Anda di halaman 1dari 33

Referat

Peran Interleukin 8 (IL-8) terhadap Tanda dan Gejala Rinitis Alergi


(RA)

Disusun Oleh:
Wilson Wibisono
S922208005

Pembimbing:
dr. Niken Dyah Aryani, Sp.T.H.T.B.K.L, M.Kes

PROGRAM PENDIDIKAN SPESIALIS I ILMU KESEHATAN THT-KL


FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SEBELAS MARET
2023
LEMBAR PENGESAHAN

Telah dipresentasikan Ilmiah Referat dengan judul :

Peran Interleukin 8 (IL-8) terhadap Tanda dan Gejala Rinitis Alergi (RA)

Oleh :
Wilson Wibisono
S922208005

Mengetahui

Pembimbing
dr. Niken Dyah Aryani, Sp.T.H.T.B.K.L, M.Kes
NIP. 1983041621060101

ii
DAFTAR ISI

LEMBAR PENGESAHAN...................................................................................ii
DAFTAR ISI..........................................................................................................iv
DAFTAR GAMBAR..............................................................................................v
DAFTAR TABEL.................................................................................................vi
ABSTRAK............................................................................................................vii
ABSTRACT..........................................................................................................viii
BAB I PENDAHULUAN......................................................................................1
A. LATAR BELAKANG....................................................................................1
B. TUJUAN PENULISAN.................................................................................2
C. MANFAAT PENULISAN.............................................................................2
BAB II TINJAUAN PUSTAKA...........................................................................3
A. NASAL...........................................................................................................3
1. Anatomi nasal............................................................................................3
2. Fisiologi nasal............................................................................................9
B. RINITIS ALERGI......................................................................................11
1. Pengertian................................................................................................11
2. Etiologi....................................................................................................12
3. Faktor Risiko...........................................................................................12
4. Klasifikasi Rinitis alergi..........................................................................13
5. Patofisiologi.............................................................................................15
6. Tanda dan Gejala.....................................................................................17
7. Diagnosis.................................................................................................17
C. Peran Interleukin 8 (IL-8) terhadap Tanda dan Gejala Rinitis Alergi
(RA)...................................................................................................................18
BAB III..................................................................................................................22
KESIMPULAN.....................................................................................................22
DAFTAR PUSTAKA...........................................................................................23

iii
DAFTAR GAMBAR

Gambar 2.1. Zona kualitas kulit hidung (Harianingrum et al., 2018)


Gambar 2.2. Vaskularisasi hidung berasal dari a. carotis interna dan externa
(Heidsieck et al., 2016)
Gambar 2.3. Pasokan darah ke dinding hidung bagian dalam lateral sangat kuat
dan membantu mencegah masalah saat terjadi peregangan jaringan. Banyak
cabang berasal dari arteri karotis interna dan eksterna. (Heidsieck et al., 2016)
Gambar 2.4. Otot hidung
(Netter’s Head and Neck Anatomy for Dentistry. 3rd ed. New York: Elsev
5
Gambar 2.5. Turbinat superior, medial, dan inferior. (Sumber: Plastic Surgery:
Volume 2: Aesthetic Surgery. 4th ed. New York: Elsevier; 2018:417–429).8
Gambar 2.6. Fase awal dan akhir menunjukkan proses patofisiologi dan pemicu
rinitis alergi serta lokasi potensial untuk intervensi farmakologis. Protein kationik
eosinofil ECP, molekul adhesi antar sel ICAM-1-1, imunoglobulin E IgE, IL
interleukin ( Bjermer et al., 2019).16
Gambar 2.7. Mekanisme neutrofil dimana berhubungan dengan tanda dan gejala
penyakit saluran pernapasan (Douros & Everard, 2020)......................................21

iv
DAFTAR TABEL

Tabel 2.1. Klasifikasi rinitis alergi berdasarkan Allergic rhinitis and its impact on
asthma (ARIA) guideline (Bernstein, 2018; Nur Husna et al., 2022).4

v
ABSTRAK

Peran Interleukin 8 (IL-8) terhadap Tanda dan Gejala Rinitis


Alergi (RA)
Danni Mahendra, Dewi Pratiwi

Bagian Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Bedah Kepala Leher


Fakultas Kedokteran Universitas Sebelas Maret/RSUD Moewardi Surakarta

Latar belakang: Rinitis alergi (RA) merupakan penyakit hipersensitivitas


tipe I yang dimediasi oleh sistem imun yang diinduksi IgE-mediated
inflammation. Reaksi hipersensitivitas tipe I terjadi dengan cepat, biasanya dalam
waktu 20 menit setelah paparan alergen, dan ditandai dengan aktivasi sel mast dan
sel inflamasi serta infiltrasinya ke dalam jaringan. Respon alergi pada AR dapat
dibagi menjadi dua fase yaitu fase awal dan fase akhir. Gejala pada RA yaitu
gejala hidung dan non-hidung. Pada RA, sel mast berperan dalam pelepasan
sitokin pro inflamasi seperti IL-8, faktor inflamasi seperti histamin, dan lain-lain.
Interleukin-8 (IL-8) adalah kemokin yang diinduksi oleh beragam rangsangan
inflamasi, dimana IL-8 berkaitan erat dengan neutrofil yang berhubungan erat
dalam memunculkan gejala pada RA. Tujuan: Memberi wawasan mengenai
peran interleukin-8 (IL-8) terhadap tanda dan gejala pada penyakit rinitis alergi.
Kesimpulan: IL-8 dapat menimbulkan gejala pada rinitis alergi seperti rinorea,
sumbatan hidung, dan bersin dengan mekanisme aktivasi neutrofil yang diinduksi
IL-8.

Kata Kunci: interleukin-8, tanda dan gejala, rinitis alergi

vi
ABSTRACT
The Role of Interleukin 8 (IL-8) in Signs and Symptoms of Allergic
Rhinitis (RA)
Danni Mahendra, Dewi Pratiwi

Department of Otorhinolaryngology Head Neck Surgery


Faculty of Medicine Sebelas Maret University/Dr. Moewardi General Hospital
Surakarta

Background: Allergic rhinitis (RA) is a type I hypersensitivity disease mediated


by the immune system induced by IgE-mediated inflammation. Type I
hypersensitivity reactions occur rapidly, usually within 20 minutes after allergen
exposure, and are characterized by activation of mast cells and inflammatory
cells and their infiltration into tissues. The allergic response to AR can be divided
into two phases, namely the initial phase and the final phase. Symptoms of RA
include nasal and non-nasal symptoms. In RA, mast cells play a role in the
release of pro-inflammatory cytokines such as IL-8, inflammatory factors such as
histamine, and others. Interleukin-8 (IL-8) is a chemokine that is induced by
various inflammatory stimuli, where IL-8 is closely related to neutrophils which
are closely related to causing symptoms in RA. Purpose: To provides insight into
the role of interleukin-8 (IL-8) in the signs and symptoms of allergic rhinitis..
Conclusion: IL-8 can cause symptoms in allergic rhinitis such as rhinorrhea,
nasal obstruction, and sneezing by the mechanism of IL-8-induced neutrophil
activation.

