Modul I.1.1 – Benda Asing Liang Telinga
14
Modul I.1.1 – Benda Asing Liang Telinga
15
Modul I.1.1 – Benda Asing Liang Telinga
16
Modul I.1.1 – Benda Asing Liang Telinga
M. MATERI BAKU
Pendahuluan
Benda asing liang telinga biasanya merupakan kasus perawatan tiba-tiba, khususnya
pada penderita anak-anak. Banyak dokter sering menghadapi kondisi ini. Tujuan
modul pembelajaran ini adalah memberi pengertian tentang kondisi ini dan metode
dalam penatalaksanaan pada benda asing liang telinga.
Definisi:
Terdapatnya benda pada liang telinga yang pada keadaan normal tidak dijumpai.
Anatomi dan fisiologi
Kanalis akustikus eksternus (KAE) terletak sepanjang sisi luar membrane timpani,
dibentuk oleh cleft branchial pertama. Bagian dua-pertiga medial adalah tulang yang
dilapisi oleh epitel kulit stratified squamous, sementara rangka kartilago membentuk
sepertiga luar yang dilapisi oleh kulit yang mengandung rambut-rambut, kelenjar
keringat modifikasi yang mensekresi serumen (earwax). Innervasi KAE berasal dari
nervus kranial V3 (cabang mandibular) dan N.X. Nervus VII dan IX memberi
kontribusi yang lebih sedikit. Innervasi terbesar dari KAE berasal dari N.V3. KAE
pada anak-anak hampir lurus. Akan menjadi ukuran dewasa dengan panjang sekitar
2,5 cm pada usia 9 tahun. Pada orang dewasa bentuknya menjadi lebih sigmoid
dimana bagian kartilagio menyudut ke posterior dan superior dan bagian tulang
kearah anterior inferior. Oleh karena itu untuk meluruskan KAE dan mendapatkan
visualisasi yang baik pada membrane timpani, helix ditarik kearah posterior dan
superior. Pada penatalaksanaan benda asing KAE, terdapat dua penyempitan
alamiah yaitu penyempitan pertama pada bony-cartilaginous junction dan yang
kedua adalah tepat di lateral membrane timpani. Gambaran anatomi penting lainnya
adalah membrane timpani berpotensi blind spot pada sulkus timpani yang
menggambarkan arah membrane timpani slope oblique menjauh dari KAE yang
sesungguhnya adalah kearah inferior.
Indikasi
Indikasi untuk prosedur ini adalah terdapatnya benda asing pada liang telinga luar,
diperlukan instrument yang tepat dalam mengeluarkan benda asing KAE dan pasien
kooperatif ( bila perlu diberi sedative atau fiksasi bisa dilakukan dengan
menggunakan kain /doek )
17
Modul I.1.1 – Benda Asing Liang Telinga
Kontraindikasi
Kontraindikasi pengeluaran benda asing dari KAE terkait dengan kooperatifnya
pasien, lokasi benda asing pada kanal, terbatasnya instrument yang sesuai dan jenis
benda asing, hal ini dapat mengakibatkan pengeluaran benda asing menjadi tidak
tepat. Pada pasien yang tidak kooperatif dan tidak dapat dilakukan pemberian sedasi
yang aman pada pasien tersebut merupakan kontraindikasi dalam melakukan
tindakan pengeluaran benda asing.
Pada benda asing yang terperangkap tepat di depan membrane timpani atau yang
tidak mudah digenggam oleh instrument seperti benda asing bulat, mungkin
membutuhkan instrument yang lebih khusus.
Terdapat tindakan tertentu yang merupakan kontraindikasi untuk kondisi tertentu
seperti irigasi untuk kasus benda asing yang disertai dugaan perforasi membrane
timpani, pengeluaran benda asing organic atau battery, termasuk juga pada material
yang dapat mengembang pada kondisi terkena air.
Faktor Predisposisi:
Faktor predisposisi utama terjadinya benda asing pada telinga adalah usia anak -anak
dan pada orang dewasa dengan riwayat retardasi mental, penderita demensia atau
kecelakaan/trauma
Pembagian benda asing:
Benda asing telinga terdiri dari benda asing hidup dan benda asing mati Benda asing
mati dapat dibagi lagi menjadi benda asing mati organik dan benda asing non
organik. Benda asing hidup dapat berupa cacing, kecoa, lalat, nyamuk dan
sebagainya. Benda asing mati organik dapat berupa kacang, daun, dan sebagainya
sedangkan benda asing mati non organik dapat berupa logam, batu, kapas dan
sebagainya.
Penelitian yang dilakukan oleh Rafique dkk melaporkan bahwa benda asing telinga
yang paling sering ditemukan adalah manik-manik (30,4%), ujung kapas dan korek
api (22,3%), biji-bijian (13,8%), kertas (12,1%), serangga (10,7%), baterai kecil
(5,8%), dan batu serta kacang (3,1%). Hal yang berbeda didapatkan dalam penelitian
di negara- negara Barat dimana benda asing telinga yang paling sering ditemukan
adalah biji-bijian atau kacang-kacangan (47,1%).
18
Modul I.1.1 – Benda Asing Liang Telinga
Kekerapan
Beberapa penelitian multisenter melaporkan bahwa benda asing telinga paling sering
di temukan pada jenis kelamin laki-laki (52%) dibandingkan perempuan (48%).
Penelitian yang dilakukan oleh Rafique dkk melaporkan benda asing pada telinga
paling sering ditemukan pada anak usia dibawah 7 tahun (50,4%). Hal yang sama
juga dilaporkan oleh Chai dkk dimana benda asing telinga paling sering ditemukan
pada anak dibawah usia 5 tahun (48,3%).
Gejala Klinis
Mayoritas pasien dengan benda asing di telinga sering kali tidak memiliki keluhan
ataupun gejala klinis lainnya walaupun masih terdapat benda asing didalam liang
telinga. Gejala klinis yang dapat timbul pada benda asing liang telinga diantaranya
nyeri di liang telinga dan rasa berat pada telinga.
19
Modul I.1.1 – Benda Asing Liang Telinga
20
Modul I.1.1 – Benda Asing Liang Telinga
Ekstraksi benda asing pada liang tergantung pada evaluasi awal yaitu adakah
cedera pada membrane timpani, jenis benda asing, dan lokasinya pada liang telinga,
serta kooperatifnya pasien. Sebelum memulai tindakan pemeriksa harus bisa
memperkirakan berapa kali tindakan ini mampu dilakukan ( sekali tindakan atau dua
kali) dan bila diperlukan tindakan berulang, teknik lain apa yang digunakan untuk
tindakan berikutnya. Apabila tindakan berulang tidak berhasil dan disertai penyulit
maka perlu dipertimbangkan untuk mengkonsul ke supervisor utnuk mendapat
petunjuk. Setelah prosedur pengeluaran benda asing telah dilakukan, telinga kontra
lateral perlu di periksa juga terutama pada anak-anak.
1. Benda asing serangga harus dimatikan terlebih dahulu dengan menyemprotkan
eter, alkohol, minyak, air garam ke dalam liang telinga dan kemudian diekstraksi
dengan menggunakan forcep.
2. Benda asing organik yang kecil dapat diekstraksi dengan pengait benda asing
atau forcep.
3. Benda asing organik higroskopis mudah mengembang bila terkena cairan, oleh
karenanya benda asing higrosopis dihindari agar tidak terkena cairan.
4. Benda asing anorganik yang terlihat dapat diekstraksi dengan pengait kecil dan
bila tidak terlihat cukup disemprot dengan cairan.
5. Bila kasusnya sulit misalnya benda asing terdapat di ismus atau resesus anterior,
perlu dilakukan insisi endaural atau insisi post aurikuler.
6. Metode lainnya adalah penggunaan cyanoacrylate (superglue) atau lem tissue
yang diaplikasi pada ujung instrument aplikator kapas yang akan ditempelkan ke
benda asing sehingga benda asing melekat pada saat lem telah kering dan tarik
bersama-sama keluar dari liang telinga.
Komplikasi
Komplikasi dari benda asing telinga dapat terjadi akibat benda asing itu sendiri atau
tindakan saat ekstraksi benda asing. Komplikasi yang dapat terjadi diantaranya
pembengkakan, ekskoriasi, laserasi dan erosi pada liang telinga, otitis eksterna,
perforasi membran timpani, kerusakan rantai osikula dan refleks vagal. Angka
kejadian komplikasi dapat berbeda di tiap tempat, hal ini dikarenakan komplikasi
benda asing tergantung dari benda asing itu sendiri dan keahlian dokter dalam
melakukan ekstraksi benda asing.
21
Modul I.1.1 – Benda Asing Liang Telinga
DAFTAR PUSTAKA
1. Jung TT, Jinn TH. Diseases of The External Ear. In : Snow JB, Ballenger JJ.
Ballenger’s Manual of Otorhinolaryngology Head and Neck Surgery. 18th
Edition. London: BC Dekker Inc. 2018; 21-33.
2. Linstrom CJ, Lucente FE. Diseases of the External Ear. In : Bailey BJ, Johnson
JT, Newlands SD, Editors. Head and Neck Surgery Otolaryngology. 5th ed. Vol
2. Philadelphia, USA. Lippincott Williams & Wilkins. 2013; p 2333-2357.
3. Lee.K.J. Infections of the ear. Essential Otolaryngology Head and Neck Surgery
12th Edition. Elseiver Science Publishers, 2015, p. 345
4. Khan, T. A., Mahboob, H. M., Tahir, I., Nasir, M., Ali, A., Abbas, I & Khan, A.
A. Foreign Bodies Presentation at Otorhinolaryngology Emergencies in A
Tertiary Care Hospital. Annals of King Edward Medical
University, 24(S).2018: 893-896.
5. Rafique M, Shaikh AA, Siddiqui AH. Foreign Bodies in Ear - Its Type,
Diagnosis and Management. J Liaquat Uni Med Health Sci. 2015;14(02):86-9.
6. Falcon-Chevere JL, Giraldez L, Rivera-Rivera JO, Suero-Salvador T. Critical
ENT skills and procedures in the emergency department. Emerg. Med. Clin.
North Am. 2013 Feb;31(1):29-58. [PubMed]
7. Friedman EM. VIDEOS IN CLINICAL MEDICINE. Removal of Foreign
Bodies from the Ear and Nose. N. Engl. J. Med. 2016 Feb 18;374(7):e7.
[PubMed]
22
MODUL UTAMA
OTOLOGI
GANGGUAN TELINGA LUAR
MODUL I.1.2
IMPAKSI SERUMEN
EDISI III
KOLEGIUM
ILMU KESEHATAN TELINGA HIDUNG TENGGOROK
BEDAH KEPALA LEHER
2022
DAFTAR ISI
C. REFERENSI ................................................................................................. 1
D. KOMPETENSI ............................................................................................. 2
H. EVALUASI .................................................................................................. 5
M. MATERI BAKU......................................................................................... 12
Modul I.1.2 - Impaksi Serumen
MODUL I.1.2
OTOLOGI – GANGGUAN TELINGA LUAR : IMPAKSI SERUMEN
A. WAKTU PEMBELAJARAN
Proses pengembangan kompetensi Alokasi waktu
Sesi dalam kelas 2 x 60 menit (classroom session)
Sesi praktikum 3 x 60 menit (coaching session)
Sesi praktik dan pencapaian 20 x 60 menit (facilitation and
kompetensi assessment)
B. PERSIAPAN SESI
1. Materi presentasi: Power point
2. Kasus: Impaksi Serumen
3. Sarana dan alat bantu latih: (disesuaikan dengan pencapaian kompetensi)
• Penuntun belajar (learning guide): terlampir.
• Tempat belajar (training setting): ruang kuliah, ruang praktikum, instalasi
rawat jalan.
• Model/manekin (liang) telinga.
• Komputer/laptop.
• In focus.
C. REFERENSI
1. Linstrom CJ, Lucente FE. Disease of the external ear. In: Johnson JT, Rosen CA,
eds. Bailey’s Head and Neck Surgery-Otolaryngology. 5th ed. China: Lippincott
Williams & Wilkins; 2014. p. 2333-57
2. Probst R. External Ear. In: Probst R, Grevers G, Iro H, eds. Basic
Otorhinolayngology: A Step-By-Step Learning Guide. New York: George
Thieme Verlag; 2006. p. 207-27
3. Smith W, Burton M. Drug therapy in otology. In: Gleeson M, editor. Scott-
Browns’s Otorhinolaryngology, Head and Neck Surgery. 7th ed. Great Britain:
Edward Arnold Ltd; 2008. p. 429-35
4. Kenneth S, editor. Anatomy & Physiology: The Unity of Form and Function, 5th
Edition. New York: McGraw-Hill, 2010.
1
Modul I.1.2 - Impaksi Serumen
D. KOMPETENSI
1. Pengetahuan
Setelah mengikuti sesi ini peserta didik mampu:
a. Menegakkan diagnosis kasus impaksi serumen berdasarkan anamnesis, dan
pemeriksaan fisik.
b. Menatalaksana secara mandiri kasus impaksi serumen.
2. Keterampilan
Setelah mengikuti sesi ini peserta didik diharapkan terampil dalam:
a. Melakukan penanganan impaksi serumen dan komplikasinya.
b. Melakukan follow-up pasien impaksi serumen.
Jawaban :
1. Impaksi serumen.
2
Modul I.1.2 - Impaksi Serumen
2. Pembersihan liang telinga dengan teknik irigasi liang telinga, suction atau
penggunaan pengait serumen. Jika serumen telalu keras dan akan menimbulkan
rasa sakit jika dibersihkan maka dapat digunakan obat tetes untuk melunakkan
serumen, terutama pada anak-anak. Obat tetes yang dapat digunakan seperti cairan
ceruminolytic (Karbogliserin), atau hidrogen peroksida selama beberapa hari
kemudian serumen dapat dibersihkan dengan irigasi atau dihisap/suction.
F. TUJUAN PEMBELAJARAN
Tujuan Pembelajaran Umum
Setelah mengikuti sesi ini peserta didik terampil dalam :
1. Mampu menegakkan diagnosis klinis impaksi serumen berdasarkan anamnesis
dan pemeriksaan fisik.
2. Mampu mentatalaksana secara mandiri kasus impaksi serumen.
Tujuan Pembelajaran Khusus
Setelah mengikuti sesi ini peserta didik diharapkan terampil dalam :
1. Menjelaskan anatomi, histologi, dan fisiologi liang telinga.
2. Menjelaskan patofisiologi impaksi serumen.
3. Menjelaskan gambaran klinis impaksi serumen.
4. Menegakkan diagnosis impaksi serumen.
5. Melakukan penanganan impaksi serumen dan komplikasinya.
6. Melakukan follow-up pasien impaksi serumen.
G. METODE PEMBELAJARAN
Tujuan 1. Menjelaskan anatomi, histologi, topografi dan fisiologi liang telinga.
Untuk mencapai tujuan ini maka dipilih metode pembelajaran berikut ini:
• Belajar mandiri.
• Diskusi kelompok.
Harus diketahui:
• Anatomi, histologi, dan topografi liang telinga.
• Fisiologi liang telinga.
Tujuan 2. Menjelaskan patofisiologi impaksi serumen.
Untuk mencapai tujuan ini maka dipilih metode pembelajaran berikut ini:
3
Modul I.1.2 - Impaksi Serumen
• Belajar mandiri.
• Tinjauan pustaka.
• Diskusi kelompok.
Harus diketahui:
• Patofisiologi impaksi serumen.
Tujuan 3. Menjelaskan gambaran klinis impaksi serumen.
Untuk mencapai tujuan ini maka dipilih metode pembelajaran berikut ini:
• Belajar mandiri.
• Tinjauan pustaka.
• Kuliah.
• Diskusi kelompok.
Harus diketahui:
• Gambaran klinis (gejala dan tanda) impaksi serumen.
Tujuan 4. Menegakkan diagnosis impaksi serumen.
Untuk mencapai tujuan ini maka dipilih metode pembelajaran berikut ini:
• Belajar mandiri.
• Kuliah.
• Diskusi kelompok.
• Bedside teaching.
• Praktik pada pasien.
Harus diketahui:
• Tanda dan gejala klinis impaksi serumen.
Tujuan 5. Melakukan penanganan impaksi serumen dan komplikasinya.
Untuk mencapai tujuan ini maka dipilih metode pembelajaran berikut ini:
• Belajar mandiri.
• Kuliah.
• Diskusi kelompok.
• Praktikum.
• Bedside teaching.
• Praktik pada pasien.
• Bakti sosial.
Harus diketahui:
4
Modul I.1.2 - Impaksi Serumen
H. EVALUASI
1. Pada awal pertemuan dilaksanakan pretest dalam bentuk tertulis dan lisan sesuai
dengan tingkat masa pendidikan yang bertujuan untuk menilai pengetahuan awal
yang dimiliki peserta didik dan untuk mengidentifikasi kekurangan yang ada.
Materi pretest terdiri atas :
a. Anatomi, histologi dan fisiologi telinga luar.
b. Penegakan diagnosis impaksi serumen.
c. Penatalaksanaan impaksi serumen.
d. Follow up impaksi serumen.
2. Selanjutnya dilakukan diskusi bersama dengan fasilitator untuk membahas
kekurangan yang teridentifikasi, membahas isi dan hal-hal yang berkenaan
dengan penuntun belajar.
3. Peserta didik diwajibkan untuk mengaplikasikan langkah-langkah yang tertera
dalam penuntun belajar melalui metode bedside teaching pada pasien
sesungguhnya dibawah pengawasan fasilitator dan mengisi formulir penilaian
sebagai berikut :
5
Modul I.1.2 - Impaksi Serumen
6
Modul I.1.2 - Impaksi Serumen
7
Modul I.1.2 - Impaksi Serumen
8
Modul I.1.2 - Impaksi Serumen
KEGIATAN KASUS
Berbagai teknik ekstraksi impaksi serumen:
1. Irigasi liang telinga
Irigasi telinga paling baik dilakukan pada serumen yang
lunak dan berminyak. Irigasi dilakukan dengan syringe,
dan air yang digunakan harus sesuai dengan suhu tubuh.
Cairan irigasi diarahkan sepanjang bagian superior dinding
liang telinga. Hati-hati pada penderita dengan riwayat
perforasi membran timpani.
2. Suction
Pembersihan serumen dengan suction dilakukan pada
serumen yang lunak. Pasien sebaiknya diberitahu
kemungkinan terjadinya vertigo, juga antisipasi terhadap
rasa mual. Jelaskan bahwa kadang-kadang prosedur ini
menyakitkan.
3. Penggunaan kuret serumen dan forsep alligator
Hindari ekstraksi serumen apabila pemeriksa tidak mampu
melihat keadaan di liang telinga. Prosedur yang pelan-
pelan dan hati-hati lebih baik daripada prosedur cepat. Bila
pasien mampu menoleransi pembersihan, lakukan hingga
bersih.
Jika serumen telalu keras dan akan menimbulkan rasa sakit jika
dibersihkan maka dapat digunakan obat tetes untuk
melunakkan serumen, terutama pada anak-anak. Obat tetes
yang dapat digunakan seperti cairan ceruminolytic
(Karbogliserin) atau hidrogen peroksida selama beberapa hari
kemudian serumen dapat dibersihkan dengan irigasi atau
dihisap/suction
K. DAFTAR TILIK
PROSEDUR EKSTRAKSI IMPAKSI SERUMEN
Berikan penilaian tentang kinerja psikomotorik atau keterampilan yang diperagakan
oleh peserta pada saat melaksanakan statu kegiatan atau prosedur, dengan ketentuan
seperti yang diuraikan dibawah ini:
ü: Memuaskan: Langkah atau kegiatan diperagakan sesuai dengan prosedur atau
panduan standar
Ï: Tidak memuaskan: Langkah atau kegiatan tidak dapat ditampilkan sesuai dengan
prosedur atau panduan standar
T/T: Tidak Ditampilkan: Langkah, kegiatan atau keterampilan tidak diperagakan oleh
peserta selama proses evaluasi oleh pelatih
9
Modul I.1.2 - Impaksi Serumen
L. MATERI PRESENTASI
Slide 1. Definisi
10
Modul I.1.2 - Impaksi Serumen
Slide 2. Patofisiologi
11
Modul I.1.2 - Impaksi Serumen
Slide 4. Penatalaksanaan
M. MATERI BAKU
Definisi
Serumen atau wax merupakan campuran sekresi kelenjar sebasea (lemak) dan
kelenjar apokrin (ceruminous) dengan debris epitel. Kombinasi komposisi ini
membentuk lapisan asam (pH normal serumen 6,8) yang membantu mencegah
infeksi liang telinga. Bentuk dan konsistensi serumen berbeda secara genetik dan
rasial. Hal ini diduga berhubungan dengan kandungan imunoglobulin dan lisozim.
Liang telinga memiliki kemampuan untuk self-cleansing dengan cara migrasi epitel
dari membran timpani keluar melalui liang telinga.
Patofisiologi
Serumen di liang telinga pada beberapa individu jumlahnya sedikit, namun
sebagian lain membentuk massa padat yang bersifat obstruktif. Impaksi Serumen
disebabkan oleh gangguan mekanisme pembersihan sendiri liang telinga secara
normal atau akibat sekresi serumen yang berlebihan. Impaksi Serumen terdiri dari
sekresi dari kelenjar seruminosa yang bercampur dengan sebum, debris yang lepas
dan kontaminan. Kebiasaan membersihkan telinga dengan swab kapas (cotton bud)
menyebabkan serumen terdorong lebih jauh ke dalam dan penggunakan jepit rambut
12
Modul I.1.2 - Impaksi Serumen
atau pena dapat menyebabkan infeksi liang telinga/otitis ekserna. Sumbatan liang
telinga oleh serumen dapat disebabkan oleh impaksi dari serumen atau serumen yang
mengembang karena kontak dengan air. Seiring dengan bertambahnya usia,
keringnya kulit liang telinga dan perubahan sekresi di liang telinga menghasilkan
pembentukan serumen yang keras dan cenderung untuk menetap di dalam liang
telinga, terutama pada liang telinga yang sempit. Hal ini merupakan masalah yang
sering ditemukan karena menyebabkan gangguan pendengaran dan
ketidaknyamanan serta menjadi sumber infeksi.
Komposisi dan fungsi serumen
Serumen adalah substansi wax yang disekresi oleh kelenjar seruminosa “
apocrine sweat” yang berlokasi pada subkutaneus kanalis akustikus eksternus
(KAE). Kelenjar seruminosa bersama dengan kelenjar sebaseus menghasilkan
serumen telinga yang merupakan percampuran sekresi keringat dan material lemak
dari kelenjar sebaseus. Berdasarkan komposisi kimia, terdiri dari fatty acid, alkohol,
seramid, wax ester triacylglycerol, hidro karbon rantai panjang, cholesterol
precursors seperti lanosterol, squalene, and cholesterol yang merupakan produk
akhir pada jalur hyroxymethylglutaryl-CoA (HMG-CoA) reductase dengan
konsistensi basah , lunak, dan kuning atau kecoklatan sampai kering, Produksi
serumen dipengaruhi oleh berbagai factor antara lain: kondisi pekerjaan, cuaca, atau
bahkan peningkatan konsentrasi kolesterol dapat memnghambat jalur HMG-CoA
reductase dengan feedback negatif.
Fenotipe serumen ditentukan oleh dua allele pada gen tunggal ABCC11.
Polimorfisme nukleotida tunggal (SNP), pada gen ini mengkode ATP- yang
bertanggung jawab terhadap pompa protein yang berperan terhadap variasi sekresi
kelenjar apokrin yang mengatur jenis serumen apakah kering atau basah.
Diantara fungsi utama serumen adalah pelembab, pembersih, lubrikasi, dan
melindungi kulit liang telinga dengan peranannya sebagai antibakterial yang
menjaga keasaman lingkungan liang telinga dan pelindung terhadap air, serangga
dan debu. Juga dapat memberi informasi individual penting terkait suku, etnis,
gender, penyakit-penyakit makanan yang dikomsumsi dan paparan polutan
lingkungan sekitar.
Gejala dan Tanda Klinis
13
Modul I.1.2 - Impaksi Serumen
Impaksi Serumen dapat menimbulkan sensasi rasa penuh pada telinga disertai
dengan penurunan pendengaran. Beberapa pasien mengeluhkan vertigo dan tinitus.
Pada otoskopi terlihat serumen berwarna kuning kecoklatan hingga hitam yang
menyumbat liang telinga.
Komplikasi
Dapat berlanjut menjadi otitis eksterna, meskipun sangat jarang terjadi.
Penatalaksanaan
Beberapa teknik dapat digunakan dalam membersihkan serumen:
a. Irigasi liang telinga
Tidak boleh dilakukan jika ada perforasi membran timpani. Irigasi telinga paling
baik dilakukan pada serumen yang lunak dan berminyak. Irigasi dilakukan dengan
syringe, dan air yang digunakan harus sesuai dengan suhu tubuh. Cairan irigasi
diarahkan sepanjang bagian superior-posterior dinding liang telinga.
b. Suction
Pasien sebaiknya diingatkan kemungkinan terjadinya vertigo yang disebabkan
oleh tes kalori, juga antisipasi terhadap rasa mual. Jelaskan bahwa kadang-kadang
prosedur ini menyakitkan.
c. Penggunaan pengait serumen
Apabila pasien tersebut anak-anak: selama prosedur anak dalam pangkuan orang
dewasa. Hindari pemaksaan dalam membersihkan liang telinga atau keadaan
dimana pemeriksa tidak mampu melihat keadaan di liang telinga. Prosedur yang
pelan-pelan dan hati-hati lebih baik daripada prosedur cepat. Bila pasien mampu
menoleransi pembersihan, lakukan hingga bersih.
Jika serumen telalu keras dan akan menimbulkan rasa sakit jika dibersihkan maka
dapat digunakan obat tetes untuk melunakkan serumen, terutama pada anak-anak. Obat
tetes yang dapat digunakan seperti cairan ceruminolytic (karbogliserin), atau hidrogen
peroksida selama beberapa hari kemudian serumen dapat dibersihkan dengan irigasi
atau dihisap/suction.
Prinsip Dasar Ekstraksi Serumen
a) Posisikan pasien dalam posisi yang nyaman baik posisi duduk ataupun setengah
berbaring. Hal yang harus diantisipasi adalah respon vagal yang harus disiapkan
14
Modul I.1.2 - Impaksi Serumen
15
MODUL UTAMA
OTOLOGI
GANGGUAN TELINGA LUAR
MODUL I.1.3
KERATOSIS OBTURANS
EDISI III
KOLEGIUM
ILMU KESEHATAN TELINGA HIDUNG TENGGOROK
BEDAH KEPALA LEHER
2022
DAFTAR ISI
A. WAKTU .......................................................................................................... 1
C. REFERENSI .................................................................................................... 1
D. KOMPETENSI ................................................................................................ 2
H. EVALUASI ..................................................................................................... 5
M. MATERI BAKU............................................................................................ 19
Modul I.1.3 – Benda Asing Liang Telinga
MODUL I.1.3
OTOLOGI – GANGGUAN TELINGA LUAR : KERATOSIS OBTURANS
A. WAKTU
Proses pengembangan kompetensi Alokasi waktu
Sesi dalam kelas 1 x 60 menit (classroom session)
Sesi praktikum 1 x 60 menit (coaching session)
Sesi praktik dan pencapaian kompetensi2 x 60 menit (facilitation and assessment)
B. PERSIAPAN SESI
1. Materi presentasi:
• Power point
2. Kasus: Keratosis Obturan
3. Sarana dan alat bantu latih: (disesuaikan dengan pencapaian kompetensi)
• Penuntun belajar (learning guide): terlampir
• Tempat belajar (training setting): ruang kuliah, ruang praktikum,
instalasi rawat jalan, kamar operasi.
• Model/manekin telinga.
• Komputer/laptop.
• In focus.
C. REFERENSI
1. Antonio SM, Strasnick B. Diseases of the Auricle, External Auditory Canal
and Tympanic Membrane. In: Gulya AJ, Minor LB, Poe DS. Glasscock-
Shambaugh Surgery of the Ear. 6th ed. USA: PMPH-USA Ltd; 2010. p. 379-
96.
2. Linstrom CJ, Lucente FE. Disease of the external ear. In: Johnson JT, Rosen
CA, eds. Bailey’s Head and Neck Surgery-Otolaryngology. 5th ed. China:
Lippincott Williams & Wilkins: 2014. p. 2350.
3. Roberson JB, Perkins R. Canalplasty for exostoses of the external auditory
canal and miscellaneous auditory canal problems. In: Brackmann, Shelton,
Arriaga, eds. Otologic Surgery. 3rd ed. Philadelphia: Saunders Elsevier; 2010.
p. 21-31.
1
Modul I.1.3 – Benda Asing Liang Telinga
D. KOMPETENSI
Setelah mengikuti sesi ini peserta mampu membuat diagnosis keratosis
obturan liang telinga berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik dan mampu
melakukan penatalaksanaan secara mandiri.
DISKUSI:
a. Lengkapi anamnesis pada pasien ini.
b. Lengkapi pemeriksaan fisik pada pasien ini.
c. Apa diagnosis kerja dan diagnosis banding yang mungkin untuk pasien ini.
d. Bagaimana penatalaksanaan pasien ini.
JAWABAN:
a. Perlu ditanyakan mengenai keluhan penyerta, seperti penurunan
pendengaran yang progresif, tinitus, dan nyeri telinga. Apakah terdapat
riwayat sinusitis atau bronkiektasis.
b. Pada pemeriksaan otoskopi, atau otoendoskopi, atau pemeriksaan
mikroskop ditemukan liang telinga bengkak, menebal, hiperemis, dan
2
Modul I.1.3 – Benda Asing Liang Telinga
F. TUJUAN PEMBELAJARAN
Pembelajaran materi ini bertujuan untuk mendapatkan pengetahuan, keterampilan dan
perilaku yang terkait dengan kompetensi yang diperlukan, yaitu:
1. Mampu menjelaskan patogenesis dan patofisiologi keratosis obturans.
2. Mampu menjelaskan gambaran dan tanda klinis keratosis obturans.
3. Dapat menegakkan diagnosis keratosis obturans.
4. Dapat melakukan penanganan keratosis obturans telinga dan komplikasinya.
5. Mampu melakukan work-up penderita keratosis obturans liang telinga.
G. METODE PEMBELAJARAN
Tujuan 1. Mampu menjelaskan patogenesis dan patofisiologi keratosis
obturans.
Untuk mencapai tujuan ini maka dilakukan metode Pembelajaran sebagai berikut:
a. Belajar mandiri.
b. Diskusi kelompok.
c. Praktikum.
Mahasiswa harus mengerti dan menguasai:
• Anatomi, histologi, dan topografi liang telinga.
• Fisiologi liang telinga.
Tujuan 2. Mampu menjelaskan gambaran dan tanda klinis keratosis obturans.
3
Modul I.1.3 – Benda Asing Liang Telinga
Untuk mencapai tujuan ini maka dipilih metode pembelajaran sebagai berikut:
a. Belajar mandiri.
b. Diskusi kelompok.
c. Bedside teaching.
Mahasiswa harus mengerti dan menguasai:
• Tanda dan gejala keratosis obturan.
Tujuan 3. Dapat menegakkan diagnosis keratosis obturans.
Untuk mencapai tujuan ini maka dipilih metode pembelajaran sebagai berikut:
a. Belajar mandiri.
b. Diskusi kelompok.
c. Bedside teaching.
d. Praktik pada pasien.
Mahasiswa harus mengerti dan menguasai:
• Tanda dan gejala klinis keratosis obturan.
• Diagnosis banding keratosis obturan.
Tujuan 4. Dapat melakukan penanganan keratosis obturans telinga dan
komplikasinya.
Untuk mencapai tujuan ini maka dipilih metode pembelajaran sebagai berikut:
a. Belajar mandiri.
b. Kuliah.
c. Diskusi kelompok.
d. Bedside teaching.
e. Praktikum.
f. Supervisi tindakan.
g. Melakukan tindakan mandiri.
Mahasiswa harus mengerti dan menguasai:
• Teknik debridement keratosis obturan.
• Komplikasi tindakan yang dilakukan.
Tujuan 5. Mampu melakukan work-up penderita keratosis obturans liang
telinga.
Untuk mencapai tujuan ini maka dipilih metode Pembelajaran sebagai berikut:
4
Modul I.1.3 – Benda Asing Liang Telinga
a. Belajar mandiri.
b. Diskusi kelompok.
c. Supervisi tindakan.
d. Melakukan tindakan mandiri.
Mahasiswa harus mengerti dan menguasai:
• Hal-hal yang harus diawasi dan dijelaskan kepada pasien saat
menjalani terapi dan setelah terapi keratosis obturan.
H. EVALUASI
1. Pada awal pertemuan dilaksanakan pretest dalam bentuk tertulis dan lisan sesuai
dengan tingkat masa pendidikan yang bertujuan untuk menilai pengetahuan awal
yang dimiliki peserta didik, serta untuk mengidentifikasi kekurangan yang ada.
Materi pretest terdiri atas:
- Anatomi, histologi, dan fisiologi liang telinga.
- Patogenesis dan patofisiologi keratosis obturan.
- Gejala dan tanda klinis keratosis obturan.
- Penegakan diagnosis keratosis obturan.
- Tata laksana keratosis obturan.
- Follow up keratosis obturan.
2. Selanjutnya dilakukan “small group discussion” bersama dengan fasilitator untuk
membahas kekurangan yang teridentifikasi, membahas isi dan hal-hal yang
berkenaan dengan penuntun belajar, kesempatan yang akan diperoleh pada saat
bedside teaching dan proses penilaian.
3. Peserta didik diwajibkan untuk mengaplikasikan langkah-langkah yang tertera
dalam penuntun belajar melalui metode bedside teaching pada pasien
sesungguhnya dengan pengawasan fasilitator dan mengisi formulir penilaian
sebagai berikut:
- Perlu perbaikan: pelaksanaan belum benar atau sebagian langkah tidak
dilaksanakan.
- Cukup: pelaksanaan sudah benar tetapi tidak efisien, misal pemeriksaan
terdahulu lama atau kurang memberi kenyamanan kepada pasien.
- Baik: pelaksanaan benar dan baik (efisien).
5
Modul I.1.3 – Benda Asing Liang Telinga
Kuesioner:
1. Sebelum pembelajaran
Soal:
1. Keratosis obturan adalah penyakit pada telinga bagian tengah.
(Benar/Salah)
2. Penyebab keratosis obturan adalah migrasi epitel kulit liang telinga yang
abnormal. (Benar/Salah)
3. Pasien dengan keratosis obturan mengeluh keluar cairan dari telinga disertai
rasa nyeri. (Benar/Salah)
4. Penatalaksanaan keratosis obturan adalah debridemen dan pembersihan liang
telnga secara berkala. (Benar/Salah)
5. Keratosis obturan adalah penyakit yang diturunkan.
Jawaban:
1. Salah.
2. Benar.
3. Salah.
4. Benar.
5. Salah.
6
Modul I.1.3 – Benda Asing Liang Telinga
2. Akhir Pembelajaran
Soal:
1. Jelaskan patofisiologi terjadinya keratosis obturans liang telinga
2. Jelaskan gejala dan tanda klinis keratosis obturans liang telinga
3. Jelaskan penatalaksanaan utama keratosis obturans liang telinga
Jawaban:
a. Keratosis obturans disebabkan oleh migrasi epitel abnormal dari kulit liang
telinga, biasanya berhubungan dengan sinusitis atau bronkiektasis. Kelainan
ini ditandai dengan adanya akumulasi deskuamasi keratin dalam jumlah besar
pada osseus kanalis akustikus eksternus. Keratosis obturans dapat terjadi
dalam 2 bentuk, bentuk primer dan sekunder. Pasien dengan bentuk primer
biasanya disebabkan oleh migrasi epitel abnormal dari kulit liang telinga dan
sering terjadi pada usia dibawah 40 tahun. Pada bentuk sekunder, lebih sering
terjadi pada laki-laki usia lanjut dan biasanya disebabkan oleh terhalangnya
migrasi dari keratin liang telinga akibat serumen yang keras dan padat yang
dalam waktu lama menyumbat di liang telinga. Pada keadaan lanjut, sebagai
respon terhadap iritasi kronis dan infeksi, epitel skuamosa tipis yang melapisi
kanal dapat menjadi likenifikasi (menebal) dan juga tersumbat oleh debris-
debris padat dan stenosis sekunder.
b. Pasien dengan keratosis obturans mengeluhkan nyeri telinga, gatal atau keluar
cairan dan dapat menyebabkan penurunan pendengaran (tuli konduktif). Liang
telinga membengkak dan kulit liang telinga tampak hiperemis, tampak massa
keratin memenuhi liang telinga, kadang terdapat jaringan granulasi. Membran
timpani terlihat menebal.
c. Penatalaksanaan keratosis obsturans meliputi debridement/pembersihan liang
telinga secara berkala. Penambahan terapi antibiotik dan kortikosteroid
ototopikal dapat mengurangi inflamasi jaringan dan munculnya infeksi
sekunder.
7
Modul I.1.3 – Benda Asing Liang Telinga
KEGIATAN KASUS
I. KAJI ULANG DIAGNOSIS & PROSEDUR OPERATIF
• Nama
• Diagnosis
• Informed Choice & Informed Consent
• Rencana Tindakan
• Persiapan Sebelum Tindakan
II. PERSIAPAN PROSEDUR DEBRIDEMENT KERATOSIS OBTURANS
Persiapan alat :
1. Suction/penghisap.
2. Cotton applicator/kapas pemintal.
3. Pengait serumen.
4. Forsep aligator.
5. Alat irigasi: syringe, cairan irigasi, cawan ginjal,
handuk.
6. Anestesi lokal dengan Xylocain spray/jelly.
7. Lampu kepala/otoskop.
8. Mikroskop.
III. PROSEDUR TINDAKAN
a. Jelaskan pada pasien tindakan yang akan
dilakukan.
b. Pasien duduk bersandar pada posisi nyaman di
kursi periksa.
c. Membersihkan liang telinga dengan penghisap,
pengait serumen, kapas pemintal dan forsep
alligator atau irigasi secara hati-hati dan
8
Modul I.1.3 – Benda Asing Liang Telinga
K. DAFTAR TILIK
KEGIATAN NILAI
1. Kaji ulang diagnosis.
2. Persiapan tindakan.
3.Melakukan debridement keratosis obturans dengan instrumen
yang sesuai.
4. Memberikan terapi setelah tindakan.
9
Modul I.1.3 – Benda Asing Liang Telinga
L. MATERI PRESENTASI
10
Modul I.1.3 – Benda Asing Liang Telinga
11
Modul I.1.3 – Benda Asing Liang Telinga
12
Modul I.1.3 – Benda Asing Liang Telinga
13
Modul I.1.3 – Benda Asing Liang Telinga
14
Modul I.1.3 – Benda Asing Liang Telinga
15
Modul I.1.3 – Benda Asing Liang Telinga
16
Modul I.1.3 – Benda Asing Liang Telinga
17
Modul I.1.3 – Benda Asing Liang Telinga
18
Modul I.1.3 – Benda Asing Liang Telinga
M. MATERI BAKU
Definisi
Keratosis obturans adalah akumulasi plak yang besar dari deskuamasi keratin di
kanalis akustikus eksternus (KAE). Keratosis obturans merupakan bentuk dari dermatitis
yang ditandai inflamasi dan peningkatan vaskularisasi kulit KAE. Inflamasi kronik
menyebabkan peningkatan deskuamasi dari kulit KAE dan mengurangi migrasi abnormal
epitel.
19
Modul I.1.3 – Benda Asing Liang Telinga
pergerakan sel epitel pada penyakit ini terbalik. Kegagalan migrasi ini atau adanya
obstruksi pada saat migrasi yang disebabkan oleh lapisan keratin menyebabkan akumulasi
debris epitel pada bagian dalam KAE. Hal ini sesuai dengan studi tentang kulit normal
pada telinga luar yang dilakukan oleh Alberti pada tahun 1964 menunjukkan bahwa
secara normal terdapat migrasi epitel dari membran timpani ke KAE.
Menurut Mayer, Paparella dan Shumrick keratosis obturans dapat disebabkan oleh
beberapa faktor antara lain produksi berlebihan dari sel epitel, kegagalan migrasi epitel
kulit dan ketidakmampuan mekanisme pembersihan diri oleh KAE. Mekanisme
pembersihan diri oleh KAE merupakan hasil dari kordinasi proses maturasi keratin dan
migrasi sel ke luar. Pada keratosis obturans mekanisme ini tidak berfungsi. Tahun 1956
Morrison melaporkan adanya hubungan bronkiektasis dan sinusitis dengan kejadian
keratosis obturans. Bronkiektasis disebabkan oleh stimulus refleks simpatis dari cabang
trakeobronkial yang merangsang refleks sekresi serumen sehingga menyebabkan
obstruksi keratin dan pembentukan sumbatan epidermal.
Klasifikasi
Menurut Hawke dan Shanker terdapat dua tipe keratosis obturans. Tipe pertama
terdapat inflamasi kronik pada jaringan subepitel dan ini menyebabkan terjadinya
hiperplasia epitel dan pembentukan material skuamous pada KAE. Tipe yang kedua
terjadi secara bilateral dan mungkin disebabkan oleh kelainan herediter atau dapatan
dimana ditemukan enzim yang belum dikenal yang berperan pada pemisahan lapisan
superfisial dari keratin, kondisi ini bisa terjadi jika lapisan tersebut bergerak ke arah luar
selama proses migrasi normal.
Soucek dan Michaels berpendapat adanya migrasi epitel yang abnormal mungkin
berasal dari membran timpani sendiri atau KAE, dengan demikian dapat menimbulkan
dua jenis penyakit yang berbeda. Perbedaan ini jauh dari tipe yang dideskripsikan oleh
Hawke dan Shanker.
Diagnosis
Keratosis obturans pada umunya mengenai usia muda, kurang dari 40 tahun,
gangguan pendengaran tipe konduksi bilateral, nyeri yang hebat, KAE lebih lebar dan
hiperemi, tinnitus, membran timpani yang utuh tapi lebih tebal,dan jarang ditemukan
20
Modul I.1.3 – Benda Asing Liang Telinga
otore. Gangguan pendengaran dan rasa nyeri yang hebat merupakan keluhan sekunder
yang selalu terjadi akibat penumpukan keratin di KAE.
Pemeriksaan otoskopi didapatkan penumpukan gumpalan debris keratin pada KAE
berwarna putih yang berisi serumen berwarna coklat pada bagian tengah . Adanya
gumpalan keratin dalam KAE meningkatkan tekanan pada dinding KAE sehingga terjadi
remodeling tulang.
21
Modul I.1.3 – Benda Asing Liang Telinga
Diagnosis Banding
Keratosis obturans perlu dibedakan dengan kolesteatoma eksterna karena
mempunyai gambaran klinis yang mirip, sedangkan penanganannya berbeda.
Kolesteatoma eksterna ditandai dengan lesi yang terbentuk oleh epitel skuamosa berlapis
berkeratin yang terjadi pada tulang temporal, tulang dinding inferior dan posterior KAE
paling sering terkena. Terdapat beberapa hal yang membedakan keratosis obturans
dengan kolesteatoma.
22
Modul I.1.3 – Benda Asing Liang Telinga
Terapi
Pengobatan pada keratosis obturans berupa pengangkatan desquamated squamous
epithelium. Selain itu, dapat dilakukan operasi dengan general anestesi untuk debridement
canal plasty dan timpanomastoidektomi dapat dilakukan untuk mencegah berlanjutnya
erosi tulang. Penyakit ini biasanya dapat dikontrol dengan melakukan pembersihan KAE
secara periodik setiap satu sampai tiga bulan sekali untuk mengurangi akumulasi debris
dan mengobati peradangan yang mendasarinya. Namun, mayoritas kasus keratosis
obturans karena kegagalan mekanisme migrasi secara normal dan akan terus mengalami
re-akumulasi sehingga membutuhkan pembersihan keratinasi seumur hidup. Pemberian
obat tetes telinga dari campuran alkohol atau gliserin dalam peroksida 3%, tiga kali
seminggu sering kali dapat menolong. Kortikosteroid lokal mempunyai peranan penting
mengurangi inflamasi.
Farrior (tahun 1990) merekomendasikan setelah pembersihan debris, KAE ditutup
dengan kasa basah antibiotik dan kortikosteroid untuk mengurangi inflamasi akut . Pasien
yang telah mengalami erosi tulang KAE, seringkali diperlukan tindakan bedah dengan
melakukan tandur jaringan ke bawah kulit untuk menghilangkan gaung di dinding KAE,
yang penting ialah membuat agar KAE berbentuk seperti corong, sehingga pembersihan
KAE secara spontan lebih terjamin.
Komplikasi
Keratosis obturans pada umumnya suatu kondisi tidak berbahaya tetapi bisa
menimbulkan komplikasi serius. Keratosis obturans bisa menyebabkan erosi tulang yang
23
Modul I.1.3 – Benda Asing Liang Telinga
24
MODUL UTAMA
OTOLOGI
GANGGUAN TELINGA LUAR
MODUL I.1.4
KOLESTEATOMA EKSTERNA
EDISI III
KOLEGIUM
ILMU KESEHATAN TELINGA HIDUNG TENGGOROK
BEDAH KEPALA LEHER
2022
DAFTAR ISI
C. REFERENSI ................................................................................................. 1
D. KOMPETENSI ............................................................................................. 2
H. EVALUASI .................................................................................................. 4
M. MATERI BAKU......................................................................................... 20
Modul I.1.4 – Kolesteatoma Eksterna
MODUL I.1.4
OTOLOGI – GANGGUAN TELINGA LUAR : KOLESTEATOMA EKSTERNA
A. WAKTU PEMBELAJARAN
Proses Pengembangan Kompetensi Alokasi Waktu
Sesi dalam kelas 2 x 60 menit (classroom session)
Sesi dengan fasilitasi pembimbing 3 x 60 menit (coaching session)
Sesi praktik dan pencapaian kompetensi 2 x 60 menit (facilitation and assessment)
B. PERSIAPAN SESI
1. Materi presentasi: Power point.
2. Kasus: Kolesteatoma eksterna.
3. Sarana dan Alat Bantu Latih: (disesuaikan dengan pencapaian kompetensi)
• Penuntun belajar (learning guide): terlampir.
• Tempat belajar (training setting): ruang praktikum (skills lab),
Poliklinik THT, kamar operasi, ruang rawat inap.
• Model/manekin telinga.
• Komputer/laptop.
• In focus.
C. REFERENSI
1. Antonio SM, Strasnick B. Diseases of the Auricle, External Auditory Canal
and Tympanic Membrane. In: Gulya AJ, Minor LB, Poe DS, eds. Glasscock-
Shambaugh Surgery of the Ear. 6th ed. Connecticut: People’s Medical
Publishing House Shelton ; 2010. P. 386.
2. Dhingra PL Anatomy of ear. In: Dhingra PL, ed. Diseases of Ear, Nose and
Throat & Head and Neck Surgery. 6th ed. New York: Elsevier; 2014.p.2-3.
3. Naim R, Linthicum F, Shen T, Bran G, Hormann K. Classification of the
external auditory canal cholesteatoma. Laryngoscope 2005; 115:455-60.
4. Owen HH,Rosborg J, Gaihede M. Cholesteatoma of the external ear canal
:etiological factors, symptoms and clinical findings in a series of 48 cases.
BMC Ear, Nose and Throat Disorder 2006;6(16):1-9.
5. Hanson MB, Lucente FE. Diseases of the External Ear. In: Wackym PA, Snow
Jr JB, eds. Ballenger’s Otorhinolaryngology 18 Head and Neck Surgery.18th
ed. Connecticut: People’s Medical Publishing House Shelton; 2016. P 696-7.
6. Non infectious Disorders of the Ear. In :Chan Y, Goddard JC,eds. KJ Lee’s
Essential Otolaryngology Head & Neck Surgery.11th ed. New York: Mc Graw
Hill Education; 2016. P 426.
7. Lesser THJ. Keratosis Obturans, Primary Auditory Canal Cholesteatoma and
Benign Necrotizing Otitis Externa. In: Watkinson JC, Clarke RW,eds. Scott-
Brown’s Otorhinolaryngology Head & Neck Surgery. Vol 2. Pediatrics The
Ear Skull Base. 8th ed. Florida: CRC Press. Taylo and Francis Group; 2018.
P.941-46.
1
Modul I.1.4 – Kolesteatoma Eksterna
8. Linstrom CJ, Lucente FE. Disease of the external ear. In: Johnson JT, Rosen
CA, eds. Bailey’s Head and Neck Surgery-Otolaryngology. 5th ed. China:
Lippincott Williams & Wilkins: 2014. p. 2351.
D. KOMPETENSI
1. Pengetahuan
Setelah mengikuti sesi ini peserta didik mampu:
a. Menjelaskan anatomi, histologi, topografi, dan fisiologi liang telinga.
b. Menjelaskan definisi, etiopatogenesis, patofisiologi, klasifikasi, dan
stadium kolesteatoma eksterna.
c. Menjelaskan gejala dan gambaran klinis kolesteatoma eksterna.
d. Mengetahui dan mengeri diagnosis banding kolesteatoma eksterna.
e. Mengerti dan dapat menjelaskan penatalaksanaan kolesteatoma eksterna.
f. Mengerti dan dapat menjelaskan work up bagi penderita kolesteatoma
eksterna.
2. Keterampilan
Setelah mengikuti sesi ini peserta didik diharapkan terampil dalam:
a. Melakukan anamnesis pasien kolesteatoma eksterna.
b. Melakukan pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang, termasuk
otomikroskopi, pemeriksaan x-ray, dan CT scan.
c. Menegakkan diagnosis kerja kolesteatoma eksterna.
d. Melakukan tata laksana operatif mulai persiapan operasi hingga mampu
mengatasi komplikasi yang terjadi, dan terapi kolesteatoma eksterna.
e. Melakukan work up pasien kolesteatoma eksterna.
2
Modul I.1.4 – Kolesteatoma Eksterna
F. TUJUAN PEMBELAJARAN
Tujuan Pembelajaran Umum
Setelah mengikuti sesi ini peserta didik terampil dalam :
1. Mampu menegakkan diagnosis klinis kolesteatoma eksterna berdasarkan
anamnesis dan pemeriksaan fisik.
2. Mampu mentatalaksana secara mandiri kasus kolesteatoma eksterna.
G. METODE PEMBELAJARAN
Untuk mencapai tujuan ini maka dipilih metode pembelajaran berikut ini:
a. Presentasi modul.
b. Mini lecture.
c. Journal reading.
d. Bedside teaching.
e. Praktikum.
f. Supervisi tindakan.
g. Tindakan mandiri.
3
Modul I.1.4 – Kolesteatoma Eksterna
H. EVALUASI
1. Pada awal pertemuan dilaksanakan pre test dalam bentuk essay dan oral sesuai
dengan tingkat masa pendidikan yang bertujuan untuk menilai kinerja awal yang
dimiliki peserta didik dan untuk mengidentifikasi kekurangan yang ada. Materi
pretest terdiri atas:
a. Anatomi, histologi, dan fisiologi liang telinga.
b. Penegakan diagnosis.
c. Teknik operasi.
d. Follow up.
2. Selanjutnya dilakukan “small group discussion” bersama dengan fasilitator untuk
membahas kekurangan yang teridentifikasi, membahas isi dan hal-hal yang
berkenaan dengan penuntun belajar, kesempatan yang akan diperoleh pada saat
bedside teaching dan proses penilaian.
3. Setelah mempelajari penuntun belajar ini, mahasiswa diwajibkan untuk
mengaplikasikan langkah-langkah yang tertera dalam penuntun belajar dalam
bentuk “role play” dan teman-temannya (Peer Assisted Evaluation) atau kepada
SP (Standardized Patient). Pada saat tersebut, yang bersangkutan tidak
diperkenankan membawa penuntun belajar, penuntun belajar yang dipegang oleh
teman-temannya untuk melakukan evaluasi (Peer Assisted Evaluation) setelah
dianggap memadai, melalui metode bedside teaching dibawah pengawasan
fasilitator, peserta dididik mengaplikasikan penuntun belajar kepada model
anatomi dan setelah kompetensi tercapai peserta didik akan diberikan kesempatan
untuk melakukannya pada pasien sesungguhnya. Pada saat pelaksanaan evaluator
melakukan pengawasan langsung (direct observation), dan mengisi formulir
penilaian sebagai berikut:
a. Perlu perbaikan: pelaksanaan belum benar atau sebagian langkah tidak
dilaksanakan.
b. Cukup: pelaksanaan sudah benar tetapi tidak efisien, misal pemeriksaan
terdahulu lama atau kurang memberi kenyamanan kepada pasien.
c. Baik: pelaksanaan benar dan baik (efisien).
4. Setelah selesai bedside teaching, dilakukan kembali diskusi untuk mendapatkan
penjelasan dari berbagai hal yang tidak memungkinkan dibicarakan di depan
pasien, dan memberi masukan untuk memperbaiki kekurangan yang ditemukan.
a. Self assesment dan Peer Assisted Evaluation dengan mempergunakan
penuntun belajar.
b. Pendidik/ fasilitas:
1. Pengamatan langsung dengan memakai evaluation checklist form
(terlampir).
2. Penjelasan lisan dari peserta didik/diskusi.
3. Kriteria penilaian keseluruhan : cakap/tidak cakap/lalai.
c. Di akhir penilaian peserta didik diberi masukan dan bila diperlukan diberi
tugas yang dapat memperbaiki kinerja (task-based medical education).
d. Pencapaian pembelajaran:
4
Modul I.1.4 – Kolesteatoma Eksterna
B. Akhir pembelajaran
Soal:
1. Jelaskan etiopatogenesis terjadinya kolesteatoma eksterna.
2. Jelaskan faktor predisposisi terjadinya kolesteatoma eksterna.
3. Jelaskan pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang yang diperlukan
untuk mendiagnosis kolesteatoma eksterna.
4. Jelaskan diagnosis banding kasus kolesteatoma eksterna.
5. Jelaskan tata laksana untuk kasus kolesteatoma eksterna.
Jawaban:
1. Kolesteatoma eksterna terjadi karena adanya invasi jaringan epitel skuamosa
ke dalam tulang KAE yang bersifat lokal. Etiologi belum dapat dijelaskan
secara pasti, diduga merupakan proses reaktif akibat osteitis. Pada kondisi
5
Modul I.1.4 – Kolesteatoma Eksterna
normal, epitel KAE yang mengalami deskuamasi bermigrasi kea rah latera,
namun pada kolesteatoma eksterna epitel gagal bermigrasi ke arah lateral.
Debris keratin yang terperangkap menumpuk di KAE dan membentuk
kantong.
2. Faktor predisposisi terjadinya kolesteatoma adalah faktor mekanik
(penggunaan alat bantu dengar), iskemia lokal, dan perubahan migrasi epitel
dan kelenjar serumen yang terkait usia.
3. Pemeriksaan fisik yang dilakukan adalah otoskopi, otomikroskopi.
Pemeriksaan penunjang yang dilakukan adalah CT scan (tampak massa
jaringan lunak, destruksi KAE yang ireguler, dan gambaran fragmen tulang,
serta pemeriksaan audiometri (normal atau gangguan pendengaran ringan).
4. Diagnosis banding kolesteatoma eksterna adalah keratosis obturan.
5. Tata laksana kolesteatoma eksterna adalah konservatif (pembersihan debris
keratin berkala, terpi lokal dengan salisilat dan kortison, pemberian salep
antibiotic dan hidrokortison selama 1 minggu) dan terapi operatif (dengan
kanalplasti, timpanoplasti, atau mastoidektomi bila diperlukan).
PENUNTUN BELAJAR
KEGIATAN KASUS
I. KAJI ULANG DIAGNOSIS & PROSEDUR OPERATIF
• Nama
6
Modul I.1.4 – Kolesteatoma Eksterna
KEGIATAN KASUS
• Diagnosis
• Informed Choice & Informed Consent
• Rencana Tindakan
• Persiapan Sebelum Tindakan
II. PERSIAPAN PROSEDUR DEBRIDEMAN KOLESTEATOMA EKSTERNA
- Anestesi lokal dengan Lidokain 10% pada tampon kemudian
dipasang di MAE
- Menyiapkan mikroskop dan alat-alat yang digunakan
III. PROSEDUR OPERASI
- Tampon dilepas
- Injeksi Lidokain : epinefrin = 1:100.000 pada KAE
- Ekstraksi kolesteatoma dengan haak tajam dan alat penghisap
sampai bersih dan tampak membran timpani
- Dioleskan salep antibiotika dan hidrokortison
K. DAFTAR TILIK
KEGIATAN NILAI
7
Modul I.1.4 – Kolesteatoma Eksterna
KEGIATAN KASUS
I. KAJI ULANG DIAGNOSIS & PROSEDUR OPERATIF
• Nama
• Diagnosis
• Informed Choice & Informed Consent
• Rencana Tindakan
• Persiapan Sebelum Tindakan
II. PERSIAPAN PROSEDUR KURETASE & KANALPLASTY
Prinsip operasi :
- Inj antibiotika preoperative
- Menyiapkan mikroskop dan alat-alat yang digunakan
- Cuci tangan, memakai baju operasi dan sarung tangan
- Posisi pasien terlentang dengan kepala menoleh kea rah sisi
sehat
- Desinfeksi dengan antiseptic dan menutup lapangan operasi
dengan doek steril
III. PROSEDUR OPERASI
- Injeksi Lidokain : epinefrin = 1:100.000 pada KAE
- Ekstraksi kolesteatoma sampai bersih
- Insisi kulit KAE pada daerah lesi
- Kuretase pada pars osseus KAE
- Bila kulit KAE pada bawah lesi buruk maka dilakukan eksisi
dan ditutup dengan fascia atau perikondrium
- Kulit KAE dikembalikan
- Tampon KAE antibiotika
8
Modul I.1.4 – Kolesteatoma Eksterna
Ï: Tidak memuaskan: Langkah atau kegiatan tidak dapat ditampilkan sesuai dengan
prosedur atau panduan standar
T/T: Tidak Ditampilkan: Langkah, kegiatan atau keterampilan tidak diperagakan oleh
peserta selama proses evaluasi oleh pelatih
KEGIATAN NILAI
L. MATERI PRESENTASI
9
Modul I.1.4 – Kolesteatoma Eksterna
10
Modul I.1.4 – Kolesteatoma Eksterna
11
Modul I.1.4 – Kolesteatoma Eksterna
12
Modul I.1.4 – Kolesteatoma Eksterna
13
Modul I.1.4 – Kolesteatoma Eksterna
14
Modul I.1.4 – Kolesteatoma Eksterna
15
Modul I.1.4 – Kolesteatoma Eksterna
16
Modul I.1.4 – Kolesteatoma Eksterna
17
Modul I.1.4 – Kolesteatoma Eksterna
18
Modul I.1.4 – Kolesteatoma Eksterna
19
Modul I.1.4 – Kolesteatoma Eksterna
M. MATERI BAKU
Definisi
Kolesteatoma adalah lesi (massa) kistik yang dibatasi oleh epitel skuamus
berlapis berkeratin dan berisi debris keratin yang terdapat pada tulang temporal (telinga
tengah, apex petrosa dan KAE). Lesi ini bersifat mengerosi tulang. Kolesteatoma
Eksterna adalah invasi jaringan epitel skuamosa ke dalam tulang KAE yang bersifat lokal.
Erosi biasanya terjadi pada tulang dinding inferior dan posterior KAE.3 Kolesteatoma
eksterna pertama kali dilaporkan oleh Toynbee pada tahun 1850, dengan deskripsi lesi
pada KAE yang berisi sisik epidermis.
20
Modul I.1.4 – Kolesteatoma Eksterna
Bagian Kartilago
Bagian kartilago dari KAE merupakan lanjutan dari dari kartilago aurikula.
Bagian ini membentuk sepertiga luar dari KAE dengan panjang delapan milimeter.
Terdapat dehisensi kartilago pada dinding anterior yang dikenal dengan fisura Santorini.
Infeksi atau tumor KAE bisa menyebar ke kelenjar parotis atau sendi temporo-mandibula
melalui dehisensi ini, atau sebaliknya.
Epitel KAE merupakan kelanjutan dari epitel aurikula dan epitel membran
timpani. Kulit pada bagian ini tebal (0,5-1 mm) dan mempunyai kelenjar serumen dan
kelenjar pilosebaseus yang mensekresi serumen (earwax), seperti terlihat pada gambar 2.
Rambut hanya terdapat pada bagian ini, sehingga furunkel hanya bisa terjadi pada
sepertiga lateral dari KAE.
21
Modul I.1.4 – Kolesteatoma Eksterna
Bagian Tulang
Bagian tulang membentuk duapertiga sebelah medial dari KAE, dengan panjang
kurang lebih 16 mm. Bagian anteroinferior terdapat cekungan yang disebut resesus
anterior yang merupakan tempat menumpuknya cairan dan debris pada infeksi KAE dan
telinga tengah. Pada bagian anteroinferior ini juga bisa terdapat dehisensi tulang yang
disebut foramen Huschke yang memungkinkan penyebaran infeksi dari parotis dan
sebaliknya. Dehisensi tersebut paling banyak ditemukan pada anak usia sampai empat
tahun dan jarang pada dewasa.
Kulit yang melingkupi bagian ini tipis dengan ketebalan kurang lebih 0,2 mm, dan
berlanjut sampai membran timpani. Kulit yang tipis tersebut menyebabkan mudah terjadi
trauma. Tidak terdapat folikel rambut dan kelenjar serumen pada bagian ini. Inervasi
dinding anterior KAE oleh nervus aurikulotemporal (N. V3). Inervasi dinding posterior
dan inferior oleh cabang auricular dari nervus vagus (N. X). Dinding posterior juga
mendapat inervasi dari serabut sensoris nervus fasialis (N. VII) melalui cabang aurikularis
dari nervus vagus. Aliran limfa KAE merupakan saluran yang penting pada penyebaran
infeksi dan neoplasma. Limfa dari bagian anterior dan superior KAE mengalir ke kelenjar
limfa preaurikular dan kelenjar limfa leher dalam sebelah superior. Limfa dari bagian
inferior KAE mengalir ke kelenjar limfa infraaurikular di dekat angulus mandibula.
Bagian posterior KAE mengalir ke kelenjar limfa retroaurikular dan kelenjar limfa leher
dalam superior.
Etiopatogenesis
Etiologi Kolesteatoma eksterna primer masih belum jelas, namun ada hipotesis yaitu
merupakan proses reaktif akibat osteitis. Faktor yang diduga mempengaruhi antara lain
faktor mekanik (penggunaan alat bantu dengar), iskemia lokal, dan perubahan migrasi
epitel dan kelenjar serumen yang terkait usia. Serumen lebih kering pada usia tua yang
akan menyebabkan akumulasi sel epitel.
Epitel KAE yang mengalami deskuamasi bermigrasi ke arah lateral pada orang
normal. Epitel gagal bermigrasi ke arah lateral pada penderita. Debris keratin yang
terperangkap akan menumpuk di KAE dan membentuk kantong. Kecepatan migrasi sel
epitel pada dinding inferior KAE pada penderita lebih lambat diduga akibat kondisi
hipoksia karena berkurangnya aliran darah pada area tersebut. Hipoksia dapat memicu
22
Modul I.1.4 – Kolesteatoma Eksterna
Klasifikasi
Beberapa klasifikasi diajukan oleh para pakar, seperti pada tabel 1.
23
Modul I.1.4 – Kolesteatoma Eksterna
Stadium
Stadium dapat ditentukan dengan pemeriksaan HRCT tulang temporal pada tabel 2.
Tabel 2. Stadium kolesteatoma eksterna
Stadium kolesteatoma eksterna
Stadium I Hiperplasia dan hiperemi epitel KAE. Peningkatan kecepatan
apoptosis pada permukaan kolesteatoma.
Stadium II Inflamasi lokal dari epitel yang mengalami hiperproliferasi dan
gambaran periosteitis. Tidak terdapat destruksi tulang KAE. Terdapat
akumulasi debris keratin. Secara klinis terdapat keluhan nyeri tumpul
dan otore bila terjadi infeksi sekunder.
a. Permukaan epitel intak, tanpa terlihat tulang KAE.
b. Terdapat defek epitel, dan tulang KAE terlihat.
Stadium III Destruksi tulang KAE dengan disertai sekuestrasi tulang
(osteonekrosis aseptik). Defek epitel sampai ke tulang. Akumulasi
debris keratin dengan disertai infeksi sekunder dan otore.
Stadium IV Destruksi spontan dari struktur yang berdekatan (sesuai subkelas)
dengan disertai otore, gangguan pendengaran, parese nervus fasialis,
thrombosis sinus sigmoid, dan abses intrakranial.
Subkelas M : Mastoid
Subkelas S : Skull base (dasar tengkorak) dan sinus sigmoid
Subkelas J : Temporo-mandibular joint
Subkelas F : Nervus fasialis
24
Modul I.1.4 – Kolesteatoma Eksterna
A B
C D
Gambar 3. Stadium kolesteatome eksterna pada gambaran CT scan tulang temporal. (A)
Stadium I, lesi terbatas pada KAE. (B). Stadium II, lesi mengenai telinga tengah. (C)
Stadium III, lesi mengenai kavum mastoid. (D) Stadium IV, lesi meluas keluar tulang
temporal.
Gambaran Klinis
25
Modul I.1.4 – Kolesteatoma Eksterna
Gambar 4. Gambar KAE kanan. Kolesteatoma dan debris skuama pada dinding
posterior KAE. Tampak membran timpani intak.
Diagnosis Banding
26
Modul I.1.4 – Kolesteatoma Eksterna
Diagnosis
Diagnosis ditegakkan berdasar anamnesis, pemeriksaan klinis, HRCT dan histopatologi.
Anamnesis dapat berupa nyeri telinga unilateral, otore, buntu dan kurang pendengaran.
Pada pemeriksaan didapatkan kolesteatoma, sekret dan pada umumnya membran timpani
normal. Temuan pada HRCT tergantung stadiumnya.
Terapi
Terapi kolesteatoma eksterna bergantung beratnya penyakit. Tujuan dari terapi
adalah eradikasi penyakit dengan preservasi struktur normal dan mengembalikan migrasi
epitel ke arah normal.
Terapi konservatif dilakukan bila kolesteatoma dan erosi tulang masih terbatas di
KAE. Pembersihan debris keratin berkala, dan terapi lokal dengan salisilat dan kortison.
Dapat pula dengan kasa yang diberi salep antibiotik dan hidrokortison selama satu
minggu, dan diulang setiap tiga bulan. Pemakaian 5-fluorourasil topikal dapat
dipertimbangkan.
Tindakan operatif dilakukan bila terdapat salah satu dari : perluasan ke telinga
tengah atau mastoid, terdapat komplikasi atau berpotensi terjadi komplikasi, otore tidak
tertangani dengan terapi konservatif, atau penurunan pendengaran signifikan. Prinsip
tindakan bedah adalah membersihkan jaringan patologis. Tindakan bedah mulai dari
pembersihan dengan cara kuretase sekuestrasi tulang di KAE dengan anestesi lokal,
kanalplasti, atau mastoidektomi, tergantung lokasi lesi dan luasnya destruksi tulang.
Tindakan operatif kolesteatoma eksterna berdasarkan stadium secara ringkas dapat dilihat
pada tabel 3.
Tindakan operatif dilakukan dengan eksisi kolesteatoma hingga mencapai 1-2
milimeter dari batas kulit KAE normal. Tulang yang mengalami erosi dibersihkan dengan
mata bor diamond untuk meratakan tepi yang tajam. Defek pada tulang ditutup dengan
graft kulit split thickness, graft jaringan lunak, kartilago aurikula ipsilateral, atau fasia
temporalis.
27
Modul I.1.4 – Kolesteatoma Eksterna
Komplikasi
Komplikasi kolesteatoma eksterna sesuai dengan perluasan destruksi. Komplikasi
tersebut antara lain: erosi tulang-tulang pendengaran, fistula labirin, dan parese nervus
fasialis. Komplikasi tersebut akibat perluasan ke mastoid yang luas. Perluasan ke arah
anterior menyebabkan destruksi sendi temporo-mandibula. Gangguan pendengaran tipe
konduksi bisa terjadi bila terjadi obliterasi KAE.
28
MODUL UTAMA
OTOLOGI
GANGGUAN TELINGA LUAR
MODUL I.1.5
INFLAMASI TELINGA LUAR
EDISI III
KOLEGIUM
ILMU KESEHATAN TELINGA HIDUNG TENGGOROK BEDAH
KEPALA LEHER
2022
DAFTAR ISI
C. REFERENSI .......................................................................................................... 1
D. KOMPETENSI ...................................................................................................... 2
H. EVALUASI ........................................................................................................... 5
M. MATERI BAKU.................................................................................................. 33
Modul I.1.5– Inflamasi Telinga Luar
MODUL I.1.5
OTOLOGI – GANGGUAN TELINGA LUAR : INFLAMASI TELINGA
LUAR
A. WAKTU PEMBELAJARAN
Proses pengembangan Alokasi waktu
kompetensi
Sesi dalam kelas 4 x 60 menit (classroom session)
Sesi praktikum 2 x 60 menit (coaching session)
Sesi praktik dan pencapaian 2 x 60 menit (facilitation and
kompetensi assessment)
B. PERSIAPAN SESI
1. Materi presentasi: Power point
2. Kasus: Inflamasi Telinga Luar.
3. Sarana dan alat bantu latih : (disesuaikan dengan pencapaian kompetensi)
o Penuntun belajar (learning guide): terlampir.
o Tempat belajar (training setting): ruang kuliah, ruang praktikum,
instalasi rawat jalan, instalasi rawat inap, kamar operasi,.
o Model/ manekin (liang) telinga.
o Komputer/ Laptop.
o In focus.
C. REFERENSI
1. Becker W. Naumann HH, Pfalt CR, Outer Ear Infection in Nose and Throat
Disease, Second edition, Thieme Medical Publishers Inc., New York, 1994, p.
71-5.
2. Figueiredo RR, Azevedo AA, Kós AO, Tomita S. Complications of ent foreign
bodies: a retrospective study. Braz J Otorhinolaryngol. Jan-Feb 2008;74(1):7-
15.
3. Jung T.T.K, Jinn T.H. Disease of The External Ear. In Ballenger’s
Otorhinolaryngology Head and Neck Surgery 16th Edition. Ontario: BC
Decker Inc; 2003. p. 234-5.
1
Modul I.1.5– Inflamasi Telinga Luar
4. Kroon D.F, Strasnick B. Disease of the Auricle, External Auditory Canal, and
Tympanic Membrane. In Glasscock Shambaugh Surgery Of The Ear 5th
Edition. Ontario : BC Decker Inc;2003. p.351-2.
5. Lee .K.J. Noninfectious disorders of the ear. Essential Otolaryngology Head
and Neck Surgery 9th Edition. Elseiver Science Publishers, 2008, p. 345
D. KOMPETENSI
1. Pengetahuan
Setelah mengikuti sesi ini peserta didik mampu:
a. Menegakkan diagnosis inflamasi telinga luar berdasarkan anamnesis, dan
pemeriksaan fisik.
b. Menatalaksana secara mandiri kasus inflamasi telinga luar.
2. Keterampilan
Setelah mengikuti sesi ini peserta didik diharapkan terampil dalam :
a. Menjelaskan anatomi dan fisiologi liang telinga.
b. Menjelaskan patofisiologi inflamasi telinga luar.
c. Menjelaskan gambaran klinis inflamasi telinga luar.
d. Menegakkan diagnosis inflamasi telinga luar.
e. Melakukan penanganan inflamasi telinga luar dan komplikasinya.
f. Melakukan follow-up pasien inflamasi telinga luar.