Keywords: interleukin-8, sign and symptoms, allergic rhinitis

vii
BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Rinitis alergi (RA) merupakan penyakit atopik dengan manifestasi klinis
bersin, hidung tersumbat, rinorea dengan sekret bening, dan pruritis pada hidung.
Pada rinitis alergi terjadi sensitisasi respon imun yang diperantarai IgE yang
melawan antigen (alergen) yang dihirup pada fase awal, diikuti oleh fase akhir
yang diperantarai leukotrien (Akhouri, 2023; Nur Husna et al., 2022).
Prevalensi rinitis alergi berdasarkan diagnosis dokter adalah sekitar 15%;
namun, prevalensinya diperkirakan mencapai 30% berdasarkan pasien dengan
gejala pada nasal. Rinitis alergi diketahui mencapai puncaknya pada dekade kedua
hingga keempat kehidupan dan kemudian menurun secara bertahap. Insidensi RA
pada populasi pediatri juga tinggi, menjadikan RA penyakit kronis tersering pada
anak-anak. Data dari the International Study for Asthma and Allergies in
Childhood, 14,6% dari anak usia 13-14 tahun dan 8,5% dari anak usia 6-7 tahun
menunjukkan gejala rhinokonjungtivitis yang berhubungan dengan rinitis alergi.
Rinitis alergi biasanya disertai penyakit lain seperti asma, sehingga menyebabkan
gangguan kualitas hidup (ADL), prestasi sekolah atau pekerjaan, dan dampak
finansial yang signifikan. Penyakit ini terbukti disebabkan oleh sitokin Th2 yang
sangat tinggi, dan temuan terbaru mengenai penyebab RA mengarah pada
kerusakan integritas penghalang epitel hidung
(Akhouri, 2023; Nur Husna et al., 2022)
.
Penelitian terdahulu menyebutkan bahwa gejala-gejala hidung yang terdapat
pada rhinitis alergi seperti rinorea, sumbatan hidung, dan bersin, telah ditemukan
berkorelasi erat dengan biomarker IL-8 dan neutrofil. Interleukin seperti IL-6 dan
IL-8 banyak digunakan sebagai penanda diagnostik dan prognostik untuk kondisi
infeksi (misalnya septik) dan inflamasi lainnya (misalnya traumatis). Namun,
relevansi IL-8 pada inflamasi sistemik belum sepenuhnya dipahami. Fungsi utama
IL-8 mengenai neutrofil adalah induksi kemotaksis. Penelitian saat ini
berkembang ke arah pengobatan imunoterapi yang langsung menargetkan IL-8
(antibodi IL-8), dengan berfokus pada tanda dan gejala tiap individu pengidap
penyakit inflamasi seperti RA (Bernhard et al., 2021).

1
B. TUJUAN PENULISAN
Tujuan penulisan makalah ini adalah untuk memberi wawasan
mengenai peran interleukin-8 (IL-8) terhadap tanda dan gejala pada penyakit
rinitis alergi.

C. MANFAAT PENULISAN
Manfaat dari penulisan makalah ini ialah dapat digunakan sebagai
sumber referensi tambahan mengenai peran interleukin-8 (IL-8) terhadap
tanda dan gejala pada penyakit rinitis alergi.

2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. NASAL

1. Anatomi nasal
a) Bagian luar nasal (Skin)

Gambar 2.1. Zona kualitas kulit hidung (Harianingrum et al., 2018)

Ketebalan kulit hidung akan berbeda-beda tergantung pada area


hidung mana. Pada daerah radix, kulit cukup tebal dan tidak dapat bergerak,
sedangkan kulit pada rhinion (persimpangan tulang hidung dan tulang rawan
lateral atas) adalah yang paling tipis dan biasanya cukup mobile. Kulit
seringkali menjadi menebal dan lebih melekat pada ujungnya akibat
peningkatan unit sebaceous. Kulit yang menebal bisa terkadang menutupi
tulang rawan di bawahnya, sehingga membuat ujungnya sangat tidak jelas
atau tidak berbentuk (Khan et al., 2022).

3
b) Vaskularisasi nasal

Gambar 2.2. Vaskularisasi hidung berasal dari a. carotis interna dan externa
(Heidsieck et al., 2016)

Jaringan hidung sangat vaskular, dan pasokan darah berasal dari


beberapa sumber berbeda, yaitu dari arteri karotis interna dan eksterna.
Konvergensi pembuluh darah dari arteri karotis ini menciptakan pleksus
vaskular yang kaya akan memperdarahi tidak hanya hidung bagian luar,
namun juga septum hidung dan struktur internal (Khan et al., 2022).

Gambar 2.3 Pasokan darah ke dinding hidung bagian dalam lateral sangat kuat dan
membantu mencegah masalah saat terjadi peregangan jaringan. Banyak cabang berasal dari
arteri karotis interna dan eksterna. (Heidsieck et al., 2016)

4
Cabang dari arteri etmoid anterior, arteri nasalis dorsal, dan cabang
dari arteri facialis, arteri labial angularis dan superior, berkumpul untuk
menciptakan jaringan pembuluh darah yang beranastomosis untuk memasok
daerah ujung hidung dan struktur di bawahnya, sehingga membantu
mengidentifikasi suplai darah yang kuat ke hidung luar dan ujung hidung.
Cabang dari arteri labial superior, arteri sphenopalatina, dan arteri ethmoid
anterior memperdarahi septum hidung. Pasokan darah yang banyak ini
memungkinkan hidung untuk sembuh dengan cukup baik dengan risiko
infeksi atau risiko nekrosis kulit yang sangat minimal. Sistem vena dan
limfatik yang mengalirkan darah ke hidung sejajar dengan suplai arteri nasalis
akan mengalir ke pleksus pterigoid, serta vena oftalmikus dan vena facialis
(Khan, 2022).

c) Otot hidung

5
Gambar 2.4. Otot hidung
(Netter’s Head and Neck Anatomy for Dentistry. 3rd ed. New York: Elsevier; 2

Secara umum diyakini bahwa otot-otot yang membentuk hidung


merupakan kelanjutan dari sistem musculoaponeurotic superfisial (SMAS).
Ini adalah lapisan fibromuskular padat yang berlanjut secara lateral dengan
otot-otot ekspresi wajah lainnya serta otot platysma di leher. Otot-otot ini juga
membantu pernapasan dan animasi saat tersenyum (Khan et al., 2022).
Otot dibagi menjadi otot-otot yang menonjol (procerus, anomali nasi,
dan levator labii superioris alaeque nasi), yang menekan (alar hidung,
depressor septi nasi), yang melebar (tiga otot elevator melebarkan hidung),
dan yang menekan hidung (nasalis transversal, kompresor narium minor).
Semua otot disuplai oleh cabang zygomatik atau bukal dari saraf wajah
(Khan et al., 2022)
..
Otot-otot ini merupakan otot berpasangan, namun tidak seperti otot-
otot ekspresi wajah lainnya, otot-otot ini tipis dan lebih superficial (dangkal).

6
Sangat penting untuk membatasi diseksi di bawah lapisan otot karena banyak
pembuluh darah yang mensuplai hidung mengalir ke lapisan otot. Diseksi otot
dapat mengganggu suplai darah sehingga membahayakan hidung dan
meningkatkan risiko komplikasi (Khan et al., 2022).
d) Tulang dan kartilago nasal

Dorsum nasal terdiri dari sepasang tulang hidung dan tulang bagian
depan. Di nasion (jahitan nasofrontal) hidung brankas berada pada titik paling
tebal. Penyatuan tulang frontal dan hidung ini merupakan penanda klinis yang
penting, yaitu sudut nasofrontal. Sudut ini biasanya antara 115 hingga 130
derajat, membuat sudut ini lebih lancip dapat memberikan ilusi bahwa ujung
hidung diputar, dan hidung kurang menonjol. Sudut yang lebih tumpul dapat
memberikan kesan bahwa hidung terlalu terputar dan memanjang
(Khan et al., 2022)
..
Tulang hidung akan berartikulasi satu sama lain di medial, rahang atas
di lateral, tulang frontal di sefalik, dan sepasang tulang rawan lateral atas
(ULC) di kaudal. Panjang dan ketebalan tulang hidung bervariasi, namun
tulang akan menipis jika memanjang ke arah caudal. Saat kita bertransisi dari
vault (atap) tulang ke atap tengah/sepertiga tengah piramida hidung, dorsum
hidung kini disokong terutama oleh sepasang ULC bersama dengan batas
anterior septum hidung yang mana tulang rawan mempunyai perlekatan yang
kuat. Hubungan antara ULC dan septum ini adalah lokasi katup hidung
internal. membantu kita mengidentifikasi lokasi katup hidung internal dan
eksternal. Jaringan parut atau penyempitan di wilayah ini dapat menyebabkan
penyumbatan hidung (Khan et al., 2022)..
e) Septum nasi

Septum nasi merupakan struktur garis tengah hidung yang memiliki


koneksi ke seluruh struktur; yaitu tulang hidung, ULC, dan LLC seperti yang
disebutkan sebelumnya. Hal ini dikatakan oleh beberapa penulis bahwa
septum hidung adalah “landasan” hidung (Khan et al., 2022)..

7
Septum nasi terdiri dari bagian tulang dan tulang rawan. Kita bisa
melihat tulang rawan dan struktur tulang septum hidung. Tulang rawan segi
empat adalah satu-satunya bagian tulang rawan. Bagian posterior septum
terdiri dari beberapa tulang berbeda; pelat ethmoid yang tegak lurus, vomer
(satu tulang septum terpisah), keduanya terselip di bawah tulang hidung.
Dasar septum terdiri dari tulang belakang hidung dan puncak rahang atas dan
palatine (Khan et al., 2022)..
Sekarang kita dapat melihat dengan semua sambungan septum bahwa
akan sulit untuk mengubah hidung yang bengkok tanpa harus mengubah
septum hidung terlebih dahulu. Septum juga merupakan sumber tulang rawan
yang bagus untuk digunakan dalam mencangkok area lain di dorsum hidung,
ujung hidung, atau daerah kolumela. Saat mengeluarkan tulang rawan dari
septum hidung, penting untuk diingat untuk menyisakan setidaknya 1 cm
bagian ekor dan 1 cm bagian punggung untuk memberikan dukungan yang
memadai untuk ujung hidung dan dorsum. Kegagalan untuk melakukan hal
ini dapat mengakibatkan ujung hidung lemah dan/atau kelainan bentuk hidung
pelana (Khan et al., 2022)..
f) Turbinatus nasal

Hidung memiliki tiga struktur mirip sirip berpasangan di dalam setiap


rongga hidung. Ini masing-masing dikenal sebagai turbinat inferior, tengah,
dan superior. Sebagai catatan, pada beberapa pasien, mungkin terdapat
turbinat superior; namun hal ini jarang terjadi. Turbinat yang paling penting
bagi fungsi hidung adalah turbinat inferior, karena variasi ukuran dan bentuk
turbinat ini dapat berdampak pada fungsi hidung (pelembapan dan pengaturan
suhu hidung) dan penyumbatan hidung (Khan et al., 2022)..

8
Gambar 2.5. Turbinat superior, medial, dan inferior. (Sumber: Plastic Surgery:
Volume 2: Aesthetic Surgery. 4th ed. New York: Elsevier; 2018:417–429).

Turbinatus hidung inferior merupakan pertumbuhan dari dinding


hidung lateral rongga hidung. Ini terdiri dari kerangka tulang yang dikelilingi
oleh lapisan mukosa. Turbinat inferior akan menempel pada lempeng tegak
lurus tulang palatine dan permukaan hidung rahang atas. Turbinat hidung
yang terlalu besar dapat diperkecil ukurannya untuk membantu memperbaiki
saluran napas hidung dan memberikan aliran udara yang lebih baik
(Khan et al., 2022)
..