2
Modul I.1.5– Inflamasi Telinga Luar
b. Maserasi kulit liang telinga akibat trauma mengorek liang telinga yang
memudahkan invasi bakteri patogen,
c. Otitis eksterna sirkumkripta telinga kanan.
d. Pemberian antibiotik topikal.
e. Tampon liang telinga dengan salep antibiotik dan dilepas setelah hari ke
2-3.
f. Antibiotik tetes telinga dengan atau tanpa tampon liang telinga.
g. Antibiotik oral diberikan jika terdapat gejala dan tanda infeksi sistemik
(seperti demam), Terapi gejala simptomatis seperti analgetik dapat
diberikan jika diperlukan.
F. TUJUAN PEMBELAJARAN
Tujuan Pembelajaran Umum
Setelah mengikuti sesi ini peserta didik terampil dalam :
a. Mampu menegakkan diagnosis klinis inflamasi telinga luar berdasarkan
anamnesis dan pemeriksaan fisik.
b. Mampu mentatalaksana secara mandiri kasus inflamasi telinga luar.
Tujuan Pembelajaran Khusus
Setelah mengikuti sesi ini peserta didik diharapkan terampil dalam :
a. Menjelaskan anatomi dan fisiologi liang telinga.
b. Menjelaskan patofisiologi inflamasi telinga luar.
c. Menjelaskan gambaran klinis inflamasi telinga luar.
d. Menegakkan diagnosis inflamasi telinga luar.
e. Melakukan penanganan inflamasi telinga luar dan komplikasinya.
f. Melakukan follow-up pasien inflamasi telinga luar.
G. METODE PEMBELAJARAN
Tujuan 1. Menjelaskan anatomi, histologi, topografi dan fisiologi telinga
luar.
Untuk mencapai tujuan ini maka dipilih metode pembelajaran berikut ini:
• Belajar mandiri.
• Diskusi kelompok.
Harus diketahui:
• Anatomi, histologi, dan topografi telinga luar.
• Fisiologi telinga luar.
Tujuan 2. Menjelaskan patofisiologi inflamasi telinga luar.
3
Modul I.1.5– Inflamasi Telinga Luar
Untuk mencapai tujuan ini maka dipilih metode pembelajaran berikut ini:
• Belajar mandiri.
• Tinjauan pustaka.
• Diskusi kelompok.
Harus diketahui:
• Patofisiologi inflamasi telinga luar.
Tujuan 3. Menjelaskan gambaran klinis inflamasi telinga luar.
Untuk mencapai tujuan ini maka dipilih metode pembelajaran berikut ini:
• Belajar mandiri.
• Tinjauan pustaka.
• Kuliah.
• Diskusi kelompok.
Harus diketahui:
• Gambaran klinis (gejala dan tanda) inflamasi telinga luar.
Tujuan 4. Menegakkan diagnosis inflamasi telinga luar.
Untuk mencapai tujuan ini maka dipilih metode pembelajaran berikut ini:
• Belajar mandiri.
• Kuliah.
• Diskusi kelompok.
• Bedside teaching.
• Praktik pada pasien.
Harus diketahui:
• Tanda dan gejala klinis inflamasi telinga luar.
Tujuan 5. Melakukan penanganan inflamasi telinga luar dan
komplikasinya.
Untuk mencapai tujuan ini maka dipilih metode pembelajaran berikut ini:
• Belajar mandiri.
• Kuliah.
• Diskusi kelompok.
• Praktikum.
• Bedside teaching.
4
Modul I.1.5– Inflamasi Telinga Luar
H. EVALUASI
1. Pada awal pertemuan dilaksanakan pretest dalam bentuk tertulis dan lisan
sesuai dengan tingkat masa pendidikan yang bertujuan untuk menilai
pengetahuan awal yang dimiliki peserta didik dan untuk mengidentifikasi
kekurangan yang ada. Materi pretest terdiri atas :
a. Anatomi dan fisiologi telinga luar.
b. Penegakan diagnosis inflamasi telinga luar.
c. Penatalaksanaan inflamasi telinga luar.
d. Follow up inflamasi telinga luar.
2. Selanjutnya dilakukan diskusi bersama dengan fasilitator untuk membahas
kekurangan yang teridentifikasi, membahas isi dan hal-hal yang berkenaan
dengan penuntun belajar.
5
Modul I.1.5– Inflamasi Telinga Luar
Jawaban:
a. Liang telinga terbagi menjadi 1/3 luar (yang biasa disebut liang telinga
bagian kartilago) dan liang telinga 2/3 dalam (yang biasa disebut sebagai
liang telinga bagian tulang). Liang telinga tertutup oleh lapisan kulit, dan
pada liang telinga 1/3 luar memiliki adneksa kulit (seperti kelenjar
seruman dan folikel rambut). Pada liang telinga terdapat mekanisme
fisiologi self cleansing yaitu migrasi epitel kulit ke arah luar dan adanya
sekresi kelenjar serumen yang selalu menjaga kondisi liang telinga
menjadi asam. Kedua mekanisme tersebut mencegah terjadinya infeksi
pada kulit liang telinga.
b. Faktor predisposisi terjadinya inflamasi liang telinga adalah:
1. Iklim tropis yang hangat dan lembab.
6
Modul I.1.5– Inflamasi Telinga Luar
2. Tengah pembelajaran
Soal :
a. Jelaskan anatomi dan fisiologi liang telinga.
b. Sebutkan faktor predisposisi terjadinya inflamasi telinga luar.
c. Sebutkan gejala dan tanda klinis yang dapat ditemukan pada pasien
inflamasi telinga luar.
Jawaban:
a. Liang telinga terbagi menjadi 1/3 luar (yang biasa disebut liang telinga
bagian kartilago) dan liang telinga 2/3 dalam (yang biasa disebut sebagai
liang telinga bagian tulang). Liang telinga tertutup oleh lapisan kulit, dan
pada liang telinga 1/3 luar memiliki adneksa kulit (seperti kelenjar
seruman dan folikel rambut). Pada liang telinga terdapat mekanisme
fisiologi self cleansing yaitu migrasi epitel kulit ke arah luar dan adanya
sekresi kelenjar serumen yang selalu menjaga kondisi liang telinga
menjadi asam. Kedua mekanisme tersebut mencegah terjadinya infeksi
pada kulit liang telinga.
7
Modul I.1.5– Inflamasi Telinga Luar
3. Akhir pembelajaran
Soal :
a. Jelaskan anatomi dan fisiologi liang telinga.
b. Sebutkan faktor predisposisi terjadinya inflamasi telinga luar.
c. Sebutkan Gejala dan tanda klinis yang dapat ditemukan pada pasien
inflamasi telinga luar.
d. Sebutkan / jelaskan terapi pada otitis eksterna.
Jawaban :
a. Liang telinga terbagi menjadi 1/3 luar (yang biasa disebut liang telinga
bagian kartilago) dan liang telinga 2/3 dalam (yang biasa disebut sebagai
liang telinga bagian tulang). Liang telinga tertutup oleh lapisan kulit, dan
pada liang telinga 1/3 luar memiliki adneksa kulit (seperti kelenjar
seruman dan folikel rambut). Pada liang telinga terdapat mekanisme
fisiologi self cleansing yaitu migrasi epitel kulit ke arah luar dan adanya
sekresi kelenjar serumen yang selalu menjaga kondisi liang telinga
menjadi asam. Kedua mekanisme tersebut mencegah terjadinya infeksi
pada kulit liang telinga..
b. Faktor predisposisi terjadinya inflamasi liang telinga adalah:
1. Iklim tropis yang hangat dan lembab.
2. Maserasi kulit liang telinga yang memudahkan invasi bakteri patogen.
3. Penurunan pH kulit liang telinga akibat berenang dan pembersihan
serumen berlebih.
c. Keluhan yang sering dirasakan pasien adalah gatal, nyeri (otalgia),
gangguan pendengaran. Pada pemeriksaan fisik dapat ditemukan liang
telinga sempit akibat kulit yang edema, hiperemis, dan sekret purulen.
Pada anak usia dini, diagnosis tersebut kadang sulit didapatkan dan
menyeripai dengan temuan pada otitis media atau mastoiditis.
8
Modul I.1.5– Inflamasi Telinga Luar
KEGIATAN KASUS
I. KAJI ULANG DIAGNOSIS & PROSEDUR
• Nama.
• Diagnosis.
• Rencana Tindakan.
• Persiapan Sebelum Tindakan.
II. PERSIAPAN PROSEDUR PEMBERIAN ANTIBIOTIK TOPIKAL
PADA LIANG TELINGA
- Pembersihan liang telinga dari debris dan sekret
menggunakan suction dengan dibantu lampu kepala
atau oto-mikroskop atau oto-endoskop.
- Bila antibiotik topikal diberikan dalam bentuk salep,
maka diberikan dengan cara dioleskan pada tampon
liang telinga steril, dan selanjutnya tampon dievaluasi/
dilepas setelah hari ke2.
- Bila antibiotik diberikan dalam bentuk cair atau tetes:
o Bila liang telinga sempit, maka dipasang tampon
liang telinga steril di dalam liang telinga, dan
selanjutnya tetes antibiotik diteteskan pada tampon
tersebut.
o Bila liang telinga cukup lapang, tetes antibiotik
dapat diteteskan langsung ke dalam liang telinga
dengan cara kepala miring sehingga telinga yang
ditetes menghadap ke atas. Selanjutnya obat
diteteskan ke dalam liang telinga diikuti dengan
tindakan menekan tragus. Setelah jumlah tetesan
yang dianjurkan tercapai, obat/cairan antibiotik
didiamkan di dalam liang telinga selama 10 menit.
Selanjutnya cairan obat dibuang dengan
memiringkan kepala kearah berlawanan sehingga
seluruh obat keluar dari dalam liang telinga.
9
Modul I.1.5– Inflamasi Telinga Luar
K. DAFTAR TILIK
PROSEDUR PEMBERIAN ANTIBIOTIK TOPIKAL PADA LIANG
TELINGA
Kinerja setiap langkah yang dievaluasi diberi nilai sesuai skala berikut:
1 Perlu perbaikan: langkah tidak dikerjakan atau tidak sesuai dengan yang
seharusnya atau urutannya tidak sesuai (jika harus berurutan).
2 Mampu: langkah dikerjakan sesuai dengan yang seharusnya dan
urutannya (jika harus berurutan). Pelatih hanya membimbing untuk
sedikit perbaikan atau membantu untuk kondisi di luar normal.
3 Mahir: langkah dikerjakan dengan benar, sesuai urutannya dan waktu
kerja yang sangat efisien
T/D Langkah tidak diamati (penilai menganggap langkah tertentu tidak perlu
diperagakan).
10
Modul I.1.5– Inflamasi Telinga Luar
L. MATERI PRESENTASI
11
Modul I.1.5– Inflamasi Telinga Luar
12
Modul I.1.5– Inflamasi Telinga Luar
13
Modul I.1.5– Inflamasi Telinga Luar
14
Modul I.1.5– Inflamasi Telinga Luar
15
Modul I.1.5– Inflamasi Telinga Luar
16
Modul I.1.5– Inflamasi Telinga Luar
17
Modul I.1.5– Inflamasi Telinga Luar
18
Modul I.1.5– Inflamasi Telinga Luar
19
Modul I.1.5– Inflamasi Telinga Luar
20
Modul I.1.5– Inflamasi Telinga Luar
21
Modul I.1.5– Inflamasi Telinga Luar
22
Modul I.1.5– Inflamasi Telinga Luar
23
Modul I.1.5– Inflamasi Telinga Luar
24
Modul I.1.5– Inflamasi Telinga Luar
25
Modul I.1.5– Inflamasi Telinga Luar
26
Modul I.1.5– Inflamasi Telinga Luar
27
Modul I.1.5– Inflamasi Telinga Luar
28
Modul I.1.5– Inflamasi Telinga Luar
29
Modul I.1.5– Inflamasi Telinga Luar
30
Modul I.1.5– Inflamasi Telinga Luar
31
Modul I.1.5– Inflamasi Telinga Luar
32
Modul I.1.5– Inflamasi Telinga Luar
M. MATERI BAKU
Otitis Eksterna Difusa
Inflamasi pada CAE termasuk pada kulitnya (eksim, dermatitis yang
disebabkan cedera mekanik, zat toksik atau alergi) akan memperberat infeksi
bakteri akut pada kulit yang bercampur dengan flora normal termasuk organisme
gram negatif (pseudomonas aeruginosa, proteus mirabilis) dan bakteri anaerob.
Penyakit ini biasanya ditandai dengan keluhan gatal. Bisa juga disertai dengan rasa
nyeri pada infeksi akut. Terkadang pasien mengeluhkan adanya krusta akibat
33
Modul I.1.5– Inflamasi Telinga Luar
adanya riwayat cairan purulen yang keluar. Pada pemeriksaan fisik dapat kita
temukan adanya penebalan disertai dengan adanya deskuamasi. Ditemukan juga
adanya pembengkakan yang disertai dengan adanya cairan atau krusta.
Penanganannya dapat dilakukan dengan pembersihan yang berulang dan membuat
telinga menjadi kering dengan pemberian cairan antiseptik dan antibiotik tetes
telinga. Bisa juga diobati dengan pemberian kombinasi antara antibiotik dengan
steroid tetes telinga, tetapi tidak boleh lebih dari 2 minggu karena dapat
menyebabkan resistensi.12
Otomikosis
Otomikosis adalah infeksi jamur yang terdapat pada kulit kanal eksterna.
Meskipun jamur mungkin patogen utama, mereka biasanya bersamaan dengan
infeksi bakteri kronis pada kanal eksterna atau telinga tengah. Otomikosis sekunder
cenderung kambuh jika infeksi primer yang mendasari tidak terkontrol. Semua
jamur memiliki tiga persyaratan pertumbuhan dasar ; kelembaban, kehangatan, dan
kegelapan. Spesies Aspergillus adalah yang paling umum, biasanya A. niger. Tetapi
bisa juga disebabkan oleh candida albikans, mucor dan dermatophyta. Jika pada
kultur aural tumbuh A. fumigatus atau A. flavus, maka kita harus curiga tentang
infeksi yang lebih invasif.1,3,4,12
Pruritus adalah keluhan klinis utama. Pemeriksaan otoskopi umumnya
mengungkapkan membran putih abu-abu, hitam, atau putus-putus. Pembersihan
menyeluruh di bawah mikroskop dengan pasien terlentang untuk menghilangkan
kotoran jamur adalah langkah pertama dan benar-benar paling penting dalam terapi.
Dilakukan aural toilet disertai dengan aplikasi topikal seperti aluminium sulfat-
kalsium asetat (Domeboro) atau dengan bubuk pengeringan seperti asam borat.
Krim atau salep clotrimazole (Lotrimin) juga dapat digunakan. Pada perforasi
membran timpani atau ventilasi paten tuba, tetes clotrimazole atau lotion mungkin
sangat menyakitkan. Terapi dengan tindakan pembersihan dan pengeringan
menggunakan serbuk bisa memberikan hasil yang baik. Tympanoplasty merupakan
34
Modul I.1.5– Inflamasi Telinga Luar
35
MODUL UTAMA
OTOLOGI
GANGGUAN TELINGA LUAR
MODUL I.1.6
PERIKONDRITIS & OTHEMATOM
EDISI III
KOLEGIUM
ILMU KESEHATAN TELINGA HIDUNG TENGGOROK
BEDAH KEPALA LEHER
2022
DAFTAR ISI
C. REFERENSI ..................................................................................................... 1
D. KOMPETENSI ................................................................................................. 2
H. EVALUASI ...................................................................................................... 3
MODUL I.1.6
OTOLOGI – GANGGUAN TELINGA LUAR : PERIKONDRITIS &
OTHEMATOM
A. WAKTU PEMBELAJARAN
Proses pengembangan kompetensi Alokasi waktu
Sesi dalam kelas 2 x 60 menit (classroom session)
Sesi praktikum 3 x 60 menit (coaching session)
Sesi praktik dan pencapaian kompetensi 20 x 60 jam (facilitationand assessment)
B. PERSIAPAN SESI
1. Materi presentasi: Power point
2. Kasus: Perikondritis dan othematom.
3. Sarana dan alat bantu latih: (disesuaikan dengan pencapaian kompetensi)
a. Penuntun belajar (learning guide): terlampir.
b. Tempat belajar (training setting): instalasi rawat jalan, instalasi rawat inap,
kamar operasi, ruang praktikum.
c. Model/manekin telinga.
d. Komputer/laptop.
e. In focus.
C. REFERENSI
1. Linstrom CJ, Lucente FE. Infections of the External Ear. In: Bailey BJ, Johnson
JT, Newlands SD, editors. Head & Neck Surgery – Otolaryngology, 5th ed.
Lippincott Willia&Wilkins Publisher;2010.p. 1988-2001
2. Buchman CA, Levine JD, Balkany TJ. Infection of the Ear. In : Lee KJ, editor.
Essential Otolarngology Head & Neck Surgery, 8th ed. McGraw-Hill;2003.p.462-
511.
3. Browning GG. Aetiopathology of inflammatory conditions of the external and
middle ear.In: Booth JB, editor. Otology, Scott-Browns’s Otolaryngology, 6th ed.
Butterworth Heinemann;1997.p.3/3/1-3/3/36
4. Austin DF. Diseases of the external ear. In : Ballenger JJ, Snow JB, editors.
Otorhinolarngology: Head ad Neck surgery, 17th ed. Williams & Wilkins;
2007.p.974-88.
1
Modul I.1.6 – Perikondritis & Othematom
5. Prasad HK, Sreedharan S, Prasad HS, Meyyappan MH, Harsha KS. Perichondritis
of the auricle and its management. J Laryngol Otol. 2007;121(6):530–4. Epub 2007
Feb 26. [PubMed] [Google Scholar]
6. Bassiouny A. Perichondritis of the auricle. Laryngoscope1981;91:422–
7. Prasad KC, Karthik S, Prasad SC. A comprehensive study on the lesions of the
pinna. Am J Otolaryngol Head Neck,Med Surgery 2005;26:1–6
8. Buchman Craig A, Levine JD, Balkany TJ. Infection of the Ear in Essential
Otolaryngology Head & Neck Surgery K.J Lee. The 8th ed. 1999; 462
D. KOMPETENSI
1. Pengetahuan
Setelah mengikuti sesi ini peserta didik mampu:
a. Menegakkan diagnosis perikondritis dan othematom berdasarkan
anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan tambahan
b. Menatalaksana secara mandiri kasus perikondritis dan othematom
2. Keterampilan
Setelah mengikuti sesi ini peserta didik diharapkan mampu:
a. Menjelaskan epidemiologi dan patofisiologi perikondritis.
b. Melakukan anamnesis, pemeriksaan fisik dan penunjang pada kasus
perikondritis dan othematom.
c. Menjelaskan gejala dan tanda perikondritis.
d. Menentukan sikap dalam penatalaksanan perikondritis.
e. Melakukan penatalaksanaan secara optimal dan tuntas pada
perikondritis.
F. TUJUAN PEMBELAJARAN
Tujuan Pembelajaran Umum
Setelah mengikuti sesi ini peserta didik terampil dalam:
1. Mampu menegakkan diagnosis klinis berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik
dan pemeriksaan penunjang pada kasus perikondritis dan othematom.
2
Modul I.1.6 – Perikondritis & Othematom
G. METODE PEMBELAJARAN
Untuk mencapai tujuan ini maka dipilih metode pembelajaran berikut ini:
a. Presentasi modul
b. Referat/tinjauan pustaka
c. Skills lab
d. Poliklinik
e. Bedside teaching
f. Tindakan/operasi
H. EVALUASI
1. Pada awal pertemuan dilaksanakan pretest dalam bentuk tertulis dan lisan sesuai
dengan tingkat masa pendidikan yang bertujuan untuk menilai pengetahuan awal
yang dimiliki peserta didik dan untuk mengidentifikasi kekurangan yang ada.
Materi pretest terdiri atas:
a. Anatomi dan fisiologi daun telinga.
b. Penegakan diagnosis.
c. Penatalaksanaan.
2. Selanjutnya dilakukan diskusi bersama dengan fasilitator untuk membahas
kekurangan yang teridentifikasi, membahas isi dan hal-hal yang berkenaan dengan
penuntun belajar.
3
Modul I.1.6 – Perikondritis & Othematom
4
Modul I.1.6 – Perikondritis & Othematom
c. Enterobacter
d. S. aureus
Semua jawaban di atas benar
Penatalaksanaan pada perikondritis, kecuali:
a. Antibiotika profilaksis
b. Antibiotika tetes telinga
c. Antibiotika antipseudomonas
d. Operasi untuk mengurangi kartilago yang nekrotik
e. Evakuasi seroma atau hematoma
Jawaban:
C. Essay/Ujian Lisan/Uji Sumatif
Seorang laki-laki, umur 32 tahun datang dengan keluhan telinga kanan bengkak, terasa
gatal, nyeri dan disertai keluar cairan dari telinga yang dirasakan sejak 3 hari.
a. Apa saja kemungkinan penyakit yang diderita?
b. Pemeriksaan apa saja yang diperlukan untuk menunjang dalam menegakkan
diagnosis?
c. Jelaskan perbedaan antara othematom dan perikondritis.
d. Jelaskan patofisiologi terjadinya othematom dan perikondritis.
e. Jelaskan penatalaksanaan othematom dan perikondritis.
Jawaban:
5
Modul I.1.6 – Perikondritis & Othematom
II. PROSEDUR
1. Membersihkan daun dan liang telinga dengan cairan
aquadest atau NaCl 0,9% hangat.
2. Mengusap daun telinga dengan Betadine sebagai
tindakan a dan antiseptik.
2. Melakukan tindakan anestesi lokal dengan lidocain dan
adrenalin = 2:1
pada daerah di sekitar area perikondritis.
3. Insisi perikondritis di daerah yang berfluktuasi atau
indurasi dengan arah insisi searah dengan kurvatura
telinga.
4. Dilakukan drainase darah, serosa, dan kuretase serta
pembersihan
jaringan nekrotik dan granulasi pada daerah daun
telinga.
5. Dilakukan balut tekan pada kedua sisi daun telinga
(depan dan belakang)
dengan penjahitan through and through yang melewati
balutan hingga menembus kartilago.
6. Dilakukan pemeriksaan kultur dan sensitivitas atau
pengiriman jaringan ke bagian Patologi Anatomi apabila
diperlukan.
7. Dilakukan pemberian obat antibiotik dan antinyeri
secara oral.
6
Modul I.1.6 – Perikondritis & Othematom
K. DAFTAR TILIK
PROSEDUR INSISI DAN KOMPRESI DAUN TELINGA
Berikan penilaian tentang kinerja psikomotorik atau keterampilan yang diperagakan
oleh peserta pada saat melaksanakan statu kegiatan atau prosedur, dengan ketentuan
seperti yang diuraikan dibawah ini:
ü: Memuaskan: Langkah atau kegiatan diperagakan sesuai dengan prosedur atau
panduan standar
Ï: Tidak memuaskan: Langkah atau kegiatan tidak dapat ditampilkan sesuai dengan
prosedur atau panduan standar
T/T: Tidak Ditampilkan: Langkah, kegiatan atau keterampilan tidak diperagakan oleh
peserta selama proses evaluasi oleh pelatih
L. MATERI PRESENTASI
PERIKONDRITIS DAN OTHEMATOM
7
Modul I.1.6 – Perikondritis & Othematom
8
Modul I.1.6 – Perikondritis & Othematom
9
Modul I.1.6 – Perikondritis & Othematom
10
Modul I.1.6 – Perikondritis & Othematom
11
Modul I.1.6 – Perikondritis & Othematom
12
Modul I.1.6 – Perikondritis & Othematom
13
Modul I.1.6 – Perikondritis & Othematom
14
Modul I.1.6 – Perikondritis & Othematom
M. MATERI BAKU
Pendahuluan
Daun telinga sangat rentan terhadap trauma, infeksi dan gangguan akibat kondisi
lingkungan (cuaca, polutan, dll) oleh karena posisi daun telinga yang terekspos dan
tidak adanya lemak subkutan yang melindungi lapisan kartilago pada permukaan
anterior.
PERIKONDRITIS
Perikondritis aurikula adalah peradangan pada perikondrium dan kartilago daun telinga.
Pada umumnya akibat komplikasi dari trauma telinga yang dapat menimbulkan
deformitas. Terminologi perikondritis itu sendiri tidak akurat oleh karena inflamasi ini
hampir selalu melibatkan kartilago, dengan formasi abses dan serum cairan darah
terkumpul di lapisan subperikondrial.
Epidemiologi dan Patofisiologi
Trauma tumpul yang menyebabkan terjadinya hematoma dan infeksi sekunder
merupakan penyebab tersering perikondritis.
Infeksi aurikula ini menunjukan infeksi yang lebih berat pada jaringan mesenkimal
daun telinga. Luka penetrasi seperti tindik telinga dan akupuntur dapat menyebabkan
infeksi langsung. Pada kasus yang tidak berat, kerusakan kartilago biasanya terbatas,
sedangkan pada infeksi yang lebih berat dapat mengakibatkan kerusakan integritas
kartilago akibat gangguan vaskuler. Perikondritis supuratif dapat menyertai operasi
mastoid dan sebagai komplikasi dari luka bakar. Pada luka bakar kerusakan kartilago
biasanya lebih luas.
Perbedaan Perikondritis dan kondritis hanya dapat dipastikan pada saat operasi dengan
ditemukannya kartilago yang nekrotik, sebagai tanda pasti sudah terjadinya kondritis.
Setelah terjadi trauma awal darah atau serum terkumpul pada ruang subperikondrial dan
dapat mengalami infeksi sekunder oleh kuman S. Aureus, P. aeruginosa dan Proteus sp.
Apabila rongga subperikondrial ini dievakuasi, pada minggu kedua hingga keempat
deposisi kartilago mulai terjadi dari perikondrium yang tersisa dan matriks menjadi
tidak rata serta dapat membentuk deformitas telinga yang disebut dengan cauliflower.
15
Modul I.1.6 – Perikondritis & Othematom
DIAGNOSIS
Anamanesis
Anamnesis yang teliti dilakukan untuk mencari riwayat adanya trauma, pemasangan
anting, akupuntur, luka bakar, hematoma pinna, laserasi dan lain-lain.
Komorbid seperti diabetes mellitus dapat sebagai predisposisi terjadinya perikondritis.
Perlu pula ditanyakan penggunaan antibiotik sebelumnya dan apakah ada riwayat otitis
eksterna berulang.
Pemeriksaan
Perikondritis aurikula/pinna memberi gambaran yang tipikal berupa infeksi kartilago
aurikula dan terpisah dari lobulus, sementara selulitis berupa gambaran infeksi yang
tidak terpisah dari lobulus. Hal ini penting dibedakan oleh karena organisme penyebab
biasanya berbeda.
Pada pemeriksaan telinga dijumpai
- Eritema yang disertai nyeri dan indurasi aurikula dengan hilangnya kontur.
- Lokasi formasi abses
- Nekrosis jaringan lunak
- Otitis eksterna sebagai penyakit primer,(endoskopi)
- Penyebaran selulitis dari wajah atau kepala
- Tanda trauma atau luka-luka lain
- Pemeriksaan lower nervus kranialis dan pemeriksaan neurologic umum sesuai indikasi
Semua perhiasan terutama yang terdapat di daerah perikondritis, selulitis atau abses
harus dilepaskan.
Apabila terdapat gejala dan tanda ringan yang mengenai aurikula dan hidung
secara bersamaan, perlu diduga adanya relapsing polikondritis yang merupakan
kondisi autoimun yang mengenai kartilago dan bukan kondisi infeksi
Gejala dan Tanda Klinis
Infeksi ini dapat bersifat akut dan kronik, gejala dan gambaran klinik dapat terjadi
beberapa minggu setelah faktor pencetus muncul. Keluhan awal sering berupa nyeri
tumpul dan berawal pada daerah heliks dan anti-heliks. Biasanya terjadi setelah
trauma atau trauma pembedahan atau terjadi sebagai komplikasi otitis eksterna atau
perluasan dari erysipelas aurikula. Telinga yang terkena akan mengalami nyeri,
16
Modul I.1.6 – Perikondritis & Othematom
Bakteri Penyebab
Bakteri penyebab tersering adalah Pseudomonas aeruginosa, dan beberapa
bakteri penyebab lain lain seperti S. aureus, Enterobacter, Proteus mirabilis dan
organisme gram negatif lain.
Sedangkan pada selulitis aurikula bakteri penyebabnya adalah Staphylococcus
aureus atau oleh organisme kulit yang lain.
Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan penunjang yang dilakukan adalah pemeriksaan kultur dan
sensitivitas, serta biopsi untuk pemeriksaan patologi anatomi jaringan.
Tatalaksanaan
a. Tujuan utama tatalaksana yang dilakukan adalah untuk eradikasi infeksi.
b. Optimalisasi tindakan operatif yang dilakukan dengan tujuan untuk
mengembalikan bentuk daun telinga ke bentuk asal (kosmetik). Bedah plastik
dan rekonstruksi dilakukan pada kasus deformitas berat pada aurikula.
c. Perawatan luka, evakuasi hematoma atau seroma, pembalutan telinga,
pemberian antibiotika topikal profilaksis, dan pemberian antibiotika sistemik
merupakan standar tatalaksana pasca trauma daun telinga.
17
Modul I.1.6 – Perikondritis & Othematom
18
Modul I.1.6 – Perikondritis & Othematom
- Anamnesis
- Pemeriksaan
fisik
20
Modul I.1.6 – Perikondritis & Othematom
TATALAKSANA
Tujuan dari tatalaksana adalah untuk mengevakuasi hematoma dalam mencegah
timbulnya formasi neokartilago. Evakuasi ini juga akan menyebabkan stimulasi sel-sel
mesenkim perikondrial. Untuk eliminasi dead space dilakukan metode kompressi
(bebat tekan). Dengan dilakukannya bebat tekan pada rongga tersebut maka bisa
dihindari rekurensi hematoma.
REFERENSI
1. Linstrom CJ, Lucente FE. Infections of the External Ear. In: Bailey BJ, Johnson
JT, Newlands SD, editors. Head & Neck Surgery – Otolaryngology, 5th ed. Lippincott
Willia&Wilkins Publisher;2010.p. 1988-2001
2. Buchman CA, Levine JD, Balkany TJ. Infection of the Ear. In : Lee KJ, editor.
Essential Otolarngology Head & Neck Surgery, 8th ed. McGraw-Hill;2003.p.462-511.
21
Modul I.1.6 – Perikondritis & Othematom
22
MODUL UTAMA
OTOLOGI
GANGGUAN TELINGA TENGAH
MODUL I.2.1
PATOULUS TUBA EUSTACHIUS
EDISI III
KOLEGIUM
ILMU KESEHATAN TELINGA HIDUNG TENGGOROK
BEDAH KEPALA LEHER
2022
DAFTAR ISI
B. PERSIAPAN SESI....................................................................................................... 1
C. REFERENSI ................................................................................................................ 1
D. KOMPETENSI ............................................................................................................ 2
H. EVALUASI ................................................................................................................. 6
MODUL I.2.1
OTOLOGI – GANGGUAN FUNGSI TUBA : PATULOUS TUBA EUSTACHIUS
A. WAKTU PEMBELAJARAN
Proses pengembangan kompetensi Alokasi waktu
Sesi dalam kelas 1 x 60 menit (classroom session)
Sesi dengan fasilitas pembimbing 1 x 60 menit (coaching session)
Sesi praktik dan pencapaian 1 x 60 menit (facilitation and
kompetensi assessment)
B. PERSIAPAN SESI
1. Materi presentasi: Power point.
2. Kasus : Patulous tuba Eustachius.
3. Sarana dan alat bantu latih: (disesuaikan dengan pencapaian kompetensi)
o Penuntun belajar (learning guide): terlampir.
o Tempat belajar (training setting): instalasi rawat jalan, instalasi rawat inap,
kamar operasi, ruang praktikum.
o Model/manekin telinga atau tulang temporal.
o Komputer/laptop.
o In focus.
C. REFERENSI
1. Watkinson JC, Clarke RW, Scott-Brown’s Otorhinolaryngology Head and Neck
Surgery, Volume 2, CRC Press Taylor & Francis Group, Florida, 2018, p. 115-
154.
2. Flint PW, Haughey BH, Lund VJ, Niparko JK, Robbins KT, Thomas JR, et al.,
cummings Otolaryngology Head and Neck Surgery, sixth edition, Elsevier
Saunders, Philadelphia, 2015, p. 2027-2037.
3. Johnson JT, Rosen CA, Bailey’s Head and Neck Surgery-Otolaryngology, fifth
edition, Lippincott Williams & Wilkins, Baltimore, 2014, p. 1292-1293, 1485-
1488, 1497-1500.
1
Modul I.2.1– Patulous Tuba Eustachius
4. Bluestone CD, Simons JP, Healy GB, Bluestone and Stool’s Pediatric
Otolaryngology, fifth edition, People’s Medical Publishing House, Connecticut,
2014, p. 633-657.
5. LaRouere MJ, Babu SC, Bojrab DI, Surgical Techniques in Otolaryngology Head
and Neck Surgery, The Health Sciences Publisher, Philadelphia, 2015, p. 5-10.
D. KOMPETENSI
1. Pengetahuan
Setelah mengikuti sesi ini peserta didik mampu:
1. Menjelaskan anatomi, histologi, topografi, dan fisiologi tuba Eustachius.
2. Menjelaskan definisi dan patofisiologi patulous tuba Eustachius.
3. Menjelaskan gambaran klinis patulous tuba Eustachius.
4. Menegakkan diagnosis patulous tuba Eustachius.
5. Menjelaskan penanganan patulous tuba Eustachius dan komplikasinya sesuai
kompetensi.
6. Menjelaskan tindakan bedah pada kasus patulous tuba Eustachius.
7. Menjelaskan work-up penderita patulous tuba Eustachius.
2. Keterampilan
Setelah mengikuti sesi ini peserta didik diharapkan terampil dalam:
1. Melakukan anamnesis, pemeriksaan fisik, dan penunjang pada patulous tuba
Eustachius.
2. Menegakkan diagnosis patulous tuba Eustachius.
3. Melakukan pemasangan pipa ventilasi (sesuai Modul Inflamasi Telinga
Tengah).
2
Modul I.2.1– Patulous Tuba Eustachius
F. TUJUAN PEMBELAJARAN
Tujuan Pembelajaran Umum
Setelah mengikuti sesi ini peserta didik terampil dalam:
1. Menegakkan diagnosis klinis berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik dan
pemeriksaan penunjang.
2. Memutuskan dan menangani kasus patulous tuba Eustachius sesuai kompetensi.
Tujuan Pembelajaran Khusus
Setelah mengikuti sesi ini peserta didik akan memiliki kemampuan untuk:
1. Menjelaskan anatomi, histologi, topografi dan fisiologi tuba Eustachius.
2. Menjelaskan definisi dan patofisiologi patulous tuba Eustachius.
3. Menjelaskan gambaran klinis patulous tuba Eustachius.
4. Menegakkan diagnosis patulous tuba Eustachius.
5. Melakukan penanganan nonbedah pada patulous tuba Eustachius dan
komplikasinya sesuai kompetensi.
6. Melakukan tindakan pemasangan pipa ventilasi.
7. Melakukan work-up penderita patulous tuba Eustachius.
3
Modul I.2.1– Patulous Tuba Eustachius
G. METODE PEMBELAJARAN
Tujuan 1. Menjelaskan anatomi, histologi, topografi dan fisiologi tuba
Eustachius.
Untuk mencapai tujuan ini maka dipilih metode pembelajaran berikut ini:
• Belajar mandiri.
• Diskusi kelompok.
Harus diketahui:
• Anatomi, histologi, dan topografi tuba Eustachius.
• Fisiologi tuba Eustachius.
4
Modul I.2.1– Patulous Tuba Eustachius
5
Modul I.2.1– Patulous Tuba Eustachius
Untuk mencapai tujuan ini maka dipilih metode pembelajaran berikut ini:
• Belajar mandiri.
• Kuliah.
• Diskusi kelompok.
Harus diketahui:
• Hal-hal yang harus diawasi dan dijelaskan kepada pasien saat
menjalani terapi dan setelah terapi patulous tuba Eustachius.
H. EVALUASI
1. Pada awal pertemuan dilaksanakan pretest dalam bentuk tertulis dan lisan sesuai
dengan tingkat masa pendidikan yang bertujuan untuk menilai kinerja awal yang
dimiliki peserta didik dan untuk mengidentifikasi kekurangan yang ada. Materi
pretest terdiri atas:
- Anatomi, histologi, dan fisiologi tuba Eustachius.
- Penegakan diagnosis.
- Teknik operasi.
- Follow up.
2. Selanjutnya dilakukan “small group discussion” bersama dengan fasilitator untuk
membahas kekurangan yang teridentifikasi, membahas isi dan hal-hal yang
berkenaan dengan penuntun belajar, kesempatan yang akan diperoleh pada saat
bedside teaching dan proses penilaian.
3. Setelah mempelajari penuntun belajar ini, peserta didik diwajibkan untuk
mengaplikasikan langkah-langkah yang tertera dalam penuntun belajar dalam
bentuk praktikum pada skills lab dan bedside teaching. Pada saat tersebut, yang
bersangkutan tidak diperkenankan membawa penuntun belajar, penuntun belajar
yang dipegang oleh teman-temannya untuk melakukan evaluasi (Peer Assisted
Evaluation) setelah dianggap memadai, melalui metode bedside teaching dengan
dibawah pengawasan fasilitator, peserta dididik mengaplikasikan penuntun belajar
kepada model anatomi dan setelah kompetensi tercapai peserta didik akan diberikan
kesempatan untuk melakukannya pada pasien sesungguhnya. Pada saat
pelaksanaan, pembimbing melakukan pengawasan langsung (direct observation)
dan mengisi formulir penilaian sebagai berikut:
6
Modul I.2.1– Patulous Tuba Eustachius
7
Modul I.2.1– Patulous Tuba Eustachius
3. Pada keadaan normal, tuba Eustachius tertutup dan terbuka bila ada kontraksi
otot levator velli palatini. (Benar/Salah)
4. Patulous tuba adalah keadaan tuba Eustachius yang selalu tertutup karena
kekakuan otot levator velli palatini. (Benar/Salah)
5. Pada patulous tuba terdapat jaringan lunak penunjang, khususnya jaringan
lemak Ostmann yang berkurang atau hilang. (Benar/Salah)
Jawaban:
1. Salah.
2. Benar.
3. Benar.
4. Salah.
5. Benar.
2. Tengah pembelajaran
Soal:
1. Jelaskan anatomi tuba Eustachius.
2. Jelaskan fungsi utama tuba Eustachius.
3. Jelaskan patofisiologi trjadinya patulous tuba Eustachius.
Jawaban:
1. Tuba Eustachius tersusun atas bagian tulang (1/3 proksimal yang mengarah
ke telinga tengah) dan jaringan lunak yang terdiri dari tulang rawan dan otot
(2/3 distal yang mengarah ke nasofaring).
2. Fungsi utama tuba Eustachius adalah:
a. Ventilasi: untuk menyamakan tekanan telinga tengah dengan udara luar
melalui nasofaring.
b. Proteksi telinga tengah dari suara dan refluks isi nasofaring ke telinga
tengah.
c. Drainase sekret telinga tengah ke nasofaring melalui mucociliary
clearance.
3. Patulous tuba Eustachius ditandai dengan tuba Eustachius yang selalu
berada dalam keadaan terbuka. Kelainan ini disebabkan berkurang atau
hilangnya jaringan lunak penunjang tuba, khususnya jaringan lemak
Ostmann.
8
Modul I.2.1– Patulous Tuba Eustachius
3. Akhir pembelajaran
Soal:
1. Jelaskan anatomi tuba Eustachius.
2. Jelaskan fungsi utama tuba Eustachius.
3. Jelaskan patofisiologi trjadinya patulous tuba Eustachius.
4. Jelaskan gejala dan tanda klinis patulous tuba Eustachius.
5. Jelaskan tindakan bedah pada patulous tuba Eustachius.
Jawaban:
1. Tuba Eustachius tersusun atas bagian tulang (1/3 proksimal yang mengarah ke
telinga tengah) dan jaringan lunak yang terdiri dari tulang rawan dan otot (2/3
distal yang mengarah ke nasofaring).
2. Fungsi utama tuba Eustachius adalah:
a. Ventilasi: untuk menyamakan tekanan telinga tengah dengan udara luar
melalui nasofaring.
b. Proteksi telinga tengah dari suara dan refluks isi nasofaring ke telinga
tengah.
c. Drainase sekret telinga tengah ke nasofaring melalui mucociliary
clearance.
d. Patulous tuba Eustachius ditandai dengan tuba Eustachius yang selalu
berada dalam keadaan terbuka. Kelainan ini disebabkan berkurang atau
hilangnya jaringan lunak penunjang tuba, khususnya jaringan lemak
Ostmann.
e. Gejala dan tanda klinis terkadang tidak khas. Dari anamnesis didapatkan
riwayat penurunan berat badan, kehamilan dan kontrasepsi oral, riwayat
operasi tonsil dan kelenjar parotis, penyakit neuromuskuler, dan gangguan
sendi temporomandibular. Pasien juga mengeluhkan suara pernafasan
yang terdengar keras di telinga dan suara pasien yang terdengar kencang
apabila pasien bicara.
f. Tindakan bedah pada patulous tuba Eustachius adalah pemasangan pipa
ventilasi telinga tengah, augmentasi bedah orifisium nasofaring dengan
kartilago autologous, implant alloderm atau kalsum hidroksiapatit.
Essay/Ujian lisan:
9
Modul I.2.1– Patulous Tuba Eustachius
Seorang laki-laki usia 45 tahun datang ke instalasi rawat jalan dengan keluhan
telinga terasa penuh dan pasien dapat mendengar suara napas dengan jelas
pada telinga kiri sejak 4 bulan sebelumnya. Pasien mengalami penurunan
berat badan sebanyak 15 kg selama 6 bulan terakhir akibat penyakit diabetes
yang dideritanya.
Pertanyaan:
1. Sebutkan diagnosis yang paling mungkin pada pasien.
2. Jelaskan patofisiologi penyakit yang menjadi diagnosis kerja pada pasien.
3. Sebutkan pemeriksaan penunjang yang diperlukan untuk menegakkan
diagnosis tersebut, berserta temuan yang diharapkan.
4. Sebutkan terapi untuk diagnosis tersebut.
Jawaban:
1. Diagnosis kerja: Patulous tuba Eustachius kanan.
2. Patulous tuba Eustachius terjadi apabila tuba Eustachius selalu berada dalam
keadaan terbuka. Kelainan ini disebabkan oleh atrofi atau berkurangnya
jaringan lunak penunjang tuba.
3. Pada pemeriksaan membran timpani dengan otoskopi atau otomikroskopi atau
otoendoskopi didapatkan membran timpani yang tipis dan bergerak ke dalam
dan ke luar sesuai gerakan pernapasan.
4. Terapi pada patulous tuba Eustachius terdiri atas non-bedah (medikamentosa)
dan pemasangan pipa ventilasi.
10
Modul I.2.1– Patulous Tuba Eustachius
K. DAFTAR TILIK
PROSEDUR PEMASANGAN PIPA VENTILASI
Berikan penilaian tentang kinerja psikomotorik atau keterampilan yang diperagakan
oleh peserta pada saat melaksanakan statu kegiatan atau prosedur, dengan ketentuan
seperti yang diuraikan dibawah ini:
11
Modul I.2.1– Patulous Tuba Eustachius
Persiapan alat:
- Miringotom (pisau miringotomi).
- Tip suction liang telinga (diameter 1-3 mm).
- Forsep alligator.
- Rosen needle.
III. PROSEDUR OPERASI
- Antiseptik liang telinga dengan memasukkan larutan alkohol
70% dan didiamkan selama 10 – 15 menit di dalam liang
telinga.
- Aspirasi alkohol hingga bersih.
- Cuci sisa alcohol dnegan larutan NaCl 0,9%.
- Melakukan miringotomi (tidak pada kuadran posterosuperior
membrant timpani) dengan miringotom.
- Pipa ventilasi dipegang dengan forsep alligator dan diletakkan
pada permukaan membrane timpani.
- Pipa ventilasi digerakkan dengan rosen needle mendekati
lubang miringotomi dan bagian ujung tajamnya diselipkan ke
dalam lubang.
- Pipa ventilasi didorong sehingga terselip ke dalam lubang
miringotomi.
- Memastikan tidak ada tepi perforasi membrane timpani yang
terlipat ke dalam dengan menggunakan rosen needle.
- Liang telinga ditutup dengan tampon steril di bagian luar dan
tidak boleh menyentuh atau mendorong pipa ventilasi.
12
Modul I.2.1– Patulous Tuba Eustachius
L. MATERI PRESENTASI
13
Modul I.2.1– Patulous Tuba Eustachius
14
Modul I.2.1– Patulous Tuba Eustachius
15
Modul I.2.1– Patulous Tuba Eustachius
16
Modul I.2.1– Patulous Tuba Eustachius
17
Modul I.2.1– Patulous Tuba Eustachius
18
Modul I.2.1– Patulous Tuba Eustachius
19
Modul I.2.1– Patulous Tuba Eustachius
20
Modul I.2.1– Patulous Tuba Eustachius
M. MATERI BAKU
Definisi
Patulous tuba Eustachius adalah kondisi abnormal dari tuba Eustachius yang selalu
terbuka.
Etiologi
Faktor-faktor dibawah ini merupakan etiologi utama yang menyebabkan patulous
tuba Eustachius:
- Perubahan dari lingkungan kompresi tuba (kehilangan Ostmann’s fat setelah
penurunan berat badan)
- Faktor neuromuskular
- Kehilangan elastisitas kartilago pada proses penuaan
- Jaringan parut pada daerah nasofaring dan orofaring setelah operasi dan radiasi.
- Faktor hormonal (estrogen).
Pengurangan bantalan lemak Ostmann selama prosses penurunan berat badan
dianggap sebagai salah satu faktor utama yang menyebabkan gejala patulous tuba
Eustachius. Pada beberapa penelitian yang mengamati patulous tuba Eustachius pada
21
Modul I.2.1– Patulous Tuba Eustachius
Patofisiologi
Tuba Eustachius menutup saat beristirahat dan aktif terbuka hanya dalam
kondisi yang terkontrol saat pernapasan di nasofaring. Apabila tuba Eustachius
terubuka lebih dari periode waktu tertentu, maka terdapat sebuah diskomunikasi
antara nasofaring dan kavum timpani. Diskomunikasi ini dapat menyebabkan
perpindahan fluktuasi tekanan dari faring ke telinga tengah baik secara intermiten
maupun konstan. Gejala yang dapat timbul tidak hanya sensasi penuh di telinga dan
autofoni, tapi dapat juga berupa, gejala gejala pada telinga dalam seperti penurunan
pendengaran tipe sensorineural, tinitus, atau vertigo.
Diagnosis
22
Modul I.2.1– Patulous Tuba Eustachius
23
Modul I.2.1– Patulous Tuba Eustachius
efek dekongestan (xylometazoline chloride 0,1%) dan placebo (salin 0,9%) diberikan
langsung pada bukaan faringeal dari tuba Eustachius. Penelitian menyimpulkan
bahwa dekongestan topikal meningkatkan fungsi tuba Eustachius tetapi hanya saat
tekanan tinggi tidak fisiologis. Penelitian lain yang menginvestigasi efisiensi
aqueous triamcinolone acetonide intranasal dalam mengobati tanda-tanda
timpanometrik dan gejala penyakit tuba Eustachius. Temuan tersebut tidak
mendukung penggunaan steroid spray intranasal untuk mengobati manifestasi
penyakit tuba Eustachius.
Kebanyakan penanganan nonbedah untuk patulous tuba Eustachius bertujuan
untuk mengatasi obstruksi pada orifisium faring. Induksi lokal mukosa edema dapat
dilakukan dengan pemberian secara transnasal menggunakan asam borat bubuk,
asam salisilat, asam trikloroasetat, asam nitrat, fenol atau perak nitrat. Keberhasilan
sementara dilaporkan untuk perawatan intranasal dengan asam klorida encer, benzyl
alkohol dan klorobutanol, dengan estrogen terkonyugasi, dengan atropin dan dengan
aplikasi oral larutan kalium iodida walaupun mekanisme kerjanya belum dapat
dijelaskan.
Rekomendasi pada pasien yang mengalami penurunan berat badan dalam
waktu singkat adalah untuk meningkatkan berat badan terlebih dahulu.
Terapi Injeksi
Terapi yang sering disarankan adalah augmentasi dari nasofaringeal orifisium
tuba Eustachius. Tingkat keberhasilan terapi augmentasi tergantung pada stabilitas
jangka panjang daripada jumlah zat yang disuntikan. Beberapa peneliti
menggunakan pasta polytetrafl uoroethylene (Teflon). Zat ini disuntikkan ke dalam
batas anteroinferior dari tuba Eustachius. Namun produksi dan penggunaan zat ini
telah dihentikan, mengingat komplikasi dan risiko yang dapat timbul apa bila zat
salah disuntikkan ke arteri karotis. Bahan lain telah digunakan untuk augmentasi
dan/atau penyumbatan, seperti lemak autologous, kolagen dan bahkan silikon,
namun belum ada penelitian jangka panjang yang dapat menilai keberhasilan dan
komplikasi penggunaan zat ini.
Terapi Pembedahan
Pemasangan pipa ventilasi ke dalam membran timpani adalah prosedur yang
paling sering disarankan untuk patulous tuba Eustachius. Tingkat keberhasilan
24
Modul I.2.1– Patulous Tuba Eustachius
hingga 50% atau lebih tinggi. Pemasangan pipa ventilasi tidak memiliki efek yang
signifikan pada gejala autofoni berat. Shunt ventilasi timpani hanya mampu
menyerap perubahan tekanan di rongga timpani, yang disebabkan oleh menelan dan
bernapas. Transmisi suara transtubal yang disebabkan oleh gangguan fungsi
perlindungan tidak terpengaruh. Efek pipa ventilasi yang tidak pasti dan tidak
lengkap juga dibatasi oleh efek samping lokal dari tabung timpanostomi, seperti
otorea.
Penanganan Obstruksi bedah pada tuba Eustachius dapat dilakukan di
nasofaring atau orifisium timpani, dengan menggunakan probe diatermi urologis.
Prosedur lain yang dapat dilakukan adalah penggunaan metode augmentasi bedah
orifisium nasofaring menggunakan kartilago autologus, implan alloderm atau
kalsium hidroksiapatit, dengan menggunakan pendekatan transnasal/transoral dan
memasukkan graft di bawah kontrol endoskopi anterolateral ke lumen tuba.
Dalam kasus patulous tuba Eustachius persisten setelah terapi konservatif,
beberapa ahli menggunakan kartilago septum untuk augmentasi lubang nasofaring.
Septum nasal dipanen dalam ukuran sekitar 2,5 × 1 cm dan ditanamkan di antara otot
tensor veli palatini dan tuba Eustachius dengan anestesi umum. Untuk implantasi,
pendekatan transpalatinal digunakan, yang dikendalikan oleh endoskopi hidung.
Sistem navigasi dapat membantu menghindari salah penempatan. Setelah alas untuk
tulang rawan dibentuk oleh gunting, belat didorong ke atas sejauh mungkin.
Ada banyak keuntungan dari metode ini:
- Tulang rawan septum hidung adalah bahan yang stabil yang mudah dipanen.
- Pendekatan implantasi transpalatinal langsung dapat dengan mudah dikendalikan
oleh teleskop.
- Otot tensor veli palatini penanda yang aman untuk penempatan kartilago.
- Prosedurnya bersifat reversibel.
- Penggunaan metode ini dapat menghilangkan autofoni dan sensasi penuh pada
telinga.
25
MODUL UTAMA
OTOLOGI
GANGGUAN TELINGA TENGAH
MODUL I.2.2
INFLAMASI TELINGA TENGAH
EDISI III
KOLEGIUM
ILMU KESEHATAN TELINGA HIDUNG TENGGOROK
BEDAH KEPALA LEHER
2022
DAFTAR ISI
A. WAKTU .......................................................................................................... 1
C. REFERENSI .................................................................................................... 1
D. KOMPETENSI ................................................................................................ 2
K. MATERI BAKU............................................................................................ 46
Modul I.2.2 - Inflamasi Telinga Tengah
MODUL I.2.2
OTOLOGI – GANGGUAN TELINGA TENGAH : INFLAMASI TELINGA
TENGAH
A. WAKTU
Proses Pengembangan Kompetensi Waktu
Sesi dalam kelas 5 x 60 menit (kuliah/ diskusi)
Sesi dengan fasilitas pembimbing 10 x 120 menit (bimbingan)
Seksi praktik dan pencapaian kompetensi 8 minggu
B. PERSIAPAN SESI
• Kasus
o Kasus : Otitis Media Akut stadium perforasi
• Sarana dan Alat Bantu
o Model Anatomi Telinga
o Video Presentasi
o Fasilitas Diseksi Tulang Temporal:
§ Tulang Temporal
§ Alat-alat diseksi
§ Seperangkat bor tulang temporal
§ Video diseksi
§ Pembimbing
§ Buku bimbingan
o Buku acuan/referensi
o Tempat: Poliklinik, Bangsal Perawatan, Ruang Operasi, ruang praktikum
C. REFERENSI
1. Chole RA, Brodie HA, Jacob A. Surgery of the Mastoid and Petrosa. In Byron J.
Bailey & Jonas T. Johnson Head and Neck Surgery Otolaryngology. Fifth edition.
Volume two. Lippincott Williams & Willimns. Philadelphia. 2014
2. Lee K..J. Infections of the Temporal Bone. In:Essential Otolaryngology. 12 th
Ed. McGraw Hill. 2019
3. Flint, P.W, Haughey B.H, Lund V.J, Niparko J.K, Richardson M.A, Robbins K.T,
Thomas J.R. Chronic Otitis Media Mastoiditis and Petrositis in Cummings
Otolaryngology Head and Neck Surgery. 5th Ed. Volume two. Mosby Elsevier.
2015
4. Gulya, A.J, Minor L.B, Poe D.S. Pathology and Clinical Course of the
Inflammatory Disease of the Middle Ear in Glasscock-Shambaugh Surgery of the
Ear. Sixth edition. Peoples’s Medical Publishing House-USA. 2010
5. Brackmann, D.E, Shelton C, Arriaga M.A. Complication of Surgery for Chronic
Otitis Media in Otologic Surgery. Fourth edition. Saunders Elsevier. 2016
1
Modul I.2.2 - Inflamasi Telinga Tengah
6. Chole RA, Brodie HA, Jacob A. Surgery of the Mastoid and Petrosa. In Byron J.
Bailey & Jonas T. Johnson Head and Neck Surgery Otolaryngology. Vol 2. 5th
Ed. Lippincott Williams & Willimns. Philadelphia. 2014.
7. Helmi. Bedah Telinga Tengah untuk Otitis Media Supuratif Kronis. Penerbit FK
UI Jakarta. 2005. h: 170
D. KOMPETENSI
1. Pengetahuan
Mampu membuat diagnosis radang telinga tengah berdasarkan pemeriksaan fisik
dan pemeriksaan-pemeriksaan tambahan (misalnya otomikroskopi, pemeriksaan
radiologi seperti foto polos dan HRCT mastoid). Dapat memutuskan dan mampu
menangani masalah tersebut secara mandiri hingga tuntas
2. Keterampilan
Setelah mengikuti sesi ini peserta didik diharapkan terampil dalam :
1. Menjelaskan anatomi , topogarafi, fisiologi telinga
2. Menjelaskan etiologi dan macam-macam radang telinga tengah
3. Menjelaskan patofisiologi, gambaran klinis, dan terapi radang telinga tengah
4. Menjelaskan pemeriksaan penunjang diagnosis
5. Menjelaskan komplikasi dan penanganan radang telinga tengah
6. Menjelaskan teknik operasi pada radang telinga tengah dan komplikasinya
7. Melakukan perencanaan tatalaksana penderita radang telinga tengah
(follow-up selanjutnya)
8. Melakukan terapi terhadap radang telinga tengah
9. Melakukan tindakan pembedahan pada radang telinga tengah
10. Melakukan perawatan pra operatif ( memberikan penjelasan kepada
penderita dan keluarga, informed consent) dan pasca operasi serta mampu
mengatasi komplikasi yang terjadi.
E. CONTOH KASUS
Seorang anak laki-laki berusia 4 tahun dibawa orang tuanya ke Instalasi Gawat Darurat
pada malam hari dengan keluhan keluar cairan dari telinga kiri sejak 2 hari. Pasien
menderita batuk pilek sejak 1 minggu dan demam tinggi 3 hari yang lalu. Keadaan umum
pasien saat datang: kompos mentis, subfebris. Pemeriksaan otoskopi kanan liang telinga
lapang, membran timpani utuh, hiperemis. Sedangkan telinga kiri: terdapat sekret mukoid
di liang telinga kiri dan terdapat perforasi sentral pada membran timpani.
Diskusi:
1. Lengkapkan anamnesis pada pasien ini
2. Lengkapkan pemeriksaan fisik pada pasien ini
3. Apa diagnosis kerja yang paling mungkin untuk pasien ini
4. Jelaskan patogenesisnya
5. Apa komplikasi yang mungkin terjadi
6. Bagaimana penatalaksaan pada pasien ini
Jawaban:
1. Perlu ditanyakan apakah keluhan ini timbul pertama kali ataukah berulang-ulang.
Adakah keluhan gangguan pendengaran pada anak ini. Apakah penderita sering
2
Modul I.2.2 - Inflamasi Telinga Tengah
bernafas melalui mulut. Apakah pasien memiliki riwayat penyakit alergi atau
riwayat keluarga dengan penyakit alergi seperti asma, rinitis alergi, ataupun faktor
predisposisi otitis media lainnya.Apakah sudah diberikan obat sebelumnya?
Apakah ada keluhan yang mengarahkan pada komplikasi yang mungkin timbul
seperti sakit kepala, dan lainnya.
2. Pemeriksaan THT lengkap perlu dilakukan yaitu menilai kondisi tenggorok,
ukuran tonsil, dan tanda infeksi lainnya bila mungkin dilihat ukuran adenoid.
Pemeriksaan hidung dilakukan untuk menilai keadaan cavum nasi dan tanda-
tanda infeksi.
3. Diagnosis kerja:
telinga kanan: otitis media akut stadium hiperemis
Telinga kiri: otitis media akut stadium perforasi
Diagnosis tambahan lainnya disesuaikan dengan hasil pemeriksaan hidung dan
tenggorok yang didapatkan pada pasien.
4. Gangguan fungsi tuba Eustachius merupakan faktor utama awal terjadinya otitis
media. Pada gangguan tersebut fungsi tuba sebagai penyeimbang tekanan,
proteksi telinga tengah, dan fungsi ventilasi tidak dapat berjalan dengan baik.
Dengan demikian kan terjadi tekanan negatif di telinga tengah, yang
menyebabkan transudasi cairan hingga supurasi.
5. Dapat terjadi komplikasi intrakranial maupun intratemporal.
6. Pada pasien dengan diagnosis otitis media akut ini perlu diberikan
analgetik/antipiretik serta antibiotik. Antibiotika lini pertama yang terpilih adalah
amoxicillin dan lini kedua adalah amoxicillin-clavulanat. Telinga kiri dengan
stadium perforasi dapat obat antibiotik topikal ofloxacin 0.3%.
F. TUJUAN PEMBELAJARAN
Pembelajaran materi ini bertujuan untuk mendapatkan pengetahuan, ketrampilan dan
perilaku yang terkait dengan kompetensi yang diperlukan, yaitu:
1. Menguasai anatomi, topografi, fisiologi telinga
2. Mampu menjelaskan etiologi dan macam-macam radang telinga tengah.
3. Mampu menjelaskan patofisiologi, komplikasi, gambaran klinis, serta
mendiagnosis kasus radang telinga tengah.
4. Dapat membuat perencanaan tatalaksana penderita radang telinga tengah (follow-
up selanjutnya).
5. Melakukan tindakan pembedahan pada radang telinga tengah
6. Mampu menjelaskan komplikasi dan penanganan radang telinga tengah
7. Mampu melakukan perawatan praoperatif (memberikan penjelasan kepada
penderita dan keluarga, informed consent) dan perawatan pasca-operasi serta
mampu mengatasi komplikasi yang terjadi.
G. METODE PEMBELAJARAN
Tujuan 1. Menguasai anatomi, topografi, dan fisiologi telinga
Untuk mencapai tujuan ini maka dipilih metode pembelajaran berikut ini:
• Belajar mandiri
• Kuliah
• Diskusi kelompok
• Pelatihan diseksi tulang temporal
3
Modul I.2.2 - Inflamasi Telinga Tengah
Harus diketahui :
• Anatomi telinga
• Fisiologi telinga
• Topografi dan landmark bedah mikro telinga
Tujuan 3. Mampu menjelaskan gambaran klinis, diagnosis, serta komplikasi kasus radang
telinga tengah.
• Belajar mandiri
• Kuliah
• Diskusi kelompok
• Visite bedside teaching
• Praktik pada pasien
• Continuing professional development
Harus diketahui :
• Gejala (keluhan pasien)
• Tanda klinis penyakit
• Pemeriksaan penunjang
• Diagnosis kerja dan diagnosis definitif
• Komplikasi penyakit
• Patofisiologi komplkasi
4
Modul I.2.2 - Inflamasi Telinga Tengah
5
Modul I.2.2 - Inflamasi Telinga Tengah
E. EVALUASI
1. Pada awal pertemuan dilaksanakan pre test dalam bentuk tertulis sesuai dengan
tingkat masa pendidikan yang bertujuan untuk menilai kinerja awal yang dimiliki
peserta didik dan untuk mengidentifikasi kekurangan yang ada. Materi pretest terdiri
atas :
- Anatomi dan fisiologi telinga
- Penegakan diagnosis
- Teknik operasi
- Follow up
2. Selanjutnya dilakukan “small group discussion” bersama dengan fasilitator untuk
membahas kekurangan yang teridentifikasi, membahas isi dan hal-hal yang berkenaan
dengan penuntun belajar, kesempatan yang akan diperoleh pada saat bedside teaching
dan proses penilaian.
3. Setelah mempelajari penuntun belajar ini, mahasiswa diwajibkan untuk
mengaplikasikan langkah-langkah yang tertera dalam penuntun belajar dalam bentuk
“role play” dan teman-temannya (Peer Assisted Evaluation) atau kepada SP
(Standardized Patient). Pada saat tersebut, yang bersangkutan tidak diperkenankan
membawa penuntun belajar, penuntun belajar yang dipegang oleh teman-temannya
untuk melakukan evaluasi setelah dianggap memadai, melalui metode bedside
teaching dibawah pengawasan fasilitator, peserta dididik mengaplikasikan penuntun
belajar kepada model anatomik dan setelah kompetensi tercapai peserta didik akan
diberikan kesempatan untuk melakukannya pada pasien sesungguhnya. Pada saat
pelaksanaan evaluator melakukan pengawasan langsung (direct observation), dan
mengisi formulir penilaian sebagai berikut :
- Perlu perbaikan : pelaksanaan belum benar atau sebagian langkah tidak
dilaksanakan.
- Cukup : pelaksanaan sudah benar tetapi tidak efisien, misal
pemeriksaan terdahulu lama atau kurang memberi kenyamanan kepada pasien.
- Baik : pelaksanaan benar dan baik (efisien)
4. Setelah selesai bedside teaching, dilakukan kembali diskusi untuk mendapatkan
penjelasan dari berbagai hal yang tidak memungkinkan dibicarakan di depan pasien,
dan memberi masukan untuk memperbaiki kekurangan yang ditemukan.
5. Self assesment dan Peer Assisted Evaluation dengan mempergunakan penuntun
belajar.
6. Pendidik/ fasilitas :
- pengamatan langsung dengan memakai formulir ceklis terlampir
- penjelasan lisan dari peserta didik/ diskusi
- Kriteria penilaian keseluruhan : cakap/ tidak cakap/ lalai
7. Di akhir penilaian peserta didik diberi masukan dan bila diperlukan diberi tugas yang
dapat memperbaiki kinerja (task-based medical education)
8. Pencapaian pembelajaran :
- Ujian akhir stase, setiap divisi/ unit kerja oleh masing-masing sentra
pendidikan.THT-KL
- Ujian akhir kognitif dan ketrampilan, dilakukan pada akhir tahapan THT-KL
lanjut oleh kolegium ilmu THT-KL
6
Modul I.2.2 - Inflamasi Telinga Tengah
7
Modul I.2.2 - Inflamasi Telinga Tengah
8
Modul I.2.2 - Inflamasi Telinga Tengah
PENUNTUN BELAJAR II
PROSEDUR PEMASANGAN PIPA GROMMET
Nilailah kinerja setiap langkah yang diamati menggunakan skala sebagai berikut.:
1. Perlu perbaikan: langkah tidak dikerjakan atau tidak sesuai dengan yang
seharusnya atau urutannya tidak sesuai (jika harus berurutan)
2. Mampu: langkah dikerjakan sesuai dengan yang seharusnya dan urutannya (jika
harus berurutan). Pelatih hanya membimbing untuk sedikit perbaikan atau
membantu untuk kondisi di luar normal
3. Mahir: langkah dikerjakan dengan benar, sesuai urutannya dan waktu kerja yang
sangat efisien
T/D Langkah tidak diamati (penilai menganggap langkah tertentu tidak perlu
diperagakan)
9
Modul I.2.2 - Inflamasi Telinga Tengah
KEGIATAN KASUS
PASCA MIRINGOTOMI
- Instruksi pasca tindakan
a. pemberian antibiotik sistemik bila diperlukan disesuaikan dengan
etiologi penyakit yang mendasari tindakan
b. pemberian analgetik/antinflamasi
c. evaluasi 7 hari pasca-miringotomi
Nilailah kinerja setiap langkah yang diamati menggunakan skala sebagai berikut:
1 Perlu perbaikan: langkah tidak dikerjakan atau tidak sesuai dengan yang seharusnya
atau urutannya tidak sesuai (jika harus berurutan)
2 Mampu: langkah dikerjakan sesuai dengan yang seharusnya dan urutannya (jika harus
berurutan). Pelatih hanya membimbing untuk sedikit perbaikan atau membantu untuk
kondisi di luar normal
3 Mahir: langkah dikerjakan dengan benar, sesuai urutannya dan waktu kerja yang
sangat efisien
T/D Langkah tidak diamati (penilai menganggap langkah tertentu tidak perlu
diperagakan)
10
Modul I.2.2 - Inflamasi Telinga Tengah
KEGIATAN KASUS
- Aspirasi abses dengan spuit àpus dikirim untuk pemeriksaan
kultur dan tes resistensi
- Insisi dengan scalpel no11 atau .15 di bagian yang paling
fluktuatif sampai daerah subperiosteal (tegak lurus sampai
mencapai bagian tulang)
- Kantong abses dibuka secara tumpul dengan klem hemostat
- Cuci dengan Nacl 0.9 % dan betadine (bila perlu ditambahkan
H2O2 3 %), setelahnya perlu dibilas dengan Nacl 0.9%
- Pasang drain selama 2 hari atau hingga produksi pus berhenti
- Ganti verban dan rawat luka setiap hari hingga tidak ada
produksi pus
POST INSISI ABSES SUBPERIOSTEAL
- Instruksi pasca operasi
a. pemberian antibiotika sistemik
b. pemberian analgetik/antinflamasi
c. evaluasi setiap hari sampai tidak ada produksi pus
PENUNTUN BELAJAR IV
PROSEDUR TIMPANOPLASTI DENGAN MASTOIDEKTOMI DINDING
UTUH
Prosedur mastoidektomi dinding utuh dengan timpanoplasti memiliki beberapa nomenklatur
yaitu:
• Canal wall up mastoidectomy.
• Canal wall up tympanoplasty.
• Intact canal wall mastoidectomy.
• Intact canal wall tympanoplasty.
• Combined approach tympanoplasty (CAT).
• Tympano-mastoidectomy.
• Canal wall up tympano-mastoidectomy.
• Intact canal wall tympano-mastoidectomy
• Closed cavity mastoidectomy
Nilailah kinerja setiap langkah yang diamati menggunakan skala sebagai berikut:
1 Perlu perbaikan: langkah tidak dikerjakan atau tidak sesuai dengan yang seharusnya
atau urutannya tidak sesuai (jika harus berurutan)
2 Mampu: langkah dikerjakan sesuai dengan yang seharusnya dan urutannya (jika harus
berurutan). Pelatih hanya membimbing untuk sedikit perbaikan atau membantu untuk
kondisi di luar normal
3 Mahir: langkah dikerjakan dengan benar, sesuai urutannya dan waktu kerja yang
sangat efisien
T/D Langkah tidak diamati (penilai menganggap langkah tertentu tidak perlu
diperagakan)
11
Modul I.2.2 - Inflamasi Telinga Tengah
12
Modul I.2.2 - Inflamasi Telinga Tengah
KEGIATAN KASUS
- Pasang tandur yang sudah disiapkan dengan salah satu teknik
pemasangan tandur (inlay, underlay, overlay, inlay-
underlay), sesuai dengan tipe timpanoplasti
- Tandur difiksasi dengan gel foam dan tampon liang telinga
dengan lapisan salep antibiotik.
- Luka operasi ditutup dengan jahitan lapis demi lapis
PASCA OPERASI
Instruksi pasca operasi
• pemberian antibiotika sistemik (profilaksis/
empiris/definitif)
• pemberian analgetik/antiinflamasi
• evaluasi pascaoperasi berupa adanya: perdarahan, paresis
N.fasialis dan gangguan pendengaran sensorineurineural,
gangguan keseimbangan
• saat pemulangan pasien disesuaikan dengan kondisi medis
yang dievaluasi operator
• Perawatan luka pasca operasi: perawatan luka retrourikula
anjuran 1 minggu pasca operasi, tampon liang telinga
diangkat 7-14 hari pasca operasi (tergantung kondisi medis
yang dievaluasi operator). Bila ditemukan tanda infeksi,
tampon liang telinga harus diangkat lebih awal.
PENUNTUN BELAJAR V
PROSEDUR TIMPANOPLASTI DENGAN MASTOIDEKTOMI DINDING
RUNTUH
Prosedur ini memiliki beberapa nomenklatur yaitu:
• Canal wall down mastoidectomy
• Open cavity mastoidectomy
Nilailah kinerja setiap langkah yang diamati menggunakan skala sebagai berikut:
1 Perlu perbaikan: langkah tidak dikerjakan atau tidak sesuai dengan yang seharusnya
atau urutannya tidak sesuai (jika harus berurutan)
2 Mampu: langkah dikerjakan sesuai dengan yang seharusnya dan urutannya (jika harus
berurutan). Pelatih hanya membimbing untuk sedikit perbaikan atau membantu untuk
kondisi di luar normal
3 Mahir: langkah dikerjakan dengan benar, sesuai urutannya dan waktu kerja yang
sangat efisien
T/D Langkah tidak diamati (penilai menganggap langkah tertentu tidak perlu
diperagakan)
13
Modul I.2.2 - Inflamasi Telinga Tengah
14
Modul I.2.2 - Inflamasi Telinga Tengah
KEGIATAN KASUS
- Dilakukan insisi retroaurikular 5-10 mm dari sulkus atau pada batas
kulit rambut daerah retroaurikular, mulai dari kulit, subkutis hingga
lapisan fascia m.temporalis
15
Modul I.2.2 - Inflamasi Telinga Tengah
KEGIATAN KASUS
Langkah-langkah mastoidektomi dinding runtuh dengan timpanoplasti
- Bor korteks mastoid dengan landmark segitiga Mc Ewen, dengan
mengidentifikasi dinding posterior liang telinga, linea temporalis
dan spina Henle. Identifikasi tegmen timpani, tegmen mastoid,
sinus sigmoid dan kanalis semisirkulatis lateralis.
- Identifikasi aditus ad antrum, fosa inkudis, solid angle dan N.
Fasialis pars vertikal. Bila ada jaringan patologis/ jaringan
granulasi dan kolesteatoman dibersihkan
- Identifikasi osikel (jika masih ada)
- Bridge diruntuhkan dan dinding posterior direndahkan hingga
setinggi fasial ridge
- Kavitas operasi dibersihkan
- Dilakukan meatoplasti
- Jaringan kolesteatoma dibersihkan sebersih mungkin dan apabila
kavitas bersih dari jaringan patologis (kolesteatoma), dipasang
tandur fasia temporalis menutupi kavitas operasi
- Diletakkan tampon yang sudah dilapisi dengan salep antibiotik
untuk menutup kavitas operasi.
- Luka operasi ditutup dengan jahitan lapis demi lapis
PASCA OPERASI
- pemberian antibiotika sistemik (profilaksis/ empiris/definitif)
- pemberian analgetik/antiinflamasi
- evaluasi pascaoperasi berupa adanya: perdarahan, paresis N.fasialis
dan gangguan pendengaran sensorineurineural, keseimbangan
- saat pemulangan pasien disesuaikan dengan kondisi medis yang
dievaluasi operator
- perawatan luka pasca operasi : perawatan luka retrourikula anjuran 1
minggu pasca operasi, tampon liang telinga diangkat 7-14 hari pasca
operasi (tergantung kondisi medis yang dievaluasi operator). Bila
ditemukan tanda infeksi, tampon liang telinga harus diangkat lebih
awal.
PENUNTUN BELAJAR VI
PROSEDUR MEATOPLASTI
Nilailah kinerja setiap langkah yang diamati menggunakan skala sebagai berikut.:
1 Perlu perbaikan: langkah tidak dikerjakan atau tidak sesuai dengan yang
seharusnya atau urutannya tidak sesuai (jika harus berurutan)
2 Mampu: langkah dikerjakan sesuai dengan yang seharusnya dan urutannya (jika
harus berurutan). Pelatih hanya membimbing untuk sedikit perbaikan atau membantu
untuk kondisi di luar normal
3 Mahir: langkah dikerjakan dengan benar, sesuai urutannya dan waktu kerja yang
sangat efisien
T/D Langkah tidak diamati (penilai menganggap langkah tertentu tidak perlu
diperagakan)
16
Modul I.2.2 - Inflamasi Telinga Tengah
17
Modul I.2.2 - Inflamasi Telinga Tengah
18
Modul I.2.2 - Inflamasi Telinga Tengah
Nilailah kinerja setiap langkah yang diamati menggunakan skala sebagai berikut.:
1. Perlu perbaikan: langkah tidak dikerjakan atau tidak sesuai dengan yang seharusnya
atau urutannya tidak sesuai (jika harus berurutan)
2. Mampu: langkah dikerjakan sesuai dengan yang seharusnya dan urutannya (jika
harus berurutan). Pelatih hanya membimbing untuk sedikit perbaikan atau membantu
untuk kondisi di luar normal
3. Mahir: langkah dikerjakan dengan benar, sesuai urutannya dan waktu kerja yang
sangat efisien
T/D Langkah tidak diamati (penilai menganggap langkah tertentu tidak perlu
diperagakan)
19
Modul I.2.2 - Inflamasi Telinga Tengah
KEGIATAN KASUS
- Tandur fascia m. temporalis dipasang secara
underlay/inlay/overlay
- Jabir timpanomeatal dikembalikan seperti letak semula
- Tandur dan jabir timpanomeatal difiksasi dengan gelfoam
- Pasang tampon antibiotik
Pasca timpanoplasti tipe I
Instruksi pasca operasi
- Pemberian antibiotik sistemik
- Pemberian analgetik
- Perawatan luka pasca operasi : perawatan luka
retroaurikular anjuran 1 minggu pasca operasi, tampon
liang telinga diangkat 7-14 hari pasca operasi (tergantung
operator dalam evaluasi kondisi pasien). Bila ditemukan
tanda infeksi, tampon liang telinga harus diangkat lebih
awal.
I. DAFTAR TILIK
DAFTAR TILIK PENILAIAN KINERJA I
PROSEDUR MIRINGOTOMI
Berikan penilaian tentang kinerja psikomotorik atau ketrampilan yang diperagakan oleh
peserta pada saat melaksanakan suatu prosedur, dengan ketentuan seperti yang diuraikan
di bawah ini:
ü : Memuaskan: Langkah atau kegiatan diperagakan sesuai dengan prosedur
atau panduan standar
X : Tidak memuaskan:Langkah atau kegiatan tidak ditampilkan sesuai
dengan prosedur atau panduan standar
T/T : Tidak ditampilkan: langkah, kegiatan atau ketrampilan tidak diperagakan
oleh peserta selama proses evaluasi oleh pelatih
20
Modul I.2.2 - Inflamasi Telinga Tengah
PASCA MIRINGOTOMI
- Instruksi pasca tindakan
a. pemberian antibiotik sistemik disesuaikan dengan etiologi penyakit yang
mendasari tindakan miringotomi
b. pemberian analgetik/antinflamasi
c. rencana evaluasi 7 hari pasca-miringotomi
DAFTAR TILIK II
PROSEDUR PEMASANGAN PIPA GROMMET
Nilailah kinerja setiap langkah yang diamati menggunakan skala sebagai berikut.:
1) Perlu perbaikan: langkah tidak dikerjakan atau tidak sesuai dengan yang
seharusnya atau urutannya tidak sesuai (jika harus berurutan)
2) Mampu: langkah dikerjakan sesuai dengan yang seharusnya dan urutannya (jika
harus berurutan). Pelatih hanya membimbing untuk sedikit perbaikan atau
membantu untuk kondisi di luar normal
3) Mahir: langkah dikerjakan dengan benar, sesuai urutannya dan waktu kerja yang
sangat efisien
T/D Langkah tidak diamati (penilai menganggap langkah tertentu tidak perlu
diperagakan)
21
Modul I.2.2 - Inflamasi Telinga Tengah
KEGIATAN KASUS
- Pipa grommet dipegang menggunakan forcep alligator dan
diletakan di tempat insisi membran timpani. Kemudian dimasukan
ke lubang insisi dengan menggunakan pick seperti memasukan ke
lubang kancing.
- Atau bila menggunakan pipa T-tube, forcep alligator dipakai
untuk memegang ujung sayap seperti pada contoh gambar seperti
di bawah ini:
PASCA MIRINGOTOMI
Instruksi pasca tindakan
1. pemberian antibiotik sistemik bila diperlukan disesuaikan dengan
etiologi penyakit yang mendasari tindakan miringotomi
2. pemberian analgetik/antinflamasi
3. rencana evaluasi 7 hari pasca-miringotomi
Nilailah kinerja setiap langkah yang diamati menggunakan skala sebagai berikut.:
1. Perlu perbaikan: langkah tidak dikerjakan atau tidak sesuai dengan yang seharusnya
atau urutannya tidak sesuai (jika harus berurutan)
2. Mampu: langkah dikerjakan sesuai dengan yang seharusnya dan urutannya (jika harus
berurutan). Pelatih hanya membimbing untuk sedikit perbaikan atau membantu untuk
kondisi di luar normal
3. Mahir: langkah dikerjakan dengan benar, sesuai urutannya dan waktu kerja yang
sangat efisien
T/D Langkah tidak diamati (penilai menganggap langkah tertentu tidak perlu
diperagakan)
22
Modul I.2.2 - Inflamasi Telinga Tengah
KEGIATAN KASUS
I. KAJI ULANG DIAGNOSIS & PROSEDUR OPERATIF
• Nama
• Diagnosis
• Informed Choice & Informed Consent
• Rencana Tindakan
• Persiapan Sebelum Tindakan
II. PROSEDUR INSISI ABSES SUBPERIOSTEAL
- Cuci tangan, mengenakan sarung tangan steril
- Aseptik dan antiseptik daerah yang akan diinsisi
- Anestesi lokal dengan chlor ethyl spray atau injeksi lidocaine intrakutan
- Aspirasi abses dengan spuit 5 cc àpus dikultur
- Insisi dengan scalpel no11 atau .15 di bagian yang paling fluktuatif
sampai daerah subperiosteal (tegak lurus sampai mencapai bagian
tulang)
- Kantong abses dibuka dengan klem hemostat
- Cuci dengan Nacl 0.9 % dan yodium povidon 10 % (bila perlu
ditambahkan H2O2 3 % dan dibilas kembali dengan Nacl 0.9%)
- Pasang drain selama 2 hari atau hingga produksi pus berhenti
- Ganti verban dan rawat luka setiap hari hingga tidak ada produksi pus
POST INSISI ABSES SUBPERIOSTEAL
-Instruksi pasca operasi:
a. pemberian antibiotik sistemik
b. pemberian analgetik/antinflamasi
c. evaluasi setiap hari sampai tidak ada produksi pus
Berikan penilaian tentang kinerja psikomotorik atau ketrampilan yang diperagakan oleh
peserta pada saat melaksanakan suatu prosedur, dengan ketentuan seperti yang diuraikan
di bawah ini:
23
Modul I.2.2 - Inflamasi Telinga Tengah
PESERTA:.............................. TANGGAL:..................................
KEGIATAN NILAI
1. Persiapan tindakan
2. Infiltrasi daerah operasi
3. Insisi daerah retroaurikular
4. Pengambilan graft fasia muskulus temporalis
5.Mastoidektomi superfisialis:
a. Identifikasi tegmen timpani dan tegmen
mastoid
b. Identifikasi sinus sigmoid
c. Identifikasi kanalis semisirkularis
6. Mastoidektomi dalam:
Identifikasi aditus ad antrum
Identifikasi fossa inkudis dan osikel
Identifikasi kanalis fasialis
7. Pemasangan graft
8. Pemasangan tampon telinga
9. Penutupan luka operasi
10. Monitoring pasca operasi
Berikan penilaian tentang kinerja psikomotorik atau ketrampilan yang diperagakan oleh
peserta pada saat melaksanakan suatu prosedur, dengan ketentuan seperti yang diuraikan
di bawah ini:
PESERTA:................................ TANGGAL:......................................
KEGIATAN NILAI
1. Persiapan tindakan
2. Infiltrasi daerah operasi
3. Insisi retroaurikular
4. Pengambilan graft fasia muskulus temporalis
5.Mastoidektomi superfisialis:
24
Modul I.2.2 - Inflamasi Telinga Tengah
Berikan penilaian tentang kinerja psikomotorik atau ketrampilan yang diperagakan oleh
peserta pada saat melaksanakan suatu prosedur, dengan ketentuan seperti yang diuraikan
di bawah ini:
PESERTA:.............................. TANGGAL:..................................
KEGIATAN NILAI
25
Modul I.2.2 - Inflamasi Telinga Tengah
Berikan penilaian tentang kinerja psikomotorik atau ketrampilan yang diperagakan oleh
peserta pada saat melaksanakan suatu prosedur, dengan ketentuan seperti yang diuraikan
di bawah ini:
PESERTA:.............................. TANGGAL:..................................
KEGIATAN NILAI
1. Persiapan tindakan
2. Tindakan dilakukan di bawah anestesi umum/ lokal
3. Pengambilan lemak dari lobulus bagian posterior
4. Penjahitan luka lobulus
5. membuat luka pada tepi perforasi membran timpani
6. memasukkan fat pada perforasi membran
7. Pasang gelfoam dan tampon antibiotik
8. Monitoring pasca operasi
Berikan penilaian tentang kinerja psikomotorik atau ketrampilan yang diperagakan oleh
peserta pada saat melaksanakan suatu prosedur, dengan ketentuan seperti yang diuraikan
di bawah ini:
ü : Memuaskan: Langkah atau kegiatan diperagakan sesuai dengan prosedur
atau panduan standar
X : Tidak memuaskan:Langkah atau kegiatan tidak ditampilkan sesuai
dengan prosedur atau panduan standar
T/T : Tidak ditampilkan: langkah, kegiatan atau ketrampilan tidak diperagakan
oleh peserta selama proses evaluasi oleh pelatih
PESERTA:.............................. TANGGAL:..................................
KEGIATAN NILAI
1. Persiapan tindakan
2. Infiltrasi liang telinga di 4 kuadran
3. Pengambilan fascia profunda m. temporalis atau
pengambilan graft perikondrium tragus
26
Modul I.2.2 - Inflamasi Telinga Tengah
27
Modul I.2.2 - Inflamasi Telinga Tengah
J. MATERI PRESENTASI
28
Modul I.2.2 - Inflamasi Telinga Tengah
29
Modul I.2.2 - Inflamasi Telinga Tengah
30
Modul I.2.2 - Inflamasi Telinga Tengah
31
Modul I.2.2 - Inflamasi Telinga Tengah
32
Modul I.2.2 - Inflamasi Telinga Tengah
33
Modul I.2.2 - Inflamasi Telinga Tengah
34
Modul I.2.2 - Inflamasi Telinga Tengah
35
Modul I.2.2 - Inflamasi Telinga Tengah
36
Modul I.2.2 - Inflamasi Telinga Tengah
37
Modul I.2.2 - Inflamasi Telinga Tengah
38
Modul I.2.2 - Inflamasi Telinga Tengah
39
Modul I.2.2 - Inflamasi Telinga Tengah
40
Modul I.2.2 - Inflamasi Telinga Tengah
41
Modul I.2.2 - Inflamasi Telinga Tengah
42
Modul I.2.2 - Inflamasi Telinga Tengah
43
Modul I.2.2 - Inflamasi Telinga Tengah
44
Modul I.2.2 - Inflamasi Telinga Tengah
45
Modul I.2.2 - Inflamasi Telinga Tengah
K. MATERI BAKU
OTITIS MEDIA AKUT
Meski merupakan rangkaian kesatuan, OM dapat disubklasifikasikan menjadi Otitis
Media Akut (OMA) dan Otitis Media Efusi (OME) berdasarkan tanda dan gejala
klinis. Mengingat penatalaksanaan OMA dan OME berbeda, penting untuk secara
akurat mendiagnosis kedua kondisi ini.
Definisi
Otitis media akut ditandai dengan onset yang cepat dari tanda dan gejala peradangan
di telinga tengah yang disertai dengan efusi di telinga tengah. Tanda inflamasi
meliputi bulging membran timpani, eritema dan perforasi akut MT dengan otorrhea.
Gejala meliputi otalgia, iritabilitas dan demam.
Insidensi
Insidensi tertinggi OMA terjadi pada usia 6-11 bulan. Bila onset terjadinya episode
OMA untuk pertama kalinya didapatkan sebelum usia 6 bulan atau 12 bulan, hal ini
menjadi prediktor yang kuat untuk terjadinya rekurensi
Faktor Risiko
OMA merupakan kelanjutan dari gangguan fungsi tuba yang terjadi saat infeksi virus
akut saluran napas atas. Faktor risiko OMA antara lain usia (anak), alergi, kelainan
kraniofasial, paparan asap rokok atau iritan lain, paparan di tempat penitipan anak,
riwayat keluarga dengan OMA rekuren, refluks, imunodefisiensi, tidak minum ASI,
menggunkan dot/empeng, infeksi saluran napas atas.
Mikrobiologi
Bakteri dapat dikultur dari cairan telinga tengah pada 50-90% kasus. Streptokokus
pneumonia, Haemofillus Influenza, dan Moraxella catharralis adalah organisme
tersering penyebab OMA.
Faktor Risiko
OMA merupakan kelanjutan dari gangguan fungsi tuba yang terjadi saat infeksi virus
akut saluran napas atas. Faktor risiko OMA antara lain usia (anak), alergi, kelainan
kraniofasial, paparan asap rokok atau iritan lain, paparan di tempat penitipan anak,
riwayat keluarga dengan OMA rekuren, refluks, imunodefisiensi, tidak minum ASI,
menggunkan dot/empeng, infeksi saluran napas atas
Patogenesis
Gangguan fungsi tuba Eustachius merupakan faktor utama awal terjadinya otitis
media. Pada keadaan tersebut fungsi tuba sebagai penyeimbang tekanank proteksi
telinga tengah, dan fungsi ventilasi tidak dapat berjalan dengan baik. Dengan
demikian akan terjadi tekanan negatif di telingah tengah, yang menyebabkan
transudasi cairan hingga supurasi.
OMA terdiri atas 5 stadium, yaitu (1) stadium oklusi tuba; (2) stadium hiperemis
(presupurasi); (3) stadium supurasi; (4) stadium perforasi; (5) stadium resolusi.
Keluhan dan gejala klinik tergantung dari stadium tersebut.
46
Modul I.2.2 - Inflamasi Telinga Tengah
Gejala
Diagnosis ditegakkan berdasarkan kombinasi dari gejala dan tanda. Diagnosis
berdasarkan gejala saja tidak tepat karena pada usia anak, gejala tidak spesifik untuk
otitis media. Sepertiga anak menunjukan gejala yang tidak berkaitan dengan telinga
dan 2/3 pasien anak tidak mengalami demam. Gejala yang menunjukan tanda khas
otitis media akut antara lain nyeri telinga, gangguan pendengaran, otorea, demam,
tangisan keras, iritabilitas, batuk pilek, muntah, sulit makan, dan menarik telinga.
Otitis media akut biasanya terjadi 3-4 hari setelah onset batuk pilek. Nyeri telinga
akan berkurang dalam 24 jam tanpa adanya pengobatan. Gejala akan berkurang tanpa
pengobatan pada 88% pasien pada hari ke 4-7.
Tanda
Penilaian membran timpani terutama warna, posisi dan pergerakan penting dalam
mendiagnosis otitis media akut. Membran timpani dapat berwarna opak, paling
sering berwarna kekuningan atau kuning agak kemerahan dan hanya 18-19%
berwarna merah. Posisi membran timpani yang menonjol dapat memprediksi adanya
OMA. Pergerakan membran timpani yang terbatas (hipomobilitas) dengan
pneumatik otoskopi menunjukan adanya efusi di telinga tengah dan mendukung ke
arah diagnosis. Otitis media akut stadium perforasi dapat ditandai dengan keluarnya
cairan dari membran timpani yang perforasi.
Diagnosis
Diagnosis OMA berdasarkan American Academy of Pediatrics guideline antara lain
bulging/ membrane timpani yang menonjol sedang hingga berat. Onset baru otorea
yang tidak disebabkan otitis eksterna, membran timpani yang menonjol (ringan)
disertai dengan keluhan nyeri telinga (kurang dari 48 jam) atau eritema. Bila terjadi
3 episode OMA berulang dalam periode 6 bulan atau 4 episode atau lebih dalam 12
bulan maka dapat dikatakan OMA rekuren.
Tatalaksana
Farmakologi
Analgetik
Analgetik direkomendasikan untuk keluhan nyeri telinga,
demam dan iritabilitas. Ibuprofen dan asetaminofen efektif, namun ibuprofen lebih
dipilih karena durasi kerja yang lebih lama dan toksisitas yang lebih rendah.
Antibiotik
• Anak usia 6 bulan atau lebih dengan otorea dan gejala tanda sedang hingga
berat, otalgia berat, otalgia dalam 48 jam, demam 39 derajat atau lebih
membutuhkan antibiotik selama 10 hari
• Anak usia 6 bulan hingga 23 bulan dengan OMA bilateral tanpa tanda dan
gejala yang berat memerlukan pemberian antibiotik selama 10 hari
47
Modul I.2.2 - Inflamasi Telinga Tengah
• Anak usia 6 bulan hingga 23 bulan dengan OMA unilateral tanpa tanda
dan gejala yang berat dapat dilakukan observasi atau dilakukan pemberian
antibiotik selama 10 hari
• Anak usia diatas 2 tahun tanpa gejala dan tanda yang berat dapat dilakukan
observasi atau pemberian antibiotik selama 5-7 hari
Pilihan antibiotik setelah 48-72 jam fase inisial atau gagal terapi inisial
Antibiotik lini pertama
• Amoxicillin-clavulanate* (90 mg/kg per hari dengan dosis terbagi
2) atau
• Ceftriaxone (50 mg/kg IM atau IV per hari untuk 1-3 hari,
maksimal 1 g per hari)
Alternatif
• Ceftriaxone, 3 hari clindamycin (30–40 mg/kg per per hari dalam
dosis terbagi 3), dengan atau tanpa cephalosporin generasi ketiga
Kegagalan antibiotik kedua
• Clindamycin (30–40 mg/kg per hari dalam dosis terbagi 3)
ditambah cephalosporin generasi ketiga
• Timpanosintesis
Observasi
Observasi dilakukan selama 48-72 jam. Bila terdapat gejala dan tanda OMA persisten
dapat mulai dilakukan pemberian antibiotik atau penggantian antibiotik. Anak dengan
OMA persisten setelah pemberian antibiotik harus dilakukan pemeriksaan ulang.
Edukasi
Pada pasien dengan OMA rekuren perlu diketahui penyebab yang mendasari misalnya
alergi. Penggunaan dot dan paparan asap rokok perlu dihindari, serta direkomendasikan
imunisasi dengan vaksin pneumokokus dan vaksin influenza.
48
Modul I.2.2 - Inflamasi Telinga Tengah
Daftar Pustaka
1. Johnson, J.T, Rosen C.A. Otitis Media in the Age of Antimicrobial Resistance in
Bailey’s Head and Neck Surgery-Otolaryngology. Fifth edition. Volume two.
Lippincott Williams & Wilkins. 2014
2. Lee K.J. Infections of the Temporal Bone. In: Essential Otolaryngology. 12 th Ed.
McGraw Hill. 2019
3. Gulya, A.J, Minor L.B, Poe D.S. Pathology and Clinical Course of the Inflammatory
Disease of the Middle Ear in Glasscock-Shambaugh Surgery of the Ear. Sixth edition.
Peoples’s Medical Publishing House-USA. 2010
4. Djaafar ZA, Helmi, Restuti RD. Kelainan Telinga Tengah. Dalam: Soepardi EA,
Iskandar N, Bashiruddin J, Restuti RD. Buku Ajar Ilmu Penyakit Penyakit Telinga
Hidung Tenggorok Edisi keenam. Balai Penerbit FK UI, Jakarta, 2007. h: 64-77.
5. Rea PA, Ronan N. Acute Otitis Media. In: Watkinson J, Clarke R, editors. Scott-
Brown’s otorhinolaryngology head and neck surgery. 2. 8th Ed ed. Boca Raton:
Taylor & Francis Group; 2018. p. 137-52.
6. Lieberthal AS, Caroll AE, Chonmaitree T, Ganiats TG, et al. The diagnosis and
management of acute otitis media. Pediatrics 2013 Mar 13 (3): e 964-99
7. Granath A. Recurrent Acute Otitis Media: What Are the Options for Treatment and
Prevention ?. Curr Otorhinolaryngol Rep. 2017;5(2):93-100. doi:10.1007/s40136-017-
0151-7
Definisi
Otitis media efusi adalah efusi telinga tengah (MEE=Middle Ear Effusion) tanpa
tanda dan gejala inflamasi akut seperti yang didapatkan pada OMA. Mungkin sulit untuk
menentukan kejadian OME yang sebenarnya, mengingat OME secara definisi adalah
asimptomatik, kecuali OME akut yang umumnya terjadi akibat penerbangan atau
penyelaman. Karena itu diperlukan observasi beberapa kali dengan interval waktu (antar
observasi) yang pendek untuk dapat secara akurat menilai onset dan berapa lama waktu
untuk terjadinya resolusi pada tiap episode OME baru.
Insidensi
Diperkirakan 65% episode OME pada anak usia 2-7 tahun akan mengalami resolusi
dalam waktu 1 bulan. Pemeriksaan berkala setiap bulan dengan otoskopi dan
timpanometri pada anak usia 2-6 tahun di tempat penititipan anak di Pittsburgh
mendapatkan kejadian efusi telinga tengah sedikitnya sekali pada 53-61% anak dan
penelitian lain juga mendapatkan insiden efusi telinga tengah sebesar 26% pada anak usia
7 tahun yang diperiksa secara berkala setiap bulannya selama 1 tahun dengan
timpanometri. Hampir semua anak akan mengalami setidaknya satu episode OME saat
mencapai usia 3 tahun.
Faktor risiko
Faktor risiko dapat berkaitan dengan host ataupun lingkungan.
Faktor risiko yang berkaitan dengan host di antaranya, usia, ras, prematuritas, alergi,
immunokompeten (defek pada status imun), celah palatum dan abnormalitas kraniofasial,
predisposisi genetik. Risiko terjadinya MEE persisten (OME) setelah suatu episode OMA
49
Modul I.2.2 - Inflamasi Telinga Tengah
berbanding terbalik dengan usia. Anak yang mengalami episode MEE untuk pertama
kalinya sebelum usia 2 bulan, memiliki risiko yang lebih tinggi terhadap terjadinya OME
(menetapnya cairan di telinga tengah) pada tahun pertama kehidupan dibandingkan
dengan anak yang mengalami episode tersebut pada usia yang lebih tua.
Faktor risiko yang berkaitan dengan lingkungan di antaranya infeksi saluran napas atas,
musim, tempat penitipan anak, jumlah saudara kandung, paparan asap rokok, ASI, status
sosioekonomik, kebiasaan menggunakan dot pada bayi dan obesitas.
Faktor risiko ini berperan penting terhadap terjadinya penyakit telinga tengah demikian
juga terhadap terjadinya rekurensi ataupun persistensi penyakit
Terapi
Observasi
Watchful waiting sebaiknya dipertimbangkan untuk anak yang tidak memiliki risiko
gangguan bicara dan bahasa atau gangguan belajar seperti yang direkomendasikan oleh
guideline OME. Observasi berkala harus dilakukan ketat pada pasien anak hingga tidak
lagi tampak adanya efusi, gangguan pendengaran, atau gambaran abnormal lain dari
membran timpani. OME umumnya akan terjadi resolusi spontan dalam 3 bulan, namun
30-40% anak akan memiliki episode OME berulang dan 5-10% episode berlangsung
selama 1 tahun. Pada pasien anak dengan risiko tinggi terjadi keterlambatan
perkembangan, diperlukan diagnosis dan penatalaksanaan OME secara dini. Pada otitis
media efusi dengan abnormalitas struktural pada membran timpani, tindakan pembedahan
dapat dipertimbangkan.
Down syndrome atau craniofacial disorder yang meliputi keterlambatan bicara, bahasa
dan kognitif
Gangguan perkembangan
Operatif
Keputusan dilakukannya terapi operatif pada OME bergantung terutama pada status
pendengaran, gejala klinis terkait, risiko terhadap perkembangan anak dan antisipasi
terhadap terjadinya resolusi spontan dari efusi dalam jangka waktu tertentu. Miringotomi
dan pemasangan pipa ventilasi pemasangan pipa ventilasi (tympanostomy tube)
merupakan tatalaksana yang dianjurkan untuk otitis media efusi yang tidak mengalami
perbaikan setelah observasi selama 3 bulan.Pemasangan pipa ventilasi merupakan
50
Modul I.2.2 - Inflamasi Telinga Tengah
Komplikasi
Atelektasis dan Otitis Media Adhesiva biasanya terjadi bersamaan dengan OME, meski
OME dapat mengalami resolusi sehingga memungkinkan aerasi atik dan mastoid, namun
meninggalkan telinga tengah yang kolaps. Tidak semua pasien dengan OME kronik
berkembang menjadi atelektasis. Kebanyakan pasien OME, hanya sedikit yang
mengalami retraksi membran timpani. Pada pasien dengan OME bilateral, 1.5% telinga
yang tidak diterapi dan 2% telinga yang diterapi dengan pipa ventilasi berkembang
menjadi atelektasis berat.
Bila terjadi atelektasis, membran timpani akan mengalami retraksi ke promontorium dan
tulang-tulang pendengaran di telinga tengah. Pada telinga yang atelektaktik, terjadi
obliterasi sebagian atau seluruh rongga telinga tengah, namun membran timpani tidak
melekat ke dinding medial telinga tengah, dan mukosa yang melapisi telinga tengah masih
intak. Sebaliknya, otitis media adhesiva terjadi bila rongga telinga tengah mengalami
obliterasi total dan membran timpani melekat ke tulang-tulang pendengaran dan
promontorium, serta tidak didapatkan lapisan mukosa. Retraksi dari membran timpani
dapat menyebabkan erosi prosesus longus inkus dan stapes suprastruktur.
Episode berulang dari otitis media akut dapat menyebabkan semakin lemah dan tipisnya
membran timpani yang memungkinkan berkembang menjadi atelektasis. Sadé dan Berco
mendapatkan destruksi pada lapisan fibrosa membran timpani yang mengandung kolagen
pada beberapa telinga dengan infeksi rekuren. Destruksi kolagen pada membran timpani
dapat menyebabkan komplikasi lain dari OME, yaitu timpanosklerosis. Sadé dan Berco
demikian juga Tos dan Poulsen menggambarkan 4 stadium dari retraksi membran
timpani:
stadium I : membran timpani retraksi ringan
stadium II : membran timpani retraksi dan kontak dengan inkus atau
stapes
stadium III : atelektasis telinga tengah ( membran timpani menyentuh
promontorium)
stadium IV : otitis media adhesiva (membran timpani melekat pada
promontorium)
51
Modul I.2.2 - Inflamasi Telinga Tengah
Atelektasis telinga tengah dapat bersifat reversibel dengan pemasangan pipa ventilasi.
Sadé mendapatkan bahwa pemasangan pipa ventilasi dapat memperbaiki keadaan
atelektasis.
Daftar Pustaka
1. Flint, P.W, Haughey B.H, Lund V.J, Niparko J.K, Richardson M.A, Robbins K.T,
Thomas J.R. Cummings Otolaryngology Head and Neck Surgery. Seventh edition.
Volume two. Mosby Elsevier. 2020
2. Johnson, J.T, Rosen C.A. Otitis Media in the Age of Antimicrobial Resistance in
Bailey’s Head and Neck Surgery-Otolaryngology. Fifth edition. Volume two.
Lippincott Williams & Wilkins. 2014
3. Gulya, A.J, Minor L.B, Poe D.S. Pathology and Clinical Course of the Inflammatory
Disease of the Middle Ear in Glasscock-Shambaugh Surgery of the Ear. Sixth edition.
Peoples’s Medical Publishing House-USA. 2010
4. Rosenfeld RM, Shin JJ, Scwartz SR, Coggins R, Gagnon L, Hackell JM, et al. Clinical practice
guidelines: otitis media with effusion executive summary (update). Otolaryngology Head
and Neck Surgery. 2016;154(2):201–14.
5. Robb PJ, Williamson I. Otitis media effusion. In: Watkinson JC, Clarke RW, editors. Scott-
Brown’s otorhinolaryngology head and neck surgery. 2. 8 ed. Boca Raton: Taylor and
Francis Group; 2018. p. 115-36.
6. Banerjee A. Acute otitis media with effusion in adults. In: Watkinson JC, Clarke RW, editors.
Scott-Brown’s otorhinolaryngology head and neck surgery. 8. Boca Raton: Taylor & Francis
Group; 2018. p. 971-5.
52
Modul I.2.2 - Inflamasi Telinga Tengah
Definisi
Infeksi kronis di telinga tengah dengan perforasi membran timpani dan sekret yang keluar
dari telinga tengah lebih dari 2 bulan, terus menerus atau hilang timbul. Sekret mungkin
encer atau kental, bening atau berupa nanah .
Ruang lingkup
Otitis Media Supuratif Kronik terdiri dari 2 tipe yaitu: OMSK tanpa Kolesteatoma ( tipe
tubotimpani/ tipe mukosa/ tipe aman) dan OMSK dengan Kolesteatoma (tipe atikoantral,
tipe tulang/ tipe bahaya).
Pemeriksaan penunjang
Kultur dan tes resistensi sekret telinga tengah, foto polos mastoid (posisi Schuller), HRCT
scan mastoid (jika memungkinkan), dan audiometri nada murni.
Terapi
Konservatif, bila sekret keluar terus menerus dapat diberi H2O2 3%, antibiotik topikal
berupa tetes telinga, dan antibiotik sistemik jika diperlukan.
Indikasi operasi
Bila perforasi masih menetap setelah 3 bulan pengobatan medikamentosa maka idealnya
dapat dilakukan operasi, yaitu timpanoplasti dengan atau tanpa mastoidektomi dinding
utuh. (Lihat Algoritma 1 dan 2)
Pemeriksaan penunjang
Kultur dan tes resistensi sekret telinga tengah, foto polos mastoid (posisi Schuller) atau
HRCT mastoid, CT Scan kepala (jika curiga komplikasi intrakranial) dan audiometri
nada murni.
Terapi
Operasi timpanoplasti dengan mastoidektomi dinding runtuh (Algoritma 3)
Komplikasi
Intrakranial: abses ekstradural, trombofleblitis sinus sigmoid, abses otak, hidrosefalus
otikus, meningitis, dan abses subdural
Komplikasi ektrakranial terdiri dari ektratemporal dan intratemporal.
53
Modul I.2.2 - Inflamasi Telinga Tengah
LCD 25 : Algoritma
-
CT scan tidak dapat dilakukan
Abses intrakranial
Hidrosefalus otitik
Abses intrakranial
Hidrosefalus otitik
+ Pengobatan medikamentosa bersama
spesialis Bedah Saraf
KU baik KU buruk
Mastoidektomi Mastoidekto- Pertimbangkan
bersama bedah Mastoidektomi mi dalam mastoidektomi
saraf kemudian bius umum dalam bius
lokal
Ruang Lingkup
Terdapat OMSK yaitu radang kronis telinga tengah dengan perforasi membran timpani
dan riwayat keluarnya sekret dari telinga (otore) lebih dari 2 bulan, baik terus menerus
atau hilang timbul. Juga dapat dilakukan pada eksplorasi kasus mastoiditis koalesen yang
tidak memberikan respons baik dengan terapi konservatif.
54
Modul I.2.2 - Inflamasi Telinga Tengah
Indikasi Operasi
• OMSK tipe aman, dengan perforasi menetap lebih dari 3 bulan dengan keadaan
keluar cairan berulang dan gangguan pendengaran
• Mastoiditis koalesen
• Abses subperiosteal retroaurikula
• Kolesteatoma pada anak atau pada kolesteatoma (terbatas) dengan mastoid yang
pneumatisasi baik
• Implantasi koklea
• Dekompresi N facialis
• Beberapa kasus glomus jugular kelas B
• Atelektasis grade IV dan V
Pemeriksaan Penunjang
- Audiometri nada murni, dapat disertai audiometri tutur
- Foto polos mastoid (Schuller) atau HRCT scan mastoid (jika memungkinkan)
- Kultur dan tes sensitivitas sekret telinga tengah
Teknik Operasi
- Digunakan anestesi umum. Dapat dilakukan dengan anestesi lokal jika anestesi umum
dikontraindikasikan.
- Dapat dilakukan insisi retroaurikular atau endaural. Insisi retroaurikular memberikan
paparan lapangan operasi yang lebih baik.
- Bor korteks mastoid dengan landmark segitiga Mc Ewen, dengan mengidentifikasi
dinding posterior liang telinga, linea temporalis dan spina Henle. Identifikasi tegmen
timpani, tegmen mastoid, sinus sigmoid dan kanalis semisirkulatis lateralis
- Identifikasi aditus ad antrum, fosa inkudis, solid angle dan N. Fasialis pars vertikal.
Bila ada jaringan patologis/ jaringan granulasi dibersihkan
- Identifikasi inkus, inkudimaleolar join dan maleus serta periksa mobilitas osikel dan
patensi aditus ad antrum. Bila perlu dilakukan timpanotomi posterior.
- Pasang tandur yang sudah disiapkan dengan salah satu teknik pemasangan tandur
(inlay, underlay, overlay, inlay-underlay), sesuai dengan tipe timpanoplasti yang
dilakukan dan dilakukan fiksasi dengan gel foam
- Diletakkan tampon antibiotik di liang telinga,.
- Luka operasi ditutup dengan jahitan lapis demi lapis
Komplikasi
- Paralisis fasial
- Perdarahan akibat cedera sinus (sinus sigmoid, sinus petrosal superior dan bulbus
jugularis)
55
Modul I.2.2 - Inflamasi Telinga Tengah
- Cedera dura
- Subluksasi inkus
- Ekstraksi inkus
- Tuli nada tinggi traumatik
- Anakusis
- Stenosis meatal
- Fiksasi tulang maleus dan inkus
Perawatan Pascaoperasi
- Pemberian antibiotik sistemik.
- saat pemulangan pasien disesuaikan dengan kondisi medis yang dievaluasi operator
- Luka jahitan retroaurikula dibuka pada hari ke 7 atau setelah luka operasi kering
Tampon liang telinga diangkat 7-14 hari pasca operasi (tergantung operator). Bila
ditemukan tanda infeksi, tampon liang telinga harus diangkat lebih awal.
Daftar Pustaka
1. Johnson, J.T, Rosen C.A. Bailey’s Head and Neck Surgery-Otolaryngology. Fifth
edition. Volume two. Lippincott Williams & Wilkins. 2014
2. Lee K..J. Infections of the Temporal Bone in Essential Otolaryngology. 12th
edition. McGraw Hill. 2019
3. Flint, P.W, Haughey B.H, Lund V.J, Niparko J.K, Richardson M.A, Robbins K.T,
Thomas J.R. Chronic Otitis Media Mastoiditis and Petrositis in Cummings
Otolaryngology Head and Neck Surgery. Seventh Edition. Volume two. Mosby
Elsevier. 2020
4. Gulya, A.J, Minor L.B, Poe D.S. Pathology and Clinical Course of the
Inflammatory Disease of the Middle Ear in Glasscock-Shambaugh Surgery of the
Ear. Sixth edition. Peoples’s Medical Publishing House-USA. 2010
5. Brackmann, D.E, Shelton C, Arriaga M.A. Complication of Surgery for Chronic
Otitis Media in Otologic Surgery. Third edition. Saunders Elsevier. 2010
6. Helmi, Otitis Medis Supuratif Kronis, Balai Penerbit FK-UI, Jakarta, 2005, 147-
150
7. Sanna M, Sunose H, Mancini F, Russo A, Taibah A, Flacioni M. Middle ear and
mastoid microsurgery.2nd Ed. Thieme: New York. 2012
Kompetensi
Dokter memiliki pengetahuan teoritis mengenai keterampilan mastoidektomi modifikasi
(konsep, teori, prinsip maupun indikasi, cara melakukan, komplikasi dan sebagainya).
Selain itu selama pendidikan pernah melihat atau pernah didemonstrasikan keterampilan
mastoidektomi modifikasi.
Definisi
Operasi telinga tengah yang dilakukan melalui jalur posterior (transmastoid), pada akhir
prosedur dinding posterior liang telinga diruntuhkan, dan dilakukan prosedur
timpanoplasti.
Indikasi
56
Modul I.2.2 - Inflamasi Telinga Tengah
Teknik operasi
1. Insisi postaural atau endaural
2. Retraksi jaringan lunak dan memaparkan daerah mastoid. Daerah mastoid mulai dari
pangkal posterior tulang zigoma sampai ke belakang sudut suprameatal dan diatas
linea temporalis sampai ke bagian bawah tip mastoid dibuka dengan cara mengelevasi
periosteum dan meretraksi luka insisi.
3. Mengangkat tulang dan membuka atik dan antrum. Dengan bantuan bor tulang
diangkat dari daerah sudut supra meatal, spine of henle, pangkal tulang zigoma
sampai ke bagian atas dinding anterior meatus, bagian atas dinding superior meatus
juga diruntuhkan. Tindakan ini akan memaparkan daerah antrum dan atik. Kemudian
dilakukan identifikasi daerah tegmen mastoid dan kanalis semi sirkularis.
4. Angkat jaringan patologis. Kolesteatoma, granulasi dan mukosa yang tidak sehat
diangkat. Inkus dan kepala dari maleus perlu untuk diangkat apabila kolesteatoma
meluas ke arah medial, tetapi sedapat mungkin dipertahankan.
5. Facial ridge direndahkan
6. Kavum mastoid dihaluskan dengan bor diamond, sambil dilakukan irigasi
7. Rekonstruksi mekanisme pendengaran. Pars tensa dari membran timpani dan telinga
tengah apabila sehat, dibiarkan/tidak diganggu. Bila penyakit meluas ke telinga
tengah, hanya jaringan ireversibel yang dibuang. Rekonstruksi dari membran timpani
atau rantai osikel, apabila rusak dapat dilakukan (mastoidektomi dengan
timpanoplasti)
8. Meatoplasti dan penutupan luka operasi sama pada mastoidektomi radikal.
Komplikasi operasi
• Cedera nervus fasialis.
• Perikondritis daun telinga.
• Kebocoran dura atau sinus sigmoid.
• Labirintitis
• Trauma telinga dalam
Pemeriksaan penunjang
1. Kultur dan tes resistensi sekret telinga
2. Foto polos Mastoid posisi Schuller atau HRCT Mastoid
57
Modul I.2.2 - Inflamasi Telinga Tengah
Perawatan pascabedah
Perban mastoid (perban melingkari kepala) dibuka keesokan harinya, diganti dengan
perban biasa yang menutup luka operasi dan liang telinga. Perban tersebut dibuka pada
hari ke 7 sekaligus buka jahitan kulit. Tampon liang telinga dalam diangkat pada hari ke
7 - 14.
Setelah itu, bila dianggap perlu pasien diinstruksikan meneteskan antibiotik tetes
telinga. Pemberian antibiotik oral pasca operasi tergantung tanda-tanda infeksi yang
ditemukan waktu operasi dan lamanya operasi serta keyakinan operator terhadap
bersihnya lingkungan tempat operasi dilakukan.
Follow-up
Evaluasi operasi dipantau secara periodik 1 mingu pascaoperasi, 2 minggu, 4 minggu, 6
minggu, 8 minggu dan 12 minggu. Selanjutnya setiap 6 bulan-tahun sekali untuk
mencegah terjadinya debris dan infeksi. Audiometri nada murni dilakukan setelah 2 – 3
bulan pascaoperasi.
Daftar Pustaka
1. Chole RA, Brodie HA, Jacob A. Surgery of the Mastoid and Petrosa. In Byron J.
Bailey & Jonas T. Johnson Head and Neck Surgery Otolaryngology. Fifth edition.
Volume two. Lippincott Williams & Willimns. Philadelphia. 2014. p: 2447
2. Lee K..J. Infections of the Temporal Bone. In:Essential Otolaryngology. 12 th
Ed. McGraw Hill. 2019
3. Flint, P.W, Haughey B.H, Lund V.J, Niparko J.K, Richardson M.A, Robbins K.T,
Thomas J.R. Chronic Otitis Media Mastoiditis and Petrositis in Cummings
Otolaryngology Head and Neck Surgery. Fifth edition. Volume two. Mosby
Elsevier. 2010
4. Gulya, A.J, Minor L.B, Poe D.S. Pathology and Clinical Course of the
Inflammatory Disease of the Middle Ear in Glasscock-Shambaugh Surgery of the
Ear. Sixth edition. Peoples’s Medical Publishing House-USA. 2010
5. Brackmann, D.E, Shelton C, Arriaga M.A. Complication of Surgery for Chronic
Otitis Media in Otologic Surgery. Third edition. Saunders Elsevier. 2010
6. Chole RA, Brodie HA, Jacob A. Surgery of the Mastoid and Petrosa. In Byron J.
Bailey & Jonas T. Johnson Head and Neck Surgery Otolaryngology. Vol 2. 4th.
Lippincott Williams & Willimns. Philadelphia. 2006. p: 2101-2
7. Helmi. Bedah Telinga Tengah untuk Otitis Media Supuratif Kronis. Penerbit FK
UI Jakarta. 2005. h: 170
8. Sanna M, Sunose H, Mancini F, Russo A, Taibah A, Flacioni M. Middle ear and
mastoid microsurgery.2nd Ed. Thieme: New York. 2012
Mastoidektomi Radikal
Kompetensi
Dokter memiliki pengetahuan teoritis mengenai keterampilan mastoidektomi radikal
(konsep, teori, prinsip maupun indikasi, cara melakukan, komplikasi dan sebagainya).
Selain itu selama pendidikan pernah melihat atau pernah didemonstrasikan keterampilan
mastoidektomi radikal.
58
Modul I.2.2 - Inflamasi Telinga Tengah
Definisi
Tindakan membuang seluruh sel-sel mastoid di rongga mastoid, meruntuhkan
seluruh dinding belakang liang telinga, pembersihan seluruh sel mastoid yang
mempunyai drainase ke kavum timpani yaitu membersihkan total sel-sel mastoid disudut
sinodural, didaerah segitiga Trautmann, disekitar kanalis fasialis, disekitar liang telinga
yaitu di prosesus zigomatikus, juga di prosesus mastoideus sampai ke ujung mastoid.
Kemudian membuang inkus dan maleus, hanya stapes atau sisa yang dipertahankan,
sehingga terbentuk kavitas operasi yang merupakan gabungan rongga mastoid, kavum
timpani dan liang telinga.
Indikasi
• OMSK dengan Kolesteatoma (OMSK tipe bahaya/atikoantral/tipe tulang)
• Tumor telinga
Kontraindikasi
• Otitis media supuratif kronik tanpa kolesteatoma dengan perforasi sentral
• Otitis media akut dengan mastoiditis.
• Otitis media tuberkulosis.
Pemeriksaan penunjang
1. Kultur dan tes resistensi sekret telinga tengah
2. Foto polos Mastoid (Schuller)
3. CT scan temporal (jika perlu dan memungkinkan)
4. Audiometri nada murni, audiometri tutur
Setelah memehami, menguasai dan mengerjakan modul ini maka diharapkan seorang
dokter ahli mempunyai kompetensi serta penerapannya dapat dikerjakan di RS
pendidikan dan RS jaringan pendidikan, serta dapat dipergunakan oleh program studi
disiplin ilmu terkait.
Anestesi
Biasanya dilakukan dengan anestesi umum. Lokal anestesi dilakukan hanya pada kasus
yang tidak memungkinkan pasien dibius.
Teknik operasi
• Dilakukan insisi postaural atau endaural
• Retraksi jaringan lunak dan memaparkan daerah mastoid. Daerah mastoid mulai
dari pangkal posterior tulang zigoma sampai ke belakang sudut suprameatal dan
diatas linea temporalis sampai ke bagian bawah tip mastoid dibuka dengan cara
mengelevasi periosteum
• Identifikasi tegmen timpani dan tegmen mastoid
• Identifikasi sinus sigmoid
• Identifikasi kanalis semisirkularis
• Identifikasi aditus ad antrum
• Identifikasi fossa inkudis dan osikel
• Identifikasi kanalis fasialis
• Mengangkat jaringan patologis berupa jaringan granulasi dan kolesteatoma
59
Modul I.2.2 - Inflamasi Telinga Tengah
• Meruntuhkan bridge
• Merendahkan dinding posterior
• Meatoplasti.
• Jika kavum mastoid sangat besar dan kolesteatoma bersih, maka dilakukan
obliterasi dengan muskulus temporal atau jaringan lunak namun harus
memperhatikan risiko tersisanya matriks kolesteatoma.
• Menutup luka operasi. Kavum timpani ditutup dengan tampon antibiotik, dan luka
operasi dijahit satu persatu.
Komplikasi operasi
1. Paresis nervus fasialis.
2. Perikondritis daun telinga.
3. Kebocoran dura atau sinus sigmoid.
4. Labirintitis.
5. Kista coklat atau mukus.
6. Kolesteatoma berulang.
7. Terbentuknya jaringan granulasi.
Perawatan pascabedah
Perban mastoid (perban melingkari kepala) dibuka keesokan harinya, diganti dengan
perban biasa yang menutup luka operasi dan liang telinga. Jahitan luka dibuka pada hari
ke 7. Tampon dalam dikeluarkan pada hari ke 10-14, kecuali terjadi infeksi dapat diganti
sebelum hari ke 10.
Setelah itu, bila dianggap perlu pasien di instruksikan meneteskan obat tetes telinga.
Pemberian antibiotik oral pascaoperasi tergantung tanda-tanda infeksi yang ditemukan
waktu operasi dan lamanya operasi serta keyakinan operator terhadap bersihnya
lingkungan tempat operasi dilakukan.
Follow-up
Evaluasi operasi dipantau secara periodik 1 minggu pascaoperasi, 2 minggu, 4 minggu, 6
minggu, 8 minggu dan 12 minggu. Selanjutnya setiap 6 bulan - 1 tahun sekali untuk
mencegah terjadinya debris dan infeksi. Audiometri nada murni dilakukan setelah 2 – 3
bulan pascaoperasi.
Daftar Pustaka
1. Chole RA, Brodie HA, Jacob A. Surgery of the Mastoid and Petrosa. In Byron J.
Bailey & Jonas T. Johnson Head and Neck Surgery Otolaryngology. Fifth edition.
Volume two. Lippincott Williams & Willimns. Philadelphia. 2014. p: 2447
2. Lee K..J. Infections of the Temporal Bone. In:Essential Otolaryngology. 12 th
Ed. McGraw Hill. 2019
3. Flint, P.W, Haughey B.H, Lund V.J, Niparko J.K, Richardson M.A, Robbins K.T,
Thomas J.R. Chronic Otitis Media Mastoiditis and Petrositis in Cummings
Otolaryngology Head and Neck Surgery. Fifth edition. Volume two. Mosby
Elsevier. 2010
60
Modul I.2.2 - Inflamasi Telinga Tengah
4. Gulya, A.J, Minor L.B, Poe D.S. Pathology and Clinical Course of the
Inflammatory Disease of the Middle Ear in Glasscock-Shambaugh Surgery of the
Ear. Sixth edition. Peoples’s Medical Publishing House-USA. 2010
5. Brackmann, D.E, Shelton C, Arriaga M.A. Complication of Surgery for Chronic
Otitis Media in Otologic Surgery. Third edition. Saunders Elsevier. 2010
6. Chole RA, Brodie HA, Jacob A. Surgery of the Mastoid and Petrosa. In Byron J.
Bailey & Jonas T. Johnson Head and Neck Surgery Otolaryngology. Vol 2. 4th.
Lippincott Williams & Willimns. Philadelphia. 2006. p: 2101-2
7. Helmi. Bedah Telinga Tengah untuk Otitis Media Supuratif Kronis. Penerbit FK
UI Jakarta. 2005. h: 170
8. Sanna M, Sunose H, Mancini F, Russo A, Taibah A, Flacioni M. Middle ear and
mastoid microsurgery.2nd Ed. Thieme: New York. 2012
LCD 2 :
61
Modul I.2.2 - Inflamasi Telinga Tengah
LCD 3 :
LCD 4 :
62
Modul I.2.2 - Inflamasi Telinga Tengah
LCD 5 :
LCD 6 :
63
Modul I.2.2 - Inflamasi Telinga Tengah
LCD 7 :
LCD 8 :
64
Modul I.2.2 - Inflamasi Telinga Tengah
LCD 9 :
65
Modul I.2.2 - Inflamasi Telinga Tengah
KANALOPLASTI
Kompetensi
Dokter memiliki ketrampilan teoritis mengenai ketrampilan kanaloplasti (Konsep , teori,
prinsip maupun indikasi, cara melakukan , komplikasi dan sebagainya). Selama
pendidikan pernah melihat ataupun pernah didemonstrasikan ketrampilan kanaloplasti.
Definisi
Prosedur tindakan untuk memperlebar liang telinga luar yang sempit. Kondisi liang
telinga luar yang sempit tersebut dapat diakibatkan oleh : pertumbuhan tulang yang tidak
normal (anterior overhang atau eksostosis) atau jaringan lunak (jaringan parut), serta
untuk mempermudah pemasangan tandur lateral pada proses timpanoplasti.
Indikasi
- Eksostosis
- Osteoma
- Prosedur Timpanoplasti
- Stenosis Liang telinga akibat proses infeksi
Kontra Indikasi
- Kondisi Liang telinga yang terinfeksi pada saat operasi
- Exostosis dan osteoma yang kecil dan tidak menimbulkan keluhan
Pemeriksaan Penunjang
- Audiometri Nada Murni
- HRCT scan Temporal
Setelah memahami, menguasai dan mengerjakan modul ini, maka diharapkan seorang
dokter ahli mempunyai kompetensi serta penerapannya dapat dikerjakan di rumah sakit
pendidikan dan RS jaringan pendidikan, serta dapat dipergunakan oleh program studi
disiplin ilmu terkait.
Anastesi
Biasanya dilakukan dengan anastesi umum. Anastesi lokal dilakukan hanya pada kasus
yang tidak memungkinkan pasien dibius.
Teknik Operasi
- Insisi dibuat di daerah insisura terminalis (endaural)
- Memasang Retraktor endaural supaya liang telinga luar terdilatasi
- Kulit diinsisi disebelah lateral dari exostosis dan dielevasi ke medial sampai
tampak tonjolan tulang exostosis
- Aluminium shield atau bola kapas diletakkan diantara flap kulit dan tulang
exostosis untuk melindungi kulit pada saat dilakukan pengeboran
- Setelah exostosis hilang, maka permukaan tulang dihaluskan dengan bor poles
(diamond boor)
- Flap kulit dikembalikan dan difiksasi dengan spongestan, gelfoam atau tampon
pita antibiotika
66
Modul I.2.2 - Inflamasi Telinga Tengah
Komplikasi
- Cedera saraf Fasialis (VII)
- Kulit Liang telinga luar robek
- Perforasi Membran timpani
Perawatan Psaca Operasi
- Perban dan tampon telinga dilepas setelah hari ke 7 – 14 pasca operasi
- Berikan antibiotika tetes telinga beberapa hari sampai liang telinga luar kering
-
Daftar Pustaka
1. Linstrom CJ, Lucente FE. Diseases of the External Ear. In : Johnson JT, Rosen
CA, eds. Bailey’s Head & Neck Surgery Otolaryngology.5th ed. Philadelphia :
Lippincott Williams & Wilkins; 2014. P 2333-57
2. Sanna M, Sunose H, Mancini F, Russo A, Taibah A, Flacioni M. Middle ear and
mastoid microsurgery.2nd Ed. Thieme: New York. 2012
MEATOPLASTI
Setelah operasi mastoidektomi dinding runtuh, meatus dan mastoid menjadi suatu rongga
yang lebih besar. Rongga ini merupakan area yang dalam dan sulit untuk dijangkau.
Pembersihan alami (self cleansing) atau bahkan pembersihan terhadap telinga pasien di
rawat jalan menjadi lebih sulit dibandingkan sebelumnya. Akumulasi debris epitelial
dapat menyebabkan inflamasi berulang dan bahkan pembentukan kolesteatoma. Pada
suatu penelitian, stenosis meatal pasca operasi mastoidektomi ditemukan pada 60%
rongga mastoid yang bermasalah. Untuk menghindari hal ini dilakukan meatoplasti
dengan memperlebar meatus sehingga didapat rongga mastoid yang relatif kecil, dangkal
dan mudah diakses. Meatoplasti yang adekuat diperlukan untuk mendapatkan hasil
operasi yang baik.
Definisi
Meatoplasti adalah tindakan untuk memperlebar meatus sehingga didapatkan rongga
mastoid yang dangkal dan mudah diakses.
Tahapan Operasi
1. Meatoplasti dilakukan setelah mastoidektomi selesai untuk menyesuaikan ukuran
meatus terhadap rongga mastoid
2. Rongga mastoid diisi tampon untuk mencegah darah masuk ke rongga ini
3. Menggunakan speculum, konka distabilisasi. Insisi konka dilakukan pada
permukaan anterior dari aurikula. Kulit, kartilago konka dan jaringan lunak
diinsisi dari pertengahan dinding meatus posterior ke antehelix, parallel terhadap
crus helix. Panjang insisi yang diperlukan tergantung pada ukuran rongga
mastoid, semakin besar rongga, semakin panjang insisi yang diperlukan. Sebagai
patokan, telunjuk harus dapat dilewatkan dengan mudah melalui meatus setelah
kartilago kanka diangkat. Insisi tidak pernah sampai sejauh antehelix.
67
Modul I.2.2 - Inflamasi Telinga Tengah
4. Kulit dipegang dengan forsep dan dlakukan diseksi antara kulit dengan kartilago
dibawahnya menggunakan gunting tajam, demikian pula diseksi dilakukan antara
kartilago dengan jaringan dibawahnya. Setelah cukup luas kartilago yang
terekspos, dilakukan pengangkatan kartilago berbentuk triangular. Luas kartilago
yang diangkat tergantung dari ukuran dan kontur rongga mastoid. Sangat penting
mempreservasi kartilago pada crus helix untuk mempertahankan bentuk aurikula.
5. Bila kartilago yang diangkat belum cukup luas, tambahan kartilago dapat diambil
melalui luka retroaurikula. Aurikula ditekuk ke anterior dan dipegang oleh scrub
nurse. Karatilago kemudiang dipotong lagi berbentuk bulan sabit. Pengangatan
kartilago sudah cukup apabila kulit dapat dilipat kearah medial yang tidak hanya
akan mengurangi area dengan permukaan kasar tapi juga mencegah perikondritis
yang disebabkan terpaparnya ujung kartilago yang direseksi. Untuk dapat lebih
jauh memfasilitasi lipatan medial, jabir kulit dapat ditipiskan dengan mengangkat
sebagian jaringan lunak subkutan.
6. Luka retoaurikular, jabir kulit meatal dilipat kearah posterior, kemudian
diperkirakan posisi ideal dari rongga mastoid. Jabir ini kemudia dijahit
kearahposterior dan superior ke lapisan muskuloperiosteal dengan benang
absorbable 3/0. Pastikan bahwa permukaan yang kasar dari ujung kartilago
seluruhnya ditutupi oleh kulit konkal atau jaringan lunak.
7. Setelah menjahit jabir kulit meatal, bagian tengah dari kartilago konkal akan
tertarik posterosuperior dan posteroinferior menyebabkan rotasi anterior dari
seluruh aurikula sehingga aurikula tampak lebih prominen pasca operasi. Teknik
yang dapat dilakukan untuk menghindari maslah kosmetik ini adalah dengan
membuat dua jahitan di bagian yang lebih lateral dari meatus dan menarik aurikula
kea rah posterior.
8. Rongga mastoid diisi dengan gelfoam dan tampon antibiotik.Insisi retroaurikular
dijahit lapis demi lapir.
68
Modul I.2.2 - Inflamasi Telinga Tengah
Daftar Pustaka
1. Johnson JT., Rosen CA,. 2010. Surgery of The Mastoid and Petros in Bailey’s
Head and Neck Surgery-Otolaryngology. 5th ed, Volume two, Lippincott Wilkins
2. Fisch U. 2008. Tympanoplasty, Mastoidectomy and Stapes surgery. 2nd ed.,
Thieme Stuttgart-New York
3. Sanna M., Sunose H., Mancini A., Taibah A., Falcioni M. 2012. Middle Ear and
Mastoid Microsurgery. 2nd ed.Thieme Stuttgart New York.
69
Modul I.2.2 - Inflamasi Telinga Tengah
TIMPANOPLASTI
Istilah timpanoplasti pertama kali digunakan oleh Wullstein pada tahun 1953 untuk
tindakan operasi rekonstruksi pendengaran telinga tengah yang mengalami kerusakan
akibat infeksi telinga kronis.
Definisi
Indikasi Operasi
- Perforasi membran timpani disertai kerusakan osikel dengan gangguan pendengaran
konduksi
Kontraindikasi
- Keganasan pada telinga luar dan tengah
70
Modul I.2.2 - Inflamasi Telinga Tengah
Persiapan operasi
- Pemeriksaan telinga dengan otoskop dan atau mikroskop
- Pemeriksaan audiometri
- Pemeriksaan foto polos mastoid Schuller atau HRCT scan Mastoid untuk evaluasi
mastoid
Teknik Operasi
- Tindakan ini menggunakan anastesi umum, namun dapat dilakukan dengan anestesi
lokal jika terdapat kontraindikasi untuk anastesi umum.
- Tepi perforasi dibuang atau dibuat luka baru
- Dilakukan jabir timpanomeatal untuk evaluasi telinga tengah, membersihkan
jaringan patologi di telinga tengah dan rekonstruksi osikel.
- Tandur membran timpani diambil dari fascia temporalis atau perikondrium tragus.
- Telinga tengah diisi dengan gelfoam untuk mencegah terjadinya adesi
- Graft membran timpani diletakkan secara underlay/ inlay/ onlay
- Canalis akustikus eksternus diisi dengan gelfoam.
Perawatan Poscaoperasi
- Pemberian antibiotik sistemik
- saat pemulangan pasien disesuaikan dengan kondisi medis yang dievaluasi operator
- Luka jahitan retroaurikula dibuka pada hari ke 7 atau setelah luka operasi kering
- Tampon liang telinga diangkat 7-14 hari pasca operasi (tergantung operator). Bila
ditemukan tanda infeksi, tampon liang telinga harus diangkat lebih awal.
Daftar Pustaka
1. Tos, M. Mannual of Middle Ear Surgery, Vol. 2, Thieme Medical Publishers Inc.
New York, 1993, 96-105
2. Johnson, GD; Simple Mastoid Operation, dalam Glascock-Shambaugh’s Surgery of
the Ear, 5th edition, BC Decker Inc. Ontario, 2003, 487-97.
3. Frootko, NJ. Reconstruction of the Middle Ear, dalam Scott Brown’s Otolaryngology,
Vol.3, 6th edition, Butterworth Heinemann, Oxford, 1997, 3/11/1-25.
4. Dornhoffer JL, Gluth MB. Reconstruction of the Tympanic Membrane and Assicular
Chain. In Hirsch RJ, Jackler RK editors.
5. Bailey's Head and Neck Surgery - Otolaryngology. Philadelpia: Wolters
Kluwer/Lippincott Williams & Wilkins; 2006. p. 1184-1198.
6. Sanna M, Sunose H, Mancini F, Russo A, Taibah A, Flacioni M. Middle ear and mastoid
microsurgery.2nd Ed. Thieme: New York. 2012
OTOSKLEROSIS
71
Modul I.2.2 - Inflamasi Telinga Tengah
Definisi
Otosklerosis (oto, “ telinga” , sklerosis, “pengerasan abnormal jaringan tubuh”)
merupakan penyakit primer yang mengenai kapsul tulang labirin yang mengalami
spongiosis di daerah kaki stapes. Pada tahap lanjut mengakibatkan sklerosis sehingga
stapes menjadi kaku dan tidak dapat menghantarkan suara ke labirin sehingga terjadi tuli
konduksi. Jika meluas ke koklea dan labirin dapat mengakibatkan tuli campuran. Proses
otosklerosis terjadi dalam 2 fase: (1) fase aktif yaitu adanya resorpsi tulang (spongiosis),
dan (2) fase remisi yaitu terjadinya deposit tulang (sklerosis).
Insidensi
Insiden otosklerosis paling tinggi pada ras Kaukasian (4-8%), bangsa Jepang 1%,
dan Afrikan-Amerika (1%). Otosklerosis bersifat herediter yang diturunkan secara
autosomal dominan (60%). Otosklerosis lebih banyak ditemukan pada wanita dari pada
laki-laki dengan perbandingan 2:1. Otosklerosis sering dimulai di usia pertengahan (10-
48 thn) dengan insidensi tertinggi pada dekade empat dan lima kehidupan. Ada banyak
laporan yang mengaitkan timbulnya gangguan pendengaran pada wanita hamil yang
disebabkan oleh otosklerosis. Pada wanita hamil, otosklerosis memburuk lebih progresif
dibanding wanita tidak hamil. Beberapa peneliti mengemukakan bahwa kurang lebih 50%
dari penderita otosklerosis memiliki keluhan gangguan pendengaran yang memberat
sehubungan dengan kehamilannya.
Patofisiologi
Secara klinis, proses otosklerosis dibagi menjadi 2 yaitu fase otospongiosis dan
fase otosklerosis. Pada awalnya terjadi proses spongiosis. Pada fase ini terjadi aktivasi
dari sel-sel osteosit, osteoblas, dan histiosit yang menyebabkan gambaran sponge.
Aktifitas osteosit akan meresorpsi jaringan tulang di sekitar pembuluh darah yang akan
mengakibatkan vasodilatasi sekunder. Pada pemeriksaan otoskopi akan tampak Schwarze
sign. Pada fase lanjut akan terjadi proses sklerosis, yang terjadi jika osteoklas secara
perlahan diganti oleh osteoblas sehingga terjadi perubahan densitas sklerotik pada
tempat-tempat yang mengalami spongiosis. Jika proses ini terjadi pada foramen ovale di
dekat kaki stapes, maka kaki stapes akan menjadi kaku dan terjadilah tuli konduksi.
Kekakuan tersebut mengakibatkan fiksasi kaki stapes sehingga mempengaruhi gerakan
72
Modul I.2.2 - Inflamasi Telinga Tengah
Etiologi
Penyebab otosklerosis belum diketahui secara pasti. Faktor predisposisi antara
lain herediter, endokrin metabolik, vaskuler autoimun, dan infeksi measles.
Tipe Otosklerosis
1. Histologic Otosclerosis
2. Fenestral Otosclerosis
3. Cochlear Otosclerosis
4. Malignant Otosclerosis
5. Far Advance Otosclerosis
73
Modul I.2.2 - Inflamasi Telinga Tengah
Diagnosis
Diagnosis otosklerosis ditegakkan berdasarkan gejala tanda klinis, pemeriksaan
THT dan pemeriksaan penunjang.
• Pemeriksaan penala
Pemeriksaan pertama yang harus dilakukan adalah pemeriksaan penala dengan garpu
tala frekuensi 512Hz. Didapatkan tuli konduksi dengan hasil test Rinne negatif yang
menggambarkan hantaran tulang lebih baik dari hantara udara. Test Weber
didapatkan lateralisasi ke telinga yang lebih berat derajat tuli konduksinya. Jika
derajat tuli konduksi sama beratnya di kedua telinga, mungkin tidak ditemukan
lateralisasi pada test Weber.
• Audiometri nada murni
Pada pemeriksaan audiometri nada murni didapatkan tanda khas berupa Carhart’s
Notch. Gambaran ini akan hilang setelah dilakukan stapedektomi.
74
Modul I.2.2 - Inflamasi Telinga Tengah
• Audiometri impedans
Pada pemeriksaan audiometri impedance didapatkan hasil normal. Pemeriksaan
reflek stapedius bisa negatif atau positif tergantung derajat fiksasi yang dikenal
sebagai “on-off refleks stapedius”.
• CT scan
Ct scan bermanfaat untuk menegakan diagnosis tuli konduksi karena otosklerosis.
Selain itu dapat menunjukkan anomali tulang lainnya.
75
Modul I.2.2 - Inflamasi Telinga Tengah
Diagnosis Banding
• Gangguan rantai tulang pendengaran
• Fiksasi stapes kongenital
• Presbikusis
• Osteogenesis imperfekta
Tatalaksana
Farmakologi
Tidak ada terapi obat yang spesifik untuk otosklerosis. Sodium floride dan vitamin D
dapat dipertimbangkan untuk menghambat otosklerosis. Pada fase aktif, diberikan sodium
floride dosis 50mg/hari. Jika schwartze’s sign positif dan disapatkan tuli sensorineural
dosis dapat ditingkatkan 75mg/hari. Jika pendengaran stabil, schwartze’s sign memudar,
dan dari radiologi tampak rekalsifikasi, dosis dapat dimaintenance 25mg/hari. Vitamin D
400U dapat diberikan untuk meningkatkan absorbsi kalsium di usus.
Alat Bantu Dengar (Hearing Aid)
Beberapa kondisi yang memungkikan alat bantu dengar sebagai pilihan terapi adalah:
• Terdapat kontraindikasi absolut operasi
• Pasien menolak operasi
• Only hearing ear
• Skor diskriminasi tutur yang buruk
• Tuli konduksi ringan
• Fiksasi stapes kongenital yang diduga tidak dapat membaik meskipun dilakukan
operasi
Pembedahan
• Stapedektomi total
• Stapedektomi parsial
• Stapedotomi
76
Modul I.2.2 - Inflamasi Telinga Tengah
Komplikasi
Ada beberapa komplikasi yang mungkin terjadi baik durante operasi ataupun post operasi
yaitu:
• Tuli sensorineural post operasi (1-2%)
• Parese N VII permanen
• Gangguan fungsi pengecapan akibat lesi dari korda timpani
• Tinitus dan vertigo disertai mual muntah
Meskipun begitu, keberhasilan operasi memiliki prognosis baik sekitar lebih dari 90%.
Daftar Pustaka
1. De Souza CE, Glasscock ME. Pathology of Otosclerosis. Otosclerosis and
Stapedectomy. New York, NY: Thieme; 2004: 3–21.
2. Johnson, J.T, Rosen C.A. Otosclerosis in Bailey’s Head and Neck Surgery-
Otolaryngology. Fifth edition. Volume two. Lippincott Williams & Wilkins. 2014
3. De Souza C, Marcos V. Goycoolea, Neil M. Sperling. Otosclerosis. Diagnosis,
Evaluation, Pathology, Surgical Technique, and Outcomes. San Diego: 2014.
77
MODUL UTAMA
OTOLOGI
GANGGUAN TELINGA TENGAH
MODUL I.2.3
OTOSKLEROSIS
EDISI III
KOLEGIUM
ILMU KESEHATAN TELINGA HIDUNG TENGGOROK
BEDAH KEPALA LEHER
2022
DAFTAR ISI
A. WAKTU .......................................................................................................... 1
C. REFERENSI .................................................................................................... 1
D. KOMPETENSI ................................................................................................ 2
H. EVALUASI ..................................................................................................... 6
L. MATERI BAKU............................................................................................ 28
Modul I.2.3 - Otosklerosis
MODUL I.2.3
OTOLOGI – GANGGUAN TELINGA TENGAH : OTOSKLEROSIS
A. WAKTU
B. PERSIAPAN SESI
• Kasus
o Kasus : Otitis Media Akut stadium perforasi
C. REFERENSI
1. Chole RA, Brodie HA, Jacob A. Surgery of the Mastoid and Petrosa. In Byron J.
Bailey & Jonas T. Johnson Head and Neck Surgery Otolaryngology. Fifth edition.
Volume two. Lippincott Williams & Willimns. Philadelphia. 2014
2. Lee K..J. Infections of the Temporal Bone. In:Essential Otolaryngology. 12 th
Ed. McGraw Hill. 2019
3. Flint, P.W, Haughey B.H, Lund V.J, Niparko J.K, Richardson M.A, Robbins K.T,
Thomas J.R. Chronic Otitis Media Mastoiditis and Petrositis in Cummings
Otolaryngology Head and Neck Surgery. 5th Ed. Volume two. Mosby Elsevier.
2015
4. Gulya, A.J, Minor L.B, Poe D.S. Pathology and Clinical Course of the
Inflammatory Disease of the Middle Ear in Glasscock-Shambaugh Surgery of the
Ear. Sixth edition. Peoples’s Medical Publishing House-USA. 2010
5. Brackmann, D.E, Shelton C, Arriaga M.A. Complication of Surgery for Chronic
Otitis Media in Otologic Surgery. Fourth edition. Saunders Elsevier. 2016
1
Modul I.2.3 - Otosklerosis
6. Chole RA, Brodie HA, Jacob A. Surgery of the Mastoid and Petrosa. In Byron J.
Bailey & Jonas T. Johnson Head and Neck Surgery Otolaryngology. Vol 2. 5th
Ed. Lippincott Williams & Willimns. Philadelphia. 2014.
7. Helmi. Bedah Telinga Tengah untuk Otitis Media Supuratif Kronis. Penerbit FK
UI Jakarta. 2005. h: 170
D. KOMPETENSI
1. Pengetahuan
Mampu membuat diagnosis otosklerosis berdasarkan pemeriksaan fisik dan
pemeriksaan-pemeriksaan tambahan (misalnya otomikroskopi, pemeriksaan
radiologi seperti foto polos dan HRCT mastoid). Dapat memutuskan dan mampu
menangani masalah tersebut secara mandiri hingga tuntas
2. Keterampilan
Setelah mengikuti sesi ini peserta didik diharapkan terampil dalam :
1. Menjelaskan anatomi , topogarafi, fisiologi telinga
2. Menjelaskan etiologi dan macam-macam otosklerosis
3. Menjelaskan patofisiologi, gambaran klinis, dan terapi otosklerosis
4. Menjelaskan pemeriksaan penunjang diagnosis
5. Menjelaskan komplikasi dan penanganan otosklerosis
6. Menjelaskan teknik operasi pada otosklerosis dan komplikasinya
7. Melakukan perencanaan tatalaksana penderita otosklerosis (follow-up
selanjutnya)
8. Melakukan terapi terhadap otosklerosis
9. Melakukan tindakan pembedahan pada otosklerosis
10. Melakukan perawatan pra operatif ( memberikan penjelasan kepada
penderita dan keluarga, informed consent) dan pasca operasi serta mampu
mengatasi komplikasi yang terjadi.