2. Fisiologi nasal
Ada tiga fungsi utama hidung; yaitu membantu pernapasan,
memungkinkan penciuman, dan memberikan perlindungan melalui
penyaringan partikel eksternal dan alergen saat mereka dihirup. Hidung
mempunyai apa yang disebut siklus hidung; perubahan hidung tersumbat dan

9
dekongesti antara dua saluran udara hidung (kanan dan kiri), yang membantu
membantu fungsi dan pertahanan pernapasan (Khan et al., 2022)..
Saat seseorang menghirup udara dari lingkungan luar, rongga hidung
membantu dengan mempersiapkan udara ini untuk pertukaran oksigen. Udara
menjadi hangat dan lembab dengan sangat cepat saat bersentuhan dengan
permukaan mukosa yang luas. Mukosa pembuluh darah, yang memiliki
banyak suplai darah pada suhu tubuh, menghangatkan udara yang dihirup saat
bersentuhan dengan mukosa hingga 37°C, sehingga membuatnya lebih cocok
untuk paru-paru dan memfasilitasi pertukaran gas alveolar. Proses
pelembapan ini ditingkatkan karena aliran udara turbulen yang dihasilkan
oleh turbinat hidung dan membantu meningkatkan kontak antara udara dan
mukosa hidung. Peningkatan turbulensi aliran udara ini tidak hanya
membantu melembabkan udara, tetapi juga membantu penciuman. Penciuman
adalah cara di mana tubuh kita dapat mengidentifikasi sumber bahaya atau
nutrisi di sekitar. Sistem ini juga dapat mempengaruhi mood dan seksualitas
kita. Saat udara memasuki rongga hidung, turbinat hidung akan membantu
mengarahkan sebagian udara inspirasi menuju celah penciuman, yang terletak
di atap rongga hidung dekat pelat kribriformis. Reseptor penciuman ini akan
mengikat bau yang terkandung dalam udara inspirasi. Pengikatan bau akan
mengirimkan sinyal ke korteks penciuman dan wilayah otak yang lebih tinggi
untuk ditafsirkan (Khan et al., 2022)..
Dalam hal perlindungan, yang harus dipahami adalah anatomi mukosa
hidung. Mukosa terdiri dari beberapa lapisan berbeda; lapisan epitel kolumnar
pseudostratifikasi bersilia, lamina propria, submukosa, dan periosteum.
Sejumlah limfosit, sel plasma, dan makrofag terletak di bawah epitel untuk
membantu menghilangkan sisa-sisa debris. Saat seseorang menarik napas,
aliran udara hidung bersentuhan dengan mukosa, sehingga memaparkannya
kepada materi partikel. Partikel yang lebih besar disaring oleh vibrissae
hidung sebelum memasuki rongga hidung. Partikel yang lebih kecil
bersentuhan dengan lapisan lendir yang menutupi mukosa hidung, sehingga
terperangkap dalam sekresi lendir. Mereka kemudian diikat oleh dimer
sekretori IgA yang membantu mencegah perlekatan patogen ke epitel,

10
sehingga mengalihkan invasi patogen. Pembersihan lendir membantu
mengangkut partikel yang terperangkap keluar dari saluran napas hidung.
Flora normal rongga hidung dan mukosa hidung juga akan melindungi
terhadap patogen dengan bersaing dengan bakteri dan alergen untuk
mendapatkan ruang dan nutrisi di dalam rongga hidung (Khan et al., 2022).
a) Sel Epitel (Silia)
Sel epitel memberikan penghalang fisik yang mencegah invasi jaringan
di bawahnya. Epitel skuamosa berlapis di dalam rongga digantikan oleh
epitel pernapasan kolumnar semu yang terletak lebih jauh di sepanjang
saluran pernapasan. Silia di puncak sel epitel berfungsi mendorong
lendir, alergen, dan partikel asing dari rongga hidung menuju faring
untuk dikeluarkan melalui menelan. Sel epitel juga terlibat dalam respon
inflamasi dengan melepaskan sitokin (Freeman, 2023).
b) Sel Endotel (Dasar dari pembuluh darah)
Suplai darah yang kaya ke mukosa hidung dibentuk oleh sel-sel endotel.
Lapisan sel yang tipis ini memungkinkan terjadinya pemanasan cepat
udara yang masuk ke saluran pernapasan. Otot polos yang mengelilingi
lapisan endotel ini memungkinkan penyempitan dan pelebaran pembuluh
darah, berfungsi mengatur kemacetan saluran hidung selama respons
inflamasi (Freeman, 2023).
c) Kelenjar Lendir
Lendir yang diproduksi di lamina propria dilepaskan melalui kelenjar ke
permukaan epitel—lendir berfungsi untuk menjebak partikel eksternal
sekaligus menjaga penghalang epitel. Peningkatan stimulasi parasimpatis
menyebabkan peningkatan produksi dan pelepasan lendir. Lisozim dan
IgA ditemukan di dalam lendir dan melindungi dari serangan mikroba
(Freeman, 2023).
d) Neuron
Neuron reseptor di langit-langit rongga hidung mengenali dan mengikat
molekul bau. Rangsangan ini menyebabkan depolarisasi neuron dan
pada akhirnya, perambatan sinyal di sepanjang saraf penciuman menuju
sistem saraf pusat (SSP) (Freeman, 2023).

11
B. RINITIS ALERGI

1. Pengertian

Rinitis ditandai dengan hidung tersumbat, rinorea, bersin, dan/atau


drainase hidung posterior (post nasal drip). Rinitis secara luas dibedakan
menjadi alergi dan non-alergi, dimana rinitis non-alergi dapat dibagi menjadi
etiologi inflamasi dan non-inflamasi. Penyebab inflamasi termasuk rinitis non
alergi dengan eosinofilia, pasca infeksi, dan rinitis yang berhubungan dengan
polip hidung. Penyebab non-inflamasi termasuk rinitis non-alergi (vasomotor)
idiopatik, rinitis akibat pengobatan, terkait hormon (misalnya kehamilan), dan
terkait penyakit sistemik. Rinitis alergi diklasifikasikan menjadi intermiten
atau persisten dan ringan versus sedang-berat (Agnihotri, 2019).
Rinitis alergi merupakan kelainan pada mukosa hidung akibat paparan
partikel alergen yang menyebabkan peradangan yang diperantarai oleh
Imunoglobulin E (IgE). Gejalanya antara lain hidung tersumbat, pilek, bersin,
hidung gatal, dan kehilangan penciuman saat mukosa hidung terpapar
alergen. RA merupakan bentuk rinitis kronis yang paling sering terjadi, dan
merupakan fenotip homogen dengan patofisiologi yang diketahui ditentukan
oleh sensitisasi IgE terhadap alergen lingkungan
(Bernstein, 2018; Wibowo et al., 2022)
.
Rinitis alergi (RA) ditandai dengan peradangan musiman atau terus-
menerus pada saluran napas bagian atas, yang menyebabkan rinorea, hidung
tersumbat, gatal, dan bersin. Berdasarkan pengamatan klinis, pasien dengan
RA sering kali lebih rentan terkena penyakit saluran napas menular
dibandingkan pasien non-alergi. Ini termasuk sinusitis, serta otitis media
dengan efusi. Kaitan erat antara alergi hidung dengan kondisi ini didukung
oleh bukti epidemiologi yang luas. Banyak penelitian juga menyoroti
perubahan respons imun bawaan pada penyakit saluran napas atopik, yang
menyebabkan kerentanan terhadap infeksi. Secara khusus, tingkat ekspresi

12
dan fungsi reseptor mirip tol (TLR), sebagai respons awal terhadap partikel
virus dan bakteri, telah terbukti berubah (Larsson et al., 2021).
2. Etiologi
Respon alergi diklasifikasikan menjadi reaksi fase awal dan fase akhir.
Pada fase awal, rinitis alergi merupakan respons yang diperantarai
imunoglobulin (Ig)E terhadap alergen inhalasi yang menyebabkan
peradangan yang didorong oleh sel pembantu tipe 2 (Th2). Respons awal
terjadi dalam waktu lima sampai 15 menit setelah terpapar antigen,
mengakibatkan degranulasi sel mast inang. Hal ini melepaskan berbagai
mediator yang sudah terbentuk sebelumnya dan yang baru disintesis,
termasuk histamin, yang merupakan salah satu mediator utama rinitis alergi.
Histamin menginduksi bersin melalui saraf trigeminal dan juga berperan
dalam rhinorrhea dengan merangsang kelenjar lendir. Mediator imun lain,
seperti leukotrien dan prostaglandin, juga terlibat karena bekerja pada
pembuluh darah sehingga menyebabkan hidung tersumbat. Empat hingga
enam jam setelah respons awal, terjadi masuknya sitokin, seperti interleukin
(IL)-4 dan IL-13, dari sel mast, yang menandakan perkembangan respons fase
akhir. Sitokin ini, pada gilirannya, memfasilitasi infiltrasi eosinofil, limfosit
T, dan basofil ke dalam mukosa hidung dan menyebabkan edema hidung
yang mengakibatkan kongesti (Akhouri, 2023).
3. Faktor Risiko
Beberapa studi menunjukkan hubungan antara rhinitis alergi dan penyakit
asthma. Diantara faktor risiko penyebab rinitis alergi, beberapa faktor risiko
paparan lingkungan, perubahan iklim, dan gaya hidup secara bertahap
dianggap sebagai faktor risiko RA. Berikut merupakan faktor risiko yang
dapat menjadi penyebab rinitis alergi antara lain
(Testa et al., 2020; Zhang et al., 2021)
:
 Lingkungan eksternal (tinggal di lahan pertanian vs pedesaan, di
perkotaan vs di pedesaan, paparan PAH Hidrokarbon Aromatik
Polisiklik, tinggal di kota industri);
 Lingkungan rumah (perokok pasif, paparan terhadap kelembapan dan
jamur, lantai PVC Polivinilklorida, memasak listrik, interaksi dengan

13
kakak, pemanas kayu atau batu bara, alas tidur ayah, status sosial
ekonomi dan intervensi kebersihan);
 Faktor individu yang tidak dapat dimodifikasi (gender, peningkatan
ENO Nitric Oxide yang dihembuskan, SNP polimorfisme nukleotida
tunggal pada gen tertentu);
 Obesitas;
 Diet (makanan cepat saji, tinggi lemak, rendah karbohidrat, roti dan
nasi, daging, margarin, rendah sayur dan buah);
 Asumsi pengobatan dan riwayat infeksi (Parasetamol, Antibiotik,
TBC Tuberkulosis dan infeksi lainnya, vaksinasi BCG Bacillus
CalmetteGuerin);
 Atopi (riwayat atopi pada orang tua, kondisi alergi lainnya, IgE serum
total yang tinggi, polisensitisasi terhadap aero-alergen);
 Kepemilikan hewan peliharaan (kucing, anjing, kuda);
 Kehamilan dan faktor risiko yang berhubungan dengan ibu (paparan
antibiotik dan infeksi pada rahim, depresi ibu perinatal, komplikasi
kehamilan, persalinan sesar, lama menyusui > 6 bulan, ibu merokok
sebelum melahirkan, diet Mediterania selama kehamilan).

4. Klasifikasi Rinitis alergi


Rinitis alergi dapat dikalsifikasikan berdasarkan durasi gejala dan
keparahan. Klasifikasi rinitis alergi berdasarkan Allergic rhinitis and its
impact on asthma (ARIA) guideline
(Bernstein, 2018; Nur Husna et al., 2022)
:

14
Gejala
Intermiten Kurang dari 4 hari per minggu atau
kurang dari 4 minggu/tahun
Persisten Gejala muncul minimal 4 hari per
minggu atau lebih dari 4 minggu per
tahun
Keparahan
Ringan Tidak ada gangguan tidur, aktivitas
sehari-hari, rekreasi, dan/atau olah
raga
Tidak ada gejala yang mengganggu
Tidak ada gangguan pada sekolah
atau pekerjaan
Sedang-berat Satu atau lebih hal berikut ini:
 Gangguan tidur
 Gangguan aktivitas sehari-
hari, rekreasi, dan/atau olah
raga
 Gangguan sekolah atau
pekerjaan
 Gejala yang mengganggu

Tabel 2.1. Klasifikasi rinitis alergi berdasarkan Allergic rhinitis and its impact on asthma
(ARIA) guideline (Bernstein, 2018; Nur Husna et al., 2022).

Ditinjau dari tingkat keparahan RA, dapat diklasifikasikan menjadi ringan


dan sedang/parah berdasarkan pedoman RA dan Dampaknya terhadap Asma
(ARIA). Hal ini diukur berdasarkan empat aspek yaitu kelainan tidur,
gangguan aktivitas sehari-hari, gangguan kinerja sekolah atau kerja, dan
gejala yang mengganggu. Pasien yang tidak mengalami masalah-masalah
tersebut di atas dianggap sebagai AR ringan, sedangkan pasien yang
menderita satu atau lebih gejala tersebut dianggap sebagai AR sedang/berat.

15
Pedoman ARIA juga mengklasifikasikan gejala AR menjadi intermiten dan
persisten berdasarkan durasi gejala yang muncul pada pasien AR. Untuk
gejala intermiten, gejala muncul dalam waktu kurang dari 4 hari per minggu
atau kurang dari 4 minggu berturut-turut, sedangkan untuk gejala persisten,
terjadi lebih dari 4 hari per minggu dan lebih dari 4 minggu berturut-turut
(Nur Husna et al., 2022).