E. CONTOH KASUS
Seorang anak laki-laki berusia 4 tahun dibawa orang tuanya ke Instalasi Gawat Darurat
pada malam hari dengan keluhan keluar cairan dari telinga kiri sejak 2 hari. Pasien
menderita batuk pilek sejak 1 minggu dan demam tinggi 3 hari yang lalu. Keadaan umum
pasien saat datang: kompos mentis, subfebris. Pemeriksaan otoskopi kanan liang telinga
lapang, membran timpani utuh, hiperemis. Sedangkan telinga kiri: terdapat sekret mukoid
di liang telinga kiri dan terdapat perforasi sentral pada membran timpani.
Diskusi:
1. Lengkapkan anamnesis pada pasien ini
2. Lengkapkan pemeriksaan fisik pada pasien ini
3. Apa diagnosis kerja yang paling mungkin untuk pasien ini
4. Jelaskan patogenesisnya
5. Apa komplikasi yang mungkin terjadi
6. Bagaimana penatalaksaan pada pasien ini
2
Modul I.2.3 - Otosklerosis
Jawaban:
1. Perlu ditanyakan apakah keluhan ini timbul pertama kali ataukah berulang-ulang.
Adakah keluhan gangguan pendengaran pada anak ini. Apakah penderita sering
bernafas melalui mulut. Apakah pasien memiliki riwayat penyakit alergi atau
riwayat keluarga dengan penyakit alergi seperti asma, rinitis alergi, ataupun faktor
predisposisi otitis media lainnya.Apakah sudah diberikan obat sebelumnya?
Apakah ada keluhan yang mengarahkan pada komplikasi yang mungkin timbul
seperti sakit kepala, dan lainnya.
2. Pemeriksaan THT lengkap perlu dilakukan yaitu menilai kondisi tenggorok,
ukuran tonsil, dan tanda infeksi lainnya bila mungkin dilihat ukuran adenoid.
Pemeriksaan hidung dilakukan untuk menilai keadaan cavum nasi dan tanda-
tanda infeksi.
3. Diagnosis kerja:
telinga kanan: otitis media akut stadium hiperemis
Telinga kiri: otitis media akut stadium perforasi
Diagnosis tambahan lainnya disesuaikan dengan hasil pemeriksaan hidung dan
tenggorok yang didapatkan pada pasien.
4. Gangguan fungsi tuba Eustachius merupakan faktor utama awal terjadinya otitis
media. Pada gangguan tersebut fungsi tuba sebagai penyeimbang tekanan,
proteksi telinga tengah, dan fungsi ventilasi tidak dapat berjalan dengan baik.
Dengan demikian kan terjadi tekanan negatif di telinga tengah, yang
menyebabkan transudasi cairan hingga supurasi.
5. Dapat terjadi komplikasi intrakranial maupun intratemporal.
6. Pada pasien dengan diagnosis otitis media akut ini perlu diberikan
analgetik/antipiretik serta antibiotik. Antibiotika lini pertama yang terpilih adalah
amoxicillin dan lini kedua adalah amoxicillin-clavulanat. Telinga kiri dengan
stadium perforasi dapat obat antibiotik topikal ofloxacin 0.3%.
F. TUJUAN PEMBELAJARAN
Pembelajaran materi ini bertujuan untuk mendapatkan pengetahuan, ketrampilan dan
perilaku yang terkait dengan kompetensi yang diperlukan, yaitu:
1. Menguasai anatomi, topografi, fisiologi telinga
2. Mampu menjelaskan etiologi dan macam-macam otosklerosis.
3. Mampu menjelaskan patofisiologi, komplikasi, gambaran klinis, serta
mendiagnosis kasus otosklerosis.
4. Dapat membuat perencanaan tatalaksana penderita otosklerosis (follow-up
selanjutnya).
5. Melakukan tindakan pembedahan pada otosklerosis
6. Mampu menjelaskan komplikasi dan penanganan otosklerosis
7. Mampu melakukan perawatan praoperatif (memberikan penjelasan kepada
penderita dan keluarga, informed consent) dan perawatan pasca-operasi serta
mampu mengatasi komplikasi yang terjadi.
G. METODE PEMBELAJARAN
Tujuan 1. Menguasai anatomi, topografi, dan fisiologi telinga
Untuk mencapai tujuan ini maka dipilih metode pembelajaran berikut ini:
3
Modul I.2.3 - Otosklerosis
• Belajar mandiri
• Kuliah
• Diskusi kelompok
• Pelatihan diseksi tulang temporal
Harus diketahui :
• Anatomi telinga
• Fisiologi telinga
• Topografi dan landmark bedah mikro telinga
Tujuan 2. Mampu menjelaskan etiologi, patofisiologi dan macam-macam otosklerosis.
• Workshop/ pelatihan
• Belajar mandiri
• Kuliah
• Diskusi kelompok
• Continuing professional development
Harus diketahui :
• Etiologi dan predisposisi
• Patofisiologi
• Patogenesis penyakit
Tujuan 3. Mampu menjelaskan gambaran klinis, diagnosis, serta komplikasi kasus
otosklerosis.
• Belajar mandiri
• Kuliah
• Diskusi kelompok
• Visite bedside teaching
• Praktik pada pasien
• Continuing professional development
Harus diketahui :
• Gejala (keluhan pasien)
• Tanda klinis penyakit
• Pemeriksaan penunjang
• Diagnosis kerja dan diagnosis definitif
• Komplikasi penyakit
• Patofisiologi komplkasi
Tujuan 4. Dapat membuat perencanaan tatalaksana penderita otosklerosis (follow-up
selanjutnya)
• Belajar mandiri
• Kuliah
• Diskusi kelompok
• Visite bedside teaching
• Praktik pada pasien
• Continuing professional development
Harus diketahui :
• Tatalaksana pasien baik non pembedahan maupun pembedahan
• Keperluan konsultasi dalam tatalaksana
• Tujuan/ goal tatalaksana
Tujuan 5. Melakukan tindakan pembedahan pada otosklerosis
4
Modul I.2.3 - Otosklerosis
• Workshop/ pelatihan
• Belajar mandiri
• Kuliah
• Diskusi kelompok
• Visite bedside teaching
• Pelatihan diseksi tulang temporal
• Bimbingan operasi dan asistensi
• Praktik pada pasien
• Continuing professional development
Harus diketahui :
• Jenis-jenis pembedahan
• Pertimbangan jenis pembedahan yang dilakukan
• Target pencapaian pembedahan
• Evaluasi hasil pembedahan
Tujuan 6. Mampu menjelaskan komplikasi dan penanganan otosklerosis
• Belajar mandiri
• Kuliah
• Grup diskusi
• Visite bedside teaching
• Workshop/ pelatihan
• Bimbingan operasi dan asistensi
• Praktik pada pasien
• Continuing professional development
Harus diketahui :
• Komplikasi dan tanda-tandanya
• Tatalaksana komplikasi
• Minimalisasi komplikasi
Tujuan 7. Mampu melakukan perawatan praoperatif (memberikan penjelasan kepada
penderita dan keluarga, informed consent) dan perawatan pasca-operasi serta
mampu mengatasi komplikasi yang terjadi.
• Belajar mandiri
• Kuliah
• Grup diskusi
• Visite bedside teaching
• Workshop/ pelatihan
• Kasus morbiditas dan mortalitas
• Praktik pada pasien
• Continuing professional development
Harus diketahui :
• Persiapan praoperatif
• Perawatan properatif
• Perawatan pascaoperasi
5
Modul I.2.3 - Otosklerosis
H. EVALUASI
1. Pada awal pertemuan dilaksanakan pre test dalam bentuk tertulis sesuai dengan
tingkat masa pendidikan yang bertujuan untuk menilai kinerja awal yang dimiliki
peserta didik dan untuk mengidentifikasi kekurangan yang ada. Materi pretest terdiri
atas :
- Anatomi dan fisiologi telinga
- Penegakan diagnosis
- Teknik operasi
- Follow up
2. Selanjutnya dilakukan “small group discussion” bersama dengan fasilitator untuk
membahas kekurangan yang teridentifikasi, membahas isi dan hal-hal yang berkenaan
dengan penuntun belajar, kesempatan yang akan diperoleh pada saat bedside teaching
dan proses penilaian.
3. Setelah mempelajari penuntun belajar ini, mahasiswa diwajibkan untuk
mengaplikasikan langkah-langkah yang tertera dalam penuntun belajar dalam bentuk
“role play” dan teman-temannya (Peer Assisted Evaluation) atau kepada SP
(Standardized Patient). Pada saat tersebut, yang bersangkutan tidak diperkenankan
membawa penuntun belajar, penuntun belajar yang dipegang oleh teman-temannya
untuk melakukan evaluasi setelah dianggap memadai, melalui metode bedside
teaching dibawah pengawasan fasilitator, peserta dididik mengaplikasikan penuntun
belajar kepada model anatomik dan setelah kompetensi tercapai peserta didik akan
diberikan kesempatan untuk melakukannya pada pasien sesungguhnya. Pada saat
pelaksanaan evaluator melakukan pengawasan langsung (direct observation), dan
mengisi formulir penilaian sebagai berikut :
- Perlu perbaikan : pelaksanaan belum benar atau sebagian langkah tidak
dilaksanakan.
- Cukup : pelaksanaan sudah benar tetapi tidak efisien, misal
pemeriksaan terdahulu lama atau kurang memberi kenyamanan kepada pasien.
- Baik : pelaksanaan benar dan baik (efisien)
6
Modul I.2.3 - Otosklerosis
7
Modul I.2.3 - Otosklerosis
Nilailah kinerja setiap langkah yang diamati menggunakan skala sebagai berikut.:
1 Perlu perbaikan: langkah tidak dikerjakan atau tidak sesuai dengan yang seharusnya
atau urutannya tidak sesuai (jika harus berurutan)
2 Mampu: langkah dikerjakan sesuai dengan yang seharusnya dan urutannya (jika harus
berurutan). Pelatih hanya membimbing untuk sedikit perbaikan atau membantu untuk
kondisi di luar normal
3 Mahir: langkah dikerjakan dengan benar, sesuai urutannya dan waktu kerja yang
sangat efisien
T/D Langkah tidak diamati (penilai menganggap langkah tertentu tidak perlu
diperagakan)
KEGIATAN KASUS
PENUNTUN BELAJAR II
8
Modul I.2.3 - Otosklerosis
KEGIATAN KASUS
I. KAJI ULANG DIAGNOSIS & PROSEDUR OPERATIF
• Nama
• Diagnosis
• Informed Consent
• Rencana Tindakan
• Persiapan Sebelum Tindakan
II. PROSEDUR MIRINGOTOMI (dalam anestesi lokal)
- Cuci tangan, mengenakan sarung tangan steril
- Evaluasi membran timpani dengan baik menggunakan mikroskop
- Tindakan pembersihan liang telinga dengan kapas aplikator dan
alkohol 70 %, setelah itu dilakukan anestesi lokal menggunakan
lidocaine 10 % spray atau lidocaine cream 5 %
- Insisi membran timpani yang dapat dilihat dengan baik, kecuali
daerah postero-superior, menggunakan miringotom atau jarum
steril.
- Hisap sekret yang keluar dari telinga tengah melalui luka insisi
- Pipa grommet dipegang menggunakan forcep alligator dan
diletakan di tempat insisi membran timpani. Kemudian dimasukan
ke lubang insisi dengan menggunakan pick seperti memasukan ke
lubang kancing.
- Atau bila menggunakan pipa T-tube, forcep alligator dipakai
untuk memegang ujung sayap seperti pada contoh gambar seperti
di bawah ini:
9
Modul I.2.3 - Otosklerosis
KEGIATAN KASUS
PASCA MIRINGOTOMI
Instruksi pasca tindakan
a. pemberian antibiotik sistemik bila diperlukan disesuaikan dengan
etiologi penyakit yang mendasari tindakan
b. pemberian analgetik/antinflamasi
c. evaluasi 7 hari pasca-miringotomi
10
Modul I.2.3 - Otosklerosis
Nilailah kinerja setiap langkah yang diamati menggunakan skala sebagai berikut:
1 Perlu perbaikan: langkah tidak dikerjakan atau tidak sesuai dengan yang seharusnya
atau urutannya tidak sesuai (jika harus berurutan)
2 Mampu: langkah dikerjakan sesuai dengan yang seharusnya dan urutannya (jika harus
berurutan). Pelatih hanya membimbing untuk sedikit perbaikan atau membantu untuk
kondisi di luar normal
3 Mahir: langkah dikerjakan dengan benar, sesuai urutannya dan waktu kerja yang
sangat efisien
T/D Langkah tidak diamati (penilai menganggap langkah tertentu tidak perlu
diperagakan)
KEGIATAN KASUS
I. KAJI ULANG DIAGNOSIS & PROSEDUR OPERATIF
• Nama
• Diagnosis
• Informed Consent
• Rencana Tindakan
• Persiapan Sebelum Tindakan
II. PROSEDUR INSISI ABSES SUBPERIOSTEAL
- Cuci tangan, mengenakan sarung tangan steril
- Aseptik dan antiseptik daerah yang akan diinsisi
- Anestesi lokal dengan chlor ethyl spray atau injeksi lidocaine
intrakutan
- Aspirasi abses dengan spuit àpus dikirim untuk pemeriksaan
kultur dan tes resistensi
- Insisi dengan scalpel no11 atau .15 di bagian yang paling fluktuatif
sampai daerah subperiosteal (tegak lurus sampai mencapai bagian
tulang)
- Kantong abses dibuka secara tumpul dengan klem hemostat
- Cuci dengan Nacl 0.9 % dan betadine (bila perlu ditambahkan
H2O2 3 %), setelahnya perlu dibilas dengan Nacl 0.9%
- Pasang drain selama 2 hari atau hingga produksi pus berhenti
- Ganti verban dan rawat luka setiap hari hingga tidak ada produksi
pus
POST INSISI ABSES SUBPERIOSTEAL
Instruksi pasca operasi
a. pemberian antibiotika sistemik
b. pemberian analgetik/antinflamasi
c. evaluasi setiap hari sampai tidak ada produksi pus
11
Modul I.2.3 - Otosklerosis
PENUNTUN BELAJAR IV
PROSEDUR TIMPANOPLASTI DENGAN MASTOIDEKTOMI DINDING
UTUH
12
Modul I.2.3 - Otosklerosis
KEGIATAN KASUS
- Posisi pasien: terlentang, kepala miring ke arah berlawanan
dengan sisi telinga yang dioperasi
III. PROSEDUR OPERASI
- Operasi dilakukan dalam narkosis
- Pada daerah operasi yang akan diinsisi dilakukan suntikan
dengan larutan lidocain 2% dengan epinefrin 1 : 100.000-
200.000., untuk memisahkan periosteum
- Dilakukan insisi retroaurikular 5-10 mm dari sulkus
retroaurikular, mulai dari kulit, subkutis, kemudian dilanjutkan
secara tangensial mendekati liang telinga
- Dilakukan pengambilan tandur fasia muskulus temporalis atau
perikondrium tragus
- Dilakukan insisi pada muskuloperiosteal dari batas linea
temporalis dan kearah inferior hingga tip mastoid
- Korteks mastoid dipaparkan dengan menyingkap
muskuloperiosteal flap
- Mastoidektomi superfisialis:
- Bor korteks mastoid dengan landmark segitiga Mc Ewen,
dengan mengidentifikasi dinding posterior liang telinga, linea
temporalis dan spina Henle. Identifikasi tegmen timpani,
tegmen mastoid, sinus sigmoid dan kanalis semisirkulatis
lateralis.
- Mastoidektomi dalam
- Identifikasi aditus ad antrum, fosa inkudis, solid angle dan N.
Fasialis pars vertikal. Bila ada jaringan patologis/ jaringan
granulasi dibersihkan
- Identifikasi inkus, inkudomaleolar join dan maleus serta
periksa mobilitas osikel dan patensi aditus ad antrum. Bila
perlu dilakukan timpanotomi posterior.
- Pasang tandur yang sudah disiapkan dengan salah satu teknik
pemasangan tandur (inlay, underlay, overlay, inlay-underlay),
sesuai dengan tipe timpanoplasti
- Tandur difiksasi dengan gel foam dan tampon liang telinga
dengan lapisan salep antibiotik.
- Luka operasi ditutup dengan jahitan lapis demi lapis
PASCA OPERASI
Instruksi pasca operasi
- pemberian antibiotika sistemik (profilaksis/ empiris/definitif)
- pemberian analgetik/antiinflamasi
- evaluasi pascaoperasi berupa adanya: perdarahan, paresis
N.fasialis dan gangguan pendengaran sensorineurineural,
gangguan keseimbangan
- saat pemulangan pasien disesuaikan dengan kondisi medis
yang dievaluasi operator
- perawatan luka pasca operasi: perawatan luka retrourikula
anjuran 1 minggu pasca operasi, tampon liang telinga diangkat
7-14 hari pasca operasi (tergantung kondisi medis yang
13
Modul I.2.3 - Otosklerosis
KEGIATAN KASUS
dievaluasi operator). Bila ditemukan tanda infeksi, tampon
liang telinga harus diangkat lebih awal.
PENUNTUN BELAJAR V
PROSEDUR TIMPANOPLASTI DENGAN MASTOIDEKTOMI DINDING
RUNTUH
Nilailah kinerja setiap langkah yang diamati menggunakan skala sebagai berikut:
1 Perlu perbaikan: langkah tidak dikerjakan atau tidak sesuai dengan yang seharusnya
atau urutannya tidak sesuai (jika harus berurutan)
2 Mampu: langkah dikerjakan sesuai dengan yang seharusnya dan urutannya (jika harus
berurutan). Pelatih hanya membimbing untuk sedikit perbaikan atau membantu untuk
kondisi di luar normal
3 Mahir: langkah dikerjakan dengan benar, sesuai urutannya dan waktu kerja yang
sangat efisien
T/D Langkah tidak diamati (penilai menganggap langkah tertentu tidak perlu
diperagakan)
KEGIATAN KASUS
I. KAJI ULANG DIAGNOSIS & PROSEDUR OPERATIF
• Nama
• Diagnosis
• Informed Consent
• Rencana Tindakan
• Persiapan Sebelum Tindakan
II. PERSIAPAN PROSEDUR
- Pemberian antibiotika profilaksis/ empiris/ definitif perioperatif, secara
injeksi
- Menyiapkan mikroskop dan alat-alat yang akan digunakan
- Cuci tangan, memakai baju operasi dan handscoon
14
Modul I.2.3 - Otosklerosis
KEGIATAN KASUS
15
Modul I.2.3 - Otosklerosis
KEGIATAN KASUS
-
-
16
Modul I.2.3 - Otosklerosis
KEGIATAN KASUS
- Identifikasi aditus ad antrum, fosa inkudis, solid angle dan N.
Fasialis pars vertikal. Bila ada jaringan patologis/ jaringan granulasi
dan kolesteatoman dibersihkan
- Identifikasi osikel (jika masih ada)
- Bridge diruntuhkan dan dinding posterior direndahkan hingga
setinggi fasial ridge
- Kavitas operasi dibersihkan
- Dilakukan meatoplasti
- Jaringan kolesteatoma dibersihkan sebersih mungkin dan apabila
kavitas bersih dari jaringan patologis (kolesteatoma), dipasang
tandur fasia temporalis menutupi kavitas operasi
- Diletakkan tampon yang sudah dilapisi dengan salep antibiotik untuk
menutup kavitas operasi.
- Luka operasi ditutup dengan jahitan lapis demi lapis
PASCA OPERASI
• pemberian antibiotika sistemik (profilaksis/
empiris/definitif)
• pemberian analgetik/antiinflamasi
• evaluasi pascaoperasi berupa adanya: perdarahan, paresis
N.fasialis dan gangguan pendengaran sensorineurineural,
keseimbangan
• saat pemulangan pasien disesuaikan dengan kondisi medis
yang dievaluasi operator
• perawatan luka pasca operasi : perawatan luka retrourikula
anjuran 1 minggu pasca operasi, tampon liang telinga
diangkat 7-14 hari pasca operasi (tergantung kondisi medis
yang dievaluasi operator). Bila ditemukan tanda infeksi,
tampon liang telinga harus diangkat lebih awal.
PENUNTUN BELAJAR VI
PROSEDUR MEATOPLASTI
Nilailah kinerja setiap langkah yang diamati menggunakan skala sebagai berikut.:
1 Perlu perbaikan: langkah tidak dikerjakan atau tidak sesuai dengan yang
seharusnya atau urutannya tidak sesuai (jika harus berurutan)
2 Mampu: langkah dikerjakan sesuai dengan yang seharusnya dan urutannya (jika
harus berurutan). Pelatih hanya membimbing untuk sedikit perbaikan atau membantu
untuk kondisi di luar normal
3 Mahir: langkah dikerjakan dengan benar, sesuai urutannya dan waktu kerja yang
sangat efisien
T/D Langkah tidak diamati (penilai menganggap langkah tertentu tidak perlu
diperagakan)
17
Modul I.2.3 - Otosklerosis
Nilailah kinerja setiap langkah yang diamati menggunakan skala sebagai berikut.:
1. Perlu perbaikan: langkah tidak dikerjakan atau tidak sesuai dengan yang
seharusnya atau urutannya tidak sesuai (jika harus berurutan)
2. Mampu: langkah dikerjakan sesuai dengan yang seharusnya dan urutannya (jika
harus berurutan). Pelatih hanya membimbing untuk sedikit perbaikan atau
membantu untuk kondisi di luar normal
3. Mahir: langkah dikerjakan dengan benar, sesuai urutannya dan waktu kerja yang
sangat efisien
T/D Langkah tidak diamati (penilai menganggap langkah tertentu tidak perlu
diperagakan)
18
Modul I.2.3 - Otosklerosis
19
Modul I.2.3 - Otosklerosis
Nilailah kinerja setiap langkah yang diamati menggunakan skala sebagai berikut.:
1. Perlu perbaikan: langkah tidak dikerjakan atau tidak sesuai dengan yang seharusnya
atau urutannya tidak sesuai (jika harus berurutan)
2. Mampu: langkah dikerjakan sesuai dengan yang seharusnya dan urutannya (jika
harus berurutan). Pelatih hanya membimbing untuk sedikit perbaikan atau membantu
untuk kondisi di luar normal
3. Mahir: langkah dikerjakan dengan benar, sesuai urutannya dan waktu kerja yang
sangat efisien
T/D Langkah tidak diamati (penilai menganggap langkah tertentu tidak perlu
diperagakan)
20
Modul I.2.3 - Otosklerosis
KEGIATAN KASUS
- Lakukan insisi sirkuler pada kulit liang telinga sekitar 3-5
mm dari membran timpani
- Lakukan elevasi jabir timpanomeatal
- Kavum timpani dimasukan gelfoam
- Tandur fascia m. temporalis dipasang secara
underlay/inlay/overlay
- Jabir timpanomeatal dikembalikan seperti letak semula
- Tandur dan jabir timpanomeatal difiksasi dengan gelfoam
- Pasang tampon antibiotik
K. DAFTAR TILIK
DAFTAR TILIK PENILAIAN KINERJA I
PROSEDUR MIRINGOTOMI
Berikan penilaian tentang kinerja psikomotorik atau ketrampilan yang diperagakan oleh
peserta pada saat melaksanakan suatu prosedur, dengan ketentuan seperti yang diuraikan
di bawah ini:
ü : Memuaskan: Langkah atau kegiatan diperagakan sesuai dengan prosedur
atau panduan standar
X : Tidak memuaskan:Langkah atau kegiatan tidak ditampilkan sesuai
dengan prosedur atau panduan standar
T/T : Tidak ditampilkan: langkah, kegiatan atau ketrampilan tidak diperagakan
oleh peserta selama proses evaluasi oleh pelatih
21
Modul I.2.3 - Otosklerosis
PASCA MIRINGOTOMI
- Instruksi pasca tindakan
a. pemberian antibiotik sistemik disesuaikan dengan etiologi penyakit yang
mendasari tindakan miringotomi
b. pemberian analgetik/antinflamasi
c. rencana evaluasi 7 hari pasca-miringotomi
DAFTAR TILIK II
PROSEDUR PEMASANGAN PIPA GROMMET
Nilailah kinerja setiap langkah yang diamati menggunakan skala sebagai berikut.:
4. Perlu perbaikan: langkah tidak dikerjakan atau tidak sesuai dengan yang
seharusnya atau urutannya tidak sesuai (jika harus berurutan)
5. Mampu: langkah dikerjakan sesuai dengan yang seharusnya dan urutannya (jika
harus berurutan). Pelatih hanya membimbing untuk sedikit perbaikan atau
membantu untuk kondisi di luar normal
6. Mahir: langkah dikerjakan dengan benar, sesuai urutannya dan waktu kerja yang
sangat efisien
T/D Langkah tidak diamati (penilai menganggap langkah tertentu tidak perlu
diperagakan)
KEGIATAN KASUS
22
Modul I.2.3 - Otosklerosis
KEGIATAN KASUS
- Tindakan pembersihan liang telinga dengan kapas aplikator dan
alkohol 70 %, setelah itu dilakukan anestesi lokal menggunakan
lidocaine 10 % spray atau lidocaine cream 5 %
- Insisi membran timpani yang dapat dilihat dengan baik, kecuali daerah
postero-superior, menggunakan miringotom atau jarum steril.
- Hisap sekret yang keluar dari telinga tengah melalui luka insisi
- Pipa grommet dipegang menggunakan forcep alligator dan diletakan di
tempat insisi membran timpani. Kemudian dimasukan ke lubang insisi
dengan menggunakan pick seperti memasukan ke lubang kancing.
- Atau bila menggunakan pipa T-tube, forcep alligator dipakai untuk
memegang ujung sayap seperti pada contoh gambar seperti di bawah
ini:
-
23
Modul I.2.3 - Otosklerosis
KEGIATAN KASUS
PASCA MIRINGOTOMI
- Instruksi pasca tindakan
d. pemberian antibiotik sistemik bila diperlukan disesuaikan dengan etiologi
penyakit yang mendasari tindakan miringotomi
e. pemberian analgetik/antinflamasi
f. rencana evaluasi 7 hari pasca-miringotomi
Nilailah kinerja setiap langkah yang diamati menggunakan skala sebagai berikut.:
1. Perlu perbaikan: langkah tidak dikerjakan atau tidak sesuai dengan yang seharusnya
atau urutannya tidak sesuai (jika harus berurutan)
2. Mampu: langkah dikerjakan sesuai dengan yang seharusnya dan urutannya (jika harus
berurutan). Pelatih hanya membimbing untuk sedikit perbaikan atau membantu untuk
kondisi di luar normal
3. Mahir: langkah dikerjakan dengan benar, sesuai urutannya dan waktu kerja yang
sangat efisien
T/D Langkah tidak diamati (penilai menganggap langkah tertentu tidak perlu
diperagakan)
KEGIATAN KASUS
24
Modul I.2.3 - Otosklerosis
KEGIATAN KASUS
- Ganti verban dan rawat luka setiap hari hingga tidak ada produksi
pus
POST INSISI ABSES SUBPERIOSTEAL
-Instruksi pasca operasi:
a. pemberian antibiotik sistemik
b. pemberian analgetik/antinflamasi
c. evaluasi setiap hari sampa tidak ada produksi pus
Berikan penilaian tentang kinerja psikomotorik atau ketrampilan yang diperagakan oleh
peserta pada saat melaksanakan suatu prosedur, dengan ketentuan seperti yang diuraikan
di bawah ini:
PESERTA:.............................. TANGGAL:..................................
KEGIATAN NILAI
1. Persiapan tindakan
2. Infiltrasi daerah operasi
3. Insisi daerah retroaurikular
4. Pengambilan graft fasia muskulus temporalis
5.Mastoidektomi superfisialis:
a. Identifikasi tegmen timpani dan tegmen
mastoid
b. Identifikasi sinus sigmoid
c. Identifikasi kanalis semisirkularis
6. Mastoidektomi dalam:
Identifikasi aditus ad antrum
Identifikasi fossa inkudis dan osikel
Identifikasi kanalis fasialis
7. Pemasangan graft
8. Pemasangan tampon telinga
9. Penutupan luka operasi
10. Monitoring pasca operasi
25
Modul I.2.3 - Otosklerosis
Berikan penilaian tentang kinerja psikomotorik atau ketrampilan yang diperagakan oleh
peserta pada saat melaksanakan suatu prosedur, dengan ketentuan seperti yang diuraikan
di bawah ini:
PESERTA:................................ TANGGAL:......................................
KEGIATAN NILAI
1. Persiapan tindakan
2. Infiltrasi daerah operasi
3. Insisi retroaurikular
4. Pengambilan graft fasia muskulus temporalis
5.Mastoidektomi superfisialis:
• Identifikasi tegmen timpani dan tegmen mastoid
• Identifikasi sinus sigmoid
• Identifikasi kanalis semisirkularis
6. Mastoidektomi dalam:
• Identifikasi aditus ad antrum
• Identifikasi fossa inkudis dan osikel
• Identifikasi kanalis fasialis
7. Mengangkat jaringan patologis berupa jaringan granulasi
dan kolesteatoma
8. Meruntuhkan bridge
9. Merendahkan dinding posterior
10. Meatoplasti
11. Pemasangan tandur
12 Pemasangan tampon telinga
13. Penutupan luka operasi
14. Monitoring pascaoperasi
26
Modul I.2.3 - Otosklerosis
Berikan penilaian tentang kinerja psikomotorik atau ketrampilan yang diperagakan oleh
peserta pada saat melaksanakan suatu prosedur, dengan ketentuan seperti yang diuraikan
di bawah ini:
PESERTA:.............................. TANGGAL:..................................
KEGIATAN NILAI
1. Tampon rongga mastoid mencegah darah masuk
2. Insisi konka aurikula
3. Pengangkatan kartilago konka
4. Penjahitan jabir meatal
5. Tampon rongga mastoid
6. Penjahitan luka retroaurikular
7. Monitoring pasca operasi
Berikan penilaian tentang kinerja psikomotorik atau ketrampilan yang diperagakan oleh
peserta pada saat melaksanakan suatu prosedur, dengan ketentuan seperti yang diuraikan
di bawah ini:
ü : Memuaskan: Langkah atau kegiatan diperagakan sesuai dengan prosedur
atau panduan standar
X : Tidak memuaskan:Langkah atau kegiatan tidak ditampilkan sesuai
dengan prosedur atau panduan standar
T/T : Tidak ditampilkan: langkah, kegiatan atau ketrampilan tidak diperagakan
oleh peserta selama proses evaluasi oleh pelatih
PESERTA:.............................. TANGGAL:..................................
KEGIATAN NILAI
1. Persiapan tindakan
2. Tindakan dilakukan di bawah anestesi umum/ lokal
3. Pengambilan lemak dari lobulus bagian posterior
4. Penjahitan luka lobulus
5. membuat luka pada tepi perforasi membran timpani
6. memasukkan fat pada perforasi membran
7. Pasang gelfoam dan tampon antibiotik
8. Monitoring pasca operasi
27
Modul I.2.3 - Otosklerosis
Berikan penilaian tentang kinerja psikomotorik atau ketrampilan yang diperagakan oleh
peserta pada saat melaksanakan suatu prosedur, dengan ketentuan seperti yang diuraikan
di bawah ini:
PESERTA:.............................. TANGGAL:..................................
KEGIATAN NILAI
1. Persiapan tindakan
2. Infiltrasi liang telinga di 4 kuadran
3. Pengambilan fascia profunda m. temporalis atau
pengambilan graft perikondrium tragus
4. Penjahitan luka retroaurikular atau tragus
5. membuat luka pada tepi perforasi membran
6. Membuat timpanomeatal flap
7. meletakkan graft fascia pada perforasi membran secara
underlay atau inlay
8. fiksasi graft dengan gelfoam
9. Pasang tampon antibiotik
10. Monitoring pasca operasi
L. MATERI BAKU
OTOSKLEROSIS
Definisi
Otosklerosis (oto, “ telinga” , sklerosis, “pengerasan abnormal jaringan tubuh”)
merupakan penyakit primer yang mengenai kapsul tulang labirin yang mengalami
spongiosis di daerah kaki stapes. Pada tahap lanjut mengakibatkan sklerosis sehingga
stapes menjadi kaku dan tidak dapat menghantarkan suara ke labirin sehingga terjadi tuli
konduksi. Jika meluas ke koklea dan labirin dapat mengakibatkan tuli campuran. Proses
otosklerosis terjadi dalam 2 fase: (1) fase aktif yaitu adanya resorpsi tulang (spongiosis),
dan (2) fase remisi yaitu terjadinya deposit tulang (sklerosis).
28
Modul I.2.3 - Otosklerosis
Insidensi
Insiden otosklerosis paling tinggi pada ras Kaukasian (4-8%), bangsa Jepang 1%,
dan Afrikan-Amerika (1%). Otosklerosis bersifat herediter yang diturunkan secara
autosomal dominan (60%). Otosklerosis lebih banyak ditemukan pada wanita dari pada
laki-laki dengan perbandingan 2:1. Otosklerosis sering dimulai di usia pertengahan (10-
48 thn) dengan insidensi tertinggi pada dekade empat dan lima kehidupan. Ada banyak
laporan yang mengaitkan timbulnya gangguan pendengaran pada wanita hamil yang
disebabkan oleh otosklerosis. Pada wanita hamil, otosklerosis memburuk lebih progresif
dibanding wanita tidak hamil. Beberapa peneliti mengemukakan bahwa kurang lebih 50%
dari penderita otosklerosis memiliki keluhan gangguan pendengaran yang memberat
sehubungan dengan kehamilannya.
Patofisiologi
Secara klinis, proses otosklerosis dibagi menjadi 2 yaitu fase otospongiosis dan
fase otosklerosis. Pada awalnya terjadi proses spongiosis. Pada fase ini terjadi aktivasi
dari sel-sel osteosit, osteoblas, dan histiosit yang menyebabkan gambaran sponge.
Aktifitas osteosit akan meresorpsi jaringan tulang di sekitar pembuluh darah yang akan
mengakibatkan vasodilatasi sekunder. Pada pemeriksaan otoskopi akan tampak Schwarze
sign. Pada fase lanjut akan terjadi proses sklerosis, yang terjadi jika osteoklas secara
perlahan diganti oleh osteoblas sehingga terjadi perubahan densitas sklerotik pada
tempat-tempat yang mengalami spongiosis. Jika proses ini terjadi pada foramen ovale di
dekat kaki stapes, maka kaki stapes akan menjadi kaku dan terjadilah tuli konduksi.
Kekakuan tersebut mengakibatkan fiksasi kaki stapes sehingga mempengaruhi gerakan
stapes. Akibatnya, transmisi gelombang suara ke telinga tengah (kopling osikel)
terganggu.
Pada fase lanjut, tuli konduksi bisa menjadi tuli sensorineural yang disebabkan
oleh obliterasi pada struktur sensorineural antara koklea dan ligamentum spirale. Selain
itu, kerusakan outer hair cell akibat dari pelepasan enzim hidrolitik pada lesi spongiosis
ke telinga dalam, menurunnya vaksularisasi, dan penyebaran sklerotik secara langsung
juga menjadi penyebab terjadinya tuli sensorineural.
29
Modul I.2.3 - Otosklerosis
Etiologi
Penyebab otosklerosis belum diketahui secara pasti. Faktor predisposisi antara
lain herediter, endokrin metabolik, vaskuler autoimun, dan infeksi measles.
Tipe Otosklerosis
1. Histologic Otosclerosis
2. Fenestral Otosclerosis
3. Cochlear Otosclerosis
4. Malignant Otosclerosis
5. Far Advance Otosclerosis
30
Modul I.2.3 - Otosklerosis
• Schwartze’ Sign yaitu pada pemeriksaan otoskopi tampak warna kemerahan pada
membran timpani di dekat promontorium yang disebabkan peningkatan vaksularisasi
pada fase aktif.
• Carhart Notch yaitu pada pemeriksaan audiometri didapatkan penurunan ambang
konduksi tulang pada frekuensi 2000Hz.
Diagnosis
Diagnosis otosklerosis ditegakkan berdasarkan gejala tanda klinis, pemeriksaan
THT dan pemeriksaan penunjang.
• Pemeriksaan penala
Pemeriksaan pertama yang harus dilakukan adalah pemeriksaan penala dengan garpu
tala frekuensi 512Hz. Didapatkan tuli konduksi dengan hasil test Rinne negatif yang
menggambarkan hantaran tulang lebih baik dari hantara udara. Test Weber
didapatkan lateralisasi ke telinga yang lebih berat derajat tuli konduksinya. Jika
derajat tuli konduksi sama beratnya di kedua telinga, mungkin tidak ditemukan
lateralisasi pada test Weber.
• Audiometri nada murni
Pada pemeriksaan audiometri nada murni didapatkan tanda khas berupa Carhart’s
Notch. Gambaran ini akan hilang setelah dilakukan stapedektomi.
31
Modul I.2.3 - Otosklerosis
• Audiometri impedans
Pada pemeriksaan audiometri impedance didapatkan hasil normal. Pemeriksaan
reflek stapedius bisa negatif atau positif tergantung derajat fiksasi yang dikenal
sebagai “on-off refleks stapedius”.
• CT scan
Ct scan bermanfaat untuk menegakan diagnosis tuli konduksi karena otosklerosis.
Selain itu dapat menunjukkan anomali tulang lainnya.
Diagnosis Banding
• Gangguan rantai tulang pendengaran
• Fiksasi stapes kongenital
• Presbikusis
• Osteogenesis imperfekta
Tatalaksana
Farmakologi
Tidak ada terapi obat yang spesifik untuk otosklerosis. Sodium floride dan vitamin D
dapat dipertimbangkan untuk menghambat otosklerosis. Pada fase aktif, diberikan sodium
32
Modul I.2.3 - Otosklerosis
floride dosis 50mg/hari. Jika schwartze’s sign positif dan disapatkan tuli sensorineural
dosis dapat ditingkatkan 75mg/hari. Jika pendengaran stabil, schwartze’s sign memudar,
dan dari radiologi tampak rekalsifikasi, dosis dapat dimaintenance 25mg/hari. Vitamin D
400U dapat diberikan untuk meningkatkan absorbsi kalsium di usus.
Alat Bantu Dengar (Hearing Aid)
Beberapa kondisi yang memungkikan alat bantu dengar sebagai pilihan terapi adalah:
• Terdapat kontraindikasi absolut operasi
• Pasien menolak operasi
• Only hearing ear
• Skor diskriminasi tutur yang buruk
• Tuli konduksi ringan
• Fiksasi stapes kongenital yang diduga tidak dapat membaik meskipun dilakukan
operasi
Pembedahan
• Stapedektomi total
• Stapedektomi parsial
• Stapedotomi
Komplikasi
Ada beberapa komplikasi yang mungkin terjadi baik durante operasi ataupun post operasi
yaitu:
• Tuli sensorineural post operasi (1-2%)
• Parese N VII permanen
• Gangguan fungsi pengecapan akibat lesi dari korda timpani
• Tinitus dan vertigo disertai mual muntah
Meskipun begitu, keberhasilan operasi memiliki prognosis baik sekitar lebih dari 90%.
Daftar Pustaka
1. De Souza CE, Glasscock ME. Pathology of Otosclerosis. Otosclerosis and
Stapedectomy. New York, NY: Thieme; 2004: 3–21.
2. Johnson, J.T, Rosen C.A. Otosclerosis in Bailey’s Head and Neck Surgery-
Otolaryngology. Fifth edition. Volume two. Lippincott Williams & Wilkins. 2014
33
Modul I.2.3 - Otosklerosis
34
MODUL UTAMA
OTOLOGI
GANGGUAN TELINGA DALAM
MODUL I.3.1
INFLAMASI TELINGA DALAM
EDISI III
KOLEGIUM
ILMU KESEHATAN TELINGA HIDUNG TENGGOROK
BEDAH KEPALA LEHER
2022
DAFTAR ISI
C. REFERENSI .................................................................................................... 1
D. KOMPETENSI ................................................................................................ 3
H. EVALUASI ..................................................................................................... 7
M. MATERI BAKU........................................................................................ 22
Modul I.3.1 – Inflamasi Telinga Dalam
MODUL I.3.1
OTOLOGI – GANGGUAN TELINGA DALAM : INFLAMASI TELINGA
DALAM
A. WAKTU PEMBELAJARAN
Proses pengembangan kompetensi Alokasi waktu
Sesi dalam kelas 2 x 60 menit (classroom session)
Sesi praktikum 4 x 60 menit (coaching session)
Sesi praktik dan pencapaian kompetensi 1 minggu (facilitation and
assessment)
B. PERSIAPAN SESI
1. Materi presentasi: Power point
2. Kasus: Inflamasi Telinga Dalam
3. Sarana dan alat bantu latih: (disesuaikan dengan pencapaian kompetensi)
o Penuntun belajar (learning guide): terlampir.
o Tempat belajar (training setting): ruang kuliah, ruang praktikum, instalasi
rawat jalan.
o Model/manekin (liang) telinga.
o Komputer/laptop.
o In focus.
C. REFERENSI
1. Durand, M. L. and D. G. Deschler. Infections of the Ears, Nose, Throat, and
Sinuses, Springer;2018;7:79-88
2. Bluestone, C. D. Pediatric otolaryngology, Gulf Professional
Publishing;2014;38:797-901
3. World Health Organization. Chronic suppurative otitis media:burden of illness and
management options. Geneve:World Health Organization; 2004.
4. Scott-Brown, W. G.. Scott-Brown's Otorhinolaryngology, Head and Neck
Surgery:Plastic surgery of the head and neck, Hodder Arnold;2008;83:1010-14
5. Bailey, B. J. and J. T. Johnson. Bailey's head and neck surgery-otolaryngology,
Wolters Kluwer Health/Lippincott Williams & Wilkins;2014;149:2399-2408
1
Modul I.3.1 – Inflamasi Telinga Dalam
2
Modul I.3.1 – Inflamasi Telinga Dalam
D. KOMPETENSI
1. Pengetahuan
Setelah mengikuti sesi ini peserta didik mampu:
a. Menegakkan diagnosis klinis berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik dan
pemeriksaan penunjang pada kasus inflamasi telinga dalam akibat perluasan
inflamasi telinga tengah.
b. Memutuskan dan menangani kasus inflamasi telinga dalam akibat perluasan
inflamasi telinga tengah sesuai kompetensi.
2. Keterampilan
Setelah mengikuti sesi ini peserta didik diharapkan terampil dalam:
a. Menjelaskan anatomi, topografi dan fisiologi telinga tengah dan dalam (labirin).
b. Menjelaskan definisi dan patofisiologi inflamasi telinga dalam.
c. Menjelaskan gambaran klinis inflamasi telinga dalam akibat perluasan inflamasi
telinga tengah.
d. Melakukan penanganan non-bedah pada inflamasi telinga dalam atau labirintitis
dan komplikasinya sesuai kompetensi.
e. Melakukan penanganan bedah pada inflamasi telinga dalam atau labirintitis dan
komplikasinya akibat perluasan inflamasi telinga tengah sesuai kompetensi.
f. Melakukan follow up pasien inflamasi telinga dalam atau labirintitis akibat
perluasan inflamasi telinga tengah.
3
Modul I.3.1 – Inflamasi Telinga Dalam
Jawaban:
a. Diagnosis kerja Otitis media supuratif kronis dengan komplikasi labirintitis
supuratif difus kanan
b. Labirintitis disebabkan adanya perluasan infeksi ke telinga dalam yang dapat
terjadi melalui jalur yang telah terbentuk seperti tingkap lonjong dan bundar atau
melalui erosi pada labirin (fistula labirin) pada OMSK yang disertai
kolesteatoma. Penyebaran kuman yang memiliki virulensi tinggi tersebut
menyebabkan inflamasi di dalam labirin.
c. Pada pemeriksaan telinga ditemukan adanya sekret yang mukopurulen.
Membran timpani perforasi. Pada pemeriksaan fungsi pendengaran dapat
ditemukan adanya tuli campur. Pada tes fistula (pada penekanan tragus atau liang
telinga diberi tekan udara dengan pneumatoskop) pasien merasa pusing berputar
. Foto polos Schuller dan/atau CT scan tulang temporal, MRI.
d. Terapi utama adalah pemberian antibiotik intravena untuk mencegah komplikasi
lanjut berupa meningitis. Bila diperlukan tindakan operatif yang dilakukan
adalah timpanomastoidektomi dan penutupan fistula labirint bila ditemukan,
dan/atau labirintektomi pada kasus yang refrakter
F. TUJUAN PEMBELAJARAN
Tujuan Pembelajaran Umum
Setelah mengikuti sesi ini peserta didik terampil dalam:
a. Menegakkan diagnosis klinis berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik dan
pemeriksaan penunjang pada kasus inflamasi telinga dalam akibat perluasan
inflamasi telinga tengah.
b. Memutuskan dan menangani kasus inflamasi telinga dalam akibat perluasan
inflamasi telinga tengah sesuai kompetensi.
Tujuan Pembelajaran Khusus
Setelah mengikuti sesi ini peserta didik diharapkan terampil dalam:
4
Modul I.3.1 – Inflamasi Telinga Dalam
a. Menjelaskan anatomi, topografi dan fisiologi telinga tengah dan dalam (labirin).
b. Menjelaskan definisi dan patofisiologi inflamasi telinga dalam.
c. Menjelaskan gambaran klinis inflamasi telinga dalam akibat perluasan inflamasi
telinga tengah.
d. Melakukan penanganan non-bedah pada inflamasi telinga dalam atau labirintitis
dan komplikasinya sesuai kompetensi.
e. Melakukan penanganan bedah pada inflamasi telinga dalam atau labirintitis dan
komplikasinya akibat perluasan inflamasi telinga tengah sesuai kompetensi.
f. Melakukan follow up pasien inflamasi telinga dalam atau labirintitis akibat
perluasan inflamasi telinga tengah.
G. METODE PEMBELAJARAN
Tujuan 1. Menjelaskan anatomi, histologi, topografi dan fisiologi telinga dalam.
Untuk mencapai tujuan ini maka dipilih metode pembelajaran berikut ini:
• Belajar mandiri.
• Diskusi kelompok.
Harus diketahui:
• Anatomi, histologi, dan topografi telinga dalam.
• Fisiologi telinga dalam.
Tujuan 2. Menjelaskan patofisiologi inflamasi telinga dalam.
Untuk mencapai tujuan ini maka dipilih metode pembelajaran berikut ini:
• Belajar mandiri.
• Tinjauan pustaka.
• Diskusi kelompok.
Harus diketahui:
• Patofisiologi inflamasi telinga dalam.
Tujuan 3. Menjelaskan gambaran klinis inflamasi telinga dalam.
Untuk mencapai tujuan ini maka dipilih metode pembelajaran berikut ini:
• Belajar mandiri.
• Tinjauan pustaka.
• Kuliah.
• Diskusi kelompok.
5
Modul I.3.1 – Inflamasi Telinga Dalam
Harus diketahui:
• Gambaran klinis (gejala dan tanda) inflamasi telinga dalam.
Tujuan 4. Menegakkan diagnosis inflamasi telinga dalam.
Untuk mencapai tujuan ini maka dipilih metode pembelajaran berikut ini:
• Belajar mandiri.
• Kuliah.
• Diskusi kelompok.
• Bedside teaching.
• Praktik pada pasien.
Harus diketahui:
• Tanda dan gejala klinis inflamasi telinga dalam.
Tujuan 5. Melakukan penanganan inflamasi telinga dalam dan komplikasinya.
Untuk mencapai tujuan ini maka dipilih metode pembelajaran berikut ini:
• Belajar mandiri.
• Kuliah.
• Diskusi kelompok.
• Praktikum.
• Bedside teaching.
• Praktik pada pasien.
• Bakti sosial.
Harus diketahui:
• Tata laksana inflamasi telinga dalam.
• Komplikasi inflamasi telinga dalam.
• Komplikasi dari tata laksana inflamasi telinga dalam.
Tujuan 6. Melakukan follow up pasien inflamasi telinga dalam.
Untuk mencapai tujuan ini maka dipilih metode pembelajaran berikut ini:
• Belajar mandiri.
• Kuliah.
• Diskusi kelompok.
• Bedside teaching.
• Praktikum.
• Praktik pada pasien.
6
Modul I.3.1 – Inflamasi Telinga Dalam
Harus diketahui:
• Hal-hal yang harus diperhatikan pada pasien dengan inflamasi telinga
dalam.
• Edukasi yang perlu diberikan pada pasien.
H. EVALUASI
1. Pada awal pertemuan dilaksanakan pretest dalam bentuk tertulis dan lisan sesuai
dengan tingkat masa pendidikan yang bertujuan untuk menilai pengetahuan awal
yang dimiliki peserta didik dan untuk mengidentifikasi kekurangan yang ada. Materi
pretest terdiri atas:
a. Anatomi dan fisiologi telinga tengah dan telinga dalam.
b. Penegakan diagnosis.
c. Penatalaksanaan.
2. Selanjutnya dilakukan diskusi bersama dengan fasilitator untuk membahas
kekurangan yang teridentifikasi, membahas isi dan hal-hal yang berkenaan dengan
penuntun belajar.
3. Peserta didik diwajibkan untuk mengaplikasikan langkah-langkah yang tertera dalam
penuntun belajar melalui metode bedside teaching kepada pasien sesungguhnya
dengan pengawasan fasilitator dan mengisi formulir penilaian sebagai berikut:
a. Perlu perbaikan: pelaksanaan belum benar atau sebagian langkah tidak
dilaksanakan.
b. Cukup: pelaksanaan sudah benar tetapi tidak efisien, misal pemeriksaan terlalu
lama atau kurang memberi kenyamanan kepada pasien.
c. Baik: pelaksanaan benar dan baik (efisien).
4. Melakukan case based discussion (formulir penilaian terlampir).
5. Peserta didik diberi masukan dan bila diperlukan diberi tugas yang dapat
memperbaiki kinerja (task-based medical education).
6. Pencapaian pembelajaran:
a. Ujian akhir stase, setiap divisi/unit kerja oleh masing-masing sentra
pendidikan.
b. Ujian nasional dilakukan pada akhir tahapan pendidikan spesialis oleh kolegium
ilmu kesehatan THT-KL.
7
Modul I.3.1 – Inflamasi Telinga Dalam
B. Tengah pembelajaran
Soal:
1. Komplikasi intratemporal pada otitis media terdiri atas...............
2. Secara klinis kecurigaan adanya inflamasi telinga dalam atau labirintitis adalah
ditemukan adanya................
3. Patofisiologi terjadinya inflamasi telinga dalam atau labirintitis adalah..............
Jawaban:
1. (1) mastoiditis, (2) petrositis, (3) labirintitis, dan (4) paresis nervus fasialis (5)
fistula labirin.
2. (1) infeksi akut persisten lebih dari 2 minggu, (2) rekurensi gejala infeksi dalam
kurun waktu 2 minggu pengobatan, (3) eksaserbasi akut dan cepat penyakit infeksi
kronik, (4) sekret telinga tengah yang berbau selama pengobatan, (5) hasil kultur
kuman berupa H. Influenzae tipe B atau kuman anaerob, (6) adanya demam pada
kasus perforasi membran timpani dengan atau tanpa kolesteatoma.
3. Obstruksi aditus ad antrum pada saat infeksi telinga tengah, jalur menuju tingkap
oval dan bundar yg terbentuk secara kongenital, atau celah yang terbentuk akibat
fraktur pada trauma dan proses erosi tulang pada infeksi kronik (granulasi,
kolesteatoma). Keadaan tersebut menyebabkan kuman dapat menyebar dengan
cepat.
C. Akhir pembelajaran
8
Modul I.3.1 – Inflamasi Telinga Dalam
Soal:
1. Komplikasi intratemporal pada otitis media terdiri atas
2. Secara klinis kecurigaan adanya inflamasi telinga dalam atau labirintitis adalah
ditemukan adanya................
3. Patofisiologi terjadinya inflamasi telinga dalam atau labirintitis adalah..............
4. Gejala dan tanda klinis inflamasi telinga dalam atau labirintitis supuratif difus
adalah..............
5. Pengobatan bedah pada inflamasi telinga dalam atau labirintitis adalah..............
Jawaban:
1. (1) mastoiditis, (2) petrositis, (3) labirintitis, dan (4) paresis nervus fasialis (5)
fistula labirin.
2. (1) infeksi akut persisten lebih dari 2 minggu, (2) rekurensi gejala infeksi dalam
kurun waktu 2 minggu pengobatan, (3) eksaserbasi akut dan cepat penyakit
infeksi kronik, (4) sekret telinga tengah yang berbau selama pengobatan, (5) hasil
kultur kuman berupa H. Influenzae tipe B atau kuman anaerob, (6) adanya demam
pada kasus perforasi membran timpani dengan atau tanpa kolesteatoma.
3. Obstruksi aditus ad antrum pada saat infeksi telinga tengah, jalur menuju tingkap
oval dan bundar yg terbentuk secara kongenital, atau celah yang terbentuk akibat
fraktur pada trauma dan proses erosi tulang pada infeksi kronik (granulasi,
kolesteatoma). Keadaan tersebut menyebabkan kuman dapat menyebar dengan
cepat.
4. Gangguan pendengaran tipe campur dan gangguan keseimbangan akibat paralitik
kanal sisi telinga yang terlibat.
5. Bedah: Pada kasus infeksi akut, tindakan terbatas pada miringotomi.
a. Pada kasus otitis media kronik, tindakan bedah berupa mastoidektomi disertai
penutupan fistula labirin bila ditemukan.
b. dan implan koklea pada kasus labirintitis ossifikan.
D. Essay/Ujian lisan:
Seorang wanita usia 36 tahun dibawa ke instalasi gawat darurat akibat demam,
disertai mual dan muntah sejak 1 hari sebelumnya. Keluarga pasien juga
mengeluhkan sejak 1 minggu sebelumnya telinga kanan dikeluhkan nyeri dan telinga
berair dan berbau. Riwayat telinga berair sudah ada sejak kecil, hilang timbul. Pada
pemeriksaan ditemukan sekret mukopurulen pada telinga kanan disertai adanya
nistagmus dengan fase cepat ke kiri.
Soal:
1. Sebutkan diagnosis yang paling mungkin pada pasien tersebut di atas.
2. Jelaskan patofisiologi penyakit yang menjadi diagnosis kerja pada pasien.
9
Modul I.3.1 – Inflamasi Telinga Dalam
10
Modul I.3.1 – Inflamasi Telinga Dalam
KEGIATAN KASUS
Pasien diberi penjelasan (informed consent) bahwa
gangguan keseimbangan akan terjadi pasca operasi.
• Rencana Tindakan
• Persiapan Sebelum Tindakan
II. PERSIAPAN PROSEDUR
- Pemberian antibiotik profilaksis
- Menyiapkan mikroskop dan alat-alat yang akan
digunakan.
- Cuci tangan, memakai baju operasi dan hadscoon.
- tindakan a dan antiseptik pada daerah operasi dan
sekitarnya dengan menggunakan povidon iodine atau
antiseptik lainnya.
- pasang kain penutup operasi steril pada pasien,
kecuali di area operasi.
- Posisi pasien: terlentang, kepala miring ke arah
berlawanan dengan sisi telinga yang dioperasi.
III. PROSEDUR OPERASI LABIRINTEKTOMI
- Pada daerah operasi yang akan diinsisi dilakukan
suntikan dengan larutan Xylocaine 1% dengan
epinefrin 1 : 100.000, untuk memisahkan periosteum
dengan korteks mastoid.
- Dilakukan insisi retroaurikular 5-10 mm dari sulkus
atau pada batas kulit rambut daerah retroaurikular,
mulai dari kulit, subkutis, hingga periosteum.
- Mastoidektomi kortikal:
Bur korteks mastoid dengan landmark segitiga Mc
Ewen, dengan mengidentifikasi dinding posterior
liang telinga, linea temporalis dan spina Henle.
Identifikasi tegmen timpani, tegmen mastoid, sinus
sigmoid dan kanalis semisirkulatis lateralis.
Labirintektomi
- Identifikasi aditus ad antrum, fosa inkudis, solid
angle dan N. Fasialis pars vertikal.
- Buka resesus fasialis
- Potong sendi incudostapedial dan inkus diangkat
- Temukan kanalis semisirkularis dimulai dari kanalis
semisirkularis lateral ,dilanjutkan ke kanalis
semisirkularis posterior dan terakhir kanalis
semisirkularis superior
- Tiga kanalis semisirkularis tervisualisasi dengan
baik kemudian di bor secara sistematik sampai ke
ampulanya
- Ampula kanalis superior dan horizontal
dihubungkan dengan ampula kanalis posterior
11
Modul I.3.1 – Inflamasi Telinga Dalam
KEGIATAN KASUS
- Ampula dan neuoroepitelium ketiga kanalis
semisirkularis dipaparkan, begitu juga dengan
sakulus dan utrikulus
- Neuroepitelium diangkat
- Irigasi menggunakan NaCL 0,9%
- Pasang fasia temporalis menutup struktur dan rongga
yang terbuka lalu dilapisi lemak.
- Luka insisi ditutup lapis demi lapis dengan Vicryl 3-0.
Kulit dijahit dan pasang pembalut mastoid.
PASCAOPERASI
Instruksi pascaoperasi
- Tidak boleh ada aktifitas berat sampai 3 minggu pasca
operasi.
- Aktifitas sehari-hari dapat mulai dilakukan setelah
minggu ke-3.
- pemberian antibiotika injeksi dilanjutkan dengan oral .
- pemberian analgetik/antinflamasi.
- Intake makanan dan minuman harus terjaga dengan
baik.
- evaluasi pascaoperasi berupa adanya: perdarahan,
paresis N. fasialis.
- rencana pasien dipulangkan 2 hari pascaoperasi bila
kondisi stabil.
K. DAFTAR TILIK
PROSEDUR LABIRINTEKTOMI
Berikan penilaian tentang kinerja psikomotorik atau keterampilan yang diperagakan
oleh peserta pada saat melaksanakan suatu kegiatan atau prosedur, dengan ketentuan
seperti yang diuraikan dibawah ini:
ü: Memuaskan: Langkah atau kegiatan diperagakan sesuai dengan prosedur atau
panduan standar
Ï: Tidak memuaskan: Langkah atau kegiatan tidak dapat ditampilkan sesuai dengan
prosedur atau panduan standar
T/T: Tidak Ditampilkan: Langkah, kegiatan atau keterampilan tidak diperagakan oleh
peserta selama proses evaluasi oleh pelatih
12
Modul I.3.1 – Inflamasi Telinga Dalam
L. MATERI PRESENTASI
Slide 1
Slide 2
13
Modul I.3.1 – Inflamasi Telinga Dalam
Slide 3
Slide 4
14
Modul I.3.1 – Inflamasi Telinga Dalam
Slide 5
Slide 6
15
Modul I.3.1 – Inflamasi Telinga Dalam
Slide 7
Slide 8
16
Modul I.3.1 – Inflamasi Telinga Dalam
Slide 9
Slide 10
17
Modul I.3.1 – Inflamasi Telinga Dalam
Slide 11
Slide 12
18
Modul I.3.1 – Inflamasi Telinga Dalam
Slide 13
Slide 14
19
Modul I.3.1 – Inflamasi Telinga Dalam
Slide 15
Slide 16
Slide 17
20
Modul I.3.1 – Inflamasi Telinga Dalam
Slide 18
Slide 19
21
Modul I.3.1 – Inflamasi Telinga Dalam
Slide 20
Slide 21
M. MATERI BAKU
LABIRINTITIS
Labirintitis adalah infeksi organ labirin yaitu koklea dan apparatus vestibuler yang
merupakan komplikasi dari otitis media (otogen) atau meningitis (meningogen) yang
terjadi ketika infeksi menyebar ke telinga dalam. Struktur telinga dalam terletak dalam
tulang temporal yang dikelilingi struktur tulang yang kompak (ottic capsul) hal ini
menyebabkan telinga dalam terlindungi dengan baik dari infeksi. Sebagian besar infeksi
22
Modul I.3.1 – Inflamasi Telinga Dalam
bakteri yang terkena pada telinga dalam merupakan ekstensi dari infeksi dan peradangan
telinga tengah atau system saraf sentral (CNS). Rute yang jarang terjadi adalah melalui
erosi dari tulang temporal atau dehisensi semisirkular kanal lateralis sebagai akibat dari
Demikian pula pada penderita meningitis, bakteri akan menginvasi labirinth melalui
komplikasi yang paling sering dari meningitis, khususnya pada anak-anak. Sepertiga
bilateral dan stabil, dapat juga unilateral dan progresif atau fluktuatif. CT scan
menunjukan peningkatan tekanan intrakranial, nuchal rigidity, level glukosa rendah dan
ketulian sensorineural post meningitis. Organ auditori dan vestibular di telinga dalam
sangat sensitif terhadap kerusakan akibat infeksi maupun trauma. Keluhan yang akan
telinga dalam jika semakin parah dapat menyebar ke ruang intrakranial dan menyebabkan
23
Modul I.3.1 – Inflamasi Telinga Dalam
, dimana hasil dari invasi bakteri dari subarachnoid space ke dalam labirin
kemudian terjadi pergantian struktur normal labirin dengan jaringan fibrosa dan
tulang.
Dari klasifikasi ini labirintitis serosa dan supuratif masuk dalam klasifikasi
a. Labirintitis Serosa
Labirintitis serosa merupakan inflamasi dari organ labirin tanpa ditemukan bakteri
di dalamnya. Labirintitis tipe ini diakibatkan adanya toksin dari bakteri yang masuk dan
mencetuskan inflamasi labirin. Toksin bakteri dari infeksi telinga tengah yang masuk ke
dalam telinga dalam, melalui round window yang intak atau melalui defek kongenital
antara telinga tengah dan telinga dalam. Pintu masuk mungkin juga dapat melalui defek
yang didapat pada labirin, seperti trauma kepala atau pembedahan telinga tengah atau
mastoid sebelumnya. Koklea biasanya terlibat lebih berat dibandingkan sistem vestibular.
Gangguan dengar sensorineural yang berfluktuasi telah dijelaskan pada pasien dengan
otitis media dan disebabkan hidrops endolimfatik atau fistula perilimfatik. Sebuah studi
pada hewan menunjukan bahwa pemberian protein pneumokokus pada telinga tengah
dapat menyebabkan inflamasi dan kerusakan sel rambut pada telinga dalam. Labirintitis
serosa merupakan kasus yang jarang dan dilaporkan < 1% dari komplikasi penyakit otitis
media.
24
Modul I.3.1 – Inflamasi Telinga Dalam
Tanda dan gejala dari labirintitis serosa (khususnya ketika terdapat fistula
fluktuatif dan vertigo yang berhubungan dengan otitis media atau salah satu dari
komplikasinya , seperti osteitis mastoid. Pada beberapa anak yang memiliki infeksi
telinga tengah rekuren, pendengaran mungkin normal antara episodenya. Pada kasus yang
lain , gangguan dengar sensorineural derajat ringan atau sedang dapat muncul setiap
waktu. Adanya vertigo mungkin tidak jelas pada anak-anak, khususnya infant. Nistagmus
spontan fase cepat kearah telinga yang sakit atau telinga yang terkena dapat juga timbul,
tetapi tanda dan gejala dari labirintitis akut supuratif, seperti mual, muntah, dan rasa sakit
yang mendalam biasanya tidak ada. Demam, jika ada biasanya disebabkan bersamaan
dengan infeksi saluran napas atas atau otitis media akut. Jika terdapat fistula perilimfatik
kongenital, nistagmus mungkin dapat mucul saat episode dari otitis media akut, sebagai
dengan otoskop pneumatik siegle atau dengan mengaplikasikan tekanan negatif dan
positif pada liang telinga luar dengan menggunakan sistem pump-manometer dari
impedansi audiometri. Hasil tes fistula dipertimbangkan positif jika nistagmus atau
yang memiliki membran timpani perforasi atau timpanostomi tube. Fistula biasanya
berhubungan dengan defek yang didapat atau kongenital pada tulang temporal, seperti
perilimfe pada telinga tengah sebagai jalan untuk mengkonfirmasi adanya fistula
perilimfatik.
25
Modul I.3.1 – Inflamasi Telinga Dalam
berdasarkan kultur dan resistensi dari cairan telinga tengah. Antimikroba yang efektif
Pseudomonas, telah diisolasi dari telinga tengah anak-anak yang memiliki labirintitis
akut. Setelah resolusi dari otitis media dengan efusi, tanda dan gejala dari labirintitis
tetap ada. Timpanostomi tube sebaiknya dipasang kembali jika terdapat otitis media
pada organ audiovestibular serta menurunkan angka kejadian labirintitis osifikan. Ketika
terdapat osteitis mastoid akut, otitis media supuratif kronis, atau kolesteatoma,
pengobatan definitf dan pembedahan pada kondisi ini penting untuk menyingkirkan
26
Modul I.3.1 – Inflamasi Telinga Dalam
cairan serebrospinal.
menyebar ke telinga dalam melalui telinga dalam dan struktur tulang temporal di
sekitarnya. Otitis media akut meluas ke dalam labirin melalui membran foramen ovale
yang rapuh atau dehisen, kelainan labirin kongenital seperti deformitas Mondini, melalui
aquaduktus vestibularis, dan pada individu yang menjalani pembedahan pada stapes.
Infeksi telinga dalam juga dapat terjadi karena kolesteatoma merusak struktur tulang di
labirintitis serosa. Gejala yang dialami pasien dengan labirintitis supuratif otogenik yaitu
permanen. Pada labirintitis supuratif difus nistagmus fase cepat ke arah berlawanan.
Setelah infeksi sembuh, organ labirin akan terisi oleh jaringan fibrosa dan jaringan tulang,
proses ini yang selanjutnya disebut dengan labirintitis osifikans. Hal ini disebabkan
karena proses infeksi menyebar melalui foramen pada canalis akustikus internus. Bakteri
penyebab labirintitis sama dengan bakteri yang menyebabkan otitis media akut.
spectrum dapat diberiksan segera setelah pasien dicurigai menderita labirintitis supuratif.
dilakukan adalah membersihkan telinga tengah, rongga mastoid, telinga dalam dan organ
27
Modul I.3.1 – Inflamasi Telinga Dalam
memungkinkan dan sebaiknya dilakukan hanya jika terdapat intractable vertigo atau
penyebaran infeksi ke telinga dalam melalui aquaduktus koklearis dan kanalis akustikus
internal. Infeksi ini selanjutnya dapat merusak organ labirin baik koklea maupun organ
vestibular. Dan bila infeksi ini terus berlanjut dan tidak mendapatkan penanganan yang
tepat, akan terbentuk jaringan tulang di dalam lumen koklea dan organ vestibular. Hal ini
terbentuk.
28
Modul I.3.1 – Inflamasi Telinga Dalam
Pola dari komplikasi dan keterlibatan patogen sering diasosiasikan dengan tingkat
langsung (labirintitis supuratif) atau berasal dari difusi mediator inflamasi di membran
oval window atau round window (labirintitis serosa). Pada pemeriksaan fisik dapat
ditemukan nistagmus horizontal spontan dangan fase cepat yang mengarah pada telinga
yang sakit, namun selanjutnya arah nystagmus akan berbalik menjauhi telinga yang sakit
(hipofungsi) dalam rentang 24-48 jam bersamaan dengan fungsi neurosensori vestibular
yang akan berangsur menurun. Peran labirin telinga sangat penting pada fungsi
secara bebas dengan ruang subarachnoid melalui akuaduktus koklea, oleh sebab itu
29
Modul I.3.1 – Inflamasi Telinga Dalam
Labirintitis serosa dan supuratif hanya bisa dibedakan melalui riwayat penyakit
pasien dan outcome kesembuhan yang dialami oleh pasien. Hal ini dikarenakan,
pemeriksaan analisis perilimfe tidak bisa dilakukan. Oleh karena itu, semua pasien
dipertimbangkan pada kondisi penyakit yang akut. Pasien pasien dengan meningitis
berulang dan malformasi kongenital telinga dalam dapat mengalami obliterasi vestibular.
Semua pasien labirintitis supuratif dan meningitis primer yang mengalami penurunan
pendengaran sensorineural derajat berat hingga sangat berat harus dilakukan pemeriksaan
T2-Weighted MRI (TW21) dengan mempertimbangkan implant koklear dini sejak saat
Komplikasi Labirintitis
a. Meningitis
mual/muntah, fotofobia, dan berbagai perubahan status mental (dari iritabilitas hingga
penurunan kesadaran). Pasien dapat berkembang rigiditas leher, ditandai dengan nyeri
dan keterbatasan dari fleksi leher. Dengan proses dari penyakit, papil edema dan reflek
abnormal termasuk Kernig sign (ketidakmampuan untuk ekstensi lutus seluruhnya ketika
tungkai fleksi pada pinggang) dan Brudzinski sign (fleksi leher secara pasif
mengidentifikasi juga rute penyebaran ke meningen dan organ yang terlibat. Semua
30
Modul I.3.1 – Inflamasi Telinga Dalam
mengetahui otitis media akut dan otitis medis supuratif kronis. Kebanyakan kasus dari
menigitis otogenik pada anak merupakan hasil dari penyebaran secara hematogen dari
organisme penyebab. CT atau MRI sebaiknya dilakukan saat awal untuk mengidentifikasi
temuan yang mengarah kepada peningkatan tekanan intrakranial yang mungkin dapat
berisiko herniasi dengan pungsi lumbal, juga dapat mengidentifikasi abses intrakranial,
empiema subdural, atau cerebritis. Ketika meningitis disebabkan dari subakut atau otitis
media supuratif kronis, penyakit telinga tersebut butuh dilakukan pembedahan, untuk
membersihkan infeksi pada telinga tengah dan rongga mastoid, menginspeksi adanya
Jaringan granulasi dan abses mungkin dapat terbentuk antara tulang temporal dan
duramater yang berdekatan ketika infeksi koalesen akut atau otitis media kronis dengan
atau tanpa kolesteatoma yang mengikis tulang yang mengelilinginya. Kantong dari
infeksi kemudian meluas sepanjang bagian depan dari fossa kranii media atau posterior.
31
Modul I.3.1 – Inflamasi Telinga Dalam
Jaringan granulasi dan abses epidural ditandai dengan nyeri kepala dan demam, tapi
secara klinis sering tanpa gejala sehingga abses membesar. CT scan dengan kontras dapat
memperlihatkan erosi dari lempeng sigmoid atau tegmen. Penanganan dari jaringan
sebaiknya diperluas agar dapat dilakukan inspeksi dengan hati-hati pada duramater dari
tegmen timpani, tegmen mastoid, sinus sigmoid, dan fosa kranii posterior bagian medial
Abses Otak
Abses otak otogenik dapat muncul dari otitis media akut atau otitis media kronis.