5. Patofisiologi

Patofisiologi RA sangat kompleks, terdiri dari respon alergi fase awal dan
akhir. Proses ini dipicu oleh paparan alergen seperti serbuk sari, tungau,
dan/atau bulu binatang yang dikenali oleh reseptor imunoglobulin E (IgE)
spesifik antigen pada sel mast dan basofil pada individu yang mengalami
prasensitisasi. Reaksi fase awal ditandai dengan degranulasi sel mast. Fase ini
berhubungan dengan timbulnya gejala hidung akut (bersin dan rinorea) secara
cepat (dalam beberapa menit) dan timbulnya gejala pada mata (misalnya
gatal, kemerahan, dan berair). Gejala ini disebabkan oleh pelepasan histamin,
terutama dari sel mast di mukosa hidung. Pelepasan histamin fase awal ini,
bersama dengan efek sitokin proinflamasi poten lainnya (misalnya leukotrien)
dan eikosanoid (misalnya prostaglandin dan kinin) juga meningkatkan
permeabilitas pembuluh darah, yang menyebabkan pembentukan edema
(Bjermer et al., 2019).
Reaksi fase akhir berkembang selama beberapa jam setelah terpapar
alergen. Hal ini ditandai dengan rekrutmen seluler basofil, neutrofil, limfosit
T, monosit, dan eosinofil, dan pelepasan beberapa mediator, termasuk sitokin,
prostaglandin, dan leukotrien, yang melanggengkan respons inflamasi. Reaksi
inflamasi fase akhir ini berhubungan dengan remodeling jaringan, edema
jaringan lebih lanjut, dan timbulnya serta berlanjutnya hidung tersumbat,
yang dianggap oleh pasien sebagai salah satu gejala AR yang paling
mengganggu. Akibat peradangan mukosa, jaringan menjadi prima dan
bereaksi lebih kuat terhadap paparan alergen. Reaksi fase akhir dan
modifikasi respons jaringan berkontribusi terhadap hiperresponsif bronkus
(Bjermer et al., 2019).

16
Gambar 2.6. Fase awal dan akhir menunjukkan proses patofisiologi dan pemicu
rinitis alergi serta lokasi potensial untuk intervensi farmakologis. Protein kationik eosinofil
ECP, molekul adhesi antar sel ICAM-1-1, imunoglobulin E IgE, IL interleukin (
(Bjermer et al., 2019).

Dengan menggunakan uji alergen pada tingkat molekuler, beberapa


peneliti telah menetapkan bahwa orang dengan AR mengeluarkan mediator
seperti histamin dan leukotrien (LT). Faktor-faktor proinflamasi ini telah
terdeteksi dalam sekret hidung individu yang terkena dampak ketika terpapar
alergen, namun sedikit yang diketahui tentang sekresinya dalam kondisi
alami. Penelitian sebelumnya telah melaporkan sekresi sitokin (IL-1α),
sebuah faktor proinflamasi, ketika terpapar alergen pada fase awal atau akhir
reaksi. Dengan demikian, disarankan bahwa sitokin mungkin memiliki peran
penting dalam mengaktifkan sel-sel endotel yang panjang dengan limfosit T,
yang selanjutnya merangsang pelepasan sitokin. Penelitian terbaru juga
menemukan adanya IL-1Ra, suatu penghambat alami, dalam konsentrasi
molar yang lebih tinggi pada sekret hidung pasien AR dan kontrol. Antagonis
(IL-1Ra) berikatan dengan reseptor IL-1, mencegah pengikatan aktif (IL-1α)
tanpa mempengaruhi respon biologisnya masing-masing. Mirip dengan IL-

17
1α, kemokin lain dari famili IL-8, IL-8 ditemukan meningkat pada tahap
akhir penyakit dan sedang diselidiki sebagai kandidat yang mungkin memilik
peran pada patofisiologi rinitis alergi (Healthcare Engineering, 2023a).

6. Tanda dan Gejala

Rinitis alergi ditandai dengan adanya gejala hidung dan non-hidung.


Gejala hidung termasuk rinorea anterior atau posterior, bersin, hidung
tersumbat dan/atau gatal pada hidung. Gejala-gejala ini dapat bertahan selama
berjam-jam setelah reaksi alergi terhadap paparan alergen yang menyebabkan
peradangan mukosa. Akibatnya, mukosa menjadi lebih reaktif terhadap
alergen pemicu serta alergen lain dan rangsangan non-alergi (misalnya bau
menyengat dan iritan lainnya). Gejala non-nasal ditandai dengan gejala mata
seperti rhinokonjungtivitis alergi (yaitu gatal dan mata merah serta robek)
yang sering terjadi pada pasien AR. Gejala lain termasuk gatal pada langit-
langit mulut, postnasal drop, dan batuk (Nur Husna et al., 2022).
Reaksi hipersensitivitas dapat diamati pada AR, asma bronkial,
konjungtivitis alergi, dermatitis alergi, alergi makanan dan syok anafilaksis.
Lebih dari 30% pasien AR menderita gejala alergi yang melemahkan yang
dapat menyebabkan kecacatan parah dan kondisi yang mengancam jiwa
seperti anafilaksis. Dalam kasus yang parah, bronkospasme hebat, edema
laring, sianosis, hipotensi, dan syok dapat terjadi (Nur Husna et al., 2022).

7. Diagnosis

Diagnosis rinitis alergi ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan


fisik, dan pemeriksaan penunjang. Diagnosis definitif (gold standard)
ditegakkan dengan mendeteksi IgE spesifik alergen atau tes tusuk kulit (skin
prick test). Riwayat menyeluruh dan terperinci saat anamnesis merupakan
bagian penting dari evaluasi RA, dan pertanyaan harus fokus pada jenis
gejala, waktu, durasi, dan frekuensi gejala, dugaan paparan, faktor yang
memperburuk/meringankan, dan musim. Pasien dengan rinitis alergi
intermiten atau musiman memiliki gejala bersin, rinorea, dan mata berair,
sedangkan pasien dengan RA kronis sering mengeluhkan postnasal infus,