Penyebab abses otak karena kolesteatoma telah digantikan oleh otitis media akut sebagai
penyebab dari kebanyakan kasus. Infeksinya biasanya polimikroba dengan secara relatif
memiliki proporsi tinggi anaerob. Abses otak mempunyai 4 tahapan klinis. Tahap
pertama adalah invasi (inisiasi cerebritis), saat dimana destruksi infeksi otak dapat
dan nyeri kepala. Gejala ini biasanya halus dan seringnya diabaikan dan mungkin secara
spontan membaik setelah beberapa hari. Tahapan kedua, lokalisasi (abses laten atau
diam), ketika jaringan menjadi nekrosis dan edema, mungkin secara klinis diam dan
bertahan untuk beberapa minggu. Saat tahap ketiga, pembesaran (manifestasi abses),
suatu bentuk abses yang nyata dari cerbritis sebelumnya. Pasien dapat mengeluhkan
demam tinggi, nyeri kepala, gejala neurologis fokal, atau penurunan kesadaran. Abses
dari lobus temporal dapat ditandai dengan kejang, defisit lapang pandang, dan
hemiparese. Abses cerebellar dapat ditandai dengan vertigo, nistagmus, ataxia, dan
dismetria. Pada tahap keempat, terminasi (ruptur dari abses), kapsul abses ruptur ke dalam
32
Modul I.3.1 – Inflamasi Telinga Dalam
ventrikel atau ke dalam celah subarachnoid. Hasil ini biasanya progresif sangat cepat,
seringnya fatal.
spectrum secepatnya dan konsultasi bedah saraf. Jika tindakan pembedahan dari abses
setelah kestabilan neurologis dapat dicapai dengan antibiotik, aspirasi, drainage terbuka,
c. Empyema Subdural
Empiema subdural adalah infeksi purulen yang dibentuk antara dura dan
membran pia-arachnoid. Celah subdural diunggulkan via saluran vena atau infeksi dalam
tulang atau otak yang berdekatan. Ini merupakan komplikasi otitis media yang paling
jarang. Karena efek dari massa dan jarak dekat ke korteks cerebri, progres gejala sangat
cepat dan pasien ditandai dengan nyeri kepala hebat, ditandai defisit fokal neurologis,
kejang, dan penurunan kesadaran. Tanda meningeal jelas. CT scan dengan kontras
intravena mugkin bisa melewatkan abses subdural dini tapi dapat mendeteksi lesi lebih
Pungsi lumbal dapat mencetuskan herniasi pada kondisi ini dan sebaiknya dihindari jika
lesi telah terdeteksi dengan imaging terlebih dahulu. Empiema subdural merupakan
33
Modul I.3.1 – Inflamasi Telinga Dalam
Sinus tromboplebitis dapat berkembang ketika infeksi yang berada di bawah sinus
sigmoid telah menyatu, yaitu jaringan granulasi atau kolesteatoma yang telah membuat
inflamasi pada dinding sinus. Sinus sigmoid paling rentan karena lokasinya yang
menonjol berdekatan ke sel udara mastoid. Trombosis retrograde dari vena cerebri
(Labbe) dan sinus (transversal, sagital, petrosal, dan cavernosus) dapat menyebabkan
terjadinya hipertensi intracranial, abses otak, infark, dan kematian. Trombus dapat
menyebar ke vena jugularis interna dan bulbus jugularis, menghasilkan septik emboli dan
Terapi antibiotik saat ini telah menurunkan insidensi trombosis sinus sigmoid.
Pada keadaan dimana otitis media akut dan otitis media kronis yang tidak diobati dapat
menyebabkan komplikasi berupa trombosis sinus sigmoid dengan gejala otologi yang
menonjol (otorea, otalgia, nyeri dan kemerahan pada postaurikula), nyeri kepala hebat,
tortikolis, dan demam yang disebabkan oleh sepsis dengan adanya leukositosis.
membersihkan dinding sinus dan dura yang terinflamasi dan untuk menyingkirkan
jaringan granulasi. Abses epidural dan subperiosteal bisa ditangani secara konkomitan.
Venotomi dapat dilakukan untuk mengevakuasi trombus yang telah terinfeksi atau abses
intraluminal.
tidak bermanfaat tetapi tetap perlu dipertimbangkan untuk mencegah trombus menyebar
34
Modul I.3.1 – Inflamasi Telinga Dalam
TATALAKSANA
bersifat suportif. Pasien yang masih muda dan sehat sebagian besar akan mendapatkan
kembali fungsi pendengaran. Tatalaksana kausatif pada labrintitis umumnya terdiri dari
Tatalaksana gejala terdiri dari pemberian anti-emetik dan vestibular suppressants untuk
kontrol gejala dari labirintitis, terutama mual oleh karena vertigo. Tatalaksana labirintitis
labirintitis viral juga masih belum terbukti efektif dalam menurunkan durasi gejala.
Metilprednisolone8 Hari
100 mg 1–3
80 mg 4–6
60 mg 7–9
40 mg 10 – 12
20 mg 13 – 15
10 mg 16 – 18, 20 – 22
9
Prednisone Hari
1 mg/kg 1–5
1 mg/kg minus 20 mg 6–8
1 mg/kg minus 40 mg 9 – 11
1 mg/kg minus 60 mg (10 – 20 mg 12 – 14
sebagai dosis minimal)
1 mg/kg minus 80 mg (5 – 10 mg 15 – 17
sebagai dosis minimal)
5 mg (apabila dosis pertama adalah 18 – 20
>7.5 mg)
dengan labirintitis akut menemukan bahwa terdapat peningkatan fungsi vestibular perifer
(dinilai dengan menggunakan rumus paresis vestibular oleh Jongkee) yang signifikan
35
Modul I.3.1 – Inflamasi Telinga Dalam
pada grup pasien yang diberikan metilprednisolone dibandingkan dengan grup plasebo.
peningkatan skor yang signifikan dibandingkan dengan grup plasebo. Penelitian oleh
Shupak dkk. menemukan bahwa terdapat penyembuhan yang lebih cepat dalam grup
signifikan. Amber dkk. melaporkan sebuah kasus pada pasien berusia 57 tahun dengan
riwayat herpes simplex labialis dengan vertigo rekuren (kurang lebih terjadi setiap 2 bulan
sekali dengan durasi 2 hari). Pasien tersebut diberikan valacyclovir dosis rendah (500 mg
per hari) sebagai profilaksis. Sejak mengonsumsi valacyclovir dengan rutin, pasien
Indikasi untuk pembedahan pada pasien dengan labirintitis adalah pasien dengan
vertigo yang tidak dapat ditangani dengan pengobatan medikamentosa dan dapat
mengganggu kualitas hidup secara signifikan. Ablasi fungsi vestibula perifer merupakan
salah satu metode yang paling efektif dalam tatalaksana penyakit yang refrakter. Terdapat
dua jenis tatalaksana berdasarkan dampaknya terhadap pendengaran: destruktif dan non-
destruktif.
efektif pada pada pasien-pasien dengan episodic vertigo akibat dari penyakit Meniere’s,
labirintitis dan kasus-kasus lain yang menyebabkan intractable vertigo yang gagal
dengan pengobatan konservatif dan pada pasien dengan fungsi pendengaran tidak ada lagi
pada telinga yang terkena. Gacek dkk. menemukan tingkat keberhasilan operasi yang
kurang lebih sama pada labirintektomi (98.8%) dibandingkan dengan neurektomi selektif
36
Modul I.3.1 – Inflamasi Telinga Dalam
(97.8%). Tingkat komplikasi yang terjadi antara kedua prosedur tersebut juga tidak
dilanjutkan dengan pelepasan neuroepitelium yang dilakukan dari lubang yang telah
dibuat di antara round dan oval windows. Pada pendekatan transmastoid, kanalis
semisirkularis dan vestibula dibuka dan dilepaskan dari neuroepitelium. Kedua prosedur
tersebut memiliki tingkat keberhasilan yang relatif tinggi dan efektif dalam menangani
Labirintektomi Transmastoid
Labirintektomi pertama kali dilaporkan pada tahun 1904 oleh Lake dan
dipopulerkan pada tahun 1940an dan 1950an. Prosedur tersebut dapat dilaksanakan dalam
memiliki tingkat keberhasilan yang cenderung tinggi. Waktu operasi umumnya akan
melaporkan peningkatan dalam kualtas hidup. Kegagalan yang terlaporkan sebagai hasil
manfaat pasca labirintektomi adalah pengurangan dari kebutuhan untuk melakukan diet
Ini bisa disebabkan oleh ketidaksempurnaan kompensasi, hasil dari diagnosa sekunder,
37
Modul I.3.1 – Inflamasi Telinga Dalam
dan ketidaksempurnaan pembedahan ablasi yang dapat mengganggu pribadi dan fungsi
pekerjaan. Kerusakan saraf wajah dan kebocoran CSF merapakan salah satu komplikasi
Prosedur Labirintektomi
dexamethasone intravena pra operasi untuk mengatasi mual pasca operasi dan antibiotik
perioperatif.
Langkah ke-1
Lima langkah pertama dan empat gambar terlampir memiliki kesamaan dengan
Langkah ke-2
didentifikasikan sebagai pedoman. Pada mastoid dengan pneumatisasi yang baik, ini
mungkin tidak perlu. Saat pengeboran berlangsung secara medial, perawatan selalu
saraf wajah aman. Antrum diidentifikasi dan horizontal semicircular canal dan short
process pada incus terlihat. Perawatan harus dilakukan pada area yang terdapat cutting
burr dikarenakan saraf pada wajah yang dapat terlukai jika cutting burr berputar kedepan.
Untuk keamanan, diamond burr dapat digunakan untuk area tersebut dalam mode
terbalik. Inferior mastoid air cells terbuka dan segmen vertikal pada saraf wajah dapat
teridentifikasi dengan diamond burr yang besar dan terlapisi oleh tulang.
Langkah ke-3
Dikarenakan saraf wajah terletak langsung secara horizontal dibawah semisirkular kanal,
38
Modul I.3.1 – Inflamasi Telinga Dalam
Gambar 5. Buka lumen kanalis semisirkularis horizontal (saraf fasial ditunjukkan oleh
panah).
Langkah 4
Lubang dengan tulang pelindung di sekitarnya dibuat untuk melindungi struktur yang
berdekatan.
Gambar 6. Buka kanalis semisirkularis posterior (lumen kanal posterior ditunjukkan oleh
panah).
Langkah 5
Kanalis posterior superior diikuti secara medial untuk mengidentifikasi common crus dan
39
Modul I.3.1 – Inflamasi Telinga Dalam
Gambar 7. Identifikasi common crus yang ditunjukkan oleh panah kecil; kanalis
Langkah 6
Kanalis superior kemudian dibuka secara keseluruhan dari posterior ke anterior dan ujung
ditemui tetapi mudah dikontrol dengan diamond bur. Ujung ampulasi kanalis
semisirkularis horizontal, sedikit lateral dan inferior dari ujung ampulasi kanalis superior,
subarcuate ditunjukkan oleh panah besar; ujung ampulasi kanalis superior ditunjukkan
oleh panah kecil; lumen kanalis semisirkularis posterior ditunjukkan oleh panah ganda).
Langkah 7
40
Modul I.3.1 – Inflamasi Telinga Dalam
Langkah 8
Kanalis semisirkularis terhubung dan vestibula terbuka secara luas. Perawatan dilakukan
tanpa mengganggu dinding bagian dalam vestibula dan tanpa meningkatkan risiko
Langkah 9
Dengan manipulasi lembut (umumnya dengan pisau sendi) dan pengisapan, elemen
dihilangkan.
Langkah 10
Luka diirigasi dengan larutan garam fisiologis, pasang fasia temporalis menutup struktur
dan rongga yang terbuka lalu dilapisi lemak. Luka insisi ditutup lapis demi lapis dengan
Perawatan pascaoperasi.
Pasca operasi disekuilibrium dialami pada sebagian besar pasien. Pada beberapa pasien
dengan keadaan kelemahan vestibular ipsilateral yang ekstrem, gejalanya akan terbatas
atau tidak ada. Pada pagi hari pertama pasca operasi, terapis vestibular akan bertemu
dengan pasien untuk memberikan instruksi dalam terapi vestibular. Pembalut dilepas
pada pagi pertama pasca operasi. Pasien dipulangkan ke rumah ketika asupan cairan
Tidak ada aktivitas berat yang direkomendasikan selama 3 minggu pasca operasi. Pasien
dapat melanjutkan mengemudi dan kembali untuk bekerja ketika mereka merasa percaya
41
Modul I.3.1 – Inflamasi Telinga Dalam
DAFTAR PUSTAKA
42
MODUL UTAMA
OTOLOGI
GANGGUAN TELINGA DALAM
MODUL I.3.2
INJEKSI INTRATIMPANI
EDISI III
KOLEGIUM
ILMU KESEHATAN TELINGA HIDUNG TENGGOROK BEDAH
KEPALA LEHER
2022
DAFTAR ISI
C. REFERENSI .................................................................................................... 1
D. KOMPETENSI ................................................................................................ 2
H. EVALUASI ..................................................................................................... 5
M. MATERI BAKU............................................................................................ 13
Modul I.3.2 – Injeksi Intratimpani
MODUL I.3.2
OTOLOGI – GANGGUAN TELINGA DALAM : INJEKSI INTRATIMPANI
A. WAKTU PEMBELAJARAN
Proses Pengembangan Kompetensi Alokasi Waktu
Sesi dalam kelas 1 x 60 menit (classroom session)
Sesi praktikum 1 x 120 menit (coaching session)
Sesi praktik dan pencapaian kompetensi 2 minggu
B. PERSIAPAN SESI
1. Bahan penunjang presentasi
a. Power point
b. Video
2. Kasus: Idiopathic Sudden Sensorineural Hearing Loss.
3. Sarana dan alat bantu latih: (disesuaikan dengan pencapaian kompetensi)
a. Penuntun belajar (learning guide) terlampir
b. Tempat belajar (training setting): instalasi rawat jalan, kamar operasi, ruang
praktikum.
c. Model/manekin telinga.
d. Komputer/laptop.
e. In focus.
C. REFERENSI
1. Tarkan O, Dagkiran M, Surmelioglu O, Ozdemir S, Tuncer U, Dogrusoz M, et
al. Intratympanic methylprednisolone versus dexamethasone for the primary
treatment of idiopathic sudden sensorineural hearing loss. J Int Adv Otol.
2018;14(3):451-5.
2. Jeong SH, Lee SH, Kim GJ, Ha JB, Park YH, Kim DK. Intratympanic steroid
treatment alone as an initial treatment for the patients with severe or profound
sudden sensorineural hearing loss and medical problems in steroid use. Korean
J Otorhinolaryngol Head Neck Surg. 2016;59(3):202-6.
1
Modul I.3.2 – Injeksi Intratimpani
3. Liu YC, Chi FH, Yang TH, Liu TC. Assessment of complication due to
intratympanic injections. World J Otorhinolaryngol Head Neck Surg.
2016;2:13-6.
4. Staecker H. Rodgers B. Gene therapy and inner-ear drug delivery. In: Wackym
PA, Snow JB. Ballenger’s Otorhinolaryngology Head and Neck Surgery. 18th
ed. Shelton, Connecticut. People’s Medical publishing. 2016. p311-40.
5. Plontke SK. Diagnostics and therapy of sudden hearing loss. GMS Curr Topics
Otorhinolaryngol Head Neck Surg. 2017;16:1-21.
6. Paksoy M, Altin G, Eken M, Hardal U. Effectiveness of intratympanic
dexamethasone in otitis media with effusion resistant to conventional therapy.
Indian J Otolaryngol Head Neck Surg. 2013;65(3):S461-7.
7. Stachler RJ, Chandrasekhar SS, Archer SM, Rosenfeld RM, Schwartz SR,
Barrs DM, et al. Clinical Practice Guideline : Sudden Hearing Loss.
Otolaryngology -- Head and Neck Surgery 2012 146: S1 DOI:
10.1177/0194599812436449.
8. Hussein A, Salaheldin AH, Abul-Nasr KM. Intratympanic versus oral steroids
in the management of idiopathic sudden sensorineural hearing loss. Med J
Cairo Univ. 2012;80(2):77-83.
D. KOMPETENSI
1. Pengetahuan
Mampu membuat diagnosis dan melakukan terapi injeksi intratimpani sesuai
indikasi berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan tambahan
(otomikroskopi dan pemeriksaan pendengaran). Tingkat kompetensi 4.
2. Keterampilan
2
Modul I.3.2 – Injeksi Intratimpani
Pertanyaan:
1. Lengkapi anamnesis.
2. Apa saja kemungkinan hasil pemeriksaan pada telinga kiri dan pemeriksaan
penunjang.
3. Diagnosis yang mungkin ditemukan pada pasien.
4. Tatalaksana untuk diagnosis kerja pada pasien.
F. TUJUAN PEMBELAJARAN
Pembelajaran materi ini bertujuan untuk mendapatkan pengetahuan, ketrampilan
dan perilaku yang terkait dengan kompetensi yang diperlukan, yaitu:
Tujuan umum:
Tujuan khusus :
G. METODE PEMBELAJARAN
Tujuan 1: Menguasai anatomi, fisiologi dan topografi telinga.
3
Modul I.3.2 – Injeksi Intratimpani
Untuk mencapai tujuan ini maka dipilh metode pembelajaran berikut ini
:
1.Belajar mandiri
2.Kuliah interaktif
3.Diskusi kelompok
4.Model anatomi telinga
Hal-hal yang harus diketahui:
• Anatomi dan fisiologi telinga .
Tujuan 2: Mampu menjelaskan etiopatogenesis yang berkaitan dengan
tatalaksana injeksi intratimpani dan indikasi melakukan injeksi intratimpani
4
Modul I.3.2 – Injeksi Intratimpani
• Jenis obat, dosis dan mekanisme kerja obat yang digunakan dalam
injeksi intratimpani
H. EVALUASI
1. Pada awal pertemuan dilaksanakan pre test dalam bentuk essay dan oral sesuai
dengan tingkat masa pendidikan yang bertujuan untuk menilai kinerja awal yang
dimiliki peserta didik dan untuk mengidentifikasi kekurangan yang ada. Materi
pretest terdiri atas:
- Anatomi dan fisiologi telinga
- Penegakan diagnosis dan diagnosis banding
- Indikasi tindakan injeksi intratimpani
2. Selanjutnya dilakukan “small group discussion” bersama dengan fasilitator untuk
membahas kekurangan yang teridentifikasi, membahas isi dan hal-hal yang
berkenaan dengan penuntun belajar, kesempatan yang akan diperoleh pada saat
bedside teaching dan proses penilaian.
3. Setelah mempelajari penuntun belajar ini, mahasiswa diwajibkan untuk
mengaplikasikan langkah-langkah yang tertera dalam penuntun belajar dalam
bentuk “role play” dan teman-temannya (Peer Assisted Evaluation) atau kepada
SP (Standardized Patient). Pada saat tersebut, yang bersangkutan tidak
diperkenankan membawa penuntun belajar, penuntun belajar yang dipegang oleh
teman-temannya untuk melakukan evaluasi (Peer Assisted Evaluation).
4. Setelah selesai bedside teaching, dilakukan kembali diskusi untuk mendapatkan
penjelasan dari berbagai hal yang tidak memungkinkan dibicarakan di depan
pasien, dan memberi masukan untuk memperbaiki kekurangan yang ditemukan.
5. Self assesment dan Peer Assisted Evaluation dengan mempergunakan penuntun
belajar.
6. Pendidik/fasilitas:
• Pengamatan langsung dengan memakai evaluation checklist form (terlampir)
• Penjelasan lisan dari peserta didik/ diskusi
• Kriteria penilaian keseluruhan : cakap/ tidak cakap/ lalai
7. Di akhir penilaian peserta didik diberi masukan dan bila diperlukan diberi tugas
yang dapat memperbaiki kinerja (task-based medical education)
8. Pencapaian pembelajaran :
5
Modul I.3.2 – Injeksi Intratimpani
- Ujian OSCA (K,P,A), dilakukan pada tahapan THT dasar oleh kolegium
Ilmu THT
- Ujian akhir stase, setiap divisi/ unit kerja oleh masing-masing sentra
pendidikan.
- Ujian akhir kognitif, dilakukan pada akhir tahapan lanjut oleh kolegium
ilmu THT.
Nilailah kinerja setiap langkah yang diamati menggunakan skala sebagai berikut.:
1 Perlu perbaikan: langkah tidak dikerjakan atau tidak sesuai dengan yang seharusnya
atau urutannya tidak sesuai (jika harus berurutan)
2 Mampu: langkah dikerjakan sesuai dengan yang seharusnya dan urutannya (jika harus
berurutan). Pelatih hanya membimbing untuk sedikit perbaikan atau membantu untuk
kondisi di luar normal
3 Mahir: langkah dikerjakan dengan benar, sesuai urutannya dan waktu kerja yang
sangat efisien
T/D Langkah tidak diamati (penilai menganggap langkah tertentu tidak perlu
diperagakan)
6
Modul I.3.2 – Injeksi Intratimpani
KEGIATAN KASUS
I. KAJI ULANG DIAGNOSIS & PROSEDUR OPERATIF
• Nama
• Diagnosis
• Informed Consent
• Rencana Tindakan
• Persiapan Sebelum Tindakan
II. PROSEDUR INJEKSI INTRATIMPANI
- Cuci tangan, mengenakan sarung tangan steril
- Evaluasi membran timpani dengan baik menggunakan
mikroskop
- Tindakan pembersihan liang telinga dengan kapas aplikator
dan alkohol 70 %, setelah itu dilakukan anestesi local
menggunakan lidocaine 10 % spray atau lidocaine cream 5
%
- Injeksi menggunakan jarum spinal no.25 G atau 27 G
dengan spuit 3 cc yang telah diisi obat
(methylprednisolone/ dexamethasone) pada kuadran
anteroinferior/anterosuperior/inferoposterior (kecuali
posterosuperior) hingga obat memenuhi kavum timpani
(sekitar 0.4-0.8 ml)
- Posisikan pasien miring dengan telinga yang telah diinjeksi
menghadap ke atas dan mempertahankan posisi selama 30
menit
- Pasien diminta untuk tidak menelan, menguap maupun
berbicara selama 30 menit
PASCA INJEKSI INTRATIMPANI
- Instruksi pascatindakan
• Hindari telinga terkena air
• Kontrol untuk injeksi ulangan (4x injeksi dalam
periode 2 minggu)
Rencana pemeriksaan ulang audiometri 1 minggu pascainjeksi
terakhir.
7
Modul I.3.2 – Injeksi Intratimpani
K. DAFTAR TILIK
DAFTAR TILIK
PROSEDUR INJEKSI KORTIKOSTEROID INTRATIMPANIK
Berikan penilaian tentang kinerja psikomotorik atau keterampilan yang diperagakan
oleh peserta pada saat melaksanakan statu kegiatan atau prosedur, dengan ketentuan
seperti yang diuraikan dibawah ini:
ü: Memuaskan: Langkah atau kegiatan diperagakan sesuai dengan prosedur atau
panduan standar
Ï: Tidak memuaskan: Langkah atau kegiatan tidak dapat ditampilkan sesuai dengan
prosedur atau panduan standar
T/T: Tidak Ditampilkan: Langkah, kegiatan atau keterampilan tidak diperagakan
oleh peserta selama proses evaluasi oleh pelatih
KEGIATAN KASUS
I. KAJI ULANG DIAGNOSIS & PROSEDUR OPERATIF
• Nama
• Diagnosis
• Informed Consent
• Rencana Tindakan
• Persiapan Sebelum Tindakan
II. PROSEDUR INJEKSI INTRATIMPANI
- Cuci tangan, mengenakan sarung tangan steril
- Evaluasi membran timpani dengan baik menggunakan
mikroskop
- Tindakan pembersihan liang telinga dengan kapas
aplikator dan alkohol 70 %, setelah itu dilakukan
anestesi local menggunakan lidocaine 10 % spray atau
lidocaine cream 5 %
- Injeksi menggunakan jarum spinal no.25 G atau 27 G
dengan spuit 3 cc yang telah diisi obat
(methylprednisolone/ dexamethasone) pada kuadran
anteroinferior/anterosuperior/inferoposterior (kecuali
posterosuperior) hingga obat memenuhi kavum timpani
(sekitar 0.4-0.8 ml)
- Posisikan pasien miring dengan telinga yang telah
diinjeksi menghadap ke atas dan mempertahankan
posisi selama 30 menit
- Pasien diminta untuk tidak menelan, menguap maupun
berbicara selama 30 menit
PASCA INJEKSI INTRATIMPANI
- Instruksi pasca tindakan
Hindari telinga terkena air
Kontrol untuk injeksi ulangan (4x injeksi dalam periode 2
minggu)
Rencana pemeriksaan ulang audiometri 1 minggu pasca
injeksi terakhir.
8
Modul I.3.2 – Injeksi Intratimpani
L. MATERI PRESENTASI
9
Modul I.3.2 – Injeksi Intratimpani
10
Modul I.3.2 – Injeksi Intratimpani
11
Modul I.3.2 – Injeksi Intratimpani
12
Modul I.3.2 – Injeksi Intratimpani
M. MATERI BAKU
1. ANATOMI KAVUM TIMPANI
13
Modul I.3.2 – Injeksi Intratimpani
ini meliputi ukuran partikel, berat molekul yang besar, perubahan listrik dan ketebalan
membrane foramen rotundum.
Gambar 1. Kavum timpani sinistra. Pendekatan ke telinga dalam dari telinga tengah,
melalui foramen rotundum. OW = oval window, s = stapes, RW = round window
2. VARIASI ANATOMI
3. INDIKASI
Injeksi intratimpani dapat dilakukan pada kasus Meniere’s disease, tuli mendadak,
tinitus refrakter, penyakit autoimun telinga dalam, otitis media efusi dan sebagai
proteksi telinga dalam sebelum dilakukan pemasangan implant koklea.
Kortikosteroid yang diinjeksikan ke telinga tengah akan mencapai skala timpani pada
telinga dalam melalui membran foramen rotundum dalam beberapa menit. Kemudian
secara cepat mencapai skala vestibuli melalui ligament spiralis di lateral dan/atau
kanal Rosenthal di medial. Difusi obat juga terjadi melalui helicotrema pada apeks
koklea. Kortikosteroid memiliki beberapa mekanisme aksi, diantaranya supresi imun,
antiinflamasi, stabilisasi membran, regulasi keseimbangan ion dan meningkatkan
perfusi. Deksametason merupakan jenis kortikosteroid intratimpani yang memiliki
efikasi lebih tinggi dibandingkan metilprednisolon. Meskipun konsentrasi obat ini
lebih rendah di endolimfe, tetapi absorbsinya ke stria dan jaringan sekitar lebih cepat
dibandingkan metilprednisolon.
14
Modul I.3.2 – Injeksi Intratimpani
5. PROSEDUR
Cuci tangan sebelum tindakan dan lakukan tindakan antiseptik telinga yang akan
diinjeksi. Pasien berada pada posisi supine dengan kepala dimiringkan 450 ke sisi
telinga sehat. Pada posisi duduk, obat yang diinjeksikan akan menjauhi foramen
rotundum karena pengaruh gravitasi. Evaluasi telinga dengan menggunakan
mikroskop atau endoskopi. Amati liang telinga yang normal dan membran timpani
utuh. Lakukan anestesi lokal dengan kapas yang telah direndam dengan xylocaine
spray 10% yang diletakkan pada membran timpani atau dengan cara menyemprotkan
xylocaine spray 10% ke liang telinga. Setelah 15-30 menit, lakukan suction cairan
pada liang telinga. Hangatkan obat sesuai suhu tubuh selama 5-10 menit. Kemudian
obat disuntikkan pada membran timpani kuadran posteroinferior menggunakan jarum
spinal 25 atau 27-gauge sebanyak 0,4-0,8 ml atau cairan tampak memenuhi kavum
timpani dan keluar ke liang telinga. Pasien diinstruksikan untuk tidak menelan, bicara
atau bergerak selama 30 menit untuk memaksimalkan absorbsi obat melalui foramen
rontundum. Apabila pasien menelan, maka injeksi kedua diulang setelah 10 menit.
Pasien tetap pada prosedur yang sama dalam 10 menit. Tindakan injeksi dilakukan
dengan total injeksi sebanyak 4 kali dalam 2 minggu.
6. JENIS OBAT YANG DIGUNAKAN
Steroid yang paling sering digunakan adalah deksametason, diikuti metilprednisolon.
Namun, konsentrasi metilprednisolon paling tinggi dan bertahan paling lama, baik di
perilimfe maupun endolimfe, dibandingkan deksametason dan hidrokortison. Setelah
injeksi intratimpani, konsentrasi metilprednisolon di telinga dalam mencapai
puncaknya dalam waktu 2 jam dan tetap tinggi hingga 6 jam pertama. Konsentrasi
metilprednisolon di perilimfe berkurang secara perlahan dan hilang setelah 24 jam.
Deksametason dan hidrokortison hanya dapat dideteksi hingga 6 jam setelah injeksi
pada telinga tengah.1 Deksametason dikeluarkan dari kokela melalui blood-
labyrinthine barrier dalam jumlah yang besar dibandingkan steroid lainnya.
7. KOMPLIKASI
Komplikasi yang dapat muncul setelah injeksi intratimpani adalah vertigo dengan
kejadian 40 menit hingga 5 jam pasca injeksi, nyeri telinga, sensasi panas di dalam
telinga, disgeusia, perforasi membran timpani dan otitis media.
15
MODUL UTAMA
OTOLOGI
MODUL I.4
TRAUMA TELINGA DAN TEMPORAL
EDISI III
KOLEGIUM
ILMU KESEHATAN TELINGA HIDUNG TENGGOROK
BEDAH KEPALA LEHER
2022
DAFTAR ISI
C. REFERENSI .................................................................................................... 1
D. KOMPETENSI ................................................................................................ 2
H. EVALUASI ..................................................................................................... 7
K. MATERI BAKU............................................................................................ 14
Modul I.4 - Trauma Telinga dan Temporal
MODUL I.4
OTOLOGI – TRAUMA TELINGA DAN TULANG TEMPORAL
A. WAKTU PEMBELAJARAN
Proses pengembangan kompetensi Alokasi waktu
Sesi dalam kelas 2 x 60 menit (classroom session)
Sesi praktikum 3 x 60 menit (coaching session)
Sesi praktik dan pencapaian kompetensi 20 x 60 menit (facilitation and
assessment)
B. PERSIAPAN SESI
1. Materi presentasi: Power point
2. Kasus: Impaksi Serumen
3. Sarana dan alat bantu latih: (disesuaikan dengan pencapaian kompetensi)
• Penuntun belajar (learning guide): terlampir.
• Tempat belajar (training setting): ruang kuliah, ruang praktikum,
instalasi rawat jalan.
• Model/manekin (liang) telinga.
• Komputer/laptop.
• In focus.
C. REFERENSI
1. Linstrom CJ ,Lucente FE. Diseases of the External Ear. In : Johnson JT, Rosen
CA, eds. Bailey’s Head & Neck Surgery Otolaryngology.5th ed. Philadelphia :
Lippincott Williams & Wilkins; 2014. P 2346-48
2. Hanson MB, Lucente FE. Diseases of the External Ear. In : Wackym PA, Snow
Jr JB, eds. Ballenger’s Otorhinolaryngology HEAD AND NECK SURGERY.
18th ed. Connecticut : People’s Medical Publishing House-USA; 2016. P 683-
686
3. Goddard JC, Mc Rackan TR. Non Infectious Disorders of The Ear. In : Chan Y,
Goddard JC, eds. K.J. Lee’s Essential Otolaryngology Head & Neck Surgery.
11th ed. New York : Mc Graw Hill Education; 2016. P 424-34
4. Dhingra PL, Dhingra S. Dieseases of Ear, Nose and Throat & Head and Neck
Surgery. 6th ed. New Delhi : Elsevier. 2014. P 48-55
1
Modul I.4 - Trauma Telinga dan Temporal
5. Toynton SC. Ear Trauma. In : Watkinson JC, Clarke RW, eds. Scott-Brown’s
Otorhinolaryngology Head & Neck Surgery. Vol 2. Paediatrics The Ear Skull
Base. 8th ed. London : CRC Press. Taylor and Francis Group. 2018. P1099-1133
6. Diaz RC, Kamal SM, Brodie HA. Middle Ear & Temporal Bone Trauma. In :
Johnson JT, Rosen CA, eds. Bailey’s Head & Neck Surgery Otolaryngology.5th
ed. Philadelphia : Lippincott Williams & Wilkins; 2014. P 2410-32
7. Welling DB, Spear SA, Packer MD. Trauma to the Middle Ear, Inner Ear and
Temporal Bone. In : Wackym PA, Snow Jr JB, eds. Ballenger’s
Otorhinolaryngology 18 HEAD AND NECK SURGERY. 18th ed. Connecticut :
People’s Medical Publishing House-USA; 2016. P 924-60
8. Brodie HA, Wilkerson BJ. Management of Temporal Bone Trauma. In : Flint
PW eds. Cummings Otolaryngology HEAD AND NECK SURGERY. 6th ed.
Philadelphia : Elsevier Saunders; 2015. P2220-33
9. Basavaraju U, Jayaramaiah SK, Turamari RU, Prakash V, Mankani S. Temporal
Bone Fracture and its Classification : Retrospective Study of Incidence, Causes,
Clinical Features, Complication and Outcome. International Journal of Anatomy,
Radiology and Surgery. 2017 Oct, Vol-6(4): RO57-RO61.
10. Tiwary PK, Sahoo NK,Thakral A, Ranjan U. The initial management of styloid process
fractures is usually directed towards conservative therapy comprising of soft diet,
analgesics and muscle relaxants. Craniomaxillofacial
trauma.https://doi.org/10.1016/j.joms.2017.06.016
D. KOMPETENSI
1. Pengetahuan
Setelah mengikuti sesi ini peserta didik mampu:
a. Menegakkan diagnosis pada trauma telinga dan tulang temporal berdasarkan
anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan tambahan (otomikroskopi,
pemeriksaan X-Ray, CT Scan). Tingkat kompetensi 4
b. Menatalaksana secara mandiri kasus trauma telinga dan tulang temporal.
2. Keterampilan
Setelah mengikuti sesi ini peserta didik diharapkan terampil dalam :
a. Menjelaskan anatomi, topogarafi telinga
b. Menjelaskan anatomi, topografi tulang temporal
c. Menjelaskan klasifikasi dan macam trauma telinga
d. Menjelaskan klasifikasi dan macam trauma temporal
e. Menjelaskan etiopatogenesis, gambaran klinis, diagnosis dan komplikasi
trauma telinga
f. Menjelaskan etiopatogenesis, gambaran klinis, diagnosis dan komplikasi
trauma temporal
g. Melakukan rujukan dengan tepat
2
Modul I.4 - Trauma Telinga dan Temporal
Jawaban :
1. Ada atau tidaknya kurang dengar setelah kejadian, vertigo, perdarahan, nyeri
telinga. Adakah keluhan keluar cairan sebelumnya
2. Pemeriksaan fisik telinga:
Retroaurikula, aurikula dan preaurikular terdapat jejas/hematom/hiperemis atau
tidak ada kelainan
Liang telinga : kemungkinan didapatkan perdarahan/laserasi/ tidak ada kelainan
Membran timpani : kemungkinan terdapat hemotimpanum, ruptur, perdarahan
Pemeriksaan penala: kemungkinan menunjukan gangguan pendengaran tipe
konduktif atau normal.
3. Audiometri nada murni : tanpa adanya gangguan pendengaran sebelumnya
maupun riwayat perforasi membran timpani sebelumnya kemungkinan hasilnya:
tuli konduksi ringan sampai sedang.
HRCT temporal bila dicurigai terjadi dislokasi rantai osikel.
4. Hemotimpanum, Ruptur membran timpani, Dislokasi rantai osikel
5. Hemotimpanum : observasi dalam selama 4 minggu.
Ruptur membran timpani yang kecil dengan tuli konduksi ringan : observasi
selama 3-10 bulan. Ruptur yang besar dapat dilakukan tatalaksana timpanoplasti.
Dislokasi rantai osikel dapat dilakukan osikuloplasti
Kasus 2
Seorang laki-laki usia 23 tahun datang ke IGD setelah kecelakaan lalu lintas,
terdapat trauma kepala dengan keluhan dibidang THTKL adalah perdarahan telinga
kanan. Kesadaran GCS E4M5 V6. Saat pemeriksaan dijumpai mata kanan tidak
bisa menutup.
Soal :
1. Lengkapi anamnesis
2. Apa saja kemungkinan hasil pemeriksaan pada telinga kanan
3. Lengkapi pemeriksaan penunjang yang diperlukan
4. Apa diagnosis banding
3
Modul I.4 - Trauma Telinga dan Temporal
F. TUJUAN PEMBELAJARAN
Tujuan Pembelajaran Umum
1. Mengenali gejala dan tanda trauma telinga dan temporal
2. Menjelaskan patofisiolgi trauma telinga dan temporal
3. Melakukan tatalaksana trauma telinga dan temporal
4. Melakukan rujukan dengan tepat
Tujuan Pembelajaran Khusus
1. Menguasai anatomi, fisiologi dan topografi telinga dan temporal
2. Mampu menjelaskan patofisiologi terkait dengan gambaran klinis trauma telinga
dan temporal
3. Mampu menjelaskan klasifikasi trauma telinga dan temporal
4. Mampu mendiagnosis trauma telinga dan temporal
5. Mampu melakukan terapi bedah maupun non bedah pada trauma telinga dan
temporal
6. Mampu mengenali dan melakukan tatalaksana komplikasi dari trauma telinga
dan temporal
7. Mampu menentukan waktu dan tujuan untuk merujuk pasien trauma telinga dan
temporal
G. METODE PEMBELAJARAN
Tujuan 1: Menguasai anatomi, fisiologi dan topografi telinga dan temporal .
Untuk mencapai tujuan ini maka dipilh metode pembelajaran berikut ini :
• Belajar mandiri
• Kuliah interaktif
4
Modul I.4 - Trauma Telinga dan Temporal
• Diskusi kelompok
• Model anatomi telinga
Harus diketahui :
• Anatomi dan fisiologi telinga .
• Faktor risiko trauma telinga.
• Keterkaitan anatomi dengan organ sekitar.
Tujuan 2: Menjelaskan patofisiologi terkait dengan gambaran klinik trauma
telinga dan temporal
Untuk mencapai tujuan ini dipilih metode pembelajaran:
• Kuliah interaktif
• Case simulation and investigation exercise
• Bedside teaching
• Task based medical education
Harus diketahui :
• Etiologi dan faktor predisposisi dari berbagai jenis trauma telinga
dan temporal.
• Menganalisis mode of injury dengan kelainan dan komplikasi yang
terjadi
• Gejala dan tanda berbagai jenis trauma telinga dan temporal
Tujuan 3: Menjelaskan klasifikasi trauma telinga dan temporal
Untuk mencapai tujuan ini dipilih metode pembelajaran berikut ini:
• Kuliah interaktif
• Diskusi kelompok
• Textbook & Journal reading and review
• Case simulation and investigation exercise
• Bedside teaching
Harus diketahui :
• Menentukan klasifikasi trauna telinga dan temporal
• Menilai perlunya pemeriksaan tambahan dan konsultasi ke bagian
lain yang terkait.
• Mengetahui saat yang tepat untuk tiap pemeriksaan
Tujuan 4: Menegakkan diagnosis trauma telinga dan temporal.
5
Modul I.4 - Trauma Telinga dan Temporal
6
Modul I.4 - Trauma Telinga dan Temporal
H. EVALUASI
1. Pada awal pertemuan dilaksanakan pre test dalam bentuk essay dan oral sesuai
dengan tingkat masa pendidikan yang bertujuan untuk menilai kinerja awal yang
dimiliki peserta didik dan untuk mengidentifikasi kekurangan yang ada. Materi
pretest terdiri atas :
a. Anatomi dan fisiologi telinga
b. Definisi, klasifikasi dan stadium
c. Penegakan diagnosis dan diagnosis banding
2. Selanjutnya dilakukan diskusi bersama dengan fasilitator untuk membahas kekurangan
yang teridentifikasi, membahas isi dan hal-hal yang berkenaan dengan penuntun belajar.
7
Modul I.4 - Trauma Telinga dan Temporal
B. Tengah pembelajaran :
Soal :
Sebutkan dan jelaskan tatalaksana pada pasien dibawah ini
1. Pasien dengan keluhan keluar darah dari liang telinga
2. Pasien datang dengan daun telinga kiri nyeri dan bengkak
3. Pasien mengeluh nyeri telinga dan berdenging menetap setelah perjalanan
dengan pesawat sehari yang lalu
4. Pasien konsulan dari TS bedah syaraf dengan trauma kepala dan didapatkan
penurunan pendengaran telinga kanan
5. Pasien trauma kepala, didapatkan cairan dari telinga kiri
Jawaban :
8
Modul I.4 - Trauma Telinga dan Temporal
J. MATERI PRESENTASI
LCD 1 : Anatomi telinga dan tulang temporal
9
Modul I.4 - Trauma Telinga dan Temporal
10
Modul I.4 - Trauma Telinga dan Temporal
11
Modul I.4 - Trauma Telinga dan Temporal
12
Modul I.4 - Trauma Telinga dan Temporal
13
Modul I.4 - Trauma Telinga dan Temporal
K. MATERI BAKU
I. Trauma Telinga
1. Trauma Telinga Luar
a. Trauma tumpul
Trauma tumpul dapat terjadi pada aurikula dan KAE dengan patologi
yang didapatkan berupa hematoma. Hematoma pada aurikula sering
terjadi pada olahragawan. Penyakit ini akan dibahas lebih mendalam
dalam bahasan modul Othematoma dan Perikondritis. Hematoma pada
KAE dapat terjadi akibat trauma pada waktu membersihkan telinga dan
dapat pula akibat barotrauma. Berbeda dengan hematoma aurikula,
hematoma KAE tidak memerlukan terapi khusus kecuali bila terjadi
infeksi sekunder dapat diberikan antibiotik tetes telinga.
14
Modul I.4 - Trauma Telinga dan Temporal
b. Trauma tajam
Trauma tajam pada telinga luar ini dapat berupa abrasi, laserasi yang
simple, laserasi yang kompleks dengan atau tanpa kehilangan jaringan,
parsial atau total avulsi. Laserasi pada telinga luar dapat disebabkan
kebiasaan menggaruk daun telinga, mengorek liang telinga dengan jari
ataupun alat lain seperti jepit rambut atau klip kertas. Laserasi pada anak-
anak sering terjadi akibat usaha mengeluarkan benda asing. Keluhaan
nyeri dan perdarahan dapat terjadi pada aurikula ataupun pada dinding
KAE. Laserasi yang ringan tidak diperlukan terapi khusus, hanya
menjaga KAE kering. Apabila terjadi perdarahan yang banyak maka
dilakukan pemasangan tampon steril.
Trauma tajam yang sedang dan berat dapat menyebabkan laserasi
kompleks pada kartilago daun telinga. Trauma pada aurikula merupakan
kondisi yang sulit untuk diatasi karena anatominya yang terdiri dari
tulang rawan. Bila kartilago sebagai penyangga aurikula terkena trauma
langsung akan lebih menyulitkan penanganan. Penatalaksanaan yang
terpenting adalah menghentikan perdarahan, eksplorasi, debridemen
untuk membuat tepi luka bersih dan sehat dan pemasangan tampon
diperlukan untuk mencegah stenosis. Laserasi KAE harus dipastikan
keterkaitan dengan fraktur mandibular dan fraktur temporal
Apabila penyebab trauma adalah gigitan binatang atau manusia maka
diperlukan pemberian tetanus toxoid, debridema dan kadang diperlukan
tandur kulit.
15
Modul I.4 - Trauma Telinga dan Temporal
16
Modul I.4 - Trauma Telinga dan Temporal
Trauma telinga tengah dapat menjadi tanda trauma kepala yang berat dan
blast injury. Patologi yang dapat ditemukan pada trauma telinga tengah
disampaikan dibawah ini
a. Ruptur membran timpani
17
Modul I.4 - Trauma Telinga dan Temporal
18
Modul I.4 - Trauma Telinga dan Temporal
awal dari 3 bulan karena edema jaringan pasca trauma, perdarahan dan
rapuhnya jaringan penyembuhan sekitarnya. Gangguan pendengaran
sensorineural memberikan prognosis yang kurang baik bila dilakukan
operasi.
c. Hematoma kavum timpani/hemotimpanum
Hematoma kavum timpani atau hemotimpanum terjadi akibat
perdarahan dalam kavum timpani dengan membran timpani yang utuh.
Hal ini sering disebabkan karena barotrauma, trauma kepala yang sedang
dan berat, gangguan pembekuan darah dan akibat pemasangan tampon
hidung. Keluhan pasien terasa penuh, nyeri dan penurunan pendengaran.
Pemeriksaan yang dilakukan otomikroskopi, evaluasi audiometri dan bila
perlu dilakukan pemeriksaan radiologi. Tatalaksana hemotimpanum
adalah konservatif dan umumnya resolusi hemotimpanum terjadi dalam 4
minggu
3. Trauma Telinga Dalam
a. Barotrauma
Barotrauma terjadi akibat perbedaan antara tekanan atmosfer dan telinga
tengah. Hal ini dapat terjadi pada menyelam, perjalanan udara, bilik hipo-
hiperbarik, perjalanan mendaki gunung dan pergerakan elevator yang cepat.
Hukum Boyle menyatakan bahwa suatu penurunan atau peningkatan
pada tekanan lingkungan akan memperbesar atau menekan (secara
berurutan) suatu volume gas dalam ruang tertutup. Bila gas terdapat dalam
struktur yang lentur, maka struktur tersebut dapat rusak karena ekspansi
ataupun kompresi.
Barotrauma paling sering terjadi pada telinga tengah terutama bila terjadi
disfungsi tuba Eustachius atau oklusi KAE yang disebabkan serumen atau
benda asing. Tuba Eustachius secara normal selalu menutup namun dapat
terbuka pada gerakan menelan, mengunyah, menguap, dan dengan menuver
valsava. Rinitis alergi serta berbagai variasi anatomis individual, semuanya
merupakan predisposisi terhadap disfungsi tuba Eustachius.
Jika perbedaan tekanan antara rongga telinga tengah dan lingkungan
sekitar menjadi terlalu besar (sekitar 90-100mmHg) maka bagian
kartilaginosa dari tuba Eustachius akan sangat menciut. Hal ini disebabkan
otot yang normal aktivitasnya tidak mampu membuka tuba. Pada keadaan ini
terjadi tekanan negatif di rongga telinga tengah, sehingga cairan keluar dari
pembuluh darah kapiler mukosa dan kadang-kadang disertai dengan ruptur
pembuluh darah sehingga cairan di telinga tengah dan rongga mastoid
tercampur darah. Jika tidak ditambahkan udara melalui tuba Eustachius
untuk memulihkan volume telinga tengah, maka struktur-struktur dalam
telinga tengah dan jaringan didekatnya akan rusak dengan makin
berambahnya perbedaan tekanan. Terjadi rangkaian kerusakan yang dapat
diperkirakan dengan berlanjutnya keadaan vakum relatif dalam rongga
19
Modul I.4 - Trauma Telinga dan Temporal
20
Modul I.4 - Trauma Telinga dan Temporal
21
Modul I.4 - Trauma Telinga dan Temporal
(A)
(B)
Gambar 2.2 Gambaran CT scan irisan aksial dari otic capsule violating
fraktur transversal pada pasien dengan kelumpuhan saraf wajah. (A)
Panah putih menunjukkan fraktur diastasis pada segmen labirin distal
dari N. fasialis. Sendi incudo-malleolar masih utuh. (B) Garis fraktur
yang berada dekat dengan kantung endolimfatik, memanjang melalui
kanalis semisirkularis posterior dan membentuk hemotympanum yang
menonjol. (Dikutip dari: Ballenger’s Otorhinolaryngology Head and Neck
Surgery. 18th ed. Connecticut : People’s Medical Publishing House-USA; 2016)
c. Fraktur oblik dan kompleks
Beberapa ahli berdebat mengenai klasifikasi jenis fraktur ini, karena
sebagian besar fraktur sebenarnya adalah oblik dibanding dengan
longitudinal, atau bahkan sering fraktur campur / kompleks.
22
Modul I.4 - Trauma Telinga dan Temporal
Gambar 2.3 Fraktur oblik dan kompleks pada os temporal. Fraktur obliq
pada tulang temporal petrosus kiri dengan otic capsule violation dan
pneumocephalus yang dekat dengan tulang temporal. (Dikutip dari:
Basavaraju, et al.. Temporal Bone Fracture and its Classification :
Retrospective Study of Incidence, Causes, Clinical Features,
Complication and Outcome. International Journal of Anatomy, Radiology
and Surgery2017)
Klasifikasi Baru Fraktur Temporal :
Klasifikasi berdasar anatomi diatas tampaknya tergeser dengan klasifikasi
baru yang lebih berdasar pada keterlibatan telinga dalam (otic capsule),
karena lebih dapat memberikan prediksi risiko potensial terjadinya
komplikasi
a. Otic capsule sparing /non-petrous/non-labyrinthine
Fraktur temporal diklasifikasikan sebagai otic capsule sparing
apabila kapsul otik tidak mengalami fraktur, umumnya mengenai skuama
dari os temporal dan postero-superior dari KAE. Fraktur mengenai sel-
sel mastoid dan kavum timpani, tegmen di area hiatus fasial, dan
anterolateral dari kapsul otik. Pada umumnya akibat benturan pada regio
temporoparietal.Tanda yang sering dijumpai yaitu ruptur membran
timpani pada area notch of Rivinus dan merusak rantai osikel yang
menyebabkan gangguan pendengaran jenis konduksi.
23
Modul I.4 - Trauma Telinga dan Temporal
24
Modul I.4 - Trauma Telinga dan Temporal
25
Modul I.4 - Trauma Telinga dan Temporal
26
Modul I.4 - Trauma Telinga dan Temporal
Bagan 2.1 Algoritma manajemen paresis N. Fasialis (Dikutip dari: Bailey’s Head &
Neck Surgery Otolaryngology.5th ed. Philadelphia : Lippincott Williams &
Wilkins; 2014)
27
Modul I.4 - Trauma Telinga dan Temporal
atau mastoid. Apabila terjadi ruptur membran timpani maka akan terjadi
kebocoran pada KAE, dan bila melalui tuba Eustachius akan terjadi rinore
liquor. Pada fraktur otic capsule violating, liquor keluar melalui fosa kranii
posterior ke telinga tengah. Sebagian besar kasus resolusi spontan dalam waktu
5 hari dan 14 hari, kecuali dengan defek yang luas, Untuk kasus yang ringan
tatalaksana dengan tirah baring dengan posisi kepala elevasi, mencegah
terjadinya batuk, bersin dan mengejan. Apabila lebih dari 10 hari belum
menutup spontan maka diperlukan tindakan bedah. Penelitian membuktikan
penggunaan antibiotik tidak dapat mencegah terjadinya meningitis. Algoritma
tatalaksana kebocoran liquor serebrospinal dapat dilihat pada bagan 2.2.
Gangguan Pendengaran
28
Modul I.4 - Trauma Telinga dan Temporal
29
MODUL UTAMA
OTOLOGI
MODUL I.5
GANGGUAN NERVUS FASIALIS
EDISI III
KOLEGIUM
ILMU KESEHATAN TELINGA HIDUNG TENGGOROK
BEDAH KEPALA LEHER
2022
DAFTAR ISI
C. REFERENSI .................................................................................................... 1
D. KOMPETENSI ................................................................................................ 3
H. EVALUASI ..................................................................................................... 5
M. MATERI BAKU............................................................................................ 24
Modul I.5 – Gangguan Nervus Fasialis
MODUL I.5
OTOLOGI – GANGGUAN NERVUS FASIALIS
A. WAKTU PEMBELAJARAN
Proses pengembangan kompetensi Alokasi waktu
Sesi dalam kelas 2 x 60 menit (classroom session)
Sesi praktikum 4 x 60 menit (coaching session)
Sesi praktik dan pencapaian kompetensi 4x 1 minggu (facilitation and assessment)
B. PERSIAPAN SESI
1. Bahan penunjang presentasi:
a. Power point
b. Video
2. Kasus: kelainan nervus fasialis
3. Sarana dan alat bantu latih: (disesuaikan dengan pencapaian kompetensi)
a. Penuntun belajar (learning guide): terlampir.
b. Tempat belajar (training setting): instalasi rawat jalan, instalasi rawat inap,
kamar operasi, ruang praktikum.
c. Model/manekin telinga atau tulang temporal atau cadaver.
d. Komputer/laptop.
e. In focus.
f. Smart TV
C. REFERENSI
1. Ballenger JJ. Manual of Otorhinolaryngology Head and Neck Surgery, 1st ed. BC
Dekker ,London 2002
2. Byron J Bailey : Head and Neck Surgery Otolaryngology, 4th, J P Lippincot,
Philadelphia, 2014
3. Efiaty Soepardy, Nurbaiti Iskandar : Buku Ajar Ilmu Kesehatan THT, Ed 7,
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2012.
4. Gacek RR. Ear Surgery. Springer, Berlin, 2008
5. Hildmann H, Sudhoff H. Middle Ear Surgery. Springer. Berlin. 2006
6. Lee K.J : Essential Otolaryngology Head and Neck Surgery, 10th ed, Mac Graw
Hill, 2012
7. Probst R, Grevers G, Iro H : Basic Otorhinolaryngology , A Step by step Learning
Guide,1st ed,Georg Thieme Verlag, Germany,2006
1
Modul I.5 – Gangguan Nervus Fasialis
2
Modul I.5 – Gangguan Nervus Fasialis
D. KOMPETENSI
1. Pengetahuan
Setelah mengikuti sesi ini peserta didik mampu :
a. Menjelaskan anatomi, topografi, histologi, fisiologi dan embriologi nervus
fasialis(K3,A3)
b. Menjelaskan pemeriksaan fungsi nervus fasialis : Klasifikasi House-Brackmann
(K3,A3)
c. Menjelaskan etiologi dan macam gangguan nervus fasialis perifer (K3,A3)
d. Menjelaskan patofisiologi dan gambaran klinis gangguan nervus fasialis perifer
(K3,A3)
e. Menjelaskan pemeriksaan objektif diagnosis tes-tes topografi:, tes pengecapan,
gustometri, tes Schirmer, refleks stapedius (K3,A3)
f. Menjelaskan pemeriksaan penunjang diagnosis seperti:,foto mastoid, CT Scan
tulang temporal dan MRI (K3,A3)
g. Menjelaskan derajat kerusakan nervus fasialis perifer berdasarkan pemeriksaan
elektrofisiologi ENoG dan EMG (K3,A3)
h. Melakukan dan menginterpretasikan hasil pemeriksaan objektif tes topografi
seperti: tes pengecapan, gustometri, tes Schirmer, refleks stapedius (K3,P4,A3)
i. Menginterpretasikan hasil pemeriksaan penunjang diagnosis seperti: foto
mastoid, CT scan tulang temporal dan MRI (K3,P4,A3)
j. Menetapkan diagnosis dan diferensial diagnosis gangguan nervus fasialis perifer
(K3,A3)
k. Menjelaskan dan melakukan penatalaksanaan pengobatan medikamentosa /
konservatif gangguan nervus fasialis perifer (K3,P4,A3)
l. Menjelaskan dan melakukan penatalaksanaan pembedahan gangguan nervus
fasialis perifer (K3,P2,A3)
m. Melakukan konsultasi penatalaksanaan ke disiplin ilmu lain (rehabilitasi medik,
neurologi, bedah saraf) (K3,A3)
n. Menentukan prognosis gangguan nervus fasialis perifer (K3,A3)
2. Keterampilan
Setelah mengikuti sesi ini peserta didik diharapkan terampil dalam :
a. Mengenali gejala dan tanda gangguan nervus fasialis perifer
b. Melakukan anamnesis dan pemeriksaan pada gangguan nervus fasialis perifer
c. Membuat keputusan untuk pemeriksaan objektif seperti: tes pengecapan,
gustometri, tes schirmer, refleks stapedius dan pemeriksaan penunjang foto
mastoid, CT scan dan MRI serta konsultasi pemeriksaan neurologik seperti
EnoG dan EMG
d. Membuat keputusan klinik dalam penatalaksanaan dan pengobatan yang tepat
3
Modul I.5 – Gangguan Nervus Fasialis
Jawaban
a. Pemeriksaan inspeksi: pre aurikuler, aurikula dan retro aurikuler kanan dan
kiri, otoskopi: untuk menilai MAE kanan dan kiri; ukuran
(normal,menyempit,membesar) dan bentuk (normal, tidak), membrane timpani
kanan dan kiri , cone of light menilai intak, atau ada tidaknya robekan, adakah
perdarahan di liang telinga atau di kavum timpani . Pemeriksaan fungsi nervus
fasialis, pemeriksaan topognosis,pemeriksaan pendengaran (tes penala,
audiometri nada murni)
b. Derajat III kriteria House-Brackmann
c. Tes Shirmer, tes Pengecap dan impedans
F. TUJUAN PEMBELAJARAN
Tujuan Pembelajaran Umum
Setelah mengikuti sesi ini, setiap peserta didik diharapkan mampu untuk:
a. Mengenali gejala dan tanda gangguan nervus fasialis perifer
b. Melakukan anamnesis dan pemeriksaan fisis tentang gangguan nervus fasialis
perifer
c. Membuat keputusan untuk pemeriksaan penunjang seperti: foto mastoid, tes
pengecapan, gustometri, tes Schirmer, refleks stapedius dan konsultasi
pemeriksaan neurologik seperti ENoG dan EMG
d. Membuat keputusan klinik untuk pemberian pengobatan
Tujuan Pembelajaran Khusus
4
Modul I.5 – Gangguan Nervus Fasialis
Setelah mengikuti sesi ini peserta didik akan memiliki kemampuan untuk:
a) Menjelaskan anatomi, topografi, histologi, fisiologi dan embriologi nervus
fasialis(K3,A3)
b) Menjelaskan pemeriksaan fungsi nervus fasialis : Klasifikasi House-Brackmann
(K3,A3)
c) Menjelaskan etiologi dan macam gangguan nervus fasialis perifer (K3,A3)
d) Menjelaskan patofisiologi dan gambaran klinis gangguan nervus fasialis perifer
(K3,A3)
e) Menjelaskan pemeriksaan objektif diagnosis tes-tes topografi:, tes pengecapan,
gustometri, tes Schirmer, refleks stapedius (K3,A3)
f) Menjelaskan pemeriksaan penunjang diagnosis seperti:,foto mastoid, CT Scan
tulang temporal dan MRI (K3,A3)
g) Menjelaskan derajat kerusakan nervus fasialis perifer berdasarkan pemeriksaan
elektrofisiologi ENoG dan EMG (K3,A3)
h) Melakukan dan menginterpretasikan hasil pemeriksaan objektif tes topografi
seperti: tes pengecapan, gustometri, tes Schirmer, refleks stapedius (K3,P4,A3)
i) Menginterpretasikan hasil pemeriksaan penunjang diagnosis seperti: foto
mastoid, CT scan tulang temporal dan MRI (K3,P4,A3)
j) Menetapkan diagnosis dan diferensial diagnosis gangguan nervus fasialis perifer
(K3,A3)
k) Menjelaskan dan melakukan penatalaksanaan pengobatan medikamentosa /
konservatif gangguan nervus fasialis perifer (K3,P4,A3)
l) Menjelaskan dan melakukan penatalaksanaan pembedahan gangguan nervus
fasialis perifer (K3,P2,A3)
m) Melakukan konsultasi penatalaksanaan ke disiplin ilmu lain (rehabilitasi medik,
neurologi, bedah saraf) (K3,A3)
n) Menentukan prognosis gangguan nervus fasialis perifer (K3,A3)
G. METODE PEMBELAJARAN
Untuk mencapai tujuan ini maka dipilih metode pembelajaran berikut ini:
a. Presentasi modul
b. Mini lecture
c. Journal reading
d. Bedside teaching
H. EVALUASI
1. Pada awal pertemuan dilaksanakan pretest dalam bentuk tertulis dan lisan sesuai
dengan tingkat masa pendidikan yang bertujuan untuk menilai pengetahuan awal
yang dimiliki peserta didik dan untuk mengidentifikasi kekurangan yang ada. Materi
pretest terdiri atas:
5
Modul I.5 – Gangguan Nervus Fasialis
6
Modul I.5 – Gangguan Nervus Fasialis
7
Modul I.5 – Gangguan Nervus Fasialis
menyediakan panjang yang signifikan dengan panjang saraf fasialis. Dari ganglion
geniculatum ke tepi medial kelenjar parotis.
Nilailah kinerja setiap langkah yang diamati menggunakan skala sebagai berikut.:
1 Perlu perbaikan: langkah tidak dikerjakan atau tidak sesuai dengan yang
seharusnya
atau urutannya tidak sesuai (jika harus berurutan)
2 Mampu: langkah dikerjakan sesuai dengan yang seharusnya dan urutannya (jika
harus berurutan). Pelatih hanya membimbing untuk sedikit perbaikan atau
membantu untuk kondisi di luar normal
3 Mahir: langkah dikerjakan dengan benar, sesuai urutannya dan waktu kerja yang
sangat efisien
T/D Langkah tidak diamati (penilai menganggap langkah tertentu tidak perlu
diperagakan)
8
Modul I.5 – Gangguan Nervus Fasialis
KEGIATAN NILAI
1. Kaji ulang diagnosis.
2. Persiapan tindakan.
3. Melakukan tindakan sesuai dengan prosedur.
4. Melakukan follow up setelah tindakan.
9
Modul I.5 – Gangguan Nervus Fasialis
KEGIATAN KASUS
I. KAJI ULANG DIAGNOSIS & PROSEDUR TOPOGNOSTIK
• Nama
• Diagnosis
• Informed Choice & Informed Consent
• Rencana Tindakan
• Persiapan Sebelum Tindakan
II. PERSIAPAN PROSEDUR DEKOMPRESI NERVUS FASIALIS
TRANSMASTOID
• Pemberian antibiotika profilaksis preoperatif, secara injeksi
• Menyiapkan mikroskop dan alat-alat yang akan digunakan
• Cuci tangan, memakai baju operasi
• Tindakan a dan antiseptik pada daerah operasi dan
sekitarnya dengan menggunakan povidon iodine atau
antiseptik lainnya
• pasang kain penutup operasi steril pada pasien, di area
operasi
• Posisi pasien: terlentang, kepala miring ke arah berlawanan
dengan sisi telinga yang dioperasi
III. PROSEDUR OPERASI
- Operasi dilakukan dalam general anastesi
- ada daerah operasi yang akan diinsisi dilakukan suntikan
dengan larutan Xylocaine 1% dengan epinefrin 1 : 100.000.,
untuk memisahkan periosteum
- Dilakukan insisi retroaurikular 3-5 mm dari sulkus atau
pada batas kulit rambut daerah retroaurikular, mulai dari
kulit, subkutis, hingga periosteum, mulai dari setinggi linea
temporalis sampai mendekati tip mastoid
Mastoidektomi :
- Bor korteks mastoid dengan landmark segitiga Mc Ewen,
dengan mengidentifikasi dinding posterior liang telinga, linea
temporalis dan spina Henle. Bersihkan dan angkat semua aircell
dari antrum ke tip mastoid dan digastrik ridge ditemukan.
Identifikasi tegmen mastoid, sinus sigmoid, kanalis
semisirkularis lateralis, aditus ad antrum, fosa inkudis, solid
angle. Aircell pada daerah root zygoma juga diangkat sampai
teridentifikasi pinggir atas inkus dan kanalis fasialis pars
horisontal. Landmark untuk N. Fasialis pars vertikal adalah
posterior tip inkus dibagian atas dan anterior end digastric
groove di bagian bawah. Drill sampai foramen stylomastoid.
Tulang antara foramen stylomastoid dan kanalis semisirkular
lateralis ditipiskan dan sampai N.fasialis tampak berwarna pink.
Bila ada jaringan patologis/ jaringan granulasi dibersihkan
- Apabila segmen horisontal dari N.VI yang terkena, dekompresi
dilakukan melalui segitiga (timpanotomi posterior) yang
10
Modul I.5 – Gangguan Nervus Fasialis
11
Modul I.5 – Gangguan Nervus Fasialis
K. DAFTAR TILIK
DAFTAR TILIK PENILAIAN KINERJA
PROSEDUR DEKOMPRESI SARAF FASIAL PERIFER
Berikan penilaian tentang kinerja psikomotorik atau keterampilan yang diperagakan
oleh peserta pada saat melaksanakan statu kegiatan atau prosedur, dengan ketentuan
seperti yang diuraikan dibawah ini:
ü: Memuaskan: Langkah atau kegiatan diperagakan sesuai dengan prosedur atau
panduan standar
Ï: Tidak memuaskan: Langkah atau kegiatan tidak dapat ditampilkan sesuai dengan
prosedur atau panduan standar
T/T: Tidak Ditampilkan: Langkah, kegiatan atau keterampilan tidak diperagakan oleh
peserta selama proses evaluasi oleh pelatih
PESERTA: _____________________ TANGGAL :______________
KEGIATAN NILAI
1. Kaji ulang diagnosis.
2. Persiapan tindakan.
3. Melakukan tindakan sesuai dengan prosedur.
4. Melakukan follow up setelah tindakan.
12
Modul I.5 – Gangguan Nervus Fasialis
KEGIATAN KASUS
- Menyiapkan mikroskop dan alat-alat yang akan
digunakan
- Cuci tangan, memakai baju operasi dan glove yang steril
- Tindakan a dan antiseptik pada daerah operasi dan
sekitarnya dengan menggunakan povidon iodine atau
antiseptik lainnya
- Pasang kain penutup operasi steril pada pasien, di area
operasi
- Posisi pasien: terlentang, tempat donor nerve apabila
akan mengambil sural nerve maka kaki yang akan
dipersiapkan.
III. PROSEDUR OPERASI
- Operasi dilakukan dalam general anastesi
- Insisi longitudinal sepanjang posterior dari lateral
malleous atau tranversal menggunakan metode step
ladder.
- Identifikasi saraf perkiraan 2 cm dibelakang dan 1-
2 cm proksimal dari lateral malleous.
- Temukan vena saphenous minor, saraf suralis (sural
nerve) berada di daerah medial.
- Jika menggunakan step ladder method, maka insisi
didaerah di tengah dan 1/3 distal dari kaki,
identifikasi cabang dimana nervus suralis kutaneus
lateralis bertemu nervus suralis medialis.
- bagilah cabang lateral dari medial tersebut.
- Diseksi nervus suralis medialis tersebut proksimal
dibawah popliteal fossa. Terdapat saaf sepanjang
30-35 cm untuk grafting.
- Transeksi saraf secara proksimal dan bungkus
dengan moist gauze swab.
- Setelah daerah saraf fasial yang akan disambung
dengan nervus suralis siap, letakkan graft nervus
suralis tersbut sehingga dapat dijahit.
- Identifikasi nervus fasialis : apakah terdapat
hematoma, bony spicula atau kerusakan saraf pada
topik lesi. Sehingga tidak terjadi penekanan pada
nervus fasialis. Tutup dengan graft fasia
- Diletakkan tampon liang telinga yang sudah dilapisi
oleh salep antibiotik.
- Luka operasi ditutup dengan jahitan lapis demi lapis
- Bila perlu dipasang pipa salir di daerah insisi
PASCA OPERASI
Instruksi pasca operasi
• pemberian antibiotika
• pemberian analgetik/atiinflamasi
13
Modul I.5 – Gangguan Nervus Fasialis
KEGIATAN KASUS
• evaluasi pascaoperasi berupa adanya: perdarahan,
fungsi N. fasialis (grading House-Brackmann) dan
fungsi pendengaran
• rencana pasien dipulangkan 2 hari pasca operasi
• tampon luar dikeluarkan 1 minggu pasca operasi dan
tampon dalam 2 minggu pasca operasi
L. MATERI PRESENTASI
14
Modul I.5 – Gangguan Nervus Fasialis
15
Modul I.5 – Gangguan Nervus Fasialis
16
Modul I.5 – Gangguan Nervus Fasialis
17
Modul I.5 – Gangguan Nervus Fasialis
18
Modul I.5 – Gangguan Nervus Fasialis
19
Modul I.5 – Gangguan Nervus Fasialis
20
Modul I.5 – Gangguan Nervus Fasialis
21
Modul I.5 – Gangguan Nervus Fasialis
22
Modul I.5 – Gangguan Nervus Fasialis
23
Modul I.5 – Gangguan Nervus Fasialis
M. MATERI BAKU
Gangguan Nervus Fasialis
Pendahuluan
Nervus fasialis adalah nervus kranialis ketujuh yang merupakan nervus kranialis
terpanjang. Nervus fasialis berasal dari pons bagian bawah berjalan ke posterior dari
nervus abdusen (N.VI) dan anterior terhadap nervus vestibulokoklear (N.VIII).
Nervus fasialis melalui perjalanan yang kompleks pada daerah pontine,
subarachnoid, intratemporal dan ekstratemporal.
Nervus ini sering mengalami gangguan karena mempunyai perjalanan yang
panjang dan berkelok-kelok. Pada tulang temporal berada didalam saluran tulang
yang sempit dan kaku oleh karena itu kelainan nervus fasial umumnya terletak di
dalam tulang temporal.
Ekspresi wajah adalah bagian dari komunikasi sehari-hari. Penderita dengan
disfungsi nervus fasialis akan mengalami tekanan emosional yang merupakan efek
24
Modul I.5 – Gangguan Nervus Fasialis
sosial dari kelemahan wajah yg dialaminya dan ketidak pastian lamanya pemulihan.
Terdapat pula resiko komplikasi fungsional terkait dengan hilangnya/terganggunya
fungsi proteksi mata dan kompetensi oral.
Tik, kelemahan atau paralisis pada wajah merupakan suatu gejala yang diakibatkan
oleh beberapa gangguan yang melibatkan nervus fasialis dan bukan penyakit yang
terjadi pada wajah itu sendiri.
Gangguan ini dapat diakibatkan oleh berbagai macam kelainan yang berbeda, antara
lain gangguan sirkulasi, trauma, infeksi atau tumor sehingga perlu dicari
penyebabnya.
Gangguan nervus fasialis dapat disertai dengan gangguan pendengaran pada saat
yang bersamaan. Kelainan ini dapat terkait atau tidak berkaitan dengan problem pada
nervus fasialis.
Evaluasi disfungsi nervus fasialis diawali dengan anamnesis riwayat secara
mendalam dan pemeriksaan kepala leher lengkap. Pencitraan dan pemeriksaan
objektif dapat membantu diagnosis dan menentukan prognosis.
25
Modul I.5 – Gangguan Nervus Fasialis
26
Modul I.5 – Gangguan Nervus Fasialis
27
Modul I.5 – Gangguan Nervus Fasialis
Embriologi
Nervus fasialis berasal dari arkus brankial kedua (second branchial arch). Arkus
brankial kedua juga membentuk otot-otot wajah, m. oksipitofrontalis, m. platisma,
m. stilohyoid, m. digastrikus belly posterior, m. stapedius dan m. aurikularis, yang
keseluruhan mendapat innervasi dari n. fasialis.
Nervus
Inti motorik nervus fasialis terletak pada bagian ventolateral tegmentum pons bagian
bawah. Dari sini berjalan kebelakang dan mengelilingi inti N VI dan membentuk
genu internal nervus facialis, kemudian berjalan ke bagian-lateral batas kaudal pons
pada sudut serebellopontin.
Terdiri dari dua bagian yaitu: nervus fasialis itu sendiri dan nervus intermedius
Wrisberg. Nervus fasialis mengandung komponen motoris dan sedikit komponen
aferen somatic umum (general somatic afferent), sementara n. intermedius membawa
komponen sensoris dan viseromotoris parasimpatis. Saraf intermedius terletak pada
bagian diantara N VII dan N VIII.
28
Modul I.5 – Gangguan Nervus Fasialis
29
Modul I.5 – Gangguan Nervus Fasialis
3. Ekstratemporal
Segmen ekstratemporal merupakan segmen terakhir dari n. fasialis. Segmen ini
bermula ketika nervus fasialis keluar dari tulang temporal melalui foramen
stilomastoid. Setelah keluar dari foramen stilomastoid nervus fasialis memberi dua
percabangan; nervus aurikularis posterior (suplai m. aurikularis posterior, m.
aurikularis superior, cabang occipital dari m. occipitofrontal) dan n. digastrikus
(suplai m. digastrikus posterior dan m. stilohyoid). Segmen ini selanjutnyamemasuki
kelenjar parotis. Nervus fasialis membentuk dua trunkus di dalam kelenjar parotis:
1. Trunkus temporofasial superior
2. Trunkus cervicofasial inferior
Kedua trunkus ini membentuk plexus parotis dan dari plexus ini muncul 5 cabang
yaitu cabang temporal/frontal menginnervasi m.frontalis, m. orbicularis oris, dan
otot wajah bagian atas, cabang zigomatik menginnervasi otot wajah bagian tengah
, cabang buccal innervasi otot pipi termasuk m. buccinator, cabang mandibular
untuk innervasi otot wajah bagian bawah, dan cervical innervasi otot dibawah dagu
dan sekitarnya serta m. platisma.
30
Modul I.5 – Gangguan Nervus Fasialis
31
Modul I.5 – Gangguan Nervus Fasialis
– Mengatur tekanan
Epinerium
– membungkus seluruh nervus
– Mengatur nutrisi nervus
32
Modul I.5 – Gangguan Nervus Fasialis
Riwayat (anamnesis)
Elemen yang paling penting dari anamnesis adalah terkait onset, progresivitas dan
durasi dari kelumpuhan wajah. Kelemahan wajah yang terjadi dalam kurun waktu 48
sampai 72 jam yang kemudian stabil berbeda dibandingkan dengan kasus yang terjadi
perlahan lahan dalam beberapa minggu. Kelemahan wajah yang terjadi sesaat terjadinya
trauma atau pembedahan akan mempunyai prognosis yang berbeda dengan kasus
kelumpuhan yang onsetnya lebih lambat. Adalah penting juga untuk mengenali
progresifitas dari suatu kelumpuhan inkomplit menjadi kelumpuhan total.
Contohnya pada Bell’s palsy, kelumpuhan muncul secara tiba-tiba dan stabil setelah hari
ke 2-3. Kelemahan yang progresif biasanya tidak terkait dengan diagnosis ini. Demikian
33
Modul I.5 – Gangguan Nervus Fasialis
pula kelumpuhan wajah yang berulang harusnya memperkuat dugaan adanya suatu
neoplasma pada N. fasialis. Gejala yang menyertai dapat juga membantu mempersempit
diagnosis; disertai neuropati kranial merupakan petunjuk bagi kita adanya etiologi
sindroma Ramsay-Hunt atau kelainan pada sistem saraf pusat, sementara apabila terdapat
riwayat otitis media merupakan petunjuk etiologi yang berasal dari telinga tengah dan
mastoid. Adanya gejala pada mata seperti mata kering dan nyeri terkait menurunnya
produksi air mata atau penutupan palpebra mata yang tidak komplit.
Pemeriksaan fisik
Pemeriksaan lengkap kepala leher harus dilakukan, termasuk pemeriksaan fungsi nervus
kranialis. Pemeriksaan telinga untuk menyingkirkan adanya vesikel atau kelainan pada
telinga tengah seperti infeksi atau neoplasma. Palpasi leher terhadap adanya
limfadenopathi atau massa parotis.
Evaluasi fungsi N. fasialis diperlukan untuk menentukan letak lesi (perifer atau sentral),
beratnya kelumpuhan dan prognosis. Pemeriksaan meliputi fungsi motorik otot wajah,
dimulai dengan pemeriksaan wajah saat istirahat untuk deteksi adanya abnormalitas dari
tonus motoris, ada tidaknya sinkinesis atau hemispasme. Percabangan nervus fasialis
dilakukan evaluasi tersendiri. Wajah bagian atas mendapat innervasi dari kedua kortex
dan terpisahnya fungsi wajah bagian atas biasanya mengindikasikan patologi sentral atau
supranuklear. Pemeriksaan lain adalah tes topografi dan tes elektrofisiologik.
Lesi LMN : bisa terletak di pons, disudut serebelo pontin, tulang petrosus, cavum
tympani, pada foramen stilomastoideus dan pada cabang-cabang tepi nervus facialis. Lesi
di pons yang terletak disekitar n. abducens bisa merusak akar n. facialis, inti n.abducens
dan fasikulus longitudinalis medialis. Karena itu paralysis facialis LMN tersebut akan
disertai kelumpuhan rektus lateris atau gerakan melirik ke arah lesi. Proses patologi
disekitar meatus akuatikus internus akan melibatkan nervus facialis dan akustikus
sehingga paralysis facialis LMN akan timbul berbarengan dengan tuli perseptif ipsilateral
dan ageusia ( tidak bisa mengecap dengan 2/3 bagian depan lidah).
Pemeriksaan Fungsi Motorik
Terdapat beberapa macam sistem penilaian fungsi motorik N. fasialis. Sistem yang
paling sering digunakan adalah sistem grading House-Brackmann yaitu pemeriksaan
gerakan dan ekspresi wajah. Terdapat 6 skala penilaian evaluasi regional dan telah
diadopsi oleh American Academy of Otorhinolaryngolog- Head and Neck Surgery 1985.
Pada penilaian dengan sistem House-Brackmann:
- Derajat 1 fungsi motorik wajah normal di semua area.
- Derajat 2 disfungsi ringan, saat istirahat tonus otot normal dan simetris, gerakan
kerutan dahi normal atau terdapat gangguan ringan/berkurang, mata dapat
menutup sempurna dengan usaha minimal, gerakan mulut asimetri minimal.
- Derajat 3 disfungsi sedang, saat istirahat tonus otot normal dan simetris dapat
terlihat sinkinesis, kontraktur, atau spasme hemifasial yang tidak berat, gerakan
34
Modul I.5 – Gangguan Nervus Fasialis
Tes Schirmer
Kerusakan N. fasialis dapat mengganggu fungsi lakrimasi (melalui n. intermedius dan n.
Petrosus superfisial mayor). Kertas strip ditempatkan pada fornix konjungtiva pada kedua
mata secara bersamaan (dapat menggunakan anastesi local tetes mata). Kelopak mata
dalam keadaan tertutup selama 5 menit kemudian panjang kedua kertas strip yang basah
dibandingkan. Hasil test dibaca normal apabila kertas yang basah 15 mm atau lebih.
Gangguan fungsi ringan apabila kertas yang basah 9-14 mm dan gangguan fungsi sedang
dan berat apabila tercatat kurang dari 9 mm.
35
Modul I.5 – Gangguan Nervus Fasialis
Electrogustometry
Lidah dirangsang secara elektrik untuk memproduksi rasa metalik dan kedua sisi lidah
dibandingkan.
Level lesi lokasi efek
Infrakordal Inferior cabang korda Pengecap, lakrimasi dan
timpani reflex stapedial normal
infrastapedial Antara korda timpani Pengecap terganggu.
dan N. stapedius Reflex Stapedius dan
lakrimasi normal
Suprastapedial Antara N. stapedius Pengecap dan reflex
dan ganglion stapedius terganggu.
genikulatum Lakrimasi normal
supragenikulatum Ganglion Pengecap, lakrimasi dan
genikulatum dan reflex stapedius
nucleus motor terganggu
Skema untuk diagnosis topografik lesi pada kelumpuhan fasialis menurut Jepsen
1965 dikutip dari Schuknecht’s Pathology of the Ear Ed ketiga 2010
36
Modul I.5 – Gangguan Nervus Fasialis
Balance Test
Tes keseimbangan dengan test EnG (electronystagmography) dianjurkan dilakukan pada
kasus-kasus yang memerlukan klarifikasi penyebab dan lokasi kelainan nervus fasialis.
Test elektrofisiologi
Terdapat tiga test untuk menilai fungsi n. fasialis: nerve excitability test,
electroneurography and electromyography.
Nerve Excitability Test (NET)
Test ini membantu kita dalam menilai ekstensi kerusakan serat nervus pada kasus
paralisis total. Hasil test bisa menunjukan normal pada paralisis yang mengindikasikan
harapan yang lebih baik untuk kembalinya fungsi.
Pada beberapa test eksitabilitas mungkin diperlukan pengulangan setiap hari atau untuk
mendeteksi adanya perubahan yang mungkin saja mengindikasikan suatu perburukan
progresif. Bantuan alat stimulator n. fasial yang mempunyai kekuatan 22,5 volt dan
mengalirkan arus listrik secara konstan dengan ambang 0-10 mA sangat diperlukan.
Pemeriksaan ini secara perkutaneus yang dimulai dari sudut rahang atau foramen
stylomastoid
Maximal stimulation test (MST)
Pemeriksaan ini sangat baik untuk mengevaluasi degenerasi n.fasialis sesaat setelah
onset. Pemeriksaan ini dapat dilakukan dengan menggunakan alat stimulus saraf yang
tersedia secara komersil. Pemeriksaan dilakukan 5 area wajah yaitu : dahi dan alis mata,
area periorbita, bibir atas dan ala nasi, bibir bawah area servikal dan platysma.
Electroneurography (ENoG)
Pemeriksaan ini disebut juga evoked electomyographry (EEMG) Electroneurography
melibatkan penggunaan computer dalam mengukur respon otot terhadap stimulasi
elektrik dari nervus fasialis. Alat ini merekam electrode yang diletakkan pada wajah dan
N. fasialis distimulasi dengan perangsangan elektrik bermuatan kecil. Kontraksi otot
direkam oleh computer digunakan untuk menghitung secara kuantitatif persentase serabut
saraf yang masih respon terhadap rangsang elektrik.
Electromyography (EMG)
Electromyography dapat menilai kasus-kasus dengan paralisis yang sudah berlang cukup
lama. Test ini dapat membantu kita untuk mengetahui apakah saraf atau otot mengalami
penyembuhan. Jarum halus digunakan untuk mengukur respon-respon.
Konsultasi pemeriksaan neurologik seperti EMG dilakukan untuk menentukan derajat
kerusakan nervus fasialis perifer seperti neuropraxia, axonotmesis dan neurotmesis dan
pada kasus Bell’s palsy digunakan sebagai prediktor kesembuhan.
Klasifikasi kerusakan nervus
Klasifikasi kerusakan nervus perifer pertamakali dipresentasikan oleh Seddon dalam
istilah neuropraxia, axonotmesis dan neurotmesis.
Kemudian Sunderland membuatnya secara terperinci sbb:
Class I (Neuropraxia)
terhambatnya konduksi, disebabkan oleh hambatan aliran axoplasmik
37
Modul I.5 – Gangguan Nervus Fasialis
38
Modul I.5 – Gangguan Nervus Fasialis
Etiologi
Penyebab kelumpuhan nervus fasialis (LMN) lainnya adalah; infeksi telinga tengah
(OMSA/ OMSK), mastoiditis, kolesteatoma, iatrogenic (tympanoplasti/mastoidektomi),
39
Modul I.5 – Gangguan Nervus Fasialis
Lyme disease, HIV AIDS, penyakit inflamatori seperti sarcoidosis, Guillain Barre
Syndrome (gangguan demielinisasi) , gangguan vascular seperti pada hemifacial spasm
yang disebabkan oleh kompressi neurovascular, thermal injuries dan neoplasma.
40
Modul I.5 – Gangguan Nervus Fasialis
Bagan. Algoritma Bell’s palsy (dikutip dari Surgery of the Ear, Glascock)
Terapi lain yang dianjurkan adalah dalam tiga hari adalah steroid oral 60 mg
prednisolone/hari dan antiviral tampaknya meningkatkan frekuensi penyembuhan
komplit. (Primary care otolaryngology; American Academy of Otolaryngology Head and
Neck Surgery, 3 rd Ed. 2011)
Lakukan tes elektrofisiologi tiap hari sampai :
1. Ambang respon dari sisi paralisis meningkat hingga 4 mA lebih besar dari
sisi normal
2. Ada perbaikan sebagian fungsi nervus fasialis
Bila (1) ditemukan, dekompresi nervus fasialis mulai dari foramen stilomastoid sampai
level kerusakan harus dipertimbangkan. Dekompresi fossa media harus dilakukan bila
kerusakan melibatkan nervus petrosus superfisial mayor.
41
Modul I.5 – Gangguan Nervus Fasialis
Infeksi bakteri
Otitis media akut dapat menyebabkan kelemahan pada kanalis fasialis yang akan
mengakibatkan paralisis nervus. Penyebab lain dari kelumpuhan N. fasialis adalah
kolesteatoma dan otitis eksterna maligna. Salah satu penyebab yang jarang ditemukan
adalah Lyme disease, yang terjadi akibat infeksi dan gigitan kutudengan gejala fatigue,
sakit kepala arthralgia, eritema migran yang menyertai kelumpuhan n. fasialis,
terjadi antara 1-2 minggu setelah terpapar oleh kutu (‘tick’). Mioperikarditis dan artritis
dapat terjadi sebagai bagian dari sindrom ini. Pemeriksaan serologi IgM+ IgG merupakan
pemeriksaan yang penting. Pada penderita dengan riwayat eritema migran dan pernah
melakukan perjalanan perlu segera dilakukan pemeriksaan untuk Lyme disease.
42
Modul I.5 – Gangguan Nervus Fasialis
Fraktur tulang temporal biasanya ditemukan pada trauma kepala yang berat dan penderita
mendapatkan luka multiple sehingga tidak menyadari adanya gangguan pada otot wajah.
Intervensi utama oleh team medis biasanya adalah lifesaving sehingga pemeriksaan N.
fasialis tidak menjadi prioritas. Apabila ingin mengetahui status nervus maka tes
elektrofisiologis dan CT scan high-resolusi dapat dilakukan.
Apabila tampak ada serpih tulang yang menusuk maka perlu dilakukan eksplorasi
transmastoid dan atau pendekatan intracranial. Nervus fasialis yang mengalami transeksi
dapat dilakukan perbaikan dengan reanastomosis langsung atau apabila tindakan ini
menyebabkan peregangan nervus maka dapat dilakukan prosedur grafting interposisi
(nervus aurikularis magnus atau suralis)
Trauma tulang temporal dapat pula mengganggu pendengaran. Gangguan pendengaran
sensorineural biasanya ditemukan apabila garis fraktur mengenai koklea dan organ
keseimbangan. Sementara jika fraktur mencederai telinga tengah atau liang telinga maka
gangguan pendengaran konduktif dapat terjadi akibat adanya hemotimpanum,
terputusnya rantai osikula atau robeknya membrane timpani. Pemeriksaan pendengaran
dapat dilakukan setelah penatalaksanaan kondisi luka akut telah stabil.
Penatalaksanaan trauma tulang temporal yang mengakibatkan kelumpuhan fasialis
berupa konservatif (medical) atau pembdahan tergantung pada berat dan ekstensi
kerusakan. Terapi konservatif serupa dengan terapi pada Bell’s palsy
43
Modul I.5 – Gangguan Nervus Fasialis
• Trauma seperti berat badan lahir yang besar, kelahiran dengan bantuan forcep,
prematuritas, kelahiran dengan operasi seksio.
• Kasus-kasus sindromik; abnormalitas kraniofasial seperti Moebius syndrome,
Goldenhar syndrome syringobulbia, dan Arnold Chiari malformations.
• Kelainan genetic seperti: hereditary myopathies (myasthenia dan myotonic
dystrophy.
Kelumpuhan N. fasialis bilateral
Kelumpuhan N. fasialis bilateral tidak sering terjadi tetapi dapat ditemukan dan cukup
penting untuk diketahui. Kasus bilateral dapat ditemukan sebanyak 0.3 - 2% dari semua
kasus kelumpuhan n. fasialis. Kasus ini merupakan sesuatu yang penting oleh karena
kelumpuhan bilateral ini tampaknya merupakan representasi dari kelainan sistemik dari
satu penyakit, dimana dibawah 20% adalah idiopatik. Lyme disease dapat menunjukan
gambaran signifikan kelumpuhan n. fasialis, terhitung sekitar 35% dari kasus-kasus.
Penyakit lain adalah Guillain-Barre syndrome, diabetes, dan sarcoidosis. Penyebab
neurologis lain dari kelumpuhan N. fasialis bilateral adalah; Parkinson disease, multiple
sclerosis, dan pseudobulbar/bulbar palsy
Penatalaksanaan Gangguan Nervus Fasialis Perifer
- Terapi pada otitis media akut yang disertai kelumpuhan N. fasialis adalah
antibiotik intravena. Jenis dan durasi antibiotik dipilih berdasarkan panduan
jenis kuman mikroorganisme lokal.
- Penatalaksanaan untuk Lyme disease tergantung pada usia dan beratnya
penyakit. Pada keluhan yang terlokalisasi penderita usia diatas 8 tahun, 200
mg doxycycline dosis tunggal dengan lama pemberian 10 hari. Pada penderita
usia dibawah 8 tahun pengobatan amoxicillin atao cefuroxime selama 14 hari.
Pada kasus awal terapi ini bersifat kuratif. Iatrogenik pasca operasi
timpanoplasti/ mastoidektomi
- Pada kasus iatrogenic apabila parese fasialis terjadi sesaat (immediate)
setelah prosedur operasi mastoidektomi, maka ‘watch and wait’ harus
dilakukan oleh karena ini bisa disebabkan oleh penggunaan anastesi local.
Setelah efek dari local anastesi ini disingkirkan sebagai penyebab dan ada
keyakinan dari ahli bedah bahwa epinerium N. fasialis intak, maka
pendekatan konservatif dengan pemberian steroid sebagai pilihan. Namun
dapat juga diperlukan re-eksplorasi segera, dekompresi fasialis +/- grafting
nervus.
Kelumpuhan yang terjadi lambat (delayed) pasca operasi dapat disebabkan
oleh edema dan infeksi oleh karena itu perlu pemberian steroid dan
antibiotik., dapat juga disebabkan oleh kuatnya penekanan tampon pada
operasi mastoid terbuka dan perlu dikurangi tekanannya dengan
melonggarkan atau melepaskan tamponnya.
- Penatalaksanaan Operatif Gangguan Nervus Fasialis Perifer
• Otitis media akut + mastoiditis
myringotomy +/- ventilation tube dan atau mastoidektomi cortical
• Otitis media kronik (parsial/komplit)
Mastoidektomi dan dekompresi nervus fasialis
44
Modul I.5 – Gangguan Nervus Fasialis
Bagan. Algoritma Tatalaksana Paralisis saraf fasialis post operasi ( dikutip dari Hildmann)
45
Modul I.5 – Gangguan Nervus Fasialis
Dalam dekompresi saraf, faktor identifikasi dan ekspos N.fasialis dari hematoma
postrauma dan edema serta memindahkan fragmen tulang yang menekan saraf
tersebut.Jika saat eksplorasi didapatkan N fasialis masih intak, maka pembuangan
fragmen tulang, dan juga insisi pembungkus (sheat) N fasialis di epineural untuk
melepas tekanan nervus dari pembengkakan. Apabila saat eksplorasi tampak saraf
telah terputus, maka dimungkinkan untuk melakukan rekontruksi / reanimasi nervus
fasialis.
46
Modul I.5 – Gangguan Nervus Fasialis
Segmen mastoid merupakan daerah yang paling sering tercederai pada operasi
mastoidektomi (iatrogenic), dan pada kasus trauma tulang temporal area
perigeniculatum merupakan area yang paling sering terkena.
Ada dua teknik dalam nerve grafting yaitu: prosedur statis dan dinamik.
Prosedur statis tidak menciptakan gerakan dinamik dari wajah. Seperti proteksi pada
mata khusus kornea yang cepat kering, memperbaiki fungsi hidung, mencegah
drooling, memperbaiki asimetrik pada wajah saat fase intirahat. Indikasi prosedur
statis adalah untuk geriatri, menolak operasi jangka lama, defek luas akibat kanker
atau trauma serta gagal mengikuti prosedur mikrovaskular. Prosedur statis untuk
mengkoreksi disabilitas secara fungsional termasuk operasi tarsorhaphy, insertion of
gold weights, palpebral springs, brow lift , forehead skin excision, dan sebagainya.
47
Modul I.5 – Gangguan Nervus Fasialis
2. Sural nerve
Letaknya yang jauh dari wajah tetapi mempunyai diameter yang sama dengan
saraf fasialis serta meninggalkan defek minimal. Biasanya defek pada sensory
loss di tepi lateral dari kaki. Terletak posterior dari lateral malleus dan
mempunyai cabang banyakserta panjang saraf dapat melebih panjang donor
saraf yang lain.
Untuk nerve grafting dan nerve repair, operasi harus dilakukan dalam 72 jam
pertama setelah cedera/kerusakan saraf sehingga selama waktu tersebut, distal dari
saraf masih terdapat stimulus elektrik yang memudahkan identifikasi.
Selain teknik diatas, juga terdapat teknik Re Innervation :Cross Facial Nerve
grafting (CFNG) baik dalam 1 atau 2 tahapan operasi. Serta terdapat teknik untuk
mengatasi distal stump yaitu nerve transfer menggunakan metode Nerve Coaption
menggunakan :
1. Hypoglossal nerve ( lebih sering)
2. Nerve to masseter
3. Glossopharyngeal nerve
48
Modul I.5 – Gangguan Nervus Fasialis
4. Accessory nerve
5. Phrenic nerve tranfer
Prognosis
Faktor yang diduga memperburuk prognosis apabila kelumpuhan n. fasialis disertai:
• Kelumpuhan komplit
• Refleks stapediaus negative (tidak ada)
• Tidak ada tanda perbaikan dalam tiga minggu
• Usia diatas 50 tahun
• Ramsay Hunt syndrome
• Respon jelek pada test elektrofisiologik
Komplikasi
Sejumlah komplikasi kelumpuhan N. fasialis yang signifikan. – Komplikasi mata
bisa berupa keratitis eksposur dan kornea kering dengan potensi ulserasi,
perawatan konservatif mata diperlukan untuk mengurangi/mencegah komplikasi
tersebut. Komplikasi hiperkinetik seperti hemifacial spasm, asimetri fasial dan
sinkinesis
• Hemifacial spasm merupakan akibat degenerasi axonal akibat paralisis n. fasialis
sehingga terjadi kontraksi otot involunter pada setengah wajah.
• Asimetri wajah menjadi perhatian dan dapat mengakibatkan tekanan bagi
penderita.
• Synkinesis adalah gerakan fasialis volunteer yang disertai dengan gerakan
involunter. Manifestasi yang paling sering dari sinkinesis adalah gerakan
involunter pada mulut manakala mata menutup dan ini dikenal sebagai sinkinesis
ocular - oral. Manifestasi lain dari sinkinesis adalah gustatory-lacrimal yang
dikenal dengan istilah ‘crocodile tear syndrome’
49
Modul I.5 – Gangguan Nervus Fasialis
REFERENSI
1. Ballenger JJ. Manual of Otorhinolaryngology Head and Neck Surgery, 1st ed. BC Dekker
,London 2002
2. Byron J Bailey : Head and Neck Surgery Otolaryngology, 4th, J P Lippincot, Philadelphia,
2014
3. Efiaty Soepardy, Nurbaiti Iskandar : Buku Ajar Ilmu Kesehatan THT, Ed 7, Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia, 2012.
4. Gacek RR. Ear Surgery. Springer, Berlin, 2008
5. Hildmann H, Sudhoff H. Middle Ear Surgery. Springer. Berlin. 2006
6. Lee K.J : Essential Otolaryngology Head and Neck Surgery, 10th ed, Mac Graw Hill, 2012
7. Probst R, Grevers G, Iro H : Basic Otorhinolaryngology , A Step by step Learning
Guide,1st ed,Georg Thieme Verlag, Germany,2006
8. Monkhouse S, Cranial Nerve : Functional anatomy. Cambridge University Press, USA,
2006
9. Gulya AJ. Anatomy of the Temporal Bone and Skull Base in Glasscock- Sambaugh
Surgery of the ear. Sixth Ed. People’s Medical Publishing House-USA, Shelton,
Connecticut.2010
10. Anderson RG. Facial Nerve Disorders and Surgery In Selected Readings in Plastic
Surgery. Vol 10 number 14, 2006. University of Texas Southwestern Medical Centre at
Dallas.
11. Sainsbury D, Borschel G, Zuker R. Surgical Reanimation Techniques for Facial
Palsy/Paralysis. In Open acces atlas of otolartngology, Head and Neck Operative Surgery,
2005. www.entdev.uct.ac.za.
12. Facial Nerve Anatomy and Clinical Applications Article Author:Sinali Seneviratne
Article Editor: Bhupendra Patel Updated:1/24/2020 10:33:02 AM)
13. Dominika Dulak; Imama A. Naqvi.Last Update: October 27, 2018., (Neuroanatomy,
Cranial Nerve 7 (Facial)
14. Danner CJ. Facial nerve paralysis. Otolaryngol. Clin. North Am. 2008 Jun;41(3):619-32,
x. [PubMed]
15. Gothard KM, The amygdalo-motor pathways and the control of facial expressions.
Frontiers in neuroscience. 2014; [PubMed PMID: 24678289
16. Kochhar A,Larian B,Azizzadeh B, Facial Nerve and Parotid Gland Anatomy.
Otolaryngologic clinics of North America. 2016 Apr; [PubMed PMID: 27040583]
17. Facial nerve disorder Michigan Ear institute protocol
18. Facial Nerve Paralysis , Chapter 8 in Primer Care Otolaryngoloy, 3rd edition; American
Academy of Otolaryngology Head –Neck Surgery.2011
19. Adam JC, Liberman M.C ; Anatomy of the Facial Nerve in Schuknecht’s Pathology of
the Ear. 3rd Ed .pp.66-68.2010
20. Nadol J.B ; Neural Disorder in Schuknecht’s Pathology of the Ear. 3rd Ed pp.697-
713.2010
21. Andrews JC, Rubinstein EH, Lambert PR ‘The Facial Nerve’ in The Ear Comprehensive
Otology; pp 205-219. 2010
22. Reitzen SD,Babb JS,Lalwani AK, Significance and reliability of the House-Brackmann
grading system for regional facial nerve function. Otolaryngology--head and neck
surgery : official journal of American Academy of Otolaryngology-Head and Neck
Surgery. 2009 Feb [PubMed PMID: 19201280]
23. Walker.N, Mistry W; Facial Nerve Palsy, Ed. Thomas Mazzoni, 2018
24. Gantz BJ, Redleaf MI,Perry BP ; Management of Bell’s Palsy and Ramsay Hunt
Syndrome in Otologic Surgery; Brackmann, Shelton, Arriaga; Ed 3rd. 2010.
50
MODUL UTAMA
OTOLOGI
MODUL I.6
KELAINAN KONGENITAL TELINGA
EDISI III
KOLEGIUM
ILMU KESEHATAN TELINGA HIDUNG TENGGOROK
BEDAH KEPALA LEHER
2022
DAFTAR ISI
C. REFERENSI ................................................................................................. 1
D. KOMPETENSI ............................................................................................. 2
H. EVALUASI .................................................................................................. 7
L. MATERI BAKU......................................................................................... 30
Modul I.6 Kelainan Kongenital Telinga
MODUL I.6
OTOLOGI – KELAINAN KONGENITAL TELINGA
A. WAKTU PEMBELAJARAN
Proses pengembangan kompetensi Alokasi waktu
Sesi dalam kelas 6 x 60 menit (classroom session)
Sesi praktikum 6 x 60 menit (coaching session)
Sesi praktik dan pencapaian kompetensi 6 x 60 menit (facilitation and
assessment)
B. PERSIAPAN SESI
1. Bahan penunjang presentasi:
a. Power point
b. Video
2. Kasus: Kelainan Kongenital Telinga.
3. Sarana dan alat bantu latih: (disesuaikan dengan pencapaian kompetensi)
a. Penuntun belajar (learning guide): terlampir.
b. Tempat belajar (training setting): instalasi rawat jalan, instalasi rawat inap,
kamar operasi, ruang praktikum.
c. Model/manekin telinga.
d. Komputer/laptop.
e. In focus.
C. REFERENSI
1. Snow, J.B, P. Ashley W. 2009. Ballengers Otorhinolaryngology Head and Neck
Surgery. 17th Edition. Peoples’s Medical Publishing House. Connecticut.
2. Gulya, A.J., Lloyd B.M., Dennis S.P. 2010. Glasscock-Shambaugh Surgery of the
Ear. 6th Edition. People’s Medical Publishing House-USA. Connecticut.
3. Chan, Y., John C.G. 2016. K.J. Lee’s Essential Otolaryngology Head and Neck
Surgery. 11th Edition. Mc Graw Hill. New York.
4. Johnson, J.T., Clark A.R. 2014. Bailey’s Head and Neck Surgery Otolaryngology.
5th Edition. Lippincott Williams & Wilkins. Philadelphia.
1
Modul I.6 Kelainan Kongenital Telinga
5. Flint, P.W., Bruce H.H., Valerie J.L., John K.N., Mark A.R., K. Thomas R., J.
Regan T. 2010. Cummings Otolaryngology Head and Neck Surgery. 5th Edition.
Mosby Elsevier. Philadelphia.
6. Gleeson, M., Browning G.G., Burton M.J., Clarke R., Hibbert J., Jones N.S., Lund
V.J., Luxon L.M., Watkinson J.C. 2008. Scott-Brown’s Otorhinolaryngology Head
and Neck Surgery. Mosby Elsevier. Philadelphia.
7. Wigand M.E, 2001. Restitusional surgery of the Ear and Temporal Bone. Thieme,
Stuttgard.
D. KOMPETENSI
1. Pengetahuan
Setelah mengikuti sesi ini peserta mampu:
a. Menjelaskan embriologi, anatomi, topografi dan fisiologi telinga luar, tengah
dan dalam.
b. Menjelaskan definisi dan patofisiologi kelainan kongenital telinga luar, tengah
dan dalam.
c. Menjelaskan gambaran klinis dan penatalaksanaan kelainan kongenital telinga
luar, tengah dan dalam.
d. Menegakkan diagnosis kelainan kongenital telinga luar, tengah dan dalam.
e. Menjelaskan penanganan kelainan kongenital telinga luar, tengah dan dalam
dan komplikasinya sesuai kompetensi.
f. Menjelaskan tindakan bedah pada kasus kelainan kongenital telinga luar, tengah
dan dalam.
g. Menjelaskan work-up pasien kelainan kongenital telinga luar, tengah dan dalam.
2. Keterampilan
Setelah mengikuti sesi ini peserta didik diharapkan terampil dalam:
a. Melakukan anamnesis, pemeriksaan fisik dan penunjang pada kelainan kongenital
telinga luar, tengah dan dalam.
b. Menegakkan diagnosis kelainan kongenital telinga luar, tengah dan dalam.
c. Melakukan tindakan bedah pada kasus kelainan kongenital telinga luar, tengah
dan dalam.
d. Melakukan rujukan bila pada penderita dengan stadium lanjut
2
Modul I.6 Kelainan Kongenital Telinga
3
Modul I.6 Kelainan Kongenital Telinga
Kasus 2
Seorang anak laki-laki usia 2 tahun datang ke poliklinik THTKL dengan keluhan
belum bisa bicara. Pasien merupakan anak kedua dari 2 bersaudara dengan riwayat
kelahiran kurang bulan. Pasien lahir secara normal dan tidak langsung menangis.
Pasien mempunyai riwayat dirawat di ruang intensif saat pasien baru lahir. Saat ini
pasien sudah dapat berjalan. Paisen didiagnosis dengan gangguan dengar sensori
neural derajat berat sejak usia 1 tahun. Pasien sudah menggunakan alat bantu dengar
selama 1 tahun tetapi belum ada perkembangan yang signifikan.
Diskusi:
a. Lengkapi anamnesis.
b. Lengkapi pemeriksaan fisik.
c. Sebutkan diagnosis banding.
d. Jelaskan bagaimana tatalaksana.
Jawaban :
a. Ditanyakan riwayat kehamilan dan kelahiran pasien. Ditanyakan perkembangan
setelah lahir apakah ada kelainan lain selain dari organ telinga. Ditanyakan
riwayat penggunakan alat bantu dengar dan terapi wicara.
b. Dilakukan pemeriksaan secara general, apakah ada kelainan kongenital yang
menyertai.
c. Dapat didiagnosis banding dengan aplasia koklea, hypoplasia, common cavity,
incomplete partition
4
Modul I.6 Kelainan Kongenital Telinga
F. TUJUAN PEMBELAJARAN
Tujuan Pembelajaran Umum
Setelah mengikuti sesi ini peserta didik terampil dalam:
a) Mampu menegakkan diagnosis klinis berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik
dan pemeriksaan penunjang pada kasus kelainan kongenital telinga luar, tengah
dan dalam.
b) Mampu memutuskan dan menangani kasus kelainan kongenital telinga luar,
tengah dan dalam sesuai kompetensi.
Tujuan Pembelajaran Khusus
Setelah mengikuti sesi ini peserta didik akan memiliki kemampuan untuk:
a. Menjelaskan embriologi, anatomi, topografi dan fisiologi telinga luar, tengah
dan dalam.
b. Menjelaskan definisi dan patofisiologi kelainan kongenital telinga luar, tengah
dan dalam.
c. Menjelaskan gambaran klinis kelainan kongenital telinga luar, tengah dan
dalam.
d. Melakukan penanganan bedah pada kelainan kongenital telinga luar, tengah dan
dalam.
e. Melakukan follow up pasien kelainan kongenital telinga luar, tengah dan dalam.
f. Melakukan rujukan bila pada penderita dengan stadium lanjut.
G. METODE PEMBELAJARAN
Tujuan 1. Menjelaskan embriologi, anatomi, histologi, topografi dan fisiologi
telinga luar, tengah dan dalam.
Untuk mencapai tujuan ini maka dipilih metode pembelajaran berikut ini:
• Belajar mandiri.
• Diskusi kelompok.
Harus diketahui:
• Embriologi, anatomi, histologi, dan topografi telinga luar, tengah dan
dalam.
• Fisiologi telinga luar, tengah dan dalam.
5
Modul I.6 Kelainan Kongenital Telinga
6
Modul I.6 Kelainan Kongenital Telinga
H. EVALUASI
1. Pada awal pertemuan dilaksanakan pretest dalam bentuk tertulis dan lisan sesuai
dengan tingkat masa pendidikan yang bertujuan untuk menilai pengetahuan awal
yang dimiliki peserta didik dan untuk mengidentifikasi kekurangan yang ada.
Materi pretest terdiri atas:
7
Modul I.6 Kelainan Kongenital Telinga
8
Modul I.6 Kelainan Kongenital Telinga
K. MATERI PRESENTASI
9
Modul I.6 Kelainan Kongenital Telinga
10
Modul I.6 Kelainan Kongenital Telinga
11
Modul I.6 Kelainan Kongenital Telinga
12
Modul I.6 Kelainan Kongenital Telinga
13
Modul I.6 Kelainan Kongenital Telinga
14
Modul I.6 Kelainan Kongenital Telinga
15
Modul I.6 Kelainan Kongenital Telinga
16
Modul I.6 Kelainan Kongenital Telinga
17
Modul I.6 Kelainan Kongenital Telinga
18
Modul I.6 Kelainan Kongenital Telinga
19
Modul I.6 Kelainan Kongenital Telinga
20
Modul I.6 Kelainan Kongenital Telinga
21
Modul I.6 Kelainan Kongenital Telinga
22
Modul I.6 Kelainan Kongenital Telinga
23
Modul I.6 Kelainan Kongenital Telinga
24
Modul I.6 Kelainan Kongenital Telinga
25
Modul I.6 Kelainan Kongenital Telinga
26
Modul I.6 Kelainan Kongenital Telinga
27
Modul I.6 Kelainan Kongenital Telinga
28
Modul I.6 Kelainan Kongenital Telinga
29
Modul I.6 Kelainan Kongenital Telinga
L. MATERI BAKU
Malformasi Kongenital Telinga Luar dan tengah
Klasifikasi
Derajat Mikrotia :
Derajat 1 : Malformasi minor, Aurikula lebih kecil dari normal dengan semua bagian
terlihat
Derajat II : Daun telinga diwakili oleh jaringan yang melengkung atau vertical
Derajat III : Hanya terdapat struktur jaringan lunak yang kecil
Malformasi Mayor :
Liang telinga luar dan membrane timpani tidak ada, stenosis kanal yang parah, membrane
timpani yang kecil menempel pada septum tulang, ukuran rongga telingah tengah
mengecil, maleus dan inkus berubah bentuk dan menyatu. Rongga telinga tengah dapat
sangat hipoplastik bahkan tulang telinga dapat tidak ditemukan. Nervus fasialis biasanya
30
Modul I.6 Kelainan Kongenital Telinga
dehisens. Malformasi mayor sering terjadi pada Mikrotia derajat II dan III. Fungsi telinga
dalam biasanya normal.
Malformasi Minor :
Defek signifikan biasanya akibat adanya deformitas atau gangguan fiksasi pada tulang
pendengaran telinga tengah. Hal ini menyebabkan adanya gangguan pendengaran
konduktif. Rongga telinga tengah dan membrane timpani normal. KAE paten / stenosis
ringan. Dapat terjadi dehisensi atau displace nervus fasialis. Pinna biasanya normal atau
sedikit berubah bentuk.
Evaluasi Pasien
Malformasi major biasanya terdeteksi saat lahir, karena adanya mikrotia atauoun anomali
kraniofasial. Pasien malformasi ringan lebih sulit untuk didiagnosa dan seringnya hanya
dapat ditemukan saat adanya screening pendengaran di sekolah.
Pemeriksaan Fisik
Fokus pemeriksaan fisik awal adalah untuk melihat adakah adakah abnormalitas atau
sindrom terkait perkembangan arkus brankial pertama atau kedua yang berhubungan
dengan atresia aural. Lakukan palpasi lembut mandibular untuk mencari adanya
mikrosomia hemifasial ringan. Perkembangan palatum dan struktur intraoral harus
diperiksa. Lakukan pengecekan KAE dan tentukan derajatnya, apakah normal, stenosis
(ringan/ berat) atau atresia komplit. Jika mungkin, lakukan otoskopi untuk melihat
membrane timpani.
Pada anak, cek milestone bicara dan ambulasi dengan anamnesis dan observasi langsung.
Anomali wajah yang paling sering terjadi adalah tidak adanya otot depressor anguli oris.
Evaluasi Audiometri
Pada atresia unilateral dapat dilakukan Audiometri Behavioral atau BERA untuk bayi dan
anak. Pada atresia bilateral dapat dilakukan BERA. Jika kanal auditori paten,
Elektrokokleografi dapat digunakan.
CT Scan
CT scan tulang temporal perlu dilakukan sebelum operasi. Pada stenosis KAE, CT scan
dapat membantu melihat adanya kolestatoma. Potongan axial dapat membantu untuk
melihat badan maleus dan inkus, sendi inkudostapedial dan round window. Potongan
coronal lebih baik dalam melihat stapes, oval window dan vestibular. Anak dibawah 3
tahun tidak direkomendasikan untuk dilakukan CT Scan karena kerjasama yang sulit dan
hasil yang sub optimal.
Terapi Medis
Atresia Unilateral
Anak dengan atresia unilateral tidak membutuhkan alat bantu dengar selama telinga
kontralateral normal. Pada dewasa, alat bantu dengar dapat digunakan untuk membantu
melokalisasi suara, mendapat respon frekuensi yang lebih luas dan distorsi suara yang
lebih sedikit.
Atresia Bilateral
Amplifikasi dini dalam 3-4 bulan pertama kehidupan sangat penting. Perangkat
pendengaran (BAHA) harus segera dipasang setelah evaluasi medis dan audiologi selesai.
31
Modul I.6 Kelainan Kongenital Telinga
Manajemen Operasi
Pasien dengan atresia unilateral lebih jarang dilakukan operasi kerana lebih rendahnya
manfaat yang akan diterima dibandingkan tingginya resiko trauma, infeksi dan lamanya
perawatan mastoid. Pasien dengan atresia bilateral harus dioperasi dengan tujuan untuk
mengembalikan pendengaran sebanyak mungkin sehingga amplifikasi tidak lagi
diperlukan. Telinga terbaik yang dipilih untuk prosedur bedah awal.
Kriteria
- Memiliki defisit konduktif residual min. 10 db
- Fungsi sensori neural normal pada atresia unilateral
- CT scan : Hipoplasia rongga telinga tengah, gangguan anatomii tulang
pendengaran, hubungan nervus fasialis dan oval window normal atau overhanging
- Lihat prognosis berdasarkan klasifikasi JAHRSDOEFER, jika skor 8 baik, 7
cukup, 6 kandidat marginal, 5 prognosis buruk.
SISTEM KLASIFIKASI JAHRSDOEFER
Parameter Poin
Ada Stapes 2
Oval window paten 1
Rongga telinga tengah 1
Nervus fasialis 1
Kompleks malleus-inkus 1
Pneumatisasi mastoid 1
Koneksi inkus-stapes 1
Round window 1
Tampilan telinga luar 1
- Pada kasus atresia unilateral hanya kandidat yang ideal saja yang dioperasi. Pada
kasus bilateral kriteria minimal adalah besar telinga tengah setengah ukuran
normal dan terdapat massa osikel.
- Waktu yang tepat untuk operasi pada anak, biasanya pada usia 6/7 tahun
Teknik Operasi
Pendekatan mastoid : Identifikasi sudut sinodural dan ikuti antrum. Resess fasial dibuak
dan sendi inkudostapedial dipisah kemudian tulang yang atresia diangkat.
Pendekatan anterior : Eksposur ke mastoid air cells terbatas. Pengeboran terbatas pada
area sendi temporomandibular (TMJ) di anterior, fossa dura kranial tengah di superior
dan mastoid air cells di posterior.
1. Insisi
Insisi post aurikular digunakan untuk mengekspos tulang mastoid. Jaringan lunak
diangkat ke anterior sampai terjadi depresi. Batasi manipulasi karena nervus fasialis
sering keluar dari tulang menuju fossa glenoidalis.
32
Modul I.6 Kelainan Kongenital Telinga
Gambar Mastoid korteks dan tulang yang atresia (sisa tulang timpani) melalui insisi post
aurikular
2. Pengeboran Kanal
Jika tidak dapat diidentifikasi, terdapat ruang yang cukup antara fossa glenoid anterior
dan mastoid air cell untuk kanal. Pengeboran dimulai dari sedikit posterior dan superior
fossa glenoid. Penanda superiornya fossa dura kranial tengah dan penanda anterior
TMJ.
33
Modul I.6 Kelainan Kongenital Telinga
3. Pembebasan osikel
Selain fossa inkudis, seluruh tulang disekitar okel harus diangkat, meninggalkan ruang
2-3 mm diantara struktur dan dinding kanal. Tipiskan dengan diamond burr kemudian
diangkat dengan pisau sendi inkudostapedial atau small hook.
Biarkan osikel pada posisinya. Meskipun terjadi deformasi, osikel tetap bergerak dan
lebih baik ditinggalkan dibandingkan jika diganti dengan prosthesis ataupun autograft
34
Modul I.6 Kelainan Kongenital Telinga
Terdapat 2 teknik dalam memasang fascia graft. Pertama, graft diselipkan di bawah
tepian tulang anterior dan superior dinding kanal. Kedua, Tutup fascia graft dengan The
Split-Thickness Skin Graft (STSG) dari kanal dan tempatkan kancing silastik yang telah
dikontur ke lingkaran kanal diatas osikel yang sudah tertutup.
6. Meatoplasti
Buat meatus yang besarnya dua kali ukuran meatus normal. Sisakan hanya sedikit
jaringan subkutan di sekitar meatus untuk membatasi panjang kanal membranosa dan
mencegah stenosis.
7. Graft kulit
Ambil graft kulit dari lengan atau paha dengan ukuran 4 x 6 cm berbentuk hexagonal dan
digunakan untuk melapisi saluran kanal. Telinga kemudian diretraksi, STSG diposisikan
di kanal tulang sehingga tumpang tinddih dengan fascia graft.Penutupan sebagian fascia
graft dan skin graft diperbolehkan untuk memfasilitasi epitalisasi membrane timpani
baru. Silastik disk diletakkan diatas osikel untuk mencegah lateralisasi. Stabilitas STSG
dicapai dengan menempatkan Marocel wicks yang dihidrasi dengan larutan antibiotic
steroid.
Perawatan Postoperatif
Tidak perlu antibiotik postoperatif. Pasien cukup meneteskan 10 tetes larutan antibiotik-
steroid 2x sehari untuk menjaga Marocel wicks tetap lembab. Setelah 10 hari Marocel
wicks dan silastic disc akan dilepas.
Komplikasi
- Cedera labirintin
- Cedera nervus fasialis
- Stenosis kanal
- Infeksi kronis
- Gangguan degar konduktif
35
Modul I.6 Kelainan Kongenital Telinga
1. Embriologi
Labirin membranous berasal dari permukaan ectoderm dekat rhombencephalondan
bermula sebagai otic pit. Selama minggu keempat kehamilan, otic pit berubah menjadi
otocyst. Adensitas sel mesenkim yang berada di sekitar vesikula otic meningkat dan
menjadi prekartilago, yang mana akan membentuk kapsula otik primitif. Pada minggu
kelima kehamilan, vesikula otic akan mengalami elongasi dan tiga proyeksi akan terlihat.
Sakulus dan duktus koklearis berkembang dari proyeksi ventromedial, utrikulus dan
duktus semisirkularis berkembang dari proyeksi dorsal dan duktus endolimpatik dan
kantungnya berkembang dari proyeksi dorsomedial. Perkembangan koklea selesai pada
minggu kesembilan bersamaan dengan munculnya epitalium neural. Pembentukan
sakulus, utrikulus dan duktus endolimpatik selesai pada minggu kesebelas. Pembentukan
labirin membranous selesai diantara minggu kesepuluh hingga keduabelas kehamilan.
Kanalis semisirkularis muncul pada minggu keenam kehamilan tapi selesai sekita minggu
keduapuluh hingga duapuluh dua kehamilan. Kanalis semisirkularis lateral merupakan
bagian yang paling terakhir selesai. Perilimpa, yang mengisi ruang antara lapisan
periosteal dalam kapsula otik dan labirin membranous terbentuk dari mesoderm disekitar
labirin membranous. Jaringan mesodermal ini mengalami regresi dan berubah menjadi
prekartilag, kemudian berubah lagi menjadi retikulum vascular longgar.
Neuroblas ganglion koklear akan terpisah dari epitelium neural otik dan serabut dari
badan sel ganglion ini mulai tumbuh secara perifer kembali ke epitelium otk dan secara
sentral ke brainstem pada sekitar usia ke 9-10 kehamilan. Perkembangan telinga dalam
tidak tergantung pada stimulus neural ataupun efek tropik. Hal ini menjelaskan mengapa
koklear dapat tetap normal pada kasus aplasia nervus vestibulokoklear.
36
Modul I.6 Kelainan Kongenital Telinga
malformasi yang paling parah, seperti aplasia total dari aplasia labirin dan rongga umum
terjadi karena gangguan pada awal perkembangan otik pit dan kista otik. Kanalis
semisirkularis lateral merupakan organ yang terakhir terbentuk, menjelaskan mengapa
kasusnya paling banyak, tapi tidak parah secara klinis. Namun, jelas terbukti bahwa
mayoritas malformasi telinga dalam terjadi secara genetikdan bukan gangguan proses
embriologis. Levent Sennaroglu memperkenalkan klasifikasi malformasi koklear yang
lebih praktis pada tahun 2002, yang membantu operator untuk mengetahui apakah
implantasi koklear atau batang otak mungkin dilakukan dan mengingatkan akan bahaya
yang mungkin terjadi, seperti bocornya cairan serebrospinal, resiko terjadinya meningitis,
lengkung abnormal nervus fascialis, dll.
2.1 Kanalis semisirkularis
Malformasi kanal yang paling sering terjadi di kanalis semisirkularis lateral, karena
merupakan organ yang paling terakhir terbentuk. Hal ini juga menjelaskan mengapa
malformasi kanalis semisirkularis posterior dan superior dengan kanalis semisirkularis
lateralis yang normal sangat jarang terjadi. Malformasi yang halus kadang terjadi tanpa
adanya gejala klinis, seperti kanal yang besar tapi pendek, kanal yang sempit, kanal
dengan sudut lebih banyak atau ampulla yang membesar dan kadang kanal yang menyatu
sebagian bisa ditemukan tanpa adanya temuan klinis yang berarti. Meski begitu, seluruh
kelainan ini harus tetap dideteksi dan dilaporkan karena dapat membantu untuk melihat
apakah terdapat malformasi telinga dalam yang tidak terlihat. Laporan ini juga membantu
operator saat berurusan dengan telinga yang lebih rentan dan memiliki risiko tinggi
mengalami tuli pasca operasi, kanalis semisirkularis lateral dianggap sudah membesar
apabila bagian posteromedialnya lebih lebar dari 1.8mm. Terkadang terlihat juga suatu
kavitas yang terdiri dari vestibulum dan kanalis semisirkularis lateral. Malformasi ini
disebut displasia kanalis semisirkularis lateral vestibulum. Biasanya tidak ada malformasi
telinga dalam lainnya dan secara klinis sulit diketahui. Malformasi ini dapat terjadi secara
bilateral. Bila terjadi bersamaan dengan malformasi telinga dalam lainnya, malformasi
ini tidak lagi disebut sebagai displasia kanalis semisirkularis lateralis vestibulum. Aplasia
kanalis atau duktus semisirkularis total atau sebagian lebih jarang terjadi dan dapat atau
tidak dapat berhubungan dengan malformasi koklear.
Tidak adanya kanalis semisirkularis pada MRI tehnik T-2 weighted harus dicek ulang
dengan CT-Scan dimana obliterasi serabut atau ossifikasi kanal dapat menyerupai
37
Modul I.6 Kelainan Kongenital Telinga
apalasia pada MRI. Tidak adanya kanalis semisirkularis dengan koklear yang normal
selalu akan dihubungkan dengan suatu sindrom yang dikenal sebagai CHARGE (
Coloboma, Heart Disease, Atresia Choanae, Retarded Growth and Development, Genital
Hypoplasia, Ear Abnormalities). Sebagian kasus terjadi akibat mutasi pada gen CHD7
(kromosom 8) dan bisa diturunkan secara autosomal dominan. Aplasia yang hanya terjadi
pada duktus semisirkularis superior terjadi pada pasien dengan sindrom Alagille dan
Waardenburg. Aplasia yang hanya terjadi pada kanalis semisirkularis posterior dilaporka
terjadi akibat adanya paparan dengan obat thalidomide selama masa kehamilan. Dehisens
kanalis semisirkularis superior dipertimbangkan sebagai abnormalitas tumbuh-kembang,
Meskipun tulang tipis abnormal di atas kanal superior pada sekitar 1-2% dari keseluruhan
populasi mempengaruhi perkembangannya. Tekanan yang terus menerus dari lobus
temporal dan aliran cairan sereebrospinal serta adanya trauma dapat mengganggu tulang
tipis ini dan hal ini menjelaskan mengapa kasus ini biasa terdiagnosis pada usia sekitar
45 tahun. Hal ini menciptakan energi suara dari window baru, yang sebelumnya hanya
ada oval window dan round window. Energi suara ini ditransmisikan ke labirin vestibular
dan menstimulai sel rambut untuk membentuk suara yang dapat menginduksi terjadinya
vertigo atau nistagmus, yang disebut Fenomena Tullio.
2.2 Malformasi Vestibular
Anomali tersering dari vestibular dan struktur utrikulus sakulus biasanya berkaitan
dengan malformasi telinga dalam. Deformitas sendiri atau pembesaran vestibulum lebih
jarang terjadi. Saat membesar, bagian posterior dari vestibular meluas lebih jauh ke
posterior daripada bagian paling posterior dari kanal semisirkularis lateral. Kanalis
semisirkularis lateral menjadi lebih pendek saat vestibular membesar dan mulai
berasimilasi dengan vestibula. Vestibular dapat dikatakan membesar apabila pada CT-
Scan permukaan bone island disekita kanalis semisirkularis lateral menurun menjadi 6
mm2 . pada pasien yang mengkonsumsi thalidomide dilaporkan kejadian pembesaran
vestibular tanapa asimilasi dengan kanais semisirkularis lateral.
Aplasia labirin merupakan malformasi telinga dalam yang paling parah, dikenal sebagai
deformitas Michel. Pada kasusu yang sangat jarang, koklea, vestibula dan semikanalis
38
Modul I.6 Kelainan Kongenital Telinga
sirkularis, aquaduktus vestibular dan aquaduktus koklear tidak ditemukan. Aplasia labirin
dapat berkaitan dengan aplasia tulang petrous dan pada pasien-pasien ini kanalis auditori
interna tidak ada. Saat kanalis auditori interna ditemukan, biasanya hanya berisi nervus
fascialis. Nervus vestibulokoklear tidak ditemukan pada pasien dengan aplasia labirin dan
39
Modul I.6 Kelainan Kongenital Telinga
hugging electrode dengan ring komplit harus digunakan. Vestibular mengalami dilatasi
dan akuaduktus vestibular seringnya normal tetapi terdapat defek diantara koklea dan
fundus kanalis auditori interna akibat tidak adanya modiulus . defek ini mengakibatkan
tekanan cairan serebrospinal bertransmisi ke ruang perilipa dan mengakibatkan semburan
telinga saat dilakukan implantasi koklea. Oleh karena itu, operatordapat menggunakan
elektroda yang dibuat sendiri dengan tipe cork cincin silikon.
Tipe II :
Hanya bagian basal dari modiulus yang ditemukan pada kolea tipe II, tidak ditemukan
modiulus dan septa interscalar pada bagian apeks koklear. Hal ini menyebabkan adanya
gambaran kistik pada apeks koklear akibat pertemuan belokan apeks dan medial.
Perubahan koklear yang mirip dideskripsikan juga oleh Mondini dan dikenal dengan
nama deformitas mondini. Deformitas mondini terjadi saat kelainan koklear ini
berhubungan dengan adanya dilatasi vestibular dan akuaduktus vestibular yang besar. Sel
ganglion spiral ditemukan pada bagian basal koklear yang normal, oleh karena itu,
stimulasi yang baik dengan elektroda yang diletakkan di belokan basal yang normal dapat
dilakukan pada kasus ini.
Tipe III :
Abnormalitas koklear tipe III ini itemukan pada pasien dengan tuli yang berkaitan dengan
kromosom X. modiulus sama sekali tidak ditemukan, septa interskalar ditemukan pada
dinding lateral koklea. Dimensi luar koklea normal dan terletak pada lateral ujung fundus
kanalis auditori interna dan tidak pada posisi normalnya yaitu anterolateral fundus kanalis
auditori intern. Elektroda full-ring short, yang membuat satu putaran pada koklea
merupakan jenis yang tepat untuk kasus ini. Elektroda normal yang panjang berisiko
untuk kasuk ke kanalis auditori interna.
2.3.5 Hipoplasia koklear
Pada hypoplasia koklear, dimensi luar dari koklea lebih kecil dari normal. Sulit untuk
menghitung ukuran pastinya melalui CTScan dan MRI. Elektroda yang lebih pendek
biasanya digunakan untuk pasien-pasien ini. Terdapat tiga tipe hypoplasia koklear dapat
dibedakan dengan klasifikasi Sennaroglu.
Tipe I atau koklea seperti kuncup : koklea terlihat seperti kuncup kecil yang terletak di
lateral ujung kanalis auditori interna. Modiulus dan septainterskalar tidak ditemukan.
40
Modul I.6 Kelainan Kongenital Telinga
Tipe II atau koklea hipoplastik kistik : dimensi koklea lebih kecil dari normal, tetapi
arsitektur ekternalnya normal modiulus dan septa interskalar tidak ada dan terdapat
koneksi yang luas diantara koklea dan kanalis auditori interna, akuaduktus vestibular
membesar dan vestibular sedikit mengalami dilatasi. Pada pasien ini semburan telinga
dapat terjadi dan juga terdapat risiko bahwa elektroda bisa masuk ke kanalis auditori
interna.
Tipe III atau koklea kurang dari dua putaran : modiulus lebih kecil dan panjang septa
scalar berkurang, menyebabkan kurangnya putaran .koklea memiliki arsitektur internal
dan eksternal yang normal dan biasanya terjadi bersamaan dengan hipolasia vestibular
dan kanalis semisirkularis.
Daftar pustaka
1. Jafek BW, Nager GI, Strife J. et al. Congenital aural atresia: an analysis of 311
cases. 1Tans Am Acad Ophthalmol Otolaryngol 1975;80:588-592.
2. Bellucci RJ. Congenital aural malformations: diagnosis and treat- ment.
Otolaryngol Clin North Am 1981;14:95-124.
3. Jalusdoerfer RA. Congenital atresia of the ear. La1J111goscope
1978;88(Suppl13):1-46.
4. Lambert PR. Congenital absence ofthe oval window. La1J111goscope
1990;100:37-40.
5. Gerhardt HJ, Otto HD. The intratemporal course of the facial nerve and its
influence on the development of the ossicular chain. Acta Otol
41
MODUL UTAMA
OTOLOGI
MODUL I.7
NEOPLASMA TELINGA
EDISI III
KOLEGIUM
ILMU KESEHATAN TELINGA HIDUNG TENGGOROK
BEDAH KEPALA LEHER
2022
DAFTAR ISI
C. REFERENSI ................................................................................................................................1
D. KOMPETENSI ............................................................................................................................2
H. EVALUASI ................................................................................................................................ 12
L. MATERI PRESENTASI......................................................................................................... 21
I.7 Neoplasma Telinga
MODUL I.7
OTOLOGI NEOPLASMA TELINGA
A. WAKTU PEMBELAJARAN
Proses pengembangan kompetensi Alokasi waktu
Sesi dalam kelas 6 x 60 menit (classroom session)
Sesi praktikum 6 x 60 menit (coaching session)
Sesi praktik dan pencapaian kompetensi 6 x 60 menit (facilitation and
assessment)
B. PERSIAPAN SESI
1. Bahan penunjang presentasi:
a. Power point
b. Video
2. Kasus: Neoplasma telinga luar, tengah dan dalam.
3. Sarana dan alat bantu latih: (disesuaikan dengan pencapaian kompetensi)
a. Penuntun belajar (learning guide): terlampir.
b. Tempat belajar (training setting): instalasi rawat jalan, instalasi rawat inap, kamar
operasi, ruang praktikum.
c. Model/manekin telinga.
d. Komputer/laptop.
e. In focus.
C. REFERENSI
1. Snow, J.B, P. Ashley W. 2009. Ballengers Otorhinolaryngology Head and Neck
Surgery. 17th
2. Gulya, A.J., Lloyd B.M., Dennis S.P. 2010. Glasscock-Shambaugh Surgery of the Ear.
6th -
USA. Connecticut.
3. Chan, Y., John C.G. 2016.
Surgery. 11th Edition. Mc Graw Hill. New York.
1
I.7 Neoplasma Telinga
D. KOMPETENSI
1. Pengetahuan
Setelah mengikuti sesi ini peserta mampu:
a. Menjelaskan anatomi, topografi dan fisiologi telinga luar, tengah dan dalam.
b. Menjelaskan definisi dan patofisiologi lesi jinak dan neoplasma telinga luar, tengah
dan dalam
c. Menjelaskan gambaran klinis dan penatalaksanaan neoplasma telinga luar, tengah
dan dalam.
d. Menegakkan diagnosis lesi jinak dan neoplasma telinga luar, tengah dan dalam.
e. Menjelaskan penanganan lesi jinak dan neoplasma telinga luar, tengah dan dalam
dan komplikasinya sesuai kompetensi.
f. Menjelaskan tindakan bedah pada kasus lesi jinak dan neoplasma telinga luar,
tengan dan dalam.
g. Menjelaskan work-up pasien lesi jinak dan neoplasma telinga luar, tengah dan
dalam.
2. Keterampilan
Setelah mengikuti sesi ini peserta didik diharapkan terampil dalam:
a. Melakukan anamnesis, pemeriksaan fisik dan penunjang pada lesi jinak dan
neoplasma telinga luar, tengah dan dalam.
2
I.7 Neoplasma Telinga
b. Menegakan diagnosis lesi jinak dan neoplasma telinga luar, tengah dan dalam.
c. Melakukan tindakan bedah pada kasus lesi jinak dan neoplasma telinga luar, tengah
dan dalam.
d. Melakukan rujukan bila pada penderita dengan stadium lanjut
3
I.7 Neoplasma Telinga
Kasus 2
Seorang wanita usia 50 tahun datang dengan keluhan telinga kiri berdenyut sejak 1
tahun. Pada pemeriksaan otoskopi tampak membran timpani intak berwarna merah
kebiruan.
Diskusi:
a. Lengkapi anamnesis.
b. Sebutkan pemeriksaan penunjang yang dibutuhkan.
c. Apa diagnosis banding.
d. Bagaimana pengobatannya bila diagnosisnya adalah glomus timpanikum.
Jawaban:
a. Menanyakan keluhan penurunan pendengaran, ada perdarahan atau tidak.
Bagaimana fungsi nervus fasialis, ada paresis atau tidak. Bagaimana keluhan
sistemik, apakah ada nyeri kepala, jantung berdebar, dan berkeringat banyak.
b. Audiometri nada murni, CT scan dan MRI.
c. Glomus timpanikum, kolesteatoma kongenital, kista, granuloma kolesterol.
d. Modalitas terapi dapat surgikal, radiasi, embolisasi maupun kombinasi. Terapi
surgikal melalui pendekatan transkanal bila tumor klas I, mastoidektomi dengan
extended facial recess bila tumor klas II-IV. Radiasi dan embolisasi untuk
mengurangi vaskularisasi.
Kasus 3
Seorang wanita usia 55 tahun datang ke klinik THT dengan keluhan daun telinga kanan
terdapat luka yang tidak sembuh sembuh sejak satu tahun, luka semakin melebar disertai
nyeri. Pada pemeriksaan fisik; lesi tertutup krusta, ketika krusta dilepas tampak ulkus.
Diskusi:
1. Lengkapi anamnesis pada pasien ini.
2. Lengkapi pemeriksaan fisik pada pasien ini.
4
I.7 Neoplasma Telinga
Kasus 4
Seorang laki-laki usia 50 tahun datang ke IGD dengan keluhan wajah merot ke kiri sejak
1 minggu yang lalu. Riwayat sejak satu tahun terakhir keluar cairan dari telinga sebelah
kanan. Cairan warana kuning kadang disertai darah.. Daun telinga kanan terasa lebih
menonjol ke luar. Demam disangkal. Pada pemeriksaan fisik; parese nervus fasialis
kanan, liang telinga terdapat massa, benjolan pada retroarikula kanan.
Diskusi:
1. Lengkapi anamnesis pada pasien ini!
2. Lengkapi pemeriksaan fisik pada pasien ini!
5
I.7 Neoplasma Telinga
Kasus 5
Seorang wanita usia 55 tahun datang ke klinik THT dengan keluhan daun telinga kanan
terdapat luka yang tidak sembuh sembuh sejak satu tahun, luka semakin melebar disertai
nyeri. Pada pemeriksaan fisik; lesi tertutup krusta, ketika krusta dilepas tampak ulkus.
Diskusi:
1. Lengkapi anamnesis pada pasien ini.
2. Lengkapi pemeriksaan fisik pada pasien ini.
3. Apa diagnosis kerja yang paling mungkin pada pasien ini.
6
I.7 Neoplasma Telinga
4. Jelaskan patogenesisnya!
5. Apa komplikasi yang mungkin terjadi?
6. Bagaimana penatalaksanaan pada pasien ini?
Jawaban:
1. Perlu ditanyakan bagaimana awal terbentuknya luka tersebut apakah ada trauma
sebelumnya atau diawali dengan munculnya benjolan, apakah sudah pernah berobat
atau belum. Apakah penderita mempunyai riwayat DM. Apakah sebelumnya ada
benjolan berwarna hitam (nevus pigmentosus). Apakah luka disertai dengan keluhan
lain seperti nyeri, luka mudah berdarah, apakah luka cepat membesar/meluas.
Apakah pekerjaan penderita tersebut, bila seorang petani, paparan sinar matahari
sebagai faktor risiko.
2. Bagaimana ukuran lesi dan gambaran lesinya.
3. Diagnosis kerja adalah karsinoma sel skuamosa .
4. Paparan sinar matahari sebagai faktor risiko.
5. Komplikasi metastase ke kelenjar limfe leher meskipun jarang.
6. Pada pasien ini dilakukan biopsi untuk pemeriksaan histopatologi dan dilakukan
eksisi dengan tepi bebas tumor. Lesi yang kecil dieksisi dan dilakukan rekonstruksi,
sedangkan lesi yang besar dilakukan aurikulektomi total.
Kasus 6
Seorang laki-laki usia 50 tahun datang ke IGD dengan keluhan wajah merot ke kiri sejak
1 minggu yang lalu. Riwayat sejak satu tahun terakhir kedalam cairan dari telinga
sebelah kanan. Cairan warana kuning kadang disertai darah.. Daun telinga kanan terasa
lebih menonjol ke dalam. Demam disangkal. Pada pemeriksaan fisik; parese nervus
fasialis kanan, liang telinga terdapat massa, benjolan pada retroarikula kanan.
Diskusi:
1. Lengkapi anamnesis pada pasien ini!
2. Lengkapi pemeriksaan fisik pada pasien ini!
3. Apa diagnosis kerja yang paling mungkin pada pasien ini?
7
I.7 Neoplasma Telinga
4. Jelaskan patogenesisnya!
5. Apa komplikasi yang mungkin terjadi?
6. Bagaimana pemeriksaan dan penatalaksanaan pada pasien ini?
Jawaban:
1. Apakah ada riwayat otore sebelumnya? Apakah terasa nyeri, terus-menerus dan
semakin berat? Apakah disertai pusing berputar atau gangguan kesimbangan dan
kurang pendengaran? Apakah sakit ketika membuka mulut? Sudah berapa lama
muncul benjolan di liang telinga dan belakang telinga?
2. Ukuran dan konsistensi benjolan. Warna dan bentuk massa pada liang telinga.
Warna cairan telinga. Derajat parese nervus fasialis. Kelenjar limfe leher.
3. Diagnosis kerja adalah tumor ganas telinga tengah. Diagnosis banding OMSK
disertai kolesteatoma.
4. Tumor yang mengivasi ke tulang temporal ditandai dengan parese nervus fasialis.
5. Komplikasi metastase ke kelenjar limfe leher, invasi ke labirin, metastase
intrakranial, parese nervii kranialis. Destruksi sendi temporomandibula.
6. Pada pasien ini dilakukan pemeriksaan THT (inspeksi, palpasi, otoskopi,
pemeriksaan kelenjar limfe leher), tes fungsi nervus facialis, pemeriksaan CT Scan/
MRI temporal sebelum dilakukan biopsi, Penderita dirujuk ke dokter yang lebih
kompeten.
F. TUJUAN PEMBELAJARAN
Tujuan Pembelajaran Umum
Setelah mengikuti sesi ini peserta didik terampil dalam:
a. Mampu menegakkan diagnosis klinis berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik dan
pemeriksaan penunjang pada kasus lesi jinak dan neoplasma telinga luar, tengah dan
dalam.
b. Mampu memutuskan dan menangani kasus lesi jinak dan neoplasma telinga luar,
tengah dan dalam sesuai kompetensi.
Tujuan Pembelajaran Khusus
8
I.7 Neoplasma Telinga
Setelah mengikuti sesi ini peserta didik akan memiliki kemampuan untuk:
a. Menjelaskan anatomi, topografi dan fisiologi telinga luar, tengah dan dalam
b. Menjelaskan definisi dan patofisiologi lesi jinak dan neoplasma telinga luar, tengah
dan dalam.
c. Menjelaskan gambaran klinis lesi jinak dan neoplasma telinga luar, tengah dan
dalam.
d. Melakukan biopsi pada kasus lesi jinak dan neoplasma telinga luar, tengah dan
dalam.
e. Melakukan penanganan bedah pada lesi jinak dan neoplasma telinga luar, tengah
dan dalam sesuai kompetensi.
f. Melakukan follow up pasien lesi jinak dan neoplasma telinga luar, tengah dan dalam.
g. Melakukan rujukan bila pada penderita dengan stadium lanjut.
G. METODE PEMBELAJARAN
Tujuan 1. Menjelaskan anatomi, histologi, topografi dan fisiologi telinga luar,
tengah dan dalam.
Untuk mencapai tujuan ini maka dipilih metode pembelajaran berikut ini:
Belajar mandiri.
Diskusi kelompok.
Harus diketahui:
Anatomi, histologi, dan topografi telinga luar, tengah dan dalam.
Fisiologi telinga luar, tengah dan dalam.
Tujuan 2. Menjelaskan definisi dan patofisiologi lesi jinak dan neoplasma telinga
luar, tengah dan dalam.
Untuk mencapai tujuan ini maka dipilih metode pembelajaran berikut ini:
Belajar mandiri.
Tinjauan pustaka.
Diskusi kelompok.
Harus diketahui:
9
I.7 Neoplasma Telinga
Tujuan 3. Menjelaskan gambaran klinis lesi jinak dan neoplasma telinga luar,
tengah dan dalam.
Untuk mencapai tujuan ini maka dipilih metode pembelajaran berikut ini:
Belajar mandiri.
Tinjauan pustaka.
Kuliah.
Diskusi kelompok.
Harus diketahui:
Gambaran klinis (gejala dan tanda) lesi jinak dan neoplasma telinga luar,
tengah dan dalam.
Pencitraan telinga luar, tengah dan dalam.
Tujuan 4. Melakukan biopsi pada kasus lesi jinak dan neoplasma telinga dan
tulang temporal.
Untuk mencapai tujuan ini maka dipilih metode pembelajaran berikut ini:
Belajar mandiri.
Kuliah.
Diskusi kelompok.
Praktikum.
Bedside teaching.
Praktik pada pasien.
Harus diketahui:
Prosedur biopsi lesi jinak dan neoplasma telinga luar, tengah dan dalam.
Komplikasi tindakan biopsi lesi jinak dan neoplasma telinga luar, tengah
dan dalam.
Tujuan 5. Melakukan penanganan bedah pada lesi jinak dan neoplasma telinga
luar, tengah dan dalam sesuai kompetensi.
10
I.7 Neoplasma Telinga
Untuk mencapai tujuan ini maka dipilih metode pembelajaran berikut ini:
Belajar mandiri.
Kuliah.
Diskusi kelompok.
Praktikum.
Bedside teaching.
Praktik pada pasien.
Harus diketahui:
Prosedur tindakan bedah pada lesi jinak dan neoplasma telinga luar, tengah
dan dalam sesuai kompetensi.
Komplikasi tindakan bedah pada lesi jinak dan neoplasma telinga luar,
tengah dan dalam.
Tujuan 6. Melakukan follow up pasien lesi jinak dan neoplasma telinga luar,
tengah dan dalam.
Untuk mencapai tujuan ini maka dipilih metode pembelajaran berikut ini:
Belajar mandiri.
Kuliah.
Diskusi kelompok.
Bedside teaching.
Praktik pada pasien.
Harus diketahui:
Hal-hal yang harus diperhatikan pada pasien dengan lesi jinak dan
neoplasma telinga luar, tengah dan dalam.
Edukasi yang perlu diberikan pada pasien.
11
I.7 Neoplasma Telinga
Diskusi kelompok.
Bedside teaching.
Praktik pada pasien.
Harus diketahui:
Stadium lesi jinak dan neoplasma telinga luar, tengah dan dalam.
Kondisi kegawatdaruratan pada lesi jinak dan neoplasma telinga luar,
tengah dan dalam.
H. EVALUASI
1. Pada awal pertemuan dilaksanakan pretest dalam bentuk tertulis dan lisan sesuai
dengan tingkat masa pendidikan yang bertujuan untuk menilai pengetahuan awal
yang dimiliki peserta didik dan untuk mengidentifikasi kekurangan yang ada. Materi
pretest terdiri atas:
a. Anatomi dan fisiologi telinga luar, tengah dan dalam.
b. Pemeriksaan fisik/THT/penunjang
c. Penegakan diagnosis.
d. Penatalaksanaan.