18
hidung tersumbat kronis, dan penyumbatan. Pasien-pasien ini sering kali
memiliki riwayat rinitis alergi dalam keluarga atau riwayat asma pribadi.
Pasien dengan rinitis intermiten mungkin melaporkan adanya pemicu seperti
serbuk sari, bulu binatang, lantai/pelapis, jamur, kelembapan, parfum,
dan/atau asap tembakau (Akhouri, 2023; Wibowo et al., 2022).
Pada pemeriksaan fisik, dapat ditemukan pernapasan melalui mulut, sering
mengendus dan/atau membersihkan tenggorokan, lipatan hidung supra-tip
melintang, dan lingkaran hitam di bawah mata (allergic shiner). Lipatan
supratip hidung lebih sering terjadi pada anak-anak. Rhinoskopi anterior
biasanya menunjukkan pembengkakan pada mukosa hidung dan sekret yang
encer dan bening. Turbinat inferior mungkin berwarna kebiruan, dan
mungkin terdapat batu bulat pada mukosa hidung. Bila memungkinkan,
pemeriksaan endoskopi internal rongga hidung harus dilakukan untuk menilai
polip hidung dan kelainan struktural. Otoskopi pneumatik dapat digunakan
untuk menilai disfungsi tuba eustachius, yang merupakan temuan umum pada
pasien dengan rinitis alergi. Palpasi sinus dapat menimbulkan nyeri tekan
pada pasien dengan gejala kronis. Pasien harus menjalani pemeriksaan
menyeluruh untuk mengetahui tanda-tanda asma atau dermatitis dan harus
ditanyai mengenai sensitivitas aspirin. Endoskopi hidung dapat dilakukan
untuk menilai rongga hidung secara lebih detail dan mendukung diagnosis
rinitis alergi (Akhouri, 2023; Wibowo et al., 2022).

C. Peran Interleukin 8 (IL-8) terhadap Tanda dan Gejala Rinitis Alergi


(RA)

Interleukin-8 (IL-8) adalah kemokin yang diinduksi oleh beragam


rangsangan inflamasi di berbagai sel, termasuk monosit, makrofag, fibroblas,
dan sel endotel. IL-8 adalah anggota dari “superfamili kemokin” luas, yang
mencakup lebih dari 40 kemokin berbeda, diproduksi oleh tipe sel berbeda
dengan beragam sel target yang mengekspresikan reseptor. IL-8 termasuk
dalam subfamili kemokin CXCL. IL-8 dikenal sebagai faktor kunci dalam
peradangan lokal, karena sekresinya dapat ditingkatkan oleh stres oksidatif,
sehingga menyebabkan perekrutan sel-sel inflamasi dan peningkatan lebih

19
lanjut dalam mediator stres oksidatif. Peningkatan ekspresi sitokin tertentu,
seperti IL-6 dan IL-8, pada akhirnya dapat memicu peradangan pada tubuh,
termasuk epitel pernapasan. IL-8 juga memainkan peran penting dalam
mobilisasi cepat sel hematopoietik selama respon inflamasi
(Bernhard et al., 2021; Lee et al., 2021)
.
Seperti yang sudah dijelaskan, IL-8 diproduksi oleh banyak jenis sel
termasuk monosit, limfosit, granulosit, fibroblas, sel endotel, sel epitel,
hepatosit, sel mesangial dan kondrosit dan dilepaskan hanya dalam kondisi
inflamasi. IL-8 berperan dalam patofisiologi common cold, karena kadarnya
ditemukan meningkat pada individu yang menderita rinitis virus
dibandingkan dengan individu sehat. Bahkan trombosit menyimpan IL-8
dalam granulanya dan dengan cepat melepaskan IL-8 saat peradangan. Oleh
karena itu, sinyal peradangan akut antar sel ini dapat dirangsang oleh banyak
jenis sel dan jaringan untuk terlibat dalam pertahanan inang
(Matsushima et al., 2022)
.
Fungsi utama IL-8 mengenai neutrofil adalah induksi kemotaksis. Selain
itu, IL-8 menyebabkan pelepasan enzim lisosom, peningkatan regulasi
molekul adhesi, peningkatan kalsium intraseluler, dan peningkatan ledakan
oksidatif (oxidative burst). Studi terbaru menunjukkan bahwa peran penting
IL-8 dalam merekrut neutrofil ke lokasi inflamasi dapat menjadi target baru
(terapi antibodi) untuk melindungi kerusakan organ terkait neutrofil.
Mekanismenya adalah dengan menghambat infiltrasi neutrofil ke dalam
jaringan yang meradang. IL-8 dianggap dominan dalam merekrut neutrofil ke
tempat inflamasi karena mempunyai afinitas pengikatan yang lebih tinggi
terhadap reseptor neutrofil dibandingkan kemokin CXCL lainnya
(Bernhard et al., 2021; Matsushima et al., 2022)
.
Penelitian sudah menyebutkan bahwa gejala-gejala hidung yang terdapat
pada rhinitis alergi seperti rinorea, sumbatan hidung, dan bersin, telah
ditemukan berkorelasi erat dengan biomarker IL-8 dan neutrofil, dimana
hubungan neutrofilia pada saluran nafas yang menimbulkan gejala telah
diketahui dalam sebuah penelitian terhadap bayi yang dirawat di rumah sakit
karena bronkiolitis RSV sejak tahun 1990-an. Neutrofil ini terdapat pada sel

20
epitel mukosa, melepaskan sitokin seperti IL-8. Neutrofil melepaskan
sejumlah agen inflamasi yang kuat seperti elastase neutrofil manusia,
myeloperoxidase, dan metalloprotein yang mendorong pelepasan mukus,
transudasi cairan inflamasi, edema mukosa, batuk, dan bersin.
Myeloperoxidase merupakan penanda aktivasi neutrofil, dan ekspresi yang
lebih rendah berarti berkurangnya sekresi IL-8. Ciri umum penyakit “virus
pernapasan” juga mempunyai kemampuan untuk menghasilkan respons
neutrofil yang membantu mendorong penyebaran virus melalui droplet. Pada
rinitis alergi, sel mast berperan dalam pelepasan sitokin pro inflamasi seperti
IL-8, faktor inflamasi seperti histamin, dan lain-lain. Interleukin-8 (IL-8) juga
ditemukan meningkat sepanjang tahap akhir penyakit (late stage) dan juga
selain neutrofil, juga dihubungkan dengan eosinofil
(Douros & Everard, 2020; Healthcare Engineering, 2023b)
.

21
Gambar 2.7. Mekanisme neutrofil dimana berhubungan dengan tanda dan gejala
penyakit saluran pernapasan (Douros & Everard, 2020).