2. Selanjutnya dilakukan diskusi bersama dengan fasilitator untuk membahas
kekurangan yang teridentifikasi, membahas isi dan hal-hal yang berkenaan dengan
penuntun belajar.
3. Peserta didik diwajibkan untuk mengaplikasikan langkah-langkah yang tertera dalam
penuntun belajar melalui metode bedside teaching kepada pasien sesungguhnya
dengan pengawasan fasilitator dan mengisi formulir penilaian sebagai berikut:
a. Perlu perbaikan: pelaksanaan belum benar atau sebagian langkah tidak
dilaksanakan.
b. Cukup: pelaksanaan sudah benar tetapi tidak efisien, misal pemeriksaan
terdahulu lama atau kurang memberi kenyamanan kepada pasien.
c. Baik: pelaksanaan benar dan baik (efisien).
4. Melakukan case based discussion (formulir penilaian terlampir).
5. Peserta didik diberi masukan dan bila diperlukan diberi tugas yang dapat
memperbaiki kinerja (task-based medical education).
6. Pencapaian pembelajaran:
a. Ujian akhir stase, setiap divisi/unit kerja oleh masing-masing sentra
pendidikan.
12
I.7 Neoplasma Telinga
2. Tengah pembelajaran
Soal
a. Apakah adenoma? Sebutkan macamnya!
b. Sebutkan diagnosis banding osteoma dan pemeriksaan yang diperlukan!
c. Bagaimana etiopatogenesis eksostosis?
Essay/ujian Lisan/Ujian Sumatif
Bagaimana penatalaksanaan lesi jinak liang telinga?
13
I.7 Neoplasma Telinga
PENUNTUN BELAJAR
BIOPSI NEOPLASMA DAUN TELINGA
Nilailah kinerja setiap langkah yang diamati menggunakan skala sebagai berikut.:
1 Perlu perbaikan: langkah tidak dikerjakan atau tidak sesuai dengan yang seharusnya
atau urutannya tidak sesuai (jika harus berurutan)
2 Mampu: langkah dikerjakan sesuai dengan yang seharusnya dan urutannya (jika harus
berurutan). Pelatih hanya membimbing untuk sedikit perbaikan atau membantu untuk
kondisi di luar normal
3 Mahir: langkah dikerjakan dengan benar, sesuai urutannya dan waktu kerja yang sangat
efisien
T/D Langkah tidak diamati (penilai menganggap langkah tertentu tidak perlu diperagakan)
14
I.7 Neoplasma Telinga
- Rencana Tindakan
- Persiapan Sebelum Tindakan
II. PROSEDUR BIOPSI
- Cuci tangan, mengenakan sarung tangan steril.
- Tindakan aseptik pada daerah tumor dan
sekitarnya dengan povidon iodine.
- Biopsi dengan mikrobiopsi forcep.
- Evaluasi luka biopsi, kendali perdarahan dan rawat luka
biopsi.
PENUNTUN BELAJAR II
PROSEDUR RESEKSI NEOPLASMA LIANG TELINGA
Nilailah kinerja setiap langkah yang diamati menggunakan skala sebagai berikut
1. Perlu perbaikan: langkah tidak dikerjakan atau tidak sesuai dengan yang
seharusnya atau urutan tidak sesuai (jika harus berurutan)
2. Mampu: langkah dikerjakan sesuai dengan yang seharusnya dan urutannya (jika
harus berurutan) pelatih hanya membimbing untuk sedikit perbaikan atau
membantu untuk kondisi di luar normal
3. Mahir: langkah dikerjakan dengan benar, sesuai urutannya dan waktu kerja yang
sangat efisien
T/D Langkah tidak diamati (penilai menganggap langkah tertentu tidak perlu diperagakan)
15
I.7 Neoplasma Telinga
K. DAFTAR TILIK
DAFTAR TILIK PENILAIAN KINERJA
KANALOPLASTI
Berikan penilaian tentang kinerja psikomotorik atau keterampilan yang diperagakan oleh
peserta pada saat melaksanakan statu kegiatan atau prosedur, dengan ketentuan seperti
yang diuraikan dibawah ini:
: Memuaskan: Langkah atau kegiatan diperagakan sesuai dengan prosedur atau
panduan standar
: Tidak memuaskan: Langkah atau kegiatan tidak dapat ditampilkan sesuai dengan
prosedur atau panduan standar
T/T: Tidak Ditampilkan: Langkah, kegiatan atau keterampilan tidak diperagakan oleh
peserta selama proses evaluasi oleh pelatih
16
I.7 Neoplasma Telinga
17
I.7 Neoplasma Telinga
DAFTAR TILIK II
PROSEDUR RESEKSI NEOPLASMA LIANG TELINGA
Berikan penilaian tentang kinerja psikomotorik atau keterampilan yang diperagakan oleh
peserta pada saat melaksanakan statu kegiatan atau prosedur, dengan ketentuan seperti
yang diuraikan dibawah ini:
: Memuaskan: Langkah atau kegiatan diperagakan sesuai dengan prosedur atau
panduan standar
: Tidak memuaskan: Langkah atau kegiatan tidak dapat ditampilkan sesuai dengan
prosedur atau panduan standar
T/T: Tidak Ditampilkan: Langkah, kegiatan atau keterampilan tidak diperagakan oleh
peserta selama proses evaluasi oleh pelatih
18
I.7 Neoplasma Telinga
19
I.7 Neoplasma Telinga
20
I.7 Neoplasma Telinga
L. MATERI PRESENTASI
NEOPLASMA TELINGA LUAR
21
I.7 Neoplasma Telinga
22
I.7 Neoplasma Telinga
23
I.7 Neoplasma Telinga
24
I.7 Neoplasma Telinga
25
I.7 Neoplasma Telinga
26
I.7 Neoplasma Telinga
27
I.7 Neoplasma Telinga
28
I.7 Neoplasma Telinga
29
I.7 Neoplasma Telinga
30
I.7 Neoplasma Telinga
31
I.7 Neoplasma Telinga
32
I.7 Neoplasma Telinga
33
I.7 Neoplasma Telinga
34
I.7 Neoplasma Telinga
35
I.7 Neoplasma Telinga
36
I.7 Neoplasma Telinga
37
I.7 Neoplasma Telinga
38
I.7 Neoplasma Telinga
39
I.7 Neoplasma Telinga
40
I.7 Neoplasma Telinga
41
I.7 Neoplasma Telinga
42
I.7 Neoplasma Telinga
43
I.7 Neoplasma Telinga
44
I.7 Neoplasma Telinga
45
I.7 Neoplasma Telinga
46
I.7 Neoplasma Telinga
47
I.7 Neoplasma Telinga
48
I.7 Neoplasma Telinga
49
I.7 Neoplasma Telinga
50
I.7 Neoplasma Telinga
51
I.7 Neoplasma Telinga
M. MATERI BAKU
Modul ini dikhususkan untuk tumor-tumor yang jarang ditemukan dan yang relatif
sedikit diketahui. Beberapa ahli bedah mungkin tidak pernah menemukan ini selama
kehidupan profesional mereka. Tujuan modul ini pertama, untuk memberikan informasi yang
cukup untuk ahli bedah sehingga kondisi yang tidak jelas ini dapat dicurigai dari sejak tahap
awal. Kedua, untuk memberikan gambaran tentang apa yang dianggap menjadi manajemen
terbaik untuk neoplasma yang jarang ini.
Neoplasma telinga (tulang temporal dan telinga) juga dapat diklasifikasikan berdasarkan
lokasi anatominya, di antaranya neoplasma pinna, CAE, telinga tengah dan mastoid, tulang
temporal dan cerebellopontine angle (CPA). Pada umumnya karsinoma dari aurikulum dan
meatus eksternus akan lebih mudah didiagnosis sehingga baik prognosisnya, sedangkan pada
telinga tengah, mastoid dan dasar tengkorak diagnosis dan pengobatannya menjadi lebih sulit
dan prognosisnya menjadi buruk.
52
I.7 Neoplasma Telinga
Gambar 1. Osteoma: unilateral, singular, ditemukan di liang telinga lateral, tampak bertangkai
(pedunculated)
53
I.7 Neoplasma Telinga
2. Eksostosis
Eksostosis merupakan pertumbuhan tulang di (kanalis akustikus eksternus) KAE
dengan basis yang lebar, timbul di sekitar sekeliling bagian medial tulang KAE. Tampak
sebagai lesi multipel dan seringkali bilateral. Kebanyakan pasien terdiagnosis di usia remaja
atau dewasa muda dan lebih sering didapatkan pada laki-laki.
Berhubungan erat dengan paparan air dingin
diduga terjadi akibat cold-induced periostitis. Kebanyakan asimtomatik
sampai KAE tertutup penuh atau sebagian.
Tata laksana pembedahan untuk eksostosis lebih menyulitkan dibandingkan osteoma.
Biasanya menggunakan pendekatan post aurikular dan disarankan untuk monitor n.fasialis
karena n.fasialis pars mastoid bagian distal berisiko mengalami cedera pada saat membuang
sisi posteroinferior KAE dengan burr. Skin flaps dibuat sebelum memaparkan bagian lesi
tulang baru kemudian eksostosis dibuang dengan burr sambal tetap mempertahankan kulit
liang telinga. Split thickness skin graft mungkin diperlukan untuk mencegah pembentukan
jaringan parut post operatif.
Gambar 2 Eksostosis, didapatkan di liang telinga sebelah medial, biasanya multipel dan bilateral dan
tidak bertangkai (sessile)
3. Adenoma seruminosa
54
I.7 Neoplasma Telinga
4. Adenoma pleomorfik
Adenoma pleomorfik KAE serupa dengan neoplasma kelenjar ludah, merupakan
tumor jinak, laki-laki dan perempuan 1:1, usia rata-rata saat terdiagnosis adalah 51 tahun.
NEOPLASMA GANAS
1. Karsinoma Sel Basal (Basal Cell Carcinoma)
Aurikula mempunyai resiko yang meningkat terhadap keganasan disebabkan karena
terpaparnya dalam waktu yang lama pada sinar matahari. Keganasan ini terdapat pada sekitar
6 % dari keganasan pada kulit. Selain faktor paparan sinar matahari, terdapat juga faktor
predisposisi lain seperti tingkat pigmentasi yaitu lebih sering pada orang kulit putih-rambut
pirang jarang pada kulit hitam.
Mempunyai riwayat paparan sinar matahari, biasanya pada orang tua, lelaki lebih
banyak dari wanita (2:1). Ditemukan pada orang kulit putih. Kebanyakan basal sel karsinoma
55
I.7 Neoplasma Telinga
terjadi di aurikula atau area periaurikular karena banyak terpapar sinar matahari dan hanya
sekitar 15% didapatkan di KAE.
Gambaran klinik berupa gambaran ulserasi dengan tepi yang meninggi, tidak nyeri,
berbatas tegas, tetapi dapat berupa nodul atau plaque. Sering ditemukan pada heliks dan
anterior aurikula.
Karsinoma sel basal (BCCA) pada telinga merupakan neoplasma yang
pertumbuhannya lambat dan diagnosis dapat segera ditegakkan melalui inspeksi dan biopi.
Bila tidak diterapi, keganasan low grade ini semakin lama akan semakin membesar dan
menginfiltrasi ke perifer ke jaringan periauricular atau ke arah medial menuju ke KAE,
telinga tengah dan mastoid. Perluasan ke tulang temporal dapat tidak terdeteksi sampai
keganasan berkembang menjadi sangat lanjut.
Karsinoma sel basal paling baik ditatalaksana dengan pembedahan (eksisi komplit),
namun rekurensinya tinggi dibandingkan dengan BCCA daerah kepala leher lainnya karena
sering terjadi invasi yang dalam. Bedah mikrografik Mohs tampaknya menjadi teknik yang
paling berhasil untuk meminimalisir rekurensi dan mempertahankan jaringan non neoplastik.
Terapi radiasi digunakan sebagai terapi paliatif atau sebagai terapi tambahan untuk tumor
yang luas atau rekuren.
Patologi
56
I.7 Neoplasma Telinga
Ada berbagai jenis tumor yang timbul pada telinga luar dan tulang temporal, namun
yang tersering adalah karsinoma sel skuamosa. Jenis lainnya adenoid cystic carcinoma,
adenocarcinoma, basal sel karsinoma, melanoma. Embryonal rhabdomyosarcoma mungkin
dijumpai pada anak anak. Tumor seringkali berasal dari liang telinga dan meluas ke telinga
tengah.
Gejala klinik
Diagnosis seringkali terlambat, tanda dan gejala mirip dengan OMSK dengan cairan
yang keluar disertai darah. Tumor menyebar menginvasi tulang sehingga dapat mengenai
nervus VII, temporomandibular joint, labirin dan tuba Esustachii dengan ditandai adanya
parese otot wajah, kesulitan atau terasa sakit ketika membuka mulut, kurang pendengaran.
Rasa sakit yang progresif, sulit diredakan dengan analgetik.
Pemeriksaan penunjang
Biopsi, foto mastoid (posisi Schuller), audiometri dan CT scan temporal untuk
melihat perluasan tumor.
Penyebaran
Kelenjar parotis dan fossa infratemporalis berada di anterior KAE, sementara TMJ
yang berada di fossa glenoid terletak lebih inferior. Foramen Huscke terbentuk sebagai akibat
penutupan tidak sempurna dari tulang timpanik di anterior sementara fissures of Santorini
merupakan defek kecil yang terletak di anterior kanal kartilago. Defek di dinding anterior
tersebut menjadi rute potensial untuk penyebaran tumor ke struktur di anterior KAE. Bagian
medial KAE yaitu membran timpani memberikan sedikit resistensi untuk tumor menginvasi
ke cavum timpani. Dinding posterior kanal dan atap KAE memberikan barrier terhadap
penyebaran tumor, namun bila barrier ini ditembus bagian posterior akan melibatkan kavum
mastoid dan kanal fallopian di posterior serta fossa media di superior.
57
I.7 Neoplasma Telinga
Gambar 3. Tumor di CAE secara mudah menyebar melalui fisura anatomik di dinding anterior CAE. Setelah
melewati batas kanal, tumor dapat meluas ke fossa infratemporal (A), fossa glenoid atau fisura
pterygomaksilaris (B) dan kelenjar parotis (C). Jalur ke anterior ini seringkali menjadi tempat terjadinya
rekurensi atau persistensi tumor.
Staging
Belum diterimanya protokol staging dari AJC atau UICC untuk keganasan pada
tulang temporal dan telinga. Ini mungkin dengan pertimbangan heterogenitas histopatologi
yg menyebabkan kesulitan dalam mengidentifikasi asal dari tumor tersebut. Salah satu sistem
staging yg sering dipergunakan adalah yang berasal dari University of Pittsburgh, yang
mengevaluasi klinik dan radiologik.
58
I.7 Neoplasma Telinga
T4 Tumor mengerosi koklea, apeks petrosus, dinding medial telinga tengah, kanal
karotid, foramen jugulare atau dura atau dengan keterlibatan jaringan lunak
yang luas (>0.5 cm)
N Prognosis buruk bila didapatkan keterlibatan kelenjar limfe dan secara otomatis
masuk dalam stadium lanjut misal stadium III (T1,N1) atau stadium IV
(T2,3,4,N1)
M Metastasis jauh mengindikasikan prognosis yang buruk dan secara langsung
masuk kategori stadium IV
Penatalaksanaan
Operasi dilanjutkan dengan radioterapi adalah pilihan utama. Tindakan operasi adalah
dengan mereseksi en bloc tumor dan dengan sebisa mungkin mempertahankan fungsi
pendengaran dan nervus fasialis. Sleeve resection hanya dilakukan untuk tumor pinna
primer dengan batas bebas tumor yang bersih.
a. T1
Lateral temporal bone resection (LTBR).
Parotidektomi superfisial bisa dipertimbangkan untuk menilai metastasis KGB
mikroskopik.
Parotidektomi superifisial dapat dipertimbangkan untuk menilai metastasis
mikroskopik ke KGB.
Radiasi postoperasi rutin tidak diperlukan bila tepi bebas tumor didapatkan
hasil PA negatif, bila tidak ada bukti metastas ke KGB dan tidak ada invasi
perineural/limfovaskular.
b. T2
LTBR atau extended LTBR
Parotidektomi
Pertimbangkan kondilektomi terutama untuk tumor di CAE anterior.
Diseksi leher selektif ipsilateral meliputi level 2-4.
Lokoregional vs rekonstruksi (free tissue transfer)*
59
I.7 Neoplasma Telinga
Reseksi total tulang temporal en bloc jarang dikerjakan karena mortalitas operasi dan
morbiditas post operasi yang signifikan. Kasus stadium lanjut yang diterapi dengan LTBR
dilanjutkan dengan kemoradiasi post operasi dilaporkan ketahanan hidupnya (overall
survival) 30-40% (serupa dengan bila dilakukan STBR dan TTBR).
60
I.7 Neoplasma Telinga
Gambar 4. Algoritma Tata Laksana Keganasan KAE dan tulang temporal high grade
Prognosis
Angka ketahanan hidup 5 tahun pasien dengan SCCA tulang temporal dilaporkan
30% dan 45%. Status T yang semakin tinggi berkaitan dengan prognosis yang semakin buruk.
Prognosis buruk bila didapatkan (a) penyebaran ke KGB (N), (b) rekurensi penyakit setelah
terapi definitive (kebanyakan pasien mengalami rekurensi dalam 12 bulan post terapi), (c)
keterlibatan n. fasialis, (d) tidak bisa didapatkan batas operasi bebas tumor (positive surgical
margins).
Crabtree dkk mengusulkan, penanganan yang berhasil dari suatu karsinoma KAE
tergantung pada 4 faktor, yaitu diagnosis dini, penentuan yang tepat dari perluasannya,
61
I.7 Neoplasma Telinga
pembedahan yang adekuat dan radiasi pasca operasi bila spesimen patologi menunjukan tepi
operasi yang tidak bersih.
3. Melanoma
Melanoma maligna hanya sekitar 3% dari tumor ganas kulit namun dilaporkan 75%
kematian akibat tumor ganas kulit disebabkan oleh melanoma. Telinga luar merupakan
tempat asal dari sekitar 10% seluruh melanoma primer di kepala dan leher dan 1% dari
seluruh melanoma, dengan lokasi tersering didapatkan pada helik dan antihelik. Melanoma
primer di KAE sangat jarang ditemukan dan melanoma di telinga tengah tampaknya
merupakan metastase dari tempat lain atau perluasan dari daerah sekitarnya.
Usia rata-rata terdiagnosis melanoma di pinna adalah 50 tahun, tetapi keganasan ini
dapat terjadi pada semua kelompok usia kecuali anak-anak. Lebih sering didapatkan pada
laki-laki dibanding perempuan (3:1) dan individu berkulit putih dengan rambut pirang atau
merah, mata biru dan bintik-bintik di wajah menjadi faktor predisposisi. Paparan sinar
matahari, terutama paparan yang intens dan berulang berperan dalam patogenesis neoplasma
ini. Faktor genetik juga berperan, karena itu keturunan pertama dari pasien dengan melanoma
memiliki risiko dua kali lebih besar mendapatkan melanoma dan familial dysplastic nevus
syndrome juga meningkatkan risiko terjadinya melanoma.
Melanoma pada telinga dibagi menjadi 5 subtipe berdasarkan penampakan potensi
terjadinya invasi dermal.
1. superficial spreading melanoma tipe yang paling sering ditemukan.
2. nodular melanoma tipe yang paling agresif
3. lentigo maligna
4. desmoplastic melanomas rekurensi local tinggi dan sering mengenai perineural
namun jarang bermetastase
5. mucosal melanomas bisa berkaitan dengan tuba eustachius atau meski jarang
dapat juga terjadi primer dari mukosa telinga tengah. Prognosis buruk akibat sering
datang dalam stadium lanjut dan sulit mendapatkan batas daerah operasi yang
adekuat.
62
I.7 Neoplasma Telinga
Diagnosis melanoma dapat dicurigai jika terdapat perubahan warna atau tekstur atau
ukurannya bertambah besar dengan cepat atau ulseratif pada pigmented lesion. Biopsi eksisi
harus segera dikerjakan untuk semua pigmented lesion yang mencurigakan karena melanoma
stadium dini prognosisnya baik (curable)
Prognosis buruk bila didapatkan konfigurasi nodular, ulseratif dan adanya metastase
regional atau metastase jauh. Jika telah mengivasi dermis, kemunkinan metastase regional
atau metastase jauh meningkat. Sepertiga pasien pada saat datang pertama kali sudah
didapatkan keterlibatan kelenjar limfe. Pemetaan sentinel node menggungakan
lymphoscintigrahy preoperative dan injeksi marker intradermal intraoperative dan radioaktif
isoto menjadi metode utama dalam mengidentifikasi kelenjar limfe yang terlibat.
Tata laksana terpilih untuk melanoma maligna adalah eksisi bedah komplit dengan
batas bebas tumor setidaknya 1 cm untuk kedalaman lesi < 2mm dan > 2cm untuk lesi yang
lebih dalam. Bila terdapat ulserasi, ivasi ke kartilago atau rekurensi, full thicknes wedge
resection direkomendasikan. Sleeve resection liang telinga bila meluas ke KAE, bila
perluasan lebih jauh maka dilakukan lateral temporal bone resection. Rekonstruksi
sebaiknya tidak dilakukan sampai batas bebas tumor bersih. Terapi tambahan lainnya
meliputi terapi imunomodulasi, vaksinasi, radioterapi dan kemoterapi meski belum terbukti
meningkatkan ketahanan hidup namun masih terus diteliti.
4. Tumor glandular
Tumor glandular biasanya tampak sebagai massa jaringan lunak yang asimtomatik di
liang telinga. Setelah liang telinga menjadi tertutup oleh massa, dapat timbul tuli konduktif
atau otitis eksterna sekunder. Lesi yang ganas lebih sering tampak ulseratif atau
menyebabkan otalgia. Baik lesi jinak ataupun ganas tumbuh sepanjang jalur dengan resistensi
yang lemah meluas ke lateral (meatus) atau ke medial (membran timpani) menuju telinga
tengah. Tumor ganas yang invasive juga meluas melalu kartilago aurikula dan fissures of
Santorini menuju ke ke kelenjar parotis atau jaringan periaurikula di sekitarnya.
Diagnosis dibuat berdasarkan pemeriksaan mikroskopik spesimen biopsi. Untuk
membedakan tumor seruminosa jinak dan ganas, spesimen biopsi harus cukup besar untuk
63
I.7 Neoplasma Telinga
mengidentifikasi invasi ke jaringan yang lebih dalam selain itu HRCT tulang temporal dan
MRI jaringan lunak lateral skull base juga dapat membedakan.
Lateral temporal bone resection dan radioterapi post operasi dikerjakan untuk lesi
dini. Tumor ganas yang lebih besar memerlukan reseksi tulang temporal yang luas,
parotidektomi dan diseksi kelenjar limfe servikal dan radioterapi post operasi.
a. Adenokarsinoma seruminosa
Merupakan neoplasma yang invasif yang dapat bermetastase ke kelenjar limfe regional.
Secara histologis mirip dengan Adenoma jinak, dibedakan dengan didapatkannya
metastase regional dan perluasan ke jaringan sekitarnya. Lebih sering pada laki-laki, usia
rata-rata terdiagnosis adalah 48 tahun.
b. Adenoid cystic carcinoma
Neoplasma glandular pada KAE yang paling sering didapatkan, secara histologis serupa
dengan tumor ganas kelenjar ludah. Sering ditemukan invasi perineural dan invasi ke
jaringan yang lebih dalam. Metastase kelenjar limfe regional sering terjadi dan dapat
terjadi metastase jauh (paling sering ke paru). Lebih sering didapatkan pada perempuan
dan terdiagnosis rata-rata pada usia 43 tahun. Karena angka rekurensinya tinggi, tata
laksana harus agresif.
Paraganglioma merupakan lesi yang paling sering melibatkan telinga tengah dan
tulang temporal. Namun demikian, diagnosis banding dari lesi jinak tulang temporal sangat
luas. Miringotomi dan biopsi, solusi tradisional untuk masalah ini, seharusnya jarang
diperlukan mengingat kapasitas pencitraan yang sangat baik, yang diberikan oleh CT dan
MRI resolusi tinggi. Embriologi tulang temporal yang luas berkontribusi pada keragaman
berbagai patologi yang diperlihatkan di dalamnya.
Kebanyakan keganasan tulang temporal berawal dari tumor pada meatus eksternus.
Umumnya penderita adalah orang tua dengan gejala seperti gangguan pendengaran,
perdarahan telinga, krusta, gatal dan kadang otore yang berbau.
64
I.7 Neoplasma Telinga
Karena sering ditemukan sebagai otitis eksterna kronis maka tidak terdiagnosis atau
terabaikan untuk jangka waktu lama.
Tumor yang berawal pada pars kartilagineus KAE, cenderung menyebar lebih luas
karena hanya sedikit barrier alami. Sementara tumor pada pars osseus lebih dibatasi tulang
timpani yang kompak dan jaringan fibrous membrana timpani. Namun demikian, bila
perluasan progresif ke arah mastoid dan telinga tengah maka akan cepat meluas ke bagian
perifer dari tulang temporal. Adanya vaskuler dan saraf yang yang melintangi tulang
temporal dan jaringan sekitarnya membuka peluang ekstensi tumor tersebut. Sehingga
deteksi dini tumor ini dan pengobatan akan meningkatkan kontrol dari penyakit tersebut.
Penyakit ini dianggap masih localized bila tidak mencapai mukosa telinga tengah atau tidak
mengenai nervus fasialis. Ekstensi yang terbatas ini memungkinkan reseksi secara en bloc
dari tulang dan kartilago meatus eksternus, bersama-sama osikula dan membrana timpani.
Bila tumor meluas ke mastoid atau menginvasi nervus fasialis maka dianggap telah lanjut
atau tumor yang ekstensif.
Beberapa tumor yang sering ditemukan adalah Karsinoma sel skuamosa, Hans-
Schuller-Christian Syndrome ( Langerhans cell histiocytosis).
NEOPLASMA JINAK
1. Tumor Glomus (Paraganglioma)
Paraganglioma juga dikenal sebagai tumor glomus adalah tumor yang paling umum
didapatkan di telinga tengah dan tumor kedua yang paling umum dari tulang temporal.
Paraganglioma jugulotimpanik memiliki kecenderungan predileksi perempuan dan biasanya
terjadi pada dekade kelima kehidupan.
Tumor ini muncul dari glomus bodies (paraganglioma) yang ditemukan pada tunika
adventitia dari bulbus jugularis dan pada regio nervus Jacobson atau nervus Arnold pada
telinga tengah. Karena sangat dekat hubungan antara struktur ini maka asal dari tumor ini
biasanya sulit untuk ditentukan.
Patogenesis
65
I.7 Neoplasma Telinga
Klasifikasi
Paraganglioma di tulang temporal dapat dibagi menjadi glomus timpanikum dan
glomus jugulare. Glomus timpanikum terutama melibatkan kavum timpani dan muncul di
sepanjang perjalanan n. jacobson. Glomus jugulare timbul dari bulbus jugularis dan
melibatkan struktur di foramen jugularis. Tumor glomus biasanya memiliki pertumbuhan
progresif yang lambat dan menyebar melalui jalur dengan resistensi paling rendah. Namun,
66
I.7 Neoplasma Telinga
lesi lanjut memiliki kemampuan untuk menginvasi saraf kranial. Presentasi klinis dan
manajemen operasi kedua lesi ini sangat berbeda. Varian lain, glomus vagale muncul di
bawah dasar tengkorak di dekat saraf vagus (X) dan mungkin melibatkan tulang temporal
melalui penyebaran retrograde melalui foramen jugularis.
Klasifikasi menurut Fisch dan Glasscock-Jackson membagi tumor glomus menurut
asal, perluasan dan pendekatan pembedahan.
Tabel 3. Skema Klasifikasi Tumor Glomus
Fisch
Tipe A Terbatas di telinga tengah
Tipe B Terbatas di area timpanomastoid dengan keterlibatan
kompartemen infralabyrinthin
Tipe C Keterlibatan kompartermen infralabyrinthin dan apeks
petrosus
C1 keterlibatan sebagian carotid canal
C2 invasi ke bagian vertikal carotid canal
C3 invasi ke bagian horizontal carotid canal, tidak
melibatkan foramen laserum
C4 keterlibatan seluruh bagian carotid intrapetrosus
Tipe D Perluasan ke intracranial
De1 ekstradural, ekstensi < 2 cm
De2 ekstradural, ekstensi > 2 cm
Di1 intradural, ekstensi < 2 cm
Di2 intradural, ekstensi > 2 cm
Di3 intradural, tidak dapat direseksi (unresectable)
Glassock-Jackson
Glomus timpanikum
Tipe I massa kecil terbatas di promontorium
Tipe II tumor mengisi rongga telinga tengah secara komplit
Tipe III tumor mengisi telinga tengah dan meluas ke prosesus
mastoid
Tipe IV tumor mengisi telinga tengah, meluas ke mastoid atau
melalui membran timpani mengisi kanal auditori eksternus;
dapat meluas ke anterior melibatkan arteri karotis internal
Glomus jugulare
Tipe I tumor kecil melibatkan bulbus jugularis, telinga tengah dan
mastoid
Tipe II tumor meluas ke bawah kanal auditori internal, bisa
didapatkan perluasan ke intrakranial
Tipe III tumor meluas ke apeks petrosus, bisa didapatkan perluasan
ke intrakranial
67
I.7 Neoplasma Telinga
Glomus timpanikum
Presentasi klinis glomus tympanikum termasuk pulsatile tinnitus (76%), gangguan
pendengaran (konduktif 52% , campuran 17%, sensorineural 5%), telinga terasa penuh atau
tertekan (18%), vertigo (9%), perdarahan liang telinga (7%) dan sakit kepala (4%). Ketulian
sensorineural dapat terjadi bila telah terjadi invasi ke koklea atau kompresi retrokoklea.
Brown sign terlihat ketika massa telinga tengah berwarna ungu kemerahan berdenyut,
tampak memucat dengan pemberian tekanan positif dengan otoskop pneumatik. Meskipun
sering disebutkan dalam literatur, tanda ini memiliki nilai klinis yang kecil.
Tumor glomus tympanikum terutama ditatalaksana dengan eksisi bedah. Lesi kecil
yang terbatas pada mesotimpanum pada otoscopi dan CT scan, dapat melalui pendekatan
transkanal. Timpanomeatal flap digunakan untuk mengekspose telinga tengah dan EAC
dapat dibor kea rah inferior untuk mengakses ke hipotimpanum. Lesi yang lebih besar
diekspose dengan pendekatan postaurikular dan extended facial-recess approach. Karena
tumor ini cukup vaskular, laser dan kauter bipolar sering digunakan selama reseksi untuk
hemostasis. Pengangkatan tumor secara komplit dicapai pada> 90% kasus dan air-bone gap
normalnya menghilang. Sebagian kecil pasien mungkin mengalami kehilangan pendengaran
sensorineural setelah reseksi.
Glomus jugulare
Berbeda dengan tumor glomus timpanikum yang memberikan gejala lebih awal
karena tumbuh di telinga tengah, tumor glomus jugulare sering dapat tetap tanpa gejala
selama bertahun-tahun. Pertumbuhan ke dalam telinga tengah terjadi pada 70% pasien dan
menyebabkan gejala tinnitus pulsatil yang paling umum, gangguan pendengaran, otalgia dan
rasa penuh di telinga. Pertumbuhannya di foramen jugularis menyebabkan disfungsi lower
cranial nerves sehingga timbul keluhan suara serak, disfagia, dan kelemahan bahu. Vertigo,
kelemahan wajah, dan sakit kepala juga bisa terjadi. Saraf hipoglosus (XII) jarang terlibat,
namun bila terdapat disfungi n.XII menunjukkan indikasi penyakit yang luas.
68
I.7 Neoplasma Telinga
Pada angiografi, suplai arteri primer berasal dari arteri faringeal asenden, meskipun
tumor yang lebih besar mungkin juga memiliki suplai dari cabang arteri karotis eksterna
lainnya, arteri karotis interna dan sistem vertebra-basilar.
Tatalaksana tumor glomus jugulare lebih kompleks daripada tumor glomus
timpanikum karena kedekatannya dengan struktur saraf dan pembuluh darah yang penting.
Tergantung pada ukuran dan lokasi tumor, teknik bedah termasuk matoidektomi CWU atau
CWD, pendekatan translabirin, pendekatan fossa infratemporal, pendekatan transkoklear,
atau kombinasi. Mendapatkan kontrol pembuluh darah di atas dan di bawah lesi adalah
prinsip bedah utama untuk mengontrol perdarahan selama pengangkatan tumor. Defisit saraf
kranial pasca operasi terjadi pada 25-5% kasus, dengan lesi yang lebih besar memiliki insiden
neuropati yang lebih tinggi. Rehabilitasi dengan terapi wicara, medialisasi pita suara dan
reanimasi n.fasialis seringkali efektif. Pasien harus dikonseling tentang risiko operasi serta
risiko defisit fungsional jika tumor dibiarkan tidak dilakukan pengangkatan. Dengan teknik
kontemporer, reseksi bedah memiliki tingkat kekambuhan yang rendah, tingkat kecacatan
yang rendah dan hasil fungsional yang baik.
Stereotacic radiosurgery atau radioterapi diindikasikan pada tumor yang direseksi
tidak lengkap atau yang memiliki margin bedah positif. Beberapa sentra juga menganjurkan
terapi radiasi sebagai terapi lini pertama untuk tumor lanjut atau untuk pasien usia lanjut.
Dua article review besar mendapatkan tingkat kontrol yang serupa untuk tingkat
kekambuhan dan morbiditas antara operasi dan radiasi. Namun kurangnya tindak lanjut
jangka panjang dan kecenderungan untuk memasukkan tumor yang tidak dapat direseksi
dalam kelompok radiasi dapat menyebabkan bias hasil penelitian tersebut. Risiko keganasan
yang disebabkan oleh radiasi harus dipertimbangkan, terutama pada pasien yang lebih muda.
Radiologi
CT scan tanpa dan dengan kontrast, MRI, arteriografi, embolisasi preoperative.
Laboratorium
Urinalisis untuk hematuria, katekolamin urin, kalsium serum dan kalsitonin serum
juga dapat diukur untuk tumor fungsional yang tersembunyi, VHL, dan MEN2 (Multiple
69
I.7 Neoplasma Telinga
Penatalaksanaan
Pembedahan, radioterapi, embolisasi atau kombinasi. Tergantung dari perluasan
tumor maka pembedahan dapat dilakukan melalui pendekatan transmeatal, transmastoid atau
skull base.
Radioterapi tidak menyembuhkan tetapi dapat mereduksi vaskularisasi dan
menghentikan pertubuhan tumor. Radioterapi digunakan pada keadaan tumor yang
inoperable, residual tumor, rekuren atau pada orang tua dimana pembedahan ekstensive dasar
tengkorak tidak diindikasikan .
Embolisasi dapat mengurangi vaskularisasi tumor sebelum pembedahan atau
merupakan terapi tunggal pada penderita yang inoperabel yang menerima radioterapi.
70
I.7 Neoplasma Telinga
merah, vaskular, dan polipoid. Secara mikroskopis, tumor menampakan arsitektur papiler-
kistik, dengan pembentukan vili, dilapisi epitel kolumnar atau kuboid, dengan lapisan sel
myoepithelial atau spindel, dan lumen glandular menyerupai neoplasma tiroid.
Tumor endolymphatic sac harus dibedakan dari adenoma dan adenokarsinoma telinga
tengah, serta tumor karsinoid dan pleksus koroid. Analisis imunohistokimia dapat membantu
dalam diagnosis banding. Sebagai contoh, Levin dan rekannya menunjukkan bahwa, serupa
dengan jaringan endolymphatic sac normal, tumor endolymphatic sac mengekspresikan
sitokeratin, protein S-100, NSE, dan vimentin tetapi bukan glial fibrillary acidic protein
(GFAP). Mergerian dkk menemukan ekspresi marker tumor yang dapat membedakan antara
papilloma pleksus choroid dan tumor endolymphatic sac yaitu transthyretin.
Tumor endolymphatic sac tumbuh lambat dan sering tidak terdiagnosis sampai terjadi
kerusakan lokal dan ICE yang luas; namun, tidak ada tumor yang dilaporkan bermetastasis.
Manifestasi klinis yang khas meliputi tuli sensorineural (tiba-tiba atau progresif) dan
kelumpuhan wajah, dengan gangguan pendengaran didiagnosis bertahun-tahun sebelum
didiagnosis sebagai tumor endolymphatic sac, rata-rata 10,6 tahun. Tumor endolymphatic
sac dapat menyerupai penyakit meniere, memicu gangguan pendengaran, tinitus, dan vertigo
episodik.
Gaffey dkk mendokumentasikan hubungan yang sangat signifikan dari tumor
endolymphatic sac dengan von Hippel-Lindau disease (VHL) (VHL adalah phakomatosis
herediter autosomal dominan, terdiri dari angiomatosis retina dan serebellar). Sekitar 10%
pasien dengan VHL didapatkan tumor endolymphatic sac dan 60% pasien dengan VHL yang
mengalami gangguan pendengaran akan berkembang menjadi tumor endolymphatic sac.
Karena itu perlu untuk dilakukan skrining adanya tumor endolymphatic sac pada pasien
dengan von Hippel-Lindau disease. Demikian pula, pada tumor endolymphatic sac (jika
berhubungan dengan manifestasi utama VHL) harus segera mempertimbangkan diagnosis
VHL. Deteksi dini tumor endolymphatic sac memungkinkan reseksi tumor dengan preservasi
pendengaran.
Pada CT scan, tumor endolymphatic sac muncul sebagai lesi destruktif yang terpusat
di bagian retrolabirintin tulang temporal dan mengandung area kalsifikasi. Temuan MRI
71
I.7 Neoplasma Telinga
mencakup area dengan intensitas sinyal tinggi pada T1 dan T2, serta enhancement dengan
gadolinium.
Eksisi bedah komplit adalah manajemen yang direkomendasikan. Embolisasi tumor
preoperatif dapat mempercepat eksisi bedah. Tindak lanjut jangka panjang disarankan karena
tumor ini dapat kambuh 10 tahun setelah reseksi.
Gambar 5. Tumor papillary agresif tulang temporal (tumor endolymphatic sac). CT aksial
memperlihatkan tumor mengerosi bagian posterior tulang petrosus dan menginvasi (tanda panah) apeks
petrosus yang berdekatan dengan basal koklea. Tumor ini berasal dari endolymphatic sac dan meluas ke
inferior sebelum menginvasi tulang temporal
3. Choristoma
Choristoma merupakan istilah yang digunakan untuk menggambarkan jaringan
normal yang tumbuh di lokasi yang bukan tempat aslinya, terdiri dari sisa jaringan
heterotopik yang secara histologis normal. Bila choristoma didapatkan di telinga tengah,
biasanya merupakan jaringan kelenjar liur, meski kelenjar sebaseus dan jaringan neural juga
pernah dilaporkan. Choristomas kemungkinan berasal dari sisa jaringan kelenjar liur yang
terperangkap di telinga tengah. Sisa jaringan ini berkembang matur menjadi massa kecil
namun tanpa potensi neoplastik. Choristoma berupa massa lobular berwarna pink atau
72
I.7 Neoplasma Telinga
kecoklatan yang terletak di lateral dari prosesus longus inkus dan medial dari manubrium dan
beberapa berkaitan dengan anomali osikel atau bagian intratemporal n. fasialis.
Choristoma biasanya datang dengan keluhan gangguan pendengaran konduktif
unilateral dan massa timpani; branchial cleft dan kelainan n.fasialis juga sering ditemukan,
namun kebanyakan asimtomatik. Membedakannya dari tumor telinga tengah lainnya sulit.
Biasanya tampak sebagai massa di telinga tengah yang tidak sengaja ditemukan saat
pemerikaan otoskopik rutin. Choristomas hanya sediki sekali potensinya untuk tumbuh
membesar dan hanya memerlukan biopsi insisi atau eksisi untuk mengkonfirmasi diagnosis.
Temuan intraoperatif termasuk kelainan osikular dan keterlibatan n.fasialis, dimana
bila didapatkan keterlibatan n.fasialis akan mempersulit eksisi choristoma. Upaya
pembedahan tympanoplasty dan rekonstruksi osikular sama-sama mengalami kegagalan.
Karena choristoma bukan neoplasma sejati dan tidak memiliki potensi agresif, manajemen
konservatif (pengawasan) biasanya direkomendasikan.
4. Hemangioma
Hemangioma adalah neoplasma hamartomatosa yang berasal dari pembuluh darah.
Meskipun jinak, hemangioma menyebabkan gejala yang timbul akibat kompresi struktur
yang berdekatan. Hemangioma terdiri dari hemangiom kapilare dan hemangioma kavernosa.
Hemangioma kapilare biasanya timbul di daerah ganglion genikulatum berhubungan
dengan perigeniculate capillary plexus. Lesi ditandai dengan kelemahan wajah progresif
meskipun jauh lebih kecil daripada neuroma n.fasialis. Tinitus pulsatile muncul dengan
semakin berkembangnya lesi dan dapat mencapai basal koklea bagian atas. CT
memperlihatkan pembesaran ganglion genikulatum dan pembesaran kanal falopii segmen
labirin oleh massa jaringan lunak. Meskipun hemangioma kapilare pada CT kontras tampak
enhancement (+), hemangioma kapilare menyebabkan kelemahan wajah pada tahap awal
sehingga belum dapat jelas terlihat dari CT, dan sedikit sekali enhancement di daerah segmen
labirin mungkin menjadi satu-satunya temuan. Temuan CT lainnya termasuk honeycomb
bone, batas tulang yang iregular dan tidak jelas, dan spikula tulang intratumor. Temuan ini
kontras dengan yang neuroma n.fasialis, yang lebih besar, lesi yang lebih jelas dengan tepi
tulang yang tajam.
73
I.7 Neoplasma Telinga
Hemangioma kavernosa adalah tipe kedua hemangioma. Lesi ini timbul di kanal
auditori internal dan memberikan gejala khas seperti pada neuroma akustik. Meskipun
hemangioma kavernosa cenderung menghasilkan gejala lebih cepat daripada neuroma
akustik, kedua jenis tumor ini identik pada CT. Namun, pada MRI, hemangioma kavernosa
cenderung sedikit lebih hiperintens daripada neuroma akustik.
5.
Langerhans 'cell histiocytosis (LCH), sebelumnya bernama histiocytosis X, adalah
suatu kondisi yang ditandai oleh proliferasi histiosit yang memiliki karakteristik sel-
sel Langerhans (biasanya terletak di dermis). Sel-sel ini dikenali oleh adanya badan
inklusi di sitoplasma, yang disebut Birbeck granules. Proliferasi dan infiltrasi sel-sel
ini dapat berkembang di organ mana saja di tubuh, termasuk tulang, kulit, paru-paru,
hati, limpa dan sistem saraf. Histositosit sel Langerhans sekarang menjadi nama
untuk kondisi berikut yang sebelumnya dianggap sebagai tiga entitas yang berbeda,
tetapi sekarang diakui sebagai satu kondisi. (terdapat juga dalam modul otologic
manifestation of systemic disease).
a) Granuloma Eosinofilik: Umumnya merujuk pada penyakit osseus saja dan mungkin
unifokal atau multifokal.
b) Hand-Schuller-Christian disease: Penyakit sistemik yang diidentifikasi oleh lesi
osseus multifokal, dengan keterlibatan terbatas pada ekstraskeletal, seperti kelenjar
getah bening dan visera.
c) Letterer Siwe disease: Penyakit paling serius dan progresif cepat, ditandai dengan
penyakit diseminata dengan keterlibatan multiorgan.
Dalam serangkaian kasus yang ditinjau oleh Irving dkk, 73% pasien terdapat
keterlibatan kepala dan leher, 24 % pasien terdapat keterlibatan kulit KAE dan 19 % terdapat
keterlibatan tulang temporal. Usia rata-rata datang berobat adalah 3,2 tahun dan rasio pria-
wanita adalah 1,7: 1.
Gejala dan tanda keterlibatan telinga dan tulang temporal seringkali tidak dapat
dibedakan dengan OMSK, seperti tuli konduktif atau sensorineural. Tiga puluh persen pasien
dengan keterlibatan tulang temporal memiliki keterlibatan bilateral. Penampakan radiologis
74
I.7 Neoplasma Telinga
yang khas dari tulang temporal adalah atau litik. Sementara kerusakan yang
luas dari tulang temporal dapat terjadi, namun hanya sedikit yang melaporkan adanya
keterlibatan kapsul otic dengan penyakit, sering terbatas pada telinga luar dan tengah.
Prognosis pasien dengan LCH tergantung apakah penyakit ini unifokal, multifokal
atau difus. Usia saat datang berobat kurang dari dua tahun dengan disfungsi organ merupakan
indikator prognosis yang jauh lebih buruk. Penyakit unifokal, di sisi lain, memiliki prognosis
yang sangat baik terhadap terapi lokal, termasuk reseksi lokal atau radioterapi. Kebanyakan
memiliki tingkat kesembuhan 95-100 %. LCH multifokal juga memiliki respons yang baik
terhadap pengobatan, tetapi LCH difus dapat berakibat fatal. Keterlibatan tulang temporal
sering menandakan LCH multifokal yang paling baik ditatalaksana dengan multidisiplin,
multimodalitas dengan kombinasi radioterapi, kemoterapi dan terapi steroid. Tala laksana
bedah lesi tulang temporal sekarang menjadi jauh lebih konservatif, mengingat bahwa ada
risiko komplikasi yang tinggi, terutama pada struktur seperti n.fasialis.
6. Cholesterol Granuloma
Cholesterol granuloma apeks petrosus bukan merupakan neoplasam sejati tetapi lebih
merupakan massa yang terjadi akibat proses reaktif di tulang temporal. Dapat didiagnosis
dari pemeriksaan pencitraan dan harus dimasukkan ke dalam diagnosis banding ketika
mengevaluasi massa di tulang temporal.
Cholesterol granuloma pertama kali dilaporkan lebih dari 100 tahun yang lalu yang
tampak sebagai membran timpani yang berwarna biru tua sehingga disebut sebagai
si ini terjadi pada pasien dengan disfungsi tuba
eustachius dan seringkali disertai dengan otitis media kronik atau kolesteatoma.
Hipotesisnya bahwa cholesterol granuloma terjadi sebagai konsekuensi dari 4 faktor:
1. dipengaruhi drainase telinga tengah
2. perdarahan
3. obstruksi ventilasi
4. reaksi benda asing terhadap kristal kolesterol yang berasal dari katabolisme
hemoglobin.
75
I.7 Neoplasma Telinga
NEOPLASMA GANAS
1. Karsinoma Sel Skuamosa
76
I.7 Neoplasma Telinga
Karsinoma sel skuamosa (SCCA) yang mengenai telinga dan lateral skull base
seringkali merupakan neoplasma kulit yang berasal dari kulit pinna atau KAE. Termasuk
tumor yang agresif dengan prognosis dipengaruhi oleh kedalaman invasi tumor, adanya
destruksi kartilago dan invasi limfovaskular. Walaupun kemungkinannya sangat kecil,
keganasan ini dapat berasal dari telinga tengah, terutama dari mukosa telinga tengah yang
metaplastic
Karsinoma sel skuamosa pada telinga dan tulang temporal didapatkan 24% dari
seluruh SCCA pada kepala dan leher. Kebanyakan tumor ini didapatkan di pinna, lebih dari
separuhnya didapatkan pada heliks. Paparan sinar matahari dan cedera dingin menjadi
predisposisi pada keganasan ini, namun faktor lain seperti paparan radiasi dan infeksi kronik
nampaknya juga berperan. Untuk SCCA yang berasal dari telinga tengah, otitis media kronik
dan human papillomavirus diduga menjadi faktor yang berperan dalam terjadinya keganasan
ini.
Usia rata-rata SCCA aurikula adalah pada usia 60 tahun akhir, sementara lesi primer
di KAE umumnya muncul 10-15 tahun lebih awal. Tumor (SCCA) yang berasal dari telinga
tengah didapatkan rata-rata pada usia 60 tahun. Karsinoma sel skuamosa pada telinga dan
tulang temporal didapatkan 24% dari seluruh SCCA pada kepala dan leher.
Tumor ini lebih ulserasi dari basal sel karsinoma, bagian yang ulseratif sering ditutupi
oleh krusta atau eksudat serosanguinus, lebih mudah berdarah dengan tepi yang kurang jelas.
Pasien dengan SCCA di liang telinga seringkali datang dengan otorrhea yang hemoragik
yang telah diterapi bertahun-tahun sebagai otitis eksterna. Pada pasien usia tua, keluar cairan
dari telinga bercampur darah yang kronik dan tiba-tiba disertai nyeri telinga yang dalam harus
diduga adanya suatu keganasan yang invasif. Indikasi lainnya bila didapatkan defisit n.
fasialis ipsilateral. Keterlibatan luas dari KAE atau telinga tengah menyebabkan tuli
konduktif, namun bila sudah terjadi invasi ke kanalis akustikus internus (KAI),
cerebeloopontine angle, atau kapsul labirin menyebabkan tuli sensorineural. Metastasis ke
KGB servikal atau parotis terjadi pada sekitar 30% pasien yang menginvasi ke tulang
temporal.
Diagnosis SCCA pinna mudah ditegakkan lewat biopsi, namun banyak keganasan
telinga tengah dan KAE telah berada pada stadium lanjut pada saat terdiagnosis. Biopsi
77
I.7 Neoplasma Telinga
disarankan apabila terdapat infeksi telinga luar atau telinga tengah yang tidak merespon
terhadap pengobatan medis yang adekuat.
Tata laksana SCCA telinga dan lateral skull base meski belum stadium lanjut
sebaiknya agresif karena tingkat kekambuhannya tinggi. Reseksi bedah komplit lebih dipilih
bila memungkinkan. Reseksi komplit lesi di pinna lebih mudah dilakukan dengan teknik
bedah mikrografik Mohs. Karsinoma yang telah menginvasi bagian kartilago KAE dapat
dieksisi dengan reseksi sleeve dengan tandur kulit pada defek operasi. Tumor yang telah
menginvasi bagian tulang KAE memerlukan eksisi en block dengan lateral temporal bone
resection. Ketika tumor meluas melalui membran timpani ke telinga tengah sampai ke selulae
mastoid, atau menginvasi kapsul otik, maka indikasi dilakukan sub total temporal bone
resection. Parotidektomi dan diseksi leher juga dapat dilakukan dan terapi radiasi
direkomendasikan untuk pasien dengan karsinoma stadium lanjut untuk meningkatkan
ketahanan hidup. Kemoterapi kadang diperlukan sebagi terapi ajuvan atau paliatif tetapi
belum terbukti meningkatkan ketahanan hidup.
Prognosis menjadi buruk jika lesi di liang telinga meluas ke medial ke tulang timpanik
atau melewati membran timpani dan menuju ke telinga tengah. Tumor di telinga tengah
meluas ke anterior menuju ke tuba eustahia dan kanal carotid dan ke posterior menuju sistem
selulae mastoid. Dari kanal carotis, SCCA dapat menginvasi apeks petrosus, anterior skull
base dan sinus cavernosus. Telinga dalam secara umum lebih tahan terhadap invasi tumor
tetapi tumor di mastoid dapat mempenetrasi lempeng dural dan meluas ke fossa cranial
posterior.
3. Rhabdomyosarcoma
Rhabdomyosarcoma paling sering didapatkan, meliputi 30% tumor-tumor tulang
temporal sarcomatous dan 4-7% dari seluruh keganasan tulang temporal. Sembilan puluh
78
I.7 Neoplasma Telinga
persen pasien dengan rhabdomyosarcoma berusia < 10 tahun, dengan usia rata-rata saat
datang berobat 4.5 tahun. Sel mesenkimal pluripotensial di telinga tengah dan tuba eustachius
merupakan asal dari neoplasma ini. Kebanyakan pasien datang dengan otorrhea kronik dan
otalgia yang gagal merespon dengan terapi medikal yang adekuat. Pada pemeriksaan otologi
tampak polip aural yang rapuh, secret telinga campur darah dan atau bengkak daerah mastoid.
Kelemahan fasialis atau paralisis sering didapatkan di awal proses penyakit dan dapat
mengindikasikan adanya suatu keganasan. Metastase KGB regional jarang terjadi, tetapi
metastase jauh ke paru, liver, otak dan tulang didapatkan pada 14% pasien pada saat datang
berobat. Rhabdomyosarcoma dibagi menjadi beberapa tipe histologic: embryonal, botryoid,
alveolar dan pelomorfik. Tipe embryonal paling sering dijumpai. Alveolar
rhabdomyosacoma prognosisnya paling buruk. Pencitraan tulang temporal memperlihatkan
jaringan lunak di telinga tengah dan mastoid dengan destruksi tulang di sekitarnya. Eksisi
bedah radikal jarang berhasil baik pada neoplasma yang sangat ganas ini. Tata laksana saat
ini meliputi intervensi bedah terbatas, external beam radioterapi dan kemoterapi. Tingkat
ketahanan hidup meningkat dengan penggunaan terapi ajuvan kontemporer dan 5-year
failure free survival melebihi 60%.
4. Chondrosarcoma
Sarcoma low grade ini dijumpai kebanyakan pada dewasa muda dekade ke- 4 dan 5,
laki-laki dan perempuan sebanding, terbanyak bermula dari regio petroclival dekat foramen
laserum dan apeks petrosus. Pasien datang dengan sakit kepala dan gejala yang melibatkan
saraf kranial seperti diplopia, hoarseness, disfagia, facial dysesthesia dan gangguan
pendengaran. Seperti rhabdomyosarcoma, terdapat beberapa subtipe histologik dari
chondrosarcoma dan prognosis bervariasi tergantung subtipe histologik dan derajat
differensiasinya. CT scan memperlihatkan destruksi tulang dari skull base lateral sampai ke
midline dan penyengatan tumor pada kontras. Eksisi bedah merupakan modalitas terapi
utama namun eksisi komplit seringkali tidak mungki dilakukan dan rekurensi sering
didapatkan. Baik radioterapi dan kemoterapi belum terbukti manfaatnya.
79
I.7 Neoplasma Telinga
Gambar 6. Chondrosarcoma. CT aksial memperlihatkan neoplasma agresif mengerosi apeks petrosus kiri dan
tulang sphenoid (asterisk)
80
I.7 Neoplasma Telinga
terjadi pada 50% kasus dan fibrosarcoma yang terjadi post radioterapi pada pasien dewasa
bersifat letal.
1. Meningioma
Epidemiologi
Meningioma adalah tumor tersering kedua yang ditemukan di CPA (<10%), tumor
intrakranial kedua yang paling umum didapatkan (<20%), dan tumor sistem saraf pusat
kedua yang paling sering setelah glioma. Tidak seperti vestibular schwannoma, ada
81
I.7 Neoplasma Telinga
kecenderungan 2:1 lebih sering pada wanita, paling sering didiagnosis pada dekade kelima
hingga keenam kehidupan.
Patogenesis
Faktor risiko untuk meningioma termasuk NF2, dan diperkirakan seperlima remaja
dengan meningioma menderita NF2. Radiasi telah terbukti meningkatkan risiko meningioma
empat kali lipat. Terdapat juga hubungan antara meningioma dan hormon seks; tumor ini
lebih umum pada wanita, telah dikaitkan dengan ca mammae dan telah terbukti memiliki
reseptor untuk estrogen dan progesteron.
Diagnosis
Secara klinis, keluhan utama pasien dapat berupa gangguan pendengaran progresif,
sakit kepala, vertigo, tinnitus, otorrhea, otalgia, kelemahan wajah atau kehilangan
pengecapan, diplopia atau gangguan penglihatan, disfagia, disartria, disfonia, mual dan
muntah, nyeri wajah atau paresthesia, exophtalmus, hemiparesis tungkai bawah atau
paraparesis dan pembengkakan periauricular atau massa di leher. Meskipun gangguan
pendengaran, vertigo, dan tinitus merupakan gejala yang paling sering didapatkan pada
meningioma di CPA dan VS, namun hanya 60% meningioma didapatkan dengan gangguan
pendengaran dibandingkan dengan 98% dari VS. Meningioma yang meluas ke telinga tengah
dapat memperlihatkan membran timpani hiperemik, tuli konduktif dan keterlibatan n.fasialis.
Meningioma di foramen jugularis memberikan gejala tinitus pulsatil, massa telinga tengah,
dan disfungsi lower cranial nerves.
Pemeriksaan audiometri dan vestibular mendapatkan hasil serupa dengan lesi CPA
lainnya; oleh karena itu, perannya dalam diagnostik terbatas. Baseline audiometry,
bagaimanapun berguna dalam memutuskan berbagai strategi perawatan dan konseling
pasien. MRI dengan gadolinium adalah modalitas pencitraan yang paling efektif untuk
diagnosis meningioma.
82
I.7 Neoplasma Telinga
Penatalaksanaan
Meningioma adalah tumor jinak, tetapi bersifat destruktif secara lokal dan dengan
kemampuan menginvasi saraf kranial. Pilihan penatalaksanaannya mirip dengan VS, tetapi
variasi dalam lokasi tumor dan gejala membuatnya sulit untuk dibuat algoritma manajemen
standar. Secara umum, usia pasien dan perkiraan harapan hidup, morbiditas pengangkatan
tumor, dan perjalanan alamiah tumor harus dipertimbangkan. Penatalaksanaan konservatif
dengan pencitraan serial harus dipertimbangkan pada tumor yang sepertinya tidak
menimbulkan gejala yang mengancam harapan hidup pasien dan pada tumor dimana eksisi
bedah menyebabkan morbiditas yang berat.
Eksisi bedah adalah tata laksana pilihan bila memungkinkan. Secara umum, pasien
memiliki hasil yang lebih baik ketika operasi dilakukan sebelum timbulnya tanda-tanda
neurologis. Oleh karena itu, tumor yang diikuti secara konservatif harus dipantau dengan
cermat untuk pertumbuhan dan gejalanya. Pasien muda dengan tumor besar atau tanda
neurologis progresif harus ditatalaksana dengan pembedahan. Pendekatan bedah ditentukan
oleh ukuran tumor, lokasi relatif tumor terhadap struktur saraf dan pembuluh darah dan status
pendengaran. Tulang yang berdekatan yang terlibat dengan tumor harus direseksi karena
kecenderungan meningioma untuk menyebar melalui kanal osseus haversian. berbagai
pendekatan bedah dapat digunakan berdasarkan karakteristik tumor; termasuk fossa media,
retrosigmoid, translabirin, transkoklear dan kombinasi tranlabyrinthine-suboccipital.
Preservasi pendengaran jauh lebih dimungkinkan pada menigioma dibandingkan dengan VS,
oleh karena itu labyrinth-sparing approaches digunakan bila memungkinkan, terlepas dari
ukuran tumor. Simpson mengklasifikasikan perluasa pengangkatan tumor (grade I-IV) dan
klasifikasi ini telah berkorelasi dengan hasil setelah pembedahan. Reseksi tumor komplit
seringkali sulit karena lokasi dan keterlibatan struktur saraf dan pembuluh darah, oleh karena
itu tingkat kekambuhan dilaporkan setinggi 30% bahkan setelah pengangkatan tumor (yang
tampaknya) komplit. Karena tingkat kekambuhan klinis meningkat dari waktu ke waktu,
direkomendasikan untuk melakukan follow up jangka panjang dan pemeriksaan radiologis.
Peran radiosurgery sterotacic atau radioterapi pada meningioma masih kontroversial.
walaupun seterotactic radiosurgery atau radioterapi dapat digunakan terutama untuk tumor
83
I.7 Neoplasma Telinga
yang tidak dapat diakses atau pasien tidak layak untuk pembedahan, dan semakin sering
digunakan sebagai modalitas tambahan setelah reseksi subtotal.
Insiden
Neuroma akustik meliputi sekitar 6% dari semua tumor intracranial, 30% tumor
batang otak dan sekitar 85% dari tumor cerebellopontin. Dapat ditemukan diseluruh dunia
dengan insidens 1 : 100.000 penduduk. Ditemukan lebih banyak pada wanita daripada pria
dengan perbandingan 3:2, dengan usia antara 30-60 tahun.
84
I.7 Neoplasma Telinga
Etiologi
Penyebab neuroma akustik secara umum tidak diketahui, namun diperkirakan
pertumbuhan neoplastik muncul terutama di perbatasan antara komponen saraf kranial
sentral dan perifer yang disebut obersteiner-redlich zone yang bervariasi letaknya untuk tiap
saraf kranial. Tumor ini dapat terjadi secara spontan atau dapat disebabkan oleh suatu
neurofibromatosis tipe II akibat abnormalitas gen penekan tumor yang berlokasi pada
kromosom 22. Neuroma akustik dapat juga disebabkan oleh mekanisme molekuler yang
berhubungan dengan faktor proliferasi yakni nerve growth factor (NGF). Selain itu juga
berhubungan dengan adanya pengaruh faktor hormon yang berpotensi seperti estrogen,
progesteron dan testosteron.
Patogenesis
Neuroma akustik mula-mula berada pada nervus VIII kemudian membesar dan
menekan struktur didekatnya yaitu nervus VII, n fasialis secara berangsur-angsur meregang
dan secara perlahan-lahan membesar kearah otak menonjol dari saluran telinga dalam masuk
ke satu area di otak yaitu daerah cerebellopontin. Dalam tahap ini tumor berebntuk seperti
buah peer atau jamur dimana bagian yang lebih kecil berada di dalam saluran telinga dan
bagian yang besar kearah otak. Tumor ini kemudian menekan N V atau N Trigeminus yang
berfungsi menjaga sensibilitas dari wajah dan dengan meningkatnya ukuran tumor dapat
terjadi penuttupan pada aquaductus sylvii yang kemudian dapat tejadi hydrosefalus yang
disertai peningkatan tekanan, akhirnya terjadi herniasi tentorial dari foramen magnum dan
dengan kompresi pada medulla oblongata yang mengakibatkan henti nafas.
Gejala Klinis
Gejala awal yang mengarah pada diagnosis schwannoma vestibular tergantung pada
lokasi pasti tumor di sepanjang saraf vestibular. Jika tumor muncul di KIA, akan
menyebabkan tinnitus dan gangguan pendengaran di awal perjalanan penyakit. Jika lesi
berada di cerebellopontine angle (CPA), tinitus dan gangguan pendengaran mungkin baru
munculu setelah tumor mencapai ukuran yang lebih besar.
85
I.7 Neoplasma Telinga
Setiap pasien dengan tuli sensorineural unilateral dan / atau tinnitus unilateral, dengan
atau tanpa gangguan keseimbangan, harus dicurigai menderita schwannoma vestibular.
Pasien harus dilakukan evaluasi neurotologi yang mencakup anamnesis, pemeriksaan fisik
dan audiometri rutin. Jika evaluasi neurotologi mengungkapkan temuan yang mencurigakan,
dapat dilakukan pemeriksan audiometri khusus dan pemeriksaan vestibular. MRI dengan
gadolinium merupakan modalitas yang paling sensitif untuk mendiagnosis schwannoma
vestibular; oleh karena itu, pencitraan diperlukan untuk pasien ini.
Gambaran klinik dari pasien dengan neuroma akustik terdiri atas 5 tahap yaitu:
a. Tumor masih berada di dalam intra kanalikuli sehingga kelainan terbatas pada n.
Vestibulokoklearis dan dapat meluas ke n fasialis, yang dapat menimbulkan gejala
berupa
- Rasa penuh pada telinga
- Hilangnya pendengaran atau ketulian unilateral dan tinnitus
b. Gejala ini paling sering terjadi (> 90%), ketulian ini terjadi secara perlahan-lahan
dalam jangka wakrtu beberapa bulan sampai 20 tahun lebih, rata-rata 2 tahun. Pasien
menyadari adanya tanda-tanda awal ketulian tetapi sering diabaikan. Tanda awal
berupa berkurangnya kemampuan pasien untuk membedakan kata-kata dalam
percakapan sehari-hari terutama bila berkomunikasi lewat telepon. Tinnitus
biasanya terjadi bersamaan atau mendahului ketulian dan hanya terbatas pada
telinga yang sakit.
- Ketidakseimbangan
Terutama dirasakan pada saat perubahan posisi kepala dan posisi badan
terutama dalam gelap.
- Keterlibatan n fasialis
- Nervus fasialis dapat tertekan oleh desakan tumor yang semakin besar dan dapat
menimbulkan gejala berupa parese otot-otot wajah dan gangguan pengecapan.
c. Keterlibatan n. trigeminus
Gejala trigeminal terjadi jika ukuran tumor 2-2,5 cm berupa parestesi, rasa nyeri
pada wajah dan penurunan refleks kornea.
86
I.7 Neoplasma Telinga
d. Pada tahap ini telah terjadi penekanan pada batang otak dan cerebellum, yang
menimbulkan gejala neurologi berupa ataksia dan nistagmus.
e. Peningkatan tekanan intrakranial
Gejala yang muncul jika terjadi peningkatan intrakranial adalah nyeri kepala hebat
yang seringkali disertai gejala nausea dan vomitus.
f. Tahap terminal
Ditandai dengan kegagalan tanda-tanda vital.
Gambar 7. Vestibular schwannoma. (A) Tahap intrakanalikular. (B) Tahap cisternal. Bagian tumor yang
berada di CPA berukuran 1 cm belum ada kompresi batang otak atau keterlibatan nervus trigeminal yang
signifikan. (C) Tahap penekanan batang otak. Perhatikan kompresi ke bagian lateral dari pons, indentasi
87
I.7 Neoplasma Telinga
cerebellar peduncle dan pergeseran nervus trigeminal. (D) Tahap hidrosefalik. Perhatikan kollaps ventrikel
IV yang berakibat hidrosefalus
Diagnosis
Setiap pasien dengan tuli sensorineural unilateral dan / atau tinnitus unilateral, dengan
atau tanpa gangguan keseimbangan, harus dicurigai menderita schwannoma vestibular.
Pasien harus dilakukan evaluasi neurotologi yang mencakup anamnesis, pemeriksaan fisik
dan audiometri rutin. Jika evaluasi neurotologi mengungkapkan temuan yang mencurigakan,
dapat dilakukan pemeriksan audiometri khusus dan pemeriksaan vestibular. MRI dengan
gadolinium merupakan modalitas yang paling sensitif untuk mendiagnosis schwannoma
vestibular; oleh karena itu, pencitraan diperlukan untuk pasien ini.
a. Pemeriksaan Neurotologis
Selain pemeriksaan kepala dan leher rutin, semua pasien yang diduga memiliki
schwannoma vestibular memerlukan pemeriksaan neurotologis lengkap.
Skrining neurotologis meliputi evaluasi fungsi audiovestibular, serebelar, dan saraf
kranial. Pemeriksa pertama-tama mencatat ada atau tidak adanya nistagmus spontan,
gaze nystagmus, dan nistagmus vertikal. Kaca mata Frenzel sangat membantu dalam
mencegah pasien dari fiksasi visual, dan menekan nistagmus yang berasal dari perifer.
Nystagmus gaze horizontal kadang-kadang didapatkan, dan komponen cepat
biasanya menjauhi telinga yang sakit. Nystagmus rotatori dan nystagmus posisi juga
dapat dilihat dengan telinga yang sakit berada pada posisi tergantung. Nystagmus
vertikal selalu patologis dan menunjukkan gangguan vestibular sentral seperti kompresi
batang otak atau keterlibatan serebelar oleh tumor. Tes Romberg mungkin menimbulkan
pergeseran, dan tes Fukuda melangkah berputar ke sisi lesi. Tes finger to nose atau tes
past pointing dapat memunculkan dysmetria (gerakan halus), demikian pula ataxic gait
atau abnormal tes heel-to-shin semua memperlihatkan keterlibatan serebelar.
Beberapa saraf kranial dapat dipengaruhi oleh tumor CPA dan jumlah saraf yang
terlibat biasanya berbanding lurus dengan ukuran tumor. Disfungsi saraf kedelapan
ditandai dengan tinitus, gejala vestibular, dan gangguan pendengaran. Pemeriksaan
garpu tala membantu mendeteksi gangguan pendengaran sensorineural pada sisi yang
88
I.7 Neoplasma Telinga
dicurigai. Keterlibatan saraf kranial kelima oleh tumor yang lebih besar dapat
menghilangkan refleks kornea dan menyebabkan hipestesia wajah ipsilateral. Meskipun
tumor besar sering mempengaruhi fungsi sensori saraf kranial kelima namun jarang
menyebabkan pengecilan otot mastikator. Demikian pula, fungsi sensorik dari saraf
kranial ketujuh dipengaruhi lebih dini, dan lebih sering, daripada fungsi motoriknya.
Keterlibatan saraf sensorik yang lebih rentan dari saraf ketujuh dapat memunculkan
tanda Hitzelberger yaitu hipestesia atau rasa sakit pada dinding posterior KAE. Spasme
hemifasial jarang terlihat.
Tidak lazim bagi schwannoma vestibular melibatkan saraf kranial selain CN. VIII,
V, dan VII. Namun, tumor CPA yang besar juga dapat secara langsung mempengaruhi
lower cranial nerves (CN. IX, X, XI) yang berdekatan, atau secara tidak langsung
mempengaruhi fungsi saraf kranial melalui kompresi ventrikel keempat yang
menyebabkan peningkatan tekanan intrakranial (ICP) dan papilledema sehingga
menyebabkan kompresi n.optikus. Dengan demikian, pemeriksaan saraf kranial yang
lengkap disarankan.
b. Tes audiologi
- Pure tune audiometry (PTA)
Dengan PTA akan didapatkan gambaran tuli sensorineural pada frekuensi tinggi.
- Audiometri tutur
Didapatkan skor 0-30% pada pemeriksaan Speech discrimination test dimana pasien
tidak mampu mengulang kata-kata dengan benar.
- BERA
Tes ini dapat digunakan untuk mengetahui lesi yang terjadi pada retrokoklea, pada
neuroma akusitik didapatkan hasil gelombang V yang memanjang.
- Timpanometri
Pada neuroma akustik, sekitar 88% pasien refleks akustiknya negatif.
b. Tes vestibuler
Tes kalori akan memperlihatkan depresi atau hilangnya fungsi vestibuler pada telinga
yang sakit. Elektroneurografi dan tes kalori infra merah sangat berguna untuk
mengidentifikasi apakah tumor berasal dari nervus vestibuler superior atau inferior.
89
I.7 Neoplasma Telinga
MRI adalah pemeriksaan yang non invasif yang memberi gambaran lebih terperinci
mengenali struktur otak . Kontras godalinium disuntikkan ke dalam aliran darah
selama scanning agar tumor lebih mudah terlihat
- Cisternogram kontras udara mempunyai sensivitas yang tinggi dan dapat digunakan
secara relatif pada tumor-tumor intra kanalikuler kecil bila dicurigai dan terdapat
kontra indikasi pada penggunaan MRI
90
I.7 Neoplasma Telinga
Pemeriksaan Histologi
Secara mikroskopis sel-sel neoplastik memperlihatkan dua bentuk yang khas yang
dijelaskan oleh Atoni (1920) yaitu jaringan Antoni tipe A dan tipe B. Pada Atoni tipe A atau
tipe fasikulasi terdapat sel-sel paralel yang tersusun rapih dengan inti fusiform yang berwarna
gelap tersusun di dalam bungkusan atau terpisah satu dengan lainnya oleh jaringan fibrous
aseluler secara relatif. Yang lebih sering adalah Atoni tipe B atau tipe retikuler yaitu terdapat
susunan retikuler tersebar dengan elemen seluler lebih sedikit dan suatu nukleus yang
tersusun lebih rapi. Suatu neuroma akustik dapat mengandung kedua tipe jaringan tersebut.
Disamping itu gambaran histologis neuroma akustik kadang sulit dibedakan dari meningioma
Diagnosis Banding
Diagnosis banding schwannoma vestibular termasuk setiap kelainan yang
menyebabkan gangguan pendengaran sensorineural unilateral dan / atau tinitus.