22
BAB III
KESIMPULAN

Rinitis alergi dapat dibagi menjadi dua tahap yaitu awal dan akhir.
penyakit muncul dengan sendirinya dalam waktu 5-–30 menit setelah terpapar
antigen, seperti jamur, debu, atau bulu binatang. Gejala awal setelah paparan
biasanya meliputi lakrimasi, rinorea bening, gatal, dan bersin, yang biasanya
dipicu oleh produksi sekresi sel mast, termasuk histamin. Pada tingkat
molekuler, sel mast diketahui memainkan peran penting dalam proses
inflamasi, termasuk pelepasan sitokin proinflamasi seperti tumor nekrosis
factor (TNF-α), interleukin-1β, interleukin-8, dan interleukin-6 dan faktor
inflamasi termasuk serotonin dan histamin.
Peran IL-8 telah lama ditemukan berhubungan dengan gejala penyakit
saluran pernapasan, salah satunya rinitis alergi. IL-8 merupakan kemokin
yang mempunyai mekanisme merekrut sel-sel inflamasi, antara lain neutrofil.
Rinitis alergi mempunyai gejala-gejala hidung seperti rinorea, sumbatan
hidung, dan bersin, telah ditemukan berkorelasi erat dengan biomarker IL-8
dan neutrofil. Kesimpulannya, gejala-gejala hidung berikut ini: rinorea,
sumbatan hidung, dan bersin telah ditentukan berkorelasi lebih erat dengan
biomarker IL-8 dan neutrofil. Meskipun telah diketahui selama bertahun-
tahun bahwa sitokin seperti IL-8 terlibat dalam proses penyakit
infeksi/inflamasi saluran pernafasan akut, namun hubungan IL-8 dan neutrofil
dengan gelaja pada hidung belum terdokumentasi dengan baik secara detail
hingga saat ini.

23
DAFTAR PUSTAKA
Agnihotri, N. T. , M. K. G. (2019). Allergic and nonallergic rhinitis. Allergy & Asthma Proceedings,
40(6), 376–379.
Akhouri, S. H. S. (2023). Allergic Rhinitis. Treasure Island (FL): StatPearls
Publishing.
Bernhard, S., Hug, S., Stratmann, A. E. P., Erber, M., Vidoni, L., Knapp, C. L.,
Thomaß, B. D., Fauler, M., Nilsson, B., Nilsson Ekdahl, K., Föhr, K., Braun, C.
K., Wohlgemuth, L., Huber-Lang, M., & Messerer, D. A. C. (2021). Interleukin 8
elicits rapid physiological changes in neutrophils that are altered by inflammatory
conditions. Journal of Innate Immunity, 13(4), 225–241.
https://doi.org/10.1159/000514885
Bernstein, J. A. (2018). Rhinitis and Related Upper Respiratory Conditions A Clinical
Guide.
Bjermer, L., Westman, M., Holmström, M., & Wickman, M. C. (2019). The complex
pathophysiology of allergic rhinitis: Scientific rationale for the development of an
alternative treatment option. In Allergy, Asthma and Clinical Immunology (Vol.
15, Issue 1). BioMed Central Ltd. https://doi.org/10.1186/s13223-018-0314-1
Douros, K., & Everard, M. L. (2020). Time to Say Goodbye to Bronchiolitis, Viral
Wheeze, Reactive Airways Disease, Wheeze Bronchitis and All That. In
Frontiers in Pediatrics (Vol. 8). Frontiers Media S.A.
https://doi.org/10.3389/fped.2020.00218
Freeman, S. K. D. K. C. (2023). Physiology, Nasal. Treasure Island (FL): StatPearls
Publishing.
Harianingrum, A., Naftali, Z., & Marliyawati. (2018). Pengaruh Derajat Merokok
Terhadap Fungsi Tuba Eustachius pada Perokok Aktif. Undergraduate Thesis.
Healthcare Engineering, J. O. (2023a). Retracted: Recent Progress in Traditional
Chinese Medicines and Their Mechanism in the Treatment of Allergic Rhinitis. In
Journal of healthcare engineering (Vol. 2023, p. 9869570). NLM (Medline).
https://doi.org/10.1155/2023/9869570

24
Healthcare Engineering, J. O. (2023b). Retracted: Recent Progress in Traditional
Chinese Medicines and Their Mechanism in the Treatment of Allergic Rhinitis. In
Journal of healthcare engineering (Vol. 2023, p. 9869570). NLM (Medline).
https://doi.org/10.1155/2023/9869570
Heidsieck, D. S. P., Smarius, B. J. A., Oomen, K. P. Q., & Breugem, C. C. (2016). The
Role of The Tensor Veli Palatini Muscle in The Development of Cleft Palate-
Associated Middle Ear Problems. Clin Oral Invest, 20, 1389–1401.
https://doi.org/10.1007/s00784-016-1828-x
Khan, H. A. B. S. C. , N. F. F. J. D. , B. B. (2022). Rhinoplasty: A Case-Based
Approach. Elsevier .
Larsson, O., Sunnergren, O., Bachert, C., Kumlien Georén, S., & Cardell, L. O. (2021).
The SP-TLR axis, which locally primes the nasal mucosa, is impeded in patients
with allergic rhinitis. Clinical and Translational Allergy, 11(1).
https://doi.org/10.1002/clt2.12009
Lee, A. J., Lim, J. W., & Kim, H. (2021). Ascorbic Acid Suppresses House Dust Mite-
Induced Expression of Interleukin-8 in Human Respiratory Epithelial Cells.
Journal of Cancer Prevention, 26(1), 64–70.
https://doi.org/10.15430/jcp.2021.26.1.64
Matsushima, K., Yang, D., & Oppenheim, J. J. (2022). Interleukin-8: An evolving
chemokine. In Cytokine (Vol. 153). Academic Press.
https://doi.org/10.1016/j.cyto.2022.155828
Nur Husna, S. M., Tan, H. T. T., Md Shukri, N., Mohd Ashari, N. S., & Wong, K. K.
(2022). Allergic Rhinitis: A Clinical and Pathophysiological Overview. In
Frontiers in Medicine (Vol. 9). Frontiers Media S.A.
https://doi.org/10.3389/fmed.2022.874114
Testa, D., DI Bari, M., Nunziata, M., Cristofaro, G. DE, Massaro, G., Marcuccio, G., &
Motta, G. (2020). Allergic rhinitis and asthma assessment of risk factors in
pediatric patients: A systematic review. International Journal of Pediatric
Otorhinolaryngology, 129. https://doi.org/10.1016/j.ijporl.2019.109759
Wibowo, E. B., Dermawan, A., & Sudiro, M. (2022). Clinical Signs in Allergic
Rhinitis Patients at Dr. Hasan Sadikin General Hospital Bandung 2017-2021.
Althea Medical Journal, 9(3), 168–173. https://doi.org/10.15850/amj.v9n3.2682

25
Zhang, Y., Lan, F., & Zhang, L. (2021). Advances and highlights in allergic rhinitis. In
Allergy: European Journal of Allergy and Clinical Immunology (Vol. 76, Issue
11, pp. 3383–3389). John Wiley and Sons Inc. https://doi.org/10.1111/all.15044

26

Anda mungkin juga menyukai