Schwannomas vestibular adalah lesi yang paling umum dari sudut serebellopontine. Tiga lesi
paling umum berikutnya adalah meningioma, kolesteatoma primer, dan kista arachnoid.
Schwannoma yang berasal dari divisi koklea dari saraf kedelapan, atau dari saraf ketujuh,
serta, lipoma KAI, hemangioma, dan kompresi loop vaskular jarang dijumpai. Setiap lesi ini
dapat menyerupai schwannoma vestibular dan dapat dibedakan dengan MRI dan / atau
computed tomography (CT).
91
I.7 Neoplasma Telinga
Penatalaksaan
Terdapat 3 pilihan tata laksana untuk manajemen vestibular schwannoma yaitu eksisi
bedah, radiasi stereotactic, dan observasi. Setiap pilihan memiliki kelebihan dan kekurangan.
Keputusan sebagian besar didasarkan pada preferensi pasien dan hasil penelitian
observasional. Tidak ada penelitian RCT yang menilai secara objektif hasil dari pilihan tata
laksana ini. Akibatnya, pengambilan keputusan klinis bisa menjadi sulit. Dari segi morbiditas
dan mortalitas dalam dekade terakhir, hasil dari ketiga pilihan tatalaksana ini cukup baik.
Pada tumor yang besar penanganannya lebih kompleks. Oleh karena itu diagnosis
dini dan terapi sangat penting. Umumnya penanganan neuroma akustik yang dianjurkan
adalah operasi yang dilakukan oleh seorang ahli bedah saraf dan ahli otologi.
1. Observasi
Sifat indolen (lamban) dari banyak vestibular schwannoma telah lama diketahui,
menyebabkan beberapa dokter merekomendasikan observasi tanpa intervensi segera
sebagai pilihan tata laksana. Jumlah tumor yang dilaporkan bertumbuh dari waktu ke
waktu berkisar antara 30-82%. Dalam penelitian terbaru, pertumbuhan terjadi pada 66%
pasien yang diikuti selama periode 5 tahun. Keuntungan dari non intervensi untuk pasien
dengan vestibular schwannoma yang tidak menunjukkan pertumbuhan adalah jelas, tidak
ada intervensi yang diperlukan jika pertumbuhan kritikal tidak terjadi selama masa hidup
mereka.
Protokol observasi bervariasi tetapi biasanya, MRI dilakukan 6 bulan setelah diagnostik,
dan setiap tahun setelahnya jika tidak ada bahaya kompresi batang otak. Observasi
dianggap sebagai tata laksana yang sesuai untuk only hearing ear ketika pendengaran
92
I.7 Neoplasma Telinga
masih bisa diperbaiki dan fungsi batang otak tidak berada dalam bahaya. Observasi juga
sesuai untuk pasien dengan tumor yang kecil, pasien berusia lanjut (> 65 tahun) atau
lemah secara medis, atau karena pilihan pasien. Beberapa pasien lebih menyukai pilihan
menggunakan pendengaran yang mereka miliki selama mereka bisa, dibandingkan risiko
yang didapat dengan terapi pembedahan atau radiasi.
2. Pembedahan
Secara historis, eksisi bedah mikro telah menjadi tata laksana pilihan untuk schwannoma
vestibular. Prioritas pertama pembedahan adalah melindungi hidup, yang kedua
mempertahankan fungsi saraf fasialis dan ketiga memelihara manfaat pendengaran pada
tumor telinga secara sosial jika memungkinkan. Terdapat beberapa tehnik pendekatan
untuk mencapai tumor. Tiga pendekatan yang berbeda digunakan dalam penanganan
neuroma akustik yaitu pendekatan retrosigmoid (suboccipital) a, translabirin dan fossa
kranii media atau kombinasi (combine approach). Pendekatan yang dipilih tergantung
pada beberapa faktor termasuk ukuran tumor, posisi tumor, status pendengaran dan
keadaan umum penderita dan pengalaman ahli bedah.
Tiga pendekatan operatif yang dapat dilakukan untuk mengangkat tumor akustik yaitu
pendekatan melalui fossa kranii media, sub occipital dan translabirin.
a. Pendekatan Fossa media umumnya digunakan untuk tumor-tumor intrakanali yang
kecil dimana pemeliharaan fungsi saraf fasialis dan pendengaran optimal
b. Suboccipital approach atau disebut juga retrosigmoid memungkinkan ahli bedah
mengangkat tumor-tumor kecil dan besar selain menjaga fungsi saraf fasial dan
derajat fungsi pendengaran bila memungkinkan.
c. Translabirin approach, biasanya digunakan bila penderita mempunyai ketulian atau
ukuran tumor dan posisi pengangkatan labirin.
3. Stereotactic Surgery
Menggunakan suatu radiasi tunggal yang terkonsentrasi dan sinar langsung secara tepat
untuk mengobati tumor-tumor otak secara aman, efektif dan tanpa insisi tunggal.
Prosedur ini dilakukan pada penderita rawat jalan. Suatu bingkai metal diletakkan di
93
I.7 Neoplasma Telinga
Prognosis
Angka kematian neuroma akustik berhubungan dengan ukuran tumor. Untuk tumor
berukuran kecil angka kematiannya nol dan meningkat 2% bila tumornya bertambah besar.
Angka kematian 1-3% dan biasanya disebabkan oleh kerusakan struktur vaskuler yang
penting yaitu arteri cerebellum anterior inferior.
94
I.7 Neoplasma Telinga
Metastasis ke tulang temporal jarang terjadi. Kejadian metastasis paling umum terjadi
melalui penyebaran hematogen ke area tulang temporal yang mengandung bone marrow.
Tumor ganas yang paling umum bermetastasis ke tulang temporal adalah mammae (25%),
paru-paru (11%), ginjal (9%), abdomen (6%), bronkus (6%), dan prostat (6%). Area tulang
temporal yang menunjukkan kecenderungan kejadian metastasis tumor termasuk apeks
petrous, mastoid, dan kanal auditori internal. Labirin tulang tampaknya tidak didapatkan
invasi neoplastik karena keterlibatan telinga bagian dalam jarang terjadi.
Keluhan utama yang paling sering didapatkan termasuk gangguan pendengaran,
kelumpuhan wajah, dan vertigo. Kejadian metastasis ke tulang temporal harus
dipertimbangkan sebagai kemungkinan penyebab gangguan pendengaran pada pasien
dengan riwayat klinis neoplasma ganas, terutama pada pasien dengan lesi tulang temporal
yang tumbuh cepat disertai dengan gejala neurologis progresif.
Prognosis untuk pasien dengan metastasis tulang temporal bervariasi tergantung pada
histopatologi tumor tetapi biasanya buruk. Penatalaksanaan biasanya terdiri dari radioterapi
paliatif.
Komplikasi
1. Kelumpuhan nervus kranialis
2. Kegagalan flap
95
I.7 Neoplasma Telinga
Persiapan Operasi
1. Pencitraan untuk mengidentivikasi perluasan tumor
2. Konsultasi ke bagian lain yang terkait tergantung lesi (bedah saraf dan
rekonstruksi)
Prosedur Operasi
Tabel 5.Reseksi Tulang Temporal
Prosedur operasi Jaringan yang diangkat Batas diseksi
LTBR Pengangkatan en bloc bagian A: kapsul TMJ
Lateral Temporal kartilago dan tulang EAC, MT, S: epitympanum, root of
Bone maleus, inkus zygoma
Resection P: kavum mastoid
Opsional: parotidektomi, neck I: n.fasialis, tulang
dissection, mandibular condyle hipotimpanik, fossa
infratemporal
M: stapes
STBR LTBR+telinga tengah dan A: kapsul anterior TMJ, ramus
Subtotal Temporal mastoid, kapsul otik, dinding mandibula
Bone medial telinga tengah S: dura fossa media
Resection P: dura fossa posterior
Opsional: n. fasialis, dura, fossa I: fossa infratemporal
infratemporal, sigmoid, M: IAC, apeks petrosus dengan
parenkim otak struktur neurovaskular
96
I.7 Neoplasma Telinga
97
I.7 Neoplasma Telinga
Prognosis
Angka harapan hidup pasien malignansi tulang temporal secara keseluruhan adalah 28-66%.
Penelitian terbaru mengenai angka harapan hidup untuk lima tahun adalah 77 %. Hasil dari
operasi ini tidak menggambarkan secara akurat buruknya prognosis pada pasien.
98
MODUL UTAMA
OTOLOGI
MODUL I.8
KELAINAN TELINGA
AKIBAT PENYAKIT SISTEMIK
EDISI III
KOLEGIUM
ILMU KESEHATAN TELINGA HIDUNG TENGGOROK
BEDAH KEPALA LEHER
2022
DAFTAR ISI
C. REFERENSI .............................................................................................................. 2
D. KOMPETENSI .......................................................................................................... 2
H. EVALUASI ............................................................................................................... 7
MODUL I.8
OTOLOGI – KELAINAN TELINGA AKIBAT PENYAKIT SISTEMIK
A. WAKTU PEMBELAJARAN
Proses pengembangan kompetensi Alokasi waktu
Sesi dalam kelas 2 x 60 menit (classroom session)
Sesi praktikum 0 menit (coaching session)
Sesi praktik dan pencapaian kompetensi 0 menit (facilitation and
assessment)
B. PERSIAPAN SESI
1. Materi presentasi:
o LCD 1: Definisi dan ruang lingkup.
o LCD2: Penyakit Infeksi Virus dan manifestasi (Herpes simplex CMV,
Rubella, Varicella zoster, Mumps and Measles, HIV).
o LCD 3: Penyakit Infeksi Bakteri dan manifestasi (Lyme disease, lepra,
tuberculosis, sifilis).
o LCD 4: Penyakit Imunologik/autoimun dan manifestasinya (Wegener
granulomatosis, relapsing polychondritis, Cogan’s syndrome, Discoid lupus
erythematosus, Systemic lupus erythematosus, Polyarteritis nodosa,
Rheumatoid arthritis, Autoimmune inner ear disease.
o LCD 5: Penyakit metabolik dan manifestasinya (Gout, Ochronosis,
Mucopolysaccharidoses.
o LCD 6: Penyakit tulang dan manifestasinya (osteogenesis imperfect,
osteopetrosis, Paget disease, Fibrous dysplasia.
o LCD 7: Penyakit granulomatosis dan manifestasinya (Histiocytosis X,
Langerhans histiocytosis, Sarcoidosis, Wegener granulomatosis).
2. Kasus: Ramsay Hunt
3. Sarana dan alat bantu latih: (disesuaikan dengan pencapaian kompetensi)
o Penuntun belajar (learning guide): terlampir.
o Tempat belajar (training setting): instalasi rawat jalan, instalasi rawat inap,
kamar operasi, ruang kuliah, ruang praktikum.
o Model/manekin telinga atau tulang temporal atau cadaver.
1
Modul I.8 - Kelainan Telinga Akibat Penyakit Sistemik
o Komputer/laptop.
o In focus.
C. REFERENSI
1. Lee K.J : Essential Otolaryngology Head and Neck Surgery, 10th ed, Mac Graw
Hill, 2012.
2. Byron J Bailey: Head and Neck Surgery Otolaryngology, 5thed, J P Lippincot,
Philadelphia, 2015.
3. Scott Brown: Otolaryngology Head and Neck Surgery, 8th ed, vol 2, CRC press,
Taylorand Francis Group, New York, USA, 2018.
4. Bluestone and Stool’s : Pediatric Otolaryngology, 5th ed, vol 1, People;s Medical
Publishing House, Conecticut, USA, 2014.
5. John LD, Michael BG, : The Chronic Ear, 1st ed, Thieme, New York, USA, 2016.
Otologic Manifestations of Langerhans' Cell Histiocytosis.
6. Cunningham M.J. Curtin H.D, Jaffe R, Arch Otolaryngol Head Neck
Surg. 1989;115(7):807-813. doi:10.1001/archotol.1989.01860310045020.
7. Joseph B.Nadol Jr 9 Schuknecht’s pathology of the ear ‘infections’.3rd edition.
People;s Medical Publishing House, Conecticut, USA, 2010.
D. KOMPETENSI
1. Pengetahuan
Setelah mengikuti sesi ini peserta didik mampu:
a. Mengetahui etiologi terjadinya kelainan telinga dari kasus dan penyakit-
penyakit sistemik.
b. Mengetahui patogenesis terjadinya kelainan telinga dari kasus dan penyakit-
penyakit sistemik.
c. Mengetahui patofisiologi kelainan telinga dari kasus dan penyakit-penyakit
sistemik.
2. Keterampilan
Setelah mengikuti sesi ini peserta didik diharapkan terampil dalam:
a. Menegakkan diagnosis kasus kelainan otologi pada kasus dan penyakit-
penyakit sistemik.
2
Modul I.8 - Kelainan Telinga Akibat Penyakit Sistemik
Soal:
1. Lengkapi anamnesis pada pasien ini.
2. Lengkapi pemeriksaan fisik dan penunjang pada pasien ini.
3. Apa diagnosis kerja yang paling mungkin pada pasien ini.
4. Apa komplikasi yang mungkin terjadi.
5. Bagaimana penatalaksanaan pada pasien ini.
Jawaban:
1. Perlu ditanyakan bagaimana awal terbentuknya vesikel pada auris dextra,
apakah ada riwayat demam, riwayat keluar cairan dari telinga, nyeri pada
telinga apakah terdapat gangguan pendengaran dan vertigo. Apakah penderita
mempunyai riwayat DM dan hipertensi.
2. Pemeriksaan otoskopi untuk menilai membran timpani, kanalis akustikus
eksternus, gambaran vesikel pada auris dextra. Menilai fungsi motorik dan
tingkat gradasi parese nervus VII. Dilakukan pemeriksaan audiometri dan
keseimbangan bila terdapat keluhan pendengaran dan keseimbangan.
Pemeriksaan radiologis seperti CT-Scan dan MRI dapat dilakukan untuk
menyingkirkan etiologi lainnya.
3. Diagnosis kerja adalah Herpes Zoster Otikus atau Sindrom Ramsay Hunt
4. Komplikasi dapat berupa neuralgia pasca herpetic, residual paresis dan terjadi
herpes zoster ensefalitis.
3
Modul I.8 - Kelainan Telinga Akibat Penyakit Sistemik
5. Terapi utama pada kasus ini adalah pemberian antiviral, kortikosteroid dan
obat-obat lain sesuai dengan gejala yang dikeluhkan oleh pasien seperti
analgetika, antibiotika bila terdapat infeksi sekunder dan sebagainya. Dapat
juga dilakukan fisioterapi untuk merangsang otot otot wajah yang mengalami
parese.
F. TUJUAN PEMBELAJARAN
Tujuan Pembelajaran Umum
Setelah mengikuti sesi ini peserta didik terampil dalam:
a. Mampu menegakkan diagnosis klinis berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik
dan pemeriksaan penunjang pada kasus-kasus otologi akibat penyakit sistemik.
b. Mampu memutuskan dan menangani kasus kasus-kasus otologi akibat penyakit
sistemik sesuai kompetensi.
Tujuan Pembelajaran Khusus
Setelah mengikuti sesi ini peserta didik akan memiliki kemampuan untuk:
a. Menjelaskan anatomi, topografi dan fisiologi telinga luar, telinga tengah dan
telinga dalam.
b. Menjelaskan kasus-kasus dan patofisiologi penyakit sistemik yang bermanifestasi
otologi.
c. Menjelaskan gambaran klinis manifestasi otologi dari penyakit-penyakit
sistemik.
d. Melakukan penanganan non-bedah pada kasus manifestasi otologi dari penyakit-
penyakit sistemik sesuai kompetensi.
e. Melakukan penanganan bedah pada kasus-kasus manifestasi otologi dari penyakit
sistemik dan komplikasinya sesuai kompetensi.
f. Melakukan follow up kasus otologic manifestation of systemic disease.
g. Mampu mendiagnosis dan menatalaksana manifestasi otologi dari
penyakit-penyakit sistemik.
4
Modul I.8 - Kelainan Telinga Akibat Penyakit Sistemik
G. METODE PEMBELAJARAN
Tujuan 1. Menjelaskan anatomi, histologi, topografi dan fisiologi telinga luar,
tengah, dan dalam.
Untuk mencapai tujuan ini maka dipilih metode pembelajaran berikut ini:
• Belajar mandiri.
• Diskusi kelompok.
Harus diketahui:
• Anatomi, histologi, dan topografi telinga luar, tengah, dan dalam.
• Fisiologi telinga luar, tengah, dan dalam.
Tujuan 2. Menjelaskan patofisiologi penyakit sistemik yang bermanifestasi
otologi.
Untuk mencapai tujuan ini maka dipilih metode pembelajaran berikut ini:
• Belajar mandiri.
• Tinjauan pustaka.
• Diskusi kelompok.
Harus diketahui:
• Patofisiologi penyakit sistemik yang bermanifestasi otologi.
Tujuan 3. Menjelaskan gambaran klinis manifestasi otologi dari penyakit-
penyakit sistemik.
Untuk mencapai tujuan ini maka dipilih metode pembelajaran berikut ini:
§ Belajar mandiri.
• Tinjauan pustaka.
• Kuliah.
§ Diskusi kelompok.
§ Bedside teaching.
§ Praktik langsung pada pasien.
Harus diketahui:
• Gambaran klinis (gejala dan tanda) manifestasi otologi dari penyakit-
penyakit sistemik.
Tujuan 4. Melakukan penanganan non-bedah pada kasus manifestasi otologi
dari penyakit-penyakit sistemik sesuai kompetensi.
Untuk mencapai tujuan ini maka dipilih metode pembelajaran berikut ini:
5
Modul I.8 - Kelainan Telinga Akibat Penyakit Sistemik
• Belajar mandiri.
• Kuliah.
• Diskusi kelompok.
• Bedside teaching.
• Praktik pada pasien.
Harus diketahui:
• Tata laksana nonbedah untuk kasus otologi sebagai manifestasi dari
penyakit sistemik.
• Farmakologi obat.
Tujuan 5. Melakukan penanganan bedah pada kasus-kasus manifestasi otologi
dari penyakit sistemik dan komplikasinya sesuai kompetensi.
Untuk mencapai tujuan ini maka dipilih metode pembelajaran berikut ini:
• Belajar mandiri.
• Kuliah.
• Diskusi kelompok.
• Praktikum.
• Bedside teaching.
• Praktik pada pasien.
• Bakti sosial.
Harus diketahui:
• Tata laksana impaksi serumen.
• Komplikasi impaksi serumen.
• Komplikasi dari tata laksana impaksi serumen.
6
Modul I.8 - Kelainan Telinga Akibat Penyakit Sistemik
Harus diketahui:
• Hal-hal yang harus diperhatikan pada pasien dengan kelainan otologi
karena kasus penyakit sistemik.
• Edukasi yang perlu diberikan pada pasien.
H. EVALUASI
1. Pada awal pertemuan dilaksanakan pretest dalam bentuk tertulis dan lisan sesuai
dengan tingkat masa pendidikan yang bertujuan untuk menilai pengetahuan awal
yang dimiliki peserta didik dan untuk mengidentifikasi kekurangan yang ada.
Materi pretest terdiri atas:
a. Anatomi, histologi, dan fisiologi telinga luar, tengah dan telinga dalam.
b. Pemeriksaan fisis/THT/penunjang
c. Penegakan diagnosis.
d. Penatalaksanaan.(medikamentosa dan pembedahan).
2. Selanjutnya dilakukan diskusi bersama dengan fasilitator untuk membahas
kekurangan yang teridentifikasi, membahas isi dan hal-hal yang berkenaan
dengan penuntun belajar.
3. Peserta didik diwajibkan untuk mengaplikasikan langkah-langkah yang tertera
dalam penuntun belajar melalui metode bedside teaching kepada pasien
sesungguhnya dengan pengawasan fasilitator dan mengisi formulir penilaian
sebagai berikut:
a. Perlu perbaikan: pelaksanaan belum benar atau sebagian langkah tidak
dilaksanakan.
b. Cukup: pelaksanaan sudah benar tetapi tidak efisien, misal pemeriksaan
terdahulu lama atau kurang memberi kenyamanan kepada pasien.
c. Baik: pelaksanaan benar dan baik (efisien).
4. Melakukan case based discussion (formulir penilaian terlampir).
5. Peserta didik diberi masukan dan bila diperlukan diberi tugas yang dapat
memperbaiki kinerja (task-based medical education).
6. Pencapaian pembelajaran:
a. Ujian akhir stase, setiap divisi/unit kerja oleh masing-masing sentra
pendidikan.
7
Modul I.8 - Kelainan Telinga Akibat Penyakit Sistemik
2. Tengah pembelajaran
Soal:
a. Manifestasi otologi yang sering ditemukan pada Penyakit Lepra adalah
Manifestasi otologi yang sering ditemukan pada penderita Wagener
granulomatous.
b. Pada penderita Lupus Eritematous ditemukan manifestasi otologi berupa
………
Jawaban :
a. (1) numbness
(2) gangguan pada n. aurikularis magnus
(3) nodul ulseratif aurikula
8
Modul I.8 - Kelainan Telinga Akibat Penyakit Sistemik
9
Modul I.8 - Kelainan Telinga Akibat Penyakit Sistemik
Jawaban:
a. Diagnosis kerja: Otitis media tuberculosis.
b. Masuknya kuman micobacterium ke telinga tengah melalui tuba eustachius.
c. Pada pemeriksaan telinga ditemukan adanya sekret yang mukopurulen.
Membran timpani perforasi multipel. Pada pemeriksaan fungsi pendengaran
dapat ditemukan adanya gangguan pendengaran konduktif. Pemeriksaan
rontgen thoraks tampak perselubungan pada apex paru. Pemeriksaan PCR
sekret telinga ditemukan microbakterium.
d. Terapi utama adalah pemberian obat-obat tuberkulostatik.
10
Modul I.8 - Kelainan Telinga Akibat Penyakit Sistemik
KEGIATAN KASUS
- tindakan a dan antiseptik pada daerah operasi dan sekitarnya
dengan menggunakan povidon iodine atau antiseptik
lainnya.
- pasang kain penutup operasi steril pada pasien, kecuali di
area operasi.
- Posisi pasien: terlentang, kepala miring ke arah berlawanan
dengan sisi telinga yang dioperasi.
III. PROSEDUR OPERASI MASTOIDEKTOMI
- Pada daerah operasi yang akan diinsisi dilakukan suntikan
dengan larutan Xylocaine 1% dengan epinefrin 1 : 100.000.,
untuk memisahkan periosteum dengan korteks mastoid.
- Dilakukan insisi retroaurikular 5-10 mm dari sulkus atau
pada batas kulit rambut daerah retroaurikular, mulai dari
kulit, subkutis, hingga periosteum.
- Mastoidektomi kortikal:
• Bor korteks mastoid dengan landmark segitiga Mc
Ewen, dengan mengidentifikasi dinding posterior liang
telinga, linea temporalis dan spina Henle. Identifikasi
tegmen timpani, tegmen mastoid, sinus sigmoid dan
kanalis semisirkulatis lateralis.
• Seluruh seluruh jaringan patologik dibersihkan.
- Luka operasi ditutup dengan jahitan lapis demi lapis
- Apabila terdapat perforasi membran timpani maka
dilakukan penutupan defek atau timpanoplasti dengan
combine approach. dengan menggunakan graft fasia
temporalis, composite (perikondrium+kartilago), kartilago
konka aurikula/tragus ( lihat modul Infeksi telinga tengah).
- Atau osikuloplasti (modul infeksi telinga tengah).
IV. PASCAOPERASI
Instruksi pascaoperasi
- Pasien diinformed consent bahwa gangguan keseimbangan
akan terjadi pasca operasi.
- Tidak boleh ada aktifitas berat sampai 3 minggu pasca
operasi.
- Aktifitas sehari-hari dapat mulai dilakukan setelah minggu
ke-3.
- pemberian antibiotika injeksi dilanjutkan dengan oral.
- pemberian analgetik/antiinflamasi.
- Intake makanan dan minuman harus terjaga dengan baik.
- evaluasi pascaoperasi berupa adanya: perdarahan, paresis
N. fasialis.
- rencana pasien dipulangkan 2 hari pascaoperasi.
11
Modul I.8 - Kelainan Telinga Akibat Penyakit Sistemik
K. DAFTAR TILIK
DAFTAR TILIK I
PROSEDUR MASTOIDEKTOMI KORTIKAL, TIMPANOPLASTI DAN
OSSIKULOPLASTI
Berikan penilaian tentang kinerja psikomotorik atau keterampilan yang diperagakan
oleh peserta pada saat melaksanakan statu kegiatan atau prosedur, dengan ketentuan
seperti yang diuraikan dibawah ini:
ü: Memuaskan: Langkah atau kegiatan diperagakan sesuai dengan prosedur atau
panduan standar
Ï: Tidak memuaskan: Langkah atau kegiatan tidak dapat ditampilkan sesuai dengan
prosedur atau panduan standar
T/T: Tidak Ditampilkan: Langkah, kegiatan atau keterampilan tidak diperagakan oleh
peserta selama proses evaluasi oleh pelatih
12
Modul I.8 - Kelainan Telinga Akibat Penyakit Sistemik
13
Modul I.8 - Kelainan Telinga Akibat Penyakit Sistemik
L. MATERI PRESENTASI
14
Modul I.8 - Kelainan Telinga Akibat Penyakit Sistemik
15
Modul I.8 - Kelainan Telinga Akibat Penyakit Sistemik
16
Modul I.8 - Kelainan Telinga Akibat Penyakit Sistemik
17
Modul I.8 - Kelainan Telinga Akibat Penyakit Sistemik
18
Modul I.8 - Kelainan Telinga Akibat Penyakit Sistemik
19
Modul I.8 - Kelainan Telinga Akibat Penyakit Sistemik
20
Modul I.8 - Kelainan Telinga Akibat Penyakit Sistemik
21
Modul I.8 - Kelainan Telinga Akibat Penyakit Sistemik
22
Modul I.8 - Kelainan Telinga Akibat Penyakit Sistemik
23
Modul I.8 - Kelainan Telinga Akibat Penyakit Sistemik
24
Modul I.8 - Kelainan Telinga Akibat Penyakit Sistemik
25
Modul I.8 - Kelainan Telinga Akibat Penyakit Sistemik
26
Modul I.8 - Kelainan Telinga Akibat Penyakit Sistemik
27
Modul I.8 - Kelainan Telinga Akibat Penyakit Sistemik
28
Modul I.8 - Kelainan Telinga Akibat Penyakit Sistemik
29
Modul I.8 - Kelainan Telinga Akibat Penyakit Sistemik
30
Modul I.8 - Kelainan Telinga Akibat Penyakit Sistemik
31
Modul I.8 - Kelainan Telinga Akibat Penyakit Sistemik
32
Modul I.8 - Kelainan Telinga Akibat Penyakit Sistemik
33
Modul I.8 - Kelainan Telinga Akibat Penyakit Sistemik
34
Modul I.8 - Kelainan Telinga Akibat Penyakit Sistemik
35
Modul I.8 - Kelainan Telinga Akibat Penyakit Sistemik
36
Modul I.8 - Kelainan Telinga Akibat Penyakit Sistemik
37
Modul I.8 - Kelainan Telinga Akibat Penyakit Sistemik
M. MATERI BAKU
Pendahuluan
Sejumlah penyakit sistemik dapat mengenai telinga, mengakibatkan berbagai
gangguan otologi antara lain gangguan pendengaran, disfungsi vestibuler dan parese
nervus fasialis. Penyakit-penyakit ini berasal dari berbagai penyebab yang berbeda
antara lain infeksi, granulamatous, autoimun, tulang dan akibat ganguan metabolic.
PENYAKIT SISTEMIK DENGAN MANIFESTASI OTOLOGI
INFEKSI IMUNOLOGIK/ METABOLIK PENYAKIT GRANULOMATOSIS
AUTOIMUN TULANG
Herpes simplex Wegener Gout Osteogenesis Histiocytosis X
granulomatosis imperfecta
Varicella zooster Relapsing Ochronosis Osteopetrosis Langerhans
polychondritis histiocytosis
Sitomegalovirus Cogan’s syndrome Mucopolysaccharidoses Sarcoidosis
Rubella Wegener
granulomatosis
Mumps Discoid lupus Paget disease
erythematosus
Measles Systemic lupus Fibrous
erythematosus dysplasia
Human immunodeficiency Polyarteritis
virus (HIV) nodosa
Lyme disease Rheumatoid
arthritis
38
Modul I.8 - Kelainan Telinga Akibat Penyakit Sistemik
Penyakit infeksi
Penyakit infeksi merupakan jenis penyakit sistemik yang paling sering
bermanifestasi dalam patologi telinga. Patogen (virus dan bakteri) dapat menginfeksi
telinga dalam dan jaras auditori sehingga menyebabkan sindrom tuli kongenital yang
menyebabkan ketulian. Penyakit infeksi yang menyebabkan ketulian dapat juga
terjadi setelah kelahiran.
Herpes Simpleks
Disebabkan oleh virus Herpes Simpleks Virus (DNA virus). Infeksi primer terjadi
pada penderita yang belum terbentuk imunitas sempurna seperti pada infant/ anak.
Manifestasi klinis gejala herpes simpleks dapat berupa sebagai gingivostomatitis,
keratokonjunctivitis ataupun meningoencephalitis Pada telinga, gejala klinis yang
timbul dapat berupa vesikel pada kulit aurikula dan telinga (herpetic external otitis).
Tatalaksana pada infeksi Herpes Simpleks dapat berupa simptomatik dan antiviral,
yang sangat efektif terutama pada fase infeksi prodromal (Asiklovir 400mg/8 jam
untuk 7-10 hari).
Sitomegalovirus
Sitomegalovirus (CMV) merupakan jenis virus double-stranded DNA yang
merupakan keluarga virus herpes. CMV merupakan infeksi kongenital yang paling
sering ditemukan di dunia. Manifestasi penyakit ini dapat dalam bentuk primer dan
laten dengan penyebaran transmisi horizontal dan vertical. Pada bayi-bayi yang
terkena infeksi CMV, 10% diantaranya mengalami infeksi simptomatik
(cytomegalic inclusion disease) dimana hampir semuanya selalu didapatkan dari
infeksi maternal primer yang terjadi dalam masa kehamilan. Pada bayi yang lahir
dengan infeksi CMV dalam periode neonatal ini mayoritas akan mengalami defisit
neurologis berat dan 20-65 % diantaranya mengalami ketulian sensorineural (SNHL)
derajat berat bilateral. Pada CMV kongenital yang asimptomatik, sekitar 7-15%%
bayi akan mengalami SNHL dengan derajat ketulian ringan atau sedang, namun
dapat juga derajat berat pada beberapa kasus. Gangguan pendengaran juga dapat
39
Modul I.8 - Kelainan Telinga Akibat Penyakit Sistemik
terjadi dalam beberapa bulan/tahun setelah kelahiran, oleh karena itu sering
terlewatkan pada pemeriksaan rutin atau skrining neonatal.. Kelainan vestibuler
dapat juga ditemukan pada kasus CMV tetapi dalam jumlah kecil yang dapat
terdeteksi dengan pemeriksaan elektonistagmografi.
Pemeriksaan gold standar untuk diagnosis infeksi kongenital CMV adalah dengan
isolasi virus pada urin penderita namun sampai saat ini belum ada screening
universal untuk infeksi CMF. Terapi yang ada sampai saat ini pada penderita CMV
simptomatis adalah terapi suportif.
Rubella (German measles)
Rubella adalah salah satu anggota keluarga Togaviridae. Infeksi maternal primer
pada masa trimester pertama kehamilan dapat diakibatkan oleh sindrome Rubella.
Manifestasi yang paling sering pada penyakit ini adalah ketulian sensorineural, yang
mencapai 60% pada bayi yang terkena penyakit ini. Ketulian unilateral atau bilateral
dapat bermanifestasi paling lambat pada usia dua tahun kehidupan dan dapat
merupakan satu-satunya tanda infeksi. Gambaran lain dari infeksi Rubella dapat
ditemukan adanya malformasi okuler termasuk katarak dan retinopati dan penyakit
sistem nervus sentral (CNS). Infeksi postnatal Rubella dapat menyebabkan cacar
Jerman ( German measles) yang merupakan penyakit virus ringan.
Gambaran histopatologi penyakit ini pada telinga dalam menunjukkan terjadinya
degenerasi koklear dan sakulus serta atropi pada stria vaskularis tanpa mengenai
utrikulus, kanalis semisirkularis dan epitel sensoris vestibulum.
Gejala klinis dari rubella kongenital (Gregg’s syndrome) dapat mengenai sebagian
besar sistem organ seperti katarak, mikropthalmia, defek jantung, lesi kulit
‘blueberry muffin’, retardasi pertumbuhan dan gangguan pendengaran yang terjadi
pada 50% penderita rubella, umumnya berupa derajat ketulian berat dan sangat berat.
Perubahan pendengaran dapat terjadi beberapa bulan sampai tahun setelah infeksi
awal. Gangguan pendengaran tidak ditemukan pada rubella dapatan (acquired).
Varicella-Zoster
Virus varicella-zoster (VZV) merupakan suatu virus herpes yang menyebabkan
varicella atau chickenpox sebagai infeksi primer. Setelah infeksi primer menyembuh,
VZV tetap akan dorman pada akar ganglia dorsalis. Reaktivasi virus akan kembali
bila terjadi supresi imunitas seluler atau diaktivasi oleh penyakit sistemik seperti
40
Modul I.8 - Kelainan Telinga Akibat Penyakit Sistemik
41
Modul I.8 - Kelainan Telinga Akibat Penyakit Sistemik
magnus ( greater auricular nerve) , n. ulnaris, n. radialis, dan perineal yang 70%
diantaranya akan bermanifestasi pada aurikula.
HIV
Infeksi HIV disebabkan oleh RNA retrovirus. Sekitar 20-30% penderita HIV dapat
mengalami gejala otologi. Gejala klinis yang umumnya timbul dapat berupa otitis
media, otitis eksterna berulang, otitis media serosa akibat hipertrofi adenoid dan
limfoma Gejala klinis lainnya dapat disertai ketulian sensorineural yang berat,
namun keterkaitan keduanya belum sepenuhnya dimengerti.
Sifilis
Sifilis disebabkan oleh infeksi Treponema pallidum, yang dapat ditransmisikan
lewat transplasenta (sifilis kongenital) atau melalui kontak seksual (acquired
syphilis). Meningitis asimptomatis dapat ditemukan pada 40% penderita sifilis yang
walaupun jarang tetapi dapat disertai dengan ketulian mendadak bilateral dan vertigo.
Tes-tes treponemal seperti tes fluorescent treponemal antibody absorption (FTA-
ABS) atau tes microhemagglutination untuk T. pallidum, mempunyai sensitifitas dan
spesifitas yang tinggi dan diperlukan dalam diagnosis penyakit ini. Pada kasus
ketulian sensorineural idiopatik progresif dianjurkan untuk melakukan tes untuk
otosifilis dan neurosifilis. Manifestasi otologi dari sifilis berupa gangguan
pendengaran dan vestibuler. Ketulian sensorineural sangat sering terjadi pada sifilis
kongenital (40%) dan stadium lanjut sifilis dapatan (acquired). Ketulian
sensorineural terjadi sekitar 80-90% pada neurosifilis.
Banyak penderita sifilis menunjukan disfungsi vestibuler menyerupai penyakit
Meniere’s. Pada kasus Sifilis yang tidak mendapat pengobatan, sifilis otogenik lebih
agresif dibandingkan penyakit Meniere’s, umumnya menyerang kedua telinga dan
menyebabkan ketulian sangat berat. Hennebert sign (vertigo dan nystagmus yang
diinduksi oleh tekanan udara pada telinga tengah) dan Tullio phenomenon (vertigo
dan nystagmus diakibatkan oleh suara keras) dapat menyertai sifilis tertier. Pada
sifilis sekunder dan tertier, infeksi akan menyerang otik kapsul yang menyebabkan
osteitis tulang otik kapsul. Dapat juga terjadi degenerasi pada membran labirin,
hidrops endolimfa dan fibrosis. Sistem vestibuler perifer dan nervus kranial VIII juga
dapat terkena pada meningoneurolabyrinthitis fulminant. Prognosis ketulian pada
42
Modul I.8 - Kelainan Telinga Akibat Penyakit Sistemik
43
Modul I.8 - Kelainan Telinga Akibat Penyakit Sistemik
Gout
Pada Gout, terjadi gangguan metabolism purin dan penngkatan level asam urat
sehingga mengakibatkan penumpukan pada jaringan lunak dan sendi. Manifestasi
otologi berupa tophus auricular. Penanganan adalah allopurinol dan probenacid.
Mukopolisakarida
Manifestasi otologi berupa adanya mixed hearing loss, CHL yang diakibatkan oleh
disfungsi tuba eustachius dan disertai otitis media efusi. SNHL disebabkan oleh
metabolisme abnormal lipid pada sel saraf.
PENYAKIT GRANULOMATOUS
Langerhans Histiocytosis
Langerhans histiocytosis ( histiocytosis X) adalah kelompok penyakit idiopatik
yang disebabkan oleh proliferasi abnormal dari histiocytes. Histiocytes merupakan
sel jinak yang ditemukan pada dermis atau epidermis, kulit, tulang, kelenjar limfe,
dan organ visceral. Kelompok penyakit ini terdiri dari tiga penyakit yaitu,
eosinophilic granuloma, Hand-Schüller-Christian disease, dan Letterer-Siwe
disease
Manifestasi otologi diakibatkan oleh terbentuknya granuloma pada tulang temporal
yang mengakibatkan ketulian konduktif, otorea, paralisis nervus fasialis, vertigo dan
ketulian sensorineural tergantung pada struktur anatomi yang terganggu oleh
granuloma.
Pemeriksaan Computed tomography (CT) scan dengan kontras bermanfaat dalam
diagnosis oleh karena dapat memberikan gambaran adanya kelainan baik pada tulang
maupun jaringan lunak pada tulang temporal. Manfaat lain dari CT scan adalah dapat
membantu terapi lokal sebagai guideline pembedahan biopsi dan prosedur kuretase
atau dalam menentukan batas-batas pada terapi radiasi dosis rendah. Penatalaksanaan
kasus granulomatosis tulang temporal adalah pembedahan debulking yang bisa
disertai dengan pemberian steroid topikal dan injeksi intralesi. Terapi radiasi cukup
berhasil dalam penanganan lesi tulang temporal yang refrakter terhadap reseksi.
Sarkoidosis
Sarkoidosis adalah kelainan multisistem kronik, dengan karakteristik adanya
granuloma noncaseating. Gambaran klasik berupa gejala paru seperti batuk persisten
44
Modul I.8 - Kelainan Telinga Akibat Penyakit Sistemik
dan limfadenopati hilar pada foto thoraks. Gejala lain dapat terbentuk granuloma
pada kulit, iridosiklitis, keratokonjunktivitis, hepatosplenomegali, myalgias,
arthralgias, dan neuropathi. Pemeriksaan laboratorium memberikan gambaran khas
adanya hipercalcemia dan peninggian level enzim angiotensin-converting.
Manifestasi otologi yang ditemukan pada penyakit ini adalah demam uveoparotid (
sindroma Heerfordt) atau penyakit granulomatous pada telinga tengah dan tulang
temporal. Demam uveoparotid merupakan gabungan manifestasi klinis berupa
adanya parotitis, uveitis, demam dan parese fasialis. Granuloma pada tulang temporal
dan telinga tengah mengakibatkan ketulian konduktif atau sensorineural dan
disfungsi vestibuler . Pengobatan sarkoidosis adalah kortikosteroid. Pada kasus
refrakter pengobatan adalah methotrexate, cyclophosphamide, dan agen
imunomodulator.
Wegener Granulomatosis
Wegener granulomatosis (WG) adalah vaskulitis sistemik dari pembuluh darah kecil
dan sedang yang menyebabkan trias gejala berupa necrotizing granuloma pada
saluran nafas atas, necrotizing glomerulonephritis, dan necrotizing angiitis sistemik.
Penyakit ini merupakan proses autoimmun. Necrotizing granuloma dapat tumbuh
pada telinga tengah dan rongga mastoid, menyerang rantai osikula dan fungsi tuba
eustachius sehingga menyebabkan ketulian konduktif. Pada 8% - 20% kasus, WG
dapat menyerang telinga dalam dan menyebabkan ketulian sensorineural. Prognosis
pada pendengaran buruk apabila pengobatan yang tepat tidak diberikan pada stadium
awal dari penyakit ini. WG harus dimasukkan dalam diferensial diagnosis pada
kasus-kasus inflamasi telinga atipikal. Diagnosis awal dan pengobatan yang tepat
sangat penting untuk mencegah perubahan irreversible pada telinga tengah dan
dalam.
PENYAKIT AUTOIMUN
Inflamasi autoimun pada telinga dalam dapat merupakan bagian dari sindroma
autoimun sistemik atau dapat terjadi secara terpisah sebagai proses spesifik end-
organ. Penyakit autoimun yang paling sering menyerang telinga adalah sindroma
Cogan, polyarteritis nodosa (PAN), rheumatoid arthritis, relapsing polychondritis,
dan Wegener granulomatosis.
45
Modul I.8 - Kelainan Telinga Akibat Penyakit Sistemik
Manifestasi otologi pada beberapa penyakit autoimun adalah ketulian mendadak dan
bukti histopatologik adanya labirintitis.
Cogan Syndrome
Sindroma Cogan merupakan penyakit yang jarang dengan karakteristik oleh keratitis
nonsyphilitic interstitial disertai dengan vertigo, tinnitus, dan ketulian.
Osteogenesis Imperfecta
Kelainan jaringan ikat yang dapat menyebabkan tingginya kerentanan untuk
mengalami fraktur patologis. Beratnya penyakit beragam dari bentuk lethal pada
periode perinatal sampai bentuk ringan yang bersifat subklinis. Manifestasi otologi
adalah ketulian konduktif dan SNHL yang ditemukan pada 90% dari individu usia
> 30 tahun. CHL disebabkan oleh adanya fraktur patologi pada osikel, fiksasi
footplate stapes. CHL biasanya disertai dengan sklera biru sedangkan SNHL
biasanya disertai dengan sklera abu-abu dan putih. Penatalaksanaan adalah dengan
alat bantu dengar dan stapedectomy.
Osteopetrosis
Merupakan inherited disoroder yang menyebabkan kegagalan proses remodeling
tulang. Manifestasi otologi berupa SNHL akibat kranial neuropathy progressive
yang menimbulkan kompresi pada foramen telinga dalam, paralisis nervus fasialis
dan CHLyang diakibatkan oleh penebalan osikula dan fiksasi footplate stapes
Paget’s Disease
Merupakan kelainan dimana terjadi peningkatan aktifitas osteoblast dan osteoclast,
hipertrofi dan remodeling tulang. Manifestasi otologi adalah tuli campuran (mixed
HL) yang dikaitkan dengan perubahan densitas tulang yang mengganggu mekanisme
pendengaran normal pada telinga tengah dan dalam. Pengobatan dengan calcitonin
dan etidronate disodium untuk menurunkan aktifitas osteoclast.
46
MODUL UTAMA
OTOLOGI
MODUL I.9
IMPLANTASI PADA GANGGUAN
PENDENGARAN
EDISI III
KOLEGIUM
ILMU KESEHATAN TELINGA HIDUNG TENGGOROK
BEDAH KEPALA LEHER
2022
DAFTAR ISI
C. REFERENSI ................................................................................................. 1
D. KOMPETENSI ............................................................................................. 1
H. EVALUASI .................................................................................................. 5
M. MATERI BAKU......................................................................................... 11
I.9– Implantasi pada Gangguan Pendengaran
MODUL I.9
OTOLOGI – IMPLANTASI PADA GANGGUAN PENDENGARAN
A. WAKTU PEMBELAJARAN
Proses pengembangan kompetensi Alokasi waktu
Sesi dalam kelas 4 x 60 menit (classroom session)
Sesi praktikum 2 x 60 menit (coaching session)
Sesi praktik dan pencapaian 2 x 60 menit (facilitation and
kompetensi assessment)
B. PERSIAPAN SESI
1. Materi presentasi: Power point
2. Kasus: Implantasi Pendengaran
3. Sarana dan alat bantu latih: (disesuaikan dengan pencapaian kompetensi)
o Penuntun belajar (learning guide): terlampir.
o Tempat belajar (training setting): ruang kuliah, ruang praktikum, instalasi
rawat jalan, instalasi rawat inap, kamar operasi,.
o Model/manekin (liang) telinga.
o Komputer/laptop.
o In focus.
C. REFERENSI
1. Johnson, J.T, Rosen C.A. Cochlear Implant in Bailey’s Head and Neck Surgery-
Otolaryngology. Fifth edition. Volume two. Lippincott Williams & Wilkins.
2014.
2. Johnson, J.T, Rosen C.A. Vibrant Soundbridge in Bailey’s Head and Neck
Surgery-Otolaryngology. Fifth edition. Volume two. Lippincott Williams &
Wilkins. 2014.
3. Johnson, J.T, Rosen C.A. Bone Anchored Hearing Appliance in Bailey’s Head
and Neck Surgery-Otolaryngology. Fifth edition. Volume two. Lippincott
Williams & Wilkins. 2014.
4. Lee. K.J, Cochlear Implant. Esential Otolaryngology Head and Neck Surgery.
10th Edition. 2012.
D. KOMPETENSI
1. Pengetahuan
Setelah mengikuti sesi ini peserta didik mampu:
1
I.9– Implantasi pada Gangguan Pendengaran
2
I.9– Implantasi pada Gangguan Pendengaran
F. TUJUAN PEMBELAJARAN
Tujuan Pembelajaran Umum
Setelah mengikuti sesi ini peserta didik terampil dalam :
a. Menegakkan diagnosis penyakit yang membutuhkan alat bantu dengar
(Implantasi pendengaran)
Tujuan Pembelajaran Khusus
Setelah mengikuti sesi ini peserta didik diharapkan terampil dalam :
a. Menjelaskan anatomi dan fisiologi telinga tengah dan telinga dalam.
b. Menjelaskan patofisiologi inflamasi telinga tengah dan telinga dalam.
c. Menjelaskan gambaran klinis inflamasi telinga tengah dan telinga dalam.
d. Menegakkan diagnosis inflamasi telinga tengah dan telinga dalam.
e. Melakukan penanganan inflamasi telinga tengah dan telinga dalam serta
komplikasinya.
f. Melakukan follow-up pasien tengah dan telinga dalam
G. METODE PEMBELAJARAN
Tujuan 1. Menjelaskan anatomi, histologi, topografi dan fisiologi telinga tengah
dan telinga dalam.
Untuk mencapai tujuan ini maka dipilih metode pembelajaran berikut ini:
• Belajar mandiri.
• Diskusi kelompok.
Harus diketahui:
• Anatomi, histologi, dan topografi telinga tengah dan telinga dalam.
• Fisiologi telinga tengah dan telinga dalam.
3
I.9– Implantasi pada Gangguan Pendengaran
Untuk mencapai tujuan ini maka dipilih metode pembelajaran berikut ini:
• Belajar mandiri.
• Tinjauan pustaka.
• Kuliah.
• Diskusi kelompok.
Harus diketahui:
• Gambaran klinis (gejala dan tanda) inflamasi telinga tengah dan
telinga dalam.
Tujuan 4. Menegakkan diagnosis inflamasi telinga tengah dan telinga dalam.
Untuk mencapai tujuan ini maka dipilih metode pembelajaran berikut ini:
• Belajar mandiri.
• Kuliah.
• Diskusi kelompok.
• Bedside teaching.
• Praktik pada pasien.
Harus diketahui:
• Tanda dan gejala klinis inflamasi telinga tengah dan telinga dalam.
4
I.9– Implantasi pada Gangguan Pendengaran
H. EVALUASI
1. Pada awal pertemuan dilaksanakan pretest dalam bentuk tertulis dan lisan sesuai
dengan tingkat masa pendidikan yang bertujuan untuk menilai pengetahuan awal
yang dimiliki peserta didik dan untuk mengidentifikasi kekurangan yang ada. Materi
pretest terdiri atas :
a. Anatomi dan fisiologi telinga tengah dan telinga dalam.
b. Penegakan diagnosis inflamasi telinga tengah dan telinga dalam.
c. Penatalaksanaan inflamasi telinga tengah dan telinga dalam.
d. Follow up inflamasi telinga tengah dan telinga dalam.
2. Selanjutnya dilakukan diskusi bersama dengan fasilitator untuk membahas
kekurangan yang teridentifikasi, membahas isi dan hal-hal yang berkenaan dengan
penuntun belajar.
3. Peserta didik diwajibkan untuk mengaplikasikan langkah-langkah yang tertera dalam
penuntun belajar melalui metode bedside teaching pada pasien sesungguhnya
dibawah pengawasan fasilitator dan mengisi formulir penilaian sebagai berikut:
a. Perlu perbaikan: pelaksanaan belum benar atau sebagian langkah tidak
dilaksanakan.
b. Cukup: pelaksanaan sudah benar tetapi tidak efisien, misal pemeriksaan
terdahulu lama atau kurang memberi kenyamanan kepada pasien.
c. Baik: pelaksanaan benar dan baik (efisien).
4. Melakukan case based discussion (formulir penilaian terlampir).
5. peserta didik diberi masukan dan bila diperlukan diberi tugas yang dapat
memperbaiki kinerja (task-based medical education).
5
I.9– Implantasi pada Gangguan Pendengaran
6
I.9– Implantasi pada Gangguan Pendengaran
panduan bor. Selanjutnya, buat lubang dengan mengebor tegak lurus terhadap
permukaan tengkorak dengan bor berukuran 3mm kemudian dilanjutkan dengan
bor 4mm. Setelah mencapai kedalaman yang diinginkan, lubang diperlebar
dengan bor cautersink. Kemudian, implant ditanam dalam lubang menggunakan
bor dengan kecepatan yang sangat rendah dengan torsi 40-50Ncm (lebih rendah
pada anak-anak). Jahit jaringan lunak disekitar abutment kemudian tutup dengan
kasa antibiotik. Pasien diwajibkan kontrol setelah satu minggu untuk memastikan
luka tidak terinfeksi dan dilakukan penggantian kasa. Prosesor suara dapat
digunakan sekitar 12 minggu post operasi.
5. Sebutkan kriteria pasien yang dapat dilakukan implant VBS!
• Dewasa usia ≥18th dengan gangguan sensorineural, konduksi, maupun
campuran
• Memiliki riwayat menggunakan alat bantu dengar konvensional yang
menginginkan elternatif terapi lain
• Pasien dengan gangguan dengar sensorineural ringan hingga sedang
dengan diskriminasi tutur yang tidak membaik dengan alat bantu dengar
konvensional
• Fungsi telinga tengah normal dibuktikan dengan pemeriksaan klinis,
audiometri, dan timpanometri
• Tidak ada gangguan pendengaran retrokoklea maupun gangguan
pendengaran sentral
Tengah pembelajaran
Soal :
1. Cochlear implants stimulate:
a. Inner hair cells
b. Outer hair cells
c. Spiral ganglion cells
d. Reissner’s membrane
e. Cochlear nucleus
2. Cochlear implants are not appropriate for:
a. Prelingual deafness
b. Ossified cochleas
7
I.9– Implantasi pada Gangguan Pendengaran
8
I.9– Implantasi pada Gangguan Pendengaran
Kinerja setiap langkah yang dievaluasi diberi nilai sesuai skala berikut:
1 Perlu perbaikan: langkah tidak dikerjakan atau tidak sesuai dengan yang
seharusnya atau urutannya tidak sesuai (jika harus berurutan).
2 Mampu: langkah dikerjakan sesuai dengan yang seharusnya dan urutannya
(jika harus berurutan). Pelatih hanya membimbing untuk sedikit perbaikan atau
membantu untuk kondisi di luar normal.
3 Mahir: langkah dikerjakan dengan benar, sesuai urutannya dan waktu kerja
yang sangat efisien
T/D Langkah tidak diamati (penilai menganggap langkah tertentu tidak perlu
diperagakan).
9
I.9– Implantasi pada Gangguan Pendengaran
K. DAFTAR TILIK
PROSEDUR PEMASANGAN IMPLANTASI PENDENGARAN
Kinerja setiap langkah yang dievaluasi diberi nilai sesuai skala berikut:
1 Perlu perbaikan: langkah tidak dikerjakan atau tidak sesuai dengan yang
seharusnya atau urutannya tidak sesuai (jika harus berurutan).
2 Mampu: langkah dikerjakan sesuai dengan yang seharusnya dan urutannya
(jika harus berurutan). Pelatih hanya membimbing untuk sedikit perbaikan atau
membantu untuk kondisi di luar normal.
3 Mahir: langkah dikerjakan dengan benar, sesuai urutannya dan waktu kerja
yang sangat efisien
T/D Langkah tidak diamati (penilai menganggap langkah tertentu tidak perlu
diperagakan).
10
I.9– Implantasi pada Gangguan Pendengaran
L. MATERI PRESENTASI
M. MATERI BAKU
Jenis perangkat prostetik auditori:
• stimulator sel rambut
Pada pasien dengan populasi sel rambut yang cukup, dibutuhkan perangkat
prostetik stimulator sel rambut yang dapat digunakan untuk mengamplifikasi
sinyal akustik melalui sel rambut.
Stimulator sel rambut mengaktifkan sistem auditorik dengan cara meningkatkan
transfer energi akustik ke telinga dalam melalui alat bantu dengar, Implan telinga
tengah aktif dan implan pendengaran osseointegrated. Alat bantu dengar
konvensional mengamplifikasi suara melalui membran timpani di kanalis auditori
eksterna. Implan telinga tengah aktif mengamplifikasi suara melalui osikel atau
oval/round window telinga dalam. Implan pendengaran osseointegrated
menstimulasi telinga dalam melalui konduksi tulang cranii.
• stimulator neural
Pada pasien dengan populasi rambut yang kurang tetapi sarafnya baik, dibutuhkan
perangkat prostetik stimulator neural yang dapat memberikan stimulus listrik
secara langsung ke atau dalam jaringan saraf pendengaran.
Stimulator neural dapat berupa implant koklea, implan batang otak dan implan
otak tengah. Implant koklea didesain untuk pasien dengan populasi saraf
pendengaran cukup. Implan diletakkan secara longitudinal didalam lumen koklea
dekat serabut saraf distal. Perangkat ini sangat bergantung pada susunan tonotopik
dari serabut saraf di dalam koklea untuk dapat menstimulasi frekuensi yang
spesifik. Implan batang otak dapat digunakan untuk pasien yang tidak memiliki
11
I.9– Implantasi pada Gangguan Pendengaran
Implan Koklea:
Implan koklea adalah perangkat yang dirancang untuk mengubah suara
lingkungan menjadi impuls listrik yang dikirimkan ke sepanjang elektroda ganda yang
terletak dekat dengan nervus koklearis. Hasil akhir implantasi koklear dapat dilihat dari
kesadaran akan suara, peningkatan kemampuan membaca bibir, peningkatan persepsi
bicara, kualitas hidup dan efektivitas biaya. Pada orang dewasa akan didapati perbaikan
dalam hal bersosialisasi, kesempatan bekerja, pendapatan, kesehatan dan kesejahteraan
secara keseluruhan. Pada anak akan didapati peningkatan kemampuan berbicara dan
bahasa.
12
I.9– Implantasi pada Gangguan Pendengaran
Strategi pengkodean :
Saat ini semua strategi modern menggunakan beberapa variasi denyutan (on-off),
stimulasi sisipan dari banyak elektroda dalam satu paket dalam usaha mencapai stimulasi
spesifik dan mencegah interaksi antar saluran, sehingga meningkatkan selektivitas
frekuensi. Oleh karena itu, elektroda yang ter[isah secara spasial diaktifkan pada waktu
yang berbeda untuk memperhitungkan waktu refraktori saraf, penyebaran arus dan
interaksi medan listrik. Stretegi ini secara komersial dikenal sebagai Continuous
Interleaved Sampling (CIS), Advanced Combination Encoder (ACE), Spektral Peak
(SPeak) dan HiResolution (HiRes) dan digunakan secara individual oleh ketiga produsen
implant koklea dalam poduk mereka. Perbedaan utama diantara ketiganya adalah tingkat
stimulasi, jumlah saluran, hubungan antara jumlah filter dan jumlah elektroda yang
diaktifkan serta perincian tentang bagaimana masing-masing selubung saluran diekstraksi
dan berapa banyak informasi sinyal akustik temporal yang dipertahankan.
Pemilihan pasien :
Kontraindikasi absolut untuk implantasi koklear adalah aplasia koklea atau tidak
adanya nervus koklea. Kontraindikasi relative dapat berupa pasien yang sedang memiliki
penyakit telinga tengah aktif, resiko anastesi yang tinggi, dan pasien dengan residual
hearing yang berat.
Pada pasien dengan gangguan anatomi koklea dan gangguan saraf pusat perlu
diberikan pemahaman akan potensi lebih rendahnya hasil yang akan didapatkan setelah
dilakukan pemasangan implant. Adapun gangguan anatomi koklea dibagi menjadi dua,
yaitu gangguan koklea seperti obstruksi koklea yang luas, otosklerosis atau malformasi
telinga dalam yang berat dan gangguan nervus koklea seperti defisiensi nervus koklearis
atau tumor N.VIII ( vestibular schwannoma). Gangguan saraf pusat bisa berupa adanya
riwayat stroke, penyakit degenerative seperti sklerosismultipel, demensia, tumor atau
infeksi.
Modalitas radiologi pada implantasi koklea
Gambaran radiologi diagnostik tulang temporal dan otak adalah hal yang krusial
untuk mengidentifikasi etiologi penurunan pendengaran, menentukan anatomi untuk
operasi, melihat potensi adanya komplikasi yang mungkin terjadi dan mengidentifikasi
faktor yang dapat berdampak negatif terhadap prognosis pennggunaan perangkat.
13
I.9– Implantasi pada Gangguan Pendengaran
Kelainan yang ditemukan dapat berupa anomali labirin, penyakit sistem saraf pusat,
otosklerosis, inflamasi, fibrosis dan osifikasi telinga dalam.
Anomali labirin dapat diidentifikasi dengan menggunakan CT Scan ataupun MRI.
Adapun, MRI lebih unggul digunakan untuk mengidentifikasi penyakit sistem saraf pusat
seperti schwannoma vestibular, demielinasi atau stroke dan obstruksi lumen telinga
dalam seperti fibrosis. MRI merupakan modalitas yang baik untuk mengidentifikasi
koklea dan nervus koklearis. CT scan dapat lebih baik dalam menentukan derajat
obstruksi labirin akibat osifikasi, patensi bukaan nervus koklea dalam kasus kanalis
auditori interna yang kecil dan lokasi nervus fasialis didalam tulang temporal. CT scan
secara selektif digunakan jika terdapat obstruksi koklea, kanalis auditori interna yang
kecil atau tidak adanya kanalis semisirkularis sehingga menyebabkan anomali nervus
fasialis dan adanya patologi pada tulang temporal.
Pada kasus anomali labirin, struktur koklea dapat normal, tidak ada (malformasi
Michel), kistik, partisi inkomplit atau hipoplastik. Akuaduktus vestibular atau kantung
dan duktus endolimfatik dapat membesar, sendiri atau bersama ddengan partisi inkomplit
koklea. Grup ini sering disebut sebagai spektrum IP-EVA (pembasaran akuaduktus
vestibular partisi inkomplit). Apabila seluruh partisi koklea tidak ada tetapi masih ada
pemisahan antara kompartemen koklea dan labirin, maka disebut malformasi
kokleovestibular kistik. Jika tidak ada diferensiasi didalam labirin maka disebut common
cavity.
Defisiensi nervus koklearis merupakan penyakit dimana saraf pendengaran tidak
ditemukan atau ditemukan kecil pada hasil gambaran radiologi. Penyakit ini dapat
ditemukan pada pasien dengan morfologi telinga dalam yang normal maupun yang
malformasi. Obstruksi koklea akibat inflamasi koklea biasanya terjadi pada pasien
dengan riwayat meningitis dan penyakit imun telinga dalam seperti Cogan syndrome atau
pada perjalanan penyakit otitis media yang berat.
14
I.9– Implantasi pada Gangguan Pendengaran
pathogen yang dapat menyebabkan infeksi. Pemeriksaan nervus fasialis rutin dikerjakan
untuk seluruh operasi. Antibiotik perioperative diberikan 30 menit sebelum insisi kulit.
Sefalosporin generasi 1 sudah cukup karena pathogen telinga seperti streptococcus
pneumonia, haemophilus influenza dan pseudomonas aeruginosa jarang muncul pada
kasus rutin. Dalam kasus dimana mungkin terdapat pathogen telinga tengah, maka
antibiotik spectrum luas harus dipertimbangkan.
Persiapan :
Pasien telentang dengan posisi supin dengan kepala menoleh sehingga postaurikular
terekspos. Mencukur rambut seringnya tidak diperlukan. Sebelum dilakukan insisi pada
kulit, anastesi lokal berupa vasokontriktor difiltrasi di daerah postauricular. Insisi kulit
direncanakan mencapai lokasi penempatan receiver stimulator yang jauh dari pinna dan
mastoid. Apabila lokasi receiver stimulator terlalu dekat dengan pinna dikhawatirkan
akan timbul interaksi antara magnetic headpiece dan speech processor. Apabila terlalu
dekat dengan mastoid dikhawatirkan jika terjadi retraksi kulit, perangkat akan terpapar
dengan hal yang tidak diinginkan. Petunjuk lokasi yang disediakan oleh pabrik implant
dapat membantu untuk menentukan lokasi yang tepat. Injeksi fokal metilen blue ke kulit
dan tulang membantu indentifikasi posisi tulang untuk perangkat internal setelah elevasi
kulit. Penentuan lokasi perangkat secara relatif di rongga mastoid setelah pemaparan
tulang dapat menjadi tidak efektif karena ukuran mastoid sangat bervariasi diantara
individu dari berbagai macam usia. Posisi akhir receiver stimulator biasanya terletak
superior dan posterior dari pinna. Sumbu panjang perangkat membentuk kemiringan 45
derajat melalui arkus zygomatikum.
Peletakan receiver stimulator dan fiksasi :
Setelah insisi kulit dibentuk subperiosteal pocket, di lokasi yang akan menjadi
tempat receiver stimulator internal, yang dibatasi secara inferior oleh jahitan lambdoid
dan ukurannya dibatasi untuk tempat penanaman perangkat. Untuk orang dewasa, semua
tehnik bisa cukup dilakukan, sedangkan untuk anak, penjahitan simpel periosteum
memberikan fiksasi yang kaku ke tulang dan mampu menghindari lubang bor atau sekrup
intra atau transkortikal yang dapat membahayakan dura atau sinus vena dibawahnya.
Pendekatan :
Masitoidektomi standar dilakukan. Recessus fasialis dibuka maksimal dengan
menggunakan kanalis semisirkularis horizontal, fossa incudis, chorda tympani, dan nevus
15
I.9– Implantasi pada Gangguan Pendengaran
fasialis sebagai area penanda. Nervus fasialis biasanya dapat dilihat melewati tulang tanpa
perlu mengeksposnya. Round window niche pada awalnya diidentifikasi sebagai area
menonjol yang bulat dan bertulang yang terletak inferior dari oval window niche dan
anterior-inferior dari tendon stapedius. Round window niche selalu terletak di posterior
dari nervus Jacobson pada promontorium koklea dan 1-2 mm inferior dari oval window.
Dengan eksplorasi yang adekuat, round window niche diambil untuk mengekspos
membran round window, area penanda utama untuk skala timpani.
Kokleostomi
Ketika menjelaskan teknik pembedahan untuk pembuatan kokleostomi, Anda
harus mengingat objektif mendasar berikut: buka skala timpani (dan bukan skala
vestibuli), minimalisir trauma kolateral terhadap struktur intrakoklea yang relevan secara
fisiologis, dan buat jalan insersi yang relatif lurus terhadap sumbu longitudinal dari basal
koklea untuk memungkinkan insersi elektroda yang bebas hambatan. Saat ini, berbagai
teknik kokleostomi yang berbeda telah tersedia dan dapat diadaptasi untuk situasi klinis
bergantung pada kondisi berikut: susunan elektroda yang digunakan, morfologi koklea,
dan keinginan untuk preservasi pendengaran.
Pendekatan kokleostomi adaptif digunakan ketika susunan elektroda bersifat
panjang, kaku, dan diinsersi dengan stylet atau insersi alat yang kaku dilakukan pada
kokleostomi yang terpisah. Untuk susunan elektroda yang sangat panjang dan dirancang
untuk mengcover koklea secara lengkap, kokleostomi dengan insersi melingkar dapat
dilakukan pada bony wall atau membran round window. Pada kasus tersebut, panjang
koklea menentukan apakah resistensi insersi akan ditemukan atau tidak. Pada kasus
susunan elektroda yang lebih pendek untuk preservasi pendengaran, pembukaan yang
mencakup membran round window merupakan teknik yang digunakan.
Insersi Elektroda
Insersi susunan elektroda ke dalam skala timpani tanpa adanya hambatan
merupakan tujuan dari sebagian besar implantasi. Berbagai alat tersedia untuk berbagai
perangkat. Secara umum, forsep jeweler standar merupakan alat terbaik untuk sebagian
besar insersi susunan elektroda.
Telemetri dan Pencitraan
Setelah peletakkan perangkat dan penutupan luka bedah, pemeriksaan perangkat
dilakukan oleh perangkat lunak produsen. Semua perangkat memiliki program telemetri
16
I.9– Implantasi pada Gangguan Pendengaran
yang memungkinkan pengukuran impendansi elektroda dan potensial aksi senyawa yang
dibangkitkan secara elektrik. Pengukuran impendansi berguna untuk mengidentifikasi
sirkuit terbuka. Jika sejumlah sirkuit ditemukan terbuka, pergantian perangkat harus
dipertimbangkan untuk memastikan jumlah elektroda yang tersedia mencukupi untuk
stimulasi. Meskipun potensial aksi senyawa yang dibangkitkan secara elektrik
kemungkinan tidak berguna pada kasus pasien dewasa, dimana jumlah nervus koklearis
bukanlah suatu masalah, teknik ini dapat menyediakan informasi yang berguna pada
kemungkinan kasus gangguan neural seperti ANSD, malformasi telinga dalam, atau
CND. Pada kasus di atas, hasil dari tindakan tersebut telah terbukti berhubungan dengan
performa upaya open-set speech perception ke depannya. Selanjutnya, penentuan
threshold atau nilai ambang untuk potensial aksi senyawa yang dibangkitkan secara
elektrik dapat mengidentifikasi poin awal stimulasi yang berguna untuk anak-anak.
Komplikasi:
Komplikasi yang terjadi diakibatkan pembedahan dan komplikasi yang berhubungan
dengan implant.
• Infeksi pada luka flap
• Kebocoran LCS
• Perdarahan
• Penyisipan elektroda yang tidak lengkap
• Ekstruksi elektroda
• Cedera nervus fasialis
• Kerusakan alat
• Sirkuit elektroda yang terbuka
Ringkasan
Implan koklea merupakan intervensi prostetik dengan keberhasilan tinggi untuk
pasien dengan tuli sensorineural yang tidak dapat ditangani dengan amplifikasi high gain
konvensional. Implan koklea menggunakan susunan multielektroda untuk
mengembalikan pendengaran melalui stimulasi saraf auditori pada batas tonotopik
koklea, sehingga memungkinkan stimulasi yang spesifik terhadap frekuensi. Perangkat
tersebut dapat diinsersikan dalam waktu 1-2 jam pembedahan dengan risiko yang relatif
kecil. Aktivasi dapat menghasilkan respon terhadap suara dan pemahaman terhadap
ucapan, dengan demikian dapat meningkatkan perkembangan bahasa lisan, kesempatan
17
I.9– Implantasi pada Gangguan Pendengaran
pendidikan untuk anak, komunikasi, sosialisasi, serta kesempatan bekerja untuk dewasa.
Manfaat tersebut memberikan hasil yang sangat memuaskan, baik dari segi biaya maupun
kualitas hidup. Area penelitian di masa depan terfokus pada indikasi yang lebih luas,
mengkombinasi perangkat tersebut dengan alat pendengaran akustik konvensional,
teknologi implantable total, dan paradigma stimulasi yang lebih baru.
Daftar pustaka
1. Johnson, J.T, Rosen C.A. Cochlear Implant in Bailey’s Head and Neck Surgery-
Otolaryngology. Fifth edition. Volume two. Lippincott Williams & Wilkins. 2014
2. Johnson, J.T, Rosen C.A. Vibrant Soundbridge in Bailey’s Head and Neck
Surgery-Otolaryngology. Fifth edition. Volume two. Lippincott Williams &
Wilkins. 2014
3. Johnson, J.T, Rosen C.A. Bone Anchored Hearing Appliance in Bailey’s Head
and Neck Surgery-Otolaryngology. Fifth edition. Volume two. Lippincott
Williams & Wilkins. 2014
4. Lee. K.J, Cochlear Implant. Esential Otolaryngology Head and Neck Surgery.
10th Edition. 2012
18
I.9– Implantasi pada Gangguan Pendengaran
diubah menjadi getaran mekanis oleh FMT. FMT bergetar secara teratur sesuai
kebutuhan pendengaran pasien. FMT adalah komponen utama pada VBS.
Prosedur pembedahan
1. Jalur resesus fasialis melalui mastoidektomi dan timpanotomi posterior
19
I.9– Implantasi pada Gangguan Pendengaran
proses pembedahan membutuhkan waktu sekitar 2-2,5 jam dan dapat dikerjakan pada
pasien rawat jalan maupun rawat inap. Pasien diwajibkan kontrol setelah 4-8 minggu post
operasi untuk dilakukan evaluasi dan pemrograman audio processor untuk mengaktifkan
VBS.
Komplikasi
• Cedera n. korda timpani
• Infeksi post-operasi
• Aktivasi device oleh medan elegtromagnet lain (microwave, oven, dll)
• Krusakan demodulator implant
• Kesalahan meletakkan implant
20
I.9– Implantasi pada Gangguan Pendengaran
Daftar pustaka
1. Johnson, J.T, Rosen C.A. Cochlear Implant in Bailey’s Head and Neck Surgery-
Otolaryngology. Fifth edition. Volume two. Lippincott Williams & Wilkins. 2014
2. Johnson, J.T, Rosen C.A. Vibrant Soundbridge in Bailey’s Head and Neck
Surgery-Otolaryngology. Fifth edition. Volume two. Lippincott Williams &
Wilkins. 2014
3. Johnson, J.T, Rosen C.A. Bone Anchored Hearing Appliance in Bailey’s Head
and Neck Surgery-Otolaryngology. Fifth edition. Volume two. Lippincott
Williams & Wilkins. 2014
4. Lee. K.J, Cochlear Implant. Esential Otolaryngology Head and Neck Surgery.
10th Edition. 2012
21
I.9– Implantasi pada Gangguan Pendengaran
22
I.9– Implantasi pada Gangguan Pendengaran
Komplikasi
• Infeksi lokal jaringan lunak sekitar implant
• Perdarahan
• Kegagalan osteointegrasi
Daftar pustaka
1. Johnson, J.T, Rosen C.A. Cochlear Implant in Bailey’s Head and Neck Surgery-
Otolaryngology. Fifth edition. Volume two. Lippincott Williams & Wilkins. 2014
2. Johnson, J.T, Rosen C.A. Vibrant Soundbridge in Bailey’s Head and Neck
Surgery-Otolaryngology. Fifth edition. Volume two. Lippincott Williams &
Wilkins. 2014
3. Johnson, J.T, Rosen C.A. Bone Anchored Hearing Appliance in Bailey’s Head
and Neck Surgery-Otolaryngology. Fifth edition. Volume two. Lippincott
Williams & Wilkins. 2014
4. Lee. K.J, Cochlear Implant. Esential Otolaryngology Head and Neck Surgery.
10th Edition. 2012
23